TREND CORRUPTION REPORTPeriode Januari - Juni 2014
Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
“Pembentukan Kabinet Antikorupsi 2014-2019”
PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSIFakultas Hukum UGM
Jl Trengguli Blok E No.12 Bulaksumur, Yogyakarta
Telp. 0274 746 7008 email [email protected]
menteri aktif yang ditetapkan sebagai
tersangka korupsi. Andi Malarangeng,
Menteri Pemuda dan Olahraga, terjerat
kasus korupsi Hambalang; Suryadarma Ali,
Menteri Agama, tersangkut kasus korupsi
penyelenggaraan ibadah haji; Jero Wacik,
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,
ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus
korupsi pemerasan dan penyelenggaraan
kegiatan fiktif di internal Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral. Secara
kebetulan, tiga terpidana dan tersangka
korupsi tersebut adalah pejabat struktural
di partai politik.
Adanya menteri aktif yang ditetapkan
sebagai tersangka korupsi memberikan
pelajaran bagi presiden terpilih supaya
lebih berhati-hati memilih para calon
pembantunya. Hal ini dapat ditekankan
agar presiden tidak terjebak dalam politik
transaksi. Berdasarkan ketentuan Pasal 17
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, “Menteri-
menteri itu diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden.” Dasar hukum konstitusi
s e b e n a r n y a s u d a h s a n g a t j e l a s
memberikan arah bahwa presiden memiliki
hak prerogatif untuk menentukan siapa
yang berhak dan menduduki jabatan
kementerian. Merujuk pada ketentuan
UUD NRI 1945, posisi kelompok kekuasaan
di luar area presiden—termasuk partai
politik dan elitenya—ada di bagian
mengusulkan kandidat menteri. Sifat
usulan itu tidak wajib. Keputusan terakhir
tetap ada di tangan presiden.
Halaman 1
BAB IPendahuluan
A. Latar Belakang
Indonesia telah menyelesaikan pemilihan
umum tahun 2014, baik pemilihan umum
anggota Dewan Perwakilan Rakyat
maupun pemilihan umum presiden. Ada
560 legislator terpilih yang akan
menjalankan tugas dan kewenangannya
mulai tahun ini sampai 2019. Di bagian
kekuasaan eksekutif, presiden dan wakil
presiden yang baru juga memiliki
tanggung jawab sama untuk menjalankan
pemerintahan lima tahun ke depan.
Dalam setiap pemerintahan baru
pascareformasi, tantangan yang selalu
muncul adalah bagaimana menyusun
sebuah kabinet? Masalah ini hadir
d ikarenakan parta i pol i t ik , yang
m e n y o k o n g d a n m e m b e r i k a n
dukungannya sebelum pemilihan presiden
dilakukan, mendesak untuk diberikan jatah
kursi. Dukungan secara kelembagaan dan
dukungan lainnya yang diberikan partai
politik dalam pemilihan presiden dan wakil
presiden dimaknai sebagai modal politik
yang harus beroleh keuntungan. Salah
satunya adalah jatah kursi menteri.
Kehatian-hatian terhadap pengaruh partai
politik didasarkan pada pengalaman
pemerintahan sebelumnya. Penentuan
calon menteri, bagaimanapun juga, harus
dilakukan dengan seksama dan berhati-
hati. Catatan terhadap pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
selama dua periode, 2004-2009 dan 2009-
2014, menunjukkan setidaknya ada tiga
Halaman 2
Selain harus jeli menentukan siapa calon
menteri yang tepat, pemerintahan baru
tetap perlu memperhatikan program
pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi di dalam pemerintahannya.
Pemerintah pusat serta pemerintah daerah
perlu meningkatkan sistem pencegahan
ko rups inya . Pemer in tah dae rah ,
khususnya, adalah pengguna anggaran
terbesar dalam negara republik Indonesia.
Sektor pembelajaan (expenditure)
keuangan negara mengalir sangat banyak
ke pemerintah daerah.
Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum
UGM (PUKAT) menelaah kecenderungan
tindak pidana korupsi yang terjadi dalam
s e m e s t e r p e r t a m a t a h u n 2 0 1 4 .
Kecenderungan korups i tersebut
dirangkum dalam sebuah laporan
penelitian atau Trend Corruption Report
(TCR). Pada periode ini tema yang diangkat
adalah “Kabinet Antikorupsi 2014-2019”.
Hasil kajian ini juga sekaligus sebagai
bentuk pertanggungjawaban PUKAT
kepada publik.
T C R a k a n m e n g e t e n g a h k a n
kecenderungan mengenai pelaku korupsi,
sektor korupsi, modus korupsi, jumlah
kerugian negara, serta lembaga yang
menangani korupsi, yang ada pada enam
bulan pertama tahun 2014 (Januari-Juni).
Uraian khusus untuk periode ini adalah
tentang pengisian kursi menteri yang
h a r u s m e n g i n d a h k a n k e w a j i b a n
pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
B . S u m b e r D a t a d a n P e r i o d e
Pemantauan
Sumber data dalam penelitian ini
menggunakan pemberitaan media, baik
media cetak maupun media elektronik.
Berita tentang kasus korupsi yang dikaji
adalah berita yang diterbitkan pada bulan
Januari sampai dengan Juni 2014. Tidak
semua media cetak dan elektronik
diposisikan sebagai sumber data. Berita
yang memberikan informasi secara jelas
saja yang digunakan sebagai sumber data.
Penelitian ini tidak mengacu pada jumlah
kasus korupsi—meskipun akan muncul
segi kuantitas dalam laporannya.
Penelitian lebih dititikberatkan pada segi
kualitatif. Hal ini dimaksudkan untuk
membaca kecenderungan kasus korupsi
yang terjadi pada bulan Januari-Juni 2014.
Oleh karena itu, hasil penelitian ini tidak
memungkinkan memuat semua kasus
korupsi yang sedang terjadi pada saat
penelitian ini dilakukan. PUKAT mengkaji
empat puluh dugaan kasus korupsi selama
Januari-Juni 2014.
Halaman 3
A. Pelaku korupsi
Aktor korupsi yang tercatat dalam
penelitian PUKAT untuk periode semester
pertama tahun 2014 berjumlah 86 orang.
Tiga besar kelompok pelaku korupsi
dipegang oleh pejabat/pegawai di
pemerintah daerah pada peringkat
pertama dengan 27 orang atau 31,40
persen. Disusul oleh pihak swasta dengan
21 orang atau 24,42 persen. Pegawai
universitas ada di tempat ketiga dengan 10
orang atau 11,63 persen.
Ada perubahan komposisi dalam
kelompok pelaku korupsi pada periode ini
apabila dibandingkan dengan laporan
kecenderungan korupsi yang dirilis PUKAT
pada semester kedua tahun 2013. Data
TCR PUKAT semester II tahun 2013
menunjukkan, posisi pertama aktor
korupsi diisi oleh pihak swasta sebanyak 22
orang atau 33 persen. Kemudian
pejabat/pegawai pemerintah daerah
dengan 18 orang atau 27 persen, dan
pejabat/pegawai BUMN dengan 10 orang
atau 15 persen.
BAB II Trend Korupsi Semester I Tahun 2014
Meski ada perubahan posisi, namun
kelompok pelaku korupsi tidak banyak
mengalami perubahan dari semester II
tahun 2013 ke semester I tahun 2014. Aktor
dari kelompok pemerintah daerah dan
swasta hanya berganti tempat duduk saja
di bagian pelaku korupsi yang paling
banyak. Hal ini mengindikasikan,
peningkatan pencegahan korupsi di
kalangan pejabat dan aparatur pemerintah
daerah seharusnya menjadi prioritas.
Sebab, dari tahun ke tahun posisi pelaku
korups i se r ing d idominas i o leh
pejabat/pegawai pemerintah daerah.
Munculnya pihak pejabat/pegawai
pemerintah daerah sebagai pelaku korupsi
hampir selalu bersama-sama dengan pihak
swasta. Artinya, kemungkinan besar antara
pejabat/pegawai pemerintah daerah
sering melakukan kerjasama dengan pihak
swasta dalam melakukan tindak pidana
korupsi. Pemerintah daerah harus
berhubungan dengan pihak swasta untuk
memenuhi sarana dan prasarana di dalam
pemerintah daerah.
No. Pelaku korupsi Jumlah Persen (%)
1. Pejabat/pegawai pemerintah pusat 8 9,3
2. Pejabat/pegawai pemerintah daerah 27 31,4
3. Anggota legislatif pusat 1 1,16
4. Pejabat/pegawai BUMN/BUMD 6 6,98
5. Swasta 21 24,42
6. Kepala daerah 5 5,81
7. Penegak hukum 6 6,98
8. Pegawai universitas 10 11,63
9. Menteri 1 1,16
10. Anggota KPUD 1 1,16
86 100
Tabel 1. Pelaku Korupsi Semester 1 Tahun 2014
Jumlah
2Halaman 4
TCR semester I tahun 2013, misalnya,
m e m b e r i k a n i n f o r m a s i b a h w a
pejabat/pegawai pemerintah daerah
menempati urutan terbanyak dari 143
pelaku korupsi, yakni 39 orang atau 27,27
persen. Pihak swasta ada di urutan kedua
dengan 36 orang atau 25,17 persen.
Dengan melihat data tersebut, dapat
dimaknai pencegahan korupsi di
pemerintah daerah sepertinya kurang
membuahkan keberhasilan, setidaknya
dalam 1,5 tahun belakangan.
Pengawasan terhadap pejabat/pegawai
pemerintah daerah, mau tidak mau, harus
pula dikembangkan kepada pengawasan
terhadap pihak swasta. Karena dua pihak
ini selalu saling mempengaruhi. Jika
pengawasan hanya ditekankan kepada
pihak pejabat/pegawai pemerintah daerah
saja, maka pihak swasta masih memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi atau
berusaha menyuap pejabat/pegawai
pemerintah daerah. Begitu pula sebaliknya,
apabila pengawasan terhadap pihak
swasta ditingkatkan, namun pengawasan
terhadap pejabat/pegawai pemerintah
daerah dikurangi, maka pejabat/pegawai
pemerintah daerah akan berpotensi
menyalahgunakan kekuasaan dan
kewenangannya.
B. Sektor korupsi
Sektor korupsi terfavorit pada bulan
Januari sampai Juni tahun 2014 adalah
sektor pengadaan barang dan jasa yang
dilakukan oleh 14 orang pelaku atau 16,28
persen. Urutan kedua jatuh ke sektor
kesejahteraan sosial yang menjerat 11
orang pelaku korupsi atau 12,79 persen.
Sedangkan di urutan ketiga terdapat dua
sektor. Pertama, sektor pendidikan. Kedua,
sektor badan usaha milik negara maupun
milik daerah. Di masing-masing sektor
tersebut ada 9 pelaku atau 10,47 persen.
Dari dua semester terakhir, sektor
pengadaan barang dan jasa selalu muncul
di urutan atas sektor korupsi. Pada
semester II tahun 2013, sektor pengadaan
barang dan jasa dikorupsi oleh 19 orang
pelaku atau 61 persen. Posisi ini naik dari
semester I tahun 2013 yang hanya
menyumbang 12 orang pelaku atau 13,64
persen, kalah dari sektor keolahragaan,
pendidikan, dan keagamaan yang
memberikan 17 orang pelaku korupsi atau
19,32 persen.
Pencegahan dan pengawasan di sektor
pengadaan barang dan jasa masih menjadi
p e k e r j a a n r u m a h y a n g b e l u m
terselesaikan. Langkah pemerintah selama
ini yang berusaha mengubah pengadaan
barang dan jasa secara manual ke
pengadaan barang dan jasa secara
elektronik sebenarnya memberikan
perubahan. Hanya saja, perubahan
tersebut masih tetap harus diimbangi
dengan peningkatan pengawasan
terhadap pengadaan barang dan jasa,
meskipun sudah diubah ke pengadaan
barang dan jasa elektronik.
Kebocoran di sektor pengadaan barang
dan jasa elektronik, misalnya, dipicu karena
Halaman 5
ada indikasi operator pelaksana sistem
elektronik pada unit layanan pengadaan
barang dan jasa di masing-masing
lembaga melakukan tindakan melawan
hukum. Misalnya saja, menonaktifkan
sistem elektronik pengadaan barang dan
jasa atau memberikan kunci masuk
(password) pada pihak tertentu. Untuk
mencegah korupsi pengadaan barang dan
jasa elektronik, diharapkan ada audit
terhadap sistem elektronik (server) yang
dipakai dalam pengadaan barang dan jasa
elektronik. Audit tersebut dilaksanakan
setidaknya sebelum dan sesudah
pengadaan barang dan jasa dikerjakan.
Di dalam sektor korupsi, juga muncul
sektor pendidikan. Sektor ini sebenarnya
bukan sektor korupsi baru, mengingat
pada TCR PUKAT semester I tahun 2013
ada 17 kasus atau 19,32 persen kasus
korupsi di sektor pendidikan. Sektor ini
mulai mencuat dengan keterangan yang
muncul dalam persidangan di seputar
kasus korupsi wisma atlet. Ada proyek
pemerintah di lingkungan universitas yang
ternyata diselewengkan. Pencegahan dan
pengawasan terhadap sektor pendidikan
semestinya ditingkatkan. Karena lembaga
pendidikan menjadi tempat untuk
menyiapkan calon pengisi jabatan publik
maupun privat.
No. Sektor korupsi Jumlah Persen (%)
1. Penerimaan negara 4 4,65
2. Pemilihan umum kepala daerah 2 2,33
3. Pertanian/kehutanan/peternakan/perikanan 7 8,14
4. Pekerjaan umum 5 5,81
5. Keolahragaan, pendidikan, dan keagamaan 2 2,33
6. Penegakan hukum 5 5,81
7. Kesejahteraan sosial 11 12,79
8. BUMN/BUMD 9 10,47
9. Energi dan sumber daya mineral 4 4,65
10. Kesehatan 9 10,47
11. Pengadaan barang dan jasa 14 16,28
12. Pajak 1 1,16
13. Pendidikan 9 10,47
14. Keuangan/perbankan 3 3,49
15. Keagamaan 1 1,16
86 100Jumlah
Tabel 2. Sektor Korupsi Semester I Tahun 2014
2Halaman 6
C. Modus korupsi
Cara melakukan korupsi dalam semester I
tahun 2014 masih sangat banyak dipegang
oleh modus merugikan keuangan negara
dan/atau menyalahgunakan kewenangan.
Dari 40 kasus yang diteliti oleh PUKAT,
terdapat 35 kasus korupsi yang diduga
menggunakan modus merugikan
k e u a n g a n n e g a r a d a n / a t a u
menyalahgunakan kewenangan. Sisanya,
suap menyuap ada d i 3 kasus ,
penggelapan dalam jabatan dan kesaksian
palsu masing-masing 1 kasus.
Tidak ada perubahan signifikan dalam
modus korupsi. Sebagaimana pada
semester kedua tahun 2013, modus
merugikan keuangan negara dan/atau
menyalahgunakan kewenangan masih
menempati posisi pertama cara melakukan
korupsi. 25 kasus korupsi atau 80,65 persen
modus merugikan keuangan negara
dan/atau menyalahgunakan kewenangan
ada di semester II tahun 2013.
Namun demikian, ada modus baru yang
dipotret pada periode semester I tahun
2 0 1 4 , y a k n i m e m b e r i k a n
keterangan/kesaksian palsu.
Pada dasarnya, modus ini bukanlah modus
korupsi materiil, melainkan modus lain
yang dianggap sebagai modus korupsi.
Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang
Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 22 menyatakan, “Setiap orang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang
dengan sengaja tidak memberikan
keterangan atau memberikan keterangan
yang tidak benar, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 tahun dan paling
lama 12 tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp
600 juta.”
Dengan dikenalkannya penjeratan
tersangka dengan Pasal 22 tersebut (tidak
memberikan keterangan atau memberikan
keterangan tidak benar), diharapkan setiap
saksi akan memberikan keterangan yang
benar dan tidak menyesatkan serta tidak
ada lagi saksi yang coba-coba berani
memberikan kesaksian palsu. Di samping
itu, pemeriksaan kasus korupsi akan bisa
diselesaikan dengan cepat dengan
keterangan yang benar itu.
No. Modus korupsi Jumlah Persen (%)
1. Merugikan keuangan negara dan/atau
menyalahgunakan kewenangan
35 87,5
2. Suap menyuap 3 7,5
3. Penggelapan dalam jabatan 1 2,5
4. Keterangan/kesaksian palsu 1 2,5
40 100Jumlah
Tabel 3. Modus Korupsi Semester I Tahun 2014
Halaman 7
D. Kerugian negara
Jumlah kerugian negara yang paling
banyak pada periode Januari-Juni 2014
ada di angka Rp 1-10 miliar dengan 16
kasus atau 48,48 persen. Kerugian negara
di bawah Rp 1 miliar ada 9 kasus atau 27,27
persen. Sedangkan kerugian negara di atas
Rp 100 miliar berjumlah 5 kasus atau 15,15
persen.
Jika dibandingkan dengan jumlah kerugian
negara pada semester II tahun 2013 tidak
ada pergeseran jumlah kerugian keuangan
negara. 10 kasus atau 66,67 persen kasus
korupsi berpotensi merugikan keuangan
negara antara Rp 1-10 miliar. Demikian
juga secara keseluruhan pada tahun 2013,
jumlah kerugian negara antara Rp 1-10
miliar tetap berada paling atas dengan
total 30 kasus (29.13 persen). Posisi
berikutnya ditempati oleh kerugian negara
di bawah Rp 1 miliar dengan 27 kasus atau
26,21 persen.
Rata-rata kerugian negara antara Rp 1-10
miliar menunjukkan bahwa pelaku korupsi
tidak segan-segan mencuri uang negara
miliaran rupiah. Angka kemungkinan
kerugian negara yang paling besar ada
pada dugaan kasus korupsi direktorat
pengelolaan informasi administrasi
kependudukan yang mencapai Rp 1,1
triliun. Selanjutnya, ada di dugaan kasus
korupsi di Univeritas Sumatera Utara yang
mencapai potensi kerugian keuangan
negara sampai Rp 41,4 miliar.
Jumlah keseluruhan potensi kerugian
keuangan negara pada semester I tahun
2014 adalah Rp 1.972.713.798.000,00.
Angka ini jauh lebih besar dibandingkan
dengan potensi kerugian keuangan negara
pada akhir tahun 2013 yang hanya Rp
275.160.906.522,00. Kenaikan potensi
kerugian negaranya mencapai 75,52
persen. Dengan melihat besarnya
kemungkinan keuangan negara, usaha
untuk mengembalikan keuangan negara
mesti menjadi program utama.
No. Potensi kerugian negara Jumlah Persen (%)
1. Di bawah Rp 1 miliar 9 27,27
2. Rp 1 – 10 miliar 16 48,48
3. Rp 10-50 miliar 3 9,09
4. Di atas Rp 100 miliar 5 15,15
33 100Jumlah
Tabel 4. Potensi Kerugian Negara Semester I Tahun 2014
2Halaman 8
-sebenarnya selalu menjadi tumpuan
dalam pemberantasan korupsi. Fakta
bahwa kejaksaan lebih banyak menangani
terperiksa korupsi dibandingkan dengan
penegak hukum lainnya dapat dijadikan
dasar mendorong kejaksaan lebih aktif
dalam memeriksa tindak pidana korupsi.
Dengan fakta demikian, pemberantasan
korupsi, korps kejaksaan mesti lebih
meningkatkan kinerjanya.
E. Lembaga Penanganan
Kejaksaan negeri menangani 24 orang
yang diduga korupsi di enam bulan
pertama tahun 2014. Selanjutnya, dalam
catatan PUKAT, KPK menangani 23 orang
terperiksa korupsi. Kemudian, kejaksaan
agung mengurus 16 pelaku diduga
korupsi.
Korps kejaksaan—baik kejaksaan negeri,
kejaksaan tinggi, maupun kejaksaan agung
No. Lembaga penanganan korupsi Jumlah Persen (%)
1. Komisi pemberantasan korupsi 23 26,74
2. Kepolisian resort 5 5,81
3. Kepolisian daerah 6 6,98
4. Markas besar polisi 1 1,16
5. Kejaksaan negeri 24 27,91
6. Kejaksaan tinggi 11 12,79
7. Kejaksaan agung 16 18,6
86 100Jumlah
Tabel 5. Lembaga Penanganan Korupsi Semester I Tahun 2014
Halaman 9
A. Korupsi di sektor anggaran dinas
Pada semester pertama 2014 terdapat
beberapa kasus korupsi anggaran yang
terjadi di lembaga pemerintahan, dua
diantaranya terjadi di lembaga hukum.
Kasus pertama terjadi di Komisi Yudisial
dengan tersangka Al Jona Kautsar, seorang
staf pada Subbagian Verifikasi dan
Pelaporan Akuntansi Bagian Keuangan
Biro Umum. Tugas tersangka membuat
Daftar Rekapitulasi untuk pembayaran
uang layanan persidangan (ULP) dan uang
layanan penanganan/penyelesaian
laporan masyarakat (ULS) kepada pegawai
atau pejabat Komisi Yudisial. Sejak tahun
2009 sampai 2013 tersangka diduga
memanipulasi anggaran dengan cara mark
up sehingga terdapat sel is ih Rp
4.165.261.341,00. Kasus ini bermula dari
temuan internal yang dilaporkan sendiri
oleh Komisi Yudisial kepada Kejaksaan
Agung.
Kasus kedua adalah korupsi anggaran
operasional di Kejaksaan Negeri Wamena.
Tidak tanggung-tanggung, yang menjadi
tersangkanya adalah Kepala Kejaksaan
Negeri Wamena, I Putu Suarjana dan
Bendahara Kejaksaan Negeri Wamena,
Firman Rahman. Tersangka Firman
Rahman telah dinonaktifkan dari
jabatannya dan dilakukan penahanan oleh
Kejaksaan Tinggi Papua. Sedangkan
perlakuan berbeda terjadi pada I Putu
Suarjana yang dimutasi dan ditangani oleh
Kejaksaan Agung. Kasus korupsi ini
bermula dari pengawasan Kejaksaan
T ingg i Papua yang menemukan
penyalahgunaan anggaran penanganan
perkara untuk kepentingan pribadi. Para
tersangka diduga memanipulasi anggaran
penyidikan dengan memalsukan data
perkara menjadi lebih banyak dari yang
ditangani. Korupsi anggaran ini terjadi
pada tahun 2012 dengan jumlah anggaran
Rp 3,9 miliar dan tahun 2013 sejumlah Rp 1
miliar.
Korupsi anggaran dengan modus
menaikkan (mark up) nilai anggaran,
pemalsuan data, dan pemalsuan dokumen
termasuk modus lama yang sudah terjadi
di institusi pemerintahan sejak lama.
Artinya modus ini adalah modus
konvensional korupsi birokrasi. Pelaku
mengambil secara langsung anggaran
negara yang menjadi kewenangannya.
Menjadi penting untuk diperhatikan
kembali maraknya modus korupsi
anggaran dewasa ini. Dua kasus yang
dibahas di atas adalah potret kecil dari
banyak kejadian yang tentu tidak
semuanya terungkap. Korupsi anggaran
pada dua kasus di atas dilakukan dengan
cara klasik sehingga dapat dikategorikan
“mudah terungkap”. Pelaku memiliki
kewenangan anggaran dan melakukan
pelaporan fiktif dengan memalsukan data
dan dokumen.
Korupsi anggaran biasanya terjadi pada
berbagai tahap, mulai dari perencanaan,
penyusunan anggaran, pelaksanaan, dan
t e r a k h i r p e n g a w a s a n d a n
pertanggungjawaban. Pada tahap
perencanaan, korupsi biasanya bermula
dari niat untuk mengarahkan jenis
BAB IIIKasus Strategis
2Halaman 10
mengarahkan jenis pekerjaan yang hanya
dapat dilaksanakan oleh pihak-pihak
tertentu. Sedangkan pada tahap
penyusunan anggaran, modus korupsi
biasanya berupa anggaran kegiatan fiktif,
anggaran yang nilainya tidak rasional,
anggaran yang melanggar aturan, dan
modus lainnya. Pada pelaksanaan
anggaran, korupsi biasanya berupa
pelaksanaan anggaran yang tidak sesuai
dengan anggaran yang telah disusun.
S e d a n g k a n k o r u p s i p a d a
pertanggungjawaban anggaran misalnya
berupa laporan pertanggungjawaban fiktif
maupun suap menyuap pelaksana
anggaran dengan pengawas.
Korupsi anggaran semakin mudah
dilakukan apabila minim transparansi dan
partisipasi. Tertutupnya penganggaran
mu la i da r i pe rencanaan sampa i
pertanggungjawaban menyebabkan
banyak pihak dengan mudah bisa
mempermainkan anggaran, baik berupa
korupsi maupun tindakan koruptif dalam
bentuk bagi-bagi proyek berdasarkan
kepentingan tertentu.
Korupsi anggaran juga sering terjadi pada
perjalanan dinas dan kegiatan non-fisik.
Pelaporan kegiatan fiktif, mark up,
pemalsuan bukti perjalanan dinas, menjadi
beberapa modus kotor yang sering
dilakukan abdi negara. Perjalanan dinas
masih dianggap sebagai sumber
penghasilan tambahan bagi sebagian
pegawai negeri. Perjalanan dinas tentu saja
mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan. Namun, ketentuan
perjalanan dinas harus diperjelas agar tidak
membebani anggaran negara apalagi
menjadi salah satu titik kebocoran.
Hal lain yang bisa dipelajari dari dua kasus
di atas adalah awal mula terungkapnya
kasus melalui pengawasan internal yang
m e n e m u k a n p e l a n g g a r a n p a d a
penggunaan anggaran. Ini semakin
menun jukkan pent ingnya fungs i
pengawasan internal dalam mencegah dan
memberantas korupsi. Fungsi pengawasan
inspektorat menjadi ujung tombak, karena
inspektorat memahami secara detail
internal kementerian, lembaga, atau
pemerintah daerah.
B. Korupsi di universitas
Melihat data TCR semester I tahun 2014,
sektor pendidikan menyumbang
tersangka korupsi sebanyak 10 orang.
Tersangka yang didominasi oleh pengajar
ini, banyak terjadi di sektor pengadaan
barang dan jasa serta pengelolaan asset
universitas. Jika pada semester II tahun
2013 kasus korupsi di perguruan tinggi
banyak dilakukan di sektor pengadaaan
barang dan jasa, maka pada semester I
tahun 2014 bergeser ke sektor pengeloaan
aset universitas.
Contoh kasus korupsi pengelolaan aset
terdapat di dua perguruan tinggi. Pertama,
di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana
Malik Ibrahim, Malang, menjerat mantan
rektor Prof. Dr. Imam Suprayogo. Kasusnya
a d a l a h p e m b e l i a n l a h a n u n t u k
pembangunan kampus II UIN Malang di
daerah Kota Batu. Kedua, di Universitas
Halaman 11
Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Terdapat
empat dosen yang berasal dari Fakultas
Pertanian UGM yang ditahan karena
diduga mengalihkan/menjual aset milik
Fakultas Pertanian dengan cara melawan
hukum.
Selain pengajar, ada juga pegawai
administrasi di lingkungan universitas yang
ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Kasusnya penyalahgunaan dana hibah
yang mencapai Rp 700 juta. Pada awalnya,
dana tersebut diperuntukkan untuk
kepentingan pengembangan pendidikan
di Akademi Farmasi Banda Aceh, akan
tetapi disalahgunakan oleh pegawai
universitas tersebut untuk kepentingan
pribadi.
Persoalan pengelolaan aset yang menjerat
para dosen aktif di beberapa universitas
menunjukkan bahwa sistem pengawasan
internal di universitas tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Aset yang yang
begitu besar ternyata tidak dikelola secara
profesional. Mulai dari pembelian,
penjualan, serta kepemilikan dapat
menjadi celah korupsi. Perbaikan sistem
administrasi menjadi langkah awal dalam
perbaikan sistem pengelolaan aset di
universitas.
C. P e r a n p e m e r i n t a h d a l a m
pencegahan tindak pidana korupsi
D a l a m u s a h a p e n c e g a h a n d a n
pemberantasan tindak pidana korupsi,
sebenarnya pemerintah telah memiliki
beberapa program yang dimasukkan
dalam strategi nasional pemberantasan
korupsi. Melalui Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2013,
Presiden menetapkan aksi pencegahan
dan pemberantasan korupsi melalui enam
strategi sebagai berikut:
a. Pencegahan;
b. Penegakan hukum;
c. Peraturan perundang-undangan;
d. Kerjasama internasional dan
penyelamatan aset hasil korupsi;
e. Pendidikan dan budaya antikorupsi;
dan
f. Mekanisme pelaporan.
Hanya saja, dalam pelaksanaan aksi
pencegahan dan pemberantasan korupsi,
s t r a t e g i t e r s e b u t b e l u m d a p a t
dimanfaatkan secara maksimal. Misalnya,
dalam mekanisme pelaporan, setiap
pemerintah daerah sudah diwajibkan agar
membentuk rencana aksi pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Kenyataannya,
belum semua daerah membentuk
dokumen pencegahan tindak pidana
korupsi tersebut.
Ditambah lagi, sanksi bagi daerah yang
tidak memenuhi pembentukan rencana
a k s i d a e r a h p e n c e g a h a n d a n
pemberantasan tindak pidana korupsi juga
tidak terlalu transparan. Semestinya, bagi
daerah yang tidak membuat aksi dan
program pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi harus diberikan
hukuman, misalnya, dengan mengurangi
dana perimbangan. Begitu sebaliknya,
pemerintah daerah yang tertib mengikuti
instruksi pemerintah pusat harus diberikan
penghargaan dengan menambah dana
perimbangan.
2Halaman 12
Strategi pencegahan sebenarnya
bertumpu pada reformasi birokrasi, karena
birokrasi yang bersih dan profesional akan
mencegah terjadinya tindak pidana
korupsi. Meskipun reformasi birokrasi
telah menjadi agenda pemerintah bahkan
dijadikan sebagai nama kementerian,
tetapi perkembangannya sangat lambat
dan sering salah arah. Reformasi birokrasi
yang salah arah terjadi ketika sekedar
diartikan sebagai naiknya gaji dan
pendapatan pegawai negeri.
Dalam hal penegakan hukum, pemerintah
juga kurang begitu merespon harapan
publik. Remisi bagi pelaku tindak pidana
khusus, termasuk tindak pidana korupsi,
seharusnya lebih diperketat. Seperti halnya
pemberian remisi, pembebasan bersyarat
juga harus diperketat. Namun, belakangan
pemerintah bersikap berseberangan.
M u d a h n y a p e m b e r i a n f a s i l i t a s
pengurangan masa hukuman dan
pembebasan bersyarat menunjukkan
pemerintah tidak begitu bersemangat
d a l a m u s a h a p e n c e g a h a n d a n
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Strategi peraturan perundang-undangan
tidak memperlihatkan perkembangan
p o s i t i f b a g i p e n c e g a h a n d a n
pemberantasan korupsi. Selain belum
rapihnya peraturan perundang-undangan
yang bisa meminimalisir terjadinya korupsi
justru terdapat RUU KUHAP yang
mengandung masalah khususnya dalam
mendukung pemberantasan korupsi di
Indonesia.
St rategi pendidikan dan budaya
antikorupsi juga belum terlihat sebagai
gerakan yang terarah. Justru, strategi ini
terdistorsi menjadi sekedar ceremony atau
slogan di banyak kementerian, lembaga,
atau pemerintah daerah. Budaya integritas
belum terlembaga terlihat dari masih
mudahnya ditemui pungli pada pelayanan
publik.
Halaman 13
BAB IVPembentukan Kabinet Antikorupsi
2014-2019
Presiden terpilih periode 2014-2019 harus
membentuk kementerian negara demi
membantu pelaksanaan tugas dan
kewenangan presiden. Dalam membentuk
kementerian negara, presiden tunduk pada
aturan hukum yang ada, yakni Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008,
pembentukan kementer ian per lu
mempertimbangak perihal efisiensi dan
e f e k t i v i t a s ; c a k u p a n t u g a s d a n
p r o p o r s i o n a l i t a s b e b a n t u g a s ;
kes inambungan , keseras ian , dan
keterpaduan pelaksanaan tugas; dan/atau
perkembangan lingkungan global.
Seorang calon menteri harus memenuhi
syarat yang ditentukan dalam Pasal 22 ayat
(2) dan Pasal 23. Undang-undang
mengatur bahwa calon menteri haruslah:
1. WNI;
2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa;
3. Setia kepada Pancasila, UUD NRI
1945, dan cita-cita proklamasi
kemerdekaan;
4. Sehat jasmani dan rohani;
5. Memiliki integritas; dan
6. Tidak pernah dipidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara lima tahun
atau lebih.
Dengan ketentuan undang-undang
tersebut, maka calon menteri haruslah
seseorang yang tidak memiliki catatan
pidana—khususnya yang berkaitan
dengan perbuatan yang diancam dengan
penjara lima tahun atau lebih. Batasan
demikian sebenarnya juga bisa dipakai
untuk menutup kesempatan bagi kandidat
yang bermasalah dan diduga terlibat
dalam tindak pidana dalam perebutan
kursi menteri. Para kandidat yang memiliki
catatan, setidaknya, korupsi atau diduga
korupsi—termasuk pencucian uang,
p e l a n g g a r a n H A M — t e r m a s u k
perdagangan orang, kasus narkoba atau
psikotropika, kasus terorisme atau tindak
pidana lainnya secara otomatis tidak dapat
menduduki kursi kementerian atau
lembaga negara.
Pemerintahan terpilih 2014-2019, dalam
m e n y u s u n k a b i n e t p e r l u
mempertimbangkan masukan dari
masyarakat. Para calon yang diusulkan
sebagai menteri tidak boleh memiliki
masalah dengan kejahatan korupsi dan
pencucian uang, kejahatan kemanusiaan,
kejahatan terorisme, kejahatan narkoba
atau psikotropika, dan semua kejahatan
yang diancam dengan pidana lima tahun
atau lebih.
Presiden terpilih bisa menggunakan data
dari pusat pelaporan dan analisis transaksi
keuangan. Tindakan preventif agar tidak
ada kandidat menteri yang tersangkut
pidana dapat ditelusuri dari transaksi
keuangan yang dimilikinya.
2Halaman 14
Selanjutnya, calon menteri dilarang
memiliki jabatan lain selain sebagai
pimpinan kementerian. Undang-undang
menyatakan bahwa untuk menjabat
sebagai menteri, maka calon menteri:
1. Tidak boleh menjadi pejabat negara
lainnya;
2. Komisaris atau direksi pada
p e r u s a h a a n n e g a r a a t a u
perusahaan swasta; dan
3. Pimpinan organisasi yang dibiayai
dari APBN/APBD.
Aturan di atas jelas, nantinya tidak boleh
ada menteri yang merangkap jabatan. Hal
ini ditujukan agar menteri dapat fokus
dalam mengemban amanahnya sebagai
pembantu presiden. Di samping itu, juga
untuk menghindari adanya program
kementerian yang salah sasaran. Atau
sebaliknya, untuk mencegah supaya ada
program titipan dari organisasi yang tidak
ada sangkut-pautnya dengan program
kementerian.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008
memang tidak melarang presiden terpilih
untuk mengambil kandidat menteri dari
unsur partai politik. Namun demikian,
a langkah ba ik apab i l a p res iden
memper t imbangkan untuk t idak
menentukan susunan menteri dari unsur
partai politik. Mengingat Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2011 masih
memberikan ruang bagi partai politik
untuk mengumpulkan dana bagi
kelangsungan partai dari anggotanya.
Dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 disebutkan,
“Keuangan partai politik bersumber dari a)
iuran anggota; b) sumbangan yang sah
menurut hukum; dan c) bantuan keuangan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.” Ketentuan pasal ini memberikan
jalur hukum bagi partai politik untuk
mengambil dana dari masing-masing
anggota dengan cara membayar iuran
wajib.
Asumsi yang dibangun melalui pasal ini
adalah apabila menteri berasal dari partai
politik, kemudian partai membutuhkan
dana untuk keberlangsungan partai, maka
partai akan meminta iuran wajib dari
menteri tersebut. Jika dana yang
d ibutuhkan sangat besar , besar
kemungkinan menteri bersangkutan akan
mengambil dana dengan cara me-mark up
atau membuat kegiatan fiktif untuk
mendapatkan dana yang nantinya akan
diberikan kepada partai. Dengan demikian,
korupsi akan sulit dicegah di dalam
kementerian yang menterinya berasal dari
unsur partai politik.
Dalam memilih kandidat menteri ,
setidaknya ada tiga hal yang harus
diperhatikan oleh presiden terpilih periode
2014-2019. Pertama, integritas. Ukuran
integritas sudah sangat jelas. Bakal calon
menteri tidak boleh tersangkut dengan
kejahatan yang diancam hukuman lima
Halaman 15
tahun atau lebih. Ukuran ini lebih
ditingkatkan dari pada yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008. Artinya, bakal calon menteri tidak
boleh memiliki catatan atau keterkaitan
dengan tindak kejahatan yang diancam
dengan penjara lima tahun atau lebih.
Bakal calon yang disangkut-pautkan
dengan, misalnya, tindak pidana korupsi,
pencucian uang, terorisme, narkoba,
kejahatan hak asasi manusia, harus ditolak
sebagai bakal calon menteri.
Kedua, akseptabilitas. Penerimaan publik
adalah faktor kedua dalam penentuan
bakal calon menteri. Seorang kandidat,
meskipun bukan dari unsur partai politik,
akan tetapi pernah terlibat kasus yang
diancam hukuman lima tahun, atau tindak-
-an asusila, harus dikeluarkan sebagai
bakal calon menteri. Oleh karena itu, bakal
calon yang pernah dipidana penjara atas
kejahatan yang diancam penjara lima
tahun atau lebih dan/atau dikaitkan
tindakan asusila tidak bisa menduduki
kursi bakal calon menteri.
Ketiga, kapabilitas. Kemampuan dalam
memimpin kementerian dapat diprediksi
dari catatan pengalaman (track record)
bakal calon menteri . Kr iter ia ini
memungkinkan kandidat yang tidak
menguasai bidang kementerian dimaksud,
tidak akan dapat menduduki kursi bakal
calon menteri. Kriteria ini juga berpotensi
mengurangi tawaran partai politik yang
ingin menempatkan elitenya dalam
kementerian tertentu.
BAB VPenutup
Presiden periode 2014-2019 mempunyai
hak prerogatif untuk menyusun program
dan kabinetnya. Pengawasan terhadap
pemerintahan daerah harus terus
ditingkatkan dengan cara mengefektifkan
pengawasan internal. Memberikan
apresiasi bagi daerah yang dengan taat
m e r e n c a n a k a n , m e m b u a t , d a n
melaksanakan program antikorupsi.
Misalnya, dengan menambah persentase
perolehan dana perimbangan. Begitu pula,
pemerintah pusat harus memberikan
hukuman terhadap pemerintah daerah
yang tidak tertib merancang, membuat,
dan melaksanakan program antikorupsi
melalui pengurangan perolehan dana
perimbangan.
Presiden terpilih dalam menyusun kabinet
s a n g a t p e r l u m e n d e n g a r k a n
pertimbangan dari publik. Memilih menteri
dari jalur profesional memang bukan
jaminan. Namun setidaknya, menyaring
kandidat menteri dan menolak para bakal
calon menteri yang memiliki catatan
kejahatan dan pidana akan menjauhkan
presiden dari kemungkinan lahirnya
menter i a tau kementer ian yang
bermasalah. Integritas, akseptabilitas, dan
kapabilitas, adalah tiga kriteria yang harus
diperhatikan oleh presiden terpilih untuk
menyaring bakal calon menteri supaya
diperoleh kandidat yang benar-benar
mampu mendukung presiden dalam
menjalankan tugas menyejahterakan
rakyat.
Halaman 16