Download - Aspek Neurofisiologi Down Sindrom
Aspek Neurofisiologi Down Sindrom
Kesimpulan
Down sindrom merupakan penyebab terbanyak terjadinya retardasi mental.
Pada hampir sebagian besar kasus, hal tersebut disebabkan oleh adanya
penambahan kromosom 21. Dalam beberapa dekade terakhir banyak yang telah
dipelajari mengenai kelainan kognitif neural dasar, yang diamati pada sindrom
tersebut tetapi pengetahuan menyeluruh mengenai hal tersebut masih jauh dari
cukup. Bagian ini meninjau mengenai apa saja yang diketahui mengenai otak
dan fungsi kognitif pada down sindrom, melihat data dari siswa dengan
berbagai kelompok usia. Meskipun terdapat defek intelektual secara umum
pada down sindrom, hal ini jelas bahwa gangguan neural dan kognitif tidak
diamati secara bersamaan pada semua kelompok ; pada sindroma down
terdapat pola spesifik terhadap masalah terkait defisit pada formatio
hipocampus, korteks prefrontal dan mungkin juga pada cerebellum. Terdapat
pola spesifik besar yang membedaka down sindrom dari bentuk kelainan
retardasi mental lainnya seperti sindrom Williams ( WS ), autism, sindrom
Prader – Willi dan lain-lain. Membuat kemajuan pada proses ameliorasi
kesulitan yang dihadapi pada individu dengan down sindrom akan
membutuhkan perhatian dan kewaspadaan yang besar pada kehidupan
alamiahnya.
Pendahuluan
Sindrom down, merupakan penyebab umum terbanyak pada retardasi mental,
telah diketahui secara umum bahwa penyebabnya adalah adanya triplikasi pada
semua, atau sebagian besar kromosom 21 pada seorang individu. Sampai
sekarang kita belum mengerti secara pasti bagaimana untuk
mengkarakteristikan gangguan kognitif pada down sindrom. Pengetahuan yang
masih sangat kurang tersebut menjadi hambatan untuk meningkatkan kualitas
hidup seorang individu dengan down sindrom yang perkembangannya
mengikuti pola yang tidak umum. Pada bagian ini saya akan lebih terfokus
pada fungsi kognitif dan neurofisiologi pada down sindrom dalam pengertian
mengenai tanda spesifik yang membantu membedakan down sindrom dengan
bentuk retardasi mental lainnya. Kekhususan ini merupakan petunjuk penting
mengetahui secara pasti penyebab bentuk retardasi yang diamati pada down
sindrom.
Defek umum
Individu dengan down sindrom secara tipikal jatuh pada keadaan retardasi
ringan sampai sedang, dengan IQ dalam rentang 50 – 90. Beberapa individu
dengan down sindrom masuk dalam kategori normal, sedangkan lainnya
mengalami retardasi yang berat. Variabilitas tersebut merupakan tantangan
signifikan terhadap kelainan tersebut tetapi sulit untuk memberikan kejutan
secara alamiah pada kelainan tersebut.
Pada mempertimbangkan mengenai penyebab gangguan intelektual tersebut,
satu bagian dapat memberikan penjelasan secara multipel, tidak harus sampai
tahap eksklusif. Saya memfokuskan pada dua tahap yaitu : neurobiologis dan
kognitif.
Neurobiologis down sindrom
Pada saat lahir sangat sering sulit untuk membedakan individu dengan otak
normal dan down sindrom. Sekarang, baik penelitian post mortem dan
penelitian neuroimaging telah dapat memberikan penjelasan mengenai
perbedaan antara kelompok individu dengan otak normal dengan down
sindrom pada usia 6 bulan. Dimana perbedaan tersebut muncul, dan apakah hal
tersebut bernilai ? otak pada individu dengan down sindrom secara tipikal
lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol, minimal setelah usia 6 bulan. Oleh
karena itu, perbedaan ukuran otak tersebut dapat menjadi masalah allometeri.
Kemungkinan tersebut, ditambahkan kepada kenyataan bahwa tidak terdapat
hubungan yang pasti antara ukuran otak dengan intelegensia pada berbagai
keadaan, menyarankan bahwa retardasi mental yang diamati pada down
sindrom tidak mudah memberikan kesimpulan mengenai perbedaan besar pada
ukuran otak.
Meskipun secara keseluruhan individu dengan down sindrom memiliki ukuran
otak yang lebih kecil, beberapa area di otak terpengaruh secara
disproporsional. Perbedaan pengaruh tersebut tidak dapat diperkiraan dengan
allometeri, dan sepertinya memberikan petunjuk penting mengenai bagaimana
trisomi 21 memberikan karakteristik down sindrom pada retardasi mental.
Penelitian awal menunjukkan bahwa otak pada individu dengan down sindrom
pada saat lahir atau segera setelah lahir dapat dibedakan dengan otak pada
individu normal ( Brooksbank et al. 1989: Wisniewski & Schmidt-Sidor 1989;
Florez et al. 1990; Schmidt-Sidor et al. 1990; Bar-Peled et al. 1991; Pazos et
al. 1994 ).
Nilai normal dilaporkan pada bentuk otak dan tulang kepala, berat otak,
proporsi lobus cerebri tertentu, ukuran cerebellum dan batang otak, dan
munculnya sistem neurotransmiter. Terdapat bukti, bahwa beberapa perubahan
yang terjadi muncul pada awal usia kehamilan, pada usia kehamilan 22 minggu
( contohnya, Schmidt-Sidor et al. 1990; Golden & Hyman 1994; Wisniewski &
Kida 1994; Engidawork & Lubec 2003 ) dan hal ini jelas bahwa pada usia 6
bulan sejumlah perbedaan penting sudah jelas terlihat. Beberapa perbedaan
tersebut terlihat pada proporsi individu dengan down sindrom yang
menunjukkan sejumlah kelainan, dibandingkan dengan kelainan yang sama
pada semua sampel. Hal ini penting sebagai ringkasan variabilitas pada
populasi tersebut melalui penampakan genotip trisomi 21. ( hal ini menjadi
sebuah pertanyaan terbuka bagaimana seorang individu dengan down sindrom
dibandingkan dengan perkembangan individu yang jelas terlihat dari berbagai
variabilitas – dimana terdapat alasan yang masuk akal untuk membayangkan
variabilitas yang berlebih, variabilitas yang kurang, ataupun variabilitas yang
normal. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan penting untuk merangsang
penelitian terkait hal tersebut di masa mendatang ).
Sebuah perbedaan nyata yang menjadi menjadi sebuah pemikiran mengenai
keterlambatan proses mielinisasi postnatal ( Wisniewski 1990 ), secara umum
terjadi di awal tetapi bermanifestasi secara primer pada traktus nervosum,
bahwa kemudian proses mielinisasi mengalami keterlambatan perkembangan,
seperti hubungan serabut saraf antara lobus frontal dan lobus temporal.
Keterlambatan ini diamati pada sekitar 25 % bayi dengan down sindrom yang
menjadi subjek dalam analisis post mortem antara usia 2 bulan dan 6 tahun.
Keterlambatan proses mielinisasi juga diamati pada penelitian menggunakan
magnetic resonance imaging pada seorang bayi ( usia 18 bulan ) dengan down
sindrom ( Koo et al. 1992 ). Tanpa mengesampingkan pengaruh keterlambatan
proses mielinisasi, tidak pantas memasukkan bahwa dalam semua kasus
mielinisasi yang masuk dalam kategori normal pada saat lahir, dimana 75 %
dari semua kasus tersebut termasuk dalam kategori normal pada periode
perkembangan awal. Becker et al. ( 1986 ) menunjukkan bahwa arborisasi
dendritik dalam korteks visual dengan down sindrom yang secara paradoksikal
lebih besar dibandingkan normal di awal pada bayi tetapi kemudian
dipertimbangkan menjadi lebih sedikit dibandingkan pada bayi normal pada
usia 2 tahun. Mereka berspekulasi bahwa kurangnya perhatian di awal
merupakan akibat dari respon kompensasi terhadap hilangnya formasi sinap
yang adekuat, tetapi pada kenyataannya tetap sama bahwa pada awal
perkembangan anak terdapat penurunan dalam neokorteks. Perbedaan secara
neuropatologik setelah usia 3 sampai 5 bulan memasukkan pemendekan dari
panjang lobus fronto – oksipital dalam otak, yang memberikan pengaruh pada
reduksi dalam perkembangan lobus frontal, penyempitan girus temporalis
superior ( diamati pada sekitar 35 % dari semua kasus ), penurunan ukuran
batang otak dan cerebellum ( diamati pada sebagian besar kasus ) dan 20 %
sampai 50 % reduksi terjadi pada sejumlah neuron granuler korteks ( lihat
Crome et al. 1966; Benda 1971; Blackwood & Corsellis 1976 ). Tidak
sependapat mengenai perbedaan tersebut, gambaran secara keseluruhan pada
saat lahir atau beberapa saat setelah lahir merupakan satu – satunya kelainan
ringan yang terjadi, meskipun individu dengan down sindrom cenderung
masuk ke dalam garis bawah kategori normal ( atau di luarnya ) pada sebagian
besar pengukuran.
Pengamatan mengenai fungsi neuron, sebagai kebalikan terhadap struktur,
pada bayi muda mendapatkan beberapa kelainan : terdapat bukti baik mengenai
keterlambatan atau gangguan perkembangan sistem auditorik ( Jiang et al.
1990 ) yang mungkin ikut berperan terhadap meluasnya gangguan pendengaran
yang diamati pada individu dengan down sindrom. Secara pasti, seperti sebuah
gangguan, jika organik, dapat dihubungkan dengan banyaknya kesulitan yang
muncul kemudian pada proses belajar bahasa. Hill Karrer et al. ( 1998 ) telah
melaporkan keterlambatan perkembangan inhibisi otak menggunakan kelainan
yang terlihat ( ERP ) dalam cara pandang terhadap memori visual. Terdapat
juga bukti mengenai lebih luasnya kelainan pada EEG koheren ( McAlaster
1992 ) yang kelihatannya mencerminkan peningkatan daerah sekitar dendrit
( cf. Marin – Padilla 1976 ).
Perbedaan tersebut, seperti halnya perbedaan yang lain, muncul hanya
beberapa waktu setelah lahir. Hal ini umumnya memberikan pengaruh pada
otak bagian posterior dibandingkan bagian anterior, dan pada hemisfer kiri
dibandingkan hemisfer kanan. Bukti mengenai sequelle secara neuropatologis
pada down sindrom sering muncul pada setengah perjalanan hidup seorang
individu. Data dari penelitian post mortem dan dari penelitian megenai fungsi
otak pada populasi terpilih memperlihatkan bahwa perubahan awal umumnya
muncul pada awal kehidupan seseorang dan mejadi lebih menonjol dan
umumnya pada awal masa remaja.
Telah ada beberapa penelitian mengenai fungsi otak pada remaja dan dewasa
muda dengan down sindrom, tetapi data yang tersedia masih belum dapat
memberikan penjelasan secara mendalam. Devinsky et al. ( 1990 ) melaporkan
mengenai gambaran aktivitas gelombang alfa EEG normal pada dewasa muda (
< 40 tahun ), sedangkan Schapiro et al ( 1992 ) melaporkan metabolisme otak
normal pada kelompok yang sejenis, menggunakan Positron Emission
Tomography ( PET ) untuk mengukur uptake glukosa dan aliran darah
regional. Mereka tidak melaporkan beberapa gangguan pada interaksi neuron
normal diantara lobus frontal dan lobus parietal, kemungkinan termasuk area
bicara Broca. Secara keseluruhan, mereka menyimpulkan bahwa pada individu
yang lebih muda dengan down sindrom, atrofi cerebral tidak umum melebihi
batas yang dapat diperkirakan dengan semakin kecil ukuran cranial dan tinggi
badan seorang subjek penelitian. Di lain pihak, pada kasus tersebut dimana
demensia dapat diamati pada subjek yang lebih muda, terdapat tanda yang jelas
mengenai kelainan atrofi cerebral dan defisiensi metabolik. Pelebaran ventrikel
merupakan tanda umum pada kasus ini. Pada penelitian awal terfokus pada
uptake glukosa, peneliti menemukan interaksi yang abnormal antara talamus
dan neokorteks, pada beberapa bagian tertentu lobus temporal dan lobus
oksipital, berspekulasi bahwa mungkin terdapat dengan perhatian langsung
sebagai akibatnya ( Horwitz etl al. 1990 ).
Sebuah penelitian mengenai PET yang melibatkan tujuh subjek dewasa muda
dengan down sindrome ( rata – rata usianya sebesar 28 tahun ) tanpa demensia
( Haier el al. 1995 ) mengkonfirmai mengenai penemuan sebelumnya yang
secara keseluruhan laju metabolisme glukosa kortikal lebih tinggi pada subjek
dengan down sindrom ( dan pada subjek retardasi mental lainnya )
dibandingkan dengan kontrol normal. Hal ini terlihat peningkatan secara
paradoksikal yang khas diinterpretasikan sebagai tanda ínefisiensi. Ketika
salah satu terlihat lebih jelas pada area tertentu, terdapat penurunan laju
metabolik pada lobus frontal bagian medial dan lobus temporal bagian medial
pada subjek penelitian dengan down subjek, dan beberapa bukti mengenai
disfungsi dalam ganglia basalis.
Dua penelitian terbaru (Pinter et al. 2001a; Kates et al. 2002) memberikan
informasi lebih spesifik. Pinter et al. menggunakan metode MRI resolusi tinggi
untuk menganalisis struktur otak pada 16 anak muda ( rata – rata memiliki usia
11 tahun ) dengan disertai down sindrom. Setelah dilakukan koreksi secara
keseluruhan terhadap volume otak, volume hippokampus, tetapi tidak pada
volume amigdala, dimana terdapat penurunan pada kelompok tersebut. Hasil
tersebut meyakinkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang dilakukan
menggunakan metode MRI dengan resolusi rendah ( Jernigan et al. 1993 ).
Kates et al. melakukan pengamatan pada sebuah kelompok yang terdiri dari 12
anak dengan down sindrom ( semuanya laki – laki dengan rata – rata memiliki
umur 5, 94 tahun ) dan mereka dibandingkan dengan anak – anak dengan fragil
– X, keterlambatan perkembangan bahasa, atau gangguan perkembangan khas.
Anak – anak dengan sindrom Down memiliki volume otak yang lebih kecil
dibandingkan yang lainnya, dengan tidak adanya laporan mengenai reduksi
pada korteks parietal seperti informasi mengenai reduksi yang terjadi pada
lobus temporal. Pinter et al. ( 2001b ), dilain pihak, mencatat mengenai
pengawetan korteks parietal.
Secara keseluruhan, bukti berasal dari penelitian dengan subjek penelitian
berusia pertengahan kehidupan mereka tetap tidak meyakinkan. Hal ini,
bagaimanapun juga, tidak menjadi masalah ketika seseorang melakukan
penelitian yang terfokus pada subjek penelitian yang lebih tua. Untuk beberapa
waktu, hal ini sudah jelas bahwa neuropatologi yang terlihat seperti yang
terlihat pada penyakit Alzheimer ( AD ) umumnya terjadi pada seseorang
dengan sindrom down setelah usia sekitar 35 tahun. Penelitian terbaru telah
mempelajari cara mengenai neuropatologi yang terlihat pada sindroma Down
yang mirip dengan gangguan Alzheimer ataupun berbeda dengan gangguan
Alzheimer. Sebuah fakta penting yang muncul dari penelitian 10 tahun yang
lalu dimana secara bayangan 100 % individu dengan Sindroma Down
menunjukkan gambaran neuropatologi yang mirip dengan gangguan
Alzheimer, kurang dari 50 % menunjukkan bahwa demensia tidak selalu
terlihat pada penyakit Alzheimer ( lihat, sebagai contoh, Holland et al. 1998 ).
Ketidaksepahaman mengenai neuropatologi dari demensia tentu saja
disebabkan oleh kepentingan yang cukup besar, dengan penekanan awal pada
upaya untuk menentukan jika mungkin kecil perbedaan diantara kasus sindrom
down dan penyakit Alzheimer yang dapat memberikan penjelasan mengenai
disosiasi yang diamati pada sindrom down tetapi tidak pada penyakit
Alzheimer. Belum terbukti kemungkinan untuk menentukan berbagai
perbedaan yang dapat disebutkan, dengan pasti, untuk menilai fakta tersebut
( lihat, contoh, Cork 1990 ).
Lima penelitian yang dilakukan pada tahun 1990an memberikan data megenai
neuropatologi yang diamati pada orang dewasa dengan sindrom down (Weis
1991; Lögdberg & Brun 1993; Kesslak et al. 1994; Raz et al. 1995; Aylward et
al. 1999). Weis (1991) menjelaskan perbedaan spesifik dalam korteks dan
substansia alba secara keseluruhan, dengan perbedaan yang tidak terlalu
signifikan pada cerebellum ( P < 0,06 ). Penelitian kedua ( Kesslak et al.
1994 ) yang dilakukan terhadap 13 orang dewasa dengan sindrom down,
memperlihatkan penurunan ukuran hipocampus dan neokorteks dan
peningkatan paradoksikal dari ukuran girus parahipocampus pada kelompok
tersebut tanpa disertai demensia. Tidak ada perbedaan secara signifikan yang
diamati pada lobus temporalis superior, lobus temporalis media, dan inferior,
ventrikel lateral, atau area kortikal atau subkortikal. Pada subjek penelitian
sindrom down hanya terdapat dua perubahan terkait usia : dengan semakin
bertambahnya usia, peningkatan ukuran ventrikel dan penurunan ukuran
hipocampus. Pada dua subjek penelitian dengan demensia kemungkinan
terdapat atrofi otak dan pelebaran ventrikel; secara umum terdapat gambaran
yang mirip seperti yang diamati pada penyakit Alzheimer, tetapi hal ini tidak
terlihat pada subjek penelitian dengan sindrom down yang tidak mengalami
demensia secara klinis, meskipun usianya sudah mencapai 51 tahun.
Penelitian ketiga ( Raz et al. 1995 ) yang dilakukan pada 25 orang dewasa, 13
dengan sindrom down, juga menggunakan MRI. Paling kritis, hasil penelitian
tersebut disesuaikan terhadap ukuran tubuh, sehingga mereka memasukkan
data perbedaan tersebut secara sederhana dihasilkan dari allometeri. Regio otak
yang lebih kecil pada subjek penelitian dengan sindrom down termasuk
formasio hipocampus, corpus mamilaris, dan sebagian hemisfer cerebellum
dan cerebrum.
Mereka juga direplikasi mengenai peningkatan ukuran girus parahipocampus
yang diamati oleh Kesslak et al. ( 1994 ). Tidak terdapat perbedaan pada
semua subjek yang diamati pada korteks orbito – frontalis, girus pre dan post
sentral, dan ganglia basalis. Penelitian keempat ( Lögdberg & Brun 1993 )
melakukan analisis morfometrik terhadap otak pada tujuh subjek penelitian
dengan sindrim down ( rata – rata usianya 25,3 tahun ) dan menunjukkan
penurunan secara signifikan pada girus dalam di lobus frontalis. Akhirnya,
Aylward et al. ( 1999 ) menggunakan MRI dengan resolusi tinggi untuk
menunjukkan reduksi volume hipocampus tertentu pada orang dewasa.
Perubahan pada pengamatan tersebut mempertegas laporan terdahulu mengenai
penurunan volume cerebellum ( Jernigan & Bellugi 1990 ), dan penurunan
dendritik spinal dan volume hipocampus ( Ferrer & Gullotta 1990 ). Mereka
juga telah melaporkan mengenai neuropatologi dalam amigdala ( Mann & Esiri
1989: Murphy et al 1992 ), pada sebagian subregio tersebut sebagian besar
terkait erat dengan hipocampus ( Murphy & Ellis 1991 ) tetapi penemuan
terbaru lebih pada kontrol terhadap volume otak secara keseluruhan ( Pinter et
al. 2001a ) memberikan sedikit keraguan dalam data tersebut.
Perubahan neuropatologis awal akibat peningkatan usia pada sindrom down
terlihat muncul pada sebagian formasio hipocampus, terutama pada korteks
entorhinal, tetapi juga melibatkan girus dentata, CA1 dan subiculum ( Mann &
Esiri 1989; Hyman 1992 ). Terdapat kehilangan sel yang besar dalam lokus
coeruleus ( Mann et al. 1990 ), sebuah nukleus batang orak yang mewakili
formasio; paling menonjol dalam kasus demensia berat.
Pada kesimpulan, terdapat penyebaran tanda neuropatologi pada subjek
penelitian dengan usia tua yang disertai sindrom down tetapi terdapat secara
selektif, tetap, terhadap pengertian mengenai dimana tanda tersebut pertama
kali muncul, dan dimana tanda tersebut terlihat paling menonjol. Dalam hal ini,
perubahan dalam formasio hipocampus ( Ball & Nuttal 1981; Sylvester 1983;
Ball et al. 1986 ), lobus temporal secara umum ( Deb et al. 1992; Spargo et al.
1992 ), korteks prefrontal ( Logdberg & Brun 1993; Kesslak et al. 1994 ) dan
cerebellum ( Cole et al. 1993 ) yang menonjol.
Secara keseluruhan, penelitian neuropatologi di awal dan akhir hidup
berpengaruh terhadap regio tertentu dari korteks, termasuk yang paling
menonjol lobus temporalis dan formasio hipocampus ( Wisniewski et al.
1986 ), korteks prefrontal, dan cerebellum. Dalam menganalisis kesulitan
belajar dan mengingat, kami harus berhati – hati terhadap perubahan yang
mencerminkan masalah pada sistem neural tersebut.
Terdapat hal yang penting dan perkembangan literatur yang berhubungan
dengan sistem hipocampus dan korteks prefrontal pada sindrom down tetapi
kemungkinan cara kerja dalam cerebellum secara umum telah dikurangi.
Pengamatan terhadap kelainan menetap pada struktur tersebut melalui
pengamatan jarak dekat terhadap kebiasaan dan fenotip kognitif pada sindrom
down harus menjadi prioritas utama di masa depan.
Sindrom Down Dibandingkan Dengan Sindrom Retardasi Lainnya
Tidak pantas jika pola neuropatologi yang diamati pada sindrom down, sangat
spesifik terhadap kasus ini – sindrom retardasi mental lainnya memberikan
gambaran yang berbeda. Pada sindrom William, sebagai contoh, secara relatif
membandingkan regio frontal dan limbik yang berpengaruh pada sindrom
Down, dengan defisit pada area kortikal mengenai persepsi bahasa dan
persepsi wajah ( Bellugi et al. 1999 ). Pada Fragile – X, peningkatan di volume
hipocampus, thalamus, dan nukleus kaudatus telah diamati lama dengan
penetapan pada lobus parietalis substansia alba ( Kates et al. 2002 ). Pada
sindrom lainnya, autism, perbedaan gambaran yang muncul dengan defek
yang diamati lebih luas pada hipocampus, subiculum, korteks entorhinal,
nukleus septum, corpus mamilaris, nukleus tertentu di amigdala, korteks
neocerebellar, nukleus di bagian atas cerebellum, dan nukleus olivarius inferior
( Bauman & Kemper 1985 ).
Perbedaan penting tersebut pada neuropatologi yang diamati pada berbagai
macam sindrom retardasi mental sangat menyarankan bahwa defek kognitif
yang diamati pada sindrom tersebut harus berbeda dengan sindrom lainnya
menggambarkan pola spesifik penghindarandan gangguan fungsi.
Keadaan Kognitif Pada Seseorang Dengan Sindrom Down
Secara umum, bayi dengan sindrom down menunjukkan kemampuan belajar
dan mengingat yang relatif normal ( tetapi lihat Hepper & Shahidullah 1992
untuk laporan mengenai gangguan habituasi pada dua fetus dengan sindrom
Down ). Penting untuk mengerti, namun, hal ini bukan berarti bahwa mereka,
atau memang berkembang secara normal, termasuk dalam kategori normal
mengenai kemampuan belajar dan mengingat pada saat lahir. Pada
kenyataannya, hal ini tidak menjadi masalah karena beberapa bagian otak
mengalami maturitas secara postnatal dan bentuk ketergantungan belajar dan
mengingat mereka tidak ada sampai beberapa waktu setelah lahir. Lobus
temporalis medial, dan sebagian hipocampus, sebagai bagian cerebellum,
termasuk dalam kategori tersebut. Kenyatannya bahwa keterlambatan
perkembangan struktur rupanya sebagian menjadi resiko pada sindrom down
yang mungkin menjadi pertimbangan penting ( lihat Nadel 1986 ). Pada awal
seri penelitian, Ohr & Fagen ( 1991, 1993 ) melaporkan bahwa bayi berusia 3
bulan dengan sindrom down masih normal dalam belajar mengenai kontingensi
diantara pergerakan mereka ( kaki menendang ) dan penguatan, termasuk
pembelajaran awal, kemampuan pergerakan cepat dan retensi. Pada laporan
sesudahnya, Ohr & Fagen ( 1994 ) menunjukkan bahwa bayi berusia 9 bulan
dengan sindrom down mengalami gangguan, sebagai kelompok, dalam belajar
mengenai kontingensi diantara pergerakan tangan dan penguatannya. Akan
tetapi, mereka mencatat bahwa beberapa bayi dengan sindrom down dapat
belajar. Mereka menyimpulkan bahwa sebuah penurunan relatif mengenai
kondisi kemampuan seorang bayi dengan sindrom down dibandingkan dengan
perkembangan normal bayi setelah berusia 6 bulan.
Mangan ( 1992 ) menguji bayi kelompok kontrol dan bayi dengan sindrom
down menggunakan berbagai pertanyaan bertingkat, satu diantaranya, uji
belajar tempat, dibuat secara khusus untuk menilai penetapan fungsi sistem
hipocampus. Pola hasil tersebut konsisten dengan penyebaran, tetapi ringan,
neuropatologi dibandingkan dengan peningkatan patologi terlokalisir pada
hipocampus.
Kesepahaman dalam penelitian mengenai pembelajaran dalam segi bahasa
telah ditunjukkan pada anak – anak dengan sindrom down ( lihat Rondal
1994 ). Masih terdapat sedikit keraguan mengenai kesulitan dalam
mendapatkan kemampuan bahasa sampai tahap yang berat, sebagian pada
bagian fonologi dan sintaktik ( lihat Tager – Flusberg 1999; Vicari et al. 2002;
Thordardottir et al. 2002 ), tetapi juga terdapat kasus dimana kemampuan
bahasa masih termasuk dalam kategori normal, atay bahkan termasuk dalam
kategori menengah atas. Bayi dengan sindrom Down menunjukkan berbagai
gambaran normal kebiasaan prebahasa, termasuk babbling, dan meniru,
meskipun hal tersebut kecil tetapi kemungkinan dalam hal ini menjadi
perbedaan penting diantara perkembangan bayi dengan sindrom Down dan
bayi normal ( Oller & Siebert 1988; Lynch et al. 1990; Steffens et al. 1992 ).
Sigman dan teman-temannya ( Mundy et al. 1988; Sigman 1999 ) telah
menunjukkan defisit dalam penggunaan permintaan non verbal pada seorang
anak kecil dengan sindrom Down.
Defisit yang mirip dalam kebiasaan meminta telah dilihat pada penelitian
lainnya; termasuk salah satunya menilai permintaan secara verbal ( Beeghly et
al. 1990 ), tetapi sejumlah penelitian telah gagal untuk mengetahui sebuah
defisit ( sebagai contoh, Greenwald & Leonard 1979 ). Vocalisasi muncul di
bawah kontrol kontingesi pada bayi dengan sindrom Down ( Poulsen 1988 ),
dan kemampuan mereka untuk mendapatkan kata – kata terlihat seperti normal
meskipun lambat ( Hopmann & Nothnagle 1994 ). Ketika hal ini sulit untuk
menentukan defek yang tepat pada akar masalah kemampuan bahasa tertentu,
terdapat sedikit pendapat yang menyarankan bahwa kesulitan tersebut secara
primer salah satu kemampuan belaja atau mengingat. Sigman ( 1999 ) defek
stress terkait kebiasaan, lebih sedikit dibandingkan kebiasaan pemberian
perhatian secara optimal, dan penurunan kapasitas untuk mengawali perhatian
untuk menggabungkan sebagai sumber masalah bahasa. Tager – Flusberg
( 1999 ) terfokus pada memori dari auditori , dimana secara tertentu dapat
menghitung untu defek fonologi yang diamati.
Kenyataan bahwa disproporsi kesulitan yang diamati pada perkembangan
grammatikal masih tetap konsisten dengan pendapat bahwa masalah belajar
dan ingatan bukan akar masalah dari defek bahasa pada seseorang dengan
sindrom down.
Anak kecil mengembangkan nosi mengenai kelanjutan eksistensi dan properti
objek dalam sebuah karakteristik mode. Anak – anak dengan sindrom Down
telah ditunjukkan secara tertentu untuk mendapatkan konsep dasar objek lebih
lambat dibandingkan anak – anak normal ( lihat, sebagai contoh, Rast &
Meltzoff 1995 ) tetapi dengan pelatihan yang lebih mereka dapat memperoleh
kemampuan yang lebih atau kurang dibandingkan dengan perkembangan pada
anak – anak normal dalam waktu yang sama ( Wilshart 1993 ). Akan tetapi,
perbedaan berbagai masalah yang muncul dalam situasi tersebut berpusat pada
ketidakstabilan dalam memperoleh kemampuan. Meskipun subjek tertentu
dengan sindrom Down dapat menyelesaikan berbagai macam tingkatan tes
digunakan untuk menilai subjek menurut usia tidak jauh berbeda dengan
subjek yang normal, performa yang dihasilkan setelah proses pembelajaran
tersebut dapat sangat bervariasi dan umumnya tergantung dari masalah
motivasi. Masalah tersebut, jika mewakili gaya pembelajaran seorang anak
dengan sindrom Down, sangat penting dalam memikirkan mengenai efektifitas
intervensi. Hasil dari penelitian Wishart menggunakan standar uji intelegensi
baterai menyarankan bahwa mereka dapat mewakili hal tersebut. Uji ulang
reliabilitas menghasilkan nilai yang sangat rendah karena keberhasilan yang
diperoleh dalam satu test mungkin tidak muncul pada saat uji ulang, yang
dilakukan secepatnya setelah dua minggu kemudian. Kemampuan baru yang
muncul, hanya akan menghilang dalam jangka pendek. Sebuah pendapat yang
muncul bahwa bukti mengenai cepat lupa berkaitan dengan kerusakan pada
formasio hipocampus tetapi dibutuhkan lebih banyak data sebelum kesimpulan
ini dapat diterima. Masalah motivasi dan ketidakstabilan perkembangan
diamati pada penelitian yang dilakukan oleh Wishart sangat menyarankan
bahwa anak kecil dengan sindrom Down tidak hanya mengalami keterlambatan
perkembangan mental, tetapi juga diikuti oleh suatu pola yang berbeda.
Seperti apa yang Wishart ( 1993, p. 392 ) kemukakan, pandangan ini memiliki
keunggulan utama yang konsisten dengan data dari neuroscience menunjukkan
sindrom Down dihubungkan dengan perbedaan mendasar dalam morfologi dan
fungsi otak. Untuk menyimpulkan keadaan pada bayi dan anak – anak: terdapat
bukti mengenai tipe belajar tertentu yang relatif normal, terutama pada subjek
penelitian yang masih berusia muda. Macam cara belajar yang termasuk
kategori normal sering direferensikan sebagai petunjuk / prosedur: kondisi
sederhana, sebagai contoh, dan ditangguhkan sebagai contoh ( Rast & Meltzoff
1995 ). Terdapat bukti mengenai beberapa defisit pembelajaran spesifik yang
besar, yang biasanya muncul hanya beberapa bulan atau sampai bertahun –
tahun setelah lahir. Bukti tersebut konsisten dengan masalah spesifik dalam
sistem spasial kognitif formasio hipocampus.
Masalah belajar dan ingatan yang mulai muncul pada usia bayi akhir menjadi
catatan penting seperti halnya pertumbuhan bayi menjadi anak – anak dan
menjadi dewasa. Ketika banyak pengetahuan kami dalam saat ini diperoleh
dari proses belajar bahasa, terdapat informasi yang tersedia mengenai jenis lain
dari cara belajar dan ingatan. Sebuah poin penting yang harus ditekankan dari
data mengenai belajar bahasa terdapat beberapa hal yang harus dikerjakan
dengan kemampuan yang kurang pada anak – anak dengan sindrom Down
untuk belajar huruf – huruf, atau konstruksi linguistik, atau bahan non verbal
lainnya, dan lebih banyak yang harus dikerjakan dengan kemampuan mereka
untuk menstabilkan informasi yang mereka harus kelola terlebih dahulu untuk
mendapatkannya. Wishart ( 1993 ) dan Fowler ( 1988 ) menekankan poin
tersebut, yang mungkin mencerminkan, dibandingkan faktor lainnya, gangguan
pada konsolidasi ingatan, fungsi lain dari sistem hipocampus.
Dalam sebuah penelitian terdahulu yang mengamati tentang bentuk multipel
cara belajar dan ingatan, Carlesimo et al. ( 1997 ) melaporkan gangguan
tertentu pada sindrom Down. Subjek penelitian dengan sindrom Down diuji
dengan berbagai macam cara pandang ingatan yang bersifat implisit
( prosedural ) dan eksplisit ( episodik ), termasuk batang – kata, daftar
pelajaran dan mengingat kembali prosa. Efek rangsangan yang kuat dapat
dilihat pada kelompok sindrom Down, dibandingkan dengan yang diamati pada
kelompok kontrol, menandakan bahwa ingatan yang bersifat implisit akan
tetap utuh. Sehingga, defisit yang diamati terdapat pada kedua tes ingatan yang
bersifat eksplisit. Kinerja pada cara pandang terhadap ingatan yang bersifat
eksplisit telah dihubungkan dengan fungsi dari sistem hipocampus, meskipun
defek tersebut memberikan gangguan pembanding dalam fungsi hipocampus
dan dengan demikian dapat sesuai dengan data yang berasal dari penelitian
mengenai spasial.
Pada penelitian serial terbaru, saya bersama institusi saya telah menguji
beberapa kelompok individu dengan sindrom Down yang berlainan pada
sebuah test yang didesain untuk menilai secara langsung fungsi spesifik sistem
otak. Penilaian neuropsikologis kognitif sering menggunakan ujia
perkembangan pada hewan coba, dimana secara kritis mendasari sirkuit otak
dapat diidentifikasi dan dipelajari secara hati – hati pada suatu penelitian yang
bersifat invasif. Kami mulai dengan fokus pada tiga sistem otak yang
diidentifikasi oleh data neuropatologis, banyak yang didiskusikan mengenai
hal tersebut di atas : sistem hipocampus, korteks prefrontal, dan cerebellum.
Kami mengembangkan satu set uji yang secara kolektif dapat memberi tahu
kami sesuatu mengenai bagaimana sistem otak ini faring. Pada set awal
penelitian ( Pennington et al. 2003 ) kami menemukan bukti spesifik mengenai
disfungsi hipocampus pada sampel kami dengan 28 orang dewasa,
menggunakan usia mental yang sesuai kontrol. Kami menemukan sedikit bukti
mengenai disfungsi pada girus prefrontal dalam sebuah uji non verbal.
Pekerjaan selanjutnya, namun, memberikan petunjuk bahwa uji secara verbal
mungkin menghasilkan hasil yang berbeda, dan memang hal itu adalah apa
yang kita lihat sekarang ( Moon et al., dalam persiapan ). Menggunakan uji
verbal untuk mengeksplorasi korteks prefrontal, kami menemukan pada
kelompok usia muda dan usia tua tanda yang jelas dari disfungsi baik dari
sistem hipocampus dan sistem prefrontal. Defisit diamati pada sebuah lingkup
uji meskipun mediasi secara verbal diperlukan untuk mengeluarkan pengaruh
korteks prefrontal. Secara keseluruhan, penelitian kami menunjukkan bahwa
masalah tertentu yang muncul tentang ingatan diatur oleh sistem hipocampus
dan sistem prefrontal. Gangguan yang muncul kemudian dihubungkan dengan
penggunaan materi uji verbal. Gangguan pada fungsi hipocampus secara
prinsip dapat mencerminkan masalah yang timbul dalam beberapa stuktur di
regio hipocampus ; sebuah penelitian terkini mengenai dua cara pandang
neuropsikologi yang bergantung pada parahipocampus dan regio perirhinal
( keterlambatan yang tidak sama antara contoh dan gambaran visual saling
dibandingkan ), namun, saran bahwa area tersebut berfungsi dengan baik, dan
bahwa gangguan tersebut lebih mencerminkan pada ketidaksempurnaan
perkembangan hipocampus itu sendiri ( Dawson et al. 2001 ). Korteks
prefrontal, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, memainkan peranan
penting dalam fungsi yang luas, termasuk ingatan yang bersifat episodik /
eksplisit dan ingatan yang sedang bekerja.
Kami sudah melihat bahwa ingatan yang bersifat episodik terganggu pada
seorang individu dengan sindrom Down. Sudah ada penelitian yang lebih luas
mengenai ingatan yang sedang bekerja pada populasi tersebut, dan jelas bahwa
defisit tersebut diamati pada sejumlah penelitian ( Varnhagen et al. 1987 ;
Marcell & Weeks 1988 ; Laws 1998 ; Jarrold et al. 200, 2002 ). Akan tetapi,
gangguan ini terlihat terbatas pada informasi secara verbal, sebagai gangguan
minimal pada visuospasial. Defisit tersebut muncul baik pada masalah motorik
maupun artikulasi ( Kanno & Ikeda 2002 ) dan mungkin berhubungan dengan
apa yang disebut sebagai lingkaran fonologi ( Laws 2002 ). Dengan demikian,
beberapa bentuk data menandakan bahwa gangguan spesifik pada korteks
prefrontal dan sistem hipocampus sebagai bagian penting dari fenotip pada
sindrom Down. Hal ini menyarankan sebuah kerangka kerja untuk penelitian di
masa depan : apa yang menyebabkan penambahan kromosom 21 menyebabkan
gangguan sebagian fungsi dari dua sistem tertentu tersebut ?
Fungsi Kognitif Pada Sindrom Down Dibandingkan Dengan Sindrom
Retardasi Mental Lainnya
Seperti yang sudah disebutkan di awal, pola dari gangguan neural berbeda
diantara masing – masing sindrom retardasi mental. Dengan demikian, tidak
mengejutkan bahwa pola gangguan kognitif juga menjadi seperti itu. Tabel 5.1
menampilkan pola yang diamati pada sindrom Down dimana fungsinya relatif
menurun dan terganggu. Tabel 5.1 menunjukkan pola gangguan dan
penghindaran diri sangat selektif – beberapa aspek ingatan masih relatif normal
dan yang lainnya sangat terganggu. Beberapa bentuk kognitif spasial masih
normal, lainnya mengalami gangguan. Jika salah satu membandingkan
gambaran ini dengan apa yang diamati pada bentuk lain dari retardasi mental,
salah satu akan melihat lagi bahwa polanya sangat berbeda. Sebagai contoh,
anak – anak dengan sindrom William tidak menunjukkan kesulitan yang
spesifik pada aspek morfosintatik bahasa ( Vicari et al. 2002 ). Mereka, namun,
terganggu dalam uji belajar secara verbal ( Nichols et al. 2004 ) dan
menunjukkan keterlambatan, perkembangan yang tidak khas pada semua area
fungsi bahasa ( Donnai & Karmiloff – Smith 2000 ). Ingatan auditori jangka
pendek terganggu pada sindrom Down, tetapi relatif tetap berfungsi baik pada
sindrom William. Pada ranah persepsi, anak – anak dengan sindrom William
sebagian terganggu pada organisasi secara umum, sedangkan anak – anak
dengan sindrom Down memiliki kesulitan dengan organisasi secara loka.
Meskipun ketika kinerjanya terganggu pada kedua kelompok tersebut, seperti
uji tata blok, secara alamiah gangguan tersebut berbeda ( lihat Bellugi et al.
1999 untuk tinjauan kembali ). Perbedaan juga muncul ketika sindrom Down
dibandingkan dengan sindrom retardasi mental lainnya, seperti Prader Willi.
Sangat berbeda dengan anak – anak dengan sindrom Down, yang secara umum
sangat baik dalam hubungan sosial, anak – anak dengan sindrom Prader Willi
memiliki pola gangguan hubungan sosial, termasuk sensitif yang sangat
ekstrim, cemas, dan kebiasaan obsesif kompulsif ( Walz & Benson 2002 ).
Dengan demikian, masing – masing retardasi mental terlihat dikarakteristikan
oleh suatu rangkaian gangguan kognitif, yang mungkin mencerminkan defek
pada neuralnya yang mendasari sindrom tersebut. Salah satu implikasi
mengenai fakta tersebut adalah bahwa strategi intervesi yang akan dilakukan
harus disesuaikan dengan masing – masing sindrom.
Kesimpulan
Kognisi merupakan gangguan pada sindrom Down, dan kemajuan yang dibuat
dalam menentukan secara pasti defisit yang terjadi. Kebanyakan indikasi
menyarankan bahwa gangguan tidak menyebar pada semua sistem dengan
proporsi yang sama tetapi anya berpengaruh spesifik pada hanya pada beberapa
sistem. Pola gangguan selektif ini berbeda diantara masing – masing sindrom
retardasi mental. Apa yang diamati pada sindrom Down lebih seperti apa yang
diamati pada sindrom lainnya, seperti sindrom William, fragile – X, atau
sindrom Prader Willi.
Untuk saat ini bukti pasti mengenai sindrom down melibatkan bentuk kondisi
tergantung pada hipocampus ; bukti kuat yang melibatkan korteks prefrontal
juga tersedia. Tidak ada keraguan bahwa gangguan lain akan ditemukan,
kemungkinan juga melibatkan cerebellum, atau bagian dari cerebellum.
Penelitian ini juga memberikan gambaran yang jelas masuk akalaspek mana
yang mengalami gangguan dalam perkembangan neural yang mungkin
bertanggung jawab terhadap sebagian gangguan yang muncul pada retardasi
mental yang terlihat pada sindrom down. Bagaimana kita bisa melangkah lebih
lanjut dari pengetahuan yang sekarang untuk mengetahui hubungan antara
defek genetik dan fenotip neural dan kognitif yang muncul pada penelitian
sindrom Down ? strategi tertentu yang kami gunakan adalah dengan
mengindentifikasi secara hati – hati sebagai kemungkinan fenotip neural dan
kognitif pada seorang individu dengan sindrom Down, membedakannya secara
hati – hati dari retardasi mental yang diamati pada sindrom yang lain.
Kemudian, seseorang dapat mencoba untuk membuat model uji pada hewan
coba yang memisahkan hanya gen yang bertanggung jawab terhadap
penampakan spesifik dari fenotip sindrom Down. Dengan memberikan
perhatian yang lebih pada gambaran tertentu dari sindrom Down, kami dapat
meningkatkan kemampuan kami untuk mencari tahu sumber penyebabnya, dan
karena hal itu kemampuan kami untuk melakukan sesuatu untuk memperbaiki
akibat yang paling berat dari bentuk retardasi mental ini.
Bab 10.
Kesulitan Belajar pada Sindrom Down
Down Sindrom
Sindrom genetik yang paling banyak frekuensi kemunculannya adalah sindrom
Down, juga diketahui sebagai “trisomi 21”. Saat sekarang ini terjadi rata – rata
1 tiap 1000 kelahiran hidup. Kasus trisomi 21 biasaya diklasifikasika dalam
tiga kategori etiologi :
1. Standar trisomi 21 ( 97 % kasus )
2. Mosaik trisomi 21 ( 1 % kasus )
3. Translokasi ( 2 % kasus )
Sindrom Down telah banyak diteliti, terutama pada beberapa dekade terakhir.
Meskipun banyak informasi yang telah terkumpul mengenai sindrom Down,
hal ini tidak berarti bahwa semua aspek sindrom, perkembangannya, patologi
dan terkait masalah telah dieksplorasi. Kami sering cenderung untuk
mempertimbangkan sindrom ini sebagai retardasi mental sedang dan berat. Hal
ini berbahaya dan mungkin tidak akurat. Perbandingan dengan sindrom genetik
retardasi mental lainnya menyarankan bahwa hal ini akan lebih bervariasi dan
memiliki derajat spesifitas sindrom.