MAKALAH
“ PAJAK PENCEMARAN LINGKUNGAN DENGAN MEKANISME COMMAND AND CONTROL (CAC) “
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester III (tiga)
mata kuliah Integrasi Kebijakan Dan Perencanaan Sumber Daya Alam
dengan Dosen Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si.
Disusun Oleh :
TEDDY YULIANTO
NIM. 147003065
PROGRAM STUDI PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN (PWD)
SEKOLAH PASCASARJANAUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis, dan tak lupa pula kita mengucapkan
salam dan sholawat kepada Nabi Junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari alam yang tak berpendidikan kealam yang
berpendidikan seperti yang kita rasakan saat sekarang ini. Sehingga penulis dapat
menyusun tugas Makalah Mata Kuliah Integrasi Kebijakan Dan Perencanaan
Sumber Daya Alam yang berjudul “Pajak Pencemaran Lingkungan Dengan
Mekanisme Command And Control (CAC)”
Penulis menyusun tugas ini dalam bentuk makalah bertujuan untuk
memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester III (tiga) yang di berikan oleh Bapak
Dosen Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si yang mengajar mata kuliah Integrasi
Kebijakan Dan Perencanaan Sumber Daya Alam pada Magister Perencanaan
Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan Universitas Sumatera Utara (PWD-USU)
dan untuk dapat dimanfaatkan kearah yang lebih baik oleh pembacanya.
Dalam penulisan makalah ini masih banyak lagi kekurangan-kekurangan
yang harus di perbaiki, maka dari itu penulis senantiasa menerima kritikan dan
saran dari sipembaca makalah ini. Harapan dari penulis, semoga makalah ini
menambah wawasan dan ilmu, khususnya bagi penulis sendiri dan pada umumnya
bagi pembaca makalah ini.
Rantauprapat, 22 April 2016
Hormat Penulis,
TEDDY YULIANTONIM. 147003065
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........……………….………………………........… i
DAFTAR ISI ...……………...........…………….…………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN .…………………………………………….…… 1
1.1.Latar Belakang .……………....………………………………........… 1
1.2. Rumusan Masalah …....................................................................….… 2
1.3.Tujuan Permasalahan ......……………….………………………...… 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) …….…..… 3
2.2 Penerapan Pajak Pencemaran …………..…..…………...………..… 4
2.3 Pajak Yang Optimal Terhadap Pencemaran ….….……................… 6
2.4 Masalah Penentuan Tingkat Pajak …………………..……….......… 8
2.5 Penggeseran Beban Pajak Ke Konsumen ………………………...… 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ……………………….….……...…..…............................ 12
3.2 Saran …………………………….…........…………............................ 12
DAFTAR PUSTAKA ………………….……………….….......................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber daya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi
pembangunan ekonomi khususnya di negara berkembang seperti di
indonesia. Sumber daya alam, selain menyediakan barang dan jasa, juga
menjadi backbone dari perumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan
masyarakat serta sebagai aset bangsa yang penting. Oleh karena itu,
ketersediaan dan kesinambungan (sustainability) dari sumber daya alam ini
menjadi sangat penting bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan akan
sangat tergantung dari pengelolaan yang baik oleh setiap stakeholder yakni
masyarakat dan pemerintah.
Dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan haruslah holistik dan
lintas disiplin ilmu, termasuk melalui pendekatan ilmu ekonomi.
Setidaknya, Ada dua metode untuk melakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan melalui mekanis ekonomi yaitu
melalui pendekatan pengaturan langsung berdasarkan baku mutu
lingkungan yang diterapkan dengan mekanisme perundang-undangan tanpa
bantuan mekanisme pasar (command and control) dan pendekatan insentif
ekonomi berdasarkan mekanisme pasar (market based incentive).
Isu lingkungan merupakan salah satu isu penting yang baru-baru ini
dibicarakan di berbagai forum baik di tingkat nasional maupun
internasional. Pentingnya isu lingkungan ini tidak terlepas dari keinginan
berbagai pihak untuk menyelamatkan bumi dari perusakan dan pencemaran
yang selama ini terjadi. Dengan semakin maraknya berita di berbagai media
yang mengupas mengenai perusakan dan pencemaran lingkungan yang
terjadi di daerah-daerah Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah mulai
memikirkan suatu terobosan yang dapat menekan laju perusakan dan
pencemaran lingkungan, yaitu dengan rencana penerapan pajak lingkungan.
Kebijakan lingkungan pada hakikatnya ditujukan kepada pencegahan,
pengendalian, dan penanggulangan pencemaran dan perusakannya. Pajak
lingkungan bukan merupakan instrumen yang bersifat baru dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Mengingat pajak lingkungan adalah
instrumen dalam pembiayaan lingkungan hidup, khususnya bila terjadi
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Sekalipun tidak bersifat baru,
tetapi belum pernah dilaksanakan dibandingkan instrumen lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Penjelasan Prinsip Pencemar Membayar
2. Penerapan Pajak Pencmaran
3. Penjelasan Pajak Yang Optimal Terhadap Pencemaran
4. Masalah Penentuan Tingkat Pajak
5. Pergeseran Beban Pajak Ke Konsumen
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Penjelasan Prinsip Pencemar Membayar
2. Mengetahui Penerapan Pajak Pencmaran
3. Mengetahui Penjelasan Pajak Yang Optimal Terhadap Pencemaran
4. Mengetahui Masalah Penentuan Tingkat Pajak
5. Mengetahui Pergeseran Beban Pajak Ke Konsumen
BAB II
PEMBAHASAN
Para ekonom sudah lama berargumentasi bahwa sistem insentif
berdasarkan mekanisme pasar lebih efisien daripada sistem pengaturan langsung
berdasarkan perundang-undangan. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sistem
pengaturan langsung memiliki kelemahan diantaranya ialah bahwa sistem ini
memerlukan pembiayaan yang besar karena para pelaksana pemerintahan harus
mengumpulkan informasi yang sebenarnya informasi tersebut sudah dimiliki oleh
para pencemar lingkungan, dan sistem pengaturan langsung menghendaki
diterapkannya sistem baku mutu yang harus dipenuhi oleh setiap pencemar
lingkungan sehingga menimbulkan biaya yang besar bagi para pencemar yang
bersangkutan.
Karena ada kelemahan dalam sistem pengaturan langsung (command and
control), maka para ekonom lebih menyukai untuk diterapkannya sistem insentif
ekonomi guna mengendalikan pencemaran. Dengan sistem insentif ekonomi atau
pungutan pajak maka:
a) Produsen yang mencemari lingkungan memiliki pilihan dalam menyesuaikan
kegiatannya terhadap baku mutu kualitas lingkungan melalui sistem insentif
ekonomi. Seorang produsen yang mencemari lingkungan akan lebih senang
dan memilih membayar pajak bila ia sangat mencemari lingkungan dan biaya
untuk menanggulanginya sangat mahal. Atau produsen yang tak terlalu
mencemari lingkungan akan memilih untuk memasang alat pengolah limbah
dari pada harus membayar pungutan pajak yang mahal.
b) Penerimaan dari pungutan pajak, merupakan sumber pendapatan pemerintah,
sehingga dapat digunakan untuk membiayai pengurangan limbah dan
pengelolaan lingkungan. Dalam praktiknya, kedua sistem pengelolaan
lingkungan tersebut, baik pengaturan langsung melalui baku mutu maupun
melalui insentif ekonomi dipakai bersama-sama dan saling melengkapi.
2.1 Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle)
Untuk mencagah terjadinya eksploitasi sumber daya alam dan
lingkungan secara berlebihan, maka diterapkanlah prinsip Polluter pays
principle atau Prinsip pencemar membayar (PPM) Prinsip ini mencoba
menetralkan kelemahan dari mekanisme pasar yang menimbulkan
kegagalan pasar dalam mengakomodasi biaya eksternal atau biaya
lingkungan.
Prinsip pencemar harus membayar, memberi dua interpretasi :
a) Pada dasarnya, menurut prinsip tersebut, pencemar harus menanggung
biaya yang timbul karena pencemaran sedemikian rupa sehingga limbah
yang dibuang sesuai dengan baku mutu yang ditentukan. Ini berarti
bahwa PPM memberikan suatu hak untuk membuang limbah ke dalam
lingkungan sampai jumlah tertentu bebas dari pungutan. Interpretasi
demikian ini merupakan interpretasi dasar dan sempit.
b) Perkembangan terhadap interpretasi PPM, yaitu bahwa pencemar tidak
lagi diizinkan membuang limbah sampai batas tertentu tanpa bayaran,
tetapi ia diharuskan membayar disamping biaya pengendalian juga
biaya kerusakan lingkungan. interpretasi ini menghendaki adanya pajak
atau pungutan sebagai suatu insentif, yaitu mengaharuskan pencemar
membayar nilai bersih limbah buangan yang diizinkan. Hal ini dapat
memotivasi para pencemar agar mengurangi volume pencemarannya.
Kenyataan yang harus diakui adalah bahwa kemakmuran material
dalam masyarakat modern sekarang ini mau tidak mau, harus pula
dihadapkan dengan pencemaran lingkungan, sehingga kalau kita ingin
mengurangi derajat pencemaran lingkungan, maka harus juga mengurangi
produksi fisik. Sehingga untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara
kedua hal tersebut adalah pemerintah harus menerapkan pendekatan
berjaga-jaga.
Dalam pendekatan ini, dianut pengertian bahwa banyak ketidakpastian
dalam pengendalian pencemaran, maka perhatian harus lebih diberikan pada
awal dan selama proses produksi dan bukan pada akhir proses produksi.
Pengendalian pencemaran pada akhir proses produksi bisa dilakukan dengan
pemasangan alat pengolah limbah atau pemasangan alat penyaring debu dan
sebagainya. Dalam hal ini karena ada ketidakpastian dalam pengendalian
pencemaran maka terdapat resiko yaitu zat pencemar terakumulasi dalam
lingkungan dan akhirnya mengurangi kemampuan asimilasi lingkungan
tersebut. untuk menghindari hal tersebut maka pemerintah menerapkan
peraturan perundangan secara langsung dengan menentukan baku mutu
emisi atau baku mutu limbah cemaran.
2.2 Penerapan Pajak Pencemaran
Untuk menangani kondisi yang disebabkan oleh perubahan iklim,
sebagai contoh, pemerintah dapat menerapkan pajak atas emisi dan bahan
bakar yang berasal dari fosil. Kebijakan ini dikenal sebagai pajak karbon
(carbon taxes). Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengurangi emisi gas
yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan dalam proses produksinya, dan
juga untuk mengurangi jumlah bahan bakar fosil yang digunakan individu
maupun perusahaan-perusahaan. Dengan menerapkan pajak-pajak tersebut,
diharapkan perusahaan-perusahaan akan berupaya untuk berinovasi dan
membangun manajemen limbahnya dengan baik, sehingga dapat
mengurangi pembayaran pajak yang tentunya akan menaikkan ongkos
produksi.
Sejalan dengan hal tersebut, pajak atas bahan bakar fosil akan
memicun peningkatan harga bahan bakar tersebut. Secara teori, seseorang
akan mengurangi pemakaian bahan bakar ketika harganya naik. Dengan kata
lain, pemerintah dapat menyelamakan lingkungannya dengan menerapkan
fitur pajak tersebut.
Dalam pendekatan pengendalian pencemaran untuk memelihara
lingkungan ada beberapa instrumen yang dapat diterapkan diantaranya :
a) Mengubah secara langsung tingkat harga atau biaya produksi.
pengubahan tingkat harga dan biaya secara langsung terjadi bila
pungutan atau pajak lingkungan dikenakan terhadap produk atau
terhadap proses pengolahan produk seperti pungutan pencemaran
ataupun sistem deposit yang digunakan bila terjadi kerusakan lingkungan
dan dikembalikan jika tidak terjadi kerusakan lingkungan.
b) Mengubah secara tidak langsung harga dan biaya melalui kebijakan
fiskal dan moneter. Mekanisme in dapat dilakukan dengan memberi
subsidi, pinjaman lunak, ataupun dengan kebijakan fiskal yang semuanya
itu mendorong untuk digunakannya teknologi bersih, dan denda terhadap
ketidakpatuhan pada peraturan juga dapat dikategorikan pengubahan
harga tidak langsung.
c) Menciptakan pasar bagi barang-barang lingkungan. Mekanisme ini dapat
dilakukan dengan memperdagangkan hak atau kuota untuk membuang
limbah tertentu.pelelangan hak dalam hal pembatasan emisi, pembatasan
penangkapan ikan di wilayah tertentu, dan sebagainya.
Pungutan atau pajak lingkungan merupakan instrumen yang langsung
menentukan nilai atau harga terhadap penggunaan lingkungan. Bentuk
pungutan lingkungan ini bermacam-macam, diantaranya adalah :
a) Pungutan emisi (emission charge). Pungutan ini dikenakan terhadap
pembuangan pencemar ke udara, ke badan air, ataupun ke dalam tanah,
termasuk penciptaan kebisingan. Pungutan itu dikaitkan dengan kuantitas
maupun kualitas pencemarnya dan biaya kerusakan yang ditimbulkan
pada lingkungan.
b) Pungutan atas penggunaan (user charges). Pungutan terhadap
penggunaan sumber daya alam dan lingkungan ini mempunyai fungsi
untuk meningkatkan pendapatan negara atau pendapatan daerah yang
dikaitkan dengan biaya pengolahan, pengumpulan, dan pembuangan
limbah. Pungutan ini tidak langsung dihubungkan dengan kerusakan
lingkungan.
c) Pungutan atas dasar produk (produk charges). Pungutan atas dasar
produk ini dikenakan pada proyek yang merusak lingkungan, yaitu bila
pproduk itu digunakan dalam proses produksi. atau dikonsumsi dan
dibuang kedalam lingkungan. Tinggi rendahnya pungutan tergantung
pada kadar atau derajat kerusakan yang ditimbulkannya.
d) Perdagangan izin. Sistem ini terjadi bila terdapat sistem kuota lingkungan
atau batas atas dari pencemaran lingkungan yang diizinkan. Pada
awalnya alokasi perizinan dikaitkan dengan target lingkungan ambien,
tetapi setelah itu perizinan boleh diperdagangkan sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
e) Sistem deposit. Sistem ini diterapkan pada produk-produk yang
mempunyai potensi mencemari lingkungan. Kalau produk tersebut
dikembalikan ke pihak yang diberi wewenang untuk mengumpulkannya
setelah digunakan dan menghindari terjadinya pencemaran, maka ia
dapat diberikan [pembayaran kembali. Tetapi jika produk yang
dihasilkan tetap mencemari lingkungan, maka dana deposit yang
dibayarkan tadi akan digunakan untuk menanggulangi pencemaran
lingkungan yang ditimbulkan oleh produk tersebut.
2.3 Pajak Yang Optimal Terhadap Pencemaran
Dalam penerapan pajak lingkungan ada kelompok yang bersepakat
dengan diberlakukannya mekanisme prinsip tersebut namun ada pula yang
tidak sepakat dengan prinsip tersebut dengan beberapa alasan tertentu yang
akan dibahas didepan. Professor A.C. SPigou adalah orang pertama yang
mengusulkan dikenakannya pajak terhadap pencemaran lingkungan dan
pajak tersebut harus dibayar oleh orang atau lembaga yang menimbulkan
pencemaran tersebut. sistem pajak tersebut disebut sebagai “Pigovian
Taxes”. untuk memahaminya, perhatikan gambar
Gambar menunjukan bahwa produksi harus dikurangi sampai pada
titik manfaat sosial bersih yang optimal yaitu pada jumlah produksi Qs yaitu
pada saat pajak yang dikenakan persis sama dengan biaya kerusakan yang
ditimbulkan oleh pencemaran yang dihasilkan oleh perusahaan atau pabrik
tersebut (BEM). Pajak atas pencemaran itu (“pigovian tax”)ditunjukan oleh
garis putus-putus t yaitu untuk setiap unit pencemaran pengusaha harus
membayar pajak kepada pemerintah setinggi t.
Dari gambar dapat dimengerti bahwa seorang produsen akan
mendapat keuntungan bersih yang maksimum dengan memproduksi barang
atau produk sampai titik Qm. Namun demikian apabila biaya kerusakan
lingkungan akibat pencemaran harus dipertimbangkan oleh produsen, maka
produksi akan tidak dilaksanakan apabila keuntungan bersih marginal lebih
rendah daripada biaya eksternal marginal. Oleh karena itu, produksi akan
berhenti pada titik Qs dan berakibat mengurangi pencemaran dari volume
sebesar Wm menjadi Ws. Pajak atas pencemaran ini memberikan manfaat
yang lebih besar dibanding dengan sistem pengaturan langsung yang disertai
denda karena tidak mematuhi baku mutu atau standar pencemaran.
Penentuan baku mutu seringkali tidak berkaitan dengan nilai produk
yang dihasilkan oleh perusahaan. Seandainya baku mutu limbah ditentukan
lebih tinggi dari volume Ws, ini berarti produsen masih akan menghasilkan
produk yang memberikan nilai manfaat bersih lebih rendah dari pada biaya
ekternal yang dipikul oleh masyarakat. Jadi, terlalu banyak produk dan juga
pencemaran yang dihasilkan. Sekarang bagaimana kalau baku mutu limbah
itu ditentukan lebih rendah daripada volume Ws yaitu setinggi Wf.
Kebijakan demikian sungguh akan merugikan masyarakat secara
keseluruhan. Dengan penentuan baku mutu setinggi Wf, ini berarti bahwa
masyarakat akan mengalami penurunan manfaat sosial atau keuntungan
bersih sebesar luas area Qf,QsAB dan penurunan biaya eksternal seluas
QfQsAD.
Selanjutnya bila pemerintah mengenakan denda setinggi garis yang
diberi tanda “denda”, maka produsen akan cenderung menghasilkan output
setinggi Qp karena produksi setinggi itu masih memberikan tambahan
keuntungan bersih yang lebih tinggi daripada denda yang dikenakan. Dalam
hal ini, produsen akan menyumbang pada pembentukan pencemaran
setinggi Wp yang lebih tinggi dari pada bila produsen dikenai pajak setinggi
t. Ini berarti bahwa pengaturan langsung dengan baku mutu dan denda yang
relatif rendah tersebut, kurang memberikan dorongan kepada produsen
untuk mengurangi pencemaran. Dengan kata lain, produsen lebih senang
membayar denda daripada mengurangi produksi atau pencemaran yang
diciptakannya.
Keuntungan lain dari pendekatan dengan pajak atas pencemaran
dibanding dengan pengaturan langsung adalah bahwa pengenaan pajak atas
pencemaran tidak terlalu banyak dihindari dibanding dengan sistem
pengawasan oleh polisi. Pengenaan pajak atas pencemaran akan mendorong
produsen untuk mengurangi pencemaran karena dengan semakin sedikit
jumlah pencemaran yang diciptakannya akan berarti semakin sedikit jumlah
pajak yang harus dibayarnya. Selanjutnya dengan pembayaran pajak
pencemaran itu, dana akan terbentuk yang dapat digunakan untuk
pengembangan penelitian guna mengembangkan teknologi penanggulangan
pencemaran atau mengembangkan teknologi bersih yang sedikit
menghasilkan limbah pencemar. Dan juga, pengenaan pajak itu memberikan
isyarat baik kepada produsen maupun kepada konsumen bahwa ada
kerusakan lingkungan sehingga mereka mau mengurangi konsumsi (bagi
konsumen) maupun produksi (bagi produsen) akan barang tersebut dan
beralih ke jenis produksi lain yang tidak merusak lingkungan sehingga
tingkat pajak akan rendah dan dengan sendirinya harga barang yang
bersangkutan akan rendah pula.
2.4 Masalah Penentuan Tingkat Pajak
Dari uraian diatas tampaknya sistem pungutan pajak lingkungan
mempunyai beberapa kelebihan dibanding sistem pengaturan lingkungan
secara lingkungan. Namun demikian dalam praktiknya pajak lingkungan
(“pigovian tax”) cukup sulit dilaksanakan karena adanya alasan yang sangat
mendasar yaitu adanya ketidakpastian dalam biaya kerusakan lingkungan
akibat dari suatu pencemar. Penentuan BEM (biaya eksternal marginal)
merupakan dasar bagi penentuan pajak lingkungan yang memerlukan
informasi dan data yang jelas berkaitan dengan beberapa faktor berikut :
a) Pengetahuan tentang macam dan jumlah produk (output) yang dihasilkan
oleh suatu perusahaan.
b) Banyaknya (dosis) pencemar yang dihasilkan perusahaan sebagai produk
samping yang tidak diinginkan.
c) Sifat akumulasi pencemar dalam jangka panjang.
d) Apakah pencemar itu dihadapkan langsung dan terus menerus pada
manusia (human exposure).
e) Timbulnya kerusakan akibat dari pencemar tersebut.
f) Penilaian dalam rupiah terhadap biaya kerusakan akibat pencemaran
tersebut.
Dalam praktik, tampak bahwa perhitungan yang teliti mengenai
tingkat pajak lingkungan yang tepat sulit untuk direalisasikan. Misalnya
pajak yang dikenakan terhadap penggunaan batubara yang menimbulkan
polusi karbon dioksida diudara, harus lebih tinggi dari pada pajak yang
dikenakan terhadap bahan gas alam yang hanya menghasilkan 60% volume
karbon dioksida jika dibandingkan dengan penggunaan batu bara.
Penggunaan gas alam dipandang lebih ramah lingkungan, jadi sebaiknya
tidak sama.
2.5 Penggeseran Beban Pajak Ke KonsumenSelanjutnya yang harus dipikirkan adalah siapa yang sebenarnya
membayar pajak lingkungan atau pajak pencemaran tersebut. jika
menggunakan prinsip “pigovian tax”, maka pencemaran harus dibayar oleh
pencemar (pulluter pays principle). Namun, dengan tingginya pajak
lingkungan maka otomatis, produksi berkurang dan volume pencemar pun
bisa ditekan kebatas normal. Namun hal ini dari perspektif produsen,
dianggap merugikan karena keuntungan dari jumlah produksi harus dibatasi
karena tingginya biaya eksternal (BEM) yang ditimbulkan pajak
lingkungan, sehingga ada kecenderungan untuk menggeser beban pajak ke
konsumen.
Dalam teori perpajakan, dikenal konsep penggeseran beban pajak
yaitu bahwa beban pajak sesungguhnya dapat digesarkan ke depan ataupun
ke belakang. Dengan kata lain, pembayar pajak tidak harus ditanggung oleh
pencemar saja. Melainkan konsumen juga harus menanggungnya kerana
barang dari proses produksi itu juga dinikmati oleh masyarakat selaku
konsumen.
Sebelum ada pajak, produsen menghasilkan produk setinggi Qo yang
ditunjukkan oleh perpotongan antara kurva permintaan D dan kurva
penawaran So pada titik Eo. Kalau seandainya pemerintah mengenakan
pajak per unit (specific tax) terhadap produk karena prosesnya
menghasilkan polusi udara yang meningkatkan aktifitas karbondioksida
dalam udara, maka oleh produsen, pajak itu akan dibebankan kepada
konsumen produk tersebut dengan cara menaikkan harga produk sebesar
nilai pajak dari pemerintah, sebesar t. Hal ini akan berdampak pada
berkurangnya permintaan konsumen akibat kenaikan harga produk menjadi
P1.
Namun dapat juga dijelaskan bahwa besar kecilnya penggeseran
beban pajak tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran akan
produk tersebut. apabila permintaan terhadap produk perusahaan tersebut
semakin inelastis, maka beban pajak akan cenderung lebih digeser kepada
konsumen, sedangkan apabila permintaan akan produk bersifat elastis, maka
penggeseran beban pajak pada konsumen akan lebih kecil dan sebagian
besar pajak akan dipikul produsen sendiri.
Berdasar analisa tersebut, apakah sudah tepat jika produsen pencemar
lingkungan diharuskan membayar pajak atas pencemaran seperti pada
prinsip polluter pays principles. Namun kenyataan yang terjadi adalah
produsen menggeser beban pajak pada konsumen. Secara teoritis,
penggeseran beban pajak dapat diterima karena yang menikmati haasil
produksi selain produsen adalah konsumen juga.
Kembali kita lihat grafik ini, karena diberlakukannya pajak pencemar,
maka produsen tidak mencapai keuntungan bersih maksimalnya yaitu pada
Qm. Produsen harus mengurangi produksinya dari Qm menjadi Qs. Ini
menunjukan penurunan yang sangat drastis dari keuntungan produsen dan
bahkan juga masyarakat (social Loss) karena produksi berkurang dan harga
meningkat. Oleh karena itu, penganut paham ini merasa pantas jika
perusahaan sebaiknya tidak dikenai pajak atau pungutan atas pencemaran
karena memproduksi emisi, polusi atau limbah lainnya.
Disamping itu, dapat juga diajukan argumen bahwa jika setiap
produsen dibatasi jumlah produk dan volume pencemarnya pada titik Qs
dan Ws maka keseimbangan lingkungan akan terjadi dengan asumsi Qs dan
Ws adalah baku mutu produksi yang harus dipertahankan sehingga tak perlu
lagi ada biaya pencemar yang harus dibayar karena lingkungan masih dapat
mengasimilasi pencemar yang dihasilkan produsen. Maka kelompok dengan
argumen ini, lebih menyukai pengaturan langsung yang dapat memaksa
produsen membatasi pencemar sampati pada titik Ws tanpa ada pajak
tambahan lagi. Inilah alasan mengapa para pembuat kebijakan seringkali
belum menerapkan sistem pajak lingkungan atau insentif ekonomi
lingkungan dan lebih memilih menerapkan prinsip pengaturan langsung
dengan baku mutu pencemaran lingkungan. Sehingga dapat disimpulkan
secara sederhana bahwa penetapan baku mutu lingkungan saat ini, masih
berlandaskan pada kepentingan ekonomi dimana terjadi tarik menawar
kepentingan antara pemerintah selaku pembuat kebijakan dengan pihak
produsen.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem pungutan pajak ini juga dinilai regresif dalam penerapannya
dimana kurang memihak pada keadilan atau pemerataan. Kelompok kecil
yang berpendapatan rendah akan lebih menderita dibanding kelompok kaya
karena beban pungutan pajak tersebut akan digeserkan kepada konsumen
tanpa memperhatikan tingkat pendapatan konsumen. Maka, untuk
menanggulangi masalah tersebut, harus dicari jalan keluar agar penerapan
pajak lingkungan tersebut dapat digunakan untuk menanggulangi kerusakan
akibat pencemaran lingkungan juga memperhatikan keadilan dan
pemerataan kebutuhan pada kelompok kecil.
Salah satu cara adalah pemerintah menggunakan pendapatan dari hasil
pajak pencemaran lingkungan itu untuk menyediakan barang dan jasa
dengan subsidi kepada para penerima pendapatan rendah, seperti misalnya
pemerintah memberikan subsidi harga bagi konsumen dengan pendapatan
rendah juga misalnya dengan membangun sistem sanitasi yang baik di
perumahan-perumahan kumuh dan padat penduduk. Dalam hal ini diartikan
bahwa pengenaan pajak lingkungan bukan dimaksudkan untuk mencari
keuntungan, melainkan untuk mempengaruhi tingkah laku konsumen
maupun produsen ke arah pengurangan tindakan yang mencemari
lingkungan.
3.2 Saran
Pendekatan pasar yang lain untuk mengurangi kerusakan lingkungan
adalah dengan membayar subsidi kepada perusahaan sumber polusi untuk
tidak menimbulkan polusi. Karena subsidi adalah pajak ‘negatif’,ia
mempunyai mekanisme rangsangan yang sama dengan pajak polusi,dimana
mereka memberikan reward karena tidak melakukan polusi, yang
berlawanan dengan mengenakan hukuman karena terlibat dalam aktivitas
polusi. Dalam praktek, subsidi pengurangan polusi dapat diberikan dalam
bentuk bantuan, pinjaman dengan bunga murah, atau pembebasan pajak
investasi, semuanya memberikan rangsangan kepada perusahaan sumber
polusi untuk menanamkan sebagian modalnya dalam teknologi pengurangan
polusi. Apabila subsidi diberikan untuk memasang alat pengurangan polusi
khusus, seperti scrubbers (mesin pembersih udara).
Kebijakan subsidi dalam bentuk lain yang mungkin dapat menjadi
solusi adalah dengan mengalokasikan subsidi bagi penelitian dan
pengembangan upaya ramah lingkungan (climate-friendly research and
development). Tujuan dari subsidi ini adalah untuk mengajak dan
merangsang orang untuk mencari temuan atau teknologi baru bagi
pembangunan proses produksi yang bersih. Sebagai contoh, pemerintah
memberikan subsidi bagi pengembangan teknologi untuk mengurangi polusi
udara, atau bagi pencarian sumber energy terbarukan. Subsidi ini juga dapat
menjadi solusi bagi terbukanya peluang-peluang untuk mengembangkan
teknologi yang ramah lingkungan sekaligus murah diaplikasikan dalam
proses produksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Koesworo, W Heru, Ekawati euis, ekonomi lingkungan untuk pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, 2002, Jakarta
2. Suparmoko, M, Ekonomika Lingkungan,edisi pertama, BPFE, 2000, Yogyakarta
3. Tjahja. D. Surna, Hendriani Y,Famiola M, Ekonomi Hijau (Green Economy),rekayasa sains, 2011, Bandung
4. http://budisansblog.blogspot.com/2012/03/pajak-subsidi-bbm-dan-kebijakan-energi.html
5. http://www.pksi.depkeu.go.id/pub.asp?id=14