dialog konstruktif inisiatif internasionalisme ham dalam …
TRANSCRIPT
DIALOG KONSTRUKTIF INISIATIF INTERNASIONALISME HAM DALAM MENEMBUS SACRED VEIL KEDAULATAN NEGARA
M. Burhanuddin Ubaidillah1
Abstract: The universality of human rights has become a trending topic in international arena studies since the ratification of the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) by the UN General Assembly in 1948. Human rights protection has become a tool for internationalism to penetrate the sacred veil of state sovereignty. Differences in views gave rise to a clash of civilizations between the West and the East. In the West, The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) was born and in the East, the IUDHR and the Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI) were ratified by the OIC. Religion has the potential to be the most powerful and influential force on earth. On the other hand, historical facts show that wars, massacres, and crimes against humanity are more often committed in the name of religion than in the name of institutions. Calls for interfaith dialogue are seldom voiced in various parts of the world, instead, they are met with contempt and rejection due to isolation and lack of understanding of the importance of dialogue. This article examines the efforts of constructive dialogue and the initiative of Human Rights Internationalism in Penetrating the Sacred Veil of State Sovereignty by exploring authentic sources of all religions and conducting dialogue based on the verse ta'ala ila sentence in sawain bainana wa bainakum (a common word between us and you). with his teachings of peace can be realized. Keywords: international human rights, dialogical approach, evolutionary theory.
Pendahuluan
Universalitas HAM menjadi trend topik kajian percaturan internasional
sejak disahkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Sidang
Umum PBB pada tahun 1948. Perlindungan HAM sebagai alat internasionalisme
menembus sacred veil kedaulatan negara. Konsep Hak Asasi Manusia
1 STAI Darussalam Krempyang Nganjuk
M. Burhanuddin Ubaidillah
68
mempengaruhi tujuan dan semua aspek hubungan internasional yang melingkupi
semua tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.2 Hal ini disebabkan karena setiap
manusia memiliki derajat yang luhur (human dignity) dari Tuhan. Semua manusia
memiliki martabat dan derajat yang sama, memiliki hak dan kewajiban yang sama
tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, suku, agama maupun status sosial
yang lainnya. 3
Dalam merealisasikan semua hak dan kebebasan asasi manusia adalah
tugas semua Negara, apapun sistem politik, ekonomi dan budayanya, sebagaimana
tertuang dalam Deklarasi Vienna: All human rights are universal, indivisible and
interdependent and interrelated. The international community must treat human
rights globally in a fair and equal manner, on the same footing, and with the same
emphasis. While the significance of national and regional particularities and various
historical, cultural and religious backgrounds must be borne in mind, it is the duty of
States, regardless of their political, economic and cultural systems, to promote and
protect all human rights and fundamental freedoms.4
Meski HAM diterima oleh semua negara sebagai sesuatu yang universal,
realisasi HAM harus terus-menerus dikontruksi dengan mempertimbangkan
kekhususan nasional, regional yang timbul karena faktor sejarah, budaya dan
2 Mashood A. Baderin, Internasional Human Rights and Islamic Law (New York : Oxford
University Press, 2003), 1, Fahmi Huwaedi, Al-Islam wa al-Demokratiyyah, (Kairo: Markaz al-Ahram, 1993), 195, Weeramantry, C.G. “Human Rights and Scientific and Technological Progress.” In Human Rights: New Dimensions and Challenges, 2019. 23.
3 Saleem Azzam “Deklarasi Islam Universal Hak Asasi Manusia”, dalam Hak Asasi Manusia Dalam Islam, ed. Harun Nasution dan Bahtiar Effendi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 157, Dede Rosyada dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani (Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media, 2003), 200.
4 Dalam Deklarasi Vienna butir 5 ditegaskan, pertama, semua hak asasi manusia bersifat universal, tidak dapat dipisahkan, saling bergantung dan saling terkait yang berarti masyarakat dunia harus memperlakukan semua HAM secara adil dan seimbang dengan dasar dan penekanan yang sama. Kedua, kekhususan nasional dan regional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya dan agama adalah sesuatu yang penting dan harus terus menjadi pertimbangan dalam memajukan dan melindungi semua HAM. Ketiga, tugas semua negara, apapun sistem politik, ekonomi dan budayanya, untuk memajukan dan melindungi semua HAM dan kebebasan asasi.Vienna Declaration and Programme of Action Adopted by the World Conference on Human Rights in Vienna on 25 June 1993.
Dialog Konstruktif Inisiatif Internasionalisme Ham Dalam Menembus Sacred Veil …
69
agama yang melahirkan berbagai konsep dan penafsiran tentang Hukum
Internasional Hak Asasi Manusia. Perbedaan pandangan di wilayah domestik dan
internasional menunjukkan belum terdapat kesepakatan faham. Perbedaan
konseptual yang terjadi adalah berasal dari kompleksitas dan keragaman
masyarakat dan peradaban.5 Di Barat lahir The Universal Declaration of Human
Right (UDHR) sebagai kontruks budaya mereka yang egaliter dan toleran, dan di
Timr lahir IUDHR dan Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI) yang
diratifikasi oleh OKI. Persepsi inilah yang memunculkan clash civilization antara
Barat dan Timur.
Menurut Charles Kimball, agama berpotensi sebagai kekuatan yang paling
dahsyat dan berpengaruh di muka bumi. gagasan dan komitmen keagamaan
mengilhami individu dan pemeluknya meninggalkan semua kepentingan pribadi
demi mencapai nilai kebenaran tertinggi. Di sisi lain, fakta sejarah menunjukkan
adanya perang, pembantaian, dan masih banyak lagi kejahatan kemanusiaan lebih
sering dilakukan atas nama agama dibandingkan atas nama institusional.6
Dalam pandangan Kimball, ada lima penyimpangan yang menunjukkan
agama akan menjelma menjadi bencana. Pertama, agama mengedepankan klaim
kebenaran secara mutlak (absolute truth claims) terutama bagi agama missi
seperti Islam, Kristen dan Yahudi. Standar ideal yang diyakini bersifat konsisten,
lengkap dan final, satu-satunya jalan kebenaran karena benar-benar asli dari
Tuhan. Sedangkan standar yang dipakai menilai agama lain sepenuhnya terbalik.
Agama lain dianggap salah, sesat, bahkan kafir. Ideologi klaim kebenaran mutlak
berimbas pada sikap standar-ganda (double-standard) dan menciptakan suasana
chaos yang tiada henti dalam sejarah kehidupan manusia. Kedua, ketaatan buta
kepada pemimpin agama yang dianggap mempunyai otoritas (blind obedience)
5 B. Weston, Human Rights in New Encyclopedia Britannica, 15th Ed., Vol 20, 713, Abu al-A’la
al-Maududi, Human Rights in Islam, (Leicester: Islamic Foundation, 1983), 19. 6 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (Jakarta: Mizan, 2013), 1, Mohammed
Arkoun, Al-Fikr al-Islamiy: Qiraah Ilmiyyah, (Beirut: Markaz al-Inma al-Qaumiy, 1996), 74.
M. Burhanuddin Ubaidillah
70
dengan mencampuradukkan antara agama dengan pemahaman keagamaan dalam
bentuk doktrinasi yang terjadi di masyarakat tradisional yang begitu taat dengan
kharisma pemimpin, juga dalam masyarakat modern yang mengalami kegersangan
spiritual. Ketiga, pemeluk agama merindukan zaman ideal di masa lalu dan
bertekat merealisasikan di zaman sekarang (establishing the “ideal” time). Pemeluk
agama Yahudi ingin menjadikan tafsir kitab suci sebagai ketegasan Tuhan dengan
mendirikan negara Israel dan menguasai Jerussalem. Gerakan Kristen the Moral
Majority and Christian Coalition di Amerika, berniat memberlakukan ajaran Tuhan
sebagai hukum positif yang menjamin keteraturan hidup manusia, dan orang
muslim memiliki fantasi untuk mewujudkan kembali masa keemasan berupa
negara Islam. Keempat, agama membiarkan terjadinya tujuan yang menghalalkan
segala cara (the end justifies the means) atas nama kesucian agamanya yang secara
hakiki bertentangan dengan missi agama. Kelima, mengobarkan perang suci atas
nama agama (declaring holy war).7 Magnus Ranstorp menyebutnya dengan
terrorism in the name of religion dan Bruce Hoffan menyebutnya dengan religion
terrorism. Dalam Islam, doktrin declaring holy war terwujud dalam konsep jihad
yang ditafsirkan secara semena-mena sebagai agresi tanpa batas atas nama Tuhan,
sedangkan perang suci Kristen bersumber kepada doktrin Perang Adil pada awal
kekuasaan Constantine dan Perang Salib yang diserukan oleh Paus Urban II.8
Menurut Charles Kimball, ideologi dan komitmen keagamaan menjadi
faktor sentral dalam eskalasi kekerasan dan kejahatan di seluruh dunia.9 Robert
John Ackermann mengatakan bahwa kritik tidak membuat agama layu, tetapi
agama yang tidak dapat melancarkan kritik berarti sudah mati, karena agama
selain menyediakan ruang teraktualisasikannya potensi spiritual manusia ia juga
7 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (Jakarta: Mizan, 2013), 49-166, Rumadi,
Renungan Santri dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama (Jakarta: Erlangga, t.t), 122, 8 Syamsul Arifin, “Fundamentalisme Agama” dalam Terorisme & Fundamentalisme Agama
Sebuah Tafsir Sosial, ed. Achmad Jainuri, dkk. (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), 78. 9 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (Jakarta: Mizan, 2013), 6.
Dialog Konstruktif Inisiatif Internasionalisme Ham Dalam Menembus Sacred Veil …
71
tertuntut untuk berdialog dengan kecerdasan, pergolakan fisik dan perubahan
mental pemeluknya.10
Syaikh Ali Goma’a mengatakan bahwa ajakan dialog antar agama hampir
tidak pernah disuarakan di berbagai belahan dunia, justru disambut dengan
penghinaan dan penolakan karena isolasi dan belum memahami pentingnya
dialog. Tetapi sekarang dialog menjadi sebuah kebutuhan intelektual dan
pragmatis di mana rintangan telah disingkirkan melalui komunikasi, transportasi,
dan teknologi baru.11 Dari sinilah agama-agama dituntut menggali sumber-sumber
secara otentik di mana semua agama pernah menjadi agen perdamaian. Selain itu
diperlukan kajian menjernihkan pemikiran yang salah, dan mendialogkan antar
agama agar agama yang sarat dengan ajaran kedamaiannya benar-benar dapat
terwujud.
Pergulatan Panjang Asal Usul HAM Internasional
Pergulatan panjang asal usul HAM melahirkan dua pendekatan. Pertama,
pemikiran yang mendasarkan pandangannya langsung pada ajaran agama (wahyu
Allah) sebagai kekuatan yang mengatasi manusia dan keberadaanya tidak
bergantung pada umat manusia. Kedua, pemikiran yang tidak secara langsung
mendasarkan diri pada agama yang sangat beragamam. Prinsip pemikiran ini
adalah manusia dapat hidup dibawah nilai kemanusiaan memerlukan syarat
objektif, bila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka nilai kemanusiaan akan hilang
dan manusia akan musnah.12
10 Robert John Ackermann, Religion as Critique, (New York: The University of Massachusetts
Press Post Office Box, 1985), 5. 11 Ali Goma’a, “A Common Word Between Us and You”: Motives and Application” dalam
Muslim and Christian Understanding Theory and Application of “A Common Word”, Ed. Waleed el-Ansary and David K. Linnan (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 2.
12 Peter Davies, HAM, Sebuah Bunga Rampai (Jakarrta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), 193.
M. Burhanuddin Ubaidillah
72
Secara historis, perkembangan ide-ide HAM tidak dapat dilepaskan dari
gagasan Iohn Locke. sebelum ada negara, manusia dikuasai hukum alam.13 Ide-ide
John Locke dalam karyanya Second Kreatise of The Government menyatakan bahwa
semua orang itu dinyatakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat
dilepaskan. Ide toleransi waktu itu antara orang Katolik dan Atheis.14
Teori revolusioner Rene Descartes mengenai Cogito Ergo Sum
merefleksikan peralihan dari kekuasaan iman tradisi umum ke kesadaran pribadi
individu, dan pemikiran Hogo Grotius (de Groot) menerangkan terbentuknya
negara bertitik tolak dari kodrat manusia. Tetapi, abad pertengahan menganggap
hukum alam sebagai manifestasi kekuasaan Ilahi, Grotius menetapkan landasan
hukum alam adalah manusia sendiri yang mempunyai rasio untuk berpikir
(rasional), sehingga menurutnya hak-hak subjektif manusia mencakup: hak untuk
menguasai dirinya sendiri, yaitu hak kemerdekaan, hak untuk menguasai orang
lain; seperti kekuasaan orang tua terhadap anak, Serta hak untuk menguasai harta
miliknya.15
Para bangsawan Inggris mempertahankan hak-hak mereka yang
dicampakkan oleh kekuasaan Raja John dan melahirkan Magna Carta (1215) yang
isinya antara lain memberikan batasan kekuasaan raja yang absolut dan totaliter.
Semangat Magna Carta melahirkan Undang-Undang Hak (Bill of Right) dalam
Kerajaan Inggris tahun 1689,16 hingga timbul adagium yang berintikan "manusia
sama di muka hukum" (Equality Before The Law) yang memperkuat timbulnya
negara hukum dan demokrasi, mengakui dan menjamin asas persamaan dan
kebebasan sebagai warga negara.17
13 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukuru Islam, Vol. II (]akarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1997), 78. 14 Eko Praseho, Hak Asasi Manusia: Proyek Penataan Global, Pelatihan HAM dan Kekerasan
yang dilaksanakan oleh PUSHAM UII, Tanggal 12 November 2000, 1. 15 Gunawan Setiardja, Hak Asasi Manusia Berdasarkan ldeologi Pancasila (Yogyakarta:
Kanisius, 1997), 79-82. 16 Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia (Jakarta: YLBH, 1988), 5. 17 Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), 21.
Dialog Konstruktif Inisiatif Internasionalisme Ham Dalam Menembus Sacred Veil …
73
Di Perancis (1789) lahir The French Declaration dengan hak-hak yang lebih
rinci sebagai dasar dari The Rule of Lazo.18 Deklarasi yang lahir dari Revolusi
Perancis berhasil meruntuhkan susunan masyarakat feodal, termasuk golongan
pendeta agama dan susunan pemerintahan negara yang bersifat kerajaan dengan
sistem monarki absolut. Revolusi Perancis bertujuan memperoleh jaminan hak-
hak manusia dalam perlindungan undang-undang negara yang dirumuskan dalam
tiga prinsip (Trisloganda), yaitu (1) Kemerdekaan (Liberte), (2) Kesamarataan
(Equalite), (3) Kerukunan dan Persaudaraan (Furniture). Ketiga semboyan ini telah
melahirkan konstitusi Perancis 1791.19
Konsepsi HAM terus mengalami perubahan. Isi dan ruang lingkup HAM
tidak responsif dan aspiratif terhadap perkembangan situasi serta tuntunan realita
sosial yang berkembang. Hak-hak yang harus mendapat perlindungan tidak hanya
yuridis-politis, melainkan juga hak-hak dalam bidang kehidupan seperti ekonomi,
sosial, dan budaya.20 Pada penghujung abad ke-20 hampir di seluruh dunia,
masalah HAM diangkat sebagai masalah urgen dalam negara demokrasi. HAM
dianggap sebagai konsep etika politik modern dengan gagasan inti tuntutan moral
menyangkut bagaimana manusia wajib diperlakukan sebagai manusia karena HAM
pada dasarnya mengarah pada penghormatan terhadap kemanusiaan,21 dipandang
dari segi ideologi, adat istiadat, terutama kemajuan dunia modern. Para politisi,
organisasi keagamaan dan serikat buruh, baik secara pribadi maupun organisasi
nonpemerintah memberikan inspirasi demi mewujudkan standar internasional.22
18 Dalam The French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang
menjamin timbulnya demokrasi dan negara hukum. Baharuddin Loppa, Al-Qur'an dan HAM (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), 3-4.
19 Kuncoro Purbopranoto, Hak-hak Dasar Manusia dan Pancasila Negara Republik Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), 18-19.
20 Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), 22. 21 Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Jakarta: Yayasan Obor
lndonesia,1992), Antonio Cassesse, Latar Belakang Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah,Terj. (Jakarta: Yayasan Obor lndonesia, 1994), xxiii.
22 Nanang Kosim, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam: Studi Perbandingan Pemikiran antara al-Maududi dan An-NAim dalam Merespon Deklarasi Universal HAM, UIN Sunan Kalijaga, 13.
M. Burhanuddin Ubaidillah
74
Toc Queville mengistilahkan lingkaran kebebasan pribadi sebagai tatanan budaya
politik bangsa yang menekankan nilai hak pribadi, kebebasan dan kesempatan
tidak hanya sebagai idealisme, tetapi pada kenyataan yang
sesungguhnya.23Anthony Giddens menyatakan bahwa globalisasi merupakan
sebuah proses yang kompleks, tidak hanya digerakkan oleh suatu kekuatan
tertentu, melainkan oleh banyak kekuatan, seperti budaya, teknologi, politik
maupun ekonomi.24
Dimensi baru HAM dirumuskan D. Roosevelt, menjadi inspirasi dan bagian
dari Universal Declaration of Human Rights 1948.25 Terbentuknya konsensus
internasional tentang Universal Declaration of Human Rights pada 10 Desember
1948 dimotori oleh AS, Perancis, dan Inggris. Hal ini memperkuat pandangan
bahwa isu-isu hak azasi manusia tidak saja terkait dengan persoalan krusial
menyangkut aspek-aspek dan standar universalitas hak azasi manusia, tetapi juga
terkait dengan latar belakang pembentukannya untuk menciptakan perdamaian
dunia. Tahun 1993 diselenggarakan Konferensi Dunia tentang Hak-hak Asasi
Manusia di Wina, Austria dan melahirkan beberapa kesepakatan yang bertujuan
memperkuat dan menegaskan pelaksanaan HAM di seluruh dunia. Hasil
kesepakatan tersebut melahirkan Deklarasi Wina.26
Menurut Jean Claude Vatin (peneliti Centre de Recherches et d'etuder Sur Les
Societes Mediterranee, Aix-en Proaence Perancis), di negara-negara Islam muncul
upaya perumusan HAM dengan tiga kategori: Pertama, seluruh hak-hak asasi
manusia telah ada dalam Al-Qur'an dan masyarakat pada zaman Rasulullah. Kedua,
mengadakan reformasi dan transformasi melalui peraturan Islam yang diperbarui
secara menyeluruh, dirancang secara baru untuk memenuhi kebutuhankebufuhan
23 Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), 23. 24 Anthony Giddens, The Third Way: The Renewal of Social Democracy, (Cambridge, UK:
Polity Press, 1998), 38. 25 United Nations, “The Universal Declaration of Human Rights”, dalam Microsoft Encarta
2006. Microsoft Corporation. All rights reserved, 1993-2005. 26 Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), 23.
Dialog Konstruktif Inisiatif Internasionalisme Ham Dalam Menembus Sacred Veil …
75
sosial masyarakat. Ketiga, kelompok moderat berupaya menampilkan solusi baru
tentang hak-hak asasi manusia yang bahan-bahannya diambil dari ajaran Islam
dan kebutuhan di zaman modern. Masuk dalarn kategori ini adalah Deklarasi Islam
Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia yang telah diterbitkan oleh Dewan Islam
pada Konferensi Islam di Mekah tahun 1981. Deklarasi ini berisi 23 pasal. Teks
deklarasi membuat acuan dari totalitas peraturan yang berasal dari Al Qur'an,
sunnah Rasulullah, dan hukum-hukum lainnya yang ditarik dari kedua sumber
tersebut dengan metode-metode yang dianggap sah menurut hukum Islam.
Sedangkan dalam pendahuluan deklarasi, dikemukakan bahwa hak-hak asasi
manusia bersumber dari suatu kepercayaan bahwa Allah, dan hanya Allah pemberi
hukum dan sumber dari segala hak-hak asasi manusia. Karena bersumber dari
Tuhan, maka tidak seorang penguasa, pemerintah, majelis, atau ahli yang bisa
membatasi atau melanggar dengan cara apa pun hak-hak asasi manusia yang telah
dianugerahkan Tuhan. Demikian pula hak-hak tersebut tidak dapat dilepaskan dari
manusia.27
Saleem Azzam dalam prakata Deklarasi Islam Universal Tentang Hak Asasi
Manusia mengatakan pandangan Islam terhadap HAM dapat dilihat dari tiga hal.
Pertama, Islam sebagai ajaran yang mempunyai misi rahmatan lil Âlamîn. Kedua,
Secara kelembagaan, yakni dalam bentuk konvensi IUDHR (Islamic Universal
Declaration of Human Rights) dan CDHRI (Cairo Declaration on Human Rights in
Islam). Ketiga, Secara personal para ulama dan cendekiawan Muslim.28 Rumusan
dasar HAM internasional dalam bentuk piagam dimulai sejak pertemuan di Abu
Dhabi tahun 1977 dan menghasilkan rumusan “Deklarasi Islam Universal Tentang
Hak Asasi Manusia” (Islamic Universal Declaration of Human Rights, IUDHR) yang
27 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum lslam, Vol. II (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), 497-499, Masykuri Abdillah, Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 101-102.
28 Prakata Saleem Azzam pada “Deklarasi Islam Universal Hak Asasi Manusia”, dalam Hak Asasi Manusia Dalam Islam, ed. Harun Nasution dan Bahtiar Effendi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 157.
M. Burhanuddin Ubaidillah
76
terdiri dari 22 pasal. Pada tahab selanjutnya lahir Cairo Declaration on Human
Rights in Islam (CDHRI), dideklarasikan pada 15 Agustus 1990 di Kairo oleh
negara-negara Muslim yang tergabung dalam Organization of Islamic Conference
(OIC).29
Dialog Konstruktif Inisiatif Internasionalisme HAM dalam Menembus Sacred
Veil Kedaulatan Negara
Prinsip interpretasi Abdullah Ahmad An-Naim tehadap HAM menggunakan
teori evolusi syari’ah yang dikembangkan Mahmoud Muhamed Taha.30 Penafsiran
ini menunjukkan kriteria pengindentifikasian ayat-ayat yang harus
diimplementasikan dalam konteks kemodernan yang disinyalir mampu
memecahkan kebuntuan antara tujuan pembaruan, keterbatasan konsep dan
tehnik syariah historis dengan penukaran teks periode Madinah pada teks periode
Makkah yang lebih awal.31 Evolusi ini terjadi dengan interpretasi evolusioner
melalui pembalikkan proses nasakh, yakni, nasakh al-hukm wa al-tilawah
(penghapusan hukum dan tilawahnya), dan nasakh al-hukm dûna al-tilâwah
29 Rincian Konvensi OKI ini secara garis besar dibagi dua kategori. Pertama, hak-hak sipil
dan politik yang meliputi hak persamaan dan martabat manusia, kewajiban dan tanggung jawab dasar (Pasal 1), hak hidup sebagai pemberian Tuhan (Pasal 2), hak persamaan di depan hukum (Pasal 19), dan tentang hak berpendapat bebas dan tidak bertentangan dengan syariah (Pasal 22). Kedua, hak-hak sosial dan ekonomi, yang meliputi hak memperoleh pendidikan (Pasal 9), hak bekerja (Pasal 13), hak memiliki kekayaan (Pasal 15), hak memenuhi kehidupan yang memadai (Pasal 17), hak untuk aman bagi dirinya, agama, tanggungan, kehormatan dan hartanya (Pasal 18), dan lain-lain.
30 Mahmoud Muhamed Taha menyatakan: “Dalam teori evolusi ini kami mempertimbangkan alasan di luar suatu teks. Jika ayat tambahan yang digunakan untuk menolak ayat utama pada abad ke tujuh telah memfungsikan tujuannya secara sempurna dan menjadi tidak relevan bagi era baru, abad ke dua puluh, maka waktu yang memungkinkan menghapuskannya dan kemudian ayat utama diberlakukan. Dengan cara itu ayat utama kembali sebagai teks yang operatif pada abad kedua puluh dan menjadi basis legislasi yang baru. Inilah yang dimaksud dengan teori evolusi syariah, satu peralihan dari suatu teks lain yang ditunda hingga waktunya tepat. Oleh karena itu, evolusi bukan suatu yang tidak realistis atau prematur, bukan pula menunjukkan suatu pandangan yang naif dan mentah. Ia semata-mata hanyalah problem dari satu teks ke teks yang lain.” Mahmoud Muhamed Taha, e Second Message. Of Islam: Syariah Demokratik, (Surabaya: elSAD, 1996), 55-56.
31 Husniatus Salamah Zainiati, Reformasi Syariah dan HAM: Kajian atas Pemikiran Abdullah Ahmad An-Naim, dalam Jurnal IAIN Sunan Ampel, Edisi XVIII, Oktober-Desember 1999, 71.
Dialog Konstruktif Inisiatif Internasionalisme Ham Dalam Menembus Sacred Veil …
77
(penghapusan hukum tanpa teksnya). Proses pembalikan nasakh ini menyebabkan
teks-teks yang dihapus tilawahnya dan masih berlaku hukumnya dianggap
mungkin untuk diberlakukan dan pada kondisi mendesak untuk pembaruan
hukum Islam, dan karenanya wajib diaplikasikan.32 Menurut Mayer, pemikiran An-
Naim tidak bernada defensif dan apologetik seperti umumnya kalangan
konservatif Muslim,33 dan secara terbuka menolak konsep hak-hak asasi manusia
universal.34
Menurut an-Naim, konsep syariah merupakan produk pemahaman manusia
terhadap sumber-sumber Islam dalam konteks histories sejak abad ke VII sampai
abad ke IX. Selama periode tersebut para fuqaha menafsirkan al-quran, al-sunnah
dan sumber lainnya dalam rangka mengembangkan system syariah yang
komprehensif dan koheren sebagai petunjuk bagi umat Islam. Jika formulasi
syariah tersebut diaplikasikan pada masa sekarang, ia akan melanggar hak asasi
kaum perempuan dan non-muslim.35
Menghadapi isu-isu hak asasi manusia universal, An-Naim menekankan
pentingnya penalaran dalam menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam. An-Naim
menggunakan prinsip evolusioner Mahmoud Muhamed Taha dengan terlebih
dahulu membagi al-Quran ke dalam dua corak pesan yang berbeda secara
kualitatif sebagai analisis tahapan pembentukan syariah modern yang
menghormati HAM. Pertama, teks-teks al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad di Makkah. Teks-teks al-Quran di Makkah menurutnya mengandung
esensi universalisme Islam dan mempunyai kandungan makna yang abadi, seperti
32 Abdullah Ahmad An-Naim, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights,
and International Law, (Syracuse: Syracuse University Press, 1996), 113. 33 Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Traditions amd Politics, (Colorado: West
View Press, 1999), 44. 34 Bassam Tibi, “Syariah, HAM dan Hukum Internasional”, dalam Dekonstruksi Syariah (II),
terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LKIS, 1996), 95. 35 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights,
and International Law, (Syracuse: Syracuse University Press, 1996) 3-4. Abdullah Ahmad an-Naim dan Mohammed Arkoun, Dekontruksi Syariah II: Kritik Penjelajahan Lain, terj. Farid Wajdi (Yogyakarta: LkiS, tt).
M. Burhanuddin Ubaidillah
78
persaudaraan, koeksistensi damai, kesetaraan antar jenis kelamin dan kebebasan
beragama. Kedua, teks-teks al-Quran yang diwahyukan di Madinah, mengandung
gagasan dan ajaran yang di dalamnya berisi pembatasan-pembatasan terhadap
kebebasan individu, termasuk diskriminasi terhadap perempuan dan non-
Muslim.36 Menurut An-Naim, periode Madinah dianggap sebagai awal tahap
pembentukan syariah dalam Islam dibanding dengan periode Makkah yang lebih
menekankan aspek akidah dan moral. Periode Makkah adalah periode yang
bersifat umum, mencerminkan Islam sebagai agama, sedangkan periode Madinah
merupakan periode khusus dimana Islam ditampilkan sebagai negara.37
Dalam konteks ini, An-Naim melihat pesan Makkah sebagai pesan abadi dan
fundamental yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat
manusia tanpa membedakan jenis kelamin, ras, golongan, keyakinan agama dan
lain-lain.38 Sedangkan pesan Madinah merupakan pesan kompromi praktis dan
realistic ketika tingkat tertinggi dari pesan Makkah tidak dapat diterima oleh
masyarakat abad VII M. Dengan demikian, ayat-ayat Makkiyah merupakan pesan
Universal-Egaliterian-Demokratik yang sangat menjungjung nilai-nilai HAM,
sementara ayat-ayat Madaniyyah mencerminkan pesan sektarian-eksklusif-
deskriminatif. Pesan yang disebut terakhir ini diyakini oleh An-Naim sebagai
kurang popular dengan kondisi kemodernan.
Dalam penerapan norma-norma legal hak-hak asasi manusia universal, dan
sejalan dengan berbagai kebutuhan masyarakat kontemporer serta standar hukum
internasional, An-Naim menggunakan prinsip resiprositas. Prinsip ini menyatakan
bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan
diperlakukan orang lain. Menurut An-Naim, prinsip ini dimiliki oleh semua tradisi
36 Istiaq Ahmed, “Konstitualisme, HAM dan Reformasi Islam”, dalam Dekonstruksi Syariah
(II), terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LKIS, 1996), 75. 37 Abdullah Ahmad an-Naim dan Mohammed Arkoun, Dekontruksi Syariah II: Kritik
Penjelajahan Lain, terj. Farid Wajdi (Yogyakarta: LkiS, tt), 104 38 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam and Human Rights: Beyond The Universality Debate,
(Washington: The American Society of International Law, 2000), 95. David Littman, Universal Human Rights and Human Rights in Islam, (New York: Journal Midstream, 1999), 1.
Dialog Konstruktif Inisiatif Internasionalisme Ham Dalam Menembus Sacred Veil …
79
agama besar dunia. Selain itu, prinsip ini menurutnya memiliki kekuatan moral
dan logika yang dapat mudah diapresiasi oleh semua umat manusia.39 Penerapan
prinsip ini harus bersifat saling menguntungkan, artinya ketika seseorang
mengidentifikasikan orang lain, maka seseorang hendaknya menggunakan prinsip
timbal balik yang sama. Kriteria yang dikedepankan An-Naim dalam
mengidentifikasi hak-hak asasi manusia universal adalah bahwa hak-hak itu
diberikan atas dasar kemanusiaan. Ketika hak-hak asasi manusia universal itu
diklaim oleh suatu tradisi untuk anggota-anggotanya, maka dengan sendirinya
tradisi tersebut harus mengakui anggota-anggota dari tradisi lain.40
Penerapan prinsip resiprositas dapat menopang hak-hak asasi manusia
universal, maka penafsiran harus mencakup pihak lain dari seluruh umat manusia
dengan mengabaikan jenis kelamin, agama, ras, atau bahasa. Dalam rangka
melakukan penafsiran yang valid dan dipercaya, An-Naim menerapkan prinsip
interpretasi evolusioner untuk meraih inisiatif kreatifnya. Teori evolusioner
menyarankan agar dilakukan pengujian secara terbuka terhadap teks-teks al-
Quran dan Sunnah yang melahirkan dua tahap risalah Islam, yaitu periode Makkah
dan Madinah. Pesan Makkah merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental,
yang menekankan martabat inheren pada seluruh umat manusia, tanpa
membedakan jenis kelamin, keyakinan keagamaan, ras, dan lain-lain. Pesan itu
ditandai dengan persamaan antara laki-laki dan perempuan dan kebebasan penuh
untuk memilih dalam beragama dan keimanan.41 Ketika pesan universal pada teks-
teks Makkah belum bisa dilaksanakan, maka pesan realistik diturunkan di
Madinah. Dengan demikian, pesan-pesan universal periode Makkah yang belum
siap dilaksanakan, ditunda dan diganti dengan prinsip-prinsip praktis yang
39 Abdullah Ahmad An-Naim, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights,
and International Law, (Syracuse: Syracuse University Press, 1996), 310. 40 Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam and Human Rights: Beyond The Universality Debate,
Washington: The American Society of International Law, 2000, 372. 41 Abdullah Ahmad An-Naim, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights,
and International Law, (Syracuse: Syracuse University Press, 1996), 103.
M. Burhanuddin Ubaidillah
80
diwahyukan di Madinah. Aspek-aspek pesan universal Makkah yang ditunda
tersebut tidak akan pernah hilang sebagai sumber hukum. Pesan-pesan tersebut
hanya ditangguhkan pelaksanaannya, dan menunggu waktu yang tepat.42
Perbedaan teks-teks Makkah dan Madinah bukan karena persoalan waktu
dan tempat, melainkan perbedaan sasaran kelompok. Dengan memperhatikan isu
hak-hak asasi manusia universal yang menyangkut diskriminasi atas dasar gender
dan agama, An-Naim menggunakan teori evolusioner Mahmoud Muhamed Taha
sebagai solusinya. Dengan kata lain, An-Naim mengusulkan evolusi dari teks-teks
Madinah ke teks-teks Makkah. Prinsip interpretasi evolusioner yang dimaksudkan
adalah membalikkan proses penghapusan hukum suatu teks, sehingga teks-teks
yang dihapus pada masa lalu dapat digunakan dalam hukum sekarang.43
B. Weston melihat adanya perbedaan pandangan prinsip HAM di wilayah
domestik dan internasional, yang berarti belum terdapat kesepakatan tentang
ruang lingkup HAM. Perbedaan konseptual yang terjadi adalah berasal dari
kompleksitas dan keragaman masyarakat dan peradaban. 44 Dalam konteks ini,
Mashood A. Baderin, Reader Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Direktur
Hukum Internasional dan HAM menyatakan: A dialogical approach demands a
culture of tolerance and persuasion and the abandonment of culture of parochialism,
violience and rivalry. It requires capacity to listen, respect, accommodate and
exchange.45 Menurut Mashood Baderin, perspektif harmonisasi konstruktif
berpeluang besar dikembangkan baik secara teologis maupun keilmuan yang
moderat, dinamis, dan konstruktif berkaitan hak-hak perempuan, hak-hak
minoritas, dan penerapan hukum pidana dengan pendekatan komplementer dan
akomodatif untuk keseluruhan umat manusia.
42 Abdullah Ahmad An-Naim, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights,
and International Law, (Syracuse: Syracuse University Press, 1996), 103-104. 43 Abdullah Ahmad An-Naim, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights,
and International Law, (Syracuse: Syracuse University Press, 1996), 110. 44 B. Weston, Human Rights in New Encyclopedia Britannica, 15th Ed., Vol 20, 713. 45 Mashood A. Baderin, Internasional Human Rights and Islamic Law (New York : Oxford
University Press, 2003), 5
Dialog Konstruktif Inisiatif Internasionalisme Ham Dalam Menembus Sacred Veil …
81
Menurut Ali Goma’a, dialog adalah salah satu dari beberapa jenis eksplorasi
dalam sebuah pencarian kejelasan, yang merupakan salah satu dari basis esensial
dari dialog itu sendiri. Ia menegaskan pentingnya mengedepankan hal-hal umum
dan mengesampingkan egoism yang hanya ingin mencari pembenaran sendiri
yang pada akhirnya melupakan perbedaan.46 Fokus dari inisiatif Sebuah
Persamaan yang diinginkan Ali Goma’a adalah bukan hanya mencari titik
perspektif yang menyatukan, melainkan juga menyadari dan menghargai
perbedaan yang mengayakan.47 Hal Paling mendasar yang mendorong gagasan
Sebuah Persamaan adalah kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama. Selain
itu, yang menginspirasi Ali Goma’a untuk melakukan gerakan ini adalah
perdamaian.48 Menurut Wiliam O. Gregg Sebuah Persamaan memberikan
kesempatan untuk menamai dan mengetahui perbedaan nyata antara kita pada
cara-cara yang konstruktif, kritis dan memberi hidup.49
Senada dengan Ali Goma’a dan Wiliam O. Gregg, Hossein Nasr berpendapat
bahwa teori menemukan Sebuah Persamaan tidak didasarkan pada menanggalkan
beberapa ajaran agama masing-masing, tidak mengesampingkan hal-hal yang
sakral bagi pemeluk agama, tetapi didasarkan pada penetrasi melampaui
ketertiban formalitas ke rumah perdamaian yang melebihi perbedaan-perbedaan
secara formal dengan mempertimbangkan realita untuk memperoleh pemahaman
46 Ali Goma’a, “A Common Word Between Us and You”: Motives and Application” dalam
Muslim and Christian Understanding Theory and Application of “A Common Word”, Ed. Waleed el-Ansary and David K. Linnan (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 2.
47 F.X. Armada Riyanto, “Nilai-nilai Agama: Dialogical & Rekonsiliatif Perspektif Gereja Katolik”, Toleransi, Jurnal Dialog Lintas Agama, Vol. 1 No. 2, (Juli 2000), 15.
48 Ali Goma’a, “A Common Word Between Us and You”: Motives and Application” dalam Muslim and Christian Understanding Theory and Application of “A Common Word”, Ed. Waleed el-Ansary and David K. Linnan (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 16.
49 Wiliam O. Gregg, “The Power of Finding Common Ground: “A Common Word” and the Invitation to Understanding” dalam Muslim and Christian Understanding Theory and Application of “A Common Word”, Ed. Waleed el-Ansary and David K. Linnan (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 32-33.
M. Burhanuddin Ubaidillah
82
yang lebih simpatik akan mengapa ada perbedaan yang tidak bisa diperkecil di
antara sesama dalam bidang formal tersebut.50
Hossein Nasr menyatakan bahwa sebuah agama tidak bisa dibatasi olehnya,
melainkan oleh apa yang tidak dicakup olehnya, setiap agama pada hakekatnya
suatu totalitas.51 Bagi Husen Nasr agama-agama besar dunia adalah pembentuk
aneka ragam persepsi yang berbeda mengenai satu puncak hakikat yang
misterius.52 Hossein Nasr berharap dengan tataran esoterik dan eksoterik
penganut agama akan terjalin dialogis yang hakiki, sebab keragaman agama
merupakan akibat langsung dari kekayaan wujud Tuhan yang tak terbatas.53
Konteks mengedepankan prinsip perdamaian dalam menemukan Sebuah
persamaan dalam hubungan internasional baik dengan sesama negara Islam
maupun negara non Islam seperti ini sejalan dengan hubungan Internasional di
kalangan Liberalisme Sosiologis sebagai hubungan yang koperatif dan mendukung
perdamaian. Menurut Karl Deutsch yang dikutip oleh Robert Jackson & Georg
Sorensen, hubungan antar masyarakat atas dasar perdamaian akan menghasilkan
security community, konflik dan persoalan dapat diselesaikan tanpa harus
menggunakan kekerasan fisik dalam sekala besar (perang).54
PENUTUP
Asal usul HAM Internasional mengalami pergulatan panjang. Berangkat dari
gagasan John Locke, teori revolusioner Rene Descartes, pemikiran Hogo Grotius,
50 Sayyed Husen Nasr, “A Common Word” Initiative: “Theori and Praxis” dalam Muslim and
Christian Understanding Theory and Application of “A Common Word”, Ed. Waleed el-Ansary and David K. Linnan (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 3-4.
51 Frithjof Schuon, The Preneal of Fhilosofi Muslim (Bandung: Mizan, 1993),76. 52 Seyyed Hossein Nasr, In Quest of the Eternal Sophia dalam Philosopher Critique D’eux Mens
Philosophische Selbstbetrachtugen, (Andre Mercier and Sular Maja, Vol. 5-6,1980),113. 53 Sayyed Husein Nasr, “A Common Word” Initiative: “Theori and Praxis” dalam Muslim and
Christian Understanding Theory and Application of “A Common Word”, Ed. Waleed el-Ansary and David K. Linnan, New York: Palgrave Macmillan, 2010, 70-71.
54 Robert Jackson & Georg Sorensen, Understanding International Relations, 2nd ed., (New York: Palgrave, 2001), 144.
Dialog Konstruktif Inisiatif Internasionalisme Ham Dalam Menembus Sacred Veil …
83
Magna Carta tahun 1215 hingga melahirkan Bill of Right dalam Kerajaan Inggris
tahun 1689. Di Perancis lahir The French Declaration tahun 1789 sebagai dasar The
Rule of Lazo. Dimensi baru HAM internasional dirumuskan D. Roosevelt yang
menjadi inspirasi dan bagian dari terbentuknya konsensus internasional Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) pada 10 Desember 1948. Tahun 1977 lahir
Islamic Universal Declaration of Human Rights (IUDHR) di Abu Dhabi dan
selanjutnya dideklarasikan Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI)
pada 15 Agustus 1990 di Kairo oleh negara-negara Muslim yang tergabung dalam
Organization of Islamic Conference (OIC).
Meski HAM diterima oleh semua negara, namun perbedaan pandangan di
wilayah domestik dan internasional menunjukkan belum terdapat kesepakatan
faham. Persepsi inilah yang memunculkan clash civilization antara Barat dan
Timur. Abdullah Ahmad An-Naim mengajukan interpretasi evolusioner melalui
pembalikkan proses penghapusan hukum suatu teks, sehingga teks-teks yang
dihapus pada masa lalu dapat digunakan dalam hukum sekarang dengan terlebih
dahulu membagi al-Quran ke dalam dua corak pesan yang berbeda secara
kualitatif sebagai analisis tahapan pembentukan syariah modern yang
menghormati HAM. An-Naim melihat pesan Makkah sebagai pesan abadi dan
fundamental, menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia
tanpa membedakan jenis kelamin, ras, golongan, keyakinan agama dan lain-lain
yang merupakan pesan universal-egaliterian-demokratik dan sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai HAM. Dalam penerapan norma-norma legal dan sejalan dengan
berbagai kebutuhan masyarakat kontemporer serta standar hukum internasional,
An-Naim menggunakan prinsip resiprositas yang menyatakan bahwa seseorang
harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan
orang lain. Prinsip ini dimiliki oleh semua tradisi agama besar dunia. Selain itu,
prinsip ini menurutnya memiliki kekuatan moral dan logika yang dapat mudah
diapresiasi oleh semua umat manusia.
M. Burhanuddin Ubaidillah
84
Dalam konteks ini, Mashood A. Baderin mengajukan perspektif harmonisasi
konstruktif baik secara teologis maupun keilmuan yang moderat dan dinamis
dengan pendekatan komplementer dan akomodatif untuk keseluruhan umat
manusia. Ali Goma’a menawarkan dialog inisiatif sebuah persamaan (A Common
Word), bukan hanya mencari titik perspektif yang menyatukan, melainkan juga
menyadari dan menghargai perbedaan yang mengayakan. Menurut Syed Hossein
Nasr, teori menemukan sebuah persamaan tidak berarti menanggalkan ajaran
agama masing-masing, tidak mengesampingkan hal-hal yang sakral, tetapi lebih
pada penetrasi ketertiban formalitas ke rumah perdamaian yang melebihi
perbedaan-perbedaan secara formal dengan mempertimbangkan realita untuk
memperoleh pemahaman yang lebih simpatik akan mengapa ada perbedaan yang
tidak bisa diperkecil di antara sesama dalam bidang formal tersebut. Hossein Nasr
berharap dengan tataran esoterik dan eksoterik penganut agama akan terjalin
dialogis yang hakiki, sebab keragaman agama merupakan akibat langsung dari
kekayaan wujud Tuhan yang tak terbatas.
Daftar Pustaka
Abdillah, Masykuri, Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Abdullah Ahmad an-Naim dan Mohammed Arkoun, Dekontruksi Syariah II: Kritik Penjelajahan Lain, Yogyakarta: LkiS, 1999.
Ackermann, Robert John, Religion as Critique, New York: The University of Massachusetts Press Post Office Box, 1985.
Ahmed, Istiaq, “Konstitualisme, HAM dan Reformasi Islam”, dalam Dekonstruksi Syariah (II), Yogyakarta: LKIS, 1996.
al-Maududi, Abu al-A’la, Human Rights in Islam, Leicester: Islamic Foundation, 1983.
Anghie, Antony. “C.G. Weeramantry at the International Court of Justice.” Leiden Journal of International Law, 2001.
An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Islam and Human Rights: Beyond The Universality Debate, Washington: The American Society of International Law, 2000.
An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law, Syracuse: Syracuse University Press, 1996.
Dialog Konstruktif Inisiatif Internasionalisme Ham Dalam Menembus Sacred Veil …
85
Arifin, Syamsul, “Fundamentalisme Agama” dalam Terorisme & Fundamentalisme Agama Sebuah Tafsir Sosial, ed. Achmad Jainuri, dkk. Malang: Bayumedia Publishing, 2003.
Arkoun, Mohammed, Al-Fikr al-Islamiy: Qiraah Ilmiyyah, Beirut: Markaz al-Inma al-Qaumiy, 1996.
Azzam Saleem, “Deklarasi Islam Universal Hak Asasi Manusia”, dalam Hak Asasi Manusia Dalam Islam, ed. Harun Nasution dan Bahtiar Effendi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Baderin, Mashood A., Internasional Human Rights and Islamic Law, New York: Oxford University Press, 2003.
C.G., Weeramantry. “ACCESS TO INFORMATION: A NEW HUMAN RIGHT.THE RIGHT TO KNOW.” In Asian Yearbook of International Law, Volume 4, 2020.
Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum lslam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Dede Rosyada dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media, 2003.
Giddens, Anthony, The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Cambridge, UK: Polity Press, 1998.
Giddens, Anthony, The Third Way and its Critics. Cambridge, UK: Polity Press. 2000. Goma’a, Ali, “A Common Word Between Us and You”: Motives and Application”
dalam Muslim and Christian Understanding Theory and Application of “A Common Word”, Ed. Waleed el-Ansary and David K. Linnan, New York: Palgrave Macmillan, 2010.
Gregg, Wiliam O., “The Power of Finding Common Ground: “A Common Word” and the Invitation to Understanding” dalam Muslim and Christian Understanding Theory and Application of “A Common Word”, Ed. Waleed el-Ansary and David K. Linnan, New York: Palgrave Macmillan, 2010.
Huwaedi, Fahmi, Al-Islam wa al-Demokratiyyah, Kairo: Markaz al-Ahram, 1993. Kimball, Charles, When Religion Becomes Evil, Jakarta: Mizan, 2013. Kosasih, Ahmad, HAM dalam Perspektif Islam, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003. Kosim, Nanang, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam: Studi Perbandingan
Pemikiran antara al-Maududi dan An-NAim dalam Merespon Deklarasi Universal HAM, UIN Sunan Kalijaga.
Littman, David, Universal Human Rights and Human Rights in Islam, New York: Journal Midstream, 1999.
Loppa, Baharuddin, Al-Qur'an dan HAM, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.
Mayer, Ann Elizabeth, Islam and Human Rights: Traditions amd Politics, Colorado: West View Press, 1999.
Nasr, Sayyed Husein, Theology, philosophy and spirituality. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
M. Burhanuddin Ubaidillah
86
Nasr, Sayyed Husen, “A Common Word” Initiative: “Theori and Praxis” dalam Muslim and Christian Understanding Theory and Application of “A Common Word”, Ed. Waleed el-Ansary and David K. Linnan, New York: Palgrave Macmillan, 2010.
Nasr, Seyyed Hossein, In Quest of the Eternal Sophia dalam Philosopher Critique D’eux Mens Philosophische Selbstbetrachtugen, Andre Mercier and Sular Maja, Vol. 5-6, 1980.
Purbopranoto, Kuncoro, Hak-hak Dasar Manusia dan Pancasila Negara Republik Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1979.
Riyanto, F.X. Armada, “Nilai-nilai Agama: Dialogical & Rekonsiliatif Perspektif Gereja Katolik”, Toleransi, Jurnal Dialog Lintas Agama, Vol. 1 No. 2, Juli 2000.
Robert Jackson & Georg Sorensen, Understanding International Relations, 2nd ed., New York: Palgrave, 2001.
Rumadi, Renungan Santri dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama, Jakarta: Erlangga, t.t.
Schuon, Frithjof, The Preneal of Fhilosofi Muslim, Bandung: Mizan, 1993. Serrano Ruano, Delfina. “C.G. Weeramantry, Islamic Jurisprudence.” Anaquel de
estudios árabes, 1991. Setiardja, Gunawan, Hak Asasi Manusia Berdasarkan ldeologi Pancasila,
Yogyakarta: Kanisius, 1997. Taha, Mahmoud Muhamed, e Second Message. Of Islam: Syariah Demokratik,
Surabaya: elSAD, 1996. Tibi, Bassam, “Syariah, HAM dan Hukum Internasional”, dalam Dekonstruksi
Syariah (II), Yogyakarta: LKIS, 1996. Weeramantry, C.G. “Human Rights and Scientific and Technological Progress.” In
Human Rights: New Dimensions and Challenges, 2019. Weeramantry, Judge C.G. “Foreword: Rights, Responsibilities, and Wisdom from
Global Cultural Traditions.” Legal Aspects of Sustainable Development, 2011. Weston, B., Human Rights in New Encyclopedia Britannica, 15th Ed., Vol 20, 713. Zainiati, Husniatus Salamah, Reformasi Syariah dan HAM: Kajian atas Pemikiran
Abdullah Ahmad An-Naim, dalam Jurnal IAIN Sunan Ampel, Edisi XVIII, Oktober-Desember 1999.