i
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis Kriminologis Terhadap Kasus Pembalakan Liar Di Taman
Nasional Tanjung Puting (Studi Kasus Pembalakan Liar Oleh PT.
Tanjung Lingga)
TUGAS KARYA AKHIR
M. ASAD S
0706214811
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM SARJANA EKSTENSI
DEPOK
2013
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
i
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis Kriminologis Terhadap Kasus Pembalakan Liar Di Taman
Nasional Tanjung Puting (Studi Kasus Pembalakan Liar Oleh PT.
Tanjung Lingga)
TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
M. ASAD S
0706214811
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM SARJANA EKSTENSI
DEPOK
2013
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
ii
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
iii
Tanggal : 5 Juli 2013
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
iv
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Tugas Karya Akhir (TKA) ini. Penulisan TKA
ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Sosial Program Studi Kriminologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia.
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan TKA ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan TKA ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Yogo Tri Hendiarto S.Sos., M.Si, yang telah bersedia meluangkan waktu,
tenaga, dan pikirannya dalam mengarahkan penyusunan TKA ini.
2. Dr. Thomas Sunaryo, M.Si yang bersedia menjadi penguji ahli.
3. Dra. Mamik Sri Supatmi M.Si, atas pengertiannya sebagai ketua program
studi dan memberikan perhatian terhadap penulisan TKA ini.
4. M. Irvan Olii, S.Sos., M.Si yang turut memberikan dukungan dan
wawasan dalam memberikan masukkan untuk TKA ini.
5. Dr. Mohammad Kemal Dermawan M.Si, yang telah bersedia
meminjamkan bukunya.
6. Irma Yuniar saya yang menjadi pendukung dan mensupport saya dalam
mengerjakan TKA ini.
7. Mama, Papa, Alid dan keluarga besar lainnya yang sudah mendukung dan
memberikan perhatian dalam penyusunan TKA ini.
8. Advent dan bima yang menjadi teman seperjuangan di semester ini.
Terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang kalian berikan
selama ini.
9. Hadijah R. Octaviani, Ira Aditia dan Cathy Valentine. Asad, Rinta
Koestoer, Bima Ganesha, Nani Solihah, Yuli Wulandari, Adiyaksa Ganjar
Erlangga, Advent Kristadi, Sarah Glandosch, Alfianti, Iqbal Hadi
Nugroho, Dian Nirmasari, atas segala waktunya dalam diskusi dan tukar
pikiran sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan baik.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
v
10. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis, dengan segala
keterbatasan mohon maaf tidak dapat penulis sebutkan satu persatu disini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga TKA ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Bogor, 12 Juli 2013
Penulis
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
vi
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
vii
ABSTRAK
Nama : M. Asad S
Program Studi : Kriminologi
Judul : Analisis Kriminologis Terhadap Kasus Pembalakan Liar Di
Taman Nasional Tanjung Puting (Studi Kasus Pembalakan Liar
Oleh PT. Tanjung Lingga)
Tugas Karya Akhir (TKA) ini membahas mengenai tentang analisis kriminologis
terhadap fenomena atau kasus pembalakan liar di Taman Nasional Tanjung Puting.
Pembalakan liar di Indonesia sulit diberantas habis. Walaupun dampak yang
diakibatkan bersifat negatif dan global, hal tersebut tidak menyurutkan para penebang
liar melakukan pembalakan liar. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk
melihat apa saja bentuk-bentuk empat objek dalam Kriminologi pada kasus
pembalakan liar, yang merupakan salah satu aksi dari kejahatan lingkungan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan mengambil studi kasus yang
telah dihimpun oleh LSM, yang juga merupakan sebuah penelitian dan investigasi
dari LSM dan data-data sekunder. Dalam penelitian membahas kasus pembalakan liar
ini dengan 4 objek kajian dalam Kriminologi, yaitu pelaku kejahatan, kejahatan,
korban dan reaksi sosial. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa aksi tindakan
pembalakan liar berhubungan erat dengan kejahatan kejahatan korporasi dimana
aparat pemerintah dapat terlibat dan menjadi pelaku kejahatan.
Kata kunci:
Kejahatan korporasi, kejahatan lingkungan, pembalakan liar
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
viii
ABSTRACT
Name : M. Asad S
Study Program : Criminology
Title : Criminology Analysis of Illegal Logging Case at Tanjung
Puting National Park (Case Study on Illegal Logging by
Tanjung Lingga Company)
This Final Paperwork (TKA) discussed criminology analysis of illegal logging
phenomena or case at Tanjung Puting National Park. Illegal logging in Indonesia is
very difficult to combat entirely. The illegal activity has very high negative impact
both nationally and globally, however the offenders seemed has not been discouraged.
The objective of this study was to describe the illegal logging case, which could be
categorized as one of the environmental crimes, according to four terms of subjects in
criminology. This study used qualitative approach by picking some case compiled by
certain NGO, which has been investigated and studied by the NGO, with some
additional secondary data. The illegal logging was discussed from the stand point of
four subbjects in criminology, i.e. the offender, the crime, the victim and the social
reaction. Results of this study concluded that illegal logging activity is very closely
linked with corporate crimes, where governmental officer could be involved or
become the offender.
Keywords:
Corporate crime, environmental crime, illegal logging
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL. ........................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
UCAPAN TERIMAKASIH................................................................................ iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYAILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .............................. vi
ABSTRAK/ABSTRACT .................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 I.1 Latar Belakang Masalah.................................................... ............... 1
I.2 Permasalahan..................................................................... ............... 5
I.3 TujuanPenelitian........................................................ ....................... 7
I.4 Signifikansi Penelitian............................................................... ....... 7
a. Signifikansi Akademis.................................................. ............. 7
b. Signifikansi Praktis .................................................................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 8 II.1 Penelitian Terdahulu………………………………… .................... 8
II.2 Kerangka Pemikiran……………………………………… ............. 17
II.3 Definisi Konseptual .......................................................................... 23
II.3.1 Kejahatan……… .................................................................... 23
II.3.2 Environmental Harm .............................................................. 23
II.3.3 Environmental Crime…………………... .............................. 24
II.3.4 Corporate Crime ..................................................................... 24
II.3.5 Forestry Crime ........................................................................ 24
II.3.6 Pembalakan liar ...................................................................... 25
II.3.7 Korban Kejahatan ................................................................... 25
II.3.8 Reaksi Sosial .......................................................................... 26
III. METODE PENULISAN ....................................................................... 27
III.1 Metode Penulisan ............................................................................ 27
III.2 Metode Pendekatan ......................................................................... 27
III.3 Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 28
III.3.a Studi Kepustakaan ................................................................. 28
III.3.b Studi Literatur ....................................................................... 28
III.4 Sumber Data ................................................................................... 28
III.5 Analisis Kontekstual ....................................................................... 29
IV. DATA DAN ANALISIS……………………………... ......................... 30 IV.1 Deskripsi Kasus Pembalakan Liar di Taman Nasional
Tanjung Puting ................................................................................ 30
IV.2 Analisis Kasus ................................................................................ 33
IV.2.1 Modus Kejahatan .................................................................. 33
IV.2.2 Pelaku Kejahatan .................................................................. 33
IV.2.3 Korban Kejahatan ................................................................. 33
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
x
IV.2.4 Reaksi Sosial ........................................................................ 34
IV.3 Analisis Data ................................................................................... 34
IV.3.1 Kejahatan Korporasi Terhadap Lingkungan ......................... 34
IV.3.2 Pelaku Kejahatan Korporasi Terhadap Lingkungan ............. 39
IV.3.3 Korban Kejahatan Korporasi Terhadap Lingkungan ............ 43
IV.3.4 Reaksi Sosial Pada Kejahatan Korporasi Terhadap
Lingkungan dan Penjahatnya. .............................................. 45
V. PENUTUP .............................................................................................. 48 V.1 Kesimpulan…………………………………………………… ...... 48
V.2 Saran ................................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. ...... 52
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Dengan perkembangan zaman saat ini Indonesia belum mampu secara
maksimal mengatur dan menampung kegiatan-kegiatan dalam rangka mencegah
kegiatan-kegiatan pembalakan liar. Aktivitas kegiatan pembalakan liar saat ini
berjalan dengan lebih terbuka, transparan dan banyak pihak yang terlibat dan
memperoleh keuntungan dari aktivitas pencurian kayu. Modus yang biasanya
dilakukan adalah dengan melibatkan banyak pihak. Pada umumnya, mereka yang
berperan adalah buruh/penebang, pemodal (cukong), penyedia angkutan dan
pengaman usaha dimana seringkali sebagai pengaman usaha adalah kalangan
birokrasi, aparat pemerintah, polisi, dan TNI (Setiono dan Husein, 2005).
Pembalakan liar mengancam industri sektor kehutanan dengan
mengakibatkan kekurangan bahan baku dimasa yang akan datang. Laporan dari
Pengelolaaan Sumber Daya Alam (PSDA) Watch menemukan penebangan liar
mengambil 67 juta m3 kayu tiap tahunnya (Suripto 2005). Studi WWF (World
Wide Fund) mengungkapkan bahwa pembalakan liar telah mengakibatkan
kerugian material sebesar paling tidak Rp. 30 triliun per tahun. Bahkan penelitian
Greenpeace seperti dikutip Radius dan Wadrianto (2011) melaporkan bahwa 88%
kayu-kayu yang masuk ke industri perkayuan di Indonesia disinyalir illegal atau
melebihi kuota tebangan, sehingga dalam waktu dekat tegakan hutan akan habis,
dan di masa mendatang pasokan kayu untuk industri tersebut tidak ada lagi.
Pada praktek kegiatan pembalakan liar melakukan penebangan di bekas
areal lahan yang dimiliki maupun penebangan diluar jatah tebang (over cutting)
dan adakalanya kegiatan pembalakan liar dilakukan melalui kerjasama antara
perusahaan pemegang izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dengan para cukong.
Seringkali pemegang izin meminjamkan perusahaannya untuk mengikuti lelang
kayu sitaan kepada pihak cukong yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan perusahaan tersebut (Tacconi, 2007).
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA 2
Kegiatan pembalakan liar tanpa mengindahkan kaidah-kaidah manajemen
hutan untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan telah menyebabkan
berbagai dampak negatif dalam berbagai aspek. Sumber daya hutan kian menjadi
rusak akibat maraknya penebangan liar dalam jumlah yang sangat besar (Callister,
1999). Kerugian akibat penebangan liar memiliki dimensi yang luas tidak saja
terhadap masalah ekonomi, tetapi juga terhadap masalah sosial, budaya, politik
dan lingkungan (Obidzinski, Andrianto, Wijaya, 2006).
Berbagai sistem tatanan masyarakat baik dalam proses sosial politik,
budaya dan ekonomi mengalami pergeseran. Hal ini diakibatkan adanya proses
perpindahan pola berpikir masyarakat yang lebih kritis dan mengedepankan
sistem peningkatan taraf ekonomi yang berbasis ekonomi kerakyatan. Ekonomi
kerakyatan yang diusung Negara pada prinsipnya tidak berjalan maksimal. Hal
ini dibuktikan belum adanya pemerataan pendapatan masyarakat, terlihat dari
masih terdapatnya masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan (Human
Rights Watch, 2009).
Tabel 1.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut
Daerah 2011–2012
tahun Jumlah penduduk miskin (juta) Presentase penduduk miskin
kota desa Kota+desa kota desa Kota+desa
2011
(Mar)
11,05 18,97 30,02 9,23 15,72 12,49
2011
(Sep)
10,95 18,94 29,89 9,09 15,59 12,36
2012
(Mar)
10,65 18,48 29,13 8,78 15,12 11,96
Sumber: Badan Pusat Statistik
Berdasarkan Tabel I.1, lambatnya laju turun angka kemiskinan di
Indonesia, yang menurut BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2011 angka
kemiskinan pada kota dan desa mencapai 30 juta jiwa, sedangkan pada september
2012 tercatat menjadi 29,13 juta jiwa. Hal ini memberikan dampak psikologis
pada masyarakat yang cukup besar sehingga berbagai pola kehidupan masyarakat
di terapkan demi suatu tuntutan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Salah satu pola yang diterapkan masyarakat adalah melakukan proses penebangan
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA 3
hutan secara liar meskipun terjadi proses pelanggaran hukum demi suatu tujuan
ekonomi yang hendak dicapai.
Meningkatnya nilai ekonomi atas hasil hutan semakin memperkuat
eksistensi masyarakat dan pengusaha untuk semakin giat melakukan pengelolaan
atas hasil hutan dengan salah satu alasan pendapatan ekonomi hasil hutan yang
sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan ruang lingkup perdagangan hasil hutan
keluar negeri melalui proses ekspor yang diperjualbelikan ke negara-negara yang
sudah berkembang, dan nilai beli kayu di Indonesia sangatlah murah (HRW,
2009).
Eksploitasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan beberapa dekade silam
telah sedemikian parah sehingga saat ini kondisi hutan Indonesia sangat
terdegradasi, bahkan pada banyak tempat terjadi deforestasi. Dalam kurun waktu
1985 - 1997 laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,87 juta Ha per tahun
(Sunderlin, et al. 1997).
Berdasarkan Tabel 1.2, angka deforestasi berlanjut pada tahun 2000-2001 ,
yaitu ketika sebanyak 1,018 juta Ha hutan produksi per tahun ditebang habis,
ditambah dengan rusaknya hutan seluas 0,67 juta Ha per tahun pada kawasan di
luar hutan produksi (Planologi Kehutanan, 2007). Setelah itu pada tahun 2002-
2003 laju kerusakan hutan meningkat mencapai 1,9 juta Ha. Trend deforestasi
pada rentang waktu 2000-2005 mengalami penurunan sedikit walaupun sempat
terjadinya kenaikan pada tahun 2003, mencapai 1,9 juta Ha per tahun, dimana laju
terbesar terdapat di Sumatera (Planologi Kehutanan, 2007). Hal tersebut telah
menyebabkan pendapatan devisa negara dari sektor Kehutanan menurun pada
tahun 1997 hingga 2003 serta menimbulkan kekhawatiran negara lain, terutama
negara maju, dengan adanya isu perubahan iklim. Deforestasi dan degradasi hutan
yang terjadi di Indonesia mendorong berkembangnya isu sebagai penyumbang
emisi karbon yang cukup signifikan di dunia. Pada satu sisi, sebagaimana negara
berkembang lainnya, hutan masih diposisikan sebagai sumberdaya pembangunan
ekonomi yang harus dimanfaatkan. Di sisi lain pemanfaatan hutan dikhawatirkan
akan mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan yang memperbesar emisi
gas rumah kaca dari sektor kehutanan (Santoso, et al. 2002).
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA 4
Tabel 1.2 Laju Deforestasi 7 Pulau Besar di Indonesia 2000-2005 (x1000
Ha/tahun)
Tahun Sumatera Kalimant
an Sulawesi Maluku Papua Jawa
Bali,NTB,
NTT Total
2000-2001 259,50 212,00 154,00 20,00 147,20 118,30 107,20 1.018,20
2001-2002 202,60 128,70 150,40 41,40 160,50 142,10 99,60 926,30
2002-2003 339,00 480,40 385,80 132,40 140,80 343,40 84,30 1.906,10
2003-2004 208,70 173,30 41,50 10,60 100,80 71,70 28,10 634,70
2004-2005 335,70 234,70 134,60 10,50 169,10 37,30 40,60 962,50
Total 1.345,50 1.230,10 866,30 214,90 718,40 712,80 358,80 5.447,80
Sumber: Planologi Kehutanan 2007
Tabel 1.3 Rekapitulasi Perkara Tindak Pidana Illegal Logging Tahun 2007
hingga 2011.
Tahun Status
Kasus
2007 2008 2009 2010 2011
Non yustisia 10 0 6 0 0
Lidik 104 42 27 2 0
Sidik 364 178 118 96 59
SP3 2 2 7 1 0
P21 252 128 86 65 49
Tunggakan 214 90 52 32 10
Jumlah Kasus 478 220 151 98 59
Sumber: diolah oleh penulis dari statistik kehutanan Indonesia tahun 2011
Keterangan tabel: Non yustisia – tanpa proses peradilan,
Lidik – proses pengusutan atau pelacakan
Sidik – proses mencari tahu atau menemukan kebenaran
SP3 – Surat Perintah Penghentian Penyidikan
P21 – alat dan barang bukti yang sudah lengkap
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA 5
Pada Tabel 1.3 tentang rekapitulasi perkara tindak pidana pembalakan liar
menunjukkan bahwa keberadaan hutan di Indonesia pada perkembangannya
sedang dalam tahap pemulihan akibat tindakan ini. Walaupun terjadi penurunan
angka kasus pembalakan liar yang di tampilkan oleh Departemen Kehutanan pada
tahun 2011, dimana hanya tercatat 59 kasus yang dimana perbandingannya
mengalami penurunan semenjak tahun 2007 yang tercatat 478 kasus, tetap hal ini
sulit diberantas, dikarenakan sulitnya aktor atau dalang pembalakan liar ini
tertangkap, yang menjadi tunggakan kasus yang belum terselesaikan.
Yang sangat memprihatinkan saat ini adalah maraknya tindak pembalakan
liar dan sekaligus pencurian kayu yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab. Padahal instrumen hukum di bidang kehutanan sudah cukup
jelas mengatur mengenai ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan
perbuatan melanggar hukum di bidang kehutanan.
I.2 Permasalahan
Pembalakan liar merupakan masalah besar yang sedang dihadapi oleh
kehutanan di Indonesia. Segala macam usaha telah diupayakan oleh Kementerian
Kehutanan untuk mengatasi masalah keamanan hutan dari pembalakan liar. Usaha
yang dilakukan beragam macamnya mulai dari pendekatan sosial ekonomi dengan
memberikan program-program pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan
kondisi sosial ekonomi penduduk sekitar hutan hingga upaya penegakan hukum,
namun hasilnya tidak memuaskan (HRW, 2009).
Sejak tahun 2005, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai
tindakan untuk mengurangi pembalakan liar dan penyelundupan kayu. Akibatnya,
pabrik-pabrik kayu di Indonesia dan pusat-pusat pengolahan seperti di Malaysia
dan Cina tidak lagi dapat pasokan kayu illegal dari Indonesia. Kebanyakan yang
ditangkap dalam operasi penegakan hukum ini adalah pekerja bawahan dalam
rantai produksi kayu illegal, yaitu para penebang kayu di hutan, supir truk, dan
kapal pengangkut kayu curian (Obidzinski, Andrianto, Wijaya, 2006). Sementara
aktor dibalik semua aksi pembalakan liar ini tetap bebas dan aparat militer dan
polisi serta merta melindungi.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA 6
Pembalakan liar di Indonesia sudah merambah ke segala kawasan hutan,
termasuk kawasan adat atau hutan masyarakat hingga ke kawasan taman nasional,
yang seharusnya dipelihara oleh pemerintah dan masyarakat sekitar hutan yang
merupakan warisan serta menjadi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan sehari
hari. Habisnya hutan tropis di kawasan Indonesia bagian barat dan melimpahnya
potensi kekayaan hutan di Indonesia telah menjadikan target bagi para cukong
kayu dan pengeksploitasi sumberdaya alam yang ingin meluaskan aktivitas
eksploitasi mereka (Tacconi, Obidzinski, Agung, 2003).
Pembalakan liar yang dilakukan di Taman Nasional Tanjung Puting telah
melanggar ketentuan UU no. 41 tahun 1999 telah menyalahi aturan bagaimana
kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan melakukan kegiatan logging atau
penebangan kayu di areal kawasan hutan lindung.
Pembalakan liar yang terjadi dilakukan oleh PT Tanjung Lingga di Taman
Nasional Tanjung Puting (Telapak,1999) merupakan kejahatan korporasi terhadap
lingkungan. Tindakannya selain melakukan penebangan yang tidak sesuai dengan
peraturan hukum formal atau hukum yang berlaku dan tidak sesuai dengan ijin
yang dipegang untuk usaha pengolahan kayu, telah memberikan dampak yang
merugikan untuk lingkungan itu sendiri sehingga terjadi ancaman terhadap
lingkungan, juga telah merugikan secara sosial, budaya, dan ekonomi.
Ancaman terhadap lingkungan merupakan lanjutan proses dalam tahap
akibat tindak pidana pembalakan liar yang merupakan kejahatan lingkungan.
White (2005) mengatakan bagaiamana pertimbangan dalam menganalisa sebuah
ancaman lingkungan pada fokus efek dampak terhadap lingkungan yang terjadi
akibat kejahatan lingkungan, beserta dampak sosial yang ditimbulkan akibat dari
kejahatan tersebut.
Sangat penting untuk mengkaji fenomena ini secara kriminologis karena
dapat merespon ancaman terhadap lingkungan, apapun bentuknya yang spesifik,
asalnya serta dinamikanya. Analisa sebelumnya bagaimanapun baiknya, masih
bersifat subjektif. Untuk itu perlu diidentifkasi dan mengkaji sesuai dengan atau
merupakan objek penelitian Kriminologi, yaitu, kejahatan, penjahat, tingkah laku
menyimpangn pelaku penyimpangan, korban kejahatan, reaksi sosial terhadap
tingkah laku jahat dan tingkah laku menyimpang, baik merupakan reaksi formal
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA 7
maupun reaksi non formal dari warga masyarakat terhadap pelaku kejahatan, serta
korban kejahatan dalam suatu peristiwa kejahatan.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka penulis merumuskan
pertanyaan penulisan sebagai berikut:
“Bagaimana analisis Kriminologis terhadap kasus pembalakan liar di Taman
Nasional Tanjung Puting (studi kasus pembalakan liar oleh PT. Tanjung
Lingga)?”
I.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pembahasan masalah tersebut, maka tujuan yang akan dicapai
dalam rangka penelitian ini adalah sebagai berikut:
Untuk menjelaskan analisis kriminologis terhadap kegiatan pembalakan liar
yang terjadi di Taman Nasional Tanjung Puting.
I.4 Signifikansi Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat yang dapat diperoleh
antara lain:
a. Signifikansi Akademis
Tulisan ini berharap dapat menjadi masukan terhadap ilmu pengetahuan
terutama di bidang Kriminologi terhadap kasus pembalakan liar di Taman
Nasional Tanjung Puting, dan juga dapat sebagai bahan rujukan untuk
penelitian yang akan datang.
b. Signifikansi Praktis
Bagi Pemerintah
Dapat menjadi bahan masukan bagi aparat/petugas hukum dalam
melakukan upaya-upaya preventif guna menyikapi terjadinya kegiatan
pembalakan liar di Taman Nasional Tanjung Puting.
Bagi Pembaca
Sebagai sumber informasi mengenai kegiatan pembalakan liar khususnya
di Taman Nasional Tanjung Puting, serta seluruh masyarakat secara umum
sebagai pihak-pihak yang ikut bertanggungjawab terhadap kegiatan
pembalakan liar di Taman Nasional Tanjung Puting.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Penelitian Terdahulu
Yonariza dan Webb (2007) dengan penelitiannya yang berjudul “Rural
household participation in illegal timber felling in a protected area of West
Sumatra, Indonesia”. Pembalakan liar merupakan ancaman bagi hutan tropis di
kawasan lindung, namun faktor-faktor motivasi itu perlu dipahami lebih baik.
Pada jurnal ini digambarkan bahwa, rumah tangga di pedesaan berpartisipasi pada
penebangan kayu di Cagar Alam Barisan I (Sumatera Barat) secara kontekstual,
dan dianalisa faktor-faktor bagaimana kaitan rumah tangga yang berpartisipasi
pada kegiatan ini serta pentingnya aksi ini terhadap pemasukan untuk kebutuhan
rumah tangga. Hampir 19% dari sampel rumah tangga memotong atau
mengangkut kayu di Taman Nasional Barisan I, dan kebutuhan akan uang tunai
yang mendorong partisipasi. Mata pencaharian alternatif seperti peternakan dan
kegiatan agroforestry di luar taman nasional dapat mengurangi kebutuhan kayu
penebangan. Pengetahuan tentang status hukum di taman nasional tidak
mempengaruhi kemungkinan rumah tangga terlibat dalam penebangan kayu,
namun perhatian yang lebih besar adalah rendahnya tingkat pendapatan dari kayu.
Pengembangan kebijakan berupaya untuk memberikan alternatif mata pencaharian
bagi rumah tangga agar dapat mengurangi ketergantungan pada penebangan kayu
dan berkontribusi untuk konservasi hutan di taman nasional. Selain itu, hasil
konservasi harus ditingkatkan jika kontrol atas perlindungan dan penegakan taman
nasional dikelola oleh pemerintah dan masyarakat setempat.
Sebuah rumah tangga di kategorikan sebagai keluarga penebang kayu
(TFHH, timber felling household) jika terdapat paling tidak salah satu anggota
keluarga berpartisipasi dalam penebangan dan pemotongan kayu. Cara
pengangkutan kayu dilakukan dengan secara manual diangkut dengan kerbau atau
menggunakan gerobak motor. Pada beberapa kasus pengankutan dilakukan
dengan cara menghanyutkan kayu menggunakan aliran sungai dan kemudian
dibawa dengan truk pada titik temu yang telah ditentukan, dan kemudian di jual
dimana potongan kayu dikirim ke perusahaan kayu terdekat. Pengangkutan kayu
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
9
di lakukan dalam kurun waktu 0,5 jam hingga 7 jam, tergantung jenis kayu yang
dipotong. Metode yang digunakan dalam penelitan ini adalah, memilih 11 nagari
dari 4 kabupaten (Padang, Padang Pariaman, Tanah Baru, Solok) dan kemudian
memilih 17 jorong (sub-desa) dimana desa tersebut yang sering berpartisipasi
dalam kegiatan yang berhubungan dengan hutan, dan secara acak memilih 10%
dari jumlah rumah tangga dari setiap desa untuk survey. Tiap keluarga di
wawancara tatap muka. Data primer dikumpulkan dengan cara memberikan
kuesioner yang disamarkan berhubungan dengan pembalakan liar. Masalah
pembalakan liar yang terjadi di Cagar Alam Barisan I adalah dikarenakan kondisi
rendahnya tingkat ekonomi pada penduduk sekitar daerah hutan. Rumah tangga
yang melakukan aksi ini pada area hutan yang dilindungi bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup terutama dalam bentuk uang tunai yang sering
dilakukan pada musim non-panen.
Penelitian yang berikutnya dilakukan oleh Smith, Obidzinski, Subarudi
dan Suramenggala (2003) dilakukan di Kalimantan berjudul “Illegal logging,
collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia”.
Jurnal ini membedakan antara korupsi kolusi dan non-kolusi di sektor kehutanan
dan menganalisis interaksi mereka dengan lingkungan politik atau kelembagaan.
Sementara non-kolusi korupsi meningkatkan biaya bagi sektor swasta, korupsi
kolusi mengurangi biaya untuk penyogokan, oleh karena itu lebih gigih. Wilayah
penelitian pada Kalimantan Timur adalah Bulungan, Malinau dan Nunukan. Data
dikumpulkan dengan menggunakan metode hasil kajian cepat, yang terdiri dari
wawancara semi-terstruktur dengan informan kunci termasuk aparat pemerintah,
perusahaan kayu dan masyarakat lokal. Data tentang korupsi didapatkan dengan
wawancara mendalam dengan membangun raport kepercayaan terlebih dahulu.
Sementara data primer dan sekunder diperoleh dari data statistik pemeritahan.
Data dari wawancara rahasia di Indonesia menunjukkan bahwa pembalakan liar,
didukung oleh korupsi kolusi, menjadi meluas setelah jatuhnya Presiden Soeharto.
Sementara liberalisasi ekonomi dan persaingan di antara pejabat pemerintah dapat
menurunkan non-kolusi korupsi, mereka memperburuk korupsi kolusi. Selama
transisi politik, negara sangat rentan terhadap korupsi kolusi karena pemerintah
sering lemah dan terfragmentasi, dengan lembaga terbelakang. Reformasi yang
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
10
lebih luas berkelanjutan dan penguatan kelembagaan untuk mempercepat transisi
ke demokrasi sejati diperlukan untuk memerangi korupsi kolusi. Untuk
akuntabilitas yang lebih besar dari pemerintah Indonesia, reformasi hukum dan
peradilan dan dorongan dari pengawasan publik bisa menjadi berguna untuk
memerangi pembalakan liar dan korupsi. Dari penelitian ini menyimpulkan, sifat
lemah pemerintahan ditandai oleh perebutan kekuasaan, anarki, konflik dan
hukum bertentangan yang mengaburkan garis antara legalitas dan ilegalitas dan
karena itu membuat lebih mudah bagi pembalakan liar, didukung oleh korupsi
kolusi, untuk berkembang. Periode transisi dari otokrasi ke demokrasi sangat
rentan terhadap korupsi kolusi berkembang, karena selama transisi, lembaga
penting untuk berfungsi penuh demokrasi masih terbelakang, yang mengarah ke
pemerintahan vakum. Analisis menunjukkan bahwa pemerintahan yang kuat yang
mampu menegakkan supremasi hukum diperlukan untuk mengendalikan korupsi
kolusi luas.
Obidzinski, Andrianto, dan Wijaya (2006) melakukan penelitian yang
berjudul “Penyelundupan kayu di Indonesia; Masalah genting ataukah
berlebihan?” mengangkat masalah bagaimana penyelundupan kayu menjadi inti
dari masalah pembalakan liar di Indonesia. Penelitian ini dilakukan di daerah
perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia di pulau Kalimantan. Pembalakan
liar dan perdagangan kayu dapat berdampak negative pada lingkungan hidup,
ekonomi dan masyarakat. Akibat dari aksi ini adalah penggundulan hutan yang
diikuti dengan kerugian Negara yang di perkirakan hingga AS$600 juta per tahun.
Diperkirakan pada tahun 2001 dan 2002, Kalimantan Timur memasok 2
juta m3 kayu ke negara bagian Sabah, Malaysia – hampir seluruhnya illegal.
Departemen Kehutanan memperkirakan penyelundupan skala besar
(menggunakan tongkang, kapal kontainer) melalui pelabuhan Tarakan mencapai
1,2 juta m3 kayu diselundupkan setiap tahunnya. Penyelundupan skala kecil
(menggunakan rakit, kapal kayu) memasok 330.000 m3 per tahun. Sisa kayu
(sekitar 500.000 m3) diangkut ke Sabah melalui jalan darat. Pengangkutan kayu
melalui jalan darat memanfaatkan selesainya jalan Serudong-Kalabakan-Long
Pasia yang panjangnya lebih dari 100 km di sepanjang perbatasan dengan
Indonesia, yang pada tempat-tempat tertentu hanya 500 meter dari garis
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
11
perbatasan internasional. Dari jalan utama itu, lusinan jalan tanah (jalan tikus)
dibuat menghubungkan konsesi ex-Yamaker di Kalimantan Timur. Walau 2 juta
m3 merupakan jumlah penyelundupan kayu yang besar sekali dari Kalimantan
Timur, namun ini bukanlah pasokan utama bagi industri kayu di Sabah, seperti
yang kerap diklaim oleh media massa Indonesia. Bahkan pada tahun puncak masa
penyelundupan kayu dari Kalimantan Timur, hanya memasok bahan baku kurang
dari 14 persen kapasitas terpasang industri kayu di Sabah yang totalnya mencapai
15 juta m3
per tahun.
“Positive and negative aspects of forestry conflict: lessons from a
decentralized forest management in Indonesia” merupakan judul penelitian yang
dilakukan oleh Yasmi, Guernier, dan Colfer (2009). Desentralisasi dalam
pengelolaan sumberdaya alam (NRM) semakin dipromosikan karena diyakini
untuk menawarkan manajemen yang lebih baik. Penelitian ini membahas aspek-
aspek positif dan negatif dari konflik kehutanan yang kadang-kadang meningkat
dengan desentralisasi. Memperhatikan hasil studi kasus dari Sumatera, penelitian
ini menguji bagaimana konflik di sektor kehutanan dibawah proses desentralisasi
dipandang oleh para pemangku kepentingan. Memilih daerah Sumatra karena
akses yang lebih mudah ke lokasi deforestasi yang penulis sudah melakukan
penelitian sebelumnya pada tahun 2004. Peneliti memonitor aktifitas yang
berhubungan dengan desentralisasi dalam rangka untuk memahami bagaimana
para pemegang kepentingan terlibat dalam konflik dan bagaimana mereka
memandang hal itu. Berbagai metode data akuisisi digunakan, yaitu: wawancara
semi-terstruktur, diskusi kelompok terfokus (FGD) dan konsultasi ahli. Sebanyak
wawancara 28 semi-terstruktur dilakukan dengan responden kunci, masing-
masing berlangsung antara 45 menit dan dua jam. responden dibagi menjadi tiga
kelompok: anggota masyarakat, perusahaan penebangan dan orang luar. Dua
kelompok pertama adalah pihak yang bertikai. Orang luar adalah mereka yang
tidak terlibat langsung, tetapi merupakan pemangku kepentingan di daerah, yaitu
Dinas Kehutanan setempat, peneliti dan lembaga non-pemerintah. Konflik ini
melibatkan perusahaan kayu dan masyarakat setempat, dan berpusat pada batas
hutan yang disengketakan. Masyarakat menuduh perusahaan tersebut melewati
logging dalam batas-batas hutan komunal. Sebaliknya, perusahaan berpendapat
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
12
bahwa itu adalah penebangan kayu dalam hutan negara dan dilindungi secara
hukum karena memegang izin yang sah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini
jelas merupakan yang konflik terjadi karena klaim hak milik. Konflik terlihat
mempercepat deforestasi, hubungan yang buruk dan menghasilkan resiko sosial
yang tinggi. Di sisi lain, para pemangku kepentingan menyarankan bahwa konflik
juga menciptakan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan,
memungkinkan negosiasi dan merangsang belajar. Untuk mengatasi konflik dalam
desentralisasi, klaim hak kepemilikan (de facto vs de jure) perlu diatasi dan
didamaikan melalui proses negosiasi sehingga aspek-aspek positif dari konflik
dapat dibina dan negatif dapat dihindari. Selain itu, desentralisasi perlu
dipersiapkan dan dilaksanakan dengan hati-hati. Kerangka hukum yang kuat,
pedoman pelaksanaan yang jelas dan peningkatan kapasitas pemangku
kepentingan merupakan elemen penting yang dapat membantu efektivitas
desentralisasi.
Kaimowitz (2003) mempublikasikan jurnal yang berjudul “Forest law
enforcement and rural livelihoods”. Kegiatan hutan yang illegal telah merampas
pemerintah miliaran dolar dalam pendapatan pajak. Mereka juga menyebabkan
kerusakan lingkungan dan mengancam hutan, dimana orang banyak bergantung
pada sumber daya hutan. Korupsi dan pelanggaran yang berkaitan dengan hutan
luas atas dasar hukum kehutanan dan merusak aturan hukum, mendorong investasi
yang sah, dan memberikan keuntungan tidak adil untuk yang kaya dan berkuasa,
karena kontrak mereka yang kemampuan untuk membayar uang suap besar. Uang
yang dihasilkan dari kegiatan pembalakan liar bahkan telah digunakan untuk
membiayai konflik bersenjata. Jurnal ini membahas masalah-masalah yang
kompleks dan sulit. Kebijakan yang bekerja dengan baik di satu lokasi mungkin
memiliki konsekuensi yang tak terduga atau bencana pada orang lain. Jelas ada
situasi di mana manfaat positif dari kehutanan dan penegakan hukum konservasi
lebih besar daripada dampak negatif dan hal ini mungkin memrupakan mata
pencaharian, sehingga pemerintah dan masyarakat kadang-kadang perlu untuk
mengambil langkah-langkah yang membatasi pilihan rumah tangga miskin di
pedesaan. Demikian pula, tidak bijaksana untuk menjadi naif tentang bagaimana
mudahnya membiarkan masyarakat sendiri untuk secara efektif mengatur
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
13
penggunaan hutan. Namun, ada alasan bagus untuk mempertanyakan banyak
upaya yang ada dan yang diusulkan untuk mengatur hutan, dan untuk mengambil
langkah-langkah untuk memastikan bahwa peraturan tidak hanya membenarkan
kelompok kaya dan berkuasa memperoleh monopoli atas akses terhadap
sumberdaya hutan, bukannya melindungi sumber daya. Pemerintah dan
masyarakat harus mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan untuk
memastikan bahwa fungsi yang mereka pertahankan dari waktu ke waktu, manfaat
dibagi merata, konflik diselesaikan secara adil dan transparan, dan pendapatan
pajak yang cukup yang diperoleh untuk membayar biaya publik yang diperlukan.
Pelanggaran luas hutan yang ada hukum dan peraturan memiliki dampak negatif
besar pada hutan, mata pencaharian, pendapatan masyarakat, dan supremasi
hukum.
Terdapat empat penelitian ilmiah sebelumnya yang juga mengangkat tema
pembalakan liar. Empat penelitian tersebut memiliki perbedaan seperti yang
dijelaskan melalui tabel di bawah ini:
Deskripsi tentang pembalakan liar di Kalimantan barat berdasarkan
penilitian yang dilakukan oleh Kusmayadi pada tahun 2003, menyatakan pada
tahun 2002 jumlah lahan kritis dalam kawasan hutan mencapai 2.163.570 ha, dan
diluar kawasan hutan sebanyak 2.978.700 ha, sehingga jumlah keseluruhannya
adalah 5.142.270 ha (Kusmayadi, 2003). Hal ini berarti bahwa luas lahan kritis di
Kalimantan barat telah mencapai 35,03% dari total luas hutan Kalimantan barat
yang berjumlah 14.680.700 ha (Kusmayadi, 2003). Pembalakan liar hampir terjadi
di semua kabupaten yang memiliki areal berhutan, sedangkan penyelundupan
kayu ke Malaysia terjadi hampir pada sepanjang wilayah perbatasan dengan
frekuensi terbesar melalui jalur Badau, Entikong, dan sekitar Jagoi Babang serta
Pare (Ibid, 2003).
Kusmayadi (2003) menyimpulkan penelitiannya tentang p embalakan liar di
Kalimantan barat adalah;
1. Melalui pengamatan, aktifitas pembalakan liar dapat dengan mudah di
observasi dengan terlihatnya truk mengangkut kayu olahan menuju Sarawak
tanpa ada dokumen, tidak dilakukan pemeriksaan, dan tidak ada pemungutan
pajak apapun oleh instansi terkait. Alur pergerakan illegal loging mulai dari
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
14
saat penebangan sampai ke daerah tujuan akhir dilakukan dengan sangat
terorganisir melalui beberapa jalur.
2. Tenaga kerja yang dimobilisasi oleh para pemodal sebagian besar bukan
berasal dari penduduk setempat. Keberadaan pemodal (cukong) dalam
aktifitas pembalakan liar di Kalimantan Barat memegang peran penting,
taktik, atau strategi untuk mendapatkan kayu.
3. Aktifitas pembalakan liar telah mengakibatkan perbedaan pendapat antara
pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten terutama yang berkaitan
dengan kewenangan pengelolaan hutam. Sebagai contoh dalam mengeluarkan
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), dians kehutanan propinsi
Kalimantan barat berpedoman bahwa surat keterangan sahnya hasil hutan
hanya dapat diberikan atas kayu yang jelas asal usul dan perizinannya,
sedangkan pemerintah kabupaten memandang bahwa untuk kayu yang tidak
jelas asal usulnya jika sudah ditebang sebaiknya diberikan SKSHH.
4. Masyarakkat hutan hidup dengan bergantung pada hasil sumberdaya hutan di
sekitarnya. Dengan adanya kegiatan penebangan kayu ini telah banyak
mengubah norma norma masyarakat seperti larangan menebang kayu di
kawasan tertentu yang dilarang oleh adat, tetapi saat ini diperbolehkan dengan
syarat masayrakat mendapatkan kompensasi yang dinilai dengan rupiah.
5. Berbagai alasan yang sering dikemukakan adalah untuk membangun daerah
diperlukan dana, dan salah satu cara yang paling mudah dan cepat adalah
dengan mengeksploitasi sumber daya alam. Selain itu kekeliruan dalam
memahami peraturan banyak terjadi dimana peraturan daerah maupun
keputusan bupati/kepala daerah dianggap lebih kuat kedudukannya
dibandingkan dengan keputusan menteri sehingga seringkali terabaikan, dan
hali ini yang menyebabkan tidak sinkron nya dalam menjalankan prosedur dan
proses perizinan.
6. Sistem kontrol yang menjadi salah satu faktor kenapa membesarnya aktifitas
pembalakan liar. Melakukan kontrol ke lokasi yang jauh dari pusat tidaklah
mudah karena selain hambatan alam, tekanan dari oknum atau kelompok
masyarakat setempat kadang kala menjadi penghambat untuk melakukan
control terlebih lagi di dukung dengan kurangnya jumlah tenaga pengawas.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
15
7. Lemahnya penegekan hukum positif terhadap pelaku pembalakan liar
menyebabkan aktifitasnya berkembang semakin tidak terkendalli. Sehingga
memunculkan peraturan peraturan lokal yang dibuat oleh kelompok
masyarakat dengan memasukkan unsur adat setempat.
8. Banyaknya kesamaan budaya adalah salah satu faktor yang mempermudah
kedua masyarakat untuk melakukan aktifitas pembalakan liar. Dengan
demikian terjadinya proses pembalakan liar di perbatasan karena adanya
supply and demand dimana kedua belah pihak sama-sama membutuhkan.
Aspek dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan kayu
illegal dalam system peradilan pidana berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Erlin Yuliastuti (2006) merupakan rangkaian tindakan hukum mulai dari
penyelidikan, penyidikan oleh kepolisian, ppns kehutanan, penuntutan oleh jaksa
penuntut umum, pemeriksaan disidang pengadilan oleh hakim dan berakhir
dengan pembinaan narapidana oleh petugas lembaga kemasayrakatan. Di samping
itu beberapa instansi terkait lainnya seperti departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi, panglima TNI serta
Departemen Kehutanan dan Perkebunan turut pula berperan dalam penegakan
hukum terhadap perdagangan kayu illegal. Namun dalam penegakan hukumnya
mata rantai alur hukum seringkali terputus, artinya penanganan terhadap suatu
kasus terbatas pada dimana kayu illegal tersebut ditemukan. Penanganannya rumit
dan terkotak-kotak menjadi kendala terbesar dalam penegakkan hukum. Kendala-
kendala tersebut meliputi substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Pada substansi nya terdapat seperti tumpang tindih nya aturan hukum serta
rumusan sanksi dalam UU no. 41 tahun 1999 tidak mengatur mengatur rumusan
ssanksi sehingga tidak memberikan efek jerak pada yang terpidana. Struktur
hukum itu sendiri meliputi polisi, Ppns kehutanan, jaksa dan hakim. Kendalanya
adalah kurangnya koordinasi antar sesama penegak hukum dengan instansi terkait,
seringkali hukum hanya berlaku pada pelaku di lapangan hingga tidak
menjangkau pelaku intelektual terlebih lagi munculnya praktik kkn pada aparat
penegak hukum dan instansi terkait.
Penelitian yang di lakukan Soedaryanto (2000) lebih menjelaskan tentang
profil dan kinerja kelompok pembalak dalam melakukan pembalakan illegal
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
16
(pembalakan liar). Dalam aksi pembalakan liar terdapat 2 faktor yang mendorong
kelompok kelompok ini melakukan aksinya, yaitu faktor intern (niat dan
kesempatan melakukan pembalakan illegal untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
kelompok pembalak) dan faktor ekstern (adanya konsumen yaitu pembeli yang
kebanyakan masyarakat umum dan pengumpul yang biasanya pemilik sawmill
legal yang membutuhkan bahan baku) (Soedaryanto, 2000). Pekerjaan yang
mereka miliki diketahui tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, maka
dari itu aksi pembalakan liarpun dilakukan. Aksi ini dilakukan berdasarkan karena
adanya niat dalam perbuatannya beserta kesempatan dalam melakukan aksi
tersebut ditambah dengan kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak beserta
kemudahan pasar kayu ke konsumen sehingga aksi ini seringkali dilakukan.
Seperti halnya dengan penelitian yang dilakukkan oleh Wawan Gunawan
(2001), yang mengambil tempat pada Taman Nasional Ujung kulon, Banten.
Fokus penelitiannya adalah pada abalisis biaya pembalakan illegal di areal hutan
konservasi. Kegiatan pembalakan yang terjadi di Taman Nasional Ujung kulon
seluruhnya dilakukan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional dan dilakukan
secaaara sembunyi-sembunyi. Secara garis besar, pembalakan liar yang terjadi di
Taman Nasional Ujung kulon dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Wawan,
2001);
1. kelompok bisnis atau usaha, kelompok ini terjadi apabila data penampung
kayu atau cukong kayu dari kota membeli kayu pada penampung lokal atau
langsung ke masayrakat pembalak, dengan kata lain pesanan atau permintaan
dari cukong. Volume kayu yang diambil oleh kelompok ini relatif besar tetapi
frekuensinya relatif jarang.
2. kelompok kebutuhan sendiri, kelompok ini terbentuk karena adanya
kebutuhan kyau masyarakat untuk pembuatan rumah tau kebutuhan lainnya.
Volume kayu yang diambill relatif kecil tapi frekuensinya relatif tinggi.
Dalam hubungan kerjasama antaar pembalak dengan pemilik modal, modal
yang digunakan dalam kegiatan pembalakan berasal dari pemilik modal atau
pemilik chainsaw dan modal patungan anggota kelompok. Besarnya modal
belanja yang dibutuhkan untuk satu hari operasi berkisar antara Rp. 26.700-Rp.
35.000 yang digunakan untuk pembelian bahan bakar dan pelumas serta ransum.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
17
II.2 Kerangka Pemikiran
Kejahatan (Siegel,2000:4) adalah, “suatu pelanggaran terhadap aturan
perilaku dalam masyarakat yang diinterprestasikan dan diekspresikan oleh suatu
hukum pidana yang diciptakan oleh sekelompok orang yang memegang
kekuasaan sosial dan politik. Individu-individu yang melanggar aturan-aturan ini
merupakan subyek dari sanksi yang diberikan oleh aparatur Negara, stigma sosial,
dan kehilangan status.” Dalam kajian Kriminologi pelanggaran undang undang
dan tingkah laku yang merugikan masyarakat dapat dikategorikan sebagai
kejahatan. Mardjono Reksodiputro, merumuskan kejahatan sebagai berikut;
“kejahatan sebagai suatu tingkah laku, adalah merupakan perbuatan yang (kita
anggap) menyimpang, bertentangan dengan hukum, atau melanggar UU, dan
merugikan masyarakat, baik dilihat dari segi kesusilaan, kesopanan, dan
ketertiban anggota masyarkat.”(Romli, 1984).
Santoso dan Zulfa (2001) mengutip dari Thorsten Sellin yang
mengutarakan bahwa pemberian batasan definisi kejahatan secara yuridis itu tidak
memenuhi tuntutan-tuntutan keilmuan. Suatu dasar yang lebih baik bagi
perkembangan kategori-kategori ilmiah menurutnya adalah memberikan dasar
yang lebih baik dengan mempelajari norma-norma kelakuan (conduct norms),
karena konsep norma-norma perilaku yang mencakup setiap kelompok atau
lemabaga merupakan ciptaan kelompok-kelompok normative manapun.
Maka dari itu Mustofa (2007) merumuskan kejahatan secara kriminologis
adalah pola tingkah laku seseorang yang relative menetap, yang merugikan
masyarakat secara fisik, psikologis, maupun materi, yang dapat dilakukan oleh
individu, kelompok, maupun organisasi.
Beberapa kejahatan menunjukkan sifat sifat egoistis, ketamakan dari
pelaku dengan sama sekali tidak memperdulikan keselamatan, kesejahteraan atau
pun milik orang lain (Dermawan dan Purnianti,1994). Kejahatan tindak pidana
pembalakan liar sering digunakan untuk merujuk pada berbagai kegiatan illegal
yang berpengaruh terhadap hutan dan masyarakat yang tergantung padanya.
Kegiatan hutan illegal meliputi semua tindakan illegal yang berhubungan dengan
ekosistem hutan, demikian juga industri yang berhubungan dengan hutan dan
hasil hutan kayu serta non-kayu (Tacconi, 2007). Kegiatan ini meliputi tindakan
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
18
yang melanggar hak-hak atas lahan hutan, melakukan korupsi untuk mendapatkan
konsesi hutan, dan semua kegiatan pada seluruh tahap pengelolaan hutan dan
rantai produksi barang dari hutan, dari tahap penanaman hingga penebangan dan
pegangkutan bahan baku serta bahan jadi hingga pengelolaan keuangan (Setiono
dan Husein, 2005).
Sutherland dan Cressey berpendapat bahwa, kriminologi merupakan
“seperangkat pengetahuan yang memandang kejahatan sebagai suatu fenomena
sosial. Yang meliputi ruang ingkup proses, pembuatan hukum, pelanggaran
hukum, dan reaksi terhadap pelanggaran hukum tersebut. Obyektifitas
Kriminologi merupakan perkembangan dari seperangkat aturan-aturan ynag
bersifat umum dan terverifikasi dari pengetahuan yang menyangkut proses
hukum, kejahatan dan perawatan”
Pada umumnya, Obyek penelitian kriminologi dibagi menjadi 4 (Mustofa,
2005);
1. Kejahatan dan tingkah laku penyimpangan
Sebagai satu obyek penelitian Kriminologi yang utama, kejahatan
diartikan sebagai pola tingkah laku yang merugikan masyarakat, baik
secara fisik maupun materi, baik yang dirumuskan dalam hukum maupun
tidak.
Gejala kejahatan dan tingkah laku menyimpang dipelajari dalam
kriminologi dengan tujuan, antara lain, agar dapat dijelaskan bentuk-
bentuknya, sebab musabab terjadinya, pola-polanya, kecenderungannya,
hubungannya dengan masyarakat tempat terjadinya peristiwa kajahatan
atau tingkah laku menyimpang, serta konsep-konsep kejahatan atau
tingkah laku menyimpang yang dianut oleh masyarakat.
2. Penjahat, pelaku kejahatan dan penyimpang
Bagi Kriminologi konsep penjahat berbeda dari konsep hukum,
sehingga dalam kriminologi seseorang disebut sebagai penjahat apabila
pola tingkah lakunya adalah tingkah laku kejahatan yang bersifat menetap.
Tindakan kejahatan yang dilakukan merupakan karakter dari orang
tersebut. Sifat tingkah menetap artinya tingkah laku tersebut sudah
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
19
menjadi karakter pelakunya dan merupakan pola tingkah laku yang
dilakukan secara berulang-ulang.
3. Reaksi sosial terhadap kejahatan dan penjahat
Reaksi sosial terhadap kejahatan dan penjahat adalah berbagai
macam bentuk tindakan yang diambil dalam rangka menanggulangi
kejahatan atau menindak pelaku kejahatan agar masyarakat terbebas dari
kejahatan dan pelaku kejahatan tidak mengulangi perbuatannya.
4. Korban kejahatan
Korban kejahatan merupakan obyek penelitian Kriminologi yang
tidak dapat dilepaskan dari gejala kejahatan. Hampir dapat dipastikan
bahwa setiap kejahatan pasti akan ada korbannya, baik orang lain maupun
diri sendiri.
Keseluruhan obyek penelitian tersebut dianalisa dalam ruang lingkup
sosiologi di bawah topik gejala sosial. Atau dengan kata lain obyek penellitian
kriminologi tersebut dipelajari sebagai gejala sosial (Mustofa, 2005).
Menurut UU no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
“Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam
itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain”.
Dalam kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan
lingkungannya, etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang
menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan
lingkungan tetap terjaga. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan sehubungan
dengan penerapan etika lingkungan sebagai berikut (Keraf, 2002):
a. Manusia merupakan bagian dari lingkungan yang tidak terpisahkan
sehngga perlu menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya selain
dirinya sendiri.
b. Manusia sebagai bagian dari lingkungan, hendaknya selalu berupaya
untuk menjaga terhadap pelestarian, keseimbangan dan keindahan
alam.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
20
c. Kebijaksanaan penggunaan sumber daya alam yang terbatas termasuk
bahan energi.
d. Lingkungan disediakan bukan untuk manusia saja, melainkan juga
untuk makhluk hidup yang lain.
Maka dari itu, fokus pada masalah lingkungan yang kita hadapi pada
hakekatnya adalah masalah ekologi manusia. Masalah itu timbul karena
perubahan lingkungan yang menyebabkan lingkungan itu tidak atau kurang sesuai
lagi untuk mendukung kehidupan manusia, akibatnya ialah terganggunya
kesejahteraan manusia (Soemarwoto, 1991).
Selain merupakan pelanggaran terhadap UU yang berlaku, keberadaan
pembalakan liar mengakibatkan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh
kegiatan logging yang dilakukan. Kerusakan lingkungan tersebut adalah suatu
gangguan terhadap lingkungan alam. Dan menurut Hoefnagels: “manusia dan
lingkungan adalah terikat secara tak terpisahkan..gangguan terhadap lingkungan
ini adalah gannguan terhadap manusia itu (Soemarwoto, 1991). Gangguan
terhadap lingkungan alam yang merupakan dampak dari adanya kegiatan
pembalakan liar dipandang sebagai pelanggaran terhadap norma kehidupan
masyarakat terutama norma hukum, dan dapat digolongkan sebagai kejahatan,
karena kerugian yang diakibat sangat merugikan baik itu manusia maupun
lingkungan itu sendiri.
Kejahatan lingkungan adalah tindakan yang tidak sah atau kelalaian yang
melanggar hukum dan karena itu tunduk pada tuntutan pidana dan sanksi pidana.
Pelanggaran ini merugikan atau membahayakan keselamatan orang fisik atau
kesehatan serta lingkungan itu sendiri, melayani kepentingan baik organisasi -
biasanya perusahaan atau individu (Situ dan Emmons, 2000). Perusahaan
merupakan pelaku kejahtan lingkungan yang utama, organisasi lain, seperti
organisasi pemerintah sering sekali ikut bergabung, serta individu juga dapat
melakukan kejahatan lingkungan.
Situ & Emmons (2000) menyatakan bahwa, kejahatan lingkungan dapat
dijelaskan dengan;
1. Kejahatan korporasi terhadap lingkungan (corporate environmental crime)
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
21
Dalam Menjelaskan konsep ini, Situ dan Emmons mengutip dari
beberapa kajian. Kejahatan korporasi terhadap llingkungan adalah salah
satu macam dari kejahatan korporasi, yang, pada kenyataannya,
merupakan bagian penting dari kejahatan kerah putih (Cllinard dan
Yeager, 1980). Sutherland (1940) menciptakan tema kejahatan kerah
putih, mendefinisikan sebagai "kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
yang mempunyai kehormatan dan status sosial yang tinggi dalam
pekerjaannya. Sutherland menekankan bahwa orang dengan status yang
tinggi mampu melakukan kejahatan karena kesempatan yang ditawarkan
oleh posisi pekerjaan yang tinggi, yang mereka pegang.
Kejahatan korporasi yang dilakukan oleh pegawai, tidak untuk
keuntungan pribadi tetapi atas nama korporasi atau bisnis (Coleman,1994).
Dapat disimpulkan bahwa, kejahatan korporasi terhadap
lingkungan adalah bagian dari kejahatan korporasi. Mereka merusak
lingkungan atau membahayakan kesehatan umum sekaligus mengambil
manfaat korporasi. mereka terikat dalam praktik organisasi, bukan
preferensi sebagai individu-individu. Mereka berkomitmen dalam rangka
melakukan bisnis oleh pegawainya, seringkali pada tingkat tertinggi,
terutama untuk tujuan perusahaan daripada kepentingan pribadi.
Situ dan Emmons (2000) memberikan masukan bagaimana menjelaskan
kejahatan korporasi terhadap lingkungan dengan menggunakan tipologi motivasi
(motivation), kesempatan (opportunity), dan aparat penegak hukum (law
enforcement).
Motivasi (motivation), motivasi memiliki elemen struktural (makro) dan
individu (mikro). Ketika tujuan untuk keberhasilan perusahaan merupakan factor
utama bagaimana melakukan dengan cara apapun untuk mencapai tujuan dalam
keberhasilan, dasar struktural untuk motivasi dimasukkan. Dalam situasi ini
tekanan bisa berpaling kepada cara ilegal untuk mencapai tujuan perusahaan.
Tetapi pelaku kejahatan paling bersedia untuk melanggar hukum atas nama
korporasi akan sering memiliki beberapa motivasi pribadi juga, yang biasanya
ditandai dengan rasa takut pemecatan atau penuruanan pangkat atau kehilangan
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
22
jabatan, atau mempunyai ciri kepribadian, seperti licik, yang kondusif untuk
melakukan kejahatan.
Kesempatan (opportunity), dua jenis peluang juga harus hadir. pertama,
kesempatan secara objektif untuk melakukan kejahatan harus ada. tiga keadaan
memberikan kesempatan ini,
1. jenis industri yang memiliki potensi dampak yang besar terhadap
lingkungan
2. sebuah perusahaan besar, dimana secara akuntabilitas kacau dan
komunikasi yang buruk
3. dalam bahwa industri, dan posisi keputusan yang signifikan
membuat otoritas dalam industry.
kedua kesempatan subyektif, persepsi peluang oleh pelanggar hukum
harus ada. ketika petinggi perusahaan mensosialisasikan dan menjadi budaya
perusahaan yang memfasilitasi kejahatan, ia melihat lebih banyak kesempatan
untuk melakukan kejahatan.
Aparat penegak hukum (law enforcement), kualitas pada kondisi
penegakan hukum, motivasi dan kesempatan. jika penegakan hukum yang pasti
dan parah, kesempatan dan motivasi yang terbatas oleh biaya kejahatan.
kemungkinan besar ketakutan dan punisment tidak dapat diterima. jika penegakan
hukum lemah, sesat, atau intermiten, maka itu lebih mungkin bahwa motivasi
struktural akan mendorong perusahaan ke arah kejahatan, kejahatan karakteristik
rawan dan rasa peluang pidana akan memegang, dan bahwa kesempatan tujuan
untuk melakukan kejahatan akan memperluas
Kejahatan lingkungan memiliki dua korban yang nyata, adalah orang dan
lingkungan sedangkan korban kejahatan jalanan biasanya orang. Sebuah kejahatan
lingkungan, sebaliknya, biasanya memiliki banyak korban, kadang-kadang
penduduk dari seluruh wilayah. Korban mereka juga mungkin bertahap dan akan
terdeteksi setelah bertahun-tahun. Lingkungan yang korban sering milik umum
(sebuah taman negara) atau sumber daya yang tidak ada klaim swasta (udara)
(Situ & Emmons, 2000).
Pelaku kejahatan lingkungan meliputi individu maupun grup, dari berbagai
macam latar belakang dan situasi sosial-ekonomi. Namun ancaman terbesar
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
23
biasanya dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuatan terbesar untuk
merusak, berupa korporasi transnational dan organisasi bisnis besar. Tindakan
badan ini terkait dengan konteks politik ekonomi yang secara fundamental
melahirkan kejahatan. Terdapat implikasi yang sistemik untuk ancaman terhadap
lingkungan.
Berdasarkan beberapa konsep diatas dapat dikatakan bahwa pembalakan
liar merupakan suatu bentuk pelanggaran yang bisa dikategorikan sebagai
kejahatan. Pembalakan liar perwujudan dari keeogisan individu dalam menguras
sumber daya alam. Akan tetapi dalam penelitian ini, pendefenisian pembalakan
liar sebagai suatu bentuk kejahatan hanya dapat dari dilihat dari sisi peraturan.
Dimana berdasarkan UU yang berlaku pembalakan harus memiliki izin dari
pemerintah. Dan apabila kegiatan logging ini tidak memiliki izin dapat
digolongkan sebagai pembalakan liar.
II.3 Definisi Konseptual
II.3.1 Kejahatan
Kejahatan (Siegel,2000:4) adalah, “suatu pelanggaran terhadap aturan
perilaku dalam masyarakat yang diinterprestasikan dan diekspresikan oleh suatu
hukum pidana yang diciptakan oleh sekelompok orang yang memegang
kekuasaan sosial dan politik. Individu-individu yang melanggar aturan-aturan ini
merupakan subyek dari sanksi yang diberikan oleh aparatur Negara, stigma sosial,
dan kehilangan status.”
II.3.2 Environmental Harm
White (2008) menjabarkan, Adalah berarti dampak pada lingkungan
sebagai akibat dari kegiatan manusia yang memiliki pengaruh perusakan
lingkungan, baik sementara atau permanen. Harm paling sering disebabkan oleh
agen polusi dan UU memiliki definisi yang sangat luas dari kedua elemen,
mencemari dan agennya. Mencemari termasuk 'menyebabkan atau gagal untuk
mencegah debit, emisi, penyetoran, gangguan atau melarikan diri dari polutan dan
agen adalah:
gas, cair atau padat
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
24
debu, asap, bau atau asap
organisme, baik yang meninggal atau hidup, termasuk virus atau prion
energi, termasuk panas, kebisingan, radioaktivitas, cahaya, atau
elektromagnetik lainnya radiasi
apa diresepkan atau kombinasi dari unsur-unsur di atas
II.3.3 Environmental Crime
Clifford (1998) menyatakan bahwa kejahatan lingkungan adalah tindakan
yang dilakukan dengan tujuan merusak atau menyebabkan kerusakan pada sistem
ekologi dan biologi untuk tujuan bisnis atau keuntungan pribadi. Menurut Situ dan
Emmons (2000), kejahatan lingkungan sebenarnya adalah 'penciptaan' dari
undang-undang lingkungan, karena perilaku yang mengancam atau agresif,
dimana tidak melanggar hukum, tidak termasuk tindak pidana. Undang-undang
mendefinisikan apa yang akan didefinisikan sebagai kejahatan lingkungan, tetapi
juga mengarah pada keraguan tentang keandalan cabang legislatif dari pemerintah
dan negara sebagai yang paling bertanggung jawab untuk mengatur hal ini.
Memang benar bahwa membagi kejahatan lingkungan menjadi wacana yang
hanya membahas dampak dari sistem peradilan pidana dapat memberitahu kita
banyak tentang arah dan hubungan negara individu untuk perlindungan
lingkungan, karena setiap negara dengan caranya sendiri mengatur bidang
pidananya, sistem peradilan, respon terhadap perlindungan lingkungan dalam
hukum pidana. Selanjutnya Situ dan Emmons (2000: 3-4) mendefinisikan
kejahatan lingkungan sebagai tindakan terlarang, yang bertentangan dengan
hukum dan oleh karena itu subjek tuntutan pidana dan sanksi.
II.3.4 Corporate Crime
Perilaku ilegal yang dilakukan oleh karyawan sebuah perusahaan untuk
mendapatkan keuntungan korporasi, perusahaan, atau bisnis (Clinard &
Quiney,1973).
II.3.5 Forestry Crime
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
25
Selain klasifikasi berdasarkan UU No. 41/1991 tentang Kehutanan,
kejahatan kehutanan juga dapat diklasifikasikan menurut istilah yang umum
digunakan dalam membahas isu-isu lingkungan termasuk:
1. Pembalakan liar - serangkaian kegiatan, mulai dari penebangan kayu dan
mengangkut ke pengolahan dan ekspor tanpa izin dari pemerintah, dan Oleh
karena itu tidak sah, melanggar hukum dan dianggap tindakan yang merusak
hutan (Suarga 2005: 15).
2. Merusak logging - pemotongan ilegal turun dari hutan yang dilakukan oleh
perusahaan kehutanan dengan izin resmi pemerintah (sebagaimana diatur
dalam ayat, pasal 50 (2) UU No. 41/1999 tentang Kehutanan).
II.3.6 Pembalakan liar
Istilah pembalakan liar sering digunakan untuk merujuk pada berbagai
kegiatan illegal yang berpengaruh terhadap hutan dan masyarakat yang tergantung
padanya. Kegiatan hutan illegal meliputi semua tindakan illegal yang
berhubungan dengan ekosistem hutan, demikina juga industry yang berhubungan
dengan hutan dan hasil hutan kayu serta non kayu. Kegiatan itu meliputi tindakan
yang melanggar hak-hak atas lahan hutan, melakukan korupsi untuk mendapatkan
konsesi hutan, dan semua kegiatan pada seluruh tahap pengelolaan hutan dan
rantai produksi barang dari hutan, dari tahap penanaman hingga penebangan dan
pengangkutan bahan baku serta bahan jadi hingga pengelolaan keuangan (Tacconi
et al. 2004).
II.3.7 Korban Kejahatan
Berdasarkan Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban
Kejahatan Dan Penyalahgunaan Kekuasaan, yang dikeluarkan pada Tahun 1985
sebagai Resolusi PBB Nomor 40/34 Tanggal 29 November 1985, korban
kejahatan ialah orang yang secara perseorangan maupun kelompok telah
mendapatkan kerugian baik luka fisik, luka mental, penderitaan emosional,
kehilangan harta benda atau perusakan yang besar terhadap hak dasar mereka
melalui tindakan maupun pembiaran yang telah diatur dalam hukum pidana yang
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
26
dilakukan di dalam negara anggota (termasuk hukum yang melarang dalam
penyalahgunaan kekuasaan).
II.3.8 Reaksi Sosial
Mustofa (2007) merumuskan reaksi sosial dengan 3 jenis;
1. reaksi formal, adalah pola bentuk masyarakat yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga masyarakat yang dibentuk secara formal oleh Negara
untuk menanggulangi kejahatan. Wujud nyata dari reaksi formal terhadap
kejahatan tersebut adalah disusunnya hukumpidana dan system peradilan
pidana.
2. Reaksi informal, adalah bentuk-bentuk tindakan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga resmi dalam sistem peradilan pidana terhadap pelaku
kejahatan, tetapi tindakan tersebut tidak mengacu kepada ketentuan hukum
yang berlaku.
3. Reaksi non-formal, adalah berbagai bentuk tindakan yang dilakukan oleh
warga masyarakat secara langsung terhadap pelaku kejahatan maupun
terhadap gejala kejahatan tanpa ada kaitannya dengan sistem peradilan
pidana.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA 27
BAB III
METODE PENULISAN
III.1 Metode Penulisan
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah kasus kegiatan
pembalakan liar (pembalakan liar). Oleh karena itu pendekatan yang digunakan
tidak terlepas dari pendekatan yang berorientasi pada kegiatan pembalakan liar
(pembalakan liar). Pendekatan terhadap kegiatan pembalakan liar (pembalakan
liar) yang berkaitan antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan
yang rasional, pendekatan ekonomis dan pragmatis serta pendekatan yang
berorietasi pada nilai.
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif kualitatif bertujuan untuk menjawab pertanyaan “bagaimana suatu hal
dapat terjadi” dan bertujuan untuk menggambarkan fenomena secara detail atau
lengkap mengenai subjek penelitian (Bailey, 1994). Penelitian deskriptif
mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tatacara yang berlaku
dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan,
kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang
sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena (Nazir, 1985).
III.2 Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus yaitu suatu
metode yang meneliti suatu kasus atau gejala secara intensif, mendalam,
mendetail, dan komprehensif (Faisal,1989). Pendekatan penelitian yang
digunakan adalah dengan menganalisa penelitian terdahulu sehingga dapat
menyimpulkan dengan analisis kriminologi terhadap kasus pembalakan liar di
Taman Nasional Tanjung Puting.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA 28
III.3 Teknik pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yaitu:
a. Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan jurnal, buku, dan
penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema. Adapun dalam
pengumpulannya penulis mendapatkan kepustakaan dari bentuk buku fisik
hingga dari media online serta media cetak.
b. Studi Literatur
Studi literatur terhadap kasus yang digunakan dengan cara datang ke LSM
Telapak, meminta data dan informasi terkait dengan kasus yang diambil
berupa bentuk fisik media cetak maupun digital. Studi literatur pun
dikumpulkan dengan cara menggunakan fasilitas online untuk mendapatkan
data dan informasi tambahan terkait kasus.
III.4 Sumber Data
Penulisan karya akhir ini menggunakan data sekunder yang berupa hasil
penelitian dari Telapak.
Telapak merupakan asosiasi aktivis LSM, praktisi bisnis, akademisi,
afiliasi media dan pemimpin masyarakat adat, nelayan, dan petani Indonesia
terhadap keberlanjutan, kedaulatan, dan integritas. Menggunakan data dari
Telapak ini karena, pihak Telapak melakukan investigasi langsung turun lapangan
yang data-datanya diperoleh langsung dari investigasi dan wawancara langsung di
lapangan penelitian. Dalam penelitiannya Telapak tidak hanya melakukan
investigasi dan meneliti apa yang terjadi tetapi juga berusaha memberikan
masukan-masukan kepada pemerintah bagaimana menuntaskan dan mengatasi
sebuah konflik. Telapak juga menjadi wadah dalam penampung aspirasi dalam
konsep dan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.
Alasan penulis menggunakan hasil penelitian Telapak sebagai data
sekunder adalah karena kemudahan dalam memperoleh ketersediaan data dan
informasi.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA 29
III.5 Analisis Kontekstual
Analisis data secara kualitatif yang disajikan secara deskriptif. Analisis
sifat deskriptif dari data penelitian ini karena ingin menggambarkan kriminologis
terhadap kasus pembalakan liar ataupun fenomena pembalakan liar berkaitan
dengan pelaksanaan di dalam prakteknya. Hasil analisis mampu mengemukakan
dan menemukan kategori-katagori yang berkaitan dengan suatu disiplin, tetapi
juga dikembangkan dari suatu kategori yang dikemukakan dan hubungan-
hubunganya dengan data yang didapat. Hasil analisis data tersebut dapat
diperlakukan kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berpikir dari hal
sifatnya umum didasarkan atas fakta-fakta dan gejala kepada sifat yang khusus.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
30
BAB IV
DATA DAN ANALISIS
IV.1 Deskripsi Kasus Pembalakan Liar di Taman Nasional Tanjung Puting1.
Investigator Telapak / EIA yang menyamar sebagai pembeli kayu
memperoleh wawasan ke dalam praktek bisnis Rasyid selama dua pertemuan
dengan keponakannya Sugianto. Selama pertemuan awal singkat di markas
Tanjung Lingga di Pangkalanbun, Sugianto mengatakan, pihaknya bisa
menawarkan baik bisnis yang legal dan illegal, dan direkomendasikan kategori
kedua sebagai cara untuk menghindari pajak ekspor 30%.
Pada pertemuan yang diadakan dengan Sugianto, Dia menyarankan para
calon pembeli untuk menutupi setiap perdagangan illegal dengan Tanjung Lingga
dengan melakukan sejumlah kecil bisnis yang legal untuk menyediakan dokumen
yang diperlukan. Sugianto mengatakan ia menemukan ekspor kayu ilegal ke
Malaysia, Hong Kong, Singapura dan Taiwan sangat mudah karena pihak pabean
dan cukai gampang dipengaruhi, tetapi memperingatkan bahwa China jauh lebih
sulit. Dia juga berbicara tentang rencananya untuk mengekspor ramin tirai ke
Amerika Serikat dengan harga $ 1.200 per meter kubik.
Pada perjalanan perahu kembali ke kota, Sugianto menyatakan koneksi
Rasyid kepada militer lokal dan menceritakan bagaimana pamannya mulai
karirnya sebagai pembalak liar di Tanjung Puting.
Sebuah tim EIA / Telapak kedua memperoleh akses ke lain operasi ramin
Rasyid, lebih ke utara di Sungai Arut. Tim mengamati bahwa pabrik, yang disebut
Fajar Harapan, ditumpuk tinggi dengan ramin, sebelum dikawal dari lokasi oleh
petugas keamanan. Di belakang pabrik adalah barak perumahan pekerja pabrik,
yang pada kontrak 40-hari untuk memproses ramin pada biaya sebesar Rp 8.000
(US $ 1,3) per hari.
Masyarakat setempat mengatakan Rasyid memiliki empat pabrik ramin
sepanjang Sungai Arut, namun hanya salah satu divisi bisnis Tanjung Lingga
1 Deskripsi kasus yang penulis ambil dari hasil penelitian Telapak (1999) yang berjudul “The Final Cut”.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
31
muncul pada daftar semua penggergajian kayu dan lisensi pabrik kayu untuk
beroperasi di Taman Nasional Tanjung Puting.
untuk lolos dari hukum, orang seperti Rasyid yang mempunyai pengaruh
yang besar, Sugianto mengatakan Dia hanya membeli ramin curian yang
berwenang sesekali merebut. Pada 7 Juni 1999 tongkang baja ditangkap oleh
pihak berwenang di Kumai Bay. Di papan "Sinar Pawan II" hampir 1.500 kayu
ramin ilegal, setara dengan 864 meter kubik kayu dan senilai $ 500.000 untuk
pasar internasional. Konsinyasi dilelang oleh polisi pada 23 Juni, dan salah satu
dari dua pembeli adalah perusahaan PT Sinarut Wirya Perkasa - dimiliki oleh
Rasyid.
Bulan Januari 1999, staf Tanjung Lingga menyandera dan menganiaya dua
aktivis EIA/Telapak yang sedang mengamati unit sawmill kayu di sekitar Tanjung
Puting. Pihak berwenang melakukan serangkaian tindakan tegas baik terhadap
penebang maupun pengolah kayu, tapi bisnis Rasyid tetap berjalan mulus dan
terus terjadi pencurian kayu di Taman Nasional itu.
Pada bulan Februari 2000, Suripto (sekretaris jenderal kementrian
kehutanan dan perkebunan) berkunjung ke kawasan Taman Nasional Tanjung
Puting dan melakukan penyelidikan terhadap Abdul Rasyid, seorang pengusaha
kayu. Selanjutnya pada bulan April, Suripto mengepalai penyelidikan
penyelundupan kayu dari Kalimantan Timur ke Sabah, Malaysia. Penyelidikan itu
mampu mengungkap keterlibatan personil keamanan dari kedua pihak di
perbatasan, yang diduga menyelundupkan sekitar 100.000 meter kubik kayu
setiap bulan. Namun tindakan tegas gagal dilakukan karena rencana tersebut telah
dibocorkan terlebih dahulu. Kepada pers, Suripto mengatakan bahwa kayu liar
diselundupkan dari Jambi di Sumatra ke Malaysia barat, dari Kalimantan Barat ke
Sarawak, dan dari Papua Barat ke Cina.
Memang benar bahwa banyak warga setempat telah bergabung dengan
orang luar untuk menjarah Taman Nasional itu. Jelas, kenyataan ini merupakan
masalah rumit bagi pihak berwenang, terutama di tengah krisis ekonomi dan
ketika pemerintah sedang melaksanakan kebijakan politik desentralisasi.
Menurut Suripto, Sekjen Departemen Kehutanan, tim mempunyai bukti
bahwa Rasyid dan keluarganya sangat terlibat dalam pembelian kayu liar,
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
32
menambahkan bahwa nilai kayu yang dicuri dari Tanjung Puting adalah tujuh
puluh milyar rupiah ($8 juta) setiap tahunnya.
Ia mengatakan: „Rasyid tidak hanya membeli kayu curian dari Taman
Nasional Tanjung Puting, tapi juga kayu ilegal dari konsesi penebangan di
kawasan tersebut. Ia dan saudara kandungnya Ruslan mengolah sedikitnya 60%
kayu curian di kawasan itu.
Pada satu hari EIA / Telapak mengamati enam rakit kayu besar bergerak
turun Sekonyer tersebut. Rakit yang terdiri dari ramin, dalam beberapa kasus
terdapat setengah jadi gergajian dan berupa kayu mentah. Rakit terbesar berliku-
liku selama lebih dari 100 meter dan terdiri dari lebih dari 200 buah ramin. Secara
keseluruhan lebih dari 800 ramin kayu dihitung selama periode dua jam. Pada
beberapa situs di sepanjang sungai penebang sibuk memukul ramin kayu ke lebih
banyak lagi rakit.
Geng-geng logging beroperasi di sepanjang Sekonyer menerima sedikit
sekali fo pekerjaan mereka dan diselenggarakan oleh segelintir perantara berbasis
di Kumai, terutama Akiong. Orang-orang ini menyediakan feri sepanjang sungai,
seperti bahan bakar untuk gergaji, dan membayar penebang sekitar Rp.25, 000 ($
4) untuk setiap meter kubik ramin. Mereka kemudian menjual kayu untuk
penggergajian untuk antara Rp.300, 000 (46 $) dan 600.000 ($ 90) per meter
kubik. Dua dari tengkulak Kumai diamati bepergian Sekonyer dengan speedboat
menuju kamp logging.
Para penebang terus menjarah kayu dari banyak kawasan di Taman
Nasional tersebut, bahkan mencapai area penelitian orangutan di sekitar Camp
Leakey, yang sebelumnya tak tersentuh. Pada akhir Juni 2000, seorang saksi
menghitung 160 batang kayu ramin curian dialirkan sepanjang Sungar Sekonyer
dalam semalam. Kayu curian terus mengalir keluar dari kawasan itu, dan pada
bulan yang sama, sebuah kapal yang mengangkut ramin curian dari Taman
Nasional dicegat di pantai Propinsi Riau, bagian selatan Sumatra. Laporan
pertama menunjukkan bahwa pemilik kapal itu adalah Tanjung Lingga,
perusahaan milik Abdul Rasyid.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
33
IV.2 Analisis Kasus
IV.2.1 Modus Kejahatan
Modus yang terjadi di Taman Nasional Tanjung Puting adalah melakukan
penebangan liar pada wilayah taman nasional, dengan cara pihak perusahaan
mendirikan sawmill kecil di sepanjang sungai sekonyer dan arut. Dalam
mendapatkan satu lahan yang berijin legal yang kemudian menjadi sebagai kedok
untuk anak-anak perusahaan lainnya dilakukan pemaksaan pada inhutani unutk
memberikan lahan konsesi PT. Rimbayu Barito yang telah dihibahkan ke inhutani
dan juga memaksa gubernur kalteng untuk memberikan lahan konsesi. Adapun
dalam mendapatkan kayu illegal dan murah tersangka membeli kayu dari hasil
sitaan polisi yang terdahulu dengan harga sangat murah. Cukong PT. Tanjung
Lingga jug amemfasilitasi masyarakat lokal untuk melakukan pembalakan liar
dengan cara memberikan alat-alat chainsaw dan kemudian kayu hasil tebangan di
beli murah oleh perusahaan.
Proses yang rutin dalam melaksanakan aksi penebangan liar ini dengan
cara tebangan kayu di hanyutkan di sungai sekonyer dan arut hingga ke kumai.
Dari kumai kayu/kayu disebarkan atau dibeli oleh pengusaha kayu lainnya.
Pendistribusian kayu ini dilakukan ke Sumatera, Papua, Hingga ke Malaysia
IV.2.2 Pelaku kejahatan
Pelaku kejahatan penebangan liar di Taman Nasional Tanjung Puting
adalah PT. Tanjung Lingga, yang kepemilikannya oleh Abdul Rasyid yang juga
menjabat sebagai anggota MPR. Pelaku lainnya juga melibatkan masyarakat
setempat/lokal maupun luar/pendatang.
Pada kasus di Taman Nasional Tanjung Puting ini melibatkan
aparat/pegawai Negara atau pemerintah yaitu, Anggota MPR, DPR, Gubernur
Kalteng, TNI, Petugas Inhutani, Polisi, Petugas bead an cukai.
IV.2.3 Korban Kejahatan
Korban akibat aksi penebangan liar di Taman Nasional Tanjung Puting
adalah masyarakat lokal, lingkungan hutan, serta hewan orang utan dan negara.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
34
Kerugian yang diakibatkan termasuk, meningkatnya tingkat deforestasi di
kawasan Taman Nasional, kemudian menyusutnya kehidupan hewan liar,
terutama hilangnya perlindungan untuk orang hutan dan hilangnya pendapatan
vital bagi negara dan daerah.
IV.2.4 Reaksi Sosial
Reaksi secara formal terlihat bahwa jelas aksi yang terjadi di Taman
Nasional Tanjung Puting ini telah melanggar peraturan perundangan atau hukum
formal yaitu Pasal 50 UU No.41/1999 tentang kehutanan, yang diaman sanksinya
disebutkan dalam pasal 78 ayat (7) Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 dengan
ketentuan kehutanan, Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagai
mana dimaksudkan dalam pasal 50 ayat (3) huruf, diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000, (Sepuluh
Miliyar Rupiah).
Reaksi sosial non formal berupa menimbulkan minat pada masyarakat
ikut melakukan aksi penebangan liar baik lokal maupun dari luar, memberikan
dampak reduksi pada tingkat kesejahteraan pada warga sekitar taman nasional,
meresahkan warga lokal Karena tidak tersentuhnya kelompok liar yang didukung
oleh cukong karena tindak penekanan, pemeresan dan kekerasan. Dan ketidak
percayaan masyarakat yang me-label pemerintah sebagai tidak pro-rakyat.
Reaksi secara non formal terwujud dengan, memancing masayrakat lokal
maupun luar melakukan ikut serta menebang pohon di kawasan TN memicu
konflik antara masyarakat lokal dengan pengusaha karena merusak lahan hutan
milik masyarakat serta berkurangnya rasa percaya masayrakat terhadap
pemerintahan yang seharusnya mensejahterahkan rakyat.
IV.3 Analisis Data
IV.3.1 Kejahatan Korporasi Terhadap Lingkungan
Pada dasarnya modus yang dilakukan dalam kasus penebangan liar ini
adalah melakukan penebangan terhadap kayu yang bernilai tinggi seperti kayu
ramin di Taman Nasional Tanjung Puting. Untuk melakukan aksi penebangan liar
ini, profil dari yang terjadi sesuai dengan data yang didapat.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
35
Modus dalam melakukan kejahatan pembalakan liar yang terjadi adalah;
1. pembelian kayu hasil sitaan operasi polisi/aparat Negara yang
terjadi di kasus Taman Nasional Tanjung Puting. Pembelian kayu
ini disinyalir untuk pencucian kayu illegal menjadi legal dengan
harga murah. Dalam hal ini, Taman Nasional Tanjung Puting
mendapatkan kayunya dengan membeli hasil lelang aparat.
2. penebangan liar yang modus penebangannya dilakukan pada
kawasan taman nasional mempunyai kesamaan pada hal
perusahaan tersebut dibantu atau di dukung oleh pemerintahan
setempat. Pembalakan liar di wilayah Taman Nasional Tanjung
Puting di dukung baik dari Inhutani hingga Gubernur Kalimantan
yang bertanggung jawab pada pemberian lahan konsesi.
3. Pola yang terjadi terhadap kasus ini adalah, penebangan kayu
dilakukan secara liar di distribusikan lewat sungai dengan cara
dihanyutkan dan ditarik dengan kapal tugboats. Pada proses
penebangannya sendiri dilakukan dengan cara membuka lahan
hutan yang tidak sesuai dengan ijin konsesi hingga memasuki
kawasan hutan lindung atau taman nasional dan hutan rakyat/adat.
Sesampainya tujuan yang biasanya pada pelabuhan terdekat pada
kasus di TN Tanjung Puting, kayu didistribusikan lewat pelabuhan
terdekat. Karena eratnya hubungan dan dukungan dari
pemerintahan setempat, kayu-kayu yang hasil dari penebangan liar
tersebut dengan sangat mudah melewati petugas bea dan cukai
untuk menghindari pajak yang seharusnya dikenakan pada
perusahaan yang bersangkutan dan dijual kepada perusahaan kayu
asing Malaysia, Cina hingga Amerika Serikat.
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa tindak pembalakan liar yang
terjadi karena melihat adanya potensi kekayaan alam terutama hutan yang
berlimpah menyorot banyak pihak termasuk cukong atau pengusaha untuk
melakukan penebangan demi keuntungan yang sebesar-besarnya.
Sesuai dengan pokok pertama dalam 4 objek penelitian dalam Kriminologi
adalah, kejahatan dan tingkah laku penyimpangan, Mustofa (2005) menyimpulkan
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
36
Gejala kejahatan dan tingkah laku menyimpang dipelajari dalam Kriminologi
dengan tujuan, antara lain, agar dapat dijelaskan bentuk-bentuknya, sebab
musabab terjadinya, pola-polanya, kecenderungannya, hubungannya dengan
masyarakat tempat terjadinya peristiwa kajahatan atau tingkah laku menyimpang,
serta konsep-konsep kejahatan atau tingkah laku menyimpang yang dianut oleh
masyarakat.
Modus yang dilakukan pada dasarnya adalah mendekati dan berhubungan
erat dengan pemerintahan setempat demi mendapatkan akses yang leluasa dan ijin
untuk lahan konsesi. Ijin pertama yang legal sering menjadikan kedok untuk anak
perusahaan lainnya yang melakukan penebangan liar. Dengan cara ini maka
perusahaan kayu dapat melakukan penebangan tanpa melakukan biaya wajib
pajak.
Kegiatan dalam menyalurkan kayu hasil pembalakan liar melalui sungai-
sungai terdekat dengan menyimpan kayu tersebut di logpond tepi sungai
kemudian diangkut dengan kapal atau dihanyutkan dan ditarik dengan tugboats ke
pelabuhan terdekat untuk didistribusikan lebih lanjut. Secara terang-terangan hal
ini dilakukan dengan rutin tanpa ada kecurigaan dari otoritas atau aparat yang
mencurigai. Demikian juga pada saat tiba di pelabuhan, petugas bead an cukai
memberikan lewat atas kayu-kayu yang tidak jelas legalitasnya.
Melihat modus yang dilakukan dapat di analisa, antara pengusaha dan
pemerintahan terbentuk sebuah system dalam organisasi yang tersetruktur dalam
menjalin hubungan untuk melakukan pembalakan liar ini. Seperti apa yang
dirumuskan oleh Situ & Emmons (2000) dalam Kejahatan korporasi terhadap
lingkungan (corporate environmental crime), mengatakan bahwa kejahatan
korporasi terhadap lingkungan adalah bagian dari kejahatan korporasi. Mereka
merusak lingkungan atau membahayakan kesehatan umum sekaligus mengambil
manfaat korporasi. mereka terikat dalam praktik organisasi, bukan preferensi
sebagai individu-individu.
Pada kajian Kejahatan korporasi terhadap lingkungan, Situ da Emmons
memberikan 3 tipologi bagaiaman kejahatan ini dapat terjadi.
Pertama,motivasi (motivation) merupakan dasar bagaiamana seseorang
atau kelompok mempunyai keinginan untuk melakukan tindak kejahatan. Pada
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
37
kejahatan korporasi terhadap lingkungan, tujuan dalam membangun sebuah
perusahaan jelas adalah mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Merton berkomentar sebagaimana dikutip oleh Situ dan Emmons (2000),
perilaku dalam tindak kejahatan dapat dikarenakan oleh tidak terpenuhinya atau
tidak terwujudnya tujuan budaya seseorang. Susahnya dalam mewujudkan tujuan
dalam budayanya mengakibatkan sesorang melakukan inovasi dalam bentuk
perilaku atau tindakan untuk memenuhi kebutuhannya.
Mereka berkomitmen dalam rangka melakukan bisnis oleh pegawainya,
seringkali pada tingkat tertinggi, terutama untuk tujuan perusahaan daripada
kepentingan pribadi. Hal ini tidak berhenti dalam perijinan saja, sering juga pada
kasus diatas masyarakat justru menjadi target dalam modus operandi pembalakan
liar karena kepemilikan atas hak hutan adat yang dimiliki. Kemudian
menggunakan kekuasaan dan wewenang memaksa dan menekan masyarakat
memberikan ijin untuk memanen hasil hutan tersebut dengan bayaran yang minim
dan tidak mensejahterahka nmasyarakat.
Kedua, Kesempatan (opportunity), kejahatan korporasi terhadap
lingkungan memiliki dua dimensi baik secara subyektif, dimana perusahaan
tertentu adalah atau merupakan perusahaan mempunyai kesempatan dalam
melakukan kejahatan berdasarkan jenis perusahaan tersebut. Dengan kata lain,
bidang spesifik yang dimiliki atau tujuan dari perusahaan tersebut memberikan
pengaruh dalam kesempatan untuk melakukan tindak kejahatan. Seperti yang
terjadi pada kasus di Taman Nasional Tanjung Puting (Telapak, 1999) kondisi dan
sifat PT. Tanjung Lingga adalah perusahaan yang berhubungan dengan
pengelolaan hasil hutan kayu. Dalam tujuan sebuah korporasi adalah mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Maka dari itu, perusahaan ini melakukan
pemanenan kayu di kawasan Taman Nasional, yang jelas pada peraturan UU
no.41 tahun 1999 tentang kehutanan mengetahui bahwa dilarang melakukan
penebangan atau pengolahan kayu di areal kawasan hutan lindung.
Secara objektif, kesempatan pada dimensi ini dijelaskan bahwa korporasi
atau perusahaan memberikan sosialisasi atau membudayakan melakukan
kejahatan yang dimana perusahaan tersebut justru memfasilitasi kepada
anggotanya melakukan tindakan kejahatan untuk kepentingan korporasi. Seperti
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
38
contoh kasus oleh PT Tanjung Lingga (Telapak, 1999), pihak perusahaan
memberikan kesempatan pada anggotanya untuk melakukan tindak pembalakan
liar untuk kepentingan atau tujuan memberikan keuntungan yang sebesar-
besarnya kepada perusahaan. Tindakan tersebut selain melakukan pembalakan liar
pada kawasan Taman Nasional, dengan atas nama perusahaan membeli kayu
lelang yang ternyata hasil sitaan oleh aparat pemerintah, dan juga memfasilitasi
untuk masyarakat setempat untuk ikut turut berpartisipasi dalam kegiatan
pemabalakan liar dengan cara memberikan pinjaman alat atau berupa modal untuk
membeli alat-alat.
Ketiga, aparat penegak hukum (law enforcement), peranan aparat penegak
hukum sangatlah penting dalam terjadinya kejahatan pembalakan liar terutama
kejahatan korporasi terhadap lingkungan. Kejahatan korporasi terhadap
lingkungan dapat terjadi karena justru dari kelemahan dari aparat penegak
hukumnya. Ketidak memadai sarana dan pra sarana hingga terbatasnya kekuatan
personel dalam memerangi kejahatan lingkungan merupakan kelemahan dalam
aparat penegak hukum melakasanakan keamanan terhadap lingkungan. Terlebih
lagi aparat penegak hukum mempunyai keuntungan dalam hal hak, bahwa aparat
penegak hukum mempunyai akses, kekuasaan, dan merupakan pengambil
keputusan yang penting. Maka apabila aparat penegak hukum nya lemah akan
semakin memunculkan dan menguatkan motivasi beserta kesempatan dalam
melakukan tindak kejahatan, khususnya tindak pembalakan liar.
Temuan dari Smith, Obidzinski, Subarudi dan Suramenggala (2003) dari
jurnal yang berjudul “Pembalakan liar, collusive corruption and fragmented
governments in Kalimantan, Indonesia”, sifat kepemerintahan yang lemah
menyebabkan sistem pemerintahan yang rusak, ditandai dengan perebutan
kekuasaan, anarki, konflik dan hukum yang bertentangan mengaburkan garis
antara legalitas dan ilegalitas dan karena itu membuat lebih mudah bagi
pembalakan liar, didukung oleh kolusi korupsi, untuk berkembang. Periode
transisi dari otokrasi menuju demokrasi sangat rentan terhadap korupsi kolusi
berkembang, karena selama transisi, institusi penting untuk berfungsi penuh
demokrasi masih terbelakang, yang mengarah ke vakum pemerintahan. Seperti
yang terjadi pada kasus diatas, aparat pemerintah yang mempunyai wewenang dan
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
39
kekuasaan dalam hal perijinan dan menentukan legal atau illegal dalam sebuah hal
menggunakan hak nya untuk kepentingan kelompok atau organisasi ini yang
berujung pada korupsi dan kolusi.
Kejahatan korporasi yang dilakukan oleh pegawai, tidak untuk keuntungan
pribadi tetapi atas nama korporasi atau bisnis (Coleman,1994).
Dapat disimpulkan bahwa, kejahatan korporasi terhadap lingkungan
adalah bagian dari kejahatan korporasi. mereka merusak lingkungan atau
membahayakan kesehatan umum sekaligus mengambil manfaat korporasi. mereka
terikat dalam praktik organisasi, bukan preferensi sebagai individu-individu.
mereka berkomitmen dalam rangka melakukan bisnis oleh pegawainya, seringkali
pada tingkat tertinggi, terutama untuk tujuan perusahaan daripada kepentingan
pribadi.
IV.3.2 Pelaku Kejahatan Korporasi Terhadap Lingkungan
Kajian objek Kriminologis berikutnya, penjahat, pelaku kejahatan dan
penyimpang, penjahat sebagai orang yangmelakukan tindakan kejahatan secara
ontologis tidak dapat dilepaskan dari konsep kejahatan secara sosial kriminologis.
Bagi Kriminologi konsep penjahat berbeda dari konsep hukum, sehingga dalam
Kriminologi seseorang disebut sebagai penjahat apabila pola tingkah lakunya
adalah tingkah laku kejahatan yang bersifat menetap. Tindakan kejahatan yang
dilakukan merupakan karakter dari orang tersebut. Sifat tingkah menetap artinya
tingkah laku tersebut sudah menjadi karakter pelakunya dan merupakan pola
tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang (Mustofa, 2005).
Berdasarkan kajian Kriminologis terhadap kejahatan lingkungan, Situ &
Emmons (2000) menyatakan, kajian tentang kejahatan lingkungan dapat dikaji
melalui 4 kajian yaitu, korporasi, terorganisir, pemerintah, dan individu. Pada
setiap jenis kajian ini terdapat pelaku kejahatan yang berebeda sesuai dengan jenis
kajiannya.
Pembalakan liar yang terjadi di Taman Nasional Tanjung Puting
merupakan kejahatan korporasi terhadap lingkungan. Temuan data dari kasus
tersebut menyebutkan bahwa perusahaan kayu yang bersangkutan melakukan
penebangan kayu yang tidak sesuai dengan ijin konsesinya. Alasan perusahaan ini
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
40
melakukan penebangan diluar ijinnya adalah karena lokasi ijin ynag sebenarnya
kurang bermutu, atau sumberdaya alamnya tidak terlalu baik untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Situ &
Emmons mengkutip dari Clinnard & Yeager (1978) bahwa pelaku kejahatan
korporasi bukan semata-mata untuk tujuan memperkaya diri sendiri, tetapi untuk
kepentingan korporasi atau perusahaan itu sendiri.
Aktor atau pelaku di balik aksi penebangan liar ini adalah cukong pemilik
modal dan pemilik perusahaan kayu. Uniknya dari kasus diatas justru para
pemilik perusahaan perusahaan tersebut adalah seorang pegawai/abdi Negara
yang rata rata mempunyai jabatan sebagai MPR Republik Indonesia yang
mewakili daerah masing masing. Sutherland (1940) menciptakan tema kejahatan
kerah putih, mendefinisikan sebagai "kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
yang mempunyai kehormatan dan status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya.
Sutherland menekankan bahwa orang dengan status yang tinggi mampu
melakukan kejahatan karena kesempatan yang ditawarkan oleh posisi pekerjaan
yang tinggi, yang mereka pegang. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana
mirisnya kondisi politik di Indonesia, seperti pada jurnal yang dipublikasikan oleh
Smith, et al. (2003) yang menggambarkan bahwa kondisi pemerintahan Indonesia
yang bertanggung jawab pada kegiatan illegal ini benar-benar telah terfragmen
oleh kolusi dan korupsi, tercermin pada kasus ini, perwakilan atau utusan masing-
masing daerah yang seharusnya melindungi dan mensejahterahkan daerahnya
sendiri malah berbalik mengeskploitasi habis-habisan sumberdaya hutan yang
ada, hingga masyarakat setempat mendapatkan akibat negatif dari eskploitasi
tersebut.
Dampak dari hal tersebut membuat masyarakat setempat tidak mau
berdiam saja melihat para cukong yang makin kaya dengan cara penebangan liar
yang kemudian masyarakat setempat/lokal pun ikut andil dalam penebangan liar
karena kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi akibat sumberdaya kehidupan
mereka mulai terdegradasi oleh penebangan liar ini. Dan tidak jarang masyarakat
pendatang pun datang untuk melakukan penebangan liar ini yang menganggap
sebagai kesempatan bekerja untuk menghasilkan uang. Perilaku kejahatan ini
bertujuan karena didasari oleh kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sehari-hari. Hal
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
41
ini juga dijelaskan oleh Yonariza dan Webb (2007) tentang bagaiamana rumah
tangga (household) ikut berpartisipasi dalam penebangan liar yang terjadi di
Taman Nasional karena factor kebutuhan sehari-hari.
Dalam keterlibatan aparat Negara dan penegak hukum, Korupsi Kolusi
dan Nepotisme berhubungan sangat erat terhadap kasus pembalakan liar ini. Pola
dan modus yang tiunjukkan pada data diatas memperlihatkan bagaimana
keterkaitan aparat negara yang mendukung aksi penebangan liar ini. Hal ini dapat
dikaitkan secara tipologi bagaimana tindak kejahatan penebangan liar ini
merupakan bagian dari kejahatan korporasi terhadap lingkungan.
Keterlibatan pemerintah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi di
kantor, dan berbagai skandal politik, tetapi berlawanan dengan kejahatan negara,
dimana tindak pidana dilakukan sebagai ekspresi kebijakan resmi. Pemerintah
terlibat dalam skema kejahatan korporasi terhadap lingkungan dapat dilakukan
oleh lembaga, pemegang jabatan, pekerja, atau organisasi yang didukung
pemerintah dari kota melalui tingkat nasional. keuntungan pribadi mungkin salah
satu tujuannya, tapi ini bukan tujuan utamanya. akhirnya, kejahatan pemerintah
terhadap lingkungan dapat terdiri dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum
atau prinsip-prinsip lingkungan atau kegagalan untuk menegakkan hukum atau
melaksanakan tugas administrasi (Situ & Emmons (2000).
Aparat pemerintah yang mempunyai kewenangan dalam mengeluarkan
ijin untuk usaha mengolah hasil hutan pun dengan sangat mudah didapatkan
akibat pengaruh dan hubungan yang erat yang dimiliki cukong tersebut.
Ijin yang dikeluarkan pun sering tidak sesuai dengan praktek yang terjadi
dilapangan, dengan kata lain penebangan yang di lakukan pada dasarnya yang
terjadi terhadap kasus tersebut diluar batas-batas areal konsesi hutan yang
merambat hingga ke wilayah taman nasional dan hutan adat milik rakyat
setempat.
Seperti pada jurnal “Positive and negative aspects of forestry conflict:
lessons from a decentralized forest management in Indonesia” merupakan judul
penelitian yang dilakukan oleh Yasmi, Guernier, dan Colfer (2009). Jurnal ini
menemukan bahwa konflik yang sering terjadi diakibatkan karena pemberian ijin
konsesi yang tidak sesuai dengan tata batas hutan di lapangan. Dengan ketidak
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
42
sesuaian data kantor dan lapangan ini membuahkan konflik dan gesekan antara
masyarakat setempat dan pihak perusahaan yang ternyata pihak pemerintahan atau
aparat yang bertugas lebih berpihak kepada perusahaan kayu.
TNI dan polisi seringkali berfungsi sebagai bekingan dan pelindung
perusahaan-perusahaan kayu, terutama pada saat pendistribusian kayu. Terlebih
lagi perlindungan ini sering digunakan untuk mengintimidasi masyarakat
setempat yang merasa diambil hak-haknya hingga menimbulkan konflik, yang
seharusnya pihak TNI dan Polisi seharusnya melindungi dan mengayomi
masyarakat malah melakukan terbalik dari semua itu yang justru menyengsarakan
rakyat.
Tidak berhenti disitu, polisi yang seharusnya melakukan penyelidikan dan
pnyidikan terhadap perusahaan-perusahaan kayu dan cukong kayu ini, sering tidak
menunaikan pekerjaannya dengan baik sehingga mengabaikan kasus yang ada dan
menyebabkan perusahaan-perusahaan kayu tersebut tetap berjalan secara normal
dalam penebangan liarnya.
Berdasarkan dari perspektif pelaku, secara kriminologis dapat dianalisa
sesuai dengan kasus diatas, pelaku pembalakan liar di Taman Nasional Tanjung
Puting adalah cukong yang menjadi anggota MPR atau utusan daerah dari daerah
masing-masing yang juga menjadi sebagai pengusaha kayu. Hal ini dapat
ditelusuri bahwa pelaku yang ternyata utusan daerah mempunyai akses yang
mudah terhadap sumberdaya hutan beserta pengetahuan bagaimana kondisi
lingkungan hutan dan potensi yang tersembunyi di dalamnya.
Keterlibatan pemerintahan daerah dan aparat negara merupakan sebuah
rantai dalam sebuah sistem yang terstruktur untuk melancarkan aksi tindak
penebangan liar ini. Karena koneksi dan hubungan yang erat inilah mengapa hal
ini kerap terjadi, dan susah diberantas habis total. Kesamaan orientasi dalam
meningkatkan kesejahteraan dan faktor ekonomi yang melandasi terbentuknya
sistem dalam melakukan tindak pembalakan liar. Perbedaan tingkat kekuasaan
yang dimiliki oleh masing-masing pejabat diperlukan untuk terbukanya akses
dalam hal legalitas demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
43
IV.3.3 Korban Kejahatan Korporasi Terhadap Lingkungan
Berdasarkan Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban
Kejahatan Dan Penyalahgunaan Kekuasaan, yang dikeluarkan pada Tahun 1985
sebagai Resolusi PBB Nomor 40/34 Tanggal 29 November 1985, korban
kejahatan ialah orang yang secara perseorangan maupun kelompok telah
mendapatkan kerugian baik luka fisik, luka mental, penderitaan emosional,
kehilangan harta benda atau perusakan yang besar terhadap hak dasar mereka
melalui tindakan maupun pembiaran yang telah diatur dalam hukum pidana yang
dilakukan di dalam negara anggota (termasuk hukum yang melarang dalam
penyalahgunaan kekuasaan).
korban kejahatan merupakan obyek penelitian Kriminologi yang tidak
dapat dilepaskan dari gejala kejahatan. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap
kejahatan pasti akan ada korbannya, baik orang lain maupun diri sendiri (Mustofa,
2005).
kejahatan lingkungan memiliki dua korban yang nyata - orang dan
lingkungan sedangkan korban kejahatan jalanan biasanya orang. sebuah kejahatan
lingkungan, sebaliknya, biasanya memiliki banyak korban - kadang-kadang
Penduduk dari seluruh wilayah. korban mereka juga mungkin bertahap dan diam,
akan terdeteksi selama bertahun-tahun. lingkungan yang korban sering milik
umum (sebuah taman negara) atau sumber daya yang tidak ada klaim swasta
(udara) (Situ & Emmons, 2000).
Sebelum terjadi pengrusakan di Taman Nasional Tanjung Puting yang
kian cepat, kota Pangkalanbun dan Kumai bukanlah kota yang miskin, telah ada
cukup banyak industri kayu yang mengandalkan penebangan legal serta
pariwisata yang telah berkembang. Saat ini sektor pariwisata justru menurun
karena merebaknya kekerasan dan ketiadaan hukum yang didukung oleh aktivitas
ilegal.
Mustahil bagi sebuah pemerintahan menggantikan pendapatan yang
diperoleh dari aktivitas pembalakan liar. Tetapi, pengrusakan cepat Taman
Nasional Tanjung Puting itu sedang menghancurkan salah satu aset masyarakat
lokal yang paling berharga dan merupakan aset masa depan yang penting.
Keuntungan yang diperoleh hari ini sebagian besar masuk kantong cukong
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
44
perkayuan dan para kroninya, dan ia akan beralih ke industri lain apabila
sumberdaya ilegalnya habis (Telapak, 1999). Sementara masyarakat lokal karena
tidak mampuannya dalam memanfaatkan hukum dan korban korupsi. Rakyat
awam tidak akan memiliki masa depan bila prilaku semacam itu dibiarkan
merajalela.
Pada dasarnya, memang benar bahwa banyak warga setempat telah
bergabung dengan orang luar untuk menjarah Taman Nasional itu. Jelas,
kenyataan ini merupakan masalah rumit bagi pihak berwenang, terutama di tengah
krisis ekonomi dan ketika pemerintah sedang melaksanakan kebijakan politik
desentralisasi (Kaimowitz, 2003).
Korban yang di hadapi oleh masyarakat lokal terhadap hutan di Taman
Nasional sangat merugikan, mereka justru lebih terintimidasi karena hak-hak
mereka yang dirampas tidak sesuai dengan aturan sehingga menimbulkan dampak
terhadap manusia itu sendiri, seperti kehilangan mata pencaharian, kehilangan
sumber kehidupan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan kehilangan
identitas dalam kebudayaan mereka/masyarakat lokal.
Dampak kerugian yang diakibatkan oleh fenomena penebangan liar ini
cenderung sama. Kerugian yang dialami terhadap kasus ini adalah;
1. eksploitasi hutan masif mengakibatkan deforestasi atau degradasi hutan yang
signifikan
2. berkurangnya keaneka ragaman flora dan fauna yang tinggal dan hidup di
hutan
3. berpotensi terancam punahnya beberapa spesies binatang dan kayu itu sendiri.
4. Hilangnya sumberdaya kehidupan untuk masyarakat setempat
5. Hilangnya lahan pekerjaan untuk rakyat lokal yang mayoritas sebagai petani
hutan
6. Hilangnya kebudayaan yang menjadi adat masyarakat lokal dimana hutan
merupakan sumber kebudayaan
7. Yang terpenting hilangnya sumber devisa negara karena menghindarnya wajib
pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kayu illegal.
Pandangan Kriminologis terhadap korban yang terjadi dapat disimpulkan
bahwa akibat dari pembalakan liar ini menimbulkan multi-level korban dimana
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
45
tidak hanya lingkungan itu sendiri yang menjadi korban nyata, juga manusia
mendapatkan dampak dari tindak penebangan liar ini.
Vikitimisasi terhadap lingkungan menggambarkan bahwa pertama, hutan
yang di tebang yang tidak sesuai dengan peraturan atau melakukan penebangan
secara massal akan mengalami deforestasi atau kehilangan lahan hutan yang
sangat cepat yang korban adalah hutan itu sendiri.
Kedua, hilangnya hutan akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman
spesies flora dan fauna yang menggantungkan hidupnya pada hutan.
Ketiga, dampak secara global hilangnya hutan dapat mengakibatkan efek
rumah kaca yang radikal, karena tidak tersaringnya karbondioksida dan diolah
menjadi oksigen yang menggunakan hijau daun untuk proses fotosintesis
(Tacconi, Obdizinski, Agung, 2003). Kemudian karena mengumpulnya karbon di
udara mengakibatkan tidak tersalurnya panas keluar atmosfir yang kemudian
menjadi fenomena pemanasan global (Tacconi, Obdizinski, Agung, 2003).
Viktimasis terjadi kepada manusia, pertama, hilangnya hutan
menyebabkan hilangnya sumberdaya alam yang untuk masyarakat lokal atau
masyarakat yang hidup di hutan kehilangan sumber hidup untuk kebutuhan pokok
primer maupun skunder.
Kedua, Banyak masyarakat ini berprofesi sebagai petani dan pemburu.
Dengan hilangnya hutan tersebut akan hilangnya juga mata pencaharian penduduk
lokal. Hal ini dapat mengakibatkan hilang sumber pendapatan yang rasional dan
kemudian akan timbul keinginan untuk melakukan tindak penebangan liar karena
dorongan akan kebutuhan yang harus terpenuhi, dimana merupakan hal ketiga
bahwa, masyarakat menjadi pelaku penebangan liar merupakan korban dari aksi
para pengusaha kayu yang semena-mena memanen hasil hutan dan pemerintah
yang cenderung berpihak kepada pengusaha.
IV.3.4 Reaksi Sosial Pada Kejahatan Korporasi Terhadap Lingkungan dan
Penjahatnya.
Pada umumnya reaksi sosial dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok,
yaitu reaksi sosial formal dan reaksi sosial non formal (Mustofa, 2005).
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
46
Reaksi sosial formal adalah tindakan yang dilakukan oleh masayrakat
melalui pembentukan pranata formal untukpenanggulangan kejahatan serta
pembuatan aturan formal (hukum) yang mengatur tingkah laku anggota
masyarakat. Sebagai objek penelitian Kriminologi difokuskan tidak pada peran
formalnya menurut undang-undang, tetapi bagaimana realitas pola
pelaksanaannya. Antara lain apakah pranata tersebut akan memperlakukan
tersangka pelaku pelanggaran hukum secara sesuai dengan hukum yang berlaku
ataukah akan dipengaruhi oleh status sosial tersangka Mustofa, 2005).
Berdasarkan uraian kasus, reaksi sosial formal menurut pasal 78 ayat (7)
Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 dengan ketentuan kehutanan menyatakan
bahwa, Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagai mana
dimaksudkan dalam pasal 50 ayat (3) huruf, diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000, (Sepuluh
Miliyar Rupiah). Secara kontrast nya yang terjadi pada kasus tersebut pelaku
kejahatan mengalami reaksi sosial formal yang tidak sesuai dengan pranata formal
(hukum), terlebih lagi pada kasus di Taman Nasional Tanjung Puting justru tidak
terkena jerat hukum sama sekali.
Hal ini terbukti sesuai dengan pernyataan diatas, bahwa pengaruh status
sosial sangat mempengaruhi terlaksananya atau tidak pranata formal ini dalam
sistem peradilan pidana. Karena tersangka mempunyai status sosial yang tinggi
serta hubungan erat dan mempunyai pengaruh terhadap pemerintahan setempat
daerah maupun nasional menjadi sebuah alat dalam membekalli diri untuk
terhindar dalam jerat hukum.
Reaksi sosial non formal merupakan sanksi sosial atau sanksi sosial non
formal yang ketika diberikan oleh masyarakat secara non formal, mulai dari
pengucilan, cemoohan, sampai dengan sanksi fisik dalam tindakan main hakim
sendiri. Pengertian non formal disini adalah bahwa yang melakukan tindakan
bukanlah pranata pengendalian sosial formal (Mustofa, 2005).
Kejahatan pembalakan liar akan berdampak pada reaksi sosial non formal.
Reaksi sosial non formal terbentuk karena tidak selarasnya sebuah hal atau
fenomena terhadap norma-norma yang ada atau dipegang sehingga menimbulkan
ketidak teraturan dan keresahan dalam anggota yang menganut norma tersebut
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
47
dan menyebabkan ketidak seimbangan dalam tingkat tatanan masyarakat yang
dapat menimbulkan konflik lanjutan.
Reaksi sosial non formal yang diakibatkan oleh pembalakan liar ini dapat
dijabarkan, aksi ini diakukan oleh sekelompok manusia yang bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, maka dari itu fenomena ini
memberikan perhatian kepada masyarakat lokal atau luar melakukan hal tindakan
serupa demi tujuan faktor ekonomi juga, terlebih lagi untuk penduduk lokal yang
terancam mata pencahariannya dengan keterpaksaan melakukan aksi ini.
Walaupun ada beberapa penduduk yang mencoba pada jalan confirmity
dan berjuang atas hak lahan hutannya, hal ini sering mengakibatkan konflik dan
bentrokan masyarakat dengan pengusaha kayu dan aparat pemerintah yang sudah
menjadi pendukung pengusaha ini. Konflik yang tidak terelakkan menyebabkan
labeling atau stigmatisasi kepada pemerintah dan berkurangnya kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam melindungi rakyatnya, terlebih lagi
dimana justru aparat pemerintah itu sendiri mendukung pengusaha atau
memfasilitasi dan memberi akses kepada cukong untuk melakukan penebangan
liar yang merambat hingga kawasan hutan milik masayrakat dan taman nasional.
Seperi yang ditemukan dalam jurnal Yasmi, et al. (2009) efek negatif dari konflik
yang terjadi akibat pembalakan liar masyarakat tidak lagi mempercayai kepada
pemerintah dalam menangani konflik yang justru mendukung pengusaha daripada
masyarakat itu sendiri, melakukan pengrusakan terhadap alat-alat dan fasilitas
perusahaan.
Ketidak mampunya pemerintah bersikap adil serta memberantas kasus
habis pembalakan liar ini, secara luasnya pandangan masyarakat luas terhadap
kepercayaan dengan pemerintah akan menurun dan terlebih lagi dengan adanya
laporan bahwa justru aksi ini melibatkan aparat dan pegawai pemerintah sendiri
akan lebih meresahkan bagaimana kepada siapa harus dipercaya untuk melindungi
warga negara terutama mensejahterahkan masyarakat Indonesia.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
48
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Kejahatan merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum atau aturan
yang bertujuan untuk mengatur masyarakat menjadi masyarakat yang tertib dan
aman dan sejahterah. Perangkat alat yang biasa digunakan utnuk membuat
keteraturan dalam masyarakat ini menggunakan perangkat hukum yang telah
diatur dan disepakati oleh pemegang kekuasaan atau institusi yang berwenang
dalam urusan pembuatan hukum ini.
Fenomena penebangan liar atau yang sering disebut dengan Pembalakan
liar yang terjadi di Indonesia merupakan tindak kejahatan. Tindak pembalakan liar
ini jelas telah melanggar aturan-aturan yang telah dibuat yang bertujuan untuk
melindungi sumberdaya hutan di Indonesia beserta melindungi masyarakat sekitar
beserta flora dan fauna untuk keberalangsungan hidupnya.
Secara garis besar kasus pembalakan liar ini dapat dikaji secara
kriminologis karena mempunyai beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai
bahan dasar pembahasan. Indikator yang merupakan dasar untuk kajian
kriminologis ini adalah karena kasus pembalakan liar ini dapat di identifikasi
berdasarkan UU atau hukum yang dilanggar, terdapat pola dan modus dalam
pelaksanaan tindak kejahatannya, adanya pelaku yang melakukan tindak
kejahatan, adanya korban akibat fenomena ini beserta kerugian yang menjadi
dampak atas terjadinya penebangan liar.
Berdasarkan studi kasus pada tulisan ini, kasus pembalakan liar di Taman
Nasional Tanjung Puting dapat di analisa secara kriminologis sebagai berikut:
1. Kejahatan korporasi terhadap lingkungan dilakukan oleh pelaku-pelakunya
dan tidak menutupi keterlibatan aparat Negara/pemerintah terlibat dalam
rantai tindak pidana pembalakan liar.
Cukong sebagai pemodal yang juga meruapakan pegawai Negara ini
mempunyai hubungan dan pengaruh yang besar terhadap pemerintahan daerah
setempat. Hingga hal ini memudahkan cukong mendapatkan ijin usaha
pengolahan hasil hutan kayu.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
49
Walaupun kerja dilapangan tidak sesuai dengan peta ijin konsesi, perusahaan
kayu ini di lindungi oleh polisi dan TNI dalam operasinya. Yang kemudian
juga di lindungi oleh jaksa pengadilan.
Secara korporasi kasus yang terjadi merupakan contoh dari kejahatan
korporasi. Pihak-pihak yang melakukan kejahatan bertujuan untuk
menguntungkan korporasi itu sendiri.
2. Pelaku yang menjadi aktor atau dalangnya tindak kejahatan penebangan liar
ini adalah cukong atau pemilik modal yang juga menjadi pemilik perusahaan
kayu. Lebih dari itu, temuan berdasarkan data, ternyata pemilik perusahaan ini
yang merupakan menjadi aktor dan dalang aksi penebangan liar ini adalah
aparatur Negara sendiri. Menggunakan koneksi dan hubungan yang erat
dengan pemerintahan daerah setempat, anggota MPR yang juga ternyata
cukong perusahaan kayu ini dapat dengan leluasa melakukan aksi pembalakan
liar.
Masyarakat pun turut andil dalam pembalakan liar ini, tetapi hal ini terjadi
dikarenakan sumber kehidupan masyarakat setempat yang bergantung pada
sumber daya hutan telah dirampas oleh perusahaan kayu yang melakukan aksi
penebangan liar, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
3. Manusia menjadi korban yang jelas akibat dari pembalakan liar ini, selain
sumberdaya hutan yang hilang yang merupakan sumber kehidupan masyarakat
setempat juga sumber mata pencaharian masyarakat setempat sebagai petani
hutan dan pemburu. Maka dari itu korban juga termasuk eksistensi flora dan
fauna yang berada dalam wilayah hutan tersebut dan dapat menuju terancam
kepunahan pada beberapa spesies seperti orang utan.
Negara pun jatuh sebagai korban, karena tindak penebangan liar ini yang
bertanggung jawab atas pemulihan lahan hutan yang sudah ter degradasi
adalah tanggungan biaya oleh Negara dalam anggaran biaya Negara.
Keluarnya biaya ini tidak di ikuti oleh pemasukan yang setimpal, karena aksi
ini layaknya pencurian dan penyelundupan yang hasil dari penjualan atau
keuntungan tidak dibebani pajak atau bebas pajak.
4. Reaksi sosial formal terbukti tidak dapat diterapkan karena berdasarkan data
yang ditemukan, bahwa proses penghukuman menurut pranata formal atau
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
50
hukum yang berlaku, pelaku tindak pembalakan liar sangat susah diproses
secara administratif. Walaupun sempat dimasukkan dalam tahanan penjara
untuk melaksanakan proses pemasayrakatan, tetap tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaiamana yang telah tercantum dalam UU.
Reaksi non-formal merupakan jalan atau tindakan yang dapat diandalkan oleh
masyarakat sekitar hutan dalam menanggapi aksi penebangan liar ini.
Pemerintah yang sudah tidak dipercayai dalam menangani konfllik yang
diakibatkan oleh aksi ini cenderung lebih memihak kepada perusahaan atau
cukong yang menjadi dalang terjadinya aksi pembalakan liar.
V.2 Saran
Pembalakan liar yang terjadi pada kasus di Taman Nasional Tanjung
Putting merupakan kejahatan korporasi terhadap lingkungan. Dalam melakukan
aksi pembalakan liar yang didasari oleh kejahatan korporasi, Situ dan Emmons
(2000) memberikan penjelasan bagaimana motivasi, kesempatan, dan aparat
penegak hukum merupakan elemen dan faktor yang penting terjadinya kejahatan
korporasi terhadap lingkungan.
Berdasarkan hal di atas, penulis ingin memberikan saran untuk mengatasi
masalah pembalakan liar yang terjadi.
1. Sarana untuk menunjang dan membantu dalam pekerjaan penegakkan
hukum terutama di sektor kehutanan harus diperhatikan dan ditingkatkan.
Baik itu dari alat-alat yang membantu dalam melakukan pekerjaan seperti,
kendaraan yang layak, serta peralatan untuk pengamanan yang baik serta
penambahan personel agar dapat mengawasi hutan Indonesia yang luas.
2. Memperhatikan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang
hidup di sekitar hutan. Masyarakat lokal berpotensi menjadi pembalak liar
karena dirampasnya sumberdaya kehidupan yang bergantung pada hutan
oleh perusahaan kayu yang melakukan pembalakan liar.
3. Mengkaji ulang pada ijin perusahaan-perusahaan yang mempunyai
indikasi atau yang cenderung melakukan pembalakan liar, terutama yang
memfasilitasi pembalakan liar atau perusahaan yang tidak mementingkan
kelestarian lingkungan hidup.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
51
4. Meninjau ulang kinerja para pegawai pemerintahan daerah dan
departemen kehutanan yang mempunyai wewenang atau kekuasaan dalam
memberikan ijin lahan konsesi atau penebangan.
5. Tingkatkan sosialisasi kepada semua elemen masyarakat baik itu
masyarakat atau rakyat, pegawai pemerintah, aparat penegak hukum
bagaimana pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup, dan
melakukan pembalakan liar akan berdampak pada rusaknya lingkungan
hidup yang dapat mempengaruhi secara lokal seperti ketidak seimbangnya
alam yang dapat menyebabkan erosi dan banjir hingga hilangnya keaneka
ragaman flora dan fauna yang dapat menyebabkan gangguan-gangguan
kepada manusia, juga secara global seperti timbulnya efek rumah kaca
yang mengakibatkan pemanasan global.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
52
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bailey D.K. “Methods of Social Research”, Fourth Edition; New York: The Free
Press, A Division of Macmillan, Inc. 1994
Carrabine, E., Iganski, P., Lee, M., Plummer, K. and South, N. “Criminology: A
Sociological Introduction”. London: Routledge, 2004.
Callister, D.J. “Current Understandings, and implications for World Bank Forest
Policy. For the Worl Bank Group Forest Policy Implementation Review
and Strategy Development: Analytical Studies”, 1999.
Castro, A.P., Nielson, E. “Indigenous people and co-management: implications
for conflict management. Environmental Science and Policy”, 2001
Clifford, M. “Environmental Crime - Defining Environmental Crime
“,Gaithersburg: Aspen Publishers,1998
Colfer, J.P.C and Capistrano, D. “The politics of decentralization: forests, power
and people”. Earthscan, London, 2005
Dermawan, M.K. & Purnianti, Mashab dan Penggolongan Teori dalam
Kriminologi, bandung : PT. citra adikarya bhakti, 1994.
Faisal, S.”Format-format Penelitian Sosial”, Jakarta, Rajawali Pers, 1989
FAO, “Conflict and Natural Resource Management”. FAO, Rome, 2000
Human Rights Watch, “Dana Liar; Konsekuensi Pembalakan Liar dan Korupsi di
Sektor Kehutanan Indonesia Pada Hak Asasi Manusia”, 2009
Keraf, A. S. ” Etika Lingkungan”, Jakarta: Kompas, 2002.
Mustofa, M. “Kriminologi; Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku
Menyimpang dan Pelanggaran Hukum”, FISIP UI Press, 2007.
Mustofa, M. “Metodologi Penelitan Kriminologi”, FISIP UI Press, 2005.
Nazir, M. “Metode Penelitian”, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985
Poschen, P. “Forests and Employment, Much More than Meets the Eye”, World
Forestry Congress, Antalya, Turkey, FAO, Rome. 1997.
Romli, A. ”Bunga Rampai Kriminologi”, Jakarta : Rajawali, 1984.
Santoso, I. et al, ”Informasi Umum Kehutanan” Departemen Kehutanan, 2002.
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
53
Santoso, P. Dan Zulfa, E. A. ”Kriminologi”, Rajawali Pers; Jakarta, 2001.
Setiono, B dan Husein, Y. “Memerangi Kejahatan Kehutanan dan Mendorong
Prinsip Kehati-hatian Perbankan Untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan
yang Berkelanjutan”. CIFOR: Bogor, 2005
Siegel, L. J, “Criminology” 7th
edition, wadsworth, CA. 2000.
Situ, Y. and Emmons, D. “Environmental Crime: The Criminal Justice System’s
Role in Protecting the Environment”. Thousand Oaks, CA: Sage. 2000.
Soemaroto, O, “Indonesia Dalam Kancah Lingkungan Global”, Jakarta : 1991.
Suarga R. “Pemberantasan illegal logging optimisme di tengah praktek
premanisme global”. Wana Aksara, Banten, Indonesia, 2005.
Sunderlin, W.D. dan Resosudarmo, I.A.P. “Laju dan Penyebab Deforestasi di
Indonesia: Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya”, CIFOR, 1997
Tacconi, L. “Illegal Logging; Law Enforcement, Livelihoods And The Timber
Trade”, CIFOR, Earthscan: London, 2007
Tacconi, L, Obidzinski, K, Agung, F, “Proses Pembelajaran (Learning Lessons)
Promosi Sertifikasi Hutan dan Pengendalian Penebangan Liar di
Indonesia”, CIFOR: Bogor, 2003 White, R. and Habibis, D. “Crime and Society”. Melbourne: Oxford University
Press. 2005.
White, R., “Crimes Against Nature Environmental criminology and ecological
justice”, USA : willan publishing, 2008.
World Bank. “Helping Countries to Combat Corruption, The Role of the World
Bank”. Washington D.C.: The World Bank. 1997
Jurnal
Dermawan, M.K. “Perilaku Merusak Lingkungan Hidup: Perspektif Individu,
Organisasi dan Institusional”, jurnal legislasi Indonesia, vol. 6 No. 1, 2009
Kaimowitz, D. “Forest law enforcement and rural livelihoods”, 2003
Obidzinski, K. Andrianto, A. Dan Wijaya, C. “Penyelundupan Kayu di
Indonesia; Masalah Genting ataukah Berlebihan?”, 2006
Smith, J. Obidzinski, K. Subarudi and Suramenggala, I. “Illegal logging, collusive
corruption and fragmented governments in Kallimantan, Indonesia”, 2003
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
54
Yasmi, Y. Guernier, J. dan Colfer C.J.P, “Positive and negative aspects of forestry
conflict: lessons from a decentralized forest management in Indonesia”,
2009
Yonariza dan Edward L. Webb, Rural household participation in illegal timber
felling in a protected area of West Sumatra, Indonesia,2007
Skripsi dan Thesis
Kusmayadi, ”Aktivitas Illegal Logging dan Pengendaliannya di Perbatasan
Kalimantan Barat-Sarawak”, Universitas Indonesia, 2003.
Gunawan, W. “Analisis Biaya Pembalakan Ilegal di Areal Hutan Konservasi”,
Institut Pertanian Bogor”, 2001.
Soedaryanto, “Karakteristik Organisasi Pembalak Tradisional Dalam Pembalakan
Ilegal di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah”, Intsitut
Pertanian Bogor, 2000.
Yuliastuti, E. “Aspek dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana
perdagangan kayu illegal dalam sistem peradilan pidana”, universitas
Indonesia, 2006
Pasal dan UU
UU No.41 tahun 1999, tentang Kehutanan.
UU no.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Media Elektronik
http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/259
http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/2074
http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/9057
http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/8904
http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011/3101015/index11.php?pub=Perke
mbangan%20Beberapa%20Indikator%20Utama%20SosialEkonomi%20Indonesia
%20Edisi%20November%202011
http://www.cifor.org/onlinelibrary/browse/viewpublication/publication/2213.html
http://www.cifor.org/onlinelibrary/browse/viewpublication/publication/1352.html
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
55
http://www.cifor.org/onlinelibrary/browse/viewpublication/publication/2218.html
http://telapak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=307:thefinalc
ut&catid=19:report&Itemid=65
http://telapak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=10:abovethel
aw&catid=19:report&Itemid=65
http://telapak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=20:timbertraf
icking&catid=19:report&Itemid=65
http://telapak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=19:illegal-
logging-in-tanjung-puting-national-park&catid=19:report&Itemid=65
Analisis kriminologis ..., M. Asad Siregar, FISIP UI, 2013