Download - 2 (Repaired)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini bahan bakar fosil atau biasa disebut bahan bakar
minyak (BBM) masih menjadi sumber utama energi bagi seluruh
manusia. Kenyataannya BBM adalah sumber energi yang tidak dapat
diperbaharui sehingga keberadaannya akan semakin menipis seiring
dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu perlu diadakan sumber energi
baru dan terbarukan yang berbasis bahan-bahan alternatif seperti
biomassa, limbah sampah dan sebagainya. . Untuk mengatasi
permasalahan di atas pemerintah melalui Dewan Riset Nasional mulai
memetakan jenis sumber EBT yang akan dikembangkan yaitu biodiesel,
bioetanol, dan bio-oil (Dewan Riset Nasional, 2006).
Biodesel sebagai bahan bakar alternatif merupakan bahan bakar
mesin diesel yang dapat dibuat dari minyak yang dapat diperbaharui
seperti minyak nabati atau hewani. Salah satu keunggulan menggunakan
minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel adalah produk tersebut tidak
mengandung belerang dan mengandung 11% oksigen, sehingga jika
biodiesel ini digunakan untuk transportasi, polusi yang ada akan
mengurangi karbon monoksida dan debu.
Namun dalam pembuatan biodiesel dari minyak nabati dengan
alkohol akan diperoleh hasil samping berupa gliserol. Jika pembuatan
2
biodiesel meningkat, maka secara berbanding lurus hasil samping gliserol
juga akan meningkat. Ini dapat menjadi kendala yang cukup berarti jika
tidak ditanggulangi dengan cermat. Untuk itu usaha pengolahan gliserol
menjadi produk lain harus dilakukan agar nilai ekonomis dari gliserol
lebih meningkat.
1.2. Rumusan Masalah
Pada saat ini penelitian tentang biodiesel semakin berkembang
pesat, sebagai salah satu upaya pemerintah dalam mencari energi
terbarukan, namun dalam pembuatan biodiesel ini akan di peroleh
produk samping berupa gliserol, maka jika pembuatan biodiesel
meningkat produksi hasil gliserol juga pun akan meningkat,
namun upaya untuk meningkatkan nilai ekonomi gliserol belum
gencar dilakukan, oleh karena itu di perlukan suatu usaha untk
mencari cara untuk mengubah dan meningkatkan nilai ekonomi
gliserol menjadi senyawa lain yang lebih berguna
Katalis terbagi menjadi dua yaitu katalis padat dan cair, katalis
cair memiliki kelebihan dalam menghasilkan konversi yang besar.
Namun kekuranganya adalah dalam pengolahan limbah yang sulit
dalam proses pemisahanya. Sedangkan untuk katalis padat
memiliki kelebihan dalam proses pengolahan limbahnya, mudah
untuk di pisahkan namun kelemahanya kerja katalisator padat
tidak sebaik dari katalisator cair hal ini terkait dengan faktor dari
kemampuan penukaran ion dan sisi aktif dari katalisator. Sehingga
3
permasalahannya adalah bagaimana memaksimalkan kemampuan
penukaran ion dan sisi aktif yang dimiliki katalisator padat
tersebut agar unjuk kerja dari katalisator tersebut maksimal.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui nilai konversi gliserol menjadi gliserol karbonat
dengan menggunakan katalis padat indion 225 na dengan menggunakan
berbagai variasi yang di berikan
1.4. Ruang Lingkup
1. Bahan baku yang dipakai dalam penelitian ini adalah gliserol
teknis , Natrium Hidrogen Karbonat dan pelarut air aquades.
2. Reaksi dilakukan dalam reaktor berpengaduk merkuri dengan
sistem batch pada fasa liquid
3. Katalis yang digunakan adalah katalisator resin penukar ion Indion
225 Na
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gliserol
Gliserol adalah rantai alkohol trihidrik dengan susunan molekul
C3H8O
Yang sangat bermanfaat dalam bidang kimia organic. Nama gliserol di
artikan sebagai bahan kimia murni , namun dalam dunia perdagangan di
kenal dengan nama glycerin. Dalam kondisi yang murni gliserol tidak
5
berbau , tidak berwarna, berbentuk cairan kental dengan rasa manis.
Glserol bersifat larutsempurna dalam air dan alcohol. Dapat terlarut
dalam pelarut tertentu(misalnya eter,etil asetat,dan dioxane) namun
bersifat tidak larut dalam hidrokarbon.
Gliserol di dapatkan dengan cara sintesis maupun di peroleh dari
hasil samping pembuatan sabun dan produksi oleokimia yang
menggunakan lemakdan minyak alami sebagai bahan bakunya. Teori
kimia menyatakan bahwa dalam satu molekul lemak terkandung gliserol
dan tiga asam lemak, dan pada umumnya lemak mengandung kurang
lebih 11% gliserol di dalamnya. Ada dua prosedur dalam memproduksi
gliserol dari lemak yaitu melalui metode saponifikasi dan
transesterifikasi (Tovbin dkk 1976). Akhir kedua proses tersebut akan
menghasikan senyawa gliserol mentah yang masih banyak mengandung
bahan pengotor seperti sisa katalis dan asam lemak bebas. Adapun
reaksinya
6
Gambar 2.1 Reaksi Pembuatan Gliserol
. Gliserol sangat bermanfaat dalam dunia industry contoh sebagai
zat tambahan (aditif) dalam produk-produk rumah tangga dan kecantikan
semacam sabun,shampoo, kosmetik bahkan sebagai bahan baku peledak.
2.2 Natrium hidrogen karbonat
Natrium bikarbonat atau hidrogen karbonat atau asam karbonat
dengan rumus kimia NaHCO3, adalah bahan kimia berbentuk kristal
putih yang larut dalam air, yang banyak dipergunakan di dalam industri
makanan/biskuit (sebagai baking powder), pengolahan kulit, farmasi,
tekstil, kosmetika, pembuatan pasta gigi, pembuatan permen (candy) dan
industri pembuatan batik. Pada skala industri, natrium bikarbonat dapat
7
diproduksi melalui reaksi antara natrium karbonat, air dan gas karbon
dioksida:
Na2CO3 + H2O + CO2 --> 2NaHCO3
Selain itu, natrium bikarbonat dapat pula dihasilkan dari reaksi antara
natrium klorida (NaCl), ammonia (NH3) dan karbon dioksida (CO2).
2.3 Katalis
Untuk mempercepat suatu reaksi kimia banyak peneliti
mengunakan katalisator, harapannya dengan waktu yang singkat mampu
menghasilkan produk yang lebih banyak. Pada dasarnya katalisator
dibagi menjadi dua yaitu katalisator cair dan padat. Untuk katalisator
cair yang sering digunakan diantaranya adalah HCL, H2SO4, dan NaOH,
sementara untuk katalisator padat diantaranya resin penukar ion na 225,
CaO, dan MgO. Masing-masing katalisator mempunyai keunggulan dan
kelemahan masing-masing. Untuk katalisator cair ditinjau dari hasil
konversi reaksi mampu mengkonversi pereaksi menjadi produk lebih
besar dibanding katalisator padat, hal tersebut karena katalisator cair
8
merupakan gugus yang aktif sehingga kemampuan penukaran ion dari
katalisator cair sangat besar. Dengan demikian dimungkinkan hasil
konversi yang dihasilkan dari reaksi juga besar. tetapi katalisator cair
mempunyai kelemahan pada unit pemisahan dan beban pengolahan
limbah sangat besar. Sementara katalisator padat mempunyai kelebihan
diantarannya mudah dalam perlakukaanya, dapat diregenerasi jika sudah
jenuh, mudah dalam pemisahan hasil , dan beban pada pengolahan
limbah sangat kecil ( Nuryoto, 2008).
Tetapi kelemahan katalisator padat kemampuan penukaran ion
dan sisi aktifnya terbatas. Hal ini menyangkut permukaan aktif, dan
diameter katalis yang kecil. Ketika diaduk dengan kecepatan tertentu
justru katalisator ikut aliran pengadukan dan jika dilakukan secara
kontinyu pressure drop cukup besar , sehingga proses difusi terganggu
yang berujung pada konversi yang kecil.
2.3.1 Resin Penukar Ion
Resin penukar ion merupakan katalisator murah dan mudah dalam
perlakuannya. Sebelum digunakan resin sebaiknya dicuci dengan air
suling sampai tidak berwarna, tujuannya untuk menghilangkan
9
impurities, kemudian dikeringkan dalam pengering selama 2 hari dengan
suhu 353.15 K pada kondisi vakum ( Bozek dkk 2006). Sedangkan
Popken dkk (2000) melakukan pada suhu 90◦ C selama 2 hari pada
kondisi vakum, jika dilakukan diatas 90◦ C akan menghilangkan sulfonic
acid dalam bentuk SO3. Banyak jenis resin yang dapat digunakan
sebagai katalisator misalnya amberlyst, purolite, dan indion. Pada
penelitian ini menggunakan indion 225 Na.
Indion 225 Na adalah resin penukar kation (bersifat asam) yang
berbentuk manic-manik dengan dengan kapasitas yang tinggi. Hal ini
berdasarkan pada susunan molekul polistiren yang saling menyilang dan
memiliki strukur berupa jel. Bentuk standar ion dari resin ini adalah Na.
Dalam aplikasinya Indion Na 225 digunakan secara luas dalam
bentuk natrium untuk proses penjernihan air. Resin itu juga dapat
digunakan dalam two-stages de ionisasi sebagai penukar kation dalam
siklus hydrogen.Adapun karakteristik indion na 225 dapat di lihat di
grafik bawah ini
Tabel 2.1 Karakteristik Resin penukar ion Indion 225 Na
Karakteristik Indion 225 Na
Bentuk Manik-manik emas kekuning-kuningan
10
gugus fungsional Asam Sulfonat (-SO3)
Bentuk Standar Ion Na +
kapasitas penukaran total 2 mek/ml
kemampuan menahan kelembapan 43 - 50 %
Tipe matrix stiren divinilbenzene kopolimer
Range Ukuran Partikel (0.3-1.2) mm
bekerja pada Ph 0-14
temperatur maksimum operasi 120 C
2.4 Gliserol Karbonat
Gliserol karbonat (4-hydroxymethyl-1,3-dioxolan-2-one)
merupakan senyawa dwifungsi yang di dalamnya terdapat sebuah gugus
karbonat siklik dan sebuah gugus hidroksi nucleophilic, senyawa ini
masih terbilang baru dalam dunia industri kimia, namun mampu
menawarkan sejumlah potensi yang menarik untuk di kembangkan,
karena senyawa turunan gliserol ini memiliki kegunaan yang cukup
beragam mulai dari elastomer, surfaktan, perekat, tinta, cat, pelumas,dan
11
elektrolit. Senyawa ini juga merupakan zat antara (intermediet) penting
Dari polikarbonat, polyester, poliuretan, dan poliamide
Lembaga penelitian INRA di Toulouse, peranis telah
mengembangkan penggunaan gliserol karbonat sebagai biolubricant yang
tahan terhadap oksidasi, hidrolisis, dan tekanan. Selain itu sintesa
senyawa gliserol karbonat menjadi senyawa turunannya yaitu gliserol
karbonat estertelah di teliti memiliki satbilitas termal dan oksidasi yang
baik , senyawa tersebut mampu meningkatkan kemampuan surfaktan
terhadap pengurangan tegangan antar muka minyak.
2.4.1 Reaksi pembuatan gliserol karbonat
Untuk menaikkan status ekonomi dan fungsi gliserol sekaligus
mengurangi kelebihan produksi, konversi menjadi akrolein, propilen
glikol, 1,3-propanediol, asam gliserik, maupun gliserol karbonat adalah
sekian cara yang telah dikembangkan. Khususnya gliserol karbonat
(hydroxymethyl dioxolanone), senyawa turunan gliserol ini paling
menarik perhatian karena memiliki kegunaan yang cukup beragam mulai
dari elastomer, surfaktan, perekat, tinta, cat, pelumas, and elektrolit.
12
Senyawa ini juga merupakan zat antara (intermediet) penting dari
polikarbonat, poliester, poliuretan, dan poliamide.
Sampai saat ini gliserol karbonat dibuat melalui reaksi gliserol
dengan fosgen. Fosgen merupakan zat yang sangat beracun dan korosif
sehingga proses ini sangat jauh dari konsep kimia hijau. Oleh karena itu
dipikirkan cara yang lebih hijau yaitu reaksi transesterifikasi gliserol
dengan dialkil karbonat atau etilen karbonat menggunakan katalis basa,
misalnya NaOH atau Na2CO3. Penelitian terkini banyak memusatkan
perhatian pada optimasi sistem katalis yang semula berupa katalis basa
homogen (larut bersama pereaksi) beralih menjadi katalis basa heterogen
(tidak larut) dengan alasan kenyamanan proses pemisahan dan
pendaurulangan.
Gambar 2.2 Mekanisme Reaksi Pembentukan Gliserol Karbonat
13
Upaya untuk mengembangkan proses yang lebih hijau juga dilakukan
misalnya pada sintesa gliserol karbonat mulai dengan bahan baku
gliserol, dan gas CO2 dikatalisis kompleks timah . Rute satu tahap ini
(bandingkan dengan transesterfikasi yang melibatkan proses penyiapan
dialkil karbonat terlebih dahulu) walau tampak sangat menjanjikan tapi
masih memerlukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan katalis yang
awet dan kondisi reaksi terbaik.
2.5 Penelitian yang pernah di lakukan
Sudah banyak penelitian yang telah di lakukan untuk
mensintesa gliserol menjadi gliserol karbonat diantaranya (Laszlo
Seeman dkk, 2011) mengolah gliserol karbonat dari gliserol dengan urea,
temperature yang di gunakan 140 C dengan tekanan rendah, variasi
katalis yang di gunakan ZnCl2, MgCl2, ZnNO3.6H2O, CaCl2.2H2O dan
alumina yield terbesar yang di dapatkan (75.1 63.4 72.2) untuk katalis
ZnCl2, ZnNO3, Mg Cl2. (Takagaki dkk. 2010) yang meneliti
pembuatan gliserol karbonat dari gliserol dan
dialkilkarbonat dengan katalis padat hidrotalsit. Penelitian
14
dilakukan pada suhu 100oC, waktu reaksi 1 jam,
perbandingan pereaksi antara gliserol dan
dimetilkarbonat masing-masing 2 mmol dan 10 mmol,
variasi tipe pelarut yaitu dimetilformamid,
dimetillasetamid dimetil sulfosid, dan asetonitril masing-
masing 5 ml, dan katalisator 0,1 gram. Hasil penelitian
menunjukan konversi tertinggi diperoleh dengan
menggunakan pelarut dimetilformamid yaitu sebesar 75
% dan yield gliserol karbonat sebesar 75 %.
( Vievile dkk., 1998) juga telah melakukan
penelitian tentang gliserol karbonat dibuat dengan
mengkarbonisasi secara langsung gliserol dengan gas CO2
secara kontinyu dengan katalisator resin penukar ion
Amberlyst A26 dan Zeolit pada kondisi superkritis dan
pelarut yang digunakan aseton dan metanol, tetapi
konversi yang dihasilkan sangat kecil. (Kim dkk., 2007)
telah melakukan penelitian pembuatan gliserol karbonat
dengan katalisator berbasis enzim lipase jenis Novozym
15
435. Penelitian dilakukan pada suhu 40- 60oC, kecepatan
pengadukan 2000 rpm , waktu reaksi 30 jam, pelarut
methanol dan perbandingan pereaksi antara gliserol dan
dimetilkarbonat 6:3, 6:6 dan 6:18 mmol . Konversi
tertinggi diperoleh pada suhu 60oC dan perbandingan
perekasi 6:3 mmol sebesar 96 %. Kitakawa dkk., 2007
memproduksi biodiesel dengan menggunakan resin
penukar ion jenis anionik dengan reaktor kontinyu,
dimana percobaan dilakukan dengan diameter unggun 11
mm dan tinggi 150-170 mm, suhu 50OC, perbandingan
triolein dan etanol 1:10, berat resin 2,97 – 37,9 gram , dan
residence time 60 menit dengan konversi mendekati
100%
Nuryoto dkk., 2010 telah meneliti esterifikasi gliserol dan
asam asetat pada pembuatan triacetin dengan katalisator indion 225 Na,
dan juga meneliti uji performa resin penukar ion pada pembuatan
triacetin, yang dilakukan dengan katalisator resin penukar ion yang
sama yaitu Indion 225 Na. Hasil penelitian menunjukan bahwa indion
16
225 Na akan efektif bekerja pada kisaran suhu 100oC, waktu reaksi 90
menit, perbandingan pereaksi antara asam asetat dan gliserol 7 gmol
asam asetat/gmol gliserol atau 2,3 kali kebutuhan stoikiometrinya. Hasil
konversi tertinggi berbasis gliserol sebesar 93%.
Dan Nuryoto dkk., 2012 telah melakukan penelitian
pemanfaatan gliserol hasil samping Biodiesel menjadi gliserol
karbonat dengan pelarut
aquadest dan pereaksi natrium hidrogen karbonat serta menggunakan
katalisator indion 225 Na dengan waktu proses operasional selama
90 menit, komposisi gliserol aquadest dan natrium hidrogen karbonat
3:1:3, 3:1:5, 3:1:7 mol/volume, ukuran diameter katalisator 20,25,
dan 30 mesh, konsentrasi katalisator (1-9)%, dan temperatur proses
(60-100)o C. Hasil terbaik yang diperoleh adalah komposisi bahan
baku dengan pelarut dan pereaksi sebesar 3:1:3 mol/volume gliserol,
ukuran diameter 30 mesh, konsentrasi katalisator 1%, dan dengan
temperatur proses 100oC dengan konversi terbesar mencapai 30%.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tahap Penelitian
Penelitian ini secara umum terdiri atas tahap persiapan, tahap
reaksi, analisa produk, dan pengolahan data. Alur penelitian ditunjukkan
pada bagan di bawah ini
:3.1.1 Tahap Persiapan
3.1.1.1 Pre-treatment Gliserol Teknis
18
Gambar 3.1 Diagram Alir Tahap Pre-Treatment Gliserol Teknis
3.1.1. 2 Pre- treatment resin penukar ion Indion 225 Na
Resin indion 225 Na
Di aktifasi dengan cara di rendam di larutan HCL dengan kadar tertentu
Gliserol Teknis
Evaporasi Gliserol Teknis
Menganalisa Kadar dan Densitas
19
Gambar 3.2 Diagram Alir Tahap Pre-Treatment Resin
Penukar Ion Indion 225 Na
3.1.2 Tahap Reaksi
Kemudian di aduk selama proses aktifasi selama 1 jam
Setelah itu di bilas dengan air aquades hingga bersih
Memasukkan Gliserol dengan volum tertentu ke dalam reaktor dan di panaskan pada suhu tertentu
Dan di keringkan di dalam oven pada uhu 80-90 C
20
Gambar 3.3 Diagram Alir Tahap Reaksi
3.2 Prosedur Penelitian
Memasukkan Natrium hidrogen karbonat ke dalam reaktor
Memanaskan campuran yang berada didalam reaktor sampai suhu yang diinginkan dan memulai pengadukan
Mengambil sampel konsentrasi gliserol awal ( Go) kemudian dianalisa
Memasukkan katalis Indion 225 Na
Mengambil sampel konsentrasi gliserol bebas ( Gb) setiap 10 menit kemudian dianalisa
Proses reaksi dihentikan setelah 30 menit
21
3.2.1 Tahap Pendahuluan
( pre-treatment resin penukar ion)
Pada tahapan ini dilakukan pre-treatment resin penukar ion
indion 225 Na dengan melakukan pengaktifasian resin dengan cara di
rendam di larutan HCL dengan kadar tertentu kemudian diaduk selama
satu jam, setelah itu pencucian resin dengan menggunakan air suling
sampai tidak berwarna , kemudian ditiriskan . Setelah ditiriskan
kemudian dilakukan pengeringan dengan oven sekitar suhu 89-90 C dan
pengayakan sesuai dengan diameter resin yang diinginkan.
Pre-Treatment Gliserol
Pre-treatment gliserol mengacu pada penelitian Nuryoto dkk., 2012
dengan cara gliserol teknis dievaporasi melalui pemanasan dengan
suhu
(100 -110) C selama 90 menit. Hasil evaporasi ditentukan densitas
dan kadar
3.2.2 Tahap Reaksi
22
Gliserol, aquadest (sebagai pelarut), dan Natrium Hidrogen
Karbonat sebagai pereaksi dengan volume dan massa tertentu dipanaskan
sampai suhu tertentu dalam reaktor labu leher tiga sambil pengaduk
dijalankan. Mengambil sampel untuk dianalisis konsentrasi gliserol
awal (Go)Selanjutnya katalisator dimasukkan dan waktu dicatat
sebagai waktu awal
Reaksi. Setiap selang waktu 10 menit sampel diambil untuk
dianalisis gliserol bebas (Gb). Reaksi dihentikan setelah waktu reaksi
30 menit. Percobaan diulangi dengan mempelajari pengaruh
kecepatan pengadukan dan pengaktivasian katalisator Indion 225 Na
terhadap produksi gliserol karbonat.
3.2.3 Tahap Analisa
Analisis hasil dilakukan dengan cara volumetri :
1. Sebelum katalisator dimasukan (t= 0 menit)
- konsentrasi gliserol awal (Go) menggunakan asam periodat
2. Setelah katalisator dimasukan (t= 10 menit – 30 menit)
- konsentrasi gliserol sisa (Gb) mengunakan asam periodat
23
Perhitungan konversi didasarkan dengan persamaan :
XG= Go-Gb x 100%
Go
dengan :
Go= konsentrasi gliserol awal, %
Gb= konsentrasi gliserol bebas, %
3.3 Bahan dan Alat
3.3.1 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Gliserol ( C3H5(OH)3) .
2. Natrium Hidrogen Karbonat ( NaHCO3)
3. Katalisator Indion 225 Na
4. Pelarut air Aquades ( H20)
3.3.2 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ;
1. Pemanas mantel.
2. Labu leher tiga
24
3. Pengaduk merkuri
4. Termometer
5. Pendingin balik\
6. Motor pengaduk
7. Pengambilan sampel
8. Penampung sampel
3.3.3 Gambar rangkaian alat
Gambar 3.4 Rangkaian Alat Pembuatan Gliserol Karbonat
25
3.4 Variabel Penelitian
1. Variabel berubah
Variasi pengadukan ( 500,600 700 rpm) dan
variasi aktifasi resin HCL (3%, 5% dan 7%),dan
variasi tanpa aktifasi resin
2 .Variabel tetap
waktu reaksi ( 30 menit). Konsentrasi katalis (1%),
perbandingan komposisi pereaksi dan pelarut ( 3 gliserol: 1
natrium bikarbonat: 3 air) dan mesh katalis resin campuran
3.5 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini direncanakan selama enam bulan adapun
kegiatan dapat dilihat pada table 3.1 di bawah ini
Table 3.1 Agenda Kegiatan Penelitian
Kegiatan Bulan ke-
1 2 3 4 5 6
1 Studi Literatur
26
2 Penulisan Proposal
3 persiapan bahan
4 Running
5 analisa dan pengolahan
data
6 penyusunan laporan
7 seminar proposal
8 seminar hasil
DAFTAR PUSTAKA
Nuryoto, Hary Sulistyo, Suprihastuti Sri Rahayu, Sutijan,2010., “Uji Performa katalisator Resin Penukar Ion Untuk Pengolahan Hasil Samping Pembuatan Biodisel menjadi Triacetin:, Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses , 4-5 Agustus 2010, Semarang
Nuryoto,Hary Sulistyo, Suprihastuti Sri Rahayu, Sutijan, 2010., “Esterifikasi Gliserol dan Asam asetat Dengan katalisator Indion 225 Na”, Seminar Nasional Perkembangan Riset dan Teknologi di Bidang Industri ke-16, 27 Mei 2010, Yogyakarta.
Kim C.S., Kim Y.H., Lee H., Yoon D.Y., and Song B.K., 2007., ”Lipase – catalyzed synthesis of glycerol carbonat from renewable glycerol and
27
dimethyl carbonat through transesterification”, Elsivier, ScinceDirect, Jurnal of Molecular catalysis.
Kitakawa N.S., Honda H., Kuribayashi H., Toda T., Fujukumura T., Yonemoto T., 2007.” Biodiesel production using anionic ion-exchange resin as heterogeneous catalyst”, Biosource Technology,Elsivier, Science Direct.
\
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan katalis padat indion Na 225
dan menvariasikan variable kecepatan pengadukan dan konsentrasi aktifasi HCL
dengan harapan mendapatkan kondisi operasi optimum yang dapat mendekati
konversi dengan penggunaan katalisator cair (homogeneous catalyst).
4.1 Pengaruh Kecepatan Pengadukan
Kecepatan pengadukan berpengaruh terhadap jalanya proses reaksi, hal itu
dikarenakan pengadukan dapat memperbesar kemungkinan tumbukan antar molekul
zat-zat yang bereaksi, ini menyebabkan reaksi yang terjadi semakin cepat. Pengaruh
variasi kecepatan pengadukan 500 rpm, 600 rpm dan 700 rpm terhadap konversi
gliserol dapat disajikan di table 1 dan grafik 1 dibawah ini
28
Tabel 1 Pengaruh kecepatan pengadukan
(Suhu 100 C, Perbandingan komposisi pereaksi ( 3 gliserol: 1 natrium hydrogen
karbonat: 3 air)
Waktu (menit)
Konversi gliserol pada berbagai variasi pengadukan
500 rpm 600 rpm 700 rpm0 0 0 010 0,058204334 0,187306502 0,26934984520 0,130022918 0,174942704 0,24458204330 0,141176471 0,243697479 0,297096054
Gambar. 1 Hubungan antara konversi dan waktu pada berbagai variasi
kecepatan pengadukan
Dari table 1 dan gambar 1 di atas konversi optimum diperoleh pada
kecepatan pengadukan 700 rpm yaitu sebesar 29,7%, sedangkan pada kecepatan
pengadukan 600 dan 500 rpm konversi yang dihasilkan lebih kecil dari kecepatan
pengadukan 700 rpm yaitu sebesar 24,3% dan 14,1% . Hal ini dikarenakan fungsi dari
29
pengadukan yaitu untuk memperbesar kemungkinan tumbukan antar molekul zat-zat
yang bereaksi, ini menyebabkan terjadinya reaksi semakin besar (Prausnitz, et
al.,1999). Selain itu pengadukan akan berpengaruh pada hambatan eksternal dalam
diffusitas . jika pengadukan diperbesar akan menambah turbulensi yang akan
menyebabkan berkurangnya lapisan film sehingga hambatan eksternal akan semakin
kecil (Fogler, 2006)
Hal ini selaras dengan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan dengan
menggunakan berbagai variasi kecepatan pengadukan. Gangadwala.et al.(2003)
melakukan variasi kecepatan pengadukan 200 rpm, 360 rpm dan 1300 rpm. Pada 200
rpm dan 360 rpm fraksi mol asam asetat pada 1000 detik turun dari 0,5 menjadi
0,28. Setelah kecepatan dinaikan menjadi 1300 rpm fraksi mol asam asetat turun
menjadi 0,25. Tzong Liu, et al (2001) melakukan variasi kecepatan pengadukan 400
rpm, 600 rpm dan 1000 rpm. Konversi asam propioanat yang di hasilkan pada 400
rpm dan 1000 rpm sebesar 0,42 dan 0,47
4.2Pengaruh konversi terhadap konsentrasi aktifasi katalis indion Na 225
Katalisator berfungsi menurunkan energy aktifasi. Jika jumlah katalisator
dinaikan, energy aktifasi akan menurun sehingga laju reaksi akan meningkat. Katalis
secara umum terbagi menjadi dua yaitu katalis padat dan cair, katalis cair memiliki
kelebihan dalam menghasilkan konversi yang besar. Namun kekuranganya adalah
dalam pengolahan limbah yang sulit dalam proses pemisahanya. Sedangkan untuk
katalisator padat mempunyai kelebihan diantarannya mudah dalam
perlakukaanya, dapat diregenerasi jika sudah jenuh, mudah dalam
pemisahan hasil , dan beban pada pengolahan limbah sangat kecil
( Nuryoto, 2008). Namun kelemahanya kerja katalisator padat tidak sebaik dari
katalisator cair hal ini terkait dengan faktor dari kemampuan penukaran ion dan sisi
aktif dari katalisator. Sehingga permasalahannya adalah bagaimana memaksimalkan
30
kemampuan penukaran ion dan sisi aktif yang dimiliki katalisator padat tersebut
agar unjuk kerja dari katalisator tersebut maksimal.
Untuk itu diperlukanlah pengaktifasian katalisator indion Na 225 dengan
larutan HCL. Pengaruh konsentrasi aktifasi HCL terhadap besarnya konversi gliserol
dapat disajikan di tabel dan grafik bawah ini
Tabel 2 Pengaruh variasi aktifasi konsentrasi HCL
(Suhu 100 C, Perbandingan komposisi pereaksi ( 3 gliserol: 1 natrium hydrogen
karbonat: 3 air, pengadukan 700 rpm)
waktu (menit)
Konversi gliserol pada berbagai variasi konsentrasi HCL
3% 5% 7%Tanpa
aktifasi0 0 0 0 0
10 0,156763404 0,269349845 0,275862069 0,02222222220 0,14086661 0,244582043 0,310344828 0,07863247930 0,211165765 0,297096054 0,318266542 0,099415205
31
Gambar. 2 Hubungan antara konversi dan waktu pada berbagai variasi
aktifasi konsentarsi HCL
Dari table 2 dan grafik 2 diatas, konversi optimum terjadi pada pengaktifasian
katalis dengan HCL 1,5 N yaitu sebesar 31,8% sedangkan pada pengaktifasian HCL
1 N dan 0.5 N nilai konversi yang dihasilkan lebih kecil yaitu sebesar 29,7% dan
21,1%. Hal ini dapat dijelaskan , fungsi dari pengaktifasian HCL pada katalisator
berfungsi untuk menggantikan gugus Na+ pada katalis indion Na 225 dengan gugus
H+ pada HCL, sehingga katalis ini dapat berfungsi dengan pereaktan NaHCO3, jika
tidak diaktifasi katalis ini tidak akan bekerja karena NaHCO3 memiliki gugus Na+,
hal ini bisa dilihat pada variasi tanpa pengaktifasian katalis konversi yang dihasilkan
lebih kecil dari katalis yang di aktiafsi dengan HCL yaitu sebesar 9,9%
32