Download - Antioksdn Dan Radikal Bebas
BAB I PENDAHULUAN
Selenium merupakan salah satu trace elemen esensial bagi tubuh.
Mikronutrien ini menjadi bagian yang penting dari enzim yang tergantung selenium,
yang disebut selenoprotein. Terdapat 11 selenoprotein yang telah teridentifikasi,
yaitu enzim glutathione peroksidase (4 jenis), iodothyronine deiodinase (3 jenis),
thioredoksin reduktase, selenofosfat sintetase, selenoprotein P dan selenoprotein W.
Tinjauan kepustakaan ini hanya akan membahas selenium yang berfungsi sebagai
komponen dari enzim glutathione peroksidase.1-4
Selenium tubuh berasal dari makanan dan minuman. Daging dan
makanan laut mempunyai kandungan selenium yang tinggi. Kandungan total
selenium dalam tubuh bervariasi antara 3mg sampai 20,3 mg. Distribusi selenium
pada tubuh paling banyak terdapat di hepar, ginjal, otot dan plasma. Absorbsi
selenium terjadi di duodenum dengan besar penyerapan 50% sampai 100% dan
diekskresikan melalui urine, feses dan pernafasan. Kebutuhan selenium
(berdasarkan RDA) untuk anak sebesar 20 mcgr/hari sedangkan untuk dewasa
sebesar 55 mcg/hari.5-7
Enzim glutathione peroksidase terdiri dari 4 atom selenium yang terikat
sebagai selenocystein. Enzim ini terdiri dari 4 tipe, yaitu seluler glutathione
peroksidase (cGPx), ekstraseluler glutathione peroksidase (eGPx), gastrointestinal
glutathione peroksidase (GPx-GI) dan fosfolipid glutathione peroksidase (PhGPx).
Enzim glutathione peroksidase mencegah kerusakan sel dengan cara mengkatalisa
peroksida menjadi air dan oksigen. Karena kemampuannya inilah maka enzim ini
disebut sebagai enzim antioksidan.1-4
Oksidan (radikal bebas) adalah molekul dimana elektron yang terletak pada
lintasan paling luar tidak mempunyai pasangan. Di dalam tubuh, radikal bebas yang
paling banyak terbentuk adalah superokside. Superokside dapat dirubah menjadi
hydrogen peroksida. Hidrogen peroksida kemudian diubah menjadi radikal hidroksil.
Radikal hidroksil inilah yang dapat menyebabkan peroksidasi lipid pada membran
sel sehingga terjadi kerusakan sel.8-10
Dalam keadaan normal, oksidan yang terbentuk dapat dinetralisir oleh
antioksidan. Antioksidan dalam tubuh terdiri dari antioksidan enzimatik dan non
enzimatik. Glutathione peroksidase adalah antioksidan enzimatik.8-10
Sebagai komponen dari enzim yang berfungsi sebagai antioksidan, selenium
telah dihubungkan dengan berbagai penyakit, seperti penyakit kardiovaskuler
(aterosklerosis, miokard infark dan kardiomiopati), penyakit paru-paru (asma, kistik
fibrosis), penyakit gastrointestinal (penyakit Crohn’s), penyakit virus (penyakit
Keshan, influenza dan HIV), kanker, sistem imun, penyakit sendi (penyakit Kashin-
Beck) dan infertilitas pada laki-laki.
Keracunan selenium dapat terjadi akut maupun kronis. Keracunan akut dan
fatal terjadi karena kecelakaan atau usaha bunuh diri dengan menelan sejumlah
besar selenium. Keracunan kronis selenium terjadi dengan menelan dosis yang
lebih kecil dalam waktu lama. Gejala-gejala yang umum ditemukan pada selenosis
adalah rambut rontok, kuku yang rapuh, gangguan pencernaan, dermatitis, bau
nafas seperti bau bawang, rasa metalik, kelemahan dan bahkan kematian.1-4
Tujuan penulisan sari pustaka ini adalah membicarakan selenium sebagai
komponen enzim glutathione peroksidase yang berperan sebagai antioksidan dan
merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan dokter
spesialis anak.
BAB II SELENIUM
2.1 Batasan Selenium adalah trace elemen esensial dalam tubuh manusia. Mikronutrien
ini merupakan bagian dari enzim yang tergantung selenium yang disebut
selenoprotein. Terdapat 11 selenoprotein yang telah teridentifikasi, yaitu enzim
glutathione peroksidase (4 jenis), iodothyronine deiodinase (3 jenis), thioredoksin
reduktase, selenofosfat sintetase, selenoprotein P dan selenoprotein W.1-4
2.2 Sejarah
Selenium ditemukan pertama kali pada tahun 1817 oleh Jons Jakob
Berzelius, seorang ahli kimia yang berasal dari Swedia. Kata selenium berasal dari
nama Dewi Bulan, Selene.11,12
Pada tahun 1957 Dr. Klaus Schwarz dan Fultz melaporkan bahwa selenium
dapat mencegah nekrosis hepar pada tikus yang mengalami defisiensi vitamin E.
Pada manusia, fungsi selenium baru ditemukan pada tahun 1973. Dr. John Rottuck
dari Universitas Wisconsin menemukan bahwa selenium dapat bergabung dalam
molekul suatu enzim yang disebut glutathione peroksidase (GPx).12 Sejak itu,
terutama tahun 1980-an informasi mengenai selenium meningkat dengan cepat.
2.3 Sifat Fisik dan Kimia
Selenium adalah elemen kimia non metalik pada group VI A, pada tabel
periodik dengan symbol Se, nomor atom 34, berat atom 78,96 A. Titik beku 217,0 0C, titik didih 684,9 0C. Ada 4 tingkat oksidasi, yaitu elemental Se (0), selenate (+6),
selenite (+4) dan selenide (-2). Selenium memiliki 3 bentuk, yaitu kristal berwarna
merah, bubuk berwarna merah dan kristal heksagonal warna abu-abu.
Di alam, terdapat berbagai senyawa yang mengandung selenium, yaitu
elemental selenium, garam inorganik (selenite dan selenate), organik
(selemomethionine, selenocystein dan selenocystine), gas (hydrogen selenide) dan
cair (selenium oksiklorid, selenium dioksid dan asam selenius).11,13
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mendapat asupan selenium dari makanan
dalam bentuk organik dan dari minuman dalam bentuk garam inorganik. 3,4,12,13
Rumus kimia selenomethioine dan selenocystein dapat dilihat pada gambar 1.4
H H H2 N--C--COOH H2N---C---COOH CH2 CH2 SeH CH2
Se
Selenocystein
CH3
Selenomethionine
Gambar.1. Rumus kimia selenomethionine dan selenocystein. Gambar didapat dari Burk RF, Levander OA. Selenium. In: Modern Nutrition in Health and Disease; edisi ke-7. Philadelphia, 1988;265-74.
Selenomethionine adalah selenium murni yang berikatan dengan asam
amino methionine. Selenomethionine terdapat secara alami pada makanan.
Selenomethionine mempunyai 2 bentuk, yaitu selenomethionine dengan isomer L
dan isomer D. Bentuk yang digunakan tubuh adalah selenomethionine dengan
isomer L.12
2.4 Fisiologi 2.4.1 Distribusi selenium dalam tubuh Kandungan selenium dalam tubuh manusia bervariasi antara 3 mg sampai
20,3 mg, tergantung dari kandungan selenium pada tanah di daerah tersebut. Tanah
dengan kandungan selenium rendah menyebabkan kandungan selenium pada
tanaman juga rendah sehingga ambilan selenium juga rendah, begitu pula
sebaliknya. Di Amerika Serikat kadar selenium pada orang dewasa berkisar antara
13 mg sampai 20,3 mg tetapi di German berkisar 6,6 mg, di Polandia 5,2 mg dan 3
mg sampai 6,1 mg di New Zealand.6 Sedangkan konsentrasi selenium pada air susu
berkisar antara 15 sampai 20 mcg/L.
Dengan diet yang normal, konsentrasi selenium terbanyak terdapat di hepar
dan otot masing-masing sebesar 30%. Selain itu dapat juga ditemukan di ginjal
(15%), plasma (10%), lien, pankreas, jantung, otak, paru-paru, tulang, rambut dan
kuku.5,7 Konsentrasi serum selenium pada orang dewasa >4x dibandingkan pada
fetus dan neonatus, tetapi sebaliknya konsentrasi selenium pada serebrum fetus
dan neonatus lebih besar dibandingkan pada orang dewasa. Tetapi penyebab
fenomena ini belum diketahui.
Distribusi selenium di dalam tubuh dapat berubah sesuai dengan kebutuhan
organ vital, sebagai contoh, pada penelitian yang dilakukan oleh Behne,dkk tahun
2000,6 dilakukan pengurangan selenium dalam jangka panjang, terjadi penurunan
secara drastis kadar selenium di hepar, otot dan darah sampai <1% dari normal,
tetapi di otak kadar selenium masih terdapat 60%.
2.4.2 Absorbsi dan Transport Absorbsi selenium terjadi di duodenum melalui Na+-dependent neutral amino
acid transport sistem.15 Selenomethionine diabsorbsi hampir 100%.16,17 Sedangkan
absorbsi selenium inorganik bervariasi tergantung dengan faktor luminal.4,17
Selenium bentuk organik, terutama L-selenomethionine lebih mudah diserap oleh
tubuh daripada bentuk inorganik, hal ini disebabkan karena selenium bentuk organik
mengandung asam amino, sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan
memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan. D-
selenomethionine didegradasi menjadi selenium inorganik. Oleh karena itu
bioavailabilitinya hanya 1/5 dari L-selenomethionine. Sedangkan selenium inorganik
langsung didegradasi sehingga tidak dapat disimpan.12
Absorbsi selenium tidak dipengaruhi oleh status selenium dalam tubuh.4
Absorbsi selenium tergantung kepada beberapa nutrisi yang lain. Vitamin A, C dan E
meningkatkan absorbsi. Sedangkan merkuri menurunkan absorbsi selenium karena
terbentuk endapan.17 Selenomethionine yang tidak langsung dimetabolisme akan
bergabung dengan protein tubuh dalam otot rangka, eritrosit, pankreas, hati, ginjal,
lambung dan mukosa gastrointestinal.15
Seperti yang terlihat pada gambar 2, di dalam sel usus halus, senyawa
selenium akan dimetabolisme menjadi selenocysteine. Selenomethionine (SeMet)
diubah menjadi selenocysteine (CySeH) melalui selenohomocystein dan
selenocsystathionine. Di hepar selenocysteine akan mengalami dekomposisi
menjadi serine dan hydrogen selenide (H2S) oleh enzim β-lyase. H2S akan
digunakan untuk sintesa selenoprotein atau mengalami metilasi menjadi mono-, di-,
dan trimethyl oleh S-adenosylmethionine (SAM). Di hepar, selenomethionine juga
dapat mengalami pemotongan oleh enzim γ-lyase menjadi monomethyl selenol.3
Di dalam sitosol usus halus, selenocystine bereaksi dengan glutathione
tereduksi (GSH) membentuk selenocysteine-glutathione selenenyl sulfide
(CySeSG). CySeSG kemudian direduksi oleh GSH menjadi selenocysteine.
CySeSG juga direduksi oleh enzim glutathione reduktase menjadi selenocysteine
dan NADPH. Selenocystein selanjutnya akan mengalami proses yang sama seperti
selenomethionine.3
Selenite dimetabolisme oleh glutathione (GSH) atau glutathione reduktase
menjadi hydrogen selenide melalui selenodiglutathione dan glutathyonylselenol.
Hydrogen selenide selanjutnya mengalami proses proses yang sama seperti di
atas.3
Mekanisme transport sejauh ini masih belum jelas. Tetapi ada hipotesis yang
mengatakan bahwa selenium masuk ke sel darah merah melalui proses difusi dan
kemudian dibawa ke seluruh tubuh. Di dalam darah selenium terikat pada
lipoprotein, seperti VLDL atau LDL. Mekanisme transport kedua diduga adalah
selenoprotein P.17
2.4.3 Ekskresi Homeostasis selenium dalam tubuh dilakukan melalui ekskresi, baik melalui
urine, feses atau pernafasan. Sebagian besar selenium diekskresi melalui urine (60-
80%).18 Sebagian besar metabolit selenium diekskresi dalam bentuk metilasi yaitu
methylselenol. Selenium dalam bentuk ion trimethylselenonium (TMSe) diekskresi
melalui urine dan bentuk volatile yaitu dimethylselenide (DMSe) diekskresi melalui
paru-paru. Ekskresi melalui paru-paru ditandai dengan bau nafas seperti bawang
putih.3,4,17
merkuri (-) Diet selenium absorbsi Sitosol usus halus -SeMet (+) -CySeSeCy VIT. A,C,E SeMet selenohomocysteine -selenite CySeSeCy CySeSG Selenite GSSeG GSSeH Transport melalui Plasma Sitosol hepar Selenohomocysteine selenocysteine CySeSG Hidrogen Selenide GSSeH Membentuk Metilasi Selenoprotein: -glutathione peroksidase -thioredoksin reduktase -iodothyronine deiodinase -selenoprotein P -selenoprotein W ion trimethylselenonium dimethyl selenide Keterangan: -SeMet:selenomethionine -CySeSeCy:selenocystine -CySeSG:selenocysteine- urine paru-paru glutathione selenenyl sulfide -GSSeG:selenodiglutathione -GSSeH:glutathionylselenol
Gambar 2. Metabolisme Selenium
2.5 Sumber Selenium Selenium dalam tubuh berasal dari makanan dan minuman. Daging dan
makanan laut mempunyai kandungan selenium yang tinggi.1 Sumber makanan yang
lain, seperti sereal dan padi memiliki kandungan selenium yang bervariasi,
tergantung dengan kadar selenium pada tanah. Sebagai contoh, kandungan
selenium orang Inggris menurun dari 65 ke 31 μg/hari setelah sumber gandum yang
semula berasal dari Amerika Utara diganti dari Eropa. Makanan yang berasal dari
binatang mempunyai variasi yang lebih kecil karena binatang mempunyai kontrol
homeostatik.4
Air minum tidak mengandung selenium dalam jumlah yang cukup. ASI
mengandung selenium lebih banyak daripada susu sapi. Tabel di bawah ini
memperlihatkan sumber makanan yang kaya selenium berdasarkan USDA (United
State Dietary Allowences).
Tabel 1. Sumber makanan yang kaya selenium
Makanan Takaran Selenium (mcg)
Kacang Brazil
Udang
Daging kepiting
Ikan salmon
Ikan pecak
Mie
Beras coklat
Daging ayam
Daging babi
Daging sapi
Roti gandum
Susu
Kenari hitam
1 ons
3 ons
3 ons
3 ons
3 ons
1 mangkok, dimasak
1 mangkok, dimasak
3 ons
3 ons
3 ons
2 potong
8 ons
1 ons
839
34
40
40
40
35
19
20
33
17
15
5
5
Dikutip dari Whanger,PD, Dept.of Environmental and Molecular Toxicology, Linus Pauling Institute, 20021
2.6 Kebutuhan selenium Kebutuhan selenium berdasarkan RDA (recommended dietary allowance)
yang dibuat oleh Badan Nutrisi dan Makanan Amerika Serikat tahun 2000 seperti
terlihat pada tabel di bawah ini. RDA ini berdasarkan jumlah selenium yang
dibutuhkan untuk memaksimalkan aktifitas enzim glutathione peroksidase di dalam
plasma.1
Tabel 2. Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk selenium
Usia Laki-laki (mcg/hr) Perempuan (mcgr/hr)
0-6 bulan
7-12 bulan
1-3 tahun
4-8 tahun
9-13 tahun
14-18 tahun
>19 tahun
Kehamilan
Menyusui
15
20
20
30
40
55
55
-
-
15
20
20
30
40
55
55
60
70
Dikutip dari Whanger,PD, Dept.of Environmental and Molecular Toxicology, The Linus Pauling Institute, 20021
2.7 Fungsi Selenium Selenium berfungsi sebagai komponen dari sejumlah enzim. Enzim yang
mengandung selenium disebut selenoprotein. Terdapat 11 selenoprotein yang telah
diidentifikasi, yaitu kelompok glutathione peroksidase (4 jenis), kelompok
iodothyronine deiodinase (3 jenis), thioredoksin reduktase, selenophosphate
synthetase, selenoprotein P dan selenoprotein W.1-4
2.7.1 Iodothyronine deiodinase Kelenjar tiroid melepaskan sejumlah kecil triiodo thyronine (T3) dan sejumlah
besar thyroxine (T4) ke dalam sirkulasi. Sebagian besar T3 yang terdapat di dalam
sirkulasi dan sel dibentuk dari T4 dengan membuang satu atom iodine. Reaksi ini
dikatalisa oleh enzim iodothyronine deiodinase, yaitu enzim yang mengandung
selenium. 1,4,19,20
Iodothyronine deiodinase terdiri dari 3 tipe yaitu tipe 1 (D1), tipe 2 (D2) dan
tipe 3 (D3). D1 dapat ditemukan terutama di hepar, ginjal dan thyroid. D2 dapat
ditemukan di otak, kelenjar pituitary dan jaringan lemak coklat. D3 ditemukan di
kortek serebri dan kulit, dan kandungan tertinggi ditemui pada plasenta dan uterus
wanita hamil.19
Ketiga enzim deiodinase ini mengandung selenium dalam bentuk
selenocystein. Adanya defisiensi selenium akan mengakibatkan perubahan aktivitas
deiodinase secara bermakna. Pada tikus dengan kadar selenium yang turun hampir
80% (0,01-1,1 ppm) jaringan masih dapat mempertahankan kadar aktivitas
deiodinase. Tetapi jika kadar selenium turun >80% terlihat penurunan aktivitas
deiodinase pada hepar, kulit dan non pregnant uterus. Sedangkan pada otak,
kelenjar pituitary, thyroid, ovarium, testis dan pada jaringan lemak coklat tidak terjadi
penurunan aktivitas deiodinase. Namun, anehnya walaupun terjadi penurunan
aktivitas deiodinase kadar plasma T3 masih dapat dipertahankan. Bagaimana
mekanisme ini terjadi masih belum diketahui.19
2.7.2 Thioredoksin reduktase Thioredoksin reduktase adalah suatu flavoenzim yang menggunakan NADPH
untuk mereduksi thioredoksin. Thioredoksin adalah protein dengan berat molekul 12
kD yang mengandung 5 molekul cysteine. Thioredoksin dan thioredoksin reduktase
berperan sebagai antioksidan yang mengubah peroksida menjadi air.21,22
2.7.3 Selenoprotein P Selenoprotein P adalah glikoprotein ekstra seluler yang ditemukan di dalam
plasma. Enzim ini berhubungan dengan sel endothelial dinding bagian dalam
pembuluh darah.1,4 Fungsi selenoprotein ini belum diketahui tetapi diperkirakan
sebagai transport protein. Juga diperkirakan sebagai antioksidan yang melindungi
sel-sel endothelial dari kerusakan oleh peroxynitrite.1
2.7.4 Selenoprotein W Selenoprotein W ditemukan pada otot. Fungsi selenoprotein ini belum jelas
tetapi diperkirakan berfungsi dalam metabolisme otot.1,4
2.7.5 Selenophosphate synthetase Enzim ini dibutuhkan dalam penggabungan selenocystein dengan protein.
Selenophosphate synthetase juga berfungsi mengkatalisa sintesa monoselenium
phosphate, yang merupakan prekusor dari selenocystein.1,4
2.7.6 Glutathione peroksidase Glutathione peroksidase adalah enzim yang berfungsi mengkatabolisme
hydroperoksidase (H2O2). Terdisi dari 4 jenis enzim yang mengandung selenium,
yaitu cellular glutathioneperoksidase (GPx-1), gastrointestinal glutathione
peroksidase (GPx-2), ekstra selular glutathione peroksidase (GPx-3) dan
phospholipid hydroperoxide (GPx-4). Lebih jauh lagi mengenai glutathione ini akan
dibahas pada bab berikutnya.1,3,4,16
2.8 Penilaian Status Selenium Penilaian status selenium dapat dilakukan dengan dua cara: (1) Menghitung
komposisi makanan yang masuk dan (2) Biokimia.23
Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status selenium dapat dilakukan
pada plasma, serum, darah, urin, rambut dan kuku. Pengukuran kadar selenium
dalam urin tidak dapat memberikan hasil yang tepat karena dipengaruhi oleh
pengenceran dan kadar selenium pada makanan yang dimakan sebelumnya.
Pengukuran kadar selenium pada rambut telah digunakan di Cina, tetapi cara ini
tidak dapat digunakan di negara-negara Barat, karena di daerah tersebut banyak
menggunakan shampoo yang mengandung selenium. Pengukuran kadar selenium
pada kuku telah banyak digunakan sebagai metode noninvasif. Di Amerika Serikat
pada Survey Kesehatan dan Nutrisi Ketiga tahun 1988-1994 dilakukan pengukuran
kadar selenium plasma, serum atau darah dengan menggunakan metode
spektometri.23
Penilaian status selenium dengan mengkalkulasi asupan makanan dilakukan
dengan melihat tabel komposisi makanan. Tetapi metode ini sangat riskan, karena
kandungan selenium pada makanan mempunyai variasi yang luas.23
Tabel 3. Nilai konsentrasi selenium dalam jaringan/cairan tubuh pada manusia
dewasa
Jaringan/cairan tubuh Konsentrasi selenium (μg/kg)
Hepar 250-400
Darah 90-130
Plasma 75-120
Urine 25-50
ASI 10-25
Rambut 500-1000
Dikutip dari: WHO. Selenium.In:Trace Elements in Human Nutrition and Health Geneva.1996 2.9 Defisiensi Selenium 2.9.1 Etiologi
Defisiensi selenium dapat disebabkan karena:
1. Intake selenium yang tidak adekuat
Defisiensi selenium yang disebabkan intake yang tidak adekuat biasanya
terdapat di daerah dimana kandungan selenium pada tanah sangat rendah,
contohnya di Cina dimana intake selenium <19 mcg/hari pada laki-laki dan <13
mcg/hari pada perempuan.18 Defisiensi selenium di Cina yang berhubungan dengan
penyakit jantung disebut Penyakit Keshan. Penyakit Keshan adalah kardiomiopati
yang terdapat pada anak dan wanita muda yang ditandai dengan pembesaran
jantung dan penurunan fungsi jantung.
Kemungkinan defisiensi selenium harus dipikirkan pada semua pasien
malnutrisi yang mendapat Nutrisi Parenteral Total (NPT). Pada pasien ini defisiensi
dapat terjadi karena nutrisi yang diberikan tidak mengandung selenium.18
2. Gangguan absorbsi
Gangguan gastrointestinal berat, misalnya pada penyakit Crohn’s dapat
menurunkan absorbsi selenium.2
3. Peningkatan penggunaan selenium.
Kebutuhan selenium meningkat pada masa kehamilan, menyusui dan masa
penyembuhan penyakit.2
2.9.2 Gejala klinik Defisiensi selenium telah dihubungkan dengan berbagai penyakit seperti
yang akan dijelaskan pada bab V.
2.10 Kelebihan selenium
Kadar selenium yang tinggi masih dapat ditoleransi untuk jangka waktu yang
pendek. Keracunan akut dan fatal terjadi karena kecelakaan atau usaha bunuh diri
dengan menelan sejumlah besar selenium. Keracunan kronis selenium terjadi
dengan menelan dosis yang lebih kecil dalam waktu lama. Gejala-gejala yang umum
ditemukan pada kelebihan selenium adalah rambut rontok, kuku yang rapuh,
gangguan pencernaan, dermatitis, bau nafas seperti bau bawang, rasa metalik,
kelemahan dan bahkan kematian.1,4
Badan Nutrisi dan Makanan Amerika Serikat menetapkan batas atas untuk
selenium yaitu 400 mcg/hr pada dewasa, 150 mcg/hr pada anak dan 45 mcg/hr
pada bayi.1
BAB III ENZIM GLUTATHIONE PEROKSIDASE
3.1 Fisiologi Glutathione peroksidase (GPx) adalah protein dengan bentuk tetramer.
Mempunyai berat molekul sebesar 85.000 D. Enzim ini mengandung 4 atom
selenium yang terikat sebagai selenocysteine. Struktur enzim ini dapat dilihat pada
gambar 3.24,25,26
Gambar. 3 Struktur Glutathione peroksidase. Didapat dari Anonim. Glutathione peroksidase. 2000. Didapat dari: www.wikipedia/thefreeencyclopedia.
Enzim glutathione peroksidase membantu mencegah kerusakan sel yang
disebabkan oleh radikal bebas dengan cara mengkatalisa berbagai hidroperoksida.
Glutathione peroksidase mereduksi H2O2 menjadi H2O dan glutathione disulfide
(GSSG) dengan bantuan glutathione tereduksi (GSH). Reaksi enzim tersebut seperti
di bawah ini.24
H2O2 + 2GSH GPX GSSG + 2H2O
Selenium yang mengandung enzim glutathione peroksidase terdiri dari empat
jenis, yaitu seluler glutathione peroksidase (GPx-1), gastrointestinal glutathione
peroksidase (GPx-2), ekstraseluler glutathione peroksidase (GPx-3) dan
phospholipid hydroperoksidase (GPx-4).1,3,4,16
Persamaan dari keempatnya adalah:27
1. Aktifitas enzim tergantung selenium
2. Adanya residu selenocystein selama translasi protein
3. Adanya reaksi enzimatik bolak-balik pada proses reduksi peroksida
4. Oksidasi selenium yang diikuti oleh reduksi yang diperantarai glutathione
3.1.1 Seluler Glutathione Peroksidase (GPx-1/cGPx) Seluler glutathione peroksidase adalah enzim yang mengandung selenium
yang pertama kali ditemukan. Terdiri dari homotetramer dengan subunit yang
berukuran 22 kDa dan terdapat di seluruh jaringan tubuh. GPx-1 memegang
peranan penting dalam melindungi sel dari kerusakan yang disebabkan oleh
paraquat, yaitu suatu radikal bebas yang dapat menghasilkan lipid peroksidase.
Garberg dan Thullberg, 199628 telah menunjukkan bahwa GPx-1 merupakan bentuk
metabolik selenium tubuh yang utama yang melindungi sel dari oksidatif stress akut
yang disebabkan oleh kadar paraquat yang tinggi tetapi tidak begitu penting pada
oksidatif stress dengan kadar yang relatif rendah. Tetapi menurut penelitian oleh
Wen-Hsing Cheng, 199828,29, peranan antioksidan cGPx secara in vivo belum jelas,
sebab tidak terdapat hubungan langsung antara rendahnya GPx dan gejala-gejala
penyakit yang berhubungan dengan selenium.
Bermano, dkk (1995), Lei, dkk (1995), menyatakan bahwa GPx-1 merupakan
bentuk penyimpanan selenium dalam tubuh untuk menjaga fungsi homeostasis
selenium.28
3.1.2 Gastrointestinal Glutathione Peroksidase (GPx-2/GPx-GI) GPx-GI merupakan selenium yang mengandung enzim glutathione
peroksidase yang terdapat di dalam sel. Ditemukan dari isolasi GPx-GI cDNA sel
hepar manusia (HepG2). Paling banyak ditemukan di mukosa epitel traktus
gastrointestinal. GPx-GI dibedakan dengan GPx-1 berdasarkan komposisi DNA,
dimana pada GPx-GI terdapat 1.9 kilobase GPx-GI mRNA. GPx-GI juga tidak
bereaksi dengan antisera manusia yang mengandung GPx-1 dan GPx plasma.30
Aktifitas GPx-GI dan GPx-1 dapat ditemukan pada traktus gastrointestinal bagian
tengah dan bawah, terutama pada kripta dan villi usus.31 GPx-GI pada villi berfungsi
untuk melindungi epitel villi, sedangkan villinya sendiri dilindungi oleh eGPx.32
GPx-1 dan 2 mempunyai persamaan dalam hal antioksidan yaitu sama-sama
mereduksi H2O2, terbutyl hydroperoxide, cumene hydroperoxide dan linoleic acid
hydroperoxide. Adanya glutathione peroksidase yang khusus terdapat dalam traktus
gastrointestinal menunjukkan bahwa enzim ini melindungi tubuh dari lipid
hydroperoxide yang tertelan.30
3.1.3 Ekstraseluler Glutathione Peroksidase (GPx-3/eGPx) Ekstraseluler glutathione peroksidase adalah selenoprotein yang dapat
mereduksi hydrogen peroxide, organik hydroperoxide, free fatty acid hydroperoxide
dan phosphatidylcholine hydroperoxide. eGPx dapat ditemukan di dalam plasma
dan cairan ekstraseluler lainnya, seperti pada ASI , cairan amnion, cairan eksoselom
dan cairan yang berasal dari bilasan paru.27,32
Sumber utama eGPx berasal dari ginjal dan dalam jumlah kecil juga disintesa
di paru, jantung dan usus.27,32 Orang yang tidak mempunyai ginjal menunjukkan
aktifitas eGPx yang rendah, yaitu hanya sebesar 5-25% normal.27 Hal ini
mengindikasikan bahwa ginjal merupakan sumber utama eGPx. eGPx disintesa di
tubulus proksimal dan disekresikan melalui membran basolateral epitel tubulus
proksimal. Selain disintesa di ginjal eGPx juga disintesa di paru, jantung dan
intestinal, terutama di epitel villi caecum.27,32
eGPx berbentuk homotetramer dengan ukuran subunit 23 kDa. Konsentrasi
glutathione plasma lebih rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi di dalam sel,
yaitu 1-5 μM di plasma dan 1-10 mM di dalam sel. Sedangkan konsentrasi
glutathione di cairan interstitial ginjal tidak diketahui.27 eGPx berbeda dengan cGPx
berdasarkan imunologi dan karakteristik biokimia. Asam amino eGPx dan cGPx
hanya identik sebesar 45%.
3.1.4 Phospholipid-hydroperoxide Glutathione Peroksidase (PhGPx) PhGPx adalah selenoenzim yang dapat mereduksi phospholipid
hydroperoxide, cholesterol dan cholesteryl ester melalui glutathione. PhGPx juga
dapat mereduksi 7-hidroksikolesterol yang merupakan sitotoksin utama dari
lipoprotein yang teroksidasi. Lipid-lipid ini tidak dapat direduksi oleh GPx-1.33
PhGPx telah diisolasi dari jantung babi, hepar dan otak, sitosol dan
mitokondria testis tikus dan hepar manusia. Berdasarkan analisa biokimia PhGPx
adalah protein yang terdiri dari 170 asam amino dengan ukuran 20 kDa. cDNA yang
mengkode PhGPx telah diisolasi dari jantung babi, blastokista dan testis manusia.33
PhGPx mempunyai 2 bentuk, yaitu L-form dengan berat molekul 23 kDa dan
S-form dengan berat molekul 20 kDa. L-form adalah PhGPx yang terdapat di
mitokondria sedangkan S-form disebut PhGPx non mitokondria.34
Kadar tertinggi PhGPx terdapat pada daerah antara membran luar dan dalam
mitokondria testis tikus dimana regulasinya diatur oleh gonadotropin. PhGPx dapat
dideteksi di dalam sitoplasma, mitokondria, membran plasma dan nuclear, tetapi
struktur dasar PhGPx pada lokasi ini belum diketahui.35
PhGPx mitokondria mencegah kematian sel yang disebabkan oleh kalium
sianida (KCN). KCN adalah inhibitor pada rantai respirasi mitokondria yang dapat
menyebabkan pembentukan reactive oxygen spesies (ROS).35 PhGPx mitokondria
mencegah perubahan fungsi mitokondria dan kematian sel dengan cara mengurangi
pembentukan seluler hidroperokside.34
BAB IV OKSIDAN
(RADIKAL BEBAS)
4.1 Definisi Radikal bebas adalah suatu molekul dimana elektron yang terletak pada
lapisan paling luar tidak mempunyai pasangan (Greenwald, 1991; Halliwell, 1995).
Adanya molekul dengan elektron yang tidak berpasangan ini membuat mereka
sangat reaktif.8-10 Reaktif artinya mereka mempunyai spesifisitas yang rendah
sehingga mereka mampu bereaksi dengan molekul-molekul yang berada
disekitarnya. Molekul-molekul tersebut termasuk protein, lipid, karbohidrat dan DNA.
Reaktif juga berarti mereka tidak bertahan lama dalam bentuk “asli” karena untuk
mempertahankan kestabilan molekul, mereka harus mengambil satu elektron dari
molekul yang lain. Artinya, radikal bebas menyerang molekul stabil yang berada di
dekatnya dan mengambil elektron dari molekul tersebut. Molekul yang diambil
elektronnya kemudian juga menjadi radikal bebas dan mengambil elektron dari
molekul lain, begitulah seterusnya sampai terjadi kerusakan sel. Karena molekul-
molekul yang sangat reaktif ini sebagian besar berasal dari oksigen maka secara
umum molekul-molekul tersebut disebut reactive oxygen species (ROS).8
Gambar 4. Molekul stabil dan radikal bebas. Didapat dari
Fouad T. Free Radical, Types, Source and Damaging Reactions. Didapat dari: www. thedoctorslounge.net /medlounge/articles/antioxidant.
4.2 Fisiologi Radikal bebas dapat ditimbulkan baik secara in vitro maupun invivo dengan
mekanisme sebagai berikut:8
1. Pemecahan ikatan kovalen. Cara ini tidak lazim pada sistem biologi
karena memerlukan energi yang tinggi, seperti sinar ultra violet atau
radiasi ion.
2. Molekul normal yang kehilangan satu elektron
3. Penambahan satu elektron pada molekul yang normal.
Radikal bebas dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Elektron yang
tidak berpasangan dapat menambah molekul yang bersifat netral sehingga molekul
tersebut menjadi bermuatan negatif. Molekul bermuatan negatif juga dapat terbentuk
dari molekul bermuatan positif yang kehilangan elektron. Molekul yang asalnya tidak
netral dengan penambahan atau pengurangan elektron dapat menjadi netral.8
Sebagian besar radikal bebas terbentuk di dalam sel melalui transfer elektron
di mitokondria dan retikulum endoplasmik. Transfer elektron tersebut dapat
diperantarai secara enzimatik atau non enzimatik.8
4.3 Patofisiologi Dalam keadaan normal radikal bebas yang terbentuk dapat dinetralisir oleh
antioksidan tetapi bila kadar reactive oxygen species (ROS) yang toksik melebihi
pertahanan antioksidan endogen maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut
stres oksidatif. Pada tahap ini kelebihan radikal bebas dapat bereaksi dengan sel
lipid, protein dan asam nukleat, sehingga menyebabkan kerusakan lokal bahkan
dapat sampai terjadi disfungsi organ. Lemak adalah molekul yang paling rentan
untuk diserang radikal bebas.8
4.3.1 Peroksidasi Lipid Membran sel terdiri dari 2 lapisan yang kaya akan sumber asam lemak tak
jenuh ganda (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA). Pada lapisan luar membran sel
bersifat hidrofilik sedangkan lapisan dalam bersifat lipofilik (gb. 5A). Dibagian dalam
membran sel terdapat protein yang merupakan bagian yang paling penting dari sel.
Protein tersebut berfungsi mengontrol pergerakan ion atau berfungsi sebagai
reseptor sel.
Radikal bebas dapat mengambil elektron dari lipid yang berada di membran
sel. Reaksi ini disebut peroksidasi lipid. Sasaran reactive oxygen species (ROS)
adalah karbon-karbon dengan ikatan ganda dari molekul PUFA. Adanya ikatan
ganda ini menyebabkan ikatan antara karbon dan hydrogen menjadi lemah dan
mudah terdisosiasi menjadi radikal bebas. Radikal bebas akan mengambil satu
elektron dari hydrogen yang berikatan ganda dengan karbon. Molekul yang
terbentuk kemudian bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil. Radikal
peroksil kemudian mengambil satu elektron dari molekul lipid yang lain, begitulah
seterusnya (gb. 5B).
Antioksidan dapat menetralisir dengan cara bereaksi dengan radikal peroksil.
Vitamin E (tokoferol) dapat mereduksi radikal peroksil menjadi lipid yang teroksidasi.
Lipid yang teroksidasi ini kemudian dikonversi oleh glutathione peroksidase menjadi
lipid alkohol yang tidak berbahaya.10,36
4.3.2 Kerusakan Protein
Adanya peroksidasi lipid dapat mengubah struktur dan fungsi protein.
Perubahan struktur dan fungsi ini menyebabkan hilangnya regulasi intra seluler Ca2+
oleh Ca2+ ATPase. Hilangnya regulasi ini dapat menyebabkan kematian sel (Thomas
& Reed, 1989).36
Gb. 5A. Membran sel dengan 2 lapis lipid Gb. 5B. 1. Radikal bebas menarik electron dari molekul lipid 2. Radikal lipid menarik electron dari lipid disebelahnya 3&4. Fungsi protein mengalami kerusakan
5. Pembentukan radikal dapat merusak struktur yang berjauhan Didapat dari Bottje W, Enkvetchakul B, Wideman RF. Antioxidant, Hypoxia and Lipid Peroxidation Involvement in Pulmonary Hypertension Syndrome (Ascites). Didapat dari: www.yahoo.com.
4.3.3 Kerusakan DNA
Kromatin dapat melindungi DNA dari proses oksidasi oleh radikal bebas.
Tetapi jumlah radikal bebas yang melebihi pertahanan ini dapat menyebabkan
mutasi gen. Adanya paparan yang lama dari stress oksidatif dapat menimbulkan
proses karsinogenesis.
Kemampuan radikal bebas untuk menyebabkan mutasi disebabkan oleh
interaksi langsung radikal hidroksil (OH) dengan semua komponen molekul DNA.
Yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan genetik. Kerusakan genetik yang
disebabkan oleh radikal bebas dapat berupa modifikasi rantai, penembahan rantai,
delesi, pemutusan rantai, pergantian rantai, pertukaran protein DNA atau
penyusunan kembali kromosom.37
4.4 Sumber Oksidan Radikal bebas dapat bersumber dari dua tempat, yaitu (1) endogen dan (2)
eksogen.8
4.4.1 Sumber Endogen a. Organella Subseluler
Organella subseluler seperti mitokondria, kloroplas, mikrosome,
peroksisome dan nuklei dapat menghasilkan superokside (O2-).8
Mitokondria merupakan penghasil utama energi dalam sel sehingga
disebut the powerhouse of the cell. Energi yang dihasilkan berbentuk
adenosine trifosfat (ATP) melalui suatu rantai transpor elektron dan
oksigen merupakan rantai terakhir penerima elektron.8,36
Proses metabolisme ini tidak 100% efisien, terdapat sejumlah besar
energi yang hilang berupa panas. Lebih kurang 2-4% oksigen yang
dikonsumsi oleh mitokondria tidak direduksi menjadi air tetapi direduksi
menjadi superokside atau hydrogen peroksida.36
Adanya kerusakan pada sistem transport elektron pada mitokondria
memungkinkan O2 untuk menerima satu elektron sehingga terbentuk O2-
(Halliwell,1995). Pembentukan superoksida oleh mitokondria dapat terjadi
pada 2 keadaan, (1) jika konsentrasi oksigen meningkat atau (2) jika
terjadi iskemia (gb. 6).8
Gb 6. Metabolisme mitokondria. Didapat dari Didapat dari Bottje W, Enkvetchakul B, Wideman RF. Antioxidant, Hypoxia and Lipid Peroxidation Involvement in Pulmonary Hypertension Syndrome (Ascites). Didapat dari: www.yahoo.com.
Mikrosome sitokrom P450 dapat menghasilkan H2O2 sebesar 80% in
vivo jika terjadi hiperoksia. (Jamieson, dkk, 1986).8
Peroksisome diketahui dapat membentuk H2O2 tetapi tidak
membentuk O2- pada keadaan fisiologis (Chance, dkk, 1979).32 Pada
kondisi kelaparan yang lama, peroksisome dapat mengoksidasi asam
lemak menjadi H2O2.
b. Inflamasi
Selama inflamasi terjadi proses fagositosis oleh makrofag dan
neutrofil36. Makrofag dan neutrofil harus membentuk radikal bebas agar
dapat memfagositosis bakteri. Pada tahap pertama bakteri akan masuk
ke dalam fagosome dan berdifusi ke dalam lisosome. Pada membran
lisosome terdapat enzim NADPH (Nikotinamide Adenine Dinukleotide
Phosphate) oksidase yang berfungsi mengkatalisa pembentukan
superokside. Reaksi ini membutuhkan oksigen dalam jumlah besar
sehingga disebut respiratory burst.
Selanjutnya enzim superokside dismutase (SOD) akan mengubah
superokside menjadi hydrogen peroksida. Hydrogen peroksida
selanjutnya akan menghancurkan bakteri.
Neutrofil menghancurkan bakteri menggunakan enzim
myeloperoksidase. Enzim ini mengkatalisa reaksi antara hydrogen
peroksida dengan ion kloride untuk menghasilkan antiseptik ion
hipokloride.36,38
Gambar 7. Terbentuknya reactive oxygen species selama inflamasi. Didapat dari Proctor PH. Free Radicals and Human Disease. Dalam: CRC Handbook of Free Radicals and Antioxidants. Volume 1. 1989, hal. 209-21.
c. Ion Metal Transisi
Ion metal transisi adalah elemen dimana salah satu bentuk ionnya
pada orbital d tidak terisi penuh. Di alam terdapat 30 elemen yang
disebut ion metal transisi. Besi dan tembaga merupakan ion metal
transisi yang terdapat di dalam tubuh manusia.40
Besi dan tembaga memegang peranan utama dalam membentuk
radikal bebas dan menimbulkan peroksidasi lipid. Ion metal transisi ikut
dalam reaksi Haber-Weiss, dimana reaksi ini dapat menghasilkan radikal
hidroksil (.OH).8
O2- + Fe3+ Fe2+ + O2
H2O2 + Fe2+ Fe3+ + OH- + .OH
d. Oksidasi enzimatik
Beberapa enzim dapat membentuk radikal bebas dalam jumlah yang
cukup bermakna. Enzim-enzim tersebut adalah xantin oksidase,
prostaglandin sintase, lipoksigenase, aldehide oksidase dan asam amino
oksidase. Enzim mieloperoksidase menggunakan hydrogen peroksida
untuk mengoksidasi ion klorid, sehingga menghasilkan oksidan yang
kuat, yaitu asam hipoklorus (HOCl).8
e. Auto-oksidasi
Auto-oksidasi adalah suatu proses yang terjadi di dalam lingkungan
aerobik. Molekul yang mengalami proses auto-oksidasi adalah
katekolamin, hemoglobin, mioglobin, sitokrom C dan thiol. Auto-oksidasi
dari molekul-molekul tersebut akan menghasilkan radikal bebas yang
mengandung oksigen. Superoksida adalah radikal bebas utama yang
terbentuk pada proses ini.8
f. Reperfusi pada Iskemia
Dalam keadaan normal, xantine oksidase mengkatalisis reaksi
hipoxantine menjadi xantine dan selanjutnya xantine diubah menjadi
asam urat. Reaksi ini membutuhkan penerima elektron sebagai kofaktor.
Selama periode iskemia terdapat 2 keadaan, (1) meningkatnya produksi
xantine dan xantine oksidase (2) tidak adanya antioksidan superoksid
dismutase dan glutathione peroksidase. Molekul oksigen yang disuplai
selama proses reperfusi bertindak sebagai penerima elektron dan
kofaktor bagi xantine oksidase. Hal ini menimbulkan pembentukan O2-
dan H2O2. Latihan yang berat juga dapat mencetuskan reaksi xantine
oksidase dan membentuk radikal bebas pada otot rangka dan jantung.8
4.4.2 Sumber Eksogen a. Obat-obatan
Sejumlah obat-obatan dapat membentuk radikal bebas.
Mekanismenya diperkirakan bahwa obat-obatan tersebut memperkuat
hiperoksia yang sudah terjadi. Obat-obatan tersebut adalah antibiotik
golongan quinolon atau antibiotik yang berikatan dengan metal untuk
aktifitasnya (nitrofurantoin), antineoplastik (bleomisin), adriamisin (Fisher,
1988) dan metotreksat (Gressier dkk,1994). Obat-obatan seperti
penisilamin, fenilbutazon, asam mefenamat dan aminosalisilat
(komponen sulfasalazin) dapat menambah pembentukan radikal bebas
dengan cara menurunkan kerja asam askorbat.
b. Radiasi
Radioterapi dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui
pembentukan radikal bebas. Radiasi elektromagnetik (sinar X, sinar
gamma) dan radiasi partikel (elektron, proton, neutron dan partikel alfa
dan beta) menghasilkan radikal bebas melalui transfer energi ke
komponen seluler.
c. Tembakau (Rokok)
Oksidan yang dihasilkan oleh tembakau memegang peranan penting
dalam terjadinya kerusakan saluran nafas. Oksidan yang dihasilkan
tembakau menurunkan jumlah antioksidan intraseluler yang terdapat di
dalam sel paru-paru. Satu kali isapan rokok menghasilkan oksidan dalam
jumlah yang besar, yaitu aldehide, epokside, perokside. nitrik okside,
radikal peroksil dan karbon dapat terbentuk selama fase “gas”. Oksidan
yang lebih stabil dihasilkan pada fase “tar”, yaitu semiquinone.
d. Partikel Inorganik
Partikel inorganik, yang terinhalasi, seperti asbes, silika dapat
merusak paru-paru melalui pembentukan radikal bebas. Inhalasi asbes
telah dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya fibrosis pulmonal
(asbestosis), mesotelioma dan karsinoma bronkogenik. Partikel silika dan
asbes difagositosis oleh makrofag paru-paru. Sel ini kemudian pecah,
melepaskan enzim proteolitik dan kemotaktik mediator yang
menyebabkan infiltrasi sel-sel lain, seperti neutrofil. Maka dimulailah
proses inflamasi. (Kehrer dkk, 1988). Serat asbes yang mengandung besi
juga dapat menstimulasi pembentukan radikal hidroksil.
e. Gas
Ozon bukanlah radikal bebas tetapi merupakan agen pengoksidasi
yang sangat kuat. Ozon (O3) memiliki dua elektron yang tidak
berpasangan dan bereaksi dengan substrat biologik membentuk radikal
bebas. Secara in vitro ozon dapat menghasilkan lipid peroksidase, tetapi
in vivo belum dapat dibuktikan.8
4.5 Tipe Oksidan Radikal bebas yang paling penting di dalam tubuh adalah radikal yang
berasal dari oksigen yang disebut reactive oxygen species. Radikal bebas tersebut
adalah oksigen dalam bentuk triplet singlet (1O2), anion superokside (O2-), radikal
hidroksil (.OH), nitrik okside (NO), peroksinitrit (ONOO-), hypochlorous acid (HOCl),
hydrogen peroksida (H2O2), dan radikal peroksil (LO2).8-10
4.5.1 Superokside (O2-)
Anion superokside terbentuk jika oksigen direduksi melalui transfer satu
elektron. Secara invivo, sumber utama superokside berasal dari rantai transport
elektron pada mitokondria. Superokside sebenarnya tidak merusak, tetapi anion ini
dapat bereaksi dengan ion metal transisi membentuk radikal hidroksil yang sangat
merusak.
Sumber utama lainnya adalah melalui enzim NADPH oksidase yang terdapat
pada makrofag.
4.5.2 Hidrogen Peroksida (H2O2) Hidrogen peroksida merupakan agen pengoksidasi untuk membentuk radikal
hidroksil dalam reaksi dengan ion metal transisi. Hidrogen peroksida terbentuk dari
oksigen yang mengalami reduksi dua elektron. Pada sistem biologi, hydrogen
peroksida terbentuk dari superokside. Dua molekul superokside dapat bereaksi
membentuk hydrogen peroksida dan oksigen, seperti terlihat pada reaksi di bawah
ini.
2O2- + 2H H2O2 + O2
4.5.3 Radikal hidroksil (.OH) Radikal hidroksil adalah radikal yang sangat reaktif. Radikal ini dapat
bereaksi dengan hampir seluruh biomolekul, artinya, reaksi akan segera timbul pada
molekul biologis.
Pada tahun 1933 Fritz Haber dan Joseph Weiss menemukan bahwa radikal
bebas hidroksil terbentuk oleh superokside dan hydrogen peroksida (reaksi Haber-
Weiss).
O2- + H2O2 O2 + .OH + OH-
Henty Fenton telah meneliti agen pereduksi, ion ferro (Fe2+) bersama
dengan hydrogen peroksida dapat mengoksidasi senyawa organik. Mekanismenya
melibatkan radikal hidroksil.
H2O2 + Fe2+ .OH + OH- + Fe3+
4.5.4 Singlet oksigen (O2) Singlet oksigen merupakan agen pengoksidasi yang sangat kuat. Singlet
oksigen dapat terbentuk dari reaksi enzimatik, seperti peroksidase, atau oleh reaksi
hydrogen peroksidase dengan peroksinitrit.
4.5.5 Nitrik okside (NO.) Merupakan radikal bebas dalam bentuk gas. Dikenal mempunyai peranan
dalam fisiologi vaskuler sebagai faktor perelaksasi endothelium. Endotelium vaskuler
menghasilkan nitrik okside dari arginine menggunakan enzim nitrik okside sintetase.
Reaksi ini dapat distimulasi oleh sitokin, faktor nekrosis tumor atau interleukin.
4.5.6 Peroksinitrite (ONOO-) Terbentuk dari reaksi nitrik okside dengan superokside.
4.5.7 Hypochlorous acid (HOCl) Sebagai agen bakterisidal, sel PMN menghasilkan HOCl. Terbentuk oleh
reaksi dari ion kloride dengan hydrogen peroksida yang dikatalisa oleh enzim
myeloperoksidase.
H2O2 + Cl- HOCl + OH-
Reaksi ini timbul pada vakuole neutrofil setelah berfusi dengan vesikel
lisosome yang mengandung mieloperoksidase.
Hypochlorous acid dapat melewati membran sel, dan jika bereaksi dengan
ion metal transisi dapat membentuk radikal hidroksil. HOCl dapat memulai
peoksidasi lipid dan selanjutnya merusak sel.
HOCl +O2- .OH + Cl- + O2
HOCl + Fe2+ .OH + Cl- + Fe3+
BAB V ANTIOKSIDAN
5.1 Definisi
Antioksidan adalah zat kimia dengan konsentrasi rendah, secara signifikan
dapat mencegah atau mereduksi suatu zat yang teroksidasi (Halliwell, 1995).41
Disebut antioksidan karena zat tersebut dapat melawan proses oksidasi. Zat-
zat ini melindungi bahan kimia lain dari reaksi oksidasi yang dapat merusak sel.
Antioksidan bekerja dengan cara bereaksi dengan radikal bebas yang ada di dalam
tubuh.
5.2 Klasifikasi Antioksidan Utama
Antioksidan dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu antioksidan non-
enzimatik dan antioksidan enzimatik. Klasifikasi selengkapnya dapat dilihat pada
tabel 4.41
Tabel. 4 Klasifikasi antioksidan
Enzim Antioksidan Peranan Ciri-ciri Superokside dismutase
(SOD): mitokondrial, sitoplasmik, ekstraseluler
MengubahO2-menjadi H2O2 Mengandung
mangan (MnSOD) Mengandung tembaga dan seng (CuZnSOD) Mengandung tembaga (CuSOD)
Katalase Mengubah H2O2 menjadi H2O Hemoprotein berbentuk tetramer
Glutathione peroksidase (GPx)
Mengubah H2O2 dan lipid perokside
Selenoprotein Terutama berada di sitosol dan mitokondria Menggunakan GSH
Vitamin Alpha tokoferol Memutus peroksidase lipid Scavenge lipid perokside, O2
- dan .OH
Vitamin yang larut dalam lemak
Beta karotene scavenge O2-, bereaksi
langsung dengan peroksil Vitamin larut dalam lemak
Asam askorbat scavenge secara langsung OH,O2
-
Menetralkan oksidan dari stimulasi neutrofil Berperan dalam regenerasi vit.E
Vitamin larut dalam air
Dikutip dari: Fouad T. Antioxidant system www. thedoctorslounge.net/medlounge/articles/antioxidant.
5.2.1 Antioksidan Non-enzimatik 5.2.1.1 Alfa tokoferol (Vitamin E)
Alfa tokoferol adalah antioksidan yang larut dalam lemak yang terdapat di
dalam sel. Alfa tokoferol ditemukan sekitar awal 1920-an. Nama tokoferol pertama
kali digunakan oleh Evans. Tokoferol berasal dari kata Yunani, tokos berarti
kelahiran bayi, phero berarti membawa kemajuan dan ol menunjukkan bahwa
molekulnya mengandung alkohol. Vitamin E adalah istilah umum untuk
menunjukkan semua aktifitas biologi vitamin E alami, yaitu d-alfa-tokoferol. Di alam,
terdapat 8 substansi yang memiliki aktifitas vitamin E, yaitu kelompok tokoferol (d-
alfa, d-beta, d-gamma dan d-delta-tokoferol) dan kelompok tokotrienol (d-alfa, d-
beta, d-gamma, dan d-delta-tokotrienol). Kedua kelompok ini berbeda dalam hal
metilasi dan rantainya. Dari semuanya, d-alfa-tokoferol mempunyai aktifitas biologik
yang paling tinggi sehinga dijadikan sebagai standard bagi yang lain.
Vitamin E adalah nutrisi esensial yang berfungsi sebagai antioksidan di
dalam tubuh manusia. Disebut esensial karena tubuh tidak dapat membuat sendiri,
sehingga harus disediakan dari makanan. Tokoferol terdapat dalam minyak, kacang,
gandum dan padi. Absorbsi tokoferol didalam usus berhubungan dengan absorbsi
lemak. Lebih kurang 40% tokoferol yang dimakan akan diabsorbsi. Tokoferol masuk
ke dalam darah melalui pembuluh limfe sebagai kilomikron. Vitamin E disimpan di
jaringan lemak dan terkonsentrasi di mitokondria, retikulum endoplasmik dan
membran plasma.
Vitamin E lebih tepat disebut sebagai antioksidan daripada vitamin. Karena
tidak seperti vitamin yang lain, vitamin E tidak bertindak sebagai ko-faktor bagi
reaksi enzimatik. Vitamin E juga tidak menimbulkan suatu penyakit yang khas
seperti vitamin yang lain. Defisiensi vitamin E dapat terjadi jika terdapat malabsorbsi
lemak, bayi prematur dan penderita yang mendapat nutrisi parenteral total. Efek dari
intake vitamin E yang inadekuat biasanya baru tampak dalam jangka panjang dan
biasanya berhubungan dengan penyakit kronis, seperti kanker dan atherosklerosis.
Fungsi utama vitamin E adalah mencegah peroksidasi membran fosfolipid.
Karakteristik vitamin E yang lipofilik memungkinkan tokoferol berada di lapisan
dalam sel membran (Halliway dan Getteridge, 1992).Tokoferol OH dapat
memindahkan atom hidrogen dengan satu elektron ke radikal bebas dan
membersihkan radikal bebas sebelum radikal bebas bereaksi dengan protein
membran sel atau bereaksi membentuk lipid peroksidasi. Tokoferol-OH yang
bereaksi dengan radikal bebas membentuk tokoferol-O. Tokoferol-O sendiri adalah
radikal bebas juga. Tokoferol-O akan bereaksi lagi dengan vitamin C membentuk
semidehidroaskorbat, suatu radikal bebas yang lemah.
5.2.1.2 Beta karoten Karotenoid adalah mikronutrien yang memberi warna pada buah dan
sayuran. Karotenoid adalah prekursor vitamin A dan mempunyai efek antioksidan.
Ada lebih dari 600 karotenoid telah ditemukan di dalam makanan. Yang paling
sering adalah alfa-karoten, beta-karoten, likopen, krosetin, santaantin dan
fukosantin. Beta-karoten adalah jenis yang paling banyak diteliti. Beta karoten terdiri
dari dua molekul vitamin A (retinol). Beta karoten yang berasal dari diet diubah
menjadi retinol di mukosa intestinal.
Fungsi beta karoten sebagai antioksidan adalah kemampuannya untuk
bereaksi dengan radikal bebas. Tetapi kemampuan beta karoten bereaksi dengan
radikal bebas juga terbatas karena karotenoid sendiri dapat mengalami oksidasi
(auto-oksidasi).
5.2.1.3 Asam askorbat (vitamin C) Asam askorbat adalah vitamin yang larut dalam air. Antioksidan yang
terdapat dalam buah jeruk, kentang, tomat dan sayuran yang berwarna hijau.
Manusia tidak mampu mensintesa l-askorbic acid dari d-glukosa karena tidak
mempunyai enzim l-gulakolakton oksidase. Oleh sebab itu manusia memperoleh
asam askorbat dari diet.
Fungsi antioksidan vitamin C adalah kemampuannya sebagai agen
pereduksi (donor elektron) radikal bebas. Pemberian satu elektron yang berasal dari
asam askorbat membentuk radikal semi-dehidroaskorbat (DHA). Askorbat bereaksi
dengan O2- dan OH untuk membentuk DHA. Menurut penelitian Jialal,1990, askorbat
mempunyai kemampuan yang lebih kuat daripada tokoferol dalam menghambat
oksidasi LDL. Konsentrasi askorbat yang digunakan untuk menghambat oksidasi
LDL adalah sebesar 40-60 ppm. 41
5.2.2 Antioksidan Enzimatik 5.2.2.1 Superoksid dismutase (SOD)
SOD adalah enzim intraseluler. SOD terdapat dalam tiga bentuk: (1) Cu-Zn
SOD yang terdiri dari dua sub unit dan terdapat di dalam sitoplasma (2) Mn-SOD di
dalam mitokondria dan (3) Cu-SOD yang terdapat di ekstraseluler.
SOD bereaksi dengan radikal bebas sebagai pereduksi superoksid untuk
membentuk H2O2. Enzim katalase dan glutathione peroksidase mereduksi H2O2
menjadi H2O. Masing-masing enzim tersebut bekerja dengan sistem umpan balik.
Peningkatan superoksid akan menghambat glutathione peroksidase dan katalase.
Peningkatan H2O2 akan menurunkan aktifitas CuZn-SOD. Sementara katalase dan
glutathione peroksidase dengan mereduksi H2O2 akan menghemat SOD. SOD
dengan mereduksi superoksid akan menghemat katalase dan glutathione
peroksidase. Melalui sistem umpan balik ini tercapailah keadaan SOD, katalase,
glutathione peroksidase, superoksid dan H2O2 dalam keadaan seimbang.
5.2.2.2 Enzim Katalase Enzim ini adalah protein yang terdapat di semua sel aerob pada jaringan
tubuh. Katalase terutama terkonsentrasi pada hati dan eritrosit. Otak, otot rangka,
jantung hanya mengandung katalase dalam jumlah sedikit.
Katalase dan glutathione peroksidase mengubah hidrogen peroksida menjadi
air dan oksigen. Peningkatan produksi hidrogen peroksida oleh enzim SOD tanpa
diikuti peningkatan katalase atau glutathione peroksidase akan menyebabkan
penumpukan hidrogen peroksida.41
5.2.2.3 Enzim Glutathione peroksidase Enzim ini sudah dijelaskan di dalam bab sebelumnya.
Interaksi enzim-enzim tersebut terhadap radikal bebas dapat dilihat pada
reaksi di bawah ini.
SOD 1. 2O2
- + 2H+ H2 O2 + O2 GPx 2. H2O2 + 2GSH GSSG + 2H2 O
5.3 Fisiologi Tubuh manusia mempunyai beberapa sistem antioksidan endogen. Sistem
ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu kelompok enzimatik dan non enzimatik.
Antioksidan bekerja dalam 3 cara yaitu: (1) Pemutusan rantai reaksi (2) Mengurangi
pembentukan radikal bebas dan (3) “Memakan” (scavenge) radikal bebas
Gambar 5 memperlihatkan sumber radikal bebas dan tempat kerja dari
berbagai antioksidan. Radikal superokside (O2-) merupakan bentuk yang paling
reaktif yang paling banyak dihasilkan oleh berbagai mekanisme di dalam tubuh
antara lain, mitokondria, sistem enzim NADPH oksidase, reaksi dari xantine
oksidase dan metabolisme asam arakidonat. Radikal superokside kemudian dapat
langsung di “makan” oleh antioksidan vitamin E atau diubah menjadi H2O2 yang
kemudian diubah lagi menjadi air oleh enzim glutathione peroksidase. H2O2 yang
terbentuk juga dapat diubah menjadi radikal hidroksil (.OH). Jika tidak dinetralisir,
.OH akan merusak lipid dan DNA.
NADPH metabolisme
Oksidase asam arakhidonat
Xantin oksidase O2- mitokondria
SOD
Katalase H2O2 H2O GPx
Fe2+
Vit.C .OH Ket:
AA:asam arakhidonat Vit.E beta karotene NADPH:Nikotinamide
ROO- adenine dinukleotide Lipid Kerusakan phosphate peroksidasi DNA
Gambar 8. Sumber radikal bebas dan tempat kerja antioksidan
Fouad T. Antioxidant system www. thedoctorslounge.net /medlounge/articles/antioxidant.
BAB VI SELENIUM SEBAGAI ANTIOKSIDAN DAN
HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT
6.1 Penyakit kardiovaskuler Reactive oxygen species (ROS) berperan dalam terjadinya vaskulopati,
seperti aterosklerosis, hipertensi dan stenosis. Radikal bebas yang banyak berperan
dalam fisiologi dan patofisiologi vaskuler adalah nitric okside (NO.), superokside
(O2 -), hydrogen peroksida (H2O2) dan peroksinitrit (ONOO-). Masing-masing radikal
bebas ini dihasilkan oleh reaksi enzimatik dan kimiawi yang spesifik. Pada pembuluh
darah, dalam keadaan normal NO dihasilkan oleh endothelial nitrik okside sintetase
(eNOS), tetapi jika terjadi peradangan NOS juga terdapat pada makrofag dan sel
otot polos yang kemudian menghasilkan NO. Sedangkan O2- dan H2O2 dapat
dihasilkan oleh semua sel pembuluh darah. Pada pembuluh darah normal kedua
radikal bebas tersebut dapat dihasilkan di oleh dua enzim, yaitu sitokrom P450 yang
telah teridentifikasi di arteri koronaria dan NADPH oksidase.42,43
Nitrik okside merupakan mediator vasodilatasi pembuluh darah dan berperan
dalam agregasi trombosit, sedangkan O2- dan H2O2 merupakan mediator
pertumbuhan, difrensiasi dan apoptosis sel otot polos pembuluh darah. O2- dan NO
dapat bereaksi membentuk radikal yang sangat reaktif yaitu peroksinitrit (ONOO-).
Peroksinitrit merupakan mediator terjadinya peroksidasi lipid, termasuk oksidasi
LDL. Banyak peneliti berpendapat bahwa oksidasi LDL pada pembuluh darah yang
mengalami peradangan menyebabkan atherogenesis.42,43
Seluler glutathione peroksidase (GPx-1) merupakan bentuk yang paling
banyak terdapat di hampir seluruh sel, termasuk di endothelium pembuluh darah.
Pada sel endotel, 70% H2O2 yang terbentuk oleh lekosit PMN didetoksifikasi oleh
GPx-1.43 Glutathione peroksidase berfungsi untuk mereduksi hydrogen peroksida
menjadi air dan lipid peroksida menjadi alkohol. Marc A Forgione berpendapat
bahwa defisiensi GPx-1 berhubungan langsung dengan meningkatnya stress
oksidatif pada pembuluh darah sehingga terjadi disfungsi endotel.44
Pada tikus, defisiensi GPx-1 mengakibatkan kelainan fungsi dan struktur
vaskuler dan jantung, seperti peningkatan inflamasi dari periadventitial pembuluh
darah, pembentukkan tunika intima baru dan penimbunan kolagen di sekitar arteri
koronaria. Pada jaringan aorta yang menggunakan pewarnaan 3-nitrotyrosine, tikus
dengan defisiensi mempunyai pewarnaan yang lebih banyak dibanding tikus normal
(gambar 9). 43 Hal ini menunjukkan peningkatan pembentukan radikal bebas di
bagian tersebut. Pada manusia, penurunan aktifitas GPx-1 pada lesi aterosklerosis
menyebabkan penyakit berkembang ke arah yang lebih berat.44
Gambar 9. Potongan melintang aorta pada binatang usia 10 minggu. A: tikus Dengan jaringan normal; B: tikus dengan peroksinitrite; C: tikus dengan defisiensi GPx-1; D:tikus dengan defisiensi GPx-1setelah terapi. Gambar di- dapat dari Forgione MA, Weiss N, Heydrick S, Cap A, Kling ES, Bierl C, dkk. Celluler Glutathione Peroxidase Deficiency and Endothelial dysfunction. Am J Physiol Heart Circ Physiol 2002;282:1255-61.
Pada tikus, GPx-1 dapat menghambat 5-lipoksigenase pada sel monositik.
Lima lipoksigenase dalam sel monosit dan makrofag menyebabkan progresifitas
penyakit aterosklerosis. Jadi adanya GPx-1 dapat mencegah perburukan
aterosklerosis.44
Aktifitas GPx-1 antara individu bervariasi, tetapi penyebab adanya variasi
tersebut belum diketahui. Pada penelitian didapatkan aktifitas GPx-1 lebih tinggi
pada wanita daripada laki-laki. Rokok sangat berpengaruh, dimana kadar GPx-1
pada perokok lebih rendah dibandingkan dengan bukan perokok.44
Studi epidemiologi mengenai suplementasi selenium pada penyakit
kardiovaskuler masih kontroversial. Suplementasi selenium dapat mencegah
terjadinya penyakit karena defisiensi selenium, tetapi tidak bisa mengembalikan otot
jantung yang sudah mengalami kerusakan. Walaupun begitu identifikasi mengenai
kadar aktifitas GPx-1 pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler berguna untuk
mengetahui besarnya risiko penyakit jantung.44
6.2 Penyakit Paru-paru Paru-paru mempunyai permukaan epitel yang luas, yang berisiko dirusak
oleh oksidan. Trakhea, bronchus dan alveoli dapat terekspos oleh radikal bebas
yang berasal dari polutan yang terinhalasi, asap rokok dan produk-produk inflamasi.
Oleh sebab itu paru-paru membutuhkan antioksidan untuk mencegah kerusakan
jaringan. Paru-paru mempunyai enzim antioksidan intraseluler yang menjaga
keseimbangan reduksi-oksidasi. Alveoli dapat menambah antioksidan dari cairan
epithelial (epithelial lining fluid/ELF). 45,46 Cairan ini mengandung sejumlah besar
(90%) glutathione tereduksi (GSH).45
Beberapa studi menunjukkan bahwa oksidan memegang peranan penting
pada timbulnya penyakit dan progresifitas penyakit. Penyakit paru yang
berhubungan dengan oksidatif stress adalah asma, kistik fibrosis dan penyakit
interstitial paru.
Pada kondisi paru-paru yang mengalami peradangan, sistem glutathione
dapat berubah-ubah. Contohnya, kadar GSH meningkat di ELF pada perokok kronis
dan pada penyakit berillium kronik. Kadar GSH di ELF menurun dengan cepat pada
pasien asma ringan selama eksaserbasi. Kadar GSH di dalam ELF juga menurun
pada fibrosis pulmonal idiopatik, asbestosis dan sindrom gawat nafas. Beberapa
studi juga menunjukkan peningkatan aktifitas GPx di ELF pada perokok
dibandingkan dengan bukan perokok.
Kelompok glutathione peroksidase merupakan komponen enzim yang
penting pada mekanisme detoksifikasi radikal bebas pada paru-paru. eGPx dapat
ditemukan di sel epitel brush border yang mengandung lipid. eGPx terdapat pada sel
epitel bronkhial dan ELF sebagai reaksi terhadap oksidatif stress pada pasien asma
atau penyakit beryllium kronik dan pada individu yang terekspos oksidan dari luar
seperti asap rokok. Ekstra selular glutathione peroksidase timbul lebih lambat
setelah eksposur (setelah 24 jam), hal ini menjelaskan mengapa eGPx tidak timbul
setelah 12 jam hiperoksia.46
6.2.1 Asma Bukti epidemiologi menunjukkan bahwa perubahan diet, terutama
pengurangan asupan antioksidan dapat meningkatkan prevalensi dan beratnya
penyakit. Hal ini memungkinkan adanya interfensi diet pada penatalaksanaan
penyakit asma.
Stres oksidatif memegang peranan penting dalam patofisiologi asma.47,48
Gambar memperlihatkan bagaimana terjadinya peradangan saluran nafas yang
disebabkan oleh paparan berbagai allergen, seperti gas, bahan kimia, obat, bakteri
dan virus. Reaksi spesifik dari allergen dapat merangsang sistim immune didapat
dan sistim immune alamiah. Sistim immune didapat memproduksi interleukin (IL)-5
dan selanjutnya mengaktifkan eosinofil. Sedangkan rangsangan terhadap sistim
immune alamiah memproduksi IL-8 yang selanjutnya mengaktifasi neutrofil.
Selanjutnya kedua sistem ini mengaktifkan sel-sel inflamatori dalam proses yang
disebut respiratory burst (ledakan respirasi). Pengaktifan sel-sel inflamatori
membutuhkan oksigen dan selanjutnya melepaskan reactive oxygen species (ROS)
disekitar sel. Selama ledakan respirasi, NADPH teraktifasi dan melepaskan
superokside (O2-) ke dalam sel. Superokside dismutase (SOD) kemudian
mengkatalisa superokside menjadi hydrogen peroksida (H2O2). Hidrogen peroksida
kemudian bereaksi dengan ion halide (I-, Cl-, Br-) membentuk asam hipohalous
(HOCl/HOBr). Di dalam eosinofil reaksi ini dikatalisa oleh eosinofil peroksidase
(EPO) sedangkan di netrofil dikatalisa oleh nyeloperoksidase. Selanjutnya, asam
hipohalous akan bereaksi dengan O2- membentuk oksidan yang kuat yaitu radikal
hidroksil (.OH). Radikal bebas selanjutnya menyebabka peroksidasi lipid. Selama
ledakan respirasi jumlah radikal bebas yang dibentuk dapat melebihi pertahanan
antioksidan dan menyebabkan stres oksidatif.47
Stres oksidatif menyebabkan berbagai efek pada saluran nafas, yaitu
kontraksi otot polos, peningkatan reaktifitas, hipersekresi mukus dan eksudasi
vaskuler.
Gambar 10. Mekanisme peroksidasi lipid pada asma. Gambar didapat dari Wood LG, Gibson PG, Garg ML. Biomarkers of Lipid Peroxidation, Airway Inflammation and Asthma. Eur Respir J 2003;21:177-86.
Defisiensi antioksidan telah sering dilaporkan terdapat pada pasien asma.
Antioksidan enzimatik yang paling berperan adalah superokside dismutase (SOD)
dan glutathione peroksidase (GPx). Pada pasien asma aktifitas glutathione
peroksidase menurun. Selenium yang merupakan komponen dari enzim glutathione
peroksidase juga menurun. Terdapat peningkatan risiko terjadinya asma 1,9 sampai
5,8 kali pada subjek dengan kadar selenium dan glutathione peroksidase yang
rendah.49,50,51
Walaupun telah banyak bukti bahwa peningkatan stress oksidatif dan
penurunan aktifitas antioksidan berperan dalam terjadinya asma, namun penelitian
mengenai suplementasi antioksidan masih sangat sedikit. Salah satu percobaan
mengenai suplementasi selenium selama 1 minggu memberikan hasil yang positif.
Namun karena studi mengenai suplementasi selenium ini masih sangat terbatas
maka masih dianjurkan untuk memberikan suplementasi antioksidan kombinasi.47
6.2.2 Kistik Fibrosis Stress oksidatif telah terbukti memegang peranan pada patofisiologi
terjadinya kistik fibrosis. Pada kistik fibrosis terjadi peradangan jalan nafas yang
berulang-ulang. Adanya koloni bakteri pada paru-paru menarik neutrofil untuk
memusnahkan bakteri tersebut. Proses memusnahkan bakteri ini melepaskan ROS
dalam jumlah besar. Terbentuknya radikal bebas pada kistik fibrosis juga
disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen yang dapat mencapai 120-150%
dari normal.52,53
Pada penderita kistik fibrosis juga didapatkan penurunan aktifitas enzim
glutathione peroxidase.52,53
Penelitian yang dilakukan oleh Lisa G Wood menunjukkan bahwa dengan
suplementasi selenium sebesar 90 mikrogram selama 8 minggu dapat
meningkatkan aktifitas glutathione peroksidase dan memperbaiki gejala klinis
penyakit.53
6.3 Penyakit Gastrointestinal Radikal bebas telah diindikasikan berperan dalam penyakit kolon, seperti
radang usus (inflammatory bowel syndrome/IBD), seperti Crohn disease dan kolitis
ulseratif. Kadar oksigen reaktif juga meningkat pada mukosa traktus gastrointestinal
yang mengalami peradangan, dibandingkan dengan mukosa normal. Bahan toksik
pada mukosa epitelium dapat menyebabkan peradangan. Beberapa penelitian telah
melaporkan bahwa kolon pasien sindroma radang usus (SRU)/inflammatory bowel
syndrome (IBD) memproduksi lebih banyak radikal bebas.54
Pada penyakit Crohn, ROS dibentuk oleh neutrofil sebagai akibat proses
peradangan. ROS menyerang hampir seluruh komponen sel yang berada
disekitarnya, sehingga terjadi kerusakan sel. ROS dapat merusak ikatan asam
lemak tak jenuh ganda sehingga menyebabkan peroksidasi lipid, akibatnya
kerusakan jaringan bertambah banyak. Selama peradangan kronik ROS dibentuk
terus-menerus sehingga antioksidan tidak mampu lagi menetralisir. Pada usus
halus dan usus besar ROS dapat ditimbulkan oleh sel fagosit, sel endotel
mikrovaskuler dan sel epitel mukosa. Telah dilaporkan bahwa onset peyakit Crohn
dimulai dari adanya pengurangan enzim antioksidan dan mikronutrien pada mukosa
usus dan plasma.55
Pada anak-anak yang menderita sindroma radang usus terlihat peningkatan
aktifitas GPx pada plasma (eGPx). Sedangkan percobaan yang dilakukan pada tikus
menunjukkan peningkatan GPx plasma sebesar 61% pada distal kolon setelah
diterapi selama 7 hari dibanding kontrol.54
Glutathione peroksidase pada traktus gastrointestinal terdiri dari GPx-1 dan
Gpx-GI. Keduanya dapat mereduksi H2O2 dan hidroperoksida asam lemak dengan
baik. Pada epitelium kripta, aktifitas glutathione peroksidase sangat penting dalam
mencegah inflamasi. Aktifitas kedua jenis GPx ini bekerja pada tempat yang
berbeda. GPx-1 lebih banyak pada villi sedangkan GPx-GI lebih banyak terdapat di
kripta. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya bekerja saling melengkapi.56
Pada percobaan dengan menggunakan tikus, pada tikus yang mengalami
defisiensi, pada pemeriksaan histologi usus terlihat peradangan yang terbatas pada
mukosa, yaitu infiltrasi sel-sel radang, deplesi mucin dan distorsi kripta. Gambaran
ini sesuai dengan gambaran colitis yang terjadi pada manusia. Abses pada kripta
lebih sering ditemukan pada ileum. kolon dan rektum (gambar 11). 56
Gpx 1 -/- Gpx 2 +/- Gpx 1 -/- Gpx 2 -/-
Gambar 11. Histologi ileum, kolon dan rektum tikus. Gambar sebelah kiri memperlihatkan jaringan normal, gambar sebelah kanan jaringan pada tikus dengan defisiensi. Tanda panah menunjukkan letak abses kripta. Gambar didapat dari Esworthy, Steven R, Aranda R, Martin MG, Doroshow JH, Binder SW, dkk. Mice with combined disruption of Gpx1 and Gpx2 genes have colitis. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 2001;281:848-55.
Pada penderita sindroma radang usus sering ditemukan defisiensi selenium
oleh karena itu dianjurkan untuk memberikan suplementasi selenium pada pasien
dengan sindroma radang usus.56
6.4 Penyakit Virus 6.4.1 Penyakit Keshan Penyakit Keshan adalah kardiomiopati yang terdapat pada wanita dan anak-
anak pada daerah di China dimana kandungan seleniumnya rendah. Penyakit
Keshan dicirikan dengan lesi nekrotik pada seluruh miokardium dengan derajat
infiltrasi seluler dan kalsifikasi yang berbeda-beda. Bentuk akut penyakit ini ditandai
dengan terjadinya insufisiensi jantung yang tiba-tiba, sedangkan bentuk kronik
ditandai dengan pembesaran jantung yang berat dengan berbagai derajat
insufisiensi. Insiden penyakit ini berhubungan dengan rendahnya intake selenium
dan suplementasi selenium dapat mencegah terjadinya penyakit ini.1,57
Adanya variasi musiman pada penyakit ini menunjukkan bahwa ada agen
infeksius lain yang berperan dalam timbulnya penyakit Keshan selain selenium.
Virus coxsackie telah diisolasi dari penderita Keshan dan virus ini mampu
menyebabkan peradangan pada jantung yang disebut miokarditis.
Defisiensi selenium dapat meningkatkan virulensi atau progresifitas virus
coxsackie. Meningkatnya stress oksidatif akibat defisiensi selenium dapat
menimbulkan mutasi atau perubahan gen virus. Hal ini diperlihatkan pada penelitian
yang dilakukan oleh Melinda A.Beck pada tikus yang diinokulasi dengan virus
Coxsackie B3. Pada penelitian ini, tikus yang mengalami defisiensi selenium dan
tikus dengan diet selenium yang cukup, diinokulasi dengan strain virus coxsackie
yang amiokarditik (CVB3/0). Pada tikus dengan defisiensi selenium timbul
miokarditis sedangkan pada tikus dengan diet selenium cukup tidak terjadi
miokarditis. Hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan genome virus
pada tikus dengan defisiensi selenium. Untuk mengkonfirmasi perubahan genome
ini dilakukan penguraian gen, dan ditemukan ada 6 tempat mutasi pada virus
tersebut.57-59
Perubahan genome virus coxsackie pada defisiensi selenium juga
berhubungan dengan rendahnya aktivitas seluler glutathione peroksidase (GPx-1).
Pada tikus dengan aktifitas seluler GPx yang rendah didapatkan perubahan
nucleotide virus sebanyak 7 buah dibandingkan dengan tikus biasa.57-59
Selain faktor nutrisi dan virus, adanya perubahan respons immune pada
defisiensi selenium juga mempermudah timbulnya miokarditis. Percobaan pada tikus
menunjukkan bahwa pada tikus dengan defisiensi selenium terjadi hambatan dalam
proliferasi sel limfosit T.57-59
6.4.2 Influenza Virus influenza mempunyai kemampuan untuk mengubah protein
permukaanya (hemaglutinin/HA dan neurominidase/NA) untuk menghindar dari
deteksi sistem immune. Perubahan sedikit saja dari HA dan NA membuat virus
tersebut dapat terhindar dari deteksi.
Efek ini telah dibuktikan oleh peneliti di University of North Carolina. Mereka
membandingkan tikus yang mengalami defisiensi selenium dengan yang tidak,
semua tikus terekspos human influenza virus. Tikus dengan defisiensi selenium
yang diinfeksi dengan strain virus influenza yang ringan (A/Bangkok/1/29)
mengalami radang paru (pneumonitis) berat. Penelitian pada mRNA virus yang
mengkode protein permukaan (HA dan NA) menunjukkan adanya perubahan pada
matrix protein sebanyak 29 nukleotide. Perubahan nucleotide ini menyebabkan
perubahan 6 asam amino.57
6.4.3 Human Immunodefisiensi Virus (HIV) Penurunan kadar selenium pada individu yang terinfeksi HIV merupakan
tanda yang sensitive untuk progresifitas penyakit. Rendahnya kadar selenium juga
berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian karena HIV. Status nutrisi
selenium yang adekuat dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi virus HIV
dengan cara memperkuat sistem immune. Pada infeksi HIV, stress oksidatif dapat
mempengaruhi replikasi virus. Sebagai komponen dari glutathione peroksidase,
selenium berperan dalam menurunkan stres oksidatif pada sel yang terinfeksi HIV
dan menurunkan kecepatan replikasi virus.1,60,61
Defisiensi selenium juga berhubungan dengan progresifitas virus dan
kematian pada infeksi HIV dibandingkan dengan mikronutrien lain. Pada observasi
selama 5 tahun terhadap 24 anak dengan HIV, mereka yang mempunyai kadar
selenium yang rendah meninggal dalam umur yang lebih muda, hal ini
mengindikasikan perjalanan penyakit yang lebih cepat.
Pada penderita HIV dengan suplementasi selenium, sel-T menghambat
replikasi virus HIV dan menurunkan pembentukan sitokin, yang berperan dalam
proses peradangan. Suplementasi dengan jamur yang diperkaya selenium pada
individu dengan HIV dengan dosis 400 mcg/hari memperlihatkan perbaikan. Studi
lainnya yang mengikuti 15 penderita HIV yang disuplementasi dengan sodium
selenit 100 mcg/hari selama 1 tahun, memperlihatkan penurunan stress oksidatif.1
6.5 Kanker Studi geografi secara konsisten memperlihatkan bahwa populasi yang tinggal
di daerah dengan kadar selenium pada tanah yang rendah menyebabkan intake
selenium relatif rendah dan mempunyai angka mortalitas kanker yang lebih tinggi.
Studi epidemiologi menunjukkan individu dengan kadar selenium yang rendah (pada
darah dan kuku) mempunyai insiden kanker yang lebih tinggi. Tetapi kecenderungan
ini tidak begitu nyata pada perempuan, contohnya, studi prosfektif pada 60.000
perawat perempuan di U.S menunjukkan tidak terdapat hubungan antara kadar
selenium dengan risiko kanker. Infeksi kronis virus hepatitis B dan C secara
signifikan meningkatkan risiko kanker hepar, contohnya, studi yang dilakukan pada
orang laki-laki di Taiwan menunjukkan penurunan kadar selenium berhubungan
dengan meningkatnya risiko kanker hepar. Kadar selenium yang rendah juga
berhubungan dengan meningkatnya risiko mendapat kanker paru-paru, terutama
pada perokok. Individu dengan intake selenium sebesar 159 mcg/hari risiko untuk
mendapat kanker prostat hanya 35% dibandingkan dengan individu dengan intake
selenium 86 mcg/hari.1,62,63
Beberapa mekanisme telah diketahui dalam mencegah kanker, yaitu:1
1. Maksimalisasi aktifitas antioksidan selenoenzim dan memperbaiki status
antioksidan.
2. Memperbaiki sistem imun.
3. Mempengaruhi metabolisme karsinogen.
4. Meningkatnya kadar metabolit selenium yang dapat menghambat
pertumbuhan sel tumor
Walaupun peranan selenium dalam kehidupan sel telah terbukti, tetapi
mekanisme protektif masih terbatas. Studi yang dilakukan pada sel Jurkat, suatu sel
lymphoma, dalam 24 jam terlihat penurunan viabilitas sel pada media bebas
selenium. Pada penelitian ini terlihat kematian sel terjadi setelah pembelahan
pertama kali. Penelitian ini memberikan spekulasi bahwa pembelahan sel tergantung
dengan selenium. Pada studi ini juga terlihat bahwa kematian sel disebabkan karena
peningkatan ROS intraseluler, terutama lipid hidroperoksida. Selenite terbukti dapat
mencegah akumulasi ROS intraseluler.62
Pada sel dengan defisiensi selenium juga terjadi penurunan aktifitas
glutathione peroksidase, terutama phospholipid hidroperoksida (PHGPx) dan selular
GPx (cGPx) masing-masing sebesar 39% dan 36%. Tetapi, pada penelitian ini
terlihat bahwa hanya PHGPx yang dapat mengurangi lipid hidroperoksida, termasuk
phospholipid hidroperoksida dan kholesterol hidroperoksida.62
Telah dikemukakan dua model untuk menjelaskan perbedaan aktifitas
antikarsinogenik selenium pada dosis yang berbeda. Pada dosis fisiologis, 40-100
mcg/hari pada orang dewasa, memaksimalkan aktifitas antioksidan dan
meningkatkan sistem imun. Pada dosis farmakologi, 200-300 mcg/hari, bentuk
metilasi selenium memperbesar efek antikarsinogenik.1 Lebih dari 90% eksperimen
yang menggunakan sodium selenite dan selenomethionine sebesar 1-5 ppm per hari
dapat menekan proses karsinogenesis.64
6.6 Sistem Imun Selenium penting untuk terjadinya respons immune yang optimal. Selenium
mempengaruhi sistem immune alamiah dan didapat, baik sistem immune seluler
maupun humoral. Sel efektor non spesifik pada sistim immune alamiah antara lain
makrofag, sedangkan sistim immune yang didapat adalah limfosit T dan B.65
Pada sistem immune humoral, defisiensi selenium pada tikus, menyebabkan
penurunan titer IgM, IgG dan IgA, sedangkan pada manusia terjadi penurunan titer
IgG dan IgM.65
Menurut peneliti di Bologna, konsentrasi selenium serum berhubungan
dengan peningkatan sel natural killer (NK).66 Natural killer adalah limfosit yang
mempunyai aktifitas sitolitik terhadap sel tumor dan sel yang terinfeksi. Oleh karena
itu sel NK memegang peranan penting pada perjalanan penyakit tumor dan infeksi.
Selenium berperan dalam aktifitas sel NK dengan cara meningkatkan reseptor
interleukin-2 pada permukaan sel NK sehingga meningkatkan proliferasi dan
ekspansi sel NK.67
Penelitian yang dilakukan pada tikus menunjukkan bahwa tikus dengan
defisiensi selenium kurang mampu untuk membunuh pathogen dibandingkan
dengan tikus dengan diet selenium yang cukup. Hal ini berhubungan dengan
menurunnya aktifitas GPx sitosol (GPx-1) pada neutrofil. Neutrofil berfungsi untuk
membunuh mikroorganisme dengan cara membentuk radikal bebas. Kemampuan
neutrofil untuk membentuk radikal bebas tergantung dengan status selenium dan
aktifitas GPx. 65
Pada suatu studi dengan suplementasi 200 mcg/hari sodium selenit selama 8
minggu terlihat peningkatan respons sel –T terhadap antigen dibandingkan dengan
yang menggunakan plasebo.1
6.7 Penyakit Sendi 6.7.1 Rheumatoid Arthritis
Survey pada pasien dengan rheumatoid arthritis, suatu penyakit kronis yang
ditandai oleh nyeri, kekakuan dan kehilangan fungsi sendi, menunjukkan adanya
penurunan kadar selenium didalam darah. Penderita dengan arthritis mempunyai
intake selenium yang rendah.68
Radikal bebas telah diketahui dapat menyebabkan kerusakan jaringan
seperti yang terlihat pada arthritis. Selenium, sebagai antioksidan membantu
mengontrol kadar radikal bebas sehingga dapat mengurangi gejala arthritis.68,69
Suatu studi klinik memberikan hasil yang positif pada pemberian selenium
200 mcg/hari.69
6.7.2 Penyakit Kashin-Beck Salah satu contoh penyakit arthritis yang berhubungan dengan rendahnya
kadar selenium disebut penyakit Kashin-Beck. Penyakit Kashin-Beck ditandai
dengan degenerasi dari kartilago sendi (osteoarthritis). Penyakit ini terdapat di
daerah bagian Utara Cina, Korea Utara, Tibet dan Siberia Timur. Penyakit ini
menyerang anak-anak usia 5-13 tahun.1,70
Secara patologi, penyakit ini ditandai oleh degenerasi dan nekrosis kartilago
sendi dan growth plate dan menyebabkan pembesaran sendi terutama di jari,
tangan, lutut dan pemendekkan ekstremitas.70 Bila berat, penyakit ini dapat
menyebabkan deformitas sendi dan kekerdilan.71
Gambar 12. Penyakit Kashin-Beck. Gambar didapat dari Moreno-Reyes R, Mathieu F, Boelaert M, Begaux F, Suetens C, Rivera MT, dkk. Selenium and Iodine Supplementation of Rural Tibetan Children Affected by Kashin-Beck Osteoarthropathy. Am J Clin Nutr 2003;78:137-44.
Defisiensi selenium diperkirakan sebagai faktor risiko penyakit ini karena
penyakit ini hanya terdapat pada daerah dengan kandungan selenium yang rendah.
Tetapi, efikasi pemberian selenium pada penyakit Kashin-Beck ini masih
kontroversial. Pada penelitian klinik acak di Tibet, suplementasi sodium selenate
100mcg/hari dan 1 mg/minggu selama 11 bulan tidak memberikan efek
pengurangan nyeri dan mobilitas sendi. Walaupun begitu, studi ini tetap tidak
mengesampingkan bahwa selenium dapat mencegah timbulnya penyakit ini pada
anak-anak di daerah endemik, karena pada kelompok plasebo ternyata timbul lesi
baru.71
6.8 Infertilitas pada Laki-laki
Ada dua jenis selenoprotein yang terdapat pada testis, yaitu seluler
glutathione peroksidase (cGPx) dan fosfolipid glutathione peroksidase (PHGPx).
Seluler GPx terdapat dalam testis dengan kadar yang rendah dan tidak mempunyai
peranan yang spesifik dalam fungsi testis. Seluler GPx diperkirakan hanya berperan
sebagai penyeimbang jika terjadi stress oksidatif, yaitu untuk mencegah mutasi sel
germinal oleh hidroperoksida.72
Sedangkan fosfolipid hidroperoksida glutathione peroksidase (PhGPx)
merupakan bentuk selenium yang terdapat pada testis mamalia.72,73 PhGPx banyak
terdapat dalam spermatid, terutama pada kapsul mitokondria.
Percobaan pada binatang ternak dan pengerat menunjukkan bahwa
defisiensi selenium sedang sampai berat dapat menyebabkan perubahan pada
spermatogenesis, yang ditandai dengan gangguan motilitas sperma dan perubahan
morfologi sperma, yaitu putusnya hubungan antara kepala dan ekor sperma. Pada
defisiensi selenium yang ekstrem menyebabkan terhentinya spermatogenesis.
Pada tahap awal spermatogenesis, PhGPx berperan aktif sebagai antioksidan
dengan mencegah terjadinya pembelahan sel yang cepat yang disebabkan oleh
oksidative injury. Tetapi, pada tahap akhir spermatogenesis terjadi penurunan
aktifitas PhGPx, oksidative injury dapat terakumulasi dan menyebabkan penurunan
viability sperma.73
Suatu studi yang dilakukan pada pria infertil menunjukkan kandungan PhGPx
yang sangat rendah (<5 mU/mg) pada kapsul mitokondria jika dibandingkan dengan
pria sehat, dimana kadar PhGPx rata-rata 200 mU/mg.
Pada pria dengan astenozoospermik dan oligoasthenozoospermik yang
disertai dengan gangguan motilitas sperma juga ditemukan kandungan PhGPx yang
rendah jika dibandingkan dengan normozoospermik. Begitu juga dengan viabilitas
sperma, dimana pada kadar <90 mU/mg, terjadi penurunan yang tajam dari viabilitas
sperma.73
BAB VII SUPLEMENTASI SELENIUM
Idealnya, suplementasi selenium dalam bentuk yang sama seperti yang
terdapat dalam makanan (selenium organik). Lebih dari 80% selenium dalam
jagung, gandum dan kedelai berbentuk L-selenomethionine, maka bentuk inilah
yang paling tepat sebagai bentuk suplemen selenium.74,75 Pada penelitian di New
Zealand ditemukan bahwa bioavailability selenomethionine sebesar 75% dibanding
dengan sodium selenite yang hanya sebesar 59%. Studi di Finlandia membuktikan
bahwa selenomethionine meningkatkan kadar selenium lebih tinggi dan tinggal
dalam darah lebih lama dibandingkan dengan selenium inorganik.12
Pada tahun 1984 mulai tersedia selenomethionine sintetik sebagai
suplementasi pada makanan. Pada manusia, suplementasi selenomethionine
berbentuk isomer L, sedangkan untuk binatang dapat digunakan bentuk campuran
isomer D dan L.75
Dalam usaha untuk memproduksi secara masal selenium organik, telah
digunakan jamur (Saccharomyces cerevisiae) yang kaya akan selenomethionine
dan selenocystein.12
Jamur selenium pada kadar 0,3 ppm dalam bentuk kering dua kali lebih
efektif dibandingkan selenite dalam meningkatkan kadar selenium pada otot babi.
Pada penelitian lain yang menggunakan 150 mikrogram per hari, jamur selenium
terbukti efektif meningkatkan kadar selenium dalam darah orang dewasa. Dr.
Gerhard Schrauzer menyimpulkan “hanya dengan dosis oral 10 kali lebih rendah,
selenium organik dapat meningkatkan kadar selenium dalam darah 2 kali lipat, dan
selenium organic 20 kali lebih efektif dalam memperbaiki kadar selenium.75
Untuk keamanan, suplemen selenium sebesar 200 mikrogram per hari akan
meningkatkan total intake selenium orang dewasa menjadi 280-350 mikrogram.
Dosis ini adalah jumlah yang aman karena masih berada di bawah dosis yang
direkomendasi (reference dose/RfD) oleh EPA untuk selenium yaitu 350 mikrogram
untuk orang dewasa dengan berat 70 kg. Studi juga menunjukkan bahwa intake
selenium sebesar 750-850 mikrogram tidak menimbulkan efek samping. Kadar
tersebut disebut No Adverse Effect Level (NOAEL). Kadar terendah yang dapat
menimbulkan efek samping disebut The Lowest Adverse Effect Level (LOAEL)
adalah sebesar 1540 + 653 mikrogram per hari. Tetapi efek samping ini biasanya
tidak muncul dengan hanya mengkonsumsi satu kali kadar sebesar itu tetapi setelah
mengkonsumsi selama beberapa minggu atau bulan.75
BAB VIII RINGKASAN
Selenium merupakan trace elemen esensial bagi tubuh. Mikronutrien ini
merupakan komponen enzim glutathione peroksidase, yaitu enzim yang berfungsi
sebagai antioksidan. Enzim ini terdiri dari 4 tipe, yaitu seluler glutathione
peroksidase (cGPx), ekstraseluler glutathione peroksidase (eGPx), gastrointestinal
glutathione peroksidase (GPx-GI) dan fosfolipid glutathione peroksidase (PHGPx).
Radikal bebas adalah molekul di mana elektron yang terletak pada lapisan
paling luar suatu molekul tidak memiliki pasangan. Oleh karena itu molekul tersebut
sangat reaktif. Radikal bebas dengan mudah bereaksi dengan sel terutama sel lipid,
protein dan DNA. Adanya reaksi radikal bebas dengan sel depat menyebabkan
kerusakan sel. Kerusakan sel menyebabkan kematian sel yang selanjutnya
menyebabkan disfungsi organ.
Antioksidan adalah zat kimia dengan konsentrasi rendah yang secara
signifikan dapat mencegah atau mereduksi suatu zat. Antioksidan terdiri dari
antioksidan enzimatik dan non enzimatik. Glutathione peroksidase merupakan
antioksidan enzimatik yang mengandung selenium.
Defisiensi selenium telah dihubungkan dengan berbagai penyakit, antara lain
penyakit kardiovaskuler (aterosklerosis, miokard infark dan kardiomiopati), penyakit
paru kronis (asma, kistik fibrosis), penyakit gastrointestinal (penyakit Crohn’s),
penyakit virus (penyakit Keshan, influenza dan HIV), kanker, sistem imun, penyakit
sendi (rheumatoid arthritis dan penyakit Kashin-Beck) dan infertilitas pada laki-laki.
Suplementasi selenium digunakan dalam bentuk isomer L, berupa jamur
selenium. Suplementasi dengan dosis 200 mikrogram per hari akan meningkatkan
total intake selenium orang dewasa menjadi 280-350 mikrogram.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rachimhadhi T.Preeklampsia dan eklampsia: WiknjosastroH. Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu kebidanan edisi ketiga . Jakarta; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 1997: 281-301
2. Cunningham FG, Gant NF, Laveno KJ, Gilstrap LC, Wenstrom KD. William Obstetrics 21st ed. New York: McGraw hill 2001: 567-89
3. Soejoenoes A. Prevalensi dan resiko hipertensi pada kehamilan. Naskah lengkap PIT III POGI malang; 1983
4. Pangemanan WT, Syamsuri AK, Saleh AZ. Hubungan antara indeks gestosis dengan profil laboraratorium pada penderita gestosis di RSUP Palembang selam 2 tahun (1994-1996). Naskah lengkap KOGI X Padang ; 1996
5. Angsar MD. EPG Gestosis dalam prospektif . Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unair-RSUD dr. soetomo Surabaya , 1995
6. Chamberlain G, Sterr P. Turnbull,s Obstetrics 3rd ed. London: Churchill livingstone 2001:333-354.
7. Whanger PD. Selenium, The Linus Pauling Institute, Nopember 18:2002. Didapat dari: www. Highwire.stanford.edu.
8. Anonim. Facts About Dietary Supplements, December 9, 2002. Didapat dari: www.cc.nih.gov/ccc/supplements/selen.html.
9. Nakamuro K, Okuno T, Hasegawa T. Metabolism of Selenoamino Acids and Contribution of Selenium Methylation to Their Toxicity. Journal of Health Science 2000;46:418-21.
10. Burk RF, Levander OA. Selenium. In: Modern Nutrition in Health and Disease; edisi ke-7. Philadelphia, 1988;265-74.
11. FAO/WHO. Selenium. Human Vitamin and Mineral. FAO/WHO. Roma 2002. 12. Chen J, Berry MJ. Selenium and selenoprotein in the brain and brain disease.
Journal of Neurochemistry 2003;86:1-12. 13. International Programme on Chemical Safety. Selenium. Didapat dari: www.
Inchem.org. 14. Fouad T. Free Radical, Types, Source and Damaging Reactions. Didapat dari:
www. thedoctorslounge.net/medlounge/articles/antioxidant. 15. Waterlow JC. Cell membranes and free radical. In: Protein-energy malnutrition.
London Melbourne Auckland, 1992;137-45. 16. Anonim. Free Radical Introduction. 2000. Didapat dari:
www.exrx.net/nutrition/antioxidant. 17. Anonim. Basic Information. Apr 13, 1997. Didapat dari:
www.chemicalelements.com/elements/se.html. 18. Passwater RA. New Discoveries Expand Our Knowledge About Selenium’s
Importance. Didapat dari: www.highwire. 19. Anonim. Selenium, Compounds and Elements. Apr, 1997. Didapat dari:
www.chemicalelements.com/elements/se.html. 20. Harthill M. Does Bioavailable Arsenic Affect Nutritional Selenium?: A Brief
Review of Se Nutrition. 2001. Didapat dari: www.yahoo.com. 21. Schrauzer GN. Selenomethionine: A Review of Its Nutritional Significance,
Metabolism and Toxicity. Journal of Nutrition 2000;130:1653-56. 22. Haas EM. Selenium. Staying Healthy with Nutrition: The Complete Guide to
Diet and Nutritional Medicine.
23. Anonim. Metabolism, Absorption and Bioavailability Several forms of Selenium. 2000. Didapat dari: www.yahoo.com.
24. Levy JB, Jones HW, Gordon AC. Selenium deficiency, reversible cardiomyopathy and short-term intravenous feeding. Postgrad Med J 1994;70:235-36.
25. Bates JM, Spate VL, Morris JS, Germain DL, Galton VA. Effect of Selenium Deficiency on Tissue Selenium Content, Deiodinase Activity and Thyroid Hormone Economy in the Rat during Development. Endocrinology 2000;141:2490-99.
26. Murakami M, Araki O, Hosoi Y, Kaniya Y, dkk. Expression and Regulation of Type II Iodothyronine Deidinase in Human Thyroid Gland. Endocrinology 2001;142:2961-67.
27. Fujiwara N, Fujii T, Fujii J, Taniguchi N. Functional expression of rat thioredoksin reduktase: selenocystein insertion sequence element is essential for the active enzyme. J Biochem 1999;340:439-44.
28. Das KC, White CW. Redox sistem of the cell: Possible links and implications. PNAS July 2002;99:9617-18.
29. WHO. Selenium. In:Trace elements in human nutrition and health. Geneva 1996;105-22.
30. Anonim. Glutathione peroksidase. 2000. Didapat dari: www.wikipedia/thefreeencyclopedia.
31. Ren B, Tibbelin G, Akesson B. GSH peroksidase. October 12, 2000. Didapat dari: www.wikipedia/freeencyclopedia.
32. Berg JM, Tymoczko JL, Stryer L. Synthesizing the Molecules of Life. In: Mathews, (editor). Biochemistry: edisi ke-5. 1999.
33. Sieja K, Talerczyk M, Selenium as element in the treahmen of ovarian cancer in women receiving chemotherapy. J. Gynecologic Oncology 93 (2004): 320-327
34. Moretti M,MD, Phillips M, MD, Increased breath marker of oxidative sress in normal pregnancy an in preeclampsia. Am J. obs & Gyn 190 (2004): 1184-1190
35. Rayman MP, Bode P, Phd, Redman CWG, low selenium status in associated with the occurrence of the pregnancy disease preeclampsia in women from the UK. Am J. obs & Gyn Nov 2003: 1343-1349
36. Basbug,Demir I. Serin S. Maternal erythrocyte malondialdehyde level in preeclampsia prediction: a. longitudinal study. J. perinatal med 23 ( 2003): 469-474
37. Knapen MF, Mulder TP, Van rooij IA. Low whole blood glutatione levels in pregnancies complicated by preeclampsia or hemolysis,elevated liver emzymes, low platelets syndrome. Didapat dari www.greenjournal.org/cgi
38. Yonemata Y, Sawa R, Suzuki S, Relationship berween plasma malondialhehyde levels and adenosine deaminase activities in preeclampsia. Entrez PubMed: august 2002: 167-173