KEDUDUKAN HUKUM SURAT PERJANJIAN HAK ASUH
ANAK DALAM CERAI TALAK (ANALISIS PUTUSAN
NOMOR 0343/PDT.G/2014/PA.DPK.)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ARABBYATUL AIDAWIYAH
NIM. 11150440000042
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/ 1441 H
v
ABSTRAK
Arabbyatul Aidawiyah. NIM 11150440000042. KEDUDUKAN HUKUM
SURAT PERJANJIAN HAK ASUH ANAK DALAM CERAI TALAK
(ANALISIS PUTUSAN NOMOR 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.). Skripsi, Program
Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. (xv halaman dan 93 halaman).
Studi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan surat perjanjian hak asuh
anak (hadanah) yang dibuat ketika mediasi yang dilakukan oleh pengadilan serta
untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan oleh Hakim Pengadilan
Agama Depok dalam memutuskan perkara hak asuh anak (hadanah) dalam putusan
No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan dengan
pendekatan perundang-undangan (statute approach). Sumber data untuk
mendeskripsikan masalah utama dengan menggunakan bahan primer salinan
putusan pada Pengadilan Agama Depok hingga putusan pada tingkat kasasi, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dan bahan sekunder studi kepustakaan. Teknik
pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Metode
analisis yang diterapkan adalah analisis normatif, yaitu penelitian yang
mengasilkan data deskriptif analisis.
Hasil penelitian ini menjelaskan tentang kedudukan surat perjanjian hak
asuh anak yang belum mumayiz dalam fikih maupun dalam KUHPerdata. Dalam
fikih dijelaskan bahwa setelah terbentuknya perjanjian belum menjadikan
perjanjian itu mengikat. Akibat perjanjian dapat menjadikan perjanjian yang telah
terwujud menjadi tidak sah. Begitu juga dalam Pasal KUHPerdata, perjanjian dapat
dikatakan sah ketika memenuhi empat syarat. Apabila ada yang tidak terpenuhi,
maka perjanjian belum dikatakan sah. Pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. mengenai kedudukan surat perjanjian hak
asuh anak pasca perceraian di mana pengasuhan anak dilakukan bersama oleh ayah
dan ibu secara permanen diperkuat oleh pertimbangan hakim Mahkamah Agung
dalam putusannya dengan memberikan hak asuh anak kepada ibu dan surat
perjanjian dinyatakan tidak sah tidak memenuhi syarat sah perjanjian menurut
KUHPerdata, meskipun dengan ditanda tanganinya surat perjanjian ini telah selaras
dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3713K/Pdt/1994 yang mengatur
kebolehan untuk membuat kesepakatan mengenai hak asuh anak pasca perceraian.
Kata Kunci : Perceraian, Perjanjian, Hadanah
Pembimbing : Fathudin, S.H.I, S.H, M.A.Hum, M.H.
Daftar Pustaka : 1974-2018.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta
alam, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan taufik-Nya di dunia ini,
terkhusus kepada penulis. Dengan rida Allah SWT penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul Kedudukan Hukum Surat Perjanjian Hak Asuh Anak dalam
Cerai Talak (Analisis Putusan No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.) sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Hukum Keluarga Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selawat
dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabat dan seluruh umatnya.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan motivasi
dari berbagai pihak sehingga segala kesulitan dan hambatan dapat diatasi dan
tentunya dengan izin Allah SWT. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga untuk semua pihak yang telah
memberikan bantuan baik morel maupun materiel sehingga skripsi ini
terselesaikan, khususnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. Mesraini, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga beserta Ahmad
Chairul Hadi, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, yang terus
mendukung dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan penyusunan
skripsi ini.
3. Dr. Muchtar Ali, M.Hum sebagai dosen penasehat akademik penulis, yang selalu
mendukung dan memotivasi penulis agar menyelesaikan proses penyusunan
skripsi ini.
4. Fathudin, S.HI, S.H, MA.Hum, M.H sebagai pembimbing skripsi penulis, yang
telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam
proses penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
vii
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bantuannya
kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
6. Pimpinan dan seluruh karyawan Akademik dan Perpustakaan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memfasilitasi penulis dalam
penulis skripsi ini.
7. Peluk hangat untuk orang tua penulis yang hebat, Ayahanda Syafrizal Dt. Mudo
(Alm) dan Ibunda Yas Eni Zarti, yang tak kenal lelah untuk memberikan
dukungan serta tak henti-hentinya mendoakan penulis dalam segala kondisi
untuk menyelesaikan pendidikan ini. Kepada Abangda Artha Amanreza,
Kakanda Oktiza Devina, S.Pd, Adinda Azizul Hakim, Abanda Ipar Hernan
Gibran Ramadhan dan Kakanda Ipar Reza yang selalu bertanya kapan penulis
akan menyandang gelar sarjana sehingga penulis termotivasi dengan
kecerewetan mereka. Teristimewa untuk Om, Tante, Apak, Etek, saudara-
saudari seper-andungan yang juga selalu berisik dengan pertanyaan lulus yang
pertanyaannya membuat penulis berterima kasih karena masih setia menunggu
kelulusan penulis.
8. Keluarga IMASTHA Ciputat (Ikatan Mahasiswa Sumatera Thawalib), KMM
Ciputat (Keluarga Mahasiswa Minang) keluarga seperantauan dari ranah
Minang. Kepada Tum Kinoy (Fahmi Dzakky, S.H), Bang Ijat (Izzat Muttaqin,
S.H), Bang Ade Syamsul Falah, S.H, dan Bang Al Ahsan Sakino, S.H, Bang
Ivan Dimas Pratama, S.H selaku mentor-mentorku di PMII Komfaksyahum dan
S.H, Kak Aya, S.H, dan Kak Azka, S.H selaku mentor-mentorku di KOPRI
Komfaksyhum yang selalu membimbing dalam hal akademik dan organisasi.
Teristimewa kepada Kakak Ecy yang sudah mau mendengar semua cerita-
ceritaku.
9. Sahabat-sahabatku tersayang, khususnya kepada Muhammad Kahfi, Finza
Hasip, Depanti, Avita, Mimil, Visca, Ira Putri, Paijeh Dakwah, Helboy, Rejot,
Jabun, Adon, Waton, Sarip, seluruh sahabat Kampung Pergerakan dan Hukum
Keluarga 2015 yang selalu menghibur. Teristimewa untuk Analisa Putri, sahabat
lambe seperkasuranku yang saling mencari kala tak punya duit. Kepada Mba
Vivi dan Dede Siti, sahabat akhir seperjuangan kesana-kemari dalam
viii
mempersiapkan sidang. Terkhusus untuk sahabat kecilku, Yunita Ockta
Andriani, Amd.Rad, Livia Amanda Putri, Beta Aswarni, SKM, Novia
Anggraini, Thesa Mustika, Intan Muthia Lutfi, dan Muhammad Hafiz yang
menjadi tempat berkeluh kesah. Untuk adik seperjuanganku Azkiya, Vivin,
Mitha, Fiftah, Emily, dan Dea yang selalu menanyakan perihal kelulusan
penulis.
10. Mereka yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu dan
memberikan doa, semangat serta motivasi kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan perbaikan.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun akan penulis perhatikan dengan
baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada
umumnya serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah SWT.
Jakarta, 25 Oktober 2019
Penulis
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
1. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara
Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا tidak dilambangkan
B بbe
T تTe
Ts ثte dan es
J جje
{h حha dengan garis bawah
Kh خka dan ha
D دde
Dz ذde dan zet
R رer
Z سzet
x
S سes
Sy شes dan ye
{s صes dengan garis bawah
{d ضde dengan garis bawah
{t طte dengan garis bawah
{z ظzet dengan garis bawah
ع
‘ koma terbalik diatas
hadap kanan
Gh غge dan ha
F فef
Q قqo
K كka
L لel
M مem
N نen
W وwe
H هha
‘ ءapostrop
Y يya
xi
2. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
_____ ______ = a ىا = a>
_____ ______ = i ىي = i>
_____ ______ = u ىو = u>
3. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
al = )ال( ai = __ أ ي
al-sh = )الش( aw = __ أ و
wa al = )وال(
4. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah
kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya as-syuf‟ah,
tidak ditulis asy-syuf‟ah.
5. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi
huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
Kata Arab Alih Aksara
Syarîah الشريعة
xii
الشريعة االسالميةal- syarîah al-
islâmiyyah
مقارنة المذا هبMuqâranat al-
madzâhib
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan
dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia nusantara
sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari
bahasa Arab. Misalnya Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman
kepada Kamus Besar bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur‟an Alquran
2 Al-Hadith Hadis
3 Mumayyiz Mumayiz
4 Nusyuz Nusyuz
5 Tafsir Tafsir
6 Fiqh
Fikih
7 Hadhanah Hadanah
Dan lain-lain (lihat KBBI)
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah.............................................................. 5
2. Pembatasan Masalah ............................................................. 6
3. Perumusan Masalah .............................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian .................................................................. 7
2. Manfaat Penelitian ................................................................ 7
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu ................................................ 8
E. Metode Penelitian ...................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 12
BAB II KONSEP HADANAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN
HUKUM
A. Hadanah dalam Perspektif Fikih
1. Pengertian Hadanah ............................................................... 14
2. Dasar Hukum Hadanah .......................................................... 16
3. Rukun dan Syarat Hadanah ................................................... 18
4. Pihak yang Berhak dalam Hadanah ....................................... 19
xiv
B. Hadanah dalam Perspektif Hukum
1. Hadanah dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
............................................................................................... 22
2. Hadanah dalam Pasal 29 ayat (2) dan (3) Undang-undang No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak rev. Undang-
undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ...... 23
3. Hadanah dalam Kompilasi Hukum Islam ............................. 25
C. Interpretasi Hukum oleh Hakim
4. Teori Penemuan Hukum ....................................................... 27
5. Aliran pemikiran hukum terkait dengan putusan hakim ....... 34
BAB III KONSEP PERJANJIAN DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN
HUKUM
A. Perjanjian dalam Perspektif Hukum
1. Pengertian Perjanjian/ Perikatan ......................................... 36
2. Syarat dan Ketentuan Perjanjian menurut KUHPerdata ..... 37
3. Unsur-unsur dalam Perjanjian ............................................ 41
4. Asas-asas Umum Hukum Perjanjian .................................. 42
5. Akibat Perjanjian ................................................................ 44
6. Batal dan Pembatalan Perjanjian ........................................ 44
B. Perjanjian dalam Perspektif Fikih
1. Pengertian Perjanjian (Akad) .............................................. 46
2. Rukun dan Syarat Perjanjian (Akad) .................................. 47
3. Prinsip/ Asas Perjanjian (Akad).......................................... 53
4. Berakhirnya Perjanjian (Akad) ........................................... 55
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK
TENTANG SURAT PERJANJIAN HAK ASUH ANAK
A. Kasus Posisi ............................................................................. 57
B. Pertimbangan Hukum Hakim .................................................. 61
C. Keabsahan Perjanjian Hak Asuh Anak ................................... 80
xv
D. Penegasan Hak Asuh atas/ oleh Anak ..................................... 86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 91
B. Saran .......................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 94
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Badan Peradilan
Agama (Badilag) Mahkamah Agung, Hasbi Hasan menuturkan bahwa dari
tahun ke tahun, angka perceraian yang ditangani pengadilan agama (PA) se-
Indonesia terus meningkat dan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Di
PA Kota Depok, sepanjang 2013 tercatat 3.000 perkara perceraian, pada 2014
meningkat 3.400 perkara perceraian, dan pada tahun 2015 tercatat 3.800
perkara.1
Perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami dan istri akan
menimbulkan beberapa konsekuensi yang harus ditanggung. Seperti
pemberian mutah, nafkah, pembagian harta yang didapatkan selama ikatan
perkawinan berlangsung (harta gana-gini) dengan ketentuannya masing-
masing, dan hak asuh anak (hadanah).
Anak sebagai buah perkawinan merupakan elemen lain yang ikut serta
merasakan dampak dari perceraian itu sendiri, selain suami dan istri yang
berperkara. Memelihara anak adalah merawat anak-anak yang masih kecil atau
belum mumayiz, tanpa perintah daripadanya. Kemudian menyediakan
kebutuhannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya.
Mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi
hidup dan memikul tanggung jawab juga merupakan dari itu.2
1 Fauziah Mursid, dkk, Republika.co.id: /berita/koran/halaman-1/16/10/03/oegjc619-tingkat-
perceraian-mengkhawatirkan. (Diunduh pada 18 Juli 2019 pukul 12.30 WIB). 2 Supardi Mursalin, “Hak Hadhanah Setelah Perceraian (Pertimbangan Hak Asuh bagi Ayah
atau Ibu)”, Jurnal Mizani IAIN Bengkulu, Vol. 25, No. 25, (Agustus, 2015), h., 61.
2
Aspek utama dalam penentuan hadanah yang belum mumayiz adalah
dengan melihat aspek kebaikan bagi anak itu sendiri. Pasca perceraian, Islam
menjadikan istri (ibu anak) sebagai orang yang paling berhak untuk
memelihara anak-anak yang belum mumayiz.3
Menurut para ulama, ibu adalah yang lebih berhak terhadap
pemeliharaan anaknya ketika perceraian terjadi. Namun, masa pengasuhan
tidak diberikan kepada ibu selamanya.4 Begitu juga Indonesia mengatur
masalah ini dalam Kompilasi Hukum Islam yang menekankan pada ke-
mumayiz-an (yang mencapai usia kematangan) anak. Pasal 105 Kompilasi
Hukum Islam memberikan pengasuhan anak yang belum mumayiz yang
penetapan usianya 12 tahun kepada ibunya ketika orangtua anak tersebut
bercerai. Dengan demikian, anak yang berusia diatas 12 tahun atau sudah
dianggap mumayiz, diberi pilihan untuk menentukan siapa yang dia ingin
jadikan sebagai pihak bertanggung jawab untuk mengasuhnya.5
Dalam buku terjemahan kitab Fiqh Islam Wa Adillatuhu karangan
Wahbah Zuhaili juga dijelaskan beberapa syarat utama untuk menjadi seorang
hawadhin (orang yang berhak memelihara) yaitu: balig, berakal, memiliki
kemampuan untuk mendidik anak yang di pelihara, mempunyai sifat amanah,
dan juga disyaratkan orang yang beragama Islam menurut Syafiiyah dan
Hanabilah.6
Di luar itu, di dalam Pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah,
baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
3 Supardi Mursalin, Hak Hadhanah Setelah Perceraian, h., 62. 4 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Ekonomi (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013, Edisi Pertama), h., 36. 5 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Ekonomi, h., 37. 6 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu 10/ Wahbah az-Zuhaili; Penerjemah, Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011, Cet. Pertama), h., 66.
3
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi
keputusan. Selanjutnya, Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Pada Pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, kewajiban orang tua yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua putus.7 Sehingga dalam proses pengasuhan anak sebagai
akibat dari perceraian, terdapat berbagai faktor yang harus diperhatikan yang
dapat menjamin kepentingan terbaik anak. Oleh karena itu, untuk keadaan
tertentu dirasa perlu untuk membuat surat perjanjian mengenai hak asuh anak
ini dalam bentuk komunikasi yang baik untuk kepentingan anak ke depannya.
Dalam tahapan proses penyelesaian peradilan, terdapat mediasi yang
dengannya diharapkan dapat menyelesaikan perkara tanpa ada pihak yang
merasa dirugikan atau sama sama menang (win win solution).8 Dengan
demikian, dalam mediasi dapat dilakukan kesepakatan atau perjanjian yang
mengatur permasalahan ini sebelum akhirnya hakim menjatuhkan putusannya.
Dalam praktik hukum pengadilan agama, penulis menemukan
persoalan hukum perkara hadanah dalam cerai talak sepasang suami istri
sebagai berikut. Bahwa suami sebagai Warga Negara Asing dan istri sebagai
Warga Negara Indonesia telah sah menikah secara Agama Islam dihadapan
KUA. Sebelumnya suami dan istri telah terlebih dahulu memiliki 2 orang anak
diluar pernikahan sah tersebut yang kemudian telah ditetapkan oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan sebagai anak sah suami.9
7 Dinna Sabriani, hukumonline.com, Hukum Keluarga dan Waris;
/klinik/detail/ulasan/cl7013/hak-asuh-anak/ (Diakses pada 19 Juli 2018 pukul 11.20 WIB) 8 Rina Antasari, “Pelaksanaan Mediasi dalam Sistem Peradilan Agama (Kajian Implementasi
Mediasi dalam Penyelesaian Perkara di Pengadilan Agama Kelas I A Palembang)”,
Jurnal.radenfatah.ac.id, Insitut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang Indonesia, Intizar, Vol.
19, No. 1, (2013), h., 149. 9 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
4
Selama pernikahan berlangsung, hubungan suami dan istri tidak
berjalan dengan baik sehingga suami dan istri merasa gagal dalam membina
rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Perselisihan semakin sering terjadi
dan tidak terselesaikan. Sehingga suami mengajukan permohonan
menjatuhkan talak satu raj’i terhadap istri kepada Pengadilan Agama Depok.10
Akan tetapi dalam putusan Perceraian pada Tingkat Pertama No.
0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk., hakim memberikan hak asuh anak kepada istri dan
menolak poin mengenai hak asuh anak dalam kesepakatan mediasi yang
dilakukan. Walaupun terdapat perbedaan pendapat hakim (dissenting opinion)
oleh hakim anggota mengenai pertimbangan hukum pada tingkat ini, akan
tetapi pendapat tersebut masih minoritas sehingga mengalahkan pendapat yang
lebih mendominasi.11
Kemudian, merasa tidak puas dengan hasil putusan hakim, suami
mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung. Dalam memori
bandingnya, suami meminta agar surat kesepakatan dalam mediasi pada sidang
tingkat pertama berlaku mengikat bagi suami dan istri. Dalam putusan banding
No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg., PTA Bandung membatalkan putusan
Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. Pada putusan akhir
di tingkat ini, majelis hakim sejalan dengan apa yang disampaikan salah satu
hakim anggota dalam desenting oponionnya pada tingkat pertama.12
Tidak puas dengan putusan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi
Agama Bandung, istri mengajukan kasasi dan dalam putusannya No.
638/K/Ag/2015 majelis hakim membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
10 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 11 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 12 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg.
5
Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg. yang membatalkan putusan
Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.13
Berdasarkan hasil putusan berbeda yang diberikan hakim diatas,
terdapat hal menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai hak asuh anak
(hadanah) yang termuat dalam Putusan Tingkat Pertama Pengadilan Agama
Depok, dalam Putusan Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Agama Bandung
dan dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung.
Dalam hal ini akan dijelaskan kedudukan surat perjanjian hak asuh anak
yang dibuat ketika mediasi pada peradilan tingkat pertama serta bagaimana
pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam
memutuskan dan menetapkan orang yang berhak atas hak pengasuhan anak
(hadanah) tersebut.
Beranjak dari latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian skripsi dengan judul Status Kedudukan Hukum Surat
Perjanjian Hak Asuh Anak dalam Cerai Talak (Studi Analisis Putusan
No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.)
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara hak asuh
anak pada Pengadilan Agama Depok No.
0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
b. Kedudukan surat perjanjian hak asuh anak yang dibuat oleh
suami dan istri dalam mediasi persidangan.
c. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara Pengadilan
Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg.
13 Salinan Putusan Mahkamah Agung No. 638 K/Ag/2015.
6
d. Perbedaan pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan
Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.? dan putusan
Pengadilan Tinggi Agama Bandung No.
227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg.
e. Ketentuan-ketentuan hak asuh anak dalam perceraian dan hak-
hak anak pasca perceraian.
f. Ketentuan isi perjanjian hak asuh anak yang diatur dalam
undang-undang dan kebiasaan.
g. Ketentuan hak asuh anak oleh ibu atau bapak pasca perceraian.
h. Korelasi perbedaan cerai gugat dan cerai talak terhadap hak-
hak anak.
2. Pembatasan Masalah
Menyadari karena luasnya permasalahan pada perkara
perkawinan, maka penulis membatasi masalah pada kedudukan hukum
surat perjanjian hak asuh anak yang belum mumayiz dalam cerai talak.
Dalam pembahasan ini, penulis memilih salinan putusan
Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk., salinan
putusan Pengadilan Agama Tinggi Bandung No.
227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg., dan salinan putusan Mahkamah Agung
No. 638/K/Ag/2015 sebagai objek penelitian, mengingat terjadi
pembatalan putusan yang dilakukan oleh Pengadilan Tingga Agama
Bandung terhadap putusan hakim pada Pengadilan Agama Depok,
yang kemudian putusan Pengadilan Agama Depok dikuatkan oleh
Mahkamah Agung.
3. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kedudukan surat perjanjian hak asuh anak yang
belum mumayiz pada cerai talak menurut fikih dan ketentuan
undang-undang?
7
2. Bagaimana pertimbangan hukum yang digunakan oleh Hakim
Pengadilan Agama Depok dalam memutuskan perkara hak
asuh anak (hadanah) dalam putusan No.
0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui kedudukan surat perjanjian hak asuh anak
(hadanah) yang dibuat ketika mediasi yang dilakukan oleh
pengadilan.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan oleh
Pengadilan Agama Depok dalam memutuskan perkara hak asuh
anak (hadanah) dalam putusan No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1) Dapat menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum
bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
2) Menambah dan memperkaya referensi dan literatur
kepustakaan Hukum Keluarga yang ada kaitannya dengan
analisis putusan hak asuh.
b. Manfaat Praktis
1) Menjadi kesempatan bagi penulis untuk membentuk
dan mengembangkan penalaran pola pikir ilmiah
serta dapat menguji dan mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
2) Memberi sumbangan pemikiran bagi institusi atau
lembaga yang terkait langsung dengan penelitian ini.
8
D. Review Study Terdahulu
Jurnal Hukum Islam Dan Perundang-undangan Al-Qadha Vol. 4 No. 1
Tahun 2017 oleh Fakhrurrazi1 dan Noufa Istianah: Hak Asus Anak (Suatu
Analisa terhadap Putusan Mahkamah Syariah Langsa tentang Pengalihan Hak
Asuh Anak). Pembahasan ini memfokuskan kepada pemeliharaan anak akibat
terjadinya perselisihan dan pertengkaran antara suami istri yang sangat
memuncak, dan tidak dapat didamaikan lagi dan berakhir dengan perceraian.
Mantan suami menghendaki hak asuh diberikan kepadanya, demikian pula
mantan istrinya. Meskipun dalam agama menetapkan bahwa wanitalah yang
paling berhak untuk mengasuh anak yang belum mumayiz, akan tetapi hal
tersebut dalam keadaan jika ibu anak tersebut belum menikah lagi.14
Skripsi oleh Muliyana: Analisis Putusan perkara Hadhanah di
Pengadilan Agama Kelas 1.A Kendari Nomor 0459/Pdt.G/2015/PA.Kdi
Perspektif Kompilasi Hukum Islam. Dalam ini dijelaskan bahwa proses
penyelesaian perkara hadanah di Pengadilan Agama Kendari secara garis besar
telah melalui tahapan yang sesuai dengan hukum acara, mulai pemeriksaan
sampai putusan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi: pemeriksaan berkas,
perdamaian, replik, duplik, pembuktian penggugat/ tergugat, musyawarah
hakim, kesimpulan/ putusan. Putusan perkara hadanah pada Nomor
0459/Pdt.G/2015/PA.Kdi tampak tidak sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam
pada pasal 105 yang menegaskan Pemeliharaan anak yang belum mumayiz
atau belum berumur 12 tahun adalah kepada ibunya, hal ini dikarenakan ada
faktor tertentu yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara,
14 Fakhrurrazil dan Noufa Istianah, Hak Asus Anak (Suatu Analisa terhadap Putusan
Mahkamah Syar’iyah Langsa tentang Pengalihan Hak Asuh Anak), Jurnal Hukum Islam Dan
Perundang-undangan Al-Qadha Vol. 4 No. 1 (Tahun 2017).
9
seperti pihak ibu dinilai tidak pantas menjadi hadhin yang mana hal ini dinilai
demi kemaslahatan anak yang merupakan bagian dari maqashid al-syariah.15
Skripsi oleh Vicky Fauziah: Hak Hadhanah dan Nafkah Anak
(Studi Putusan di Pengadilan Agama Serang, Pengadilan Tinggi Agama
Banten, dan Kasasi di Mahkamah Agung). Penelitian ini menjelaskan
tentang perbedaan putusan hakim Pengadilan Agama Serang No.
116/Pdt.G/2012/PA.Srg, Pengadilan Tinggi Agama Banten No.
99/Pdt.G/2012/PTA.Btn., dan Mahkamah Agung No. 377/K/AG/2013 serta
alasannya tentang hak hadanah dan nafkah anak pasca perceraian, Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hakim PA Serang mempertimbangkan
masalah hak hadanah dan nafkah anak berdasarkan kepentingan dan
kemaslahatan anak yakni pasal 3 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindunan
anak, sedangkan PTA Banten berpegang teguh pada norma/ kaidah yang
berlaku yaitu pasal 105 KHI dan pendapat mazhab fikih. Putusan pada PA, hak
hadanah anak laki-lakinya jatuh kepada tergugat dan anak perempuannya jatuh
kepada penggugat dengan biaya nafkah sebesar Rp. 500.000,-. PTA Banten
dan MA memutuskan hak hadanah jatuh kepada pemohon dam termohon harus
membayar biaya nafkah anak sebesar Rp. 1.000.000,-. 16
Fokus kajian yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tentang
adanya ketidakserasian atau putusan yang berbeda mengenai perkara hadanah
yang diselesaikan pada tingkat pertama, tingkat banding dan pada tingkat
kasasi. Oleh karena itu, penulis akan meninjau tentang teori maupun aliran
yang dipakai oleh majelis hakim dalam menyelesaikan perkara tersebut.
15 Muliyana, “Analisis Putusan perkara Hadhanah di Pengadilan Agama Kelas 1.A Kendari
Nomor 0459/Pdt.G/2015/PA.Kdi Perspektif Kompilasi Hukum Islam” (Kendari: Skripsi Fakultas
Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari 2016). 16 Vicky Fauziah, “Hak Hadhanah dan Nafkah Anak (Studi Putusan di Pengadilan Agama
Serang, Pengadilan Tinggi Agama Banten, dan Kasasi di Mahkamah Agung)” (Jakarta: Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta 2017).
10
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif
(normative legal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara melakukan pengkajian perundang-undangan yang berlaku dan
diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.17 Pada
penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau
hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan
patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.18
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan doktrin, yaitu
pendekatan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isi hukum serta menelaah ketentuan hukum
Islam mengenai isu terkait. Pendekatan ini membuka kesempatan bagi
peneliti untuk mempelajari ada atau tidaknya konsistensi dan
kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang
lainnya atau undang-undang dengan undang-undang dasar. 19
3. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh penulis dari lapangan berupa
berkas putusan perkara Hak Hadanah pada Cera Talak.
1) Berkas Putusan Pengadilan Agama Pengadilan Agama Depok
No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
17 Soerjono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h., 56. 18 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h., 118. 19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010, Cet. Keenam), H., 137.
11
2) Berkas Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No.
227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg.
3) Berkas Putusan Mahkamah Agung No. 638/K/Ag/2015.
4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
5) Kompilasi Hukum Islam.
6) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
7) Undang-undang No. 23 tahun 2002 rev. Undang-undang No.
35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang memberikan penjelasan mengenai
data hukum primer dan implementasinya yang diperoleh dari bahan
kepustakaan.20 Data ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan
dengan skripsi ini, baik yang ditulis langsung oleh penulis maupun
berupa analisis dari penulis lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi
kepustakaan untuk mendapatkan teori-teori dan konsep yang
berkenaan dengan metode putusan hakim melalui berbagai buku
dan literasi yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan objek
penelitian ini.
b. Studi Dokumen
Melalui penelitian ini, penulis memfokuskan untuk dapat menelaah
bahan-bahan atau data-data yang diambil dari dokumentasi dan
berkas yang mengatur tentang pemeriksaan putusan yang terkait
masalah hak asuh anak (hadanah) dalam putusan perkara
Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk., putusan
20 Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), h.,
6.
12
Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg.
dan putusan Mahkamah Agung No. 638 K/Ag/2015.
5. Teknik Analisis Data
Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data penelitian hukum
normatif adalah menganalisis data yang diperoleh dengan melakukan
pembahasan, pemeriksaan dan pengelompokan ke dalam bagian-
bagian tertentu untuk diolah menjadi data informasi. Metode analisis
data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis normatif, yaitu
penelitian yang mengasilkan data deskriptif analisis.21
6. Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan ini, maka pembahasan dibagi atas
lima bab yang saling berkaitan satu sama lain, diantaranya:
Bab I, dalam bab ini akan menguraikan latar belakang yang menjadi
dasar mengapa penulisan ini diperlukan, identifikasi masalah, rumusan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dilanjutkan dengan kerangka teori,
review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, dalam bab ini akan dibahas tentang konsep hadanah dalam
perspektif fikih, yang terdiri dari pengertian hadanah, dasar hukum hadanah,
rukun dan syarat-syarat hadanah, pihak yang berhak dalam hadanah dan sebab-
sebab gugurnya hak hadanah. Dalam bab ini juga akan dibahas tentang hadanah
perspektif hukum, yang terdiri dari hadanah dalam Undang-undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974, Hadanah dalam Pasal 29 ayat (2) dan (3) Undang-undang No.
21 Jimly Asshiddiqie, Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara (Jakarta: Ind. Hill.Co,
1997, Cet. Pertama), h., 17-18.
13
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tentang Perlindungan Anak, dan
hadanah dalam Kompilasi Hukum Islam. mengenai teori penemuan hukum oleh
hakim dan aliran pemikiran hukum terkait dengan putusan hakim juga akan
dibahas pada bab ini.
Bab III, dalam bab ini akan dibahas tentang perjanjian perspektif hukum
yang terdiri dari pengertian perjanjian/ perikatan, syarat dan ketentuan perjanjian
menurut KUHPerdata, unsur-unsur dalam perjanjian, asas-asas umum hukum
perjanjian, akibat perjanjian, batal dan pembatalan perjanjian. mengenai
perjanjian perspektif fikih juga akan dibahas dalam bab ini yang terdiri dari
pengertian perjanjian, rukun dan syarat akad, prinsip/ asas akad dan berakhirnya
akad.
Bab IV, dalam bab ini akan dibahas tentang, kasus posisi,
pertimbangan hukum hakim, keabsahan perjanjian hak asuh anak, dan
penegasan hak hadanah atas/ oleh ibu.
Bab V, bab ini merupakan bab terakhir dari pembahasan skripsi yang
berisi kesimpulan sebagai jawaban dari pokok permasalahan penelitian ini dan
saran-saran.
14
BAB II
KONSEP HADANAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM
A. Hadanah dalam Perspektif Fikih
1. Pengertian Hadanah
Dalam istilah fikih, kafalah dan hadhanah ditujukan untuk maksud
yang sama dan memiliki arti sederhana “pemeliharaan” atau “pengasuhan”.
Dalam arti yang lebih lengkap, hadanah adalah pemeliharaan anak yang masih
kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini karena secara praktis antara
suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan
bantuan dari ayah dan/atau ibunya.1
Secara etimologi hadanah berarti di samping atau berada di bawah
ketiak. Adapun secara terminologi, hadanah adalah merawat dan mendidik
seseorang yang belum mumayiz atau kehilangan kecerdasannya, karena
mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri. Menurut Ash-Shan’ani
hadanah adalah memelihara seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri,
mendidik dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang
dapat merusak dan mendatangkan kemudaratan kepadanya.2
Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang
tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi
kebutuhan hidup dari seorang anak. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan
berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut
1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Munakahat dan Undang-
Undang (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014, Cet. Kelima), h., 327. 2 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2017,
Cetakan Kedua), h., 127.
15
bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai
anak dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.3
Pemeliharaan anak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah
“hadhanah”. Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat
tulang rusuk atau pangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya
meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu saat itu melindungi dan
memelihara anaknya, sehingga “hadanah” dijadikan istilah yang maksudnya:
“pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri
sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu”.4
Para ulama fikih mendefinisikan, hadanah yaitu melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,
atau yang sudah besar tetapi belum mumayiz, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya, mendidik jamani, rohani, dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri
mengadapi hidup dan memikul tanggung jawab.5
Dari uraian pengertian hadanah menurut beberapa pakar di atas, dapat
dikatakan bahwa hadanah pada kesimpulannya merupakan pemeliharaan
terhadap anak ketika perceraian orang tua terjadi, dan anak masih di bawah
umur, yang dianggap masih belum bisa mandiri, berdiri sendiri, mengurus
segala kebutuhan hidupnya sendiri, sampai anak berada pada usia yang
dianggap mampu untuk menghadapi hidup dengan memegang tanggung
jawabnya sendiri.
3Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016, Cet. Keenam), h., 293. 4 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014,
Cet. Keenam), h., 175. 5 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h, 176.
16
2. Dasar Hukum Hadanah
Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadanah (mendidik dan
merawat anak) hukumnya adalah wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal,
apakah hadanah itu menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama
mazhab Hanafi dan Maliki misalnya berpendapat bahwa hadanah itu menjadi
hak ibu sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut jumhul
ulama, hadanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan
menurut Wahbah Zuhaili, hak-hak hadanah adalah hak bersyarikat antara ibu,
ayah, dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak
atau kepentingan anak.6
Dalam surat at-Tahrim ayat 6, Allah SWT juga memerintahkan agar
orang tua memelihara keluarganya dari api neraka dengan berusaha
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dan dalam ayat ini
termasuk anak yang merupakan anggota keluarga.7
ها ي أي ها الذين آمن وا ق وا أن ف سك م وأهليك م نرا وق ود ها الناس والجارة علي
ملئكة غلظ شداد ل ي عص ون الل ما أمره م وي فعل ون ما ي ؤمر ون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
6 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h., 293. 7 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama; Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta, Ilmu Fiqh (Jakarta:
Departemen Agama, 1984, Cet. Kedua), h., 207.
17
Sedangkan dalam dalil hadis yang bersumber pada kitab Sunan Abu
Dawud, Juz 3, Hadis No. 2276 riwayat dari Abdullah ibn Amr menceritakan8:
حدثنا حممود بن خالد السلمي حدثنا الوليد عن أيب عمرو يعين األوزاعي قال حدثين
هللا إن أن امرأة قالت : ي رسول -عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده عبد هللا بن عمرو
ابين هذا كان بطين له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء وإن أابه طلقين وأراد أن
. ينتزعه مين فقال هلا رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص :" أنت أحق به ما مل تنكحي "
Dari Abdullah bin Amr “Seorang Perempuan berkata (kepada Rasulullah
Saw): Wahai Rasulullah Saw, anakku ini yang mengandungnya, air susuku
yang diminumnya, dan dibilikku tempat kumpulnya (bersamaku), ayahnya
telah menceraikanku dan ingin memisahkannya dari aku”, maka
Rasulullah Saw, bersabda: “Kamulah yang lebih berhak untuk memelihara
anak itu, selama kamu belum menikah lagi.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud,
dan Hakim Menshahikannya).
Hadis tersebut menegaskan bahwa seorang ibu lebih berhak untuk
mengurus hadanah anaknya meski sudah bercerai atau ditinggal mati oleh
suaminya. Maka perempuan lah yang lebih berhak dari pada kalangan laki-laki,
karena perempuan lebih dalam hal belas kasih sayang, ketelatenan dalam
merawat dan menjaganya serta memiliki kesabaran yang lebih.9 Kemudian
selama ibunya tidak menikah dengan laki-laki lain, apabila ibunya telah
menikah maka hak hadanah tersebut beralih kepada bapaknya alasannya ialah
jika ibu anak tersebut menikah maka besar kemungkinan perhatian seorang ibu
akan beralih kepada suami barunya dan bahkan mengalahkan perhatiannya
kepada anak kandungnya sendiri.10
8Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani, Sunan Abu Daud, (Lebanon:Dar
Ar-Risalah Al-Alamiyah), Juz 3, h., 588. 9 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,
(Jakarta: Rajawali Pres), 2012, Ed. 1, Cet. 1, h., 212. 10 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,(Jakarta: Rajawali Pers), 2013, h., 199.
18
3. Rukun dan Syarat Hadanah
Rukun Hadanah yaitu11:
a. Hadhin (orang tua yang mengasuh). Syarat Hadhin yaitu:
1) Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu
melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai
kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan
memenuhi syarat.
2) Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak
mampu berbuat untuk dirinya sendiri sehingga dengan keadaannya
tersebut dia tidak mampu berbuat untuk orang lain.
3) Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan
meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari
adil adalah fasik yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang
komitmennya terhadap agamanya rendah tidak dapat diharapkan
untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.
4) Beragama Islam. Ini pendapat yang dianut oleh jumhur ulama,
karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan
mengarahkan agama anak yang diasuh. Sehingga dikhawatirkan jika
diasuh oleh orang yang bukan beragama Islam, anak tersebut akan
jauh dari agamanya.12 Namun di dalam buku Ilmu Fiqh karangan
Zakiah Daradjat dijelaskan bahwa persamaan tidaklah menjadi
syarat bagi hadhinah kecuali jika dkhawatirkan ia akan
memalingkan si anak dari agam Islam. Sebab yang terpenting dari
hadanah adalah rasa cinta dan kasih sayang kepada anak dan
bersedia menjaga anak dengan sebaik-baiknya. Jika pendidik dan
pemelihara anak itu laki-laki, disyaratkan sama agama si anak
11 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h., 328-329. 12 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h., 329.
19
dengan hadhin. Sebab laki-laki yang boleh sebagai hadhin adalah
laki-laki yang ada hubungan waris-mewarisi dengan si anak.13
5) Hadhinah hendaklah orang yang tidak membenci si anak, agar jauh
dari kekhawatiran menyengsarakan anak.
6) Hadhinah hendaklah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada
hubungan mahram dengan si anak. Jika ia kawin dengan laki-laki
yang ada hubungan mahram dengan si anak, maka hadinah itu
berhak kawin dengan paman si anak dan sebagainya.14
b. Mahdhun (anak yang diasuh). Syarat untuk anak yang diasuh
(mahdhun):
1) Ia masih berada dalam usia anak-kanak dan belum dapat berdiri
sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
2) Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu
tidak dapat berbuat sendiri meskipun telah dewasa, seperti orang
idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak
boleh berada di bawah pengasuhan siapa pun.
4. Pihak yang Berhak dalam Hadanah
Para ahli fikih lebih mengedepankan kaum wanita untuk mengurus
hadanah anak karena wanita lebih lembut, kasih sayang, dan sabar dalam
mendidik. Ada kalanya yang berhak mengurus hadanah anak itu kaum wanita
saja, adakalanya yang berhak kaum laki-laki saja, dan adakalanya yang berhak
kedua-duanya tergantung usia anak.15
Jika ibu tidak ada, maka yang berhak untuk menjadi hadhin
(pemelihara) adalah ibu dari ibu (nenek) dan seterusnya ke atas, kemudian ibu
dari bapak (nenek) dan seterusnya ke atas, saudara ibu yang perempuan
13 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h., 182. 14 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h., 181. 15 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu 10/ Wahbah az-Zuhaili; Penerjemah, Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, h., 61.
20
sekandung, saudara ibu yang perempuan seibu, saudara ibu yang perempuan
seayah, anak perempuan dari saudara perempuan sekandung, anak perempuan
dari saudara perempuan seibu, anak perempuan dari saudara perempuan
seayah, bibi ibu yang sekandung dengan ibunya, anak perempuan dari saudara
laki-laki sekandung, anak perempuan dari saudara laki-laki seibu, anak
perempuan dari saudara laki-laki seayah, bibi yang sekandung dengan bapak,
bibi yang seibu dengan bapak, bibi yang sebapak dengan bapak, bibi dari ibu
yang sekandung dengan ibunya, bibi dari ibu yang seayah dengan ibunya, bibi
dari yang seayah dengan ibunya, bibi dari bapak yang sekandung dengan
ibunya, bibi dari bapak yang seibu dengan ibunya, bibi dari bapak yang seayah
dengan ibunya, demikian seterusnya.
Jika pada pihak perempuan tidak ada yang akan melakukan hadanah,
maka kewajiban hadanah jatuh kepada pihak laki-laki yang urutannya serupa
dengan pihak perempuan. Jika pada pihak laki-laki juga tidak ada yang akan
melakukan hadanah, maka kewajiban hadanah menjadi kewajiban
pemerintah.16
Para ulama sepakat bahwa masa hadanah itu dimulai sejak kelahiran
anak sampai usia mumayiz. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa seorang
hadhinah, baik itu ibu kandung maupun wanita lain lebih berhak atas anak
hingga ia tidak lagi membutuhkan bantuan wanita, yaitu ketika ia mampu
mengurus sendiri keperluan makan, minum, pakaian, dan bersuci yang kira-
kira usia anak mencapai tujuh tahun. Ada yang berpendapat bahwa usia anak
yang mampu untuk mengurus keperluannya sendiri itu adalah sembilan tahun.
Ulama Malikiyah berpendapat, masa hadanah bagi anak laki-laki adalah hingga
selesai ia balig, meskipun ia gila atau sakit menurut pendapat yang populer.
Bagi anak perempuan adalah hingga ia menikah dan melakukan hubungan
16 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h., 180.
21
suami-istri. Ulama Syafiiyah berpendapat jika suami istri bercerai dan
memiliki anak yang sudah mumayiz, baik laki-laki maupun perempuan yang
sudah menginjak usia tujuh tahun atau depalan tahun dan kedua orang
tuanyasama-sama layak untuk mengurus anak dan keduanya berebut untuk
mengurus anaknya, maka anak boleh memilih salah satu di antara keduanya.
Ulama Hanabilah sependapat dengan Ulama Syafiiyah, yaitu jika anak lelaki
yang normal (tidak idiot) sudah mencapai usia tujuh tahun, maka ia
dipersilakan untuk memilih salah satu dari orang tuanya, kalau kedua orang
tuanya berebut untuk mengurusnya.17
Dasar urutan yang berhak melakukan hadanah adalah:18
a. kerabat pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak jika
tingkatannya dalam kerabat adalah sama,
b. nenek perempuan didahulukan atas saudara perempuan, karena anak
merupakan bagian dari kakek, karena itu nenek lebih berhak
dibanding dengan saudara perempuan
c. kerabat sekandung didahulukan dari kerabat yang bukan sekandung
dan kerabat seibu lebih didahulukan atas kerabat seayah,
d. dasar urutan ini ialah urutan kerabat yang ada hubungan mahram,
dengan ketentuan bahwa pada tingkat yang sama pihak ibu
didahulukan atas pihak bapak,
e. apabila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada, maka hak
hadanah pindah kepada kerabat yang tidak ada hubungan mahram.
17 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu 10/ Wahbah az-Zuhaili; Penerjemah, Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, h., 79-81. 18 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h., 1830
22
B. Hadanah dalam Perspektif Hukum
1. Hadanah dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Pada dasarnya, orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anak-
anaknya, baik orang tua dalam keadaan rukun maupun dalam keadaan sudah
bercerai. Mengenai pemeliharaan anak dalam keadaan orang tua sudah bercerai
ini diatur di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan, akibat putusnya
perkawinan karena perceraian ialah (1) baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
pengadilan memberi keputusannya, (2) bapak bertanggung jawab atas semua
biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak
dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menetukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut, (3) pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/
atau menetukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.19
Garis hukum yang terkandung dalam Pasal 41 undang-undang tersebut,
tampak tidak membedakan antara tanggung jawab pemeliharaan yang
menhandung nilai materiel dengan tanggung jawab pengasuhan anak yang
mengandung nilai nonmateriel atau yang mengandung nilai kasih sayang.
Akan tetapi, Undang-undang Perkawinan penekanannya berfokus pada nilai
materielnya.20
Ketentuan hukum tentang hak asuh anak dalam hukum keluarga di
Indonesia bisa dilihat dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang
menegaskan bahwa kedua orang tua sama-sama memiliki kewajiban dalam
19 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab VIII,
Pasal 41 Ayat (1) – (3). 20 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2007, Cet.
Kedua), h., 66-67.
23
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban
kedua orang tua tersebut menurut ayat (2) berlaku sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua putus atau bercerai.21
Dilanjutkan dalam Pasal 46 bahwa (1) anak wajib menghormati orang tua
dan menaati kehendak mereka yang baik, (2) jika anak telah dewasa, ia wajib
memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus
ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.22
Pada Pasal 47 disebutkan bahwa (1) anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di
bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya, (2) orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.23
Pasal-pasal di atas menyatakan kepentingan anak tetap di atas segala-
galanya. Artinya, semangat UUP sebenarnya sangat berpihak kepada
kepentingan dan masa depan anak. Akan tetapi, UUP hanya menyentuh aspek
tanggung jawab pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang
memberi penekanan pada aspek pengasuhan nonmaterial.24
2. Hadanah dalam Pasal 29 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak rev. Undang-undang No. 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak
Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai
21 Ni Putu dkk, Penetapan Hak Asuh Anak Terkait dengan Perceraian Orang Tua (Studi Kasus
Perkara No. 182/Pdt.G/2017/PN.Sgr), Jurnal Universitas Udayana, Vol. 2, No. 6, tahun 2014, h.,8. 22 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab X, Pasal
46 Ayat (1) dan (2). 23 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab X, Pasal
47 Ayat (1) dan (2).
24 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h., 301.
24
bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak
membawa akibat hukum, baik kaitannya dengan hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis. Menurut Arif Gosita dalam buku Perlindungan Terhadap
Anak karangan Maidin Gultom, kepastian hukum diusahakan demi
kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang
membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan
perlindungan.25
Undang-Undang ini pada dasarnya mengatur tentang perlindungan
terhadap anak, tanpa melihat kondisi kedua orang tuanya apakah masih dalam
ikatan perkawinan atau sudah bercerai, serta tidak melihat apakah anak
memiliki kejelasan orang tua atau tidak.26
Perkawinan campuran yang dilakukan antara warga negara Indonesia
dengan warga negara asing yang di atur dalam Pasal 29 ayat menyebutkan (1)
jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Republik Indonesia dan
warga negara asing, anak yang dilahirkan dari pekawinan tersebut berhak
memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, (2) dalam hal terjadi perceraian
dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk
memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah
satu dari kedua orang tuanya, (3) dalam hal terjadi perceraian sebagaimana
dimaksud ayat (2), sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan
ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik
anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status
kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.27
25 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak: Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2006), h., 33. 26 Umar Haris Sanjaya, Keadilan Hukum pada Pertimbangan Hakim dalam Memutus Hak
Asuh Anak,Jurnal Universitas Airlangga,Vol.30, No.2, 2015, h., 130. 27 Undang-undang Republik Indonesia 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 29
Ayat (2) dan (3) Revisi atas Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
25
3. Hadanah dalam Kompilasi Hukum Islam
Dalam kompilasi Hukum Islam, masa pemeliharaan anak adalah sampai
anak itu dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri. Batas usianya adalah
ketika anak sudah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun sebagaimana
bunyi dari Pasal 156 poin d KHI, semua biaya hadanah dan nafkah anak
menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya,
sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).28
Kompilasi Hukum Islam didalam pasal-pasalnya menggunakan istilah
Pemeliharaan anak yang dimuat di dalam Bab XIV Pasal 98-106. Dalam Pasal
1 huruf g menjelaskan tentang pengertian hadanah adalah kegiatan mengasuh,
memelihara, dan mendidik hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.29
Pemelirahaan anak diatur dalam Pasal 98, 104, 105, dan 106 KHI.
Dalam Pasal 98 disebutkan, (1) batas usia anak yang mampu berdiri sendiri
atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan, (2) orang tuanya
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
Pengadilan, (3) pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat
terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu.30
Pasal 98 poin 1 di atas menjelaskan bahwa anak yang bisa diurus atau
dipelihara adalah anak yang usianya di bawah 21 tahun. Dengan kata lain, anak
tersebut belum menikah atau belum mencapai usia matang. Pasal ini
memberikan isyarat bahwa kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan
28 Achmad Muhajir, “Hadanah dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor Pendidikan
Rumah)”, Jurnal LPPM Universitas Indraprasta, Vol.2, 2017, h., 171. 29 Instruksi Presiden Indonesia Nomo 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab I
Pasal 1 huruf g. 30 Instruksi Presiden Indonesia Nomo 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab
XIV Pasal 98 Ayat (1) – (3).
26
anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali dengan ilmu pengetahuan
untuk menjadi bekal mereka di hari dewasa.31
Poin selanjutnya dalam pasal yang sama, menjelaskan bahwa orang
tualah yang harus bertanggung jawab terhadap anak selama anak tersebut
belum dewasa atau mandiri. Bila dilihat dengan lebih seksama, dalam poin 2
ini, tidak mewajibkan pertanggung jawaban secara mutlak hanya dibebankan
kepada orang tua, tetapi bisa dibebankan kepada orang lain yang mampu
mengurus anaknya. Sedangkan poin 3 secara tegas menyatakan bahwa
pengadilan dapat menunjuk kerabat/orang yang mampu atau yang bisa
mengganti orang tua yang tidak mampu menjalankan kewajibannya terhadap
anak yang masih berada dalam tanggungan orang tua.
Akibat perceraian, tidak menghalangi anak untuk diasuh karena ia
masih tanggungan orang tua terutama anak yang usia di bawah umur 21 tahun
atau belum mandiri. Pasal hadanah yang menguraikan tentang hak
kepengasuhan anak pasca-perceraian termaktub dalam Pasal 105, yang
menyebutkan sebagai dalam hal terjadi perceraian (a) Pemeliharaan anak yang
belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, (b)
pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya,
(c) biaya pemeliharaannya ditanggung oleh ayahnya.32
Pasal 105 menguraikan pilihan orang tua anak dalam mengurus dan
memelihara anaknya. Huruf a dengan jelas menyebutkan bahwa anak yang
masih di bawah umur (umunya masih 12 tahun) hak kepengasuhannya jatuh
kepada ibunya. Sebaliknya, apabila anak telah berusia 12 tahun, ia tidak serta
merta menjadi hak kepengasuhan kepada ayahnya, melainkan diberikan pilihan
kepada anak untuk memilih ayah atau ibunya yang harus memelihara dia. Pada
31 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h., 65. 32 Instruksi Presiden Indonesia Nomo 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab
XIV Pasal 105 (a) – (c).
27
dasarnya, semua biaya pemeliharaan anak dibebankan kepada ayahnya,
meskipun bisa jadi ibunya lebih mampu. Dalam hal ini Kompilasi Hukum
Islam tidak menjelaskan tentang status ibunya.
C. Interpretasi Hukum oleh Hakim
1. Teori Penemuan Hukum
Peraturan perundang-undangan yang tidak jelas, tidak lengkap, bersifat statis,
dan tidak mengikuti perkembangan masyarakat menimbulkan kekosongan
hukum yang harus diisi oleh hakim dengan menemukan hukum yang dilakukan
dengan cara menjelaskan, menafsirkan, atau melengkapi peraturan perundang-
undangannya. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata menyangkut
penerapan peraturan perundang-undangan terhadap peristiwa konkret, tetapi
juga penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya sekaligus.33
Dalam penemuan hukum oleh hakim di peradilan, terdapat tiga teori yang dapat
dipahami sebagai berikut:34
a. Interpretasi hukum
Interpretasi merupakan penjelasan setiap istilah dari suatu perjanjian
apabila terdapat pengertian ganda atau tidak jelas dan para pihak memberikan
pengertian yang berbeda terhadap istilah yang sama atau tidak dapat
memberikan arti apaun tergadap istilah tersebut. Tujuan utama interpretasi
adalah menjelaskan maksud sebenrnya dari para pihak atau merupakan suatu
kewajiban memberikan penjelasan mengenai maksud para pihak seperti
dinyatakan dalam kata-kata yang digunakan oleh para pihak dilihat dari
keadaan-keadaan yang mengelilinya.
33 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993), h., 9. 34 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Progresif (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014, Cet. Ketiga), h., 61-88.
28
Sudikno Mertokusumo mengartikan interpretasi atau penafsiran
sebagai salah satu metode penemuan hukum yang meberikan penjelasan
gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam
undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu.
Penafsiran oleh hakim haruslah penjelasan yang menuju kepada pelaksanaan
yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap
peristiwa yang konret. Tujuan akhir dari penjelasan ini adalah untuk
merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku.35
Metode penemuan hukum melalui metode interpretasi, dijelaskan
sebagai:36
1) Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata dalam undang-
undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Interpretasi
gramatikal merupakan upaya yang tepat untuk mencoba memahami suatu
teks aturan perundang-undangan. Metode ini disebut juga dengan metode
interpretasi objektif. Interpretasi ini biasanya dilakukan oleh hakim
bersamaan dengan interpretasi logis, yaitu memaknai berbagai aturan
hukum yang ada melalui penalaran hukum untuk diterapkan terhadap teks
yang kabur atau kurang jelas.
2) Interpretasi historis. Hakim menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah
kelahiran pasal tertentu itu dirumuskan. Interpretasi historis terbagi dua,
pertama sejarah menurut undang-undang (wet historisch) yaitu mencari
maksud dari peraturan perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat
oleh pembuat undang-undang ketika undang-undang itu dibentuk. dan
sejarah menurut hukum (recht historisch). Kehendak pembuat undang-
undanglah yang dianggap menetukan dalam interpretasi ini. Interpretasi
35 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, h., 14-23. Lihat
juga Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 2007, Cet. Kelima), h., 57
dan 73. 36 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Progresif, h., 62-73.
29
ini juga disebut dengan interpretasi subjektif, karena penafsir
menempatkan dirinya pada pandangan subj ektif pembentuk/ pembuat
undang-undang. Interpretasi ini bersumber pada surat-surat dan
pembahasan di lembaga legislatif ketika undang-undang itu dalam proses
penggodokan. Kedua, interpretasi sejarah menurut hukum (rechts
historisch) adalah metode interpretasi yang ingin memahami undang-
undang dalam konteks seluruh sejarah hukum. Artinya, dalam meneliti
sejarah menurut hukum, yang diteliti tidak hanya sejarah hingga
terbentuknya undang-undang tersebut, tetapi harus diteliti lebih panjang
proses sejarah yang mendahuluinya.37
3) Interpretasi sistematis, adalah metode yang menafsirkan undang-undang
sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak
satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut ditafsirkan seakan-
akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan
jenis peraturan yang lainnya. Menafsirkan undang-undang tidak boleh
menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan atau sistem
hukum suatu negara.38
4) Interpretasi teologis/sosiologis. Metode ini digunakan apabila pemaknaan
suatu aturan hukum ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan
hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai dalam masyarakat. Interpretasi
teologis sering juga disebut dengan interpretasi sosiologis. Dalam
interpretasi sosiologis ini, suatu peraturan perundang-undangan
disesuaikan dengan situasi sosial yang baru. Jadi, interpretasi sosiologis
adalah interpretasi untuk memahami suatu peraturan hukum, sehingga
peraturan hukum tersebut dapat diterapkan sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan masyarakat.
37 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis (Jakarta: Chandra
Pranata, 1993), h., 179. 38 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, h., 58-59.
30
5) Interpretasi komparatif, yaitu interpretasi dengan jalan membandingkan
antara berbagai sistem hukum dengan tujuan hendak mencari kejelasan
mengenai makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Metode
ini digunakan oleh hakim pada saat menghadapi kasus-kasus yang
menggunakan dasar hukum positif yang lahir dari perjanjian internasional.
6) Interpretasi futuristik/antisipatif, yaitu seorang hakim melakukan
penafsiran berdasarkan undang-undang yang belum mempunyai kekuatan
hukum karena masih dalam tahap legislasi, belum diundangkan serta ada
kemungkinan mengalami suatu perubahan, seperti rancangan undang-
undang. Dalam keadaan ini, hakim memiliki keyakinan bahwa naskah
RUU tersebut pasti akan segera diundangkan, sehingga ia melakukan
antisipasi dengan melakukan penafsiran futuristik atau antisipasi tersebut.
Jadi, metode ini merupakan metode yang bersifat antisipasi, yang
menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum)
dengan berpedoman pada undang-undang yang berlaku belum mempunyai
kekuatan hukum (ius constituendum).
7) Interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi
atau mempersempit makna dari suatu aturan.
8) Interpretasi ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi
melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal.
9) Interpretasi autentik, yaitu pembuat undang-undang memberikan
interpretasi tentang arti atau istilah yang digunakannya di dalam peraturan
perundang-undangan yang dibuatnya.
10) Interpretasi interdisipliner. Interpretasi ini dilakukan oleh hakim
apabila ia melakukan analisi terhadap kasus yang ternyata substansinya
menyangkut berbagai disiplin atau kekhususan dalam lingkup ilmu
hukum, seperti hukum perdata, hukum pidana, atau hukum internasional.
Hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmoninasi
31
logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang
kekhususan dalam disiplin ilmu hukum.
11) Interpretasi multidisipliner, yaitu hakim harus mempelajari dan
mempertimbangkan berbagai masukan dari disiplin ilmu lain di luar ilmu
hukum. Hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari ilmu-ilmu lain
untuk menjatuhkan suatu putusan yang seadil-adilnya serta memberikan
kepastian bagi para pencari keadilan.
b. Metode konstruksi hukum
Metode ini bertujuan agar hasil putusan hakim dalam peristiwa konkret
yang ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan serta memberikan
kemanfaatn bagi para pencari keadilan. Adapun penemuan dengan
menggunakan metode konstruksi hukum yang dikenal selama ini ada empat,
yaitu:
1) Metode argumentum per analogium (analogi). Pada metode ini, hakim
mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau
perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang
belum ada peraturannya.
2) Metode argumentum a contratio. Metode ini memberikan kesempatan
kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan
bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk
peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu
dan peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Esensi metode ini adalah
mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan pengertiannya antara
peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur ddalam
undang-undang. Metode ini menitikberatkan pada ketidaksamaan
peristiwanya dan diperlakukan segi negatif daripada suatu undang-undang.
3) Metode penyempitan/ pengkonkretan hukum. Metode ini bertujuan untuk
mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak,
pasif serta sangat umum, agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa
32
tertentu. Dalam metode ini, dibentuk pengecualian-pengecualian atau
penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan yang bersifat umum.
4) Fiksi hukum. Metode ini berlandaskan pada asas-asas bahwa setiap orang
dianggap mengetahui undang-undang. Metode ini sangat dibutuhkan oleh
hakim dalam praktik peradilan karena seseorang yang didakwa melakukan
suatu tindak pidana kejahatan tidak dapat berdalih untuk dibebaskan
dengan alasan tidak mengetahui hukum dari perbuatan yang dilakukannya.
Fiksi hukum bermaksud untuk mengatasi konflik antara tuntutan-tuntutan
baru dengan sistem hukum yang ada.
c. Metode hermeneutika hukum
Hermeneutika berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja hermeneuein
yang memiliki arti menafsirkan dan dari kata benda hermeneia yang berarti
interpretasi. Hermeneutika dalam perkembangannya diartikan sebagai proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.39
Dalam hermeneutika, semua objek dipandang netral dan tidak
bermakna dalam dirinya sendiri. Subjeklah yang kemudian memberi makna
pada objek sesuai cara pandang subjek. Untuk dapat membuat interpretasi,
seseorang terlebih dahulu harus mengerti dan memahami, sebab bila
seseorang telah mengerti maka sebenarnya ia telah melakukan interpretasi.
Tugas orang yang melakukan interpretasi adalah menjernihkan persoalan
mengerti, yaitu dengan cara menyelidiki setiap detail proses interpretasi, lalu
ia harus merumuskan seberapa jauh kemungkinan masuknya pengaruh
subjektivitas terhadap interpretasi objektif yang diharapkan.40
Hermeneutika selalu relevan dengan kegiatan interpretasi hukum dalam
bidang hukum. Setiap hukum mempunyai dua segi, yaitu tersurat dan tersirat.
Subtilitas intelligent (ketepatan pemahaman) dan subtilitas expicandi
39 M. Syamsuddin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim (Jakarta: Kencana Prenada Media
group, 2012, Cet. Pertama), h., 56. 40 M. Syamsuddin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim, h., 57.
33
(ketepatan penjabarannya) adalah sangat relevan bagi hukum. Dalam
mengimplementasikan ilmu hukum untuk menyelesaikan masalah hukum,
misalnya di Pengadilan, kegiatan interpretasi itu tidak hanya dilakukan
terhadap teks yuridis, tetapi juga terhadap kenyataan yang menimbulkan
masalah hukum yang bersangkutan (misalnya menetapkan fakta-fakta yang
relevan dengan makna yuridisnya).41
Kelebihan metode hermeneutika hukum terletak pada cara dan lingkup
interpretasinya yang tajam, mendalam, dan holistik dalam bingkai kesatuan
antara teks, konteks, dan kontekstualisasinya. Peristiwa hukum maupun
peraturan undang-undang tidak semata-mata dilihat/ditafsirkan dari asoek
legalitas formal berdasar bunyi teksnya saja, tetapi juga harus dilihat aspek
yang melatar belakangi peristiwa/sengketa itu muncul.42
Dalam praktek di Pengadilan, hermeneutika memegang arti penting
terutama bagi hakim dalam melakukan penemuan hukum. Pada proses
penemuan hukum yang lazimnya dilakukan dilakukan oleh para hakim
dibedakan menjadi dua tahap, yaitu pertama, tahap sebelum pengambilan
keputusan (ex-ante) yang sering disebut dengan heuristika, yaitu proses
mencari dan berpikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan
hukum. Pada tahap ini berbagai argumen pro kontra terhadap suatu putusan
tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dan yang lain, kemudian
ditemukan mana yang palin tepat. Kedua, tahap setelah pengambilan
keputusan (ex post) atau disebut juga dengan legitimasi, karena selalu
berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang sudah diambil. Pada tahap
ini putusan diberi motivasi (pertimbangan) dan argumentasi secara
suubstansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional
dapat dipertanggung jawabkan. 43
41 M. Syamsuddin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim, h., 58. 42 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif , h., 88. 43 M. Syamsuddin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim, h., 61.
34
2. Aliran Pemikiran Hukum dalam Putusan Hakim
Keberadaan hukum baru akan terasa jika adanya persengketaan dan sarana
terakhir untuk penyelesaiannya adalah melalui pranata pengadilan yang
berwujud pada putusan hakim. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum berawal
dan berakhir pada putusan yang dijatuhkan oleh hakim. 44
Tugas pokok hakim adalah mengadili, memeriksa, dan memutuskan suatu
perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga tidak ada alasan bagi seorang
hakim untuk tidak menerima atau enolak suatu perkara dengan dalih hukumnya
tidak jelas atau belum ada. Memutuskan suatu perkara yang diajukan kepada
hakim merupakan suatu kewajiban baginya dan tugas utama hakim adalah
menghubungkan aturan abstrak dalam undang-undang dengan fakta konkret dari
perkara yang diperiksanya.45
Dalam memutuskan perkara oleh hakim, muncul berbagai aliran pemikiran.
Hal ini dikarenakan hubungan antara peraturan perundang-undangan di satu
pihak dengan fakta konkret yang diperiksa oleh hakim di pihak lain.
Permasalahan yang timbul adalah terkait antara peraturan hukum dan fakta
konkret yang diperiksa oleh hakim di pengadilan, manakah yang lebih berlaku?
Terhadap ini, terdapat kemungkinan dua jawaban. Pertama, bagi kaum
dogmatik, hukum adalah peraturan (tertulis), yaitu undang-undang. Kaum
dogmatik melihat adanya dua kemungkinan, adanya suatu proses di antara dua
elemen (peraturan dan fakta hukum), yaitu: (i) proses penerapan hukum oleh
hakim dengan menggunakan hukum-hukum logika, yaitu silogisme, (ii) proses
pembentukan hukum oleh hakim dan tidak sekedar menggunakan hukum-hukum
logika, melainkan sudah memberikan penilaian. Ini disebut interpretasi atau
konstruksi yang oleh kaum legisme tidak dibolehkan.46
44 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis (Jakarta:
Chandra Pranata, 1993), h., 142. 45 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, h., 28. 46 M. Syamsuddin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim, h., 78-79.
35
Kedua, bagi kaum nondogmatik (sosio-legal), undang-undang bukan satu-
satunya sumber hukum, melainkan masih ada sumber hukum lain, yaitu:
kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin, kaidah agama, bahkan nilai-nilai
kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Kaum ini memandang bahwa tugas
hakim adalah menghubungkan antara sumber hukum dan fakta konkret yang
diperiksanya. Dalam penghubungan tersebut hakim melakukan penilaian atau
penemuan hukum. Oleh karena itu, yang menyelesaikan persengketaan itu
sebenarnya bukan aturan hukum yang terdapat pada undang-undang, traktat,
yuriprudensi, kebiasaan, doktrin, dan hukum agama, melainkan ketentuan
hukum yang lahir dari penilaian hakim.47
Ketentuan undang-undang yang bersifat umum dan abstrak tidak dapat
langsung diterapkan dalam suatu peristiwa yang ebrsifat konkret dan khusus.
Untuk menerapkannya, undang-undang harus diberi arti, dijelaskan, atau
ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwa yang terjadi. Setiap
peratuan hukum itu bersifat abstrak dan pasif. Dikatakan abstrak karena umum
sifatnya, dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak
terjadi peristiwa konkret. Sehingga peraturan hukum yang abstrak itu
memerlukan rangsangan agar dapat aktif, diterapkan pada peristiwa yang
cocok.48
47 M. Syamsuddin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim, h., 79. 48 M. Syamsuddin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim, h., 79.
36
BAB III
PERSPEKTIF HUKUM DAN FIKIH TENTANG KONSEP PERJANJIAN
A. Perjanjian dalam Perspektif Hukum
1. Pengertian Perjanjian/ Perikatan
Di dalam rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Dalam rumusan pasal ini, ditegaskan bahwa perjanjian
mengikatkan seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang
lain. Sehingga darinya, lahir kewajiban atau prestasi.1
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan,
definisi, maupun arti istilah perikatan. Diawali dengan ketentuan pasal
1233 yang menyatakan, bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang. Pasal ini menegaskan bahwa
setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-
pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja mereka buat,
ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak. Pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu.2
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji
kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Dengan peristiwa perjanjian, timbullah
hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.3
1 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004,
Cet. Kedua), h., 92. 2 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan pada Umumnya (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004, Cet. Kedua), h., 17. 3 Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT. Intermasa, 2001, Cet. Kedelapanbelas), h.,1.
37
Perjanjian itu berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-
janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Suatu perjanjian juga
dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan
sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan
persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit
karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.4
2. Syarat dan Ketentuan Perjanjian menurut KUHPerdata
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, untuk
sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat. Dua syarat yang
pertama disebut syarat subjektif karena berhubungan dengan orang-
orang yang melakukan perjanjian. Sedangkan syarat dua terakhir disebut
syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari
perbuatan hukum yang dilakukan. Ketentuan syarat tersebut adalah5:
1. Sepakat atau perizinan (toestemming) mereka yang mengikatkan
dirinya. Kedua subjek yang mengadakan perjanjian harus setuju atau
seia-sekata mengenai hal yang pokok dari perjanjian yang dibuat.
Kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh
para pihak tanpa adanya bukti kekhilafan atau salah pengertian
(dwaling), paksaan (dwang) maupun penipuan (bedrog).6
2. Cakap (bekwaamheid) untuk membuat suatu perjanjian. Kecakapan
ini berhungan dengan kewenangan bertindak dalam hukum. Jika
kecakapan hukum berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang
perorangan yang bertindak atau berbuat dalam hukum, maka
kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan yang
bertindak atau berbuat dalam hukum.7 Pelaku perjanjian harus cakap
menurut hukum. pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau
akilbaliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Dalam
4 Subekti Hukum Perjanjian, h., 1. 5 Subekti, Hukum Perjanjian, h., 17-20. 6 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 95. 7 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 127.
38
Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan, bahwa
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. Orang perempuan yang dalam hal-hal yang ditetapkan
oleh undang-undang telah melarang membuat perjanjian-
perjanjian tertentu.
Sehingga orang yang membuat perjanjian dan terikat dengan
perjanjian tersebut harus memiliki kemampuan untuk memahami
tanggung jawab yang dipikulnya. Orang yang tidak cakap hukum
ialah seseorang yang telah sesuai dengan ketentuan undang-undang
tidak sempurna atau tidak sah melakukan perikatan, seperti anak di
bawah umur. Sedangkan orang yang tidak berwenang ialah seseorang
yang pada dasarnya cakap dan sah melakukan perjanjian, tetapi dalam
hal-hal tertentu tidak dapat melakukan tindakan hukum tanpa
persetujuan/ pengesahan dari pihak ketiga.8
Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum (perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan
dicapainya umur 21 tahun atau telah menikah, walaupun usianya
belum mencapai 21 tahun. Termasuk janda atau duda juga telah
dikatakan cakap hukum walaupun ketika berstatus janda atau duda
usianya masih di bawah 21 tahun. Namun, kecakapan tak hanya
diukur dalam usia 21 tahun atau sudah menikah, karena ada
kemungkinan orang tersebut sudah berusia 21 tahun namun tidak
dikatakan cakap hukum karena berada di bawah pengampuan,
misalnya karena gila.9
8 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian (Bandung: PT. Alumni, 1986, Cet.
Kedua), h., 27. 9 Ahmad Miru dan Sakka Pati, Hukum perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 BW (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011, Cet. Ketiga), h., 68
39
3. Mengenai suatu hal tertentu (bepaalde onderwerp).
Dalam rumusan pasal 1333 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
disebutkan, “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok
perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak
tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Perjanjian pastilah melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu
kebendaan tertentu.10
4. Suatu sebab yang halal (geoorloofde oorzaak). Sebab yang dimaksud
bukanlah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian.
Akan tetapi sebab atau causa yang dimaksud dalam perjanjian adalah
isi perjanjian itu sendiri atau prestasi dalam perjanjian yang
melahirkan perikatan. Sebab yang halal merupakan syarat tentang isi
perjanjian dan kata halal disini bukan maksud untuk meperlawankan
dengan kata haram dalam hukum Islam, tetapi dimaksudkan di sini
adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.11
Dalam rumusan Pasal 1335 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau telah dibuat
karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah mempunyai
kekuatan”. Berdasarkan uraian pasal ini, yang dikatakan dengan sebab
yang halal adalah12:
a. Bukan tanpa sebab;
b. Bukan sebab yang palsu;
c. Bukan sebab yang terlarang.
10 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 155. 11 Ahmad Miru dan Sakka Pati, Hukum perikatan, h., 69. 12 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 161.
40
Hal-hal yang dimaksud dengan sebab yang halal dalam perjanjian
adalah:13
a. Kausa yang halal berarti isi dari perjanjian itu tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang. Norma
kesusilaan menjadi ukuran yang penting dalam menilai tindakan
memenuhi kriteria kesusilaan (tindakan susila) ataukah tindakan
tidak memenuhi kriteria kesusilaan (tindakan asusila).
Kemaknaan norma kesusilaan dapat berkemungkinan mengalami
perbedaan persepsi karena istilah kesusilaan ini masih sangat
abstrak, yang isinya bisa berbeda antar daerah atau kelompok
masyarakat, dan penilaian orang terhadapnya pun berbeda-beda
sesuai perkembangan zaman.14 Pemahaman akan sejauh mana
norma kesusilaan itu berlaku juga mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu. J. Satrio dalam buku Hukum Perikatan yang
Timbul dari Perjanjian memaknai ketertiban umum sebagai hal-
hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum,
keamanan negara, keresahan dalam masyarakat, dan karenanya
dapat dikatakan dalam masalah ketatanegaraan.
b. Sebab dikatakan palsu jika diadakan untuk menutupi sebab yang
sebenarnya.
c. Sebab dikatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
d. Suatu perjanjian tanpa sebab jika tujuan yang dimaksudkan oleh
para pihak pada saat dibuatnya perjanjian tidak akan tercapai.
Kesepakatan yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini
adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara
13 Tri Wahyu Surya Lestari, “Komparasi Syarat Keabsahan ‘Sebab yang Halal’ dalam
Perjanjian Konvensional dan Perjanjian Syariah”, Jurnal Yudisia, Vol. 8, No. 2, Desember 2017, h.,
287-288. 14 Retna Gumanti, “Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata)”, Jurnal Pelangi
Ilmu, e-jurnal.ung.ac.id, Vol. 5, No. 1, 2012, h., 7.
41
penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan cara,
baik tertulis maupun secara tidak tertulis.15
Dalam ketentuan syarat perjanjian antara syarat objektif dan subjektif
terdapat perbedaan dalam menentukan sahnya perjanjian tersebut. Jika
syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi
hukum. Artinya, dari semula perjanjian tidak dilahirkan dan dari awal
perikatan tidak pernah ada. Tujuan para pihak melakukan perjanjian
untuk melahirkan perikatan adalah gagal sehingga tidak ada dasar untuk
masing-masing pihak untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam
bahasa inggris, dikenal dengan perjanjian void atau null.16
Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya tidak batal
demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta agar
perjanjian tersebut dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan
adalah pihak yang tidak cakap hukum atau pihak yang memberikan
perizinannya secara tidak bebas. Seperti anak di bawah umur, yang
berhak meminta pembatalan adalah anak itu sendiri atau orang tua atau
walinya. Dengan demikian, perjanjian tetap mengikat selama tidak
dibatalkan oleh hakim berdasarkan permintaan pihak yang berhak
meminta pembatalan. Perjanjian tersebut dalam bahasa Inggris disebut
voidable atau dalam bahasa Belanda disebut vernietigbaar. Yang mana
perjanjiannya selalu diancam dengan bahaya pembatalan (canceling).
Bahaya pembatalan ini dapat dihindari dengan adanya penguatan
(affirmation) dari orang tua, wali atau pengampu tersebut.17
3. Unsur-unsur dalam Perjanjian
Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum, terdapat tiga unsur yang
terdapat dalam perjanjian18:
1. Unsur esensialia dalam perjanjian. Unsur ini mewakili ketentuan-
ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah
15 Ahmad Miru dan Sakka Pati, Hukum perikatan, h., 68 16 Subekti, Hukum Perjanjian, h., 20. 17 Subekti, Hukum Perjanjian, h., 21. 18Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 85-90.
42
satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian
tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian
lainnya. Unsur ini merupakan unsur yang wajib ada dalam perjanjian
karena unsur inilah yang dapat membedakan perjanjian yang sedang
dijalankan dengan perjanjian lainnya.
2. Unsur naturalia dalam perjanjian. Unsur ini merupakan unsur yang
pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya
diketahui secara pasti. Misalnya, dalam jual beli, penjual memiliki
kewajiban untuk menanggung cacat dari barang yang dijualnya.
Ketentuan ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari
jual beli menghendaki hal yang demikian. M asyarakat tidak akan
mentolerir suatu bentuk jual beli, dimana penjual tidak mau
menanggung cacat-cacat tersembunyi dari barang yang dijualnya.
3. Unsur aksidentalia dalam perjanjian. Unsur ini merupakan pelengkap
dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang
dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan
kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang
ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Sehingga unsur ini
bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau
dipenuhi oleh para pihak.
4. Asas-asas Umum Hukum Perjanjian
Asas-asas hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata19:
1. Asas personalia. Asas ini diatur di dalam Pasal 1315 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata berbunyi: “Pada umumnya tak seorang pun
dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Pada
dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam
19 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 14-46.
43
kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya akan
berlaku dan mengikat dirinya sendiri.
2. Asas konsensualitas. Dalam asas ini, perjanjian terbentuk karena
adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak-pihak.
Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk
dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui consensus
belaka.20
Pada dasarnya semua perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua
atau lebih orang yang telah mengikat, dan telah melahirkan
kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut.
Kewajiban tersebut dikatakan mengikat seketika setelah orang-
orang tersebut mencapai kesepakatan, meskipun kesepakatannya
dicapai secara lisan saja. Pada prinsipnya perjanjian yang mengikat
dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak
memerlukan formalitas. Akan tetapi, untuk menjaga kepentingan
pihak debitor (atau yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi)
diadakanlah bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu
tindakan nyata tertentu.
3. Asas kebebasan berkontrak. Dasar hukum atas asas ini ditemukan
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan
asas ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian
diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau
perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja selama dan
sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah yang
dilarang undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum.
20 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2006, Cet. Pertama), h., 95.
44
5. Akibat Perjanjian
Di dalam Pasal 1340 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata
dinyatakan bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat hanya berlaku di
antara para pihak yang membuatnya. Namun, dalam hal jika terdapat
pihak ketiga yang membantu pemenuhan kewajiban pihak tertentu untuk
pihak lainnya, maka hal itu tidak serta merta menggugurkan kewajiban
pihak tersebut secara keseluruhan.21
Prestasi yang dibebankan oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata
bersifat personal dan tidak bisa dialihkan begitu saja. Semua perjanjian
yang telah dibuat dengan sah (memenuhi keempat persayaratan yang
ditetapkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Sebagai konsekuensi dari asas personalia, yang hanya mengikat di antara
para pihak yang membuatnya, Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-undang
Hukum Perdata menentukan bahwa perjanjian-perjanjian itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk
itu. 22
Dengan ketentuan tersebut jelas bahwa apa yang sudah disepakati oleh
para pihak tidak boleh diubah oleh siapapun juga, kecuali jika hal
tersebut memang dikehendaki secara bersama oleh para pihak, ataupun
ditentukan demikian oleh undang-undang berdasarkan suatu perbuatan
hukum atau peristiwa hukum atau keadaan hukum tertentu.23
6. Batal dan Pembatalan Perjanjian
Dalam perjanjian konsensuil, sahnya suatu perjanjian ditentukan oleh
terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh
undang-undang yang termaktub dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Jika perjanjian tidak memenuhi salah satu atau lebih
21 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 165-166. 22 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 166. 23 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 166.
45
persyaratan yang ditentukan dalam pasal tersebut, maka perjanjian
terancam batal.24
Mengenai perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal tertentu
dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan
karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Hal
yang demikian seketika dapat diketahui oleh hakim. Tentang perjanjian
yang isinya tidak halal, terang pula bahwa perjanjian tersebut tidak boleh
dilaksanakan karena melanggar hukum dan kesusilaan. Hal demikian
juga seketika dapat diketahui oleh hakim. Dilihat dari sisi keaman dan
ketertiban, juga jelas bahwa perjanjian tersebut harus dicegah.25
Berdasarkan pada alasan kebatalannya, nulistas atau pembatalan
dibedakan dalam perjanjian yang dapat dibatalkan dan perjanjian yang
batal demi hukum. Secara prinsip, perjanjian yang sudah dibuat dapat
dibatalkan jika dalam pelaksanaannya perjanjian tersebut merugikan
pihak-pihak tertentu, termasuk pihak ketiga diluar para pihak yang
mengadakan perjanjian. Pembatalan dalam hal ini dapat terjadi ketika
sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut dilaksanakan,
maupun setelah semua prestasi yang terdapat dalam perjanjian tersebut
sudah ditunaikan.26
Mengenai perjanjian yang kurang dalam syarat subjektif yang
menyangkut kepentingan seseorang, yang mungkin tidak menginginkan
perlindungan hukum terhadap dirinya, misalnya seseorang yang oleh
undang-undang dipandang sebagai subjek yang tidak cakap hukum,
mungkin sekali sanggup memikul tanggung jawab sepenuhnya terhadap
perjanjian yang telah dibuatnya. Atau seseorang yang telah memberikan
persetujuannya karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali malu untuk
meminta perlindungan hukum. Oleh karena itu, mengenai kekurangan
dalam syarat subjektif ini tidak begitu saja dapat diketahui hakim jika
24 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 171. 25 Subekti, Hukum Perjanjian, h., 22. 26 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 172.
46
tidak diajukan oleh pihak berkepentingan. Bahkan ketika sudah diajukan
sekalipun, mungkin saja akan disangkal oleh pihak lawan, dengan
demikian diperlukan adanya pembuktian. Adanya kekurangan dalam
syarat subjektif, undang-undang menyerahkannya kepada pihak
berkepentingan dalam hal ingin mengajukan pembatalan perjanjiankan
atau tidak. Perjanjian yang seperti ini bukanlah perjanjian yang batal
demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.27
B. Perjanjian dalam Perspektif Fikih
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian dalam hukum Islam disebut dengan akad, yang berarti
mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt). Sebagai suatu
istilah Hukum Islam, akad memiliki beberapa pengertian28:
a. Menurut Pasal 262 Mursyid al-Hairan karangan Basya, akad
merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak
dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada
objek akad.
b. Menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar dalam buku Hukum Perjanjian
Syariah mengatakan, bahwa akad adalah pertemuan ijab dan kabul
sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan
suatu akibat hukum pada objeknya.
Menurut bahasa, akad memiliki beberapa arti, yaitu:
a. Mengikat (Ar-Aabthu), yaitu: mengumpulkan dua ujung tali dan
mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung
sehingga menjadi sepotong benda.
b. Sambungan (Aqdatun), yaitu: sambungan yang menjadi pemegang
kedua ujungnya dan mengikatnya.
27 Subekti, Hukum Perjanjian, h., 22-23 28 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007, Cet.
Pertama), h., 68.
47
c. Janji (Al-ahdu), mengacu kepada pertanyaan seseorang mengerjakan
sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain, perjanjian
yang dibuat seseorang tidak memerlukan persetujuan pihak lain, baik
setuju maupun tidak setuju, tidak berpengaruh terhadap janji yang
dibuat oleh orang tersebut, karena janji mengikat orang yang
membuatnya.29
Menurut ahli hukum Islam, akad dapat diartikan secara umum dan
khusus. Pengertian akad dalam artian umum, menurut Syafi’iyah,
Malikiyah dan Hanafiyah, yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh
seseorang berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf, talak,
pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan
keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai. Dalam
artian khusus diartikan sebagai perikatan yang ditetapkan dengan ijab
kabul berasarkan ketentuan syariat yang berdampak pada objeknya atau
menghubungkan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang
lainnya sesuai syariat dan berdampak pada objeknya.30
2. Rukun dan Syarat Perjanjian (Akad)
Setiap akad harus memenuhi rukun dan syarat sahnya. Jika salah
satu rukun tidak ada, menurut hukum perdata Islam kontrak dipandang
tidak pernah ada.31
a. Rukun Akad
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga
sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsru tersebut yang
membentuknya. Bagi Mazhab Hanafi, yang dimaksud dengan rukun
adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad. Menurut ahli-ahli
29 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet.
Pertama), h., 44-45. 30 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu 10/ Wahbah az-Zuhaili; Penerjemah,
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h., 420. 31 Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, Fikih muamalat: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekomoni Syariah (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2016, Cet. Pertama),
h., 25.
48
hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad itu ada
empat, yaitu:32
1) Para pihak yang membuat akad (al-‘aqidan).
2) Pernyataan kehendak para pihak (shighatul-‘aqd). Shighat itu
adalah ijab dan kabul (serah terima), baik yang diungkapkan
dengan ijab dan kabul atau cukup dengan ijab saja yang
menunjukkan kabul dari pihak lain (secara otomatis). Shighat
merupakan ungkapan yang menunjukkan kesepakatan pihak-pihak
akad.33
3) Objek akad (mahallatul-‘aqd), yaitu harga atau barang yang
menjadi objek transaksi.34
4) Tujuan akad (maudhu’al-aqd) atau akibat hukum kontrak, yaitu
tujuan utama untuk apa kontrak itu dilakukan. Menurut fikih, akad
yang tidak melahirkan akibat hukum tidak dikategorikan sebagai
akad.35
Menurut Mazhab Hanafi akad adalah pertemuan kehendak para
pihak dan kehendak itu diungkapkan melalui pernyataan kehendak
yang berupa ucapan atau bentuk ungkapan lain dari masing-masing
pihak. Oleh karena itu, unsur pokok yang membentuk akad itu
hanyalah pernyataan kehendak masing-masing pihak berupa ijab dan
kabul. Adapun para pihak dan objek akad adalah suatu unsur luar,
tidak merupakan esensi akad, dan karena itu bukan rukun akad.
Namun mazhab ini mengakui bahwa unsur para pihak dan objek itu
harus ada untuk terbentuknya akad. Tetapi unsur-unsur ini berada di
luar akad, sehingga tidak dinamakan rukun. Rukun hanyalah substansi
internal yang membentuk akad, yaitu ijab dan kabul saja.36
32 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h., 96. 33 Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, Fikih muamalat, h., 27 34 Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, Fikih muamalat, h., 37 35 Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, Fikih muamalat, h., 40 36 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h., 96-97
49
Ahli hukum Hanafi menyatakan bahwa rukun akad hanyalah ijab
dan kabul saja. Akan tetapi, mereka juga mengakui bahwa tidak
mungkin ada akad tanpa adanya para pihak yang membuatnya dan
tanpa adanya objek akad.37
b. Syarat Aqad
Syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi
bukan merupakan esensi akad.38
1) Pelaku akad, ada dua kriteria yang harus dipenuhi oleh pelaku
akad:
a) Ahliyah (kompetensi) yaitu bisa melaksanakan kewajiban dan
mendapatkan hak sebagai pelaku akad. Ada dua jneis
kompetensi:
(1) Ahliyah wujub yaitu pelaku akad berkompeten untuk
menunaikan kewajiban dan mendapatkan hak.
(2) Ahliyatul ‘ada yaitu pelaku akad berkompeten untuk
melakukan transaksi secara benar sesuai syariat.
b) Wilayah adalah kewenangan untuk melakukan transaksi
(dengan segala konsekuensi hukumnya) menurut syariat.
Secara khusus, pelaku kontrak disyaratkan harus orang
mukallaf (‘aqil baligh, berakal sehat dan dewasa atau cakap
hukum). Mengenai batasan umur pelaku untuk kesyaratan
kontrak diserakan kepada ‘urf atau peraturan perundang-
undangan yang tentunya dapat menjamin kemaslahatan para
pihak. Pelaku akad juga tidak disyaratkan antara sesama muslim.
Sebagaimana Rasulullah pernah meminjam sejumlah uang
kepada seorang Yahudi dengan jaminan baju besinya.
37 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h., 97. 38 Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, Fikih muamalat, h., 25-38.
50
Adapun syarat bagi pelaku akad terhadap kondisi yang
mempengaruhi kompetensi adalah:
a) Kondisi yang memengaruhi akal, sehingga pelaku akad tidak
bisa berpikir, seperti gila, pingsan, dan mabuk. Maka ketika
kondisi tersebut terjadi pada pelaku akad, maka akadnya tidak
sah dan tidak melahirkan hak dan kewajiban.
b) Kondisi yang tidak memengaruhi akal, tetapi pelaku tidak bisa
berpikir, seperti lupa, menghambur-hamburkan harta,
berhutang, dan sakaratul maut. Jika kondisi tersebut menimpa
pelaku akad, maka pelaku tersebut dilarang melakukan
transaksi.
2) Shighat, dalam shighat terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi:
a) Maksud shighat harus jelas dan bisa dipahami. Yaitu, shighat
tersebut menunjukkan keinginan niat dan maksud pelaku akad
untuk betransaksi. Jika ungkapan itu tidak jelas, maka yang
menjadi rujukan adalah maksud/ substansinya.
b) Adanya kesesuaian antara ijab dan kabul. Kabul menunjukkan
maksud dan isi ijab. Ijab dan kabul harus bersesuaian dimana
satu pihak yang melakukan ijab atas objek aad tertentu maka
kabul juga harus melakukan objek kabul tertentu tersebut. Jika
kabul tidak menunjukkan objek kabul tersebut (berbeda)
shighatnya maka menjadi batal.
c) Ijab dan kabul dilakukan berturut-turut (bersambung). Artinya,
ijab dan kabul harus dilakukan dalam satu waktu (dilakukan
dalam satu tempat) dan salah satu pihak tidak melakukan
sesuatu yang menunjukkan ketidaksesutujuan terhadap isi ijab
(pembatalan).
3) Objek akad (ma’qud ‘alaihi)
a) Barang yang masyru’ (legal), yaitu harta yang dimiliki serta
halal dimanfaatkan (mutaqawwaman). Syarat ini disepakati oleh
seluruh ulama dan berlaku dalam akad mu’awadhat (bisnis) dan
51
akad tabarru’at (sosial) setiap barang yang tidak dianggap harta
bernilai atau harta yang dibolehkan syariat atau yang tidak boleh
dimanfaatkan itu tidak boleh menjadi objek akad.
b) Bisa diserah terimakan waktu akad, namun tidak berarti harus
dapat diserahkan seketika. Barang yang tidak bisa
diserahterimakan tidak boleh menjadi objek transaksi, walaupun
barang tersebut dimiliki penjual. Seluruh ulama sepakat bahwa
syarat ini berlaku dalam akad mu’awadhah, dan menurut
mayoritas ulama, syarat ini juga berlaku untuk akad tabarru’at,
kecuali malikiyah yang membolehkan harta yang diinfakkan itu
tidak bisa diserahterimakan. Menurut mereka, karena karakter
akad ini adalah sosial (ihsan), dan jika barang itu tidak jadi
diinfakkan, maka tidak akan merugikan pihak yang penerima
tabarru’ (dana sosial).
c) Jelas diketahui oleh para pihak akad. Ketidakjelasan objek
kontrak selain ada larangan Nabi untuk menjadikannya sebagai
objek kontrak, ia juga mudah menimbulkan persengketaan di
kemudian hari, dan hal tersebut harus dihindarkan. Adat
kebiasaan (‘urf) memiliki peranan penting dalam penentuan
kejelasan suatu objek kontrak.
d) Objek akad harus ada pada waktu akad. Objek akad harus sudah
ada secara konkret ketika kontrak dilangsungkan atau
diperkirakan pada masa akan datang dalam kontrak-kontrak
tertentu.
4) Tujuan akad (maudhu’al-aqd) atau akibat hukum kontrak, yaitu
tujuan utama untuk apa kontrak itu dilakukan. Menurut fikih, akad
yang tidak melahirkan akibat hukum tidak dikategorikan sebagai
akad.39
39 Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, Fikih muamalat, h., 40.
52
Masing-masing rukun yang membentuk akad, memerlukan syarat-
syarat agar unsur itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya
syarat yang dimaksud, rukun akad tidak dapat membentuk akad.
Dalam hukum Islam, syarat tersebut dinamakan syarat-syarat
pembentuk akad. Dengan terpenuhinya rukun dan syarat terbentuknya
akad, suatu akad memang sudah terbentuk dan mempunyai wujud
yuridis syar’i, namun belum serta merta sah. Rukun dan syarat
tersebut memerlukan kualitas tambahan sebagai unsur penyempurna
yang disebut dengan syarat keabsahan akad.40
Terpenuhinya semua rukun dan syarat akad, belum serta merta
menjadikan akad tersebut sah. Meskipun sudah terbentuk, masih ada
beberapa kualifikasi yang mesti dipenuhi agar suatu akad dapat
dikatakan sah, yaitu: (1) bebas dari gharar, (2) bebas dari kerugian
yang menyertai penyerahan, (3) bebas dari syarat-syarat fasid, (4)
bebas dari riba untuk akad atas beban, dan (5) adanya paksaan
(menurut jumhur ulama). Hal di atas membuat akad menjadi fasid
menurut mazhab Hanafi atau batal menurut mazhab lainnya yang
tidak membedakan fasid dan batal. 41 Apabila empat syarat keabsahan
akad di atas tidak terpenuhi, maka akad tersebut tidak sah dan akadnya
disebut fasid.42
Apabila rukun, syarat terbentuknya akad, dan syarat keabsahannya
sudah terpenuhi, maka suatu akad masih memiliki kemungkinan tidak
sah karena akibat hukum akad tersebut belum dapat dilaksanakan.
Akad yang belum dapat dilaksanakan akibat hukumnya itu disebut
dengan akad maukuf (terhenti/ tergantung). Ketika rukun, syarat
terbentuk akad dan syarat keabsahannya akad sudah terpenuhi, maka
suatu akad dinyatakan sah. Akad yang sah, ada kemungkinannya tidak
dapat dilaksanakan akibat hukumya karena tidak terpenuhinya
40 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h., 99-100. 41 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h., 234. 42 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h.,101.
53
beberapa syarat berlakunya akibat hukum akad, yaitu (1) adanya
kewenangan atas objek (aset yang menjadi objek), dan (2) adanya
kewenangan terhadap tindakan hukum yang dilakukan. Akan tetapi,
meskipun syarat ini sudah terpenuhi, masih ada kemungkinan dalam
akad hak salah satu pihak untuk membatalkan akad secara sepihak
karena sifat dari akad itu sendiri atau karena adanya beberapa jenis
khiyar (opsi) yang dimiliki oleh salah satu pihak. Apabila akad bebas
dari adanya hak salah satu pihak untuk membatalkan akad secara
sepihak, maka itu merupakan akad yang menimbulkan akibat hukum
serta akibat hukum itu telah dapat dilaksanakan.43
Akad yang telah memenuhi rukunnya, serta syarat terbentuk, syarat
keabsahannya dan syarat berlakunya akibat hukum yang karena itu
akad tersebut sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya adalah
mengikat para pihak dan tidak boleh salah satu pihak menarik kembali
persetujuannya secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lain. Akan
tetapi, akad yang sudah mengikat ini masih bisa menyimpang jika
terdapat hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan perjanjian.44
3. Prinsip/ Asas Perjanjian (Akad)
Dalam Hukum Islam telah menetapkan beberapa prinsip akad yang
berpengaruh kepada pelaksanaan akad yang dilaksanakan oleh pihak-
pihak yang perkepentingan adalah sebagai berikit45:
a. Asas ibadah (mabda’ al-ibahah). Asas ini dirumuskan dengan
adagium “pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai
ada dalil yang melarangnya”. Asas ini merupakan kebalikan dari
asas-asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Maka, tindakan hukum
dan perjanjian apa pun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus
mengenai perjanjian tersebut.
43 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h., 243. 44 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah h., 104. 45 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h., 83-92.
54
b. Asas kebebasan berakad (mabda’ hurriyyahat-ta’aqud), yaitu suatu
prinsip hukum yang mengatakan bahwa setiap orang dapat membuat
akad jenis apa pun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah
ditentukan dalam undang-undang Syariah dan memasukkan klausul
apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan
kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama secara
batil.
c. Asas kesepakatan bersama atau konsensualisme (mabda’ ar-
radha’iyyah). Asas ini menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu
perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak
tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Perjanjian
pada hukum Islam pada umumnya bersifat konsesnsual.
d. Asas perjanjian itu mengikat. Memenuhi janji hukumya wajib,
sebagaimana diperintahkan dalam Surat 17:34 “dan penuhilah janji...”
e. Asas keseimbangan (mabda’ at-tawazub fi al-mu’awadhah). Hukum
perjanjian Islam menekankan perlunya ada keseimbangan, walaupun
secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam
bertransaksi. Akad terhadap ketidakkeseimbangan prestasi yang
mencolok dapat dibatalkan.
f. Asas kemaslahatan (tidak memberatkan). Akad yang dibuat oleh para
pihak bertujuan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak
boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan memberatkan
(masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi perubahan
keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa
kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan sehingga
memberatkannya, maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan
kepada batas yang masuk akal.
g. Asas amanah. Masing-masing pihak haruslah beriktikad baik dalam
bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu
pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Bohong atau
penyembunyian informasi dapat menjadi alasan pembatalan akad bila
55
di kemudian hari ternyata informasi itu tidak benar yang telah
mendorong pihak lain untuk menutup perjanjian.
h. Asas keadilan, adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua
hukum. Keadilan meupakan sendi-sendi yang dibuat oleh para pihak.
Dalam hukum Islam kontemporer, demi keadilan syarat baku itu dapat
diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu.
4. Berakhirnya Perjanjian (Akad)
Akad berakhir dengan sebab fasakh dan kematian. Berakhirnya akad
dengan sebab fasakh terjadi karena beberapa kondisi:
a. Fasakh dengan sebab akad fasid (rusak), seperti jual beli yang
objeknya tidak jelas atau jual beli untuk waktu ternetu. Maka akad ini
harus difasakhkan oleh kedua belah pihak atau hakim, kecuali bila
terdapat penghalang untuk menfasakhnya, seperti barang yang dibeli
telah dijual kembali atau dihibahkan.
b. Fasakh dengan sebab khiyar. Bai orang yang memiliki hak khiyar,
dapat menfasakhkan akad.
c. Fasakh dengan iqalah (menarik kembali), apabila salah satu pihak
yang berakad merasa menyesal kemudian hari, ia boleh menarik
kembali akad yang dilakukan berdasarkan keridaan pihak lain.
d. Fasakh karena tidak ada tanfiz (penyerahan barang/ harga), pada jual
beli barang yang rusak sebelum serah terima maka akad ini menjadi
fasakh.
e. Fasakh karena jatuh tempo (habis waktu akad) atau terwujudnya
tujuan akad. Akad fasakh dan berakhir dengan sendirinya karena
abisnya waktu akad atau terwujudnya tujuan akad.
Akad juga dapat berakhir karena kematian. Menurut Hanafiyah,
ijarah berakhir dengan sebab meninggalnya salah seorang yang berakad
karena akad ini adalah akad lazim (mengikat kedua belah pihak).
Menurut para ulama selain Hanafiyah, akad ijarah tidak berakhir dengan
meninggalnya salah satu dari dua orang yang berakad. Penyebab terakhir
56
dari berakhirnya akad adalah akad karena tidak ada izin untuk akad
mauquf.46
Akad akan berakhir apabila:47
a. Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki
tenggang waktu.
b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila kad itu sifatnya
tidak mengikat
c. Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad bisa dianggap
berakhir jika: (a) jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan
salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi; (b) berlakunya khiyar
syarat, khiyar aib, atau khiyar rukyah; (c) akad itu tidak dilaksanakan
oleh salah satu pihak; dan (d) tercapainya tujuan akad itu secara
sempurna.
d. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini
para ulama fiqh menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis
berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad.
Akad yang bisa berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang
melaksanakan akad, di antaranya adalah akad sewa-menyewa, ar-
rahn, al-kafalah, ays-syirkah, al-wakalah, dan al-muzarara‟ah..
Luzum adalah tidak dapatnya membatalkan akad kecuali dengan
kerelaan. Artinya, pihak-pihak yang berakad tidak berhak menbatalkan
akad yang telah dilakukan kecuali dengan kerelaan pihak lain. Sama
halnya tidak akan terjadi akad tanpa kerelaan kedua belah pihak. Begitu
juga dalam membatalkan akad harus atas kerelaan kedu belah pihak.48
46 Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor Keuangan
Syariah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2017, Cet. Kedua), h., 61-62. 47 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h., 109. 48 Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, h., 54.
57
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TENTANG
SURAT PERJANJIAN HAK ASUH ANAK
A. Kasus Posisi
Perkara No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. ini dimulai dari permohonan
cerai talak yang diajukan suami (Pemohon) terhadap istrinya (Termohon).
Suami adalah warga negara asing berkebangsaan Amerika Serikat dan
menikah dengan istri warga negara Indonesia dihadapan pejabat KUA
(Kantor Urusan Agama). Suami dan istri memiliki dua orang anak yang
merupakan anak di luar kawin, sehingga suami adalah ayah biologis dari
kedua anak tersebut. Setelah menikah, anak perempuan yang berusia 8
tahun dan anak laki-laki yang berusia 5 tahun tersebut dinyatakan sebagai
anak sah suami berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.1
Suami merasa bahwa hubungan perkawinannya dengan istri tidak
berjalan harmonis. Sekalipun berada di dalam rumah yang sama, suami
merasa hampa tanpa kasih sayang dari istri sebagaimana layaknya sebuah
keluarga pada umumnya. Salah komunikasi sering terjadi serta cara
pandang yang berbeda antara suami dan istri semakin membuat perselisihan
antara suami dan istri sering pula terjadi dan tidak terselesaikan.2
Ikatan lahir batin sebagai suami dan istri sesuai Pasal 33 Undang-
undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa suami istri wajib saling
cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan
batin yang satu kepada yang lain pun tidak dapat direalisasikan. Sehingga
alasan permohonan cerai talak oleh suami telah sesuai dengan apa yang
terdapat dalam Pasal 19F mengenai alasan perceraian Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975 tentang Perkawinan, yaitu antara suami dan istri terus-
1 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 2 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
58
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga telah tercapai.3
Pada sidang pengadilan agama tingkat pertama di Pengadilan
Agama Depok, telah dilakukan upaya mediasi dan gagal mendamaikan
suami dan istri. Akan tetapi, mediasi menghasilkan surat perjanjian yang
disepakati di depan mediator dan di tanda tangani oleh kedua belah pihak.
Salah satu isi dari perjanjian yang dibuat tersebut adalah sebagai akibat dari
perceraian suami dan istri sepakat bahwa mereka akan memegang hak asuh
hukum dan pengendalian bersama secara permanen terhadap anak-anak dan
pada poin selanjutnya disebutkan pengaturan hak asuh fisik terhadap anak-
anak antara suami dan istri.4
Permohonan yang diajukan suami kepada hakim adalah menetapkan
dan memberi izin kepada suami untuk mengikrarkan talak satu terhadap istri
dan meminta agar majelis hakim menghukum suami dan istri untuk menaati
perjanjian yang telah disepakati bersama. Dasar hukum yang dikemukakan
suami adalah bahwa perjanjian tersebut telah sejalan dengan Yurisprudensi
Mahkamah Agung No. 3713 K/Pdt/1994 tanggal 28 Agustus 1997 yang
pada pokoknya akibat perceraian seperti nafkah dan biaya untuk anak serta
masalah pengasuhan anak juga mutah dan idah untuk istri menyatakan
bahwa mendahului perceraian yang akan dijatuhkan oleh Pengadilan, maka
Para Pihak yaitu suami dan istri diperbolehkan dan diizinkan untuk
membuat perjanjian atau persetujuan yang berisi kesepakatan tentang hal-
hal berkaitan dengan yang sudah disebutkan di atas.5
Dalam jawaban yang diberikan istri terhadap permohonan cerai
suami yaitu mengakui perihal hubungan rumah tangga yang tidak harmonis
dan tidak keberatan dengan permohonan talak yang diajukan suami. Akan
tetapi, istri meminta kepada majelis hakim untuk memberikan hak asuh anak
kepadanya dengan dasar hukum Pasal 41 butir b dan c Undang-undang
3 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 4 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 5 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
59
Perkawinan tahun 1974 yang berbunyi, (b) bapak yang bertanggung jawab
atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak
tersebut, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberikan
kewajiban tersebut pengadilan dapat menetukan bahwa untuk memikul
biaya tersebut dan (c) pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami
untuk memberikan biaya penghidup dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.
Selanjutnya dipertegas dengan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam
yang menetukan bahwa (a) pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, (b) pemeliharaan anak yang
sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan, dan (c) biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya. Dalam Pasal 29 ayat 2 dan 3 Undang-undang No.
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga disebutkan bahwa, (2) dalam
hal terjadi perceraian dari perkawinan campuran, anak berhak untuk
memilih atau berdasarkan keputusan Pengadilan berada dalam pengasuhan
salah satu dari orang tuanya, dan (3) jika anak belum mampu menentukan
pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi
kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah wajib
mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.6
Setelah membaca duduk perkara kasus, majelis hakim menerima
permohonan talak suami dan memberikan putusan dengan amar memberi
izin suami untuk menjatuhkan talak satu kepada istri dan menetapkan hak
asuh kedua anak yang berumur 8 tahun dan 5 tahun kepada istri sebagai ibu
kandung dari kedua anak. Meski demikian, dalam pertimbangan hakim pada
peradilan ini, terdapat satu hakim anggota yang memiliki dissenting opinion
yang menyatakan keberlakuan surat perjanjian hak asuh anak. Namun
kemudian berdasarkan pendapat hakim terbanyak, hak asuh anak tetap
diberikan kepada istri. 7
6 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 7 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
60
Merasa tidak puas dengan putusan hakim tingkat pertama
Pengadilan Agama Depok, suami mengajukan banding ke Pengadilan
Tinggi Agama Bandung. Dalam memori bandingnya, suami Pembanding)
meminta hakim untuk menyatakan surat perjanjian yang dibuat oleh suami
dan istri ketika mediasi di Pengadilan Agama Depok mengikat kedua belah
pihak dan berkekuatan hukum. Hakim banding menjatuhkan putusan
dengan amar bahwa surat perjanjian hak asuh anak yang sudah disepakati
tersebut adalah sah dan mengikat kedua pihak. Sehingga hak asuh kedua
anak tidak diberikan kepada salah satu pihak baik suami maupun istri dan
membatalkan putusan hakim Pengadilan Agama Depok yang memberikan
hak asuh anak kepada istri. Majelis hakim banding dalam pertimbangan
hukumnya sepakat dengan hakim anggota tingkat pertama yang melakukan
dissenting opinion.8
Merasa tidak puas dengan putusan hakim pada tingkat banding, istri
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan alasan kasasi bahwa istri
(Pemohom Kasasi) sangat keberatan dan tidak menerima pertimbangan-
pertimbangan hukum majelis hakim pada tingkat banding yang memeriksa
dan mengadili perkara tentang kesepakatan bersama tersebut. Mengingat
bahwa pertimbangan hakim tersebut tidak cermat dan tidak teliti sehingga
keliru menerapkan hukum sebagaimana yang tertuang dalam putusannya.
Seperti pada faktanya, bahwa perkawinan yang terjadi antara suami dengn
istri adalah perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan
Amerika Serikat, dan mengenai ini telah dipertimbangkan dengan benar
oleh majelis hakim tingkat pertama yang memeriksa dan mengadili perkara
dalam putusannya berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1), (2) dan (3)
Undang-undang No. 23 tahun 2002 rev. Undang-undang No. 35 tahun 2014
tentang Perlindungan Anak. Fakta berikutnya yang diajukan istri adalah
bahwa kedua anak yang dimiliki suami dan istri masih di bawah umur atau
belum mumayiz sehingga sepatutnya anak-anak tersebut berada di bawah
8 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg.
61
pengasuhan istri sesuai dengan ketentuan Pasal 105 Kompilasi Hukum
Islam.9
Dalam amar putusannya, majelis hakim kasasi mengabulkan
permohonan istri dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama
Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg. yang membatalkan putusan
Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. dan memberikan
izin kepada suami untuk menjatuhkan talak satu kepada istri kemudian
memberikan hak asuh kedua anak kepada istri.10
B. Pertimbangan Hukum Hakim
Setelah memeriksa perkara antara suami dan istri, hakim pada
peradilan tingkat pertama dalam amar putusannya menyatakan surat
perjanjian tidak sah dan hak asuh anak diberikan kepada istri dengan
pertimbangan bahwa surat perjanjian tidak memenuhi 4 syarat yang terdapat
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian dianggap sah apabila
4 syaratnya sudah terpenuhi, (1) kesepakatan mereka yang mengikat
dirinya, (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (3) suatu pokok
persoalan tertentu, (4) suatu sebab yang tidak terlarang. Dalam ketentuan
Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan, bahwa suatu sebab yang terlarang
adalah jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu
bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Dengan
demikian, majelis hakim menghukum suami dan istri untuk menaati
kesepakatan bersama tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan atau ketertiban umum.11
Sedangkan isi perjanjian tentang hak asuh anak yang telah dibuat
tidak memenuhi syarat keempat karena mengandung sebab yang terlarang.
Terkait dengan isi perjanjian tentang pemeliharaan anak yang dibuat
9 Salinan Putusan Mahkamah Agung No. 638 K/Ag/2015. 10 Salinan Putusan Mahkamah Agung No. 638 K/Ag/2015. 11 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
62
tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa tidak terjadi kesepakatan antara
suami dan istri.12
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu
oleh mediator.13 Mediator adalah sebagai orang yang memediasi, dan
mempunyai peranan penting dalam mediasi. Kemampuan seorang mediator
sangat menentukan keberhasilan proses mediasi, tidak saja berupa
pemahaman dan penguasaan terhadap konsep dan teknik mediasi, tetapi
juga mengenai substansi masalah yang menjadi objek sengketa atau
permasalahn.14
Adapun yang menjadi pertimbangan majelis hakim pada peradilan
tingkat pertama adalah dengan dikabulkannya permohonan talak suami
maka berakhirlah pernikahan yang terjadi antara suami dan istri. Menurut
hukum, talak bermakna melepaskan ikatan perkawinan yang dilakukan oleh
suami terhadap istrinya. Artinya dengan talak tersebut telah terjadi
perceraian atau perpisahan secara hukum dan secara fisik antara suami dan
istri. Dengan demikian tidak mungkin lagi suami dan istri untuk dapat
mengasuh kedua anaknya secara bersama sebagaimana ketika suami dan
istri masih terikat dalam suatu perkawinan.15
Pertimbangan selanjutnya, bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah (a) baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
pengasuhan anak-anak pengadilan memberi keputusannya, (b) bapak
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu. Dan ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-
12 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 13 Rizqah Zikirillah Aulia, “Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi oleh Pengadilan
Agama Pekanbaru”, JOM Fakultas Hukum, Vol. 2 No. 2, Oktober 2015, h., 1. 14 Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h.,
97. 15 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
63
undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan, (1) jika
terjadi perkawinan campuran antara warna negara Republik Indonesia dan
warga negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak
memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesui dengan
ketentuan yang berlaku, (2) dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk memilih atau
berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari
kedua orang tuanya.16
Majelis hakim juga menimbang, bahwa sesuai dengan Surat Edaran
No. 7 tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan
pada Hasil Rapat Kamar Perdata MARI, yang diikuti oleh Hakim-hakim
Agung, pada Sub Kamar Perdata Umum angka XII menerangkan tentang
akibat perceraian, berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 50 Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan adanya perceraian tidak
menjadikan kekuasaan orang tua berakhir dan tidak memunculkan
perwalian (bandingkan dengan Pasal 299 KUHPerdata yang berbunyi
“selama perkawinan orang tuanya, setiap anak sampai dewasa tetap berada
dalam kekuasaan kedua orang tuanya, sejauh kedua orang tua tersebut tidak
dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu), sehingga hakim harus
menunjuk salah satu dari kedua orang tua sebagai pihak yang memelihara
dan mendidik anak tersebut (Pasal 41 Undang-undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan) karena setelah perceraian, kedua orang tua telah putus
hubungan hukum dan fisiknya.17
Maka berdasarkan ketentuan yang dikemukakan di atas, majelis
hakim berpendapat bahwa poin mengenai pengasuhan anak dalam
perjanjian yang dibuat ketika mediasi tersebut adalah bertentangan dengan:
1. Ketentuan Pasal 41 huruf a Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.
16 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 17 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
64
2. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
3. Ketentuan Pasal 105 huruf a dan b Kompilasi Hukum Islam
4. Fakta hukum bahwa antara Tergugat Rekonpensi dan Penggugat
Rekonpensi akan melakukan cerai talak, hal mana akan mengharuskan
kepada Tergugat Rekonpensi dan Penggugat Rekonpensi melakukan
perpisahan baik secara hukum maupun secara fisik.
Oleh karena itu ketentuan poin pengasuhan dalam perjanjian yang dibuat
ketika mediasi dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.18
Berdasarkan kutipan akta kelahiran kedua anak, dapat diketahui
bahwa anak suami dan istri seorang perempuan berumur 8 tahun dan
seorang laki-laki berumur 5 tahun. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal
105 huruf a, b, dan c Kompilasi Hukum Islam dinyatakan, dalam hal terjadi
perceraian, (a) pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya, (b) pemeliharaan anak yang sudah
mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaannya, (c) biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya. Maka berdasarkan pertimbangan di atas, majelis
hakim menetapkan bahwa pemeliharaan kedua anak tersebut ada pada istri
selaku ibu kandung anakhingga masing-masing berumur 12 tahun. Dan
menyatakan suami selaku ayahnya dapat menjenguknya guna memberikan
kasih sayangnya, mendidiknya, mengajaknya pergi berekreasi, berbudaya
sesuai dengan kesepakatan antara suami dan istri.19
Dalam menetapkan hukum, tampaknya majelis hakim pada
peradilan tingkat pertama menggunakan teori penemuan hukum interpretasi
hukum. Interpretasi hukum ini terjadi apabila terdapat ketentuan undang-
undang yang secara langsung dapat ditetapkan pada kasus konkret yang
dihadapi, atau metode ini dilakukan dalam hal peraturannya sudah ada tetapi
18 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 19 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
65
tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwa konkret atau mengandung arti
pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda, norma yang kabur,
konflik antar norma, dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-
undangan.20 Teori penemuan hukum ini mengacu pada interpretasi
sistematis. Artinya, dalam menetapkan hukum hakim menafsirkan undang-
undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan,
artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut
ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam
kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya. Menafsirkan undang-
undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-
undangan atau sistem hukum suatu negara.21 Pemakaian metode ini oleh
hakim terlihat dari hasil akhir putusan yang mengatakan bahwa surat
perjanjian dikatakan tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan syarat
sah perjanjian yang termaktub dalam Pasal 1320 KUHperdata dan Pasal
1337 KUHPerdata, meskipun dengan ditanda tangani surat perjanjian telah
sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3713 K/Pdt/1994.
Akan tetapi, Hakim tetap berpedoman penuh pada yang dituliskan dalam
ketentuan undang-undang seperti pada Pasal KUHPerdata yang membahas
mengenai ketentuan perjanjian.
Jika dilihat dari segi kedudukannya, Yurisprudensi merupakan
keputusan hakim yang berisikan sutu pertimbangan-pertimbangan hukum
sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 22 A.B (hakim
yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan,
tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena
menolak mengadili) yang kemudian menjadi dasar putusan hakim lainnya
di kemudian hari untuk mengadili perkara yang memiliki unsur-unsur yang
20 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, h., 59-
60. 21 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Liberty,
2007, Cet. Kelima), h., 58-59.
66
sama, dan selanjutnya putusan hakim tersebut menjadi sumber hukum di
pengadilan. Menurut Subekti, yurisprudensi adalah putusan-putusan Hakim
yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung
sebagai pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang
sudah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat dikatakan ada hukum
yang dicipta melalui yurisprudensi.22
Majelis hakim juga menggunakan metode interpretasi sosiologis.
Artinya, suatu peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan situasi
sosial yang baru. Jadi, interpretasi sosiologis adalah interpretasi untuk
memahami suatu peraturan hukum, sehingga peraturan hukum tersebut
dapat diterapkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat.23
Dengan metode interpretasi ini, hakim memaknai bahwa ketentuan isi
perjanjian tidak bisa direalisasikan berdasarkan kenyataan bahwa suami dan
istri sudah tidak menjadi suami istri lagi atau sudah bercerai, sedangkan
perceraian itu memutus ikatan hukum dan fisik antara suami dan istri
sehingga tidak mungkin lagi untuk merawat anak secara bersama dan tidak
mungkin lagi untuk tinggal bersama dalam satu atap.
Dalam putusan majelis hakim tingkat pertama di Pengadilan Agama
Depok, terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) oleh salah satu
hakim anggota yang memuat:24
1. Dalam hal gugatan istri tentang hak pengasuhan anak agar jatuh kepada
istri selaku ibunya, hal tersebut sudah tercantum dalam kesepakatan yang
sudah dibuat ketika mediasi yang intinya bahwa anak-anak diasuh
bersama oleh istri dengan suami secara permanen. Hakim ini
berpendapat, sesuai Pasal 41 huruf a Undang-undang No. 1 tahun 1974,
menentukan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian, baik
ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
22 M. Fauzan, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014, Cet. Pertama), h., 10. 23 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, h., 68. 24 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
67
anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberikan
keputusannya. Makna a contrario dari ketentuan tersebut adalah akibat
putusnya perkawinan karena perceraian dan tidak ada perselisihan
(terdapat kesepakatan dalam mediasi) mengenai hak asuh anak. Sehingga
dengan kesepakatan tersebut gugatan istri mengenai hak hadanah tidak
perlu dipertimbangkan lebih lanjut karena suami dan istri dihukum untuk
menaati isi kesepakatan.
Hal ini sejalan dengan maksud Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Pasal 1 ayat (5) tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang
menyatakan bahwa Kesepakatan Perdamaian adalah dokumen yang
memuat syarat-syarat yang disepakati oleh para pihak guna mengakhiri
sengketa yang merupakan hasil dari upaya perdamaian dengan bantuan
seorang mediator atau lebih berdasarkan peraturan ini.
2. Bahwa sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata tentang akibat suatu
perjanjian/ kesepakatan, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu
perjanjian/ kesepakatan tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu. Dan suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
Hal ini sejalan dengan maksud bunyi Pasal 1858 KUHPerdata yang
berbunyi, segala perdamaian mempunyai di antara para pihak suatu
kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan,
hal ini ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (2) HIR (Herziene Indonesisch
Reglement) bahwa Putusan Akta Perdamaian memiliki kekuatan sama
seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
3. Bahwa dengan pengasuhan bersama antara suami dan istri (sebagaimana
selama ini berjalan dengan cukup baik) justru akan sangat
menguntungkan kepentingan anak, baik dipandang dari segi
pemeliharaan maupun dari segi pendidikan yang diperlukan seorang
68
anak dan sesuai dengan keterangan saksi di persidangan bahwa selama
ini anak-anak dalam keadaan sehat, gembira/ riang (vide Pasal 1 ayat 2
dan Pasal 3 Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak) sehingga suami dan istri tetap bisa mencurahkan kasih sayang
terhadap kedua orang anak secara maksimal.
Adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) ini merupakan
perwujudan nyata kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu
perkara. Ini sejalan dengan tujuan kekuasaan kehakiman yang merdeka,
yang tidak lain dari kebebasan kehakiman dalam memeriksa dan memutus
perkara. Berdasarkan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, pencantuman perbedaan pendapat
(dissenting opinion) dalam putusan bersifat imperative atau mandatory,
karena dengan tegas dikatakan ‘wajib’ dimuat dalam putusan. Rasio dari
pencantuman ini bertujuan untuk memperlihatkan kepada pihak yang
berperkara maupun masyarakat, bahwa putusan yang dijatuhkan benar-
benar diambil melalui pengkajian dan analisis yang matang.25 Dalam
konteks putusan hakim, penerapan dissenting opinion berarti sejalan dengan
semangat keterbukaan. Dengan pencantuman pendapat hakim tersebut hak
masyarakat untuk mendapatkan informasi secara optimal diberikan.26
Adanya dissenting opinion ini membuat masyarakat kini mempunyai
harapan baru, putusan pengadilan akan lebih berkualitas. Sebab, hakim tak
bisa lagi menyembunyikan pikirannya dalam putusan.27 Pada tataran
normatif, dissenting opinion diatur dalam pasal 30 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa
dalam sidang permusyawaratan setiap hakim agung wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa
25 M. Yahya Harahap. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. hlm 420 26 Sunarmi, “Dissenting Opinion sebagai Wujud Transparansi dalam Putusan Peradilan”,
Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, h,.150 27 Sunarmi, “Dissenting Opinion sebagai Wujud Transparansi dalam Putusan Peradilan,
h,. 152.
69
dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.28 Maka, dari uraian
di atas, dapat diketahui bahwa dissenting opinion bukanlah hal baru dalam
perkara peradilan. Bahkan, dapat dikatakan, dengan adanya dissenting
opinion menandakan adanya keterbukaan di antara para hakim.
Dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok
kecuali hakim anggota yang melakukan dissenting opinion, dapat dikatakan
bahwa hakim dalam menetapkan amar putusan telah mempertimbangkan
aspek yuridis, yaitu dengan berpatokan kepada undang-undang, memahami
undang-undang dengan mencari undang-undang yang berkaitan dengan
perkara yang sedang dihadapi.29 Ini jelas terlihat dari paparan pertimbangan
hakim yang telah penulis uraikan pada pargraf-paragraf sebelumnya.
Sekaligus, hakim juga menggabungkannya dengan melihat aspek
sosiologis yaitu dengan mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup di
masyarakat.30 Ini terlihat dari pertimbangan hakim yang mengatakan bahwa
ketika isi dari perjanjian mengenai pengasuhan bersama terhadap kedua
anak pasca perceraian dilakukan, maka akan bertentangan dengan budaya
yang sudah melekat pada masyarakat kita bahwa laki-laki dan perempuan
yang tidak memiliki ikatan yang sah untuk tinggal bersama di bawah satu
atap dipandang buruk dan melanggar norma-norma yang berlaku. Seperti
dalam hukum Islam dikatakan bahwa berkumpulnya antara laki-laki dan
perempuan yang tidak mempunyai hubungan keluarga itu disebut dengan
ikhtilat, dan hukumnya haram.31
Terkait amar putusan banding yang diajukan suami, pada awalnya
antara suami dan istri dalam mediasi yang dilakukan bersama mediator telah
tercapai kesepakatan yang memuat tentang segala akibat hukum dari
28 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2009), h., 166. 29 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, h., 126. 30 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, h., 126. 31 Fatma Noviani, Interaksi Mahasiswa-mahasiswi UIN SUSKA Riau yang Tinggal
Serumah di Lokasi Kulih Kerja Nyata (KKN) Menurut Hukum Islam, Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum Jurusan Hukum Keluarga 2018, Bab III, h., 55.
70
terjadinya perceraian antara suami dan istri, yaitu mengenai hak
pemeliharaan anak bahwa mereka akan memegang hak asuh hukum dan
pengendalian bersama secraa permanen terhadap anak-anak yang dimuat
dalam poin 4 dalam surat perjanjian. Majelis hakim banding kemudian
meneliti pertimbangan hukum majelis hakim tingkat pertama, maka majelis
hakim tingkat banding tidak sependapat dengan petimbangan hukum
majelis hakim tingkat pertama, kecuali dengan hakim anggota yang
melakukan dissenting opinion.32
Majelis hakim tingkat banding berpendapat bahwa isi kesepakatan
pada poin 4 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 huruf a Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 29 a Undang-
undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini sesuai
dengan hakim anggota yang melakukan dissenting opnion pada tingkat
pertama. Menurut hakim banding, pertimbangan hakim anggota yang
melakukan dissenting opinion itu sudah tepat dan benar sehingga diambil
alih menjadi pertimbangan majelis hakim tingkat banding untuk
mendukung pendapat majelis hakim tingkat banding dengan beberapa
tambahan seperti, menurut majelis hakim ketentuan poin 4 tidak
bertentangan dengan pasal yang sudah disebutkan di atas karena menurut
ketentuan tersebut baik bapak maupun ibu berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anak. Dan apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan
anak, pengadilan memberikan keputusannya. Maka menurut majelis hakim
tingkat banding, pengadilan dapat saja memberikan keputusan dalam
perkara ini hak hadanah diberikan kepada suami atau istri atau sesuai
dengan kesepakatan, tetapi itupun harus sesuai dengan alasan-alasan yang
dipertimbangkan menurut hukum dan kepentingan anak.33
Majelis hakim tingkat banding juga berpendapat untuk menjaga
kepentingan suami dan istri yang harus melaksanakan kewajibannya untuk
memelihara dan mendidik anak-anak sehingga mendapatkan kasih sayang
32 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg. 33 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg.
71
baik dari bapaknya/ suami maupun dari ibunya/ istri, dan berdasarkan
keterangan saksi dan pertimbangan hakim anggota yang melakukan
dissenting opinion, bahwa pemeliharaan anak selama ini berjalan baik,
maka majelis hakim banding memutuskan, pemeliharaan terhadap anak
dimaksud sesuai dengan kesepakatan bersama sebagai hasil dari mediasi
dalam persidangan.34
Sesuai dengan ketentuan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam
dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2012 tentang Rumusan
Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung RI sebagai pedoman
pelaksanaan tugas bagi pengadilan Sub Kamar Perdata Umum Angka XII
yang maksudnya, apabila terjadi perceraian hakim menunjuk salah satu dari
orang tuanya sebagai pihak yang memelihara dan mendidik anak tersebut,
maka menurut majelis hakim tingkat banding, ketentuan tersebut hanya
dipedomani jika dalam masalah tersebut tidak ada kesepakatan, karena
ketentuan tersebut tingkatnya lebih rendah dari undang-undang. Sedangkan
dalam perkara ini ada kesepatakan yang setingkat dengan undang-undang,
maka majelis hakim tingkat banding tetap berpegang dengan hasil
kesepatakan.35
Berdasarkan bunyi Pasal 1338 KUHPerdata disebutkan, persetujuan
yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilakukan dengan
itikad baik.36
Maka atas dasar pertimbangan di atas, majelis hakim tingkat
banding berpendapat bahwa kesepakatan antara suami dan istri adalah sah
dan mengikat bagi suami dan istri serta tidak bertentangan dengan undang-
undang dan fakta hukum sehingga pihak-pihak dihukum untuk menaati
34 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg. 35 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg. 36 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg.
72
kesepakatan tersebut. Maka, putusan tingkat pertama yang menghukum
suami dan istri untuk menaati kesepakatan kecuali poin nomor 4 tidak dapat
dipertahankan dan harus dibatalkan.37
Majelis hakim tingkat banding juga berpendapat mengenai perkara
ini yang kemudian istri menyatakan gugatannya terhadap hak asuh anak
tidak dapat diterima karena pada dasarnya antara suami dan istri sudah
terjadi kesepakatan. Mengenai gugatan hak asuh anak tersebut dapat
diajukan oleh salah satu pihak apabila anak tersebut dipelihara pihak lain
atau secara bersama-sama tetapi wajib berdasarkan alasan yang dibenarkan
oleh undang-undang berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur bahwa kekuasaan orang
tua terhadap anaknya dapat dicabut berdasarkan keputusan pengadilan
dalam hal:38
a. Ia sangat melalaikan kewajiban terhada anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali;
Berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat disepakati bahwa anak
diasuh oleh kedua orang tua secara bersama-sama, kemudian istri menuntut
agar kedua anak diasuh oleh dirinya. Dengan adanya tuntutan tersebut,
berarti istri mencabut hak pengasuhan dari suami. Namun majelis hakim
tingkat banding tidak menemukan alasan yang kuat dari istri baik dari berita
acara sidang tingkat pertama maupun dalam kontra memori banding dari
istri untuk mengalihkan pengasuhan anak dari kesepakatan bersama
menjadi hak istri sesuai dengan ketentuan pasal di atas. Sehingga gugatan
istri mengenai hak pengasuhan anak tidak dapat diterima karena tidak
beralasan hukum.39
Dalam menetapkan hukum pada tingkat banding, tampaknya majelis
hakim menggunakan metode konstruksi hukum argumentum a contratio.
Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk melakukan
37 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg. 38 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab X,
Pasal 49 Ayat (1). 39 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg.
73
penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang
menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu
terbatas pada peristiwa tertentu itu dan peristiwa di luarnya berlaku
kebalikannya. Esensi metode ini adalah mengedepankan cara penafsiran
yang berlawanan pengertiannya antara peristiwa konkret yang dihadapi
dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Metode ini menitik
beratkan pada ketidaksamaan peristiwanya dan diberlakukan segi negatif
dari suatu undang-undang.40 Penggunaan metode ini terlihat ketika hakim
pada tingkat banding mengungkapkan bahwa ketentuan mengenai
penunjukkan salah satu orang tua sebagai pengasuh anak hanya dilakukan
oleh hakim pengadilan jika tidak terdapat kesepakatan. Sedangkan dalam
kasus ini, antara kedua orang tua anak sudah dibuat kesepakatan yang
mengikat bagi keduanya. Maka, dalam hal ini, hak pengasuhan anak tidak
diberikan kepada salah satu dari orang tua, melainkan ketentuan pengasuhan
anak yang terdapat dalam surat perjanjian mestilah ditaati. Majelis hakim
melihat sisi kebalikan dari ketentuan hukum yang ada berdasarkan fakta
hukum pada kasus ini. Hal ini juga sejalan dengan pertimbangan hakim
anggota yang melakukan dissenting opinion pada poin pertama yang sudah
penulis uraikan di atas, yang mana hakim anggota menggunakan makna a
contrario dalam memahami perkara.
Majelis Hakim pada tingkat banding juga menggunakan interpretasi
sistematis dalam menetapkan hukum. Artinya, dengan metode ini, hakim
menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem
perundang-undangan, yaitu tidak satu pun dari peraturan perundang-
undangan tersebut ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus
selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya.
Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari
sistem perundang-undangan atau sistem hukum suatu negara.41
40 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, h., 14-23 41 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, h., 58-59.
74
Penggunaan metode ini terlihat ketika hakim mengatakan bahwa
kesepakatan atau perjanjian yang dibuat sudah setingkat dengan undang-
undang karena telah mencapai unsur dari apa yang terdapat pada undang-
undang, yaitu konsensus atau kesepakatan. Karena memang, antara kedua
orang tua telah dibuat perjanjian yang mengartikan bahwa kedua oang tua
telah sepakat. Pendapat ini sejalan dengan Pasal 1338 KUHPerdata tentang
akibat suatu perjanjian/ kesepakatan, bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
dan perjanjian itu hanya dapat ditarik kembali dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan dibenarkan yang oleh undang-
undang dan pendapat ini juga diperkuat oleh Pasal 1858 KUHPerdata yang
berbunyi, segala perdamaian mempunyai di antara para pihak suatu
kekuatan seperti suatu Putusan Hakim dalam tingkat yang penghabisan, hal
ini ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (2) HIR (Herziene Indonesisch
Reglement) bahwa Putusan Akta Perdamaian memiliki kekuatan sama
seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga akta ini tidak
dapat diajukan banding maupun kasasi. Karena telah berkekuatan hukum
tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutorial.
Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi
kepada pengadilan.42
Dalam poin ketiga dari penjabaran pertimbangan dissenting opinion
yang dilakukan hakim anggota pada tingkat pertama, hakim juga
menggunakan interpretasi sosiologis dalam memandang keadaan kedua
anak.43 Ketika perjanjian yang dibuat mengikat kedua belah pihak, maka
ketika itu anak akan menjadi tanggung jawab kedua belah pihak secara
bersama. Akibatnya, kenyamanan anak terhadap kedua orang tua tidak akan
terganggu kendati masih merasakan berada dalam pengasuhan kedua orang
tua sebagaimana biasanya.
42 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h., 280. 43 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, h., 68.
75
Penulis berpendapat, dalam pertimbangan hukum yang diberikan
hakim anggota yang melakukan dissenting opinion dan majelis hakim pada
tingkat banding ini, hakim telah mempertimbangkan aspek filosofis, yaitu
aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan.44 Hal ini sesuai dengan
pernyataan hakim yang mempertimbangkan tumbuh kembang anak bila
ketentuan hak asuh anak dalam perjanjian tidak dilaksanakan dan mengikat
orang tua anak. Pasalnya, seperti yang disebutkan oleh saksi yang
didatangkan dalam persidangan peradilan tingkat pertama, selama berada
dalam pengasuhan kedua orang tua, kedua anak adalah anak yang ceria dan
bahagia,45 sehingga dikhawatirkan bila anak diberikan pada salah satu dari
orang tua akan mengganggu psikologis dan perkembangan anak.
Dalam amar putusan yang diberikan hakim pada tingkat kasasi,
terdapat beberapa pertimbangan yang akhirnya putusan ditetapkan dengan
dibatalkannya putusan hakim pada tingkat banding yang membatalkan
putusan hakim pada tingkat pertama dan hak asuh kedua anak dipegang oleh
istri sebagai ibu kandung si anak. Adapun pertimbangan tersebut adalah
bahwa Pengadilan Tinggi Agama Bandung telah salah dalam menerapkan
hukum karena telah menyatakan sah seluruh isi kesepakatan perdamaian
yang dibuat dan ditanda tangani oleh suami dan istri di hadapan mediator,
tanpa terlebih dahulu meneliti dan mempertimbangkan isi masing-masing
poin kesepakatan perdamaian tersebut. Terutama isi dari sisi syarat-syarat
sahnya suatu kesepakatan yang diatur dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1337
KUHPerdata.46
Setelah meneliti isi dari masing-masing poin kesepakatan, majelis
hakim kasasi berpendapat bahwa sebagian dari isi kesepakatan tersebut
tidak sesuai dengan ketetapan Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUHPerdata
karena bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum. Seperti kesepakatan dalam mengasuh anak secara bersama pada
44 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, h., 126. 45 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 46 Salinan Putusan Mahkamah Agung No. 638 K/Ag/2015.
76
poin 4 dan pengaturan lebih rinci mengenai ini diatur pada poin 6 isi surat
perjanjian yaitu dengan penyebutan hak asuh fisik. Penetapan hak asuh
permanen secara bersama-sama antara suami dan istri tersebut bertentangan
dengan undang-undang karena berakibat pada tidak adanya kepastian
hukum bagi kedua anak tersebut di mana akan menetap dan bertempat
tinggal. Padahal, maksud dan tujuan dari pembuat undang-undang dalam
memberikan hak kepada pengadilan untuk menetapkan hak hadanah pada
ibu atau bapak setelah bercerai adalah untuk memberikan kepastian hukum
bagi anak-anak bertempat tinggal setelah perceraian kedua orang tuanya.
Ketidakpastian tentang tempat tinggal anak tersebut akan mengganggu
psikologi anak-anak dan kemaslahatan masa depan mereka. Lagi pula,
putusan tentang hadanah ditetapkan secara bersama-sama tersebut tidak
akan bermanfaat karena tidak dapat dilaksanakan secara konkret dan sulit
untuk dieksekusi bila salah satu pihak melalaikan dan atau melaksanakan
amar putusan. Sehingga kesepakatan tersebut harus dinyatakan tidak sah
dan tidak mengikat kepada kedua belah pihak. Maka, permohonan suami
agar kedua belah pihak menaati isi kesepakatan harus dinyatakan ditolak.47
Mengenai status hak asuh kedua anak yang masih berumur 8 tahun
dan 5 tahun tersebut, termasuk dalam kategori belum mumayiz dan tidak
ada satupun alasan yang menghalangi atau menggugurkan hak hadanah istri
selaku ibu kandungnya. Maka tuntutan istri tentang hak hadanah tersebut
dapat dikabulkan.48
Pada putusan tingkat kasasi, tampaknya salah satu metode
penetapan hukum yang digunakan hakim dalam pertimbangannya adalah
interpretasi historis. Artinya, mengetahui latar belakang sejarah dari
ketentuan perundang-undangan yang ada, hakim dapat mengetahui maksud
pembuatnya, dan karena itu hakim harus menafsirkan dengan jalan meneliti
sejarah kelahiran pasal tertentu itu dirumuskan.49 Hal ini terlihat dari
47 Salinan Putusan Mahkamah Agung No. 638 K/Ag/2015. 48 Salinan Putusan Mahkamah Agung No. 638 K/Ag/2015. 49 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, h., 17-18.
77
ungkapan pertimbangan hakim yang menyebutkan jika ketentuan poin 4
dalam surat perjanjian mengenai hak asuh anak diberlakukan, maka yang
muncul adalah tidak adanya kepastian hukum bagi anak. Padahal, tujuan
utama dari terciptanya hukum di masyarakat adalah untuk memberikan
kepastian hukum kepada pihak terkait. Seperti yang dikatakan Fence M.
Wantu bahwa hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna
karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman bagi semua orang.50 Sedangkan
dengan adanya perjanjian ini, kedua anak tidak memiliki kepastian hukum
tentang dengan siapakah mereka tinggal setelah perceraian kedua orang
tuanya. Mengingat ketika sepasang suami istri sudah bercerai, tentu tidak
mungkin lagi bagi mereka untuk tinggal bersama dalam satu atap. Jelas saja
hal itu akan menyalahi norma adat, kesusilaan dan agama yang ada di
masyarakat.
Interpretasi hukum yang juga digunakan hakim pada tingkat ini
adalah interpretasi komparatif. Artinya, majelis hakim kasasi melakukan
interpretasi dengan jalan membandingkan antara berbagai sistem hukum
dengan tujuan hendak mencari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan
peraturan perundang-undangan.51 Ketika perjanjian yang dibuat dikatakan
telah sesuai dengan isi Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3713
K/Pdt/1994 tanggal 28 Agustus 1997 tanggal 28 Agustus 1997 pada
pokoknya menyatakan, sebagai akibat dari perceraian seperti nafkah dan
biaya untuk anak serta masalah pengasuhan anak juga mutlak’ah dan iddah
istri menyatakan bahwa mendahului perceraian yang akan dijatuhkan oleh
Pengadilan, maka Para Pihak yaitu suami dan istri diperbolehkan dan
diizinkan untuk membuat perjanjian atau persetujuan yang berisi
kesepakatan tentang hal-hal yang berkaitan dengan yang sudah disebutkan
di atas,52 hakim tidak serta merta berhenti disana. Kemudian fakta yang
50 R. Tony Prayogo, Penerapn Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan Mahkamah Agung
No. 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil dan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-undang, Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan Kementrian Hukum dan HAM, E-jurnal.peraturan.go.id, h., 199. 51 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, h., 19. 52 Putusan Tingkat Pertama Pengadilan Agama Depok No. 0343/ Pdt.G/2014/PA.Dpk.
78
ditemukan hakim adalah bahwa beberapa isi dari perjanjian yang dibuat
menyalahi atau tidak memenuhi syarat yang tertuang dalam KUHPerdata.
Setelah itu, hakim kembali melihat tujuan atau dampak dari keberlakuan
surat perjanjian yang ternyata menurut hakim pada tingkat kasasi, tidak
sesuai dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan bagi psikologis anak,
sehingga hal tersebut kembali memperkuatketidaksahan dan
ketidakberlakuannya surat perjanjian yang telah dibuat dalam mediasi pada
pengadilan tingkat pertama.
Dalam praktek peradilan di Indonesia, yurisprudensi merupakan
putusan hakim yang menjadi komplementer dengan hukum undang-undang
hasil proses legislasi dalam pembentukan hukum. Bahkan yurisprudensi
dapat mencabut ketentuan dalam undang-undang jika tidak sesuai lagi
dengan keadaan zaman. Dengan kata lain, yurisprudensi telah membentuk
dan melembagakan kaidah hukum baru.53 Jadi, keberadaan yurisprudensi
bukanlah hal yang bisa dipandang sebelah mata dan perlu dipertimbangkan
lebih dalam eksistensinya dalam sistem peradilan dan kekuaatan hukum
terhadap keberlakuannya.
Perbedaan pertimbangan hakim dari berbagai tingkat peradilan di
atas, menurut penulis hakim sama -sama memiliki legal standing yang kuat
dan dapat diterima dalam memutuskan perkara di atas. Menurut penulis,
Majelis hakim telah sama-sama mempertimbangkan nilai-nilai yang mesti
menjadi tolak ukur hakim dalam menjatuhkan putusan. Hanya saja, dalam
memandang perkara yang sama, hakim dalam tingkatannya memiliki sudut
pandang yang berbeda atau melihat nilai lain dari permasalahan yang
dihadapi, meskipun dalam menetapkan hukum masih menggunakan teori
yang sama. Nilai-nilai yang berlaku tersebut dititikberatkan pada segi
kepastian hukum, segi keadilan, dan segi kemanfaatan. Hakim dalam
memutus perkara kasuistik, selalu dihadapkan pada ketiga asas tersebut.
53 Samsul Bahri, Tesis Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia (Studi Peran
Yurisprudensi Mahkamah Agung Dalam Positivisasi Hukum Islam), Program Pascasarjana Program
Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta 2006 h., 9.
79
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam buku Bab-bab tentang Penemuan
Hukumnya menyebutkan, ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara
kompromi, yaitu dengan cara menerapkan ketiga-tiganya secara berimbang
dan proporsional.54
Akan tetapi dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi hakim dalam
mengakomodir ketiga asas tersebut dalam satu putusan. Sehingga hakim
harus memilih salah satu asas prioritas kasuistis dalam ketiga asas yang ada.
Ketika dalam putusannya hakim lebih dekat dengan asas kepastian hukum,
maka secara otomatis hakim akan menjauh dari titik keadilan, dan begitu
juga sebaliknya. Posisi asas kemanfaatan berada diantara dua asas kepastian
hukum dan keadilan. Maka disinilah letak batas kebebasan hakim, di mana
hakim hanya dapat bergerak di antara dua titik pembatas tersebut. Dengan
suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan
dirinya berada dekat dengan titik kepastian hukum dan kapan berada di titik
keadilan.55
Dalam menetapkan hukum, hakim tingkat pertama kecuali hakim
anggota yang melakukan dissenting opinion dan hakim kasasi telah
menggunakan asas kepastian hukum sekaligus menggunakan asas keadilan.
Ini dibuktikan dengan pertimbangan hakim yang mengatakan bahwa
perjanjian hak asuh anak dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1337 KUHPerdata dan
pertimbangan hakim yang melihat sisi keadilan bagi anak yang tidak
memiliki kepastian hukum jika bentuak realisasi dari isi perjanjian tersebut
adalah dengan pengasuhan secara bergantian oleh suami dan istri.56 Begitu
juga dalam pertimbangan hakim anggota yang melakukan dissenting
opinion pada tingkat pertama dan hakim banding telah menggunakan asas
kepastian hukum dan keadilan dalam melihat perkara yang dihadapi. Ini
terlihat dari pernyataan hakim anggota sekaligus hami banding yang
54 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta:
Sinar Grafika, 2014, Cet. Ketiga), h., 132. 55 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, h., 133. 56 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
80
mengatakan bahwa surat perjanjian dianggap berlaku karena telah selaras
dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3713 K/Pdt/1994, kemudian
akibat dari sah nya perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1338
KUHPerdata yang mengatakan bahwa perjanjian yang telah sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat
ditarik kecuali dengan kesepatakan mereka yang membuat.57
C. Keabsahan Perjanjian Hak Asuh Anak
Dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur perihal
perjanjian, terdapat beberapa aspek yang harus dilihat dan dipenuhi
sehingga perjanjian yang dibuat menjadi sah menurut hukum formil. Seperti
yang dijelaskan di dalam buku Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian
Indonesia karangan Herlien Budiono, bahwa pada dasarnya perjanjian itu
dapat dibuat bebas tanpa terikat bentuk, namun tercapainya tidak secara
formil, sehingga perjanjian itu cukup berdasarkan konsensus atau
kesepakatan belaka.58 Hal ini selaras dengan apa yang hukum Islam
tetapkan mengenai asas kesepakatan bersama atau konsensualisme (mabda’
ar-radha’iyyah) dalam perjanjian. Asas ini menyatakan bahwa untuk
terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara
para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.
Perjanjian pada hukum Islam pada umumnya bersifat konsesnsual.59
Akan tetapi, jika dikaji lebih dalam mengenai keabsahan suatu
perjanjian. Maka ditemukan fakta bahwa suatu perjanjian, untuk dapat
dikatakan sebagai perjanjian dan mengikat bagi mereka yang berjanji tidak
hanya atas konsensus atau kesepakatan saja. Kitab Undang-undang Hukum
Perdata telah menyebutkan mengenai ketentuan-ketentuan yang harus ada
dalam suatu perjanjian hingga perjanjian tersebut dapat dikatakan mengikat.
57 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg. 58 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2006, Cet. Pertama), h., 95. 59 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h., 85.
81
Begitu juga, di dalam ilmu hukum juga telah dijelaskan mengenai
penjabaran dari ketentuan pasal yang ada pada KUHPerdata yang berlaku
di Indonesia.
Suatu perjanjian yang dibuat harus lah memenuhi empat syarat yang
disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Adapun syarat yang harus dipenuhi tersebut adalah adanya kesepakatan di
antara pihak yang membuat perjanjian, pihak yang bersepakat adalah
pribadi yang sudah cakap hukum, mengenai suatu hal tertentu, dan adanya
sebab yang halal. Dua bagian pertama dari syarat ini merupakan syarat
subyektif, yang mana syarat ini menyangkut kepada pribadi yang membuat
perjanjian. Dua bagian setelahnya disebut dengan syarat objektif yang
menyangkut tentang objek dari perbuatan hukum yang dilakukan.60
Keempat syarat ini harus ada dalam perjanjian yang dibuat. Karena, jika
syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut akan batal demi
hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak dilahirkan
dan dari awal perikatan juga tidak pernah ada. Akibatnya, tujuan awal para
pihak dalam melakukan perjanjian untuk melahirkan perikatan dikatakan
gagal, sehingga masing-masing pihak tidak memiliki dasar untuk saling
menuntut di depan hakim. Dalam bahasa inggris keadaan ini dikenal dengan
perjanjian void atau null.61 Begitu juga jika syarat subyektif pada perjanjian
tidak terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta agar
perjanjian tersebut dibatalkan dan perjanjian ini bukanlah perjanjian yang
batal demi hukum karena terdapat opsi untuk melanjutkan perjanjiannya kah
atau membatalkan perjanjian yang dibuat tergantung kepada subjek yang
membuat perjanjian.62
Jika melihat kasus dari duduk perkara yang sudah penulis uraikan di
atas, dapat kita telaah mengenai surat perjanjian yang menjadi fokus
60 Subekti, Hukum Perjanjian, h., 17-20. 61 Subekti, Hukum Perjanjian, h., 20. 62 Subekti, Hukum Perjanjian, h., 21.
82
pembahasan penulis pada tulisan ini. Dikatakan bahwa surat perjanjian hak
asuh anak yang dibuat oleh pemohon dan istri pada sidang mediasi
Pengadilan Agama Depok adalah perjanjian yang berdasarkan kesepakatan
atau konsesus. Hal ini karena perjanjian tersebut ditandatangi oleh kedua
pihak dan dilakukan di depan mediator yang ditunjuk oleh Pengadilan
Agama Depok.63 Secara kasat mata, perjanjian ini telah memenuhi unsur
formil sederhana yang telah penulis uraikan pada paragraf sebelumnya,64
yaitu perjanjian ini dibuat atas dasar kesepakatan dan mengikat secara
formil karena dilakukan di depan mediator lalu ditandatangi oleh pihak yang
berperkara. Perjanjian yang dibuat ketika mediasi juga merupakan
perjanjian yang dibolehkan atau perjanjian yang sudah disebutkan dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3713 K/Pdt/1994 mengenai muatan
yang terkandung di dalam perjanjian tersebut. Yurisprudensi tersebut
mengatur bahwa pasangan yang ingin bercerai, sebelum hakim pengadilan
menjatuhkan putusannya, maka mereka diijinkan untuk membuat
kesepakatan mengenai harta bersama, nafkah, mutlak’ah, dan hak asuh
anak. Sehingga putusan Yurisprudensi ini adalah dasar hukum awal suami
dan istri dalam membuat perjanjian atau kesepakatan tersebut.65
Akan tetapi, walaupun mengenai pembuatan perjanjian tersebut
sudah sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Yurisprudensi Mahkamah
Agung No. 3713 K/Pdt/1994, pengkajian mendalam mengenai isi perjanjian
tetap mesti dilakukan. Mengacu kepada rukun dan syarat perjanjian yang
harus dipenuhi berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian ini tidak
memenuhi unsur keempat yang ada pasal tersebut, yaitu adanya sebab yang
halal. Ini mengacu kepada isi perjanjian yang menyatakan bahwa sebagai
akibat dari perceraian, para pihak setuju bahwa ,ereka akan memegang hak
asuh anak dan pengendalian bersama secara permanen terhadap anak-anak
dan pada poin selanjutnya disebutkan pengasuhan fisik. Isi perjanjian ini
63 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 64 Lihat Paragraf Pertama Pada Sub-Bab C, Bab IV, h., 80. 65 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
83
jelas telah menyimpang dan tidak sesuai dengan fakta yang ada bahwa
kedua pihak seperti yang telah disebutkan hakim dalam pertimbangannya
akan melakukan perceraian yang mengakibatkan hubungan ikatan dan
hubungan hukum di antara mereka juga akan terputus. Sehingga akibat dari
perjanjian tersebut tidak dapat direalisasikan dan menjadi terlarang
berdasarkan fakta keadaan kedua belah pihak. Dan pada Pasal 1337
KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang jika sebab itu
dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan
kesusilaan atau dengan ketertiban umum.66 Sehingga, pernyataan
pengasuhan anak secara bersama setelah perceraian tidak sesuai dengan
kesusilaan atau kebiasaan yang ada di masyarakat dan hukum Islam.
Pasangan yang sudah bercerai, maka status mereka akan kembali
menjadi orang asing. Layaknya orang asing atau bukan mahram, maka
untuk merawat anak secara bersama apalagi untuk tinggal bersama dalam
satu atap merupakan perbuatan tidak terpuji yang dalam masyarakat pun
mencela perbuatan tersebut. Penjelasan mengenai ini kemudian dipertegas
lagi pada Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu
yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau
undang-undang.67 Maka alasan tidak sah nya perjanjian tersebut karena
bertentangan dengan fakta yang ada di masyarakat perlu dan patut
dibenarkan. Seperti yang telah dijelaskan oleh Subekti dalam bukunya
Hukum Perjanjian, yaitu mengenai perjanjian perjanjian yang isinya tidak
halal, terang pula bahwa perjanjian tersebut tidak boleh dilaksanakan karena
melanggar hukum dan kesusilaan. Hal demikian juga seketika dapat
diketahui oleh hakim. Dilihat dari sisi keaman dan ketertiban, juga jelas
bahwa perjanjian tersebut harus dicegah.68
66 Salinan Putusan Mahkamah Agung No. 638 K/Ag/2015. 67 Lihat Bab III, h., 44. 68 Subekti, Hukum Perjanjian, h., 22.
84
Dalam Islam, perjanjian dikenal dengan istilah akad. Rukun dan
syarat pada akad disebut dengan syarat pembentuk akad. Dengan
terpenuhinya rukun dan syarat akad hanya menjadikan akad tersebut
berwujud, namun tidak serta merta menjadikan akad tersebut sah. Jika
mengacu kepada ketentuan fikih, ketika akad telah terwujud, masih terdapat
beberapa ketentuan tambahan mengenai keabsahan akad, setelah terpenuhi
syarat keabsahan akad juga belum menjadikan akad tersebut sah. Masih
terdapat kemungkinan akad belum sah karena akibat hukum dari akad
tersebut tidak dapat dilaksanakan. Sehingga, akad baru dapat dikatakan sah
adalah jika semua syarat di atas telah terpenuhi yang penjelasan rincinya
telah penulis uraikan pada Bab III tulisan ini.69 Maka, perjanjian yang sudah
dibuat tersebut jika mengacu pada hukum Islam maka sudah memenuhi
rukun dan syarat terbentuknya akad, begitu juga syarat keabsahan akad
dalam perjanjian sudah terpenuhi. Namun, yang menjadi masalah adalah
akibat hukum yang belum dapat dilaksanakan. Akibat hukum dari surat
perjanjian yang penulis bahas adalah pengasuhan anak yang dilakukan
secara bersama oleh suami dan istri setelah perceraian. Maka, akad ini tidak
dapat dikatakan sah menurut hukum Islam, karena dalam hukum Islam
dikatakan bahwa berkumpulnya antara laki-laki dan perempuan yang tidak
mempunyai hubungan keluarga itu disebut dengan ikhtilat, dan hukumnya
haram.70
Maka, berdasarkan teori di atas, penulis sepakat dengan apa yang
telah ditetapkan oleh hakim pada tingkat pertama kecuali hakim anggota
yang melakukan dissenting opinion dan majelis hakim kasasi bahwa surat
perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak ketika mediasi dianggap tidak
sah dengan merujuk kepada penjelasan Kartini Muljadi dalam bukunya
Hukum Perikatan yang lahir dari perjanjian yang menyatakan bahwa
69 Lihat Bab III, h., 50. 70 Fatma Noviani, Interaksi Mahasiswa-mahasiswi UIN SUSKA Riau yang Tinggal
Serumah di Lokasi Kulih Kerja Nyata (KKN) Menurut Hukum Islam, Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum Jurusan Hukum Keluarga 2018, Bab III, h., 55.
85
perjanjian yang sah adalah perjanjian yang telah memenuhi keempat syarat
dalam Pasal 1320 KUHPerdata.71 Karena memang dalam konteks ini,
perjanjian yang dibuat tidak memenuhi empat syarat sah perjanjian yang
disebutkan dalam KUHPerdata, yaitu adanya kesepakatan, cakap hukum,
mengenai suatu hal tertentu, dan adanya sebab yang halal.72 Perjanjian ini
tidak memenuhi syarat keempatnya yaitu sebab yang halal. Adapun bunyi
dari isi perjanjian yang tidak memenuhi syarat adalah sebagai akibat dari
perceraian, maka suami dan istri sepakat akan memegang hak asuh anak
bersama, termasuk hak asuh fisik anak secara permanen.73
Akan tetapi, pasangan yang sudah bercerai, maka akan putus pula
hubungan hukum dan fisik yang ada diantara mereka, sehingga bagaimana
mungkin pasangan yang sudah bercerai dan tidak tinggal di tempat yang
sama akan memelihara anak secara bersama. Isi perjanjian ini bertentangan
dengan fakta yang terjadi di antara suami dan istri. Pun dalam
merealisasikannya, bertentangan dengan kesusilaan kala laki-laki dan
wanita yang tidak memiliki hubungan hukum dan darah tinggal bersama
dalam satu rumah. Hal ini diperkuat oleh Pasal 1337 KUHPerdata yang
mengatakan, suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh
undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau
dengan ketertiban umum.74
Meskipun dengan ditulisnya perjanjian mengenai hak asuh anak ini
telah selaras dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3713 K/Pdt/1994
yang pada pokoknya akibat perceraian seperti nafkah dan biaya untuk anak
serta masalah pengasuhan anak juga mut’ah dan iddah untuk istri
menyatakan bahwa mendahului perceraian yang akan dijatuhkan oleh
Pengadilan, maka Para Pihak yaitu suami dan istri diperbolehkan dan
diizinkan untuk membuat perjanjian atau persetujuan yang berisi
71 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 166. 72 Subekti, Hukum Perjanjian, h., 17-20. 73 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 74 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 93 dan 155.
86
kesepakatan tentang hal-hal berkaitan dengan yang sudah disebutkan di
atas.75 Akan tetapi, akibat dari keberlakuan surat perjanjian tersebut
menyalahi kesusilaan masyarakat sehingga apa yang menjadi syarat sahnya
perjanjian belum dikatakan terpenuhi dan perjanjian dianggap tidak sah.
Sehingga penjelasan Pasal 1338 KUHPerdata tentang akibat suatu
perjanjian bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya, suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, dan
suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik,76 belum dapat
dijadikan penguat dalam keberlakuan perjanjian karena memang dari awal
perjanjian belum dikatakan sah dan tidak mengikat.
D. Penegasan Hak Hadanah atas/ oleh Ibu
Hadanah merupakan hak pengasuhan anak yang masih kecil ketika
orang tua si anak melakukan perceraian.77 Berdasarkan kasus di atas, hakim
pada tingkat pertama dan pada tingkat banding memberikan hak asuh anak
kepada ibu si anak dengan pertimbangan bahwa anak masih berada di bawah
umur 12 tahun atau belum mumayiz.78 Hadanah hukumnya wajib
sebagaimana wajibnya memberi nafkah kepadanya, karena anak yang tidak
dipelihara akan terancam keselamatannya79.
Pada tingkat banding, hakim menyatakan bahwa surat perjanjian
yang dibuat ketika mediasi adalah sah sehingga mengikat kedua pihak yang
membuatnya. Artinya, hak asuh kedua anak setelah perceraian jatuh kepada
suami dan istri dan kedua anak berada di bawah pengasuhan mereka
75 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 76 Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, h., 166. 77 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Munakahat dan
Undang-Undang, h., 327. 78 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 79 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu 10/ Wahbah az-Zuhaili; Penerjemah,
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h., 60.
87
bersama secara permanen. Hal ini dilakukan oleh hakim karena mengingat
bahwa selama masa pernikahan, kedua anak telah mendapatkan kasih
sayang sepenuhnya dari kedua orang tua dan anak sama sekali tidak
memiliki masalah dengan kedua orang tuanya. Jika dengan diberlakukannya
poin perjanjian mengenai hak asuh anak secara bersama tersebut merupakan
kemaslahatan bagi anak dan kebahagiaan bagi anak, maka pemberlakuan
perjanjian mesti dilakukan.80 Sehingga apa yang disebutkan dalam
terjemahan Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu karangan Wahbah az-Zuhaili
mengenai tujuan dari pemberian hak asuh anak yaitu kemaslahatan bagi
anak dapat dilihat dalam pertibangan ini.81 Di mana hakim dalam
memutuskan perkara melihat sisi kemaslahatan sebagaimana yang di atur
dalam hukum Islam.
Hakim pada tingkat pertama dan hakim pada tingkat kasasi
memberikan hak asuh anak kepada ibu si anak, mengingat bahwa kedua
anak masih berumur 5 tahun dan 8 tahun sehingga dikategorikan belum
mumayiz. Berdasarkan Pasal 105 KHI poin a disebutkan bahwa
pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya, sebagai akibat dari perceraian yang dilakukan oleh orang
tua si anak.82 Pada Pasal 156 KHI juga disebutkan kembali bahwa akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum mumayiz
berhak mendapatkan hadanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah
meninggal.83 Dan ketentuan ini kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 49
UUP bahwa salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut hak
kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih dalam hal ia sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan ia berkelakuan buruk.84
80 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg. 81 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu 10/ Wahbah az-Zuhaili; Penerjemah,
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h., 61. 82 Instruksi Presiden Indonesia Nomo 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab
XIV Pasal 105 (a) – (c). 83 Achmad Muhajir, “Hadanah dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor
Pendidikan Rumah)”, Jurnal LPPM Universitas Indraprasta, Vol.2, 2017, h., 171. 84 Nuryanto, “Hadanah dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam”, Jurnal STAIN Jurai
Siwo Metro Lampung, Vol.14, No.2, 2014, h., 227.
88
Berdasarkan alur duduk perkara yang terdapat pada salinan putusan
pada tingkat pertama, tidak terdapat pernyataan yang mengungkap bahwa
istri bukanlah ibu yang baik sehingga hak pengasuhan anak atasnya mesti
dicabut. Pasal 29 ayat (2) Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juga menguatkan bahwa jika terjadi pernikahan
campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing, anak
berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam
pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya. Dalam perkara ini, ayah si
anak adalah warga negara Amerika dan ibunya adalah warga negara
Indonesia. Maka, tepatlah jika pada akhirnya hak asuk anak diberikan
kepada ibu si anak.85
Dalam kondisi seperti ini, penulis sepakat dengan apa yang menjadi
pertimbangan hakim pada tingkat pertama kecuali hakim anggota yang
melakukan dissenting opinion dan kasasi mengenai hak pengasuhan anak
yang masih berumur 5 tahun dan 8 tahun ini diberikan kepada ibu. Penulis
merujuk kepada buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia karangan
Amir Syarifuddin dijelaskan bahwa paling berhak melakukan hadanah atas
anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang
dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam umur yang sangat muda itu
lebih dibutuhkan kasih sayang.86 Ketentuan Pasal 105 KHI juga
mempertegas bahwa anak yang belum mumayiz atau belum mencapai usia
12 tahun, maka hak asuh anak diberikan kepada ibunya.87
Lalu, dengan pernikahan campuran yang dilakukan oleh suami dan
istri, mengharuskan anak untuk berada di bawah pemeliharaan salah satu
dari orang tua, seperti disebutkan dalam Pasal 29 ayat 2 dan 3 Undang-
undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga disebutkan
bahwa, dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan campuran, anak berhak
untuk memilih atau berdasarkan keputusan Pengadilan berada dalam
85 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 86 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h., 329. 87 Instruksi Presiden Indonesia Nomo 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab
XIV Pasal 98 Ayat (1) – (3).
89
pengasuhan salah satu dari orang tuanya. Jika anak belum mampu
menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia,
demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah
wajib mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak
tersebut.88 Maka ketika hakim memberikan hak asuh kepada ibu, menurut
penulis sudah tepat, mengingat juga perjanjian yang dibuat pada kronologi
di atas tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga perjanjian
dianggap tidak pernah terjadi. Maka ketentuan daripada perceraian adalah
pemeliharaan anak yang diberikan kepada salah satu dari kedua orang tua.
Ulama fikih memiliki perbedaan pendapat mengeni batas usia anak
dikatakan sudah mumayiz. Ulama Hanafiyah mengatakan batas usia
mumayiz adalah ketika anak mencapai usia tujuh tahun, sedangkan Ulama
Syafi’yah berpendapat bagi anak perempuan batas usia mumayiz adalah
ketika ia sudah menikah dan melakukan hubungan suami istri bagi anak
perempuan, sudah sudah balig bagi anak laki-laki. Akan tetapi, para ulama
fikih sepakat untuk lebih mengedepankan kaum wanita dalam untuk
mengurus hadanah anak karena sifat lembut, kasih sayang, dan sabar dalam
mendidik yang mereka miliki.89 Dalam perkara ini, anak pertama adalah
perempuan berumur 8 tahun dan anak laki-laki berumur 5 tahum. Sehingga
jika merujuk kepada kategori belum mumayiz menurut Ulama Syafi’iyah,
maka kedua anak dikatakan belum mumayiz. Maka pernyataan bahwa
kecendrungan pengasuhan anak kepada ibu karena sifat yang dimiliki
wanita telah menguatkan pemberian hak asuh anak kepada ibu dalam
perkara ini.
Penulis juga berpendapat, jika melihat kepada duduk perkara yang
terdapat pada salinan putusan, tidak terdapat pernyataan yang mengatakan
istri nusyuz ataupun yang menyebabkan dicabutnya hadanah dari istri
seperti yang disyaratkan dalam berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-
88 Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. 89 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu 10/ Wahbah az-Zuhaili; Penerjemah,
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h., 61 dan 79.
90
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur bahwa
kekuasaan orang tua terhadap anaknya dapat dicabut berdasarkan keputusan
pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajiban terhada anaknya atau
ia berkelakuan buruk sekali.90 Sehingga dengan argumentasi di atas, penulis
sepakat dengan apa yang telah diputuskan Majelis Hakim pada tingkat
pertama kecuali hakim anggota yang melakukan dissenting opinion dan
Majelis Hakim Kasasi sudah tepat dan sesuai dengan hukum positif dan
hukum Islam.
90 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab X,
Pasal 49 Ayat (1).
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perjanjian mengenai hak asuh anak sebagai akibat dari perceraian yang dibuat
sebelum pengadilan menjatuhkan putusan hukum adalah sah dan dibenarkan
dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3713K/Pdt/1994. Akan tetapi,
setelah ditelaah lebih lanjut mengenai isi dari perjanjian dan kemudian syarat
sah suatu pejanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
maka ditemui bahwa perjanjian hak asuh anak yang dibuat di depan mediator
Pengadilan Agama Depok tidak memenuhi syarat keempat yang terdapat
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu adanya sebab yang halal. Syarat ini
dikategorikan syarat objektif. Dalam ketentuan hukum perdata, jika syarat
objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dikatakan tidak sah. Adapun sebab
atau akibat dari perjanjian ini adalah bahwa setelah perceraian, hak asuh anak
secara fisik akan menjadi tanggung jawab ayah dan ibu si anak bersama
secara permanen. Maka pengaturan hak asuh yang tidak dilimpahkan kepada
salah satu dari kedua orang tua ini lah yang menyebabkan sebab itu dilarang
karena telah melanggar kesusilaan. Bagaimana mungkin laki-laki dan
perempuan yang sudah bercerai, yang sudah tidak memiliki ikatan baik secara
fisik maupun hukum akan merawat anak bersama, apalagi dalam satu atap.
Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang
jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan
dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Sehingga isi dari surat
perjanjian hak asuh anak yang dibuat ketika mediasi tidak berpengaruh
terhadap ketentuan pengasuhan anak pasca perceraian.
2. Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Kasasi membatalkan putusan
pengadilan banding No. 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg. yang membatalkan
putusan pengadilan tingkat pertama No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk. sehingga
92
hak asuh anak diberikan kepada ibu anak dan perjanjian yang dibuat ketika
mediasi dianggap tidak terjadi sehingga tidak berkekuatan hukum tetap.
Adapun yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim Kasasi adalah bahwa si
perjanjian tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal
1337 KUHPerdata. Hakim mempertimbangkan, dengan diberlakukannya isi
perjanjian tersebut akan memberikan ketidakpastian hukum kepada si anak
akarna tidak adanya tempat tinggal yang tetap bagi anak jika pengasuhan
dilakukan secara bergantian. Padahal tujuan dari pembuat undang-undang
dalam meberikan hak hadanah kepada pengadilan untuk menetapkan hak
hadanah pada ibu atau bapak setelah bercerai adalah untuk memberikan
kepastian hukum bagi anak-anak bertempat tinggal setelah perceraian kedua
orang tuanya. Sehingga isi dari perjanjian yang sudah dibuat mengenai hak
asuh anak tidak dapat direalisasikan. Maka dari itu, hak asuh anak jatuh
kepada ibu si anak. Mengenai hak asuh yang diberikan kepada ibu si anak
juga telah sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 bahwa
pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belumu berumur 12 tahun
dalam perkara ini kedua anak berumur 8 tahun dan 5 tahun jauh kepada
ibunya. Hak hadanah ini diberikan selama ibu belum meninggal atau menikah
dengan laki-laki lain dan pada ibunya tidak terdapat hal-hal yang
menyebabkan hak asuh anak dicabut darinya.
B. Saran
Berdasarkan studi analisis yang sudah penulis lakukan, maka penulis perlu
untuk memberikan saran-saran sebagai bahan pertimbangan di kemudian hari.
Saran-saran tersebut penulis tujukan kepada:
1. Akademisi, hasil analisis ini dapat menjadi landasan untuk melakukan
penelitian selanjutnya. Penelitian ini belum komprehensif, kepada para
peneliti yang tertarik untuk meneliti permasalahan yang berkaitan dengan
penelitian ini dapat mengkaji lebih dalam mengenai ketentuan kausa halal
dalam perjanjian dan pemberlakuan perjanjian pengasuhan anak secara
93
bersama oleh suami dan istri pasca perceraian. Dan para akademisi hendaklah
senantiasa mengembangkan dan memperdalam khazanah keilmuannya.
2. Pengadilan dalam memutus perkara hendaknya memperhatikan dan meneliti
dengan bijak setiap masalah hukum yang dihadapi. Diharapkan dalam
memutus perkara pada setiap tingkat peradilan tidak hanya melihat sisi
normatif pihak yang berperkara saja, tetapi lebih memperhatikan lagi sisi
sosiologis dari para pihak. Dalam menjatuhkan putusan, diharapkan
pengadilan memegang prinsip progresif sehingga setiap hasil putusan yang
diberikan dapat menyesuaikan perkembangan kebutuhan masyarakat.
94
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman dan Soerjono. Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta,
2003).
Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis
(Jakarta: Chandra Pranata. 1993).
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika. 2007.
Cet. Kedua).
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2007.
Cet. Pertama).
Asikin, Zainal dan Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2004).
Asshiddiqie, Jimly. Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara (Jakarta: Ind.
Hill.Co. 1997. Cet. Pertama).
As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats. Sunan Abu Daud.
(Lebanon:Dar Ar-Risalah Al-Alamiyah). Juz 3.
Bintania, Aris. Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha
(Jakarta: Rajawali Pres). 2012. Ed. 1. Cet. 1.
Budiono, Herlien. Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2006. Cet. Pertama).
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama:
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di
Jakarta. Ilmu Fiqh (Jakarta: Departemen Agama. 1984. Cet. Kedua).
Fauzan, M. Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata
(Jakarta: Prenadamedia Group. 2014. Cet. Pertama).
Ghazaly, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
2014. Cet. Keenam).
Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak: Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia (Bandung: Refika Aditama. 2006).
95
Harahap, M. Yahya. Segi-segi Hukum Perjanjian (Bandung: PT. Alumni, 1986,
Cet. Kedua).
Harahap, M. Yahya. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perkara Perdata. (Jakarta: Sinar Grafika. 2008).
Hasanuddin, M dan Oni Sahroni. Fikih muamalat: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekomoni Syariah (Jakarta; PT. RajaGrafindo
Persada. 2016. Cet. Pertama).
Jahar, Asep Saepudin, dkk. Hukum Keluarga, Pidana & Ekonomi (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2013. Edisi Pertama).
Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group. 2017. Cetakan Kedua).
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana. 2010. Cet.
Keenam).
Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Yogyakarta:
Liberty. 2007. Cet. Kelima).
Moleong, Lexi. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya.
2005).
Muhajir, Wahbah Muhajir. Fiqih Islam Wa adillatuhu 10/ Wahbah az-Zuhaili;
Penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani. 2011. Cet.
Pertama).
Muljadi, Kartini. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Jakarta: PT. Raja Grafindo.
2004. Cet. Kedua).
Mulyadi, Lilik. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti. 2009).
Pati, Ahmad dan Sakka Miru. Hukum perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2011. Cet. Ketiga).
Pitlo, dan A. dan Sudikno Mertokusumo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993).
Rasyid, Raihan A. Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Rajawali Press. 2002).
96
Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Progresif (Jakarta:
Sinar Grafika. 2014. Cet. Ketiga).
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Rajawali Persamaan.
2013).
Rozalinda. Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor
Keuangan Syariah (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2017. Cet. Kedua).
Subekti. Hukum Perjanjian (Jakarta: PT. Intermasa, 2001, Cet. Kedelapanbelas).
Syamsuddin, M. Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim (Jakarta: Kencana
Prenada Media group. 2012. Cet. Pertama).
Syarifuddin,Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Munakahat dan
Undang-Undang (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. 2014. Cet.
Kelima).
Tarigan, Azhari Akmal dan Amiur Nuruddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Jakarta: Prenadamedia Group. 2016. Cet. Keenam).
Jurnal dan Makalah Hukum
Antasari, Rina. “Pelaksanaan Mediasi dalam Sistem Peradilan Agama (Kajian
Implementasi Mediasi dalam Penyelesaian Perkara di Pengadilan Agama
Kelas I A Palembang)”. Jurnal.radenfatah.ac.i. Insitut Agama Islam Negeri
Raden Fatah Palembang Indonesia. Intizar. Vol. 19. No. 1. (2013).
Aulia, Rizqah Zikirillah. “Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi oleh Pengadilan
Agama Pekanbaru”. JOM Fakultas Hukum. Vol. 2. No. 2. Oktober 2015.
Gumanti, Retna. “Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata)”. Jurnal
Pelangi Ilmu. e-jurnal.ung.ac.id. Vol. 5. No. 1. 2012.
Istianah, Noufa dan Fakhrurrazil. “Hak Asus Anak (Suatu Analisa terhadap Putusan
Mahkamah Syar’iyah Langsa tentang Pengalihan Hak Asuh Anak)”. Jurnal
Hukum Islam dan Perundang-undangan Al-Qadha Vol. 4 No. 1 (Tahun
2017).
Lestari, Tri Wahyu Surya. “Komparasi Syarat Keabsahan ‘Sebab yang Halal’ dalam
Perjanjian Konvensional dan Perjanjian Syariah”. Jurnal Yudisia. Vol. 8. No.
2. Desember 2017.
97
Muhajir, Achmad. “Hadanah dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor
Pendidikan Rumah)”. Jurnal LPPM Universitas Indraprasta. Vol. 2. 2017.
Muhajir, Ahmad. “Hadhanah dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor
Pendidikan Rumah)”. Jurnal SAP. Vol.2 No.2 (Desember 2017).
Mursalin, Supardi. “Hak Hadhanah Setelah Perceraian (Pertimbangan Hak Asuh
bagi Ayah atau Ibu)”. Jurnal Mizani IAIN Bengkulu. Vol. 25. No. 25.
(Agustus, 2015).
Nuryanto. Hadanah dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam. Jurnal STAIN Jurai
Siwo Metro Lampung. Vol.14. No. 2. 2014.
Prayogo, R. Tony. Penerapn Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan Mahkamah
Agung No. 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil dan dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Pengujian Undang-undang. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
undangan Kementrian Hukum dan HAM, E-jurnal.peraturan.go.id.
Putu, Ni dkk. Penetapan Hak Asuh Anak Terkait dengan Perceraian Orang Tua
(Studi Kasus Perkara No. 182/Pdt.G/2017/PN.Sgr). Jurnal Universitas
Udayana. Vol. 2. No. 6. tahun 2014.
Sanjaya, Umar Haris. Keadilan Hukum pada Pertimbangan Hakim dalam Memutus
Hak Asuh Anak. Jurnal Universitas Airlangga.Vol.30. No.2. 2015.
Sunarmi. “Dissenting Opinion sebagai Wujud Transparansi dalam Putusan
Peradilan”. Jurnal Equality. Vol. 12 No. 2 Agustus 2007.
Skripsi
Muliyana, “Analisis Putusan perkara Hadhanah di Pengadilan Agama Kelas 1.A
Kendari Nomor 0459/Pdt.G/2015/PA.Kdi Perspektif Kompilasi Hukum
Islam” (Kendari: Skripsi Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Kendari 2016).
Fauziah, Vicky. “Hak Hadhanah dan Nafkah Anak (Studi Putusan di Pengadilan
Agama Serang, Pengadilan Tinggi Agama Banten, dan Kasasi di Mahkamah
Agung)”. (Jakarta: Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Jakarta 2017).
98
Bahri, Samsul. “Tesis Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia (Studi Peran
Yurisprudensi Mahkamah Agung Dalam Positivisasi Hukum Islam)”.
Program Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Noviani, Fatma. “Interaksi Mahasiswa-mahasiswi UIN SUSKA Riau yang Tinggal
Serumah di Lokasi Kulih Kerja Nyata (KKN) Menurut Hukum Islam”.
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Keluarga 2018.
Internet
Dinna Sabriani, hukumonline.com, Hukum Keluarga dan Waris;
/klinik/detail/ulasan/cl7013/hak-asuh-anak/.
Mursid, Fauziah, dkk. Republika.co.id: /berita/koran/halaman-
1/16/10/03/oegjc619-tingkat-perceraian-mengkhawatirkan.
Undang-undang
Instruksi Presiden Indonesia Nomo 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Salinan Putusan Mahkamah Agung No. 638 K/Ag/2015.
Salinan Putusan Pengadilan Agama Depok No. 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk.
Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No.
227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang Republik Indonesia 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Revisi atas Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
LAMPIRAN