1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Studi geografi merupakan suatu disiplin ilmu yang berorientasikan pada
masalah atau gejala yang muncul sehubungan dengan adanya interaksi antara
manusia dengan lingkungannya. Geografi manusia sebagai cabang dari ilmu
geografi mempelajari aspek gejala keruangan di permukaan bumi yang
mengambil manusia sebagai objek pokok, yang di dalamnya termasuk aspek
kependudukan, aspek aktivitas sosial, aspek ekonomi, dan aspek aktivitas politik
(Surastopo Hadisumarno, 1985 : 4). Dalam geografi terpadu (integrated
geography) untuk mendekati atau menghampiri masalah dalam geografi
digunakan bermacam-macam pendekatan atau hampiran (approach) yaitu
pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan ekologi (ecological
approach) dan pendekatan kompleks wilayah (regional approach) (Bintarto dan
Hadisumarno, 1979:12).
Geografi manusia sebagai cabang dari ilmu geografi mempelajari aspek
gejala keruangan di permukaan bumi yang mengambil manusia sebagai objek
pokok, yang di dalamnya termasuk aspek kependudukan, aspek aktivitas sosial,
aspek ekonomi, dan aspek aktivitas politik (Surastopo Hadisumarno, 1985 : 4).
2
Analisis keruangan terdapat tiga pola analisis berdasarkan dimensi ruang dan
waktu, yaitu :
1. Time based analysis adalah suatu analisa yang menekankan analisis
keruangan pada perbedaan waktu pada ruang yang sama.
2. Space based analysis adalah suatu analisa yang menekankan analisis
keruangan pada perbedaan ruang pada waktu yang sama.
3. Time space based analysis adalah gabungan antara time based analysis dan
space based analysis yaitu analisa yang menekankan analisis keruangan
pada waktu dan ruang yang berbeda.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pendidikan menengah
atas di Kabupaten Sleman. Kabupaten Sleman dipilih sebagai daerah penelitian
karena Kabupaten Sleman dipilih sebagai obyek penelitian karena memiliki
karekteristik sosial ekonomi yang heterogen yang disebabkan karena terdapat
berbagai kelompok sosial. Penduduk yang multi etnis dengan banyaknya
pendatang membuat fenomena demografi semakin menarik untuk diteliti. Penulis
menggunakan pola space based analysis yang merupakan salah satu pola dalam
pendekatan keruangan. Pendekatan ini bertujuan untuk mengamati fenomena yang
sama pada daerah wilayah yang berbeda yang berdasarkan pada penelitian ini
adalah untuk mengamati keadaan pendidikan pada kecamatan yang terdapat di
wilayah kabupaten Sleman.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
3
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Akhmat, 2010).
Pentingnya peran pendidikan telah disadari pemerintah sejak kemerdekaan
bangsa Indonesia. Pada tahap awal, program yang diluncurkan adalah program
pemberantasan buta huruf, yang kemudian dilaksanakan secara lebih terencana
pada tahun 1951. Tahap selanjutnya pada tahun 1972 pemerintah
memperkenalkan Pendidikan Aksarawan Fungsional (Functional Literacy).
Program ini dilaksanakan dengan cara memberikan pelajaran membaca dan
menulis, sekaligus pelajaran berhitung dan keterampilan tertentu kepada
masyarakat yang buta huruf (BPS,1982 dalam Ananta dan Sri, 1985).
Tahap selanjutnya pemerintah mencanangkan program wajib belajar 6
tahun pada awal Repelita IV, hingga diperluas menjadi program wajib belajar 9
tahun pada awal Repelita VI, yang semakin ditegaskan dengan diberlakukannya
Undang-undang no.20 tahun 2003, dimana dalam pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa
setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar.
Tabel 1.1-1 Persentase Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Usia Sekolah
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009
Wilayah
7-12 Tahun 13-15 tahun 16-18 Tahun
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Kota Yogyakarta 100,00 100,00 86,13 94,29 76,12 77,41
Kab. Bantul 100,00 100,00 93,42 100,00 68,68 74,69
Kab. Kulon Progo 100,00 100,00 92,58 93,40 71,35 62,42
Kab. Gunung Kidul 99,13 99,03 90,39 91,67 61,15 57,06
Kab. Sleman 98,96 100,00 91,81 96,01 93,24 72,13
Provinsi DIY 99,51 99,81 91,50 95,59 74,23 70,34
Sumber : BPS, Susenas Kor Tahun 2009
4
Tabel tersebut memperlihatkan bahwa pada kelompok umur 7-12 tahun
dan kelompok umur 13-15 tahun mendekati angka 100%. Hal tersebut dapat
diartikan bahwa hampir semua anak dalam kelompok umur 7-12 tahun dan
kelompok umur 13-15 tahun telah mendapatkan akses terhadap jenjang
pendidikannya masing-masing, kelompok umur 7-12 tahun merupakan umur yang
disarankan terhadap jenjang pendidikan SD. Kelompok umur 13-15 tahun
merupakan jenjang pendidikan SMP dan kelompok umur 16-18 tahun merupakan
jenjang pendidikan SMA. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa program wajib
belajar 9 tahun telah mengalami keberhasilan.
Tantangan utama yang muncul dengan adanya krisis dewasa ini adalah
pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia (Zamroni, 2000). Sumberdaya
manusia terdiri dari dimensi kualitatif dan dimensi kuantitatif. Dimensi kuantitatif
meliputi tenaga kerja dan partisipasi tenaga kerja. dimensi kualitatif meliputi
semua potensi yang terkandung pada setiap manusia, antara lain pikiran (ide),
pengetahuan, sikap dan keterampilan yang memberi pengaruh terhadap kapasitas
kemampuan manusia untuk melaksanakan pekerjaan yang produktif.
Seiring dengan perkembangan dunia, Indonesia telah masuk pada era
globalisasi dan industrialisasi. Persaingan antar bangsa semakin ketat, Indonesia
membutuhkan sumberdaya manusia yang dapat menjadi kekuatan nyata bagi
pembangunan bangsa agar mampu bersaing dengan bangsa lain. Sumberdaya
manusia yang dibutuhkan adalah sumberdaya manusia yang terampil dan
berkualitas, yang menguasai, mampu memanfaatkan serta mengembangkan ilmu
dan teknologi, berdisiplin diri dan mempunyai etos kerja tinggi (Broto K, 1993).
5
Pasar bebas ASEAN tahun 2003 merupakan salah satu contoh globalisasi
yang terjadi di Kawasan Asia Tenggara. Pasar bebas ini membuka peluang bagi
tenaga kerja dari luar negeri untuk memasuki pasar kerja yang ada Indonesia dan
menambah ketatnya pesaingan untuk memperebutkan lapangan pekerjaan di
Indonesia. Hal yang menjadi perhatian adalah terdapat kemungkinan besar bahwa
tenaga kerja asing yang memasuki pasar kerja dalam negeri telah membekali diri
dengan pendidikan dan keterampilan yang lebih baik sehingga memiliki posisi
tawar yang lebih baik pula dalam pasar kerja.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia mutlak diperlukan untuk
menghadapi era globalisasi dan industrialisasi., penduduk tidak akan mampu
bersaing dalam pasar kerja jika hanya mengandalkan bekal pendidikan dasar
mengingat banyak negara menginginkan tenaga kerja yang memuaskan yang
dilengkapi dengan kompetensi dan keahlian yang tidak bisa didapat lewat
pendidikan dasar.
Pendidikan menengah telah mendapatkan perhatian di banyak negara dan
mulai jadi perhatian utama pengambil kebijakan pendidikan dan peneliti di dunia
karena berperan penting meningkatkan kesehatan dan ikatan masyarakat serta
memacu pertumbuhan ekonomi. Pendidikan menengah penting dalam sistem
pendidikan karena tidak hanya untuk menjembatani untuk melanjutkan ke
perguruan tinggi, tetapi juga menghubungkan sistem sekolah dengan dunia kerja.
Laporan bertajuk ”Global Education Digest 2011: Comparing Education
Statistics Across the World” hasil kajian UNESCO menjelaskan bahwa
pendidikan di banyak negara berkembang mulai bergeser pada pendidikan
6
menengah setelah pendidikan dasar mengalami kemajuan. Irina Bokova, Direktur
Jenderal UNESCO, mengungkapkan bahwa:
“Tidak bisa suatu negara melepaskan diri dari belitan kemiskinan
tanpa ekspansi yang cepat pada jenjang pendidikan menengah.
Pendidikan menengah inilah bekal minimum untuk melengkapi anak-
anak muda dengan pengetahuan dan keterampilan yang dapat
membuat mereka siap hidup dalam persaingan global”.
Kualitas pendidikan pada setiap propinsi mempengaruhi kualitas
pendidikan bangsa Indonesia. Pendidikan nasional akan baik apabila
pembangunan pendidikan pada setiap propinsi memiliki kualitas yang baik.
Tuntutan kebutuhan sumberdaya manusia yang lebih baik maka pemerintah telah
merintis program lanjutan, yaitu program pendidikan menengah universal.
Kebijakan ini dirancang sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan
sumberdaya manusia melalui peningkatan lulusan SMA. Program ini juga
diharapkan mampu mengurangi pernikahan dini yang masih dijumpai pada
beberapa daerah.
Kebijakan ini dilaksanakan di seluruh propinsi, termasuk di Kabupaten
Sleman. Kabupaten Sleman merupakan salah satu perintis program pendidikan
menengah universal 12 tahun ketika sebagian besar provinsi di Indonesia masih
berjuang menuntaskan program wajib belajar 9 tahun. Kabupaten Sleman sebagai
pusat pendidikan di Yogyakarta dapat menjadi andalan bagi bangsa Indonesia
untuk mencetak sumberdaya manusia yang lebih terampil dan berkualitas dalam
menghadapi persaingan global.
7
1.2 Perumusan Masalah
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan perhatian utama
pemerintah sejak lama. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia adalah melalui bidang pendidikan.
Tahap awal dalam dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
adalah dengan pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun.
Tabel 1.2-1 Angka Partisipasi Kasar Kabupaten Sleman Tahun 2008-2012
Jenjang
Pendidikan
Tahun
2008 2009 2010 2011 2012
SD/MI 115,67 116,40 116,42 116,45 116,51
SMP/MTs 115,01 115,87 115,48 113,68 113,70
SMA/SMK/MA 75,45 75,73 77,17 77,66 77,69
Sumber : SIPD Kabupaten Sleman Tahun 2012
Kabupaten Sleman secara konsisten ikut melaksanakan berbagai program
yang dicanangkan pemerintah termasuk program wajib belajar 9 tahun. Wujud
dari dukungan tersebut terlihat bahwa sejak tahun 2008, Kabupaten Sleman
mencatat angka partisipasi kasar (APK) yang tinggi, yaitu lebih dari 100 persen.
Berdasarkan hal tersebut, maka Kabupaten Sleman telah berhasil melaksanakan
program wajib belajar 9 tahun karena pemerintah telah menetapkan bahwa daerah
dengan APK lebih dari 80 persen dianggap berhasil dalam melaksanakan program
wajib belajar 9 tahun.
Keberhasilan tersebut telah dihadapkan pada dampak telah berlakunya
globalisasi. Salah satu dampak yang ditimbulkan berupa penyedia lapangan kerja
8
mensyaratkan calon tenaga kerja minimal yang diterima adalah lulusan SMA,
sementara pada jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK) baru mencatat angka
partisipasi kasar sebesar 77,69 persen. Persentase tersebut menunjukkan bahwa
terdapat sekitar 22, 31 persen penduduk yang belum mendapatkan akses dalam
jenjang pendidikan menengah sehingga belum dapat dikatakan memuaskan.
Akibat dari keadaan tersebut, pada masa mendatang terdapat peluang bahwa
Kabupaten Sleman akan kehilangan generasi potensial bagi pembangunan.
Penduduk yang tetap memasuki persaingan kerja berbekal pendidikan dasar,
terdapat kemungkinan penduduk tidak akan mampu bersaing untuk
memperebutkan lapangan pekerjaan yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik.
Menghadapi era globalisasi yang telah dimulai, penting bagi suatu bangsa
untuk menyediakan sumberdaya manusia yang mampu bersaing dengan bekal
pendidikan dan keterampilan yang memadai. Agar mampu bersaing dalam pasar
kerja, maka pendidikan menengah menjadi syarat minimal yang harus diperoleh
penduduk. Penduduk usia sekolah mempunyai pilihan pada jenjang pendidikan
menengah, yaitu pendidikan menengah umum dalam bentuk SMA dan
pendidikan menengah kejuruan dalam bentuk SMK. Berdasarkan uraian tersebut,
dapat dihasilkan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Bagaimana profil pendidikan menengah atas di wilayah Kabupaten Sleman?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui keadaan guru dan murid pada jenjang pendidikan
menengah atas di Kabupaten Sleman.
9
2. Mengetahui distribusi APM dan APK pendidikan menengah atas di
Kabupaten Sleman.
3. Mengetahui variasi jumlah sekolah di kecamatan Kabupaten Sleman
secara spasial.
4. Mengetahui kualitas pendidikan menengah atas di kabupaten Sleman.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Sebagai syarat untuk melengkapi syarat mencapai gelar sarjana S-1
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
2. Memberikan informasi bagi penentu kebijakan sebagai upaya untuk
mempersiapkan generasi muda dalam menentukan jenis pendidikan.
1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1 Kebijakan Pemerintah Terkait Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk dapat mencapai
kemakmuran suatu negara, sebagaimana diatur secara tegas dalam pasal 31 ayat
(1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan; Ayat dua (2) menegaskan bahwa
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya; Ayat tiga (3) menetapkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; Ayat (4) menugaskan
negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20
10
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran
pendapatan daerah (APBD) untuk mememenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.
Aturan yang termuat dalam Ayat (4) tersebut menunjukkan betapa penting
dan betapa prioritasnya bidang pendidikan di bumi nusantara ini. Sebanyak 20
persen atau seperlima anggaran pemerintah pusat dan seperlima anggaran
pemerintah daerah harus dialokasikan untuk menyelenggarakan pendidikan.
Alokasi tersebut memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia menempatkan
pendidikan pada prioritas pertama dengan mengalokasikan anggaran terbesar dari
semua sektor. Pendidikan merupakan sektor yang memang perlu diprioritaskan
negara karena menyentuh langsung hak masyarakat, dan sangat terkait erat dengan
pembangunan sumber daya manusia masa depan.
Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa salah
satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh
pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa
memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Pendidikan merupakan
bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional karena
merupakan salah satu penentu kemajuan bangsa. Pendidikan bahkan merupakan
sarana paling efektif untuk meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesejahteraan
masyarakat, serta yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia mencapai
kemakmuran.
11
1.5.2 Tinjauan Teoritis
Undang-undang No.20 tahun 2003 menjelaskan bahwa dunia pendidikan
formal di Indonesia terdiri dari 3 jenjang pendidikan, yaitu pendidikan dasar 9
tahun yang meliputi jenjang SD dan SMP, pendidikan menengah yang terdiri atas
pendidikan menengah umum dan pendidika menengah kejuruan berbentuk
sekolah menengah atas (SMA), madrasah Aliyah (MA), yang Sekolah Menengah
Kejuruan, Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat, dan
Pendidikan Tinggi yang meliputi Diploma hingga Doktoral. Jenjang pendidikan
adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan
peserta didik, tujuan yang ingin dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan formal yang menjadi
jembatan antara pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Sistem Pendidikan
Nasional yang berdasarkan Undang-undang nomor 20 tahun 2003, pendidikan
menengah merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan dasar, yang terdiri
dari Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Tidak seperti
jenjang pendidikan dasar, pada jenjang pendidikan menengah terdiri atas
pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Badan Stadar
Nasional Pendidikan merumuskan bahwa pendidikan menegah memiliki tujuan :
1. Tujuan pendidikan menengah atas adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
12
2. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut sesuai dengan kejuruannya (BSNP, 2006).
Partisipasi sekolah merupakan indikator dasar yang digunakan untuk
melihat akses pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Indikator ini
juga dapat digunakan untuk melihat struktur kegiatan penduduk yang berkaitan
dengan sekolah. Umumnya terdapat dua ukuran partisipasi sekolah yang utama,
yaitu Angka Pasrtisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM).
Keduanya mengukur penyerapan penduduk usia sekolah oleh sektor pendidikan,
perbedaan diantara keduanya adalah penggunaan kelompok usia standar di setiap
jenjang pendidikan (BPS, 2010). Usia standar yang dimaksud adalah rentang usia
yang dianjurkan pemerintah dan umum dipakai untuk setiap jenjang pendidikan
yang terdapat dalam Undang-undang No.20 tahun 2003, yang ditampilkan pada
tabel berikut :
Tabel 1.5-1 Angka Usia Standar di setiap jenjang
pendidikan
Jenjang Pendidikan Kelompok Usia
Sekolah Dasar (SD) 7 – 12 tahun
Sekolah Menengah Pertama (SMP) 13 – 15 tahun
Sekolah Menengah Atas (SMA) 16 – 18 tahun
Perguruan tinggi 19 tahun keatas
13
Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapapun
usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah
penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu.
APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat
pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur
daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan
(BPS,2010).
Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase siswa dengan usia yang
berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama.
APM menunjukkan partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di tingkat
pendidikan tertentu. Seperti APK, APM juga merupakan indikator daya serap
penduduk usia sekolah di setiap jenjang pendidikan. Tetapi, jika dibandingkan
APK, APM merupakan indikator daya serap yang lebih baik karena APM melihat
partisipasi penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai
dengan standar tersebut (BPS, 2010).
1.5.3 Pembangunan Sumberdaya Manusia
Boediarso (2004) mengungkapkan bahwa sumberdaya manusia sebagai
salah satu faktor produksi selain sumberdaya alam, modal, entrepreneur untuk
menghasilkan output. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia, maka
semakin meningkat pula efisiensi dan produktivitas suatu negara. Sejarah
mencatat bahwa negara yang menerapkan paradigma pembangunan berdimensi
manusia telah mampu berkembang meskipun tidak memiliki kekayaan sumber
daya alam yang berlimpah.
14
Pengembangan sumberdaya manusia tidak dapat dipisahkan dari
pendidikan. Pendidikan memegang peranan untuk meningkatkan kecerdasan dan
keterampilan manusia. Kondisi ini sejalan dengan Teori Human Capital yang
mengemukakan keterkaitan antara pendidikan dengan keterampilan dan
kemampuan produksi tenaga kerja. Teori yang pertama kali dikemukakan oleh
Theodore Schulz pada tahun 1971 merupakan suatu aliran pemikiran yang
menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk kapital sebagaimana
bentuk-bentuk kapital lainnya. Sebagai kapital, manusia sangat menentukan
pertumbuhan produktivitas bangsa. Melalui investasi dirinya sendiri, seseorang
dapat memperluas alternatif untuk memilih profesi, pekerjaan atau kegiatan lain
untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Human Capital ini dapat
diaplikasikan melalui berbagai bentuk investasi sumberdaya manusia, salah
satunya adalah pendidikan (Simanjuntak, 1985).
Mengenai human capital theory, Simanjuntak (1985) mengemukakan
bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui penigkatan
pendidikan, setiap tambahan satu tahun sekolah berarti disatu pihak meningkatkan
kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang, dan dipihak lain menunda
penerimaan penghasilan selama satu tahun dalam menjalani sekolah tersebut.
Disamping penundaan penerimaan penghasilan, orang yang melanjutkan harus
membayar biaya secara langsung, seperti uang sekolah, pembelian buku dan alat-
alat sekolah, tambahan uang transport dan lain lain. Investasi modal manusia
bertujuan untuk mningkatkan produktivitas kerja dan penghasilan. Human
15
capitaltheory mengenai pendidikan dapat menjadi dasar pengambilan keputusan
apakah seseorang akan melanjutkan sekolah atau tidak.
Ahli-ahli ekonomi mengembangkan teori pembangunan yang didasari
kepada kapasitas produksi tenaga manusia di dalam proses pembangunan, yang
kemudian dikenal dengan istilah Investment in Human Capital. Teori yang
merupakan hasil pemikiran Theodore Schulz (1971) ini didasari pertimbangan
bahwa cara paling efisien dalam melakukan pembangunan nasional suatu negara
terletak pada peningkatan kemampuan masyarakatnya. Selain itu dihipotesiskan
pula bahwa faktor utama yang mendukung pembangunan adalah pendidikan
masyarakat. Teori human capital mengasumsikan bahwa pendidikan informal
merupakan instrumen terpenting untuk menghasilkan masyarakat yang memiliki
produktivitas yang tinggi. Menurut teori ini, pertumbuhan dan pembangunan
memiliki 2 syarat, yaitu adanya pemanfaatan teknologi, dan adanya sumber daya
manusia yang dapat memanfaatkan teknologi yang ada. Sumber daya manusia
seperti itu dihasilkan melalui proses pendidikan. Hal inilah yang menyebabkan
teori human capital percaya bahwa investasi dalam pendidikan sebagai investasi
dalam meningkatkan produktivitas masyarakat. Asumsi dasar yang melandasi
keharusan adanya hubungan pendidikan dengan penyiapan tenaga kerja adalah
bahwa pendidikan diselenggarakan untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan utuk bekerja, dengan kata lain pendidikan menyiapkan tenaga-tenaga
yang siap bekerja.
Becker (1993) dalam bukunya “Human Capital, A Theoretical and
Empirical Analysis with Special Reference to Education” menyebutkan bahwa
16
pendidikan dan pelatihan merupakan investasi yang paling penting dalam mutu
modal manusia. Banyak studi menunjukkan bahwa para pekerja yang
berpendidikan menengah ke atas dan pendidikan tinggi di Amerika Serikat telah
mampu meningkatkan pendapatan yang diterima. Artinya, ada hubungan positif
antara pendidikan dan pendapatan yang diterima oleh para pekerja. Pendapatan
yang diterima oleh masyarakat yang lebih terdidik hampir selalu lebih besar dari
pendapatan rata-rata masyarakat secara keseluruhan. Dari temuan becker tersebut
dapat disimpulkan bahwa investasi di bidang pendidikan merupakan investasi
jangka panjang, lebih-lebih lagi apabila peserta didik mengikuti pendidikan tinggi.
Jelas hasilnya baru dapat dinikmati apabila peserta didik yang bersangkutan sudah
menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Dengan demikian, keuntungan dari
investasi di bidang pendidikan baru dapat dinikmati apabila sudah terjadi
peningkatan modal manusia. Dengan meningkatnya mutu modal manusia,
pendapatan yang diterima para lulusan akan meningkat, dan pada gilirannya
pendapatan masyarakat juga akan meningkat. Orang yang memiliki tingkat
pendidikan lebih tinggi, diukur dengan lamanya waktu untuk sekolah akan
memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang
pendidikannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka
semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi
produktivitas dan hasil ekonomi nasionalnya akan tumbuh lebih tinggi (Elwin
Tobing, 2005).
Hatmadji (1985) memberikan pernyataan yang rinci berkaitan dengan
hubungan antara pendidikan dan modal manusia, yang didasarkan pada temuan
17
penelitiannya dengan mengolah data hasil sensus penduduk tahun 1980. temuan
penelitiannya adalah : Pertama, bahwa hubungan positif antara tingkat pendidikan
dan partisipasi angkatan kerja baru terlihat sesudah tingkat pendidikan SMTP,
sedangkan pola untuk pendidikan SMTP ke bawah ditemukan hubungan yang
negatif. Kedua, pekerja yang berstatus sebagai buruh/karyawan adalah mereka
yang pada umumnya dipilih berdasarkan kemampuannya. Semakin tinggi
pengetahuan dan kemampuan seseorang, semakin besar kesempatannya untuk
dipilih. Baik untuk pekerja perempuan maupun laki-laki, daerah pedesaan
maupun perkotaan, terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan,
semakin besar persentase pekerja yang berstatus buruh/karyawan. Hal ini dapat
diartikan bahwa pendidikan memberi kesempatan untuk mendapatkan mutu modal
manusia. Ketiga, hubungan antara tingkat pendidikan seseorang dan salah satu
kelompok jenis pekerjaan yang diberi nama kelompok tenaga ahli/profesional
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar persentase
pekerja yang termasuk dalam kelompok tenaga ahli tersebut.
Ace (1994) menjelaskan bahwa titik temu antara pendidikan dengan
pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja. Akibatnya, semakin besar
semakin besar pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu
masyarakat. Adanya peningkatan tersebut diharapkan mereka dapat memperbaiki
kesejahteraannya. Oleh karena itu, peningkatan pendidikan penduduk sangat
diperlukan meskipun investasi pendidikan baru dapat dirasakan setelah beberapa
tahun kemudian mengingat pendidikan merupakan bentuk investasi jangka
panjang.
18
Hendra (1986) menyebutkan bahwa schiller mengemukakan 3 alasan
utama mengapa jenjang pendidikan sangat mampengaruhi pendapatan. Pertama,
tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat produktivitas, baik secara
langsung maupun tidak langsung sebagai akibat dari pengetahuan dan
keterampilan. Kedua dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi, akan
terbuka kesempatan kerja yang lebih luas. Ketiga, lembaga-lembaga pendidikan
dalam hal-hal tertentu dapat berfungsi sebagai penyalur tenaga kerja. Dari
beberapa hal tersebut berarti apabila dibandingkan dengan pendidikan yang lebih
rendah, mereka yang berpendidikan tinggi akan mendapatkan perlakuan yang
lebih istimewa dalam pasar tenaga kerja
Wheeler (dalam Aris Ananta,1995) mengemukakan bahwa modal manusia
mempunyai kontribusi langsung dan tidak langsung dalam pertumbuhan ekonomi.
Kontribusi yang tidak langsung dari modal manusia terhadap pertumbuhan
ekonomi adalah melalui efeknya pada peningkatan ekspor hasil industri,
perbaikan kesehatan, dan penurunan angka kelahiran.
1.5.4 Tinjauan Empiris
Masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan di indonesia bukanlah
semata-mata disebabkan oleh aspek pendidikan itu sendiri, tetapi juga terkait
aspek-aspek yang lain. Tantangan dan hambatan penyelenggaraan pendidikan di
indonesia yaitu untuk lanjutan tingkat pertama atau lanjutan tingkat atas antara
lain terhambat oleh faktor sosial ekonomi dan faktor geografis (depdikbud, 1992).
Psacharopoulus dan Woodhall (1985) seperti dikutip
Chiemprachanarakorn (1999) menyatakan bahwa di negara sedang berkembang,
19
faktor yang sangat menentukan kemungkinan anak bersekolah pada jenjang yang
lebih tinggi adalah pendapatan rumah tangga. Orang tua dari rumah tangga miskin
kurang mendukung anak untuk ikut serta pada sekolah lanjutan. Orang tua lebih
suka jika anak-anak mampu memberikan kontribusi pada pendapatan rumah
tangga. Selain itu, rumah tangga miskin cenderung mempunyai lebih banyak
anak usia sekolah dan bertempat tinggal di perdesaan dengan akses ke sekolah
yang masih terbatas.
Ruth Daroesman dalam Beeby (1994) menyatakan bahwa bayaran sekolah
merupakan beban yang terus meningkat dan hampir tak terpikul di pundak orang
tua dari golongan miskin, sehingga beberapa mungkin tak sanggup sama sekali
mengirimkan anaknya ke sekolah, dan banyak lagi yang harus berhenti sekolah.
Terdapat perbedaan jelas dalam memberikan pendidikan terhadap dari keluarga
miskin dan keluarga kaya. Beeby (1994), keluarga kaya akan lebih banyak
menyalurkan uang untuk pendidikan. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat
pendidikan anak selain ekonomi keluarga adalah tingkat pendidikan atau jabatan
ayah. Semakin rendah tingkat pendidikan dan jabatan ayah akan semakin kecil
kesempatan seorang anak menyelesaikan pendidikannya.
Aspek sosial yang berupa tingkat pendidikan orang tua dan persepsi
masyarakat terhadap pendidikan juga memiliki peranan penting dalam pendidikan
anak. Tingkat pendidikan formal orang tua akan mempengaruhi cara pandang
orang tua terhadap pendidikan anaknya. Vaizey (1982) menyatakan bahwa dalam
keluarga, sebagian besar faktor yang berpengaruh terhadap pendidikan anak yaitu
latar pendidikan orangtuanya.
20
Penelitian dengan judul “Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Petani terhadap
pendidikan anak di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman” yang dilakukan Endang
Widayati (1982) mendapatkan bahwa jenis kelamin berpengaruh pada pendidikan
anak. Persentase anak laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan dalam
pendidikan dijumpai di dua (2) desa penelitian, yaitu Donokerto dan Girikerto,
kecuali pada jenjang pendidikan SD. Perbedaan proporsi anak laki-laki dan
perempuan yang bersekolah paling nyata pada jenjang pendidikan SMA.
Widayati memperkirakan kondisi ini disebabkan dua hal yang saling
mendukung. Pertama, kondisi ekonomi rumah tangga yang kurang baik
mengharuskan orang tua memilih anak yang akan tetap bersekolah. Orang tua di
kedua desa tersebut lebih memilih untuk mempertahankan anak laki-laki tetap
bersekolah daripada perempuan. Alasan yang banyak dikemukakan adalah karena
di masaa datang anak laki-laki harus bertanggungjawab penuh atas kehidupan
ekonomi rumahtangganya. Kedua, dari hasil penelitian tersebut juga diketahui
bahwa banyak diantara anak perempuan usia sekolah lanjutan atas tidak
bersekolah lagi karena akan atau telah berumahtangga. Kondisi ini disebabkan
masih adanya anggapan bahwa merupakan suatu aib apabila seorang anak
perempuan menikah dalam usia yang lebih tua.
Penelitian yang dilakukan Mas’ud (1995) bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor penyebab wanita usia 7-15 tahun di D.I.Aceh tidak bersekolah.
Penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa residensi (desa-kota) merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk bersekolah atau
tidak. Hal ini ditunjukkan dari proporsi putus sekolah di perdesaan yang
21
cenderung lebih tinggi (13,67%) dibanding perkotaan (6,67%). Angka tersebut
disebabkan keterbatasan fasilitas pendidikan. Di perdesaan jumlah dan daya
tampung, khususnya sekolah lanjutan, masih terbatas. Untuk bersekolah si tempat
lain yang lebih jauh dibutuhkan biaya tambahan untuk treansportasi. Akibatnya
lebih banyak anak yang memilih untuk tidak bersekolah lagi.
1.6 Kerangka Pemikiran
Gambar 1.6-1Diagram Alir Kerangka Pemikiran