4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan organik tanah
2.1.1 Pengertian Bahan Organik
Bahan organik merupakan bahan-bahan yang dapat diperbaharui, didaur
ulang, dirombak oleh bakter-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat
digunakan oleh tanaman tanpa mencemari tanah dan air. Bahan organik tanah
merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang yang sebagian
telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan organik
demikian berada dalam pelapukan aktif dan menjadi mangsa serangan jasad
mikro. Sebagai akibatnya bahan tersebut berubah terus dan tidak mantap
sehingga harus selalu diperbaharui melalui sisa-sisa tanaman atau binatang
(Nugroho, 2012).
Sumber asli bahan organik tanah ialah jaringan tumbuhan.dalam keadaan
alami bagian diatas tanah, akan pohon, semak-semak, rumput dan tanaman
tingkat rendah lainnya tiap tahun menyediakan sejumlah besar sisa-sisa
organik. Sebagian besar dari tumbuhan bisa diangkut sebagai hasil panen,
akan tetapi beberapa bagian diatas tanah dan semua akar ditinggalkan. Karena
bahan ini didekomposisikan dan dihancurkan oleh banyak macam organism
tanah, hasilnya akan menjadi bagian dari horizon dibawahnya, karena di
adsorpsi atau pencampuran fisik secara aktif (Buckman dan Brady,1982).
Sumber bahan organik tanah ialah hewan. Hewan memberikan hasil samping
dan meninggalkan bagian tubuh mereka sebagai peredaran hidupnya. Bentuk
kehidupan hewan tertentu, terutama cacing tanah, sentipoda dan semut
memegang peranan penting dalam perubahan sisa-sisa tumbuhan
(Buckman dan Brady,1982).
Humus merupakan salah satu bentuk bahan organik. Humus berasal dari
residu-residu tanaman, binatang dan mikroba, komposisinya tergantung atas
5
sifat/ keadaan kimiawi dari residu-residu tersebut. Humus terbentuk sebagai
suatu hasil dari proses-proses dekomposisi, makan komposisinya juga akan
tergantung atas berbagai jasad renik yang terlibat dalam pembusukan atau
pelapukan residu-residu tersebut (Sutedjo dkk,1991).
2.1.2 Peran Bahan Organik
Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah
untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah
menurun, kemampuan tanah mendukung produktivitas tanaman juga
menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk
kerusakan tanah yang umum terjadi. Kerusakan tanah merupakan masalah
penting bagi negara berkembang karena intensitasnya yang cenderung
meningkat sehingga tercipta tanah-tanah yang rusak yang jumlah maupun
intensitasnya meningkat.
Kerusakan tanah secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga kelompok
utama, yaitu kerusakan sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Kerusakan kimia
tanah dapat terjadi karena proses pemasaman tanah, akumulasi garam-garam
(salinisasi), teremar logam berat, dan tercemar senyawa-senyawa organik dan
xenobiotik seperti pestisida atau tumpahan minyak bumi (Djajakirana, 2001).
Terjadinya pemasaman tanah dapat diakibatkan penggunaan pupuk nitrogen
buatan secara terus menerus dalam jumlah besar (Brady, 1990). Kerusakan
tanah secara fisik dapat diakibatkan karena kerusakan struktur tanah yang
dapat menimbulkan pemadatan tanah.
Kerusakan struktur tanah ini dapat terjadi akibat pengolahan tanah yang salah
atau penggunaan pupuk kimia secara terus menerus. Kerusakan biologi tanah
ditandai oleh penyusutan populasi maupun berkurang nya biodervisitas
organisme tanah, dan terjadi biasanya bukan kerusakan sendiri, melainkan
akibat dari kerusakan lain (fisik dan kimia). Sebagai contoh penggunaan
pupuk nitrogen (dalam bentuk ammonium sulfat dan sulfur coatedurea) yang
6
terus menerus selama 20 tahun dapat menyebabkan pemasaman tanah
sehingga populasi cacing tanah menurun drastic (Ma et al., 90).
Kehilangan unsure hara dari daerah perakaran juga merupakan fenomena
umum pada sistem pertanian dengan masukan rendah. Pemiskinan hara
terjadi utamanya pada praktek pertanian di lahan yang miskin atau agak
kurang subur tanpa dibarengi dengan pemberian masukan pupuk buatan
maupun organik yang memadai. Termasuk dalam kelompok ini adalah
kehilangan bahan organik yang lebih cepat dari penambahannya pada lapisan
atas.
Dengan demikian terjadi ketidakseimbangan masukan bahan organik dengan
kehilangan yang terjadi melalui dekomposisi yang berdampak pada
penurunan kadar bahan organik dalam tanah. Tanah-tanah yang sudah
mengalami kerusakan akan sulit mendukung pertumbuhan tanaman. Sifat-
sifat tanah yang sudah rusak memerlukan perbaikan agar tanaman dapat
tumbuh dan berproduksi kembali secara optimal.
Penyediaan hara bagi tanaman dapat dilakukan dengan penambahan pupuk
baik organik maupun anorganik. Pupuk organik dapat menyediakan hara
dengan cepat. Namun apabila hal ini dilakukan terus menerus akan
menimbulkan kerusakan tanah. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan bagi
pertanian yang berkelanjutan. Meningkatnya kemasaman tanah akan
mengakibatkan ketersediaan hara dalam tanah yang semakin berkurang dan
dapat mengurangi umur produktif tanaman.
Menurut Lal (1995), pengelolaan tanah yang berkelanjutan berarti suatu
upaya pemanfaatan tanah melalui pengendalian masukan dalam proses untuk
memperoleh produktivitas tinggi secara berkelanjutan, meningkatkan kualitas
tanah, serta memperbaiki karakteristik lingkungan. Dengan demikian
diharapkan kerusakan tanah dapat ditekan seminimal mungkin sampai batas
7
yang dapat ditoleransi, sehingga sumber daya tersebut dapat dipergunakan
secara lestari dan dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang.
2.1.3 Fungsi Bahan Organik
Menurut Tobing (2009) fungsi dari bahan organik adalah :
1) Sebagai granulator, yaitu memperbaiki struktur tanah
2) Sumber unsure hara N, P, S dan unsur hara mikro lainnya
3) Menambah kemampuan tanah untuk menghambat air
4) Menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara (Kapasitas
tukar kation tanah menjadi lebih tinggi).
2.1.4 Dekomposisi Bahan Organik
Faktor yang mempengaruhi pembentukan tanah juga harus diperhatikan
karena mempengaruhi jumlah bahan organik. Miller et al. (1985) berpendapat
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah bahan organik dalam tanah
adalah sifat dan jumlah bahan organik yang dikembalikan, kelembaban tanah,
temperature tanah, tingkat aerasi tanah, topografi dan sifat penyediaan hara.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi bahan organik dapat
dikelompokkan dalam tiga grup, yaitu :
a. Sifat dari bahan tanaman termasuk jenis tanaman, umur tanaman, dan
komposisi kimia.
b. Tanah termasuk aerasi, temperature, kelembaban, kemasaman, dan tingkat
kesuburan.
c. Faktor iklim terutama pengaruh dari kelembaban dan temperature.
Bahan organik secara umum dibedakan atas bahan organik yang relatif sukar
disekomposisi karena disusun oleh senyawa siklik yang sukar diputus atau
dirombak menjadi senyawa yang lebih sederhana, termasuk didalmnya adalah
bahan organik yang mengandung senyawa lignin, minyak, lemak, dan resin
yang umumnya ditemui pada jaringan tumbuh-tumbuhan; dan bahan organik
yang mudah didekomposisikan karena disusun oleh senyawa sederhana yang
8
terdiri dari C, O, dan H termasuk di dalamnya adalah senyawa dari selulosa,
pati, gula dan senyawa protein.
Dari berbagai aspek tersebut, jika kandungan bahan organik tanah cukup,
maka kerusakan tanah dapat diminimalkan, bahakn dapat dihindari. Jumlah
bahan organik didalam tanah dapat berkurang hingga 35% untuk tanah yang
ditanami secara terus menerus dibandingkan dengan tanah yang belum
ditanami atau dijamah (Brady, 1990). Young(1989) menyatakan bahwa untuk
mempertahankan kandungan bahan organik tanah agar tidak menurun,
diperlukan minimal 8-9 ton per ha bahan organik tiap tahunnya.
Hairah et al. (2000) mengemukakan beberapa cara untuk mendapatakan
bahan organik:
a. Pengembalian sisa panen. Jumlah sisa panenan tanaman pangan yang
dapat dikembalikan ke dalam tanah vberkisar 2-5 ton per ha, sehingga
tidak dapat memenuhi jumlah kebutuhan bahan organik minimum. Oleh
karena itu, masukan bahan organik dari sumber lain tetap diperlukan.
b. Pemberian pupuk kandang. Pupuk kandang yang berasal dari kotoran
hewan peliharaan seperti sapi, kambing, kerbau dan ayam, atau bisa juga
dari hewan liar seperti kelelawar atau burung dpat dipergunakan untuk
menambah kandungan bahan organik tanah. Pengadaan ataun penyediaan
kotoran hewan seringkali sulit dilakukan karena memerlukan biaya
transportasi yang besar.
c. Pemberian pupuk hijau. Pupuk hijau bisa diperoleh dari serasah dan dari
pangksan tanaman penutup yang ditanaman selama masa bera atau
pepohonan dalam larikan sebagai tanaman pagar. Pangksan tajuk tanaman
penutup tanah dari famili leguminoasae dapat memberikan masukan bahan
organik sebanyak 1,8 – 2,9 ton per ha (umur 3 bulan) dan 2,7 - 5,9 ton per
ha untuk berumur 6 bulan.
Dekomposisi bahan organik secara aerob dicirikan oleh perombakan bahan
secara bertahap. Proses dekomposisi ini secara umum disebut juga dengan
9
pengomposan. Batasan yang dikemukakan Fallet (1981) pengomposan
merupakan dekomposisi aerobik mesoflik dan thermofilik sisa-sisa organisme
menjadi material bahan seperti humus yang relative stabil dan disebut
kompos.
Senyawa organik yang mudah larut seperti gula sederhana, asam amino,
protein, peptide, dan tannin dirombak terlebih dahulu menghasilkan senyawa-
senyawa fenolik larut dan molekul-molekul sederhana seperti CO2, CH4,
NO3, NH4. Bahan-bahan yang kurang larut seperti selulosa, hemi selulosa
dirombak secara enzimatis dengan enzim selulosa sebagai katalisator
menghasilkan molekul-molekul sederhana (Rao, 1994). Bahan-bahan dengan
kandungan lignin yang tinggi sangat sulit dirombak.
2.2 Sumber Bahan Organik
2.2.1 Mucuna bracteata
Penggunaan kacangan penutup tanah konvensional seperti Pueraria javanica,
Calopogonium mucunoides, Puraria phaseoloides, Calopogonium caeruleum,
Centrosema pubescens dan Arachis pintoi sering kali tidak mampu menekan
pertumbuhan gulma-gulma tertentu, seperti Mikania, asystasia, dan jenis
rumput-rumput lainnya (Sebayang dkk, 2004).
Mucuna bracteata merupakan kacangan yang tumbuh dengan cepat, pesaing
gulma yang handal (menghasilkan senyawa alelopati yang relative
berspektrum luas bagi berbagai jenis gulma perkebunan), kemampuan
memfiksasi N yang tinggi, sangat toleran terhadap naungan, mengandung
senyawa fenolik relative cukup tinggi sehingga tidak disukai oleh hama dan
hewan-hewan ternak ruminansia dan dapat mengurangi serangan hama Orytes
rhinoceros pada tanaman muda (Harahap dkk,2011).
10
2.2.2 Pelepah Kelapa Sawit
a. Penunasan Kelapa Sawit
Berbagai tindakan kultur teknis yang dikerjakan oleh suatau perkebunan
kelapa sawit dalam usaha meningkatkan produksinya, diantaranya adalah
penunasan. Daun kelapa sawit dalam jumlah tertentu, merupakan salah satu
faktor yang turut menentukan pertumbuhan dan produktivitas tanaman
(Ahmad Basyar, 1996).
Pertumbuhan dan produksi tanaman dianggap sebagai selisih antara produksi
fotosintesis dengan kehilangan asimilat akibat proses respirasi. Produksi
pelepah daun pada tanaman kelapa sawit selama 1 tahun dapat mencapai 20-
30 pepelpah, kemudian berkurang sesuai dengan umur tanaman menjadi 18-
25 pelepah, dengan demikian rerata produksi pelepah daun pada tanaman
menghasilkan adalah sekitar dua pelepah setiap bulannya.
Bunga yang terbentuk terdapat pada ketiak daun. Jumlah daun yang
diperlukan untuk metabolisme tanamanan, seperti fotosintesis dan respirasi
harus dipertahankan optimal sesuai dengan umur tanaman atau Indeks Luas
daun (ILD). Untuk tanaman berumur 3-8 tahun jumlah optimal berkisar 50-
56 pelepah/pohon dan pada tanaman diatas 8 tahun adalah 42-48
pelepah/pohon (Manalu dkk. 1997).
Sedangkan menurut (Ahmad Basyar, 1996) dalam setiap tahun kelapa sawit
muda dapat memproduksi 30-35 pelepah dan berangsur-angsur menurun pada
tanaman dewasa menjadi 20-24 pelepah. Jumlah pelepah yang diinginkan
untuk menghasilkan produksi yang optimum adalah minimal 40 pelepah
untuk tanaman menghasilkan (TM) dewasa (berumur > 9 tahun). Hasil
analisis dan sifat fisik dan morfologi serat menunjukkan bahwa panjang serat
pelepah kelapa sawit berkisar antara 0,62-2,51 mm dengan panjang rata-rata
1,30 mm.
11
Bila dikelompokkan dalam klsifikasi panjang serat menurut Klem, maka serat
pelepah kelapa sawit termasuk kedalam kelompok panjang serat sedang (0,9 –
1,6 mm). Secara keseluruhan, serat pelepah kelapa sawit lebih panjang
daripada serat tandan kosong sawit (Darnoko dkk, 2001).
Tabel 2.1 Sifat Fisik dan Morfologi Serat Pelepah Kelapa Sawit (PKS) dan
Tandan Kosong Sawit (TKS)
No Parameter Pelepah Tandan Kosong
1
Panjang Serat (L), mm
- Minimum
- Maksimum
- Rata-rata
0,62 0,23
2,51 1,48
1,30 0,66
2 Diameter Serat (D) 19,48 16,89
3 Diameter Lumen (I) 12,07 9,52
4 Tebal dinding (w) 3,89 3,69
5 Bilangan Runkel 0,64 0,77
6 Kelangsingan (I/D) 65,52 39,08
7 Kelemasan (I/D) 0,61 0,56
8 Rapat massa tumpukan serpih,
kg/m³ 106,50 190,27
9 Kadar serat, % 42,86 75,58
Sumber : Darnoko dkk, 2001
b. Kadar Serat Pelepah
Kekuatan pelepah daun antara lain bergantung pada adanya jaringan
penguat(schlerenchyma). Jaringan penguat tersebut terdiri dari lapisan
dalamnyaterdeposisi oleh lignin, selulose, dan semiselulose
(Darmosarkoro dan Sugiyono, 1998).
Tabel 2.2 Komposisi pelepah kelapa sawit
No Parameter Pelepah Sawit Tandan Kosong Sawit
1 Abu, % 2,74 6,23
2 SiO2, % 0,83 1,10
3 Holoselulosa, % 72,67 66,07
4 Alfa selulosa, % 36,74 37,50
5 Sari (ekstraktif), % 1,81 7,78
6 Lignin, % 21,39 20,62
7 Pentosan, % 22,19 25,34
Sumber : Darnoko dkk, 2001
12
c. Kadar Hara Pelepah Daun
Observasi terhadap kadar hara pelepah didasarkan pada kenyataan bahwa
kadar hara pelepah dapat dijadikan salah satu tolak ukur status hara tanaman
kelapa sawit (3,5). Kadar K pelepah berkisar antara 2,57 samapai 3,74.
Kadar K yang tinggi pada pelepah daun merupakan pencerminan serapan K
pada tanaman. Sementara itu kadar Ca pelepah berkisar anatar 0,37 sampai
0,68% dan kadar Mg berkisar antara 0,13 sampai 0,36%
(Darmosarko dan Sugiyono).
Tabel 2.3 Rerata pelepah yang dipotong pada saat panen berdasarkan tingkat
kesesuaian lahan
Umur
Rerata pelepah yang dipotong berdasarkan kelas lahan
S1 S2 S3
3 1,1 1,3 1,3
4 1,3 1,4 1,4
5 1,3 1,4 1,4
6 1,5 1,6 1,5
7 1,5 1,6 1,6
8 1,6 1,6 1,6
9 1,7 1,8 1,9
10 1,9 2,0 1,9
11 2,0 2,1 2,1
12 2,1 2,2 2,2
13 2,1 2,2 2,3
14 2,3 2,4 2,5
15 2,6 2,6 2,6
16 2,8 2,8 2,9
17 3,0 3,1 3,2
18 3,2 3,3 3,6
19 3,6 3,6 4,0
20 3,9 4,1 4,4
21 4,1 4,3 4,7
22 4,7 4,8 5,2
23 5,0 5,2 5,7
24 5,5 5,7 6,3
25 5,9 6,2 6,7
Pelepah-pelepah atau cabang-cabang (selanjutnya disebut cabang) kosong ini
dipotong waktu penunasan, sedangkan yang ada buahnya dipotong pada saat
13
panen. Penunasan atau membuang cabang-cabang yang tidak berguna lagi
bagi tanaman kelapa sawit dikerjakan dengan tujuan :
1) Sanitasi (kebersihan) tanaman untuk mencegah serangan cendawan
Marasmius palmivorus, tikus dan menghindari tumbuhnya pakis
2) Memperlancar proses penyerbukan alami
3) Mempermudah panen
4) Menghindari tersangkutnya berondolan
5) Pengamatan buah matang akan lebih mudah
Disamping itu, penunasan (tunas pasir) pada tanaman yang baru
menghasilkan bertujuan untuk mempermudah pembersihan piringan dan
pelaksanaan pemupukan serta penyerbukan bantuan.
Pada penunasan pasir bekas tebasan merupakan tapak kuda miring keluar dan
mepet kebelakang. Pelepah dipotong menjadi dua dan disusun membujur
gawangan mati (tidak dipasar pikul denga duri pelepah menghadap ke tanah).
Pada penunasan pemeliharaan bekas tebasan merupakan tapak kuda miring
keluar dengan membentuk sudut 30˚ terhadap garis horizontal dengan jarak
5-10 cm dari batang.
Pelepah dipotong menjadi empat dan disusun membujur gawangan mati
(tidak dipasar pikul) dengan susunan daun pertama disusul dengan duri
pelepah diatasnya dan begitu selanjutnya. Masing-masing tumpukan memiliki
5 pelepah yang ditumpuk di dalam gawangan mati.
2.3 Amandemen
2.3.1 Pupuk N
Sulphate of Amonia (ZA) merupakan pupuk konvensionil yang sudah lama
dipakai, memiliki rumus kimia (NH4)2SO4 mengandung N 21% dan S24%.
Berbentuk kristal/hablur, higrokopis pada kelembaban dalam air tinggi dan
Ca++
+ ( NA4) 2SO4 NH4+ + CaSO4
14
dapat dipakai sebagai sumber S. Dalam tanah akan menggantikan kedudukan
basa Ca, Mg atau Na dengan reaksi sebagai berikut:
Ammonium akan dilepas secara perlahan dan dirobah oleh bakteri nitrifikasi
ke bentuk nitrat. Pada tanaman muda pemakaian ZA lebih dianjurkan karena
tingkat penguapannya lebih rendah dar urea. Penggunaannya dalam jangka
panjang akan dapat menurunkan pH tanah karena mengandung unsur S
(sulfat). Sulfida yang berasal dari sulfat dapat mengurangi fiksasi dari P.
Pupuk Nitrogen (N) terpenting kedua adalah Urea CO( , mengandung
45% N berwarna putih berbentuk kristal, higroskopis mudah menguap, tidak
mengasamkan tanah dan dapat diaplikasikan melalui penyemprotan daun.
Ketersediaanya dalam tanah tergantung dari hidrolisa yang sangat
dipengaruhi oleh aktifitas mikroorganisme. Urea oleh peran air ( O) akan
berubah menjadi ( ) yang seterusnya oleh (Oksigen) akan diubah
menjadi nitrit dan oleh bakteri nitrifikasi dirubah menjadi bentuk nitrat.
Proses perubahan ini berjalan cepat (7-14 hari) apalagi ditempat terbuka
seperti TBM sehingga kehilangan melalui penguapan tinggi. Masih banyak
lagi jenis pupuk N selain kedua tersebut. Jumlah N yang diserap tanaman
kelapa sawit cukup banyak yaitu sebanyak 192,5 kg atau setara 3,2 kg
Urea/poko/tahun dan ini harus ditutupi sebagian oleh pemberian pupuk N
dengan memperhitungkan kehilangan melalui penguapan. Pemberian Urea
dengan pupuk lannya pada hari yang sama dapat mengurangi penguapan ini
atau cara lain untuk mengurangi kekurangan hara adalah dengan
meningkatkan frekwensi pemberiannya (Chan et. al 1986).
15
Gambar 2.3. : Pupuk Nitrogen (Urea)
2.3.2 Bahan Kapur
Selain faktor iklim asal batuan induk tanah, dekomposisi bahan organik,
leaching atau pencucian zat hara dan penggunaan pupuk kimia masam seperti
Urea, Za, Kcl, Sulfur dan NPK juga meningkatkan kemasaaman tanah.
Tanaman perkebunan menghendaki tanah yang mendekati netral atau tidak
masam pada kisaran pH 6-7 untuk tumbuh sehat dan berpoduksi tinggi.
Dengan memperbaiki menjadi pH yang optimal, maka produksi akan
meningkatkan seiring dengan perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologi tanah.
Pengapuran lahan perkebunan dengan menggunakan kapur pertanian akan
memperbaiki pH tanah, mengurangi kemasaman, sehingga tercapai kondisi
optimal pada efektivitas dan efisiensi penyerapan hara makro dan mikro oleh
tanaman.
16
Gambar 2.4 : Pupuk Kaptan (Kapur Pertanian)
2.4 Mikroorganisme
Untuk mempercepat dekomposisi bahan organik dapat dilakukan beberapa
cara yaitu secara fisik, kimia dan biologi. Perlakuan secara biologi umunya
dengan menambahkan inokulum mikroorganisme yang berkemampuan tinggi
dalam merombak bahan yang akan didekomposisikan. Pada perombakan
pelepah ini proses biokonvers dilakuakan oleh mikroorganisme selulotik.
Perombakan selulosa merupakan pemecahan polimer primer anhidroglusa
menjadi molekul sederhana yang menghasilkan oligasakarida maupun
monomer glukosa atau produk seperti asam-asam organik maupun alcohol.
Mikroorganisme selulotik merombak selulosa dengan bantuan enzim
selulose. Menurut Shuller (dalam Rexon, 1996) mikroorganisme selulotik
memproduksi dua unit enzim selulosa yaitu enzim endo β1 – 4 glucanase
yang berperan dalam menghidrolisis serat selulosa menjadi rantai pendek,
kemudian dilanjutka enzim ekso β1 – 4 glucanase yang memecah senyawa
oligosakarida rantai pendek menjadi senyawa larutan. Selanjutnya unit-unit
enzim endo β1 – 4 glucanase dan ekso β1 – 4 glucanase bereaksi bersama-
sama secara sinergis dalam perombakan selulosa. Pelarutan selulosa menjadi
produk terlarut diketahui sebagai gula reduksi sehingga gula reduksi yang
terbentuk ini dapat dijadikan indicator aktivitas peningkatan jumlah enzim
selulosa. Gula reduksi secara umum adalah suatau glukosa atau karbohidrat
yang merupakan monosakarida yang mengandung gugus aldehid dan gugus
17
keton yang bebas dan dapat memproduksi ion-ion logam seperti tembaga
(Cu) dan perak (Ag) dalam larutan basa.
Dalam larutan Benedict yang terbuat dari , NaOH, dan Na Sitrat gula
ini akan mereduksi yang berupa menjadi sebagai CuOH,
selanjutnya yang tidak larut berwarna kuning atau merah. Glukosa
yang merupakan gula pereduksi dapat dianalisa secara kualitatif maupun
kuantitatif. Secara kualitatif analisa secara kuantitatif dengan metode
Felhing, Benedict dan Tollens kemudian analisa secara kuantitatif dengan
metode Munson – Walker, Nelson Saraogyi, dan Lane
(Willbraham dan Matta, 1992 dalam Rexon, 1996).
Mikroorganisme selulotik secara alami sangat umum dijumpai pada tanah-
tanah pertanian, hutan, pada rabuk atau jaringan tanaman yang membusuk.
Mikroorganisme ini terdiri dari berbagai kelompok bakteri mesophilik
aerobic seperti Callulomonas sp, Cytophaga sp; bakteri thermopilik
(Basidiomisetes); jamur bermifalen (Chaetomium sp, Aspergillus sp,
Humicola sp) dan aktinomisetes (Nocardia sp, Streptomyces sp) (Rao, 1984).
Selama proses dekomposisi mikroorganisme memerlukan sumber karbon
untuk membentuk sel-sel baru serta memerlukan nitrogen untuk mensintesis
protein. Agar keperluan karbon dan nitrogen ini dapat terpenuhi secara
seimbang maka nilai C/N campuran bahan kompos harus berada pada kisaran
yang tepat. Rao (1994) mengemukakan bahwa bahan organik terdiri dari
berbagai macam jaringan tanaman bervariasi nisabah C/Nnya. Tingkat C/N
yang optimum adalah anatar 20-25 (1,4-1,7%N) ideal untuk dekomposisi
maksimum karena tidak akan terjadi pembebasan nitrogen dari sisa-sisa
organik melebihi dari jumlah yang diutuhkan unuk sintesis mikroba.
Apabila nisbah C/N terlalu tinggi maka dekomposisi akan memrlukan waktu
yang lama. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
18
mencampur/menambah dengan bahan yang mempunyai karbon rendah dan
nitrogen tinggi. Russchmeyr dan Schmidt (1995, dalam Alexader , 1997)
mengatakan bahwa ketersediaan nitrogen merupakan faktor krtitis yang nyata
berpengaruh terhadap kecepatan dekomposisi selulosa dan kapasitas
mineralisasi nitrogen. Diperhitungkan kira-kira 1 unit nitrogen diperlukan
untuk 35 unit selulosa dioksidasi. Diperhitungkan bahwa sel mikroorganisme
mengandung 5-10% nitrogen dari berat kering, 30-60% bagian jaringan aktif
sel disintesa selama dekomposisi aerobik.
2.5 Laju Dekomposisi Bahan Organik
Bahan organik yang berasal dari sisa tanaman mengandung bermacam-
macam unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman jika telah
mengalami dekomposisi mdan mineralisasi. Sisa tanaman ini memiliki
kandungan unsur hara yang berbeda kualitasnya tergantung pada tingkat
kemudahan dekomposisi serta mineralisasinya. Menurut Brady (1990, gula
protein sederhana adalah bahan yang mudah terdekomposisi, sedangkan
lignin yang akan lambat terdekomposisi.
Secara ururtan, kemudahan bahan yang untuk terdekomposisi adalah sebagai
berikut :
1. Gula, zat pati, protein sederhana mudah terdekomposisi
2. Protein kasar
3. Hemiselulosa
4. Selulosa
5. Lemak
6. Lignin, lemak, waks, dll sangat lambat terdekomposisi
Kemudahan dekomposisi bahan organik berkaitan erat dengan nisbah kadar
hara. Secara umum, makin rendah nisbah antara kadar C dan N di dalam
organik, akan semakin mudah dan cepat mengalami dekomposisi. Oleh
karena itu, untuk mempercepat dekomposisi bahan organikyang memiliki
19
nisbah C dan N tinggi sering ditambahkan pupuk nitrogen dan kapur untuk
memperbaiki perbandingan kedua hara tersebut serta menciptakan kondisi
lingkungan yang lebih baik lagi dari decomposer. Selain itu, kandungan
bahan juga mempengaruhi proses pengomposan.
Selama proses dekomposisi bahan organik, terjadi immobilisasi dan
mobilisasi (mineralisasi) unsur hara. Immobilisasi adalah perubahan unsur
hara dari bentuk anorganik menjadi bentuk organik yaitu terinkoporasi dalam
biomassa oragnisme decomposer. Sedangkan mineralisasi terjadi sebaliknya.
Kedua kegiatan ini tergantung pada proporsi kadar hara dalam bahan organik.