desentralisasi, demokratisasi dan otonomi daerah
TRANSCRIPT
Nama : Winda Novia Rahmanisa
NPM : 1006775243
Sumber : “Indonesia’s protracted decentralization” by Marco Bunte
Pada jaman orde baru, selama kurang lebih 32 tahun Soeharto memimpin NKRI
dengan kebijakan-kebijakannya yang bersifat otoritarian. Oleh karena itu, di jaman ini bentuk
administrasi Indonesia terpusat pada pemerintah atau sentralistik, pusat kontrol ada pada
pemerintah. Kebijakan sentralistik merupakan pelengkap dalam mengkonsolidasikan
kekuatan dari rezim neo-patrimonial. Struktur administratif sentralistik telah menjadi
penyangga dari rezim otoriter. Orde baru menggunakan struktur administratif sentralistik
untuk menyeenggarakan kebijakannya sampai ke level terendah dan untuk mengontrol
ketidaksepakatan. Sejak krisis keuangan tahun 1997 dan jatuhnya pemerintahan Soeharto
pada mei 1998, sistem politik Indonesia mengalami perubahan. Pengaruh yang paling besar
datang dari proses demokratisasi dan desentralisasi pada 1998 dan 1999. Pada bulan Mei
1999, Habibie, yang saat itu menjabat sebagai presiden, memperkenalkan hokum
desentralisasi kepada parlemen yang masih dijabat oleh 3 partai besar pada masa orde baru
dan beberapa pegawai dari era Soeharto. Desentralisasi menjadi isu utama saat itu dan proses
desentralisasi menjadi berlarut-larut seperti proses demokratisasi.
Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk dapat memperkuat dan memaksimalkan
peran-peran dari provinsi, distrik atau wilayah-wilayah yang ada di Indonesia. Peran dari
wilayah-wilayah tersebut dibatasi seperti menengahi perselisihan antardistrik, memfasilitasi
pembangunan cross-district dan merepresentasikan pemerintah pusat dalam wilayah.
Desentralisasi menjadi permasalahan serius setelah setahun pengimplementasiannya.
Beberapa tahun setelah dimulainya kebijakan demokratik desentralisasi tetap tidak terlihat
adanya konsensus dalam elit bangsa Indonesia pada bagaimana mendistribusikan kekuatan
1 | P a g e
politik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Desentralisasi telah menjadi proses
yang berlarut-larut yang dikonfrontasi pada setiap tahap atau level dengan well connected
pada level pusat dan level lokal. Kurangnya diskusi antarkeduanya pada tahap awal dan
kepemimpinan politik yang kuat selama fase penerapan, kelompok penguasa di jenjang
nasional dan lokal menggelincirkan proses desentralisasi. Hal tersebut akan menunjukkan
bahwa derajat dari desentralisasi sering ditentukan oleh sejumlah persetujuan politik antara
pejabat nasional dan daerah.
Sejak desentralisasi tidak lagi didiskusikan, otonomi daerah menemukan penolakan
sengit dari banyak pihak. Selama masa kepemimpinan Abdurrahmani Wahid hukum-hukum
diperkenalkan ke masyarakat untuk segera diimplementasikan meskipun beliau
mendemonstrasikan keinginannya untuk menjalankan desentralisasi dengan menggunakan
Ryaas Rasyid sebagai menteri baru untuk otonomi daerah. Selama masa jabatannya, terdapat
perdebatan diantara politisi dan birokrat mengenai kebaikan dan bahaya dari desentralisasi.
Pengaruh Wahid dalam membuat kebijakan berkurang setelah masa-masa akhir
kepemimpinannya. Panggilan untuk merevisi otonomi daerah menjadi semakin kuat. Wakil
presiden, Megawati, menitikberatkan masalah yang disebabkan oleh otonomi daerah dan
disintegrasi nasional. Salah satu usulan utama adalah membangun kembali hierarki
kepemerintahan dari pemerintah sentral, provinsi, wilayah, kotamadya, sub-distrik, dan desa.
Setelah kurang dari empat tahun desentralisasi, bingkai desentralisasi telah digantikan
oleh pasal 32 tahun 2004. Tujuan dari kebijakan otonomi daerah yang baru adalah untuk
menambah efisiensi dan keefektifan dari pemerintah daerah dalam mensejahterakan
rakyatnya. Otonomi daerah harus menjamin terjadinya keharmonisan antara satu daerah ke
daerah lain dalam menaikkan kesejahteraan rakyat dan mencegah perpecahan. Tetapi, tujuan
utamanya adalah untuk memperkenalkan program pemilu untuk memilih kepala
2 | P a g e
pemerintahan. Kebijakan desentralisasi ini merupakan sebuah usaha dari pemerintah pusat
untuk menunjukkan kelemahan dalam bingkai desentralisasi dan memperbaiki masalah yang
hadir karena otonomi daerah.
Demokratisasi dan desentralisasi telah menimbulkan sejumlah efek, diiringi dengan
administrasi dan mobilisasi etnis. Bukan hanya menjalani konsoldasi antarelit orde baru tetapi
juga korupsi. Korupsi diambil dari alokasi dana daerah dan hal tersebut sulit untuk di control
akibat masih lemahnya control dari civil society. Selama proses otonomi daerah, banyak sub-
daerah yang ingin menjadi daerah yang lebih besar, hal tersebut dinamakan pemekaran.
Kebijakan-kebijakan tersebut juga mengakibatkan banyak konflik antardaerah maupun antar
etnis. Sepertinya implementasi dari kebijakan-kebijakan ini masih tidak terlalu sukses dan
tidak sesuai dengan tujuan utamanya.
3 | P a g e