273
EMISI GAS CO2 PADA LAHAN GAMBUT YANG DIBUKA UNTUK LAHAN BUDIDAYA: STUDI KASUS DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
CO2 EMISSION FROM AGRICULTURAL PEATLAND: A CASE STUDY IN WEST KALIMANTAN
Heri Wibowo1, Tuti Sugiyarti
2, Setiari Marwanto
1, Fahmuddin Agus
1
1 Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114.
2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat, Jl. Budi Utono No. 45, Siantan,
Pontianak 78241.
Abstrak Isu lingkungan terkait emisi gas CO2 sering menjadi kendala
dalam tata kelola lahan gambut di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari tingkat emisi gas CO2 dari gambut yang masih berupa belukar
dibandingkan dengan gambut yang dibuka untuk budidaya pertanian
(nenas). Lokasi penelitian berada di Provinsi Kalimantan Barat. Lahan
gambut belukar terdapat di lokasi yang dekat dengan gambut budidaya
pertanian. Pengamatan dilakukan sebanyak dua kali sebulan mulai bulan
Februari hingga Juli 2014 dengan total 11 pengamatan (n=11). Laju emisi
gas CO2 gambut diukur menggunakan IRGA (Infra Red Gas Analyzer) Li-
COR 802, yang dilakukan bersamaan dengan pengukuran suhu tanah, suhu
udara, suhu chamber dan kedalaman muka air tanah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat emisi gas CO2 lahan gambut belukar (50,33 ±
23,09 ton ha-1
tahun-1
) sedangkan lahan gambut pertanian budidaya nenas
sebesar (47,01 ± 32,18 ton ha-1
tahun-1
) dan tidak berbeda nyata pada galat
5%. Hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi gas CO2
menunjukkan korelasi yang nyata pada taraf 1% korelasi Pearson. Faktor
yang paling berpengaruh terhadap tingkat emisi gas CO2 lahan gambut
adalah pengelolaan lahan dan kedalaman muka air tanah. Hasil ini
menunjukkan bahwa lahan gambut yang dibuka untuk budidaya nenas
memiliki tingkat emisi CO2 yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan
belukar gambut. Pengelolaan lahan gambut dengan budidaya pertanian
(nenas) disarankan untuk menekan laju emisi CO2 dari lahan gambut.
Kata kunci: Gambut, emisi, gas CO2, gambut budidaya, gambut belukar
Abstract Environmental issue concern to the CO2 emission sometime has
been a problem in peatland management in Indonesia. This research aims
to study the level of CO2 emissions from peatland under shruband
pineapple (anenas comosus). The study was conducted in West Kalimantan.
The peatland site under shrub location was close (less than 1 km distance)
to peat cultivated with pineapple (anenas comosus). Observations were
20
Heri Wibowo et al.
274
made twice a month from February to July 2014 with total measurement
eleven times (n=11). CO2 flux were measured using Infra red Gas Analyzer
(IRGA) Li-COR 802. Some parameters included soil temperature, air
temperature, chamber temperature and depth of water table were also
measured. The results showed that the level of peatshrub CO2 fluxs (50.33 ±
23.09 tons ha-1
year-1
) while the pineapple cultivation of peatlands for
agriculture (47.01 ± 32.18 tons ha-1
year-1
) and not significantly different at
(p<0.005) . The correlation between the water table depth with CO2 flux
were significant at 1% level of Pearson correlation. In this study, peat
management and water table depth were most influenced CO2 emissions.
These results indicated that CO2 emission on the peatland under pineapple
(anenas comosus) was relatively lower compared to peatland under shrub
(non cultivated). Therefore, the cultivation of pineapple (anenas comosus)
could be an option to cultivate peatland.
PENDAHULUAN
Gambut merupakan hasil pelapukan bahan organik seperti dedaunan, ranting kayu
dan semak dalam keadaan jenuh air dan dalam jangka waktu yang sangat lama (ribuan
tahun). Di alam, gambut sering bercampur dengan tanah liat. Adapun untuk disebut
sebagai tanah gambut harus memenuhi beberapa syarat (Soil Survey Staff, 1996), yaitu
apabila dalam keadaan jenuh air mempunyai kandungan C-organik minimal 18% jika
kandungan liatnya ≥ 60%. Atau mempunyai kandungan C-organik 12% jika tidak
mempunyai liat (0%) atau mempunyai kandungan C-organik lebih dari 12% + % liat x 0,1
jika kandungan liatnya antara 0 - 60%. Apabila dalam kondisi tidak jenuh air, kandungan
C-organik minimal 20%.
Secara alami gambut akan berada di lapisan atas, dan di bawahnya terdapat tanah
aluvial dengan kedalaman yang bervariasi. Lahan dengan lapisan gambut dengan
ketebalan di bawah 50 cm disebut lahan atau tanah bergambut, sedangkan lahan dengan
ketebalan lapisan gambut lebih dari 50 cm disebut dengan lahan gambut. Berdasarkan
kedalamannya, lahan gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu lahan gambut dangkal
dengan kedalaman 50-100 cm, lahan gambut sedang dengan kedalaman 100-200 cm,
lahan gambut dalam dengan kedalaman 200-300 cm, serta lahan gambut sangat dalam
dengan kedalaman lebih dari 300 cm. Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut
dibedakan atas gambut eutrofik yang subur, mesotrofik yang agak subur dan oligotrofik
yang tidak subur.Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan
oligotrofik (Radjagukguk et al., 1997).
Degradasi lahan gambut bisa terjadi bila pengelolaan lahan tidak dilakukan dengan
baik, sehingga laju dekomposisi terlalu besar dan atau terjadi kebakaran lahan yang
menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) besar. Meniadakan emisi GRK dalam
Emisi Gas CO2 pada Lahan Gambut yang Dibuka untuk Lahan Budidaya
275
pemanfaatan lahan gambut adalah mustahil, karena proses dekomposisi adalah proses
alamiah yang juga diperlukan dalam penyediaan hara bagi tanaman (Subiksa et al., 2011).
Salah satu fungsi ekologi lahan gambut adalah sebagai simpanan karbon, dimana
total karbon lahan gambut di Indonesia sekitar 44,5 GT (Rieley, 2008). Konversi hutan
rawa gambut merupakan sumber emisi gas CO2 (Hooijer, 2006 dalam Verwer, 2008).
Menurut Pirkko et al.(1990), kontribusi gas CO2 terhadap efek rumah kaca sebesar 48%,
kemudian diikuti kontribsi ozon sebesar 26%, metan 8%, NO2 6%, serta gas lainnya
sebesar 2%. Sedangkan menurut IPPC(2001), kontribusi gas CO2 terhadap pemanasan
global sebesar 60%. Sejak tahun 1980, konsentrasi CO2 di atmosfir meningkat sekitar 0,4
% setiap tahun, sekarang konsentrasi CO2 di atmosfir diperkirakan sebesar 367 ppm.
Dariah et al., (2011), menyatakan bahwa emisi dari deforestasi dan penggunaan lahan
gambut diperkirakan menyumbang >50% total emisi di Indonesia
Ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap emisi gas rumah kaca diantaranya
adalah proses dekomposisi gambut sendiri, pada prinsipnya, faktor yang berpengaruh
terhadap laju emisi GRK identik dengan faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas
mikroorganisme dekomposer bahan organik (Dariah et al., 2011). Faktor pendorong
terjadinya emisi gas rumah kaca yang berlebihan di lahan gambut antara lain adalah
kebakaran lahan, pembuatan saluran drainase dan pengelolaan lahan (Subiksa et al.,
2011).
Faktor lain seperti suhu, kedalaman muka air tanah dan jarak dari drainase bisa
sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain terhadap laju emisi gas CO2. Menurut
Agus et al. (2010), suhu bukan merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap
laju emisi, karena perbedaan suhu antar titik pengukuran di lapangan tidak terlalu nyata.
Hal ini umum terjadi di daerah tropika, dimana kisaran suhu maksimum dan minimum
tidak terlalu lebar. Hasil penelitian Moore et al., (1993) di laboratorium dengan
menggunakan kolom menunjukkan bahwa pada kedalaman muka air tanah 0, 10, 20, 40
dan 60 cm, emisi CO2 berkorelasi positif dengan kedalaman muka air tanah. Semakin
dalam muka air tanah emisi CO2 makin tinggi, sedangkan untuk methan berlaku
sebaliknya. Hasil penelitian Agus et al., (2010) di Kalimantan Tengah juga menunjukkan
bahwa tinggi muka air tanah merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap emisi
CO2 pada lahan gambut.
Penggunaan pupuk juga bisa memicu terjadinya emisi gas CO2, CH4, dan N2O.
Karena hal inilah pertanian dinyatakan sebagai kontributor utama gas rumah kaca (IPCC,
2001). Menurut Green et al., (1995), pemupukan dapat meningkatkan dekomposisi residu
tanaman dan karbon tanah. Namun demikian pemupukan diperlukan karena secara
inheren tanah gambut sangat miskin mineral sehinga memerlukan input unsur hara yang
mencukupi (Subiksa et al,. 2011).
Heri Wibowo et al.
276
BAHAN DAN METODE
Deksripsi lokasi penelitian
Lokasi penelitian adalah di dusun Banjarsari, Desa Rasau Jata II, Kecamatan
Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Secara Geografis lokasi berada di
titik koordinat 00° 14’ 27,0” Lintang Utara, dan 109° 24’ 44,7” Bujur Timur. Kabupaten
Kubu Raya terdiri dari 9 kecamatan, 101 desa dan 370 dusun dengan luas keseluruhan
6.985,20 km².
Gambar 1. Peta wilayah Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat
Lokasi penelitian mempunyai bentang lahan yang cukup luas, dan merupakan
lahan pembukaan hutan dengan kedalaman gambut sekitar 379 cm. Untuk lokasi budidaya
nenas, mulai tanam bulan September tahun 2013, dan sebelumnya merupakan bekas
tanaman jagung. Luasan lahan untuk usahatani nenas sekitar 1,5 ha dan menyatu dengan
lokasi lahan semak untuk penelitian. Sistem drainase di lokasi penelitian cukup bagus
dimana di sekeliling lahan telah dikelilingi parit yang akan mengalirkan air keluar masuk
lokasi. Lahan semak belukar pengukuran emisi CO2 merupakan bentang lahan dengan
tanaman yang memiliki ketinggian antara 30 - 150 cm yang tidak dibudidayakan. Jenis
nenas adalah Ratu Raya dengan jarak tanam 120 x 60 cm.
Emisi Gas CO2 pada Lahan Gambut yang Dibuka untuk Lahan Budidaya
277
Perlakuan dan pengukuran emisi gas CO2
Jenis perlakuan pemupukan pada lahan budidaya nenas disajikan pada Tabel 1 di
bawah ini.
Pengukuran gas CO2 dilakukan menggunakan IRGA (Infra Red Gas Analyzer) Li-
COR 820 dengan metoda closed chamber. Pengukuran dilakukan setiap selang waktu 2
minggu mulai dari bulan Februari sampai bulan Juli tahun 2014. Pengukuran dilakukan
pada pagi hari dimulai sekitar pukul 09.00 WIB. Waktu pengukuran pada kedua lahan
semak belukar dan lahan budidaya nenas dilakukan secara bersamaan.
Tabel 1. Perlakuan pemupukan di lahan budidaya nenas
Perlakuan Pupuk Spesifik (ton/ha) Urea
(kg/ha)
SP-36
(kg/ha)
KCl
(kg/ha)
Kieserit
(kg/ha)
CuSO4
(kg/ha)
A Pugam 0,50 300 - 150 100 15
B Pukan Ayam 2,50 300 125 150 100 15
C Dolomit 0,25 300 125 150 100 15
D
Tanpa
Amelioran - 300 125 150 100 15
E
Pukan Ayam 0,63
50
-
-
-
-
Dolomit 0,80
Trichoderma 4 l/ha
NPK 150
Titik-titik pengukuran untuk lahan semak belukar dibuat 5 transek, setiap transek
ada 5 titik pengukuran dengan jarak antar titik sekitar 12,5 m serta jarak antar transek
sekitar 25 m. Sedangkan untuk budidaya nenas pengukuran emisi gas CO2 dilakukan di
petakan perlakuan yang mempunyai ukuran 20 x 20 m, dimana setiap perlakuan diukur 5
titik.
Fluks CO2 dihitung dengan mengikuti persamaan berikut (Madsen et al., 2009) :
Dengan:
fc = fluks CO2 (µmol m-2
detik-1
)
P = tekanan udara rata-rata yang terukur IRGA (kPa)
h = tinggi chamber (cm)
R = konstanta gas ideal (8,314 Pa m3o
K-1
mol-1
)
T = suhu udara chamber (oK)
C/ t = perubahan konsentrasi CO2 setiap perubahan waktu, slope persamaan linier
konsentrasi dengan waktu (ppm detik-1
)
Heri Wibowo et al.
278
Variabel-variabel lain yang diukur adalah suhu udara, suhu tanah, suhu chamber,
kedalaman muka air tanah, dan tinggi chamber di keempat sisi chamber (untuk
mendapatkan tingi rata-rata chamber).
Analisis statistik
Data pengamatan dianalisis dengan microsoft excel untuk memperoleh persamaan
regresi linier fluks CO2. Fluks gas CO2 dihitung dengan persamaan di atas (Madsen et al.,
2009) dengan program excel. Selanjutnya perbandingan antara fluks CO2 di lahan semak
belukar dengan lahan budidaya nenas dianalisis dengan T-test SPSS 16. Begitu juga
hubungan antara suhu udara dan kedalaman muka air tanah dengan fluks CO2 dianalisis
dengan SPSS 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran emisi gas CO2 disetiap pengamatan sangat fluktuatif. Tingkat
emisi gas CO2 di lahan gambut semak belukar Kalbar berkisar antara 30 - 72 ton ha-1
tahun-1
, sedangkan emisi gas CO2 pada lahan budidaya nenas berkisar antara 24 - 64 ton
ha-1
tahun-1
. Rata-rata emisi gas CO2 pada lahan gambut semak belukar di Kalbar sebesar
50,33±23,09 ton ha-1
tahun-1
. Sedangkan rata-rata emisi gas CO2 pada lahan gambut yang
diusahakan dengan budidaya nenas sebesar 47,01 ± 32,14 ton ha-1
tahun-1
. Emisi gas CO2
lahan semak belukar lebih tinggi 7,06% daripada emisi di lahan budidaya nenas, tetapi
tidak berbeda nyata pada uji t-test two sample assuming equal varians pada galat 5%.
Tutupan lahan semak belukar relatif lebih lebat daripada lahan budidaya nenas, kondisi ini
kemungkinan turut mempengaruhi emisi gas CO2 di lahan semak belukar sehingga lebih
tinggi daripada lahan budidaya nenas. Dimana respirasi akar berpengaruh besar pada
emisi gas CO2.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas
perakaran merupakan tempat yang disukai oleh mikroba dibandingkan dengan bulk soil
(Petersonet al., 2003). Dengan meningkatnya populasi mikroba, maka aktivitas mikroba
di sekitar perakaran juga akan meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Handayani et al., (2010), pengaruh respirasi akar pada perkebunan kelapa sawit di lahan
gambut menunjukkan emisi CO2 pada zona perakaran (rhizosphere) lebih tinggi
dibanding di luar zona perakaran, sekitar 38% dari emisi gas CO2 merupakan hasil
respirasi akar. Menurut Dannoura et al,. (2005), proses respirasi tanah dan respirasi akar
di bawah tanah memainkan peran penting dalam siklus karbon biosfer.
Emisi Gas CO2 pada Lahan Gambut yang Dibuka untuk Lahan Budidaya
279
Gambar 2. Grafik emisi gas CO2 dilahan gambut penelitian di Kalbar
Hubungan antara suhu udara dengan emisi gas CO2 pada lahan gambut belukar
mempunyai korelasi yang tidak nyata pada taraf 5% korelasi Pearson dengan koefisien
korelasi sebesar -0,111. Hasil penelitian Agus et al., (2010) menunjukkan bahwa suhu
bukan merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap laju emisi. Sedangkan
korelasi antara kedalaman muka air dengan emisi gas CO2 pada lahan gambut belukar
nyata pada taraf 1% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar -0,178 dengan
standar deviasi kedalaman muka air 18,66. Semakin dalam muka air, terlihat bahwa emisi
gas CO2 semakin rendah dan mengikuti persamaan y = -0,220x + 63,38 dengan nilai R2=
0,031 (y = emisi gas CO 2, x = kedalaman muka air). Hasil ini berbeda dengan hasil
penelitian Moore et al., (1993). Kondisi di lapang bisa dikatakan sangat panas, dan ada
kemungkinan tanah gambut menjadi kering. Menurut Dariah et al.,(2011) pada kedalaman
air tanah yang lebih dalam, tanahnya terlalu kering, kondisi ini tidak ideal untuk aktivitas
mikroba, sehingga proses dekomposisi menjadi terhambat, dan tentunya berdampak paka
penurunan emisi gas CO2. Jauhiainen et al., (2008) menyatakan bahwa hubungan antara
kedalaman drainase dengan laju emisi tidak selalu linear.
Heri Wibowo et al.
280
Gambar 2. Persamaan regresi antara suhu udara dengan emisi gas CO2dan kedalaman
muka air dengan emisi gas CO2 lahan belukar di Kalbar
Korelasi antara suhu udara dengan emisi gas CO2 pada lahan budidaya nenas
signifikan pada taraf 1% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar 0,252.
Semakin tinggi suhu udara menunjukkan bahwa emisi gas CO2 juga semakin tinggi
meskipun dengan R² = 0,063. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Moore et al., (1993)
pada skala laboratorium yang menunjukkan emisi CO2 dan gas methan dari tanah gambut
yang diletakkan dalam kolom suhu 23oC lebih besar 6,6 kali lipat daripada suhu 10
oC.
Emisi Gas CO2 pada Lahan Gambut yang Dibuka untuk Lahan Budidaya
281
Gambar 3. Persamaan regresi antara antara suhu udara dengan emisi gas CO2 dan
kedalaman muka air dengan emisi gas CO2 lahan budidaya nenas di Kalbar
Korelasi antara kedalaman muka air dengan emisi gas CO2 pada lahan budidaya
nenas signifikan pada taraf 1% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar 0,220.
Semakin dalam muka air menunjukkan bahwa emisi gas CO2 juga semakin tinggi dengan
R² = 0,048. Hal ini tentunya karena semakin dalam muka air tanah maka kondisi aerob
tanah makin tinggi. Emisi CO2 terjadi dalam kondisi aerob dimana mikroorganisme
dekomposer akan bekerja secara optimal, serta jumlah dan keragamanya semakin banyak.
Hal ini yang akan memicu meningkatnya emisi gas CO2 (Dariah et al., 2011).
Heri Wibowo et al.
282
Emisi gas CO2 pada lahan budidaya dengan perlakuan amelioran yang berbeda
memberikan hasil yang berbeda pula. Emisi gas CO2 dari perlakuan kontrol (D) lebih
tinggi dan berbeda nyata daripada perlakuan Pugam (A), perlakuan dolomit (C) serta
perlakuan pukan ayam petani (E), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan pukan
ayam (B) (Gambar 4). Bahan amelioran seperti pugam (pupuk gambut) efektif dalam
meningkatkan hasil tanaman jagung serta menurunkan emisi GRK di tanah gambut
(Subiksa, 2009).
Gambar 4. Emisi gas CO2 pada perlakuan amelioran di lahan budidaya nenas Kalbar
KESIMPULAN
Emisi gas CO2 lahan semak belukar di Kalbar sebesar 50,33 ± 23,09 ton ha-1
tahun-
1 lebih tinggi daripada emisi di lahan budidaya nenas sebesar (47,01 ± 32,18 ton ha
-1
tahun-1
), tetapi tidak berbeda nyata pada uji t-test two sample assuming equal varians
pada galat 5%. Hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi gas CO2
menunjukkan korelasi yang nyata pada taraf 1% korelasi Pearson. Pengelolaan lahan
pertanian memberi kontribusi penurunan emisi gas CO2. Budidaya nenas merupakan salah
satu pilihan untuk membuka lahan gambut yang memberikan nilai ekonomi tetapi tidak
meningkatkan laju emisi gas CO2.
Emisi Gas CO2 pada Lahan Gambut yang Dibuka untuk Lahan Budidaya
283
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih yang sebesarnya kepada ICCTF, tim kelompok peneliti Balai
Penelitian Tanah dan Tim pengukuran gas rumah kaca di Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Kalimantan Barat atas bantuan dan kerjasamanya dalam pelaksanaan penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF),
Bogor, Indonesia.
Agus, F., A. Mulyani, Wahyunto, Herman, A. Dariah, E. Susanti, N.L. Nurida, dan
Jubaedah. 2010. Penggunaan lahan gambut: Trade off santara emisi CO2 dan
keuntungan ekonomi. Program Kegiatan Pengendalian Perubahan Iklim.
Kerjasama antara: Asisten Deputy Iptek Pemerintah, Deputy Bidang
Pendayagunaan Iptek, Kementrian Riset dan Teknologi dengan Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, BadanLitbang Pertanian, Kementerian
Pertanian.
Dariah, A., E.Susanti, dan F.Agus. 2011.Simpanan Karbon dan Emisi CO2 Lahan
Gambut. Balai Penelitian Tanah. http://balittanah.litbang.deptan.go.id
/ind/dokumentasi/lainnya/ai%20 dariah.pdf. Diakses 14 Juli 2014.
Dariah, A., Jubaedah, Wahyunto, dan J. Pitono. 2013. Pengaruh Tinggi Muka Air Saluran
Drainase, Pupuk, dan Amelioran Terhadap Emisi CO2 Pada Perkebunan Kelapa
Sawit Di Lahan Gambut. Jurnal Littri 19(2), Juni 2013. Hlm 66-71.
Donnoura, M. And M. Jomura. 2005. Measurement of Root Respiration Before and After
Forest Fire-evaluation of The Role of Root in the Soil Respiration.
http://www.ars.usda.gov/research/publication.htm. Diakses 14 Juli 2014
Handayani, E. Meine, V. Noowidwijk, K. Idris, S. Sabiham. and S. Djuniwati. 2010. The
Effctof VariousWater table Depth on CO2Emission at OilPalmPlantation on
West Aceh Peat. J. Trop. Soils. 15,3: 255-260.
IPPC-Intergovernmental Panel on Climate Change (2001) Climate Change 2001. The
Scientific basis. Contribution of Working Group 1 to the Third Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Houghton, J.T., Ding,
Y., Griggs, D.J., Noguer, M., van der linden, P.J., Xiaosu, D. Cambridge
University Press Cambridge..
Jauhiainen, J., S. Limin, H. Silvennoinen, and H. Vasander. 2008. Carbon Dioxide and
Methane Fluxes in Drained Tropical Peat Before and After Hydrological
Restoration. Ecology. 89(12): 3503-3514.
Jyvaskila, Finland. 149-181.
Heri Wibowo et al.
284
Madsen, R., Xu L, and Claassen B. 2009. Surface Monitoring Method for Carbon Capture
and Storage Project. Energy Procedia. 1 :2161-2168.
Marwanto, S. and F. Agu. 2013. Is CO2Flux From Oil Palm Plantations on Peatland
Controlled by Soil Moisture and/or Soil ang Air Temperarure? Mitig Adapt
Strateg Gilob Change. DOI 10.1007/s11027-013-9518-3.
Moore, T. M. and M. Dalva. 1993. The Influence The Temperature and Water-Table
Position On Carbon-Dioxode and Methane Emissions From Laboratory Columns
Of Peatland Soil. J. Soil Sci. 44, 651-664.
Peterson, E. 2003. Importance of Rhizodeposition in The Coupling Of Plant and
Microbial Productivity. European Journal of Soil Science., 54: 741-750.
Pirkko, S. and T. Nyronen. 1990. The Carbon Dioxide Emissions and Peat Production.
International Conference On Peat Production and Use. Jivaskyla. Finland. 1:150-
157.
Radjagukguk, B. 1997. Peat Soil of Indonesia: Location, Classification, and Problems for
Sustainability. In: Rieley and Page (Eds.). pp. 45-54. Biodiversity and
Sustainability of Tropical Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan
UK.
Rieley, J.O., R.A.J. Wüst, J. Jauhiainen, S.E. Page, H. Wösten, A.Hoijer, F. Siegert, S.
Limin, H. Vasander, and M. Stahlhut. 2008. Tropical Peatlands: Carbon Store,
Carbon Gas Emissions and Contribution to Climate Change Processes. Dalam:
M. Strack (ed.), Peatlands and Climate Change. Publisher International Peat
Society, Vapaudenkatu,
Soil Survey staff. 1996. Key to Soil Taxonomy. 7th
edition. USDA. Washington DC.
Subiksa, IG Made. 2009. Pengembangan formula amelioran dan pupuk “pugam spesifik
lahan gambut diperkaya bahan pengkelat untuk meningkatkan serapan hara dan
produksi tanaman > 50% dan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK)> 30%.
Subiksa, I. G. M., W. Hartatik, dan F. Agus. 2011. Pengelolaan Gambut Berkelanjutan:
Pengelolaan Lahan Gambut Secara Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah,
Bogor.
http://balittanah.litbang.deptan.go.id/ind/dokumentasi/lainnya/subiksa2.pdf.
Diakses tanggal 16 Juli 2014.
Verwer, C., P. Van Der Meer, and G-J. Nabuurs. 2008. Review of Carbon Flux Estimates
and Other Greenhouse Gas Emissions from Oil Palm Cultivation on Tropical
Peatlands-Identifying the Gaps in Knowledge. Alterra-rapport 1731. Alterra,
Wageningen. 44.