Download - 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 98
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 98
I
aka kini Baginda itu berdiri dengan kokohnya di atas kedua
kakinya yang merenggang. Meskipun debar di dadanya
masih menggetarkan jantungnya, namun Baginda kini sudah
mulai tenang kembali setelah mengalami goncangan-goncangan
yang tajam. Tetapi goncangan-goncangan tubuh Baginda itu,
masih belum menyamai goncangan perasaan Baginda. Hampir
Baginda tak percaya, seandainya Baginda sendiri tidak merasakan
bahwa isi dadanya seakan-akan menjadi rontok karenanya. Anak
muda itu ternyata memiliki kedahsyatan ilmu yang
mengagumkan. Sejak semula Baginda memang telah mengira,
bahwa anak yang mampu meloncat mundur melampaui blumbang
sambil berjongkok, pasti bukan anak kebanyakan, namun Baginda
samasekali tidak menyangka bahwa anak itu menyimpan ilmu
yang sedemikian dahsyatnya.
Tetapi alangkah menyesalnya Baginda, bahwa anak itu berada
di keputren di malam hari tanpa setahu Baginda.
Pada saat benturan itu terjadi, Karebet pun terkejut bukan
kepalang. Aji Rog-rog Asem, yang mampu merontokkan buah-
buah asem pada batangnya yang sebesar apapun itu, ternyata
hanya mampu mendorong surut lawannya beberapa langkah.
Bahkan tangannya itu seakan-akan telah membentur selapis
dinding baja yang samasekali tak tergoyahkan, sehingga kekuatan
yang tersalur lewat tangannya itu sebagian telah melontar kembali
melemparkan Karebet beberapa langkah mundur. Bahkan
kemudian terasa, tangannya itu nyeri dan nafasnya menjadi sesak.
Sesaat Karebet itu berdiri kaku. Kepalanya menjadi pening, dan
seakan-akan bintang-bintang di langit itu beterbangan turun
mengerumuni kepalanya.
Ketika perlahan-lahan kesadarannya telah pulih kembali,
dilihatnya lawannya itu masih tegak beberapa langkah
dihadapannya. Betapa Karebet menjadi semakin marah, sehingga
matanya itu seakan-akan menjadi menyala.
M
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 98
Baginda, seorang yang memiliki berbagai pengetahuan, kini
sekali lagi terkejut ketika ditatapnya mata Karebet. Mata itu benar-
benar seperti mata kucing di malam yang gelap. Seakan-akan
cahaya yang biru hijau memancar dari dalamnya. Dan karena
itulah maka Baginda menjadi semakin menyesali keadaan. Anak
itu benar-benar anak luar biasa. Dengan demikian Baginda
menjadi semakin tertarik kepadanya. Tetapi bagi seorang raja dan
sebagai seorang ayah, Baginda tidak dapat membiarkan peristiwa
ini terjadi tanpa persoalan. Sebab dengan demikian, maka baik
Baginda sebagai raja maupun sebagai ayah, akan kehilangan nilai-
nilainya yang wajar, apabila persoalan yang tak pada tempatnya
itu dibiarkannya.
Seandainya, ya, seandai-
nya pada saat itu Baginda
menjumpai orang lain, bukan
Karebet dan tidak memiliki
ilmu sedahsyat Aji Rog-rog
Asem serta Lembu Sekilan,
serta dari matanya tidak
membayang cahaya yang biru
kehijauan, maka Baginda pasti
sudah akan bersikap lain.
Mungkin Baginda akan me-
maksa putrinya untuk masuk
ke bilik bundanya, dan me-
nangkap anak itu sebagai
seorang pencuri atau apapun
yang masuk ke dalam istana.
Dengan demikian, maka orang
itu akan dapat dihukum berat.
Tetapi kini yang dihadapi adalah seorang anak muda yang
jarang-jarang ditemuinya. Alangkah baiknya anak itu dalam
kedudukannya dalam pasukan Wira Tamtama. Namun, betapapun
ia harus mendapat hukuman dari perbuatannya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 98
Baginda tidak sempat berangan-angan. Tiba-tiba ia melihat
Karebet meloncat seperti serigala lapar menerkam mangsanya.
Namun Baginda bukan sekadar anak kambing yang hanya mampu
mengembik. Ketika Baginda menyadari betapa berbahayanya
serangan yang masih dilambari dengan Aji Rog-rog Asem itu, maka
Baginda segera mengelak. Namun Baginda kini berhasrat untuk
segera menyelesaikan perkelahian itu sebelum orang lain
melihatnya. Sebab apabila orang lain melihat perkelahian itu,
melihat putri dan Karebet, maka Baginda tidak akan
menyelamatkan nama putrinya dari aib yang mencoreng kening,
dan wajah Baginda pun akan tercoreng karenanya.
Karena itu, segera Baginda mateg aji kebanggaannya, Bajra
Geni. Aji yang ampuh bukan buatan. Namun Baginda benar-benar
tidak mau membunuh atau melukai Karebet. Karena itu, Baginda
mengambil cara yang tidak berbahaya bagi lawannya. Dengan
kecepatan yang tak disangka-sangka oleh Karebet, Baginda
melontar menyusul arah lawannya yang terbang beberapa jengkal
di sampingnya, karena terkamannya dihindari. Dengan Aji yang
dahsyat itu, Baginda memukul Karebet, namun tidak pada
tubuhnya. Baginda sengaja mengayunkan tangannya di wajah
Karebet, tanpa menyentuhnya.
Tetapi alangkah terkejutnya Karebet. Baginda tidak
melepaskan Aji Bajra Geni sepenuhnya, namun getarannya telah
cukup kuat untuk menggetarkan tubuh Karebet.
Karebet pun terkejut bukan kepalang. Terasa wajahnya
seakan-akan disiram api. Karena itu, maka dengan serta merta ia
meloncat beberapa langkah surut. Dengan tubuh gemetar ia
memandang orang yang sebagian wajahnya terselubung oleh kain
ikat kepala itu. Dan didengarnya orang itu tertawa.
“Alangkah dahsyatnya,” geram Karebet di dalam hatinya.
“Tangannya samasekali tidak menyentuh tubuhku. Namun getaran
serta panas ilmunya telah mampu menembus Aji Lembu Sekilan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 98
Orang itu masih tertawa berkepanjangan meskipun tidak
terlalu keras. Kemudian terdengar ia berkata, “Bagaimana Aji
Lembu Sekilan. Apakah kau masih akan membanggakan Aji Lembu
Sekilan yang setengah matang itu. Aku belum menyentuh kulitmu,
tetapi agaknya kau telah merasakan akibatnya. Bahwa kekuatan
Ajiku mampu menembus pertahanan Lembu Sekilanmu.”
Karebet tidak menjawab. Dengan marahnya ia menggeram.
Tetapi ia benar-benar telah dapat mengambil suatu kepastian,
bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan orang itu. Karena itu
Karebet menjadi semakin cemas. Ia samasekali tidak
mencemaskan nasibnya, bahkan sampai mati sekalipun. Namun
bagaimana kemudian dengan putri itu?
Belum lagi ia menemukan cara untuk menyelamatkan Putri itu,
maka terdengar orang yang berdiri di hadapannya itu berkata,
“Nah, apakah kau masih akan melawan.?”
“Jangan menyombongkan diri. Kau lihat aku masih tegak
dihadapanmu,” sahut Karebet.
“Hem,” desah orang itu, “Kau memang keras kepala. Meskipun
demikian aku beri kau kesempatan hidup. Tetapi serahkan putri itu
kepadaku.”
“Apa?” Kata-kata Karebet tersangkut di kerongkongan karena
kemarahannya yang meluap-luap. Sedang Putri Sultan itu menjadi
bertambah mengigil ketakutan. Perlahan-lahan wajahnya beredar
di antara batang-batang perdu di petamanan. Namun hatinya
menjadi bingung. Ia akan dapat berteriak memanggil beberapa
peronda. Tetapi apa katanya tentang Karebet dan orang yang
berselubung kain itu?
Dalam kebingungan Putri itu mendengar orang berselubung itu
berkata, “Apakah Putri akan memanggil Nara Manggala?”
“Ya,” sahut putri itu tiba-tiba.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 98
Kembali orang itu tertawa. Jawabnya, “Mereka akan
menangkap Karebet dan orang yang berselubung kain itu?”
Telinga Karebet menjadi merah karenanya. Kemarahannya
telah benar-benar sampai kepuncak kepalanya. Apalagi ketika ia
mendengar orang itu mengulangi, “Anak muda. Tak ada gunanya
kau melawan. Ajimu kedua-duanya adalah ilmu yang samasekali
tak berarti bagiku. Dengan duduk bertopang dagu aku pasti akan
dapat memunahkannya. Tetapi apakah kau mampu bertahan
terhadap ilmuku meskipun kau membentengi dirimu dengan
Lembu Sekilan?”
Sekali lagi Karebet mencoba melihat siapakah yang berdiri di
hadapannya. Pamannya? Mahesa Jenar? Pasti bukan. Mungkin
orang-orang sakti yang lain? Di istana tidak banyak dijumpai
orang-orang yang pernah menggetarkan hatinya. Beberapa orang
sakti dari para prajurit berbagai kesatuan telah dikenalnya. Dan
orang ini bukanlah salah seorang dari mereka.
Sebelum Karebet mampu memecahkan teka-teki itu. Karebet
mendengar orang yang berdiri dihadapannya itu berkata pula,
“Jangan menunggu aku marah. Biarlah putri itu aku bawa.”
Sekali lagi Karebet menggeram. Sahutnya, “Lampaui dahulu
mayatku. Baru kau bawa Tuan Putri.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau
benar-benar keras kepala.”
“Adalah akibat dari perbuatanku. Tebusannya maut,” sahut
Karebet, dan diteruskan, “Apakah kau sangka, sesudah aku, kau
akan dapat melepaskan diri dari halaman ini? Kau mati dipenggal
oleh Nara Manggala.”
“Tak seorang pun mampu menangkap aku,” jawab orang itu.
“Karebet tidak. Gajah Alit tidak dan Panji Danapati pun tidak.”
Karebet menarik alisnya. Orang itu dapat menyebut beberapa
nama perwira dari Nara Manggala. Karena itu tiba-tiba menjadi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 98
bercuriga. Apakah orang itu orang dalam? Gajah Alit pasti bukan.
Panji Danapatipun bukan. Siapa?
Dalam kebingungan itu kembali Karebet mendengar orang itu
berkata, “Ayo Karebet. Katakan kepadaku, siapakah dari seluruh
Demak mampu mengalahkan aku?”
Karebet benar-benar mengigil mendengar kata-kata itu.
Hampir saja ia menyebut beberapa nama yang pernah dikenalnya
di Karang Tumaritis. Namun niatnya diurungkannya. Yang
terdengar kemudian hanyalah gemeretak giginya beradu.
Tetapi seperti mendengar seribu guntur meledak bersama di
atas kepalanya, kemudian Karebet mendengar orang itu berkata,
“Karebet, katakan, siapa yang mampu melawan Aji Bajra Geni?”
“Bajra Geni. Bajra Geni.” Tanpa sadar Karebet mengulangi
kata-kata itu.
“Ya,” sahut orang itu pendek.
Tubuh Karebet pun kemudian menjadi gemetar. Dengan ragu-
ragu ia memandang orang yang berdiri dihadapannya. Bajra Geni
adalah nama ilmu yang dahsyat, sedahsyat ilmu pamannya dan
Mahesa Jenar. Setingkat pula dengan ilmu-ilmu luar biasa lainnya,
Lebur Seketi,Cunda Manik dan lain lainnya. Tetapi lebih daripada
itu. Aji Bajra Geni dikenal sebagai ilmu yang dimiliki oleh Sultan
Trenggana. Karena itu betapa debar jantung Karebet seakan-akan
terhenti. Bahkan darahnya pun seakan tidak mengalir lagi.
Sebelum Karebet menyadari apa yang terjadi, maka tangan
orang yang berdiri dihadapannya itupun kemudian meraih kain
yang menutupi wajahnya. Dengan sekali gerak, maka kain itupun
telah direnggutkan.
Demikianlah orang yang tegak berdiri dengan gagahnya itu
menarik tutup wajahnya, terdengar puteri Sultan itu menjerit kecil.
Sesaat ia memandangi wajah itu dengan tajamnya, namun sesaat
berikutnya dengan serta merta puteri menjatuhkan dirinya dikaki
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 98
Baginda sambil menangis sejadi-jadinya. Sedang Karebet pun
kemudian berlutut pula pada kedua lututnya sambil menyembah
hampir mencium tanah.
“Jangan menangis!” bentak baginda. “Diam atau kututup
mulutmu!”
Dengan sekuat tenaga dan penuh ketakutan, Puteri mencoba
meredakan tangisnya. Tetapi karena itu maka tangis itu seakan-
akan malahan meledak-ledak.
Baginda masih juga berdiri diatas kakinya yang renggang.
Dipandangnya wajah Karebet dengan tajam, setajam ujung
pedang. Dan Karebet pun menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Ayahanda,” terdengar puteri berkata diantara sendunya.
“Apakah kau masih berhak menyebut aku sebagai
ayahandamu?” sahut baginda.
“Ayahanda,” kembali terdengar kata-kata itu meloncat dari
bibir Puteri yang sedang menangis itu.
Namun Sultan Trenggana itu tidak menjawab. Bahkan
kemudian ia berkata kepada Karebet, “Karebet, apakah aku harus
melampaui mayatmu?”
“Ampun, Baginda,” sahut Karebet gemetar, “hamba tidak
menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda.”
“He,” Seru Baginda, “Jadi kalau tidak ada aku kau dapat
berbuat sekehendakmu? Jadi kalau berhadapan dengan orang lain,
kau mengagung-agungkan kekuatanmu? Lembu Sekilan atau Aji
apa lagi yang kau miliki itu?”
“Ampun Baginda,” Karebet semakin tertunduk. Kini
harapannya untuk keluar dari kaputren menjadi lenyap. Ia tinggal
menunggu besok atau lusa, seorang algojo akan memenggal
lehernya, atau menaikkan ke tiang gantungan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 98
Apalagi ketika didengarnya Baginda berkata, “Karebet itukah
tanda terimakasihmu kepadaku. Bukankah kau telah aku pungut
dari pinggir jalan, kemudian aku coba untuk menjadikan kau
seorang anak muda yang memiliki kebanggaan dengan
menyerahkanmu kepada Prabasemi dan kesatuannya. Kini
ternyata kau telah menyentuh kehormatanku. Sebagai seorang
ayah dan seorang raja.”
Mendengar kata-kata baginda itu tiba-tiba Karebet teringat
kepada Tumenggung Prabasemi. Hampir saja ia mengatakan
persoalan Tumenggung kepada untuk mengurangi kemarahan
baginda kepadanya, tetapi kemudian niat itupun diurungkannya.
“Tak ada gunanya,” katanya dalam hati. Dan kini ia tinggal pasrah
kepada nasib yang membawanya kearah maut. Tak ada hukuman
lain yang pantas diberikan kepadanya selain hukuman mati.
Apalagi telah berani bertempur melawan Baginda.
“Mungkin baginda sendiri yang akan membunuhku,” pikirnya.
Sebenarnya baginda marah sekali kepada Karebet dan
Puterinya. Tetapi terasa sesuatu yang aneh menyelip dihati
baginda. Justru setelah bertempur melawan Karebet, kesaktian
anak itu benar-benar menarik perhatiannya, sehingga baginda pun
berkata di dalam hatinya, “Sayang, anak ini memiliki kemungkinan
dihari depannya. Kemungkinan yang tidak terbatas. Kalau ia
mampu mematangkan aji Lembu Sekilan dengan ilmu
rangkapannya itu, maka ia menjadi seorang sakti yang pilih
tanding.”
Baginda sendiri mempunyai dua orang putera disamping
puterinya. Yang sulung, adalah seorang yang sakti pula. Namun
sayang, karena sesuatu hal, maka Pangeran itu mempunyai
penyakit berat di dalam rongga dadanya. Sedang puteranya yang
seorang lagi, masih terlalu muda, dan agaknya tidak akan
menyamai kakak sulung.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 98
Tetapi Baginda tidak mau terpengaruh oleh perasaannya itu.
Tetapi kemudian Baginda berkata lantang kepada puterinya,
“Cepat masuk kekeputren. Jangan keluar dari pintu kalau bukan
ibunda yang menjemputmu.”
Puteri itupun menyembah sambil menangis. Tetapi ketika akan
menjawab, Baginda membentaknya, “Masuk ke keputren!”
Puteri Baginda itu tidak berani mengangkat wajahnya. Sekali
lagi ia menyembah, dan dengan wajah tunduk serta airmata
berhamburan, Puteri tertatih-tatih masuk kebiliknya. Langsung
direbahkannya dirinya dipembaringan menelungkup. Dan kepada
pembaringan serta dinding-dinding biliknya ia mengadukan
nasibnya yang malang. Betapa kecewanya dan menyesal hati
puteri itu. Tetapi semuanya telah terlanjur dilakukan. Dan
ayahanda Baginda sendiri telah melihat langsung apa yang terjadi.
Diluar Keputren Karebet duduk bersila dengan wajah tepekur.
Anak muda ini menyesal pula atas semuanya yang telah terjadi.
Namun, semuanya telah berlalu. Dan yang dapat dilakukan kini
tinggallah menunggu hukuman yang harus disandangnya.
Sesaat kemudian Bagindapun menjadi bimbanmg.
Bagaimanapun anak muda itu mempunyai tempat tersendiri di
dalam hatinya sehingga dengan demikian, mau tidak mau segala
keputusan yang akan diambil oleh baginda sangat terpengaruh
oleh perasaannya itu.
“Karebet,” berkata Baginda kemudian, “ikut aku ke Ksatriaan.”
“Hamba tuanku,” sahut Karebet sambil menyembah.
Dan Baginda tidak menunggu apapun lagi ditempat itu. Segera
Baginda berjalan diantara rimbunnya daun-daun perdu dihalaman,
supaya tidak seorangpun melihatnya. Kepada Karebet, Baginda itu
berkata, “ikuti aku. Jangan ada seorang pun yang melihatmu.
Apabila demikian, maka nasibmu akan aku serahkan kepada
penjaga itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 98
Karebet menyembah sambil menyahut, “Hamba, Baginda.”
Maka keduanya pun berjalan mengendap endap menghindari
peronda dari pengawal baginda. Sehingga tak seorang pun yang
mengetahuinya, maka berdua telah memasuki Ksatrian dari pintu
samping.
“Karebet,” berkata Baginda setelah mereka di dalam bilik
ksatrian. “Tinggal di sini. Jangan coba melarikan diri. Tak ada
gunanya. Aku segera dapat menangkapmu kemana saja kau
bersembunyi. Sebab setelah ini, akan aku perintahkan segenap
peronda Nara Manggala untuk lebih berhati-hati. Tak seorangpun
boleh meninggalakan halaman istana. Apapun alasannya.”
“Hamba tuanku,” jawab Karebet. “Hamba tidak akan berani
melanggar perintah Baginda.”
Sesaat kemudian Baginda pun mengenakan baju keprajuritan
yang berada di Ksatrian. Dengan pakaian itu kemudian baginda
pergi meninggalkan bilik. Karebet yang berada di dalam bilik itu
menjadi bingung. Apakah yang akan dikatakan nanti di pagi hari,
jika beberapa orang emban atau jajar masuk kedalam bilik untuk
membersihkannya. Dan apapula jawabnya jika Pangeran Timur
nanti datang pula kemari?
Tetapi Karebet lebih takut lagi akan perintah baginda. Karena
itu betapapun ia menjadi cemas, namun ia tidak berani beranjak
dari biliknya. Dengan lesu dijatuhkannya badannya diatas lantai
yang licin bersih dan mengkilap. Dengan berbagai macam
perasaan bercampur baur, Karebet memandang kedinding yang
kokoh kuat sekuat baja.
“Dengan rog-rog Asem aku pasti mampu menjebol pintu ini,“
terdengar suara di dalam hatinya.
“Gila,” jawab suara yang lain
Dan kembali Karebet dengan lemahnya duduk bersandar
didinding. Namun hatinya meronta-ronta seperti api yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 98
menyala-nyala. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan Baginda
setelah itu.
Dan kenapa Baginda tiba-tiba mengenakan pakaian
keprajuritan. Apakah nanti malam ini juga Baginda akan
melakukan hukuman atas dirinya? dan Sultan sendiri yang akan
menanganinya ?
Tetapi ternyata Karebet adalah anak yang aneh. Betapun
gelisahnya, namun ia tiba-tiba menguap. Dan setelah menggeliat,
ia bergumam, “Persetan dengan segala macam hukuman. Lebih
baik aku tidur. Dengan segala macam kegelisahan dan penyesalan,
soalku tidak selesai.”
Dengan tanpa kesan apapun atas segala macam bencana yang
sewaktu-waktu dapat menimpanya, maka Karebet itu pun
kemudian merebahkan dirinya di lantai, dan sesaat kemudian, ia
sudah tidur mendekur.
Dari Kesatrian, Baginda tidak langsung kembali ke bilik. Betapa
terkejutnya penjaga dari kesatuan Nara Manggala ketika melihat
baginda sendiri lengkap dengan pakaian keprajuritan datang
kepada mereka. Dengan tergesa-gesa mereka segera berloncatan
menyambut kedatangan baginda dan dengan takjimnya mereka
pun segera duduk bersila di hadapan Baginda yang berdiri tegak di
muka gardu.
Beberapa orang menjadi pucat, dan beberapa orang lagi
menjadi cemas. Apakah yang akan terjadi sehingga Baginda
datang sendiri kepada mereka.
Mereka lebih heran lagi ketika tiba-tiba Baginda itu berkata,
“Atas namaku, panggil Prabasemi dari Wira Tamtama.”
“Hamba tuanku,” sahut Nara Manggala yang tertua, “apakah
Tumenggung Prabasemi harus menghadap baginda malam ini?”
“Ya,” jawab Baginda, “Bawa dia ke Kasatrian”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 98
“Hamba Tuanku,” sahut orang tertua itu.
Kemudian ketika Baginda melangkah kembali ke Kasatrian,
dua dari Nara Manggala segera bersiap untuk mengantarkan.
Namun mereka terkejut ketika Baginda berkata, “Aku datang
sendiri. Aku kembali sendiri.”
Penjaga menjadi heran. Tidak menjadi kebiasaan Sultan
berbuat demikian. Tetapi tak seorang pun berani bertanya. Dan
mata mereka dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengiringi Baginda
lenyap dalam bayang-bayang pohon Sawo Kecik.
Sepeninggal Baginda, beberapa orang saling berbisik
diantaranya. “Aneh,” berkata salah seorang dari mereka, “kenapa
baginda memanggil Prabasemi dimalam hari begini?”
Yang lain menggeleng, “Memang aneh.”
Hanya tiba-tiba saja seseorang berkata, “Tadi aku melihat
Karebet masuk istana, katanya kaki baginda terkilir.”
“Lalu sekarang Prabasemi dipanggil oleh baginda,” sahut yang
lain, “Kenapa bukan Karebet yang harus memanggilnya? Bukankah
ia prajurit Wira Tamtama?”
Kawannya hanya dapat mengangkat bahunya sambil berkata,
“entahlah. Ada sesuatu yang kurang wajar terjadi.”
“Apa?” bertanya yang lain
Orang itu menggeleng. Katanya, “Kalau aku mengetahuinya
kau pasti mengetahuinya juga.”
Mereka itu pun kemudian terdiam. Masing-masing berjalan
kembali masuk ke gardu peronda. Baru saja mereka duduk, seperti
orang tersengat lebah, Nara Manggala yang tertua berteriak, “He,
bodoh kalian. Kenapa kalian tidak berangkat memanggil
Prabasemi?”
“Oh,” sahut yang lain, “Hampir aku lupa kepada perintah itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 98
Kemudian dengan tergesa-gesa dua orang Nara Manggala
segera bersiap untuk berangkat menjemput Prabasemi. Mereka
segera memperbaiki pakaian mereka, melengkapi tanda
keprajurutan. Dengan pedang dilambung masing-masing berdua
segera pergi menjemput Tumenggung Prabasemi.
Meskipun kemudian tak seorang pun yang bercakap-cakap,
namun sebenarnya mereka saling bertanya di dalam hati, apakah
yang sebenarnya terjadi?
II
Dari Gardu Penjaga, Baginda langsung masuk kedalam biliknya
dimana Permaisuri dan dua orang emban sedang menunggu.
Ketika permaisuri melihat kedatangan Baginda, maka terdengar
sebuah tarikan napas panjang.
“Nah,” berkata Baginda, “bukankah aku masih utuh?”
Sekali lagi Permaisuri menarik napas. Katanya, “Hamba
menjadi gelisah.”
Baginda kemudian memandangi kedua emban yang duduk
bersimpuh sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sesaat
kemudian berkatalah baginda “Kembalilah ke bilikmu masing
masing emban.”
Kedua emban itu terkejut. Dan bersamaan mereka
menyembah sambil membungukkan badan mereka, “Hamba
Baginda.”
“Tetapi, ingat,” berkata baginda pula, “apabila seseorang
mendengar tentang puteri itu, kau berdualah yang akan aku
pancung di alun-alun.”
Kedua emban menjadi pucat. Dengan gemetar, sekali lagi
mereka menyembah dengan takjimnya.
“Nah tinggalkan bilik ini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 98
Keduanya tidak menjawab. Namun setelah sekali lagi mereka
menyembah, maka segera mereka meninggalkan bilik itu.
“Alangkah malangnya nasibku,” kata emban Permaisuri,
“Kalau aku tadi tidak berjumpa dengan kau, maka aku tidak akan
mengalami bencana ini. Coba, apabila laki-laki itu atau Putri sendiri
yang bercerita tentang peristiwa itu, maka apabila ada orang lain
yang mendengarnya, kamilah yang akan dipancung. Hi,
mengerikan.”
Emban yang lain tidak menjawab. Terbesit pula penyesalan di
dalam dirinya. Tetapi apabila dibayangkannya rumah yang megah
dari Tumenggung Prabasemi serta segala macam penghormatan
yang akan didapatnya, maka emban itu sersenyum di dalam hati.
Putri itu pasti akan mendapat hukumannya. Setidak-tidaknya akan
mengalami pingitan yang lebih ketat. Sehingga dengan demikian,
maka Prabasemi itu pasti akan melupakannya.
Demikian kedua emban itu meninggalkan bilik Baginda, maka
segera Baginda mengatakan apa yang telah dialaminya serta apa
yang telah terjadi.
Ketika Permaisuri mendengar, bahwa berita yang dibawa oleh
emban itu benar-benar terjadi, maka dengan serta merta,
pecahlah tangisnya. Alangkah hinanya. Apabila Putri itu adalah
putri seorang raja yang namanya ditakuti oleh lawan dan disegani
oleh kawan. Tetapi putrinya sendiri, samasekali telah
mengabaikannya.
“Kenapa hal ini terjadi, Baginda?” bertanya Permaisuri.
“Padahal menurut hemat hamba, maka tidak kuranglah cara
hamba untuk menjadikannya seorang putri yang berbudi. Justru
dalam masa pingitan, serta masa-masa perkembangan jasmaniah
dan rohaniah, bencana itu terjadi.”
Baginda tidak menjawab. Bahkan wajahnya ditundukkannya,
seakan-akan sedang menghitung jari-jari kakinya. Sebagai
seorang ayah, maka hampir-hampir Baginda tak dapat menahan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 98
kemarahannya terhadap Karebet. Tetapi, sebagai seorang
Senapati Perang, maka Baginda dapat melihat kekuatan yang
tersembunyi di dalam tubuh Karebet yang telah berani melangkahi
pagar kaputren itu. Bahkan sebagai seorang raja, Baginda melihat
masa depan dari kerajaannya, Demak, yang sampai kini masih
belum diketemukannya seorang sakti yang mempunyai
kemungkinan yang tak terbatas dimasa depannya. Pernah juga
Baginda mendengar nama-nama, diantaranya Mahesa Jenar yang
bergelar Rangga Tahjaya. Namun orang itu telah lama membuang
diri dalam satu pengabdian yang luhur. Berusaha menemukan
pusaka-pusaka Keraton yang lolos dari perbendaharaan Istana.
“Tetapi orang itu samasekali bukan keluarga istana,” desis
Baginda di dalam hatinya.
“Ah!” Tiba-tiba Baginda terkejut sendiri oleh angan-angannya.
Kemudian katanya di dalam hati, “Apakah Karebet itu juga
keluarga istana?”
Baginda tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesuatu
bergolak di dalam dadanya. Dicobanya berkali-kali untuk mengusir
perasaan yang mengetuk-ngetuk jantungnya. Karebet itu adalah
anak yang diketemukan di pinggir jalan. Tidak lebih. Bukan
kadang, bukan sentana.
“Tetapi ia putra Ki Kebo Kenanga.” Kembali terdengar kata-
kata jauh di dasar hatinya. “Kebo Kenanga adalah putra Pangeran
Handayaningrat. Apakah dengan demikian tidak ada saluran darah
Majapahit di dalam tubuhnya?”
“Hem.” Baginda menarik nafas dalam-dalam. Ketika Baginda
itu berpaling, dilihatnya Permaisuri masih menyeka kedua belah
matanya yang basah.
“Sudahlah,” hibur Baginda, “Aku akan mencoba mencari cara
sebaik-baiknya untuk menolong keadaan.”
“Apakah cara itu?” tanya Permaisuri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 98
“Aku belum tahu,” sahut Baginda, “Tetapi mula-mula adalah
menutup setiap kemungkinan, Putrimu itu dapat bertemu dengan
Karebet.”
Permaisuri menganggukkan kepalanya. “Besok, Putriku akan
aku bawa masuk ke dalam bilikku. Biarlah ia mengalami pingitan
yang lebih seksama.”
“Aku sependapat,” sahut Baginda, “Dan biarlah anak muda
yang bernama Karebet itu aku singkirkan pula dari Demak.”
“Akan diapakankah?”
“Biarlah anak itu aku ambil dari Prabasemi, dan aku serahkan
kepada Palindih di Bergota.”
“Hanya itu?”
Baginda terdiam. Disadarinya, bahwa Pemaisuri itu benar-
benar merasa terhina. Namun Baginda tidak akan dapat
mengatakan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh Permaisuri
secara keseluruhan. Sebab Permaisuri tidak merasakan
kedahsyatan ajian anak muda itu, tidak merasakan bahwa di dalam
diri anak itu tersimpan Aji Lembu Sekilan dan dari matanya
memancarkan cahaya biru kehijauan seperti mata seekor harimau
yang garang di malam hari. Permaisuri tidak dapat mengerti bahwa
Demak memerlukan orang yang demikian itu. Orang yang
mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas. Meskipun di seluruh
wilayah Demak, banyak terdapat orang-orang sakti, namun tidak
seorang pun dari mereka yang pernah mempengaruhi perasaan
Baginda sebegitu dalam seperti Karebet, putra Ki Kebo Kenanga.
Sebelum Sultan Trenggana menemukan jawaban atas
pertanyaan Permaisuri itu, maka kembali Permaisuri bertanya,
“hukuman apa yang akan baginda berikan terhadap Karebet.
Apakah hukuman itu cukup seimbang dengan kesalahannya?”
Baginda menarik nafas, kemudian jawabnya, “Hukuman itu
adalah hukuman sementara. Mungkin aku akan membuat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 98
pertimbangan lain. Namun hukuman itu harus sesuai dengan
keduanya. Sebab kesalahan itu tidak saja terletak pada Karebet,
tetapi pada Puteri itu juga.”
Tiba-tiba Permaisuri mengangkat wajahnya. Sebagai seorang
puteri, terasa kata-kata baginda agak janggal. Karena itu katanya,
“Baginda, apakah yang akan dilakukan puteri kalau Karebet tidak
memulainya? Aku yakin bahwa anak muda itu memanfaatkan
kesempatan. Apabila Baginda memanggilnya, maka dimanfaatkan
kesempatan itu sebaik-baiknya. Puteri adalah anak pingitan.
Jarang-jarang ia melihat anak muda di dalam biliknya yang sempit.
Maka ketika dilihatnya Karebet itu maka langsung mempengaruhi
hatinya.”
Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah baginda
yang tunduk. Kali ini mereka tidak berbicara sebagai Raja terhadap
Permaisuri tetapi sebagai ayah dan seorang ibu. Seorang ibu yang
merasa tersinggung karena perbuatan seorang anak muda atas
puterinya dan seorang ayah yang melihatnya dari cakupan yang
luas. Maka dengan hati-hati Bgainda berkata, “Tetapi apabila
puterimu tidak memanggapinya, maka tidak terjadi sesuatu
diantara mereka berdua. Setiap hubungan antara anak muda dan
gadis-gadis, pasti dimulai dari kedua ujung hati masing-masing.
Apabila tidak, maka hubungan itu tidak akan terjadi.”
“Oh,” sahut permaisuri. “Baginda telah berbicara tentang hati
laki-laki, yang melihat perempuan dari sudut seperti Karebet.
Tetapi baginda tidak mau mendalami hati perempuan. Mungkin
puteri mula-mula samasekali tidak menanggapi sikap Karebet.
tetapi lambat laun, apabila Karebet mulai menyentuh hatinya,
maka hati itu pasti cair. Mungkin sikap itu mula-mula tidak lebih
dari sikap gadis yang merasa kasihan terhadap seorang anak muda
yang terbakar hatinya. Atau mungkin Karebet sengaja membuat
dirinya seakan-akan tidak mampu hidup tanpa puteri. Atau apapun
yang dilakukannya sebagai suatu cara meruntuhkan hati seorang
gadis. Meratap, mengancam, membangkitkan cemburu, bermanja-
manja atau merayu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 98
Sekali lagi Baginda menarik nafas. Sekali lagi dicobanya untuk
menjawab, “Kalau gadis itu teguh hati, maka ia akan tetap dalam
pendiriannya.”
“Betapapun keras batu karang, namun titik-titik air akan dapat
membuat lubang padanya.” Sahut permaisuri.
Kali ini Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Belum
pernah Permaisuri bersikap keras kepadanya. Sebagai seorang
permaisuri, setiap kali yang dilakukan adalah menghambakan
perintah Baginda. Mendengarkan kata-kata baginda dengan wajah
tunduk, kemudian tersenyum kalau baginda tersenyum, dan
berduka kalau baginda berduka. Namun Baginda bukanlah seorang
laki-laki berhati batu. Baginda dapat mengetahui sepenuhnya
perasaan Permaisurinya, dan bahkan berterimakasih pula kepada
permaisurinya itu. Namun kali ini Baginda menjumpai sikap yang
jauh berbeda. Permaisuri itu menjawab kata dengan kata, kalimat
dengan kalimat. Karena itu, maka baginda dapat mengerti, betapa
pedih luka dihari permaisurinya sehingga dilupakannya suba sita.
Meskipun demikian, Baginda masih ingin untuk dapat
menerangkan apakah sebabnya, maka Karebet itu masih diberinya
kesempatan, meskipun dijauhkan dari Demak. Tetapi tidak saat
ini, sebab apabila perempuan itu telah dikuasai oleh perasaannya,
maka setiap pertimbangan akan tersisihkan. Demikian juga
Permaisuri kali ini.
Karena itulah maka dengan tersenyum Baginda berkata,
“Baiklah. Biarlah aku pertimbangkan sekali lagi. Tetapi janganlah
aku yang dipersalahkan.”
Kata-kata itu tiba-tiba menyadarkan Permaisuri akan dirinya.
Ia sedang berhadapan dengan seorang raja yang memiliki segala
kekuasaan ditangannya. Tiba-tiba Permaisuri menyembah sambil
berkata, “Ampun Baginda. Aku ternyata telah berpendapat terlalu
jauh. Namun aku hanya sekedar menuangkan perasaan ibu atas
bencana yang menimpa puterinya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 98
Baginda mengangguk-anggukan kepalanya pula. Jawabnya,
“Aku mengerti. Sebab aku bukan saja seorang Raja, Senapati
Perang dan segala macam jabatan pemerintahan, tetapi aku
adalah seorang ayah pula.”
Permaisuri itu pun kemudian berdiam diri. Namun di kedua
belah matana masih tampak, betapa ia tidak rela mengalami
peristiwa yang samasekali tidak didangka-sangkanya. Bencana
yang menimpa puterinya. Namun kini segala sesuatu telah
diserahkannya kepada Baginda. Permaisuri itu dapat mengerti
kata-kata Baginda, bahwa Baginda tidak saja seorang Raja tetapi
juga seorang ayah, sekaligus seorang Raja yang harus
memandang segala persoalan dari berbagai segi.
“Kenapa hal ini terjadi dengan Puteriku, puteri Baginda. Kalau
saja itu terjadi atas orang-orang yang tinggal dipondokan kecil
maka tidaklah banyak persoalan yang timbul karenanya. Tetapi
puteri itu adalah anak seorang Raja yang akan disoroti oleh setiap
mata dari seluruh negeri.” Betapapun Permaisuri masih saja
meratap dalam hatinya. Namun tidak sepatah katapun
diucapkannya.
Yang kemudian berkata adalah Baginda, “Marilah, aku antar
kembali ke bilikmu. Aku harus segera ke Kesatrian. Ambilah
puterimu besok pagi, dan biarkan ia tinggal dalam istana untuk
smeentara.”
Permaisuri menyembah, kemudian tanpa berkata sepatah
katapun segera mereka meninggalkan bilik Baginda kembali ke
bilik Permaisuri sendiri. Dimuka pintu Permaisuri melihat emban
tadi duduk bersimpuh menungguinya.
“Kau masih di sini?” bertanya Permaisuri.
Emban itu menyembah sambil menjawab, “Ampun Gusti.”
Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah emban itu.
Katanya, “Kenapa kau menangis?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 98
Emban itu menundukkan wajahnya, “Hamba Takut Gusti.”
“Apa yang kau takutkan?”
Emban tidak menjawab. Tetapi sesekali ia menyembah dan
kepalanya semakin tunduk.
“Jangan takut,” berkata Permaisyuri, “Kau tidak bersalah dan
kau tidak berbuat apa-apa”
Tetapi emban tidak berani mengangkat wajahnya. Hanya
sekali-kali dipandangnya kaki Baginda dan Permaisuri berganti
ganti. Baginda pun kasihan juga melihat emban itu. Tetapi baginda
tida berkata apapun.
Setelah permaisuri itu masuk kembali ke dalam biliknya, maka
segera Baginda meninggalkan bilik itu. Di muka pintu, baginda
berkata kepada emban yang masih bersimpuh di situ, “Kawani
Gustimu.”
“Hamba Baginda,” sahut emban itu. Tetapi ia tidak berani
masuk kedalam bilik karena permaisuri tidak memanggilnya.
Karena itu ia masih duduk dimuka pintu. Baru ketika ia terbatuk
karena sedannya, maka terdengar Permaisuri memanggilnya,
“apakah kau masih di muka pintu?”
“Ampun gusti, Baginda memerintahkan hamba untuk
menemani Gusti.”
“Tidurlah,” berkata Permaisyuri itu, “Aku ingin tinggal seorang
diri”
Barulah emban itu berdiri dan kembali ke biliknya. Tetapi
begitu ia merebahkan dirinya, ia menangis sejadi-jadinya. Berkali-
kali dirabanya lehernya seolah olah sebuah goresan telah
melukainya.
“Kenapa kau?” tanya seorang temannya
Emban itu menggeleng.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 98
“Apakah jajar yang berkumis kecil ingkar janji?”
“Ah,” desah emban yang sedang menangis itu. Namun
lehernya menjadi semakin pedih dan napasnya sesak.
Kawan-kawannya kemudian tidak bertanya apapun lagi.
Dibiarkannya ia menangis dan menelungkup. Bahkan beberapa
kawan-kawannya saling berbisik dan tertawa tertahan-tahan.
Mereka menyangka bahwa emban itu sedang berselisih dengan
calon suaminya yang jauh lebih muda daripadanya.
Dalam pada itu Baginda telah berjalan menunju ke Kasatrian.
Namun sebelum Baginda sampai, maka Baginda melihat dua orang
Nara Manggala membawa Prabasemi menunju ke Kasatrian itu
pula. Karena itu segera Baginda berjalan mendahuluinya.
Ketika Baginda sampai di pintu samping, dan perlahan-lahan
membuka pintu itu, alangkah terkejutnya. Baginda melihat, betapa
Karebet dengan tenangnya tidur mendengkur di atas lantai. Sekali
lagi Baginda mengelus dada. Katanya di dalam hati, “Anak itu
memang luar biasa. Apakah ia tidak menyadari bahaya yang dapat
menimpa dirinya setiap saat, atau memang demikian ikhlasnya ia
menjalani setiap persoalan betapapun rumitnya dan bahkan
hidupnya terancam?”
Baginda menarik nafas. Kekagumannya kepada Karebet
menjadi semakin bertambah-tambah. Tetapi meskipun demikian
Baginda tidak mau menunjukkan betapa perasaan Baginda itu
mencengkam segala pertimbangannya. Karena itu, dengan serta
merta Baginda menutup dengan kerasnya daun pintu itu, sehingga
berderak-derak keras sekali.
Alangkah terkejutnya Karebet yang sedang tidur nyenyak itu.
Sekali ia meloncat dengan garangnya, dan dalam sekejap ia telah
siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika
kesadarannya telah sepenuhnya menguasai otaknya, dan ketika
dilihatnya Baginda berdiri di muka pintu bilik itu, dengan serta
merta ia menjatuhkan dirinya sampai menyembah. “Ampun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 98
Baginda, hamba hanya terkejut. Hamba samasekali tidak
bermaksud berbuat apapun. Apalagi melawan.”
Hampir Baginda tertawa melihat sikap Karebet itu. Tetapi
sekali lagi Baginda menahan dirinya. Bahkan dengan tajamnya
Baginda memandangi wajah Karebet yang pucat.
“Apakah kau masih akan melawan?” bentak Baginda.
“Ampun Baginda. Hamba benar-benar hanya terkejut.”
“Kenapa kau tidur?”
“Hamba tidak ingin tidur, Baginda, tetapi mata hamba tak
dapat hamba kuasai lagi.”
“Apakah sangkamu kau akan terlepas dari hukuman yang
paling berat?”
“Tidak Baginda. Hamba akan menerima setiap hukuman
apapun yang akan Baginda jatuhkan.”
Sekali lagi Baginda menarik nafas. Tetapi Baginda tidak
berkata-kata lagi. Di luar, terdengar langkah Prabasemi dan dua
orang Nara Manggala.
Perlahan-lahan terdengar ketukan di pintu bilik itu. Maka
berkatalah Baginda, “Masuklah.”
Pintu itu bergerit perlahan-lahan. Ketika pintu itu terbuka,
nampaklah Prabasemi berdiri di muka pintu. Ketika tiba-tiba
dilihatnya Karebet duduk di lantai, tiba-tiba berdesirlah dada
Tumenggung Wira Tamtama itu.
“Masuklah.” Kembali terdengar suara Baginda, berat bernada
datar.
Dada Prabasemi pun serasa meledak mendengar suara itu.
Sekali lagi ia memandangi wajah Karebet. Dan ketika Karebet
memandangnya pula, tiba-tiba anak itu tersenyum.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 98
“Gila.” Prabasemi mengumpat di dalam hatinya. “Apakah
Karebet mengatakan segala hasratku kepada Baginda, dan malam
ini Baginda memanggil aku untuk menghukum mati?”
Kaki Prabasemi menjadi gemetar. Karebet masih saja
memandangnya sambil tersenyum-senyum. Tetapi ketika Baginda
tiba-tiba berpaling kepadanya, dengan cepatnya Karebet
menundukkan wajahnya.
Prabasemi kemudian dengan tubuh gemetar duduk bersila di
hadapan Baginda. Sekali ia menyembah, kemudian menekurkan
kepalanya terhujam ke lantai. Detak jantungnya yang berdentang-
dentang serasa benar-benar akan memecahkan dadanya.
Kemudian kepada kedua Nara Manggala yang masih berdiri di
muka pintu, Baginda berkata, “Tinggalkan Tumenggung Prabasemi
di sini.”
Kedua orang itu pun membungkukkan kepalanya dengan
takzimnya, dan kemudian meningalkan Kesatrian.
Sesaat Baginda masih berdiam diri. Ditatapnya Tumenggung
Prabasemi yang ketakutan itu. Mula-mula Baginda menjadi heran,
kenapa tiba-tiba Tumenggung itu menggigil ketakutan. Karena itu
maka berkatalah Baginda, “Apakah kau terkejut, Prabasemi?
Terkejut karena aku memanggilmu di malam hari?”
Suara Prabasemi gemetar, sehingga tidak begitu jelas
terdengar, “Hamba Baginda. Hamba, hamba tidak menyangka.”
“Apa yang tidak kau sangka?”
Prabasemi menjadi semakin bingung. Dan ketika sekali lagi ia
memandang Karebet dengan sudut matanya, Karebet masih saja
tersenyum.
“Apakah kau menyangka bahwa aku tidak akan memanggil
seseorang di malam hari begini?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 98
“Ya, ya, Baginda.”
Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya pula, “Kalau aku memanggilmu tidak pada saat-saat yang
wajar, itu pasti ada sesuatu yang sangat penting.”
“Hamba, Baginda.” Kata-kata Prabasemi itu menjadi semakin
gemetar.
“Aku tidak memanggil orang lain, karena persoalan ini mau
tidak mau pasti akan menyangkut dirimu.”
Kata-kata Baginda itu terdengar ditelinga Prabasemi sebagai
suara kentongan yang menyebarkan kabar kematian. Dengan
mata merah namun dengan wajah pucat Prabasemi mencoba
sekali lagi memandang wajah Karebet. Namun kini Karebet telah
menundukkan wajahnya. “Gila, Setan, Anak itu benar-benar
penghianat. Kenapa tidak aku bunuh saja ia kemarin atau lusa”
Maka berkata Baginda seterusnya, “Nah, Prabasemi. Aku ingin
mengatakan suatu rahasia kepadamu tetapi dengan janji, bahwa
apabila ada orang lain yang mendengar lewat mulutmu, maka
umurmu tidak lebih panjang dari sepemakan sirih.”
Prabasemi telah benar-benar menjadi ketakutan. Dengan
wajah tunduk ia menyembah sambil berkata, “ampun baginda.”
“Dengarlah,” berkata baginda kemudian, “Apakah kau
mengenal anak yang duduk di belakang ini?”
Prabasemi mengangguk. Tubuhnya menggigil seperti
kedinginan, “Hamba, Tuanku.”
“Kau kenal namanya?”
“Hamba Baginda.”
“Siapakah dia dan dari kesatuan apa dia?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 98
Darah Prabasemi seolah berhenti karenanya. Namun ia
berusaha menjawab, “Ampun Baginda. Namanya Karebet, dari
kesatuan hamba pula. Wira Tamtama.”
Baginda mengangguk anggukkan kepalanya. Namun Baginda
menjadi semakin heran melihat sikap Prabasemi. Bahkan
Karebetpun menjadi geli pula, sehingga untuk sesaat ia dapat
melupakan nasibnya sendiri.
“Prabasemi,” berkata Bagind pula, “Dahulu aku menyerahkan
anak itu kepadamu. Tetapi sekarang anak itu akan aku ambil
darimu.”
Prabasemi terkejut mendengar kata-kata Baginda yang tidak
disangka-sangka itu. Sehingga karenanya ia bahkan menjadi
bingung. Sesaat ia menatap wajah Baginda dan sesaat pula ia
memandang wajah karebet.
Tumenggung itu baru sadar ketika didengarnya Baginda
berkata seterusnya, “Sejak saat ini, Karebet bukan Wira Tamtama
lagi.”
Kembali Prabasemi terkejut. Tetapi Karebet sudah tidak
mampu lagi untuk tersenyum. Kepalanya yang lemah itu terkulai
tunduk, sedang nafasnya berangsur-angsur menjadi semakin
cepat.
Prabasemi yang kebingungan itu masih belum dapat
menangkap maksud baginda, sehingga tanpa sesadarnya ia
bertanya, “Kenapa?”
Baginda mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba Prabasemi
menyembah, “Ampun Baginda, maksud hamba, bagaimana
perintah Baginda?”
Baginda menarik napas kemudian berkata, “Prabasemi, kau
adalah seorang Tumenggung yang kini sedang mendapat beberapa
kepercayaan. Aku tidak mempersoalkan peristiwa ini kecuali
dengan kau. Karena kau adalah pemimpin langsung dari anak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 98
muda yang bernama Karebet. Sedang kepada kakang Patihpun
samasekali aku tidak memberitahukannya. Tetapi sekali lagi
dengan janji, apabila seorang mendengar persoalan ini dari
mulutmu, maka bagimu akan segera disediakan tiang gantungan.”
Hati Prabasemi yang tinggal semenir itu kini telah berkembang
kembali. Sedikit demi sedikit ia dapat mengurai keadaan. Apalagi
ketika Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet telah berbuat
kesalahan terhadap keluargaku.”
Tiba-tiba Prabasemi seakan bersorak kegirangan. Inilah
soalnya. Jadi bukan dirinyalah yang akan dihadapkan ketiang
gantungan, tetapi agaknya anak yang bernama Karebet itu.
Karena itu maka Prabasemi itu kini sudah tidak tidak menggigil
lagi. Meskipun demikian ia masih mengumpat-umpat di dalam
hatinya, “Demit itu masih juga sempat menggangu orang pada
saat nyawanya sudah diujung ubun-ubun.” katanya dalam hati.
Dan karena itulah maka tiba-tiba Prabasemi menyahut kata-
kata Baginda dengan jawaban yang tak disangka-sangka oleh
baginda, “Ampun Baginda, Sebenarnyalah demikian, Karebet
memang mempunyai tabiat kurang baik. Sehingga, karena itulah
ia melakukan perbuatan gila. Dengan berbuat demikian, bukankah
ia telah menghinakan tidak saja keluarga Baginda, tetapi justru
Adat Demak telah dihinakannya pula. Keberaniannya mencuri hati
Tuan Puteri merupakan kesalahan yang tak dapat diampuni.”
Karebet itu pun terkejut mendengar kata-kata pemimpinnya
itu, sehingga hatinya menjadi semakin berdear-debar. Tetapi,
Bagindalah yang lebih-lebih terkejut lagi. Karena itu, sambil
mengerutkan keningnya, Baginda bertanya, “Prabasemi darimana
kau tahu dengan pasti kesalahan Karebet atas keluargaku?”
Kini Prabasemilah yang terkejut bukan alang kepalang.
Ternyata ia terdorong mengatakan sesuatu yang belum
diketahuinya. Karena itu, kembali dadanya berdebar-debar. Sekali
ditatapnya Karebet yang tertunduk lesu. Sekali dipandangnya kaki
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 98
Baginda. Namun akhirnya ia berkata, “Baginda, ampunkan hamba.
Sebenarnya Karebet pernah berkata kepada hamba, memuji-muji
puteri baginda. Sesekali ia akan datang kekeputren untuk
menemui puteri itu. Namun, ampun baginda, aku sangka Karebet
hanya berkelakar dan menghilangkan kejemuannya apabila
sedang bertugas dalam gardu penjagaan di luar istana. Karena
itulah ketika Baginda bersabda bahwa Karebet telah berbuat
kesalahan atas keluarga Baginda, langsung hamba dapat menebak
apa yang telah dilakukannya.”
Darah Baginda serasa mendidih mendengar kata-kata
Prabasemi itu. Dengan wajah yang merah membara, maka
dipandanginya wajah Karebet yang tunduk. Namun Karebet tidak
kurang terkejutnya mendengar pengaduan Tumenggung
Brabasemi itu. Bahkan hampir saja akan menjawabnya, dan
mengatakan apa yang terjadi dengan Tumenggung. Namun
kemudian niat itu diurungkannya. Apabila ia tak dapat
membuktikannya, maka pa yang dikatakannya itu dianggap tidal
lebih dari fitnah belaka. Karena itu, kembali Karebet menundukkan
kepalanya. Dicobanya memutar otak mencari jawaban, apabila
Baginda bertanya kepadanya tentang kebenaran kata-kata
Prabasemi itu.
Dan sebenarnyalah Baginda itupun kemudian bertanya,
“Karebet, kau dengar kata Tumenggung Prabasemi?”
“Hamba Baginda,” jawab Karebet sambil menyembah.
“Apa katamu tentang itu?”
“Sebenarnya aku pernah berbuat demikian Baginda.”
Jawaban Karebet itu benar-benar tak disangka-sangka oleh
Tumenggung Prabasemi. Ia mengharap Karebet akan
membantahnya dan bercerita tentang bermacam-macam
persoalan. Dengan demikian Tumenggung itu akan dapat
membuat Baginda semakin marah dengan menuduhkan bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 98
untuk mengurangi kesalahannya, Karebet telah membuat fitnah.
Tetapi ternyata Karebet justru membenarkan kata-katanya.
Baginda itu pun menjadi heran. Kemarahannya yang telah
memuncak tiba-tiba mereda kembali mendengar jawaban itu.
Meskipun demikian baginda itu membentaknya, “Kenapa kau
berbuat demikan Karebet?”
“Baginda,” jawab Karebet,
“Ampunkan hamba. Sebenar-
nya setelah melihat puteri
Baginda, hamba menjadi
seorang yang tak dapat menilai
diri sendiri. Sekali-sekali
hamba pernah mempercakap-
kannya dengan Kiai Tumeng-
gung karena hamba tidak
mempunyai orang tua lagi
semenjak ibu hamba mening-
gal, setelah ayah Kebo Kena-
nga meninggal pula. Itulah
sebabnya, maka hamba hanya
dapat mengadu kepada
pimpinan hamba yang hamba
anggap ayah bunda hamba.
Apalagi, kebiasaan Kiai Tu-
menggung mirip dengan kebiasaan eyang Pangeran
Handayaningrat almarhum. Mengurai rambut dan menyangkutkan
ikat kepala di lehernya. Itulah sebabnya hamba terlalu percaya
kepada Kiai Tumenggung, dan hamba katakan apa yang tersimpan
dihati hamba tanpa berprasangka.”
“Bohong!” tiba-tiba Tumenggung Prabasemi memotong
Karebet. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, disadarinya
bahwa di hadapannya Sultan Trenggana sedang duduk
mendengarkan kata-kata Karebet itu. Karena itulah, maka dengan
gugup Prabasemi menyembah sambil berkata, “Ampun Tuanku.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 98
Sultan Trenggana mengerutkan alisnya. Ya, sebenarnyalah
anak yang diambil dari jalan ini bukanlah anak kebanyakan. Ketika
Karebet menyebut nama Kebo Kenanga dan Handayaningrat,
betapa mereka mempunyai perbedaan pandangan dalam pelbagai
persoalan, namun runtuh juga belas kasihan Baginda kepada
Karebet yang yatim piatu hampir sejak kanak-kanak. Namun
meskipun demikian, anak itu mampu memiliki kekuatan lahir dan
batin yang mengagumkan.
Kini Sultan Trenggana dihadapkan pada suatu masalah yang
sangat pelik. Akan lebih mudah menghadapi daerah yang
memberontak daripada persoalan puterinya. Maka akhirnya
Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet aku ambil kembali. Anak itu
akan aku jauhkan dari pusat kerajaan. Aku jauhkan sejauhnya dari
istana. Biarlah ia menjadi pembantu Arya Palindih dalam tugasnya
mengawasi bandar Bergota.”
Prabasemi benar-benar terkejut mendengar keputusan itu,
seperti juga Karebet yang terkejut bukan kepalang. Karebet yang
telah merasa bahwa umurnya akan tinggal seujung malam itu tiba-
tiba merasa dirinya hidup kembali. Karena itu dengan serta merta
ia bertiarap di kaki Baginda. Anak yang aneh itu, yang seakan-
akan tidak pernah merasakan sedih dan duka dan kesulitan-
kesulitan hidup yang lain, tiba-tiba menangis di bawah kaki
Baginda. Bukan karena ia akan hidup lebih lama lagi, namun terasa
olehnya, betapa kasih Baginda itu kepadanya.
Karena itu, justru ketika ia merasakan bahwa sebenarnya budi
Baginda kepadanya, sejak ia dipungutnya dari tepi-tepi jalan,
bukan main besarnya, penyesalannya bertambah-tambah. Ia
menyesal bahwa ia telah menyebabkan Baginda gusar kepadanya,
dan ia menyesal bahwa ia telah berbuat suatu kesalahan yang
sangat besar bagi adat kehidupan Demak.
Berbeda dengan Tumenggung Prabasemi. Tumenggung itupun
terkejut bukan buatan mendengar keputusan Baginda. Ternyata
Karebet itu samasekali tidak dihukum mati. Anak itu hanya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 98
sekadar dijauhkan dari istana. Alangkah mudahnya. Karena itu,
maka pada saat-saat yang akan datang, kemungkinan Karebet
untuk kembali ke Demak masih terbuka. Tetapi kalau anak itu
telah terpenggal lehernya, maka ia baru akan dapat tidur nyenyak.
Karena itu betapapun ia takut kepada Baginda, dicobanya juga
untuk berkata, “Baginda, apakah hukuman itu sudah cukup adil?”
Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah
pertimbanganmu Prabasemi?”
“Baginda, hukuman yang paling pantas bagi pengkhianatannya
adalah hukuman mati.”
Karebet yang sudah duduk kembali itupun memandang
Prabasemi dengan sudut matanya. Ia dapat memahami perasaan
Tumenggung itu. Tetapi Karebet samasekali tidak dapat
mengatakan apakah yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan
Tumenggung itu. Karena itu, yang dapat dilakukan hanyalah
mengumpat di dalam hatinya.
Tetapi ternyata Baginda tidak begitu saja menerima pendapat
Prabasemi. Dengan penuh pertimbangan Baginda berkata,
“Prabasemi. Bukan kesalahan dalam tata hubungan antara seorang
kawula dan seorang raja. Seorang prajurit dan seorang Panglima.
Aku sependapat dengan kau, bahwa setiap pengkhianat harus
dihukum mati. Tetapi Karebet tidak berkhianat. Ia hanya sekedar
melakukan hubungan yang wajar antara seorang pria dengan
wanita. Tetapi caranyalah yang samasekali tidak wajar. Karena itu
maka menjauhkan Karebet dari istana, akan berarti
menghapuskan setiap kemungkinan Karebet berbuat untuk kedua
kalinya. Dan apabila ternyata dengan segala cara maka
pengampunan kali ini diabaikan, maka aku tidak akan memberinya
ampun untuk kedua kalinya.”
Prabasemi itu mengerutkan keningnya. Tampaklah betapa ia
tidak senang mendengar keputusan Baginda. Karena itu sekali lagi
diberanikan dirinya berkata, “Baginda. Janganlah menjadi contoh
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 98
yang memalukan bagi seorang prajurit Wira Tamtama. Hamba
akan menderita malu sekali apabila seseorang mendengarnya,
bahwa seorang prajurit Wira Tamtama dalam pimpinan Prabasemi
telah melakukan perbuatan terkutuk itu. Biarlah ia menjadi contoh
bagi para prajurit yang lain.”
“Peristiwa ini tak akan dapat dijadikan contoh dalam bentuk
apapun, Prabasemi. Aku tidak mau, seorang pun mengetahui apa
yang telah terjadi. Aku tidak akan dapat memberikan alasan yang
kuat, kenapa Karebet harus dihukum mati. Kalau alasan yang
sebenarnya aku beritahukan, maka rahasia ia akan terbuka.”
Prabasemi itu menggigit bibirnya. Ketika sekali terpandang
mata Karebet itu menatapnya, maka kemarahan Prabasemi tak
dapat dikendalikan lagi. Dengan garangnya ia menunjuk kepada
anak muda itu sambil menggeram. “He, Karebet. Terkutuklah kau
sampai anak cucumu.”
Karebet tidak menjawab. Dalam keadaan yang demikian itu,
maka yang paling baik baginya adalah berdiam diri.
Bilik itu kemudian dicengkam oleh kesenyapan. Kesenyapan
yang menggelisahkan. Baginda itu ternyata sekali lagi harus
berpikir dan bertindak bijaksana. Kalau ia samasekali tak
mendengarkan permintaan Prabasemi, maka Baginda pun menjadi
cemas, jangan-jangan Prabasemi mempunyai cara sendiri untuk
melakukannya.
Ketika Baginda sedang berpikir, maka Prabasemi berpikir pula.
Namun agaknya Baginda tidak akan dapat memenuhi
permintaannya untuk melenyapkan Karebet. Karena itu Prabasemi
sedang mencari cara lain yang samasekali tak akan mudah
diketahui. Tetapi betapapun, namun terasa oleh Tumenggung itu,
bahwa sebenarnyalah Baginda sangat sayang kepada Karebet.
Tiba-tiba Tumenggung itu tersenyum di dalam hati. Karena itu,
maka sekali ia menyembah kepada Baginda, lalu katanya,
“Baginda. Sebenarnya hamba pun tidak akan sampai pada
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 98
permohonan yang paling keras untuk menghukum mati Karebet.
Namun terdorong karena luapan perasaan, setelah hamba
mendengar bahwa Karebet telah berbuat khianat itulah yang telah
mendorong hamba untuk tidak ingin melihatnya lagi dalam
lingkungan keprajuritan. Sehingga meskipun Karebet itu tidak
dihukum mati, namun sebaiknya anak muda itu tidak lagi
mendapat kesempatan apapun yang memungkinkannya kembali
ke istana. Dengan menempatkan anak itu pada kakang Palindih,
maka kesempatan masih terbuka setiap kali baginya untuk
mendapatkan kedudukan kembali dalam lingkungan keprajuritan,
untuk kembali ke istana. Kecuali apabila Putri telah mendapat
tempat yang selayaknya bagi seorang putri.”
Baginda tidak segera menjawab kata-kata Prabasemi. Namun
Baginda melihat banyak persoalan yang dapat terjadi. Baginda
melihat, bahwa Prabasemi benar-benar tersinggung atas
perbuatan Karebet itu. Namun Baginda samasekali tidak
menyangka bahwa di dalam dada Tumenggung yang garang itu
tersimpan pikiran-pikiran yang gila pula. Baginda samasekali tidak
menyangka bahwa Prabasemi mempunyai maksud-maksud yang
tidak kalah gilanya dengan apa yang telah dilakukan oleh Karebet.
Namun agaknya Prabasemi akan menempuh jalan yang lain
daripada yang pernah ditempuh oleh anak muda yang aneh itu.
Setelah Baginda menimbang beberapa saat, akhirnya Baginda
membenarkan permohonan Prabasemi itu. Baginda
mempertimbangkan permohonan Permaisuri pula. Baik Permaisuri
sebagai ibu putrinya, maupun Prabasemi, pemimpin langsung
Karebet, yang dapat dianggapnya orang tuanya, bersama-sama
tidak menghendaki anak itu lagi. Tidak menghendaki Karebet
tampak di antara kawula Demak. Namun untuk membunuhnya,
Baginda benar-benar tidak sampai hati. Sebab, meskipun anak itu
sekadar anak gembala yang dipungutnya dari tepi blumbang
masjid, namun anak itu mempunyai beberapa tanda-tanda
keanehan di dalam dirinya. Dan bagaimanapun juga, Baginda tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 98
dapat menutup kenyataan bahwa anak itu adalah cucu Pangeran
Pengging Sepuh, Pangeran Handayaningrat.
Mudah-mudahan mereka kelak dapat melupakan kesalahan
itu. Dan mudah-mudahan hukuman ini dapat menyadarkan anak
itu. Apabila kelak datang suatu kemungkinan, anak itu dapat
dicarinya, diambilnya kembali dalam lingkungan keprajuritan.
Sebab sebenarnya Demak memerlukan orang-orang yang memiliki
kelebihan daripada orang-orang kebanyakan. Dan benarlah kata-
kata Prabasemi, bahwa kelak dapat diambil kebijaksanaan lain
apabila putrinya telah mendapatkan tempat yang wajar bagi
seorang putri raja.
Karena itulah maka akhirnya Baginda berkata, “Karebet,
apakah kau setuju dengan pertimbangan-pertimbangan dari
pemimpinmu?”
Karebet menyembah sambil membungkukkan badannya
dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga, betapa ia menjadi tidak
senang kepada Prabasemi. Perasaan muaknya menjadi
bertambah-tambah. Tetapi sekali lagi ia menahan hatinya, sebab
tak ada bukti apapun yang dapat diajukannya apabila ia ingin
menceritakan tentang maksud-maksud Tumenggung yang licik itu.
“Nah, Karebet. Segala keputusan adalah keputusanku. Bukan
orang lain. Juga keputusan tentang dirimu kali ini, adalah tanggung
jawabku. Ternyata ada beberapa pertimbangan baru tentang
dirimu. Kalau semula aku ingin menyerahkan kau kepada Kakang
Palindih, maka hal itu masih mendapat pertimbangan-
pertimbangan lain. Kini aku telah menentukan sikapku sebagai
suatu keputusan. Kau sejak saat ini bukan anggota Wira Tamtama
lagi. Dan kau sejak ini bukan keluarga dalam lingkungan
keprajuritan apapun dan jabatan-jabatan apapun. Kau harus pergi
meninggalkan Demak. Untuk tidak menampakkan dirimu lagi
sampai keputusan ini aku cabut.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 98
Dada Karebet berdesir mendengar keputusan itu. Sekali lagi ia
menyembah jauh di bawah kaki Baginda. Alangkah sakit
perasaannya. Jauh lebih sakit daripada apabila sejak semula ia
mendapatkan hukuman mati. Disingkirkan dari lingkungan
keprajuritan dan disisihkan dari Demak adalah hukuman yang
terlampau berat. Tetapi ketika disadarinya bahwa kesalahannya
terlampau berat, maka Karebet pun kemudian mencoba
menghibur diri sendiri. Mencoba menerima keadaan, dan
dipaksanya untuk menjadi keadaan yang sewajarnya. Setiap
kesalahan harus mendapat hukuman.
Dan Karebet pun kemudian menerima setiap keputusan
Baginda dengan kesadaran. Tetapi ia tidak dapat melupakan
Tumenggung Prabasemi itu. Seandainya Tumenggung itu tidak
mempunyai maksud-maksud gila, maka ia pasti tidak akan terlalu
bernafsu untuk menyingkirkannya, sehingga Tumenggung itu pasti
membiarkannya untuk pergi ke Bergota. Tetapi segala
kemungkinan kini telah tertutup. Baginda telah menjatuhkan
keputusan. Dan keputusan Baginda kali ini bukan sekadar
pertimbangan. Namun benar-benar telah merupakan keputusan
yang diucapkan.
Mendengar keputusan Baginda, kembali Prabasemi tersenyum
di dalam hati. Tetapi ia tetap menundukkan wajahnya, seakan-
akan keputusan itu tidak berpengaruh apapun di dalam
perasaannya.
“Karebet....” kata Baginda kemudian, “Keputusan itu berlaku
sejak malam ini. Karena itu, kau harus segera meninggalkan istana
ini dan langsung meninggalkan lingkungan kota Demak.”
“Ampun Baginda,” sela Prabasemi, “Keputusan Baginda itu
berarti bahwa tidak ada kesempatan lagi bagi Karebet untuk
berada di sekitar Demak? Dengan demikian, maka akan lebih baik
jika kelak Baginda mengeluarkan perintah, bahwa setiap Prajurit
yang melihat Karebet, harus mengusirnya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 98
Baginda mengerutkan keningnya. “Alangkah dalam dendam
Tumenggung Prabasemi itu kepada Karebet,” pikir Baginda.
“Mungkin Prabasemi ingin membersihkan dirinya dari setiap
kemungkinan, bahwa iapun akan ikut bertanggungjawab atas
kesalahan anak buahnya. Karena itu justru ia bersikap sangat
keras.”
Namun Baginda menjawab, “Apakah alasan yang dapat aku
berikan untuk perintah itu?”
Prabasemi merenung sejenak. Kemudian katanya, “Ampun
Baginda. Biarlah nama Karebet agak menjadi lebih baik. Biarlah
aku membuat alasan. Karebet telah dengan lancang membunuh
seorang yang menyatakan keinginannya masuk Wira Tamtama.
Dan lurah Tamtama yang muda itu telah menjadi panas hatinya,
ketika orang ingin menunjukkan kesaktiannya, sehingga
karenanya orang baru itu terbunuh.”
“Setan,” desis Karebet di dalam hatinya. Kepalanya kini benar-
benar menjadi pening. Kenapa persoalan-persoalan yang
menyangkut dirinya itu dibicarakan justru di hadapannya? Hal
inipun telah merupakan hukuman tersendiri baginya. Ditambah
dengan hasutan-hasutan Tumenggung yang licik itu.
Kembali bilik itu menjadi sepi sesaat. Terasa betapa Baginda
menjadi bimbang atas keputusannya sendiri. Sekali-kali ditatapnya
wajah Tumenggung Prabasemi, dan sekali-kali ditatapnya kepala
Karebet yang tunduk. Baginda sendiri menjadi heran, kenapa ia
seakan-akan merasakan sesuatu yang mengetuk-ngetuk hatinya,
ketika terasa pada Baginda, bahwa sebentar lagi anak itu akan
dijauhkan darinya. Meskipun anak itu telah menumbuhkan
kemarahan padanya, pada Permaisuri dan Tumenggung
Prabasemi, namun Baginda tidak dapat melepaskan harapan,
bahwa anak itu pada suatu masa pasti akan menjadi seorang yang
berharga bagi Demak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 98
Tetapi Baginda tidak akan dapat mencabut keputusan yang
telah dijatuhkan. Karena itu sebelum perasaan Baginda menjadi
semakin kalut, maka berkatalah Baginda, “Nah, Karebet. Saat ini
pula kau harus mulai menjalani hukuman sebelum orang lain
mengetahui keadaanmu. Kepadamu pun aku berpesan, apabila
masih ada tanda kesetiaanmu kepadaku, jangan kau katakan
apapun yang terjadi, kepada siapapun. Supaya aku tidak usah
berusaha menanggkapmu dan memberi hukuman kepadamu yang
jauh lebih berat dari hukuman mati.”
Karebet itu pun menyembah di kaki Baginda, dan bahkan
kemudian diciuminya kaki itu. Dengan terbata-bata, anak muda itu
berkata, “Ampun Baginda. Tiada titah Baginda yang tidak akan
hamba lakukan. Apapun yang akan aku jalani, apabila itulah
keputusan Baginda, maka pasti akan hamba junjung tinggi.”
Baginda terharu juga melihat anak muda itu. Tetapi kembali
Baginda menindas perasaannya. Maka kata Baginda, “Baik. Aku
harap kau tidak ingkar. Sekarang pergilah dari Kasatrian. Tidak
saja dari Kasatrian, tetapi dari Demak. Jangan dekati lagi istana
ini. Sebab besok setiap prajurit akan mendengar, bahwa Karebet
diusir dari istana. Dan setiap prajurit akan mengusirmu pula.”
Alangkah pedihnya perintah itu. Tetapi Karebet harus
melakukannya. Karena itu sekali lagi ia menyembah dan berkata,
“Titah Baginda akan hamba lakukan. Sebab hukuman ini ternyata
masih dilimpahi oleh kemurahan hati Baginda.”
Setelah Karebet itu menyembah sekali lagi, maka mulailah ia
bergeser mundur. Namun tiba-tiba Prabasemi berkata, “Ampun
Baginda. Biarlah aku mengantarkan anak itu sampai di
perbatasan.”
Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Jangan
seorang pun tahu apa yang telah terjadi.”
“Tidak Baginda,” sahut Prabasemi. “Hamba sendiri akan
mengantarkannya sampai ke perbatasan, malam ini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 98
Baginda tidak segera menjawab. Bahkan Baginda itu menjadi
semakin heran. Kenapa kemarahan Prabasemi itu menjadi
sedemikian jauhnya, melampaui kemarahan Baginda sendiri, yang
langsung mendapat cela karena putrinya. Tetapi sekali lagi
Baginda menyangka bahwa sikap itu hanyalah untuk menunjukkan
bahwa ia tidak tersangkut kesalahan-kesalahan yang telah
dilakukan oleh Karebet itu. Karena itu maka berkata Baginda.
“Apakah hal itu kau anggap perlu Prabasemi?”
“Hamba Baginda,” jawab Prabasemi. “Sebab apabila tidak
demikian, maka anak muda itu akan dapat bersembunyi di rumah
kawan-kawannya di dalam kota.”
Baginda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
kata Baginda, “Terserahlah kepadamu Prabasemi.”
Kembali Prabasemi tertawa di dalam hati. Dengan menyembah
sekali lagi ia berkata, “Ampun Baginda, biarlah hamba berangkat
sekarang sebelum fajar.”
“Pergilah,” sahut Baginda.
Kemudian kepada Karebet, Prabasemi berkata, “Ayolah
Karebet. Jangan menyesali diri. Hukuman ini masih terlalu ringan
bagimu.”
III
Karebet samasekali tidak menjawab. Tetapi kemudian mereka
bersama-sama meninggalkan bilik Kasatrian itu. Prabasemi
berjalan dengan wajah tengadah, dan senyum yang mengulas
bibirnya. Sedang Karebet berjalan dengan wajah yang tunduk.
Bukan karena ia takut kepada Prabasemi, namun betapa ia
menyesali dirinya. Sesaat teringatlah ia akan pamannya, Kebo
Kanigara, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar, dan sahabatnya
Arya Salaka. Karena itu, tiba-tiba ia pun tersenyum. Di tempat itu
ia akan menemukan ketentraman. Tetapi kemudian ia menjadi
ragu-ragu. Apakah yang akan dikatakannya kepada pamannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 98
kelak. Apakah pamannya tidak akan marah kepadanya? Dan
senyum di bibir Karebet itu seperti tersapu angin malam. Kini
kembali ia berjalan sambil menundukkan wajahnya.
Ketika mereka sampai di pintu gerbang, lewat di muka gardu
penjaga, maka terdengarlah seorang Nara Manggala bertanya,
“Apakah persoalannya sudah selesai Kiai Tumenggung?”
Prabasemi berhenti sejenak. Dengan bangga ia menjawab
singkat, “Sudah.”
“Apakah yang terjadi?”
“Tidak apa-apa,” jawab Prabasemi.
Namun di luar dugaan Tumenggung itu, Karebet berkata, “Kaki
Baginda terkilir.”
Prabasemi mengerutkan keningnya. Dan didengarnya penjaga
itu berkata, “Sudah kau katakan sore tadi. Tetapi Baginda itu tidak
apa-apa. Baginda berjalan dengan tegap dan cepat.”
“Baginda sudah sembuh setelah aku pijit,” sahut Karebet,
“Memanggil Kiai Tumenggung dan bertanya kepadanya apakah
Baginda timpang.”
Tumenggung Prabasemi pun menjadi heran. Karebet baru saja
mendengar keputusan tentang dirinya. Tetapi tiba-tiba ia sudah
dapat berkelakar. Gila benar anak ini. Namun Prabasemi menjadi
tidak senang karenanya. Ia ingin Karebet menjadi bersusah hati.
Ia ingin Karebet minta ampun kepadanya dan merengek-rengek
seperti orang banci.
Karena itu ketika Karebet masih ingin berbicara lagi, maka
Tumenggung itu membentak, “Ikut aku!”
Karebet menganggukkan kepalanya. Tanpa berbicara lagi,
maka keduanya segera pergi meninggalkan gerbang halaman
dalam istana itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 98
Sampai di luar gerbang, maka berkatalah Prabasemi dengan
angkuhnya, “Karebet, arah manakah yang akan kau pilih?”
Karebet berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Ki, apakah aku
tidak akan singgah dahulu untuk mengambil pakaianku?”
Prabasemi berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Apa sajakah
milikmu itu?”
“Pakaian, Ki.”
“Itu saja?”
“Ya.”
“Biarlah aku tukar dengan uang.”
“Jangan Kiai. Pakaian itu adalah pakaian yang aku terima dari
almarhum ayahku. Jangan ditukar dengan apapun.”
Prabasemi yang yakin rencananya akan terjadi itu berkata,
“Baiklah, marilah aku antarkan ke pondokmu. Tetapi jangan
berbuat gila, supaya lehermu tidak aku penggal malam ini.”
Karebet tidak menyahut. Tetapi mereka berdua segera
berjalan ke pondok Karebet. Ketika Karebet masuk ke dalam
pondoknya Prabasemi berkata, “Aku ikut. Dan jangan berkata
kepada siapapun apa yang akan kau lakukan.”
Karebet tidak dapat menolak. Karena itu dibiarkannya
Prabasemi ikut masuk ke dalam pondoknya, namun tidak ke dalam
biliknya.
Sebenarnya Karebet samasekali tidak sayang pada beberapa
lembar pakaiannya. Tetapi yang memaksanya untuk pulang lebih
dahulu adalah sebilah pusaka yang dahsyat, Kyai Sangkelat.
Demikianlah setelah Karebet itu menyembunyikan Kyai
Sangkelat di bawah bajunya, maka ia pun segera keluar dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 98
biliknya, dengan sebuah bungkusan kecil berisi beberapa lembar
pakaian.
“Kau bukan Wira Tamtama lagi. Jangan kau bawa pakaian
keprajuritan.”
“Tidak, Kiai,” jawab Karebet. “Pakaianku aku tinggal di
sangkutan pada dinding bilikku.”
Tetapi Prabasemi itu tidak percaya. Diperlukannya menengok
bilik Karebet. Dan dilihatnya pakaian itu tersangkut di sana.
Namun ketika mereka meninggalkan pondok itu, Karebet
berkata, “Aku telah diusir dari Demak. Karena itu aku tidak sempat
menyelesaikan persoalan pondokku dengan pemiliknya. Karena itu
aku serahkan semua itu kepada Kiai.”
Prabasemi tersenyum. “Itu bukan persoalan sulit. Biarlah itu
aku selesaikan.”
Karebet tidak berkata apa-apa lagi. Dan mereka pun kemudian
berjalan menelusuri jalan-jalan kota ke selatan. “Aku akan menuju
ke arah selatan,” kata Karebet kemudian.
“Baik. Baik. Kemana kau inginkan, biarlah aku menuruti,”
jawab Prabasemi sambil tertawa.
Tetapi karena sikap Prabasemi itu, maka Karebet justru
menjadi curiga. Sikap itu terlalu ramah. Jauh berbeda dengan
sikapnya, pada saat mereka masih berada di Kasatrian. Meskipun
demikian Karebet masih tetap berdiam diri. Ia masih saja berjalan
dengan kepala tunduk.
Malam semakin lama semakin dalam menjelang fajar. Embun
telah mulai menetes dari dedaunan, menitik di rerumputan yang
tumbuh liar di tepi jalan. Angin malam yang sejuk lembut bertiup
perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka dengan sejuknya.
Namun hati Karebet tidak sesejuk angin malam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 98
Prabasemi dan Karebet masih saja berjalan dengan langkah
yang semakin lama semakin cepat. Seakan-akan mereka takut
kesiangan. Dan sebenarnya bahwa malam memang hampir sampai
ke akhirnya. Bintang-bintang telah jauh berkisar ke arah barat.
Namun di timur belum muncul bintang fajar yang cemerlang.
“Hem,” desis Prabasemi kemudian, “Hampir fajar.”
Karebet tidak menjawab. Tetapi diangkatnya wajahnya dan
dipandangnya langit yang kelam. “Masih cukup lama,” katanya di
dalam hati.
Perjalanan mereka yang cepat itu tidak memerlukan waktu
terlalu lama untuk mencapai perbatasan. Segera mereka sampai
ke tepi kota. Di hadapan mereka terbentang daerah-daerah
persawahan yang tidak begitu luas. Dan di sebelah Barat,
tampaklah seleret hutan yang memanjang ke selatan. Meskipun
hutan itu tidak terlalu besar, namun di dalamnya bersembunyi juga
beberapa jenis binatang liar. Serigala, anjing hutan dan beberapa
jenis harimau kecil.
Prabasemi melihat hutan itu pula. Kemudian sekali lagi ia
tersenyum. Kemudian katanya kepada Karebet, “Marilah aku antar
kau sampai ke hutan itu.”
Mendengar kata-kata Prabasemi itu, Karebet benar-benar
menjadi terkejut, sehingga dengan serta merta ia berkata,
“Kenapa sampai ke hutan itu?”
“Sampai ke hutan itu, atau melampauinya,” jawab Prabasemi,
“Supaya kau selamat dari terkaman binatang-binatang buas.”
“Ah,” desah Karebet. “Tak ada binatang buas yang berbahaya
di hutan itu.”
“Biarlah aku mengantarmu untuk yang terakhir kali,” sahut
Prabasemi sambil tertawa.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 98
Sekali lagi terasa sesuatu berdesir di dalam dada Karebet.
Namun ia tidak menjawab. Dibiarkannya Tumenggung Prabasemi
itu berjalan di sampingnya.
Sesaat kemudian mereka berdua saling berdiam diri.
Prabasemi tenggelam dalam angan-angannya, sedang Karebet
mencoba menebak, apakah sebabnya maka Tumenggung
Prabasemi membuang-buang waktu untuk mengantarkannya
sehingga sampai ke hutan itu.
Namun tiba-tiba Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam
dan berkata, “Hem. Karebet. Sekarang akhirnya tahu, kenapa kau
pernah menunjukkan layon kembang kepadaku dahulu.”
Karebet mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab.
Sementara itu mereka masih berjalan terus menyusuri jalan-jalan
kecil di antara sawah yang terbentang. Di antara batang-batang
padi muda yang tampaknya hijau segar, sesegar udara pagi yang
tertiup angin basah dari pegunungan.
“Beberapa hari aku mencoba memecahkan teka-teki itu,
Karebet,” kata Prabasemi.
Karebet masih berdiam diri.
“Ternyata kaulah yang telah berhasil lebih dahulu daripadaku.”
Kini Karebet berpaling. Ketika terpandang wajah Tumenggung
itu, tiba-tiba bangkitlah kembali muaknya. Tetapi ia masih berdiam
diri.
“Sebenarnya aku akan mengucapkan selamat kepadamu
seandainya kau berhasil mempersunting bunga dari istana itu.”
“Sudahlah Kiai,” sahut Karebet dengan nada yang rendah.
Tumenggung Prabasemi tertawa. Jawabnya, “Pahit, memang
pahit. Bukankah begitu? Seperti hatiku menjadi pahit juga ketika
aku melihat layon kembang ditanganmu? Tetapi ketahuilah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 98
Karebet, bahwa sebenarnya tidak baru sekarang aku tahu apa
yang telah terjadi di Kaputren.”
Kini Karebet mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar
kata-kata itu. Namun dicobanya untuk menyembunyikan perasaan
itu.
Tumenggung Prabasemi yang menunggu jawaban Karebet itu
menjadi heran. Kenapa Karebet diam saja mendengar
pengakuannya itu. Karena itu maka diteruskannya, “Aku telah
lama mendengar peristiwa yang memuakkan itu terjadi. Dan aku
sedang menunggu kesempatan untuk berbuat seperti sekarang
ini.”
Dada Karebet pun menjadi berdebar-debar karenanya.
Meskipun demikian ia masih mencoba untuk berdiam diri.
Dibiarkannya Tumenggung itu berkata terus. “Dan sekarang
kasempatan itu datang juga.”
“Kesempatan apa Tumenggung?” bertanya Karebet.
“Karebet” berkata Tumenggung itu, “Sejak aku mengetahui
hubungan yang kau lakukan dengan Tuanku Putri itu, maka sejak
itu aku mengalami kepahitan hidup. Seakan-akan aku menjadi
putus asa dan kehilangan gairah untuk menjelang masa-masa
depanku. Namun aku tidak kehilangan akal. Aku cari cara yang
sebaik-baiknya untuk menyingkirkan kau dari daerah istana.”
Debar dijantung Karebet itu menjadi semakin cepat. Tetapi ia
berusaha untuk menguasainya sekuat-kuat tenaganya.
Dibiarkannya Tumenggung itu mengatakan apa saja yang
tersimpan di dalam dadanya. Dan Tumenggung itu berkata terus
“Karebet, selama ini aku telah berjuang untuk mengalahkanmu.
Aku telah berusaha dengan susah payah untuk menebus kepahitan
yang pernah aku alami. Dan sekarang, datanglah giliranku untuk
menikmati keindahan wajah putri itu setelah berbulan-bulan aku
hampir menjadi gila karenanya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 98
Karebet menggigit bibirnya. Ia menunggu Tumenggung itu
mengatakan apakah yang telah dilakukannya selama ini. Tetapi
Tumenggung itu hanya berkata, “Sekarang kau harus menerima
kekalahan itu. Kekalahan mutlak. Karena itu jangan mencoba
melawan kehendak Tumenggung Prabasemi.”
Tumenggung itu berhenti berbicara. Dengan tersenyum-
senyum ia menengadahkan wajahnya. Sedang Karebet menjadi
semakin muak kepadanya.
Sementara itu kaki-kaki mereka terayun terus menuju ke
hutan yang semakin lama semakin dekat. Malam masih
sedemikian gelapnya dan bintang-bintang masih berhamburan di
langit yang pekat. Sekali-kali kelelawar tampak beterbangan
merajai langit di malam hari.
Semakin dekat mereka dengan hutan itu, semakin tegang
wajah Tumenggung yang masih muda itu. Nafasnya menjadi
semakin cepat mengalir dan darahnya seakan-akan menjadi
semakin cepat berdenyut. Sehingga demikian mereka sampai di
tepi hutan itu berkatalah Tumenggung Prabasemi, “Karebet,
apakah tidak kau ketahui bahwa di dalam hutan ini terdapat
beberapa jenis binatang buas.”
Karebet tidak tahu arah pembicaraan Tumenggung Prabasemi,
sehingga ia menjawab. “Ya Tumenggung, aku tahu.”
“Tetapi Karebet,” berkata Tumenggung itu. “Sebuas-buasnya
binatang yang tinggal di dalam hutan ini, bagiku tidak ada yang
berbahaya samasekali.”
Karebet semakin tidak tahu maksud orang itu. Dan yang
kemudian didengarnya adalah benar-benar menggelegar
ditelinganya seakan-akan memecahkan selaput telinga itu.
Berkata Tumenggung Prabasemi. “Sebuas-buasnya binatang di
dalam hutan kecil ini Karebet, bagiku kau akan jauh lebih
berbahaya lagi daripada mereka itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 98
Terasa jantung Karebet berdentang keras-keras. Kata-kata itu
hampir tak dipercayanya. Namun Tumenggung itu berkata terus.
“Bagiku Karebet, meskipun kau telah diusir dari istana dan bahkan
dari Demak, namun selagi kau telah diusir dari istana
kesempatanmu untuk kembali ke istana masih selalu terbuka. Nah,
ketahuilah bahwa maksudku kali ini, adalah melenyapkan
kesempatan itu samasekali. Kau dengar?”
Jantung Karebet tiba-tiba terguncang keras sekali. Ia
samasekali tidak menyangka bahwa itulah yang dikehendaki oleh
Tumenggung Prabasemi itu. Karena itu maka tubuhnya tiba-tiba
menjadi gemetar.
Dan masih didengarnya Tumenggung itu berkata, “Karebet,
kau adalah orang satu-satunya yang telah mengetahui rahasia
perasaanku disamping seorang emban yang telah aku suap untuk
memata-matai putri. Dari emban itu pula aku mengetahui segala-
galanya, dan pasti emban itu pula yang telah melaporkan
hubunganmu dengan putri itu kepada Baginda.”
Kini tubuh Karebet benar-benar menggigil. Sedang
Tumenggung Prabasemi masih berkata, “Selama kau masih hidup
Karebet, maka perubahan keadaan akan memungkinkan kau untuk
kembali ke istana, dan memungkinkan kau bercerita tentang aku.
Karena itu, malang benar nasibmu, bahwa aku diperbolehkan
mengantarmu sampai ke luar kota. Agaknya betapa besar dosamu,
namun Baginda masih juga sayang kepada nyawamu. Sehingga
kau masih akan diberi kesempatan untuk pergi ke Bergota. Tetapi
dengan demikian Karebet, aku benar-benar tak akan mendapat
kesempatan seperti ini. Tetapi sekarang kau bukan apa-apa lagi.
Kalau kau mati di sini dan mayatmu dimakan oleh serigala, maka
Baginda tidak akan bertanya tentang kau. Kau dengar?”
Wajah Karebet tiba-tiba menjadi merah menyala. Namun
terdengar suaranya gemetar. “Tetapi apakah dengan demikian Ki
Tumenggung tidak melanggar perintah Baginda?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 98
“Melanggar atau tidak melanggar, tak seorangpun yang akan
mengetahuinya.”
“Tetapi apakah Kiai Tumenggung berhak berbuat demikian?
Baginda telah memutuskan, bahwa aku dibebaskan dari hukuman
mati. Aku hanya diusir dari Demak. Kenapa Tumenggung akan
berbuat melampaui putusan Baginda?”
Tumenggung Prabasemi tertawa. Ia menjadi sedemikian
senangnya melihat Karebet gemetar. Karena itu katanya, “Karena
itu. Karebet. Kau jangan terlalu berani menghina Tumenggung
Prabasemi. Aku tidak peduli keputusan yang telah dijatuhkan oleh
Baginda. Aku akan berbuat dalam tanggungjawabku. Dan Baginda
tidak akan mengetahui, apa yang telah aku lakukan.”
“Tetapi lambat laun Baginda akan mendengarnya juga. Malam
ini aku pergi bersama Kiai Tumenggung. Kalau kemudian aku mati,
maka sudah pasti Kiai yang membunuhnya.”
“Tak seorang pun akan menemukan mayatmu. Mayatmu besok
sebelum fajar sudah akan habis menjadi makanan serigala. Dan
kalau kau tidak nampak lagi, maka semua orang pasti hanya
menyangka bahwa kau benar-benar sedang menjalani hukuman
itu.”
Karebet kini tidak dapat berkaka apapun lagi. Tetapi tubuhnya
benar-benar gemetar seperti kedinginan. Bahkan kadang-kadang
terdengar giginya gemeretak. Sedangkan Tumenggung Prabasemi
masih juga tertawa dan berkata, “Jangan menyesal saat ini.
Semuanya telah terlambat. Aku telah sampai pada suatu
keputusan, melenyapkan kau. Tak ada suatu masalah pun yang
mengubah rencanaku itu. Meskipun demikian aku bukan seorang
yang kejam. Karena itu aku beri kesempatan kau memilih cara
yang kau kehendaki menjelang kematianmu itu. Ketahuilah
Karebet. Aku akan dapat membunuhmu dengan sekali pukul pada
tengkukmu, dadamu atau punggungmu. Nah, sekarang
katakanlah, manakah yang harus aku pukul supaya kau....”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 98
“Diam!” Tiba-tiba Karebet yang gemetar itu membentak
lantang.
Tumenggung Prabasemi terkejut sehingga kata-katanya
terputus. Kini ia tidak tertawa lagi. Ditatapnya tubuh Karebet yang
gemetar. Namun ternyata Tumenggung itu salah sangka. Karebet
samasekali tidak gemetar karena ketakutan, tetapi anak muda itu
gemetar karena kemarahannya yang telah menjalari seluruh urat
darahnya. Sedemikian marahnya anak muda itu, sehingga justru
mulutnya jadi terbungkam.
Yang berkata kemudian adalah Tumenggung Prabasemi,
“Karebet, apakah kau sudah menjadi gila, sehingga kau berani
membentak aku? Jangan berbuat sesuatu yang akan
mencelakakan dirimu. Cara untuk membunuh seseorang ada
beberapa macam. Jangan memilih yang paling mengerikan yang
dapat aku lakukan.”
Dada Karebet seakan-akan terguncang-guncang mendengar
kata-kata Tumenggung Prabasemi itu. Hampir-hampir saja ia tidak
dapat menahan kemarahannya. Namun tiba-tiba menjalarlah
suatu perasaan yang aneh dalam dirinya. Tiba-tiba ia menyadari
kebebasannya. Kebebasan seperti yang pernah dimilikinya
sebelum ia menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. Karena itu,
tiba-tiba ia merasa bahwa tidak ada suatu apapun yang
mengikatnya. Tak ada ikatan hubungan apapun lagi antara dirinya
dengan Tumenggung itu, bahkan antara dirinya dengan tatacara
Keprajuritan. Karena itu ketika ia melihat kepuasan yang
membayang di wajah Tumenggung Prabasemi, anak muda itu
menjadi geli. Lenyaplah segala kemarahannya, dan bahkan kini
seakan-akan anak muda itu diberi kesempatan untuk bermain-
main. Karena itu tiba-tiba ia tersenyum, senyum yang aneh.
Betapa Tumenggung Prabasemi terkejut melihat Karebet itu
tersenyum, sehingga dengan serta merta ia berteriak, “Setan. Kau
sangka aku bermain-main?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 98
“Tidak Prabasemi,” jawab Karebet, “Aku tidak menyangka
engkau sedang bermain-main”
“He, apa katamu? Kau hanya njangkar saja menyebut
namaku?”
Karebet itu kini tidak hanya sekedar tersenyum. Penyakitnya
benar-benar telah kambuh. Karena itu ia tertawa tergelak-gelak,
sehingga Tumenggung Prabasemi menjadi sedemikian
herannya. “Apakah anak ini menjadi gila karena ketakutan?”
katanya di dalam hati. Namun ternyata jawaban Karebet
meyakinkannya bahwa anak itu tidak gila.
Berkata anak muda itu, “Prabasemi. Aku kini telah menjalani
hukumanku. Karena itu aku bukan Wira Tamtama lagi. Apabila
demikian, apakah hubunganku dengan Prabasemi? Aku
menyebutmu Tumenggung, Kiai Tumenggung, karena aku berada
dibawah pimpinanmu. Tetapi, sekarang aku bukan lagi
orangmumu. Sehingga antara Karebet dan Prabasemi tidak ada
lagi tataran yang mengharuskan aku menghormatimu. Kalau kau
sebut namaku begitu saja, maka akupun berhak memanggilmu
tanpa sebutan apapun. Prabasemi, begitu saja. Ya Prabasemi.
Prabasemi, kau dengar?”
“Setan,” geram Prabasemi. Kini ia tidak saja lagi dipenuhi
dendam di dalam dadanya, tetapi kemarahannyapun telah
melonjak ke ubun-ubun. Dengan parau ia berkata, “He Karebet,
apakah kau sudah benar-benar menjadi gila. Sudah kukatakan
kepadamu, bahwa aku memberi kesempatan kepadamu untuk
memilih cara yang sebaik-baiknya untuk mati. Sekarang kau
menumbuhkan kemarahanku, sehingga kesempatan itu aku cabut
kembali. Sekarang dengarlah, aku akan membunuhmu seperti saat
aku membunuh Bahu dari Tunggul. Kau ingat? jangan melawan,
supaya aku tidak menjadi marah.”
Betapapun juga, bulu roma Karebet meremang. Prabasemi
pernah membunuh Bahu dari Tunggul dengan cara mengerikan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 98
karena Bahu melawan perintahnya. Dianggapnya Bahu
memberontak terhadap Demak. Karena itu, maka orang itu
dipergunakannya sebagai contoh bagi mereka yang memberontak
terhadap raja. Dibunuhnya Bahu dengan cara yang mengerikan.
Digores-goreskannya kulit Bahu dengan duri setelah diikat pada
sebatang pohon. Dan dibiarkannya mati sehari setelah itu.
Prabasemi melihat perubahan di wajah Karebet. Karena itu
timbul kegembiraannya. Katanya, “Aku dapat berbuat lebih
daripada itu Karebet. Dan jangan sekali-kali mencoba
mengandalkan kemudaanmu. Aku memang kagum melihat kau
bertempur dalam setiap pertempuran. Namun pertempuran-
pertempuran yang pernah kau alami adalah pertempuran-
pertempuran kecil tak berarti. Karena itu jangan berbangga hati
karenanya. Tapi kau sekarang berhadapan dengan Tumenggung
Prabasemi. Ya Tumenggung Prabasemi. Ingatlah bahwa
Tumenggung Prabsemi adalah seorang tumenggung yang
ditakuti.”
Namun kembali Prabasemi terkejut. Tiba-tiba Karebet itu
tertawa kembali sambil berkata, “Prabasemi. Jangan membual.
Kau memang sedang memilih cara kematian yang sebaik-baiknya.
Sedang yang paling baik bagiku adalah bukan mati. Tetapi, aku
lebih senang hidup mengembara dan berburu binatang. Apakah
kau ingin ikut aku? Nanti kau akan aku perkenalkan dengan
sahabat-sahabatku. Kau pernah mengenal nama Mahesa Jenar?”
“Tutup mulutmu!” bentak Prabasemi yang kembali
kemarahannya memuncak. Kini ia benar-benar telah kehilangan
kesabaran. Setapak ia melangkah maju sambil menggeram, “Kau
benar-benar sedang sekarat. Kini sebutlah nama ibu dan bapakmu
sebelum ajalmu tiba.”
“Bapak ibuku telah mendahului aku. Kalau aku sebut namanya,
ia tidak akan dapat bangkit dari kuburnya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 98
“Gila!” teriak Prabasemi. Matanya benar-benar telah
menyalakan hatinya. Dan tiba-tiba ia berteriak, “Mampus kau anak
gila.”
Prabasemi itu menconcat dengan garangnya menyerang
Karebet langsung mengarah kedadanya. Prabasemi benar-benar
ingin melumpuhkan anak muda itu sebelum membunuhnya.
Karebet benar-benar akan dibunuhnya dengan cara yang pernah
dilakukannya itu.
Tetapi Karebet ternyata dapat bergerak dengan lincahnya.
Dengan sekali menggeliat ia telah berhasil membebaskan dirinya
dari serangan Prabasemi. Bahkan ia sempat berkata, “Kiai
Tumenggung, bukankah Kiai Tumenggung pernah memberi aku
nasehat, sebagai seorang Wira Tamtama seharusnya pantang
menyerah. Sekali ia maju bertempur, maka ia akan maju terus.
Hanya kematianlah yang dapat menghentikan gerak maju itu. Dan
bukankah kini aku sedang memenuhi nasehat Kiai Tumenggung itu
untuk melawan Prabasemi.”
“Tutup mulutmu,” teriak Prabasemi, “Atau aku harus
menyobeknya.”
“Terserahlah, bukankah kita telah bertempur. Sobeklah kalau
kau ingin.”
“Anak Setan,” geram Prabasemi. Sedang kemudian serangan
yang keduapun telah melucur dengan cepatnya. Sebuah
tendangan mendatar mengarah ke lambung kiri Karebet. Namun
sekali ini Karebet cukup cekatan untuk menghindarinya. Sifat-
sifatnya yang aneh kini telah menguasai otaknya, sehingga
betapapun ia terkejut mengalami serangan yang sedemikian
cepatnya, namun sempat juga ia berkata, “Prabasemi, kita
bertempur untuk satu taruhan yang ternilai harganya. Kalau aku
mati, kau akan menjadi menantu Sultan Trenggana. Sedangkan
kalau kau yang mati, maka aku akan mendapatkan dua
kesempatan. Menggantikan kau sebagai Tumenggung dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 98
mendapatkan puteri yang cantik itu. Bukankah begitu? Tetapi
bagaimanapun juga Prabasemi, ternyata kau gila juga seperti aku.
Dan ingatlah apabila puteri itu kelak menjadi isterimu dan kau
diangkat menjadi adipati, kesempatan yang pertama menerima
hati puteri itu adalah aku, Karebet, anak gembala yang dipungut
Sultan Trenggana dari tepi belumbang Mesjid Demak.”
“Tutup mulutmu,” Prabasemi berteriak keras keras. Dan
suaranya bergemna bersahut-sahutan di dalam rimba itu.
Meskipun demikian, Tumenggung yang garang itu terkejut bukan
kepalang. Ternyata Wira Tamtama yang masih muda ini benar-
benar tangkas. Sehingga ia mampu mengelakserangannya sampai
dua kali tanpa tersentuh samasekali. Karena itu kemarahan
Tumenggung semakin menyala-nyala seakan membakar dadanya.
Dengan gigi gemeretak, sekali lagi dikerahkannya tenaganya
untuk menyerang lawannya. Sedemikian dahsyatnya, seperti
burung Rajawali yang menyambar mangsanya.
Karebet mengerutkan keningnya. Serangan ini benar-benar
berbahaya. Sehingga dengan demikian maka ia tidak dapat
tertawa-tawa lagi. Kini dipusatkannya perhatiannya kepada
perkelahian itu. Sekali terbersit juga kekagumannya atas lawannya
yang mampu bergerak sedemikian cepatnya. Namun Karebet itu
pun mampu mengimbanginya. Sambaran-sambaran burung
Rajawali dapat dielakkannya, dan bahkan kini serangan-
serangannya pun datang pula seperti badai diudara yang dengan
dahsyatnya melanda burung rajawali yang merasa dirinya raja dari
seluruh langit itu.
Demikianlah pertempuran itu menjadi sangat serunya. Masing-
masing adalah prajurit Wira Tamtama yang pantang surut. Masing-
masing memiliki bekal yang cukup dahsyat. Karena itu daerah
sekitar perkelahian seakan akan timbul angin pusaran. Daun-daun
bergerak berputaran dan daun-daun kering berguguran ditanah.
Ranting ranting yang tersambar tangan mereka berderak-derak
patah berserakan. Tanah di sekitar mereka seakan-akan telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 98
dibajak, dan tumbuh-tumbuhan perdu dan batang-batang kecil
telah roboh terinjak-injak kaki mereka.
Perkelahianpun semakin lama menjadi semakin seru. Masing-
masing menjadi kagum akan keprigelan lawannya. Lebih-lebih
Prabasemi. Ia telah pernah mendengar dan melihat sendiri
beberapa kelebihan Karenet dari kawan-kawannya prajurit-prajurit
Wira Tamtama yang lain. Namun tidak disangkanya anak itu
mampu melawannya sampai beberapa lama dalam tingkatan yang
sejajar. Karena itu maka Tumenggung itu benar-benar telah
kehilangan pengamatan diri. Yang ada di dalam otaknya adalah
membunuh. Karebet harus dibunuh dengan cara apapun.
Sedang Karebet pun sebenarnya mengagumi pula ketangkasan
Prabasemi. Tumenggung yang masih cukup muda, meskipun agak
lebih tua daripadanya. Namun ketangkasannya telah sedemikian
tingginya, sehingga karena itulah maka sepantasnya bahwa
Prabasemi cepat menanjak ketempatnya yang sekarang. Namun
sayang, Tumenggung sakti ini mempunyai sifat-sifat yang kurang
pada tempatnya. Tumenggung itu terlalu kejam dalam hampir
segala tindakan yang diambilnya. Terlalu bernafsukan harga diri
dan kebanggaan atas tingkatan-tingakatn yang pernah dicapainya.
Apalagi kini ia menjadi semakin gila lagi dengan harapan yang
tumbuh di dalam dirinya tentang puteri Sultan Trenggana.
Tetapi kemudian Karebet pun berkata di dalam hatinya kepada
dirinya sendiri, “Apakah aku juga tidak gila seperti Tumenggung
itu?”
Karebet itu tersenyum. Tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap
seperti awan disapu angin ketika serangan Prabasemi hampir
mematahkan lengannya. Sebuah pukulan gebangan yang dahsyat
mengarah ke pergelangannya. Untunglah cepat ia menyadari
keadaannya sehingga ia masih sempat menarik tangannya itu
bahkan ia masih mampu berputar diatas tumitnya dan dengan
tumit yang lain menyambar perut Prabasemi. Tetapi Prabasemi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 98
tidak membiarkan perutnya menjadi sakit. Cepat ia menggeliat,
dan kaki Karebet lewat beberapa jari dari perutnya yang buncit.
Perkelahian itu berjalan semakin sengit. Prabasemi benar-
benar sudah sampai puncak kemarahannya dan Karebetpun
melayani dengan sepenuh tenaga.
Tetapi kemudian ternyata bahwa keadaan mereka agak
berbeda. Prabasemi adalah seorang Tumenggung yang menjadi
seorang sakti karena ketekunannya berlatih. Kedahsyatannya
tumbuh di dalam ruang latihan dalam keadaan yang cukup baik.
Namun Karebet adalah seorang yang aneh. Ia tidak pernah berlatih
secara teratur, namun ia tidak kalah tekunnya dari Prabasemi.
Namun karebet adalah seorang yang anak gembala dan sekaligus
seorang perantau. Tubuhnya seakan-akan ditempa sekitarnya.
Panas dingin dan segala macam pekerjaan yang harus
dilakukannya. Berkelahi dengan penjahat dan berjuang melindungi
kawan gembala dari segala sergapan para pencuri ternak.
Pengalaman yang diperolehnya di Karang Tumaritis bersama
pamannya dan kemudian Arya Salaka, disamping Endang Widuri.
Semuanya itu telah menempa tubuh Karebet menjadi sekeras
tembaga, tulang-tulangnya sekeras besi dan otot-ototnya seliat
jalur baja.
Itulah sebabnya semakin lama pertempuran itu menjadi
semakin nyata, bahwa tidak saja kelincahan dan kecepatan
bergerak, namun ketahanan jasmaninyapun Prabasemi tidak dapat
menyamai Karebet.
Prabasemi pun akhirnya merasakan keadaan itu pula. Karena
itu, betapapun betapapun jantungnya bergejolak dengan dahsyat.
Kemarahannya yang telah memuncak itu benar-benar telah
membakar darahnya sehingga seakan-akan mendidih. Telah
dikerahkan segenap tenaga dan kecepatannya untuk mengalahkan
lawannya, namun Karebet ternyata memiliki beberapa kelebihan
daripadanya. Karena itu, sekali-sekali terdengar Prabasemi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 98
menggeram. Ia kini benar-benar menghadapi keadaan yang
samasekali tidak disangka-sangkanya.
Karena itu setelah ia yakin bahwa ia tidak akan dapat
mengalahkan lawannya, maka tidak ada jalan lain kecuali
menyelesaikan perkelahian itu dengan ilmunya yang terakhir.
Sebenarnya malu juga Tumenggung Prabasemi itu. Melawan anak-
anak yang selama ini menjadi reh-rehannya, masih harus
menggunakan ilmu simpanan yang jarang-jarang sekali
dipergunakannya. Namun ia tidak mempunyai jalan lain daripada
itu. Ilmu itu adalah ilmu gerak yang luar biasa. Ilmu yang dinamai
oleh gurunya Aji Sapu Angin. Sebenarnyalah apabila ilmu itu
dipergunakannya, maka gerak Prabasemi benar-benar seperti
menghalau angin.
Demikianlah ketika tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan
untuk menebus kepahitan yang telah ditimbulkan oleh Karebet itu
atasnya, serta tuntutan dendam yang membara di dalam dadanya,
maka Prabasemi itu pun segera meloncat mundur. Secepat kilat
ditrapkannya ilmu gerak itu, Aji Sapu Angin. Dijulurkannya kedua
tangannya kedepan kemudian dengan gerakan menyentak, kedua
lututnya ditarik serta ditekuknya. Kedua tangannya mengepal dan
menelentang dilambungnya. Itulah pertanda, gerakan-gerakan
pertama dari unsur Aji Sapu Angin.
Karebet terkejut melihat sikap itu. Tetapi ia segera menyadari
bahwa lawannya pasti mempergunakan ilmu tertingginya. Tetapi
setelah bertempur beberapa lama melawan Prabasemi, sedang
tenaganya seakan tidak berkurang, tahulah Karebet sampai
dimana tingkat ilmu Tumenggung itu. Betapapun ia kagum akan
kecepatan bergerak serta tenaganya, namun ternyata masih
belum dapat menyamainya. Karena itu, ketika ia melihat
Tumenggung Prabasemi mempergunakan ajinya, maka Karebet
tidak perlu tergesa-gesa mempergunakan aji Rog-Rog Asem. Yang
kini dipergunakannya adalah ilmu pertahanannya yang sudah
jarang-jarang dimiliki oleh seseorang. Lembu Sekilan. Bahkan
dalam pada itu, masih sempat juga Karebet berkata, “Ait apakah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 98
kira-kira yang akan kau lakukan Prabasemi? Agaknya kau telah
terpaksa menggunakan aji pamungkasmu?”
“Mampus kau,” bentak Prabasemi dengan marahnya.
Tubuhnya melontar seperti tatit menyambar Karebet.
Karebet terkejut melihat gerak itu, namun gerak itu terlalu
cepat baginya. Itulah Aji Sapu Angin sehingga kali ini Karebet
benar benar tak mampu menghindari. Karena itulah maka
serangan Prabasemi kali ini tepat mengenai dada kiri Karebet.
Sambaran tangan Prabasemi yang dilambari ilmu gerak itu benar-
benar terasa menghentak tulang iga, sehingga karena itulah maka
Karebet terdorong beberapa langkah.
Ketika Prabasemi merasakan sentuhan tangannya itu, serta
melihat bahwa Karebet benar-benar tak mampu menghindari
serangannya yang dilontarkan dalam lambaran ajinya itu, maka
terdengar Prabasemi itu berteriak, “Tataplah langit, peluklah bumi,
Karebet. Jangan rindukan lagi matahari esok pagi.”
Tetapi alangkah terkejutnya Tumenggung Wira Tamtama itu,
ketika ia melihat Karebet terlempar beberapa langkah surut,
terbanting ditanah dan berguling beberapa kali. Namun kemudian
dengan tangkas melenting berdiri diatas kedua kakinya yang
meregang. Sekali ia menyeringai, namun kemudian terdengar
tertawa lirih. Katanya sambil menarik nafas dalam-dalam, “Hem,
alangkah dahsyatnya ilmumu Prabasemi, apa namanya?”
Prabasemi menggigil karena marahnya. Giginya beradu
sehingga hampir-hampir menjadi patah. Betapa ia melihat Karebet
masih tegak berdiri dengan mulut tertawa.
“Anak setan, gendruwo, tetekan,” Tumenggung itu
mengumpat tak habis-habisnya.
Karebet masih berada ditempatnya. Diantara suara tertawanya
terdengar ia berkata, “Alangkah dahsyatnya ilmumu itu. Kalau
tidak, maka ia tidak akan mampu menembus Aji Lembu Sekilan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 98
“Lembu Sekilan?” tanpa sesadarnya Prabasemi itu mengulangi.
Berbagai perasaan berputar-putar di dalam lenaknya. “Lembu
Sekilan?” berkali-kali Tumenggung itu mengulangi di dalam
hatinya. Hampir-hampir ia tidak percaya. Tetapi, ia mengalaminya
sendiri. Sentuhan ajinya yang selama ini dibanggakan, ternyata
tidak mampu menembus pertahanan Lembu Sekilan. Ajinya hanya
mampu mendorongnya jatuh, namun anak itu tetap segar. Bahkan
masih tertawa lirih memandanginya dengan tenangnya.
Karebet masih berdiri di tempatnya. Ketika ia melihat
Tumenggung itu menjadi tegang, maka katanya, “Apakah kau
sudah siap untuk membunuhku dengan cara yang sama seperti
kau membunuh Bahu dari Tunggul?”
Prabasemi memggeram. Alangkah panas hatinya mendengar
ejekan itu. Karena itu, dengan suara gemetar ia menjawab, “aku
akan melakukannya lebih daripada itu!”
“Bagaimana kalau sebaliknya?” balas Karebet.
Dada Prabasemi hampir meledak karenanya. Karena itu maka
sekali lagi ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya. Dengan
cepatnya ia meloncat, melontarkan sebuah pukulan yang dahsyat
ke arah wajah Karebet. Kali ini pun Karebet kalah cepat dari Aji
Sapu Angin, sehingga sekali lagi ia terdorong surut beberapa
langkah, namun ia tidak lagi terbanting jatuh.
Meskipun demikian wajahnya terasa panas dan kepalanya
sedikit pening. Karena itu ia mengumpat dalam hatinya, “Gila juga
Aji orang ini.”
Namun Prabasemi ternyata tidak memberinya kesempatan.
Sekali lagi ia meloncat, dan serangannya kini mengarah ke perut
Karebet. Karebet yang percaya benar kepada aji Lembu Sekilannya
segera memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu. Kali
ini Karebet benar benar telah dapat menguasai keseimbangan
antara kekuatan lawannya dan kemampuan Ajinya. Akibatnya
sekalipun serangan Prabasemi membenturnya namun Karebet
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 98
tidak lagi terdorong karenanya. Bahkan kemudian anak muda aneh
itu melawan sejadi-jadinya. Dikerahkannya segenap kemampuan
yang setinggi-tingginya. Namun ia samasekali belum
mempergunakan Aji Rog-Rog Asemnya.
Meskipun demikian ternyata Karebet tidak segera dapat
dikuasai lawannya. Meskipun serangan-serangan Karebet tidak
begitu berbahaya dalam benturan dengan ajian lawannya, namun
karena Lembu Sekilan, maka Karebet tidak merasakan bahwa
lawan telah mencurahkan segenap kemampuan yang ada
padanya, bahkan sudah sampai pada tahap ilmu yang terakhir.
Prabasemi semakin lama semakin cemas dan bingung. Benar-
benar tak disangka-sangkanya bahwa Karebet memiliki
kemampuan sedemikian tingginya. Semula disangkanya bahwa
lurah Wira Tamtama muda ini tidak lebih ataupun tidak jauh
terpaut dari kawan-kawannya. Tetapi Karebet benar-benar seperti
anak setan.
Karebet itu pun semakin lama semakin menyadari akan
kemampuannya. Betapapun Prabasemi mengerahkan Aji Sapu
Angin, namun Lembu Sekilan masih mampu mengatasinya
sehingga dengan demikian maka seakan-akan Prabasemi
samasekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan. Meskipun
ajinya juga mampu mengurangi tekanan tangan Karebet yang
menyentuh tubuhnya, namun sebenarnya terasa oleh Prabasemi,
bahwa Karebet telah mampu melampauinya.
IV
Tetapi semuanya sudah terlanjur. Ia tidak dapat menarik lagi
ucapannya. Ia sudah berkata bahwa ia akan membunuh Karebet
itu. Ia sudah berkata bahwa apapun yang terjadi, maka
maksudnya itu tak akan diurungkan. Dan anak muda itu pun telah
berkata bahwa mereka kini sedang berkelahi untuk satu taruhan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 98
Karena itu, maka tidak ada satu pun jalan untuk
menghindarkan diri dari perkelahian itu. Dan terbayanglah di
wajah Tumenggung, bahwa saat-saat terakhirnya telah tiba. Ia
samasekali tidak akan dapat membunuh Karebet itu, tetapi ia pasti
bahwa Karebet akan mampu membunuhnya.
Prabasemi bukanlah seorang penakut. Ia adalah seorang
Tumenggung Wira Tamtama, yang sudah berpuluh kali berjuang
melawan maut. Telah berpuluh kali ia membunuh lawannya, dan
bahwa suatu ketika salah seorang lawannya akan membunuhnya,
benar-benar sudah diramalkannya. Karena itu, apabila ia kali ini
mati dalam perkelahian, maka ia tidak akan menjadi gentar.
Meskipun demikian, ada juga suatu yang bergetar di dalam
dadanya. Ia samasekali tidak takut mati. Namun mati karena anak
muda yang aneh itu rasa-rasanya tidak senang juga. Walaupun
demikian, Prabasemi harus menyadari keadaannya.
Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin seru pula. Aji
Sapu Angin adalah Aji yang cukup dahsyat, sehingga apabila Aji
itu menyentuh dahan-dahan kayu di sekitar perkelahian itu maka
terdengarlah suaranya berderak-derak patah. Pohon-pohon muda
dan cabang-cabang pepohonan. Karena itu, maka di daerah
perkelahian itu seakan-akan telah tertiup angin prahara yang
menggoncangkan pepohonan serta menggugurkan pepohonan
serta menggugurkan daun-daunnya.
Apabila pertempuran itu terjadi di siang hari, maka dari
kejauhan akan nampaklah daun-daun yang berguncang-guncang
dan akan tampak pulalah dahan-dahan yang patah berhamburan,
karena kedahsyatan Aji Sapu Angin.
Tetapi karena Aji Sapu Angin itu tidak mampu menembus
sampai keintinya Aji Lembu Sekilan, maka kesempatan Karebet
untuk mengenai lawannya, jauh lebih banyak dari Prabasemi.
Berkali-kali Prabasemi terpaksa menyeringai kesakitan dan
berkali-kali ia terpaksa menyeringai pula karena kekecewaan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 98
Serangannya telah benar-benar mengenai sasarannya, tetapi
Karebet seolah-olah telah menjadi kebal.
Namun kemudian ternyata, betapa dahsyatnya Aji Sapu Angin
itu, tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan jasmaniah Tumenggung
Prabasemi itu terbatas. Setelah ia memeras tenaganya dalam
kekuatan Aji Sapi Angin, maka terasalah getaran-getaran ilmu di
dalam dadanya menjadi susut. Sejalan pula dengan itu, maka
kegarangan Tumenggung Wira Tamtama itu menjadi susut pula.
Baik Prabasemi sendiri, maupun Karebet, segera melihat apa
yang sebenarnya terjadi. Prabasemi kemudian merasa peluh
dingin memancar dari segenap tubuhnya, bukan karena ia takut
mati, tetapi sebenarnya ia menjadi sangat malu atas kekalahannya
itu. Kekalahan yang tak pernah dibayangkannya. Kekalahan dari
seorang anak yang lebih muda daripadanya dan reh-rehannya pula
dalam keprajuritan. Anak itu tidak lebih dari seorang lurah Wira
Tamtama.
“Apa boleh buat” desisnya, “Kalau mungkin, biarlah kita mati
bersama,” katanya dalam hati.
Kini Karebet mendapat kesempatan lebih banyak lagi dari
beberapa saat sebelumnya. Dan ternyata pula, karena
kemuakannya atas Tumenggung itu, maka kesempatan itu pun
dipergunakan sebaik-baiknya. Dengan lincahnya ia bergerak-gerak
menyerang dengan dahsyatnya. Tangannya yang sepasang itu
bergerak-gerak dari segenap arah, menyerang hampir ke setiap
permukaan tubuh Prabasemi. Dan terasalah ujung tangan itu
menyengat-nyengat seperti kerumunan beribu-ribu lebah.
Meskipun demikian Prabasemi samasekali tidak menyerahkan
dirinya ditelan oleh kegarangan lawannya. Dipergunakannya setiap
kesempatan yang masih ada. Namun kembali ia kecewa, Ajinya
tidak dapat menembus Lembu Sekilan sampai keintinya, sehingga
Karebet, seakan-akan hanya bergetar sedikit, untuk kemudian
meloncat maju dengan garangnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 98
Demikianlah, maka lambat laun, tenaga Tumenggung
Prabasemi itu pun terperas habis. Tubuhnya menjadi semakin lama
semakin lemah, dan serangan-serangan Karebet semakin
menekannya. Akhirnya Prabasemi yang garang itu benar-benar
kehabisan tenaga. Ketika ia sempat menengadahkan wajahnya,
dilihatnya warna semburat merah membayang dilangit yang biru.
“Hampir fajar,” keluhnya. “Fajar terakhir.”
Prabasemi itu sudah tidak dapat mengeluh lagi. Dengan
dahsyatnya Karebet meloncat menyambar wajahnya dengan sisi
telapak tangannya. Tumenggung Prabasemi terguncang, dan
kemudian terbanting jatuh. Terasa kepalanya menjadi pening dan
nafasnya menjadi sesak. Tetapi ia adalah seorang Tumenggung
Wira Tamtama. Setiap kali ia berteriak-teriak dihadapan anak
buahnya, bahwa tak ada kemungkinan melangkah mundur bagi
Wira Tamtama. Yang ada, maju terus atau mati. Demikianlah
pendiriannya itu tetap dipertahankannya sampai saat-saat yang
paling berbahaya bagi hidupnya. Betapa pun kepalanya pening dan
pedih-pedih di dalam dadanya, namun Prabasemi itu masih
berusaha untuk tegak kembali. Dicobanya untuk menyamar kaki
Karebet dengan kakinya. Namun dengan lincahnya Karebet itu
meloncat, dan seperti gunung yang runtuh menimpa dadanya, kaki
Karebet itu tepat menghantam tulang-tulang iga Tumenggung
Prabasemi yang sudah sedemikian lemahnya.
Sekali lagi Tumenggung Prabasemi terlempar beberapa
langkah dan kembali ia terbanting di tanah.
Terdengar Tumenggung itu menggeram. Karebet masih
melihat, dengan gemetar, Prabasemi mencoba berdiri. Namun
ketika ia bertumpu pada kedua kakinya, kembali Prabasemi
terjatuh tertelungkup.
Karebet itu segera meloncat ke depan. Kebenciannya kepada
Tumenggung itu benar-benar meluap sampai ke ubun-ubunnya.
Karena itu, dengan sebelah tangannya, diraihnya baju Prabasemi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 98
yang dibuat dari beludru. Ketika tubuh Prabasemi itu terangkat,
sekali lagi tangan Karebet menyambar dagunya. Kali ini wajah
Prabasemi terangkat, dan Tumenggung itu terlempar jatuh
menelentang.
Karebet yang masih dikuasai oleh kemarahannya itu segera
meloncat menyusul, namun tiba-tiba terasa dadanya berdesir
tajam. Ketika ia melihat wajah Tumenggung itu, maka tiba-tiba ia
menjadi berdebar-debar. Ia terkejut ketika tampak samar-samar
darah meleleh dari mulutnya. Dan Tumenggung itu kini samasekali
tak bergerak-gerak lagi.
“Mati?” tiba-tiba terlontar kata-kata itu dari mulut Karebet.
Dan karena itu ia menjadi gemetar karenanya.
Perlahan-lahan ia maju mendekati. Ketika diraba dada
Tumenggung itu, terdengar Karebet berdesis, “Masih hidup.”
Tiba-tiba timbullah kecemasan dihati anak muda yang aneh
itu. Kalau dirinya mati, maka tak seorangpun yang akan
mencarinya, setidak-tidaknya dalam waktu yang dekat. Tetapi
kalau Tumenggung yang mati, maka pasti segera aka diketahui
Sultan Trenggana tahu benar, bahwa Tumenggung Prabasemi
pergi mengantarkannya sampai keluar kota. Kalau kemudian
Tumenggung itu hilang, dan tidak kembali kerumahnya maka
Sultan segera akan mengetahuinya, bahwa setidak-tidaknya
Karebet mengetahuinya apakah yang terjadi.
Karena itu, maka Sultan Trenggana pasti akan menjadi sangat
murka. Mungkin sekali disebarkannya beberapa orang untuk
menangkapnya. Hidup atau mati.
Sekali lagi Karebet meraba tubuh Prabasemi. Ia menjadi
sedikit berlega hati, ketika ia yakin bahwa Tumenggung itu benar-
benar belum mati.
“Kenapa aku takut, seandainya Sultan akan berusaha
menangkapku?” tiba-tiba terdengar suara di dalam relung hatinya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 98
“Hukuman mati hanya akan dijatuhkan satu kali. Bukankah
Tumenggung ini kalau masih hidup pasti akan berusaha
membunuhku pula?”
Tetapi tiba-tiba Karebet menundukkan wajahnya. Sebenarnya
Karebet samasekali tidak takut pada hukuman mati itu. Kini ia
telah mengenal apa yang sebenarnya sedang bergolak di dalam
dadanya. Bukan suatu perasaan takut, tetapi suatu perasaan yang
jauh lebih berharga dari itu. Tiba-tiba saja, terasa betapa
kemurahan hati Sultan telah melimpah kepadanya. Betapa Sultan
Trenggana berusaha mengurangi kesalahan-kesalahan yang telah
dilakukannya. Limpahan kemurahan hati sejak ia dipungut oleh
Baginda dari tepi kolam, kemudian diangkat menjadi Wira
Tamtama. Bahkan dalam waktu singkat Baginda telah
menganugerahkan pangkat Lurah.
Karebet menarik nafas dalam-dalam. Apalagi kalau pamannya
kelak mengetahui apa yang sudah dilakukannya. Membunuh dan
karena itu ia dihukum mati. Maka kembali tubuhnya mengigil.
Sekali lagi diawasinya tubuh yang terlentang tidak bergerak itu.
Perlahan-lahan Karebet berdiri melangkahi tubuh Prabasemi.
Diangkatnya kedua tangannya dan perlahan-lahan digerakkannya.
“Kiai, Kiai Tumenggung,” panggilnya.
Tetapi Prabasemi tidak menjawab. Karena itu Karebet menjadi
bertambah bingung. Ketika sekali lagi ia menggerakkan tangan itu,
maka sekilas dilihatnya sebuah kamus bertimang tretes intan
berlian melingkar diperut Tumenggung itu.
“Hem,” desisnya, “Sebuah timang yang mahal.”
Tetapi, Karebet menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-
benar menjadi cemas. Kalau ditinggalkannya tubuh ini, maka
mungkin sekali akan menjadi hidangan pesta bagi serigala-serigala
lapar. Atau kalau seorang pencari kayu melihatnya, dan melihat
timang itu, ada kemungkinan pula Tumenggung yang pingsan itu
dibunuhnya, hanya karena timang dan permata-permatanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 98
Karebet semakin lama semakin gelisah. Akhirnya ia tidak dapat
menemukan suatu cara yang lain daripada membiarkannya sampai
sadar. Tetapi dengan demikian, ia terpaksa menunggunya.
Dengan dada yang berdebar-debar, Karebet kemudian
berjalan hilir-mudik di samping tubuh Prabasemi. Setiap kali ia
mendengar gemersik daun-daun kering, ia menjadi terkejut.
Betapa marahnya ketika tiba-tiba dari balik rimbunnya dedaunan
perdu, Karebet melihat seekor serigala mengintai tubuh yang
terbaring itu. Dengan lidah yang terjulur panjang dan air liur yang
menetes satu-satu.
“Biasanya serigala liar berjalan beriring-iring,” desisnya.
Namun ia tidak peduli. Diraihnya sebuah batu dan dengan sekuat
tenaga, tenaga Mas Karebet yang sedang marah dilemparinya
serigala itu.
Terdengar serigala itu melengking tinggi. Kemudian diam. Dari
kepalanya mengalir darah yang merah segar. Sesaat kemudian
terdengarlah beberapa ekor serigala yang lain, mengaum-aum
dengan ributnya. Namun semakin lama semakin jauh.
“Hem,” gumam Karebet, “Benar juga mereka datang
berbondong-bondong.”
Kini kembali Karebet merenungi wajah Prabasemi yang pucat
itu. Anak muda itu hampir berteriak kegirangan ketika dilihatnya
Prabasemi bergerak-gerak.
Seperti anak-anak mendapat mainan, Karebet segera
meloncat mendekatinya. Sambil mengguncang-guncangkan tubuh
itu, dipanggilnya nama Tumenggung itu, “Kiai, Kiai Tumenggung.”
Tetapi Prabasemi belum mendengar suara itu. Namun sekali
lagi tampak ia menggerakkan kepalanya.
Sebenarnya tubuh Tumenggung itu adalah tubuh yang luar
biasa. Kekuatan yang tersimpan di dalamnya telah menolongnya,
menghindarinya dari kematian. Karena itu, ketika angin fajar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 98
mengusap wajahnya maka perlahan-lahan terasa darahnya
seakan-akan mengalir kembali.
Namun ketika sekali lagi Karebet melihat Tumenggung itu
bergerak, maka timbullah pikirannya untuk tidak menampakkan
dirinya lagi. Kalau Tumenggung itu kemudian menjadi sadar, dan
memaki-makinya, maka Karebet akan takut kalau ia justru sekali
lagi menjadi lupa diri. Maka ketika dilihatnya Tumenggung itu
menggeliat, Karebet segera meloncat ke balik-balik gerumbul,
tidak begitu jauh dari tempat Prabasemi itu berbaring.
Tumenggung yang malang itu perlahan-lahan menggeliat.
Kemudian terdengar ia mengeluh pendek. Karebet yang
bersembunyi di balik gerumbul mengawasinya dengan tegang.
Apakah Tumenggung itu masih mampu untuk berjalan kembali ke
Demak?
Ketegangan wajah Karebet itu semakin lama menjadi semakin
kendor. Prabasemi betapapun terasa seakan-akan segenap tulang
belulangnya tidak bersambung lagi, namun ia berusaha
menggerak-gerakkan tangannya. Kemudian kakinya.
“Hem….” Prabasemi kembali mengeluh pendek. Mulutnya yang
lebar tampak menyeringai menahan sakit. Namun kini,
kesadarannya telah berangsur-angsur pulih kembali.
Kemudian dicobanya menggerakkan kepalanya, memandang
tempat-tempat di sekitarnya. Dengan geramnya ia menggeram.
“Di mana setan itu?”
Tetapi kembali ia menyeringai. Punggungnya benar-benar
serasa patah. Karena itu, dibiarkannya tubuhnya terbaring untuk
beberapa lama.
Di langit bintang-gemintang menjadi semakin lama semakin
pudar. Dari timur telah membayang cahaya kemerah-merahan,
dan sayup-sayup terdengar suara ayam hutan berkokok bersahut-
sahutan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 98
Prabasemi menarik nafas. “Ternyata aku masih hidup,”
desahnya. Dan kini dicobanya perlahan-lahan untuk
menggerakkan seluruh tubuhnya. Dengan hati-hati ia
memiringkan dirinya untuk kemudian bertelekan pada sebelah
tangannya. Prabasemi berusaha untuk duduk. Tetapi kembali
dengan lemahnya ia terkulai di tanah.
“Gila!” geramnya.
Karebet yang melihat kesulitan itu, menjadi kasihan juga
kepadanya. Namun ia sudah bertekad untuk tidak menemuinya
lagi. Karena itu, betapapun keinginannya untuk menolongnya,
keinginan itu ditahannya kuat-kuat.
Akhirnya, betapa pun Prabasemi mengalami kesulitan,
akhirnya ia mampu untuk duduk dan tertelekan kedua tangannya.
Sekali-sekali terdengar ia berdesis. Namun kemudian menggeram
penuh kemarahan. Dengan nanar ia memandang berkeliling.
Bahkan kemudian ia berteriak “He, di mana kau?”
Namun kemudian, nafasnya menjadi terengah-engah. Dan
kepalanya ditundukkannya.
Tetapi tubuh Prabasemi itu benar-benar tubuh yang
mempunyai daya tahan mengagumkan. Beberapa saat kemudian,
maka telah dicobanya untuk menggerak-gerakkan kakinya. Sekali-
kali dicobanya untuk berjongkok dan kemudian dengan tertatih-
tatih dan berpegangan pada batang-batang pohon Tumenggung
itu mencoba untuk berdiri.
“Luar biasa,” kata Karebet di dalam hatinya. “Baru beberapa
saat ia terkapar hampir mati. Namun kini ia telah mampu untuk
berdiri.”
Sekali lagi Tumenggung itu memandang berkeliling. Ia benar-
benar sedang mencari Mas Karebet. Namun anak itu tidak
dilihatnya. Karena itu dengan geramnya ia berteriak, “He Karebet,
anak setan. Jangan bersembunyi.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 98
Karebet mengumpat di dalam hatinya? “Benar-benar orang ini
keras hati. Setelah nyawanya singgah di ujung ubun-ubun, masih
juga ia berteriak-teriak?”
“He Karebet, pengecut,” katanya. “Tidak sepantasnya Wira
Tamtama melarikan diri.”
“Gila!” Hampir-hampir Karebet menjawab kata-kata itu.
Untunglah segera disadarinya, bahwa sebenarnya, ia tidak dapat
melangkahi limpahan kemurahan hati Sultan Trenggana.
Dengan penuh kemarahan, terdengar Tumenggung itu
bergumam, “Awas kau Karebet. Pada suatu ketika akan datang
saatnya, aku mencarimu dan dengan tanganku aku bunuh kau
seperti aku membunuh Bahu dari Tunggul.”
Sekali lagi Karebet mengumpat di dalam hati. Namun
dibiarkannya Tumenggung itu berjalan terhuyung-huyung. Dengan
tangan yang gemetar, ia berpegangan dari satu pohon ke pohon
berikutnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dan dilihatnya
seberkas cahaya terlempar di atas pepohonan, ia berdesis, “Hari
telah pagi.”
Dan karena itulah maka langkahnya terhenti. Tumenggung itu
menjadi ragu-ragu. Apakah katanya nanti, kalau ia bertemu
dengan seseorang di perjalanan pulang?
Diamat-amati pakaiannya. Kemudian dengan tergesa-gesa
dilihatnya timangnya. “Hem. Masih lengkap,” gumannya.
Dengan hati-hati dicobanya untuk memperbaiki letak
pakaiannya, dan sejenak kemudian, kembali ia terhuyung-huyung
berjalan meninggalkan tempat yang terkutuk itu.
Sepeninggal Tumenggung Prabasemi, Karebet keluar dari
persembunyiannya. Sekali ia menarik nafas panjang. Kemudian
gumannya, “Luar biasa. Luar biasa. Ia masih mampu berjalan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 98
Kemudian ia menjenguk dari balik dedaunan. Prabasemi
benar-benar telah berjalan dengan baik, walaupun sekali-kali
masih harus berhenti, menekan punggungnya dengan kedua
tangannya.
Kini Karebet tinggal melihat kedalam dirinya. Setelah
Prabasemi hilang di antara pepohonan, kembali ia menjadi
bingung. Apakah yang akan dilakukannya, dan akan kemanakah
ia?
Beberapa saat Karebet diam termenung. Bahkan kemudian ia
pun duduk di tanah yang seakan-akan baru saja dibajak oleh kaki-
kakinya dan kaki Tumenggung Prabasemi. Tiba-tiba Karebet pun
tersenyum, gumamnya seorang diri, “Kasihan Tumenggung itu.
Untunglah aku menyadari keadaannku, sebelum aku
membunuhnya.”
Tetapi kemudian disadarinya, bahwa tempat itu cukup
berbahaya baginya. Kalau Tumenggung yang mendendamnya itu
sempat, pasti ia akan datang kembali dengan beberapa orang
untuk menangkapnya dan membunuhnya.
Sebenarnya Tumenggung Prabasemi mendendam Karebet
sampai tujuh turunan. Sepanjang jalan tak habis-habisnya ia
mengumpat-umpat. Meskipun demikian, Tumenggung Prabasemi
itu terpaksa mengakui, bahwa anak itu mempunyai beberapa
kelebihan daripadanya.
Ketika Tumenggung Prabasemi sampai di pinggir hutan, dan
melihat sawah yang terbentang di hadapannya, ia menjadi ragu-
ragu. Dalam keadaannya itu, pasti semua orang yang bertemu di
sepanjang jalan akan menertawakannya. Meskipun ia tidak melihat
wajahnya sendiri, tetapi ia dapat membayangkan, betapa noda-
noda merah biru telah memenuhi wajahnya. Apalagi ketika ia
melihat beberapa noda darah yang meleleh dari mulutnya,
mengotori baju beludrunya.
“Setan. Anak setan” umpatnya tak habis-habisnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 98
Akhirnya Tumenggung Prabasemi terpaksa menunggu di tepi
hutan itu sampai malam datang kembali. Ia tidak mau seorang pun
yang melihatnya dalam keadaan itu. Apalagi bila seorang Wira
Tamtama melihatnya. Maka ia tidak akan dapat menjawab, apabila
mereka bertanya, apakah sebabnya.
Sekali lagi Prabasemi mengumpati Karebet. Terpaksa ia
mencari setetes air untuk minum hari itu. Untunglah, bahwa di
bawah sebatang pohon benda, diketemukannya mata air kecil
yang segar. Namun kemudian dihabiskannya waktunya dengan
mereka-reka, apakah yang dapat dilakukannya untuk membalas
dendam.
“Hem,” katanya kemudian, “Aku tidak akan dapat
melakukannya sendiri. Aku tidak takut. Aku tidak takut!”
teriaknya, seakan-akan seseorang telah menuduhnya. “Tetapi
Sultan akan mengetahuinya, dan menghukumku.”
Tiba tiba Prabasemi tersenyum, “Bodohnya aku, bukankah aku
bisa minta bantuan kakang Sembada?”
Kemudian Prabasemi mengangguk angguk dan tersenyum
sendiri dengan puasnya. Sembada adalah seorang yang dapat
membantunya.
Tetapi ketika disadarinya keadaannya kini, kembali Prabasemi
mengumpat. Terpaksa ia menunggu sampai malam.
“Kakang Sembada harus berangkat malam nanti,” desisnya.
Hari itu terasa betapa panjangnya. Dengan gelisah Prabasemi
berjalan hilir mudik di dalam hutan. Sekali kali ia membaringkan
tubuhnya di atas rumput-rumput kering, namun kembali ia
berjalan hilir mudik.
Namun udara hutan yang segar telah menyegarkan badannya
pula. Berangsur-angsur tenaganya menjadi pulih kembali.
Nafasnya telah tidak terasa sesak, dan tulang iganya sudah tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 98
terlalu nyeri. Tetapi matahari benar-benar sangat menjemu-
kannya.
Akhirnya, ketika Prabasemi hampir-hampir tidak sabar lagi,
maka matahari itupun tenggelam diujung Barang. Cahayanya yang
merah menyala diujung bukit dan ditepi awan yang mengambang
di langit. Namun kemudian tabir yang hitam kelam seolah turun
dari langit, merayap keseluruh permukaan bumi.
Prabasemi menarik napas dalam-dalam. Kemudian dengan
cepatnya ia meloncat setengah berlari pulang kerumahnya. Di
sepanjang jalan hatinya berdebar-debar. Ia sudah pasti dicari oleh
anak buahnya. Mudah-mudahan Baginda tidak mencarinya.
Dan apa yang disangkanya itu benar-benar terjadi. Ketika
Prabasemi hampir sampai dirumahnya, dilihatnya beberapa orang
prajurit Wira Tamtama berjaga-jaga. Ketika salah seorang
melihatnya maka tiba-tiba prajurit itu berteriak, “Itu Kiai
Tumenggung Prabasemi.”
Beberapa kawan-kawannya yang lain pun segera berkumpul.
Seakan-akan mereka melihat sesuatu yang belum pernah mereka
lihat.
Prabasemi datang dengan langkah tegap. Meskipun kakinya
masih terasa agak sakit, namun samasekali ia tidak timpang. Ia
berjalan seorang diri seperti sedang berlatih berjalan dalam
barisan.
Sebelum prajurit itu bertanya kepadanya, maka Tumenggung
yang malang itu mendahului membentaknya, “Apa yang kalian
kerjakan di sini?”
Prajurit yang dibentaknya itupun menganggukkan kepalanya
sambil menjawab, “Kami mencemaskan Kiai Tumenggung. Sehari
ini kami tidak melihat kiai. Ketika kakang lurah Santapati
menghadapi Kiai, maka dijumpainya rumah ini kosong, sehingga
kakang lurah menjadi bingung. Setelah kakang lurah menunggu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 98
sampai tengah hari, dan Kiai Tumenggung tidak juga datang,
mnaka kakang lurah memerintahkan beberapa orang mencari Kiai,
dan beberapa orang diperintahkannya untuk berjaga-jaga di sini.”
“Gila, di mana Santapati?”
“Di belakang.”
“Panggil dia.”
Seorang prajurit segera berlari kebelakang memanggil lurah
Wira Tamtama Santapati. Santapati yang dengan gelisahnya
duduk di serambi belakang karena Tumenggungnya sehar-harian
tak dapat diketemukan, menjadi sangat terkejut ketika ia melihat
seorang prajurit berlari-lari.
“Ada apa?” bertanya lurah itu
“Ki Tumenggung sudah datang.”
“Di mana sekarang?”
“Di serambi depan. Kakang Santapati dipanggil oleh Kiai
Tumenggung.”
Cepat-cepat Santapati berlari ke serambi depan untuk
menemui Tumenggungnya. Beberapa pelayan Prabasemi yang
mendengar laporan itu menjadi gembira pula karenanya. Meskipun
Prabasemi selalu membentak-bentak mereka, namun kalau
maksudnya untuk sesuatu tercapai, maka tidak segan-segan
Tumenggung yang garang itu memberi mereka hadiah.
Di serambi depan, Santapati melihat Tumenggung duduk
dengan garangnya. Karena itu segera ia mengangguk hormat
sambil berkata, “Selamat datang Kiai Tumenggung.”
Tumenggung itu memandangnya dengan tajamnya. Kemudian
katanya parau, “He. Apa yang kau kerjakan di sini?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 98
“Kami menjadi gelisah karena Kiai Tumenggung tidak kami
temukan sehari tanpa kami ketahui kemana Kiai Tumenggung
perginya.”
“Gila kau, Bukankah aku Tumenggung Prabasemi? Aku sudah
cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri. Aku sudah cukup
mampu berbuat apa saja kehendakku. Apa kau sangka aku
memerlukan kalian?”
“Ampun kiai. Kami hanya menjadi gelisah dan tidak tahu apa
yang harus kami lakukan. Kami mencoba mencari Kiai.”
“Kau sangka aku hilang? Diculik orang? He, kau sangka ada
orang di seluruh Demak yang mampu menculik Tumenggung
Prabasemi?”
“Tidak Kiai.” Santapati menjadi ketakutan. “Kami hanya
mencoba untuk menghubungi Kiai.”
“Bodoh kalian,” gumam Prabasemi. “Tetapi biarlah aku
maafkan kau kali ini.” Tumenggung itu berhenti sejenak, kemudian
diteruskannya, “Nah, katakan apa yang telah terjadi sehari ini?”
“Tidak ada apa-apa, Kiai. Selain Kiai Tumenggung yang kami
anggap hilang.”
“Tutup mulutmu!” bentak Prabasemi. “Jangan sebut itu lagi.
Aku tidak hilang, tahu. Aku sedang memenuhi impianku semalam.
Aku harus pergi ke hutan Santi. Dan sebenarnya aku telah
mendapat sesuatu di sana.”
“Apa itu Kiai?” Tiba-tiba Santapati bertanya.
“Apa? Kau akan meniru aku? Sampai gila kau tak akan
mendapatkan apapun di tempat itu.”
Santapati berdiam diri. Ia percaya bahwa Prabasemi baru
datang dari hutan kecil itu. Pakaiannya sedemikian kotornya,
bahkan tubuhnya pun kotor pula, bahkan wajah Tumenggung itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 98
nampak aneh. Ketika Prabasemi merasa bahwa Santapati itu
mengawasinya tanpa berkedip maka teriaknya, “Apa yang kau
lihat?”
Santapati terkejut mendengar pertanyaaan itu. Karena itu
dengan tergagap ia menjawab, “Tidak apa-apa Kiai.”
Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya. Dengan
nada yang tinggi ia berkata, “Lihat, apa yang telah terjadi di hutan
Santi itu. Aku telah bergumul dengan bahureksa hutan itu. Seekor
serigala belang.”
“Oh,” Santapati terkejut.
“Untung aku berhasil membunuhnya.”
Santapati mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh
kekaguman. Ia tidak melihat Prabasemi membawa senjata
apapun. Namun Tumenggung itu berhasil membunuh seekor
harimau belang.
“Nah,” kata Tumenggung itu kemudian, “Kalian sekarang harus
pergi. Biarlah aku beristirahat. Tetapi katakan kepadaku, apakah
kau masih melihat Karebet sehari ini?”
Santapati menggeleng. “Tidak Kiai. Kami juga menjadi gelisah
karenanya. Sehari ini kami tidak dapat menghubungi Kiai
Tumenggung, sedang Adi Lurah Karebet pun tidak berada di
tempatnya, sehingga beberapa anak buahnya menjadi bingung
pula. Tetapi mereka menyangka bahwa Adi Karebet berada di
istana. Sehingga karena itu mereka akan menunggu sampai besok
pagi.”
“Hem,” Prabasemi menggeram, “Benar, Karebet berada di
istana semalam bersama aku. Tetapi sejak hari ini, Karebet tidak
boleh berada di Demak lagi. Setiap prajurit, baik prajurit Wira
Tamtama, Nara Manggala, Jala Pati dan apapun, diberi izin untuk
membunuhnya tanpa sebab. Karena Karebet telah dibuang dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 98
tata pergaulan masyarakat Demak, dan tidak lagi mendapat
perlindungan apapun dari kerajaan.”
Santapati terkejut. Karebet adalah seorang anak muda yang
baik, ramah dan menyenangkan. Banyak sekali yang dapat
diceritakan untuk menggembirakan kawan-kawannya. Anak muda
itu seakan-akan mengetahui seluruh permukaan pula ini. Ia dapat
bercerita tentang bukit-bukit, lembah-lembah, jenis-jenis binatang
di dalam hutan-hutan yang hampir tak pernah diambah manusia,
sampai cerita tentang gadis-gadis cantik di daerah-daerah yang
pernah dikunjunginya. Karena itu maka dengan serta merta ia
bertanya, “Kenapa Kiai? Kenapa anak yang baik itu diusir dari
Demak?”
“Apa katamu? Apakah Karebet anak yang baik?” Tumenggung
itu berhenti sejenak. Tetapi kemudian ia berkata seterusnya, “Ya.
Anak itu memang anak yang baik. Tetapi ia telah berbuat
kesalahan. Tanpa setahuku, Karebet telah dihubungi oleh seorang
anak muda yang ingin masuk ke dalam lingkungan Wira Tamtama.
Namun anak muda itu agaknya telah menyakitkan hati Karebet,
sehingga keduanya bertengkar. Namun Karebet memiliki kelebihan
dari anak muda yang bernama….” Prabasemi diam sejenak.
Direka-rekanya sebuah nama yang pantas. Baru kemudian ia
berkata, “Namanya Dadungawuk.”
Santapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Prabasemi
berkata. “Namun sayang. Karebet telah bertindak sendiri.
Dadungawuk yang sombong itu dibunuhnya.”
“Hem,” Santapati mengangguk-angguk pula. “Sayang,”
desisnya. “Tetapi kesalahan itu bukan kesalahan yang terlalu
besar. Bukankah Karebet membunuhnya setelah mereka
bertengkar?”
“Itu dapat terjadi dalam hubungan perseorangan. Mungkin
Karebet tidak bersalah. Tetapi peristiwa ini telah menyeret nama
Wira Tamtama ke dalam suatu tempat yang terlalu buruk. Apakah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 98
kita, Wira Tamtama tidak ikut menjadi jelek kalau seorang dari kita
berbuat sewenang-wenang hanya karena ia seorang Wira
Tamtama?”
Santapati mengangguk-angguk kembali. Namun ia bertanya,
“Tetapi apakah hukuman itu sampai sedemikian jauhnya, sehingga
setiap orang boleh membunuhnya?”
“Bukankah dengan demikian, berarti bahwa kita, Baginda
sendiri, dan semua pemimpin Demak tidak sependapat dengan
perbuatannya? Karena itu, jadikanlah peristiwa ini sebagai contoh
bagimu.”
Sekali lagi Santapati mengangguk-angguk, namun
keheranannya tidak juga berkurang. Belum pernah ia mendengar
peristiwa itu kapan terjadi. Dan kalau yang mengatakan
kepadanya bukan Tumenggung Prabasemi sendiri, maka ia pasti
tidak akan percaya. Tetapi kali ini yang mengatakan adalah
atasannya dan atasan Karebet itu pula. Apalagi sebelum peristiwa
ini, maka agaknya Tumenggung Prabasemi terlalu dekat dengan
anak muda itu.
Tiba-tiba Santapati terkejut ketika Tumenggung Prabasemi itu
membentaknya, “He, mengapa kau berdiri seperti patung. Pergi.
Sekarang kalian boleh pergi.”
“Oh” Santapati tergagap, seperti orang yang terbangun dari
tidurnya yang nyenyak. “Baik, baik Kiai. Baiklah aku mohon diri
bersama anak-anak”
Tetapi, ketika Santapati mulai bergerak, maka Tumenggung itu
berteriak, “Pergi sekarang, dan panggil kakang Sembada untuk
datang kemari malam ini. “
Langkah Santapati terhenti. Kemudian ia memutar tubuhnya
kembali menghadap Kiai Tumenggung. Sambil mengangguk dalam
ia bertanya, “Kakang Sembada yang manakah yang Kiai maksud?”
“Gila. Hanya ada satu Sembada yang aku kenal?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 98
“Tidak Kiai. Yang sudah aku ketahui ada tiga. Lurah Pasar
Paing. Yang kedua Jagal di Kedung Wuni dan yang satu lagi
Sembada jajar juru taman di Kasatrian.”
“Bodoh kau. Ada lebih seribu Sembada di seluruh Demak.
Tetapi kau harus tahu, manakah yang aku panggil kakang di antara
mereka.”
Santapati menjadi bingung. Untung-untungan ia berkata.
“Apakah kakang Sembada Lurah Pasar Paing yang kaya raya itu.”
“Oh, alangkah bodohnya kau. Buat apa aku memanggil Lurah
Pasar? Panggil Kakang Sembada, jagal dari Kedung Wuni.”
Santapati mengerutkan
keningnya. Aneh. Prabasemi
memerlukan memanggil seo-
rang jagal dari Kedung Wuni.
Apakah Tumenggung ini akan
mengadakan selamatan de-
ngan menyem-belih beberapa
ekor lembu setelah ia men-
dapatkan sesuatu dari hutan
Santi? Tetapi Santapati tidak
berani bertanya. Sekali lagi ia
menganggukkan kepalanya da-
lam-dalam, kemudian mohon
diri meninggalkan rumah
Tumenggungnya itu. Walaupun
di sepanjang jalan tak habis-
habisnya ia berpikir. “Buat
apakah Kiai Tumenggung me-
manggil jagal Kedung Wuni?”
Tetapi Santapati tidak mau menjadi pusing karenanya. Ia
cukup menyampaikan perintah itu, lalu pulang dan tidur nyenyak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 98
Sembada malam itu benar-benar menghadap Tumenggung
Prabasemi. Jagal Kedung Wuni itu adalah saudara seperguruan
Tumenggung yang garang itu. Namun nasib mereka ternyata jauh
berbeda. Meskipun Sembada lebih dahulu berguru, namun
kecerdasan otak Tumenggung Prabasemi memungkinkan
Tumenggung itu melampaui kakak seperguruannya. Apalagi dalam
beberapa hal Prabasemi berhasil menunjukkan kekhususannya,
sehingga karena itulah maka keadaannya Prabasemi jauh lebih
baik dari keadaan kakak seperguruannya itu, juga dalam tataran
olah keprajuritan dan tata perkelahian Prabasemi sudah berada
diatasnya.
Ketika Prabasemi telah menguraikan maksudnya, maka
bertanyalah Sembada, “Kenapa tidak Adi Tumenggung saja yang
melakukannya?”
“Tidak mungkin, Kakang. Aku tidak dapat meninggalkan
pekerjaanku. Dan apabila kelak Sultan mengetahui maka
keadaanku akan menjadi lebih buruk.”
“Tetapi kemungkinan untuk mengetahui bahwa Kakang yang
melakukannya adalah sangat kecil. Sedang kalau aku yang
melakukannya, maka dengan mudahnya orang dapat
menghubungkan setiap peristiwa. Prabasemi tidak ada di
rumahnya pada saat orang menemukan mayat Karebet. Tetapi
orang tak akan menghiraukannnya, apakah Kakang Sembada
berada dirumah atau tidak pada suatu saat.”
Sembada mengerutkan keningnya. Tiba-tiba matanya
terbelalak ketika ia meilihat Prabasemi melepaskan kamus dan
timang emasnya. Cahaya berlian yang berkilat-kilat pada timang
itu telah menyilaukan mata Sembada. Ketika Prabasemi
mempermainkan timang itu, maka bertanyalah Sembada, “Adi
Tumenggung, sebenarnya pekerjaan itu sangat mudah aku
lakukan. Tetapi di mana aku harus mencari Karebet?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 98
Prabasemi tersenyum. “Tidak terlalu mudah, Kakang. Kakang
harus membawa lima atau enam kawan.”
“Lima atau enam?” mata Sembada tiba-tiba terbeliak, “Apakah
anak itu anak setan?”
“Bukan, samasekali bukan. Tetapi aku ingin kali ini tidak akan
gagal. Lebih baik Kakang kelebihan tenaga daripada Kakang harus
mengulanginya lain kali.”
“Baik. Baik,” sahut Sembada, “Tetapi ke mana aku harus
mencari?”
“Kakang, aku sangka anak itu akan pergi jauh-jauh. Ia adalah
murid seorang perantau. Namun aku sangka ia akan singgah ke
rumahnya di Tingkir. Bukankah anak itu terkenal pula bernama
Jaka Tingkir? Nah, Kakang dapat mencoba mendahuluinya. Kakang
harus melakukan pekerjaan Kakang itu kalau mungkin, sebelum
anak itu sempat sampai ke rumahnya dan bercerita tentang
dirinya, supaya tak seorang pun yang akan meributkannya. Ibu
angkatnya pasti menyangka bahwa anak itu masih berada di istana
sampai beberapa lama. Sedang apabila seseorang menemukan
mayatnya, maka biarlah orang menyangka bahwa keluarga
Dadaungawuk yang telah membunuhnya”
“Siapa Dadungawuk itu?”
“Dadungawuk adalah nama anak muda yang dibunuh oleh
Karebet itu.”
Sembada mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku
akan melakukannya Adi Tumenggung. Tetapi kalau aku tidak dapat
menemukannya, maka Adi Tumenggung jangan menyalahkan
aku.”
“Semuanya harus dicoba. Malam ini sebaiknya Kakang
berangkat dengan orang-orang yang barangkali dapat kakang
kumpulkan. Ingat, lima, enam atau tujuh orang. Syukur lebih dari
itu. Sebab, selama ini ia ada di dalam kesatuanku, maka aku telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 98
dapat menilai betapa anak itu menyimpan ajian di dalam tubuhnya
yang dapat melindunginya, Lembu Sekilan.”
“Lembu Sekilan?” Sekali lagi mata Sembada terbelalak.
“Apakah aku mampu melawan Lembu Sekilan?”
“Jangan terlalu merendahkan dirimu. Bukankah Kakang
memiliki Aji Sapu Angin seperti aku?”
Sembada termenung sesaat. Aji Sapu Angin memang dapat
dibanggakannya, namun ia tidak tahu apakah Sapu Angin-nya
yang tidak sempurna mampu menembus Lembu Sekilan. Ketika
Sembada baru mencoba menilai diri, maka terdengarlah Prabasemi
berkata, “Lembu Sekilan anak itu masih belum sempurna. Karena
itu Kakang jangan cemas karenanya. Meskipun demikian kawan-
kawan kakang pun harus mampu menyesuaikan diri dengan ilmu
anak itu. Mungkin dengan senjata masih mungkin menembus
pertahanan ajian anak itu.”
Dicobanya oleh Sembada berpikir tentang segala
kemungkinan. Dicobanya juga untuk menginat-ingat beberapa
nama yang pantas untuk melakukan pekerjaan itu. Tiba-tia ia
tersenyum, katanya, “Kenapa kita tidak minta tolong kepada
perguruan Sembirata? Hem, guru itu adalah kawanku. Ia memiliki
beberapa kelebihan daripadaku. Sedang beberapa muridnya yang
terpercaya dapat aku bawa serta.”
“Terserah kepada Kakang,” kata Prabasemi sambil
melemparkan ikat pinggangnya yang bertimang emas dan
bertretes berlian. “Inilah, barangkali Kakang perlu menyangkutkan
pedang di pinggang Kakang.”
Sembada menggigit bibirnya untuk menahan senyumnya. Ia
menjadi sangat gembira atas pemberian itu. Meskipun demikian
dengan tamaknya ia berkata, “Hem. Aku mengucapkan terima
kasih atas pemberianmu Adi. Tetapi aku sangka Kiai Sembirata
memerlukan juga timang, meskipun tidak sebaik ini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 98
“Gila.” Prabasemi mengumpat di dalam hati. Tetapi
sebenarnya dirinya pun telah hampir gila pula. Dengan bersungut-
sungut ia berjalan masuk ke dalam biliknya. “Hem, alangkah
mahalnya putri itu.” Namun ia bersungut pula, “Aku telah banyak
kehilangan, belum tentu aku berhasil.” Tetapi kata-kata itu
dijawabnya sendiri, “Tetapi aku harus berusaha. Yang pertama,
melenyapkan Karebet, supaya Putri itu tidak selalu
mengharapkannya kembali.”
Karena itu betapapun ia mengumpat-umpat di dalam hati,
namun diambilnya juga satu ikat pinggang yang lain, bertimang
emas pula, namun tidak tidak bertretes berlian.
Setelah menerima ikat pinggang itu beserta timangnya, maka
Sembada pun minta diri untuk pergi ke Sambirata.
“Kakang,” kata Prabasemi kemudian, “Ikat pinggang itu
hanyalah Kakang pinjam untuk menyangkutkan pedang. Tetapi
kalau pedang itu kemudian samasekali tak berguna, maka ikat
pinggang itupun tak akan berguna pula bagi Kakang, dan biarlah
orang lain yang lebih memerlukan memakainya.”
Sembada mengerutkan keningnya. Ia kenal betul sifat-sifat
adik seperguruannya. Ia dapat menjadi seorang pemurah yang
tidak kepalang tanggung, namun ia dapat menjadi pelit sekeras
batu akik. Karena itu ia tidak dapat menjawab, selain
menganggukkan kepalanya. Ketika ia telah keluar dari pagar
halaman, masih didengarkannya suara Tumenggung Prabasemi,
“Ingat pesanku itu. Yang memakainya ada yang memerlukannya.”
“Setan,” gumam Sembada. Namun ia bertekad untuk memiliki
timang berteretes berlian itu. Sudah beberapa tahun ia
menginginkan benda serupa itu. Namun pekerjaannnya sebagai
jagal tidak memberinya kemungkinan.
Sampai di rumahnya, diajaknya seorang pembantunya yang
juga menjadi satu-satunya muridnya yang sangat disayanginya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 98
Dengan perbekalan yang cukup, mereka meninggalkan rumah itu.
Sebuah pedang pendek terselip di ikat pinggang masing-masing.
“Kita pergi ke perguruan Sambirata,” kata Sembada.
Muridnya mencoba untuk menanyakan, apakah yang akan
mereka lakukan. Tetapi Sembada tidak memberitahukannya.
“Nanti akan kau dengar pula.”
Kiai Sambirata mendengar permintaan sahabatnya dengan
ragu-ragu. Sebenarnya Kiai Sambirata memiliki beberapa
kelebihan dari Sembada. Apalagi, sudah menjadi kebiasaan
Sambirata untuk menerima beberapa permintaan orang-orang
lain, mengantarkan mereka ke tempat-tempat yang dianggap
berbahaya. Bahkan sekali-kali pernah juga dilakukannya untuk
memaksakan beberapa kehendak seseorang atas orang lain.
Melamar anak orang dengan sedikit tekanan, dan bermacam-
macam lagi. Karena itu nama Sambirata agak tidak disukai oleh
beberapa orang. Namun belum dapat dibuktikan, bahwa ia pernah
melakukan kejahatan. Kali ini permintaan Sembada adalah terlalu
langsung. Pembunuhan. Meskipun demikian, ketika Sembada
menjanjikan timang emas itu kepada Sambirata apabila pekerjaan
mereka berhasil, terpercik pula keinginannya untuk menerima
barang berharga itu.
Karena itu, maka kali ini, permintaan itu betapapun beratnya,
namun diterimanya pula. Apalagi Kiai Sambirata itu merasa bahwa
ia memiliki beberapa kemampuan yang dapat dibanggakannya.
Melampaui Sembada itu sendiri. Tetapi sebenarnyalah bahwa
Sambirata masih belum melampaui Prabasemi. Namun otaknya
yang tidak begitu cerdik menjadikannya tidak lebih dari seorang
pesuruh yang garang.
Tetapi mereka kini tidak bekerja seorang demi seorang.
Mereka bersama-sama telah bergabung dalam satu kekuatan
untuk melenyapkan anak muda yang bernama Karebet.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 98
Sambirata pun kemudian membawa beberapa orang muridnya
yang dipercaya, sehingga mereka menjadi berjumlah tujuh orang.
Rombongan itu sebenarnya menjadi sebuah rombongan yang
cukup besar. Namun mereka tidak berjalan bersama-sama.
Mereka telah mengadakan persepakatan untuk berjalan sendiri-
sendiri. Namun akhirnya mereka akan bertemu di tempat yang
telah ditentukan, di sekitar Tingkir. Mereka akan mengawasi jalan
dari Demak yang masuk ke pedukuhan itu.
Sementara itu Jaka Tingkir pun masih dalam keragu-raguan.
Ia belum tahu pasti, ke mana ia akan pergi. Namun akhirnya
sampailah ia kepada keputusan yang samasekali tidak
diketahuinya, bahwa bahaya telah menunggunya di setiap saat.
Yang mula-mula akan dilakukan oleh Tingkir itu sebenarnyalah
kembali ke Tingkir untuk sementara. Ia ingin tinggal di rumah ibu
angkatnya untuk sesaat menenangkan pikirannya. Baru dari sana
ia akan menentukan apakah yang akan dilakukannya untuk
seterusnya.
Dengan penuh penyesalan, Jaka Tingkir yang juga bernama
Mas Karebet itu berjalan menyusur hutan-hutan kecil, kembali ke
kampung halamannya, Tingkir. Betapa pun penyesalan itu
menghentak-hentak dadanya, namun semuanya itu telah berlalu.
Keputusan Baginda telah dijatuhkan atasnya. Dan ia tidak akan
dapat mengubahnya. Namun betapapun juga, masih tersimpan
harapan di dalam hatinya, bahwa suatu ketika Baginda akan
mengampuninya. Bukankah Baginda berkata bahwa ia dibuang
dari Demak sampai keputusan itu dicabut? Bukankah dengan
demikian, ia masih dapat mengharap Baginda mencabut
keputusannya?
Tetapi seandainya tidak pun, maka ia tidak akan bersakit hati
kepada Baginda. Baginda telah cukup melimpahkan kasih
sayangnya kepadanya. Tetapi apabila dikenangnya Tumenggung
Prabasemi, maka dadanya seakan-akan meledak karenanya.
Kadang-kadang timbul juga penyesalannya, kenapa Tumenggung
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 98
yang gila itu tidak dibunuhnya? Bagaimanakah kelak, apabila
maksud Tumenggung itu, karena kelicikannya dapat tercapai?
Terdengar Karebet menggeretakkan giginya. Ia tidak akan dapat
melihat putri itu dipersandingkan dengan Tumenggung yang gila
itu. “Akan aku bunuh ia di persandingan,” geramnya.
Karebet berjalan terus siang dan malam. Hanya kadang-
kadang saja ia berhenti. Menikmati sejuknya udara di hutan-hutan
yang rindang. Mendengarkan burung bernyanyi. Namun kalau
didengarnya suara angin berdesir lembut, maka hatinya pun
berdesir pula. Sekali-kali dikenangnya suara putri Baginda yang
lembut di telinganya.
“Hem!” Karebet menarik nafas dalam-dalam. “Kenapa aku
sekarang berpenyakit gila? Bukankah penyakit ini telah hampir
sembuh ketika aku berada di Karang Tumaritis?”
Namun betapa pedih hati anak muda itu. Pedih sebagaimana
anak muda yang dipisahkan dari seorang gadis yang telah
menambat hatinya, pedih sebagai seorang prajurit yang diusir dari
keprajuritannya.
“Salahku, salahku sendiri,” gumamnya.
Karebet pun kemudian berjalan terus. Ia ingin cepat-cepat
sampai ke Tingkir untuk mencium tangan ibu angkatnya. Akan
diciumnya tangan itu sebagai pelepas pedih hatinya yang selama
ini seakan-akan menjadi semakin parah.
Namun ketika Karebet itu sudah semakin dekat dengan
Tingkir, terasa ada sesuatu yang menyentuh-nyentuh hatinya.
Firasatnya sebagai seorang yang selalu berkeliaran di tempat-
tempat yang berbahaya telah memperingatkannya untuk berhati-
hati. Dan sebenarnyalah, sesaat kemudian terasa bahwa jalan di
hadapannya yang melintas hutan yang tidak begitu lebat itu,
tampak tidak sewajarnya. Jalan itu terlalu sepi. Ia tidak melihat
seekor burungpun yang terbang melintas, atau seekor bintang
kecil lainnya yang berlari-lari menyeberangi jalan. Karena itu,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 98
Karebet menghentikan langkahnya. Kemudian terdengar ia
bergumam, “Kalau kesepian itu disebabkan karena binatang buas,
maka biasanya harimau atau ular besarlah sebabnya. Tetapi kalau
ada sebab lain, maka tak tahulah.”
Maka Karebet pun kemudian bersiap-siap menghadapi setiap
kemungkinan. Harimau, ular atau apa saja. Tetapi untuk beberapa
lama tak ada apapun yang dilihatnya. Meskipun demikian,
kesepian itu masih meragukannya.
Dengan demikian, maka Karebet tidak mau berjalan maju lebih
jauh lagi. Bahkan kemudian dengan tenangnya ia duduk bersandar
pada sebuah pohon. Namun segenap panca indranya telah
dipasangnya baik-baik. Setiap desir angin yang betapa pun
lirihnya, pasti akan didengarnya, dan setiap gerak yang betapa pun
lembutnya, pasti dilihatnya.
Tetapi alangkah terkejutnya anak muda itu. Ia mendengar
suara berdesir di belakangnya. Didengarnya pula dengus nafas
perlahan-lahan. Namun samasekali bukan nafas harimau atau pun
dengus ular. Nafas itu adalah nafas seseorang.
“Aneh,” kata Karebet di dalam hatinya. “Kalau sebab daripada
kesenyapan itu adalah manusia. Bukankah jalan ini sering dilewati
orang dari dan ke Tingkir? Dan bukankah manusia tidak akan
menakut-nakuti binatang-binatang kecil itu?” Namun akhirnya
Karebet sampai pada kesimpulannya bahwa, “Manusia pun
mungkin pula. Mereka pasti berada di dalam semak-semak. Pasti
lebih dari satu sehingga binatang-binatang menjadi ketakutan.”
Karena kesimpulannya itulah maka kemudian Karebet menjadi
lebih berhati-hati. Manusia, apalagi lebih dari satu, baginya akan
lebih berbahaya daripada harimau atau binatang-binatang lain.
Dan apa yang diduganya itu segera terjadi. Ketika Karebet
mendengar langkah seseorang meloncat di belakangnya, maka
segera ia pun melenting tegak pada kedua kakinya yang kokoh
kuat. Kini di hadapannya berdiri seseorang yang bertubuh tinggi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 98
tegap dan berdada bidang. Dari sela-sela bajunya tampak rambut
yang lebat tumbuh di dadanya. Alangkah terkejutnya Karebet
melihat orang itu, sehingga dengan serta merta ia menyapanya,
“Kakang Sembada?”
Sembada tersenyum. “Ya akulah,” jawabnya.
Karebet mengerutkan keningnya. Ia melihat wajah Sembada
yang garang, karena itu segera ia dapat menyangka, bahwa
kedatangannya bukanlah dengan maksud yang baik. Tetapi
Karebet tidak mau segera berprasangka jelek. Dicobanya
kemudian untuk menghilangkan setiap kesan yang gelap dari
wajahnya. Dengan senyum kecil Karebet kemudian berkata,
“Kedatangan Kakang sangat mengejutkan aku.”
Wajah Sembada masih tetap garang. Bahkan kemudian
dengan tajamnya ia memandangi tubuh Jaka Tingkir itu. “Hem.
Tidak seberapa besar,” katanya di dalam hati. “Apakah dalam
tubuh itu benar-benar tersimpan Aji Lembu Sekilan?”
Karena Sembada tidak segera menjawab, maka Karebet
bertanya pula, “Apakah keperluan Kakang, sehingga Kakang
sampai kemari?”
Sembada menggeram. Ia ingin segera menyelesaikan
pekerjaannya. Karena itu ia tidak berbicara melingkar-lingkar.
Langsung saja dikatakannya apa yang dikehendaki. Dengan nada
datar ia berkata, “Karebet, aku adalah sraya Adi Tumenggung
Prabasemi.”
Dada Karebet segera berdesir. Cepat ia dapat menebak.
Apakah sebenarnya maksud Sembada itu. Namun ia masih juga
bertanya, “Apakah yang harus Kakang lakukan?”
Sembada menarik nafas. Kemudian setelah menenangkan
getar dadanya ia berkata, “Aku harus membunuh kau.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 98
Meskipun Karebet telah menyangka, namun pengakuan yang
tiba-tiba itu mengejutkannya juga. Sesaat ia terpaku diam.
Ditatapnya wajah Sembada yang garang itu.
“Jangan mempersulit pekerjaanku, Karebet. Aku dan kau tidak
pernah mempunyai persoalan apapun. Aku tidak pernah menyakiti
hatimu, dan kau tidak pernah menyakiti hatiku pula. Karena itu,
marilah kita saling berbaik hati. Tolonglah pekerjaanku kali ini
supaya segera selesai. Nanti aku akan mendapat sebuah kamus
bertimang emas tretes berlian,” berkata Sembada.
Karebet mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
jawabnya dalam nadanya yang khusuk, “Baik Kakang. Baiklah aku
menolongmu. Tetapi aku harus mendapat separo dari kamus dan
timang itu.”
Sembada mengerutkan keningnya. “Hem..”, geramnya dan
kemudian katanya di dalam hati, “Anak ini benar-benar anak yang
luar biasa. Tanggapannya atas bahaya yang dihadapi masih saja
seperti menyongsong datangnya kekasih.” Namun Sembada tidak
mau terpengaruh oleh wibawa Joko Tingkir. Karena itu ia
membentak, “Aku tidak sedang berkelakar, Karebet.”
Justru Karebet yang aneh itu kini tertawa. Katanya, “Kita tidak
pernah saling menyakiti hati masing-masing. Jangan membentak-
bentak, Kakang. Lebih baik kita bergurau setelah kita lama tidak
bertemu.”
“Diam!” bentak Sembada yang samasekali tidak berhasil
menakut-nakuti Karebet. Meskipun demikian sekali lagi ia
menggertak, “Hem.. mati dan mati ada seribu jalan. Apalagi di
hutan ini. Di pembaringan pun orang dapat sekarat. Ayo,
tundukkan kepalamu supaya kau tidak mengalami derita di saat-
saat terakhir.”
Sembada menjadi marah bukan buatan ketika Karebet
malahan tertawa bergelak-gelak. Dengan memegang perutnya,
anak muda itu berkata, “Ah, Kakang. Masih saja Kakang teringat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 98
akan pekerjaan Kakang. Kita sekarang tidak sedang berada di
pembantaian, Kakang.”
Wajah Sembada menjadi merah padam. Namun sebelum ia
membentak-bentak lagi, Karebet pun terkejut. Ia mendengar desir
di semak-semak. Karena itu maka katanya di dalam hati. “Benar
dugaanku. Tidak hanya seorang.”
Dan sesaat kemudian Karebet menggeser kakinya. Dari sisinya
melontarlah seorang yang akan lebih tua dari Sembada. Namun
tampaklah betapa orang itu jauh lebih tenang dan meyakinkan.
Orang itulah Kiai Sambirata.
Dengan lemahnya Kiai Sambirata menganggukan kepalanya.
Dan dengan sareh ia berkata, “Apakah Angger yang bernama
Karebet?”
Karebet mengangguk. Namun terasa bahwa ia harus lebih
waspada karenanya. Meskipun ia tidak bergerak dari tempatnya,
namun ia benar-benar tidak mau menjadi lembu bantaian. Karena
itu segera dengan diam-diam diterapkannya Ajinya yang dahsyat,
Lembu Sekilan.
Sambirata melihat wajah Karebet yang tegang. Tetapi ia tidak
segera menyadari, bahwa dengan sikap yang sederhana itu,
Karebet telah matek Ajinya Lembu Sekilan. Karena itu, masih saja
Kiai Sambirata yang terlalu percaya kepada dirinya itu berkata,
“Benarkah aku berhadapan dengan Angger Jaka Tingkir?”
Karebet mengangguk, “Ya. Akulah Karebet, yang juga disebut
orang, Jaka Tingkir.”
Kiai Sambirata mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akulah
yang bernama Sambirata.”
Karebet memandang orang itu dengan seksama. Di Demak,
nama itu memang pernah didengarnya. Tetapi ia tidak pernah
menaruh perhatian. Kini tiba-tiba orang itu datang kepadanya
dengan maksud yang tidak sewajarnya. Dengan demikian, maka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 98
Karebet itu benar-benar harus berhati-hati. Ia tahu benar benar
bahwa Sembada adalah kakak seperguruan Prabasemi dan
Sambirata adalah orang yang kurang disenangi oleh masyarakat
Demak karena pekerjaannya. Ternyata kini mereka berdua
bergabung untuk melenyapkannya. Meskipun demikian
sebenarnya Karebet samasekali tidak gentar. “Kalau perlu,”
katanya, “aku terpaksa membunuh untuk mempertahankan
hidupku.”
Yang berbicara kemudian adalah Sambirata. “Angger. Baiklah
aku berterus terang. Kami berdua dengan beberapa murid-
muridku datang untuk membunuh Angger. Kalau Angger ingin
mencoba, lawanlah kami. Kami tidak mampunyai banyak waktu.”
Sekali lagi Karebet terkejut. Ternyata mereka tidak hanya
berdua. Tetapi justru karena itu timbullah marahnya. Wajahnya
yang riang menjadi kemerah-merahan karena nyala api
kemarahan yang membakar dadanya. Dengan lantang anak dari
Tingkir itu menjawab, “Paman dan Kakang Sembada. Kita adalah
manusia yang mempunyai sifat mempertahankan hidup yang
dikaruniakan kepada kita. Aku harus mencoba mempertahankan
hidup itu sekuat-kuat tenagaku. Kalau Yang Maha Esa berkenan,
maka jangan menyesal kalau kalian berdualah yang akan
mendahului aku.”
“Jangan membual. Meskipun kau kekasih Jim, Setan, Peri,
Prayangan, namun kalau tidak mampu menangkap angin, jangan
mencoba menengadahkan kepalamu,” bentak Sembada dengan
kasarnya.
“Langit dan bumi menjadi saksi. Kalau terjadi pertumpahan
darah di sini, bukan akulah yang bersalah,” sahut Karebet.
Sembada sudah tidak dapat menahan diri lagi. Timang emas
bertretes berlian benar-benar menarik hati, apalagi anak muda itu
benar-benar telah membakar telinganya. Karena itu, cepat-cepat
ia meloncat dan memukul dada Karebet sekuat-kuatnya. Karebet
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 98
melihat gerak Sembada itu, namun ia samasekali tidak
menghindarinya. Namun wajahnya menjadi tegang dalam
penerapan ajian yang setinggi-tingginya, daya pertahanan dalam
Aji Lembu Sekilan.
Tenaga Sembada adalah tenaga yang luar biasa kuatnya.
Namun ia masih mempergunakan kekuatan jasmaniah melulu.
Karena itu, ketika tangannya membentur dada Karebet alangkah
terkejutnya. Karebet itu masih saja tegak seperti tonggak. Sedang
kedua kakinya yang kokoh kuat seakan-akan berakar jauh
menghujam ke pusat bumi.
Bahkan terasa, seakan-akan tangan Sembada itu menghantam
sesuatu yang tak dapat dilihatnya. Tetapi tangannya itu seakan-
akan samasekali tidak menyentuh dada Karebet.
Ketika ia menyadari serangannya itu gagal, maka segera ia
meloncat surut. Dengan marahnya ia menggeram, sambil
menunjuk wajah Karebet itu dengan ujung jarinya. “Setan,
gendruwo. He Karebet. Apa kau sangka Aji Lembu Sekilan itu tak
akan terlawan?”
Karebet tidak menjawab. Namun sekilas ia melihat Sambirata
bergeser. Orang itu menghentakkan kedua tangannya dan dengan
satu gerakan yang cepat, tangan itu ditariknya ke samping.
“Hem,” geram Karebet. “Aji apalagi yang akan kau pamerkan?”
Sambirata benar-benar tersinggung. Ia memang memiliki
kekuatan yang melampaui kekuatan orang-orang kebanyakan.
Dengan pemusatan pikiran dan kehendak, maka Sambirata dapat
menyalurkan kekuatan itu. Namun ia samasekali tak peduli,
apakah nama dari kekuatan yang tersimpan dalam dirinya. Dan
Sambirata memang tidak berpikir tentang nama itu meskipun
dahulu gurunya menyebutnya, Aji Wilet, namun yang dimilikinya
telah banyak mengalami perubahan, sehingga ia tidak
menyebutnya demikian. Tetapi betapa pun juga, ia mampu
menerapkan ilmunya yang dahsyat itu. Ketika ia menyadari,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 98
bahwa lawannya sejak permulaan itu telah mempergunakan Aji
Lembu Sekilan, maka Sambirata pun segera mempergunakan
ilmunya itu.
Dengan serta merta, Sambirata meloncat pula dan langsung
memukul wajah Karebet. Karebet melihat serangan itu, dan ia pun
menyadari, bahwa Sambirata tidak sekadar menyerangnya dengan
tenaganya, namun pasti sudah dilambari dengan suatu ilmu yang
berbahaya. Karena itu, Karebet pun segera menarik diri satu
langkah ke samping, sehingga serangan Sambirata dapat
dihindari. Namun Sambirata benar-benar lincah. Sekali lagi ia
melenting seperti sikat, dan Karebet tidak sempat untuk
menghindari, ketika kaki Sambirata itu langsung menghantam
lambungnya.
Terjadilah suatu benturan yang tajam, antara kekuatan ilmu
Sambirata melawan Lembu Sekilan. Akibatnya pun dahsyat pula.
Dan sekali ia berguling. Sedang Sambirata pun terdorong oleh
kekuatannya sendiri yang seakan-akan membentur dinding baja.
Terasa pula dadanya menjadi pedih. Karena itu segera ia
memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk melawan
tekanan yang seakan-akan menghentak-hentak di dalam dadanya
itu.
Karebet yang baru saja berhasil menguasai dirinya, setelah Aji
Lembu Sekilan berhasil ditembus, meskipun tidak terlalu
berbahaya oleh Sambirata, terkejut sekali melihat serangan
Sembada. Sekilas ia masih sempat melihat Sembada itu
menjulurkan kedua tangannya ke belakang, sedang kedua
tangannya kemudian mengepal di lambungnya.
“Seperti yang dilakukan Prabasemi,” geramnya. Namun
serangan itu telah tiba, sedemikian cepatnya, sehingga kali inipun
Karebet tidak dapat menghindar. Karena itu, maka sekali lagi Aji
Lembu Sekilan yang baru saja digoncangkan oleh Sambirata itu
kembali berguncang. Aji Sembada menembus Aji Lembu Sekilan
yang belum mapan kembali.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 98
Sekali lagi Karebet berguncang dan terbanting di tanah. Kali
ini ia harus berguling beberapa kali untuk mendapatkan jarak dari
lawan-lawannya. Namun sekali lagi Karebet terkejut. Tiba-tiba saja
ia melihat beberapa orang bersama-sama muncul dari dalam
belukar di sekitarnya. Mereka berebutan menyerangnya dengan
pedang pendek, seperti ingin mencincangnya.
Namun Karebet adalah seorang yang aneh, yang memiliki
ketangkasan dan keperkasaan yang mengagumkan. Ketika ia
melihat serangan itu datang, maka secepatnya ia melanting
berdiri, dan dengan sekali loncat, ia telah berhasil menjauhkan
dirinya dari orang-orang itu. Tetapi kemudian datanglah serangan
Sambirata memotong gerakannya.
Karebet menggeram. Betapa ia menjadi marah bukan main.
Kini ia tidak boleh ragu-ragu lagi. Kalau ia terpaksa membunuh,
maka sekali lagi ia meyakinkan dirinya, bukan salahnya.
Dengan demikian, maka kembali Karebet menerapkan Aji
Lembu Sekilan dalam puncak kemampuannya. Ia sadar bahwa
Sambirata masih akan berhasil menembus ajiannya itu. Namun
pasti tidak akan berbahaya. Juga Sembada tidak akan
membahayakan jiwanya. Tetapi senjata-senjata tajam itu pun
perlu mendapat perhatiannya. Dengan kekuatan yang baik, maka
senjata tajam itu pun akan mampu menembus benteng
pertahanannya, meskipun tidak akan dapat membunuhnya dengan
sekali tusuk. Namun kalau luka itu menjadi bertambah-tambah
dan darahnya mengalir terlalu banyak, maka keadaan itu pun pasti
akan menimbulkan bahaya.
Kini Karebet itu pun sudah siap dengan puncak
keterampilannya. Seperti sikatan berloncatan di rerumputan hijau.
Karebet menghindari setiap serangan lawannya, dan bahkan
beberapa orang telah terpelanting dan terbanting jatuh. Namun
sentuhan-sentuhan Karebet yang harus mempertahankan diri dari
setiap serangan itu, maka tekanan-tekanan lawan-lawannya masih
saja terasa menjadi semakin berat. Meskipun demikian Karebet
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 98
samasekali tidak gentar. Ia melihat, bahwa hanya dua orang di
antara mereka yang harus mendapat perhatiannya yang khusus.
Sambirata dan Sembada dari Kedung Wuni.
Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin lama
semakin seru. Beberapa orang murid Sambirata itu samasekali tak
berdaya menghadapi kelincahan Karebet. Mereka menjadi benar-
benar tidak dapat mengerti, bahwa setiap kali mereka menusukkan
pedang-pedang mereka, maka seakan-akan mereka samasekali
tak menyentuh tubuh lawannya, meskipun lawannya tidak
berusaha untuk menghindar. Hanya dalam kesempatan-
kesempatan yang sangat baik, selagi mereka sempat
mengerahkan segenap kekuatannya, maka pedangnya dapat
menggores kulit Karebet. Dan beberapa tetes darah mengalir dari
luka itu.
Namun setiap tetes darah yang tumpah, seakan-akan
merupakan tetesan minyak yang menyirami api kemarahan di
dalam dada anak muda dari Tingkir itu. Betapa kemudian ia tidak
lagi mengendalikan dirinya. Dengan kecepatannya bergerak, maka
ia pun segera berhasil menjatuhkan beberapa lawannya. Murid-
murid Sambirata itu, jatuh bangun tak henti-hentinya. Sekali-kali
mereka merasa bahwa lawannya yang hanya seorang itu akan
segera binasa. Namun lain kali, seakan-akan terasa gunung runtuh
menimpa dadanya. Seperti beribu-ribu kunang terbang di sekitar
rongga mata mereka. Dalam kesesakan nafas itu, mereka sekali-
kali mendengar kawan-kawannya yang mengaduh, dan jatuh
menimpanya.
Apabila seorang di antara mereka mampu merangkak bangun,
maka seorang yang lain terbanting jatuh. Sehingga mereka
seakan-akan samasekali tak berarti. Tetapi mereka sedang
bertempur di hadapan guru mereka. Betapa pun pungggung
mereka serasa telah patah, tetapi dengan kekuatan-kekuatan
mereka yang terakhir, mereka masih juga mencoba bangun.
Berdiri dan bergeser setapak demi setapak di sekitar perkelahian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 98
itu, untuk sesaat kemudian dada mereka serasa meledak karena
sentuhan-sentuhan tangan atau kaki Karebet.
Dalam saat-saat berikut-
nya, meskipun tampaknya
beberapa orang masih juga
berdiri mengitari tempat per-
kelahian itu, namun se-
benarnya tidak lebih dari
Sembada dan Sambirata ber-
dualah yang berkelahi mati-
matian. Dengan kekuatan
ajian masing-masing, mereka
mencoba untuk membunuh
anak yang aneh itu.
Dalam pada itu, Karebet
pun merasakan tekanan-
tekanan yang berat dari kedua
orang itu. Mereka masing-
masing ternyata tidak lebih
dari Tumenggung Prabasemi. Namun karena kekuatan mereka
bergabung, maka Karebet benar-benar meng-hadapi pekerjaan
yang sangat berat. Aji Lembu Sekilan nya terasa sesekali
terguncang. Dan sekali-kali terasa bahwa dalam kesempatan-
kesempatan itu, kekuatan-kekuatan ajian lawannya berganti-ganti
dapat menembusnya meskipun tidak terlalu dalam. Namun apabila
hal itu berlangsung lama, maka ada kemungkinan pertahanannya
menjadi semakin lemah.
Meskipun orang-orang lain, kecuali kedua orang itu hampir tak
berarti bagi Karebet, namun mereka telah memecahkan beberapa
pemusatan perhatiannya. Sehingga sesaat kemudian dengan
penuh kemarahan, maka orang-orang itu satu demi satu
dilumpuhkannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 98
Dan kini yang terakhir adalah Sembada dan Sambirata.
Keduanya tampaknya masih cukup segar utuk melawannya.
Meskipun kedua orang itu pun sebenarnya menjadi gelisah pula
menghadapi Aji Lembu Sekilan.
Kini Karebet benar-benar dapat memusatkan segenap
perhatiannya. Sekali-kali ia berpaling kepada orang-orang yang
bergelimpangan disana-sini. Ada di antara mereka yang masih
mencoba bangkit, namun ternyata tenaga mereka seakan-akan
telah terhisap habis, sehingga kembali mereka tak berdaya jatuh
di tanah.
Sambirata yang melihat muridnya tak berdaya itu mengumpat
tak habis-habisnya, katanya, “Tikus-tikus malang. Ternyata kalian
samasekali tak dapat dibanggakan sebagai seorang murid
Sambirata.”
Murid-murid itu pun mengeluh di dalam hati. Tetapi mereka
bergumam pula di dalam hati. “Jangankan aku, sedang guru
sendiri pun tidak juga segera dapat menguasai lawan yang hanya
seorang itu.”
Karebet kemudian samasekali tak memperhatikan lagi mereka
yang telah terkapar di tanah. Yang dihadapinya kini adalah
Sembada dan Sambirata. Kedua orang ini benar-benar berhasrat
akan membunuhnya.
Sesaat kemudian pertempuran pun berkobar pula dengan
sengitnya. Sembada dan Sambirata berjuang dengan sepenuh
tenaga. Meskipun mereka bukan datang dari perguruan yang
sama, namun mereka segera dapat menyesuaikan diri mereka.
Berganti-ganti mereka menyerang dengan kedahsyatan ajian
masing-masing. Seperti sepasang burung alap-alap yang
menyambar-nyambar mangsanya.
Tetapi Karebet benar-benar memiliki kelincahan yang tak
mereka sangka-sangka, disamping perisainya yang luar biasa Aji
Lembu Sekilan. Betapa dahsyatnya serangan-serangan Sembada
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 95 of 98
dan Sambirata, namun Mas Karebet itu masih saja mampu
mempertahankan dirinya.
Meskipun demikian, sekali-kali pertahanannya terguncang pula
oleh kekuatan-kekuatan Aji lawannya. Sehingga sekali-kali Mas
Karebet mampu pula didorongnya jatuh. Namun demikian ia jatuh
segera ia melanting berdiri, siap melawan dengan lambaran
ilmunya, Lembu Sekilan.
Tetapi betapapun Karebet berjuang dalam keadaannya itu,
namun ternyata bahwa lawannya bukan seorang Prabasemi. Tetapi
kini lawannnya yang berjumlah dua orang itu, ternyata berhasil
menggabungkan kekuatan mereka dengan baiknya. Sehingga
sekali-kali mereka berdua berhasil bersama-sama
menghantamkan kekuatan ajinya atas tubuh Mas Karebet yang
masih muda itu.
Dengan demikian, maka Mas Karebet itu semakin lama
menjadi semakin terdesak karenanya. Dan tekanan ini telah
membakar jantungnya. Kemarahan semakin lama menjadi kian
memuncak, seakan-akan telah mendidihkan seluruh darahnya. Ia
tidak mau mati karena pokal Prabasemi.
Meskipun pusat kemarahannya berkisar kepada Tumenggung
Prabasemi, dan meskipun disadarinya bahwa kedua orang yang
datang bersama murid-muridnya itu tidak lebih dari orang-orang
suruhan yang ingin mendapatkan upah karena perbuatannya itu,
namun apabila tak dimilikinya cara lain, maka cara satu-satunya
untuk menyelamatkan dirinya adalah membunuh lawan-lawannya.
Karena itu, Karebet yang marah itu, masih mencoba untuk
mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukannya.
Kalau ia terpaksa membunuh, dan perbuatannya itu didengar oleh
Sultan, maka apakah Sultan tidak menjadi semakin murka
kepadanya.
Karena itu, maka untuk terakhir kalinya Karebet itu mencoba
mencegah bencana yang semakin berlarut-larut. Katanya, “Kakang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 96 of 98
Sembada. Aku minta kakang berpikir sekali lagi, apakah yang
kakang lakukan itu sudah kakang anggap benar?”
Sembada masih menyerang Karebet dengan dahsyatnya.
Meskipun demikian ia sempat juga menjawab, “Jangan banyak
bicara. Aku bukan anak-anak.”
Dengan tangkasnya Karebet menghindari serangan yang
ganas itu. Namun tiba-tiba Sambirata memotong geraknya sambil
berputar setengah lingkaran. Tangan Sambirata yang terjulur itu
tidak mengenai sasarannya, tetapi cepat ia meloncat sekali lagi.
Ajinya yang dahsyat terayun tepat mengarah tengkuk Karebet.
Karebet masih berusaha untuk menghindar, namun
kesempatannya terlalu sempit. Yang dapat dilakukan adalah
meloncat surut selagi ia masih berjongkok. Gerakan-gerakan
khusus yang sulit dilakukan oleh orang lain. Karena itu Sambirata
terkejut bukan buatan. Sekali lagi serangannya tak mengenai
lawannya.
Tetapi dalam pada itu Sembada telah siap dengan serangannya
pula. Demikian Karebet menyentuh tanah, Sembada meloncat
dengan cepatnya melontarkan Aji Sapu Anginnya kearah
punggung lawannya. Kali ini kesempatan Karebet benar-benar
sangat sempit. Karena itu ia hanya dapat berputar dan dengan
puncak kekuatan Aji Lembu Sekilan yang dimiliki ia melawan
pukulan Aji Sapu Angin. Ternyata dengan gerakan yang pendek
itu, pukulan Sembada tidak tepat mengenai sasarannya.
Tangannya itu hanya mampu menyentuh pundak Karebet. Sedang
pundak Karebet telah dilindungi pula oleh Lembu Sekilan, sehingga
pukulan yang melesat itu samasekali tak mampu menerobos
perisai Karebet yang dahsyat itu.
Sembada menggeram. Namun kali ini serangan Karebetlah
yang menyambar perutnya. Dengan berputar pada satu kakinya,
Karebet membuat serangan dengan kakinya menyambar lawannya
dengan dahsyatnya. Sedangan yang tidak disangka-sangka.
Karena itu, maka Sembada dengan tergesa-gesa meloncat surut.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 97 of 98
Namun Karebet tidak membiarkannya, sekali ia meloncat maju,
dan sekali lagi kakinya menjulur lurus kedada lawannya. Serangan
itu sedemikian cepatnya, sehingga Sembada tak mampu lagi untuk
mengelak. Karena itu, maka dengan sepenuh tenaga, dilawannya
serangan Karebet itu dengan Aji Sapu Angin, sehingga terjadilah
benturan yang dahsyat antara Aji Lembu Sekilan yang melindungi
serangan Karebet, melawan Aji Sapu Angin.
Sembada itu pun tergetar surut beberapa langkah, namun
Karebet pun terlontar pula mundur. Aji Lembu Sekilan dalam
patrap penyerangan memang tidak sekuat dalam patrap
pertahanan. Karena itu terasa pula, nyeri-nyeri menjalari tubuh
anak muda dari Tingkir itu. Apalagi sesaat kemudian Sambirata
telah melontarkan serangannya pula, sehingga Karebet yang
belum memiliki keseimbangan yang mantap itu terpaksa
menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali menghindari
kekuatan Aji Sambirata.
Keadaan Karebet semakin lama benar-benar menjadi semakin
sulit. Aji Lembu Sekilannya beberapa kali telah berhasil
digoncangkan oleh kekuatan Aji kedua lawannya bersama-sama.
Meskipun demikian ia masih berteriak. “Kakang Sembada dan
paman Sambirata. Aku kini memperingatkan kalian untuk yang
terakhir kalinya. Pergilah dan katakan kepada Prabasemi bahwa
Karebet telah mati. Aku tidak akan datang ke Demak sebelum
Sultan mengampunkan kesalahanku. Dalam waktu yang tidak
tertentu itu, mudah-mudahan Prabasemi telah melupakan
dendamnya kepadaku.”
Yang terdengar kemudian adalah suara Sembada dan
Sambirata tertawa hampir bersamaan. Tetapi suara Sembada yang
lebih kasar dari Sambirata itu ternyata jauh lebih keras. Katanya
diantara gelak tawanya, “Hai anak yang bernasib jelek. Sesaat
sebelum kau mati, kau masih punya waktu untuk menyombongkan
dirimu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 98 of 98
Dan terdengar Sambirata berkata pula, “Angger ternyata
menyadari kesulitan yang angger alami. Menyerahlah supaya
angger tidak menjadi lelah. Perjalanan ke akhirat masih panjang,
dengan demikian angger masih menyimpan sisa tenaga untuk
perjalanan itu.”
Karebet menjadi marah bukan alang kepalang. Matanya kini
memancar hijau kebiru-biruan sebagaimana sinar mata harimau
dikegelapan. Dengan parau terdengar suaranya gemetar karena
marah, “kalau begitu terserahlah. Aku tidak mau mati. Bagiku lebih
baik membunuh daripada dibunuh tanpa sebab.”
Sekali lagi Sembada dan Sambirata tertawa. Tetapi tiba-tiba
suaranya terputus karena melihat Karebet meloncat mundur.
Dengan pancaran mata yang aneh, biru kehijauan Karebet
memandang kedua lawannya berganti-ganti. Kemudian dengan
wajah tegang anak muda itu menggosokkan kedua telapak
tangannya, meloncat dengan garangnya dan tegak diatas kedua
kakinya yang renggang. Sesaat kemudian ditekuknya kedua
lututnya, siap melontarkan serangan yang dahsyat, aji Rog-rog
Asem.