3
2 Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini akan diuraikan beberapa tinjauan pustaka yang berkaitan dengan penelitian
yang dilakukan. Penyajian pustaka meliputi pembahasan mengenai mitokondria, DNA
mitokondria, gen heteroplasmi, teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dan referensi
analisis yaitu Cambridge Reference Sequence dan Mitomap.
2.1 Mitokondria
Dalam sel biologi, mitokondria adalah suatu organel yang terdapat pada hampir semua sel
eukariotik. Mitokondria kadang-kadang dideskripsikan sebagai “kekuatan sel tanaman”,
karena fungsinya mengubah material organik menjadi energi dalam bentuk ATP melalui
proses fosforilasi oksidatif (Mathews dan Van Holde, 1996). Biasanya sel memiliki ratusan
hingga ribuan mitokondria, dimana dapat menempati sampai dengan 25% sitoplasma.
Mitokondria memiliki DNA sendiri, dan berdasarkan teori endosimbiotik, dapat diturunkan
dari prokariot bebas yang sangat dekat kekerabatannya dengan bakteri rickettsia (Margullis,
1981).
2.1.1 Stuktur mitokondria
Mitokondria banyak terdapat pada sel yang memiliki aktivitas metabolisme tinggi dan
memerlukan banyak ATP dalam jumlah banyak, misalnya sel otot jantung. Jumlah dan
bentuk mitokondria bisa berbeda-beda untuk setiap sel. Mitokondria berbentuk elips dengan
diameter 0,5 µm dan panjang 0,5 – 1,0 µm. Struktur mitokondria terdiri dari empat bagian
utama, yaitu membran luar, membran dalam, ruang antar membran, dan matriks yang
terletak di bagian dalam membran (Cooper, 2000).
Membran luar mitokondria memiliki perbandingan protein dengan fosfolipid sama seperti
pada membran plasma eukariot (sekitar 1:1 dari berat). Membran luar mengandung banyak
integral protein yang disebut porins, yang mengandung internal channel yang luas (sekitar
2-3 nm) yang permeabel kepada seluruh molekul. Molekul yang besar dapat melewati
membran luar dengan transpor aktif. Membran luar juga mengandung enzim yang terlibat
dalam bermacam-macam aktivitas sebagai elongasi dari asam lemak; oksidasi efinefrin
(adrenalin); dan degradasi dari triptofan.
Membran dalam mengandung lebih dari 100 polipeptida yang berbeda dan memiliki rasio
protein dengan fosfolipid yang sangat besar (lebih dari 3:1 dari berat, dimana 1 protein untuk
15 fosfolipid). Sebagai tambahan, membran dalam kaya akan fosfolipid yang tidak biasa,
kardiolipin, dimana dapat mengkarakterisasi membran plasma bakteri. Tidak seperti pada
membran luar, membran dalam tidak mengandung porins, dan sangat impermeabel; hampir
semua ion dan molekul memerlukan transporter khusus untuk masuk atau keluar matriks.
Membran ini merupakan tempat utama pembentukan ATP. Luas permukaan ini meningkat
sangat tinggi diakibatkan banyaknya lipatan yang menonjol ke dalam matriks, disebut krista
(Lodish, 2001). Struktur mitokondria ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur mitokondria Mitokondria berbentuk elips dengan diameter ~5 μm dan panjang 0,5 – 1,0 μm. Strukturnya terdiri atas membran luar, membran dalam, krista, ruang antar membran, dan matriks yang mengandung antara lain materi genetik (mtDNA) dan ribosom. (Gambar diambil dari http://www.kalbe.co.id, tanggal akses 26 Juli 2007).
Karena memiliki DNA sendiri, maka mitokondria dapat melakukan replikasi secara mandiri
(self replicating) seperti sel bakteri. Gambar 2.2 menunjukkan proses replikasi mitokondria
secara lengkap (Childs, 1998). Replikasi terjadi apabila mitokondria ini menjadi terlalu besar
sehingga melakukan pemecahan (fission). Pada awalnya sebelum mitokondria bereplikasi,
terlebih dahulu dilakukan replikasi DNA mitokondria. Proses ini dimulai dari pembelahan
pada bagian dalam yang kemudian diikuti pembelahan pada bagian luar (Childs, 1998).
4
Gambar 2.2 Proses replikasi mitokondria Mitokondria membesar sehingga melakukan pemecahan. Proses dimulai dari replikasi DNA mitokondria, kemudian pemecahan dimulai dari membran dalam mitokondria lalu membran luar. (Gambar diambil dari http://cellbio.utmb.edu/microanatomy, tanggal akses 16 Juli 2007).
2.1.2 Fungsi mitokondria
Meskipun telah diketahui bahwa mitokondria mengubah material organik menjadi energi sel
berupa ATP, mitokondria memainkan peranan penting dalam beberapa fungsi metabolik,
seperti apoptosis sebagai pemrogram kematian sel, glutamat sebagai pelindung luka neuronal
eksitotoksik, cellular proliferation, sintesis heme, dan sintesis steroid.
Beberapa fungsi mitokondria hanya terdapat pada jenis sel tertentu. Sebagai contoh,
mitokondria pada sel liver mengandung enzim yang memungkinkan untuk menguraikan
ammonia, suatu produk buangan dari metabolisme protein. Suatu mutasi pada fungsi ini
dalam regulasi gen dapat menyebabkan penyakit mitokondria.
5
2.2 DNA Mitokondria
Mitokondria memiliki materi genetik sendiri yang karakteristiknya berbeda dengan materi
genetik inti sel. DNA mitokondria (mtDNA) berukuran 16.569 pasang basa dan terdapat
dalam matriks mitokondria, berbentuk sirkuler serta memiliki untai ganda yang terdiri dari
untai heavy (H) dan light (L). Penamaan ini didasarkan pada perbedaan densitas tiap untai,
dimana untai H memiliki berat molekul yang lebih besar dibandingkan dengan untai L
karena untai H memiliki lebih banyak basa-basa purin yang memiliki dua buah cincin pada
strukturnya. Untai L memiliki komposisi basa sebagai berikut T 24,7%, C 31,2%, A 30,9%,
dan G 13,2%. Dapat dilihat bahwa komposisi basa purin (A+G) lebih kecil (44,1%)
dibandingkan dengan basa pirimidin (T+C), yaitu 55,9% (Anderson et al., 1981). Struktur
DNA mitokondria dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.2 DNA mitokondria (mtDNA) manusia MtDNA berbentuk sirkuler dengan ukuran 16.569 pasang basa, memiliki untai ganda yaitu untai H dan L, terdiri dari coding region dan non-coding region, serta terdapat juga daerah pengontrol (control region) yang mengandung D-loop. (Gambar diambil dari http://www.kalbe.co.id, tanggal akses 26 Juli 2007).
DNA mitokondria diketahui mengkode 37 gen, yaitu 13 protein, 22 tRNAs dan 2 rRNAs.
Protein yang diproduksi oleh DNA mitokondria terlibat dalam proses respirasi sel. Pada
genom mitokondria dikode 7 subunit kompleks enzim respirasi I (ND1, ND2, ND3, ND4,
ND4L, ND5, ND6), satu subunit kompleks enzim respirasi III (apositokrom b), 3 subunit
kompleks enzim respirasi IV (COI, COII, COIII), dan 2 subunit enzim ATP sintase (ATPase
6 dan ATPase8). Kebanyakan gen ini ditranskripsi dari untai H, yaitu 2 rRNA,14 dari 22
tRNA dan 12 polipeptida. MtDNA tidak memiliki intron dan semua gen pengode terletak
6
berdampingan (Anderson et al., 1981, Wallace et al., 1992, Zeviani et al., 1998). Sedangkan
protein lainnya yang juga berfungsi dalam fosforilasi oksidatif seperti enzim-enzim
metabolisme, DNA dan RNA polimerase, protein ribosom dan mtDNA regulatory factors
semuanya dikode oleh gen inti, disintesis dalam sitosol dan kemudian diimpor ke organel
(Wallace et al., 1997).
Daerah yang tidak mengode dari mtDNA berukuran 1122 pb, dimulai dari nukleotida 16024
hingga 576 dan terletak diantara gen tRNApro dan tRNAphe. Daerah ini mengandung daerah
yang memiliki variasi tinggi yang disebut displacement loop (D-loop). D-loop memiliki dua
daerah dengan laju polymorphism yang tinggi sehingga urutannya sangat bervariasi antar
individu, yaitu Hypervariable Segment I (HVSI) dan Hypervariable Segment II (HVSII)
(Anderson et al., 1981).
2.2.1 Sifat-sifat dan keunikan DNA mitokondria
DNA mitokondria memiliki sifat unik yang berbeda dengan DNA inti, yaitu hanya
diturunkan dari jalur ibu tanpa mengalami rekombinasi dari DNA mitokondria ayah. Hal ini
dikarenakan lepasnya bagian ekor sel sperma yang berasal dari ayah ketika masuk ke dalam
sel telur yang berasal dari ibu (Childs, 1998). Pola pewarisan ini akan ditunjukkan dalam
Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Pola pewarisan DNA mitokondria Gambar ini menunjukkan bagaimana mtDNA (berwarna hijau) diwariskan dari ibu ke seluruh anaknya. Anak lelaki tidak akan mewariskan mtDNA pada keturunannya. Lelaki direpresentasikan oleh kotak dan perempuan direpresentasikan oleh lingkaran. (Gambar diambil dari http://www.contexo.info/DNA_Basics/Mitochondria.htm, tanggal akses 16 Juli 2007).
Selain itu, DNA mitokondria memiliki laju mutasi yang jauh lebih tinggi daripada DNA inti
akibat tidak adanya mekanisme perbaikan (repairing system) dan dalam mitokondria terdapat
kandungan radikal bebas yang tinggi (Wuryanturi, 2001). Kemudian juga diketahui bahwa
7
tidak seperti DNA inti, DNA mitokondria tidak dilindungi oleh protein histon sehingga
mudah mengalami mutasi (Lewin, 1997).
2.3 Gen Heteroplasmi
Terdapat ribuan molekul mtDNA dalam tiap sel, dan secara umum terdapat beberapa mutasi
patogenik mtDNA, tetapi bukan semuanya. Sehingga sel dan jaringan tercampur mtDNA
normal dan mutan, keadaan ini disebut heteroplasmi. Heteroplasmi juga terdapat pada
tingkat organel yaitu mitokondrion dengan mtDNA normal dan mutan yang bercampur. Pada
orang normal semua mtDNA adalah identik (homoplasmi). Ilustrasi heteroplasmi dapat
dilihat pada Gambar 2.5 dimana sel induk memiliki mitokondria yang materi genetiknya
(mtDNA) ada yang mengalami mutasi dan ada yang tidak. Ketika terjadi pembelahan sel,
mtDNA ini akan didistribusikan secara acak ke sel anak, suatu proses yang disebut
replicative segregation (Finnila, 2000), sehingga terdapat sel anak yang mtDNAnya adalah
tipe liar (wild type) semua atau mutan semua, suatu keadaan yang disebut homoplasmi tadi,
tetapi ada juga sel anak yang memiliki kedua tipe mtDNA, suatu keadaan yang disebut
dengan heteroplasmi.
Gambar 2.5 Ilustrasi heteroplasmi Ilustrasi heteroplasmi menggambarkan pendistribusian mtDNA kepada sel anak dari sel induk yang materi genetiknya mengalami mutasi dan ada yang tidak, sehingga pada sel anak terdapat keadaan homoplasmi dan heteroplasmi (Finnila, 2000).
Terjadinya heteroplasmi erat kaitannya dengan laju mutasi mtDNA yang tinggi. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya mtDNA memiliki laju mutasi yang tinggi karena mtDNA secara
alami dihadapkan pada faktor-faktor yang tidak menguntungkan seperti: (a) tingginya kadar
spesies oksigen reaktif sebagai produk samping metabolisme oksidatif mitokondria, (b)
8
9
terpaparnya mtDNA terhadap oksigen reaktif tersebut karena tidak adanya proteksi oleh
nukleoprotein, yang berlainan dengan DNA inti sel dan (c) tidak adanya sistem repair DNA
yang efektif di dalam organel ini (Soenarto dan Hadi, 2005). Laju mutasi yang tinggi ini
menyebabkan mtDNA mudah mengalami mutasi sehingga heteroplasmi pun dapat terjadi.
Heteroplasmi terdeteksi dalam bentuk perbedaan urutan mtDNA, baik berupa substitusi basa
pada satu titik (Gambar 2.6 A) atau delesi dan insersi yang akan menyebabkan variasi
panjang mtDNA (Gambar 2.6 B). Heteroplasmi dapat terjadi pada daerah yang mengode dan
daerah yang tidak mengode, terutama pada daerah D-loop (HVSI dan HVSII) yang memiliki
laju mutasi yang tinggi. Pola panjang heteroplasmi mirip untuk individu-individu segaris
keturunan ibu tetapi bervariasi untuk individu yang tidak segaris keturunan ibu (Malik et al.,
2002).
A B
atttccaggcatttttaccagga attccttgattcagggccccccc atttccaggcatttttaccagga attccttgattcagggccccccc atttccaggcatttttaccagga attccttgattcagggcccccccc atttccaggcatttttaccagga attccttgattcagggcccccccc atttccaggcatttttaccagga attccttgattcagggccccccccc atttccaggcatctttaccagga attccttgattcagggccccccccc
Gambar 2.6 Jenis-jenis heteroplasmi (A). Heteroplasmi berupa perubahan satu basa pada satu titik. Pada gambar terjadi mutasi substitusi dari T menjadi C. (B). Heteroplasmi berupa variasi panjang mtDNA karena adanya insersi (Malik et al., 2002).
Heteroplasmi dapat terjadi pada daerah pengode atau pada daerah yang tidak mengode.
Apabila terjadi pada daerah pengode dan mengubah urutan asam amino dari protein yang
dikode, maka heteroplasmi dapat menimbulkan penyakit. Namun, untuk terlihat pada
fenotipe berupa penyakit tadi, subpopulasi mtDNA mutan harus berada dalam jumlah yang
cukup besar (dominan). Tidaklah mengherankan bila dengan jumlah mtDNA minimal belum
terjadi disfungsi oksidatif. Tiap-tiap sel organ memiliki ambang batas tersendiri, tergantung
metabolisme jaringan tersebut. Efek tersebut lebih rendah pada jaringan yang tergantung
pada metabolisme oksidatif, seperti: otak, jantung, otot rangka, retina, tubulus ginjal, dan
kelenjar endokrin. Redistribusi acak organela saat pembelahan sel dapat mengubah proporsi
mtDNA mutan yang diterima oleh sel anak perempuan, jika efek ambang patogenik dalam
jaringan yang tidak terkena terlampaui, maka fenotip dapat juga berubah (Soenarto dan Hadi,
2005). Heteroplasmi juga dapat terjadi pada daerah yang tidak mengode. Daerah HVSI dan
HVSII merupakan ‘hotspot’ untuk terjadinya heteroplasmi ini. Salah satunya, heteroplasmi
berupa variasi panjang mtDNA pada daerah HVSI ditemukan pada posisi 16189, dimana
terjadi mutasi dari T menjadi C menghasilkan rangkaian poli-C dengan panjang yang
berbeda (Bendall et al., 1995).
Heteroplasmi berupa variasi panjang mtDNA yang disebabkan karena adanya insersi ataupun
delesi dapat mengganggu proses penentuan urutan melalui direct sequencing dimana urutan
yang dihasilkan menjadi tidak lengkap. Peneliti terdahulu (Siti, 2005) melaporkan bahwa
mutasi T16189C menghasilkan rangkaian poli-C pada daerah HVSI dua sampel yang
diamati, yaitu sampel XXAM dan sampel GMR. Penentuan urutan dua sampel tersebut
melalui direct sequencing mengalami kegagalan karena tidak terbacanya urutan setelah
rangkaian poli-C tersebut, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7.
Kegagalan penentuan urutan daerah HVSI melalui direct sequencing telah dapat diatasi oleh
peneliti terdahulu. Daerah HVSI mtDNA sampel yang mengandung poli-C disisipkan ke
dalam suatu vektor pGEMT, kemudian ditransformasi ke dalam E. coli untuk proses
amplifikasi secara in vivo. Plasmid yang membawa DNA sisipan berupa daerah HVSI
mtDNA kemudian diisolasi dan dimurnikan. Plasmid hasil isolasi lalu ditentukan urutannya
dengan metode Dideoksi Sanger (Siti, 2005). Ternyata setelah melalui proses kloning, urutan
lengkap daerah HVSI mtDNA sampel tersebut dapat ditentukan seperti pada Gambar 2.8.
Gambar 2.7 Penentuan urutan daerah HVSI mtDNA sampel XXAM melalui direct sequencing Sampel XXAM memiliki mutasi T16189C menghasilkan rangkaian poli-C. Penentuan urutan nukleotida daerah HVSI mtDNA sampel XXAM melalui direct sequencing mengalami kegagalan karena tidak terbacanya urutan setelah rangkaian poli-C tadi (berwarna kuning) (Siti, 2005).
Gambar 2.8 Penentuan urutan daerah HVSI mtDNA sampel XXAM melalui sekuensing setelah kloning Urutan daerah HVSI mtDNA sampel XXAM yang lengkap dapat diperoleh ketika sekuensing dilakukan setelah proses kloning. Sampel XXAM memiliki mutasi substitusi T16189C, A16182C, dan 16183C serta insersi tiga C pada posisi antara 16182-16193 menyebabkan terbentuknya rangkaian poli-C sepanjang 15C (Siti, 2005).
10
Tiga insersi C pada posisi 16182-16193 ditemukan terjadi pada sampel ini, sehingga
memperpanjang rangkaian poli-C yang terbentuk menjadi 15C. Sedangkan untuk sampel
GMR, juga terjadi mutasi substitusi pada posisi 16189 dari T menjadi C. Sampel GMR juga
mengalami insersi satu C pada posisi antara 16184-16193 menyebabkan terbentuknya
rangkaian poli-C sepanjang 11C. Elektroforegram lengkap hasil sekuensing sampel GMR
ditunjukkan pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Elektroforegram lengkap hasil sekuensing daerah HVSI mtDNA sampel GMR
Sampel GMR mengalami mutasi substitusi T16189C, serta insersi satu C pada posisi antara 16184-16193 menghasilkan rangkaian poli-C sepanjang 11C, pada gambar rangkaian poli-C yang terbentuk dilingkari merah (Siti, 2005).
Adanya fenomena heteroplasmi pada sampel GMR dan XXAM telah berhasil dibuktikan
oleh peneliti terdahulu. Fenomena heteroplasmi ini berupa variasi panjang rangkaian poli-C 11
12
pada sampel GMR dan XXAM (Dwiyanti, 2006). Contoh perbandingan urutan sampel GMR
dan XXAM terhadap CRS ditunjukkan pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2.
Tabel 2.1 Perbandingan urutan sampel GMR 16
184
1618
5
1618
6
1618
7
1618
8
1618
9
1619
0
1619
1
1619
1
1619
3
Inse
rsi 1
Inse
rsi 2
CRS C C C C C T C C C C X X
GMR1 C C C C C C C C C C C X
GMR2 C C C C C C C C C C C X
GMRa C C C C C C C C C C C X
GMR3 C C C C C C C C C C C C
Keempat klon GMR memiliki mutasi T16189C dan insersi pada posisi antara 16184 dan 16193 terhadap CRS. Jumlah insersi yang berbeda menghasilkan panjang poli-C yang berbeda pula, 11C untuk GMR1/2/a dan 12C untuk GMR3. Adanya subpopulasi pada sampel GMR dikenal dengan heteroplasmi. Mutasi terhadap CRS ditunjukkan dengan warna merah (Dwiyanti, 2006).
Tabel 2.2 Perbandingan urutan sampel XXAM
1618
2 16
183
1618
4
1618
5
1618
6
1618
7
1618
8
1618
9
1619
0
1619
1
1619
2
1619
3
Inse
rsi 1
Inse
rsi 2
Inse
rsi 3
CRS A A C C C C C T C C C C X X X
XXAM1 C C C C C C C C C C C C X X X
XXAMa C C C C C C C C C C C C C C C Kedua klon XXAM memiliki mutasi A16182C, A16183C, dan T16189C. XXAMa memiliki insersi 3C pada posisi antara 16182 dan 16193 sedangkan XXAM1 tidak, sehingga terdapat panjang poli-C yang berbeda menjadi masing-masing 15C dan 12C. Adanya subpopulasi pada sampel XXAM dikenal dengan heteroplasmi. Mutasi terhadap CRS ditunjukkan dengan warna merah (Dwiyanti, 2006).
Pada penelitian ini hanya digunakan sampel GMR untuk membuktikan fenomena
heteroplasmi sebagai penyebab tidak berhasilnya penentuan urutan daerah HVSI individu
yang memiliki urutan poli-C melalui direct sequencing dan baru berhasil ketika sekuensing
dilakukan setelah kloning menggunakan metode Dideoxy Sanger.
2.4 Teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode amplifikasi DNA secara in vitro.
DNA secara alami terdapat dalam bentuk double helix, yang menggabungkan dua untai
tunggal DNA dan terikat secara non kovalen oleh ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terbentuk
antara pasangan basa adenin (A) dengan timin (T) dan guanin (G) dengan sitosin (C).
Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan oligonukleotida primer, dikenal juga
sebagai amplimers, yang merupakan molekul DNA untai tunggal pendek dan menjadi
pasangan basa untuk templat DNA. Primer akan menempel pada untai tunggal DNA
terdenaturasi (templat) dan diperpanjang oleh DNA polimerase, dengan adanya
deoxynucleoside triphosphates (dNTPs) pada kondisi reaksi yang sesuai. Dari tahap ini akan
dihasilkan untai DNA double stranded baru. Untai sintesis dapat dihasilkan kembali dengan
pemanasan untuk mendenaturasi untai ganda DNA, penempelan primer dengan
mendinginkan campuran dan perpanjangan primer oleh DNA polimerase pada suhu yang
sesuai untuk reaksi enzim. Tahap-tahap ini terjadi dalam suatu siklus amplifikasi dan terjadi
secara berulang-ulang. Setiap untai DNA baru yang dihasilkan akan menjadi templat DNA
untuk siklus amplifikasi selanjutnya (Newton dan Graham,1997).
Oleh karena itu bahan-bahan yang dibutuhkan agar proses PCR dapat berjalan (Gambar
2.10) adalah templat DNA, dNTP yang mengandung dATP; dGTP; dCTP; dan dTTP,
primer, enzim polimerase yang termostabil, buffer, dan MgCl2. Templat DNA diperoleh dari
sampel yang mengandung fragmen DNA yang akan diperbanyak. dNTP sebagai sumber
nukleotida untuk memperpanjang rantai. DNA primer yang menjadi daerah awal berjalannya
PCR. Primer yang digunakan terdiri dari primer reverse dan forward yang urutannya
merupakan komplemen dari masing-masing untai DNA. Enzim polimerase, yaitu enzim
yang biasanya diisolasi dari bakteri termofilik berfungsi untuk mengkatalisis perpanjangan
rantai (polimerisasi). Bahan lainnya adalah buffer, sebagai penyedia dan penjaga suasana
kimia dalam larutan agar polimerase dapat berfungsi. Terakhir dan cukup esensial dalam
reaksi PCR adalah MgCl2, yang diperlukan sebagai kofaktor enzim. Konsentrasi magnesium
klorida harus terus dioptimasi untuk setiap primer atau templat yang digunakan. Di sisi lain,
banyak komponen lain dalam reaksi PCR yang mengikat ion magnesium yaitu: primer,
templat, produk PCR dan dNTP.
Komponen-komponen PCR: - Templat DNA - DNA Polimerase - dNTPs - Primer - Buffer - ddH2O
Amplifikasi dengan PCR
Gambar 2.10 Komponen-komponen dasar PCR
13
Templat DNA, buffer, dNTPs, dan primer dicampur kemudian dipanaskan untuk mendenaturasi DNA. DNA polimerase ditambahkan ke dalam campuran. Setelah proses amplifikasi, produk dianalisis untuk melihat berhasil tidaknya PCR (Newton dan Graham, 1997).
Secara umum cara kerja PCR terbagi menjadi 3 tahap yang digambarkan dalam Gambar
2.11. Pertama adalah denaturasi atau pemisahan DNA untai ganda menjadi satu untai,
dilakukan kurang lebih pada temperatur 95 °C selama minimum 45 detik. Suhu yang tinggi
dapat memutuskan ikatan hidrogen pada ikatan ganda DNA sehingga dapat terbentuk satu
untai DNA. Lalu diikuti dengan tahapan kedua, yaitu penempelan pimer, yang umumnya
dilakukan pada suhu 45-60 °C atau 5 °C dibawah temperatur denaturasi, dengan waktu
kurang lebih 1 menit. Tahapan ketiga adalah tahapan perpanjangan rantai. Umumnya
dilakukan pada suhu sekitar 72 °C atau tergantung jenis polimerase yang digunakan, dengan
waktu yang juga tergantung dari kerja polimerase dan jumlah fragmen DNA yang akan
diperbanyak. Perpanjangan rantai ini selalu berjalan dari arah 5’ ke 3’. Rantai baru akan
menjadi templat untuk reaksi berikutnya. Ketiga tahap tersebut sama dengan satu siklus, dan
proses akan terus berjalan selama beberapa siklus sampai mencapai jumlah DNA yang
diinginkan.
Gambar 2.11 Skema PCR Warna biru tua menunjukkan fragmen templat yang akan diamplifikasi, sedangkan warna biru muda menunjukkan primer. (1) Tahap denaturasi, (2) Tahap penempelan primer, dan (3) Tahap perpanjangan rantai. Siklus pertama PCR menghasilkan dua pasang DNA yang menjadi templat untuk siklus berikutnya. (Gambar diambil dari http://employees.csbsju.edu/hjakubowski/classes/ch331/dna/oldnalanguage.html, tanggal akses Juni 2007).
14
15
2.5 Rujukan Analisis MtDNA
Analisis urutan mtDNA dilakukan dengan perbandingan terhadap urutan nukleotida standar
yang terdapat dalam Cambridge Reference Sequence (CRS) (Anderson et al., 1981). Selain
itu urutan nukleotida juga dibandingkan terhadap data-data sekunder yang didapat dari basis
data mutasi manusia Indonesia dan Mitomap.
2.5.1 Cambridge reference sequence
Cambridge Reference Sequence (CRS) adalah urutan mtDNA manusia yang ditentukan
pertama kali oleh Anderson, et. al (1981). Publikasi organisasi genom DNA mitokondria
pertama ini terdiri dari rRNA 12S, rRNA 16S, 22 tRNA, dan 13 gen pengode polipeptida,
dan daerah yang tidak mengode protein yaitu D-loop. Ketika dilakukan pengulangan
sekuensing oleh peneliti lain, ditemukan beberapa ketidaksesuaian. Dalam pengulangan
berikutnya, dilaporkan bahwa publikasi original mengandung sebelas kesalahan sekuensing,
termasuk satu tambahan pasangan basa di posisi 3.107. Hasil revisi dipublikasikan oleh
Andrews, et al. pada tahun 1999 dengan tetap mempertahankan nomor urutan nukleotida
untuk menghindari kebingungan. Urutan mtDNA yang menjadi referensi ini berasal dari ras
eropa yang termasuk dalam Haplogrup H.
Urutan CRS juga banyak digunakan sebagai urutan nukleotida mtDNA standar dalam studi
yang berkaitan dengan mtDNA manusia, misalnya dalam studi antropologi dan dalam
penentuan mutasi yang berkaitan dengan penyakit (Marzuki et al., 1991). Ketika dilakukan
perbandingan dengan CRS umumnya hasilnya dilaporkan sebagai perbedaan. Perbedaan ini
bukan berarti mutasi dalam keadaan yang sesungguhnya, CRS hanyalah merupakan sebuah
urutan yang dijadikan referensi atau standar dan bukan dokumen mtDNA manusia terdahulu.
Gambar 2.12 menunjukkan urutan nukleotida Cambridge Reference Sequence daerah HVSI
yang diambil dari Mitomap. Urutan nukleotida yang digunakan sebagai standar dalam
penelitian ini adalah modifikasi atau revisi terbaru Cambridge Reference Sequence
(Mitomap, 2007).
Gambar 2.12 Urutan nukleotida cambridge reference sequence daerah HVSI
Daerah HVSI dimulai dari posisi 16024 sampai dengan posisi 16383 (Gambar diambil dari http://www.mitomap.org
, tanggal akses 16 Agustus 2007).
2.5.2 Mitomap
Penelitian mengenai polymorphism atau keragaman mtDNA manusia telah banyak
dilakukan, baik polymorphism yang terjadi pada daerah pengode dan dapat menimbulkan
penyakit maupun polymorphism yang terjadi pada daerah yang tidak mengode seperti D-loop
yang terkait penyakit maupun tidak. Mutasi-mutasi yang teramati ini dicatat dalam suatu
database yang dapat diakses melalui situs http://www.mitomap.org. Database ini berisi
mutasi-mutasi termasuk mutasi substitusi, delesi dan insersi yang terjadi di daerah coding
maupun non-coding, yang menyebabkan penyakit maupun tidak, posisi mutasi tersebut, serta
sumber publikasinya. Mitomap menggunakan pembacaan urutan nukleotida DNA
mitokondria untuk mendapatkan informasi-informasi mengenai struktur DNA mitokondria,
fungsi, mutasi-mutasi patogen, karakteristik klinis, kaitan variasinya dengan populasi, dan
interaksi antar gen. Gambar 2.13 menunjukkan tampilan Mitomap yang berisi daftar mutasi
pada control region.
16
Search for: Perform Search Clear
MITOMAP: MtDNA Control Region Sequence Polymorphisms
Last edited Jul 24, 2007
Nucleotide Position Nucleotide Change References
16025 T-A references
16025 T-G references
16037 A-G references
16039 G-A references
16041 A-G references
16042 G-A references
16042 G-T references
16048 G-A references
16051 A-G references
16052 C-T references
16059 A-G references
16060 G-C references
16060 G-T references
16061 T-C references
16063 T-C references
16066 A-G references
Gambar 2.13 Tampilan mitomap untuk mutasi pada daerah HVSI
Mitomap ini menunjukkan daftar mutasi yang sudah dipublikasikan. Sumber publikasi dapat dilihat dalam kolom reference. Mitomap ini selalu diperbaharui, dapat dilihat tanggal terakhir revisi adalah 24 Juli 2007 (Gambar diambil dari http://www.mitomap.org, tanggal akses 16 Agustus 2007).
17