Download - Asfiksia Neonatorum 2
BAB I
PENDAHULUAN
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan
intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel.
(Darsono, 2005). Hingga tahun 1960an, prognosis untuk penyakit
hidrosefalus masih jelek, namun sejak digunakannya CSF (Cerebrospinal
Fluid) shunts pada masa itu, terjadi peningkatan angka survival rate.
Hingga tahun 1988, hanya 13 kasus pasien hamil yang dilaporkan
menggunakan CSF Shunt. Saat ini, penggunaan VP-Shunt pada ibu hamil
dengan hidrosefalus, jika VP-Shunt dapat bekerja dengan baik, dianggap
tidak akan mempengaruhi metode persalinan (pervaginam ataupun Seksio
Caesaria).(Hirs I and Grbcic P, 2012)
VP shunt merupakan terapi definitif pada hidrosefalus. Meskipun
maternal dan fetal outcome pada pasien dengan VP shunt hampir sama
dengan wanita hamil biasa, akan tetapi perubahan pada rongga abdomen,
seperti pembesaran uterus dan peningkatan tekanan intraabdominal dapat
menyebabkan malfungsi VP shunt. Kateter pada ujung distal shunt sering
tersumbat selama kehamilan terutama pada trimester ketiga dimana
terdapat peningkatan tekanan intraabdominal, dan merupakan yang paling
tinggi dibandingkan trimester satu dan dua.(Hwang S C et al., 2010)
Penggunaan VP shunt meningkatkan harapan hidup pada banyak
wanita dengan hidrosefalus yang memasuki usia reproduksi. Telah
diketahui bahwa kehamilan yang berhubungan dengan malfungsi shunt
dan manajemen ibu hamil dengan malfungsi VP shunt merupakan suatu
kondisi medis yang cukup menantang baik untuk dokter anestesi, dokter
kebidanan, maupun dokter bedah saraf.(Schiza S et al., 2012)
Adanya VP shunt bukanlah sebuah kontraindikasi untuk kehamilan.
Namun pasien dengan VP shunt terpasang memiliki insiden komplikasi
yang lebih tinggi seperti malfungsi shunt oleh karena peningkatan tekanan
intraabdomen disebabkan oleh uterus gravidarum. Hasil kehamilan dan
persalinan pada wanita dengan VP shunt terpasang cukup baik jika
dilakukan manajemen yang tepat.(Schiza S et al., 2012)
Komplikasi shunt postpartum jarang, dan obstruksi segera setelah
SC belum pernah dilaporkan.(Hwang S C et al., 2010)
Kelainan SSP selama kehamilan cukup menyumbang banyak
kausal untuk morbiditas dan mortalitas ibu. Pada pasien dengan VP shunt
hidrosefalus dapat kambuh dikarenakan malfungsi dari shunt, biasanya
karena infeksi atau kegagalan mekanis. Kehamilan dapat memperburuk
gejala hidrosefalus pada pasien dengan VP shunt yang berfungsi baik.
(Schiza S et al., 2012)
Pada makalah ini akan dibahas sebuah kasus pasien usia 32
tahun, hamil anak pertama, cukup bulan, presentasi kepala dengan
komplikasi panggul sempit SC primer dan VP shunt ec hidrosefalus ec
arachnoiditis. Pada pasien ini terminasi kehamilan dilakukan secara SC
atas indikasi panggul sempit.
Latar belakang saya menampilkan kasus ini oleh karena insidensi
yang jarang, lalu bagaimana penatalaksanaan pada pasien ini jika tidak
terdapat komplikasi obstetri, apa jenis anastesi yang tepat pada pasien
ini, dan apasaja kemungkinan komplikasi yang akan terjadi dan
bagaimana mengatasinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak
Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah lahir (Prambudi, 2013).
Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh
kurangnya O2 pada udara respirasi, yang ditandai dengan:
1. Asidosis (pH <7,0) pada darah arteri umbilikalis
2. Nilai APGAR setelah menit ke-5 tetep 0-3
3. Menifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik
iskemia ensefalopati)
4. Gangguan multiorgan sistem (Prambudi, 2013)
Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan
asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan faktor
terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir (BBL)
terhadap kehidupan uterin (Grabiel Duc, 1971).
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis.
Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan
otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital
lainnya. Pada bayi yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi
pernapasan yang cepat dalam periode yang singkat. Apabila asfiksia
berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga mulai
menurun, sedangkan tonus neuromuscular berkurang secara berangsur-
angsur dan bayi memasuki periode apnea yang dikenal sebagai apnea
primer. Perlu diketahui bahwa kondisi pernafasan megap-megap dan
tonus otot yang turun juga dapat terjadi akibat obat-obat yang diberikan
kepada ibunya. Biasanya pemberian perangsangan dan oksigen selama
periode apnea primer dapat merangsang terjadinya pernafasan spontan.
Apabila asfiksia berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan megap-
megap yang dalam, denyut jantung terus menurun, tekanan darah bayi
juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas (flaccid). Pernafasan
makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apnea yang
disebut apnea sekunder (Saifuddin, 2009).
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur
segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat
janin akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin
berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi selama
atau sesudah persalinan (Depkes RI, 2009).
Dengan demikian asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin
sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan.
Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil,
kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengarui kesejahteraan bayi
selama atau sesudah persalinan.
B. Patofisiologi
Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi
pada saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat
dipotong. Hal ini diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan
ketika asfiksia bertambah berat.
• Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan
untuk mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat
kepala dijalan lahir atau bila paru tidak mengembang karena
suatu hal, aktivitas singkat ini akan diikuti oleh henti nafas komplit
yang disebut apnea primer.
• Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi
klinis karena dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –usaha
bernafas otomatis dimulai. Hal ini hanya akan membantu dalam
waktu singkat, kemudian jika paru tidak mengembang, secara
bertahap terjadi penurunan kekuatan dan frekuensi pernafasan.
Selanjutnya bayi akan memasuki periode apnea terminal. Kecuali
jika dilakukan resusitasi yang tepat, pemulihan dari keadaan
terminal ini tidak akan terjadi.
c. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun di
bawah 100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat saat
bayi bernafas terengah-engah tetapi bersama dengan menurun dan
hentinya nafas terengah-engah bayi, frekuensi jantung terus berkurang.
Keadaan asam-basa semakin memburuk, metabolisme selular gagal,
jantungpun berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam waktu cukup lama.
a Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan
pelepasan ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walupun
demikian, tekanan darah yang terkait erat dengan frekuensi
jantung, mengalami penurunan tajam selama apnea terminal.
b Terjadi penurunan pH yang hamper linier sejak awitan asfiksia.
Apnea primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat
dibedakan. Pada umumnya bradikardi berat dan kondisi syok
memburuk apnea terminal.
C. Etiologi
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) antara lain :
a. Faktor ibu
1) Preeklampsia dan eklampsia2) Pendarahan abnormal (plasenta previa
atau solusio plasenta)3) Partus lama atau partus macet4) Demam selama
persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC,
HIV)
11
5) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
• Faktor Tali Pusat 1) Lilitan tali pusat2) Tali pusat pendek 3) Simpul
tali pusat4) Prolapsus tali pusat.
• Faktor bayi
1) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
2) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar,
distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
3) Kelainan bawaan (kongenital)
4) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
(DepKes RI, 2009).
Towel (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernafasan
pada bayi yang terdiri dari :1. Faktor Ibu
Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala
akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat
pemberian obat analgetika atau anestesia dalam.Gangguan aliran darah
uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan
berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin.
Hal ini sering ditemukan pada keadaan: (a) gangguan kontraksi uterus,
misalnya hipertoni, hipertoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat,
(b) hipotensi mendadak pada ibu
12
karena perdarahan, (c) hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-
lain.
• Faktor plasenta Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi
oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila
terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio
plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
• Faktor fetusKompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya
aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat
pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini
dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat
melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan
lain-lain.
• Faktor neonatusDepresi tali pusat pernafasan bayi baru lahir dapat
terjadi karena beberapa hal, yaitu : (a) pemakaian obat
anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung
dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, (b) trauma
yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial, (c)
kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia diafragmatika,
atresia/stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru dan lain-lain
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1985).
13
1 2.1.4 Manifestasi klinik Asfiksia biasanya merupakan akibat
hipoksia janin yang menimbulkan tanda-tanda klinis pada janin atau
bayi berikut ini :
DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak
teratur
Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot,
dan organ lain
Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan
oksigen pada otot-otot jantung atau sel-sel otak
Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot
jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke
plasenta sebelum dan selama proses persalinan
Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan
paru-paru atau nafas tidak teratur/megap-megap
Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam
darah
Penurunan terhadap spinkters
Pucat
2 (Depkes RI, 2007)
3 2.1.5 Pengkajian klinis Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal (2009) pengkajian pada asfiksia
neonatorum untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan
oleh tiga hal penting, yaitu :
14
• PernafasanObservasi pergerakan dada dan masukan udara
dengan cermat. Lakukan auskultasi bila perlu lalu kaji pola
pernafasan abnormal, seperti pergerakan dada asimetris, nafas
tersengal, atau mendengkur. Tentukan apakah pernafasannya
adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan
tidak teratur), atau tidak sama sekali.
• Denyut jantungKaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi
denyut apeks atau merasakan denyutan umbilicus. Klasifikasikan
menjadi >100 atau <100 kali per menit. Angka ini merupakan titik
batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang
signifikan.
• WarnaKaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah
muda. Sianosis perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal
pada beberapa jam pertama bahkan hari. Bayi pucat mungkin
mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi
berwarna merah muda, biru, atau pucat.Ketiga observasi tersebut
dikenal dengan komponen skor apgar. Dua komponen lainnya
adalah tonus dan respons terhadap rangsangan menggambarkan
depresi SSP pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia kecuali
jika ditemukan kelainan neuromuscular yang tidak berhubungan.
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit
sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera
sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan
penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini
harus dilakukan segera. Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai
terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan
tindakan akan membahayakan terutama pada bayi yang mengalami
depresi berat.
Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan keputusan pada
awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan
bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai
pada 1 menit dan 5 menit. Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai
tambahan masih diperlukan yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit atau
sampai dua kali penilaian menunjukkan nilai 8 dan lebih (Saifuddin, 2009).
2.1.6 Diagnosis
Untuk dapat menegakkan gawat janin dapat ditetapkan dengan
melakukan pemeriksaan sebagai berikut :
• Denyut jantung janin. Frekeunsi denyut jantung janin normal antara
120 – 160 kali per menit; selama his frekeunsi ini bisa turun, tetapi
di luar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan
kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan
tetapi apabila frekeunsi turun sampai di bawah 100 per menit di luar
his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda
bahaya. Di beberapa klinik elektrokardiograf janin digunakan untuk
terus-menerus mengawasi keadaan denyut jantung dalam
persalinan.
• Mekonium di dalam air ketuban.Mekonium pada presentasi-
sunsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi – kepala
mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus
menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban
pada presentasi-kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri
persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
• Pemeriksaan pH darah janin.Dengan menggunakan amnioskop
yang dimasukan lewat servik dibuat sayatan kecil pada kulit kepala
janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya.
Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun
sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya oleh
beberapa penulis.
17
Diagnosis gawat-jaanin sangat penting untuk daapaat menyelamatkaan
dan dengan demikian membatasi morbiditas dan mortalitas perinatal.
Selain itu kelahiran bayi yang telah menunjukkan tanda-tanda gawat janin
mungkin disertai dengan asfiksia neonatorum, sehingga perlu diadakan
persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut (Aminullah, 2002).
2.1.7 Penatalaksanaan
Bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola pernapasan biasa,
walaupun mungkin tidak teratur dan mungkin tidak efektif, tanpa intervensi
khusus. Bayi baru lahir dalam apnu sekunder tidak akan bernapas sendiri.
Pernapasan buatan atau tindakan ventilasi dengan tekanan positif (VTP)
dan oksigen diperlukan untuk membantu bayi memulai pernapasan pada
bayi baru lahir dengan apnu sekunder.
Menganggap bahwa seorang bayi menderita apnu primer dan
memberikan stimulasi yang kurang efektif hanya akan memperlambat
pemberian oksigen dan meningkatkan resiko kerusakan otak. Sangat
penting untuk disadari bahwa pada bayi yang mengalami apnu sekunder,
semakin lama kita menunda upaya pernapasan buatan, semakin lama
bayi memulai pernapasan spontan. Penundaan dalam melakukan upaya
pernapasan buatan, walaupun singkat, dapat berakibat keterlambatan
pernapasan yang spontan dan teratur. Perhatikanlah bahwa semakin lama
bayi berada dalam apnu sekunder, semakin besar kemungkinan terjadinya
kerusakan otak.
18
Penyebab apa pun yang merupakan latar belakang depresi ini, segera
sesudah tali pusat dijepit, bayi yang mengalami depresi dan tidak mampu
melalui pernapasan spontan yang memadai akan mengalami hipoksia
yang semakin berat dan secara progresif menjadi asfiksia. Resusitasi
yang efektif dapat merangsang pernapasan awal dan mencegah asfiksia
progresif. Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat,
pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan
oksigen kepada otak, jantung dan alat – alat vital lainnya (Saifuddin,2009).
Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi bantuan
sangatlah penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus. Pada setiap
kelahiran harus ada setidaknya satu orang yang bertanggung jawab pada
bayi baru lahir. Orang tersebut harus mampu untuk memulai resusitasi,
termasuk pemberian ventilasi tekanan positif dan kompresi dada. Orang
ini atau orang lain yang datang harus memiliki kemampuan melakukan
resusitasi neonatus secara komplit, termasuk melakukan intubasi
endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Bila dengan
mempertimbangkan faktor risiko, sebelum bayi lahir diidentifikasi bahwa
akan membutuhkan resusitasi maka diperlukan tenaga terampil tambahan
dan persiapan alat resusitasi. Bayi prematur (usia gestasi < 37 minggu)
membutuhkan persiapan khusus. Bayi prematur memiliki paru imatur yang
kemungkinan lebih sulit diventilasi dan mudah mengalami kerusakan
karena ventilasi tekanan positif serta memiliki pembuluh darah imatur
dalam otak yang mudah mengalami perdarahan Selain itu, bayi prematur
19
memiliki volume darah sedikit yang meningkatkan risiko syok hipovolemik
dan kulit tipis serta area permukaan tubuh yang luas sehingga
mempercepat kehilangan panas dan rentan terhadap infeksi. Apabila
diperkirakan bayi akan memerlukan tindakan resusitasi, sebaiknya
sebelumnya dimintakan informed consent. Definisi informed consent
adalah persetujuan tertulis dari penderita atau orangtua/wali nya tentang
suatu tindakan medis setelah mendapatkan penjelasan dari petugas
kesehatan yang berwenang. Tindakan resusitasi dasar pada bayi dengan
depresi pernapasan adalah tindakan gawat darurat. Dalam hal gawat
darurat mungkin informed consent dapat ditunda setelah tindakan. Setelah
kondisi bayi stabil namun memerlukan perawatan lanjutan, dokter perlu
melakukan informed consent. Lebih baik lagi apabila informed consent
dimintakan sebelumnya apabila diperkirakan akan memerlukan tindakan
Oleh karena itu untuk menentukan butuh resusitasi atau tidak, semua bayi
perlu penilaian awal dan harus dipastikan bahwa setiap langkah dilakukan
dengan benar dan efektif sebelum ke langkah berikutnya.Secara garis
besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritma resusitasi neonatal.
Berikut ini akan ditampilkan diagram alur untuk menentukan apakah
terhadap bayi yang lahir diperlukan resusitasi atau tidak.
Langkah-langkah resusitasi neonatus
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3
pertanyaan:
Apakah bayi cukup bulan?
• Apakah bayi bernapas atau menangis?
• Apakah tonus otot bayi baik atau kuat? Bila semua
jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam
prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi
dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain
linen kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari
salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau
beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan: 1.
Langkah awal dalam stabilisasi
(a) Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam
keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan
memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.
Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan
harus mendapat perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan
merekomendasikan pemberian teknik penghangatan tambahan seperti
penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah pemancar
panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan
adalah alas penghangat.
(b) Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanyaBayi
diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi
menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu
22
garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah
posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup
dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.
(c) Membersihkan jalan napas sesuai keperluanAspirasi mekoneum saat
proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi. Salah satu
pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi adalah
dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu
(intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari beberapa senter
menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang bermakna
dalam mencegah aspirasi mekonium.Cara yang tepat untuk
membersihkan jalan napas adalah bergantung pada keaktifan bayi dan
ada/tidaknya mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion
dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot
kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan
penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom
aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah- langkah
pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea,
kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah
mulut, faring dan trakea sampai glotis.Bila terdapat mekoneum dalam
cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan
napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum.
23
2.
(d) Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkanpada
posisi yang benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan
akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai
pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret dan
pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil
dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau
dengan menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi.
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua
rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder,
rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan.
Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada telapak kaki atau gosokan
pada punggung. Jangan membuang waktu yang berharga dengan terus
menerus memberikan rangsangan taktil. Keputusan untuk melanjutkan
dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan penilaian 3
tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan warna
kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai
kembali, dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah berikutnya.
Ventilasi Tekanan Positif (VTP)Pastikan bayi diletakkan dalam posisi
yang benar.
24
• Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan
ventilasi) dan tekanan ventilasi harus sesuai.
• Kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kali/menit.
• Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut.
Nafas pertama setelah lahir, membutuhkan: 30-40 cm H2O.
Setelah nafas pertama, membutuhkan: 15-20 cm H2O. Bayi
dengan kondisi atau penyakit paru-paru yang berakibat turunnya
compliance, membutuhkan: 20-40 cm H2O. Tekanan ventilasi
hanya dapat diatur apabila digunakan balon yang mempunyai
pengukuran tekanan.
• Observasi gerak dada bayi: adanya gerakan dada bayi
turun naik merupakan bukti bahwa sungkup terpasang dengan baik
dan paru-paru mengembang. Bayi seperti menarik nafas dangkal.
Apabila dada bergerak maksimum, bayi seperti menarik nafas
panjang, menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang berarti
tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat menyebabkan
pneumothoraks.
• Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat
dipakai sebagai pedoman ventilasi yang efektif. Gerak paru
mungkin disebabkan masuknya udara ke dalam lambung.
• Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar
dengan menggunakan stetoskop. Adanya suara nafas di kedua
paru-paru merupakan indikasi bahwa bayi mendapat ventilasi yang
benar.
25
Observasi pengembangan dada bayi: apabila dada terlalu
berkembang, kurangi tekanan dengan mengurangi meremas balon.
Apabila dada kurang berkembang, mungkin disebabkan oleh salah satu
penyebab berikut: perlekatan sungkup kurang sempurna, arus udara
terhambat, dan tidak cukup tekanan.
Apabila dengan tahapan diatas dada bayi masih tetap kurang berkembang
sebaiknya dilakukan intubasi endotrakea dan ventilasi pipa-balon
(Saifuddin, 2009).
3. Kompresi dadaTeknik kompresi dada ada 2 cara:
a. Teknik ibu jari (lebih dipilih)o Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari
tangan
melingkari dada dan menopang punggungo Lebih baik dalam megontrol
kedalaman dan tekanan
konsisteno Lebih unggul dalam menaikan puncak sistolik dan
tekanan perfusi coroner b. Teknik dua jari
o Ujung jari tengah dan telunjuk/jari manis dari 1 tangan menekan
sternum, tangan lainnya menopang punggung
o Tidak tergantung
o Lebih mudah untuk pemberian obat c. Kedalaman dan tekanan
o Kedalaman ±1/3 diameter anteroposterior dada
26
o Lama penekanan lebih pendek dari lama pelepasan curah jantung
maksimum
d. Koordinasi VTP dan kompresi dada1 siklus : 3 kompresi + 1 ventilasi
(3:1) dalam 2 detik Frekuensi: 90 kompresi + 30 ventilasi dalam 1 menit
(berarti 120 kegiatan per menit)Untuk memastikan frekuensi kompresi
dada dan ventilasi yang tepat, pelaku kompresi mengucapkan “satu – dua
– tiga - pompa-...” (Prambudi, 2013).
4. Intubasi Endotrakeal Cara:
• Langkah 1: Persiapan memasukkan laringoskopi
Stabilkan kepala bayi dalam posisi sedikit
tengadah
Berikan O2 aliran bebas selama prosedur
• Langkah 2: Memasukkan laringoskopi
Daun laringoskopi di sebelah kanan lidah
Geser lidah ke sebelah kiri mulut
Masukkan daun sampai batas pangkal lidah
• Langkah 3: Angkat daun laringoskop
Angkat sedikit daun laringoskop
Angkat seluruh daun, jangan hanya ujungnya
Lihat daerah farings
Jangan mengungkit daun
• Langkah 4: Melihat tanda anatomis
27
• Cari tanda pita suara, seperti garis vertical pada kedua
sisi glottis (huruf “V” terbalik)
• Tekan krikoid agar glotis terlihat
• Bila perlu, hisap lender untuk membantu visualisasi
e. Langkah 5: Memasukkan pipa
Masukkan pipa dari sebelah kanan mulut bayi
dengan lengkung pipa pada arah horizontal
Jika pita suara tertutup, tunggu sampai terbuka
Memasukkan pipa sampai garis pedoman pita
suara berada di batas pita suara
Batas waktu tindakan 20 detik (Jika 20 detik pita
suara belum terbuka, hentikan dan berikan VTP)
f. Langkah 6: mencabut laringoskop
Pegang pipa dengan kuat sambil menahan kea
rah langit- langit mulut bayi, cabut laringoskop dengan hati-
hati.
Bila memakai stilet, tahan pipa saat mencabut
stilet. (Prambudi, 2013).
5. Obat-obatan dan cairan: a. Epinefrin
Larutan = 1 : 10.000
Cara = IV (pertimbangkan melalui ET bila jalur IV sedang
disiapkan)
Dosis : 0,1 – 0,3 mL/kgBB IV
28
Persiapan = larutan 1 : 10.000 dalam semprit 1 ml (semprit
lebih besar diperlukan untuk pemberian melalui pipa ET. Dosis
melalui pipa ET 0,3-1,0 mL/kg)
Kecepatan = secepat mungkin Jangan memberikan dosis
lebih tinggi secara IV.
b. Bikarbonat Natrium 4,2%
c. Dekstron 10%
d. Nalokson
(Prambudi, 2013).
2.2 Kehamilan Lewat Waktu 2.2.1 Definisi
Persalinan postterm menunjukkan kehamilan berlangsung sampai 42
minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir
menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari
(Wiknjosastro, 2002).
Kehamilan lewat bulan adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42
minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir
menurut rumus Naegele dengan siklus haid raata-rata 28 hari ( Feryanto,
2012 ).Dengan demikian yang dimaksud kehamilan lewat bulan
(serotinus) ialah kehamilan yang berlangsung lebih dari perkiraan hari
tafsiran persalinan
29
yang dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT), dimana usia
kehamilannya telah melebihi 42 minggu (> 294 hari).
. 2.2.2 Etiologi Menurut Sujiyatini (2009), etiologinya yaitu
penurunan kadar esterogen pada kehamilan normal umumnya
tinggi. Faktor hormonal yaitu kadar progesterone tidak cepat turun
walaupun kehamilan telah cukup bulan, sehingga kepekaan uterus
terhadap oksitosin berkurang. Faktor kehamilantor lain adalah
hereditas, karena post matur sering dijumpai pada suatu keluarga
tertentu. Menjelang partus terjadi penurunan hormon progesteron,
peningkatan oksitosin serta peningkatan reseptor oksitosin, tetapi
yang paling menentukan adalah terjadinya produksi prostaglandin
yang menyebabkan his yang kuat. Prostaglandin telah dibuktikan
berperan paling penting dalam menimbulkan kontraksi uterus.
Nwosu dan kawan-kawan menemukan perbedaan dalam
rendahnya kadar kortisol pada darah bayi sehingga disimpulkan
kerentanan akan stress merupakan factor tidak timbulnya his,
selain kurangnya air ketuban dan insufisiensi plasenta
(Wiknjosastro, 2002).
. 2.2.3 Masalah perinatal Fungsi plasenta mencapai puncaknya
pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama
setelah 42 minggu, hal ini dapat dibuktikan dengan penurunan
kadar dan plasental laktogen. Rendahnya
30
fungsi plasenta berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin
dengan resiko 3 kali. Akibat dari proses penuaan plasenta maka
pemasokan makanan dan oksigen akan menurun disamping adanya
spasme arteri spiralis. Janin akan mengalami pertumbuhan terhambat dan
penurunan berat ; dalam hal ini dapat disebut sebagai dismatur. Sirkulasi
uteroplasenter akan berkurang dengan 50% menjadi 250 ml/menit.
Jumlah air ketuban yang berkurang mengakibatkan perubahan abnormal
jantung janin. Kematian janin akibat kehamilan lewat waktu ialah terjadi
pada 30% sebelum persalinan, 55% dalam persalinan, dan 15% post
natal. Penyebab utama kematian perinatal ialah hipoksia dan aspirasi
mekonium. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi baru lahir ialah suhu
yang tidak stabil, hipoglikemia, polisemia dan kelainan neurologik
(Wiknjosastro, 2002).
2.2.4 Diagnosis
Kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang umur kehamilannya lebih
dari 42 minggu (Saifuddin, 2009).Tanda postterm dapat dibagi dalam 3
stadium :
1. Stadium I Kulit menunjukan kehilangan verniks kaseosa dan
maserasi berupa kulit kering, rapuh dan mudah mengelupas.
2. Stadium II Gejala pada stadium I disertai pewarnaan mekonium
(kehijauan) pada kulit.
31
3. Stadium IIITerdapat pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali
pusat.
Diagnosis kehamilan lewat waktu biasanya dari perhitungan rumus
Naegele setelah mempertimbangkan siklus haid dan keadaan klinus. Bila
terdapat keraguan, maka pengukuran tinggi fundus uteri serial dengan
sentimeter akan memberikan informasi mengenai usia gestasi lebih tepat.
Keadaan klinis yang mungkin ditemukan ialah : air ketuban yang
berkurang dan gerakan janin yang jarang.
Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik > 20%) mempunyai
sensitifitas 75% dan tes tanpa tekanan dengan kardiotokografi mempunyai
spesifitas 100% dalam menentukan adanya disfungsi janin plasenta atau
postterm. Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat dipakai
untuk menentukan usia gestasi. (Wiknjosastro, 2002).
2.2.5 Penatalaksanaan
Prinsip dari tata laksana kehamilan lewat waktu ialah merencanakan
pengakhiran kehamilan. Cara pengakhiran kehamilan tergantung dari hasil
pemeriksaan kesejahteraan janin dan penilain skor pelviks (Pelvic score =
PS).
Ada beberapa cara untuk pengakhiran kehamilan, antara lain:
. 1) Induksi partus dengan pemasangan balon kateter Foley.
. 2) Induksi dengan oksitosin.
. 3) Bedah seksio caesaria
32
Dalam mengakhiri kehamilan dengan induksi oksitosin, pasien harus
memenuhi beberapa syarat, antara lain kehamilan aterm, ada
kemunduran his, ukuran panggul normal, tidak ada disproporsi
sefalopelvik, janin presentasi kepala, serviks sudah matang (porsio teraba
lunak, mulai mendatar, dan mulai membuka). Selain itu, pengukuran
pelvic juga harus dilakukan sebelumnya.
Tabel 2. Pengukuran Pelvis
33
Skor0
1
Pendataran serviks 0-30% 40-50%
Pembukaan serviks 0 1-2
Penurunan kepala dari hodge III -3 -2
Konsistensi serviksKeras
Sedang
Posisi serviks
Posterior
Searah sumbu jalan lahir
bila nilai pelvis >8, maka induksi persalinan kemungkinan
besar akan berhasil
bila PS > 5, dapat dilakukan drip oksitosin.
bila PS < 5, dapat dilakukan pematangan serviks terlebih
dahulu, kemudian lakukan pengukuran PS lagi (Husodo, 2002).
Pada pelaksanaan di RS, kehamilan yang telah melewati 40
minggu dan belum menunjukan tanda-tanda inpartu, biasanya
langsung segera diterminasi agar resiko kehamilan dapat
diminimalisir.Yang paling penting dalam menangani kehamilan
lewat waktu ialah menentukan keadaan janin, karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan resiko kegawatan. Penentuan
keadaan janin dapat dilakukan:
3)
2.2.6
1) Tes tanpa tekanan (non stress test). Bila memperoleh hasil non reaktif
maka dilanjutkan dengan tes tekanan oksitosin. Bila diperoleh hasil reaktif
maka nilai spesifisitas 98,8% menunjukkan kemungkinan besar janin baik.
Bila ditemukan hasil tes tekanan yang positif, meskipun sensitifitas relatif
rendah tetapi telah dibuktikan berhubungan dengan keadaan postmatur.
2)
Gerakan janin. Gerakan janin dapat ditentukan secara subjektif (normal
rata-rata 7 kali/20 menit) atau secara objektif dengan tokografi (normal
10/20 menit). Dapat juga ditentukan dengan USG. Penillaian banyaknya
air ketuban secara kualitatif dengan USG (normal >1 cm/bidang)
memberikan gambaran banyaknya air ketuban, bila ternyata
oligohidramnion maka kemungkinan telah terjadi kehamilan lewat waktu.
Amnioskopi. Bila ditemukan air ketuban yang banyak dan jernih
mungkinkeadaan janin masih baik. Sebaliknya air ketuban sedikit dan
mengandungmekonium akan mengalami resiko 33% asfiksia
(Wiknjosastro, 2002).
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
kehamilannya teratur, minimal 4 kali selama kehamilan, 1 kali pada
trimester pertama (sebelum 12 minggu), 1 kali pada trimester kedua
(antara 13 minggu sampai 28 minggu) dan 2 kali pada trimester ke tiga
(diatas 28 minggu). Bila keadaan memungkinkan, pemeriksaan
34
kehamilan dilakukan 1 bulan sekali sampai usia 7 bulan, 2 minggu sekali
pada kehamilan 7-8 bulan dan seminggu sekali pada bulan terakhir. Hal
ini akan menjamin ibu dan dokter mengetahui dengan benar usia
kehamilan, dan mencegah terjadinya kehamilan serotinus yang
berbahaya.
Perhitungan dengan satuan minggu seperti yang digunakan para dokter
kandungan merupakan perhitungan yang lebih tepat. Untuk itu perlu
diketahui dengan tepat tanggal hari pertama haid terakhir seseorang
(calon) ibu itu. Perhitungannya, jumlah hari sejak hari pertama haid
terakhir hingga saar itu dibagi 7 (jumlah hari dalam seminggu).
2.3 Bayi Prematur 2.3.1 Definisi
Prematur adalah bayi lahir hidup yang dilahirkan sebelum usia kehamilan
37 minggu (antara 20-37 minggu) atau dengan berat janin kurang dari
2500 gram (Saifuddin, 2009).American Academy Pediatric mendefinisikan
prematuritas adalah kelahiran hidup bayi lahir dengan berat badan kurang
dari 2500 gram.
Bayi preterm (kurang bulan) adalah bayi yang lahir sebelum umur
kehamilan 37 minggu (tanpa memandang berat lahir).Sebagian bayi
kurang bulan belum siap hidup di luar kandungan dan mendapatkan
kesulitan untuk mulai bernafas, menghisap, melawan infeksi dan menjaga
tubuhnya agar tetap hangat. (Prambudi, 2013 ).
35
2.3.2 Etiologi
Beberapa faktor yang berkaitan dengan kejadian persalinan prematur
antara lain sebagai berikut
1. Komplikasi medis maupun obstetrik
Perdarahan plasenta, dengan pembentukan
prostaglandin dan mungkin induksi stres.
Janin mati, kelainan konsepsi atau kelainan
kongenital
Ketuban Pecah Dini, infeksi lain, bakteriuri,
kolonisasi genital (infeksi akan membentuk sitokin dan
pelepasan lemak bioaktif yang nantinya membentuk
prostaglandin)
Plasentasi yang kurang baik
Distensi uterus (hidramnion dan gemelli),
oligohidramnion
Riwayat pernah melahirkan prematur atau
keguguran
Kelainan inkompeten atau yang pendek
Kurang gizi akibat anemi, kekurangan Zn dan
asam folat
Penambahan berat yang kurang saat hamil
2. Faktor gaya hidupKebiasaan merokok, kenaikan berat badan ibu
yang kurang selama kehamilan, serta penyalahgunaan obat
(kokain), alkohol, ekonomi yang rendah, ibu yang pendek kurus,
umur saat mengandung < 18 tahun atau > 40 tahun, tidak atau
kurang mau melakukan pemeriksaan antenatal, keturunan (orang
tua yang juga melahirkan prematur) dan ras berkulit hitam
merupakan faktor yang berkaitan dengan gaya hidup seseorang
yang dapat dihubungkan dengan persalinan preterm.
36
3. Faktor psikologisFaktor psikologis ini berhubungan dengan tempat kerja
yang kurang nyaman serta aman, dan tertekan dengan suatu hal.
(Saifuddin, 2009).
2.3.3 Tanda Bayi Prematur
Tanda klinis atau penampilan bayi prematur sangat bervariasi, bergantung
pada usia kehamilan saat bayi dilahirkan. Tanda dan gejala bayi prematur
yaitu umur kehamilan sama dengan atau kurang dari 37 minggu, berat
badan sama dengan atau kurang dari 2500 gram, panjang badan sama
dengan atau kurang dari 45 cm, kuku panjangnya belum melewati ujung
jari, batas dahi dan rambut kepala tidak jelas,lingkar kepala sama dengan
atau kurang dari 33 cm, lingkar dada sama dengan atau kurang 30 cm,
rambut lanugo masih banyak, dan jaringan lemak subkutan tipis atau
kurang.
Tulang rawan daun telinga belum sempurna pertumbuhannya, sehingga
seolah-olah tidak teraba tulang rawan dan daun telinga.mengilap, telapak
kaki halus,alat kelamin pada bayi laki-laki testis belum turun dan pada bayi
perempuan labia minora belum tertutup oleh labia mayora,.tonus otot
lemah sehingga bayi kurang aktif dan pergerakannya lemah, fungsi saraf
yang belum atau kurang matang, mengakibatkan refleks isap, menelan
dan batuk masih lemah atau tidak efektif, dan tangisannya
lemah, .jaringan kelenjar mamae masih kurang akibat pertumbuhan otot
dan jaringan lemak masih kurang, verniks kaseosa tidak ada atau sedikit
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1985).
37
Karakteristik/tanda bayi kurang bulan menurut Prambudi (2013);o Bayi
kurang bulan sesuai masa kehamilan (BKBSMK) : pertumbuhan fisik
antara persentil ke-10 dan persentil ke-90 dan
kepala relatif besar dibandingkan dengan bagian badan lain.o Bayi kurang
bulan kecil masa kehamilan (BKBKMK) : pertumbuhan fisik < 10 persentil,
lebih aktif, lincah dibanding BKBSMK, rambut lebih lebat, akibat kehamilan
ganda, toksemia gravidarum, dan sosek
Ibu rendah.
2.3.4 Problematik Bayi Prematur
Bayi yang lahir prematur, akan mengalami lebih banyak kesulitan untuk
hidup diluar uterus ibunya, sebab semakin pendek masa kehamilannya,
makin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya, dengan
akibat makin mudahnya terjadi komplikasi dan makin tingginya angka
kematiannya. Dalam hubungan ini sebagian besar kematian perinatal
terjadi pada bayi-bayi prematur.
Berkaitan dengan kurang sempurnanya alat-alat dalam tubuhnya baik
anatomik maupun fisiologi maka mudah timbul kelainan sebagai berikut.
Suhu tubuh yang tidak stabil oleh karena kesulitan mempertahankan
suhu tubuh yang disebabkan oleh penguapan yang bertambah akibat dari
kurangnya jaringan lemak dibawah kulit: permukaan tubuh yang relatif
lebih luas dibandingkan dengan berat badan, otot yang tidak aktif,
produksi panas yang berkurang oleh karena lemak coklat (brown
38
fat) yang belum cukup serta pusat pengaturan suhu yang belum
berfungsi sebagaimana mestinya.Gangguan pernapasan yang sering
menimbulkan penyakit berat pada
BBLR. Hal ini disebabkan oleh kekurangan surfaktan
(rasiolesitin/sufingomielin kurang dari 2), pertumbuhan dan
pengembangan paru yang belum sempurna, otot pernapasan yang masih
lemah, dan tulang iga yang mudah melengkung (pliable torak). Penyakit
gangguan pernapasan yang sering diderita bayi prematur adalah penyakit
membran hialin dan aspirasi pneumoni. Di samping itu sering timbul
pernapasan periodik (periodic breathing) dan apnea yang disebabkan oleh
pusat pernapasan di medulla belum matur.
Gangguan alat pencernaan dan problema nutrisi: distensi
abdomen akibat dari motilitas usus berkurang: volume lambung
berkurang sehingga waktu pengosongan lambung bertambah: daya
untuk mencernakan dan mengabsorbsi lemak, laktosa, vitamin
yang larut dalam lemak dan beberapa mineral tertentu berkurang:
kerja dari sfingter kardio-esofagus yang belum sempurna
memudahkan terjadinya regurgitasi isi lambung ke esofagus dan
mudah terjadi aspirasi.
Immatur hati memudahkan terjadinya hiperbilirubinemia
dan defisiensi vitamin K.
Ginjal yang imatur baik secara anatomis maupun
fungsinya. Produksi urin yang sedikit, urea clearance yang rendah,
tidak sanggup
39
mengurangi kelebihan air tubuh dan elektrolit dari badan dengan
akibat mudahnya terjadi edema dan asidosis metabolik.
Perdarahan mudah terjadi karena pembuluh darah yang
rapuh (fragile), kekurangan faktor pembekuan seperti protrombin,
faktor VII dan faktor Christmas.
Gangguan imunologik: daya tahan tubuh terhadap infeksi
berkurang karena rendahnya kadar IgG gamma globulin. Bayi
prematur relatif belum sanggup membentuk antibodi dan daya
fogositosis serta reaksi terhadap peradangan masih belum baik.
Perdarahan intraventrikuler: lebih dari 50% bayi prematur
menderita perdarahan intraventrikuler. Hal ini disebebkan oleh
karena bayi prematur sering menderita apnea, asfiksia berat dan
sindroma gangguan pernapasan. Akibatnya bayi menjadi hipoksi,
hipertensi, dan hiperkapnia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah
ke otak bertambah. Penambahan aliran darah ke otak akan lebih
banyak lagi karena tidak adanya otoregulasi serebral pada bayi
prematur, sehingga mudah terjadi perdarahan dari pembuluh darah
kapiler yang rapuh dan iskemia di lapisan germinal yang terletak di
dasar ventrikel lateralis antara nukleus, kaudatus, dan apendin.
Luasnya perdarahan intraventrikuler ini dapat di diagnosis dengan
ultrasonografi atau CT- Scan.
Retrolental fibroplasia: dengan menggunakan oksigen
dengan konsentrasi tinggi (PaO2 lebih dari 115 mm Hg = 15 kPa)
maka akan terjadi vasokontriksi pembuluh darah retina yang diikuti
oleh
40
proliferasi kapiler-kapiler baru ke daerah yang iskemia sehingga terjadi
perdarahan, fibrosis, distorsi, dan parut retina sehingga bayi menjadi buta.
Untuk menghindari retrolental fibroplasia maka oksigen yang diberikan
kepada bayi prematur tidak lebih dari 40%. Hal ini dapat dicapai dengan
memberikan oksigen dengan kecepatan 2 liter per menit (Bujang, 2002).
2.3.5 Penatalaksanaan
1. Dalam ruang bersalin:
Ruang bersalin di rumah sakit harus mempunyai
peralatan dan staf yag memadai
Resusitasi dan stabilisasi memerlukan
tersedianya staf yang memiliki kualifikasi dan peralatan
dengan segera
Oksigenasi yang memadai dan
dipertahankannya suhu merupakan hal yang sangat penting
Siapkan plastik untuk mencegah penguapan
pada bayi prematur
2. Di unit neonatus
Pengaturan suhu untuk pencapaian lingkungan
suhu netral sesuai dengan prosedur
Terapi oksigen dan bantuan ventilasi
Terapi cairan dan elektrolit untuk menggantikan
insensible water loss dalam jumlah besar yang dan
mempertahankan hidrasi yang baik serta konsentrasi
glukosa dan elektrolit plasma normal
41
Nutrisi: bayi preterm mungkin memerlukan cara pemberian
makan gavage atau nutrisi parenteral
Hiperbilirubinemia: biasanya dapat diatasi secara efektif
dengan memonitor kadar bilirubin secara hati-hati dan
menggunakan fototerapi. Transfusi tukar mungkin diperlukan dalam
kasus berat
Antibiotik spektrum luas harus dimulai ketika dicurigai
adanya infeksi
Pertimbangkan pemberian antibiotik antistafilokokus untuk
BBLSR yang telah mengalami berbagai prosedur atau telah dirawat
di rumah sakit untuk jangka waktu yang lama. (Prambudi, 2013).
RESUSITASI NEONATUS
Konsensus 2010
oleh:
Nani Dharmasetiawani
RSIA Budi Kemuliaan, Jakarta
Pendahuluan
Diperkirakan 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk bernapas
pada saat lahir dan 1% saja yang membutuhkan resusitasi yang ekstensif.
Penilaian awal saat lahir harus dilakukan pada semua bayi. Penilaian awal
itu ialah: apakah bayi cukup bulan, apakah bayi menangis atau bernapas,
dan apakah tonus otot bayi baik. Jika bayi lahir cukup bulan, menangis,
dan tonus ototnya baik, bayi dikeringkan dan Dipertahankan tetap hangat.
Hal ini dilakukan dengan bayi berbaring di dada ibunya dan tidak
dipisahkan dari ibunya. Bayi yang tidak memenuhi kriteria tersebut, dinilai
untuk dilakukan satu atau lebih tindakan secara berurutan di bawah ini:
A Langkah awal stabilisasi (memberikan kehangatan, membersihkan
jalan napas jika diperlukan, mengeringkan, merangsang)
B Ventilasi
C Kompresi dada
D Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume
Diberikan waktu kira-kira 60 detik (the Golden Minute) untuk melengkapi
langkah awal, menilai kembali, dan memulai ventilasi jika dibutuhkan.
Penentuan ke langkah berikut didasarkan pada penilaian simultan dua
tanda vital yaitu pernapasan dan frekuensi denyut jantung. Setelah
ventilasi tekanan positif (VTP) atau setelah pemberian oksigen tambahan,
penilaian dilakukan pada tiga hal yaitu frekuensi denyut jantung,
pernapasan, dan status oksigenasi.
Setelah publikasi tahun 2005, telah diidentifikasi beberapa kontroversi dan
pada tahun 2010 dibuat kesepakatan. Berikut ini adalah rekomendasi
utama untuk resusitasi neonatus:
• Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan
dua tanda vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan.
Oksimeter digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian
warna kulit tidak dapat diandalkan.
• Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan
dengan udara dibanding dengan oksigen 100%.
• Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan
udara (blended oxygen) , dan pangaturan konsentrasi dipandu
berdasarkan oksimetri.
• Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak
dilakukannya pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan
air ketuban bercampur mekonium, bahkan pada bayi dalam
keadaan depresi (lihat keterangan pada Langkah Awal).
• Rasio kompresi dada dan ventilasi tetap 3:1 untuk neonatus
kecuali jika diketahui adanya penyebab jantung. Pada kasus ini
rasio lebih besar dapat dipertimbangkan.
• Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup
bulan atau mendekati cukup bulan dengan perkembangan kearah
terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik sedang atau berat,
dengan protokol dan tindak lanjut sesuai panduan.
• Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi
detak jantung selama 10 menit. Banyak faktor ikut berperan
dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10 menit.
• Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit
untuk bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup
untuk merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat
pada bayi yang memerlukan resusitasi.
Langkah Awal
Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan
meletakkan bayi di bawah pemancar panas, memposisikan bayi pada
posisi menghidu/sedikit tengadah untuk membuka jalan napas,
membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan stimulasi
napas.
Membersihkan jalan napas:
c Jika cairan amnion jernih. Pengisapan langsung segera setelah
lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya dilakukan bagi bayi
yang mengalami obstruksi napas dan yang memerlukan VTP.
d Jika terdapat mekonium. Bukti yang ada tidak mendukung atau
tidak menolak dilakukannya pengisapan rutin pada bayi dengan
ketuban bercampur mekonium dan bayi tidak bugar atau depresi.
Tanpa penelitian (RCT), saat ini tidak cukup data untuk
merekomendasikan perubahan praktek yang saat ini dilakukan.
Praktek yang dilakukan ialah melakukan pengisapan endotrakeal
pada bayi dengan pewarnaan mekonium yang tidak bugar. Namun,
jika usaha intubasi perlu waktu lama dan/atau tidak berhasil,
ventilasi dengan balon dan sungkup dilakukan terutama jika
terdapat bradikardia persisten.
Menilai kebutuhan oksigen dan pemberian oksigen
Tatalaksana oksigen yang optimal pada resusitasi neonatus menjadi
penting karena adanya bukti bahwa baik kekurangan ataupun kelebihan
oksigen dapat merusak bayi. Persentil oksigen berdasarkan waktu dapat
dilihat pada gambar algoritma.
Penggunaan oksimetri nadi (pulse oximetry) direkomendasikan jika:
• Resusitasi diantisipasi
• VTP diperlukan lebih dari beberapa kali napas
• Sianosis menetap
• Oksigen tambahan diberikan.
Pemberian oksigen tambahan
Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan
udara atau oksigen campuran (blended oxygen) dan dilakukan titrasi
konsentrasi oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target. Jika oksigen
campuran tidak tersedia, resusitasi dimulai dengan udara kamar. Jika bayi
bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah 90 detik resusitasi dengan
oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai
100% hingga didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut
jantung kurang dari 100 per menit setelah langkah awal resusitasi, VTP
dimulai.
Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi napas 40 – 60 kali per
menit untuk mencapai dan mempertahankan frekuensi denyut jantung
lebih dari 100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat ialah
perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.
Tekanan akhir ekspirasi
Banyak ahli merekomendasikan pemberian continuous positive airway
pressure (CPAP) pada bayi yang bernapas spontan tetapi mengalami
kesulitan setelah lahir. Penggunaan CPAP ini baru diteliti pada bayi
prematur. Untuk bayi cukup bulan dengan gawat napas, tidak ada cukup
bukti untuk mendukung atau tidak mendukung penggunaan CPAP di
ruang bersalin.
Alat untuk ventilasi
Alat untuk melakukan VTP untuk resusitasi neonatus adalah Balon Tidak
Mengembang Sendiri (balon anestesi), Balon Mengembang Sendiri, atau
T-piece resuscitator. Laryngeal Mask Airway (LMA; sungkup larings)
disebutkan dapat digunakan dan efektif untuk bayi >2000 gram atau ≥34
minggu. LMA dipertimbangkan jika ventilasi dengan balon sungkup tidak
berhasil dan intubasi endotrakeal tidak berhasil atau tidak mungkin. LMA
belum diteliti untuk digunakan pada kasus air ketuban bercampur
mekonium, pada kompresi dada, atau untuk pemberian obat melalui
trakea.
Pemasangan intubasi endotrakeal
Indikasi intubasi endotrakeal pada resusitasi neonatus ialah:
• Pengisapan endotrakeal awal dari bayi dengan mekonium dan tidak
bugar.
• Jika ventilsi dengan balon-sungkup tidak efektif atau memerlukan
waktu lama.
• Jika dilakukan kompresi dada.
• Untuk situasi khusus seperti hernia diafragmatika kongenital atau
bayi berat lahir amat sangat rendah.
Kompresi dada
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60
per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik.
Untuk neonatus, rasio kompresi:ventilasi tetap 3:1. Pernapasan, frekuensi
denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara periodik dan kompresi
– ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut jantung sama atau
lebih dari 60 per menit.
Medikasi
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun, jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit walaupun telah
diberikan ventilasi adekuat dengan oksigen 100% dan kompresi dada,
pemberian epinefrin atau pengembang volume atau ke duanya dapat
dilakukan.
Epinefrin
Epinefrin direkomendasikan untuk diberikan secara intravena dengan
dosis intrvena 0,01 – 0,03 mg/kg. Dosis endotrakeal 0,05 – 1,0 mg/kg
dapat dipertimbangkan sambil menunggu akses vena didapat, tetapi
efektifitas cara ini belum dievaluasi. Konsentrasi epinefrin yang digunakan
untuk neonatus ialah 1:10.000 (0,1 mg/mL).
Pengembang volume
Pengembang volume dipertimbangkan jika diketahui atau diduga
kehilangan darah dan frekuensi denyut jantung bayi tidak menunjukkan
respon adekuat terhadap upaya resusitasi lain. Kristaloid isotonik atau
darah dapat diberikan di ruang bersalin. Dosis 10 mL/kg, dapat diulangi.
Perawatan pasca resusitasi
Bayi setelah resusitasi dan sudah menunjukkan tanda-tanda vital normal,
mempunyai risiko untuk perburukan kembali. Oleh karena itu setelah
ventilasi dan sirkulasi adekuat tercapai, bayi harus diawasi ketat dan
antisipasi jika terjadi gangguan.
Nalokson
Nalokson tidak diindikasikan sebagai bagian dari usaha resusitasi awal di
ruang bersalin untuk bayi dengan depresi napas.
Glukosa
Bayi baru lahir dengan kadar glukosa rendah mempunyai risiko yang
meningkat untuk terjadinya perlukaan (injury) otak dan akibat buruk
setelah kejadian hipoksik iskemik. Pemberian glukosa intravena harus
dipertimbangkan segera setelah resusitasi dengan tujuan menghindari
hipoglikemia.
Hipotermia untuk terapi
Beberapa penelitian melakukan terapi hipotermia pada bayi dengan umur
kehamilan 36 minggu atau lebih, dengan ensefalopatia hipoksik iskemik
sedang dan berat. Hasil penelitian ini menunjukkan mortalitas dan
gangguan perkembangan neurologik yang lebih rendah pada bayi yang
diberi terapi hipotermia dibanding bayi yang tidak diberi terapi hipotermia.
Penggunaan cara ini harus menuruti panduan yang ketat dan dilakukan di
fasilitas yang memadai.
Penghentian resusitasi
Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung
selama 10 menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan
melanjutkan resusitasi setelah 10 menit.
RUJUKAN:
4 Wyllie J, et al. Part 11: Neonatal Resuscitation. 2010 International
Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care Science with Treatment Recommendations.
Resuscitation 2010;81S:e260-e287.
5 Kattwinkel J et al. Special Report Neonatal Resuscitation: 2010
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Pediatrics
2010;126:e1400-e1413.
DAFTAR PUSTAKA
Bursac D, Kulas T, Persec J, Persec Z, Duic Z, Zmijanac J, Hrgovic Z & Bojanic K 2013. Pregnancy and Vaginal Delivery in Epidural Analgesia in Woman with Cerebrospinal Fluid Shunt. Coll. Antropol, Vol. 4, p. 1343-5.
Darsono 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta. UGM Press.
DeVito EE, CH S, BK O, BJ S & JD P 2007. Caudate structural abnormalities in idiopathic normal pressure hydrocephalus. Acta Neurol Scand, Vol. 116, p. 328–32.
Greenstein B & Greenstein A 2000. Flow of Cerebrospinal Fluid. Color Atlas of Neuroscience Neuroanatomy and Neurophysiology, p. 48-50.
Haeussler B, Laimer E, Hager J, Haeussler R, Keller C & Brezinka C 2005. Management of pregnancy, delivery and postpartem care of mothers with ventriculoperitoneal-shunted hydrocephalus and review of literature. Cerebrospinal Fluid Research, Vol. 2, p. 17.
Hirs I & Grbcic P 2012. Cesarean section in spinal anesthesia on a patient with mesencephalic tumor and ventriculoperitoneal drainage : A case report. Korean J Anesthesiol, Vol. 63, p. 263-5.
Hwang S C, Kim T H, Kim B T, Im S B & Shin W H 2010. Acute Shunt Malfunction after Cesarean Section Delivery : A Case Report. J Korean Med Sci, Vol. 25, p. 647-50.
Ropper, H A, H R & Brown 2005. Adams And Victor’s Principles Of Neurology. Eight Edition, USA.
Schiza S, Stamatakis E, Panagopoulou A & Valsamidis D 2012. Management of pregnancy and delivery of a patient with malfunctioning ventriculoperitoneal shunt. Journal of Obstetrics and Gynaecology, Vol. 32, p. 6-9.