6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelayanan Kesehatan
2.1.1 Pengertian Pelayanan Kesehatan
Menurut Levey dan Loomba dalam Azwar (2010) pelayanan kesehatan
adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam
suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga,
kelompok dan ataupun masyarakat. Sedangkan menurut Depkes RI (2009)
pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat.
Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU Kesehatan, pelayanan kesehatan secara
umum terdiri dari dua bentuk pelayanan kesehatan yaitu:
1. Pelayanan kesehatan perseorangan (Medical service)
Pelayanan kesehatan ini banyak diselenggarakan oleh perorangan secara
mandiri (self care), dan keluarga (family care) atau kelompok anggota masyarakat
yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan
perseorangan dan keluarga. Upaya pelayanan perseorangan tersebut dilaksanakan
pada institusi pelayanan kesehatan yang disebut rumah sakit, klinik bersalin, praktik
mandiri.
7
2. Pelayanan kesehatan masyarakat (Public health service)
Pelayanan kesehatan masyarakat diselenggarakan oleh kelompok dan
masyarakat yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang
mengacu pada tindakan promotif dan preventif. Upaya pelayanan masyarakat
tersebut dilaksanakan pada pusat-pusat kesehatan masyarakat tertentu seperti
puskesmas.
Kegiatan pelayanan kesehatan secara paripurna diatur dalam Pasal 52 ayat
(2) UU Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:
a. Pelayanan kesehatan promotif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang
bersifat promosi kesehatan.
b. Pelayanan kesehatan preventif, suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu
masalah kesehatan/penyakit.
c. Pelayanan kesehatan kuratif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, pengendalian
kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
d. Pelayanan kesehatan rehabilitatif, kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan
masyarakat, semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Menurut Notoadmodjo (2010) bahwa pelayanan kesehatan adalah tempat
atau sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Dilihat dari
sifat upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan, umumnya dibedakan oleh :
8
a. Sarana pelayanan kesehatan primer (Primary care)
Primary care adalah sarana atau pelayanan kesehatan bagi kasus-kasus atau
penyakit-penyakit ringan. Sarana kesehatan primer ini adalah yang paling dekat
bagi masyarakat, artinya pelayanan kesehatan yang paling pertama menyentuh
masalah kesehatan di masyarakat. Misalnya : Puskesmas, Poliklinik, dokter praktik
swasta, dan sebagainya.
b. Sarana pelayanan kesehatan sekunder (Secondary care)
Secondary care adalah sarana atau pelayanan kesehatan rujukan bagi kasus-
kasus atau penyakit-penyakit dari pelayanan kesehatan primer, karena peralatan
atau keahliannya belum ada. Misalnya : Puskesmas dengan rawat inap, rumah sakit
kabupaten, rumah sakit tipe D dan tipe C, rumah sakit bersalin.
c. Sarana pelayanan kesehatan tingkat tiga (Tetiary care)
Tertiary care adalah pelayanan kesehatan rujukan bagi kasus-kasus yang
tidak dapat ditangani oleh sarana-sarana pelayanan kesehatan primer seperti
disebutkan di atas. Misalnya : Rumah sakit provinsi, rumah sakit tipe B atau tipe A.
2.1.2 Pihak-pihak yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan
Pihak-pihak yang berhubungan dengan setiap kegiatan pelayanan kesehatan
baik itu di rumah sakit, puskesmas, klinik, maupun praktek pribadi, antara lain:
1. Dokter
Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin sebagaimana
mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa dan
mengobati penyakit berdasarkan hukum dan pelayanan di bidang kesehatan. Pasal
1 ayat (11) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
menjelaskan defenisi dokter adalah suatu pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan
9
suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang,
dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.
2. Perawat
Peraturan Menteri Kesehatan No. HK. 02. 02 /MENKES /148 I /2010
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat pasal 1 ayat 1 menjelaskan
defenisi perawat adalah seorang yang telah lulus pendidikan perawat, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pada proses hubungan antara perawat dengan
pasien, pasien mengutarakan masalahnya dalam rangka mendapatkan pertolongan
yang artinya pasien mempercayakan dirinya terhadap asuhan keperawatan yang
diberikan.
3. Bidan
Peraturan Menteri Kesehatan No. HK. 02. 02. /MENKES /149 /2010
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan pasal 1 ayat 1 menjelaskan yang
dimaksud dengan bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan yang
telah teregistrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bidan mempunyai
tugas penting dalam konsultasi dan pendidikan kesehatan, tidak hanya untuk wanita
sebagai pasiennya tetapi termasuk komunitasnya. Pendidikan tersebut termasuk
antenatal, keluarga berencana dan asuhan anak.
4. Apoteker
Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian, apoteker ialah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
Pelayanan kegiatan kesehatan dapat diperoleh mulai dari tingkat puskesmas,
rumah sakit umum/swasta, klinik dan institusi pelayanan kesehatan lainnya
10
diharapkan kontribusinya agar lebih optimal dan maksimal. Masyarakat atau pasien
dalam hal ini menuntut pihak pelayanan kesehatan yang baik dari beberapa institusi
penyelenggara di atas agar kinerjanya dapat dirasakan oleh pasien dan keluarganya,
dilain pihak pemerintah belum dapat menerapkan aturan pelayanan kesehatan
secara tepat, sebagaimana yang diharapkan karena adanya keterbatasan-
keterbatasan. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dibutuhkan tenaga
kesehatan yang baik, terampil dan fasilitas rumah sakit yang baik, tetapi tidak
semua institusi pelayanan medis tersebut memenuhi kriteria tersebut, sehingga
meningkatkan kerumitan sistem pelayanan kesehatan dewasa ini.
2.1.3 Syarat pokok pelayanan kesehatan
Azwar dalam Herlambang (2016) mengungkapkan sekalipun pelayanan
kedokteran berbeda dengan pelayanan kesehatan masyarakat, namun dapat disebut
suatu pelayanan yang baik dan keduanya haruslah memiliki berbagai persyaratan
yang terdiri atas 5 macam yaitu :
a. Tersedia dan Berkesinambungan
Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan
kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat (available) serta bersifat
berkesinambungan (continous). Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam
masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.
b. Dapat diterima dan Wajar
Syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang baik adalah yang dapat
diterima dengan wajar. Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan
dengan keyakinan dan kepercayaan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan
11
kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar bukanlah suatu pelayanan
kesehatan yang baik.
c. Mudah dicapai
Syarat pokok ketiga pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah
dicapai (accessible) oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian yang dimaksudkan
disini terutama dari sudut lokasi, dengan demikian untuk dapat mewujudkan
pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan
menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah
perkotaan saja, dan sementara itu tidak ditemukan di daerah pedesaan, bukanlah
pelayanan kesehatan yang baik.
d. Mudah dijangkau
Syarat pokok keempat pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah
dijangkau (affordable) oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan disini terutama
dari sudut biaya, untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat
diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan
ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan karena itu hanya
mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja, bukanlah pelayanan
kesehatan yang baik.
e. Bermutu
Syarat pokok kelima pelayanan kesehatan yang baik adalah yang bermutu
(quality). Pengertian mutu yang dimaksudkan disini adalah menunjuk pada tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak dapat
memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan dipihak lain tata cara
penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.
12
2.2 Konsep Dasar Puskesmas
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75
tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, dapat diuraikan sebagai berikut :
2.2.1 Pengertian Puskesmas
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP)
tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah
kerjanya.
1. Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)
Upaya Kesehatan Masyarakat merupakan kegiatan pelayanan
kesehatanyang ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran
keluarga, kelompok, dan masyarakat.
2. Upaya Kesehatan Peorangan (UKP)
Upaya Kesehatan Perorangan merupakan kegiatan pelayanan kesehatan
yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit,
pengurangan penderitaan akibat penyakit, dan memulihkan kesehatan
perseorangan.
Upaya Kesehatan Masyarakat dan Upaya Kesehatan Perorangan harus
dilaksanakan secara seimbang demi meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
2.2.2 Visi Puskesmas
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah
13
tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan
Sehat merupakan gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai
melalui pembangunan kesehatan yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan
dan berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu secara adil dan memiliki derajat kesehatan setinggi-
tingginya.
Indikator Kecamatan Sehat mencakup 4 indikator utama, yaitu :
1. Lingkungan sehat.
2. Perilaku sehat.
3. Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu.
4. Derajat kesehatan penduduk kecamatan.
Rumusan visi untuk masing-masing puskesmas harus mengcu pada visi
pembangunan kesehatan puskesmas yaitu Terwujudnya Kecamatan Sehat, yang
harus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat serta wilayah kesehatan
masyarakat setempat (Depkes RI, 2004).
Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Pasirian 2016, visi Puskesmas
Pasirian adalah Terwujudnya Masyarakat Pasirian Sehat dan Mandiri. Indikator
yang digunakan sama dengan indikator Kecamatan Sehat yang mencakup 4
indikator utama.
2.2.3 Misi Puskesmas
Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah
mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional. Misi tersebut
adalah:
14
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.
Puskesmas akan selalu menggerakkan pembangunan sektor lain yang
diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar memperhatikan aspek kesehatan, yakni
pembangunan yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan,
setidak-tidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat.
2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di
wilayah kerjanya. Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap keluarga dan
masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang
kesehatan, melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian
untuk hidup sehat.
3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Puskesmas akan selalu berupaya
menye elenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar dan
memuaskan masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan serta
meningkatkan efisiensi pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau oleh seluruh
anggota masyarakat.
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan
masyarakat berserta lingkungannya. Puskesmas akan selalu berupaya memelihara
dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan
yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan
menerapkan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dilakukan puskesmas mencakup
pula aspek lingkungan dari yang bersangkutan.
15
Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Pasirian 2016, misi Puskesmas
Pasirian adalah sebagai berikut :
1. Mendorong masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.
2. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan kemitraan masyarakat
dalam pembangunan berwawasan kesehatan.
3. Mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, merata
dan terjangkau oleh masyarakat.
2.2.4 Tujuan Puskesmas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 75
tahun 2014 pasal 2 ayat 1, pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di
puskemas bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang :
1. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat.
2. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu.
3. Hidup dalam lingkungan sehat.
4. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat.
Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Pasirian 2016, tujuan Puskesmas
Pasirian adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional
yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas, yang kemudian
dijelaskan dalam poin-poin berikut :
1. Menurunkan angka mortalitas.
2. Menurunkan angka morbiditas.
16
3. Meningkatkan status gizi masyarakat.
4. Meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai.
5. Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia.
2.2.5 Fungsi Puskesmas
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 75 tahun
2014 pasal 5, dalam melaksanakan tugasnya puskesmas memiliki fungsi sebagai
berikut :
a. menyelenggarakan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya
- melaksanakan perenanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan
masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan;
- melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
- melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan;
- menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang
bekerjasama dengan sektor lain terkait;
- melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya
kesehatan berbasis masyarakat;
- melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia puskesmas;
- memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;
- melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu,
dan cakupan pelayanan kesehatan;
- memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk
dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini serta respon penanggulangan
17
dukungan penyakit.
b. menyelenggarakan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya
- menyelanggarakan pelayanan kesehatan dasar secara komprehensif,
berkesinambungan dan bermutu;
- menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan upaya
promotif dan preventif;
- menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada individu,
keluarga, kelompok, dan masyarakat;
- menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan keamanan
dan keselamatan pasien, petugas, dan pengunjung;
- menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prinsip koordinatif dan
kerjasama inter dan antar profesi;
- melaksanakan rekam medis;
- melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses
pelayanan kesehatan;
- melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan;
- mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya;
- melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem
rujukan.
Selain menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5,
berdasarkan pasal 8, puskesmas juga dapat berfungsi sebagai wahana pendidikan
tenaga kesehatan.
18
2.2.6 Upaya Puskesmas
Demi tercapainya visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
puskesmas, terdapat upaya-upaya yang harus dilakukan. Upaya-upaya puskesmas
dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Upaya Kesehatan Wajib
Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya
ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan
wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah
Indonesia. Upaya kesehatan wajib tersebut adalah:
a. Upaya promosi kesehatan;
b. upaya kesehatan lingkungan
c. upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana;
d. upaya perbaikan gizi;
e. upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular;
f. upaya pengobatan.
2. Upaya Kesehatan Pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta yang
disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan
dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang telah ada, yaitu :
a. Upaya Kesehatan Sekolah;
b. upaya kesehatan olah raga;
c. upaya perawatan kesehatan masyarakat;
19
d. upaya kesehatan kerja;
e. upaya kesehatan gigi dan mulut;
f. upaya kesehatan jiwa;
g. upaya kesehatan mata;
h. upaya kesehatan usia lanjut;
i. upaya pembinaan pengobatan tradisional.
2.3 Gizi Buruk
2.3.1 Definisi Gizi Buruk
Gizi buruk merupakan faktor resiko terjadinya kesakitan dan kematian ibu
hamil serta balita. Hal ini merupakan masalah yang sering ditemukan pada negara-
negara berkembang dan membutuhkan perhatian khusus (Muller dan Krawinkel,
2005).
Gizi buruk merupakan suatu kondisi dimana seseorang dinyatakan
kekurangan zat gizi atau dengan ungkapan lain status gizinya di bawah standar rata-
rata. Zat gizi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori (Pudjiaji,
2003). Anak didiagnosis gizi buruk jika indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
<-3SD (Kemenkes, 2011).
Beberapa permasalahan gizi buruk pada bayi menurut Rusilanti, Dahila, dan
Yulianti (2015) adalah sebagai berikut :
1. Marasmus
Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang disebabkan karena anak
kekurangan energy atau karbohidrat. Marasmus ditandai dengan anak kurus, wajah
seperti orang tua, cengeng, rewel, lapisan lemak bawah kulit sangat sedikit, otot
menyusut dan lembek, tulang rusuk tampak jelas terlihat, tulang belakang terlihat
20
lebih menonjol dan kulit di pantat berkeriput, ubun-ubun besar cekung, tulang pipi
dan dagu menonjol, mata besar dan dalam, serta tekanan darah, detak jantung, dan
pernafasan berkurang.
2. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang disebabkan karena anak
kekurangan protein. Kwashiorkor ditandai dengan oedema terutama pada kaki
bagian bawah, moon face, rambut tipis berwarna cokelat kemerahan, kulit kering
bersisik dan hiperpigmentasi, crazy pavement dermatosis (bercak-bercak
putih/merah muda dengan tepi hitam dan ditemukan pada bagian tubuh yang sering
mendapat tekanan), hepatomegali.
3. Marasmic-kwashiorkor
Marasmic-kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang disebabkan karena
anak kekurangan energi dan juga protein. Tanda klinis dari marasmic-kwashiorkor
merupakan gabungan dari tanda klinis marasmus dan kwashiorkor.
2.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Gizi Buruk
a. Usia
Anak balita usia 1-5 tahun (usia prasekolah) merupakan usia dalam daur
kehidupan dimana pertumbuhan tidak sepesat pada masa bayi, tetapi aktivitasnya
banyak, masa yang menentukan dalam tumbuh kembangnya, yang akan menjadi
dasar terbentuknya manusia seutuhnya. Periode penting dalam tumbuh kembang
anak adalah masa balita. Hal ini dikarenakan pada masa balita pertumbuhan dasar
akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Balita yang
dalam masa pertumbuhan ini merupakan kelompok yang rentan terhadap adanya
perubahan dalam konsumsi makanan. Balita juga merupakan kelompok umur yang
21
rawan dengan gizi dan penyakit, kelompok yang paling rawan menderita akibat
gizi, kurang kalori protein (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).
Balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat karena anak usia dibawah lima tahun merupakan
kelompok yang rentan terhadap kesehatan dan gizi. Setiap negara secara bertahap
harus mampu mengurangi jumlah balita yang bergizi buruk atau kurang gizi
sehingga mencapai 15 % pada tahun 2015 (Saputra & Nurizka, 2013).
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor kejadian gizi buruk, hal ini
dibuktikan dengan hasil penelitian Novitasari (2012) bahwa jenis kelamin
perempuan memiliki kesempatan mengalami gizi buruk lebih besar dibandingkan
laki-laki. Goode (2000) menyatakan bahwa jenis kelamin perempuan paling banyak
mengalami gizi buruk karena di dalam kehidupan sehari-hari masih banyak
keluarga yang memberikan porsi lebih banyak kepada laki-laki daripada perempuan
dan mengutamakan pemberian makanan terlebih dahulu pada laki-laki setelah itu
baru perempuan.
c. BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah)
Menurut WHO, yang disebut BBLR adalah kelahiran bayi dengan berat badan
kurang dari 2500 gram, dan berdasarkan observasi epidemiologi bayi dengan berat
lahir rendah beresiko mengalami kematian 20 kali lipat dibanding dengan bayi yang
lahir dengan bobot lebih berat. Bayi yang lahir di bawah 2500 gram berkontribusi
terhadap hasil kesehatan yang buruk. Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah
kelahiran prematur, tetapi di negara berkembang BBLR disebabkan oleh
pembatasan pertumbuhan janin intrauterine yang kemungkinan dipengaruhi oleh
22
faktor gizi dan sosio-ekonomi ibu yang nantinya akan mempengaruhi pertumbuhan
anak, dimana ia akan terus tumbuh secara suboptimal setelah lahir. BBLR juga
dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas janin dan neonatal, pertumbuhan yang
buruk, gangguan perkembangan kognitif dan penyakit kronis yang akan terjadi saat
dewasa (Bhatia,2015).
Sebuah studi kasus kontrol dari India menemukan bahwa salah satu faktor
independen yang terkait dengan kekurangan gizi adalah berat bayi lahir rendah.
Anak yang mengalami malnutrisi memiliki status imun yang rendah sehingga akan
mudah rentan terhadap infeksi suatu penyakit (Olita’a dkk, 2014).
d. Pendidikan Ibu
Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara pendidikan ibu
dan kesehatan anak. Anak yang lahir dari perempuan berpendidikan kurang,
kebanyakan akan mengalami kekurangan gizi dengan manifestasi kurus, wasting,
serta stunting (Abuya, Ciare, dan Muage, 2012).
Glewwe (1999) dalam Abuya, Ciare, dan Muage (2012) mengemukakan tiga
hal mengenai pendidikan yang mempengaruhi kesehatan anak. Pertama, saat
pendidikan formal calon ibu mendapatkan pengetahuan kesehatan. Kedua,
keterampilan membaca dan berhitung yang diperoleh wanita di sekolah akan
meningkatkan kemampuan mereka untuk mengenali penyakit, kemampuan
membaca petunjuk medis, dan menerapkan pengobatan pada anak-anak mereka.
Ketiga, pengalaman wanita di sekolah membuat mereka lebih mudah untuk
menerima pengobatan modern. Penelitian lain membuktikan adanya hubungan
yang kuat antara pendidikan ibu, status sosial ekonomi dan status gizi anak. Hal ini
karena wanita yang berpendidikan cenderung memiliki pekerjaan dengan gaji yang
23
lebih tinggi, menikah dengan pria berpendidikan dengan gaji yang lebih tinggi, serta
tinggal di lingkungan yang lebih baik yang memiliki pengaruh terhadap kesehatan
dan kelangsungan hidup sang anak.
e. Status Sosial Ekonomi
Supariasa dalam Rimelfi (2014) menyatakan bahwa faktor sosial ekonomi
meliputi pendidikan, pekerjaan, teknologi, budaya, dan pendapatan keluarga.
Faktor ini akan berinteraksi satu dengan yang lain sehingga akan mempengaruhi
masukan zat gizi dan ikut mempengaruhi pertumbuhan anak.
Rusiandy (2012) menyatakan bahwa sosial ekonomi diartikan sebagai suatu
keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan seseorang dalam
posisi tertentu dalam struktur masyarakat. Pemberian posisi ini disertai pula
seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi si pembawa status misalnya,
pendapatan, dan pekerjaan.
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak,
karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun
sekunder. Sedangkan anak-anak dalam keluarga yang mempunyai status ekonomi
rendah lebih mungkin untuk mengembangkan berbagai masalah kesehatan kronis.
Arisman menemukan bahwa sebagian besar populasi yang kurang gizi selama krisis
ekonomi disebabkan oleh ketidakamanan pangan skala rumah tangga terutama pada
masyarakat miskin, meski memang kesulitan dalam memenuhi kecukupan gizi
tersebut dapat muncul pada semua tingkat pendapatan (Indarti, 2016).
f. Air Susu Ibu (ASI)
ASI merupakan sumber kehidupan bagi sang bayi pada periode extro-gestate
atau pasca kelahiran. Tidak ada makanan sesempurna ASI bagi bayi hingga umur 6
24
bulan dari kelahiran (Sitepoe, 2013). Menurut WHO, ASI eksklusif adalah
pemberian ASI saja tanpa tambahan cairan lain baik susu formula, air putih, air
jeruk, atau makanan tambahan lain sebelum mencapai usia enam bulan. ASI
memiliki banyak manfaat bagi sang bayi, diantaranya adalah ASI mempunyai
komposisi yang sesuai dengan kebutuhan bayi yang lahir, jumlah kalori yang
terdapat dalam ASI dapat memenuhi kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan, ASI
mengandung zat pelindung (antibodi) yang dapat melindungi bayi terhadap
penyakit, ASI eksklusif dapat menyebabkan perkembangan psikomotorik bayi
lebih cepat, dengan diberikannya ASI dapat memperkuat ikatan batin dan bayi,serta
masih banyak manfaat yang lainnya (Astutik, 2013).
g. Kelengkapan Imunisasi
Infeksi dan malnutrisi merupakan dua hal yang saling berpengaruh. Infeksi akan
menjadi predisposisi kekurangan gizi karena menyebabkan pengurangan asupan
nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, sementara malnutrisi akan
menyebabkan berkurangnya fungsi kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko dan/
atau memperparah kejadian infeksi.
Pada negara-negara berkembang, vaksinasi merupakan intervensi kesehatan
anak untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas, serta bertujuan untuk mencegah
kekurangan gizi di awal kehidupan. Anak yang mengalami malnutrisi masuk dalam
kelompok yang beresiko tinggi terkena penyakit menular serta mengalami
kematian, sehingga lebih ditekankan untuk mendapat vaksinasi jika dibandingkan
dengan anak yang memiliki gizi baik. Hal itu dikarenakan vaksin pada umumnya
bersifat imunogenik pada anak yang mengalami malnutrisi (Prendergast, 2015).
25
Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dinyatakan
bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan
untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi dan
pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.
Imunisasi dasar lengkap pada bayi (usia 0-11 bulan) terdiri dari 1 dosis Hepatitis B,
1 dosis BCG, 3 dosis DPT-HB-Hib, 4 dosis polio tetes, dan 1 dosis campak.
Berdasarkan InfoDatin 2016, cakupan imunisasi dasar lengkap berdasarkan
data rutin pada tahun 2010-2013 mencapai target Rencana Strategi (Renstra)
Kementerian Kesehatan. Namun pada tahun 2014 dan 2015 cakupan imunisasi
tidak mencapai target renstra yang diharapkan.
Desa/ Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) adalah gambaran suatu
desa/ kelurahan dimana minimal ≥80% dari jumlah bayi (0-11 bulan) yang ada di
desa/ kelurahan tersebut sudah mendapat imunisasi dasar lengkap. Capaian
sementara desa/ kelurahan UCI pada tahun 2015 adalah sebesar 82,2%, dimana
provinsi Jawa Timur masih mencapai 76,5%.
h. Penyakit Penyerta
1. Penyakit infeksi yang didapat (acquired)
Kekurangan gizi akan meningkatkan frekuensi, tingkat keparahan, serta
kefatalan dari banyak infeksi, termasuk tuberkulosis (TB). Begitu pula
sebaliknya, infeksi dapat memperparah terjadinya gizi buruk. Kekurangan gizi
merupakan penyebab tersering dari imunodefisiensi sekunder yang
mempengaruhi imunitas bawaan dan adaptif, hal ini disebut dengan sindrom
defisiensi imun bawaan gizi. Immunodefisiensi yang terkait dengan kekurangan
gizi berkontribusi terhadap hampir setengah kematian akibat infeksi umum
26
yang terjadi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun (Bhargava, 2016). Berikut
beberapa penyakit penyerta yang dapat terjadi :
- Tuberkulosis (TBC)
Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTB) yaitu bakteri bacillus yang tumbuh lambat
dan ditularkan melalui aerosol ke sistem pernafasan. Pada anak-anak, MTB
biasanya meginfeksi dengan cara kontak dengan orang yang memiliki penyakit
paru disertai batuk berdahak. Setelah infeksi awal, kemungkinan MTB akan
tinggal di dalam tubuh anak dan tidak dapat diberantas oleh sistem kekebalan
tubuh anak tersebut, sehingga akan mengakibatkan infeksi TB laten (LTBI),
atau dapat berlanjut ke salah satu dari beberapa fenotipe klinis. Pada orang
dewasa, TB akan menyebabkan penyakit pernafasan, sedangkan pada anak-
anak, TB dapat menyebabkan sindrom penyakit ekstrapulmoner seperti
limfadenopati, TB milier, atau meningitis. Pola penyakit pernafasan pada anak
berbeda dengan orang dewasa, pada anak-anak terkadang infeksi TB lamban
dan muncul gejala non-spesifik seperti penurunan berat badan dan demam
terus-menerus (Jones dan Berkley, 2014).
- HIV AIDS
AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh retrovirus, Human
Immunodeficiency Virus (HIV), yang menyerang dan merusak sistem
pertahanan alami tubuh terhadap penyakit dan infeksi. Nutrisi dan HIV
merupakan dua hal yang saling berpengaruh. HIV dapat merusak kekebalan
tubuh yang menyebabkan malnutrisi dan defisiensi imun lebih lanjut, serta
dapat berkontribusi terhadap perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS. Orang
27
yang menderita gizi buruk dan telah terinfeksi HIV akan lebih cepat mengalami
AIDS karena tubuhnya lemah untuk melawan infeksi, sedangkan orang yang
bergizi baik lebih mampu untuk melawan infeksi. Telah terbukti bahwa nutrisi
yang baik dapat meningkatkan energi, ketahanan tubuh terhadap infeksi dan
penyakit, sehingga membuat seseorang menjadi lebih kuat dan lebih produktif
(Duggal S, Chugh, dan Duggal A.K, 2012).
- Diare Persisten
Diare persisten sebagai berlanjutnya episode diare selama 14 hari atau lebih
yang dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah. Diare ini merupakan
penyebab penting dari kekurangan mikronutrien yang dapat mengganggu
perkembangan saraf, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta dapat
memperparah penyakit yang dialami sang anak (Moore, Lima, dan Soares,
2010).
Pada suatu penelitian ditemukan beberapa faktor resiko diare persisten,
diantaranya adalah kekurangan energi protein, defisiensi vitamin A, infeksi
saluran pernapasan bagian bawah dan penggunaan antibiotik sebelumnya.
Tidak ada organisme spesifik yang ditemukan terkait dengan diare persisten.
TB bukanlah faktor kontribusi yang signifikan dalam diare persisten secara
statistik. Dengan dukungan nutrisi yang tepat, pemberian suplementasi vitamin
A, cepat dalam mencari infeksi sekunder, serta pengobatannya sangat penting
dalam pengelolaan diare persisten (Umamaheswari dkk, 2010).
2. Penyakit infeksi maternal (kongenital)
Beberapa infeksi yang ditularkan ke janin dapat mengakibatkan morbiditas
neonatal atau kematian janin. Transmisi bisa terjadi hematogen dari ibu ke bayi
28
atau sebagai ascending infection melalui serviks uterus. Sistem kekebalan tubuh
janin bergantung pada antibodi maternal dari ibu yang didapat secara
transplasenta. Sehingga jika ibu mengalami infeksi yang terjadi di masa
perinatal, mungkin tidak akan menghasilkan perlindungan kekebalan yang
cukup untuk diberikan pada janin. Cytomegalovirus (CMV), virus rubella, virus
varicella-zoster, hepatitis B dan C, dan Virus Zika bisa menular pada janin
melalui darah. Selain itu, organisme penting yang terdapat pada ascending
infection adalah kelompok B streptococcus (GBS), herpes simplex virus
(HSV),dan Escherichia coli. Infeksi yang terjadi selama kehamilan dapat
mengakibatkan aborsi spontan, bayi lahir mati, lahir premature, serta berat
badan lahir rendah (Khan, Morris, dan Bhutta, 2017).
i. Pengetahuan Ibu
Pentingnya pengetahuan ibu tentang klasifikasi dan nilai gizi suatu makanan
diperlukan untuk merancang penyediaan makanan serta edukasi pada sang anak.
Pemberian serta kebiasaan makan sang bayi akan berpengaruh terhadap masa depan
yang relevan dengan kesehatan, perkembangan, dan pertumbuhan sang anak
(Oliveros dkk, 2014).
j. Asupan Makanan
Purwaningrum dan Wardani (2012) menyatakan bahwa asupan makanan
berhubungan dengan status gizi balita. Balita yang status gizinya normal, sebagian
besar mempunyai asupan makanan yang cukup.
Pada usia bayi, makanan gizi seimbang sangat dibutuhkan karena akan
memengaruhi kualitas pada usia dewasa hingga usia lanjut. Gizi makanan yang
29
seimbang juga akan memengaruhi pertumbuhan sel otak, dimana pertumbuhan sel
otak terhenti pada usia 3 sampai 4 tahun (Rusilanti, Dahila, dan Yulianti, 2015).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi bangsa
Indonesia diuraikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, Serat, dan Air
yang dianjurkan untuk orang Indonesia (perorang perhari)
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Vitamin yang dianjurkan untuk orang Indonesia
(perorang perhari)
Kelompok
Umur
(Bayi/Anak)
0-6
Bulan
7-11
Bulan
1-3
tahun
4-6
tahun
7-9
tahun
BB (kg) 6 9 13 19 27
TB (cm) 61 71 91 112 130
Energi (kkal) 550 725 1125 1600 1850
Protein (g) 12 18 26 35 49
Lemak (g)
Total 34 36 44 62 72
n-6 4,4 4,4 7,0 10,0 10,0
n-3 0,5 0,5 0,7 0,9 0,9
Karbohidrat (g) 58 82 155 220 254
Serat (g) 0 10 16 22 26
Air (mL) - 800 1200 1500 1900
Kelompok Umur
(Bayi/ Anak)
0-6
bulan
7-11
bulan
1-3
tahun
4-6
tahun
7-9
tahun
Vitamin A (mcg) 375 400 400 450 500
Vitamin D (mcg) 5 5 15 15 15
Vitamin E (mcg) 4 5 6 7 7
Vitamin K (mcg) 5 10 15 20 25
Vitamin B1 (mg) 0,3 0,4 0,6 0,8 0,9
Vitamin B2 (mg) 0,3 0,4 0,7 1,0 1,1
Vitamin B3 (mg) 2 4 6 9 10
Vitamin B5 (mg) 1,7 1,8 2,0 2,0 3,0
Vitamin B6 (mg) 0,1 0,3 0,5 0,6 1,0
Folat (mcg) 65 80 160 200 300
Vitamin B12 (mcg) 0,4 0,5 0,9 1,2 1,2
30
k. Budaya
Budaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi, contohnya
pada sebagian masyarakat tertentu di Indonesia, daging dianggap menimbulkan
cacingan pada anak sehingga dianggap lebih baik tidak memberikan daging kepada
anak (Hendarto dan Musa, 2002). Wardani (2015) dalam penelitiannya
memaparkan bahwa diantara sepuluh orang ibu yang diwawancarai mengenai
rutinitas ibu membawa balita ke Posyandu setiap bulan, menunjukkan hanya
terdapat empat ibu saja yang rutin membawa anak ke Posyandu. Rata rata alasan
ibu tidak membawa balitanya ke Posyandu karena rutinitas pekerjaan rumah yang
bagi mereka tidak dapat ditinggalkan, menganggap bahwa Posyandu itu hanya
menimbang saja, rasa malas untuk datang ke Posyandu, dan ada yang menganggap
bahwa imunisasi itu haram sehingga hal ini menjadikan paradigma negatif tentang
Posyandu.
l. Lingkungan fisik dan kimia
Faktor lingkungan kimia dapat berupa paparan polusi terhadap anak. Astuti,
Rahayu, dan Surasmi (2012) memaparkan dalam penelitiannya kemungkinan
pencemaran udara dalam rumah, misalnya asap rokok yang dihisap oleh
orangtuanya atau anggota keluarga yang lain, tetangga, dan bisa juga karena asap
pembakaran untuk memasak. Selain faktor tersebut, ventilasi yang kurang atau
tidak baik dan kepadatan hunian juga merupakan faktor risiko terjadinya ISPA
Kelompok Umur
(Bayi/ Anak)
0-6
bulan
7-11
Bulan
1-3
tahun
4-6
tahun
7-9
tahun
Biotin (mcg) 5 6 8 12 12
Kolin (mcg) 125 150 200 250 375
Vitamin C (mcg) 40 50 40 45 45
31
dapat merusak paru-paru. Jayani (2015) mengungkapkan bahwa ISPA merupakan
salah satu penyakit infeksi yang dapat menyebabkan imunitas anak turun sehingga
akan mempengaruhi status gizi anak tersebut.
Faktor lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi status gizi balita adalah
sanitasi lingkungan. Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan
terjadinya berbagai jenis penyakit, antara lain diare dan ISPA (Abeng, Ismail, dan
Huriyati, 2014). Penyakit lain yang juga dapat terjadi adalah tipus, hepatitis,
leptospirosis, malaria, demam berdarah, kudis, penyakit pernafasan kronis, dan
infeksi parasit usus (UNICEF,2012). Lebih lanjut, penyakit infeksi dalam tubuh
akan membawa pengaruh terhadap keadaan gizi anak. Sebagai reaksi pertama
adanya infeksi adalah menurunya nafsu makan anak dan anak cenderung menolak
makanan yang diberikan oleh pengasuhnya, hal itu menyebabkan asupan zat gizi ke
dalam tubuh anak berkurang dan pada akhirnya dapat menimbulkan gangguan gizi
(Abeng, Ismail, dan Huriyati, 2014).
2.3.3 Prevalensi Gizi Buruk
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2013, didapatkan data
prevalensi gizi buruk di Indonesia tahun 2007 sebesar 5,4%, tahun 2010 sebesar
4,9%, dan tahun 2013 sebesar 5,7%. Berdasarkan hasil Penilaian Status Gizi (PSG)
2016 didapatkan data prevalensi gizi buruk di Indonesia pada tahun 2016 sebesar
3,4% dan gizi kurang sebesar 14,4%. Sasaran MDG’s tahun 2015 untuk prevalensi
gizi kurang-buruk adalah 15,5%. Berdasarkan data tersebut, prevalensi gizi buruk
di Indonesia sudah turun jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi untuk
prevalensi gizi kurang-buruk masih melebihi sasaran MDG’s tahun 2015, sehingga
prevalensi gizi kurang-buruk secara nasional harus diturunkan sebesar 2,3%.
32
Diantara provinsi-provinsi Indonesia pada tahun 2016, posisi Jawa Timur jika
dilihat dari tingkat status gizi kurang-buruk termasuk ke dalam kelompok
menengah sebesar 17,3% atau 0,5% di bawah rata-rata nasional. Menurut data
Dinas Kesehatan Kabupaten Lumajang pada tahun 2016 angka gizi buruk di
Kabupaten Lumajang sebesar 0,62%, dengan Kecamatan Pasirian sebagai
penyumbang gizi buruk terbanyak yaitu 1,18%.
2.3.4 Patofisiologi Gizi Buruk
Gizi buruk merupakan manifestasi dari ketidakseimbangan asupan protein
dan atau energi secara kronis. Gizi buruk diketahui dengan cara pengukuran
antropometri yaitu berat badan (BB), tinggi badan (TB), atau umur dibanding
dengan standar, dengan atau tanpa marasmus, kwarshiorkor, marasmus-
kwarshiorkor. Marasmus terjadi karena kekurangan asupan energi atau karbohidrat
dalam jangka waktu lama sehingga cadangan lemak tubuh akan digunakan untuk
memproduksi energi yang menyebabkan balita menjadi kurus (wasting).
Kwarshiorkor terjadi karena asupan protein tidak adekuat dalam jangka waktu yang
lama. Deplesi protein dalam tubuh dapat menyebabkan edema (Rusilanti, Dahila,
dan Yulianti, 2015).
Tubuh akan beradaptasi untuk memperlambat dan mencegah progresivitas
dengan mengoptimalkan penggunaan cadangan energi. Hal ini dicapai dengan
mengurangi metabolisme basal, mengurangi sekresi faktor anabolik dan
meningkatkan hormon katabolik. Cadangan makanan diambil dari lemak bawah
kulit dan protein pada otot sehingga terjadi penyusutan massa otot dan lemak
subkutan. Hal inilah yang menyebabkan penderita gizi buruk kurus dan mempunyai
kulit tipis, kering, dan berkeriput (Hoffer, 2001).
33
Bagan Patofisiologi Gizi Buruk
(Anwar, 2013)
Gambar 2.1 Patofisiologi Gizi Buruk
Turgor atau elastisitas kulit pada penderita gizi buruk jelek karena sel
kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella negatif terjadi karena kekurangan aktin
myosin pada tendon patella dan degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangan
protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali
terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi
marasmus
asupan kalori &
nutrisi
tidak adekuat
kebutuhan tubuh terus
meningkat
cadangan makanan
diambil
dari lemak bawah
kulit
kebutuhan nutrisi &
kalori
tidak terpenuhi
defisiensi nutrisi &
kalori
gangguan
pertumbuhan &
perkembangan
kurang makan, menderita penyakit,
kemiskinan, pendidikan rendah
gizi buruk kondisi sakit ansietas minim
informasi
jarang
pengetahuan
absorbsi
di usus ↓
diare ketidakseimbangan
volume cairan
penyusutan
jaringan
hilangnya
lemak subkutan
kulit tipis, kering, &
berkeriput
gangguan
intergritas kulit
sistem imun ↓
komplikasi
Kwashiorkor
asupan nutrisi
& protein
tidak adekuat
kebutuhan
nutrisi terus ↑
defisiensi
protein &
kalori
respon tubuh
kadar
albumin
serum ↓
tekanan
osmotik
darah ↓
oedema
ketidak-
seimbangan
volume
cairan
resiko
kematian
dalam waktu
lama
nutrisi
kurang dari
kebutuhan
tubuh
nutrisi
jaringan & sel
tubuh ↓
metabolisme ↓
energi tidak
adekuat
kelemahan
gangguan
pola aktivitas
kondisi
bedrest
defisit
perawatan
diri
resiko cidera
badan
kurus
gangguan
citra diri
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
34
penurunan pembentukan beta-lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan
LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit
ditransport ke jaringan-jaringan sehingga terjadi penumpukan lemak di hepar.
Tanda khas pada penderita kwarshiorkor adalah pitting edema. Pitting edema
adalah edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema
disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskuler
menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma ke intersisial. Plasma
masuk ke intersisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita kwarshiorkor tidak ada
kompensasi dari ginjal untuk reabsorbsi natrium yang berfungsi menjaga
keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwarshiorkor, selain defisiensi protein
juga defisiensi multinutrien (Ahmed, Rahman, dan Cravioto, 2009).
2.3.5 Kriteria Diagonosis
Diagnosis anak gizi buruk menurut buku Pedoman Pelayanan Anak Gizi
Buruk dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Gizi buruk tanpa komplikasi :
1. BB/TB <-3SD dan atau;
2. terlihat sangat kurus dan atau;
3. adanya edema dan atau;
4. LILA <11,5cm untuk anak usia 6-59 bulan dan atau;
5. nafsu makan baik dan atau;
6. tanpa komplikasi medis (Kemenkes, 2011).
b. Gizi buruk dengan komplikasi
Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah satu atau lebih
dari tanda komplikasi medis berikut :
35
1. Anoreksia;
2. anemia berat;
3. pneumonia berat;
4. dehidrasi berat;
5. demam sangat tinggi;
6. penurunan kesadaran (Kemenkes RI, 2011).
2.3.6 Terapi
Terapi pada balita gizi buruk memiliki alur pemeriksaan yang nantinya akan
menentukan perawatan yang diperlukan untuk masing-masing kasus. Berikut alur
pemeriksaan balita gizi buruk menurut Buku Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk:
A. Rawat Jalan
1. Pemeriksaan klinis
Dokter melakukan anamnesa untuk mencari riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik dan mendiagnosa penyakit, serta menentukan ada atau tidak penyakit
penyerta, tanda klinis atau komplikasi.
2. Pemberian konseling
- Menyampaikan informasi kepada ibu/pengasuh tentang hasil penilaian
pertumbuhan anak
- Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab kurang gizi
- Memberi nasihat sesuai penyebab kurang gizi
- Memberikan anjuran pemberian makan sesuai umur dan kondisi anak
dan cara menyiapkan makan formula, melaksanakan anjuran makan dan
memilih atau mengganti makanan
36
(Kementerian Kesehatan, 2011)
Gambar 2.2 Alur Pemeriksaan Balita Gizi Buruk
3. Pemberian paket obat dan makanan untuk pemulihan gizi
- Bila pada saat kunjungan ke puskesmas anak dalam keadaan sakit, maka
oleh tenaga kesehatan anak diperiksa dan diberikan obat:
a. Vitamin A dosis tinggi diberikan pada anak gizi buruk dengan dosis
sesuai umur pada saat pertama kali ditemukan.
b. Makanan untuk pemulihan gizi dapat berupa makanan local atau
pabrikan
- Makanan untuk pemulihan gizi adalah makanan padat energy
yang diperkaya dengan vitamin dan mineral.
- Makanan untuk pemulihan gizi diberikan kepada anak gizi buruk
selama masa pemulihan.
- Makanan untuk pemulihan gizi dapat berupa : F100, makanan
therapeutic/ gizi siap saji dan makanan lokal. Makanan lokal
37
dengan bentuk mulai dari makanan bentuk cair, lumat, lembik,
padat.
- Bahan dasar utama makanan untuk pemulihan gizi dalam
formula F100 dan makanan siap saji (theraupetic feeding) adalah
minyak, susu, tepung, gula, kacang-kacangan, dan sumber
hewani. Kandungan lemak sebagai sumber energi sebesar 30-
60% dari total kalori.
- Makanan total dengan kalori 200 kkal/kg BB per hari, yang
diperoleh dari lemak 30-60% dari total energi, protein 4-6g/kg
BB per hari.
- Apabila akan menggunakan makanan lokal tidak dilakukan
secara tunggal (makanan lokal saja) tetapi harus dikombinasikan
dengan makanan formula.
- Jumlah dan frekuensi :
1. Anak gizi buruk dengan tanda klinis diberikan secara
bertahap. Fase rehabilitasi awal 150 kkal/kg BB per hari,
yang diberikan 5-7 kali pemberian/ hari. Diberikan selama
satu minggu dalam bentuk makanan cair (Formula 100).
Fase rehabilitasi lanjutan 200-220 kkal/kg BB per hari, yang
diberikan 5-7 kali pemberian per hari (Formula 100).
2. Anak gizi buruk tanpa tanda klinis langsung diberikan fase
rehabilitasi lanjutan 200-220 kkal/kg BB per hari, yang
diberikan 5-7 kali pemberian/hari (Formula 100).
38
4. Rawat Inap
- Pelayanan medis, keperawatan dan konseling gizi sesuai dengan
penyakit penyerta/penyulit.
- Pemberian formula dan makanan sesuai dengan fase sebagai berikut:
1.) Fase Stabilisasi
Diberikan makanan formula 75 (F-75) dengan asupan gizi 80-100
kkal/kgBB/hari dan protein 1-1,5 g/kgBB/hari. ASI tetap diberikan pada
anak yang masih mendapatkan ASI.
2.) Fase Transisi
Pada fase transisi ada perubahan pemberian makanan dari F-75
menjadi F-100. Diberikan makanan formula 100 (F-100) dengan asupan
gizi 100-150 kkal/kgBB/hari dan protein 2-3 g/kgBB/hari.
3.) Fase Rehabilitasi
Diberikan makanan seperti pada fase transisi yaitu F-100, dengan
penambahan makanan untuk anak dengan BB < 7 kg diberikan makanan
bayi dan untuk anak dengan BB > 7 kg diberikan makanan anak. Asupan
gizi 150-220 kkal/kgBB/hari dan protein 4-6 g/kgBB/hari.
4.) Fase Tindak Lanjut (dilakukan di rumah)
Setelah anak pulang dari PPG, anak tetap dikontrol oleh Puskesmas
pengirim secara berkala melalui kegiatan Posyandu atau kunjungan ke
Puskesmas. Lengkapi imunisasi yang belum diterima, berikan imunisasi
campak sebelum pulang. Anak tetap melakukan kontrol (rawat jalan)
pada bulan I satu kali/ minggu, bulan II satu kali/ 2 minggu, selanjutnya
sebulan sekali sampai dengan bulan ke-6. Tumbuh kembang anak
39
dipantau oleh tenaga kesehatan Puskesmas pengirim sampai anak
berusia 5 tahun.
2.4 Gizi Seimbang
Berdasarkan Kemenkes RI (2014), gizi seimbang merupakan susunan
pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai
dengan kebutuhan tubuh, dengan memperhatikan prinsip gizi seimbang yang terdiri
dari 4 pilar, yaitu keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih dan
mempertahankan berat badan normal untuk mencegah masalah gizi. Gizi seimbang
mengandung komponen-komponen yang lebih kurang sama, yaitu: cukup secara
kuantitas, cukup secara kualitas, mengandung berbagai zat gizi (energi, protein,
vitamin dan mineral) yang diperlukan tubuh untuk tumbuh (pada anak-anak), untuk
menjaga kesehatan dan untuk melakukan aktivitas dan fungsi kehidupan sehari-hari
(bagi semua kelompok umur dan fisiologis), serta menyimpan zat gizi untuk
mencukupi kebutuhan tubuh saat konsumsi makanan tidak mengandung zat gizi
yang dibutuhkan. Berikut merupakan gizi seimbang yang diperlukan berdasarkan
usia (0-5tahun):
1. Gizi Seimbang untuk Bayi 0-6 bulan
Gizi seimbang untuk bayi 0-6 bulan cukup hanya dari ASI. ASI merupakan
makanan yang terbaik untuk bayi oleh karena dapat memenuhi semua zat gizi yang
dibutuhkan bayi sampai usia 6 bulan, sesuai dengan perkembangan sistem
pencernaannya, murah dan bersih. Oleh karena itu setiap bayi harus memperoleh
ASI Eksklusif yang berarti sampai usia 6 bulan hanya diberi ASI saja.
2. Gizi Seimbang untuk Anak 6-24 bulan
Pada anak usia 6-24 bulan, kebutuhan terhadap berbagai zat gizi semakin
40
meningkat dan tidak lagi dapat dipenuhi hanya dari ASI saja. Pada usia ini anak
berada pada periode pertumbuhan dan perkembangan cepat, mulai terpapar
terhadap infeksi dan secara fisik mulai aktif, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi
harus terpenuhi dengan memperhitungkan aktivitas bayi/anak dan keadaan infeksi.
Agar mencapai gizi seimbang maka perlu ditambah dengan Makanan Pendamping
ASI atau MP-ASI, sementara ASI tetap diberikan sampai bayi berusia 2 tahun. Pada
usia 6 bulan, bayi mulai diperkenalkan kepada makanan lain, mula-mula dalam
bentuk lumat, makanan lembik dan selanjutnya beralih ke makanan keluarga saat
bayi berusia 1 tahun.
Secara bertahap, variasi makanan untuk bayi usia 6-24 bulan semakin
ditingkatkan, bayi mulai diberikan sayuran dan buah-buahan, lauk pauk sumber
protein hewani dan nabati, serta makanan pokok sebagai sumber kalori. Demikian
pula jumlahnya ditambahkan secara bertahap dalam jumlah yang tidak berlebihan
dan dalam proporsi yang juga seimbang.
3. Gizi Seimbang untuk Anak usia 2-5 tahun
Kebutuhan zat gizi anak pada usia 2-5 tahun meningkat karena masih berada
pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi. Demikian juga anak sudah
mempunyai pilihan terhadap makanan yang disukai termasuk makanan jajanan.
Oleh karena itu jumlah dan variasi makanan harus mendapatkan perhatian secara
khusus dari ibu atau pengasuh anak, terutama dalam “memenangkan” pilihan anak
agar memilih makanan yang bergizi seimbang. Disamping itu anak pada usia ini
sering keluar rumah sehingga mudah terkena penyakit infeksi dan kecacingan,
sehingga perilaku hidup bersih perlu dibiasakan untuk mencegahnya.
41
2.5 Aplikasi Model Epidemiologi pada Analisis Faktor Resiko Prevalensi Gizi
Buruk
2.5.1 Model segitiga epidemiologi
Model segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen
penyakit yaitu manusia (Host), penyebab (Agent) dan lingkungan (Environment).
Menurut Hockennberry dan Wilson, 2009 penyakit dapat terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara faktor agent, host, dan environment. Dalam model ini
faktor agent adalah yang bertanggung jawab terhadap penyebab penyakit meliputi
infectious agent yaitu organisme penyebab penyakit, physical agent dan chemical
agent. Faktor penjamu (Host) adalah individu atau populasi yang berisiko terpajan
penyakit meliputi faktor genetik atau gaya hidup. Faktor lingkungan (Enviroment)
adalah tempat dimana host hidup termasuk cuaca dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan rumah, tetangga dan sekolah.
Gambar di bawah memperlihatkan segitiga dalam status keseimbangan
(ekuilibrium) yang normal. Keseimbangan bukan menandakan kesehatan yang
optimum, tetapi pola biasa yang sederhana dari kondisi sehat dan sakit dalam
populasi. Berbagai perubahan yang terjadi pada salah satu sisi (agent, host, dan
environment) akan menghasilkan ketidakseimbangan.
(Hockenberry and Wilson, 2009)
Gambar 2.3 The Epidemiologic triangle
Host
Agent Environment
42
Berikut adalah penjabaran hubungan 3 komponen yang terdapat dalam
model segitiga epidemiologi dengan faktor risiko terjadinya gizi buruk :
1. Faktor penyebab (agent) adalah penyebab dari penyakit infeksi yang
terjadi pada balita yaitu berupa virus,bakteri, dan jamur.
2. Faktor Manusia (host) adalah manusia atau pasien. Faktor risiko dalam
hal ini meliputi: berat badan lahir dan penyakit kongenital.
3. Faktor Lingkungan (environment) adalah yang dapat menjadi faktor
risiko terjadinya gizi buruk yang meliputi sosial ekonomi keluarga,
pengetahuan ibu mengenai gizi seimbang, tingkat pendidikan ibu yang
akan mempengaruhi pemberian ASI, asupan makanan, serta pemberian
imunisasi.
2.5.2 Model Web of Causation
Pencetus teori web of causation adalah Mac Mahon, Pugh, dan Ipsen (1960).
Konsepnya adalah setiap kondisi kesehatan tidak hanya tergantung pada sebuah
faktor penyebab, melainkan tergantung pada sejumlah faktor dalam rangkaian
proses sebab akibat. Semua faktor dapat membentuk “web of causation” dimana
setiap penyebab saling terkait satu sama lain. Web of causation mencoba untuk
mengidentifikasi semua kemungkinan yang dapat mempengaruhi kondisi
kesahatan, baik sehat maupun sakit (Anderson, 2010).
Faktor-faktor yang membentuk web of causation gizi buruk adalah
pendidikan ibu, status sosial ekonomi, pengetahuan ibu, kelengkapan imunisasi,
penyakit penyerta yang akan diperparah oleh infeksi, BBLR, asupan makanan, serta
ASI (Novitasari, 2012).
43
(Novitasari,2012)
Gambar 2.4 Web of causation faktor resiko kejadian gizi buruk balita
2.5.3 Metode Wheel of Causation
Model ini digambarkan dengan lingkaran yang di dalamnya terdapat
lingkaran lebih kecil. Lingkaran yang besar sebagai faktor eksternal dan lingkaran
yang kecil sebagai faktor internalnya.
(Raj Bhopal, 2016)
Gambar 2.5 Wheel of causation
Faktor internalnya (host) menyatakan bahwa suatu penyakit disebabkan
oleh adanya interaksi antara genetik dengan lingkungannya. Faktor internal juga
berkaitan dengan kepribadian individu dimana kepribadian tertentu akan
meningkatkan resiko penyakit tertentu. Faktor eksternal pada model ini adalah
lingkungan yang juga dibedakan menjadi lingkungan biologi (agent berupa virus,
44
jamur, bakteri), fisik (kebersihan lingkungan, ventilasi tempat tinggal) dan sosial
(budaya, ekonomi, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan). Model ini biasanya
digunakan untuk menggambarkan penyakit yang penyebabnya tidak spesifik,
seperti penyakit jantung, stroke, hipertensi, kanker. Dimana menekankan faktor
lingkungan sebagai penyebab terjadinya penyakit (Rajab, 2009).
2.5.4 Model Hendrik L. Blum
Menurut teori Hendrik L. Blum (1974) dalam Proverawati 2012, status
kesehatan dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling
berinteraksi satu sama lain. Keempat faktor penentu tersebut adalah lingkungan,
perilaku (gaya hidup), keturunan dan pelayanan kesehatan.
Makna panah berdasarkan model Hendrik L Blum yang menuju kepada
status kesehatan memiliki ukuran yang berbeda, dimana perilaku memiliki ukuran
panah paling besar. Hal ini disebabkan karena perilaku memiliki peranan yang
paling besar, karena dapat di intervensi dengan mudah kemudian yang kedua adalah
lingkungan dan yang ketiga adalah pelayanan kesehatan. Genetik atau keturunan
tidak dapat di intervensi oleh sebab itu memiliki panah dengan ukuran paling kecil
(Effendy, 2016).
(Hendrik L Blum, 1974)
Gambar 2.6 Faktor yang mempengaruhi status kesehatan
LINGKUNGAN PELAYANAN
KESEHATAN
KETURUNAN
PERILAKU
STATUS
KESEHATAN
45
Gambar 2.6 memperlihatkan sehat tidaknya seseorang tergantung 4 faktor
yaitu keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan. Faktor tersebut
berpengaruh langsung pada kesehatan dan juga berpengaruh satu sama lain. Status
kesehatan akan tercapai optimal jika empat faktor tersebut kondisinya juga optimal.
Bila salah satu faktor terganggu, status kesehatan tergeser kearah di bawah optimal.
a. Faktor genetik atau keturunan
Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia
yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti
diabetes melitus dan asma bronchial. Keturunan adalah faktor risiko yanng tidak
mungkin kita hindari. (Effendy, 2016).
b. Faktor pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan
dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan
dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang memerlukan pelayanan
kesehatan. Ketersediaan fasilitas kesehatan dipengaruhi oleh lokasi, apakah dapat
dijangkau atau tidak. Yang kedua adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan
kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
memerlukan. (Effendy, 2016).
Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat
membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya
untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan.
Terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak dibutuhkan
masyarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang kesehatan juga
46
mesti ditingkatkan. Puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan
masyarakat sangat besar peranannya, sebab di puskesmas akan ditangani
masyarakat yang membutuhkan edukasi dan perawatan primer. (Effendy, 2016).
c. Faktor perilaku
Perilaku merupakan faktor pertama yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu,
keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Di
samping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan,
pendidikan sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku yang melekat pada dirinya.
(Effendy, 2016)
Perilaku, baik individu maupun masyarakat dalam menjaga kesehatan
memegang peranan sangat penting untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2015. Hal
ini dikarenakan budaya hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan dari dalam
diri sendiri maupun masyarakat untuk menjaga kesehatannya. Individu dan
masyarakat yang berprilaku hidup bersih dan sehat akan menghasilkan budaya
menjaga lingkungan yang bersih dan sehat. Pembuatan peraturan tentang
berperilaku sehat juga harus dibarengi dengan pembinaan untuk menumbuhkan
kesadaran pada individu dan masyarakat. Pembinaan dapat dimulai dari lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat sebagai role model
harus diajak turut serta dalam menyukseskan program-program kesehatan. Faktor
perilaku, seperti pada penjelasan sebelumnya, mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap tercapainya derajat kesehatan. Perilaku dapat mempengaruhi
lingkungan, pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan yang telah disiapkan
maupun terhadap kemungkinan masalah genetik yang timbul (Chandra, 2009).
47
d. Faktor Lingkungan
Lingkungan memiliki pengaruh cukup besar. Lingkungan sangat bervariasi,
umumnya digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan dengan
aspek fisik, biologi dan sosial. Lingkungan fisik yaitu bersifat abiotik atau benda
mati seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-
lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang
waktu dan masa serta memegang peranan penting dalam proses terjadinya penyakit
pada masyarakat. Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi
sumber berkembangnya penyakit. Hal ini jelas membahayakan kesehatan
masyarakat kita. Terjadinya penumpukan sampah yang tidak dapat dikelola dengan
baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat menjadi penyebab. Lingkungan biologis
yaitu bersifat biologis atau benda hidup misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan, virus,
bakteri, jamur, parasit, serangga, dan lain-lain yang dapat berperan sebagai agen
penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes intermediate. Hubungan
manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat dinamis dan pada keadaan tertentu
saat terjadi ketidakseimbangan di antara hubungan tersebut, manusia akan menjadi
sakit. Lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antar manusia seperti
kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Berupa kultur, adat istiadat,
kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar, gaya hidup, pekerjaan, kehidupan
kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik. Manusia dipengaruhi oleh
lingkungan sosial melalui berbagai media seperti radio, TV, pers, seni, literatur,
cerita, lagu, dan sebagainya. Bila manusia tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan sosial, akan terjadi konflik kejiwaan dan menimbulkan gejala
psikosomatik seperti stres, insomnia, depresi, dan lain-lain. Upaya menjaga
48
lingkungan menjadi tanggungjawab semua pihak untuk itulah perlu kesadaran
semua pihak (Chandra, 2009).
2.5.5 Teori Lawrence Green
Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat
kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok,
yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour
causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor :
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan
sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Model ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Keterangan :
B = Behavior F = Fungsi
PF = Predisposing Factors
EF = Enabling Factors
RF = Reinforcing Factors
B=F (PF, EF, RF)
49
Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan
ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang
atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap,
dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan
memperkuat terbentuknya perilaku.
Seseorang yang tidak mau mengimunisasikan anaknya di posyandu dapat
disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi
bagi anaknya (predisposing factors). Atau barangkali juga karena rumahnya jauh
dari posyandu atau puskesmas tempat mengimunisasikan anaknya (enabling
factors). Sebab lain, mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh masyarakat
lainnya di sekitarnya tidak pernah mengimunisasikan anaknya (reinforcing factors)
(Notoatmodjo, 2007).