BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Koloid
Dalam larutan sejati, seperti larutan gula atau larutan garam,partikel zat terlarut
mengandung ion atau molekul tunggal. Pada sisi lain ada yang disebut dengan
suspensi,yang mana partikelnya mengandung lebih dari satu molekul dan cukup besar
untuk dilihat oleh mata atau dibawah mikroskop .Diantara keduanya akan ditemukan
suatu koloid,yang mana partikelnya mungkin mengandung lebih dari satu molekul
tetapi tidak cukup besar untuk dapat dilihat dengan mikroskop biasa (Laider,1982).
Partikel – paritkel yang terletak dalam jarak ukuran koloidal mempunyai luas
permukaan yang sangat besar dibanding dengan luas permukaan partikel – partikel
yang lebih besar dengan volume yang sama. (Moechtar,1989) Diameter partikel
dalam larutan sejati lebih kecil dari 1 mµ. Bila diameter partikel – partikel dalam
larutan terletak diantara 1- 100 mµ ,sistem disebut campuran kasar atau dispersi kasar
(Sukardjo,1997).
Sistem dispersi adalah sistem dimana suatu zat terbagi halus atau terdispersi
dalam zat lain, koloid merupakan suatu sistem dispersi, karena terdiri dari dua fasa,
yaitu fasa terdispersi (fasa yang tersebar halus) dan fasa pendispersi. Fase terdispersi
umumnya memiliki jumlah yang lebih kecil atau mirip dengan zat terlarut dan fasa
pendispersi jumlahnya lebih besar atau mirip pelarut dalam suatu larutan(Yazid,2005).
Zat yang terdispersi tersebut berjarak ukuran antara dimensi partikel – partikel atomik
dan molekular sampai partikel – partikel yang berukuran milimeter, ukurannya dapat
diklasifikasikan baik yang sebagai membentuk dispersi molekular maupun dispersi
koloidal. Beberapa suspensi dan emulsi dapat mengandung suatu jarak ukuran partikel
sedemikian sehingga partikel – partikel nya yang kecil masuk dalam jarak
koloidal,sedangkan yang besar – besar dapat diklasifikasikan sebagai partikel –
partikel kasar (Moechtar,1989).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.Penggolongan Koloid
Menurut Bird (1993),cara penggolongan koloid yang lebih umum adalah:
1. Dispersi koloid, sistem ini terjadi secara termodinamik tidak stabil karena nisbah
permukaan volume yang sangat besar.
2 . Larutan koloid sejati, yang terjadi dari larutan dengan zat terlarut yang berat
Molekulnya tinggi (makromolekul seperti protein ,karbohidrat, dan sebagainya)
sistem ini secara termodinamik stabil.
3. Koloid asosiasi (Association colloid) (kadang-kadang dinamakan koloid elektrolit
(colloid electrolyte). Sistem ini terdiri dari molekul – molekul yang berat
molekulnya rendah yang beragreasi membentuk partikel berukuran koloid.Sistem
ini juga stabil secara termodinamik.
2.1.2. Sifat - sifat Koloid
2.1.2.1. Sifat Fisika
Sifat fisika koloid berbeda-beda tergantung jenis koloidnya. Pada koloid
hidrofob sifat-sifat seperti rapatan, tegangan permukaan dan viskositasnya hampir
sama dengan medium pendispersinya. Pada koloid hidrofil karena terjadi hidrasi,
sifat-sifat fisikanya sangat berbeda dengan mediumnya. Viskositasnya lebih besar dan
tegangan permukaannya lebih kecil.
2.1.2.2. Sifat Koligatif
Suatu koloid dalam medium cair juga mempunyai sifat koligaif. Sifat ini hanya
bergantung pada jumlah partikel koloid bukan pada jenisnya. Sifat-sifat koligatif
koloid umumnya lebih rendah daripada lautan sejati dengan jumlah partikel yang
sama (Yazid, 2005). Ini disebabkan karena butir-butir koloid terdiri atas beribu-ribu
molekul,sedangkan pengaruh terhadap sifat koligatif hanya ditentukan oleh jumlah
molekul (Sukardjo, 1997)
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.3. Sifat Optis
Walaupun secara definisi partikel koloid terlalu kecil untuk dapat dilihat oleh
mikroskop biasa mereka dapat dideteksi secara optikal. Ketika cahaya dilewatkan
melalui medium yang mengandung partikel yang tidak lebih besar daripada 10-9 m,
berkas cahaya tersebut tidak dapat dideteksi dan medium tersebut disebut optically
clear. Ketika partikel koloid hadir, bagaimanapun, sebagian cahaya akan
dihamburkan, dan sebagian lagi akan diteruskan dalam intensitas yang rendah.
Penghamburan ini dikenal dengan nama efek Tyndall (Laider, 1982).
Efek Tyndall dapat digunakan untuk mengamati partikel-partikel koloid
dengan menggunakan mikroskop. Karena intensitas hamburan cahaya bergantung
pada ukuran partikel, maka efek Tyndall juga dapat digunakan untuk memperkirakan
berat molekul koloid. Partikel-partikel koloid yang mempunyai ukuran kecil,
cendrung untuk menghamburkan cahaya dengan panjang gelombang pendek.
Sebaliknya partikel-partikel koloid yang mempunyai ukuran besar cendrung untuk
menghamburkan cahaya dengan panjang gelombang yang lebih panjang (Bird, 1993).
2.1.2.4. Sifat kinetik
a. Gerak Brown
Partikel koloid bila diamati dibawah mikroskop ultra akan nampak sebagai
bitik-bintik bercahaya yang selalu bergerak secara acak dengan jalan berliku-liku.
Gerakan acak partikel koloid dalam suatu medium pendispersinya disebut gerak
Brown. Terjadinya gerakan ini disebabkan oleh banyaknya tabrakan molekul-
molekul medium pendispersi tidak sama (tidak setimbang) (Yazid, 2005).
b. Pengendapan (sedimentasi)
Partikel-partikel koloid mempunyai kecendrungan untuk mengendap karena
pengaruh gravitasi bumi. Hal tersebut bergantung pada rapat massa partikel
terhadap mediumnya. Jika rapat massa partikel lebih besar dari medium
Universitas Sumatera Utara
pendispersinya, maka partikel tersebut akan mengendap. Sebaliknya bila rapat
massanya lebih kecil akan mengapung.
Koagulasi endapan koloid dapat dipercepat oleh suhu tinggi dan pengadukan
serta dengan penambahan elektrolit tertentu. Dengan suhu tinggi berarti akan
menurunkan viskositas dan menaikkan selisih rapatan. Namun faktor-faktor ini
pengaruhnya relatif kecil terhadap kecepatan pengendapan (Yazid, 2005).
c. Difusi
Partikel zat terlarut akan mendifusi dari larutan yang konsentrasinya tinggi ke
daerah yang konsentrasinya lebih rendah. Difusi erat kaitannya dengan gerak
Brown, sehingga dapat dianggap molekul-molekul atau partikel-partikel koloid
mendifusi karena adanya gerak Brown. Kecendrungan dari zat untuk berdifusi
dinyatakan dengan koefisien difusi. Menurut Graham, butir-butir koloid berdifusi
sangat lambat karena ukuran partikelnya relatif besar (Yazid, 2005).
2.1.2.5. Sifat Listrik
Permukaan partikel koloid mempunyai muatan listrik karena terjadinya
ionisasi atau penyerapan ion-ion dalam larutan. Akibatnya partikel koloid dapat
bergerak dalam medan listrik. (Yazid, 2005). Bila partikel koloid yang bermuatan
ditempatkan pada medan listrik, maka partikel tadi akan bergerak ke arah salah satu
elektroda bergantung pada muatannya. Proses ini dikenal dengan nama elektroforesis.
Laju gerakan partikel (cm/det) dalam medan listrik dengan gradien potensial (volt/cm)
dikenal sebagai mobilitas partikel tersebut (Bird, 1993).
2.1.3. Kestabilan Koloid
Ada dua gaya pada sistem koloid yang menentukan kestabilkan koloid
tersebut.Gaya yang pertama adalah gaya tarik-menarik yang dikenaldengan nama gaya
London-van der waals. Gaya ini cenderung menyebabkan partikel-partikel koloid
berkumpul membentuk agregat dan kemudian mengendap.
Universitas Sumatera Utara
Gaya yang kedua adalah gaya tolak menolak yang disebabkan oleh
pertumpang tindihan lapisan ganda elektrik yang bermuatan sama.Gaya ini
menstabilkan dispersi koloid.
Sebenarnya ada gaya ketiga yang mempengaruhi kestabilan koloid.Gaya ini
kadang – kadang dapat menyebabkan terjadinya agregasi dan terkadan juga dapat
meningkatkan kestabilan koloid.Gaya tersebut adalah gaya tarik menarik antara
partikel koloid dengan medium pendispersinya.Biasanya gaya tarik ini cenderung
untuk menstabilkan partikel koloid dan dalam beberapa hal memegang peranan
penting dalam menentukan kestabilan sistem koloid secara keseluruhan.(Bird,1993).
2.2.Emulsi
Emulsi adalah suatu sediaan yang mengandung dua zat cair yang tidak tercampur,
biasanya air dan minyak cairan yang satu terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam
cairan yang lain. Dispersi ini tidak stabil, butir-butir ini akan bergabung dan
membentuk dua lapisan air dan minyak yang terpisah. Dalam fase air dapat
mengandung zat-zat terlarut seperti pengawet, zat pewarna, dan perasa. Air yang
digunakan sebaiknya adalah air. Zat perasa dan pengawet yang berada dalam fase air
yang mungkin larut dalam minyak harus dalam konsentrasi cukup untuk memenuhi
yang diinginkan (Anief,M.,1999).
Pada emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu : pertama, bagian zat
yang terdispersi, biasanya terdiri dari butir-butir minyak. Kedua, medium pendispersi
yang dikenal sebagai fase bertahap, biasanya terdiri dari air. Bagian ketiga adalah
emulgator yang berfungsi sebagai penstabil koloid untuk menjaga agar butir-butir
minyak tetap terdispersi dalam air. Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk
zat pengemulsi diantaranya emulgator, emulsifier, stabilizer atau agen pengemulsi.
Bahan ini dapat berupa sabun, detergen, protein atau elektrolit. Jenis emulsi
tergantung dari zatnya dan emulgator yang dipakai misalnya emulsi minyak dalam air
emulgator yang baik adalah sabun atau logam-logam alkali. Berdasarkan jenisnya
emulsi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Emulsi o/w yaitu Fase minyak ditambahkan ke dalam fase air, dimana
pengemulsinya mudah larut dalam air sehingga air dikatakan sebagai fase
eksternal. Teknik inverse: fase air dimasukkan ke dalam fase minyak, awalnya
terbentuk w/o, viskositas naik karena volume fase internal naik sampai titik
inverse terbentuk o/w.
2. Emulsi w/o Fase air ditambahkan ke dalam fase minyak dengan pengadukan
konstan, lalu dihomogenkan, digiling untuk mengecilkan ukuran partikel fase
internal untuk meningkatkan stabilitas dan memperbaiki kilatnya emulsi.
(http.staff.ui.ac.id/internal/material/Emulsion).
Faktor-faktor yang menentukan apakah akan terbentuk emulsi A/M atau M/A
tergantung pada dua sifat kritis:
1. Terbentuknya butir tetesan
2. Terbentuknya rintangan antarmuka.
Rasio fase volume, yaitu jumlah relatif minyak dan air, menentukan jumlah relatif
butir tetesan, dan menaikkan kemungkinan terjadinya benturan, makin besar jumlah
butir tetesan, makin besar kesempatan untuk benturan. Biasanya fase ekstern dalam
jumlah volume yang besar. Tipe emulsi ditentukan oleh sifat-sifat emulgator, dan
dapat disusun aturan sebagai berikut:
1. Bila emulgator hanya dapat larut atau lebih suka air (sabun natrium) maka
akan terbentuk tipe emulsi M/A. Tetapi bila emulgator hanya dapat larut atau
lebih suka minyak (sabun kalsium) akan terbentuk tipe emulsi A/M.
2. Bagian polar dari molekul emulgator umumnya lebih baik untuk melindungi
koalesen daripada bagian rantai hidrokarbon. Maka itu memungkinkan
membuat emulsi M/A dengan fase intern yang volumenya relatif tinggi.
Sebaliknya emulsi A/M akan terbatas, dan apabila jumlah air cukup banyak
akan mudah terjadi inversi.
Sebagai contoh sistem air-minyak untuk membentuk emulsi A/M dapat terjadinya
baik bila jumlah air di bawah 40%, bila lebih yang stabil adalah bentuk emulsi M/A.
Di samping itu untuk emulsi A/M dengan 20% dan 30% air akan terjadi bila air
ditambahkan pada minyak dengan diaduk. Hal itu perlu untuk kadar air > 10%. Jangan
dicampur dulu minyak dan air kemudian baru diaduk, karena akan sering gagal. Cara
Universitas Sumatera Utara
tersebut baik untuk tipe M/A. Tipe emulsi yang terbentuk juga dipengaruhi oleh
viskositas pada tiap fase, emulsi yang stabil.
Apabila mencampurkan campuran, dua zat cair yang tak tercampurkan akan
terjadi salah satu cairan terbagi menjadi butir-butir (tetesan) yang kecil dalam cairan
yang lain. Apabila pencampuran berhenti, maka butir-butir cairan tersebut akan
mengumpul menjadi satu, dan terjadi suatu pemisahan. Kegagalan dalam usaha
mencampur dua cairan tersebut disebabkan kohesif antarmolekul dari masing-masing
cairan terpisah adalah lebih besar daripada kekuatan adhesif antara dua cairan.
Kekuatan kohesif ini disebabkan adanya tegangan antarmuka pada batas antara dua
cairan tersebut.
Dengan mencampurkan, tegangan antarmuka dapat mudah dipecah, sehingga
terjadi butir-butir tetes yang halus. Dengan mengusahakan penurunan atau
pembebasan efek tegangan antar muka secara permanen, maka akan terbentuk emulsi
yang stabil. Terlihat bahwa efek kekuatan ini (tegangan antarmuka) dapat dibedakan
dengan tiga cara:
a. Dengan penambahan substansi yang menurunkan tegangan antarmuka antara
dua cairan yang tak tercampur.
b. Dengan penambahan substansi yang menempatkan diri (menyusun) melintang
di antara permukaan dari dua cairan,
c. Dengan penambahan zat yang akan membentuk lapisan film di sekeliling
butir-butir fase disfers, jadi secara mekanis melindungi mereka dari
penggabungan tetes-tetes (Anief,M.,1999).
2.2.1. Kestabilan emulsi
Kestabilan dari emulsi farmasi berciri tidak adanya penggabungan fase dalam, tidak
adanya krim, dan memberikan penampilan, bau, warna dan sifat-sifat fisik lainnya
yang baik. Beberapa peneliti mendefinisikan ketidak stabilan suatu emulsi hanya
dalam hal terbentuknya penimbunan dari fase dalam dan pemisahannya dari produk.
Krim yang diakibatkan oleh flokulasi dan konsentrasi bola-bola fase dalam, kadang-
kadang tidak dipertimbangkan sebagai suatu tanda ketidakpastian. Tetapi suatu emulsi
adalah suatu sistem yang dinamis, dan flokulasi serta krim yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
mengambarkan tahap-tahap potensial terhadap terjadinya penggabungan fase dalam
yang sempurna. Fenomena penting lainnya dalam pembuatan dan penstabilan dari
emulsi adalah inversi fase, yang dapat membantu atau merusak dalam teknologi
emulsi. Inversi fase meliputi perubahan tipe emulsi dari o/w menjadi w/o atau
sebaliknya. Begitu terjadi inversi fase setelah pembuatan, secara logis hal ini dapat
dipertimbangkan sebagai suatu pertanda dari ketidak stabilan (Martin,A.,1993).
Semakin tinggi viskositas dari suatu sistem emulsi, semakin rendah laju rata-
rata pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi.
Viskositas berkaitan erat dengan tahanan yang dialami molekul untuk mengalir pada
sistem cairan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat alir suatu emulsi,
diantaranya untuk ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Emulsi dengan
globula berukuran halus lebih tinggi viskositasnya dibandingkan dengan emulsi yang
globulanya tidak seragam.
Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya
tarik-menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem
emulsi. Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka
partikel-partikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung.
2.3. Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang memiliki gugus hidrofil dan liofil
sekaligus, sehingga dapat menggabungkan cairan yang terdiri dari minyak dan air.
Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekul-molekulnya,Molekul
surfaktan memiliki bagian polar suka air (hidrofilik) dan bagian nonpolar yang suka
minyak (lipofilik). Biasanya bagian non polar merupakan suatu rantai alkil yang
panjang, sedangkan bagian yang polar mengandung gugus hidroksil.(Rossen,1994).
Surfaktan merupakan suatu molekul yang memliki struktur kimia dimana
membuatnya secara khusus dapat bertahan di antar-muka. Oleh sebab itu, mereka
disebut surface active agents, atau disingkat menjadi surfaktan (Goodwin, 2004).
Penggunaan surfaktan sangat bervariasi, seperti bahan deterjen, kosmetik, farmasi,
Universitas Sumatera Utara
makanan, tekstil, plastik dan lain-lain. Beberapa produk pangan seperti margarin, es
krim, dan lain-lain menggunakan surfaktan sebagai satu bahannya. (Masyithah, 2010).
2.3.1.Klasifikasi Surfaktan
Surfaktan dapat dibagi dalam berbagai cara, tergantung pada kebutuhan dan tujuan
dari yang memakainya. Surfaktan dapat diklasifikasikan sebagai emulsifier, bahan
pembusa, bahan pebasah, pendispersi dan sejenisnya.
Klasifikasi Surfaktan yang paling umum Menurut Pratama (2008) adalah
sebagai berikut:
a. Surfaktan Anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.
Contohnya Alkyl Benzene Sulfonate (ABS), Linier Alkyl Benzene Sulfonate
(LAS), Alpha Olein Sulfonate (AOS)
b. Surfaktan Kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation.
Contohnya garam ammonium
c. Surfaktan Nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan
contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbiton asam lemak, ester sukrosa
asam lemak.
d. Surfaktan Amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan
positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino.
2.4.Natrium Lauril Sulfat
Natrium lauril sulfat berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan
cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air. Natrium laurIl sulfat merupakan
surfaktan yang umum yang memiliki sifat amfifil karena rantai C12 (lipofilik) yang
menempel pada gugus sulfat (hidrofilik) yang berguna sebagai wetting agent.
(http//www.vinamaxorganics.com).
Natrium lauril sulfat adalah surfaktan yang sangat kuat yang umum digunakan
sebagai pembersih noda, dan Sodium lauril sulfat banyak digunakan dalam
Universitas Sumatera Utara
konsentrasi tinggi dalam produk – produk industri, seperti detergen karena efek
pengentalannya dan kemampuannya menghasilkan busa. (http//www.chem-is-try.org)
Tabel 2.1. Data Karakterisitik Natrium lauril sulfat (E,Merck,2008).
2.5. Polistirena
Polistirena ditemukan sekitar tahun 1930, polistirena merupakan polimer tinggi yaitu
molekul yang mempunyai massa molekul besar. Terdapat di alam (benda hidup,
hewan/tumbuhan) atau disintesis di laboratorium. Polistirena merupakan
makromolekul, yaitu molekul besar yang dibangun oleh pengulangan kesatuan kimia
yang kecil dan sederhana (monomer). Polistirena rata-rata berat molekulnya
mendekati 300.000. Stirena adalah bahan kimia pembentuk polimer hidrokarbon
jenuh dengan rumus kimia C6H5CH=CH. Dikenal dengan nama vinilbenzena,
phenilethilena.
Menurut kirk dan Othmer (1992), stirena adalah cairan tak berwarna dengan
bau aromatik yang secara tak terbatas larut dalam aseton, karbon tetraklorida,
benzena, eter n-heptana dan etanol. Uap stirena mempunyai bau dengan ambang batas
50-150 ppm.
Sementara itu menurut Small Business Publications (SBP), polistirena bersifat
resin termoplastis yang transparan, tidak berwarna dalam bentuk larutan atau emulsi
Rumus molekul C12H25NaO4S
Berat molekul 288,37 g/mol
Titik didih 204 - 207ºC
Densitas 1,1 g/cm3
Kelarutan H2O 150 g/l
Titik nyala > 150ºC
Kestabilan Stabil dalam kondisi normal
Universitas Sumatera Utara
yang encer. Larutan polistirena akan mengeras pada suhu ruangan dan contact
pressure biasa cukup untuk perekatan.
Polistirena atau polifeniletena dapat dipolimerkan dengan panas, sinar
matahari atau katalis. Derajat polimerisasi polimer tergantung pada kondisi
polimerisasi. Polimer yang sangat tinggi dapat dihasilkan dengan menggunakan suhu
di atas sedikit suhu ruang. Polistirena merupakan termoplastis yang bening (kecuali
jika ditambahkan pewarna/pengisi) dan dapat dilunakkan pada suhu ±100oC. Tahan
terhadap asam, basa dan zat korosif lainnya. Tapi mudah larut dalam mempengaruhi
kekuatan dan ketahanan polimer terhadap panas. Banyak digunakan untuk membuat
lembaran, penutup dan barang pencetak. (Tim Penulis,2007).
Polistirena dampak-rendah larut dalam toluena panas sedangkan HDPE atau
PP nyaris tak larut di dalamnya. Akan tetapi bila polistirena tadi mengandung sedikit
butadiena terkopolimerisasi, karena adanya sel ikat silang polimer itu menjadi tidak
sempurna larut dalam toluena panas. Jadi memang seringkali, walau polimernya
sederhana. Polistirena yang aromatik, jadi tak serupa poliolefin, bila dibakar (terus
dalam api) akan mengeluarkan banyak asap (Hartomo,J.,1995).
2.5.1. Polistirena Foam
Polistirena foam dibuat dengan cara memasukkan campuran monomer stirena
dan panas atau katalis ke dalam sekitar 90 % konversi monomer. Polistirena foam
(IPS, HIPS) dibuat secara komersil dengan mendisperiskan partikel kecil dari karet
butadieana ke dalam monomer stirena. Lalu diikuti dengan pra-polimerisasi massa
dari stirena dan polimerisasi sempurna baik dalam massa maupun suspensi berair.
Selama pra-polimerisasi, stirena mulai mengalami polimerisasi dengan sendirinya,
pembentukan dari tetesan-tetesan polistirena dengan fase pemisahan. Ketika volume
fase yang hampir sama diperoleh, fase inversi juga diperoleh, dan tetesan polistirena
menjadi fase kontinu yang mana partikel karet didispersi. Kekuatan foam meningkat
bersamaan dengan ukuran partikel dan konsentasi karet, sementara kehalusan
permukaan dan kekakuannya menurun.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu jenis polistirena yang cukup populer di kalangan masyarakat
produsen maupun konsumen adalah polistirena foam. Polistirena foam dikenal luas
dengan istilah styrofoam yang seringkali digunakan secara tidak tepat oleh publik
karena sebenarnya styrofoam merupakan nama dagang yang telah dipatenkan oleh
perusahaan Dow Chemical. Oleh pembuatnya Styrofoam dimaksudkan untuk
digunakan sebagai insulator pada bahan konstruksi bangunan (Badan POM, 2008).
2.6. Karet alam
Lateks karet alam diperoleh dari pohon Hevea Brasiliensis yang berasal dari
kawasan tropical Amazon, Amerika selatan. Lateks karet alam adalah cairan getah
yang didapat dari bidang sadap pohon karet. Cairan ini belum mengalami
penggumpalan entah itu dengan tambahan atau tanpa bahan penstabil. Lateks karet
alam yang berasal dari Hevea Brasiliensis ini adalah cairan seperti susu yang
diperoleh dari proses penorehan batang pohon karet. Cairan ini terdiri dari 30-40%
partikel hidrokarbon yang terkandung di dalam serum dan juga mengandung protein,
karbohidrat dan komposisi-komposisi organik serta bukan organik (J.Sugito,1999).
Lateks karet alam mengandung karet dan partikel bukan karet yang terdapat
dalam serum. Agar lateks karet alam tetap dalam bentuk emulsi untuk pembuatan
produk jadi, maka ditambahkan bahan pengemulsi asam lemak berantai panjang.
Kandungan karet dalam lateks segar biasanya ditingkatkan menjadi 60% kandungan
karet kering melalui proses pemekatan sebelum digunakan untuk membuat produk.
Faktor-faktor seperti jenis pohon karet, cara menoreh, keadaan tanah dan juga cuaca
mempengaruhi kandungan karet kering dalam pohon yang ditoreh.
Ada beberapa macam karet alam yang dikenal, diantaranya merupakan bahan
olahan ada yang setengah jadi atau sudah jadi. Ada juga karet yang diolah kembali
berdasarkan karet yang sudah jadi dan Jenis-jenis karet alam yang dikenal luas adalah,
bahan olahan karet (Lateks kebun, sheet angin, slab tipis dan lump segar), karet
konvensional (ribbed smoked sheet, white crepes dan pale crepes), lateks pekat, karet
bongkah, karet spesifikasi teknis (crimb rubber), karet siap olah (tyre rubber), karet
reklin atau reclained rubber (Setiawan,2005).
Universitas Sumatera Utara
2.6.1. Lateks Pekat
Lateks kebun (lateks segar) adalah getah yang baru disadap dengan kandungan karet
kering sekitar 30%. Lateks kebun ini umumnya sangat encer, jadi perlu dipekatkan
lebih dulu hingga kadar karet kering sekitar 60%. Lateks yang telah mengalami
kepekatan disebut dengan lateks pekat.
Menurut ( Muis,Y.2010) adapun persyaratan lateks pekat adalah sebagai berikut:
- Dapat disaring dengan saringan 40 mesh
- Tidak terdapat kotoran atau benda-benda lain seperti daun atau kayu
- Tidak bercampur dengan bubur lateks, air atau serum lateks
- Berwarna putih dan berbau karet segar
- Mempunyai kadar karet kering berkisar 60-62%
Lateks pekat umumnya bersifat tidak stabil atau cepat mengalami penggumpalan.
Lateks dikatakan stabil apabila sistem koloidnya stabil yang tidak terjadi flokuasi atau
penggumpalan selama penyimpanan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lateks adalah :
1. Adanya kecenderungan setiap partikel karet berinteraksi dengan fase air (serum)
2. Adanya interaksi antara partikel-partikel itu sendiri
Di samping kedua faktor di atas, ada tiga faktor lain yang dapat menyebabkan
sistem koloid partikel-partikel karet tetap stabil (Darusamin, A. 1985), yaitu :
1. Adanya muatan listrik pada permukaan partikel karet sehingga terjadi gaya tolak
menolak antara dua atau lebih partikel karet tersebut.
2. Adanya interaksi antara molekul air dengan partikel karet yang menghalangi terjadi
penggabungan partikel-partikel karet tersebut.
3. Energi bebas antara permukaan yang rendah Ketidakstabilan lateks terjadi
disebabkan karena rusaknya lapisan pelindung karet yang terdispersi dalam serum
lateks. Rusaknya sistem kestabilan lateks dapat terjadi dengan sengaja atau tidak
sengaja.
Lateks pekat yang dijual dipasaran dibuat melalui proses pendadihan (creamed
latex) atau pemusingan (sentrifuged latex), pada masa sekarang ini creamaed lateks
tidak banyak dibuat. Kebanyakan tempat pengolahan lateks lebih suka membuat lateks
Universitas Sumatera Utara
pekat dengan cara pemusingan. Akibatnya lateks pekat yang diperdagangkan lebih
banyak dari jenis lateks pusingan.
Adapun produk yang dibuat dari lateks karet alam yang banyak digunakan
dan dimanfaatkan masyarakat (Setiawan,2005). Produk lateks pekat karet alam yang
digunakan untuk menghasilkan produk – produk seperti sarung tangan, benang karet,
alat – alat medis yang bermutu tinggi dan alat-alat keperluan masyarakat.
(Moctil, M, 2005)
2.7. Pencampuran
2.7..1. Teori Pencampuran
Dalam rekaya industri , pencampuran adalah operasi unit yang melibatakan sistem
fisik heterogen , dengan maksud untuk membuatnya lebih homogen . Suatu campuran
adalah sebuah zat yang dibuat dengan menggabungkan dua zat atau lebih yang
brebeda tanpa reaksi kimia yang terjadi ( objek tidak menempel satu sama lain).
Menurut Paul (2004), pencampuran adalah mengurangi ketidak – homogenan
bahan untuk menghasilkan produk sesuai yang diinginkan. Ketidak – homogenan
bisa berupa konsentarsi , fasa, atau temperatur dan juga memiliki efek juga terhadap
aliran massa, reaksi dan sifat produk. Tujuan pencampuran adalah untuk melapisi
partikel dengan pengikat, dan untuk mencapai distribusi pengikat yang seragam juga
partikel seluruh bahan baku, pencampuran ini dimaksudkan untuk membuat sifat
bahan campuran yang seragam dan juga menjaga batas keseragaman yang diinginkan
pada keadaan yang optimal sejak proses pencampuran. Tingkat keseragaman
diperoleh berdasarkan siafat alamai (dasar ) dari setiap komponen campuran dan
tehnik pencampurannya serta pengaruh kondisi.
2.7.2 Tehnik Pencampuran
Proses pencampuran memungkinkan bahan pengikat untuk berpindah diantara
permukaan partikel bahan campuran untuk mencapai keseragaman. Tingkat
keseragaman diperoleh berdasarkan sifat alami (dasar) dari setiap komponen
Universitas Sumatera Utara
campuran dan tehnik campurannya. Adapun tehnik pencampuran dapat diuraikan
sebagai berikut.
2.7.2.1 Pencampuran reaksi
Metode pencampuran reaksi merupakan metode yang begitu inovatif .
Penggunaan metode ini memudahkan dalam penyamarataan sifat dan karakteristik bila
material baru yang memiliki ketidaksesuain yang tinggi . Proses ini sering kali
melibatkan penambahan bahan reaktif ketiga, seperti bahan multifungsional.
Peningkatan kemampuan campuran reaktif untuk memperlihatkan efek emulsi rantai
plastik atau bahan co-polimer tambahan yang terbentuk selama proses pencampuran.
Campuran yang lebih sempurna dengan tingkat produktif yang tinggi dapat diperoleh
dengan metode ini, tetapi harus melalui pengendalian proses produksi yang lebih
intensif.
2.7.2.2 Polimerisasi
Metode polimerisasi digunakan untuk mempersiapkan campuran bahan, terutama
pada polimerisasi emulsi. Bahan-bahan dibutuhkan dalam bentuk lateks atau
emulsi. Proses pencampuran bahan lateks yang ukurannya sangat kecil, akan
berkurang dalam skala satu mikron atau lebih, saat pemisahan yang sempurna oleh
air. Tidak ada pengaruh panas, tegangan dan bahan pengikat, jika lateks diuapkan
atau dibekukan. Campuran bahan yang padat biasanya dapat diperoleh dengan proses
pemisahan antara kedua komponen.
2.7.2.3 Pencampuran secara mekanik
Pencampuran antara dua buah atau lebih bahan seperti plastik pada titik cairnya
merupakan praktek secara langsung proses mekanik ( mesin) secara langsung, dimana
komposisi campuran sudah ditemukan dan ditentukan dengan jelas. Untuk alasan
ekonomi, pencampuran secara mekanik lebih mendominasi. Ukuran partikel pada
fase pemisahan sangat perlu dipertimbangkan untuk mengoptimalkan kinerja
campuran. Biasanya pencampuran mekanik hanya memproduksi campuran kasar.
Universitas Sumatera Utara
Sifat campuran dipengaruhi oleh kecepatan dan suhu pencampuran. Keseragaman
campuran hanya dapat dicapai setelah tahap proses pencairan. Contoh mesin yang
digunakan pada pencampuran mekanik adalah two rool mill dan internal mixer
(Tarigan.W, 2011).
2.8 Karakterisasi Partikel Emulsi
2.8.1.Ukuran Partikel
Setiap kumpulan partikel biasanya disebut polidispersi. Karenanya perlu untuk
mengetahui tidak hanya ukuran dari suatu partikel tertentu, tapi juga berapa
banyak partikel-partikel dengan ukuran yang sama ada dalam sampel. Jadi kita perlu
sutau perkiraan kisaran ukuran tertentu yang ada dan banyaknya atau berat fraksi dari
tiap-tiap ukuran partikel, dari sini kita bisa menghitung ukuran partikel rata-rata untuk
sampel tersebut (Martin,1990).
Nilai diameter rata-rata, n, dihitung dengan cara yang sama seperti menghitung berat
molekul rata-rata polimer yaitu:
(2.2)
dimana ni adalah jumlah dan fi adalah fraksi partikel yang ditemukan di rentang
ukuran Di. Kelompokkan ukuran yang sama untuk membentuk suatu histogram.
Secara prakteknya, tentu saja, pengelompokan ini sangat baik bersamaan dengan
berbagai jenis resolusi dari peralatan. Standar deviasi, s, dan koefisien variasi, cv,
dapat dituliskan:
; (2.3)
(Goodwin, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.8.2. Mikroskop Optik
Mikroskop optik merupakan peralatan yang sangat berguna di laboratorium
koloid. Dengan optik modern, kita dapat melihat banyak rentang ukuran koloid.
Walaupun masih terbatas pada batas terbesar dari rentangan untuk data ukuran.
Dengan partikel dispersi di dalam larutan, kita dapat melihat dengan segara apakah
paritkel terdispersi ke dalam larutan, terkoagulasi atau sedikit terflokulsi.
Gerak Brown dari partikel yang terdispersi menimbulkan sedikit masalah
dengan resolusi jika ukuran yang akurat dibutuhkan. Pengeringan sampel mungkin
dapat mengatasi masalah ini tetapi kebanyakan pengukuran partikel dalam keadaan
basah sangat dibutuhkan. Sistem perekam fotografi yang baik selalu dibutuhkan untuk
mengoptimasi metode ini, baik itu dalam keadaan trasmisi normal, daerah gelap atau
flouroesense.
Gambar 2.5. Gambaran Penentuan Ukuran Partikel Untuk Partikel yang Tidak
Berbentuk Bulat, dalam hal ini, Piringan.
Pada gambar 2.5. dapat kita lihat berbagai macam metode penentuan diameter
suatu partikel yang berbentuk piringan. Pada gambar (a) merupakan gambar tiga
dimensi, gambar tersebut masih menunjukkan topotgrafi permukaan; (b) Gambar
proyeksi, yang mana sudah kehilangan topografi permukaannya; pada gambar (c)
Penentuan diameternya menggunakan panjang yang membagi patikel – diameter
Martin, dM; Gambar (d) menggunakan garis tegak lurus antara garis singgung sisi
yang berlawanan – diameter Feret, dF; (e) Diameter lingkaran yang sesuai dengan
proyeksi area, da; (f) Diameter lingkaran yang sesuai dengan area permukaan, ds; (g)
Diameter lingkaran yang sama dengan volume, dv.
Universitas Sumatera Utara
Ketika suatu gambaran telah diperoleh gambar tersebut dapat langsung
dianalisa secara manual, atau biasanya dengan komputerisasi sistem analisa gambar.
Jika partikel berbentuk bulat, penentuannya dapat langsung dilakukan, diameternya
langsung ditentukan. Tetapi untuk partikel yang tidak berbentuk bulat tidak dapat
langsung ditentukan, seperti pada gambar 2.5. Pada gambar tersebut, partkel
digambarkan dalam bentuk piringan yang mana sama dengan partikel tanah liat
kaolin. Kristal tanah liat tersebut memiliki topografi permukaan yang detail yang
mana hilang ketika dalam gambar proyeksi (Goodwin, 2004).
Universitas Sumatera Utara