5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Gastritis
2.1.1 Pengertian Gastritis
Gastritis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai di
klinik penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari. Gastritis adalah proses inflamasi
pada mukosa dan submukosa lambung atau gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh faktor iritasi dan infeksi. Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan
adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut (Hirlan, 2009).Gastritis
adalah suatu keadaan peradangan atau peradangan mukosa lambung yang bersifat
akut, kronis, difus dan lokal. Ada dua jenis gastritis yang terjadi yaitu gastritis
akut dan kronik (Price dan Wilson, 2005).
2.1.2 Epidemiologi
Untuk memperoleh data tentang insiden gastritis dikalangan masyarakat
banyak, merupakan hal yang sukar dan belum dapat dilaksanakan. Penelitian dan
pengamatan yang dilakukan angka kejadian gastritis pada beberapa daerah di
Indonesia cukup tinggi dengan prevalensi 274.396 kasus dari 238.452.952 jiwa
penduduk (Depkes, 2009). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Malang,
pada tahun 2013 jumlah penderita gastritis mengalami peningkatan sebesar 21.444
yang terdiri dari 7.024 laki-laki dan 14.420 perempuan dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya (Dinkes, 2013).
2.1.3 Etiologi
Menurut Muttaqin (2011) Penyebab dari gastritis antara lain :
(1) Obat-obatan, seperti obat antiinflamasi nonsteroid/ OAINS indometasin,
ibuprofen, dan asam salisilat, sulfonamide, steroid, kokain, agen
kemoterapi (mitosin, 5-fluora-2-deoxyuriine) dan digitalis bersifat
mengiritasi mukosa lambung.
6
(2) Infeksi bakteri seperti spesies, clostridium spesies, E.coli, tuberculosis, dan
secondary syphilis.
(3) Infeksi virus oleh Sitomegalovirus.
(4) Infeksi jamur seperti candidiasis, histoplasmosis, dan phycomycosis
(5) Stress fisik yang disebabkan oleh luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan,
gagal nafas, gagal ginjal, kerusakan sususan saraf pusat, dan refluks usus-
lambung.
(6) Makanan dan minuman yang bersifat iritan, makanan berbumbu dan minuman
denggan kandungan kafein dan alkohol merupakan agen-agen iritasi mukosa
lambung.
(7) Garam empedu, terjadi pada kondisi refleks garam empedu (komponen
penting alkali untuk aktivitasi enzim-enzim gastrointestinal) dari usus kecil ke
mukosa lambung sehingga menimbulkan respon peradangan mukosa.
(8) Iskemia, hal ini berhubung dengan akibat penurunan aliran darah ke lambung.
2.1.4 Patofisiologi
Proses terjadinya gastritisa atau mag yaitu awalnya karena obat-obatan,
alkohol, empedu atau enzim-enzim pankreas yang dapat merusak mukosa lambung
menggangu pertahanan mukosa lambung dan memungkinkan difusi kembali asam
dan pepsin ke dalam jaringan lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respon
mukosa lambung terhadap kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan
regenerasi mukosa, karena itu gangguan-gangguan tersebut seringkali menghilang
dengan sendirinya. Dengan iritasi yang terus menerus, jaringan menjadi meradang
dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat seperti asam dan basa kuat yang
bersifat korosif dapat mengakibatkan peradangan pada dinding lambung (Priyanto,
2008).
7
Gambar 2. 1Skema Patofisiologi gastritis
(Diadaptasi dari : Lewis, Heitkemper & Dirksen, 2000)
2.1.5 Klasifikasi Gastritis
Berdasarkan tingkat keparahan gastritis dibagai menjadi dua jenis, yaitu :
↑ Faktor Ofensif
OAINS, Obat kortikosteroid, alkohol, radiasi, Helicobacter
pillory, Bile refluks , sekresi pankreas, merokok, stress
fisiologis, irritating food, dan stress psikologis.
Difusi balik asam lambung dan pepsin ke mukosa
Me↓barrier lambung terhadap asam dan pepsin dan
Kerusakan mukosa lambung
↓ Faktor Defensif
Mukus bikarbonat, sel epitel mukosa dan mikrosirkulasi
darah
Stimulasi konversi pepsinogen → pepsin
Stimulasi histamin
Perdarahan
Pembengkakan jaringan dan kerusakan dinding kapiler
Episode berlanjut
Gastritis kronis
8
1. Gastritis Akut
Gastritis akut adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung
yang akut dengan kerusakan erosi pada bagian superfisial. Pada gastritis
ditemukan sel inflamasi akut dan neutrofil mukosa edema, merah dan terjadi
erosi kecil dan perdarahan (Price dan Wilson, 2005). Gastritis akut terdiri
dari beberapa tipe yaitu gastritis stres akut, gastritis erosif kronis, dan
gastritis eosinofilik. Semua tipe gastritis akut mempunyai gejala yang sama.
Episode berulang gastritis akut dapat menyebabkan gastritis kronik
(Wibowo, 2007).
2. Gastritis kronik
Gastritis kronik adalah suatu peradangan permukaan mukosa
lambung yang bersifat menahun sering bersifat multifaktor dengan
perjalanan klinik bervariasi (Wibowo, 2007). Gastritis kronik ditandai
dengan atropi progresif epitel kelenjar disertai hilangnya sel parietal dan
chief cell di lambung, dinding lambung menjadi tipis dan permukaan
mukosa menjadi rata. Gastritis kronik diklasifikasikan dengan tiga
perbedaan yaitu gastritis superfisial, gastritis atropi dan gastritis hipertropi
(Price dan Wilson, 2005).
(a) Gastritis superfisial, dengan manifestasi kemerahan, edema, serta
perdarahan dan erosi mukosa
(b) Gastritis atropi, dimana peradangan terjadi pada seluruh lapisan
mukosa. Pada perkembangannya dihubungkan dengan ulkus dan
kanker lambung, serta anemia pernisiosa. Hal ini merupakan
karakteristik dari penurunan jumlah sel parietal dan sel chief
(c) Gastritis hipertropi, suatu kondisi dengan terbentuknya nodul nodul
pada mukosa lambung yang bersifat irregular, tipis dan hemoragik.
2.1.6 Gejala gastritis
Severance dalam Anggita (2012) menyatakan bahwa walaupun banyakkondisi
yang dapat menyebabkan gastritis, gejala dan tanda–tanda penyakit ini sama satu
dengan yang lainnya. Gejala tersebut antara lain perih atau sakit seperti terbakar pada
9
perut bagian atas dan dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk ketika makan, mual,
muntah, kehilangan selera makan, kembung, terasa penuh pada bagian atas setelah
makan, dan kehilangan berat badan.
Beberapa perbedaan gejala yang terjadi pada gastritis akut dan gastritis
kronik. Pada gastritis akut gejala yang sering terlihat adalah mual–mual dan rasa
terbakar di lambung serta adanya rasa tidak enak di lambung bagian atas. Sedangkan
pada gastritis kronik gejala yang sering terlihat adalah adanya rasaperih dan rasa
penuh di lambung serta kehilangan nafsu makan sehingga hanya mampu makan
dalam jumlah sedikit.
Pada beberapa kasus gastritis akan menyebabkan lambung berdarah, tetapi
tidak parah. Perdarahan lambung dapat dikeluarkan lewat mulut (muntah darah)
ataupun terjadi berak darah. Apabila pertolongan terlambat dilakukan maka hal fatal
akan terjadi (Yuliarti, 2009)
2.1.7 Manifestasi Klinik Gastritis
Menurut Dr.Ari Fajial Syam (2011), Gejala-gejala sakit gastritis yaitu rasa
perih pada lambung atau pada ulu hati yang disertai dengan mual atau kembung dan
sendawa atau cepat merasa kenyang dan rasa pahit yang dirasakan dalam mulut. Rasa
pahit ini timbul karena asam lambung yang berlebihan mendorong naik ke
kerongkongan sehingga kadang kala timbul rasa asam ataupun pahit pada
kerongkongan dan mulut (Erviana, 2013).
Walaupun banyak kondisi yang dapat menyebabkan gastritis, gejala dan tanda
penyakit ini sama antara satu dengan yang lainnya. Gejala-gejala tersebut antara lain
perih atau sakit seperti terbakar pada perut bagian atas yang dapat menjadi lebih baik
atau lebih buruk ketika makan, mual, muntah, kehilangan selera makan, kembung,
terasa penuh pada perut bagian atas setelah makan dan kehilangan berat badan
(Severance, 2001).
Banyak orang dengan gastritis yang tidak memiliki gejala. Namun, beberapa
orang juga mengalami gejala seperti:
10
(a) Ketidaknyamanan perut bagian atas atau sakit
(b) Mual
(c) Muntah
Gejala-gejala ini juga disebut dipepsia, gastritis erosif dapat menyebabkan
bisul atau erosi pada lapisan perut yang berdarah. Tanda-tanda pendarahan di perut
termaksud (NIDDK, 2010):
(a) Muntah darah
(b) Feses berwarna hitam
(c) Feses terdapat darah
2.1.7 Komplikasi
Menurut Mansjoer, 2001 komplikasi yang terjadi pada gastritis, yaitu :
1. Perdarahan saluran cerna bagian atas, yang merupakan kedarurat akut medis
terkadang perdarahan yang terjadi cukup dapat menyebabkan kematian.
2. Ulkus, jika prosesnya hebat.
3. Gangguan cairan dan elektrolit pada kondisi muntah hebat.
2.1.8 Faktor Resiko Gastritis
Menurut Brunner &Suddarth (2000) faktor-faktor resiko yang sering
menyebabkan gastritis diantanya :
1. Frekuensi makan
Orang yang memiliki frekuensi makan tidak teratur mudah terserang
penyakit gastritis. Menurut Rahmawati (2010) juga menyatakan bahwa sikap dan
tindakan makan, salah satunya frekuensi makan, berpengaruh signifikan terhadap
kekambuhan gastritis. Hal tersebut sejalan dengan Uripi (2001) yang
menyatakan bahwa kasus gastritis diawali dengan pola makan yang tidak teratur
sehingga asam lambung meningkat, produksi HCl yang berlebihan dapat
menyebabkan gesekan pada dinding lambung dan usus halus, sehingga timbul
nyeri epigastrum.
2. Rokok
11
Nikotin dalam rokok dapat menghilangkan rasa lapar, itu
sebabnyaseseorang menjadi tidak lapar karena merokok. Sehingga
akanmeningkatkan asam lambung dan dapat menyebabkan gastritis.
3. Kopi
Zat yang terkandung dalam kopi adalah kafein, kafein ternyata dapat
menimbulkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat (otak), sistem
pernafasan, sistem pembuluh darah dan jantung. Oleh sebab itu tidak heran
setiap minum kopi dalam jumlah wajar (1-3 cangkir), tubuh kita terasa segar,
bergairah, daya piker lebih cepat, tidak mudah lelah atau mengantuk. Kafein
dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat sehingga dapat meningkatkan
aktivitas lambung dan sekresi hormone gastrin pada lambung dan pepsin. Sekresi
asam yang meningkatkan dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa
lambung sehingga menjadi gastritis.
4. Alkohol
Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung
dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asamlambung walaupun
pada kondisi normal.
5. Terlambat makan
Secara alami lambung terus memproduksi lambung setiap waktu dalam
jumlah yang kecil. Setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa dalam
darah telah banyak terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar
dan pada saat itu jumlah asam lambung terstimulus. Bila seseorang telat makan
2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi semakin banyak dan berlebih
sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa nyeri
disekitar epigastrium (Sediaoetama, 2004).
6. Makanan pedas
Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem
pencernaan, terutama lambung dan usus. Hal ini akan mengakibatkan rasa panas
dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Gejala tersebut
membuat penderita semakin berkurang nafsu makannnya. Bila kebiasaan
12
mengkonsumsi makanan pedas lebih dari 1x dalam seminggu selama minimal 6
bulan dibiarkanterus menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang
disebut dengan gastritis (Sediaoetama, 2004).
7. Makanan beresiko
Makanan beresiko yang dimaksud adalah makanan yang terbukti berhubungan
dengan kejadian gastritis, yaitu makanan asam, makanan yang digoreng, makanan
berlemak, dan makanan yang menggunakan bahan penyedap yang berlebihan.
Makanan beresiko ini dapat memperlambat pengosongan lambung karena susah
dicerna. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan peregangan di lambung yang
akhirnya dapat meningkatkan asam lambung. Selain itu makanan yang digoreng
dan berlemak dapat melemahkan klep kerongkongan bawah sehingga
menyebabkan cairan lambung dapat naik ke kerongkongan (Sherwood, 2001).
8. Stress
Stres fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau infeksi
berat dapat menyebabkan gastritis, ulkus serta pendarahan pada lambung. Hal ini
disebabkan oleh penurunan aliran darah termasuk pada saluran pencernaan
sehingga menyebabkan gangguan pada produksi mukus dan fungsi sel epitel
lambung (Price & Wilson, 2003; Wibowo, 2007).
2.1.9 Penatalaksanaan Pengobatan Gastritis
Tujuan utama dalam pengobatan gastritis ialah menghilangkan nyeri,
menghilangkan inflamasi dan mencegah terjadinya ulkus peptikum dan komplikasi.
Berdasarkan patofisiologisnya terapi farmakologi gastritis ditujukan untuk menekan
faktor agresif (asam lambung) dan memperkuat faktor defensif (ketahanan mukosa).
Sampai saat ini pengobatan ditujukan untuk mengurangi asam lambung yakni dengan
cara menetralkan asam lambung dan mengurangi sekresi asam lambung. Selain itu,
pengobatan gastritis juga dilakukan dengan memperkuat mekanisme defensif mukosa
lambung dengan obat-obat sitoproteksi (Dipiro et al, 2008).
13
2.1.9.1 Terapi Non farmakologi
Terapi non farmakologi adalah bentuk pengobatan dengan cara pendekatan,
edukasi dan pemahaman tentang penyakit maag. Edukasi kepada pasien/ keluarga
bertujuan untuk meningkatakan pemahaman (mengenai penyakit maag secara umum
dan pola penyakit maag itu sendiri).
2.1.9.2 Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi adalah terapi yang menggunakan obat. Obat -obat
yangdigunakan dalam terapi gastritis terdiri dari 4 golongan obat. Golongan pertama
yakni antasida yang bekerja menetralisir keasaman lambung yang terdiri dari
senyawa aluminium, magnesium, kalsium karbonat dan natrium bikarbonat (Tjay dan
Rahardja, 2008). Kedua adalah obat penghambat sekresi asam lambung meliputi
Antagonis-H2.Antagonis-H2 adalah senyawa yang mengahambat secara bersaing
interaksi histamin dengan reseptor H2sehingga dapat mengahambat sekresi asam
lambung. Ketiga yakni golongan analog prostaglandin E1 (Estuningtyas & Azalia,
2007). Keempat adalah golongan pelindung mukosa terdiri atas sucralfat yang
bekerja membentuk kompleks ulser adheren dengan eksudat protein seperti albumin
dan fibrinogen pada sisi ulser dan melindunginya dari asam lambung, membentuk
barier viskos pada permukaan mukosa di lambung dan duodenum, serta menghambat
aktivitas pepsin dan membentuk ikatan garam dengan empedu. Sucralfat sebaiknya
dikonsumsi pada saat perut kosong untuk mencegah ikatan dengan protein dan fosfat
(Hasanah, 2007).
2.2 Swamedikasi
2.2.1 DefinsiSwamedikasi
Pengobatan sendiri atau swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat
modern, herbal maupun tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit
atau gejala penyakit (Hermawati, 2012). Swamedikasi juga didefinisikan sebagai
penggunaan obat oleh pasien atas keinginan sendiri tanpa konsultasi petugas medis.
Swamedikasi harus dilakukan dengan tepat dan terkontrol karena banyak
permasalahan terkait swamedikasi seperti meningkatnya angka resistensi pada
penggunaan antibotik (Verma, 2010).Sedangkan menurut The International
14
Pharmaceutical Federation (FIP) swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan
penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas inisiatifnya sendiri
tanpa konsultasi dari petugas medis (Nita et.al, 2008).
Tujuan swamedikasi adalah untuk peningkatan kesehatan, pengobatan sakit
ringan dan pengobatan rutin penyakit kronis setelah perawatan dokter. Sementara itu,
peran pengobatan sendiri adalah untuk menanggulangi secara cepat dan efektif
keluhan yang memerlukan konsultasi medis, serta meningkatkan.
2.2.2 Faktor- faktor yang Mempengaruhi Tindakan Swamedikasi
Menurut WHO ( 1988) , Praktek swamedikasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain :
1. Faktor Sosial Ekonomi
Dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan kemudahan akses dalam
mendapatkan informasi, dipadu dengan meningkatnya kepentingan individu
dalam menjaga kesehatan diri, akan meningkatkan pemberdayaan masyarakat
untuk berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan terhadap masalah
perawatan kesehatan.
2. Gaya Hidup
Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap dampak dari gaya hidup
tertentu seperti menghindari merokok dan pola diet yang seimbang untuk
memelihara kesehatan dan mencegah terjadinya penyakit.
3. Kemudahan Memperoleh Produk Obat
Konsumen lebih nyaman memeilih obat yang bisa diperoleh dengan
mudah dibandingkan dengan harus menunggu lama di klinik ataupun di tempat
fasilitas kesehatan lainnya.
4. Faktor Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat
Dengan menjaga kebersihan, pemilihan nutrisi yang tepat, tersedianya air
bersih dan sanitasi yang baik, akan memberikan kontribusi dalam membangun
dan menajaga kesehatan masyarakat serta mencegah terjangkitnya penyakit.
15
5. Ketersediaan Produk Baru
Saat ini telah banyak dikembangkan produk baru yang dirasa lebih efektif
dan dianggap sesuai untuk pengobatan sendiri.
2.2.3 Penggunaan Obat Rasional
Batasan pengunaan obat rasional adalah bila memenuhi beberapa kriteria ,
antara lain (Kemenkes RI, 2011) :
1. Tepat diagnosis, penggunaan obat disebut rasional jika diberian untuk
diagnosis yang tepat.
2. Tepat indikasi penyakit, setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik
sehingga dalam pengenalan penyakit yang dialami harus tepat.
3. Tepat obat, dalam penggunaan obat secara swamedikasi hendaknya setiap
individu memilih obat yang sesuai dengan keluhan yang dialami dan
mengetahui indikasi dari obat yang diminum.
4. Tepat dosis, dalam penggunaan obat secara swamedikasi hendaknya setiap
individu tahu dengan benar cara pemakaian, aturan pakai dan jumlah obat
yang digunakan. Hal ini dapat berpengaruh pada efek terapi yang ingin
dicapai. Pemberian dosis yang berlebihan beresiko timbulnya efek samping
khususnya obat yang memiliki rentang terapi yang sempit.
5. Tepat masa terapi, dalam penggunaan obat secara swamedikasi mengetahui
waktu kapan untuk menggunakan dan menghentikan penggobatannya bisa
dengan meminta bantuan dari tim medis apabila dirasa keluhan tidak
berkurang.
6. Tepat cara pemberian, setiap obat dengan bentuk sediaan yang berbeda
memiliki cara pemberian yang berbeda. Misalnya obat antasida yang
seharusnya dikunyah terlebih dahulu baru ditelan, antibiotik yang tidak boleh
diminum dengan susu karena dapat menurunkan efektivitasnya.
7. Tepat interval waktu pemberian, obat hendaknya dibuat sesederhana
mungkin dan praktis, agar pasien patuh dalam mengkonsumsi obat.
16
8. Tepat lama pemberian, lama pemberian obat harus disesuikan dengan
penyakit masing- masing, hal ini dikarenakan akan berpengaruh pada hasil
pengobatan.
9. Waspada terhadap efek samping, pemberian obat potensial menimbulkan
efek samping atau efek yang tidak diinginkan timbul pada pemberian dosis
terapi.
10. Tempat penilaian kondisi pasien, respon setiap individu terhadap efek obat
sangat beragam sehingga ada beberap kondisi khusus yang harus
dipertimbangkan sebelum pemberian atau penggunaan obat, misalnya pada
ibu hamil, anak- anak, lansia, dll.
11. Tepat informasi, meruapakan salah satu penunjang keberhasilan terapi
sehingga informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat
penting.
12. Obat yang diberikan efektif, aman, mutu terjamin, dan harga terjangkau,
untuk nilai efektif, aman serta terjangkau pemilihan obat dalam daftar obat
esesnial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan
harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis. Sedangkan untuk
jaminan, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara
Pembuatan Obat yang Baik).
13. Tepat tindak lanjut, apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit
berlanjut atau timbul efek samping segera berkonsultasi ke dokter.
14. Tepat penyerahan obat, penggunaan obat yang rasional melibatkan
penyerahan obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke
apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas akan dipersiapkan obatnya
dan diserahkan kepada pasien dengan informasi yang tepat.
15. Kepatuhan pasien terhadap perintah pengobatan yang diberikan,
ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi obat terjadi pada keadaan tertentu,
misalnya: jenis sediaan obat beragam, jumlah obat terlalu banyak, frekuensi
pemberian obat per hari terlalu sering, pemberian obat dalam jangka panjang
17
tanpa informasi, pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai
cara menggunakan obat, dan timbulnya efek samping.
2.2.4 Penggolongan Obat yang Digunakan dalam Swamedikasi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 949/
Menkes/ Per/ 2000, penggolongan obat berdasarkan keamanannya meliputi Obat
Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Wajib Apotek, Obat Keras, Obat Psikotropika dan
Obat Narkotika. Namun, obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi atau sering
disebut sebagai obat-obatan over-the-counter (OTC) yang diperoleh tanpa resep
dokter adalah Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan Obat Wajib Apotek.
2.2.4.1 Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas dan tidak membahayakan bagi
pemakai dalam batas dosis yang dianjurkan, diberi tanda lingkaran bulat berwarna
hijau dengan garis tepi berwarna hitam (Syamsuni, 2006).
Gambar 2. 2 Obat Bebas (Depkes 2008)
2.2.4.2 Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras, tetapi
masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda
peringatan. Obat golongan ini relatif aman selama pemakaiannya mengikuti aturan
pakai yang ada. Penandaan obat golongan ini adanya lingkaran.
Gambar 2. 3 Obat Bebas Terbatas (Depkes, 2008)
Terdapat pula tanda peringatan “P” dalam labelnya. Disebut .terbatas karena
ada batasan jumlah dan kadar isiny. Label “P” ada beberapa macam :
P no. 1
Awas! Obat Keras
Bacalah aturan memakannya
P no. 4
Awas! Obat Keras
Hanya untuk dbakar
P no. 5
Awas! Obat Keras
Tidak boleh ditelan
P no. 2
Awas! Obat Keras
Hanya untuk kumur, jangan
ditelan
18
Gambar 2. 4Tanda Peringatan Obat Bebas Terbatas (Depkes, 2006 )
2.2.4.3 Obat Wajib Apotek
Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh
apotekerkepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Menurut Kepmenkes Nomor
347/Menkes/SK/VII/1990, Pada penyerahan obat wajib apotek ini oleh Apoteker
terdapat kewajiban-kewajiban sebagai berikut (Hermawati, 2012) :
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan Obat
Wajib Apotek yang bersangkutan,
2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan,
3. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek
samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
2.3 Antasida
2.3.1 Definisi Antasida
Antasida berasal dari kata antiyaitu lawan, dan acidusyaitu asam. Antasida
adalah basa-lemah yang digunakan untuk mengikat secara kimiawi dan menetralkan
asam lambung. Efeknya adalah peningkatan pH, yang mengakibatkan berkurangnya
kerja proteolitis dari pepsin jika pH diatas 4 (optimal pada pH 2) (Tjay dan Rahardja,
2010).
2.3.2 Penggolongan Antasida
Secara klinis antasida dapat dibagi menjadi 2 golongan :
1. Antasida kuat, yaitu antasida yang mempunyai aktivitas netralisir asam yang
efektif, termasuk : Natrium bikarbonat, Kalsium karbonat dan Magnesii oksida.
2. Antasida tidak kuat, karena mempunyai kapasitas netralisasi asam lambung
relatif kecil, termasuk : semua antasida selain diatas, terutama Alumunium
P no. 3
Awas! Obat Keras
Hanya untuk bagian luar badan
P no. 6
Awas! Obat Keras
Obat wasir, jangan ditelan
19
hidroksida gel. Pemberian antasida dalam dosis yang cukup kuat mempercepat
proses pemnyebuhan pada ulkus peptikum (Munaf,1994)
Berdasarkan pengaruhnya terhadap keseimbangan asam basa dan elektrolit dalam
tubuh, antasida dibagi menjadi 2 yaitu :
(a) Antasida sistemik,yaitu antasida yang tidak membentuk kompleks yang tidak
larut dan ion-ionnya dapat diserap oleh usus halus sehingga dapat merubah
keseimbangan asam basa dan elektrolit dalam tubuh dan dapat menimbulkan
alkalosis.Misalnya natrium bikarbonat (Anwar,2000)
(b) Antasida nonsistemik, yaitu antasida yang mempunyai kation yang
membentuk senyawa-senyawa yang tidak larut dalam usus dan tidak dapat
diabsorbsi, sehingga tidak mempengaruhi kemasaman cairan dalam saluran
cerna. Contoh antasida nonsistemik adalah sediaan magnesium, aluminium,
dan kalsium (Estuningtyas dan Arif, 2007)
2.3.3 Indikasi Antasida
1. Pemberian antasida dapat mengurangi rasa nyeri pada ulkus peptikum
2. Menguragi hiperasidasi
3. Mengobati rasa panas di uluh hati
4. Mencega pembentukan batu fosfat dalam ginjal
5. Mencegah pembentukan batu /kristal obat-obat yang menyebabkan pH urin
menjadi asam
6. Efek samping antasida dapat mengobati penyakit diare (Munaf, 1994)
2.3.4 Efek Samping
Pemberian antasida dalam dosis besar secara terus menerus dapat memberikan
efek samping sebagai berikut :
1. Alkalosis ( karena dapat diserapnya kation-kation antasida ), retensi caran dan
gejala keracunan Mg dengan depresi SSP( karena diserapnya Mg) dapat
terjadi pada pemakaina antasida
2. Perubahan fungsional usus besar, dapat berupa konstipasi pada pemakaian
Ca-Carbonat ,diare paada pemakain preparat Mg, susah buang air besar akibat
pemakain hidrat garam-garam alumunium yang terdapat di dalam usus besar
20
terpisah dari tinja dan mejadi keras sehingga susah dikeluarkan. Untuk
mencegah efek samping diatas dianjurkan untuk menggunakan kombinasi
(Anwar, 2000).
2.3.5 Kandungan Antasida
Tabel II. 1 Kandungan Antasida
Nama Obat Bentuk Sediaan Efek Samping Keterangan
Alumunium
fosfat
Suspensi 4-5 %
Dosis : 15-45 mL
Anorexia
Mual
Muntah
Hipokalsemi
Ataksia
Pengikat fosfat:
mengikat fosfat
dalam saluran GI
untuk
membentuk
kompleks yang
tidak larut dan
mengurangi
penyerapan
fosfat
Alumunium
Hidroksida
30 mL PO antara
makanan dan sesuai
petunjuk
Mual
Muntah
Sembelit
Impkasi feses
Menetralkan HCl
dalam perut
untuk
membentuk
alumunium
klorida
Kalsium
Karbonat
300 mg dosis 300-600
mg.
Dosis 2-3 g/ hari tablet
0,5-0,6 g
Anorexia
Sembelit
Perut Kembang
Mual
Hiperkalsemia
Hipofosfatemia
Menetralkan
keasaman
lambung
Magnesium
Trisilikat
Taablet kekuatan
Reguler : Kunyah 2-4
tablet PO : tidak
melebihi 16 tablet
Diare
Hypermagnesemia
Mual
Muntah
Sakit kepala
Pusing
Menetralkan
keasaman
lambung,
meningkatkkan
pH lambuing.
Simetichon Dosis dewasa umumnya
40-125 mg, 4x sehari
Mual
Kelelahan
Diare
Mengurangi
gelembung gas
uadara pada
lambung
(Medscape, 2011)
21
2.3.6 Sediaan Antasida
Tabel II. 2 Sediaan Antasida di Pasaran
Nama Obat Komposisi Indikasi Dosis
Antasida Doen Alumunium
Hidroksida yang setara
dengan Alumunium
Hidroksida 200 mg dan
Magnesium Hidroksida
200 mg.
Obat sakit maag untuk
mengurangi nyeri
lambung yang
disebabkan oleh
kelebihan asam
lambung dengan gejala
speperti mual dan perih
Dewasa : sehari 3-4x
sehari 1-2 tablet
Anak-anak : 6-12
tahun sehari : 3-4x ½
tablet
Aludonna D Al- Hidroksida 200
mg, Mg-Hidroksida
200 mg dan simetikon
20 mg
Mengatasi kelebihan
asam lambung gastritis
dan menghilangkan
perut yang kembung
Dewassa: 1-2 tablet/
sendok takar
Anak-anak: 6-12 tahun
½ tablet/ sendok takar
Mylanta Hidroksida gel kering
200 mg, Mg
Hidroksida 200 mg dan
simetikon 20 mg
Mengurangi gejala yang
berhubungan dengan
kelebihan asam
lambung
Dewassa: 1-2 tablet,
sehari 3-4x sehari
Anak-anak: ½ tablet,
sehari 3-4x diminum 1
jam setelah makan
Neosanmag Fast Famotidin 10 mg, Ca-
Carbonat 800 mg,
Mg (OH)2 165 mg
Meredakan gejala yang
berhubungan dengan
kelebihan asam
lambung
Dewassa dan anak-
anak : 1 tablet
dikunyah Maksimal 2
tablet/hari
Promag Hidrotalsik 200 mg,
Mg-Hidroksida 15 mg
Simetikon
Mengatasi kelebihan
asam lambung, perut
kembung, sakit perut
dan kolik , tukak
lambung
Dewasa: 3-4x sehari
(masing-masing 2
tablet sehari)
Anak-anak: 3-4x
sehari (masing-masing
½ tablet)
Promag Double Action Famotidin 10 mg, Caa-
Carbonat 800 mg
Meredakan gejala maag Dewasa: sehari 1 tablet
2x sehari
Progastric Al- Hidroksida koloida
kering 250 mg, Mg
Hidroksida 120 g, Mg-
Trisilikat 120 mg,
simetikon 40 mg
Sehubungan dengan
hiperasiditas tukak
lambung dan duodenum
Dewasa : sehari 1-2
tablet 3x sehari
sebelum makan
Tomag Al(OH)3 200 mg
Mg(OH)2 200 mg,
simetichon 75 mg
actived
Mengurangi gejala
asam yang berlebih
Dewasa: sehari 3-2x 1-
2 kapsul.
Anak 6-12 tahun
sehari 3-4x 1/2 -1
kapsul
(ISO, 2013)
22
2.3.6 Mekanisme Kerja Antasida
Antasida adalah senyawa dasar yang menetralkan asam klorida dalam sekresi
lambung. Antasida digunakan dalam pengobatan gejala gangguan pencernaan yang
terkait dengan hyperacidity lambung seperti dispepsia, penyakit gastroesophageal
reflux, dan penyakit ulkus peptikum (Sweetman, 2009). Antasida bekerja
meningkatkan pH lumen lambung. Peningkatan tersebut meningkatkan kecepatan
pengosongan lambung, sehingga efek antasida menjadi pendek. Pelepasan gastrin
meningkat dan, karena hal ini menstimulasi pelepasan asam (Neal, 2006). Antasida
mempercepat penyembuhan tukak dengan menetralisasikan asam hidroklorida dan
mengurangi aktivitas pepsin (Kee, 1996). Antasida adalah basa lemah yang bereaksi
dengan asam klorida lambung untuk membentuk garam dan air. Sehingga berfungsi
mengurangi keasaman lambung dan karena pepsin tidak aktif dalam larutan dengan
pH di atas 4,0 maka bisa mengurangi aktivitas peptik (Katzung, 2002).
2.4 Landasan Teori
2.4.1 Teori Lawrence Green (1980)
Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan
adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor
perilaku), dan non-behavioral factors atau faktor nonperilaku (Notoatmodjo, 2010).
Dalam menganalisis faktor – faktor yang berpengaruh terhadap perilaku, konsep
umum yang sering digunakan dalam berbagai kepentingan program dan beberapa
penelitian yang dilakukan adalah teori yang dikemukakan oleh Green (1980). Ia
menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu faktor
prediposisi, faktor pendorong, dan faktor penguat. Faktor predisposisi (predisposing
factors). Faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku
seseorang. Faktor ini termasuk karateristik, pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keyakinan, kebiasaan, nilai – nilai, norma sosial-budaya, dan faktor sosio-demografi.
Faktor pendorong ( enabling factors ). Faktor yang memungkinkan atau yang
memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan. Hal ini berupa lingkungan fisik,
sarana dan prasarana atau sumber – sumber khusus yang mendukung dan
23
keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan. Faktor penguat ( reinforcing factors )
sebagai faktor yang memperkuat terjadinya perilaku. Faktor – faktor yang
termasukfaktor penguat adalah sikap dan perilaku petugas, kelompok referensi, dan
tokoh masyarakat (Maulana, 2009).
2.5 Konsep Dasar Tingkat Pengetahuan
2.5.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalu
panca indera manusia, yakni indra pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa dan
raba. Melalui peroleh Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui telinga
dan mata. Pengetahuan merupakan hal yang penting dalam membentuk tindakan
seseorang (overt behaviour). Menurut Bloom dan Skinner pengetahuan adalah
kemampuan seseorang untuk mengungkapkan kembali apa yang diketahuinya dalam
bentuk bukti jawaban baik lisan atau tulisan (Notoatmodjo,2003)
2.5.2 Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan mempunyai 6 tingkatansebagai
berikut:
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah
2. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan
materitersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.
24
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
4. Analisis (Analysis)
Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
suatu objek keadaan komponen-komponen tapi masih di dalam struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Indikasi bahwa
pengetahuan seseorang sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila
orang tersebut telah dapat membedakan atau memisahkan, mengelompokkan,
membuat diagram dan bagan terhadap pengetahuan atas obyek tersebut.
5. Sistesis (Syntesis)
Menunjukan pada suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-
bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dariformulasi-formulasi yang
ada. Misalnya dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat
sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar dan apat membuat
kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca.
6. Evaluasi ( Evaluation)
Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap
suatu materi. Penilaian-penilaian itu berdasarkan kriteria yang ditentukan atau
menggunakan kriteria yang telah ada.
2.5.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan yaitu :
1. Faktor Internal
(a) Pendidikan
Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal
yang menunjang kesehatan sehingga dapat meingkatkan kualitas hidup.
Menurut YB Mantra yang dikutip Notoatmodjo (2003), pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup
terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan
25
(Nursalam,2003) pada umumnya pengetahuan sangat erat kaitannya dengan
pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka
orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya.
(b) Usia
Menurut Elisahbet BH yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah
umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun.
Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang lebih
matang dalam berfikir dan bekerja.
(c) Pekerjaan
Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang
n kehidupannya dan kehidupan keluaraga ( Menurut Thomas yang dikutip
oleh Nursalam (2003) )
2. Faktor Eksernal
(a) Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan suatu kondisi yang ada disekitar manusia dan
pengaruhnhayang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku seseorang
atau kelompok (Menurut Ann.Mariner yang dikutip dari Nursalam (2003) )
(b) Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi
dari sikap dalam menerima informasi.
2.5.4 Pengukuran Pengetahuan
Untuk mengukur pengetahuan dapat dilakukan dengan mengajukan
beberapa pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan-
pertanyaan secara tertulis atau angket mengenai isi materi yang ingin diukur dari
subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2005).
Menurut Arikunto (2010), pengukuran pengetahuan ada dua kategori yaitu
menggunakan pertanyaan subjektif misalnya jenis pertanyaan essay dan pertanyaan
objektif misalnya pertanyaan pilihan ganda (multiple choise), pertanyaan betul salah
dan pertanyaan menjodohkan.
26
Rumus Pengukuran Pengetahuan:
P
Keterangan :
P = Nilai Presentase
F = Jawaban Benar
n = Jumlah soal
Pengkategorian pengetahuan yang digunakan antara lain:
1. Kategori baik dengan nilai 76-100 %
2. Kategori cukup dengan nilai 56-75 %
3. Kategori kurang dengan nilai 40-55 %
4. Kategori tidak baik dengan nilai < 40 %.
2.6 Tinjauan Tentang Ketepatan
2.6.1 Definisi Ketepatan
Ketepatan didefenisikan sebagai seberapa jauh perilaku seseorang (dalam hal
menggunakan obat, mengikuti diet, atau mengubah gaya hidup) sesuai dengan
nasehat medis atau saran kesehatan, sehingga tidak terjadi hal yang membahayakan
hasil terapi pasien. Karena ketidaktepatan akan menyebabkan sejumlah akibat yang
tidak diinginkan, seperti sakit bertambah lama atau kondisi medis memburuk
sehingga pasien perlu perawatan di rumah sakit atau rawatan timbul biaya sangat
besar yang harus ditanggung oleh masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan yaitu
tidak hanya biaya yang dikeluarkan untuk mengobati akibat ketidaktepatan yang
membahayakan, tetapi juga biaya obat-obatan yang terbuang percuma dan kehilangan
waktu kerja (Rantucci, 2009).
Ada lima masalah yang berkaitan dengan ketidaktepatan, yaitu:
1. Menggunakan atau mendapatkan obat yang benar, tetapi terlalu sedikit.
2. Menggunakan atau mendapatkan obat yang benar, tetapi terlalu banyak.
3. Frekuensi minum obat yang tidak sesuai.
4. Tidak menggunakan atau mendapatkan obat yang diresepkan.
5. Cara minum obat yang tidak benar
27
2.6.2 Penggunaan Obat Rasional
Batasan pengunaan obat rasional adalah bila memenuhi beberapa kriteria ,
antara lain (Kemenkes RI, 2011) :
1. Tepat diagnosis, penggunaan obat disebut rasional jika diberian untuk
diagnosis yang tepat.
2. Tepat indikasi penyakit, setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik
sehingga dalam pengenalan penyakit yang dialami harus tepat.
3. Tepat obat, dalam penggunaan obat secara swamedikasi hendaknya setiap
individu memilih obat yang sesuai dengan keluhan yang dialami dan
mengetahui indikasi dari obat yang diminum.
4. Tepat dosis, dalam penggunaan obat secara swamedikasi hendaknya setiap
individu tahu dengan benar cara pemakaian, aturan pakai dan jumlah obat
yang digunakan. Hal ini dapat berpengaruh pada efek terapi yang ingin
dicapai. Pemberian dosis yang berlebihan beresiko timbulnya efek samping
khususnya obat yang memiliki rentang terapi yang sempit.
5. Tepat masa terapi, dalam penggunaan obat secara swamedikasi mengetahui
waktu kapan untuk menggunakan dan menghentikan penggobatannya bisa
dengan meminta bantuan dari tim medis apabila dirasa keluhan tidak
berkurang.
6. Tepat cara pemberian, setiap obat dengan bentuk sediaan yang berbeda
memiliki cara pemberian yang berbeda. Misalnya obat antasida yang
seharusnya dikunyah terlebih dahulu baru ditelan, antibiotik yang tidak boleh
diminum dengan susu karena dapat menurunkan efektivitasnya.
7. Tepat interval waktu pemberian, obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin
dan praktis, agar pasien patuh dalam mengkonsumsi obat.
8. Tepat lama pemberian, lama pemberian obat harus disesuikan dengan
penyakit masing- masing, hal ini dikarenakan akan berpengaruh pada hasil
pengobatan.
9. Waspada terhadap efek samping, pemberian obat potensial menimbulkan efek
samping atau efek yang tidak diinginkan timbul pada pemberian dosis terapi.
28
10. Tempat penilaian kondisi pasien, respon setiap individu terhadap efek obat
sangat beragam sehingga ada beberap kondisi khusus yang harus
dipertimbangkan sebelum pemberian atau penggunaan obat, misalnya pada
ibu hamil, anak- anak, lansia, dll.
11. Tepat informasi, meruapakan salah satu penunjang keberhasilan terapi
sehingga informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat
penting.
12. Obat yang diberikan efektif, aman, mutu terjamin, dan harga terjangkau,
untuk nilai efektif, aman serta terjangkau pemilihan obat dalam daftar obat
esesnial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan
harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis. Sedangkan untuk
jaminan, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara
Pembuatan Obat yang Baik).
13. Tepat tindak lanjut, apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit
berlanjut atau timbul efek samping segera berkonsultasi ke dokter.
14. Tepat penyerahan obat, penggunaan obat yang rasional melibatkan
penyerahan obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke
apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas akan dipersiapkan obatnya
dan diserahkan kepada pasien dengan informasi yang tepat.
15. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan.
Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada keadaan berikut :
a. Jenis sediaan obat beragam
b. Jumlah obat terlalu banyak
c. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
d. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
Kepatuhan pasien terhadap perintah pengobatan yang diberikan,
ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi obat terjadi pada keadaan tertentu, misalnya:
jenis sediaan obat beragam, jumlah obat terlalu banyak, frekuensi pemberian obat per
hari terlalu sering, pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi, pasien
29
tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai cara menggunakan obat, dan
timbulnya efek samping.
2.6.3 Kriteria Obat yang Digunakan dalam Swamedikasi
Jenis obat yang digunakan dalam swamedikasi meliputi: Obat Bebas, Obat
Bebas Terbatas, dan OWA (Obat Wajib Apotek). Sesuai dengan permenkes Nomor
919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang diserahkan tanpa resep:
(a) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di
bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
(b) Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada
kelanjutan penyakit.
(c) Penggunaan tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan.
(d) Penggunaanya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
(e) Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat di
pertanggung jawabkan untuk pengobatan sendiri.
2.6.4 Masalah -masalah Pada Swamedikasi
a. Banyaknya obat dengan berbagai merek seringkali membuat konsumen
bingung memilih antara obat yang baik dan aman untuk dikonsumsi.
b. Maraknya penyebaran iklan obat -obatan melalui media televisi dan media
- media lain mempunyai peran yang cukup besar bagi masyarakat untuk
memilih obat tanpa resep.
c. Kemudahan memperoleh obat secara bebas dapat menyebabkan
masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah menjadi korban pemakaian
obat yang tidak rasional. Hal tersebut terlihat dari perkembangan jumlah
apotek dan toko obat di Indonesia yang meni ngkat.
d. Perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui apotek. Kini
apotek tidak hanya mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi juga
buka 24 jam, hingga melayani pemesanan melaui internet. Kemudahan