discussion paper 08 - diantara financial distress dan corporate failure
DESCRIPTION
Mampu bertahan dari bisnis yang sakit atau meningkatkantingkat pengembalian modal, dengan menghindari tindakan likuidasi yang segera, dapat sangat menguntungkan stakeholders. Intervensi negara melalui semangat perundang-undangan yang menyediakan insentif untuk memperpanjang eksistensi perusahaan yang pasif dapat menekan kematian perusahaan yang faktanya memang semakin meningkat jumlahnya belakangan iniTRANSCRIPT
DIANTARA FINANCIAL DISTRESS DAN CORPORATE FAILURE:Strategi Merubah Haluan Perusahaan Rowland Bismark Fernando Pasaribu
DISCLAIMER:
Kertas kerja staff pada Serial Diskusi ECONARCH Institute adalah materi pendahuluan yang disirkulasikan untuk menstimulasi diskusi dan komentar kritis. Analisis dan kesimpulan yang dihasilkan penulis tidak mengindikasikan konsensus anggota staff penelitian lainnya, BOD atau institusi. Referensi pada publikasi Serial Diskusi harus dinyatakan secara jelas oleh penulis untuk melindungi karakter tentatif pada kertas Diskusi ini.
2
Diantara Financial Distress dan Corporate Failure1:Strategi Merubah Haluan Perusahaan
1. Pendahuluan Mampu bertahan dari bisnis yang sakit atau meningkatkan
tingkat pengembalian modal, dengan menghindari tindakan likuidasi
yang segera, dapat sangat menguntungkan stakeholders. Intervensi
negara melalui semangat perundang-undangan yang menyediakan
insentif untuk memperpanjang eksistensi perusahaan yang pasif
dapat menekan kematian perusahaan yang faktanya memang
semakin meningkat jumlahnya belakangan ini
Pembuatan keputusan managerial yang fleksibel dan efisien
secara cerdas dapat memberi perusahaan kesempatan untuk
bertahan; meski memang disadari bahwa tidak semua faktor pemicu
krisis dapat terdeteksi; banyak studi kasus yang menunjukkan
beberapa perusahaan yang tidak sanggup menyikapi dinamika yang
berkecepatan tinggi seolah terkena serangan stroke dan langsung
lumpuh seketika. Kasus lainnya ada yang dipicu oleh mis-
management internal, siklus industri, siklus produk perusahaan dan
seterusnya yang memang berpotensi sebagai penyebab kesulitan
keuangan perusahaan pada awalnya dan berakhir pada kematian
perusahaan tersebut. Diskusi yang hendak dibangun pada kertas
kerja ini adalah mengenai pelaksanaan strategi perubahan haluan
perusahaan sebagai salah satu cara tindakan yang diambil
perusahaan untuk bertahan menyikapi lingkungan bisnisnya.
1.1 Keputusan Perubahan HaluanRoutledge dan Gadenne (2004) menyatakan pentingnya
peranan pembuat kebijakan, perilaku dan hubungan mereka dengan
isyarat informasi. Mereka mengembangkan model statistik untuk
memperjelas dan memeriksa isu-isu tersebut. Langkah pertama
3
mereka adalah menguji peristiwa reorganisasi; apakah perusahaan
perlu memulai reorganisasi, atau memutuskan untuk membubarkan
secepatnya begitu perusahaan memasuki proses administrasi
kebangkrutan sukarela. Routledge dan Gadenne mengacu pada hasil
temuan Bulow dan Shoven (1978), White (1980, 1983 dan 1989)
menunjukkan pentingnya informasi terhadap koalisi potensial para
pembuat keputusan, mencakup pemilik saham, manajer dan
beragam kelompok kreditur.
Selama empat puluh tahun terakhir, terutama di AS, konsep
kesulitan keuangan telah berubah secara radikal, sebagian oleh
karena perubahan utama baik dalam hukum dan pasar. Pertama-
tama, jumlah dan skala kebangkrutan sudah meningkat sangat
besar. Kedua, perusahaan sudah terus meningkat mengganti isu awal
hutang publik yang high-yield untuk kredit perdagangan, dan
banyaknya investor yang membeli dan menjual perusahaan distress
yang terkadang untuk tingkat partisipasi langsung dalam
reorganisasinya juga telah membengkak. Kompleksitas tambahan ini
telah meningkatkan penyimpangan waktu antara serangan dari
financial distress yang tidak dapat diubah dan 'kematian perusahaan'
dengan dampak yang dikaitkan atas claimholders.
Informasi yang dapat dipercaya menjadi sulit untuk diperoleh
atau diverifikasi selama masa kesulitan keuangan. Bahkan penilaian
dari perusahaan yang distress dapat menjadi sangat kompleks
terutama mengenai keputusan tindakan potensial yang akan diambil
masih menjadi sesuatu yang diperdebatkan. Masalah utamanya
adalah bagi para claim-holders yang menentukan apakah perusahaan
dapat dianggap bangkrut dengan hanya berdasarkan kinerja saham
seperti halnya berdasarkan arus kas, menjadikan suatu definisi yang
komprehensif menempati posisi penting disini. Wruck (1990)
menguraikan ketidakmampuan bayar utang sebagai "perusahaan
dengan nilai kekayaan bersih ekonomi yang negatif: nilai saat ini dari
arus kasnya; lebih kecil dibanding total kewajibannya", mengacu
pada konsep insolvensi dan kebangkrutan-nya Altman dimana
4
menurut Wruck, "perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan
adalah insolven dalam basis arus dana, yakni tidak mampu
memenuhi kewajibannya saat ini.“ Investor harus hati-hati juga
terhadap sejarah arus kas perusahaan, sebagaimana halnya
kemampuan meramalkan arus kas mendatang.
Kebijakan reorganisasi diperlukan baik untuk maksimalisasi
nilai perusahaan dan berbagai kepentingan kelompok. Di mana
konflik kedua faktor ini mengenai sumber daya perusahaan yang
layak dipertimbangkan akan diperlukan untuk memecahkan masalah
tersebut.
Bagaimanapun, akan ada konflik kepentingan yang tak bisa
diacuhkan mengenai cara terbaik untuk memecahkan permasalahan
distress, sebagaimana kebijakan reorganisasi yang berbeda juga akan
mendistribusikan kekayaan dalam proporsi berbeda antara pemegang
saham, manajer dan kreditur. Ini mungkin mengarah kepada bias
atau data yang tidak akurat yang dipresentasikan oleh kelompok
yang mengejar kepentingan akhir mereka sendiri (Kaback, 1996;
Dalton dan Dily, 2001). Kemungkinan perilaku dan keputusan
menghancurkan nilai adalah kuat; dalam kasus yang paling ekstrim
memperpanjang kontroversi dapat menjadi 'jerami terakhir' yang
mendorong ke arah kematian perusahaan.
Maka penting bahwa para manajer dan claim-holders saling
memberikan informasi seakurat mungkin. Manajer dapat
memberikan kontribusi informasi akurat mengenai operasional
internal, dimana kreditur atau para pemegang saham bisa
memberikan penilaian objektif mereka yang lebih baik terhadap
faktor eksternal, misalnya: efektivitas manajemen puncak dan
lainnya. Mungkin saja di dalam kondisi yang ekstrim, arus informasi
yang ada menjadi perbedaan yang krusial antara perubahan haluan
yang sukses dan gagal, dan karena itu perlu dipertimbangkan dengan
seksama dalam suatu penilaian.
Di samping lingkungan konflik kepentingan dan
ketidaksempurnaan informasi ini, kesulitan keuangan sering juga
5
diselesaikan melalui reorganisasi yang legal. Menurut Gilson (1989,
1990) dan Gilson et.al (1990) dengan menggunakan emiten di bursa
New York dan Amerika, di mana berdasarkan kinerja tiga tahun telah
meletakkan mereka pada 5% terbawah sementara 51%-nya menjadi
distress, baik itu berupa default atau merestrukturisasi hutang
mereka; 49% tidak. Meski demikian, diantara perusahaan yang
distress, 47% mampu menyelesaikan kondisi distress melalui
renegosiasi dengan kreditur tanpa harus berakhir dalam pengadilan
kebangkrutan. Studi lainnya (Weiss, 1990; Morse dan Show, 1988)
menunjukkan bahwa, 95% perusahaan yang muncul sebagai
konsekuensi Bab 11 dengan rencana reorganisasi, hanya 5% yang
segera dibubarkan; dan dari jumlah perusahaan yang muncul dari
Bab 11; 60% diantaranya merencanakan reorganisasi, 7% melakukan
merger, dan 15% segera dilikuidasi.
Gilson et al. (1990) selanjutnya menyatakan bahwa semakin
tinggi rasio hutang bank terhadap total kewajiban, semakin tinggi
probabilitas dilakukan renegosiasi tertutup. Sebaliknya, semakin
kompleks struktur modal perusahaan dan semakin besar jumlah
proporsi hutangnya, semakin kecil probabilitas renegosiasi hutang
berhasil. Lebih lanjut, Gilson et al. (1990) juga menyatakan bahwa
saat rasio nilai pasar perusahaan untuk mengganti biaya modal lebih
tinggi, maka semakin tinggi juga nilai renegosiasi tersebut. Dengan
kata lain, reorganisasi tertutup lebih mungkin dilakukan dalam
perusahaan yang aktivitasnya menghasilkan aset intangible yang
signifikan.
White (1983, 1989) menekankan insentif pemilik modal yang
harus menghindari likuidasi, yang akan menghapuskan saham
mereka, dan bahwa manajer dalam mempertahankan posisi
pekerjaan mereka, dapat dikatakan bertindak sebagai agen bagi
pemodal. Karenanya, komitmen modal adalah tetap, probabilitas
reorganisasi akan meningkat. Indikasi bahwa nilai going-concern
perusahaan (dikurangi biaya reorganisasi) akan melebihi nilai
likuidasinya (profitabilitas masa depan), atau tingkat likuiditas cukup
6
tinggi untuk melunasi kreditur yang tak terjamin, juga
mempromosikan kemungkinan terjadinya reorganisasi.
Dalam banyak penelitan keuangan, sebahagian besar fokus
pada biaya financial distress dan restrukturisasi keuangan dibanding
keuntungan potensialnya. Bagaimanapun, banyak peneliti (Kaplan,
1989; Smith, 1990; Baker dan Wruck, 1989; Kaplan dan Stein, 1990)
sepakat dalam hasil penelitiannya bahwa distress seringkali
ditindaklanjuti dengan perubahan organisasi komporehensi dalam
tata kelola, manajemen dan struktur organisasi yang dapat
menciptakan nilai dengan meningkatkan penggunaan sumber daya
dan efisiensi.
Kesulitan keuangan dapat benar-benar memperdaya kelesuan
dan menekan manajemen untuk memikirkan kembali, memproduksi
perubahan dan adaptasi untuk skala dan kedalaman tertentu yang
harus segera terjadi. Biaya kesulitan keuangan terdiri dari:
a. Biaya langsung; Gilson et.al (1990) menghitung biaya rata-rata
restrukturisasi hutang sebesar 0,32 persen total aktiva
perusahaan yang diukur tahun terakhir sebelum periode terjadi,
dimana studi lainnya (Warner 1977, Altman 1984, dan Weiss
1990) mengestimasi biaya aktual kebangkrutan berkisar 6,6%-9,8
nilai pasar emiten, hampir 10 kali lipat dibanding bila dilakukan
restrukturisasi hutang;
b. Biaya tak langsung sebagai biaya kesempatan terjadi saat
perusahaan tidak lagi menangani bisnisnya sebagaimana
biasanya. Perusahaan mungkin kehilangan hak untuk membuat
keputusan-keputusan strategis, misalnya: menjual aset atau
membelanjakan dana tanpa penundaan yang dikaitkan dengan
mencari persetujuan legal. Permintaan produknya mungkin gagal
kalau nilainya tergantung atau dipengaruhi oleh kinerja atau
eksistensi perusahaan mendatang, dimana biaya produksi
mungkin meningkat kalau para pemasok menerapkan premi risiko
dalam harga yang diajukannya, memperketat persyaratan kredit;
bahkan mungkin kalau perlu memasukan biaya stress
7
manajemen, energi serta waktu yang mereka alokasikan untuk
me-manage permasalahan yang terjadi.
Routledge dan Gadenne (2004) menggunakan faktor tersebut
sebagai variabel rasio keuangan dalam model statistik untuk
mewakili peristiwa reorganisasi, dan peristiwa kinerja. Faktor yang
terakhir ini adalah tahap kedua pada penelitian mereka yang
menjelaskan pentingnya data keuangan dalam menentukan
keberhasilan reorganisasi perusahaan (didefinisikan sebagai tingkat
pengembalian aset untuk tiga tahun mendatang yang sama atau
melebihi rata-rata industri). Kontrol dilakukan terhadap ukuran
perusahaan dan klasifikasi industri, seperti penelitian sebelumnya
oleh Hotchkiss (1995) dan White (1983) yang menemukan hubungan
signifikan antara faktor-faktor tersebut dan potensi sukses atau
kegagalan mendatang.
Hasil empiris menunjukkan bahwa peningkatan dalam rasio
debt-to-assets dan penurunan pada debt-to equity ratio adalah
indikator signifikan reorganisasi sebagaimana tingkat likuiditas
jangka pendek yang semakin tinggi. Hasil ini mengkonfirmasi bahwa
klasifikasi industri juga mempengaruhi keputusan reorganisasi.
Model juga menyimpulkan bahwa kreditur yang tak terjamin dan
pemilik modal menentukan keputusan reorganisasi. Sebagaimana
kedua model memiliki variabel yang sama, maka dapat dilakukan
perbandingan, contoh: satu hasil penting dan barangkali
mengejutkan, bahwa walaupun profitabilitas periode terdahulu
adalah variabel penting dalam membedakan kandidat yang memadai
untuk reorganisasi, ternyata tidak signifikan dalam model keputusan.
Hal ini mungkin mengindikasikan bahwa nilai going-concern
bukanlah perhatian utama koalisi para pengambil-keputusan.
1.2 Peranan Para Pengambil KeputusanSetelah menentukan pentingnya beberapa data keuangan
untuk keputusan pengambilan keputusan, Routledge and Gadenne
(2004) kemudian menjelaskan kinerja pengambilan keputusan dalam
8
menyikapi insolvensi yang terjadi dan peranan pentingnya
sebagaimana yang ditentukan oleh manajer.
Latar belakang teoritis yang menjadi dasar proses mereka
adalah model Brunswick lens (1952) dan selanjutnya studi Libby
(1975), Zimmer (1980), Abdel-Khalik dan El-Sheshai (1980), Casey
(1980, 1983) dan Houghton (1984). Disini diferensiasi dibuat antara
ketidaksempurnaan informasi dan ketidaksempurnaan sinyal utilisasi
saat keputusan yang tidak sempurna dibuat. Dengan menjelaskan
bagaimana hal yang terakhir dapat tercapai dengan mengacu pada
model lingkungan, Routledge dan Gadenne (2004) menunjukkan
bagaimana model efisiensi mereka dapat dicapai, khususnya seperti
yang telah ditunjukkan penelitian terdahulu bahwa subjek variabel
yang digunakan secara konsisten adalah berbeda dari para
diskriminator yang sukses.
Meski hanya sedikit sampel yang memungkinkan dan kegiatan
eksperimen itu sendiri mengurangi realisme, hasil penelitiannya
menyarankan bahwa akurasi keputusan individu memiliki tingkat
signifikansi yang rendah dibanding model lingkungan. Demikian juga
pada keputusan reorganisasi dan penyeleksian dari kelompok
perusahaan distress yang layak direorganisasi. Pengalaman terbukti
sangat berguna dalam menghasilkan pengidentifikasian yang akurat
terhadap perusahaan yang seharusnya dilikuidasi, tapi tidak dalam
konteks identifikasi perusahaan yang harus direorganisasi. Hal ini
mungkin merefleksikan bias ketidaksadaran para pengambil
keputusan atas tindakannya dalam menghindari semakin mahalnya
kesalahan klasifikasi dalam realitas yang dihadapi.
Disisi lain, model statistik yang telah dikembangkan untuk
mendiskriminasi perusahaan yang sukses dan tidak sukses mencapai
akurasi tinggi dan kemungkinan untuk penelitian selanjutnya
mungkin pengkajian pada rasio keuangan yang berbeda sebagai
ukuran dalam membentuk model. Kemungkinan lainnya adalah
penambahan rasio non-keuangan yang relevan seperti perilaku
9
manajerial, perilaku kreditur, pengaruh pada perilaku gabungan
koalisi yang berbeda-beda terhadap hasil keputusan.
2. Proses Perubahan HaluanIdentifikasi respons manajerial yang memadai terhadap
penurunan keuangan telah meningkat sedemikian rupa pentingnya.
Terdapat sejumlah bukti bahwa untuk di Amerika antara 1979-1985
misalnya, kegagalan bisnis telah meningkat empat kali lipat dimana
sebagian besar terjadi karena terkait dengan permasalahan ekspansi
dan pertumbuhan. "Di masa lalu, prediktabilitas pertumbuhan
(pertumbuhan ekonomi, populasi, dan teknologi), menjadikan tugas
pengurangan jumlah produksi menjadi tidak penting terutama untuk
kebanyakan organisasi… pertumbuhan itu sendiri adalah tujuan
yang utama" (Behn, 1983). Hal ini mengacu ke hampir seluruh
konsentrasi eksklusif atas perencanaan strategis pada perusahaan
yang kuat bermaksud bahwa sampai titik tersebut tidak ada teori
yang seragam untuk memandu penelitian tingkat perubahan haluan
bisnis. Hasilnya, sejumlah peneliti (Altman 1983; Nystrom dan
Starbuck 1984; Robbins, 1993) menyatakan bahwa perubahan
haluan usaha tradisional mengakibatkan kegagalan yang jauh lebih
sering dibanding suksesnya. Dihubungkan dengan literatur yang
terus meningkat jumlahnya, terbagi menjadi tiga kelompok topik
yakni: strategi recover yang sukses, proses perubahan haluan, dan
respon terhadap krisis tertentu.
2.1Keberhasilan Strategi Perubahan HaluanSchendel et al. (1976) berkonsentrasi dalam menganalisis
penyebab awal penurunan, mengkategorikan mereka apakah
dihasilkan dari kegagalan untuk mengadaptasi untuk mengubah
situasi (strategi buruk), dari ketidakefisienan, biaya operasional yang
tinggi atau dari keseluruhan implementasi yang tidak efektif yang
kelihatannya nampak strategis. Mereka mengembangkan model
perubahan haluan yang menekankan pentingnya pengidentifikasian
10
yang benar dan menilai penyebab kegagalan dengan demikian baik
komponen operasional dan stratejik diikutsertakan dan mencatat
bahwa usaha perubahan haluan biasanya ditindaklanjuti dengan
perubahan dalam jajaran top manajemen.
Penelitian selanjutnya oleh Schendel dan Patton (1976)
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang kuat dalam beberapa
variabel yang menjelaskan pencapaian sukses perusahaan dalam
perubahan haluan. Disini kenaikan arus kas, perputaran persediaan,
peralatan baru dan tempat usaha merefleksikan tingkat peningkatan
investasi sebagaimana halnya pertumbuhan pangsa pasar.
Sebaliknya, biaya operasional penjualan dan nilai tambah menurun.
Hofer (1980) meningkatkan penelitian ini dengan menyarankan
pentingnya memasukan derajat dan pola dan kerangka waktu pada
penurunan dalam penelitian perubahan dhaluan. Ia mendukung
kesimpulan bahwa jenis tanggapan harus menyempurnakan
penyebab dasar penurunan tetapi juga berteori bahwa apakah
kekejaman decline yang terjadi perlu mendikte: apakah memotong
harga hanya perlu dikerjakan dalam tingkatan operasional atau, lebih
agresif yakni juga dalam hal pengurangan aset.
Sampai titik ini, penelitian telah berdasarkan studi kasus dan
membangun teori pergerakan stratejik menjadi arti penting utama
suksesnya perubahan haluan, tapi Hambrick dan Schecter (1983)
mengaplikasikan pengujian empiris terhadap konsep yang ada saat
ini. Mereka mengidentifikasi dan memprioritaskan teori strategi
tersebut menjadi faktor sukses utama perubahan haluan dengan
merepresentasikannya melalui beragam variabel. Kemudian
mengkategorikannya sebagai strategi efisiensi (dengan konsentrasi
pada pemotongan biaya dan pengurangan aset yang mengarah pada
pencapaian profit) atau strategi entrepreneurial (berkonsentrasi pada
penghasilan pendapatan dan reposisi pasar jangka panjang), dan
menemukan bahwa kedua jenis strategi signifikan dikaitkan dengan
kesuksesan perubahan haluan. Yang sangat penting, mereka
memberikan bukti empiris yakni bahwa, meski beroperasi dalam
11
industri yang telah dewasa, perusahaan dapat mengikuti strategi
efisiensi atau recovery operasional dalam melakukan perubahan
haluan.
O’Neill (1986) memberikan bukti studi kasus untuk
mendukung temuan ini, yang mengarahkankannya membuat teori
mengenai studi penting yang diperlukan dalam menyeleksi
kesuksesan strategi perubahan haluan. Ia memutuskan bahwa tidak
hanya penyebab awal penurunan dan kebutuhan untuk personalitas,
pemikiran, dan perencanaan baru dalam manajemen tapi juga faktor
internal dan eksternal organisasi (tahap siklus hidup produk, posisi
kompetitif dan jenis industri) juga harus dipikirkan. Kemudian ia
mengkategorisasikan empat teori strategi utama sebagai: manajemen
(termasuk tidak hanya penggantian staff yang drastis tapi juga
tackling permasalahan motivasi dalam keseluruhan tenaga kerja,
mendefinisikan ulang bisnis itu sendiri), restrukturisasi (termasuk
perubahan dalam kerangka kerja aktual organisasi, metode produksi
yang baru dan seterusnya), cut-back, dan pertumbuhan. O'Neill
kemudian menguji hubungan dari strategi ini ke faktor eksternal,
kontekstual, dan final dalam mendukung Hambrick dan Schecter
(1983) bahwa meski pertumbuhan sebagai strategi sukses akan
dibatasi oleh kompetisi yang kuat, restrukturisasi dan cut-back bisa
saja sukses. Ramanujam (1984) dan Thietart (1988) juga mengikuti
bentuk permintaan keterangan yang serupa.
2.2Proses Perubahan HaluanBibeault (1982) berteori bahwa terdapat empat faktor kunci
dalam pencapaian perubahan haluan yang sukses. Keuangan dan
operasi inti dengan cara bersaing sehat telah harus dikenali dan
dicapai (jika perlu dengan perampingan operasional), motivasi
karyawan harus dijaga atau ditingkatkan, pembiayaan yang memadai
telah harus dirundingkan untuk menjembatani periode perubahan
haluan yang menyediakan sumber daya untuk inovasi seperti halnya
dalam menjaga tingkat operasi dan di sana telah harus ada
12
manajemen yang baru, giat, berkompeten dan didukung penuh pada
tempatnya. Semua faktor ini dilihat sebagai hal yang saling
tergantung. Dan sebaliknya, juga diusulkan bahwa kegagalan untuk
mencapai perubahan haluan yang sukses adalah terkait dengan
kebimbangan, ketidakberhasilan atau penilaian buruk pada pihak
manajemen, tidak bijaksana atau kurang baik dalam
mengaplikasikan strategi perubahan haluan atau ketidakmampuan
menyusun alternatif pendanaan yang memadai
Bibeault (1982) juga memperkenalkan konsep model perubahan
haluan dua tahap, berdasarkan pengamatannya yang didukung oleh
pemakaian yang dilaporkan (Goodman 1982; Slatter 1984; Slatter dan
Lovett, 1999). Konsep model tersebut mengusulkan bahwa strategi
keadaan darurat untuk menunjuk krisis keuangan dan memastikan
arus kas yang positif, dan karenanya dapat segera bertahan, harus
dikombinasikan dengan rencana stabilisasi untuk mengefektifkan
dan meningkatkan operasi inti perusahaan. Ia setuju dengan Hofer
(1980) bahwa implikasi awal decline yang terjadi dan jangka waktu
pada tahap pertama ini tergantung pada kondisi keuangan
perusahaan. Setelah langkah ini, Bibeault berteori mengenai titik
keputusan, di mana perusahaan harus lebih dulu memutuskan
secara sederhana untuk melanjutkan strategi sebelumnya dalam
bentuk skala dan atau format yang diturunkan, bentuk yang
ditingkatkan, atau entah itu akan mengejar strategi recover baru
dengan return-to-growth, pengembangan dan peningkatan dalam
pangsa pasar sebagai sasaran hasil.
Studi kasus Slatter (1984) mendukung identifikasi faktor kunci
tertentu untuk suksesnya perubahan haluan penelitian sebelumnya,
tetapi juga mengusulkan pengendalian pusat biaya yang kuat,
desentralisasi perubahan organisasi, dan desentralisasi kekuasaan
(Slatter dan Lovett, 1999) dan kepemimpinan (Slatter, Lovett dan
Barlow 2006) sebagai hal yang penting. Grinyer et.al (1988) serta
Grinyer dan Mckiernan (1990) meneliti penyebab dasar kemunduran
dengan berkonsentrasi pada peristiwa spesifik yang memulai
13
perubahan dalam strategi perusahaan, dan atas persamaan dan
perbedaan antara perubahan yang terjadi secara gradual dan
perubahan yang dipaksa atau dipercepat oleh keadaan. Di sini,
mereka memperkenalkan teori ambang kritis dan sharpbenders
(perusahaan yang menuju peningkatan keberhasilan yang dramatis
dan mendadak dalam kinerjanya). Kesimpulan mereka memperkuat
temuan sebelumnya seperti strategi yang berbeda-beda menjadi
memadai ke tahap perubahan haluan yang berbeda-beda pula.
Dalam membangun konsep yang terakhir ini, studi kasus
Robbins dan Pearce (1992) menyediakan bukti lanjutan bahwa
strategi pengurangan adalah suatu langkah pertama yang rumit dari
perubahan haluan yang sukses; luas dan tingkatan mereka sebagian
besar tergantung pada tingkat kegagalan itu. Explorasi mereka
menyangkut pertimbangan terserbut menghasilkan beberapa
kesimpulan teoritis; a) kemunduran ekonomi itu telah mengurangi
suatu sumber daya perusahaan; b) penting untuk melindungi apa
yang masih ada sebagai langkah pertama ke arah pembangunan lagi
sumber daya melalui penarikan kembali aset. Hanya setelah menuju
keberhasilan ini atau mampu menyediakan fleksibilitas yang
diperlukan untuk redirection yang strategis, tidak hanya
menanggulangi permasalahan mahal yang diciptakan saat ini; tidak
berhasilnya strategi tetapi juga memungkinkan implementasi yang
berpotensi mahal dari prakarsa strategis yang baru. Oleh karena itu,
pengurangan akan bersifat penting dan baik untuk menstabilkan
situasi, memelihara kelangsungan hidup perusahaan, serta
membiayai strategi recover dalam bentuk format apapun. Hasil studi
berikutnya oleh Smith dan Graves (2005) secara nyata mendukung
temuan ini.
2.3 Respon Terhadap Krisis terkait dengan Kinerja Yang Buruk
Sejumlah penelitian (Hedberg et al. 1976; Nystrom dan
Starbuck, 1984; serta Starbuck et al. 1978) telah dilakukan dalam
membahas krisis yang dikaitkan dengan permasalahan kinerja,
14
dimana isu-isu mengenai kinerja juga tidak begitu keras dalam
mengancam eksistensi perusahaan. Penelitian bermaksud untuk
membedakan dan menjelaskan tahapan yang berbeda pada respon
dan hal-hal yang menentukan serta pengaruh yang teribat
didalamnya, seperti perubahan manajemen dan sumber daya
keuangan yang tersedia.
a) Model Dua Tahap TerintegrasiRobbins dan Pearce (1993) mengkaji, menyimpulkan, dan
mengintegrasikan kesimpulan literatur yang sangat penting sampai
saat ini, terutama menggambarkan pada multi disiplin. Mereka
menyimpulkan bahwa riset lebih lanjut diperlukan untuk memeriksa
hubungan timbal balik antara empat komponen perubahan haluan
memproses yang telah dikenali: situasi perubahan haluan, respon
pengurangan, respon recover, dan tingkatan sukses perubahan
haluan yang dicapai.
Untuk memandu pengujian empiris potensial, mereka
mengembangkan suatu model dari teori menyangkut perubahan
haluan yang diekspresikan sebagai rangkaian tahap interrelasi yang
dihubungkan dengan situasi dan repons perubahan haluan. Mereka
menunjukkan penyebab asli menurunnya kinerja perusahaan yang
dibagi menjadi faktor internal dan eksternal, yang jika tidak ditangani
secepatnya menyebabkan kegagalan keuangan. Situasi perubahan
haluan diwakili oleh penurunan absolut dan relatif terhadap industri
yang cukup penting sebagai pemicu tertentu dan respon yang
ditargetkan. Langkah analisis berikutnya adalah mengestimasi
ancaman yang dibuat dalam parameter penurunan penjualan
(ancaman tingkat rendah) dan kebangkrutan yang segera terjadi
(ancaman tingkat tinggi). Respon perubahan haluan dibagi menjadi
dua tahap yang berbeda, menetapkan ukuran yang diperlukan guna
memastikan stabilitas daya tahan perusahaan dan atau mencapai
kestabilan, dan selanjutnya recover jangka panjang.
Lebih lanjut dikatakan, saat informasi mengenai dinamika
kesulitan keuangan dan lingkungan bisnis yang terjadi adalah
15
terbatas, dan perusahaan diasumsikan memiliki beberapa cadangan
keuangan yang bisa menggerakkan situasi yang ada dengan hanya
mengikuti kebijakan pengurangan biaya melalui peningkatan efisiensi
operasional. Meski demikian, di mana tingkat resiko adalah tinggi dan
segera terjadi, model menunjukkan bahwa pilihan yang lebih drastis
juga diperlukan; strategi pengurangan asset, memperkuat operasi
dengan mendivestasi bagian organisasi yang kecil tingkat
produktivitasnya, memperoleh injeksi dana yang signifikan dan saat
bersamaan efisiensi dtingkatkan lebih lanjut. Seperti telah dicatat
dari studi lainnya, keputusan yang akan dilakukan juga harus
berdasarkan pada penyebab kemunduran yang asli itu. Ini
melibatkan penilaian signifikansi oprasional yang tidak efisien dan
kesalahan menyusun strategi.
Ketika stabilitas dicapai dengan segera, model Robbins dan
Pearce (1992, 1993) lebih lanjut menyarankan langkah yang kedua
yakni recover jangka panjang, menunjukan penyebab kemunduran,
tetapi lebih kepada membalikkan dibanding hanya sekedar
menyederhanakan penghentian proses itu. Mungkin saja perusahaan
memutuskan, jika permasalahan internal telah menjadi penyebab
utama situasi perubahan haluan, untuk melanjut strategi
sebelumnya, tetapi dengan komitmen sumber daya yang dikurangi.
Bagaimanapun, dalam banyak kasus pekerjaan penting, melanjutkan
untuk memelihara atau meningkatkan efisiensi akan digabungkan
dengan suatu gradual yang lebih ke arah pendekatan yang lebih
dinamis. Sebagaimana model menandai terutama sekali jika faktor
eksternal adalah penyebab kemunduran yang semakin dominan,
strategi konfigurasi ulang bersifat usahawan seperti mengembangkan
produksi atau pasar baru, akuisisi dan lain lain akan lebih sesuai.
Penyelesaian proses perubahan haluan diwakili oleh prestasi
ukuran ekonomi tertentu yang menunjukkan bahwa perusahaan
paling sedikit yang memperoleh kembali level kinerja awal sebelum
serangan kemunduran. Robbins dan Pearce (1992, 1993) kemudian
juga menunjukan sejumlah permasalahan yang dirasa menjadi
16
penghalangi kemajuan lebih lanjut di riset perubahan haluan,
khususnya istilah dan definisi yang konsisten. Smith dan Gunalan
(1996) serta Smith dan Graves (2005) menggambarkan ketiadaan
konsensus diantara para peneliti seperti persisnya apa yang
mendasari situasi perubahan haluan atau perubahan haluan yang
sukses, sedang di sana terdapat definisi yang hampir sama
jumlahnya dengan peneliti, bermacam-macam pada waktunya
memutar dari 2 sampai dengan 4 tahun kemunduran untuk yang
terdahulu dan 2 untuk 6 tahun peningkatan untuk yang belakangan;
beragam ukuran keuangan atau ambang pintu untuk masuk ke
dalam salah satu tahap yang lain juga telah diusulkan. Satu masalah
spesifik untuk perusahaan dalam industri yang sangat siklis adalah
mereka mungkin telah benar-benar menghadapi dan memperdaya
situasi perubahan haluan di dalam masing-masing siklus ekonomi,
sementara tetap sebagai pemimpin pasar di industrinya bahkan di
bawah periode penurunan. Sebagai suatu masukan, mungkin
bijaksana untuk mempertimbangkan definisi berdasarkan industri
seperti diusulkan oleh Hambrick dan Schecter (1983), Ramanujam
dan Grant (1989) serta Robbins dan Pearce ( 1992, 1993).
b) Model Dua Tahap Yang DitingkatkanDalam penelitian mereka di tahun 1995 Arogyaswamy et.al
mengembangkan suatu model yang mewakili perubahan haluan
perusahaan seperti menunjukkan respon dua kelompok terhadap
kemunduran; strategi itu bertujuan untuk menghentikan atau
membalikkan hasil kurang baik dari kinerja yang buruk dan strategi
itu bertujuan mencapai recovery dengan mencapai posisi kompetitif
yang lebih baik. Mereka juga mengusulkan bahwa kedua strategi ini
penting untuk recovery, dan bahwa semua strategi harus secara
efektif diatur dan cukup didukung. Ini secara otomatis mencakup
kesuksesan manajemen menyangkut stakeholder eksternal
perusahaan bersama-sama dengan iklim internalnya (secara rinci
arus informasi dan proses pengambilan keputusan). Mereka
17
memandang literatur yang ada saat ini menempatkan terlalu banyak
penekanan atas peran pengurangan sebagai suatu tanggapan segera
kepada kerugian alternatif.
Umumnya literatur akademis (khususnya akuntansi) secara
substansial menguji nilai hanya terfokus pada paradigma
penghematan (digambarkan sebagai aset dan pengurangan biaya)
dalam manajemen perubahan haluan perusahaan. Kenyataannya
paradigma ini belum berhasil secara absolut dalam menetapkan
hubungan empiris positif yang kuat antara pengurangan dan
perubahan haluan yang sukses. Rasio keuangan digunakan untuk
mengukur signifikansi rendahnya COGS/Penjualan (Ramanujam
1984; Schendel dan Patton 1976), persediaan/penjualan dan
piutang/penjualan (Hambrick dan Schecter 1983; Ramanujam 1984),
biaya pemasaran/penjualan, dan biaya litbang/penjualan yang
rendah serta kenaikan peningkatan penjualan per tenaga kerja
(Hambrick dan Schecter 1983) dalam perubahan haluan perusahaan
yang sukses. Bagaimanapun, penggunaan rasio ini berarti
peningkatan dapat juga disebabkan oleh keuntungan penjualan yang
lebih besar, meski bukti-bukti yang ada tidak mempertegas apakah
efisiensi yang ditingkatkan adalah hasil aset atau pengurangan biaya,
pada keuntungan penjualan, atau kombinasi keduanya. Oleh sebab
itu tampak seperti lebih kepada tahap awal proses perubahan haluan,
dan karenanya diperlukan peleitian lebih lanjut.
Terdapat beberapa bukti-bukti bahwa adanya permasalahan
lain dalam kemerosotan perusahaan. Penelitian Gilson (1990) dan
Sutton (1990) misalnya, menemukan masalah tersebut sebagai
konsekuensi berkurangnya dukungan stakeholder eksternal,
sementara Mohrman dan Mohrman (1983), Krantz (1985), Cameron
et.al (1987) menunjukkan berbagai kesulitan dalam iklim internal
perusahaan. Disisi lain, Bozeman dan Slusher (1979), Staw et.al,
(1981) serta D'Aunno dan Sutton (1992) menghubungkannya dengan
proses pengambilan keputusan yang buruk. Pengurangan aset dan
harga itu sendiri tidak mungkin menyelesaikan seluruh
18
permasalahan ini. Oleh karena itu pengurangan sebagai satu-satunya
tanggapan awal mungkin diperlukan tapi bukan inisiator perubahan
awal yang memadai.
Barker dan Mone (1994) berpendapat bahwa fokus eksklusif
dalam aktivitas pengurangan mungkin mengaburkan atau bahkan
memperburuk permasalahan lain dan benar-benar mengurangi
kesempatan recovery; strategi memotong aset atau biaya mungkin
mengurangi moril perusahaan untuk kehilangan sejumlah karyawan
yang berkualitas, bahkan yang berasal dari tingkatan manajemen.
Karenanya penting untuk model proses perubahan haluan dalam
mengenali dan menjelaskan secara detail pada banyak faktor yang
dilibatkan, bahwa proses tersebut sering saling tergantung satu sama
lain dan strategi yang ditujukan mungkin perlu untuk overlap secara
simultan. Disain utama kesalahan dalam banyak studi juga telah
menjadi asumsi bahwa strategi dalam menanggapi yang mayoritas
diasumsikan linier dalam kejadian, sedang kenyataannya hubungan
antara strategi adalah kompleks. Agar lebih berguna, maka model
perlu mempertimbangkan overlap, pengulangan umpan balik, dan
dampak strategi atas aspek-aspek lain yang tak kurang strategisnya
bagi perusahaan baik itu internal atau eksternal.
Sampai dengan tahun 1990 tidak ada penelitian dengan sampel
besar yang menghasilkan bukti-bukti efektivitas tentang strategi
perubahan haluan kecuali; selain daripada studi untuk
meningkatkan efisiensi. Arogyaswamy et al.(1995) mengusulkan
bahwa hal ini boleh jadi terkait dengan ketiadaan pengujian mengenai
penyebab saling ketergantungan, dan tanggapan terhadap
kemunduran. Desain penelitian saat ini bermaksud bahwa sampel
yang sangat heterogen itu digunakan, dipilih dengan mengabaikan
penyebab kemunduran perusahaan yang dilibatkan. secara luas hal
ini telah menyimpang dan oleh karena itu mengindikasikan
kebutuhan bermacam-macam untuk perubahan strategis yang sangat
luas. Hasilnya, mereka menekankan kebutuhan akan pengenalan di
19
dalam riset dan model perancangan pentingnya penyebab
kemunduran perusahaan.
Isu-isu lainnya yang tidak diarahkan sejauh ini adalah peran
manajemen dalam proses perubahan haluan, terutama pada
tingkatan puncak. Walaupun telah sering disebut, sampai saat ini
hanya terdapat sedikit bukti empiris bahwa perubahan pada
manajemen puncak berhubungan terhadap recovery (Lubatkin dan
Chung 1985; Castrogiovanni et.al 1992). Ini mungkin sebab
penggantian manajemen adalah bukan tanggapan yang efektif, atau
tidak menemukan jalan untuk mengukur hasil potensial. Revisi
model Arogyaswamy et al (1995) bertujuan untuk menjelaskan
bagaimana kemerosotan perusahaan disembuhkan, membatasi
aplikasinya ke perusahaan dengan keaneka ragaman yang rendah;
yang hanya bisa membalikkan kemerosotan melalui operasi yang ada.
Strategi spesifik yang diusulkan ini kemungkinan juga diadopsi
dalam proses perubahan haluan perusahaan.
3. Strategi Membendung KemunduranSejumlah peneliti (Slatter 1984; Smith dan Graves 2005)
menyatakan bahwa buruknya adaptasi terhadap lingkungan,
menyoroti kapasitas fleksibilitas yang buruk terhadap dinamika
lingkungan bisnis, peningkatan keadaan yang bermusuhan, atau
kombinasi keduanya sebagai prediktor kinerja yang menurun. Jika
tidak dikendalikan, kedua indikator tersebut pada gilirannya
mengarah kepada erosi sumber keuangan eksternal, pertumbuhan
permasalahan internal dan ketidakefisienan serta penurunan iklim
internal perusahaan yang kondusif, arus informasi dan proses
pengambilan keputusan, akhirnya sumber daya keuangan dan
dukungan pihak luar collapse.
Kurva penurunan ini mungkin dapat dihentikan atau
dibalikkan dengan mengimplementasikan strategi membendung
kemunduran untuk menciptakan efisiensi, stabilisasi lingkungan
internal perusahaan dan memperbaharui kepercayaan pihak
20
eksternal dan dukungan stakeholder. Melalui umpan balik, strategi
ini akan mempertimbangkan dengan seksama dinamika situasi,
tingkat ketersediaan sumber daya dan strategi kebutuhan sumber
daya masa depan.
Arogyaswamy et al. (1995) mengidentifikasi tiga konsekuensi
terkait dengan kemunduran perusahaan: a) kepentingan diri sendiri
akan mengarahkan stakeholder untuk menarik, mengurangi
komitmen mereka atau negosiasi ulang tingkat bunga yang lebih
tinggi, dengan demikian mengurangi pendapatan perusahaan, atau
meningkatkan biaya-biaya yang akan mengancam fleksibilitas di saat
waktu yang paling diperlukan. Para pelanggan mungkin menghilang
jika ada ketakutan bahwa kualitas atau penghantaran nilai
dikompromikan, sedangkan penyalur mungkin juga menarik,
meningkatkan biaya-biaya atau mengurangi fleksibilitas dengan
menuntut terminologi kaku seperti cash-on-delivery dan lain lain
Dengan demikian kerusakan pada hubungan dengan stakeholders
dapat mendorong kearah kurva menurun yang susah untuk berbalik
terhadap pengurangan kinerja selanjutnya. Oleh karena itu, sumber
daya finansial yang timpang dan dukungan kreditur yang tidak
memadai menjadi faktor kritikal jika perubahan haluan sukses untuk
dicapai; b)
Ketidakefisienan dapat menjadi konsekuensi penurunan
sebagaimana halnya sebagai penyebab; suatu kontrak industri atau
kompetitor membujuk pelanggan; permintaan mungkin menurun
drastis, maka suatu basis aset dan biaya tetap perusahaan menjadi
under-utilized, bahkan kemampuan pembatasan lebih lanjut untuk
bersaing atas harga; c) Apakah mungkin kemunduran serupa dalam
iklim internal perusahaan. Di sini kemunduran ditandai oleh suatu
peningkatan ditandai di dalam tingkatan konflik, yang mungkin
terjadi antara individu, antar kelompok atau bahkan departemen
sebagai tanggung jawab dan menyalahkan dihindari, dan agresi naik.
D'Aunno dan Sutton (1992) menyoroti konsekuensi kurva penurunan
pada ketidakefisienan dan dan waktu serta energi yang dihamburkan
21
dengan percuma; Bozeman dan Slusher (1979), serta Cameron et
al.(1987) juga mencatat moril pekerja yang rendah dihubungkan
dengan ketiadaan kepercayaan pada perusahaan itu sendiri, yang
cenderung meningkatkan ketidakefisienan dan menurunkan input
serta tingkat energi; secara simultan mereka menyatakan terdapat
kecenderungan yang meningkat untuk membentuk persekutuan self-
protective atau persekongkolan, merebut kekuasaan di banyak level
manajemen dan meningkatkan resistensi terhadap perubahan.
Faktor-faktor tersebut dan ancaman kehilangan pekerjaan
melalui pengurangan biaya mungkin berkombinasi untuk
meningkatkan keluarnya karyawan, dan hampir bisa dipastikan
bahwa mereka yang keluar itu adalah yang berkualitas tinggi, dengan
ketrampilan berharga yang tak terukur atau sama berharganya
dengan perusahaan tertentu dan kemungkinan tidak tercatatnya
pengetahuan dan pengalaman yang tidak tergantikan perihal
rutinitas, produk atau proses (Hirschman 1970; Greenhalgh 1983;
dan Perry 1986). Pada waktu yang sama, perusahaan yang gagal
tidak mungkin mampu menarik personil baru dengan standar yang
tinggi; bentuk komunikasi nampaknya juga akan terpengaruh kurang
baik. Permasalahan mengatur manajemen juga dipastikan meningkat.
Bozeman dan Slusher (1979), Mohrman dan Mohrman (1983) serta
Krantz (1985) membuktikan bahwa hubungan antara menurunnya
moral dan pertumbuhan yang negatif serta sikap yang kritis. Ini
sering mengakibatkan hilangnya keyakinan dalam kemampuan
pemimpin perusahaan pada banyak tingkatan, dimana selanjutnya
menghasilkan ketidakefisienan, membuang-buang waktu, kehilangan
arah dan seterusnya
Tidak adanya kepercayaan dalam keadaan tertentu dapat
dibenarkan, sebagaimana studi oleh Whetten (1980) dan Staw et
al.(1981) yang mengusulkan bahwa manajer pada perusahaan gagal
menghadapi tekanan yang meningkat dan sebagai hasilnya, menjadi
lebih tak menentu dalam pengambilan keputusan dan penilaian
mereka, suatu reaksi umum terhadap ketertarikan. Penelitian yang
22
terakhir mereplikasi temuan Burns dan Stalker (1961) serta Sutton
dan D'Aunno (1989) dalam menyimpulkan bahwa para manajer yang
stress mengalami penurunan kemampuan untuk melakukan
fleksibilitas dan adaptabilitas untuk berubah. Hilangnya kepercayaan
ini dapat melalui proses dua-arah. Beberapa peneliti diatas juga
mencatat meningkatnya tanda otoritas dan pengabilan keputusan
yang terlalu sentralisir pada perusahaan gagal, seperti ditekankan
oleh reaksi manajemen yang berusaha untuk mempertahankan atau
meningkatkan basis kekuasaan mereka dan menunjukkan hilangnya
kepercayaan pada rekan kerja atau bawahan mereka. Mencoba untuk
mencapai perubahan haluan yang sukses harus mengarahkan semua
konsekuensi yang mungkin ini , dan menyadari juga bahwa mereka
mungkin memiliki beberapa hubungan sebab akibat yang timbal
balik. Strategi membendung penurunan mengarahkan peningkatan
dalam satu area yang mungkin menghasilkan peningkatan di area
yang lain:
3.1 Dukungan StakeholderSlatter (1984), Hambrick (1985) serta Slatter dan Lovett (1999)
menyarankan bahwa strategi spesifik untuk memelihara,
memperbaharui atau bahkan meningkatkan dukungan stakeholder
adalah penting bagi suksesnya perubahan haluan perusahaan.
Strategi ini mungkin melibatkan tindakan manipulatip, substabsif,
atau bahkan simbolis untuk meningkatkan persepsi stakeholder
perihal kekuasaan dan partisipasi dalam aktivitas perusahaan, guna
menyoroti atau memperjelas manfaat dibanding biaya potensial
mengenai dilanjutkan komitmen dan meningkatkan persepsi atau
konsep umum mereka menyangkut perusahaan dan kredibilitasnya.
Penelitian terdahulu (Chaffee 1984, Rosenblatt et.al 1993; Rosenblatt
dan Mannheim 1996) telah menunjukkan bahwa pendefinisian ulang
mungkin. Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa kegagalan
untuk melakukannya menghasilkan resiko final dari stakeholder yang
sangat kuat, yakni benar-benar mengambil alih kendali perusahaan
23
yang mereka persepsikan berada dalam kemunduran yang
menjengkelkan, dan untuk melindungi kepentingan mereka sendiri
(Gopinath 1991).
3.2 Pengaruh Struktur ModalPenelitian Ofek (1993) bermaksud meneliti respon perusahaan
yang berbeda-beda terhadap distress jangka pendek, mencari cara
untuk mempercepat reaksi perusahaan dan demikian memelihara
nilai. Ini berkonsentrasi pada hubungan antara perusahaan dan
struktur modal dan tanggapan perusahaan yang dikembangkan oleh
studi Jensen (1989) yang menyimpulkan perusahaan dengan tingkat
leverage yang tinggi akan merespon lebih cepat terhadap
kemunduran dibanding perusahaan dengan leverage rendah, bahkan
suatu kemunduran kecil di dalam nilai untuk mereka mengarah
kepada kondisi default. Implikasi di sini adalah perusahaan dengan
leverage-rendah lebih sedikit bereaksi terhadap operasional distress
jangka pendek, akibatnya akan kehilangan lebih banyak nilai going-
concern mereka sebelum mengambil tindakan.
Beberapa model teoritis lainnya juga telah mengkaji hubungan
antara struktur modal perusahaan yang memiliki kinerja rendah
(dicirikan dengan rasio hutang terhadap ekuitas plus kepemilikan
manajerial) dan reaksinya terhadap distress. Hubungan ini
dikelompokkan kedalam dua kelompok: apakah aksi yang diambil
atau tidak menghasilkan dana tunai. Beberapa model lainnya (Harris
dan Raviv 1990) memprediksi hubungan yang positif antara leverage
dan aksi yang menghasilkan arus kas jangka pendek. Implikasinya
adalah kewajiban untuk melunasi hutang memerlukan penjualan
aset dan divestasi operasi.
Leverage memiliki dalam probabilitas restrukturisasi hutang
atau kebangkrutan, tapi keseluruhan struktur modal kemungkinan
akan menentukan mana diantara keduanya yang akan dipilih. Jensen
(1989) berpendapat bahwa perusahaan dengan leverage tinggi baru
akan merestrukturisasi hutang mereka sebagaimana jatuhnya nilai
24
perusahaan, khususnya kalau nilai going-concern nya secara
signifikan lebih besar dibanding potensi nilai likuidasinya. Sebaliknya
kalau kenaikan leverage yang dihasilkan dalam nilai going-concern
mendekati nilai likuidasi, maka kemungkinan akan ditempuh
prosedur kebangkrutan. Beberapa titik cut-off disini mungkin
direfleksikan dalam menyeleksi perubahan haluan perusahaan.
Respon keuangan umum lainnya terhadap distress adalah
pengurangan nilai dividen (akan mempengaruhi beragam klaim dan
distribusi arus kas terhadap pemilik perusahaan). DeAngelo dan
DeAngelo (1990) misalnya, menyimpulkan bahwa 67% perusahaan
yang mengalami kemunduran minimal tiga tahun, mengurangi atau
bahkan menghilangkan dividen pada tahun pertama periode distress,
dimana hal ini yang dapat diambil sebagai sinyal alarm. Ofek (1993)
menyatakan bahwa hutang privat memiliki pengaruh yang lebih kuat
terhadap aksi perusahaan dibanding hutang publik dalam
mendukung hasil studinya Gilson et al.(1990) yang menyimpulkan
bahwa perusahaan dengan rasio hutang bank yang tinggi
kemunginan sukses dalam merestrukturisasi hutangnya.
Ia juga melaporkan bahwa dimana kepemilikkan manajerial
tidak berpengaruh terhadap kas perusahaan juga akan menimbulkan
restrukturisasi, terdapat hubungan negatif antara kepemilikkan
manajerial dan aksi operasional dengan tidak segera mempengaruhi
arus kas berimplikasi bahwa mereka menghindari mengambil
tindakan misalnya, menghentikan operasi, menghentikan karyawan
atau enggantipegawai eksekutip lainnya. Ini mungkin terkait dengan
kelesuan atau psikologi kepentingan diri sendiri sebagaimana halnya
kepentingan diri sendiri dalam aspek keuangan, tetapi hal tersebut
menyoroti fakta bahwa semakin besar kepemilikkan managerial
aktualnya justru tidak menimbulkan situasi kondusif dalam
keputusan maksimalisasi nilai perusahaan; titik penting lainnya
untuk dipertimbangkan dalam memilih perubahan haluan
perusahaan.
25
Satu hasil yang mengejutkan adalah bahwa tidaknya ukuran
pemilik saham eksternal yang tidak signifikan meningkatkan
probabilitas aksi operasional, tapi juga eksistensi oada investor besar
non-manajerial bahkan mengurangi probabilitas aksi tersebut. Untuk
mengetahui apakah hal ini benar berlaku pada seluruh investor, Ovek
(1993) menguji tujuh tipe berbeda dan menemukan bahwa hanya
perusahaan manajemen investasi yang memiliki pengaruh positif
dalam probabilitas aksi umum operasional atau bahkan aksi
individual. Jadi secara keseluruhan reaksi perusahaan tergadap
distress dapat dikatakan secara luas tidak berhubungan terhadap
jenis pemilik saham ekternal, bahkan mungkin karena pemilik saham
mayoritas non-manajerial tidak dapat mengendalikan aksi
perusahaan. Temuan Ofek ini (1993) secara luas konsisten dengan
Jensen (1989): perusahaan dengan tingkat leverage tinggi
kemungkinan lebih bereaksi terhadap operasional distress dan
perubahan keuangan dibanding mereka yang leveragenya rendah dan
reaksi ini juga lebih cepat. Implikasinya pilihan leverage yang tinggi
oleh perusahaan selama operasi normal kenyataannya memberikan
beberapa disiplin dimana akhirnya eksistensi hutang dapat
membantu untuk melindungi nilai going-concern perusahaan dan
mungkin menjadi indikator positif dalam suksesnya perubahan
haluan.
Bibeault (1982) mencirikan sukses dengan energi yang tinggi
(mendukung penelitian) dan kebijakan antisipasi yang intens
ditujukan pada pernyataan kembali untuk mengubah pasar dengan
melakukan positioning ulang melalui penurunan aktivitas daripada
ekspansi, ditambah lebih banyak desentralisasi dan penyesuaian
internal yang terpadu. Schreuder (1993) menyediakan dukungan
empiris dengan menggunakan suatu studi perusahaan yang yang
terpilih dari sektor industri yang mengalami permasalahan serius dan
panjang. perusahaan yang sukses mempertahankan pengembangan
yang wajar dan stabil atas lima tahun pertama, diikuti dengan
meningkatkan profitabilitas dalam tiga tahun berikutnya; sejumlah
26
90 persen perusaha yang kurang sukses dilaporkan mengalami
pengurangan laba dalam lima tahun pertama, dengan hampir
sepertiga menjadi bangkrut dan diambil alih, dan tidak ada sama
sekali yang mampu memperoleh kembali tingkat profit awal mereka
selama periode penelitian. Ia juga membandingkan sejumlah
pemilihan waktu, area dan ukuran yang diambil oleh dua kelompok
sebagai jawaban atas krisis dalam industri mereka, menemukan
bahwa perusahaan sukses mengambil lebih banyak ukuran
keseluruhan, dengan cakupan produk dan strategi pasar yang
diubah, berturut-turut hanya 60% dan 80% pada kelompok gagal
yang juga melakukan hal yang sama. Perusahaan yang kurang
sukses semakin aktif dalam mengambil ukuran pemotongan biaya.
Schreuder (1993) mencatat bahwa sekitar 30% pada kedua kelompok
mengganti manajemen puncak mereka, tetapi pada saat yang sama
perusahaan sukses cenderung untuk memperluas manajemen
menengah, sedang perusahaan yang kurang sukses justru
melakukan sebaliknya. Sebagai hasilnya kelompok sukses
dikombinasikan dengan kebijakan yang berorientasi pasar dengan
desentralisasi dan mengurangi cakupan aktivitas mereka, sedang
perusahaan yang kurang sukses menggabungkan kebijakan yang
berorientasi biaya dengan sentralisasi dan diversifikasi di luar
industri mereka.
Pemilihan waktu juga diketahui menjadi faktor krusial;
perusahaan sukses mengambil ukuran mereka di dalam manajemen,
produksi dan pasar pada rata-rata satu tahun sebelum
berlangsungnya krisis industri, dalam mengantisipasi permasalahan.
Sementara perusahaan perusahaan kurang sukses ditandai
penundaan sebagai jawaban atas kondisi-kondisi yang memburuk,
dengan ukuran yang sedang diambil untuk melakukan penyesuaian
manajemen dan organisasi, rata-rata dua tahun penuh setelah
serangan krisis. Karenanya perusahaan sukses ditandai dengan
mengubah manajemen puncak dan memberdayakan manajemen
menengah di awal dari sejumlah ukuran mereka sedang perusahaan
27
kurang sukses melakukan hal tersebut diakhir periode mungkin saat
seluruh kemungkinan lain telah dilakukan.
Pada waktu yang sama strategi efektif tertentu untuk
menstabilkan proses pengambilan keputusan dan iklim internal
perusahaan yang harus diterapkan. Hedberg et.al (1976), Cameron
(1983), serta Mohrman dan Mohrman (1983), mendukung suatu
kultur perusahaan yang menekankan, memberi harapan dan
mendukung keikutsertaan, desentralisasi, fleksibilitas,
menyelenggarakan sistem komunikasi yang sederhana. Sutton et.al
(1986) juga menyatakan bahwa masalah penting hilangnya karyawan
yang bertalenta, diharapkan untuk menghindari stigma yang
diasosiasikan dengan kemunduran, ditujukan melalui strategi
sumber daya manusia yang memotivasi karyawan yang masih ada.
4. Kemampuan Manajemen Mengimplementasikan Strategi Membendung Kemunduran
Beberapa studi (Hofer 1980; Robbins dan Pearce, 1992) telah
menyarankan bahwa buruknya kemunduran secara luas
menentukan pilihan strategi antara aset atau pengurangan biaya, dan
juga tingkatan yang diasosiasikan dengan ukuran yang akan
digunakan.
Lohrke et.al (2004) menyatakan bahwa tingkat relaksasi
sumber daya akan menjadi pengaruh penting lainnya dalam
tanggapan perusahaan. Hambrick dan D’Aveni (1988) menyatakan
bahwa kalau sumber daya ini terbatas perusahaan akan lebih peka.
Kemudian selagi perusahaan boleh jadi diharapkan untuk memulai
strategi membendung kemunduran yang bertenaga, fleksibilitas dan
implementasi mereka mungkin dibatasi oleh ketiadaan keuangan.
Sejumlah besar sumber daya yang tersedia tidak begitu memadai,
dan sebaliknya, mungkin persepsi yang kurang tajam, atau benar-
benar mengurangi kebutuhan untuk melaksanakan strategi
membendung kemunduran ini karena kapasitas cadangan sumber
28
daya yang masih ada akan mengijinkan tingkatan variabilitas kinerja
tertentu untuk diserap.
Banyak peneliti (Grinyer dan Spender 1979, Hofer 1980,
Bibeault 1982, Nystrom dan Starbuck 1984, Slatter 1984; serta
Slatter dan Lovett 1999) yang mengamati bahwa dalam perusahaan
yang mengalami kemunduran proses perubahan haluan umumnya
diaktifkan oleh kepindahan manajer puncak, atau bahkan CEO.
Bagaimanapun, Frederickson et.al (1988) mengamati bahwa di mana
kemunduran perusahaan dirasa bisa dihubungkan dengan penyebab
eksternal yang tak dapat dikendalikan seperti peristiwa politis,
industri spesifik merosot atau resesi ekonomi, kemudian ingatan
menyangkut CEO perusahaan mungkin dapat mempertahankan
beberapa kredibilitas perusahaan. Karenanya jika penyebab
kemunduran adalah berdasarkan kontraksi industri, perubahan
manajemen puncak mungkin benar-benar langkah yang kontra-
produktif (Friedman dan Saul 1991) di mana perubahan seperti itu
dapat mengganggu fokus perusahaan.
Di mana stakeholders menghormati pejabat CEO itu sebagai
person yang bertanggung jawab untuk kemunduran, mereka
mungkin diperlakukan sebagai kambing hitam. Di mana tindakan
seperti itu tidak menunjuk penyebab lain kemunduran mungkin
berperan dalam merendahkan moril karyawan, menekankan internal
perusahaan yang tidak berfungsi dan menarik sumber daya
stakeholder, serta meningkatkan resiko kegagalan. Barker et.al (2001)
menyatakan bahwa penggantian khususnya terutama jika diimport,
mungkin bertujuan untuk mempunyai persepsi segar dan perspektif
baru didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman yang berbeda;
Kow (2004) dan Clapham et.al (2005) mendukung penggantian CEO
lebih kepada mempromosikan perubahan haluan. Friedman dan
Singh (1989), serta Worrell et.al (1993) mengamati bahwa
penggantian CEO dengan orang luar telah memproduksi kenaikan
harga saham perusahaan, tetapi ada perselisihan paham yang perlu
dipertimbangkan dalam hasil studi empiris atas reaksi bursa saham
29
terhadap perubahan manajemen senior, dimana Bonnier dan Bruner
(1989), Khanna dan Poulsen (1995), Penegor, et.al (1988), serta
Weisbach (1988) menghasilkan kesimpulan yang berlawanan.
5. Penyebab Kemunduran dan Hilangnya Posisi Kompetitif Perusahaan
Reorientasi strategis akan beragam dalam kedalaman dan arah
menurut penyebab kerugian atas kinerja perusahaan. Whetten (1987)
dan Cameron et.al (1988) menyatakan bahwa kemunduran dapat
disebabkan baik itu kontraksi industri secara luas (dimana pasar
tidak mendukung jumlah perusahaan asli dan kompetisi keras yang
menyebabkan memburuknya kinerja) atau oleh underperformance
dalam suatu atau industri yang berkembang atau stabil. Terdapat
beragam alasan mengenai hal ini: i) perubahan yang tidak
diantisipasi dalam faktor yang menyediakan manfaat kompetisi
(pengenalan jasa atau produksi baru oleh pesaing) (Barney, 1991); ii)
kerugian pada ketrampilan tertentu perusahaan (human-capital)
misalnya pondasi keunggulan kompetitif perusahaan (Castanias dan
Helfat, 2001); iii) kegagalan untuk membaharui kapabilitas
tradisional, pengalaman, sumber daya atau pengetahuannya (Grinyer
dan Spender, 1979).
Hefer (1980), O'Neill (1986) dan Thietart (1988) menitikberatkan
pentingnya pangsa pasar perusahaan dalam efektivitas dan pilihan
strategi recover-nya. Jika menurunnya kinerja terkait dengan
kontraksi jangka pendek atau bahkan jangka panjang pada
keseluruhan industri, perusahaan mungkin benar-benar tetap dalam
posisi yang baik dibanding yang lainnya. Sebaliknya, kemunduran
perusahaan umumnya menandai posisi pasar yang lemah, walau hal
ini mungkin lebih dianggp sebagai tindakan yang menyembunyikan
sumber daya atau potensi kemampuan perusahaan yang masih
dibawah kapasitas maksimum. Temuan ini menyoroti pentingnya
strategi perubahan haluan yang mempertemukan kepada penyebab
kemunduran perusahaan.
30
Arogyaswamy et.al (1995) mengusulkan bahwa di mana
kemunduran bisa dihubungkan dengan kontraksi siklus jangka
pendek, strategi recover yang tidak membuat perubahan utama ke
orientasi strategisnya menjadi yang paling efektif. Hal ini meluaskan
temuan Hannah dan Freeman (1984) serta O'Neill (1986); Hannah
dan Freeman (1984) menyatakan bahwa reorientasi itu menyertakan
rutinitas baru, ketrampilan atau bahkan struktur dan reorganisasi
yang memerlukan pertimbangan biaya, terutama sekali sukar untuk
menyerap saat meningkatnya kompetisi, dan mungkin benar-benar
menghasilkan resiko kegagalan yang lebih besar; O'Neill (1986)
mengusulkan bahwa situasi ini harus dipasangkan dengan
perubahan strategi skala kecil dan gradual dengan tujuan
selanjutnya mengurangi biaya selain tetap mempertahankan dan
memperkuat keunggulan pasar yang ada.
Untuk kontraksi industri yang tetap panjang Harrigan (1980),
sebagai contoh, merekomendasikan bahwa perusahaan yang berada
dalam posisi yang baik perlu menyesuaikan perubahan strategi
inkremental yang memperluas atau mempertahankan posisi ini
dengan investasi lebih lanjut untuk memanfaatkan atau memperkuat
kemampuan dan sumber daya yang telah ada, dengan penuh
harapan mendepak pesaing yang lebih lemah atau memaksa mereka
untuk mengkhususkan diri pada segmen pelanggan yang kecil.
Harrigan (1980, 1985) menyatakanlah bahwa perusahaan yang telah
diposisikan lemah perlu mengadopsi strategi niching ini.
Untuk kemunduran perusahaan berdasarkan organisasi bisnis,
banyak peneliti (Schendel et al. 1976, Grinyer dan Spender 1979,
Hofer 1980, O'Neill 1986 serta Arogyaswamy et al. 1995) menyetujui
reorientasi strategis dan diperlukan perubahan pokok di dalam
struktur dan strategi dibutuhkan untuk menghasilkan kemampuan
dan sumber daya yang lebih baik dicoba sesuai dengan kebutuhan
lingkungan itu. Di mana implmentasi strategi decline-stemming itu
sudah terlambat diterapkan dan dengan kekuatan yang tidak
memadai, kemudian diikuti dengan kegagalan. Hedberg dan Jonsson
31
(1977), Starbuck et al (1978) dan Ford (1985) menyatakan bahwa
sebagian besar hal ini dikaitkan dengan kegagalan manajer untuk
mendiferensiasikan antara penyebab kemunduran berdasarkan
perusahaan dan berdasarkan kontraksi industri sementara, dimana
manajer dianggap lebih menyukai untuk memilih yang belakangan
dan dengan demikian tidak berhasil bereaksi. Sekalipun penyebab
kemunduran adalah berdasarkan industri, manajer mungkin gagal
mengenali manakala situasi eksternal yang tak bersahabat meluas
dalam durasi atau menjadi permanen dibanding tahap temporer yang
memerlukan sedikit fleksibilitas yang cerdas.
Kesalahan diagnosis ini mungkin terkait dengan ketiadaan
kemauan pada pihak manajer untuk menerima tanggung jawab
untuk kegagalan, terutama sekali jika mereka sebelumnya sudah
sukses. Hedberg dan Jonsson (1977), Nystrom dan Starbuck (1984),
serta Barr et.al (1992) mengamati bahwa manajer itu mungkin
menghalangi persepsi mereka mengenai situasi atau permasalahan
yang baru, menghasilkan metoda pemecahan masalah yang sedang
diadopsi, yang mana tidak lagi sesuai. Sekalipun begitu hasil
diagnosa penyebab benar terjadi. Tushman dan Romomelli (1985)
menunjukkan bagaimana keduanya (individu dalam organisasi dan
stakeholder-nya yang berpengaruh) mungkin menghalangi gerakan
yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap sumber daya atau
kekuasaan mereka.
Sudarsanam dan Lai (2001) menyimpulkan penelitian saat ini
mengenai perubahan haluan perusahaan dari kesulitan keuangan
dan membandingkan tingkatan aplikasi dan efektivitas semakin
pentingnya praktis strategi perubahan haluan yang diusulkan atas
sampel penelitian yang besar 166 perusahaan yang bangkrut (1985-
1993). Penelitiannya fokus pada arti relatif pemilihan waktu,
intensitas dan format implementasi berbagai prosedur yang
diusulkan, perkerjaan melacak kesuksesan mereka selama tiga tahun
setelah periode distress. Mereka mejelaskan mengkaji mengenai
tanggapan restrukturisasi yang dikategorikan sebagai strategi atau
32
aset manajerial, operasional atau organisasional; dan tanggapan yang
tidak memadai sebagai implementasi fungsional manajerial atau
pilihan strategi yang buruk, pemilihan waktu yang buruk, ketiadaan
intensitas atau konsentrasi dan fokus, serta implementasi yang
buruk atas strategi perubahan haluan yang dipilih. Mereka menguji
secara empiris pada tiap strategi restrukturisasi, seperti halnya
keseluruhan efektivitas kombinasi strategi yang dikenali, dan
menyimpulkan bahwa suatu penilaian dari pentingnya restrukturisasi
keuangan sebagai elemen kunci merestrukturisasi perusahaan. Ini
mungkin melibatkan pemotongan atau penghilangan dividen, komisi
(seringkali sebagai pilihan perusahaan besar) dan isu hak kekayaan,
atau penggantian hutang yang ada dengan kontrak baru (mengurangi
modal atau bunga, memperpanjang jatuh tempo atau substitusi
hutang-ekuitas); dengan kata lain strategi yang berdasarkan
pertimbangan hak kekayaan atau hutang.
Bagaimanapun, mereka masih pada pendapat bahwa adopsi
strategi perubahan haluan itu tidak otomatis menjamin terjadinya
recovery. Bahkan meski strategi dalam aplikasinya secara simultan,
sekuen atau overlap mempengaruhi perubahan haluan untuk
tingkatan yang berbeda-beda, atau tergantung pada pengaruh mereka
atas satu sama lain, perusahaan yang recover dan non-recover
kenyataannya mengdaptasi sejumlah strategi yang sangat mirip
begitu terjadi kesulitan keuangan, meski pilihan mereka dibedakan
pada periode pelaksanaannya. Perusahaan yang recover cenderung
melalui cara investasi dan akuisisi sementara perusahaan non-
recover berkonsentrasi pada restrukturisasi keuangan dan
operasional. Bagaimanapun, bukti yang ada menunjukkan bahwa
pilihan aktual pada strategi tidak sepenting sebagaimana halnya
efektivitas strategi yang dipilih yang tergantung pada kecepatan,
intensitas dan kompetensi
Kesimpulan
33
Sebahagian besar kajian literatur diatas menyetujui bahwa
perubahan manajemen puncak adalah suatu prasyarat suksesnya
perubahan haluan perusahaan, khususnya dalam membangun
kepercayaan bank dan kreditur mengenai kemampuan perusahaan
me-manage krisi dan memotivasi ulang para karyawan. Sekalipun
penyebab buruknya kinerja adalah di luar kendali manajemen.
Grinyer et.al (1988) mencatat salah satu dari perbedaan utama
antara perusahaan recover dan non-recover adalah mereka yang
recover menciptakan lebih banyak perubahan manajemen. Efektivitas
dalam melakukan restrukturisasi manajerial untuk perubahan
haluan perusahaan masih merupakan tantangan penting dalam
pelaksanaan manajemen strategi perusahaan baik pada saat terjadi
krisis atau dalam menyikapi dinamika lingkungan usaha.
Beberapa faktor yang menentukan pilihan strategi: struktur
modal perusahaan yang harus mempertimbangkan hubungannya
dengan bank, dan pengaruh serta keinginan blok pemegang saham
dan pemegang saham managerial; posisi leverage perusahaan, seperti
yang dipaparkan secara detail oleh Yohanes et.al (1992), Ofek (1993)
dan Kang dan Shivdasani (1997), adalah jelas kritis untuk suksesnya
restrukturisasi. Meski banyak perusahaan distress membuatnya
sebagai prioritas untuk mengurangi pinjaman dan biaya bunga,
restrukturisasi keuangan belum dikenali sebagai komponen strategi
perubahan haluan sampai baru-baru ini (Grinyer et.al, 1988).
Literatur tersebut memberikan beberapa dukungan untuk
overlapping, pendekatan dua-tahap terhadap strategi perubahan
haluan yang dapat dikelompokkan sebagai: a) tahap operasional atau
efisiensi perubahan haluan yang bertujuan stabilisasi operasional; b)
tahap stratejik atau enteprenuial yang bertujuan restorasi
profitabilitas. Dimana keduanya mengacu pada pengurangan biaya
langsung dan overhead sementara disatu sisi mempertahankan atau
meningkatkan produksi.
Divestasi divisi atau cabang mungkin sangat mendesak, hal ini
tergantung tingkatan distress yang dialami perusahaan. Aset yang
34
tidak menghasilkan profit harus dijual, bahkan aset yang sangat
menguntungkan perusahaan mungkin mengalami hal yang sama. Ini
adalah strategi perubahan haluan yang sangat umum untuk
perusahaan kecil; meski demikian, Sudarsanam dan Lai (2001)
menyatakan bahwa riset empiris lebih lanjut diperlukan untuk
menilai signifikansinya dalam mencapai perubahan haluan yang
sukses.
Suatu penilaian investasi aset mungkin termasuk pengeluaran
modal internal (dirancang untuk meningkatkan produktivitas dan
mengurangi biaya-biaya) dan akuisisi (dimana perusahaan
mempunyai produk atau pasar yang telah surut atau dewasa). Kedua-
duanya mungkin meningkatkan manfaat kompetisi perusahaan, dan
tetapi hanya dapat dikerjakan setelah perencanaan yang sangat hati-
hati, dan saat kesusahan keuangan yang ekstrim itu telah
diantisipasi sebelum terjadi. Satu yang berbahaya adalah akuisisi itu
boleh jadi dilakukan untuk mempromosikan pertumbuhan yang
nyata, tetapi tanpa sustainable. Sejumlah peneliti (Robbins dan
Pearce 1992, Barker dan Mone 1994, serta Hoffman, 1989) telah
menyarankan perihal bagaimana manajer menangani permasalahan
perusahaan bisa seperti halnya, atau bahkan lebih penting dibanding
apakah mereka mulai bertindak sama sekali, menunjukkan bahwa
kegagalan atau suksesnya perubahan haluan lebih tergantung pada
implementasi strategi dibanding pada pilihan strategi.
35
REFERENSI
Abdel-Khalik, A.R., dan El-Sheshai, K.M., (1980), “Information Choice and Utilisation in an Experiment of Default Prediction”, Journal of Accounting Research, Vol. 18, Issue 2, pp.325-342.
Altman E.I., 1968, Financial ratios, discriminant analysis and the prediction of corporate bankruptcy. The Journal of Finance, Vol. 23, nr. 4, September 1968, p. 589-609.
Altman E.I., 1984, The success of business failure prediction models – An international survey. Journal of Banking and Finance, Vol. 8, p. 171-198.
Arogyaswamy, K., Barker III, V.L. dan Yasai-Ardekani, M., (1995), “Firm Turnarounds: an Integrative Two-Stage Model”, Journal of Management Studies, Vol. 32, Issue 4, pp.493-525.
Baker, G. P. dan Wruck, K. H., (1989), “Organisational Changes and Value Creation in Leveraged Buyouts: The Case of the O.M. Scott & Sons Company, Journal of Financial Economics, Vol. 25, Issue 2, pp.163-190.
Barker III, V.L.and Mone, M. A. (1994), “Retrenchment: Cause of Turnaround or Consequence of Decline”, Strategic Management Journal, Vol. 15, Issue 5, pp.395-405.
Barker, V.III, Patterson, P. Jr dan Mueller, G., (2001), “Organizational Causes and Strategic Consequences of the Extent of Top Management Team Replacement During Turnaround Attempts”, Journal of Management Studies, Vol. 38, Issue 2, pp.235-269.
Barney, J.B., (1991), “Firm Resources and Sustained Competitive Advantage”, Journal of Management, Vol. 17, Issue 1, pp. 99-120.
Barr, P.S., Stempert, J.L. dan Huff, A.S., (1992), “Cognitive Change, Strategic Action, and Organizational Renewal”, Strategic Management Journal, Vol. 13, Issue 5, pp.15-36.
Behn, R.D., (1983), “The Fundamentals of Cutback Management”, pp.301-322 in Zeckhauser and D. Leebaert (Eds.), ‘What Role for Government: Lessons from Policy Research”, Durham, NC: Duke University Press, pp.310.
Bibeault, D. (1982), “Corporate Turnaround: How Managers Turn Losers Into Winners”, New York: McGrawHill.
Bonnier, K. dan Bruner, R. F. (1989), “An Analysis of Stock Price Reaction to Management Change in Distressed Firms”, Journal of Accounting and Economics, Vol. 11, Issue 1, pp.95-106.
Bozeman, B. dan Slusher, E. A., (1979), “Scarcity and Environmental Stress in Public Organization: A Conjectural Essay”, Administration & Society, Vol. 11, Issue 3, pp.335-354.
Brunswick, E., (1952), “The Conceptual Framework of Psychology”, in Carnap, R. and Morris, C. (eds), International Encyclopaedia of Unified Science, University of Chicago Press, Chicago.
Bulow, J.I. dan Shoven, J.B., (1987), “The Bankruptcy Decision”, Bell Journal of Economics, Vol.9, pp.437-456.
Cameron, K. S., Sutton, R. I., dan Whetten, D.A., (1988), “Issues in Organizational Decline”, In
Cameron, K.S.,Sutton, R.I. dan D.A. Whetten, (Eds), Readings in Organizational Decline: Frameworks, Research and Prescriptions. Ballinger, pp.3-19.
36
Cameron, K.S., Whetten, D.A., dan Kim M., (1987), “Organizational Dysfunctions of Decline”, Academy of Management Journal, Vol. 30, Issue 1, pp.126-138.
Casey, C.J., (1980), “Additional Evidence on the Usefulness of Accounting Ratios for Subjects’ Predictions of Corporate Failure”, Journal of Accounting Research, Vol. 18, Issue 2, pp.603-613.
Casey, C.J., (1983), “Prior Probability Disclosure and Loan Officers’ Judgments: Some Evidence”, Journal of Accounting Research, Vol. 21, Issue 1, pp.300-307.
Castanias, R. dan Helfat, C. (2001), “The Managerial Rents Model”, Journal of Management, Vol. 27, pp.661-678.
Castrogiovanni, G.J., Baliga, B.R. dan Kidwell, R.E. (1992) “Curing Sick Businesses: Changing CEOs in Turnaround Efforts”, Academy of Management Executive, Vol. 6, Issue 3, pp.26-41.
Chaffee, E., (1984), “Successful Strategic Management in Small Private Colleges”, Journal of HigherEducation, Vol. 55, Issue 2, pp.212-241.
Clapham S. E., Schwenk C. R. dan Caldwell, C, (2005), “CEO Perceptions and Corporate Turnaround”, Journal of Change Management, Vol. 5, No. 4, pp.407-428.
D’Aunno, T., dan Sutton, R.I., (1992), “The Responses of Drug Treatment Organizations to Financial Adversity: A Partial Test of the Threat-Rigidity Thesis”, Journal of Management, Vol. 18, Issue 1, pp.117-131.
DeAngelo, H., dan DeAngelo L., (1990), “Dividend Policy and Financial Distress: An Empirical Investigation of Troubled NYSE Firms, Journal of Finance, Vol. 45, Issue 5, pp.1145-1431.
Dalton, D. R. dan Dily C.M., (2001), “Director Stock Compensation: An Invitation to a Conspicuous Conflict of interest?”, Ethics Quarterly, Vol.11, Issue 1, pp.89-108.
Frederickson, J. W., Hambrick D.C., dan Baumrin S., (1988), “A Model of CEO Dismissal”, Academy of Management Review, Vol. 13, Issue 2, pp.255-270.
Friedman, S.D. dan Saul, K., (1991), “A leader’s Wake: Organization Member Reactions to CEO Succession”, Journal of Management, Vol. 17, Issue 3, pp.619-642.
Friedman, S.D., dan Singh H.,, (1989), “CEO Succession and Stockholder Reaction: The Influence of Organization Context and Event Content”, Academy of Management Journal, Vol. 32, Issue 4, pp.718-744.
Gilson, S.C., (1989), “Management Turnover and Financial Distress”, Journal of Financial Economics, 25, Issue 2, pp.241-262.
Gilson, S.C., (1990), “Bankruptcy, Boards, Banks and Bondholders - Evidence on Changes in Corporate Ownership and Control When Firms Default”, Journal of Financial Economics, Vol. 27, Issue 2, pp.355-387.
Gilson, S.C., K., John dan Lang, L.H.P., (1990), “Troubled Debt Restricting: An Empirical Study of Private Reorganisation of Firms in Default”, Journal of Financial Economics, Vol. 27, Issue 2, pp.315-353.
Goodman, S.J., (1982), “How To Manage a Turnaround”, New York: Free Press.
Gopinath, C., (1991), “Turnaround: Recognizing Decline and Initiating Intervention”, Long Range Planning, Vol. 26, Issue 6, pp.96-101.
Greenhalgh, L., (1983), “Organizational Decline”, Research in the Sociology of Originations, Vol. 2, pp.231-276.
Grinyer P.H., Mayes, D.G. and McKiernan, P. (1988), “Sharpbenders: The Secrets of Unleashing Corporate Potential”, Basil Blackwell, Oxford, Chapter 4.
37
Grinyer, P. H., dan McKiernan, P., (1990), “Generating Major Change in Stagnating Companies”, Strategic Management Journal, Vol. 11, Issue 4, pp.131-146.
Hambrick, D.C., (1985), “Turnaround Strategies”, In Guth, W. (Ed.), Handbook of Business Strategy. Boston, Mass.: Warren, Gorham and Lamont, 10.1-10.32.
Hambrick, D.C., dan D’Aveni, R.A., (1988), “Large Corporate Failures as Downward Spirals”, Administrative Science Quarterly, Vol. 33, Issue 1, pp.1-23.
Hambrick , D.C., dan Schecter, S. M. (1983), “Turnaround Strategies for Mature Industrial-Product Business Units”, Academy of Management Journal, Vol. 23, Issue 2, pp.231-248.29
Harrigan, K.R., (1980), “Strategy Formulation in Declining Industries”, Academy of Management Review, Vol.5, Issue 4, pp. 599-604.
Harrigan, K.R., (1985), “Strategic Flexibility”, Lexington, Mass.: D.C. Heath and Company.
Harris, M. dan Raviv, A., (1990), “Capital Structure and the Informational Role of Debt”, Journal of Finance, Vol. 45, Issue 2, pp.197-356.
Hedberg, B.L.T. dan Jonsson, S. (1977), “Strategy Formulation as a Discontinuous Process”, International Studies of Management and Organization, Vol. 7, Issue 2, pp.88-109.
Hedberg, B.L.T., Nystrom, P.C., dan Starbuck, W.H., (1976), “Camping on Seesaws: Prescriptions for a Self-Designing Organization”, Administrative Science Quarterly, Vol. 21, Issue 1, pp.41-65.
Hirschman, A., (1970), “Exit, Voice and Loyalty”, Cambridge, Mass: Harvard University Press.
Hofer, C.W., (1980), “Turnaround Strategies”, Journal of Business Strategy, Vol. 1, Issue 1, pp.19-31.
Hoffman, R.C., (1989), “Strategies for Corporate Turnarounds: What Do We Know About Them?”, Journal of General Management, Vol. 14, Issue 3, pp.46-66.
Hotchkiss, E.S., (1995), “Postbankruptcy Performance and Management Turnover”, Journal of Finance, Vol. 50, Issue 1, pp.3-21.
Houghton, K.A., (1984), “Accounting Data and the Prediction of Business Failure: The Setting of Priors and the Age of Data”, Journal of Accounting Research, Vol.22, Issue 1, pp.361-368.
Jensen, M., (1989), “Active Investors, LOBs and Privatisation of Bankruptcy”, Journal of Applied Corporate Finance, Vol. 2, Issue 1, pp.35-44.
John, K., Lang, L.H.P., dan Netter J., (1992), “The Voluntary Restructuring of Large Firms in Response to Performance Decline”, Journal of Finance, Vol. 47, Issue 3, pp.891-917.
Kaback, H., (1996), “The Case for Cash for Directors”, Directors and Boards, Vol. 20, Issue 3, pp.14-24.
Kang, J. dan Shivdasani ,A., (1997), “Corporate Restructuring During Performance Declines in Japan”, Journal of Financial Economics, Vol. 46, Issue 1, pp.29-65.
Kaplan, S. N., (1989), “The Effects of Management Buyouts on Operating Performance and Value”, Journal of Financial Economics, Vol. 24, Issue 2, pp.217-254.
Khanna, V. dan Poulsen, A.B., (1995), “Manager of Financial Distressed Firms: Villains or Scapegoats?”, Journal of Finance, Vol. 50, Issue 3, pp.919-940.
Kow, G, (2004), “Turnaround Business Performance (Part II)”, Journal of Change Management, Vol. 4, Issue 4, pp. 281-296.
38
Krantz, J., (1985), “Group Process Under Conditions of Organizational Decline”, Journal of Applied Behavioral Science, Vol. 21, Issue 1, pp.1-17.
Libby, R., (1975), “Accounting Ratios and the Prediction of Failure: Some Behavioural Evidence”, Journal of Accounting Research, Vol.13, Issue 1, pp.150-160.
Lohrke, F. T., Bedeian, A. G. dan Palmer, T.B., (2004), “The Role of Top Management Teams in Formulating and Implementing Turnaround Strategies: a Review and Research Agenda, International Journal of Management Review, Vol. 5, Issue 2, pp.63-90.
Lubatkin, M. dan . Chung, K (1985), “Leadership Origin and Organizational Performance in Prosperous and Decline Firms”, Academy of Management Best Papers Proceedings, pp.25-29.
Mohrman, S., dan Mohrman, A., (1983), “Employee Involvement in Declining Organizations”, Human Resource Management, Vol.22, Issue 4, pp.445-465.
Morse, D. dan Show, W., (1988), “Investing in Bankruptcy Firms”, Journal of Finance, Vol. 43, Issue 5, pp.1193-1206.
Nystrom, P.C., dan Starbuck, W.H., (1984) “To Avoid Organizational Crises, Unlearn”, Organizational Dynamics, Vol. 12, Issue 4, pp.53-65.
O’Neill, H.M., (1986), “Turnaround and Recovery: What Strategy Do You Need?”, Long Range Planning, Vol. 19 Issue 1, pp.80-88.
Ofek, E., (1993), “Capital Structure and Firm Response to Poor Performance: An Empirical Analysis”, Journal of Financial Economics, Vol. 34, Issue 1, pp.3-30.
Pearce II, J. A. dan Robbins, K. (1993), “Toward Improved Theory and Research on Business Turnaround”, Journal of Management, Vol. 19, Issue 3, pp.613-636.
Perry, L.T., (1986), “Least-Cost Alternatives to Layoffs in Declining Industries”, Organizational Dynamics, Vol. 14, Issue 4, pp. 48-61.
Ramanujam, V. dan Grant, J.H., (1989), “Research on Corporate Decline and Turnaround”, Paper at the Academy Management Meeting, Washington, D.C.
Ramanujam, V., (1984), “Environmental Context, Organizational Context, Strategy and Corporate Turnaround: An Empirical Investigation”, Unpublished Doctorial Dissertation, University of Pittsburgh.
Robbins, D. K. dan Pearce J. A. II (1992), ‘Turnaround: Retrenchment and Recovery’, Strategic Management Journal, Vol.13, Issue 4, pp. 287–309.
Robbins, D. K. dan Pearce J. A. II (1993), ‘Entrepreneurial Retrenchment Among Small Manufacturing Firms’, Journal of Business Venturing, Vol. 8, Issue 4, pp. 301–318.
Rosenblatt, Z., Rogers, K. S., dan Nord, W.R., (1993), “Toward a Political Framework for the Flexible Management of Decline”, Organization Science, Vol. 4, issue 1, pp.76-91.
Rosenblatt, Z. dan Mannheim, B., (1996), “Organizational Response to Decline in the Israeli Electronics Industry”, Organization Studies, Vol.17, pp.935-984.
Routledge, J. dan Gadenne, D. (2004), “An Exploratory Study of the Company Reorganisation Decision in Voluntary Administration”, Pacific Accounting Review, Vol. 16, No.1, pp. 31-56.
Schendel, D.E., dan Patton, G.R. (1976), “Corporate Stagnation and Turnaround”, Journal of Economics and Business, Vol. 28, Issue 3, pp.236-241.
Schendel, D.E., Patton, G.R. dan Riggs, J., (1976), “Corporate Turnaround Strategies: A Study of Profit Decline and Recovery ”, Journal of General Management, Vol. 3, Issue 3, pp.3-11.
39
Schreuder, H. (1993), “Timely Management Changes as an Element of Organizational Strategy”, Journal of Management Studies, Vol. 30, Issue 5, pp.723-738.
Slatter, S., (1984), “Corporate Recovery Successful Turnaround Strategies and Their Implementation”, Penguin Books: London.
Slatter, S. dan Lovett, D. (1999), “Corporate Turnaround”, London, Penguin.
Slatter, S., Lovett, D. dan Barlow, L. (2006), “Leading Corporate Turnaround: How Leaders Fix Troubled Companies”, Chichester, John Wiley.
Smith, A., (1990), “Corporate Ownership Structure and Performance: The Case of Management Buyouts”, Journal of Financial Economics, Vol. 27, Issue 1, pp.143-154.
Smith, M. dan Graves, C., (2005), “Corporate Turnaround and Financial Distress”, Managerial Auditing Journal, Vol. 20, No. 3, pp. 304-320.
Smith, M. dan Gunalan, S. (1996), “The Identification of Recovery Candidates among Financially Distressed Companies”, Accountability and Performance, Vol.2, No.2, pp.69-91.
Starbuck, W.H., Greve, A. dan Hedberg, B.L.T., (1978), “Responding to Crisis” Journal of Business Administration, Vol.9, Issue 2, pp.111-137.
Staw, B. M., Sandelands, L.E., dan Dutton, J.E., (1981), “Threat Rigidity Effects in Organizational Behavior: a Multilevel Analysis”, Administrative Science Quarterly, Vol. 26, Issue 4, pp.501-524.
Sudarsanam, S. dan Lai, J. (2001), “Corporate Financial Distress Turnaround Strategies: An Empirical Analysis”, British Journal of Management, Vol. 12, Issue 3, pp.183-199.
Sutton, R. I. dan D’Aunno, T. (1989), “Decreasing Organizational Size: Untangling the Effects of Money and People”, Academy of Management Review, Vol. 14, Issue 2, pp.194-212.
Sutton, R.I., (1990), “Organizational Decline Processes: A Social Psychology Perspective”, In Cummings, L.L. and Staw, B.M. (Eds), Research in Organizational Behavior, Greenwich, Conn.: JAI Press.
Sutton, R.I., Eisenhardt, K.M. dan Jucker, J.V. (1986), “Managing Organizational Decline: Lessons from Atari”, Organizational Dynamics, Vol. 14, Issue 4, pp.17-29.
Thietart, R.A., (1988), “Success Strategies for Businesses Performing Poorly”, Interfaces, Vol.18, Issue 3, pp.32-45.
Tushman, M.L., Virany, B.,dan Romanelli, E., (1985), “Executive Succession, Strategic Reorientation, and Organizational Evolution”, Technology and Society, Vol. 7, pp.297-313.
Warner, J.B., R.S., Watts dan Wruck, K.H., (1988), “Stock Prices and Top Management Changes”, Journal of Financial Economics, Vol. 20, Issue 1/2, pp.461-492.
Weisbach, M., (1988), “Outside Directors and CEO Turnover”, Journal of Financial Economics, Vol. 20, Issue 1/2, pp.431-460.
Weiss, L. A., (1990), “Priority of Claims and Ex Post Re-Contracting in Bankruptcy”, Journal of Financial Economics, Vol. 27, Issue 2, pp.285-317.
Whetten, D.A., (1987), “Organizational Growth and Decline Processes”, Annual Review of Sociology, 13, pp.335-358.
White, M. (1980), “Public Policy Toward Bankruptcy: Me-First and Other Priority Rules”, The Bell Journal of Economics, Vol.11, pp.550-564.
40
White, M. (1983), “Bankruptcy Costs and the New Bankruptcy Code”, Journal of Finance, Vol. 38, Issue 2, pp.477-488.
White, M. (1989), “The Corporate Bankruptcy Decision”, Journal of Economic Perspectives, Vol.3, No.2, pp.129-151.
Worrell, D.L., Davidson, W.N., dan Glascock, J.L., (1993), “Stockholder Reactions to Departures and Appointments of Key Executives Attributable to Firings”, Academy of Management Journal, Vol. 36, Issue 2, pp.387-401.
Wruck, K. H., (1990), “Financial Distress, Reorganization, and Organisational Efficiency”, Journal of Financial Economics, Vol. 27, Issue 2, pp.419-444.
Zimmer, I., (1980), “A Lens Study of the Prediction of Corporate Failure by Bank Loan Officers”, Journal of Accounting Research, Vol.18, Issue 2, pp.629-636.
41