ANALISIS TENTANG ATURAN PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM
UNDANG-UNDANG NO.7 TAHUN 2017 DAN RELEVANSINYA
TERHADAP PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019
SKRIPSI
FIRNA HANDAYANI SPI 152157
PEMBIMBING:
DR. BAHRUL ULUM., S.Ag., MA
YUDI ARMANSYAH, M.Hum
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
ABSTRAK
Firna Handayani; SPI 152157; Analisis Tentang Aturan Presidential Threshold Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2017 dan Relevansinya Terhadap Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2019.
Penelitian tentang aturan Presidential Threshold telah banyak di lakukan. Meskipun begitu, kajian ini selalu menarik untuk dibahas jika dikaitkan dengan pelaksanaan pemilu tahun 2019. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana aturan Presidential Threshold lahir serta kaitannya dengan dinamika politik serta dampak hukum yang terjadi di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga untuk mengetahui bagaimana relevansi antara aturan tersebut dengan pelaksaan pemilu tahun 2019 khususnya adalah pilpres 2019. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, analisis konsep hukum, dan pendekatan politik melalui penelaahan dan perkembangan politik dewasa ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peta politik yang terjadi pada pilpres 2019 tidak jauh berbeda dengan pemilu 2014. Partai-partai politik harus berkoalisi untuk mencapai ambang batas 20% agar dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden. Beberapa fenomena seperti gerakan tagar #2019GantiPresiden, issue hoax, post-truth, coattail effect hingga politik identitas menjadi beberapa gejala politik yang mewarnai pealaksanaan pemilihan umum tahun 2019 yang dilakukan secara serentak. Terkait dengan aturan tersebut yang paling merasakan dampaknya adalah partai politik hak parpol yang dijamin didalam undang-undang menjadi terciderai karena aturan tersebut masih cacat hukum dan tidak ada acuan jelas yang dimaksud sebagai ambang batas, karena merujuk pada hasil pileg 2014. Sedangkan pemilu 2019 dilaksanakan secara serentak (tidak terpisah). Adanya aturan Presidential Threshold dan pelaksanaan pemilu serentak dimaksudkan untuk menguatkan sistem presidensial yang telah dianut oleh bangsa Indonesia. Namun, persyaratan Presidential Threshold sebagaimana dipahami selama ini yaitu syarat dukungan minimal yang didasarkan pada jumlah kursi atau hasil suara pileg nasional sangat tidak relevan baik dilihat dari aspek sistem presidensil itu sendiri maupun spirit pemilu serentak yang baru pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2019.
Kata kunci: Analisis, Presidential Threshold, Presidensial,
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahrabbi’alamin, rasa syukur ku panjatkan kepada Rabb ku atas segala rahmat dan karunia Nya, akhirnya dapat ku
selesaikan sebuah karya berupa skripsi ini dengan izin Mu
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada manusia berhati sutera pembawa rahmat bagi semesta dan seluruh ummat
manusia, Muhammad SAW berkat jasa beliau kita dapat merasakan nikmatnya Islam hingga saat ini
Ku persembahkan karya sederhana ini kepada orang-orang yang ku cintai dan ku sayangi serta berarti dalam hidupku
Terimakasih tak terhinnga untuk Ayah (Risno) dan Ibunda tersayang (Sri Sulasmi), atas doa-doa yang telah di panjatkan
untuk buah hatimu tercinta dalam menyelesaikan pendidikan ini. Berkat perjuangan, kerja keras, serta tetesan keringat selama ini
akhirnya putri kecilmu mampu menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi sehingga menyandang gelar Sarjana.
Terimakasih atas cinta dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada anakmu yg kini telah tumbuh menjadi dewasa. Dan mohon
maaf hingga saat ini belum mampu ku balas semua jasa dan pengorbanan Ayah dan Ibu yang telah diberikan.
Terimakasih untuk kakak ku (Astuti Ferdiyanti) dan Adikku tersayang (M. Arif Zubaedi) yang tak henti-hentinya memberikan semangat dan motivasi serta mendengarkan segala keluh kesahku
selama ini.
Untuk teman-teman seperjuangan, Hukum Tata Negara A Angkatan 2015 yang telah sama-sama berjuang dari awal kuliah
hingga saat ini semoga selalu semangat dalam menyelesaikan tugas akhir kuliah. Juga untuk teman-teman Demisioner 06 yang
telah menjadi saudara selama berada di tanah rantau. Terimakasih atas solidaritas dan kebersamaan yang telah kita
lalui bersama.
Untuk keluarga, sahabat dan orang-orang yang selalu mendoakan ku, terimakasih atas segalanya
Semoga allah SWT membalas segala amal baik yang telah kita lakukan dan semoga ilmu yang telah ku dapatkan bermanfaat
bagi ummat, dunia dan akhirat. Aamiin..
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang mana dalam
penyelesaian skripsi ini penulis selalu diberikan kesehatan dan kekuatan, sehingga
dalam menyelesaiakan skrispi ini dengan baik. Sholawat dan salam penulis
sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Nabi akhir zaman pembawa
kesejukan bagi segenap ummat manusia.
Skripsi ini ditulis dengan judul “Analisis Tentang Aturan Presidential
Threshold Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Dan Relevansinya
Terhadap Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2019” dalam upaya
melengkapi syarat untuk mencapai Sarjana Strata Satu (S.1), dan lebih dari itu
penelitian ini meupakan tugas akhir dari proses pembelajaran yang di tempuh
selama di UIN STS Jambi.
Dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari dari berbagai hambatan dan
rintangan. Akan tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak, maka segala macam
hambatan dapat teratasi. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terimkasih yang tulus kepada:
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA selaku Rektor UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
2. Bapak Prof. Dr. H. Su’aidi MA., Ph.D selaku WR Bidang Akademik dan
Pengembangan Pendidikan, Bapak Dr. H. Hidayat, M.Pd selaku WR Bidang
Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, dan Ibu Dr. Hj. Fadlillah,
M.Pd sebagai WR Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN STS Jambi.
3. Bapak Dr. A.A. Miftah, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS
Jambi.
4. Bapak Hermanto Harun, Lc., M.HI., Ph.D selaku WD Bidang Akademik, Ibu
Dr. Rahmi Hidayati, S.Ag., M.HI., selaku WD Bidang Administrasi Umum,
Perencanaan dan Keuangan, dan Ibu Dr. Yuliatin, S.Ag., M.HI selaku WD
Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama di lingkungan Fakultas Syariah UIN
STS Jambi.
5. Bapak Abdul Razak, S.HI., M.IS dan Ibu Ulya Fuhaidah, S.Hum., M.SI selaku
Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah
UIN STS Jambi.
6. Bapak Dr. Bahrul Ulum, S.Ag., MA selaku Pembimbing I dan Bapak Yudi
Armansyah, S.Th.I., M.Hum selaku Pembimbing II yang senantiasa sabar dan
ikhlas dalam membimbing saya serta meluangkan waktunya hingga selesai
dalam menyusun skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh karyawan/ti Fakultas Syariah UIN STS
Jambi.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAN ............................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN............................................................... iv
MOTTO......................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ......................................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................... 6 C. Batasan Masalah.............................................................. 6 D. Tujuan dan Keguanaan Penelitian ................................... 7 E. Manfaat Penelitian .......................................................... 7 F. Kerangka Teori................................................................ 8 G. Tinjauan Pustaka` ............................................................ 10
BAB II METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ................................................................ 15 B. Pendekatan Penelitian ..................................................... 15 C. Jenis Data Dan Sumber Data........................................... 16 D. Instrumen Pengumpulan Data ......................................... 17 E. Teknik Analisis Data ....................................................... 17 F. Sistematika Penulisan...................................................... 17 G. Jadwal Penelitian ............................................................. 19
BAB III TINJAUAN UMUM PRESIDENTIAL THRESHOLD DI INDONESIA
A. Latar Belakang Lahirnya Aturan Presidential Threshold 21 B. Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ............. 32 C. Pola Presidential Threshold dari masa ke masa ............. 42
BAB IV ANALISIS PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 2017 DAN RELEVANSINYA TERHADAP PELKASANAAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019
A. Dinamika Politik Pasca Berlakunya Aturan Presidential Threshold......................................................................... 50
B. Dampak Hukum Munculnya Aturan Presidential Threshold......................................................................... 61
C. Relevansi Aturan Presidential Threshold dengan Pelakasanaan Pemilihan Umum Tahun 2019 .................. 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 87 B. Saran ................................................................................ 88 C. Kata Penutup ................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 92
CURRICULUM VITAE
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan pemilihan umum dalam konsep demokrasi Indonesia
membawa threshold pada setiap sistem bentuk pemilihan umum, mulai dari
Electoral Threshold sebagai syarat partai politik dapat ikut serta dalam Pemilu,
Parliementary Threshold sebagai bentuk ambang batas partai untuk menduduki
kursi parlemen pusat, hingga Presidential Threshold sebagai ambang batas suara
partai untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan
Umum.1
Pesta demokrasi yang diselenggrakan setiap lima tahun sekali merupakan
agenda rutin bangsa Indonesia untuk melakukan pergantian kepemimpinan baik
eksekutif maupun legislatif. Pada tahun 2019, untuk pertama kalinya dalam
sejarah, Indonesia akan melaksanakan pemilu secara serentak untuk memilih
anggota legislatif sekaligus pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
bersamaan pada 17 April 2019. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat aturan
yang dikenal dengan Presidential Threshold yang tertulis di dalam UU No. 7
tahun 2017 pasal 222. UU tersebut merupakn syarat politis untuk dapat
mengajukan calon presiden dan wakil presiden.. Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017
menjelaskan aturan Presidential Threshold sebagai berikut:
1 Muhammad Nur Jamaluddin, “Presidential Threshold Sebagai Syarat Pengajuan Calon
Presiden Dan Wakil Presiden Pada Pemilu Serentak Tahun 2019 Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013”, Makalah disampaikan pada Mata Kuliah Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, (2016), hlm. 11
Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada pemilu DPR sebelumnya2
Presidential Threshold merupakan suatu konsep yang bertujuan untuk
mengusulkan calon presiden dan wakil presiden yang berkualitas dan digadang
dapat menguatkan sistem presidensial di Indonesia. Pengusulan ini dilakukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang bertanggung jawab terhadap
pasangan presiden dan wakil presiden yang diusung. Namun, kendati demikian,
beberapa pihak berpendapat bahwa Presidential Trheshold dapat menghilangkan
hak partai politik dan menutup saluran politik rakyat dalam meningkatkan
partisipasi pemilih karena terbatasnya kandidat presiden dan wakil presiden dalam
kontestasi pilpres 2019.
Lahirnya regulasi baru terkait dengan Pemilu Serentak tahun 2019
diwarnai dengan berbagai polemik salah satunya adalah polemik aturan
Presidential Threshold. Banyak masyarakat yang menanggapi secara pro dan
kontra terkait aturan tersebut. Perdebatan panjang dalam menentukan ambang
batas pancalonan presiden dan wakil presiden terjadi cukup alot pada saat
pembahasan Rancangan UU Pemilu hingga akhirnya keluar Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 51-52-59/PUU-VI/2008 tertanggal 18 Februari 2009, Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014, Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XV/2017 tertanggal 9 Desember 2017
merupakan putusan hasil uji materiil terkait dengan pasal yang mengatur tentang
2 Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Pasal 222
aturan Presidential Threshold. Semua putusan tersebut yang menyatakan bahwa
aturan tentang Presidential Threshold (ambang batas pencalonan presiden dan
wakil presiden) sah dan konstitusional. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
Presidential Threshold dapat diterapkan (Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017).
Mahkamah Konstitusi beralasan bahwa Presidential Threshold merupakan
kebijakan hukum terbuka atau dapat disebut Open Legal Policy. Open Legal
Policy merupakan kewenangan yang diberikan secara bebas kepada pembuat
undang-undang dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR untuk
menentukan terkait dengan pengaturan Presidential Threshold (Putusan MK No.
108/PUU-XI/2013).3
Pengaturan Presidential Thershold secara yuridis tertuang di dalam Pasal
222 UU No 7 Tahun 2017 merupakan ketentuan tambahan mengenai pengaturan
tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A ayat (2)
UUD NRI yang menyatakan bahwa:
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.4
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
merupakan hasil kodifikasi undang-undang yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilu yang tersebar pada beberapa undang-undang tersendiri
yaitu undang-undang partai politik, undang-undang pemilihan presiden dan wakil
3 Ayon Diniyanto, “Mengukur Dampak Penerapan Presidential Threshold di Pemilu
Serentak 2019”, Artikel Indonesian State Law Review, Vol. 1 No. 1, Oktober 2018, hlm. 84 4 UU Negara Republik Indonesia, Pasal 6 ayat (2)
presiden, undang-undang pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD dan Undang-
undang penyelenggara pemilu.5
Namun, persoalan hukum yang terjadi adalah ketika pelaksanaan
pemilihan umum serentak di Indonesia menggunakan ketentuan Presidential
Thershold berdasarkan hasil Pemilu 2014 sebagai acuan bagi partai politik untuk
mengusungkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana yang
tertuang dalam Pasal 222. Basis angka hasil pemilu legislatif 2014 bukan
merupakan bagian dari pemilu 2019. Namun dijadikan sebagai acuan atau dasar
untuk prasyarat pencalonan presiden. Hal ini menjadi tidak logis sebab pemilihan
legislatif 2019 dilakasanakan secara serentak (tidak terpisah) dengan pemilihan
presiden dan wakil presiden. Artinya dalam aturan Presidential Threshold yang
dimaksud dalam pasal 222 sebenarnya tidak ada acuan yang diajadikan sebagai
dasar ketentuan minimal 20% suara kursi DPR atau 25 % suara sah nasional.
Selain itu, berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum telah bertentangan dengan Pasal 6 Ayat 2 UUD NRI 1945.
Secara yuridis undang-undang tersebut bertentangan dengan aturan yang lebih
tinggi. UUD tersebut menjamin setiap hak partai politik peserta pemilu dapat
mengajukkan pasangan calon presiden dan wakil persiden.
Pasal 6A Angka 2 Amendemen UUD 1945, memberi penjelasan bahwa
setiap partai politik peserta pemilihan umum memiliki hak dan kesempatan yang
sama untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Namun, sejak
5 Sri Karyati, “Gagasan Kodifikasi Undang-Undang Pemilu”, Jurnal Etika dan Pemilu,
Vol.2 Nomor 2 Juni 2016, hlm.11
berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah
menghilangkan hak partai politik peserta pemilihan umum serentak terutama
partai politik baru peserta pemilu serentak tahun 2019 dan seterusnya dikarenakan
UU tersebut membatasi kesempatan bagi partai politik untuk maju dalam
pencalonan presiden dan wakil presiden. Secara logika hukum, partai politik baru
peserta pemilihan umum serentak akan tersendera dengan ketentuan Presidential
Thershold tersebut.
Keserentakan pelaksanaan pemilu merupakan suatu formula alternatif bagi
perubahan sistem politik dan pemerintahan di masa mendatang bagi bangsa
Indonesia. Namun kenyataanya pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019 masih
mempertahankan aturan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
(Presidential Thershold) yang masih cacat hukum, sebab aturan tersebut tidak
relevan jika diterapkan pada pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019.
Pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang tidak
diberlakukan adanya ambang batas minimal dukungan partai politik atau
gabungan partai politik akan lebih membuka ruang atau peluang bagi orang dari
berbagai kalangan yang mempunyai potensi, kapasitas dan kapabilitas untuk
menjadi seorang Presiden dan Wakil Presiden yang selama ini tertutup
peluangnya akibat tidak ada atau tidak memiliki dukungan dari partai politik yang
memenuhi ambang batas pencalonan atau Presidential Treshold.6
6Ellydar dan Suparto, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pemilu Serentak
Terhadap Pencalonan Presiden dan wakil Presiden Pada Pemilihan Umum Tahun 2019”, Jurnal UIR Law Review, Vol. 01 No. 01, April 2017, hlm. 3
Dari pemaparan diatas, kebijakan yang tertuang dalam UU No 7 Tahun
2017 pasal 222 tentang Presidential Thershold merupakan suatu permasalahan
yang ingin dikaji secara mendalam oleh penulis untuk menganilis apa yang
menjadi dasar adanya Presidential Threshold serta dampaknya terhadap dinamika
politik di Indonesia terkait dengan pelaksanaan pemilu tahun 2019.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dinamika politik yang berkembang pasca berlakunya aturan
Presidential Thershold UU No. 7 Tahun 2017?
2. Bagaimana analisis yuridis tentang aturan Presidential Thershold di dalam
UU No 7 Tahun 2017?
3. Bagaimana relevansi tentang aturan Presidential Threshold terhadap pemilu
2019?
C. Batasan Masalah
Agar pembahasan permasalahan dalam penulisan skripsi ini tidak meluas,
tepat sasaran pada pokok pembahasannya dan tidak menyimpang dari isi
pembahasan, maka penulis membatasi permasalahan ini hanya membahas tentang
aturan Presidential Thershold yang terdapat pada UU No 7 Tahun 2017 dan
relevansinya dengan Pemilu serentak tahun 2019.
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan rumusan masalah tersebut, maka dalam penelitian ini
ditetapkan tujuannya sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dinamika politik pasca berlakunya aturan tentang
Presidential Thershold didalam UU No. 7 Tahun 2017.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis secara yuridis aturan Presidential
Thershold dalam UU No. 7 Tahun 2017.
3. Untuk mengetahui bagaimana relavansi aturan Presidential Threshold terhadap
pemilu 2019.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian terbagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis
dan manfaat praktis.
a. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini dapat menjadi landasan pembelajaran bagi
kalangan akademisi, dosen, mahasiswa, dan penulis agar dapat menjadi nilai
tambah wawasan dalam dunia keilmuan tentang aturan Presidential Threshold
dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 dan relevansinya terhadap Pemilihan
Umum Tahun 2019. Sehingga penulisan ini dapat digunakan sebagai referensi
penulisan karya ilmiah di kemudian hari dan referensi dalam kegiatan belajar
mengajar yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini.
b. Manfaat Akademis
Manfaat akademis dalam penelitian ini adalah sebagai salah satu sayarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) dalam Jurusan Hukum Tata
Negara pada Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
c. Manfaat Praktis
Bagi pihak terkait penelitian ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan
dan wawasan tentang aturan Presidential Threshold yang terdapat dalam UU No.
7 Tahun 2017.
E. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Teori Kedaulatan Rakyat.
Immanuel Kant merupakan pengikut teori kedaulatan akyat, ia mengatakan bahwa
tujuan negara adalah unuk menegakkan dan menjamin kebebasan para warga
negaranya, dalam pengertian bahwa kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan
dalam batas perundang-undangan, sedangkan yang berhak membuat undang-
undang adalah rakyat itu sendiri. Jadi undang-undang adalah penjelmaaan
kemauan rakyat, dengan demikian rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi
atau kedaulatan dalam negara itu. 7
UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu pada hakekatnya adalah hasil dari
kemauan rakyat. Namun pada kenyataannya, UU tersebut hanya dijadikan sebagai
produk yang seolah-olah rakyat yang menghendaki, namun dalam proses
perancangan hingga di sahkan masih menjadi polemik dan dinilai cacat hukum
dan bukan mutlak kehendak rayat.
7 Anwar, Teori dan Hukum Konstitusi, (Setara Press: Malang, 2015), hlm. 35
Di antara para ahli pemikir besar tentang negara dan hukum, nama
Rousseou merupakan tokoh paling menonjol bahkan sering disebut sebagai
penemu teori kedaulatan rakyat. Rousseou adalah seorang ahli pemikir besar
tentang negara dan hukum dari Swiss, hidup pada tahun 1712-1778, adakalanya
tinggal di Prancis dan adakalanya tinggal di Swiss. Ajarannya tentang negara dan
hukum ditulis dalam buku-bukunya: Discours sur I inegalite parmi les homes
(tinjauan-tinjauan tentang ketidaksamaan antar orang-orang); Letters ecrites de la
montagne (surat-surat yang di tulis di gunung-gunung); dan bukunya yang sangat
terkenal adalah The Social Contract (kontrak social).8 Ajaran kedaultan rakyat
Rousseau merupakan kelanjutan dari filsafatnya yang bersumber kepada perasaan.
Menurut Rousseau, manusia dilahirkan sebagai makhluk yang baik, kemudain
orang hendak mecari apakah apakah sebabnya maka dalam pergaulan hidup
manusia itu senantiasa terdapat kekuasaan.9 Ajaran kedaulatan rakyat berpangkal
tolak kepada hasil penemuannya bahwa tanpa tata tertib dan kekuasaan, manusia
akan hidup tidak aman dan tentram. Tanpa tata tertib manusia merupakan
binatang yang buas “homo homini lupus”, dan kehidupan itu berubah menjadi
perang antar sesame manusia “bellum omnium conta omnes”. Dalam konstruksi
Rousseau tentang kontrak social, rakyat tidak menyerahkan kekuasannya kepada
pihak penguasa, karena pada perjanjian masyarakat individu-individu itu
menyerahkan haknya kepada rakyat sendiri sebagai satu keuasaan. Penguasa
menjalankan kekuasannya tidak karena haknya sendiri melainkan sebagai
8 Ibid, hlm. 35 9 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim dalam Anwar, Teori Hukum dan Konstitusi,.., hlm.
35
mandataris dari rakyat. Jadi sewaktu-waktu rakyat dapat berubah atau menarik
kembali mandat itu. 10
F. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian tentang aturan Presidential Thershold yang terdapat didalam
UU No 7 tahun 2017 dan Pemilu Serentak sebenarnya sudah banyak yang
meneliti secara khusus dan mendalam tentang permasalahan tersebut, diantaranya
adalah:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Mukhtarrija, I Gusti
Ayu Ketut Rachmi Handayani dan Agus Riwanto, mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta, ditulis pada tahun 2017, dengan judul
Infektifitas Pengaturan Presidential Thershold dalam Undang-Undang No 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
dan menganalisis inefektifitas pengaturan Presidential Thershold dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tantang Pemilihan Umum. Penelitian ini
mengangkat permasalahan mengenai inefektifitas pengaturan Presidential
Thershold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tantang Pemilihan
Umum yang berkorelasi dengan pelaksanaan pemilihan umum serentak. Jenis
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan
undang-undang, pendekatan sejarah dan pendekatan konseptual. Untuk
memecahkan isu hukum dan sekaligus memberi preskripsi mengenai yang
seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber penelitian meliputi
10 Moh Kusnardi & Harmaily Ibrahim dalam Anwar, Teori dan Hukum Konstitusi.., hlm.
36
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum dinilai tidak efektif karena memiliki permasalahan hukum, di antaranya
adalah bertentangan dengan amendemen UUD 1945, ketidakadilan partai politik
baru peserta pemilihan umum, dan memperlemah sistem presidensial di
Indonesia.11
Kedua, Penelitian dilakukan oleh Ahmad Hendra TP, meneliti tentang
Implikasi Pemilihan Umum Anggota Legislatif Dan Pemilihan Umum Presiden
Dan Wakil Presiden Secara Serentak Terhadap Ambang Batas Pencalonan
Presiden (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013).
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terhadap ketentuan
ambang batas dalam pencalonan presiden dan wakil presiden dalam pemilu yang
dilaksanakan secara serentak tidak lagi relevan untuk tetap
diberlakukanmengingat tidak lagi terdapat pemisahan antara pemilu legislatif dan
pemilu presiden dan wakil presiden. Dengan demikian mengharuskan adanya
peraturan perundang-undangan yang baru sebagai tindak lanjut dari putusan
Mahkamah tersebut dengan tetap berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar 1945.12
11Muhammad Mukhtarija, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, dan Agus Riwanto,
“Infektifitas Pengaturan Presidential Thershold dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum”, Jurnal Hukum Ius Quia Lustum, Vol 24 Issue 4, Oktober 2017
12Ahmad Hendra TP, “Implikasi Pemilihan Umum Anggota Legislatif Dan Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Secara Serentak Terhadap Ambang Batas Pencalonan Presiden (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013)”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 3, Vol 1, 2013
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Sodikin, Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Jakarta yang berjudul Pemilu Serentak (Pemilu
Legislatif dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) dan Penguatan Sistem
Presidensial. Dalam penelitian Sodikin ia memaparkan permasalahan dalam
penelitiannya dilatarbelakangi oleh adanya putusan mahkamah Konstitusi yang
dalam putusaanya memutuskan uji materi norma pasal 3 ayat 4, pasal 9, pasal 14
ayat 2 dan pasal 112 Undang-Undang N0 42 Tahun 2008 tetang Pemilihan
Presiden dan wakil presiden terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa pasal-pasal tersebut, kecuali pasal 9 Undang-Undang No 42
Tahun 2008 tidak mempunyai kekuata mengikat, sehingga pemilu dapat
diaksanakan bersamaan atau serentak antara pemilihan umum presiden dan wakil
presiden dengan pemilu legislative pada tahun 2019. Terjadinya polemik atas
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena pemilu serentak baru dapat
dilaksanakan pada tahun 2019. Mahkamah Konstitusi justeru tidak
mempermasalahkan ambang batas yang terdapat dalam pasal 9 UU No 42 Tahun
2008, karena masalah tersebut dikembalikan kepada pembentuk Undang-Undang
dalam hal ini adalah DPR. Penggunaan kembali Presidential Thershold pada
pemilu 2019 akan mempengaruhi pada penguatan system presidensial yang dianut
oleh Indonesia, sehingga dalam menjalankan pemerintahannya presiden memiliki
posisi yang kuat.13
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Bustomi Kamil yang
berjudul Relevansi Pemilihan Umum Serentak Presiden Dengan Legislatif
13Sodikin, “Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) dan Penguatan System Presidensial”, Jurnal Rechtvinding, Vol. 3 No 1, April 2014.
Terhadap Penguatan Sistem Presidensial Di Indonesia. (Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013). Program
Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436/2015
M). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris normatif dengan
menerapkan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
kasus (case approach). Menggunakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 dan Putusan 14/PUU-XI/2013 untuk membuktikan relevansi
Pemilihan Umum serentak terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemilihan Umum serentak Presiden dengan
Legislatif mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial di
Indonesia. Namun untuk memperkuat sistem presidensial tidak dapat hanya
mengandalkan pemilu serentak tapi perlu didukung variabel lain dalam rangka
memperkuat sistem presidensial di indonesia, seperti meningkatkan parliamentary
threshold, mengubah sistem kepartaian dan sistem pemilu legislatif atau
memperkokoh bangunan koalisi yang telah dibentuk dengan ketentuan yang lebih
jelas dan baku.14
Dari beberapa penelitian tentang aturan Presidential Thershold yang telah
penulis paparkan diatas, antara penulis sekarang dan terdahulu sama sama
membahas tentang aturan Presidential Threshold dan Pemilu Serentak 2019.
Yang membedakannya adalah peniliti memaparkan dinamika politik dan dampak
14 Ahmad Bustomi Kamil, “Relevansi Pemilihan Umum Serentak Presiden Dengan
Legislatif Terhadap Penguatan Sistem Presidensial Di Indonesia. (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013)”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
hukum yang terjadi pasca berlakunya aturan Presidential Threshold yang
bersamaan dengan pelaksanaan Pemilu Serentak tahun 2019. Sehingga
pembahasan penelitian lebih terkini dibanding penenlitian terdahulu
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis kualitattif dengan bentuk
penelitian Library Research, yaitu untuk mengetahui dan menggambarkan
kenyataan dari kejadian yang diteliti secara primer menggunakan paradigma
pengetahuan berdasarkan pendangan-pendangan konstruktivitas, makna yang
secara social dan historis dibangun dengan maksud mengembangkan suatu teori
atau pola atau pandangan advokasi partisipatori atau keduanya.15
Penelitian yang digunakan adalah kepustakaan yaitu mengumpulkan data
sehingga memudahkan penulis untuk mendapatkan data yang objektif dalam
rangka memenuhi penelitian ini. Menutut Sugiyono, metode penelitian kualitatif
adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang
alamiah dimana peneliti sebagai instrumen kunci.16
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengkaji
suatu dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti perundang-
undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para
15 Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010), hlm. 28 16 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif R & D, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 9
ahli. 17 Penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai
sebuah bangun sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai
asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian, serta doketrin (ajaran).18
Dalam penelitian ini, digunakan 3 (tiga) jenis pendekatan analisa konsep,
yakni pendekatan perundang-undangan (the statute approach) suatu pendekatan
dengan pengkajian perundang-undangan terkait tema penelitian19, pendekatan
analisis konsep hukum (analitical & conseptual approach) merupakan pendekatan
dengan cara mempelajari pandangan serta doktrin yang berkembang pada ilmu
hukum20, dan pendekatan politik yang dilakukan melalui penelaahan dan
perkembangan politik yang diteliti.21
C. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunaan meliputi data primer dan data sekunder. Adapun
jenis data dalam penelitian ini adalah sebgai berikut:
1. Data primer, adalah sumber data yang sifatnya utama yang dalam hal ini
sumbernya diamati dan dicatat untuk pertama kalinya. Berkaitan dengan hal
17 Mustika Wati, “Analisis Dampak Politik Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi No.
97/PUU-XIV/2016 Tentang Aliran Kepercayaan”, Penelitian Dosen dan Mahasiswa UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, (2018), hlm 18
18Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet. Pertama, hlm. 31.
19 Jonny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), hlm.249
20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Grup, 2005), hlm.137
21 Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.89.
tersebut, maka yang memounyai relevansi terhadap judul yang penulis bahas
adalah rangkuman Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
2. Data sekunder, yaitu berupa buku yang secara tidak langsung memiliki kaitan
dengan pembahasan penelitian ini.
D. Instrumen Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan berbagai macam data dan sumber data dalam
penulisan skripsi ini maka penulis melakukan suatu riset perpustakaan. Adapun
untuk mendapat data-data yang diperlukan dan ada relevansinya dengan
penelitian ini penulis menggunakan buku-buku dan jurnal yang dijadikan sebagai
bahan referensi daftar bacaan penulisan skripsi.
E. Teknik Analisis Data
Analisis Data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannnya
kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Adapun teknik analisis data
yang digunakan Dalam penelitian ini setelah dilakukan pengumpulan data maka
data tersebut dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan. Adapun bentuk teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif.
Yaitu metode mengumpulkan dan menyusun data kemudian dilakukan analisis
terhadap permasalahn tersebut. Data yang dikumpulkan yaitu berupa kata-kata,
gambar dan bukan angka. Hal ini disebabkan oelh adanya penerapan metode
kualitatif.22
22 Suradman, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode, (Jakarta: Tarsita Sembilan
Belas Sembilan Puluh), hlm 139
F. Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan dilakukan untuk mepertegas suatu pembahasan bab
per bab agar sesuai dengan alur penelitian. Adapun sistematika penulisan skripsi
ini adalah:
BAB I, Pendahuluan. Bab ini merupakan pijakan bagi penulisan skripsi
yang mencakup background, pemikiran mengenai tema pembahasan. Bab ini
mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian dan Kerangka Teori.
BAB II, Metode Penelitian. Bab ini meruapakan pembahasan mengenai
Jenis Penelitian, Pendekatan Penelitian, Jenis Data dan Sumber Data, Instrumen
Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, Sistematika Penulisan dan Jadwal
Penelitian.
BAB III, Tinjauan Umum Presidential Threshold di Indonesia. Disini
penulis memaparkan bagaimana latar belakang munculnya aturan Presidential
Threshold di Indonesia, Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di
Indonesia dan pola Presidential Threshold dari masa ke masa.
BAB IV, Analisis Tentang Aturan Presidential Threshold Dalam Undang
Undang No. 7 Tahun 2017 dan Relevansinya Terhadap Pelaksanaan Pemilihan
Umum Tahun 2019. Pada bab empat, penulis menganalisis aturan Presidential
Threshold yang terdapat dalam UU No. 7 Tahun 2017. Penulis memaparkan
dinamika politik yang berkembang pasca berlakunya aturan Presidential
Threshold, dampak hukum, serta relevansinya dengan pelaksanaan Pemilihan
Umum Serentak Tahun 2019.
BAB V, Penutup. Ini merupakan bab akhir dari penulisan skripsi yang
meliputi Kesimpulan, Saran, Kata Penutup, serta dilengkapi dengan Daftar
Pustaka, dan Curriculum Vitae.
G. Jadwal Penelitian
Jadwal Penelitian ini disusun unruk menjadi pedoman ketika penelitian di
laksanakan. Dengan adanya jadwal penelitian akan mudah mempersiapkan
langkah-langkah penelitian yang dilaksanakan nantinya. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel berikut.
BAB III
TINJAUAN UMUM PRESIDENTIAL THRESHOLD DI INDONESIA
A. Latar Belakang Munculnya Aturan Presidential Threshold di Indonesia
Indonesia adalah negara hukum, menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD NRI
Tahun 1945, hal ini sebelumnya termuat dalam penjelasan konstitusi yang
berbunyi, ”Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).” Selain itu ada prinsip lain yang
erat kaitannya dengan prinsip negara hukum yang juga termuat dalam penjelasan
“Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi, tidak berdasarkan
absolutisme”.23
Negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-
prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat (demokratische rechtsstaat). Hukum
tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi
berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Prinsip negara hukum tidak boleh
ditegakkan dengan mengabaikan prinsip demokrasi yang diatur dalam undang-
undang dasar. Oleh karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat yang diberlakukan menurut undang-undang dasar (constitutional
democracy) yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische
rechtsstaat), hal ini sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
23 Penjelasan UUD RI
yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UUD NRI Tahun 1945.”24
Salah satu konsekuensi dari negara hukum yang demokratis adalah setiap
pengisian jabatan pemerintahan di setiap tingkatan harus dilaksanakan secara
demokratis melalui pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu. Pemilihan
umum sebagai konsekuensi dari sebuah negara demokrasi diatur dalam Pasal 1
ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pemilu sebagai sarana bagi
rakyat untuk menyalurkan hak-hak politiknya untuk memilih dan dipilih harus
dilaksanakan dengan baik dan harus sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum
sesuai dengan landasan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945 yaitu:
Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam hal pengisian jabatan Presiden dan wakil Presiden Pasal 6A Ayat 2
menyebutkan bahwa :
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat dan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka lahirlah Undang-Undang pelaksana
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yakni Undang-Undang nomor 23 tahun
24 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Kerjasama MK dengan
Pusat studi HTN FH-UI, 2004), 56.
2003. Pasal 5 ayat (4) UU No. 23 tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden yang berbunyi;
Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu DPR.
Ketentuan inilah yang kemudian mencetuskan persyaratan ambang batas
pencalonan presiden dan wakil presiden (Presidential Threshold) bagi partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang selanjutnya digunakan
sebagai acuan Presidential Threshold untuk pemilu presiden dan wakil presiden
tahun 2004.
UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden adalah instrumen hukum pertama yang dibuat untuk mengatur tentang
mekanisme pilpres sesuai yang diamanatkan oleh Pasal 6A ayat (1) sampai ayat
(5) UUD NRI 1945 setelah perubahan.25
Pasal 5 ayat (4) undang-undang a quo merumuskan sebuah regulasi baru
bahwa partai politik yang dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil
presiden hanyalah partai politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi
syarat (electoral treshold) sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan 20% dari perolehan suara sah secara nasional
dalam Pemilu Anggota DPR.26
25 Abdurrhaman, “Presidential Threshold dalam Pemilu di Indonesia, Perspektif Imam
Al-Mawardy”, Tesis Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, (2018) hlm. 68 26 Harun Al-Rasid, Pengisian Jabatan Presiden, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 23 – 24.
Berdasarkan ketentuan undang-undang inilah kemudian dilaksanakan
pilpres pertama kali yang dipilih secara langsung oleh rakyat menggunakan sistem
Presidential Threshold dalam pengajuan capres dan cawapres. Pilpres yang
dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004 tersebut diikuti oleh 5 (lima) pasang calon
presiden dan wakil presiden: 1) Wiranto-Salahuddin Wahid dicalonkan oleh
gabungan partai politik yang terdiri dari partai Golkar dan Parta Kebangkitan
Bangsa yang memiliki akumulasi 32,72% kursi di DPR serta memperoleh 32,15%
suara sah secara nasional dalam Pemilu Anggota DPR; 2) Megawati
Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang dicalonkan oleh gabungan partai politik yang
terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan PDS yang memiliki
akumulasi 22,18% kursi di DPR serta memperoleh 20,66% suara sah secara
nasional dalam Pemilu Anggota DPR; 3) Amien Rais-Siswono Yudo Husodo
dicalonkan oleh gabungan partai politik yang terdiri dari oleh Partai Amanat
Nasional, PBR, PKS, PNBK, dan PSI yang memiliki 12,19% kursi di DPR serta
memperoleh 13,78% suara sah secara nasional dalam Pemilu Anggota DPR; 4)
Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dicalonkan oleh gabungan partai politik
yang terdiri dari Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia yang memiliki akumulasi 12,18% kursi di DPR serta
memperoleh 11,33% suara sah secara nasional dalam Pemilu Anggota DPR; 5)
Hamzah Haz-Agum Gumelar dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan
yang memiliki 10,55% kursi di DPR serta memperoleh 8,15% suara sah secara
nasional dalam Pemilu Anggota Legislatif (DPR yang dilaksanakan pada tanggal
4 April 2004 sebelumnya. 27
Hasil pemilihan umum tahun 2004 dimenangkan oleh pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dengan persentase perolehan suara sebanyak
60,62% dari jumlah 150.644.184 orang pemilih terdaftar pada pemilihan umum
presiden dan wakil presiden putaran kedua yang dilaksanakan pada tanggal 20
September 2004.28
Muatan materi Presidential Threshold dalam UU No. 3 Tahun 2003
kemudian dirubah menjadi lebih tinggi persentasenya dalam Pasal 9 UU No.42
Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yang berbunyi;
Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.29
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden adalah instrumen hukum kedua yang dibuat untuk
menyempurnakan aturan tentang mekanisme pilpres sebagaimana yang
diamanatkan oleh Pasal 6A ayat (1) sampai ayat (5) UUD NRI 1945. Ketentuan
Presidential Threshold dalam undang-undang ini dirubah menjadi lebih tinggi
persentasenya dari muatan yang dirumuskan dalam undang-undang sebelumnya.
27 Abdurrhaman, “Presidential….., hlm. 70 28Ibid, hlm. 71 29 UU No.42 Tahun 2008 Pasal 9
Undang-undang ini dijadikan landasan pelaksanaan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden tahun 2009 sekaligus tahun 2014. Pemilu yang dilaksanakan pada
tanggal 8 Juli 2009 tersebut diikuti oleh 3 (tiga) pasang calon Presiden dan Wakil
Presiden, yaitu: 1) Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto yang dicalonkan
oleh gabungan partai politik yang terdiri dari PDI-P dan Partai Gerindra yang
memiliki akumulasi 21,6% kursi di DPR serta memperoleh 18,49% suara sah
secara nasional dalam Pemilu Anggota DPR; 2) Susilo Bambang Yudhoyono-
Budiono yang dicalonkan oleh gabungan partai politik yang terdiri dari Partai
Demokrat, PPP, PKB, PKS, dan PAN yang memiliki akumulasi 56,08% kursi di
DPR serta memperoleh 45,00% suara sah secara nasional dalam Pemilu Anggota
DPR; 3) Jusuf Kalla-Wiranto yang dicalonkan oleh gabungan partai politik yang
terdiri dari Partai Golkar dan Partai Hanura yang memiliki akumulasi 22,32%
kursi di DPR serta memperoleh 18,22% suara sah secara nasional dalam Pemilu
Anggota DPR. 30
Sedangkan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan
pada tanggal 9 Juli 2014 tersebut diikuti oleh 2 (dua) pasang calon Presiden dan
Wakil Presiden, yaitu: 1) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang dicalonkan oleh
gabungan partai politik yang terdiri dari Partai Gerindra, PPP, PKS, PAN, dan
Partai Golkar yang memiliki akumulasi 47,47% kursi di DPR; 2) Joko Widodo-
Jusuf Kalla yang dicalonkan oleh gabungan partai politik yang terdiri dari PDI-P,
30 Abdurrhaman, “Presidential…., hlm. 72
PKB, Nasdem dan Partai Hanura yang memiliki akumulasi 39,96% kursi di DPR
dalam Pemilu Anggota DPR.31
Terkait Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, telah dilakukan
permohonan Pengujian Undang-Undang oleh Effendi Gazali pada tanggal 10
januari 2013 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang pada
intinya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa model pelaksanaan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
untuk pemilihan umum seterusnya dilakukan secara serentak.32
Menurut Mahkamah Konstitusi penyelenggaraan Pemilihan Presiden yang
dilakukan setelah Pemilu Legislatif melemahkan sistem presidensial yang hendak
dibangun oleh UUD NRI 1945. Negosiasi dan tawar-menawar (bargaining)
politik yang dilakukan dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan
dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintah, mempengaruhi jalannya roda
pemerintahan di kemudian hari.33
Dengan dibatalkannya Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, maka mulai tahun
2019 praktik penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden diselenggarakan secara
serentak dengan Pemilihan Umum Legislatif.
31 Ibid, hlm. 70-72 32 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, h. 88.
33 Ahmad Bustomi Kamil, “Relevansi….., hlm. 6
Pemilu serentak antara Presiden dan legislatif tidak hanya tercapainya
efisiensi anggaran dan waktu, tetapi juga membawa perubahan sistem
ketatanegaraan34, yakni:
1. Meningkatkan efektifitas pemerintahan karena diasumsikan pemerintahan
yang dihasilkan melalui keserentakan pemilu presiden dan pemilu legislatif
lebih stabil sebagai akibat adanya oleh coattail effect3yakni keterpilihan calon
presiden yang dari parpol atau koalisi parpol tertentu akan mempengaruhi
keterpilihan anggota legislatif dari parpol atau koalisi parpol tertentu pula. Itu
artinya, penyelenggaraan pemilu serentak berpotensi memperbesar dukungan
politik DPR terhadap Presiden terpilih.
2. Pembentukan koalisi politik yang mau tidak mau harus dilakukan sebelum
pemilu legislatif diharapkan dapat memaksa parpol mengubah orientasi koalisi
dari yang bersifat jangka pendek dan cenderung oportunistik menjadi koalisi
berbasis kesamaan ideologi, visi, dan platform politik. Efek berikutnya dari
koalisi berbasis kesamaan ideologi ini adalah tegaknya disiplin parpol,
sehingga orientasi para politisi parpol pun diharapkan bisa berubah dari
perburuan kekuasaan (office-seeking) menjadi perjuangan mewujudkan
kebijakan (policy-seeking).
Dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden yang dilaksanakan setelah
Pemilu Legislatif ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi
keterpilihannya sebagai Presiden dan untuk mendapatdukungan di DPR dalam
34 Electoral Research Institute, “Pemilu Nasional Serentak 2019”, artikel di akses pada
tanggal 18 Maret 2019
penyelenggaraan pemerintahan, calon Presiden harus melakukan negosiasi dan
tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang
berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.
Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat
taktis dan sesaat. Hal tersebut membuat Presiden sangat tergantung pada partai-
partai politik yang menurut Mahkamah Konstitusi dapat mereduksi posisi
Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem
pemerintahan presidensial. Dengan demikian, menurut Mahkamah Konstitusi,
penyelenggaraan Pemilu Presiden harus menghindari terjadinya negosiasi dan
tawar menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan
sesaat.35
Menurut Mahkamah Konstitusi, pelaksanaan Pemilu Presiden setelah
Pemilu Legislatif tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak
dibangun berdasarkan konstitusi. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik
sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan
penyederhanaan partai politik secara alamiah.36
Inilah yang menjadi titik tolak kenapa pemilu serentak diproyeksikan
dapat memperkuat sistem presidensial. Karena dari pemilu serentak diharapkan
koalisi yang dibangunberbasis kesamaan ideologi, visi, dan platform politik.
35 Ahmad Bustomi Kamil, “Relevansi…., hlm. 47 36 Ibid, hlm. 47
Namun dalam rangka memperkuat sistem presidensial tidak dapat hanya
mengandalkan pemilu serentak.
Selanjutnya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum. UU tersebut merupakan regulasi terbaru terkait kepemiluan
yang disahkan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik
Indonesia pada dini hari tanggal 21 Juli 2017. Intrumen hukum yang sempat
menuai polemik terkait Presidential Threshold (ambang batas bagi partai politik
atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon presiden atau wakil
presiden) ini memuat 573 pasal, penjelasan, 4 lampiran, dan terfregmen dalam
beberapa buku; Buku kesatu tentang Ketentuan Umum, Buku kedua tentang
Penyelenggara Pemilu, Buku ketiga tentang Pelaksanaan Pemilu, Buku keempat
tentang Pelanggaran Pemilu, Sengketa Proses Pemilu, dan Perselisihan Hasil
Pemilu, serta Buku Kelima tantang Tindak Pidana Pemilu, dan Buku keenam
Penutup. Undang-undang ini diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Yosanna H. Laoly pada tanggal 16 Agustus 2017.
Perihal ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk
mengajukan calon presiden atau wakil presiden, undang-undang ini menegaskan
bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan
kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR RI atau
memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada
Pemilu anggota DPR sebelumnya. Partai politik atau gabungan partai politik
sebagaimana dimaksud hanya dapat mencalonkan 1 (satu) pasangan calon sesuai
dengan mekanisme internal partai politik dan/atau musyawarah gabungan partai
politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka. Hal ini diatur secara
gamblang dalam Pasal 221 – Pasal 223 UU No.7 Tahun 2017 yang berbunyi:
Pasal 221:
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Pasal 222:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 2O% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (Dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Pasal 223:
(1) Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan
secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai
Politik bersangkutan.
(2) Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan Partai Politik lain
untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon.
(3) Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) hanya dapat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon sesuai
dengan mekanisme internal Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan
Partai Politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka.
(4) Calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang telah diusulkan
dalam satu pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan lagi oleh
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik lainnya.37
B. Sistem Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Di Indonesia
Istilah Presiden sering diartikan sebagai pemimpin dalam suatu negara
yang berbentuk Republik. Berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945, Indonesia merupakan Negara kesatuan yang berbentuk Republik.
Georg Jellinec mengklasifikasi suatu pemerintahan, bahwa apabila kehendak
negara terjelma dari kehendak rakyat, maka dapat dikategorikan sebagai
pemerintahan Republik. Sebagai negara Republik maka kekuasaan pemerintahan
di Indonesia dipimpin oleh seorang Presiden, yang diatur dalam UUD 1945 Pasal
4 Ayat (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar.38
Pada prinsipnya dalam hukum tata negara, Presiden merupakan suatu
jabatan yang menunjukan tugas dan fungsi serta kewenangannya. Longeman
menganggap pengertian inti dari hukum tata Negara adalah Jabatan. Pengisian
jabatan negara merupakan salah satu unsur penting dalam hukum tata negara,
sebab tanpa diisi oleh pejabat maka fungsi-fungsi jabatan negara tidak dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya.39
Sebagai negara hukum, segala tindakan penyelenggaraan negara termasuk
pengisian suatu jabatan negara harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum.
37 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. 38 Fuqoha, ” Pengisian Jabatan Presiden Dan Presidential Threshold Dalam Demokrasi
Konstitusional Di Indonesia”, Jurnal Ajudikasi Vol 1 No 2 Desember 2017, hlm. 27 39 Ibid
Dalam UUD 1945 telah ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) negara Indonesia
adalah negara hukum. Mekanisme pengisian jabatan Presiden dapat dilakukan
dengan banyak cara, antara lain pengangkatan, pemilihan, pewarisan yang
sifatnya turun temurun, penggiliran atau rotasi pemangkuan karena jabatan (ex
officio), dan lain sebagainya.40
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pengisian jabatan Presiden telah
diatur dalam Konstitusi atau UUD 1945. Sejak negara Indonesia merdeka, jabatan
Presiden Indonesia telah diisi oleh beberapa Presiden, yaitu Soekarno, Soeharto,
B.J. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang
Yudhoyono dan Joko Widodo.
Terdapat beberapa perbedaan sistem atau mekanisme pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden di Indonesia di mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru
hingga Reformasi.
1. Orde Lama
Dalam perjalanan sejarah, pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden
di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan cara serta syarat pengusungan
dan pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dimulai sejak proklamasi,
Undang Undang Dasar 1945 mengkehendaki bahwa pada saat itu MPR ditugaskan
memilih Presiden dan Wakil Presiden. Namun, sejarah mencatat hingga
diberlakukannya konstitusi RIS UUDS 1950 MPR tidak pernah terbentuk.
40 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: FH UII Pres), Cet. Ke. 2., 2003,
hlm. 75. dalam Fuqoha, ” Pengisian Jabatan Presiden Dan Presidential Threshold Dalam Demokrasi Konstitusional Di Indonesia”…
Sehingga pengisian jabatan untuk pertama kali dipilih oleh PPKI yang
diasumsikan sebagai MPR secara aklamasi. Dalam masa berlakunya konstitusi
UUDS 1950 pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kembali dilakukan secara
aklamasi oleh negara-negara anggota RIS. Keadaan ini terus berlangsung hingga
pemilu 1997 yang mengamanatkan bahwa MPR memilih Presiden dan Wakil
Presiden melalui pemilu tetapi dalam pelaksanaanya hingga tahun 1998 kembali
Soeharto dipilih sebagai presiden dan wakil presiden tanpa adanya pemungutan
suara.
Mekanisme pengisian jabatan Presiden sejak awal kemerdekaan melalui
cara yang berbeda-beda, Soekarno dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang didasarkan pada Aturan Peralihan Pasal III UUD 1945
yang berbunyi untuk pertama kalinya Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh
PPKI.
Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik
Indonesia (NRI) Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Presiden sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan tunduk dan bertanggungjawab kepada
MPR. Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa keberadaan lembaga MPR yang
demikian dalam sistem kelembagaan negara Republik Indonesia merupakan
lembaga negara yang unik. Keunikannya ialah bahwa lembaga semacam MPR
sulit dicari bandingannya di negara-negara manapun.41
Perihal pemilihan dan pengangkatan presiden dan wakil presiden, sistem
hukum di Indonesia baik dalam konstitusi ataupun instrument hukum lainnya
belum ada regulasi yang mengatur secara gamblang mengenai hal tersebut
sebelum tahun 1973. Maka sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, MPR
membuat sebuah ketetapan untuk mengisi kekosongan norma hukum yang
mengatur tentang mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. MPR
mengatur sendiri prosedur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun
1973 sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 tentang
Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.42
TAP MPR ini adalah satu-satunya ketetapan sepanjang pemerintahan
Presiden Soeharto yang mengatur tata cara pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden. Ketetapan ini merupakan produk hukum pertama MPR sejak tahun 1960
yang mengatur tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden. Adapun yang
mendasari lahirnya ketetapan ini antara lain:
a. Bahwa menjadi tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden;
b. Bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia belum pernah ada peraturan
yang mengatur tentang cara-cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia;
41 Philipus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara, (Surabaya: Bina
Ilmu) IX dalam Abdurrhaman, “Presidential Threshold dalam Pemilu di Indonesia, Perspektif Imam Al-Mawardy”, Tesis Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, (2018) , hlm. 58
42 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
c. Bahwa oleh karena itu perlu adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat hasil pemilihan umum 3 Juli 1971 yang mengatur tata cara itu demi
penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis
konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar NRI Tahun
1945.43
Mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden dalam TAP MPR
tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, calon diusulkan oleh Fraksi secara tertulis disampaikan kepada
pimpinan Majelis dan pimpinan Fraksi yang mencalonkan dengan persetujuan dari
calon yang bersangkutan, hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat (1).
Kedua, apabila terdapat calon lebih dari satu orang maka dilakukan pemungutan
suara yang dilakukan secara rahasia. Ketiga, apabila calon Presiden hanya terdiri
dari satu orang, maka calon tersebut disahkan oleh MPR menjadi Presiden.44
TAP MPR ini mengatur bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dilakukan secara terpisah; pemilihan presiden dilaksanakan terlebih dahulu baru
setelah itu dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden, ketentuan ini diatur dalam
Pasal 22 Ketetapan ini yang berbunyi:
Calon Wakil Presiden diusulkan oleh Fraksi-Fraksi secara tertulis dan disampaikan kepada pimpinan Majelis dengan persetujuan calon yang bersangkutan untuk dicalonkan dan pernyataan tertulis tentang kesanggupan bekerjasama dengan Presiden.
43 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia. 44 Pasal 8 dan Pasal 9 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Agus Surono berpendapat bahwa ketentuan Pasal 22 dalam TAP MPR
Nomor II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh Wakil
Presiden yang mengakibatkan MPR berada dalam posisi subordinate yaitu
membuka peluang atau memberi posisi bagi Presiden untuk ikut andi dalam
menentukan siapa yang bisa dicalonkan menjadi wakilnya. Hal ini didasarkan
pada Pasal 2 ayat (1) yang secara tegas menyatakan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden harus dapat bekerjasama. Ketentuan ini pun dipertegas melalui Pasal 23
ayat (2) yang menyatakan, “Untuk memenuhi ketentuan pada Pasal 2 ayat (1)
Ketetapan ini, bilamana perlu dinyatakan secara tertulis oleh Presiden.”
Berdasarkan dua ketentuan ini tentu presiden memiliki hak untuk
menentukan kriteria seseorang yang akan dicalonkan oleh MPR untuk menjadi
wakil presiden. Bila diinterprestasikan lebih luas, presiden dapat menentukan
seseorang untuk dicalonkan oleh MPR menjadi wakil presiden, maka menyikapi
hal ini tentu saja MPR tidak memiliki pilihan lain kecuali harus memperhatikan
dengan sungguhsungguh calon yang diajukan oleh presiden.45
Harun Al-rasyid mepunyai pendapat yang berbeda dengan Agus Surono, ia
mengemukakan bahwa; presiden dipilih bukan diangkat oleh satu badan negara,
yaitu MPR. Pemilihan presiden dilakukan secara tidak langsung oleh rakyat akan
tetapi pada bagian lain pemilihan presiden dilakukan dengan cara pemungutan
45 Agus Surono, Hubungan Presiden dan Waki,. ( Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Al- Azhar Indonesia. 2008), hlm. 128-129.
suara bukan dengan musyawarah mufakat, karena yang dipilih sebagai presiden
adalah calon yang memperoleh suara terbanyak di Parlemen.46
2. Orde Baru
Pasca Pemerintahan Presiden Soekarno, MPRS menetapkan Soeharto
sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967 dan tanggal 27 Maret 1968 Soeharto
ditetapkan menjadi Presiden sesuai dengan hasil Sidang Umum MPRS (TAP
MPRS No. XLIV/MPRS/1968). Selama 32 tahun Presiden Soeharto memimpin
bangsa Indonesia, telah terjadi enam kali penyelenggaraan pemilu untuk memilih
anggota DPR, DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II. Pada era ini Presiden diplih
oleh MPR.47
3. Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah
gelombang reformasi yang di pelopori mahasiswa. Golongan Karya sebagai
pemegang mayoritas tunggalpun tidak mampu untuk menahannya. Dengan
turunnya Presiden Soeharto dari kursi pemerintahan maka Wakil Presiden B.J.
Habibie menggantikan posisi Soeharto sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan. Presiden B.J. Habibie membentuk pemerintahan reformasi dan
46 Harun Al-Rasid, “Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden dalam Hukum Positif
Indonesia”, (Jakarta: YLBHI, 1997), hlm. 31-33. 47 Afnizal, di sampaikan pada Diskusi Publik di UMBARI pada 26 Maret 2019
menyatakan untuk mempercepat pemilihan umum yang seharusnya di laksanakan
tahun 2003 di percepat menjadi tahun 1999.48
Presiden Ketiga B.J Habibie dengan jabatan sebelumnya adalah wakil
Presiden sesuai ketentuan UUD 1945 dalam Pasal 8 Ayat (1) Jika Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil Presiden sampai habis masa
jabatannya.49
Presiden Abdurahman Wahid dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) sesuai ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen Pasal 6 Ayat (2)
Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh majelis permusyawaratan rakyat dengan
suara yang terbanyak. Presiden selanjutnya Megawati, menjadi Presiden sesuai
ketentuan Pasal 8 Ayat (1) sepertinya halnya B.J habibie yang menggantikan
Presiden sebelumnya.50
Perubahan terhadap UUD 1945 terjadi setelah berkumandangnya tuntutan
reformasi yang diantaranya berkenaan dengan reformasi konstitusi (Constitusional
Reform). Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 telah
dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD
1945 adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih
demokratis. Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan
negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol,
48Fiska Friyanti, “Pelaksanaan Pemilihan Umum Dalam Sejarah Nasional Indonesia”, Skripsi Universitas Negeri Semarang, (2005), hlm. 81
49 Fuqoha, ” Pengisian….., hlm. 76 50 Sulardi, “Dinamika Pengisian Jabatan Presiden dan Pemberhentian Presiden dan Wakil
Presiden di Indonesia”, Jurnal UNISIA Vol.33 No.74, 2011 hlm. 124.
mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak
asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari
sebuah negara demokrasi dan negara hukum.51
Salah satu konten yang menjadi agenda perubahan dalam UUD 1945
adalah mengenai sistem pengisian jabatan presiden dan wakil presiden di
Indonesia. Hal ini dirumuskan dalam perubahan ketiga UUD 1945 yang
diputuskan pada Rapat Paripurna MPR-RI ke-7, tanggal 9 November 2001 Sidang
Tahunan MPR-RI. Mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden diatur
secara lebih rinci daripada sebelumnya dalam Pasal 6A UUD 1945 yang
dijabarkan ke dalam lima ayat berikut :
(1). Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat.
(2). Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih
dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.
51 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta: KENCANA, 2010), hlm. 1.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan
kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil
Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut
diatur dalam undang-undang.52
Disahkannya Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 ini secara otomatis mencabut
kewenangan MPR-RI untuk memilih presiden dan wakil presiden dan beralih
pada ketentuan baru bahwa yang berwenang untuk memilih presiden dan wakil
presiden adalah hak rakyat Indonesia, oleh karena itu keterlibatan rakyat dan
penguatan kedaulatan rakyat semakin diakui karena rakyat bisa secara langsung
memilih pemimpin negaranya sendiri. Keterlibatan partai politik untuk
mengajukan calon presiden dan wakil presiden seperti yang diatur dalam Pasal 6A
ayat (2) juga menjadi implikasi positif terhadap kedaulatan partai politik yang
secara konstitusional diakui dalam sistem pemilihan kepala negara di Indonesia.
Secara normatif, perkembangan sistem demokrasi di Indonesia sangat dipengaruhi
oleh perubahan UUD NRI 1945 yang berkaitan dengan sistem pengisian jabatan
presiden dan wakil presiden ini, dimana rakyat diberikan peran yang besar dalam
menentukan kebijakan-kebijakan nasional.
C. Pola Presidential Threshold Dari Masa Ke Masa
52 Pasal 6A Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945
1. Pemilu 2004
Pemilihan umum 2004 merupakan pemilihan umum ke sembilan yang
dilaksanakan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Pemilihan umum 2004
merupakan pemilihan umum yang demokratis. Adapun dasar dilaksanakannya
pemilihan umum 2004 sendiri adalah UU RI No. 12 Tahun 2003 tentang
pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD serta UU RI No. 23 Tahun 2003
tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden.53
Aturan Presidential Threshold dalam sistem pemilihan umum presiden
dan wakil presiden di Indonesia mulai diberlakukan pertama kali pada pemilu
tahun 2004.54 Pemilu tahun 2004 dilaksanakan berdasarkan landasan UU No. 23
Tahun 2003 Pasal 5 ayat (4) UU tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
UU tresebut memberikan ketentuan bahwa pasangan calon presiden dan wakil
presiden dapat diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan
perolehan suara parlemen (DPR) minimal 15 % atau 20 % dari suara sah nasional.
Pemilu 2004 dilaksanakan dalam 2 tahapan. Tahap pertama adalah
pemilihan anggota legislatif kemudian tahapan kedua adalah pemilihan presiden
dan wakil presiden. Suara yang diperoleh pada pileg dijadikan sebagai acuan
untuk mengusung capres dan cawapres yang akan bertarung pada pilpres 2004.
Adapun paslon yang mengikuti kontestasi pilpres tahun 2004 adalah sebagai
berikut:
1. Wiranto – Sholahudin Wahid (diusung oleh gabungan partai politik yang
terdiri dari partai Golkar dan Parta Kebangkitan Bangsa yang memiliki
53 Fiska Friyanti, “Pelaksanaan Pemilihan Umum Dalam Sejarah Nasional Indonesia”, Skripsi Universitas Negeri Semarang, (2005), hlm. 92
54Abdurrhaman, “Presidential…., hlm 64
akumulasi 32,72% kursi di DPR serta memperoleh 32,15% suara sah secara
nasional dalam Pemilu Anggota DPR)
2. Megawati Soekarnoputri–Hasyim Muzadi (diusung oleh gabungan partai
politik yang terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan PDS yang
memiliki akumulasi 22,18% kursi di DPR serta memperoleh 20,66% suara sah
secara nasional dalam Pemilu Anggota DPR)
3. Amien Rais–Siswono Yudhohusodo (diusung oleh gabungan partai politik
yang terdiri dari oleh Partai Amanat Nasional, PBR, PKS, PNBK, dan PSI
yang memiliki 12,19% kursi di DPR serta memperoleh 13,78% suara sah
secara nasional dalam Pemilu Anggota DPR)
4. Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla (diusung oleh gabungan partai
politik yang terdiri dari Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia yang memiliki akumulasi 12,18% kursi di
DPR serta memperoleh 11,33% suara sah secara nasional dalam Pemilu
Anggota DPR)
5. Hamzah Haz–Agum Gumelar (dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan
yang memiliki 10,55% kursi di DPR serta memperoleh 8,15% suara sah secara
nasional pada Pemilu DPR sebelumnya).55
Pelaksanaan pilpres tahun 2004 dilaksanakan dalam 2 putaran.. Pada
putaran pertama tidak menghasilkan satupun calon yang memperoleh suara diatas
50 %. Sehingga diadakan pilpres putaran kedua yang akhirnya dimenangkan oleh
Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla atas Megawati Soekarnoputri-Hasyim
55 Abdurrhaman, “Presidential…., hlm. 63
Muzadi dengan persentase perolehan suara sebanyak 60,62% dari jumlah
150.644.184 orang pemilih terdaftar pada pemilihan umum presiden dan wakil
presiden putaran kedua yang dilaksanakan pada tanggal 20 September 2004.56
2. Pemilu 2009
Norma konstitusi yang terdapat dalam Pasal 6A dijabarkan melalui
ketentuan Pasal 9 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden menggantiakn UU sebelumnya yang mengatur
tentang Pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu UU No. 23 Tahun
2003 untuk pelaksanaan Pemilu Tahun 2009. Ketentuan pasal 9 UU No. 42 Tahun
2008 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan/atau mendapatkan setidaknya 25%
suara sah nasional dalam pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia yang dilaksanakan sebelum Pilpres.
Pada pilpres tahun 2009 peserta pemilihan presiden dan wakil presiden
diikuti oleh 3 (tiga) pasangan calon, yaitu:
1. Megawati Soekarnoputri – Prabowo Subianto (dicalonkan oleh gabungan
partai politik yang terdiri dari PDI-P dan Partai Gerindra yang memiliki
akumulasi 21,6% kursi di DPR serta memperoleh 18,49% suara sah secara
nasional dalam Pemilu Anggota DPR)
56 Ibid, hlm. 64
2. Susilo Bambnag Yudhoyono – Boediono (dicalonkan oleh gabungan partai
politik yang terdiri dari Partai Demokrat, PPP, PKB, PKS, dan PAN yang
memiliki akumulasi 56,08% kursi di DPR serta memperoleh 45,00% suara sah
secara nasional dalam Pemilu Anggota DPR)
3. Jusuf Kall - Wiranto (dicalonkan oleh gabungan partai politik yang terdiri dari
Partai Golkar dan Partai Hanura yang memiliki akumulasi 22,32% kursi di
DPR serta memperoleh 18,22% suara sah secara nasional dalam Pemilu
Anggota DPR)
Pada pilpres 2009 Pasangan SBY – Boediono keluar sebagai pemenang
dengan hanya melalui satu putaran pemilu saja. Regulasi pemilihan presiden dan
wakil presiden dengan pemberlakuan ambang batas pencalonan (Presidential
Threshold) ini diberlakukan hingga pemilu presiden dan wakil presiden tahun
2014.
3. Pemilu 2014
Regulasi tentang pemilihan presiden dan wakil presiden pada pilpres 2014
tak ada perubahan dari pemilu sebelumnya, yaitu masih menggunakan aturan
Presidential Threshold yang sama dengan ketentuan pasangan calon presiden atau
wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan
perolehan suara minimal 20% suara parlemen atau DPR dan 25 % suara sah
nasional.
Pada pilpres tahun 2014 peserta pemilihan presiden dan wakil presiden
diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon, yaitu:
1. Prabowo Subianto – Hatta Rajasa (didukung oleh beberapa partai yang
tergabung dalam Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Partai Gerindra, PPP,
PKS, PAN, dan Partai Golkar yang memiliki akumulasi 47,47% kursi di DPR)
2. Joko Widodo – Jusuf Kalla (didukung oleh beberapa partai yang tergabung
dalam Koalisi Indonesia Hebat yang terdiri dari ang terdiri dari PDI-P, PKB,
Nasdem dan Partai Hanura yang memiliki akumulasi 39,96% kursi di DPR )
Pilpres 2014 dimenangkan oleh pasangan Jokowi – JK dalam satu kali
putaran saja.
Berikut ini adalah Tabel pola Presidential Threshold dari masa ke masa.
No
Tahun
Dasar Hukum
Presidential Threshold
Keterangan Suara DPR Suara Sah
Nasional
1 2004 UU No. 23 Tahun
2003 Tentang
Pemilihan Umum
Presiden dan
Wakil Presiden
Pasal 5 Ayat 4
15 % 20 % Pemilu
dilaksanakan
dengan dua
tahap
2 2009 UU NO. 42
Tahun 2008
Tentang
Pemilihan Umum
20 % 25 % Pemilu
dilakasanakan
dengan dua
tahap
Presiden dan
Wakil Presiden
Pasal 9
3 2014 UU No. 42 Tahun
2008 Tentang
Pemilihan Umum
Prsiden dan Wakil
Presiden Pasal 9
20 % 25 % Pemilu
dilaksanakan
dnegan dua
tahap
4 2019 UU No. 7 tahun
2017 Tentang
Pemilihan Umum
20 % 25 % Pemilu
dilakasanakan
secara
serentak
Tabel diatas menjelaskan dasar hukum dan jumlah suara Presidential
Threshold dari masa ke masa. Pemilihan Presiden dan wakil Presiden tahun 2004
menerapkan angka PresidentialThreshold 15 % suara DPR atau 20 % suara sah
secara nasional yang diperoleh partai politik atau gabuangan partai politik dalam
pemilihan umum DPR. Pemilihan umum prsiden dan wakil presiden setelah tahun
2004 sampai degan tahun 2019 menggunakan jumlah Presidential Threshold yang
sama yaitu 20% suara DPR atau 25 % suara sah nasional yang diperoleh partai
politik atau gabungan partai politik dalam pemilu DPR,57 Namun pada Pilpres
2019 dilaksanakan secara serentak dengan Pileg, yaitu pada 17 April 2019.
57 Ayon Diniyanto, “Mengukur…., hlm. 86-87
Pelaksanaan secara serentak tersebut yang mebedakan dengan pemilu-pemilu
sebelumnya.
BAB IV
ANALISIS PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM UNDANG-UNDANG NO 7 TAHUN 2017 DAN RELEVANSINYA TERHADAP PEMILIHAN
UMUM TAHUN 2019
A. Dinamika Politik Yang Berkembang Pasca Berlakunya Aturan Tentang
Presidential Threshold
Konsekuensi atas di sahkannya UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu,
partai politik dipastikan harus berkoalisi untuk mengusung calon presiden dan
wakil presiden pada pilpres 2019. Tidak ada satupun partai yang dapat mengusung
capres maupun cawapres sendirian. Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan
menolak uji materi pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 yang mengatur mengenai
ambang batas pencalonan presiden atau wakil presiden. Mahkamah Konstitusi
menilai UU tersebut tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Artinya
parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25
persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres
pada pilpres 2019. Karena pemilu legislatif dan pilpres dilaksanakan secara
serentak ambang batas yang digunakan adalah hasil pemilu legislatif 2014 lalu.58
Komposisi perhelatan akbar pemilihan umum presiden 2019 tidak jauh
berbeda dengan pemilu presiden tahun 2014 yaitu pertarungan sengit antara kubu
Jokowi melawan kubu Prabowo. Bedanya kubu Jokowi hanya didukung lima
partai, sedang kubu Prabowo didukung oleh enam partai pada pemilu 2014.
Kelima partai pendukung Jokowi itu adalah Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), Nasional Demokrat (NASDEM), Partai Kebangkitan Bangsa
58 www.kompas.com Diakses pada 10 Februari 2019
(PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKPI), atau lebih dikenal dengan sebutan Koalisi Indonesia Hebat
(KIH). Sedangkan kubu Prabowo didukung enam partai politik yaitu Gerindra,
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang, dan Partai Golongan Karya (Golkar),
atau dikenal dengan sebutan Koalisi Merah Putih (KMP). Sedang Partai Demokrat
yang dinahkodai mantan Presiden SBY menjadi partai penyeimbang.59
Namun, perubahan koalisi terjadi di ajang perhelatan Pilpres 2019.
Dukungan terhadap Jokowi atau paslon 01 lebih besar daripada Prabowo atau
paslon 02. Kubu Jokowi yang sekarang disebut dengan Koalisi Indonesia Kerja
didukung oleh 9 Partai dengan penambahan dari partai Golkar dan PPP yang
menyebrang dari Kubu Prabowo, serta tambahan baru dari partai Perindo (Partai
Persatuan Indonesia) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), walaupun akhirnya
Partai PKPI tidak lolos verifikasi KPU. Kubu Prabowo hanya mendapat dukungan
minoritas 4 partai politik yaitu Gerindra, PAN, PKS dan tambahan baru partai
Demokrat. Sedang Partai PBB tidak lolos verifikasi dan menyatakan netral.60
Pemilihan Umum 2019 hanya dapat mengeluarkan dua pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden, sama seperti pada pemilu 2014. Hal ini
disebabkan adanya aturan dalam pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
yang berkaitan dengan Presidential Threshold 20% yang didasarkan pada hasil
pemilu DPR lima tahun sebelumnya yaitu pemilu 2014. Walaupun sebelumnya
59 Nur Rohim Yunus, “Coattail Effect Pada Ajang Pemilihan Umum Presiden 2019”,
Artikel UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 2 No. 8e, Agustus (2018), hlm. 79 60 Ibid, hlm. 79
sempat diajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi.61 Namun, uji materil
tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Perihal koalisi partai pengusung calon
Presiden dan wakil Presiden diatur dalam norma Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4) UUD NRI 1945.62
Suhu politik di Indonesia menjelang pilpres telah diwarnai oleh beberapa
fenomena-fenomena bernuansa politik. Dimulai dengan gerakan tagar
#2019GantiPresiden yang di motori oleh Mardani Ali Sera (Politikus PKS) di
media sosial merupakan salah satu bentuk kampanye yang booming di
perbincangkan oleh warganet.
Media sosial saat ini memiliki peranan yang penting bagi berbagai aspek
kehidupan sosial masyarakat modern. Hal tersebut dapat dilihat dimana
penggunaan media sosial sebagai alat untuk mempercepat proses perubahan sosial
di negara-negara berkembang dan dimanfaatkan juga sebagai alat untuk
melakukan kampanye politik, propaganda, dan advertensi. Pengaruh kemajuan
teknologi dan informasi terhadap politik, dapat dilihat melalui dua aspek, yaitu
komunikasi politik dan sosialisasi politik. Media menjadi agen penting
komunikasi dan sosialisasi politik.63
61 Rajab, Achmadudin. “Batas Pencalonan Presiden Dalam UU No. 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum,” dalam Jurnal RechtsVinding, Media Pembinaan Hukum Nasional, (2017), hlm. 31
62 Ahmad Farhan Subhi, "Pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Sebagai Peserta Pemilu Menurut Undang-Undang Pilpres", Jurnal Cita Hukum, Vol. 3 No. 2 (2015), hlm. 23
63 Sherly Nelsa Fitri, “Pro Kontra Gerakan Tagar #2019GantiPresiden Sebagai Sarana Kampanye dalam Pemilu”, disampaikan pada Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, (2018)
Kekuatan atau effect yang bisa ditimbulkan oleh media sosial ini tidak bisa
dianggap remeh. Pada 2011, Mesir sebuah negara yang demikian otoriter, kokoh
dan angkuh seperti pemerintahan Hosni Mubarak pun takluk oleh media sosial
dengan tiga tagar yang mampu memobilisasi rakyat mesir yaitu: #jan25, #Cairo,
#suez. Demikian juga dengan adanya Gerakan bertagar #2019GantiPresiden di
media sosial Indonesia banyak masyarakat Indonesia yang ikut serta
menggunakan tagar tersebut di media sosial bahkan sejumlah masyarakat sudah
membuat deklarasi untuk Gerakan bertagar #2019GantiPresiden di berbagai kota.
Tagar #2019GantiPresiden sudah tersebar melalui pesan, email, media sosial,
meme, spanduk, bendera, baju dan simbol lainnya. Sebagian besar menilai bahwa
Gerakan bertagar #2019GantiPresiden merupakan suatu kampanye hitam (black
campaign) dan sebagian lagi menilai bahwa Gerakan bertagar
#2019GantiPresiden merupakan suatu hal yang wajar digunakan untuk
menggiring masyarakat agar berminat untuk memberikan hak suaru pada Pilpres
2019 nantinya.64
Sejak munculnya tagar atau tagline #2019GantiPresiden pada awal April
2018 lalu menjadi trending di jagad media sosial dan menjadi topik hangat bagi
netizen dan masyarakat. Menurut, pengamat politik bahwa perang isu untuk
menunjukkan kelemahan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) merupakan hal
yang lumrah menjelang tahun politik Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Pengamat
Politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit mengatakan:
64 Ibid
“Hal seperti ini sangat wajar di tengah genderang perang merebut opini publik ditengah kontestasi Pilpres setahun lagi. Apalagi Pak Prabowo Subianto (Ketum Partai Gerindra) pada 11 April 2018 sudah ditetapkan sebagai calon presiden dalam Rakernas (Partai Gerindra), jadi segala macam tagline politis di media sosial sudah menjadi bagian dari strategi pemenangan Pemilu Presiden 2019."
Ia menyebutkan pihak oposisi sengaja mengangkat sisi kelemahan dari
pemerintahan Jokowi yang masih dinilai belum cukup baik dan tidak populer
untuk menggiring opini publik. Masyarakat tidak perlu kaget lagi jika ada wacana
kontroversial mengangkat kelemahan pemerintahan saat ini. Sejak pernyataan dari
sumber fiksi bahwa 2030 Indonesia bubar, menandakan sudah ditabuhnya
genderang perang Pemilu Presiden 2019 yang sangat sengit, jelasnya. Arbi
berpendapat bahwa masyarakat perlu obyektif menilai segala wacana yang
dilempar di media sosial apakah benar sesuai fakta di lapangan. Ia juga meminta
aparat tegas bertindak mengontrol hoax (kabar bohong) yang sengaja digulirkan
untuk menggiring opini publik. Perlu diwaspadai juga masuknya kaum radikal
mengambil kesempatan dalam permainan isu jelang Pilpres 2019 ini.65 Direktur
Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, menyebutkan datangnya tagar
atau tagline #2019GantiPresiden 2019 merupakan aspirasi yang didengungkan
pihak-pihak yang tidak puas dengan pemerintahan Jokowi. Qodri mengatakan
bahwa jika diruntut sumbernya tagar tersebut, datang dari yang anti dengan
Jokowi. Misalnya dari Mardani Alie Sera, beliau dari PKS yang notabene
mendukung Prabowo Subianto (oposisi). Meski demikian selama mendasarkan
pada fakta dan pendapat maka wacana tersebut merupakan bagian dari kebebasan
65 Sherly Nelsa Fitri, “Pro Kontra…….,
berpendapat karena menyangkut pemikiran masing-masing personal dan bagian
dari Demokrasi.66
Selain tagline yang menjadi trending topic di sejumlah media sosial, issue
black campaign juga mewarnai perpolitikan Indonesia menjelang pemilu serentak
pada April 2019. Pilpres 2019 menjadi sangat rentan dengan pertarungan yang
menghalalkan segala cara untuk meraih simpatisan masyarakat termasuk black
campaign. Dalam hal ini black campign termasuk hoax, money politics, vote
buying, dan sebagainya yang melanggar norma-norma sosial dan kode etik. Adelia
Fitri mengatakan salah satu fenomena hoax yang terjadi di Indonesia adalah kasus
Ratna Sarumpaet. Ratna Saruempet yang merupakan sebagai ketua tim sukses dari
capres nomor urut 2 yakni Prabowo dan Sandi tersandung kasus hoax. Ratna
mengaku di keroyok oleh sejumlah orang di Bandung. Mendengar pernyataan dan
kondisi Ratna pada saat itu para politisi yang berkoalisi partai Gerindra dan para
pemuka politisi pendukung kubu nomor urut 02 segera mengeluarkan pernyataan
penudingan terhadap kubu nomor urut 01 telah melakukan penganiayaan. Namun
ternyata apa yang dituduhkan oleh kubu 02 kepada 01 tidaklah benar. Ratna
mengaku bahwa beliau tidak dianiaya, tetapi sedang menjalani operasi plastik.
Ratna mengakui kesalahannya melalui media dengan jumpa pers. Kasus hoax
yang dilakukan Ratna Sarumpaet yang menyeret para tokoh politisi telah
mencerminkan adanya black campaign yang dituduhkan terlalu cepat untuk
menjatuhkan lawan politik meskipun belum ditemukan bukti-bukti yang cukup
untuk menuding lawan politik. Kubu 02 terlalu cepat melakukan konfrensi pers
66 Ibid
dan mengutuk pelaku penganiayaan terhadap Ratna karena kontennya menarik
untuk menjatuhkan lawan politik.67
Berkaitan dengan hal tersebut, dinamika kehidupan social dan politik
Indonesia saat ini berada pada era post-truth. Post-truth memberikan pengaruh
yang cukup besar terhadap politik bangsa Indonesia di tahun politik 2019. Momen
pemilu serentak menjadi alasan mengapa post-truth begitu mewarnai momen
tersebut. Sifat-sifat destruktif seperti saling nyinyir, saling fitnah, saling
menghujat dan masih banyak lagi hal yang diniatkan untuk mendekonstruksi
lawan demi meraih keuntungan politik. 68 Politik era pots-truth lebih banyak
ditandai oleh para aktor dan simpatisan politik yang lebih mendahulukan perasaan
dan emosi dibandingkan fakta objektif yang sesungguhnya. Termasuk pendapat
grup afiliasi yang dianggap lebih benar bahkan dianggap “mutlak benar” daripda
pendapat yang diluar kelompoknya. Selanjutnya, rasionalitas dan kebenaran
memudar oleh sensai emosi kepentingan dan afiliasi partai dan golongan. Hal itu
ditunjang oleh informasi yang sangat mudah menyebar di internet dan mudah
dikases oleh pemilik ponsel cerdas disleuruh penjuru Indonesia, bahkan dunia.
Melimpahnya informasi bagaikan pisau bermata dua. Sisi positifnya mampu
mengahdirkan transparansi yang dapat mencegah seseorang atau sesuatu pihak
berbuat semena-mena. Informasi positif juga dapat berguna sebagai media edukasi
dan silaturrahmi. Namun, disisi lain dengan mudahnya informasi yang dapat
diakses berpotensi menimbulkan masalah besar, yaitu hilangnya filter untuk
67 Adelia Fitri, “Dinamika Dan Tantangan Jelang Pemilu Presiden Tahun 2019”, Jurnal
Ilmu Pemerintahan, Vol. 3 No.01 Agustus, (2018), hlm. 124 68 www.kompas.com, Di akses pada tanggal 27 April 2019.
meverifikasi kebenaran informasi yang dipublikasikan. Sehingga fakta dan fake
sulit dibedakan karena keduanya sama sam bisa direkayasa. 69
Peta politik dari perseteruan dua kubu antara kubu Jokowi dan kubu
Prabowo telah dimulai sejak pilpres 2014 lalu. Di perhelatan pilpres 2014 Jokowi
memenangkan pilpres didampingi Jusuf Kalla yang memiliki basis massa yang
besar, baik dari umat Islam sendiri maupun dari warga Indonesia timur, sedangkan
Prabowo didampingi Hatta Rajasa juga tidak kalah kuat basis massanya. Pada
Pilpres 2019 Jokowi masih memanfaatkan ketokohan Islam calon wakil presiden
dengan menunjuk Kiai Ma’ruf Amin sebagai calonnya. Sedangkan Prabowo
memilih Sandiaga Uno pengusaha muda sebagai calon wakil presiden.
Politik identitas yang digunakan oleh paslon 01 merupakan strategi untuk
meraup suara ummat Islam. Sejak mobilisasi Islamis pada tahun 2016-2017 yang
menjatuhkan Basuki Tjahaja Purnama ke dalam penjara karena kasus penistaan
agama. Kaum islamis semakin berhadapan dalam hal politik nasional sejak Aksi
Bela Islam 212 dan membawa dampak yang signifikan pada Pilkada DKI Jakarta.
Kontestasi Pilkada DKI Jakarta disinyalir banyak pihak sarat dengan mobilisasi
pemilih melalui politik identitas, terutama setelah terjadinya gerakan massa aksi
212. Pilkada DKI memberikan efek trauma dan kekhawatiran jika hal tersebut
terjadi pada Pilpres 2019. Berdasarkan fakta yang terjadi isuue politik identitas
dapat digunakan sebagai upaya untuk memenangkan kontestasi, termasuk pilpres
2019.
69 www.kompas.com diakses pada 27 April 2019
Distribusi mayoritas pendukung 01 dapat diketahui sejak hasil hitung
cepat bergulir. Data mengungkapkan bahwa fondasi geografis dan social
kegamaan dari momen polarisasi politik kontemporer Indonesia. Hasil
perhitungan cepat menunjukkan bahwa paslon 01 mencatat peningkatan suara di
provinsi-provinsi di jantung pulau Jawa yaitu Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa
Timur dan di provinsi “mayoritas atas minoritas” (seperti mayorits Hindu di Bali
dan mayoritas Kristen di Sulawesi Utara). Sedangkan wilayah mayoritas muslim
di luar jawa suara yang diperoleh paslon 01 masih minim.70
Sedangkan pason 02 yang mendapat dukungan dari kalangan ulama
melalui Ijtima’ Ulama di Jakarta merupakan bonus yang didapatkan untuk
memperoleh suara ummat Islam. Basis massa ummat Islam seperti di Jawa Barat
dan beberapa daerah di Sumatera merupakan perolehan suara yang banyak di
dapatkan oleh paslon 02.71
Menurut Pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menilai bahwa kedua
capres telah mengambil keuntungan dari perang politik identitas yang dilancarkan.
Karena issue tersebut terbukti efektif mampu meraup suara.72 Pengamat Intelijen
dan Keamanan Satnislaus Riyanta menilai bahwa penyelenggaraan pemilu 2019
tak lepas dari ancaman yang berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat. Ia
berpandangan bahwa keterbelahan atau polarisasi masyarakat ke dalam du kubu
70 www.matapolitik.com Di akses pada 27 April 2019 71 Ibid 72 www.detik.com Di akses pada 27 April 2019.
pasangan capres dan cawapres sangat berbahaya. Situsi ini diperparah dengan
adanya politik identitas.73
Sealain politik identitas, perolehan suara yang diperoleh oleh kedua paslon
berdampak pada elektabiltas partai politik pengusung pada masing-masing
kandidat. Dengan kata lain partai pengusung akan mendapat imbas suara akibat
Coattail Effect dukungan kepada calon yang dipilih oleh rakyat.
Coattail Effect adalah istilah yang merujuk pada suatu tindakan yang
menimbulkan pengaruh pada tindakan lain (pengaruh ikutan). Dalam terjemahan
bebas diartikan sebagai efek kibasan buntut jas. Calon pemimpin yang diusung
memiliki efek buntut jas terhadap elektabilitas suara pada partai pengusung
nantinya. Karena pemilihan presiden bersamaan dengan pemilihan anggota
legislatif, maka tentunya pilihan rakyat terhadap pasangan capres dan cawapres
tidak jauh dari calon anggota dewan dari partai pengusungnya. Hal ini tentu
berakibat pada sinergitas antara eksekutif terpilih dengan anggota dewan di
parlemen nantinya.74 Dengan demikian, akan tercipta koordinasi pemerintahan
yang baik dan sinergis antara eksekutif dan legislatif karena kesamaan asal partai
keduanya.
Efek ekor jas dapat dimaknai sebagai pengaruh figur dalam meningkatkan
suara partai di pemilu. Figur tersebut berasal dari capres ataupun cawapres yang
diusung.
73 www.kompas.com diakses pada tanggal 27 April 2019 74 Haris, Syamsuddin, dkk., Pemilu Nasional Serentak 2019, (Jakarta: Electoral Research
Institute – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2015), hlm. 20
Di Indonesia, efek ekor jas pernah mengalami kesuksesan besar. Misalnya,
terjadi pada 2004 dan 2009 dengan figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Partai Demokrat yang baru berdiri 2001 tiba-tiba memperoleh suara signifikan
pada Pemilu 2004. Bahkan pada 2009 menjadi pemenang pemilu. Hal tersebut
dikarenakan ketokohan SBY turut mempengaruhi tingkat perolehan Partai
Demokrat di dua pemilu tersebut. Publik memilih Demokrat karena partai tersebut
identik dengan figur SBY yang saat itu merupakan presiden dengan tingkat
elektabilitas dan kepuasan publik yang tinggi. Hal sama terjadi pada Pemilu 2014,
Partai PDIP menikmati efek ekor jas dari figur Joko Widodo (Jokowi). Bahkan,
kini saat elektabilitas dan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi terus
meningkat, tingkat keterpilihan PDIP pun semakin meroket dalam sejumlah hasil
survei terakhir.
Efek ekor jas pada pemilu serentak 2019 sudah di prediksi dan dipikirkan
jauh-jauh hari oleh para partai pengusung. Dengan mendukung Jokowi atau
Prabowo diharapkan partaipartai politik tersebut mendapat insentif elektoral.
Minimal perolehan suara partai tidak menurun dibanding pemilu sebelumnya.
Tidak heran jika di pinggir jalan tol atau perempatan jalan sering dijumpai baliho
yang menunjukkan wajah ketua umum partai disandingkan dengan capres
tertentu. Tak hanya itu, kerja politik mengais efek ekor jas juga terlihat ketika
partai-partai pendukung capres berlomba-lomba menyorongkan cawapres. Dengan
kadernya menjadi cawapres Jokowi atau Prabowo berharap insentif elektoral
mampu didapatkan secara maksimal.
B. Dampak Hukum Aturan Presidential Threshold di Indonesia
Ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 6A ayat
(2) mempunyai perbedaan dengan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilihan Umum. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 6A ayat (2)
tidak menentukan berapa jumlah suara sebagai syarat pencalonan presiden dan
wakil presiden. Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum menentukan secara eksplisit jumlah suara sebagai syarat
pencalonan presiden dan wakil presiden (UUD Pasal 6A ayat 2).75
Penentuan jumlah angka tersebut menurut Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya disebut sebagai Open Legal Policy atau kebijkan hukum terbuka.
Penerapan Presidential Threshold sesungguhnya tidak hanya terjadi untuk Pemilu
tahun 2019 saja. Penerapan Presidential Threshold sudah ada jauh sebelum
pelaksanaan Pemilu tahun 2019. Jika melihat sejarah, maka penerapan
Presidential Threshold sudah ada sejak dilaksanakannya Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung yaitu pada tahun 2004.. Pemilu waktu itu
dilaksanakan dengan dua instrumen hukum yaitu instrumen hukum untuk
pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD serta instrumen hukum untuk pemilhan
presiden dan wakil presiden. Pemilu dengan dilaksanakan melalui dua instrumen
hukum hanya berlaku sampai dengan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD
serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.76
75 Ayon Diniyanto, “Mengukur….., hlm. 85 76 Ibid. hlm. 85
Pemilu tahun 2019 diatur dengan satu instrumen hukum yaitu Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Hal tersebut karena
Pemilu tahun 2019 dilaksanakan secara serentak. Pemilu yang dimaksud
dilaksanakan secara serentak yaitu Pemilu DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan
Wakil Presiden dilaksanakan secara bersama-sama dalam satu waktu.
Penerapan aturan Presidential Threshold dengan pemilu serentak 2019
secara bersamaan telah menimbulkan berbagai dampak hukum dalam pelaksanaan
pemilu serentak pertama di Indonesia. Pesta demokrasi yang digadang-gadang
akan lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya justeru banyak terjadi masalah
dalam proses pelaksanannya. Gagasan menyatukan undang-undang pemilu ke
dalam satu undang-undang telah menjadi wacana sejak pemilu 2004 berakhir.
Setelah hampir satu dekade, terbitlah Putusan Mahkamah Konstitusi No.
14/PUU/-XI/2013 yang menetapkan kebijakan tentang pemilu serentak. Putusan
ini menyatakan bahwa pemisahan penyelenggaraan pileg dan pilpres adalah
inkonstiutusional.
Menurut MK, uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil
sumber daya alam serta sumber daya ekonomi dapat lebih di hemat
pembiayaannya dengan adanya pemilu serentak. MK juga meyakini bahwa pemilu
serentak akan membuat proses pesta demokrasi menjadi lebih bersih dari
kepentingan-kepentingan tertentu terkait lobi-lobi atau negosiasi politik yang
dilakukan oleh partai-partai politik sebelum menentukan capres dan cawapres
yang bakal di usung. 77
Pada pelaksanaan pemilu tahun 2014, pemerintah melalui Kementrian
Keuangan pada tahun 2013 semula menganggarkan Rp 16 Triliun yang tercatat
dalam APBN 2014. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari realisasi anggrana
Pemilu 2009 yang menelan dana sekitar Rp 8,5 Triliun. Harapan bahwa negara
kan lebih hemat dengan adanya pemilu serentak ternyata tidak sesuai dengan
harapan. Pemerintah menganggarkan Rp 24,8 Triliun untuk penyelenggraan
pemilu serentak pada 2019, yang meliputi pilpres dan pileg. Sebelumnya pada
2018, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pemilu sebesar 16 Triliun.
Artinya, pemilu serentak justeru leih banyak menghabiskan biaya.78
Pernyataan MK bahwa denganadanya pemilu serentak dapat menekan
konflik horizontal di masyarakat belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Sengit dan
panasnya pemilu 2019, terutama pilpres 2019 telah menimbulkan fanatisme dan
membelah masyarakat menjadi dua kubu besar pendukung paslon capres dan
cawapres. Bukan hanya dalam proses menuju hari pemilihan, pertentangan dua
kubu yang tidak bisa dipungkiri dapat memantik konflik horizontal yang terus
terasa setelah penyelenggaraan pilpres dan pileg pada 17 April lalu. Kedua pihak
yang sama-sama mengklaim kemenangan berdasarkan hasil Quick Count masing-
masing menjadi salah satu penyebabb belum redanya suasana panas setelah
pemilu.
77 www.tirto.id.com di akses pada tanggal 6 Mei 2019 78 www.tirto.id.com di akses pada tanggal 6 Mei 2019
Selain itu, banyaknya petugas KPPS yang meninggal dunia karena terlalu
banyak energi yang dikeluarkan (kelelahan) selama proses pemilu serentak. Hal
ini menjadi catatan buruk dalam pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan jumlah petugas Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia sampai dengan
Sabtu, 4 Mei 2019 mencapai 438 orang. 79
Dampak penerapan Presidential Threshold di Pemilu serentak tahun 2019
dalam kenyataannya dapat dirasakan oleh masyarakat khusunya kelompok-
kelompok yang berkepentingan secara langsung terhadap Pemilu khusunya
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal ini partai politik menjadi imbas
yang paling merasakan dampak adanya aturan tersebut.
Adanya Presidential Threshold membuat hak konstitusional partai politik
untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden terciderai. Presidential
Threshold dianggap telah mendiskriminasikan partai politik.80 Meskipun dianggap
konstutusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Dampak Presidential Threshold terhadap partai politik tidak berhenti
sampai distu saja. Partai politik baru yang mendaftar di Pemilu tahun 2019
dipastikan tidak bisa mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Partai
politik baru hanya dapat berkampanye terhadap calon Presiden dan Wakil
Presiden yang didukung. Partai politik baru tidak bisa mencalonkan calon
79 www.cnn.indonesia.com di akses pada 6 Mei 2019. 80 https://beritagar.id/artikel/editorial/ambang-bataspencalonan-presiden-dan-tantangan-
parpol dalam Ayon Diniyanto, “Mengukur Dampak Penerapan Presidential Threshold di Pemilu Serentak Tahun 2019”,..,hlm. 87
Presiden dan Wakil Presiden karena partai politik baru belum mempunyai suara di
DPR. Hal tersebut berbeda dengan partai politik lama yang telah mempunyai
suara di DPR. Partai politik lama yang mempunyai suara di DPR dapat
mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Walaupun partai politik lama harus
berkoalisi terlebih dahulu karena kekuarangan suara.81
Adanya perbedaan antara partai politik lama dengan partai politik baru
dapat menyebabkan adanya ketidakadilan dalam kontestasi politik. Pembedaan
perlakuan terhadap partai politik lama dan baru jelas sekali tidak sesuai dengan
amanat konstitusi. Konstitusi telah secara jelas menyatakan bahwa setiap partai
politik atau gabungan parai politik dapat mencalonkan Presiden dan Wakil
Presiden. Konstitusi tidak membedakan antara partai politik lama dengan partai
politik baru dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Artinya partai
politik baru dirugikan dua hal dalam waktu yang bersamaan. Pertama partai
politik baru tidak bisa secara sendiri mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
Partai politik baru tidak bisa mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden walaupun
berkoalisi dan memenuhi syarat Presidential Threshold. Kerugian partai politik
baru juga diperparah dengan gambar partai politik yang tidak dicantumkan
sebagai pengusul calon Presiden dan Wakil Presiden. Jumlah batasan sumbangan
dana kampanye partai politik baru terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden
81 www.beritasatu.com Di akses pada tanggal 17 Maret 2019
juga berbeda dengan partai politik lama. Hal itu karena kedudukan partai politik
baru bukan mencalonkan calon Presiden dan Wakil Presiden.82
Kerugian yang dialami oleh partai politik baru jelas lebih parah dari
kerugian yang dialami oleh partai politik lama yang mempunyai suara di DPR.
Keruagian partai politik lama hanya satu yaitu tidak bisa secara sendiri
mencalonkan presiden dan wakil presiden karena tidak memenuhi Presidential
Threshold. Partai politik lama masih dapat mencalonkan presiden dan wakil
presiden dengan cara berkoalisi agar menenuhi Presidential Threshold.
Ada satu hal yang prinsip dan merupakan kerugian bagi partai politik
lama. Partai politik yang dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden
tidak boleh absen atau netral dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Mereka harus ikut mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden walaupun
harus dengan berkoalisi dengan partai lain. Jika partai politik lama yang dapat
mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden tetapi tidak ikut mengusulkan
maka konsekunsi yang didapat adalah partai politik tersebut tidak dapat mengikuti
Pemilu lima tahun mendatang. Hal tersebut merupakan kerugian bagi partai
politik. Dikatakan kerugian karena tidak semua partai politik mempunyai
kesamaan visi dalam berkoalisi untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil
Presiden.83
Kerugian yang dialami oleh partai politik seperti yang telah dijelaskan
merupakan kerugian yang dialami oleh rakyat. Rakyat yang dimaksud terutama
82 www.tribunnews.com Diakses pada tanggal 17 Maret 2019 83 www.liputan6.com Di akses pada tanggal 19 Maret 2019
adalah rakyat yang bernaung di dalam partai politik- partai politik seperti yang
dimaksud sebelumnya. Kerugian yang dialami rakyat tersebut sesungguhnya tidak
lain diakibatkan adanya penerapan Presidential Threshold di Pemilu serentak
tahun 2019. Artinya penerapan Presidential Threshold memang belum sesuai
dengan keinginan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Hal tersebut dapat
dilihat dari adanya dampak terhadap partai politik serta masyarakat yang bernaung
di partai politik seperti dimaksud.
Adanya pasal ini kemudian menimbulkan beberapa persoalan hukum
selain seperti yang telah dikemukakan diatas. Terkait dengan hasil Pemilu 2014
adalah hasil dari serangkaian proses yang sangat panjang. Mulai dari pendaftaran
peserta pemilu, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan
suara, perselisihan hasil suara di MK, sampai kemudian menjadi hasil akhir
Pemilu 2014. Aturan Presidential Threshold yang mengacu pada hasil pileg
2014 pada pelaksanaan pemilihan umum tahun 2019 menurut penulis tidak
relevan karena proses pemilu yang terjadi pada 2014 dan 2019 berbeda meski
dengan angka ambang batas yang sama.
Jika ambang batas pencalonan presiden diambil dari hasil Pemilu 2014,
partai politik baru yang belum menjadi peserta Pemilu 2014 otomatis kehilangan
hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ini tentu tidak
sesuai dengan prinsip keadilan pemilu (Electoral Justice), di mana setiap peserta
pemilu punya hak pencalonan (Candidacy Right) yang sama.84 Hal ini diperkuat
84 https://rumahpemilu.org/ambang-batas-pencalonan-presiden-dan-pemilu-2019/ Di
akses pada tanggal 1 Maret 2019
dengan adanya dissenting opinion hakim Mahkamah Konstitusi yang mengatakan
bahwa Pasal 222 UU Pemilu secara terang-benderang merugikan dan amat jauh
dari rasa adil bagi partai politik peserta Pemilu 2019 yang tidak diberikan
kesempatan mengajukan calon presiden dan wakil presiden karena tidak memiliki
kursi atau suara dalam Pemilu 2014.85
Jika penerapan Presidential Threshold pada pilpres sebelumnya tidak
mengalami hambatan, itu disebabkan karena pemilu legislatif dilaksanakan lebih
awal daripada pilpres sehingga perolehan suara dan kursi di parlemen oleh
masing-masing parpol sudah diketahui sebagai dasar apakah parpol tersebut
memenuhi atau tidak memenuhi Presidential Threshold untuk bisa mengajukan
capres/cawapres. Sementara pada pilpres 2019 di mana pelaksanaan pileg dan
pilpres akan dilakukan secara serentak, sehingga adanya ketentuan Pasal 222 tidak
memiliki relevansi.86
Sekalipun secara normative Presidential Threshold tetap dianggap sah dan
konstitusional, tidak menyebabkan semua pihak setuju dengan ketentuan ini. Bagi
mereka yang kontra, Presidential Threshold sebenarnya tidak lagi relevan dan
tidak ada urgensinya untuk diterapkan dalam pilpres yang akan dilaksanakan
secara serentak dengan pileg. Selain karena melanggar asas keadilan pemilu
(karena hanya memberikan kesempatan bagi parpol lama untuk mencalonkan),
85 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor Perkara 53/PUU-XV/2017,
hlm. 142-143 86 Allan Fatchan Gani Wardhana, Jamaludin Ghafur, ” Rekonstruksi Politik Hukum
Presidential Threshold Ditinjau Dari Sistem Presidensial dan Penyederhanaan Partai Politik”, Disampaikan pada Seminar Universitas Negeri Semarang, Volume 4 Nomor 3 Tahun 2018, 741-760
juga ditinjau dari sistem presidensial itu sendiri Presidential Threshold dalam
Pasal 222 UU Pemilu memiliki cacat konsep.87
Moh. Mahfud MD menyebutkan bahwa hukum dihasilkan dari pergulatan
politik, dan oleh karenanya hukum merupakan produk politik. Adapun politik
hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun penggantian hukum
yang lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.88
Dalam praktiknya di Indonesia selama ini, Politik Hukum Presidential
Threshold dimaknai sebagai perolehan suara pemilu legislatif atau perolehan
kursi dengan jumlah minimal tertentu di parlemen sebagai syarat untuk
mengajukan calon presiden dan/atau wakil presiden atau ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (syarat pencalonan). Hal ini sudah kita
anut sejak Pilpres tahun 2004 hingga tahun 2019.89 Politik hukum terkait
Presidential Threshold selama ini memang dimaksudkan sebagai persyaratan
ambang batas pencalonan presiden yang didasarkan pada perolehan suara atau
kursi parpol di DPR.
Persyaratan ambang batas pencalonan presiden yang didasarkan pada
perolehan suara atau kursi parpol di DPR pada dasarnya merupakan praktik
anomali dalam skema presidensial. Secara teoritis basis legitimasi seorang
87 Ibid, hlm. 744 88 Moh, Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2011), hlm.1. 89 Allan Fatchan Gani Wardhana, Jamaludin Ghafur, ” Rekonstruksi Politik Hukum
Presidential Threshold Ditinjau Dari Sistem Presidensial dan Penyederhanaan Partai Politik”.., hlm. 745
presiden dalam skema sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi politik
parlemen hasil pemilu legislatif. Lembaga presiden dan parlemen dalam sistem
presidensial adalah dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda.
Alan R. Ball dan B Guy Peters tentang karakteristik sistem presidensial dalam
bukunya yang berjudul “modern politics and government”,90 Saldi Isra
menyimpulkan bahwa karakter yang dikemukakan oleh Ball dan Peters tidak
sebatas memperhadapkan presiden dengan lembaga legislatif, tetapi juga
menegaskan bahwa eksekutif terpisah dari lembaga legislatif. Ketegasan itu
menggambarkan bahwa lembaga kepresidenan dan lembaga legislatif merupakan
lembaga negara yang pararel (the presidency and the legislature as two parallel
structure). Karena posisi yang pararel seperti itu, untuk menjadi presiden tidak
tergantung dari dukungan politik lembaga legislatif. Hal itu berbeda dengan
sistem parlementer yang tidak memungkinkan membentuk pemerintah jika tidak
ada dukungan mayoritas di parlemen.91
Selama ini dalam Pemilu Legislatif berlaku apa yang disebut dengan
Parliamentary Threshold , yaitu syarat perolehan suara minimal partai politik
dalam pemilu untuk mendapatkan kursi di DPR. Jika menggunakan analogi ini,
maka seharusnya apa yang dimaksud Presidential Threshold ialah syarat
perolehan suara minimal capres dan cawapres untuk menentukan keterpilihan.92
90 Alan R. Ball dan B Guy Peters sebagaimana dikutip oleh Saldi, Isra, Pergeseran
Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.3
91Ibid, hlm. 38 92www.detik.com Di akses tanggal 1 Maret 2019
Tahun 2019, Indonesia menggelar pemilu serentak. Dengan demikian,
ketentuan Presidential Threshold semestinya tidak diperlukan lagi karena tujuan
dari diterapkannya Presidential Threshold yaitu untuk menghadirkan sistem
kepartaian yang sederhana dan dalam rangka menggalang dukungan mayoritas
dari parlemen terhadap presiden dan wakil presiden terpilih, akan secara otomatis
terlaksana dari hasil pemilu serentak. Adanya pemilu serentak sebenarnya sudah
merupakan langkah dan upaya untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan
presidensial. Harapannya, dengan pemilu serentak akan diikuti oleh terjadinya
coattail effect dan solidnya barisan koalisi sehingga parpol atau gabungan parpol
dapat memenangkan pemilihan presiden dan wakil presiden dan sekaligus
memenangkan suara di parlemen sehingga dukungan parlemen lebih maksimal.
Atau jika coattail effect ini tidak terjadi, setidaknya bangunan koalisi akan lebih
solid di bandingkan dengan pemilu yang tidak serentak yang sudah terbukti sifat
koalisinya sangat longgar sehingga kebijakan presiden tidak selamanya
mendapatkan dukungan dari mitra koalisi. Dukungan yang solid akibat pemilu
serentak merupakan nilai plus dalam membangun sistem pemerintahan
presidensial yang stabil dan efektif.
Menurut Didik Supriyanto, pemilu serentak parlemen nasional dan
presiden memberi dua efek sekaligus: Pertama, koalisi dini, karena partai-partai
politik dipaksa untuk berkoalisi lebih awal agar solid demi memenangkan
kompetisi; kedua, adanya coattile effect di mana keterpilihan presiden akan
mempengaruhi keterpilihan parlemen nasional.93
Berdasakan beberapa urgensi di atas, maka sangat penting untuk
merekontruksi politik hukum makna Presidential Threshold. Apa yang dimaksud
Presidential Threshold harus diluruskan dengan mengubah arah politik hukum
Presidential Threshold itu sendiri. Meminjam istilah Padmo Wahjono yang
menyatakan bahwa politik hukum dalah kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk94, maka tujuan rekonstruksi ini
adalah untuk menentukan arah, bentuk, sekaligus isi hukum kepemiluan terutama
soal Presidential Threshold dalam pemilu serentak.
C. Relevansi Aturan Presidential Threshold Terhadap Pemilihan Umum
Tahun 2019
Terlepas dari persoalan bagaimana cara menerapkan Presidential
Threshold dalam pemilu serentak 2019, satu hal yang jelas bahwa Presidential
Threshold menjadi salah satu instrumen penting untuk mengontrol keberadaan
partai politik dalam suatu negara. Memang benar bahwa parpol merupakan suatu
keniscayaan yang harus ada dalam sebuah negara demokrasi. Parpol adalah salah
satu pilar demokrasi. Bahkan karena fungsinya yang sangat penting, Clinton
Rossister menegaskan, “No America without democracy, no democracy without
93 Pahlevi, Pemilu Serentak dalam Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: P3DI Setjen
DPR RI dan Azza Grafika, 2015), hlm. 9 94 Padmo Wahjono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-Undangan”,
dalam majalah Forum Keadilan, No.29, April 1991.hlm 65, sebagaimana dikutip oleh Moh. Mahfud MD, Politik Hukum...hlm. 1
politics, and no politics without parties”. Atau seperti dikatakan oleh Richards
Katz, “modern democracy is party democracy”.95
Namun demikian, terlalu banyaknya jumlah parpol dalam suatu negara
juga terbukti dapat menimbulkan masalah yaitu terganggunya stabilitas
pemerintahan. Sebagaimana dikatakan oleh Denny J.A bahwa:
Setelah reformasi politik dan demokratisasi berlangsung lebih dari 15 tahun, dan pemilu semakin bebas, demokratis dan bahkan langsung, muncul berbagai kritik dan gugatan terhadap peran dan kontribusi partai politik. Di satu pihak, parpol adalah salah satu agen utama sistemdemokrasi, sehingga sangat diharapkan kontribusi dan solusinya, tidak hanya dalam meningkatkan kualitas demokrasi ke arah yang lebih substansial dan terkonsolidasi, tetapi juga dalam meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan. Namun di pihak lain, parpol juga dianggap sebagai salah satu sumber problem itu sendiri. Betapa tidak, kasus korupsi, suap, dan penyalahgunaan kekuasaan yang masih marak pasca Soeharto, ternyata melibatkan semua parpol dan unsur pimpinan parpol, baik di jajaran pemerintahan maupun lembaga lembaga legislatif, di tingkat pusat hingga daerah.96
Berdasarkan hal di atas, sudah umum berlaku di berbagai negara bahwa di
satu sisi kebebasan untuk mendirikan parpol diberikan jaminan secara memadai,
namun untuk memastikan bahwa parpol yang ada berkwalitas dan tidak
menimbulkan hal-hal yang bersifat kontraproduktif dengan dengan peran yang
seharusnya dilakukan, biasanya negara-negara demokrasi di dunia juga
memberikan aturan yang ketat bagi parpol yang akan ikut berpartisipasi menjadi
peserta pemilu terlebih bila parpol tersebut akan mengusung capres/ atau
cawapres. Salah satunya adalah dengan penerapan threshold baik untuk pemilu
95 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru,
cetakan kedua, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 59. 96 Denny J.A: Opini di Republika dalam Fransisku surdiasi (editor), Partai Politik pun
Berguguran, (Yogyakarta: LKIS 2006), hlm. 15. dalam Allan Fatchan Gani Wardhana, Jamaludin Ghafur, ” Rekonstruksi Politik Hukum Presidential Threshold Ditinjau Dari Sistem Presidensial dan Penyederhanaan Partai Politik”..,
legislatif maupun pemilu eksekutif. Jadi, syarat mendirikan parpol merupakan hak
setiap orang yang tidak boleh dibatasi karena ini merupakan salah satu bentuk
implementasi daripada jaminan atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
menyatakan pendapat. Dalam konteks ini siapapun boleh mendirikan parpol tanpa
ada batasan, namun agar parpol yang didirikan tersebut dapat mengikuti pemilu
maka ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Artinya, mendirikan parpol
itu adalah satu hal, sementara menjadi peserta pemilu itu adalah hal lain.97
Kesulitan bagi negara-negara demokrasi dengan kehadiran partai yang
begitu banyak dinyatakan oleh Denny J.A. Menurutnya, di seluruh dunia, tidak
ada negara demokrasi yang sehat hidup dengan ratusan partai politik. Di Amerika
Serikat, bahkan hanya hidup dua partai politik. Di Eropa Barat dan di wilayah lain
di mana sistem multi-partai subur, tetap saja hanya ada tiga sampai lima partai
yang hidup. Bagi negara demokrasi yang stabil dan plural mempunyai enam partai
politik besar saja sudah terlalu banyak.98
Secara konsep, pemisahan kekuasaan antara lembaga legislatif dan
eksekutif, di satu pihak dipandang sebagai kelebihan presidensialisme
dibandingkan parlementarialisme, namun dipihak lain juga membuka peluang
terbentuknya “pemerintahan yang terbelah” (divided government), yaitu presiden
dan parlemen dikuasai atau dikontrol oleh partai yang berbeda.99 Efeknya adalah
97 Allan Fatchan Gani Wardhana, Jamaludin Ghafur, ” Rekonstruksi Politik Hukum
Presidential Threshold Ditinjau Dari Sistem Presidensial dan Penyederhanaan Partai Politik”.., hlm. 749
98 Ibid, hlm. 750 99 Syamsuddin Haris, Dilema Presidensialisme di Indonesia Paca-Orde Baru dan
Urgensi Penataan Kembali Relasi Presiden-DPR, dalam Moch, Nurhasim dan Ikrar Nusa Bakti
terbuka kemungkinan presiden tidak bisa mengimplementasikan seluruh program-
program kerjanya bila sewaktuwaktu mendapat pertentangan dari mayoritas
anggota parlemen. Bahkan lebih dari sekedar itu, presiden akan dipaksa untuk
“menyerahkan” sebagian hak prerogatifnya untuk “diintervensi” oleh kekuasaan
legislatif. Oleh karenanya, penting untuk memastikan bahwa Presiden memiliki
dukungan mayoritas dari parlemen agar berbagai kebijakannya dapat berjalan
dengan lancar.
Para ahli berpendapat bahwa munculnya fenomena “pemerintahan yang
terbelah” (divided government) dalam praktik sistem pemerintahan presidensial
dengan sistem multipartai salah satunya disebabkan oleh pelaksanaan pemilu
presiden yang terpisah dengan pemilu legislatif. Dalam kondisi yang seperti ini,
maka terbuka lebar jalan bahwa sebuah parpol dapat saja memenangkan pemilu
presiden namun gagal dalam memperoleh suara mayoritas di parlemen, atau
sebaliknya. Oleh karenanya, untuk menghindari hal ini terjadi maka pelaksanaan
pemilu presiden dan pemilu legislatif perlu dilaksanakan secara serentak.
Dalam sistem presidensial yang berpadu dengan multipartai meniscayakan
terbentuknya koalisi antar partai dalam mengusung calon presiden karena hampir
dapat dipastikan bahwa sistem multipartai sulit menghasilkan partai yang
memenangkan suara mayoritas. Koalisi diperlukan agar presiden terpilih
mendapatkan dukungan yang signifikan dari parlemen sehingga hak ini
(penyunting), Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), 2009), hlm. 99.
diharapkan dapat memperlancar kerja-kerja lembaga eksekutif terutama untuk hal-
hal yang memerlukan dukungan politik dari lembaga parlemen.
Pembentukan koalisi antar parpol dapat dibentuk baik dengan mekanisme
pemilu serentak atau tidak serentak. Namun demikian, pelaksanaan pemilu
serentak akan memberikan keuntungan-keuntungan tertentu dalam pembentukan
koalisi yang hal ini tidak mungkin terjadi dalam pemilu yang tidak serentak.
Sebagaimana disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa, jika mekanisme pemilu
serentak dijalankan, maka akan dapat dijamin adanya pola hubungan eksekutif-
legislatif yang terpisah atas dasar eksistensi yang pasti antara lembaga kepresiden
dan lembaga parlemen masing-masing menurut undang-undang dasar.
Dengan demikian, koalisi juga dapat diadakan secara pasti dan mengikat
pada tiga tingkatan sekaligus, yaitu:
1. Koalisi atau gabungan partai dalam pencalonan presiden dan wakil presiden
(pre electoral coalition);
2. Koalisi dalam pembentukan kabinet (government formation), yang dilakukan
secara terintegrasi dengan;
3. Koalisi dalam struktur barisan mayoritas versus minoritas di DPR RI
(establishment of parliamentary structute).100
Keserentakan pemilu, dalam pengalaman Amerika Latin menunjukkan
bahwa presiden terpilih tidak saja dapat memperoleh legitimasi kuat dari para
pemilih, namun juga dukungan yang signifikan di tingkat parlemen. Kombinasi
100 Jimly, Asshiddiqie, Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan, (Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 2015), hlm.71.
legitimasi pemilih dan parlemen ini pada akhirnya mendorong efektivitas
pemerintahan presidensialisme, sekaligus berkontribusi secara positif dalam
penyederhanaan dan pelembagaan sistem kepartaian.101
Manfaat lain dari pelaksanaan pemilu serentak adalah sistem ini di
berbagai negara terbukti dapat menjadi cara yang efektif untuk menyederhanakan
sistem kepartaian.
Elaborasi yang lebih komprehensif tentang beberapa keuntungan
pelaksanaan pemilu serentak eksekuti-legislatif di sampaikan oleh August Mellaz.
Menurut Mellaz, berbagai faktor menjadi latar belakang, sekaligus dianggap
sebagai keuntungan dari pelaksanaan pemilu secara serentak. Pada banyak negara
menghasilkan kecenderungan; Pertama, tingkat legitimasi presiden terpilih
menjadi kuat, baik secara popular (pemilih) maupun dukungan parlemen. Kedua,
besarnya kemungkinan presiden terpilih secara langsung pada putaran pertama
(terutama pada sistem pluralitas). Ketiga, efek penyederhanaan sistem kepartaian,
melalui; (a) Insentif bagi partai politik untuk beraliansi, membentuk koalisi,
maupun bergabung baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif.
(b) mempersempit wilayah kompetisi dan jumlah partai politik dalam meraih kursi
legislatif.102
Hampir senada dengan para pendapat pakar di atas, Ni’matul Huda dan M.
Imam Nasef juga mengemukakan hal yang sama bahwa pelaksanaan pemilu
serentak in line dengan upaya penguatan sistem presidensial multipartai di
101 www.spd-indonesia.com Diakses tanggal 1 Maret 2019. 102 August, Mellaz. Efektivitas...,hlm. 6
Indonesia. Selain menimbulkan coattail effect yang bisa melahirkan hasil pemilu
yang kongruen, di mana presiden terpilih besar kemungkinan akan mendapat
dukungan yang memadai di parlemen, pemilu serentak juga akan menstimulasi
terbentuknya suatu koalisi yang kuat. Hal itu disebabkan koalisi dibangun sejak
awal sebelum pelaksanaan pemilu, sehingga akan tercipta koalisi yang lebih
solid.103
Dengan demikian, dalam konteks pemilu serentak, pada hakikatnya,
pilihan tersebut menghendaki agar ada efek penyelenggaraan pemilu yang
diserentakkan waktu pelaksanaannya yang disebut sebagai presidential coattail
effect dan kecerdasan berpolitik (political efficacy), bahwa pilihan terhadap calon
presiden/wakil presiden akan berdampak pada pilihan terhadap partai politik atau
calon-calon anggota DPR yang dicalonkan oleh partai politik.104
Namun demikian, pelaksanaan pemilu serentak legislatif dan eksekutif
tidak selalu memberi jaminan akan munculnya coattail effect jika tidak dibarengi
dengan penataan sistem pemilu legislatif dan teknis penyelenggaraan pemilu.
Dalam konteks ini, ada beberapa kombinasi sistem dengan teknis
penyelenggaraannya yang dapat ditawarkan agar pemilu serentak dapat
menghasilkan luaran (presidential coattail effect) sebagaimana diharapan,
yaitu:105
103 Ni’matul, Huda dan M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia
Pasca Reformasi. (Jakarta: Kencana, 2017), hlm.264. 104 Syamsuddin, Haris (edt), Pemilu Nasional Serentak 2019, (Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar Bekerja Sama dengan Electoral Research Institute (ERI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)), 2016, hlm.91
105 Ibid. hlm.92-94.
Pertama, tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka (PR terbuka)
untuk memilih anggota DPR. Keuntungannya, antara lain dapat mengurangi
oligarki partai dalam proses rekrutmen dan pencalonan anggota DPR dan pemilih
dapat langsung memberikan suaranya kepada calon wakil yang dikehendaki.
Kekurangannya, parpol kehilangan kontrol terhadap calon-calon wakil rakyatnya,
penggunaan politik uang dalam mencari dukungan akan tetap marak, terjadi
kompetisi intrapartai dan antar partai yang tidak sehat, dan terjadinya pencurian
suara antar kandidat. Secara teknis pemilihan, pemilih diberi dua peluang memilih
partai dan/atau memilih calon dalam daftar terbuka. Dalam praktik
pelaksanaannya pemilih sering kali mengalamai kebingungan untuk menentukan
calon mana yang ingin dipilih karena begitu banyak calon yang harus mereka
pilih. Acapkali banyak pemilih yang tidak memiliki preferensi sehingga akhirnya
memilih partai politik ketimbang memilih calon daftar terbuka.
Dalam pemilu serentak, apabila sistem pemilihan anggota DPR
menggunakan sistem proporsional terbuka, secara teknis sangat sulit untuk
menyatukan dalam satu kertas suara antara calon presiden/ wakil presiden dengan
dengan daftar calon terbuka dan partai politik. Kertas suara akan sangat lebar.
Konsekwensinya kalau sistem PR terbuka yang digunakan, maka tetap akan ada
tiga kotak dalam penyelenggaraan pemilu serentak, kotak 1 untuk memilih
pasangan calon presiden dan wakil presiden; kotak 2 untuk memilih anggota
DPR/partai politik; dan kotak 3 untuk memilih anggota DPD.
Kedua, menggunakan proporsional tertutup. Memang bisa dianggap
sebagai kemunduran, atau perubahan yang tidak ideal. Akan tetapi tidak pernah
ada satu evaluasi dnegan penerapan PR terbuka, seberapa banyak perbandingan
pemilih yang memilih partai atau daftar caleg (orang). Secara sekilas hasil pemilu
di setiap TPS cenderung menunjukkan masih besarnya pilihan kepada partai
ketimbang kepada daftar calon terbuka. Efektifitas penggunaan PR terbuka selain
karena kekurangan-kekurangan yang disebut di atas, juga antara lain belum
sepenuhnya menjadi pilihan bagi pemilih. Hal itu juga terlihat dari kecilnya
persentase kandidat yang langsung lolos karena memperoleh suara yang
melampaui bilangan pembagi pemilih (BPP). Kalau PR tertutup yang digunakan
dalam pemilu serentak, secara teknis penyelenggaraan dapat lebih efesien dan
mendorong pengaruh presidential coattail effect atau political efficacy yang jauh
lebih tinggi karena pemilih secara langsung akan dapat membandingkan pilihan
calon presiden/wakil presidennya dengan partai politik pengusungnya dalam satu
lembar kertas suara. Tidak ada split karena letak kotak untuk memilih calon
presiden/wakil presiden dengan gambar/lambang partai berdekatan, tingkat
kemungkinan presidential coattail-nya diduga akan lebih tinggi dibandingkan
dengan kerta suara yang terpisah antara kertas suara calon presiden/wakil presiden
dengan calon anggota DPR/partai politik.
Ketiga, penyelenggaraan pemilu serentak sekaligus dengan mengubah
sistem pemilihan anggota DPR dari sistem yang berbasis proporsional ke sistem
pemilu campuran, khususnya varian sistem pararel. Sistem pemilu pararel adalah
sebuah sistem di mana anggota DPR sebagian dipilih melalui sistem proporsional
(tertutup dan sebagian lainnya dipilih melalui sistem mayoritarian. Mengapa ke
sistem pemilu pararel, karena berdasarkan adaptasi dan ujicoba yang dilakukan
pusat penelitian politik (P2P) LIPI, sistem pemilu pararel ternyata lebih efektif
dalam rangka menghasilkan sistem multi partai moderat. Hasil simulasi atau
ujicoba yang telah dilakukan oleh P2P LIPI, dengan berbasis pada data pemilu
2009 dan 2014 terlihat adanya percepatan dalam menghasilkan jumlah partai
politik yang sederhana (moderat) di parlemen tanpa pada saat yang sama
memberlakukan persyaratan parliamentary threshold.
Hasil penelitian dari Bagian Analisis Teknis Pengawasan dan Potensi
Pelanggaran Sekretariat Jenderal Bawaslu RI menyimpulkan hal yang sama
bahwa pelaksanaan pemilu serentak legislatif-eksekutif harus dipadukan dengan
sistem pemilu proporsional pemilu legislatif yang tepat. Hal ini dimaksudkan agar
tujuan dari pelaksanaan pemilu serentak tersebut yaitu terjadinya coattail effect
dapat tercapai secara maksimal. Secara eksplisit hasil kajian ini
merekomendasikan bahwa sistem pemilu legislatif yang cenderung lebih tepat
digunakan adalah sistem proporsional daftar tertutup. Pemilihan sistem
proporsional daftar tertutup ini didasarkan pada alasan pelaksanaan pemilu
presiden dan pemilu legislatif yang bersamaan. Pelaksanaan pemilu legislatif dan
pemilu presiden secara bersamaan pada tahun 2019 memberikan struktur insentif
bagi pemilih. Dengan sistem proporsional tertutup maka pemilih akan cenderung
memilih presiden dan partai politik yang sama. Hal inilah yang disebut dengan
coattail effect. Berbeda halnya ketika sistem proporsional terbuka yang dipakai,
fenomena split voters akan cenderung muncul pada perilaku pemilih. Split voters
ini terjadi karena kedua pemilu, pemilu presiden dan pemilu legislatif, cenderung
menghadirkan tokoh-tokoh yang dijual dalam pemilu sehingga pemilih akan
cenderung memilih tokoh-tokoh yang dikenal walaupun antara calon presiden dan
calon wakil yang dipilihnya berbeda partai.106
Oleh karena itu, sistem proporsional tertutup lebih cenderung dapat
diharapkan untuk menghindari terjadinya divided government. Untuk tetap
menjaga kwalitas calon anggota legislatif terpilih dengan sistem pemilu
proporsional tertutup, dapat dikombinasi dengan penerapan district magnitude
yang kecil. Jadi, walaupun sistem yang dipilih adalah proporsional tertutup namun
dengan district magnitude yang kecil tetap akan mendekatkan pemilih dengan
wakilnya. Atau pilihan lainnya, tetap dengan sistem proporsional terbuka tapi
parpol harus menyediakan para caleg sama berkualitasnya dengan calon presiden.
Pada akhirnya, keserentakan pelaksanaan pemilu merupakan suatu formula
alternatif bagi perubahan sistem politik dan pemerintahan di masa mendatang, hal
ini didasarkan pada pengalaman dan upaya untuk mengatasi berbagai
problematika yang ada, yaitu:107
a. Menjadi dasar bagi terealisasinya sistem pemerintahan presidensialisme yang
kuat dan stabil.
b. Memfasilitasi munculnya penyederhanaan sistem kepartaian, melalui
pemberian insentif bagi partai politik untuk membangun budaya dan
pelembagaan politik demokratis yang berkelanjutan (Aliansi, Koalisi,
Gabungan, dan atau Merger).
106 Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu, dan Sistem
Presidensiil, Jakarta: Sekretariat Jenderal Bawaslu RI, Bagian Analisis Teknis Pengawasan Dan Potensi Pelanggaran, 2015, hlm.67.
107 August Mellaz, Efektivitas…hlm. 9
c. Mendorong pembentukan parlemen yang lebih efektif.
d. Menciptakan sistem pemilihan yang lebih sederhana, waktu yang singkat,
sekaligus biaya murah baik dalam pemilu legislatif maupun pemilihan
presiden.
e. Menciptakan ruang bagi munculnya fokus isu dalam pemilu, mana yang
merupakan isu nasional dan mana isu lokal.
f. Membuka ruang partisipasi bagi menguatnya preferensi dan strategi rakyat
(pemilih) pada pemilu berdasarkan isu lokal maupun nasional.
Berdasarkan uraian di atas, maka adanya pemilu serentak ke depan dapat
menjadi dasar bagi terealisasinya sistem pemerintahan presidensialisme yang kuat
dan stabil serta memfasilitasi munculnya penyederhanaan sistem kepartaian
melalui pemberian insentif bagi partai politik untuk membangun budaya dan
pelembagaan politik demokratis yang berkelanjutan. Oleh karena itu, persyaratan
Presidential Threshold sebagaimana dipahami selama ini yaitu syarat dukungan
minimal yang didasarkan pada jumlah kursi atau hasil suara pileg nasional sangat
tidak relevan baik dilihat dari aspek sistem presidensil itu sendiri maupun spirit
pemilu serentak.108
Ke depan, Presidential Threshold yang dimaknai sebagai perolehan suara
pemilu legislatif atau perolehan kursi dengan jumlah minimal tertentu di parlemen
sebagai syarat untuk mengajukan calon presiden dan/atau wakil presiden
sebagaimana tertera merupakan perlu diluruskan. J Mark Payne telah mengatakan
108 Allan Fatchan Gani Wardhana, Jamaludin Ghafur, “Rekonstruksi Politik Hukum
Presidential Threshold Ditinjau Dari Sistem Presidensial dan Penyederhanaan Partai Politik”,…, hlm. 756
bahwa sesungguhnya Presidential Threshold dalam sistem presidensial maknanya
adalah syarat keterpilihan seperti lazimya negara-negara yang menganut sistem
presidensial.
Oleh karena itu, berdasarkan pengertian Presidential Threshold tersebut,
semestinya yang dimaksud dengan Presidential Threshold untuk konteks
Indonesia adalah ketentuan Pasal 6A ayat (3 dan 4) UUD NRI 1945 yang
mengatur bahwa Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan
suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan
umum dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang
tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi
Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal setiap pasangan calon Presiden dan wakil
Presiden tidak ada yang mencapai syarat itu, maka berlaku: Dalam hal tidak ada
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih
oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat
terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Adapun menurut penulis, ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden menjadi lebih tepat jika 0% . Hal ini sebagai upaya untuk menghadirkan
banyak calon yang berkualitas, sehingga rakyat dapat melihat paslon capres dan
cawapres menjadi lebih beragam. . Ambang batas 0% menjadi relevan untuk
diterapkan dengan catatan diterapkan hanya untuk partai politik yang sudah lulus
tahap verifikasi sebagai peserta pemilu.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,
maka dapat diambil kesimpulan bahwasannya:
1. Setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 2017 maka tidak ada satupun partai
yang dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden tanpa berkoalisi dengan
partai lain. Maka, untuk memenuhi angka Presidential Threshold partai politik
harus berkoalisi dengan partai lain. Peta politik dalam pemilu 2019 tidak jauh
berbeda dengan yang terjadi pada pemilu 2014. Dimana kubu Jokowi
berhadapan dengan kubu Prabowo. Terkait dengan adanya pemilu serentak
tahun 2019, pada tahun-tahun politik antara 2018 hingga 2019 telah terjadi
beberapa fenomena politik. Diantaranya adalah adanya tagar
#2019GantiPresiden, hoax dan era post truth, politik identitas yang digunakan
kedua paslon, hingga efek ekor jas atau Coattail Effect .
2. Dampak hukum yang paling dirasakan adanya aturan Presidential Threshold
adalah orang-orang yang berkepentingan pada pemilu serentak tahun 2019.
Hak partai politik menjadi terciderai karena aturan tersebut. Meskipun
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa aturan Presidential Threshold yang
terdapat didalam UU No. 7 tahun 2107 tidak bertentangan dengan UUD 1945
dan dinyatakan sah, namun sebenarnya aturan tersebut masih cacat konsep dan
tidak ada acuan yang jelas sebagai ambang batas karena menggunakan hasil
pileg sebelumnya.
3. Relevansi antara Presidential Threshold dengan pemilu serentak adalah
dimaksudkan untuk menguatkan sistem presidensiil yang dianut oleh bangsa
Indonesia. Adanya pemilu serentak dapat menjadi dasar bagi terealisasinya
sistem pemerintahan presidensialisme yang kuat dan stabil serta memfasilitasi
munculnya penyederhanaan sistem kepartaian melalui pemberian insentif bagi
partai politik untuk membangun budaya dan pelembagaan politik demokratis
yang berkelanjutan. Namun, persyaratan Presidential Threshold sebagaimana
dipahami selama ini yaitu syarat dukungan minimal yang didasarkan pada
jumlah kursi atau hasil suara pileg nasional sangat tidak relevan baik dilihat
dari aspek sistem presidensil itu sendiri maupun spirit pemilu serentak yang
baru pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2019. Penerapan PT
pada pilpres sebelumnya tidak mengalami hambatan, itu disebabkan karena
pemilu legislatif dilaksanakan lebih awal daripada pilpres sehingga perolehan
suara dan kursi di parlemen oleh masing-masing parpol sudah diketahui
sebagai dasar apakah parpol tersebut memenuhi atau tidak memenuhi PT
untuk bisa mengajukan capres/cawapres. Sementara pada pilpres 2019 dimana
pelaksanaan pileg dan pilpres akan dilakukan secara serentak, sehingga
adanya ketentuan Pasal 222 tidak memiliki relevansi.
B. Saran-Saran
Dengan mengucapkan alhamdulillahirabbil’alamin serta rasa syukur
kepada Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapaun
saran atau rekomendasi yang penulis tujukan kepada pemerintah terkait dengan
aturan Presidential Threshold adalah sebaiknya tidak ditetapkan adanya ambang
batas minimal dalam pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan
banyaknya calon yang akan maju berkompetisi juga akan semakin banyak alternatif
pilihan bagi para pemilih dan ini akan semakin baik bagi iklim demokrasi yang
akan dibangun kedepan.
Dengan tidak adanya ambang batas minimal bagi partai politik atau
gabungan partai politik untuk mengajukan calonnya maka akan semakin
meningkatkan persaingan antar partai politik bukan seperti sebelum-sebelumnya
yang hanya dikuasai oleh partai-partai politik besar dalam pencalonan seorang
Presiden dan Wakil Presiden. Kondisi ini juga akan mendorong terjadinya
demokratisasi di dalam atau di internal partai politik itu sendiri. Dengan demikian
sebagai saluran utama pengajuan pasangan Presiden dan Wakil Presiden,
demokratisasi internal partai politik menjadi sebuah keniscayaan. Artinya
pasangan calon yang diajukan harus berasal dari hasil sebuah proses yang terbuka
dan partisipatif . Dengan cara yang seperti ini, posisi sentral dalam partai politik
misalnya ketua umum tidak otomatis menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden.
Partai politik akan mencalonkan kandidat yang memang punya potensi dan
peluang untuk memenangkan pertarungan dalam pemilu Presiden karena semakin
banyak atau terbukanya kompetitor dari calon partai-partai lain.
Proses pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden sebenarnya
memiliki hubungan dengan tujuan awal pemilu serentak. Hubungan itu salah
satunya adalah adanya keinginan agar terjadi koalisi permanen sebelum pemilu
diselenggarakan, khususnya bagi partai-partai yang tidak memiliki calon Presiden
dan Wakil Presiden. Dari pengalaman beberapa negara yang menyelenggarakan
pemilu serentak, proses koalisi memang terjadi sebelum penyelenggaraan pemilu,
bahkan pada beberapa negara terjadi blok partai sebagai konsekuensi bagi peluang
masing-masing kandidat calon Presiden dan Wakil Presiden untuk menang.
Dalam konteks hak-hak konstitusional partai- partai politik seperti disebut
pada UUD 1945 dan sebagai konsekuensi dari pemberlakuan pemilu serentak,
maka proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden idealnya tidak didasarkan
pada perolehan suara partai politik pemilu sebelumnya. Artinya setiap partai
politik yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilu berhak mengajukan calon
Presiden dan Wakil Presiden. Konsekuensinya calon Presiden dan Wakil
Presiden dapat sama jumlahnya dengan jumlah peserta pemilu.
C. Kata Penutup
Demikian juga dengan penelitian ini yang memfokuskan pada
pelaksanaan Pilpres 2019, masih banyak hal yang perlu ditelaah, sehingga dapat
mengahsilkan manfaat yang lebih baik lagi, semoga dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Penulis menyadari masih
banyak kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini oleh sebab itu
penulis membuka diri untuk menerima kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan penulisan ini. Dengan mengucap lafadz
alhamdulillahirabbil’alamiin semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat,
taufik serta hidayah-Nya. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literature
Agus Surono, Hubungan Presiden dan Wakil Presiden, Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Al- Azhar Indonesia. 2008
Anwar, Teori dan Hukum Konstitusi, Setara Press: Malang, 2015
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH UII Pres, Cet. Ke. 2.,
2003
Denny J.A: Opini di Republika dalam Fransisku surdiasi (editor), Partai Politik
pun Berguguran, Yogyakarta: LKIS, 2006
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2010
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Harun Al-Rasid, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta: Grafiti, 1999
Haris, Syamsuddin, dkk., Pemilu Nasional Serentak 2019, Jakarta: Electoral
Research Institute – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2015
Harun Al-Rasid, “Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden dalam Hukum
Positif Indonesia”,Jakarta: YLBHI, 1997
Jimly, Asshiddiqie, Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan, (akarta: Sinar
Grafika, Jakarta, 2015
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Kerjasama MK
dengan Pusat studi HTN FH-UI, 2004
Jonny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2007
Moch, Nurhasim dan Ikrar Nusa Bakti (penyunting), Sistem Presidensial dan
Sosok Presiden Ideal,Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), 2009
Baru, cetakan kedua, Jakarta: Kencana, 2011
Moh, Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2011
Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
Mustika Wati, “Analisis Dampak Politik Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi
No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Aliran Kepercayaan”, Penelitian Dosen
dan Mahasiswa UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2018
Ni’matul, Huda dan M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi dan Pemilu di
Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Kencana, 2017
Pahlevi, Pemilu Serentak dalam Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: P3DI
Setjen DPR RI dan Azza Grafika, 2015
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: PT Kencana Prenada Media
Grup, 2005
Philipus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara, Surabaya:
Bina Ilmu
Saldi, Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia,Jakarta: Rajawali
Pers, 2010
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif R & D, Bandung: Alfabeta, 2009
Suradman, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode, Jakarta: Tarsita Sembilan
Belas Sembilan Puluh
Syamsuddin, Haris (edt), Pemilu Nasional Serentak 2019, Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar Bekerja Sama dengan Electoral Research Institute (ERI)
dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)), 2016
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Jakarta: KENCANA, 2010
B. Jurnal
Abdurrhaman, “Presidential Threshold dalam Pemilu di Indonesia, Perspektif
Imam Al-Mawardy”, Tesis Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2018
Adelia Fitri, “Dinamika Dan Tantangan Jelang Pemilu Presiden Tahun 2019”,
Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 3 No.01 Agustus, 2018
Ahmad Bustomi Kamil, “Relevansi Pemilihan Umum Serentak Presiden Dengan
Legislatif Terhadap Penguatan Sistem Presidensial Di Indonesia.
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
14/PUU-XI/2013)”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ahmad Farhan Subhi, "Pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Sebagai Peserta Pemilu Menurut Undang-Undang Pilpres", Jurnal Cita
Hukum, Vol. 3 No. 2, 2015
Ahmad Hendra TP, “Implikasi Pemilihan Umum Anggota Legislatif Dan
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Secara Serentak
Terhadap Ambang Batas Pencalonan Presiden (Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013)”, Jurnal Ilmu Hukum
Legal Opinion Edisi 3, Vol 1, 2013
Allan Fatchan Gani Wardhana, Jamaludin Ghafur, ” Rekonstruksi Politik Hukum
Presidential Threshold Ditinjau Dari Sistem Presidensial dan
Penyederhanaan Partai Politik”, Disampaikan pada Seminar Universitas
Negeri Semarang, Volume 4 Nomor 3, 2018
Ayon Diniyanto, “Mengukur Dampak Penerapan Presidential Threshold di
Pemilu Serentak 2019”, Artikel Indonesian State Law Review, Vol. 1 No.
1, Oktober 2018
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu, dan
Sistem Presidensiil, Jakarta: Sekretariat Jenderal Bawaslu RI, Bagian
Analisis Teknis Pengawasan Dan Potensi Pelanggaran, 2015
Ellydar dan Suparto, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pemilu
Serentak Terhadap Pencalonan Presiden dan wakil Presiden Pada
Pemilihan Umum Tahun 2019”, Jurnal UIR Law Review, Vol. 01 No. 01,
April 2017
Fiska Friyanti, “Pelaksanaan Pemilihan Umum Dalam Sejarah Nasional
Indonesia”, Skripsi Universitas Negeri Semarang, 2005
Fuqoha, ” Pengisian Jabatan Presiden Dan Presidential Threshold Dalam
Demokrasi Konstitusional Di Indonesia”, Jurnal Ajudikasi Vol 1 No 2,
Desember 2017
Muhammad Mukhtarija, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, dan Agus
Riwanto, “Infektifitas Pengaturan Presidential Thershold dalam Undang-
Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum”, Jurnal Hukum Ius
Quia Lustum, Vol 24 Issue 4, Oktober 2017
Muhammad Nur Jamaluddin, “Presidential Threshold Sebagai Syarat Pengajuan
Calon Presiden Dan Wakil Presiden Pada Pemilu Serentak Tahun 2019
Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013”,
Makalah disampaikan pada Mata Kuliah Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Pasundan Bandung, 2016
Nur Rohim Yunus, “Coattail Effect Pada Ajang Pemilihan Umum Presiden
2019”, Artikel UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 2 No. 8e, Agustus,
2018
Rajab, Achmadudin. “Batas Pencalonan Presiden Dalam UU No. 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum,” dalam Jurnal RechtsVinding, Media
Pembinaan Hukum Nasional, 2017
Sherly Nelsa Fitri, “Pro Kontra Gerakan Tagar #2019GantiPresiden Sebagai
Sarana Kampanye dalam Pemilu”, disampaikan pada Seminar Nasional
Hukum Universitas Negeri Semarang, 2018
Sodikin, “Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden) dan Penguatan System Presidensial”, Jurnal Rechtvinding, Vol.
3 No 1, April 2014.
Sri Karyati, “Gagasan Kodifikasi Undang-Undang Pemilu”, Jurnal Etika dan
Pemilu, Vol.2 Nomor 2, Juni 2016
Sulardi, “Dinamika Pengisian Jabatan Presiden dan Pemberhentian Presiden dan
Wakil Presiden di Indonesia”, Jurnal UNISIA Vol.33 No.74, 2011
C. Undang-Undang
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia
Pasal 6A Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945
Pasal 8 dan Pasal 9 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 tentang Tata Cara
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013
dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor Perkara 53/PUU-
XV/2017
UU Negara Republik Indonesia
UU No.42 Tahun 2008
Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
Lain-lain
Afnizal, di sampaikan pada Diskusi Publik di UMBARI pada 26 Maret 2019
Electoral Research Institute, “Pemilu Nasional Serentak 2019” (artikel)
https://beritagar.id/artikel/editorial/ambang-bataspencalonan-presiden-dan-
tantangan-parpol
https://rumahpemilu.org/ambang-batas-pencalonan-presiden-dan-pemilu-2019/
www.beritasatu.com
www.cnn.indonesia.com
www.detik.com
www.kompas.com
www.liputan6.com
www.matapolitik.com
www.spd-indonesia.com
www.tirto.id.com
www.tribunnews.com