1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Saat ini abortus merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh
masyarakat, karena angka pengguguran kandungan (abortus) semakin meningkat dari
tahun ketahun,dan hal itu tidak hanya menimpa masyarakat Indonesia tetapi juga
masyarakat Internasional. Masalah abortus ini masih menjadi kontroversial yaitu ada
negara yang mengijinkan dan ada negara yang melarang. Pada Negara-negara yang
mengijinkan abortus didasarkan pada pertimbangan bahwa pada negara tersebut
sudah cukup terdapat tenaga kesehatan dan memiliki teknologi kesehatan yang
cukup baik sehingga resiko untuk terkena komplikasi yang berakibat pada kematian
ibu sangat kecil, sedangkan pada negara yang melarang aborsi didasarkan pada
pertimbangan bahwa pada negara tersebut petugas pelaksana kesehatan yang
menolong persalinan pada umumnya masih bersifat tradisional seperti dukun yang
masih menggunakan peralatan yang sangat premitif dan tidak bersih sehingga resiko
komplikasi yang berdampak pada kematian ibu lebih besar.1Indonesia termasuk salah
satu negara yang melarang praktek abortus dan larangan itu dengan jelas dapat dilihat
dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyebutkan
bahwa abortus merupakan tindak pidana dan kepada pelakunya dapat dikenakan
hukuman.
Dikatakan sebagai salah satu masalah, karena praktek abortus dimasyarakat
terus meningkat. Peningkatan praktek abortus yang terjadi di masyarakat dapat dilihat
dari hasil browsing Clara Istiwidarum Kriswanto, Psikolog dari Jagadnita Consulting.
1 Aborsi dalam berbagai Aspek Pandangan,URL :artiasofftiyani.blogspot.com/2013/12.diakses tanggal 4
April 2014, jam 20.00 Wita.
2
Istiwidarum yang menghimpun beberapa survey, dengan hasil yang sangat
mengejutkan, terutama bagi para orang tua, karena dari beberapa survey yang
dilakukan di Jakarta diperoleh hasil bahwa sekitar 6-20 persen anak SMU dan
Mahasiswa di Jakarta pernah melakukan hubungan seks pranikah, kemudian sebanyak
35 persen dari Mahasiswa Kedokteran di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta
setuju adanya hubungan seks pranikah, selanjutnya dari 405 kehamilan yang tidak
direncanakan, sebanyak 95 persen dilakukan oleh remaja usia 15-25 tahun dan
terakhir angka kejadian aborsi yang terjadi di Indonesia mencapai 2,5 juta kasus, dari
angka tersebut sebanyak 1,5 juta diantaranya dilakukan oleh remaja.2 Selanjutnya
khusus untuk yang terjadi di Denpasar (Bali), menurut Dr. Mangku Karmaya, Wakil
Ketua Pengurus Harian Daerah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
Bali menyatakan bahwa setiap bulannya diperkirakan ada sekitar 3.000 (tiga ribu)
kasus abortus.3
Abortus merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin
memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karena sejauh ini perilaku
pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku
maupun pada masyarakat luas. Abortus bukanlah suatu prosedur medis yang
sederhana. Jika dilakukan secara sembarangan dapat menimbulkan risiko kesehatan
yang serius. Bahkan bagi beberapa perempuan, abortus dapat mempengaruhi fisik,
emosional dan spiritualnya4. Oleh karena itu, agama hindu menentang abortus atau
pengguguran kandungan, karena pengguguran kandungan (abortus) dianggap tidak
menghormati hak hidup janin. Aborsi dengan alasan apapun tidak akan direstui karena
pelakunya akan terkena dosa pembunuhan. Konsep perlindungan itu dituangkan
2 Ibid..
3 Priatna, Aborsi Meningkat karena Kelemahan Hukum, URL : http://[email protected] 4Benneten Nakwani, 2013, Dampak buruk aborsi untuk kesehatan, URL :
http//forum.viva.co.id/kesehatan/183395.diakses tanggal 8 Juni 2014, Jam 20.00 Wita.
3
dalam Lontar Yama Purana Tattwa, yang menegaskan bahwa mereka yang
membunuh janin dalam kandungan dikutuk oleh Bhatara Yama. Disamping lontar
Yama Purana Tattwa dalam theology hinduisme, juga diatur perlindungan anak.
Dalam theology hinduisme ada ketentuan yang menyebutkan bahwa abortus tergolong
perbuatan yang disebut “Himsa Karma” yakni salah satu perbuatan dosa yang
disejajarkan dengan membunuh, menyakiti dan menyiksa.Abortus dalam pengertian
yang lebih dalam sama dengan menghilangkan nyawa. Ketentuan tersebut
didasakan pada falsafah “atma” atau “roh” yang menganggap bahwa atma atau roh
sudah berada dan melekat pada jabang bayi sekalipun jabang bayi tersebut masih
berbentuk gumpalan darah yang belum sempurna seperti tubuh manusia, namun
theology hindu,beranggapan bahwa segera setelah terjadi pembuahan di sel telur
maka atma sudah dianggap ada atas kuasa Hyang Widhi. Oleh karena itulah theology
hindu menentang perbuatan aborsi karena aborsi disetarakan dengan menghilangkan
nyawa.5
Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum berusia 22 minggu, abortus
dapat terjadi secara alami (spontan) maupun secara buatan6, Abortus buatan atau
abortus provokatus dapat dibedakan kedalam 2 jenis yaitu Abortus Provokatus
Therapeuticus dan Abortus Provokatus Criminalis. Abortus Provokatus Therapeuticus
merupakan Abortus Provokatus atas dasar pertimbangan medis atau kedokteran dan
dilakukan oleh tenaga yang mendapat pendidikan kusus serta dapat bertindak secara
professional.Sedangkan Abortus Provokatus Criminalis merupakan abortus
provokatus yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan biasanya dilakukan oleh
tenaga yang tidak terdidik secara kusus.Abortus Provokatus Criminalis merupakan
salah satu penyebab kematian wanita hamil pada masa subur yang terjadi di Negara-
5 URL : Http://artiasoffitiyani.blogspot.com/2013/12/makalah aborsi dalam berbagai aspek.html. 6M Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, 2007, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 4, Buku Kedokteran
EDC, Jakarta, h.107.
4
negara berkembang. Abortus (pengguguran Kandungan) merupakan masalah yang
sangat pelik, karena menyangkut banyak aspek kehidupan manusia yang berkaitan
dengan etika, moral, agama serta hukum oleh karena itu diperlukan adanya upaya
penanggulangan terhadap persoalan abortus ini untuk mengontrol akibat-akibat
negatif yang ditimbulkan. Sebagai antisipasi terhadap praktek abortus tersebut dapat
dilakukan dengan memfungsikan instrumen hukum (pidana) secara efektif melalui
penegakan hukum (law enforcement)7
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak membedakan antara
Abortus Provokatus Therapeuticus dengan Abortus Provokatus Criminalis, semua
abortus tanpa memandang alasan-alasannya, merupakan tindak pidana dan kepada
pelakunya dapat dikenakan sanksi hukum.Dalam kontek kehidupan sehari-hari
masalah pengguguran kandungan nampak terpendam dan tanpa gejolak. Namun
demikian, praktek pengguguran kandungan yang dilakukan oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab berjalan terus secara sembunyi-sembunyi. Bahkan akhir-
akhir ini pada media massa secara terang-terangan diulas tentang abortus atau
pengguguran kandungan yang dilakukan oleh tenaga medis.
Praktek abortus bukan merupakan rahasia lagi, sebagai akibat dari semakin
meluasnya budaya pergaulan bebas dan prostitusi dewasa ini. Juga dengan semakin
meningkatnya kasus-kasus kehamilan diluar nikah dan multiplikasi keragaman
motivasi. Hal tersebut pada gilirannya dapat mendorong orang-orang tertentu
cenderung melakukan abortus (mengguguran kandungan) yang tidak di inginkan
sebagai solusi menghilangkan aib.
Seperti disebutkan diatas bahwa ajaran agama Hindu melarang setiap umatnya
untuk melakukan abortus dengan alasan apapun, bagaimanakah dengan hukum
7 Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2
5
pidana atau KUHP dan hukum Kesehatan apakah juga melarang praktek abortus
(pengguguran kandungan). Seperti disebutkan diatas bahwa KUHP tidak
membedakan abortus, setiap abortus digolongkan sebagai tindak kejahatan terhadap
nyawa (Bab XIX Pasal 346 sampai Pasal 349), bagaimanakah dengan hukum
kesehatan. Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomior 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan memberikan pengecualian yaitu apabila berada dalam keadaan darurat
sebagai upaya dalam menyelamatkan nyawa ibu hamil dan janinnya, dapat dilakukan
tindakan medis tertentu. Artinya hukum Kesehatan mengijinkan dilakukan abortus
atas dasar pertimbangan medis.Keberadaan Praktek Abortus kembali mendapat
perhatian dengan disahkannya Undang-Undang Kesehatan yang baru yaitu UU
Nomor 36 Tahun 2009. Meskipun UU 36 Tahun 2009 menaruh perhatian yang sangat
besar terhadap abortus tetapi dalam pelaksanaannya undang-undang ini menimbulkan
kontraversi karena pasal-pasal yang mengatur tentang abortus tersebut tidak sinkrun
dengan ketentuan KUHP dimana KUHP melarang dengan tegas dilakukannya abortus
sedangkan UU No 36 Tahun 2009 memberikan pengecualian, dan pengecualian
tersebut dapat dilihat dalam Pasal 75 dan Pasal 76 atau dapat dikatakan bahwa aspek
hukum dari pada UU No 36 Tahun 2009 hampir sama dengan UU No 23 Tahun 1992
yaitu sama-sama mengatur pelarangan praktek abortus tetapi tidak bersifat mutlak, hal
ini dapat dilihat dari isi Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 yang memberikan
pengecualian terhadap seseorang untuk dapat melakukan abortus apabila hasil deteksi
awal kehamilan ada indikasi kedaruratan medis seperti kehamilan seseorang
mengancam nyawa dirinya atau janin yang dikandung atau kehamilan yang terjadi
akibat dari perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan, selanjutnya pengecualian abortus tersebut diatur dalam Pasal 76 yaitu
6
abortus hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung
dari hari pertama haid terakhir.
Kesimpulan dari penjelasan tersebut diatas yakni persoalan abortus provokatus
atau abortus buatan dianggap sebagai tindak pidana oleh KUHP namun menurut
hukum kesehatan, tindakan aborsi pada sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan
apabila abortus tersebut merupakan abortus provocatus medicinalis yaitu abortus
yang dilakukan berdasarkan indikasi medik dan bersifat legal, sedangkan yang tidak
dapat dibenarkan atau illegal adalah abortus provocatus criminalis yaitu abortus yang
dilakukan berdasarkan indikasi non medik.8 Atau dapat dikatakan bahwa praktek
abortus dapat merupakan tindak kejahatan, tetapi bisa juga merupakan tindakan ilegal
yang dibenarkan oleh undang-undang. Berdasarkan paparan ini maka penulis tertarik
untuk mengangkat permasalahan “Abortus Dalam Perspektif Hukum Pidana dan
Hukum Kesehatan” sebagai judul dari Skripsi ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kebijakan kriminalisasi Abortus Porvokatus Criminalis sebagai tindak
Pidana ?
2. Bagaimana pertangungjawaban pelaku tindak pidana abortus Provocatus Criminalis?
8M Yusuf Hanafian dan Amri Amir, op. cit, h 108.
7
1.3 Ruang Lingkup Masalah.
Mengingat luasnya permasalahan dan ketentuan hukum yang ada dalam
pengaturan praktek abortus dalam masyarakat maka merupakan hal yang tidak
mungkin semua permasalahan abortus dibahas dalam satu tulisan saja terlebih dalam
bentuk tulisan skripsi ini. Maka dalam penulisan skripsi ini ruang lingkup masalah
akan dibatasi pada pembahasan abortus dalam perspektif hukum pidana dan hukum
kesehatan yang lebih konsen pada pertanggungjawaban kebijakan abortus provokatus
criminalis sebagai tindak pidana dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana
abortus provokatus criminalis.
1.4 Tujuan Penelitian .
Setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu karena dengan adanya
tujuan yang jelas akan memberikan arah yang jelas pula untuk mencapai tujuan
tersebut. Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah :
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana abortus dalam perspektif Hukum Pidana dan Hukum
Kesehatan
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan pemerintah tentang Abortus
Provokatus Criminalis sebagai suatu tindak Pidana ?
2. Untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana pertanggung jawaban dari
pelaku tindak pidana Abortus Provokatus Criminalis.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penulisanPraktekAbortus Dalam Perspektif
Hukum Pidana dan Hukum Kesehatan adalah sebagai berikut :
8
a. Manfaat Teoritis.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk
melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan
sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum.
b. Manfaat Praktis.
Secara praktis penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang Abortus di dalam
Hukum Pidana dan Hukum Kesehatan.
1.6 Landasan Teoritis.
Landasan teoritis adalah suatu landasan yang dipakai untuk membahas
permasalahan penelitian. Pada penelitian Abortus Dalam Perspektif Hukum Pidana
dan Hukum Kesehatan penulis akan berpedoman pada landasan teori sebagai berikut :
1. Teori Kebijakan
a. Kebijakan hukum pidana dalam upaya penanggulangan kejahatan atau tindak
pidana dapat diartikan sebagai salah satu usaha penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan hukum pidana dan sanksi berupa pidana. Sanksi pidana dalam hukum
pidana berupa pidana merupakan sistem sanksi yang bersifat negatif yang berarti
dipandang sebagai suatu penderitaan.9 Sanksi dalam hukum pidana inilah yang
membedakan dengan sanksi dalam bidang-bidang hukum lain.
Barda Nawawi Arief yang mengambil pendapat Gene Kassebaum menyatakan
bahwa penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan
cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.10
Pemberian sanksi ini
9. Soedarto, 1990, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta,h. 106
9
memang sangatlah diperlukan akan tetapi juga harus mempertimbangkan seperti apa
yang dikemukakan oteh Herbert L. Pateer yang menyatakan bahwa:
1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa
yang akan datang, tanpa pidana.
2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana yang terbaik yang tersedia, yang kita miliki
untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera untuk
menghadapi ancaman-ancaman dari perawatan (treatment) dari pidana.
3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama atau terbaik” dan suatu
ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan
penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia
merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.11
Sehubungan dengan hat tersebut Karl Menninger mengemukakan bahwa sikap
“memidana” (punitive attitude) harus diganti dengan “sikap mengobati” (theraupetic
attitude).12
Penghapusan pidana dalam hukum pidana mendapat tanggapan dari Roeslan
Saleh yang masih memandang perlu untuk memakai pidana dan hukum putena. Ada
beberapa alasan yang dikemukakan yang inti alasannya adalah sebagai berikut.13
kebijakan hukum pidana yang tercakup dalam politik criminal merupakan bagian
integral dari rencana pembangunan nasional. Pembangunan nasional dilaksanakan
untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan
10
. BardaNawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung,(selanjutnya disingkat BardaNawawi Arief I)h. 18 11
Barda Nawawi Arief, 1971,“Mencari Asas-asas umum yang sesuai untuk Hukum Pidana Nasional,
Kumpulan bahan upgradinghukum pidana jilid II”, (selanjutnya disingkat BardaNawawi Arief II) h 28.
12
. Ibid, h.20
13
. Ibid, h.15-16.
10
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tentunya berusaha
untuk mewujudkan ketertiban dan perlindungan masyarakat.Adanya ketertiban dan
perlindungan masyarakat ini harus direncanakan dalam pembangunan nasional.
Kebijakan hukum pidana yang pada dasarnya mempelajari tentang masalah
bagaimana sebaiknya peraturan hukum pidana dibuat untuk menanggulangi kejahatan.
Hal ini didalamnya mengandung aspek kebijakan penanggulangan kejahatan dan
kebijakan perlindungan kesejahteraan masyarakat.
Menurut A.S Alam dan Amir Ilyas, penanggulangan kejahatan terdiri atas tiga bagian
pokok, yaitu sebagai berikut :
a. Pre-Emtif
Upaya Preemtif adalah upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian
untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam
penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan nilai-nilai atau
norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasikan dalam diri
seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan
tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan.
b. Preventif
Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya Pre-Emtif yang
masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif
ini yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan.
11
c. Refresif
Upaya yang dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana atau kejahatan yang
tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcemment) dengan menjatuhkan
hukuman.14
Kebijakan penangulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah
politik kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application)
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaanlewat media masa (influencing views of society on crime and
punishment/massmedia)
Upaya penanggulangan kejahatan (politik kriminal) secara garis besar dapat dibagi
menjadi dua, yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non-penal”
(bukan/di luar hukum pidana).Dalam pembagian di atas, upaya-upaya yang disebut
dalam butir (a) merupakan upaya “penal, sedangkan upaya-upaya yang disebut dalam
butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “non penal”, atau dapatlah
dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih
menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non
penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi.Mengingat
upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat akan pencegahan
untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau
14
Alam, A.S dan Amir Ilyas, 2010,Pengantar Kriminologi, P.T Pustaka Refleksi, Makasar, h. 69.
12
tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan.Kedua cara di
atas dapat dijadikan acuan dan diterapkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum
secara langsung apabila tingkatkriminalitas di masyarakat terus meningkat.15
Politik kriminal pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan
masyarakat (Social Defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (Social
Welfare) dan oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama
dari dari politik criminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Hubungan yang demikian diilustrasikan oleh Barda
Nawawi Arief dengan skema demikian16
Kebijakan penanggulangan kejahatan tindak pidana tidak bisa lepas dari tujuan negara
untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.Sebagai warga negara berkewajiban untuk memberikan
perhatian pelayanan pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Disisi lain
perhatian pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat khususnya yang
berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana narkotika. Kebijakan
penanggulangan tindak pidana aborsi merupakan kebijakan hukum positif yang pada
hakikatnya bukanlah semata–mata pelaksanaan undang–undang yang dapat dilakukan
secara yuridis normatif dan sistematik, dogmatik. Di samping pendekatan yuridis
normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang
dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, bahkan memerlukan pula pendekatan
komprehensif dari berbagai disiplin ilmu lainnya dan pendekatan integral dengan
15Barda Nawawi AriefI, op. cit, h. 22.
16
IS Heru Permana,2011, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 7.
13
kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.17
Secara umum
penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan cara:
1. Cara moralistik, dilaksanakan dengan penyebar luaskan ajaran-ajaran agama
dan moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat
mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan;
2. Cara abolionistik, berusaha memberantas; menanggulangi kejahatan dengan
memberantas sebab-musababnya umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan
ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu faktor penyebab kejahatan maka usaha
mencapai kesejahteraan untuk mengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor
ekonomi merupakan Cara Abolisionistik.18
Kedua cara di atas dapat dijadikan acuan dan diterapkan oleh pemerintah dan aparat
penegak hukum secara langsung apabila tingkat kriminalitas di masyarakat terus
meningkat.
b Pelaku Dalam Hukum Pidana.
Pasal 55 s/d Pasal 62 KUHP yang sudah tentu system pemidanaannya, baik untuk
pelaku yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan maupun yang
membantu melakukan sudah diatur dengan jelas. Artinya dalam ajaran yang kedua ini
selalu akan timbul pertanyaan-pertanyaan apakah hanya pelaku, atau pesertanya juga
akan ikut dipidana.
Pengertian turut serta dalam melakukan peristiwa pidana (delik), sering pembuat
(dader) dibantu oleh seorang lain dan justru karena turut sertanya orang lain itu, yang
menurut kata POMPE “bijdragebaan het sraftbare feit, voorzover zij niet bestaan in
het plegen.” Memberi bantuan tapi tidak membuat, maka peristiwa pidana itu
mungkin dilakukan sebagai contoh : A hendak mencuri barang yang disimpan dalam
suatu ruangan yang tertutup (misalnya gudang yang sedang tertutup) tetapi baru saja
17
Barda Nawawi Arief, op.cit, h. 22.
18
Soedjono Dirdjosiswono, 1976, Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung,
(selanjutnya disingkat Soedjono Dirdjosiswono I), h. 35.
14
dapat dimasuki ruangan tertutup itu dan mengambil barang tersebut, sesudah B
penjaga ruangan tertutup itu membuka pintunya bagi si A. Jadi jelas bahwa, tanpa
turut sertanya si B itu maka peristiwa pidana yang kita kenal dengan “Pencurian”
tidak dapat terjadi yaitu tidak dapat dilakukan oleh A.
Pelajaran umum turut serta ini adalah buah pikiran Von Feurbach sarjana hukum
bangsa Jerman yang terkenal, yang menyatakan bahwa adanya dua jenis peserta, yaitu
:
a. Mereka yang langsung berusaha terjadinya peristiwa pidana.
b. Mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka yang
disebut pada a, yaitu mereka yang tidak langsung berusaha.
Mereka yang termasuk golongan pertama disebutVon FeurbachAuctores atau
Urheber, sedangkan yang termasuk golongan yang kedua disebutnya : Gehilfe.
Urheber adalah yang melakukan inisiatif atau Gehilfe adalah yang membantu saja.
Dengan pembagian dalam dua golongan inilah yang juga diterima oleh KUHP kita
yang diatur dalam Pasal 55 disebut sebagai mereka yang termasuk golongan Urheber :
yang melakukan (pleger), yang menyuruh untuk melakukan (Doen pleger), yang turut
melakukan (Medepleger) dan yang membujuk melakukan (uitlokker) sedangkan
dalam Pasal 56 disebut mereka yang menjadi Gehilfe yaitu yang membantu
melakukan (Medeplechtige).
Perlu ditegaskan disini bahwaa KUHP tidak mengenal pembagian turut serta dalam
dua golongan itu, seperti yang telah saja dikemukakan diatas tadi.KUHP pidana
membagi antar “Pembuat” dan “Pembantu”.
Sehubungan dengan ini, Utrecht20
mengatakan bahwa “Pelajaran umum turut serta ini
dibuat untuk menghukum mereka yang bukan melakukan atau bukan
pembuat.”Pelajaran umum turut serta ini justru tidak dibuat untuk menghukum orang-
15
orang yang perbuatannya memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana yang
bersangkutan.Pelajaran ini justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban atas
dilakukannya peristiwa pidana itu. Karena tanpa turut sertanya mereka sudah tentu
peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi.Inilah rasio Pasal 55 KUHP pidana. Memang
dalam prakteknya tindak pidana yang diselesaikan oleh bergabunggnya beberapa atau
banyak orang, yang setiap orang melakukan wujud-wujud tingkah laku tertentu, dari
tingkah laku mereka inilah melahirkan suatu tindak pidana. Pada persitiwa senyatanya
kadang sulit dan kadang juga mudah untuk menentukan siapa diantara mereka
perbuatannya benar-benar telah memenuhi rumusan tindak pidana, artinya dari
perbuatannya yang melahirkan tindak pidana itu.
Dengan segala keterangan diatas telah dapat diperoleh tentang apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan penyertaan. Penyertaan (Deelneming) adalah
pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta / terlibatnya orang atau orang-
orang baik secara fisik maupun psikis dengan melakukan masing-masing perbuatan
sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama
yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka yang berbeda
satu dengan yang lain, demikian juga bias tidak sama apa yang ada di dalam sikap
batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari
perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itulah terjalin hubungan yang
sedemikian erat, dimana perbuata yang satu menunjang perbuatan oleh lainnya yang
semuanya mengarah pada satu yaitu terwujudnya tindak pidana.
Oleh karena itu berbeda perbuatan antara masing-masing peserta yang terlibat, sudah
barang tentu peranan atau andil yang timbul dari setiap atau beberapa perbuatan oleh
masing-masing orang itu juga berbeda.
16
c. Tindak Pidana
Kehidupan mnusia tidak pernah lepas dari persinggungan atau interaksi antar sesama
manusia, karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia
lainnya.Sudah merupakan sifat dasar manusia untuk bertindak egois, apabila sifat
tersebut terus menerus dibiarkan maka yang terjadi adalah ketidak beraturan yang
merupakan salah satu sebab terjadinya kehancuran. Oleh karenanya manusia
membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hak dan kewajiban antar manusia satu
dengan yang lainnya.Untuk mencegah kehancuran sangat penting menentukan
perbuatan-perbuatan yang pantang atau yang tidak boleh dilakukan, dan perbuatan
tersebut sering disebut perbuatan pidana.
Istilah tindak pidana, sering dipergunakan oleh Kementrian Kehakiman RI dan
dipakai dalam Peraturan Perundang-Undangan.Kata tindak lebih pendek dari kata
perbuatan, karena kata tindak tidak menunjukan hal yang abstrak seperti perbuatan
melainkan menunjukan hal yang kongkrit.19
Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dan
larangan mana disertai dengan sanksi (ancaman) berupa pidana tertentu bagi siapa
yang melanggar larangan tersebut.20
Sedangkan menurut Wirjono, mengatakan
bahwa tindak pidana atau dalam bahasa belandanya disebut strafbaar feit atau delict
adalah istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yang sekarang berlaku di Indonesia. Tindak Pidana atau Strafbaar Fiet atau Delict
berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana dan pelaku ini
dapat dikatakan sebagai subyek tindak pidana.21
19
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rieneka Cipta Jakarta, h. 54
20 Ibid, h.55
21
Wirjono Prodjodikoro, 2008, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama Bandung, h.58
17
d. Pertanggung jawaban Pidana
Melawan hukum sebagai terjemahan onrechtmatige atau wederrechtelijk, atau dari
bahasa Inggris unlawful.Terminologi wederrechtelijk digunakan dalam bidang hukum
pidana, sedangkan onrechtmetige digunakan dalam bidang hukum
perdata3.Penggunaan terminologi wederrechtelijk dalam hukum pidana, berimplikasi
bahwa tindak pidana (strafbaar feit) dalam hukum pidana pada intinya adalah feit
yang wederrechtelijk atau perbuatan yang melawan hukum.
Mengenai pengertian wederrechtelijk, para ahli hukum pidana telah memberikan arti
yang berbeda-beda, sehingga oleh Van Hamel, dari pengertian yang berbeda-beda itu
kemudian dikelompokkan kedalam 2 (dua) kelompok pendapat, yaitu kelompok
dengan paham positif dan kelompok dengan paham negatif.
1. Kelompok dengan paham positif dianut oleh Simons dan Noyon.
Simons mengartikan wederrechtelijk sebagai in strijd met het recht (bertentangan
dengan hukum), sedangkan Noyon mengartikan wederrechtelijk sebagai met krenking
van eens anders recht (dengan melanggar hak orang lain)4.
2. Kelompok dengan paham negatif dianut oleh Hoge Raad.
Hoge Raad dengan paham negatifnya mengartikan wederrechtelijk sebagai niet
steunend op het recht (tidak berdasarkan hukum) ataupun sebagai zonder bevoegdheid
(tanpa hak)5.
Dari pendapat Simons yang mengartikan wederrechtelijk sebagai in strijd met het
recht di atas, menurut Pompe hal itu mempunyai pengertian yang luas, artinya tidak
saja sebagai in strijd met het wet (bertentangan dengan undang-undang) tetapi juga
termasuk ke dalam pengertian bertentangan dengan peraturan-peraturan yang tidak
tertulis. Pemberian pengertian menurut Pompe diatas sama halnya dengan pemberian
18
pengertian terhadap onrechtmatig dalam Pasal 1365 BW berdasarkan arrest Hoge
Raad tanggal 31 Januari 1919 yang mengartikan onrechtmatig tidak saja bertentangan
dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis
berupa perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan
Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah
hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa
I…Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and
other is legally subjeced to the exaction.”22
Pertangungjawaban pidana di artikan
Pound adalahsebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di
terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan,23
menurutnya juga bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah
hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun
kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “toereken-
baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggungjawaban pidana
disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di
pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukanya
itu.24
Pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
22
Roscoe Pound 2000. “Introduction to the Phlisophy of Law”Mandar Maju Bandung, h.65
23
Ibid.
24
S.R Sianturi 1996, .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Jakarta. :Alumni
Ahaem-Peteheam, h. 245
19
1. Kemampuan bertanggung jawab
Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang yang
melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan
menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan
jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga
dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat
mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran – ukuran yang di anggap baik oleh
masyarakat.25
Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus
ada hal-hal sebagai berikut:
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk;
sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal)
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan
buruknya perbuatan tadi. (faktor perasaan/kehendak)
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran – ukuran
tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakan
pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4
KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit
berubah akal tidak boleh di hukum
25
Andi Hamzah, 1986,Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia Indonesia, h.
78
20
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena
kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh
memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk
di periksa.
3. Yang di tentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung,
Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.
Keterangan-keterangan Alf Ross yang dikutip Roeslan Saleh lebih jauh menegaskan
tentang pertanggungjawaban itu dinyatakan adanya hubungan antara kenyataan-
kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang disyaratkan.
Perlu diingat kembali perbedaan mendasar dari tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana :“Dasar Adanya Tindak Pidana Adalah Asas Legalitas,
Sedangkan Dasar Dapat Dipidananya Pembuat Tindak Pidana Adalah Asas
Kesalahan.”
Perlu diingat kembali tentang Unsur-unsur tindak pidana, yaitu :
1) Perbuatan
2) Melawan hukum
3) Dilakukan dengan kesalahan (asas kesalahan : kesengajaan (dolus) & kealpaan
(culpa))
4) Patut dipidana
Menurut Roeslan Saleh yang mengikuti pendapat Moelijatno bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan
adalah :
21
1) Mampu bertanggung hawab
2) Mempunyai kesengajaan atau kealpaan
3) Tidak adanya alasan pemaaf
Menurut Sudarto, ada dua aliran yang selama ini dianut, terkait dengan tindak pidana,
yaitu :
1. Kaum indeterminis (penganut indeterminisme), yang pada dasarnya berpendapat,
bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala
keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan;
apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada
pemidanaan.
2. Kaum determinis(penganut determinisme) mengatakan, bahwa manusia tidak
mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak
(dalam arti nafsu-nafsu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-
motif, ialah perangsang-perangsang datang dari dalam atau dari luar yang
mengakibatkan watak tersebut. ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dicela atas
perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia tidak punya kehendak
bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti
bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.26
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan, tekhnologi serta seni.Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu
26
Sudarto, op.cit. h. 16
22
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan
jalan menganalisisnya. Oleh karena itulah penelitian hukum merupakan suatu
penelitian didalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.27
Agar
suatu penelitian dapat bersifat obyektif maka dalam mengambil kesimpulan harus
berpedoman pada metode penelitian.Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang
berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis.28
a. Jenis Penelitian
Pengkajian mengenai Abortus dalam perspektif Hukum Pidana dan Hukum Kesehatan
dengan menggunakan penelitian Hukum Normatif. Penelitian Hukum Normatif juga
disebut Penelitian Hukum Doktrin atau juga disebut Penelitian Perpustakaan atau
Studi Dokumen. Disebut sebagai penelitian Hukum Doktriner karena penelitian ini
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-
bahan hukum lainnya.Dikatakan sebagai Penelitian Perpustakaan ataupun Studi
Dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat
skunder yang ada di perpustakaan.29
b. Jenis Pendekatan.
Dalam penelitian pendekatan merupakan fokus dan sudut pandang peneliti dalam
menjawab masalah atau isu yang dikemukakan. Nilai ilmiah suatu pembahasan dan
pemecahan masalah terhadap legal issu yang akan diteliti sangat tergantung pada cara
pendekatan yang digunakan. Jika cara pendekatan tidak tepat, maka bobot penelitian
27
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cet ke VI, Kencana Prenata Media Group, Jakarta,
h. 8
28 Soejono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Pres, Jakarta, h. 42
29
Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika Jakarta, h. 13-14.
23
tidak akurat dan kebenarannyapun dapat digugurkan.30
Suatu penelitian normatif tentu
harus menggunakan pendekatan. Johnny Ibrahim membagi pendekatan dalam
penelitian hukum menjadi 7 (tujuh) yaitu:31
- Pendekatan perundang-undangan (Statue Approach)
- Pendekatan konsep (Conseptual Approach)
- Pendekatan Analitis (Analytical Approsch)
- Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)
- Pendekatan Historis (Historical Approsch)
- Pendekatan Filsafat (Philosofical Approach)
- Pendekatan Kasus (Case Approach)
Dari beberapa pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian
hukum ini adalah pendekatan undang-undang (Statue Approach) dan pendekatan
Analisis (Analytical Approach). Pendekatan perundang-undangan (Statue Approach)
digunakan, karena yang akan diteliti adalah beberapa aturan hukum yang menjadi
fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.32
Dalam penelitian ini aturan hukum
yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3495), yang telah diperbaharui dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5053) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Melalui pendekatan ini akan dilihat fakta-fakta yang ada dilapangan atas masalah
yang dikaji dan selanjutnya dikaitkan dengan Undang-Undang Kesehatan dan KUHP.
30
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Cet ke II, CV Bayumedia
Publishing, Malang, h.299 31
Ibid, h. 300 32
Ibid, h.302
24
Dari pengkajian tersebut dapat dilihat apakah ada benturan norma (norma
bertentangan), norma kabur atau norma kosong.
Pendekatan selanjutnya yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
analisis. Pendekatan analisis, dipergunakan secara terbatas yaitu hanya terhadap
peraturan perundang-undangan (tertulis) yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992
jo Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan KUHP yang terkait
dengan masalah yang akan diteliti, selanjutnya akan diuraikan secara deskriptif
dengan menelaah, menjelaskan, memaparkan, menggambarkan serta menganalisis
permasalahan atau isu hukum yang diangkat, seperti apa yang telah dirumuskan dalam
perumusan masalah.
c. Sumber Bahan Hukum.
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, mengatakan bahwa suatu penelitian hukum
normatif mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer (bahan-bahan hukum
yang bersifat mengikat), bahan hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan humum primer) dan bahan hukum tertier (bahan hukum
yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder)33
Dalam penelitian hukum, dari ketiga bahan hukum tersebut hanya data sekunder
yang memiliki kekuatan mengikat kedalam.34
Sedangkan bahan hukum primer yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan rumusan masalah yaitu :
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan.
33
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.13
34
Bambang Sunggono, 2006, Metodelogi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.113
25
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Bahan Hukum Sekunder, yang dimaksudkan disini adalah data yang diambil sebagai
penunjang atau bahan banding guna memahami data primer ataubahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.35
Data Sekunder yang
penulis gunakan dalam penelitian ini ditemukan dalam berbagai sumber yaitu bahan-
bahan kepustakaan yang erat hubungannya dengan bahan primer seperti rancangan
undang-undang, skrepsi yang erat kaitannya dengan obyek yang diteliti, hasil
penelitian dan karya ilmiah dari kalangan akhli hukum, pendapat para pakar atau
semua buku-buku atau data tersurat yang penulis anggap dapat menunjang proses
penelitian.
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum berupa kamus Bahasa Indonesia, Kamus
hukum, dan Internet yang berhubungan dengan penulisan Skrepsi ini. Dalam
penelitian ini karena terbatasnya buku-buku karya ilmiah tentang aborsi dari para
pakar maka penulis akan lebih banyak mempergunakan bahan hukum tersier dari
situs internet
d. Tekhnik Pengumpulan Bahan Hukum.
Tekhnik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
studi pustaka. Kegiatan studi pustaka dilakukan dengan mengikuti tahan penentuan
sumber data sekunder (sumber primer dan sumber sekunder), lalu mengidentifikasi
data sekunder yang diperlukan, kemudian data yang relevan dengan rumusan
masalah diinventariskan dengan cara pengutipan atau pencatatan, terakhir data yang
sudah terkumpul dikaji guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan
35
Amirudin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Jakarta,
h.119
26
rumusan masalah.36
Setelah dilakukan studi pustaka, kemudian dilanjutkan dengan
kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum. Kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum ini
dilakukan dengan cara mengutup kepustakaan yang berhubungan dengan praktek
aborsi atau pengguguran kandungan.
e. Tekhnik Analisis Bahan Hukum.
Analisis data dilakukan secara kualitatif, komprehenshif dan lengkap. Analisis
kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang
teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan
interpretasi data dan pemahaman hasil analisis. Komprehenshif artinya analisis data
secara mendalam dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian, lengkap
artinya tidak ada bagian yang terlupakan, semua sudah termasuk dalam analis.37
36 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya, Bandung, h.125
37
Ibid, h.127
27
28