digital_122928-sk 007 09 rah p - pengobatan tradisional-pendahuluan
DESCRIPTION
Digital_122928-SK 007 09 Rah p - Pengobatan Tradisional-PendahuluanTRANSCRIPT
-
Universitas Indonesia
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk biologis senantiasa
menjalankan serta mempertahankan kehidupannya. Dalam menjalankan serta
mempertahankan kehidupannya, manusia cenderung menjaga kesehatannya dari
berbagai penyakit baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular.
Kesehatan merupakan bagian penting dari kehidupan, faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan adalah faktor sosial, faktor budaya, dan ekonomi di
samping biologi dan lingkungan (WHO, 1992:16). Bila penyakit sudah diderita
maka manusia mencari upaya penyembuhan.
Penyembuhan terhadap suatu penyakit di dalam sebuah masyarakat
dilakukan dengan cara-cara yang berlaku di dalam masyarakat tersebut atau sesuai
dengan kepercayaan masyarakat tersebut. Ketika manusia menghadapi masalah-
masalah di dalam hidup, diantaranya sakit, maka manusia tersebut berusaha untuk
mencari obat bagi penyembuh penyakit itu. Seorang yang sakit beserta
keluarganya akan berusaha mencari obat dengan berbagai cara untuk kesembuhan
penyakitnya tersebut (Hastuti, 2006: 1). Bukan hanya pengalaman, faktor sosial
budaya dan faktor ekonomi yang mendorong seseorang mencari pengobatan,
namun juga organisasi sistem pelayanan kesehatan, baik modern maupun
tradisional, sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perilaku mencari
pengobatan (Lumenta, 1989: 87-88).
Secara umum, sistem medis dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu:
sistem medis ilmiah yang merupakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan
(terutama dalam dunia Barat) dan sistem medis tradisional yang hidup aneka
warna kebudayaan-kebudayaan manusia (Kalangie,1976:15). Pengobatan modern
adalah pengobatan yang dilakukan secara ilmiah (Samsunjaya, 2007: 1).
Pengobatan tradisional merupakan suatu sistem pengobatan yang (pengetahuan)
pada pengalaman dan keterampilan turun temurun (Handoko, 2008: xxxii).
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
2
Menurut UU RI No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, pengobatan
tradisional diartikan sebagai salah satu upaya pengobatan dan atau perawatan cara
lain di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, mencakup cara (metoda),
obat dan pengobatanya yang mengacu kepada pengetahuan, dan keterampilan
turun temurun baik yang asli maupun yang berasal dari luar Indonesia dan
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1076/MENKES/SK/VII/2003 halaman 2 tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Tradisional, menyatakan bahwa pengobatan tradisional adalah pengobatan dan
atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatnya yang mengacu kepada
pengalaman, keterampilan turun temurun, dan atau pendidikan/pelatihan, dan
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Di Indonesia, obat dan pengobatan tradisional sudah ada sejak berabad-
abad yang lalu, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan
modernnya dikenal masyarakat. Hal ini didukung oleh kondisi bangsa Indonesia
yang terdiri atas ribuan pulau dan beragam suku bangsa serta tersedianya flora dan
fauna yang sedemikian banyak jumlahnya. Pengobatan seperti ini merupakan
salah satu upaya yang digunakan dalam penanggulangan masalah kesehatan yang
dihadapi. Pengobatan tradisional pada saat ini merupakan salah satu pengobatan
alternatif yang hingga kini makin diminati oleh masyarakat, terlebih lagi dengan
kesadaran untuk kembali ke alam atau Back to Nature (Nafisah, 2000: 335-336
dalam Lestari, 2004:2).
Berbagai jenis dan cara pengobatan tradisional terdapat dan dikenal di
Indonesia. Hal ini sesuai dengan keanekaragaman susunan masyarakat yang ada
(Agoes, 1992: 61), yaitu :
1. Pengobatan tradisional dengan ramuan obat:
Pengobatan tradisional dengan ramuan asli Indonesia; Pengobatan tradisional dengan ramuan obat Cina; Pengobatan tradisional dengan ramuan obat India.
2. Pengobatan tradisional spiritual/kebatinan:
Pengobatan tradisional atas dasar kepercayaan;
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
3
Pengobatan tradisional atas dasar agama; Pengobatan dengan dasar getaran magnetis.
3. Pengobatan tradisional dengan memakai peralatan/perangsangan:
Akupuntur, pengobatan atas dasar ilmu pengobatan tradisional Cina yang menggunakan penusukan jarum dan penghangatan moxa (Daun Arthemesia
vulgaris yang dikeringkan);
Pengobatan tradisional urut pijat; Pengobatan tradisional patah tulang; Pengobatan tradisional dengan peralatan (tajam/keras); Pengobatan tradisional dengan peralatan benda tumpul.
4. Pengobatan tradisional yang telah mendapat pengarahan dan pengaturan
pemerintah:
Dukun beranak; Tukang gigi tradisional.
Melalui praktek-praktek perdukunan yang berbeda satu sama lain, terjadi
interaksi yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan sosial, khususnya
perubahan sosial dalam bidang kesehatan dan lebih khusus lagi yang menyangkut
bagaimana corak praktek-praktek perdukunan dikemudian hari (Sobary, 2003:
141). Menurut Boedhihartono, pengobat tradisional dapat dikelompokkan
berdasarkan kekhususannya antara lain: dukun bayi, dukun pijet, dukun sangkal
putung (dukun patah tulang), dukun jamu, dukun ramal, dukun pawang, dukun
sunat, dukun suwuk dan dukun sembur, dukun jiwa, dukun sihir (dukun pelet,
dukun santet, dukun tuji, dukun klenik, dukun tenung), dan dukun susuk
(Boedhihartono. et al, 1982: 23-24). Dukun patah tulang merupakan suatu bentuk
pengobatan tradisional yang masih cukup banyak dipakai oleh penderita sebagai
alternatif terhadap cara pengobatan yang diberikan oleh ilmu kedokteran
(Mangunsudirdjo, 1992: 76)
Patah tulang menurut ilmu kedokteran adalah suatu patahan pada
kontinuitas struktur tulang, yang biasanya disebabkan oleh adanya kekerasan yang
mendadak. Patahan tadi mungkin lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau
perimpilan bagian tipis dari luar tulang, biasanya patahan itu lengkap dan
fragmennya bergeser dari posisinya. Kalau kulit di atasnya robek atau
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
4
berhubungan dengan bagian tulang yang patah, disebut patah tulang terbuka yang
cenderung mengalami infeksi (Hasan, 2002: 3). Patah tulang pada garis besarnya
ada dua jenis, yakni pertama patah tulang tertutup, artinya tulang tidak sampai
mencuat keluar menembus jaringan kulit, dan yang kedua patah tulang terbuka,
yakni tulang menembus jaringan kulit sehingga tulang yang patah itu terlihat
(Machfoedz, 2005: 72). Tujuan umum dari penanganan patah tulang (fraktur)
adalah mengusahakan penyembuhan tulang dalam posisi dimana tidak ada
kelainan fungsional, dan patah tulang umumnya akan sembuh bila dilakukan
reposisi yang adekuat dan fiksasi yang memadai. Cara pengobatan yang diberikan
yakni mengusahakan reposisi dengan cara mengurut dan fiksasi dengan karton
atau kayu (Mangunsudirdjo, 1992: 82).
Pengobatan tradisional patah tulang bukanlah suatu hal yang baru untuk
dibahas, seperti yang sudah dilakukan oleh Muhastiningsih dalam penelitiannya
mengenai tinjauan terhadap peran serta dukun patah tulang dalam program upaya
kesehatan tradisional di desa Cimande, Kecamatan Caringin Bogor, memaparkan
bahwa lima belas (100%) dukun patah tulang berjenis kelamin laki-laki. Tiga
(20,01%) orang berusia antara 35-44tahun; lima (33,33%) orang berusia antara
45-54 tahun; dan tujuh (46.66%) orang berusia lebih dari 55 tahun. Tiga belas
orang bekerja sebagai petani dan dua orang berdagang. Tiga orang bepengalaman
3-5 tahun menjadi dukun patah tulang, tiga orang berpengalman 6-10 tahun
menjadi dukun patah tulang, dan sembilan orang berpengalaman lebih dari 10
tahun menjadi dukun patah tulang. Berdasarkan pendidikan terakhir dukun patah
tulang: satu orang tidak sekolah, dua belas orang SD, satu orang SMP, dan satu
orang SMA (Muhastingingsih, 1990: 47-48). Pada umumnya kegiatan pelayanan
dukun patah tulang didesa Cimande adalah pengobatan patah tulang, kegiatan
rujukan dan pemberian nasehat dalam rangka penyembuhan patah tulang.
Kegiatan pemberian nasehat yang diberikan kepada pasien sebagian besar adalah
menyangkut perawatan patah tulang, pantang makan karena itu peranan dukun
dalam menunjang penyuluhan kesehatan tradisional lebih banyak ditujukan
kepada upaya peningkatan kesehatan penelitian patah tulang yang selanjutnya
memberikan dampak terhadap penurunan angka kesakitan dan kecacatan
(Muhastiningsih, 1990: 87).
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
5
Mulyono Notosiswoyo dalam tesisnya yang berjudul Pengobatan
Tradisional Patah Tulang Cimande, ia meneliti tentang mengapa dan bagaimana
pengobatan tradisional patah tulang dapat bertahan sebagai suatu profesi dan
pelayanan pengobatan pada masyarakat Indonesia (1995: 8). Dalam tulisannya, ia
menjelaskan bahwa masyarakat masih mempercayai adanya kekuatan supernatural
yang dimiliki oleh dukun patah tulang tersebut beserta doa dan minyaknya.
Selain itu kharisma yang tadinya dimiliki oleh gurunya atau orang tuanya ikut
mendukung pengakuan masyarakat terhadap kemampuan mereka mengobati patah
tulang dan sejenisnya (Notosiswoyo, 1995: 130).
Purnawati memaparkan dalam penelitiannya mengenai peran serta dukun
patah tulang dalam menunjang program upaya kesehatan tradisional di Kecamatan
Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali, bahwa dari sebelas dukun patah tulang, dua
orang berusia 45-50 tahun, enam orang berusia 55-60 tahun, dan tiga orang
berusia diatas 65 tahun, serta sebelas orang tersebut berpengalaman lebih dari
sepuluh tahun menjadi dukun patah tulang (Purnawati, 2000: 71-78) .
Dari beberapa hasil penelitian tentang pengobat tradisional patah tulang
yang dilakukan di Yogyakarta, di Kabupaten Sidoarjo dan Pasuruan, di Kabupaten
Minahasa dan di Kabupaten Barru, dapat dikemukakan bahwa jenis kelamin para
pengobat tradisional adalah laki-laki dan perempuan. Umur mereka dari 25 tahun
sampai 61 tahun. Dengan mengacu pada umur tersebut nampaknya mereka yang
melakukan pengobatan tradisional patah tulang bukan hanya mereka yang masih
usia produktif, tetapi juga yang sudah usia manula (manusia lanjut usia). Pada
umumnya mereka sudah berpraktek cukup lama, rata-rata antara lima sampai dua
puluh tahun, meskipun ada yang kurang dari lima tahun, dan ada juga yang sudah
berpraktek lebih dari 25 tahun. Profesi sebagai pengobat tradisional patah tulang
pada umumnya bukan merupakan satu-satunya profesi yang dijalankannya.
Mereka ada juga yang berprofesi lain misalnya sebagai petani, tukang kayu,
bahkan ada yang berprofesi sebagai kepala dusun. Tingkat pendidikan mereka
cukup bervariasi dari yang berpendidikan sekolah dasar tidak tamat sampai
dengan yang berpendidikan tinggi. Namun sebagian besar mereka adalah
berpendidikan SD dan SLTP (Notosiswoyo, dkk., 2001: 17).
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
6
Prinsip praktek pengobatan tradisional patah tulang mencakup pemberian
sugesti atau penguatan psikis, reposisi, relaksasi, dan fiksasi. Sugesti dilakukan
dengan cara memberi minum air yang sudah diberi doa-doa dan dimotivasi.
Tetapi adakalanya diberi benda tertentu yang bersifat spiritual. Setelah diketahui
jenis patah tulangnya, kemudian dilakukan reposisi dengan cara tekan dan urut
menggunakan minyak. Untuk mengetahui apakah tulang yang patah sudah
kembali pada posisi semula, pengobat tradisional memanfaatkan getaran panas
dan dingin yang dapat dirasakan lewat perabaan tangannya, setelah reposisi
dilakukan relaksasi untuk mengendorkan otot-otot yang tegang, dengan cara
membasuh air hangat. Selanjutnya dilakukan fiksasi yang bertujuan agar tulang
yang telah direposisi tidak berubah lagi posisinya. Sebelum fiksasi dilakukan pada
beberapa bagian sekitar daerah yang cidera diberi minyak ramuan khusus yang
bersifat menghangatkan dan ditaburi talk (bedak) untuk menghindari lecet kulit.
Alat untuk fiksasi biasanya digunakan bambu atau kayu dengan kapas atau kain
bersih/perban. Bagi penderita patah tulang dengan luka terbuka, biasanya
langsung dirujuk ke Rumah Sakit setelah dilakukan reposisi (Notosiswoyo, dkk.,
2001: 21).
Jasa pengobatan pijat urut atau bengkel tulang tradisional kerap menjadi
pilihan sebagian masyarakat untuk memperbaiki kasus patah tulang (fraktur) atau
penyambungan tulang1. Salah satu bengkel patah tulang yaitu Yayasan
Pengobatan Patah Tulang Guru Singa. Pengobatan tradisional yang didirikan oleh
Prof(HC). DR(HC). Ngulih Rusli Guru Singa ini menggunakan metode
pengobatan yang menarik2 yaitu dengan menerapkan teknik Traksi Luar (daya
cengkram) lalu dibaluri oleh minyak dan sop khusus ramuan tradisional lalu
diimmobilisasi (diistirahatkan)3. Pengobatan patah tulang Guru Singa berlokasi di
daerah Pondok Kelapa Jakarta Timur dengan melibatkan pihak-pihak diantaranya
yaitu pengobat, pasien, dan keluarga pasien. Pengobat melakukan pengobatan
kepada pasiennya disertai dengan perbincangan mengenai pengobatan maupun
bukan pengobatan. Di dalam perbincangan tersebut, adanya informasi yang
disampaikan pengobat kepada pasiennya pada saat pengobatan berlangsung.
1
http://www.kompas.com/read/xml/2008/01/24/17160290/patah.tulang.tak.perlu.disambung2 http://thedoctornotes.blogspot.com/2008/02/guru-singa.html3 http://thedoctornotes.blogspot.com/search/label/The%20Alternative%20Medicine
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
7
1.2 Permasalahan Penelitian
Proses penyampaian informasi dari ahli kepada pasien mempengaruhi
kualitas pelayanan maupun hasil pengobatan (Sciortino, 1999: 74). Suatu pranata
sosial yang melibatkan interaksi antara sejumlah orang, sedikitnya pasien dan
penyembuh disebut sebagai sistem perawatan kesehatan. Fungsi yang terwujudkan
dari suatu sistem perawatan kesehatan adalah untuk memobilisasi sumber-sumber
daya si pasien, yakni keluarganya dan masyarakatnya, untuk menyertakan mereka
dalam mengatasi masalah tersebut (Foster dan Anderson, 1986: 46). Berdasarkan
pengamatan awal yang tertulis di paragraf di atas, penulis melihat Pengobatan
Patah Tulang Guru Singa sebagai suatu sistem perawatan kesehatan. Perawatan
kesehatan tersebut diminati masyarakat untuk berobat patah tulang yang di
dalamnya berisi interaksi antara pihak pengobat dan pihak pasien. Oleh sebab itu
penulis ingin mengkaji hal tersebut lebih dalam. Berikut Pertanyaan penelitian:
1. Bagaimana proses pengobatan di pengobatan patah tulang Guru Singa?
2. Apa yang melatarbelakangi pasien memilih pengobatan di pengobatan patah
tulang Guru Singa?
3. Bagaimana interaksi yang terjadi antara pengobat, pasien dan keluarga pasien
di pengobat patah tulang Guru Singa?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui proses pengobatan di pengobatan patah tulang Guru Singa
2. Mengetahui latarbelakang pasien memilih pengobatan patah tulang Guru
Singa
3. Mengetahui interaksi yang terjadi antara pengobat, pasien dan keluarga
pasien di pengobatan patah tulang Guru Singa.
1.4 Signifikansi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis dan akademis.
Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memberikan
sumbangan bagi kajian ilmu sosial khususnya Antropologi medis mengenai
pengobatan tradisional patah tulang. Secara praktis, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan gambaran mengenai salah satu pengobatan tradisional patah
tulang sebagai suatu sistem perawatan kesehatan yang melibatkan interaksi
diantara pihak-pihak yang terlibat dalam pengobatannya.
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
8
1.5 Kerangka Konsep
Sistem medis adalah suatu bagian atau unsur yang ada pada setiap
kebudayaan. Sistem medis menurut Dunn (1976: 135 dalam Foster dan Anderson,
1986:41) adalah pola-pola dari pranata-pranata sosial dan tradisi-tradisi budaya
yang menyangkut prilaku yang sengaja untuk meningkatkan kesehatan, meskipun
hasil dari tingkah laku khusus tersebut belum tentu kesehatan yang baik. Saunders
(1954: 7 dalam Foster dan Anderson, 1986: 44) menyatakan bahwa sistem medis
adalah suatu kompleks luas dari pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, norma-
norma, nilai-nilai, ideologi, sikap, adat istiadat, upacara-upacara dan lambang-
lambang yang saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang saling
menguatkan dan saling membantu. Menurut Foster dan Anderson (1986: 45)
sistem medis mencakup semua kepercayaan tentang usaha meningkatkan
kesehatan dan tindakan serta pengetahuan ilmiah maupun keterampilan anggota-
anggota kelompok yang mendukung sistem tersebut.
Sistem medis dapat dipecah ke dalam paling sedikit dua kategori besar,
yaitu suatu sistem teori penyakit dan sistem perawatan kesehatan. Suatu
sistem teori penyakit meliputi kepercayaan-kepercayaan mengenai ciri sehat,
sebab-sebab sakit, serta pengobatan dan teknik-teknik penyembuhan lain yang
digunakan oleh para dokter. Sebaliknya, suatu sistem perawatan kesehatan
memperhatikan cara-cara yang dilakukan oleh berbagai masyarakat untuk
merawat orang sakit dan untuk memanfaatkan pengetahuan tentang penyakit
untuk menolong si pasien. Suatu sistem perawatan kesehatan adalah suatu pranata
sosial yang melibatkan interaksi antara sejumlah orang, sedikitnya pasien dan
penyembuh. Fungsi yang terwujudkan dari suatu sistem perawatan kesehatan
adalah untuk memobilisasi sumber-sumber daya si pasien, yakni keluarganya dan
masyarakatnya, untuk menyertakan mereka dalam mengatasi masalah tersebut
(Foster dan Anderson, 1986: 46).
Keluarga dalam pengertian antropologi adalah satu jenis kelompok
kekerabatan, atau kingroup. Antara anggota keluarga terjalin hubungan
kekerabatan (kinship). Hukum pertemanan, prinsip solidaritas, saling bantu, saling
merasakan, dan seterusnya. Inilah inti dari hubungan kekeluargaan. Semangat
kekeluargaan adalah semangat atau nilai dalam hubungan sosial antara sesama
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
9
anggota keluarga; semangat persaudaraan; solidaritas antara sesama kerabat;
semangat kolektivisme; dan semangat komunalisme (Marzali, 2005: 169-171).
Perilaku untuk meningkatkan kesehatan tidak hanya ditentukan oleh
individu yang bersangkutan, melainkan juga oleh orang lain atau kerabat tempat
mereka berinteraksi. Setiap individu sebagai anggota masyarakat tentu
mempunyai peranan. Dengan memiliki peranan, maka mereka juga memiliki hak-
hak tertentu serta mengharapkan bentuk-bentuk tingkah laku tertentu terhadap
siapa mereka berinteraksi (Dyson, 1987: 8).
Hubungan antara dokter dan pasien, serta antara dokter dan perawat
berupa hubungan-hubungan identitas; perilaku yang tepat antara orang-orang
dalam berbagai kapasitas ini adalah hubungan peran (identitas berfokus pada
kapasitas, peran menjelaskan perilaku yang tepat bagi seorang pelaku dalam
kapasitas tertentu) (Keesing, 1992: 74). Peranan dokter dan peranan pasien,
seperti halnya peranan-peranan lain, saling melengkapi dan saling tergantung;
yang satu membutuhkan yang lainnya. Tanpa pasien tak akan ada peranan dokter,
dan sebaliknya, tanpa dokter tidak ada peranan pasien. Namun di luar
ketergantungan itu, kedua peranan itu ditandai oleh ciri-ciri yang sangat berbeda,
yang dapat dianalisis dalam rangka empat pasang dimensi dasar: terbatas-
universal, permanen-temporer, atasan-bawahan, sukarela-nonsukarela (Foster dan
Anderson, 1986: 123). Peranan penyembuh tidak otoriter. Penyembuh boleh
menyarankan namun tidak boleh mendikte. Saran pengobatan boleh diikuti hanya
apabila ada pengesahan dari anggota yang berpengaruh dalam kelompok sosial si
pasien (Clark, 1959: 213 dalam Foster dan Anderson, 1986: 124).
Dalam sistem pelayanan perawatan kesehatan, Foster dan Anderson
menemukan ciri-ciri persamaan dalam premis-premis profesional, citra diri dan
bentuk-bentuk hubungan dengan publik, tanpa memandang asumsi-asumsi
kausatif yang mungkin melatar-belakangi sistem tersebut. Dipandang dari
perspektif lintas-budaya, para dokter menunjukkan ciri-ciri yang sama dalam hal
spesialisasi, seleksi dan pendidikan, perasaan citra keprofesionalan, harapan akan
pembayaran, dan keyakinan akan kekuatan mereka (Foster dan Anderson, 1986:
124). Gambaran stereotip dari penyembuh tradisional yaitu orang yang bijaksana
dan terampil, yang tidak hanya mengenal pasiennya saja tetapi juga keluarganya,
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
10
yang sadar akan ketegangan-ketegangan pribadi maupun sosial dari kehidupan
pasien, yang melihat kesembuhan dari stres antar pribadi sebagai hal yang penting
bagi penyembuhan gejala-gejala fisik (Foster dan Anderson, 1986: 294).
Sistem perawatan kesehatan mengintegrasikan komponen-komponen yang
berhubungan dengan kesehatan yang mencakup pengetahuan dan kepercayaan
tentang alasan pemilihan, penilaian perawatan, kedudukan dan peranan,
kekuasaan, latar interaksi, pranata-pranata, dan jenis-jenis sumber serta praktisi
perawat yang tersedia (Kalangie, 1994: 25). Strategi-strategi yang mendasari
proses-proses pengambilan keputusan dalam mencari perawatan kesehatan disebut
hierarki sarana (pengobatan) dalam praktek penyembuhan (Schwartz 1969
dalam Foster dan Anderson, 1986: 293). Cara-cara bagaimana masyarakat
menyusun hierarki sarana pribadi mereka sendiri dan faktor-faktor yang masuk
dalam perhitungan mereka banyak memberi penjelasan kepada kita tentang
bagaimana bentuk-bentuk pengobatan ilmiah dan pengobatan alternatif baru
(dan terutama pengobatan di perkotaan) telah sangat terdesak praktek pengobatan
tradisional (Foster dan Anderson, 1986: 293).
Perilaku pencarian pelayanan kesehatan menurut Notoatmodjo (2007: 205-
206) terdiri dari: (1) tidak bertindak apa-apa atau tidak melakukan kegiatan apa-
apa (no action); (2) tindakan mengobati sendiri (self treatment); (3) mencari
pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy); (4)
mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist
shop); (5) mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang
diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta yang
dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit dan; (6)
mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh
dokter praktek (private medicine).
Menurut Notosiswoyo (1995: 131-132) dalam hasil penelitiannya mengenai
pengobatan tradisional patah tulang Cimande, pengobatan tradisional patah tulang
masih diminati oleh masyarakat (para penderita trauma tulang) karena faktor-
faktor berikut:
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
11
(1) faktor sosial, yaitu:
a. pasien berada pada posisi yang tidak kuasa, dan penyandang dana atau
penabrak pada posisi yang lebih kuasa maka pasien pasrah dibawa berobat
kemanapun;
b. adanya keterbatasan dalam interaksi sosial sehingga tidak dapat menentukan
pilihan tempat pengobatan
c. adanya komunikasi yang akrab dengan istilah yang mudah dimengerti oleh
pasien dan dukun.
(2) faktor budaya, yaitu:
a. kedua pihak sama-sama meyakini adanya kekuatan supranatural yang ada
pada minyak Cimande dan kemampuan yang dimiliki oleh dukun patah
tulang;
b. adanya rasa takut diamputasi atau dipotong kalau berobat ke rumah sakit.
(3) faktor ekonomi, yaitu:
adanya biaya relatif murah dengan pembayaran tanpa uang muka dan dapat
dicicil
(4) faktor psikologis, yaitu:
a. kenyamanan dalam proses pengobatan misalnya dalam pengobatan ini daerah
yang patah tidak di gips;
b. pasien dapat dikunjungi dan ditunggui setiap waktu sehingga tidak merasa
dikucilkan dari keluarganya;
c. stereotips negatif terhadap pengobatan rumah sakit
(5) alasan kepraktisan, yaitu:
pasien langsung dapat segera diobati dan dirawat tanpa melalui prosedur
bermacam-macam yang kadang-kadang berbelit.
Secara universal ada kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi manusia
untuk dapat hidup sebagai manusia, seperti kebutuhan primer, skunder, dan tertier.
Manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, yaitu memanfaatkan sumber-
sumber daya yang ada dalam lingkungan hidupnya, menjadi energi dalam dan
bagi kehidupannya dengan menggunakaan kebudayaan (Suparlan, 2004: 220).
Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah perangkat-
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
12
perangkat acuan yang berlaku umum dan menyeluruh untuk menghadapi
lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup para warga masyarakat
pendukung kebudayaan tersebut. Kebudayaan dengan demikian dilihat sebagai
perangkat-perangkat pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang dimilki
pendukung kebudayaan tersebut. Perangkat-perangkat pengetahun dan keyakinan-
keyakinan tersebut dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri atas satuan-satuan
yang berbeda-beda serta bertingkat-tingkat yang fungsional hubungannya satu
sama lainnya secara keseluruhan (Suparlan, 1995: 4). Para ahli perilaku umumnya
memandang rumah sakit sebagai suatu masyarakat kecil dengan kebudayaannya
sendiri. Rumah sakit sebagaimana dengan masyarakat kecil, dapat dipandang
memiliki kebudayaan. Nampak jelas adanya dua subkebudayaan yang dasar,
yakni kebudayaan pasien atau penghuni dan kebudayaan profesional atau
staf dari semua yang bekerja di sebuah rumah sakit. Berdasarkan model
komuniti kecil dengan garis-garis otoritas dan interaksi perananlah maka analisis-
analisis tentang rumah-rumah sakit itu dilakukan (Foster dan Anderson, 1986:
196-197).
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pada pendekatan
kualitatif, peneliti berhubungan dengan yang diteliti, hubungan ini dalam
bentuk tinggal bersama atau mengamati informan dalam periode waktu lama,
atau kerja sama nyata. Ringkasnya, peneliti berusaha meminimalkan jarak
antara dirinya dan yang diteliti (Creswell, 2002: 5).
Penelitan kuantitatif menjadi tidak tepat atau dirasa kurang tepat digunakan
bila ingin memahami kehidupan sosial secara rinci karena alasan-alasan seperti:
(1) kehidupan sosial yang diteliti sangat kompleks; (2) hasil penelitian tidak
memuaskan karena banyak hal yang belum dapat dijelaskan oleh hasil
penelitian tersebut. Dalam situasi seperti ini maka metode penelitan kualitatif
dapat dikatakan lebih memadai untuk diterapkan (Hendrarso, 2006: 165-166).
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
13
1.6.2 Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif yaitu membuat
sesuatu yang kompleks dapat dimengerti dengan menguraikan menjadi
komponen-komponen (Sabarguna, 2006: 71). Penelitian yang bersifat
deskriptif, memberi gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu
individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu (Tan, 1991: 30). Penulis
menjelaskan yang terjadi di Pengobatan Patah Tulang Guru Singa dalam hal
proses pengobatan dan interaksi antara pengobat, pasien, dan keluarga pasien,
serta menjelaskan pihak-pihak yang berperan dalam hal pengobatan ini.
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Tiga macam pengumpulan data secara kualitatif yaitu, yang pertama
wawancara mendalam dan terbuka, data yang diperoleh terdiri dari pengalaman,
pendapat, perasaan, dan pengetahuannya. Kedua adalah pengamatan yang terdiri
dari kegiatan, perilaku, tindakan orang-orang. Ketiga yaitu penelaahan terhadap
dokumen tertulis (Oetomo, 2005: 186).
Tahap awal perkenalan penulis dengan Dana, anak pendiri Pengobatan
Patah Tulang Guru Singa (selanjutnya disebut GS) di Pondok Kelapa ini, pada
saat penulis mengerjakan Seminar Rencana Penelitian sekitar bulan Oktober 2007.
Penulis mengutarakan maksud dan tujuan penulis sebagai seorang mahasiswi
FISIP UI yang sedang mengerjakan tugas rencana penelitian untuk skripsi. Pada
tahap awal ini, penulis bertanya mengenai sejarah GS dan teknik pengobatan
untuk mengetahui gambaran umum GS. Pada bulan Februari 2008 penulis datang
ke GS memberi tahu bahwa penulis akan membuat skripsi tentang Pengobatan
Patah Tulang Guru Singa, penulis berkenalan dengan pihak-pihak yang terlibat
dalam pengobatan, penulis mewawancarai Dana, penulis mewawancarai
pengobat, dan penulis melihat aktivitas di GS seperti pembuatan minyak. Pada
November 2008 penulis datang ke GS untuk menggali informasi mengenai GS
dari anak Ngulih dan dari pengobat di GS.
Pada tanggal 2 Maret 2009 penulis datang ke GS dengan maksud untuk
bertanya mengenai rumah kontrakan yang berada di sekitar GS karena penulis
hendak melakukan penelitian yang lebih intensif, kemudian anak Ngulih
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
14
menawari kamar miliknya yang sedang tidak ditempati untuk menjadi tempat
tinggal sementara penulis melakukan penelitian. Penulis tinggal di salah satu
kamar milik anak dari Ngulih dari tanggal 3 Maret 2009 sampai tanggal 29 Maret
2009, dengan maksud meminimalkan jarak antara penulis dengan pihak-pihak
yang terkait dalam penelitian ini seperti, pengobat, pasien, keluarga pasien. Pada
tahap awal penelitian, penulis berkeliling dari satu ruang perawatan hingga ruang
perawatan yang lain bersama para pengobat, pada tahap ini juga penulis
berkenalan dengan beberapa pasien dan keluarga pasien.
I.6.3.1. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti
untuk mendaptkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan
berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada peneliti.
Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh melalui
observasi (Mardalis, 2006: 64)
Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara mendalam dengan
pengobat, pasien, dan keluarga pasien di GS. Wawancara penulis lakukan kepada
Dana, semenjak pendiri pengobatan ini meninggal pada tahun 2007 hingga kini
yang menjabat sebagai pimpinan adalah Dana. Selain Dana, penulis
mewawancarai Kencana yang juga merupakan anak dari pendiri pengobatan ini.
Dana dan Kencana ialah anak dari pendiri pengobatan patah tulang ini yang
berada di Jakarta dan bertempat tinggal di wilayah GS yang juga terlibat dalam
pengobatan.
Informan laininnya yaitu pengobat dengan kriteria sebagai berikut, berjenis
kelamin laki-laki (karena semua pengobat di GS adalah laki-laki) dan
berpengalaman lebih dari lima tahun (lima tahun berdasarkan penelitian-penelitian
sebelumnya yang dikemukakan Notosiswoyo dkk (2001:17) bahwa pada
umumnya pengobat sudah berpraktek cukup lama, rata-rata antara lima sampai
dua puluh tahun), ini dimaksudkan untuk mengetahui proses pengobatan di GS.
Penulis melakukan wawancara dengan Jojon, Banon, Sakeus, dan Yanto yang
bertugas sebagai pengobat.
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
15
Selain itu, penulis juga melakukan wawancara dengan pasien dan keluarga
pasien yang dirawat dibangsal Kambuna Guru Singa, karena ruang perawatan ini
termasuk kedalam ruang yang harganya paling terjangkau dan ditempati oleh
paling banyak pasien dibanding dengan ruang perawatan yang lain. Kriteria
informan yaitu pasien yang mengalami proses pengobatan di GS, pasien yang
sudah dirawat inap lebih dari dua minggu, pasien yang dirawat inap di ruang
rawat bangsal, ini dimaksudkan untuk melihat interaksi yang terjadi antara pasien
dengan pasien serta pasien dengan keluarga pasien yang lainnya. Pasien yang
penulis jadikan informan ialah Ynt, Al, Jm, dan Hn.
Pada saat penulis mengikuti tim kontrol harian berkeliling ke semua ruang
rawat inap, tibalah penulis di ruang rawat Kambuna, salah seorang pengobat
menyarankan penulis untuk mewawancarai Hn karena Ia adalah pasien terlama
(saat itu) yang dirawat di GS, kemudian penulis memperkenalkan diri kepada Hn
sebagai mahasiswi FISIP UI yang sedang belajar melakukan penelitian untuk
tugas skripsi. Hn menyambut cukup baik kehadiran penulis, Hn memperkenalkan
penulis kepada pasien dan keluarga pasien yang berada di ruang rawat kambuna
dengan suara yang cukup lantang. Hn menanyakan ke penulis apa yang dapat Ia
bantu, kemudian penulis mengajak Hn berbincang diawali pertanyaan-pertanyaan
pembuka seperti sejak kapan dirawat di GS, Hn bercerita bahwa ia hampir empat
bulan dirawat di GS. Sikap Hn yang ramah dan terbuka membuat penulis mudah
untuk membangun raport (hubungan baik). Dalam perbincangan dengan Hn,
penulis mendapatkan informasi bahwa Ia tidak dirawat oleh keluarganya
melainkan oleh keluarga pasien lain di Kambuna, diantaranya yaitu istri Jm dan
istri Ynt. Hn diangkat atau mengangkat dirinya menjadi Ketua RT karena Ia
merupakan pasien terlama, kemudian Ia mengangkat istri Ynt menjadi Ibu
Lurah.
Penulis mulai berbincang dengan Ynt dan istri pada saat penulis
membagikan kue-kue kecil dalam rangka syukuran bertambahnya umur penulis.
Ynt dan istri mengajak penulis berbincang diawali dengan menanyakan umur
penulis. Setelah itu perbincangan mengenai latar belakang penulis dan ternyata
terdapat beberapa rasa kesamaan, diantaranya yaitu Ynt bekerja dibawah naungan
UI, Ynt mengaku berasal dari Solo, dan anak Ynt berasal dari Sekolah Dasar yang
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
16
sama dengan penulis, hanya berbeda dua tingkat, bahkan tetangga penulis adalah
teman sekelas dari anak Ynt. Adanya rasa kesamaan tersebut membuat penulis
tidak terlalu sulit untuk membangun raport dengan Ynt dan keluarga.
Tempat tidur Ynt berdekatan dengan tempat tidur Al, kedua tempat tidur ini
tersekat oleh papan sehingga Ynt tidak dapat langsung melihat ruang rawat
Kambuna yang lebih luas. Ruangan yang tersekat ini terdapat tiga tempat tidur,
yaitu tempat tidur Ynt, Al, dan tidak ada yang menempatinya. Jika penulis datang
berkunjung dan berbincang dengan Ynt dan istri, secara tidak langsung pun
penulis berbincang dengan Al dan istri sehingga raport tidak terlalu sulit untuk
dibangun, sedangkan tempat tidur Jm berada didepan tempat tidur Hn, sehingga
pembangunan raport antara penulis dengan Jm dan istri hampir sama halnya
dengan Al.
Penulis melakukan wawancara sambil lalu dengan keluarga atau kerabat
pasien untuk mengetahui hal-hal seputar pasien seperti, penyebab kecelakaan,
sudah berapa lama dirawat, bertempat tinggal dimana, alasan mengapa pasien
dirawat di Guru Singa bukan di tempat pengobatan yang lain, serta mengetahui
pengobatan Guru Singa dari siapa dan sejak kapan. Pertanyaan-pertanyaan dalam
rangka wawancara sambil lalu itu dimaksudkan untuk mengetahui alasan pasien
dibawa ke Guru Singa serta bagaimana keluarga atau kerabat dari pasien tersebut
mengetahui pengobatan tradisional Guru Singa ini.
Selain pengobat, anak dari pendiri pengobatan, pasien dan keluarga pasien,
penulis juga mewawancarai pihak-pihak yang terlibat dalam pengobatan seperti
dokter dan perawat, serta penulis mewawancarai pihak-pihak yang mendukung
dalam pengobatan ini seperti Padli yang bertugas sebagai petugas administrasi,
Imas dan Yanti yang bertugas sebagai petugas dapur, Piter dan Maman yang
bertugas sebagai petugas lapangan, serta Icem yang bertugas sebagai penjaga
pasien.
1.6.3.2. Pengamatan
Sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti melibatkan
diri dalam kehidupan dari masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan
memahami gejala-gejala yang ada, sesuai maknanya dengan yang diberikan atau
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
17
dipahami oleh para warga masyarakat yang ditelitinya. Termasuk dalam
pengertian metode pengamatan terlibat adalah wawancara dan mendengarkan
serta memahami apa yang didengarnya (Suparlan 1994:6).
Penulis melakukan pengamatan lokasi penelitian, kondisi lingkungan fisik
GS, serta untuk mendapatkan informasi yang tidak dapat diperoleh melalui
wawancara mendalam seperti untuk melihat apa yang dilakukan oleh para
pengobat dalam melakukan pengobatan terhadap para pasiennya, serta untuk
melihat kesesuaian antara yang dikatakan dengan yang terjadi di lapangan. Pada
pengamatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proses
pengobatan yang dilakukan para pengobat serta interaksi yang terjadi. Penulis
melakukan pengamatan tidak hanya di ruang pengobatan, dan ruang perawatan
saja, tetapi juga di luar ruangan tersebut seperti di dapur, di lapangan parkir, di
warung makan yang berada di wilayah GS. Pengamatan di ruang rawat penulis
lakukan pada saat tim pengobat berkeliling dari suatu ruang rawat ke ruang rawat
yang lain.
1.6.3.3. Tinjauan Pustaka
Penulis menggunakan data yang didapatkan dari buku-buku, laporan-
laporan hasil penelitian sebelumnya, dan literatur-literatur yang berhubungan
dengan penelitian ini, sebagai langkah awal untuk memulai penelitian serta untuk
mendapatkan pengetahuan mengenai pengobatan tradisional khususnya
pengobatan tradisional patah tulang.
1.6.4 Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Pengobatan Patah Tulang Guru Singa Jl. Pondok
Kelapa Raya Rt.001/02 No.37 Kelurahan Pondok Kopi Jakarta Timur.
1.7 Kendala Penelitian
Walaupun penulis tinggal di GS tetapi tidak sepenuhnya waktu penulis
habiskan untuk penelitian ini karena pada saat yang bersamaan pula penulis
sedang terlibat dalam suatu kegiatan, selain itu penulis terkadang pulang ke rumah
tidak menginap di GS. Penulis menyadari berbagai kendala yang penulis temui
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
18
dalam penelitian ini, diantaranya yaitu pada saat penentuan informan. Dana dapat
dijadikan informan karena ia adalah anak dari Ngulih sekaligus menjadi pimpinan
GS saat ini, akan tetapi Dana kurang dapat menjelaskan jawaban-jawaban yang
penulis tanyakan, salah satu contohnya pada saat penulis bertanya mengenai
pantangan pasien kemudian Dana memberitahu mengenai dua hal yang harus
dipantang pasien, tetapi Dana tidak menjelaskan mengapa dua hal tersebut
menjadi pantangan. Informasi dari para pengobat menjelaskan bahwa baik Dana,
Kencana, maupun Sri (anak-anak Ngulih) kurang begitu terlibat dalam
pengobatan pada saat Ngulih masih hidup, sehingga seperti yang sudah penulis
tuliskan di atas yaitu jawaban-jawaban Dana kurang dapat menjelaskan, walaupun
begitu Dana tetap dijadikan informan. Kencana juga penulis jadikan informan
karena ia merupakan anak Ngulih yang juga menjadi pengobat. Selain Dana dan
Kencana, penulis mendapatkan informasi dari para pengobat baik dengan
wawancara yang berpedoman maupun wawancara tidak berpedoman. Hanya tiga
orang pengobat yang bersedia suaranya direkam saat wawancara, itu pun hanya
satu orang yang bersedia meluangkan waktunya untuk wawancara formal dalam
arti pengobat tersebut bersedia untuk duduk, diwawancarai dengan pedoman, dan
suaranya direkam. Dua orang pengobat lain yang bersedia suaranya direkam
sembari melakukan kegiatan seperti dalam pembuatan minyak, itu pun tanpa
pedoman. Penulis mendapatkan informasi dari para pengobat yang lain yaitu
dengan wawancara tidak berpedoman yang seolah hanya perbincangan biasa.
Pada umumnya para pengobat bersikap sangat ramah dan bersahabat akan tetapi
untuk penulis wawancarai dengan pedoman dan direkam sangatlah sulit, dengan
berbagai alasan yang dikemukakan seperti pasien sedang banyak, pengobat
sedang letih, pengobat sedang sakit tenggorokan, dan lain sebagainya.
Kendala berikutnya yang penulis alami yaitu pada saat hendak
mewawancarai dokter. Dokter pertama yang penulis temui pada awalnya ramah
menanggapi penulis, akan tetapi pada saat penulis memperkenalkan diri sebagai
mahasiswi FISIP UI yang sedang belajar penelitian untuk tugas skripsi, sikap
dokter berubah. Ia beranjak jalan dari tempat penulis menyapanya, kemudian
dengan berjalan cukup cepat Ia meminta penulis untuk mewawancarai temannya
yang juga dokter di GS dengan alasan Ia disini sebagai dokter pengganti. Sikap
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
19
dokter kedua yang penulis temui tidak jauh berbeda dengan sikap dokter yang
pertama, hanya saja pada dokter kedua ini penulis mendapatkan informasi
diantaranya yaitu Ia menjadi dokter di GS karena diajak oleh seniornya di
Fakultas Kedokteran tempat Ia kuliah. Posisinya pun sama seperti dokter yang
pertama yaitu sebagai dokter pengganti, bukan dokter utama di GS sehingga Ia
merasa tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan penulis. Dalam
perbincangan penulis dengan dokter yang kedua ini penulis tidak diizinkan untuk
merekam suaranya, sehingga yang penulis lakukan adalah wawancara tidak
berpedoman, ini pun yang dokter ceritakan lebih mengenai kegiatan
kesehariannya. Penulis tetap mencoba untuk menemui dokter yang utama,
maksudnya ialah bukan dokter pertama dan dokter kedua yang penulis temui
karena mereka mengaku sebagai dokter yang menggantikan dokter utama, akan
tetapi dokter utama pun sulit untuk ditemui. Dokter datang ke GS pada malam
hari sekitar pukul 20.00 atau 21.00 bahkan lebih malam dari itu, kedatangan
dokter sangat tidak menentu mengakibatkan penulis sulit untuk menemuinya
sehingga penulis kurang mendapat informasi mengenai pihak medis ini.
Informasi dari pihak-pihak yang terlibat serta yang mendukung dalam
pengobatan ini penulis dapatkan dengan wawancara tidak berpedoman. Penulis
melakukan perbincangan dengan pihak-pihak tersebut seperti petugas dapur,
penjaga pasien, dokter, dan lainnya.
Kendala selanjutnya ialah pasien yang penulis jadikan informan. Pasien
pertama bersedia diwawancarai dengan pedoman dan suaranya direkam, akan
tetapi pada pasien berikutnya penulis melakukan wawancara tidak di rekam
sehingga penulis tidak dapat menggunakan kutipan-kutipan dari pembicaraan
informan pasien selain dari pasien yang pertama.
1.8 Sistematika penulisan
Penelitian ini terbagi menjadi lima bab. Bab I berisi latar belakang,
permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kerangka
konsep, metode penelitian, kendala penelitian dan sistematika penulisan.
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009
-
Universitas Indonesia
20
Bab II berisi gambaran umum tentang sejarah pengobatan patah tulang
Guru Singa, lokasi pengobatan patah tulang Guru Singa dan pihak-pihak yang
mendukung dalam pengobatan patah tulang Guru Singa.
Bab III berisi data temuan lapangan tentang proses pengobatan patah
tulang Guru Singa mengenai obat yang digunakan, pantangan pasien, pihak yang
terlibat dalam pengobatan patah tulang Guru Singa, pengobatan pada pasien rawat
jalan, pengobatan pada pasien rawat inap.
Bab IV berisi analisis dari hasil pengamatan dan wawancara dengan
konsep yang digunakan pada penelitian ini.
Bab V berisi kesimpulan tentang penelitian ini.
Pengobatan Tradisional Patah..., Ida Rahmadewi, FISIP UI, 2009