deskripsi analisis apbd 2014
DESCRIPTION
APBDTRANSCRIPT
1
ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014
iiiKata Pengantar
KATA PENGANTAR
Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001
menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang dialokasikan ke daerah dari tahun ke tahun terus meningkat.
Alokasi dana dimaksud diharapkan dapat meningkatkan kinerja daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan termasuk penyediaan layanan publik
yang memadai. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah
dalam melaksanakan tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan
sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk menghasilkan output/
pelayanan publik yang optimal.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen
kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Anggaran Belanja
Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan potret pemerintah
daerah dalam menentukan skala prioritas terkait program dan kegiatan
yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Penetapan prioritas-
prioritas tersebut beserta upaya pencapaiannya merupakan konsekuensi
dari meningkatnya peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam
mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Dengan demikian, daerah harus memastikan dana tersebut benar-benar
dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai tambah besar
bagi masyarakat.
Dengan jumlah daerah yang telah mencapai 539 pemerintah daerah saat
ini, maka informasi mengenai APBD secara nasional sangat diperlukan guna
menunjang ketepatan pengambilan kebijakan di bidang hubungan keuangan
antara pusat dan daerah. Dalam konteks itulah perlu diperoleh gambaran
tentang kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah berdasarkan data yang
berasal dari APBD Tahun Anggaran 2014 dari seluruh pemerintah provinsi,
iv Deskripsi dan Analisis APBD 2014
kabupaten dan kota. Buku ini akan menyajikan berbagai rasio keuangan
aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit dan pembiayaan daerahnya yang
dapat dilihat baik secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota),
per provinsi, kabupaten dan kota per provinsi maupun berdasarkan wilayah
(Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Maluku Papua).
Kami mengharapkan agar buku Deskripsi dan Analisis APBD 2014 ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan baik di pusat
maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan
yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Jakarta, Juni 2014
Plt. Direktur Evaluasi Pendanaan
dan Informasi Keuangan Daerah
Rukijo
NIP 19670210 199310 1 001
5Ringkasan Eksekutif
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Secara agregat, rata-rata pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah
daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota hanya 2,1% dari
PDRB non migas. Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio pajak tertinggi
yaitu sebesar 9,4%. Hal ini tentunya didukung oleh posisi DKI Jakarta
sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, sehingga perkembangan
ekonominya jauh lebih maju dan kemungkinan menggali pajak jauh
lebih besar karena basis pajak yang ada di DKI Jakarta cukup banyak.
Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah
Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 0,4%.
• Mengingat bahwa kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk
memungut pajak daerah bersifat terbatas (closed list) dan sumber
penerimaan pajak daerah yang berlaku saat ini cenderung bias ke daerah
yang tingkat urbanisasinya tinggi (urban-biased), seperti Pajak Hotel,
Pajak Restoran, dan Pajak Kendaraan Bermotor, hal ini menyebabkan
untuk daerah yang unsur kekotaannya tidak terlalu tinggi, potensi
penerimaan pajaknya menjadi kecil.
• Provinsi Kalimantan Timur mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu
mencapai 61,7%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi Kalimantan Timur
tentunya didukung oleh penerimaan daerah dari Dana Bagi Hasil yang
cukup besar yaitu mencapai 60,6% dari total Pendapatan Daerah.
Meskipun Belanja Pegawai di Provinsi Kalimantan Timur mencapai
34,3% dari total pendapatan, namun masih menyisakan ruang fiskal
yang besar sehingga porsi Belanja Modalnya pun mencapai 58,4% dari
total pendapatannya.
• Sementara itu, Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu 22,2%.
Porsi Belanja Pegawai pemerintah daerah se-Provinsi Aceh sangat besar
6 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
yaitu 42,5% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang
tersisa sangat kecil. Dengan demikian Provinsi Aceh harus memanfaatkan
ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah yang tepat
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
• Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan alokasi transfer
oleh Pemerintah dengan penetapan dalam APBD, secara umum untuk
alokasi Dana Perimbangan yang penyampaian informasinya ke publik
dilakukan segera setelah pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh daerah dalam menyusun APBD. Adapun
untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan lebih lambat dari DAU
dan DAK (sekitar Desember hingga Januari) atau setelah APBD ditetapkan
oleh daerah, nampak terjadi deviasi yang relatif tinggi antara penetapan
alokasi dari Pusat dengan penetapan dalam APBD.
• Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja
Pegawai terhadap total Belanja Daerah adalah 42,78%. Rasio ini lebih
rendah dari tahun anggaran sebelumnya yang mencapai rata-rata 44,7%.
Penurunan rasio belanja pegawai secara konsisten dalam beberapa tahun
terakhir, meskipun penurunannya relatif kecil namun menunjukkan upaya
rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah.
• Terdapat 5 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai lebih dari 50 %,
yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera
Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-
provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk
jenis-jenis belanja selain Belanja Pegawainya. Hal ini akan menyebabkan
keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar Belanja Pegawai yang
bisa didanai, khususnya dalam mendukung pemenuhan layanan publik.
• Sulawesi adalah wilayah yang memiliki rasio Belanja Pegawai tertinggi,
yaitu sebesar 48,65% sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio
yang terendah dengan angka sebesar 33,37%. Rasio Belanja Pegawai
7Ringkasan Eksekutif
per wilayah terhadap total Belanja Daerahnya masih di bawah 50,0%.
Dengan demikian, wilayah Sulawesi mengalokasikan hampir setengah
Belanja Daerahnya untuk membayar Belanja Pegawai dan memiliki lebih
sedikit porsi Belanja Daerah yang dapat digunakan untuk mendanai
program/kegiatan non pegawai jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.
• Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru
terhadap total PNSD adalah 49,41%. Rasio ini mengalami peningkatan
dari tahun sebelumnya yang mencapai 47,6%. Peningkatan rasio jumlah
guru yang diiringi dengan penurunan rasio belanja pegawai secara
keseluruhan, sekali lagi menunjukkan bahwa daerah telah menjadi lebih
rasional dalam alokasi belanja pegawainya dengan semakin menurunkan
porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS yang bekerja di
bidang administrasi.
• Rata-rata rasio Belanja Modal terhadap total belanja secara agregat
provinsi, kabupaten dan kota sebesar 24,81%. Tahun 2012, rata-rata
porsi belanja modal menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah yaitu
sebesar 23,4%. Dengan demikian telah terjadi shifting dari penurunan
porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal. Hal ini
merupakan indikasi positif terhadap perbaikan kualitas struktur belanja
daerah. Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan angka sebesar 12,59% sedangkan rasio
tertinggi terdapat pada Provinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar 44,08%.
• Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata pengeluaran daerah
untuk Belanja Bantuan Sosial adalah 1,05%. Meskipun relatif kecil,
namun belanja bantuan sosial ini perlu dicermati karena mempunyai
potensi untuk tumpang tindih dengan belanja yang seharusnya menjadi
tanggung jawab SKPD. Selain itu, jenis belanja ini juga cukup rentan
terhadap isu politik yang seringkali membuat dispute antara eksekutif dan
legislative. Terdapat 9 provinsi yang angka rasionya melebihi angka rata-
rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Daerah yang memiliki rasio
terbesar secara agregat adalah Provinsi Kepulauan Riau, yaitu sebesar
8 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
3,71%, diikuti oleh DKI Jakarta, Papua. Papua Barat dan Aceh. Hal ini
perlu dicermati mengingat Aceh yang mempunyai Ruang Fiskal terkecil
di Indonesia, rasio Belanja Modal kedua terendah di Indonesia, namun
mempunyai rasio bantuan sosial yang relatif tinggi dibandingkan daerah
lainnya.
• Data APBD menunjukkan bahwa adanya kecenderungan daerah untuk
menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Hal ini terlihat dari 491
kabupaten/kota dan 33 provinsi di Indonesia pada Tahun Anggaran
(TA) 2013 sebanyak 457 daerah menganggarkan defisit dalam APBD-
nya, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 447 daerah yang
menganggarkan defisit. Kecenderungan daerah menganggarkan defisit
tersebut karena adanya SiLPA dalam APBD mereka, artinya sebenarnya
secara umum daerah tidak sedang dalam kondisi defisit secara riil, tetapi
mereka menganggarkan defisit karena untuk menyerap SiLPA tahun
sebelumnya. Hal lain yang juga menarik untuk dicermati adalah bahwa
pada umumnya daerah terbukti mengalami surplus pada saat realisasi.
• Rata-rata rasio defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten,
dan kota) adalah 7,5% dengan kontribusi SiLPA untuk menutup defisit
tersebut sekitar 91,3% sedangkan kontribusi penerimaan pinjaman dan
obligasi daerah 5,9%. Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah
dengan rasio defisit terbesar di mana faktor utama penyebab hal tersebut
adalah untuk mengakomodasi SiLPA tahun sebelumnya yang jumlahnya
cukup besar agar bisa digunakan dalam belanja publik.
• Dalam APBD kabupaten, kota dan provinsi terdapat beberapa daerah yang
besaran defisit yang dianggarkan tidak bisa ditutup dengan pembiayaan,
sehingga defisit ditambah pembiayaan masih bernilai minus. Kabupaten
Sarmi merupakan daerah dengan nilai Defisit APBD yang tidak ter-cover
oleh pembiayaan terbesar yaitu sebesar Rp80 miliar. Hal ini harus menjadi
perhatian Pemerintah Pusat sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan pembinaan di bidang pengelolaan keuangan, karena
fenomena di atas menunjukkan bahwa terdapat daerah-daerah yang
9Ringkasan Eksekutif
akan menganggarkan belanja tanpa adanya kepastian sumber dananya.
Hal ini secara normatif tidak layak untuk dilakukan karena menimbulkan
ketidakpastian dalam alokasi belanja publik.
• Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah tertinggi ada di wilayah Kalimantan
(15,62%), rata-rata nasional untuk rasio ini adalah sebesar 7,75%,
semakin besar rasio menunjukkan semakin besar dana idle yang tidak
dapat dimanfaatkan pada tahun 2012, sedangkan rasio terendah SiLPA
terhadap belanja terjadi di wilayah Sulawesi (2,93%).
• Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara rata-rata adalah
sebesar 0,7%. Nilai tersebut masih jauh lebih kecil dibanding batas
pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/
PMK.07/2012, yaitu 6% dari total Pendapatan Daerah untuk masing-
masing pemerintah daerah. Secara agregat provinsi, kabupaten, dan
kota tidak tampak daerah yang melampaui batas yang ditentukan, ini
disebabkan pemerintah telah menaikkan batas ketentuan yaitu dari 3,5%
di TA 2011 (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK07/2010
menjadi 5% di TA 2012 dan TA 2013). Rasio pinjaman tertinggi adalah
Sulawesi Tenggara (4,3%).
• Pergerakan dana pemda di perbankan pada bulan Desember merupakan
titik terendah dalam tiap tahunnya dan kembali meningkat pada awal
tahun berikutnya. Besaran dana pemda di perbankan Desember 2012
lebih besar dibanding dengan Desember 2011, hal tersebut menunjukkan
adanya peningkatan besaran SiLPA tahun berkenaan tahun 2012.
x Deskripsi dan Analisis APBD 2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................iii RINGKASAN EKSEKUTIF ...........................................................................v DAFTAR ISI ..............................................................................................x DAFTAR TAbEl ......................................................................................xiii DAFTAR GRAFIK .................................................................................... xiv
bAb I PENDAHUlUAN ............................................................................ 1A. Latar Belakang ..........................................................................1B. Gambaran Umum APBD 2014 ...................................................2
1. Pendapatan Daerah .................................................................52. Belanja Daerah ........................................................................73. Surplus,Defisit,danPembiayaanDaerah ..................................9
C. Trend APBD (2010 – 2014) ......................................................11
bAb II ANAlISIS PENDAPATAN DAERAH ................................................ 21A. Rasio Pajak (Tax Ratio) .............................................................241. AgregatProvinsi,KabupatendanKota ...................................252. PemerintahKabupatendanKotaSe-Provinsi .........................263. PemerintahProvinsi ..............................................................284. PerWilayah ...........................................................................29
B. Pajak per Kapita (Tax per Capita) .............................................291. AgregatProvinsi,KabupatendanKota ...................................302. PemerintahKabupatendanKotase-Provinsi ...........................313. PemerintahProvinsi ...............................................................324. PerWilayah ...........................................................................33
C. Ruang Fiskal (Fiscal Space) ......................................................341. AgregatProvinsi,KabupatendanKota ...................................352. PemerintahKabupatendanKotaSe-Provinsi ..........................363. PemerintahProvinsi ...............................................................38
xiDaftar Isi
4. PerWilayah ...........................................................................40
D. Rasio Ketergantungan Daerah .................................................411. AgregatProvinsi,KabupatendanKota ...................................412. PemerintahKabupatendanKotaSe-Provinsi ..........................433. PemerintahProvinsi ...............................................................444. PerWilayah ..........................................................................45
E. Deviasi Alokasi Transfer ke Daerah pada APBD ........................461. Dana Bagi Hasil (DBH) ...........................................................482. DanaAlokasiUmum(DAU)....................................................503. Dana Alokasi Khusus (DAK) ...................................................51
bAb III ANAlISIS bElANJA DAERAH ..................................................... 54A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah .............561. AgregatProvinsi,KabupatendanKota ...................................572. PemerintahKabupatendanKotase-Provinsi ...........................593. PemerintahProvinsi ...............................................................614. PerWilayah ...........................................................................62
B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah ................641. AgregatProvinsi,KabupatendanKota ..................................652. PemerintahKabupatendanKotase-Provinsi ..........................663. PemerintahProvinsi ..............................................................674. PerWilayah ...........................................................................68
C. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk .....................691. AgregatProvinsi,KabupatendanKota ...................................702. PemerintahKabupatendanKotase-Provinsi ...........................713. PemerintahProvinsi ...............................................................724. PerWilayah ...........................................................................73
D. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Daerah ....741. AgregatProvinsi,KabupatendanKota ...................................752. PemerintahKabupatendanKotase-Provinsi .........................763. PemerintahProvinsi ...............................................................774. PerWilayah ...........................................................................78
bAb IV ANAlISIS SURPlUS/DEFISIT DAN PEMbIAYAAN DAERAH ........... 80
xii Deskripsi dan Analisis APBD 2014
A. Defisit .....................................................................................801. AgregatProvinsi,Kabupaten,danKota ..................................812. PemerintahKabupatendanKotaSe-Provinsi ..........................823. PemerintahProvinsi ...............................................................834. PerWilayah ...........................................................................845. DaerahdenganDefisityangtidakdapatditutupolehpembiayaan ..........................................................................85
B. Pembiayaan Daerah ................................................................88a. SisaLebihPerhitunganAnggaran...........................................91
C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman ...............951. AgregatProvinsi,KabupatendanKota ...................................962. PemerintahKabupatendanKotase-Provinsi ...........................973. PemerintahProvinsi ...............................................................974. PerWilayah ...........................................................................985. DaerahyangMelampauiBatasMaksimalDefisityangDibiayaiPinjaman ..............................................................................99
D. Dana Idle ..............................................................................101
bAb V REAlISASI bElANJA DAERAH APbD 2014 SAMPAI DENGAN bUlAN MEI 2014 ................................................................................ 104
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 110
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... 111
xiiiDaftar Tabel
DAFTAR TAbEl
Tabel1.1 RingkasanAPBD2014secaraNasional(Konsolidasi) .....................2
Tabel1.2 PembiayaanDaerahAPBD2014(JutaRupiah) ..............................5
Tabel1.3 Rata-ratapertumbuhan(2010–2014)SiLPAPerAgregat
Provinsi,KabupatendanKota ....................................................19
Tabel2.1 DaftarDaerahdenganPersentaseDeviasiNegatifAlokasiDBH
Tertinggi ...................................................................................48
Tabel2.2 DaftarDaerahdenganPersentaseDeviasiPositifAlokasiDBH
Tertinggi ...................................................................................49
Tabel2.3 DaerahdenganPersentaseDeviasiAlokasiDAUNegatif
Tertinggi ...................................................................................50
Tabel2.4 DaftarDaerahPersentaseDeviasiPositifAlokasiDAUTertinggi ....51
Tabel2.5 DaftarDaerahdenganPersentaseDeviasiNegatifAlokasiDAK
Tertinggi ...................................................................................52
Tabel2.6 DaftarDaerahdenganPersentaseDeviasiPositifAlokasiDAK
Tertinggi ...................................................................................53
Tabel4.1 DaerahdenganBesaranDefisityangtidakdapatditutupoleh
Pembiayaan ...............................................................................85
Tabel4.2 DaerahyangMenganggarkanSILPATahunBerkenaan ................86
Tabel4.3 Daerahdengan%PinjamandiatasBatasyangditetapkan .........100
xiv Deskripsi dan Analisis APBD 2014
DAFTAR GRAFIK
Grafik1.1 KomposisiPendapatanDaerahAPBD2014 ...................................4
Grafik1.2 KomposisiBelanjaDaerahAPBD2014 ..........................................4
Grafik1.3 RasioPendapatanDaerahAPBD2014PerWilayah ........................6
Grafik1.4 RasioBelanjaDaerahAPBD2014PerWilayah ...............................7
Grafik1.5 PembiayaanAPBD2014PerWilayah ............................................9
Grafik1.6 TrendAPBDTA2010–2014 ......................................................11
Grafik1.7 TrendKomposisiPendapatanDaerahTA2010–2014 ...............12
Grafik1.8 Rata-rataPertumbuhan(2010–2014)PendapatanDaerah
perAgregatProvinsi,KabupatendanKota .................................14
Grafik1.9 TrendBelanjaDaerahTA2010–2014 .......................................15
Grafik1.10Rata-rataPertumbuhan(2010–2014)BelanjaDaerah
PerAgregatProvinsi,KabupatendanKota .................................17
Grafik2.1 PerkembanganPendapatanAsliDaerah ......................................22
Grafik2.2 PerkembanganTransferkeDaerah .............................................23
Grafik2.3 RasioPajakAgregatProvinsi,Kabupaten,danKota .....................26
Grafik2.4 RasioPajakPemerintahKabupatendanKotaSe-Provinsi ............27
Grafik2.5 RasioPajakPemerintahProvinsi ..................................................28
Grafik2.6 RasioPajakperWilayah .............................................................29
Grafik2.7 RasioPajakperKapitaAgregatProvinsi,KabupatendanKota .....31
Grafik2.8 RasioTaxperKapitaPemerintahKabupatendankota
se-Provinsi .................................................................................32
Grafik2.9 RasioTaxperKapitaPemerintahProvinsi ....................................33
Grafik2.10 RasioTaxperKapitaPerWilayah ................................................34
xvDaftar Grafik
Grafik2.11RuangFiskalAgregatProvinsi,Kabupaten,danKota ...................36
Grafik2.12 RuangFiskalPemerintahKabupatendankotaSe-Provinsi .........38
Grafik2.13 RuangFiskalPemerintahProvinsi ...............................................38
Grafik2.14 RuangFiskalPerWilayah ...........................................................40
Grafik2.15 RasioKetergantunganAgregatProvinsi,KabupatendanKota .....42
Grafik2.16 RasioKetergantunganPemerintahKabupatendankota
Se-Provinsi ...............................................................................43
Grafik2.17 RasioKetergantunganPemerintahProvinsi .................................44
Grafik2.18 RasioKetergantunganPerWilayah .............................................45
Grafik3.1 RasioBelanjaPegawaiterhadapTotalBelanjaDaerah
AgregatProvinsi,KabupatendanKota .......................................58
Grafik3.2 RasioJumlahGuruterhadapTotalPNSDAgregatProvinsi,
KabupatendanKota ..................................................................59
Grafik3.3 RasioBelanjaPegawaiTerhadapBelanjaDaerahPemerintah
KabupatendanKotase-Provinsi ................................................60
Grafik3.4 RasioJumlahGuruTerhadapTotalPNSDPemerintahKabupaten
danKotase-Provinsi .................................................................61
Grafik3.5 RasioBelanjaPegawaiTerhadapBelanjaDaerahPemerintah
Provinsi .....................................................................................62
Grafik3.6 RasioBelanjaPegawaiTerhadapBelanjaDaerahperWilayah .......63
Grafik3.7 RasioJumlahGuruTerhadapTotalPNSDperWilayah ..................64
Grafik3.8 RasioBelanjaModalTerhadapBelanjaDaerahAgregatProvinsi,
KabupatendanKota ..................................................................66
Grafik3.9 RasioBelanjaModalTerhadapBelanjaDaerahPemerintah
KabupatendanKotase-Provinsi ................................................67
Grafik3.10 RasioBelanjaModalTerhadapBelanjaDaerahPemerintah
Provinsi .....................................................................................68
Grafik3.11RasioBelanjaModalTerhadapBelanjaDaerahperWilayah .........69
xvi Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik3.12 RasioBelanjaModalperKapitaAgregatProvinsi,Kabupatendan
Kota ..........................................................................................70
Grafik3.13RasioBelanjaModalperKapitaPemerintahKabupatendanKota
se-Provinsi ................................................................................72
Grafik3.14RasioBelanjaModalperKapitaPemerintahProvinsi ..................73
Grafik3.15 RasioBelanjaModalperKapitaperWilayah ..............................74
Grafik3.16RasioBelanjaBantuanSosialTerhadapTotalBelanjaAgregat
Provinsi,KabupatendanKota ....................................................76
Grafik3.17 RasioBelanjaBantuanSosialTerhadapBelanjaDaerah
PemerintahKabupatendanKotase-Provinsi ..............................77
Grafik3.18RasioBelanjaBantuanSosialTerhadapBelanjaDaerah
PemerintahProvinsi .................................................................78
Grafik3.19RasioBelanjaBantuanSosialTerhadapBelanjaDaerah
perWilayah ..............................................................................79
Grafik4.1 RasioSurplus/defisitterhadapPendapatan,AgregatProvinsi,
Kabupaten,danKota .................................................................81
Grafik4.2 RasioSurplus/defisitterhadapPendapatanPemerintahKabupaten
danKotase-Provinsi .................................................................82
Grafik4.3 RasioSurplus/defisitterhadapPendapatanPemerintahProvinsi ...83
Grafik4.4 RasioDefisitterhadapPendapatanPerWilayah ...........................84
Grafik4.5 PenerimaanPembiayaanProvinsidanKab/Kota...........................88
Grafik4.6 PersentasePenerimaanPembiayaanterhadaptotalPenerimaan
Pembiayaan ...............................................................................88
Grafik4.7 PengeluaranPembiayaanProvinsidanKabupaten/Kota ...............90
Grafik4.8 PersentasePengeluaranPembiayaanterhadaptotalPenerimaan
Pembiayaan ...............................................................................90
Grafik4.9 RasioSiLPAterhadapBelanjaAgregatProvinsi,Kabupatendan
Kota ..........................................................................................92
xviiDaftar Grafik
Grafik4.10 RasioSiLPAterhadapBelanjaPemerintahKabupatendanKotase-
Provinsi .....................................................................................93
Grafik4.11 RasioSiLPAterhadapBelanjaDaerahPemerintahProvinsi ............94
Grafik4.12 RasioSiLPAterhadapBelanjaperWilayah ..................................95
Grafik4.13 RasioPinjamanterhadapPendapatanDaerahAgregatProvinsi,
KabupatendanKota ..................................................................96
Grafik4.14 RasioPinjamanterhadapPendapatanDaerahPemerintah
KabupatendanKotase-Provinsi ................................................97
Grafik4.15 RasioPinjamanterhadapPendapatanPemerintahProvinsi ..........98
Grafik4.16 Rasiopinjaman/pendapatanperwilayah ...................................99
Grafik4.17 DanaPemdadiPerbankanperBulan(BulanDesember) ............102
Grafik4.18 DanaPemdadiPerbankanAgregatKab/kota/Provinsi................103
Grafik5.1 PerbandinganRealisasiAPBD2011,2012,2013dan2014
(AgregatProvinsi,KabupatendanKota)(%) .............................106
Grafik5.2 RealisasiBelanjaDaerah(AgregatProvinsi,KabupatendanKota)
BulanMei2014(triliunrupiah) ...............................................107
Grafik5.3 RealisasiBelanjaDaerahSecaraAgregatProvinsi,Kabupaten,dan
KotaPerProvinsiBulanMei2014(%) .......................................108
xviii Deskripsi dan Analisis APBD 2014
1Pendahuluan
bAb I PENDAHUlUAN
A. Latar BelakangDalam rangka melaksanakan pelayanan publik di daerah, instrumen
utama yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah melalui APBD.
Pelaksanaan APBD dimaksud diharapkan dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan di
berbagai sektor. APBD yang direncanakan setiap tahun dengan mendapatkan
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada dasarnya
menunjukkan sumber-sumber pendapatan daerah, berapa besar alokasi
belanja untuk melaksanakan program/kegiatan, serta pembiayaan yang
muncul apabila terjadi surplus atau defisit. Pendapatan daerah bersumber
dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, dana transfer dari pemerintah
pusat, serta dari lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Perwujudan pelayanan publik di daerah berkorelasi erat dengan kebijakan
belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan
yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik
di daerah. Dalam pelaksanaan penganggaran dapat terjadi selisih antara
pendapatan dan belanja daerah (surplus/defisit), dan untuk selanjutnya
ditutup dengan kebijakan pembiayaan daerah. Apabila terjadi surplus, daerah
harus menganggarkan untuk pengeluaran pembiayaan tertentu, misalnya
untuk investasi, atau dapat juga dengan mengoptimalisasi dana tersebut guna
mendanai belanja kegiatan yang telah direncanakan. Sebaliknya apabila terjadi
defisit, daerah perlu mencari alternatif pembiayaan berupa pinjaman daerah,
2 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
penggunaan SiLPA, atau dapat pula melakukan penghematan anggaran
dengan melakukan penyisiran kegiatan yang tidak perlu dilaksanakan atau
ditunda pelaksanannya.
Untuk melihat gambaran secara komprehensif atas anggaran daerah
pada tahun 2014, diperlukan suatu telaah ringkas mengenai APBD 2014
secara agregatif, maupun terpisah antara provinsi dengan kabupaten/kota.
Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi fiskal
atau keuangan seluruh daerah di Indonesia, berdasarkan data yang berasal
dari APBD TA 2014 dari seluruh Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota.
Analisis APBD dilakukan dari aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit,
dan pembiayaan. Dalam analisis ini juga digunakan beberapa data sekunder
lainnya berupa data anggaran sebelum APBD 2014, realisasi APBD tahun-
tahun sebelumnya, hingga data pendukung lainnya yang digunakan untuk
melakukan analisis time-series. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan
yang dilakukan secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per
provinsi, kabupaten dan kota dan berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa dan
Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua).
B. Gambaran Umum APBD 2014Gambaran umum APBD 2014 secara nasional (konsolidasi) dapat dilihat
pada Tabel 1.1 di bawah ini.
Tabel 1.1
Ringkasan APBD 2014 secara Nasional (Konsolidasi)
UraianNasional
(Juta Rupiah)
Pendapatan 759.476.113
PAD 180.347.447
Dana Perimbangan 482.221.122
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 96.907.544
Belanja 817.674.081
3Pendahuluan
UraianNasional
(Juta Rupiah)
Belanja Barang dan jasa 182.522.886
Belanja Modal 213.669.585
Belanja Pegawai 326.736.914
Belanja Lain-lain 94.744.696
Surplus/defisit (58.197.968)
Pembiayaan Netto 59.197.160
Penerimaan Pembiayaan 74.617.064
SiLPA TA sebelumnya 70.686.810
Pencairan dana cadangan 579.179
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 65.621
Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah 2.192.461
Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman 1.092.993
Pengeluaran Pembiayaan 15.419.903
Pembentukan Dana Cadangan 582.866
Penyertaan Modal (Investasi) Daerah 12.136.858
Pembayaran Pokok Utang 2.296.522
Pemberian Pinjaman Daerah 220.896
Pembayaran Kegiatan Lanjutan 15.985
Pengeluaran Perhitungan Pihak Ketiga 166.777
Sumber: APBD 2014 (data diolah)
Dari Tabel 1.1. di atas, komposisi Pendapatan Daerah dalam APBD 2014
terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah. Sementara itu, besarnya jumlah dana dan
persentase dari masing-masing komposisi Pendapatan Daerah terhadap total
dapat dilihat pada Grafik 1.1 di bawah ini. Dari Grafik 1.1 tersebut dapat
dilihat bahwa Dana Perimbangan yang bersumber transfer dari pusat masih
mendominasi sumber Pendapatan Daerah, yaitu mencapai sebesar Rp482,22
triliun (63,49%). Sementara itu PAD dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang
Sah masing-masing hanya mencapai sebesar Rp180,35 triliun (23,75%) dan
sebesar Rp96,91 triliun (12,76%).
4 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 1.1
Komposisi Pendapatan Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
Sumber: APBD 2014
(data diolah)
Grafik 1.2
Komposisi Belanja DaerahAPBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
180.347.44723,75%
482.221.12263,49%
96.907.54412,76%
PAD
Dana Perimbangan
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Sumber: APBD 2014 (data diolah)
Grafik 1.2
Komposisi Belanja Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
Sumber: APBD
2014 (data diolah)
Grafik 1.2 menunjukkan komposisi Belanja Daerah secara nasional yang mencapai Rp817,67 triliun. Dari jumlah
tersebut, porsi Belanja Pegawai masih mendominasi, yaitu mencapai sebesar Rp326,74 triliun(38,22%), sedangkan Belanja
Modal, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Lainnya masing-masing mencapai sebesar Rp213,67 triliun (24,99%), sebesar
Rp182,52 triliun (21,35%), dan sebesar Rp131,96 triliun (15,44%).
Dari defisit APBD 2014 secara nasional yang mencapai Rp58,20 triliun, memerlukan Pembiayaan sebesar Rp59,20
triliun, yang terdiri dari Penerimaan Pembiayaan (SiLPA, Pinjaman dan lain-lain) sebesar Rp74,62 triliun dan Pengeluaran
Pembiayaan sebesar Rp15,42 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2
Pembiayaan Daerah APBD 2014 (Juta Rupiah)
182.522.88621,35%
213.669.58524,99%
326.736.91438,22%
131.995.82715,44%
Belanja Barang dan jasa
Belanja Modal
Belanja Pegawai
Belanja Lain-lain
Sumber: APBD 2014 (data diolah)
5Pendahuluan
Grafik 1.2 menunjukkan komposisi Belanja Daerah secara nasional yang
mencapai Rp817,67 triliun. Dari jumlah tersebut, porsi Belanja Pegawai
masih mendominasi, yaitu mencapai sebesar Rp326,74 triliun (38,22%),
sedangkan Belanja Modal, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Lainnya
masing-masing mencapai sebesar Rp213,67 triliun (24,99%), sebesar
Rp182,52 triliun (21,35%), dan sebesar Rp131,96 triliun (15,44%).
Dari defisit APBD 2014 secara nasional yang mencapai Rp58,20
triliun, memerlukan Pembiayaan sebesar Rp59,20 triliun, yang terdiri dari
Penerimaan Pembiayaan (SiLPA, Pinjaman dan lain-lain) sebesar Rp74,62
triliun dan Pengeluaran Pembiayaan sebesar Rp15,42 triliun. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2
Pembiayaan Daerah APBD 2014 (Juta Rupiah)
Pembiayaan 59.197.160
Penerimaan Pembiayaan 74.617.063
Pengeluaran Pembiayaan (15.419.903)
Sumber: APBD 2014 (diolah)
Selanjutnya, rincian komposisi APBD Tahun 2014 untuk provinsi,
kabupaten, dan kota dapat dikelompokkan sesuai dengan wilayah pulaunya
masing-masing. Pengelompokan daerah berdasarkan pulau terdiri dari daerah-
daerah di Pulau Jawa dan Bali, daerah-daerah di deretan pulau di timur
Indonesia antara lain Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, daerah-daerah di
pulau Sumatera, pulau Kalimantan, dan pulau Sulawesi.
1. Pendapatan Daerah
Potret rasio Pendapatan Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun
2014 pada kabupaten, kota, dan provinsi di beberapa wilayah secara agregat
menunjukkan fakta sebagai berikut:
6 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 1.3
Rasio Pendapatan Daerah APBD 2014 Per Wilayah
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
PAD/Total PendapatanDana Perimbangan/Total
PendapatanLain-lain Pend. Daerah yang
sah/Total Pendapatan
Sumatera 15,66% 71,43% 12,91%
Jawa-Bali 37,36% 50,19% 12,45%
Kalimantan 18,83% 73,51% 7,66%
Sulawesi 14,14% 74,55% 11,31%
NT-Maluku-Papua 7,08% 73,14% 19,78%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
Persentase
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
Dari Grafik 1.3 di atas, dapat dilihat bahwa daerah yang mempunyai rasio
PAD dibandingkan dengan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah
daerah-daerah di wilayah Jawa dan Bali, yaitu mencapai 37,36%. Sementara
itu daerah-daerah yang mempunyai rasio terendah berada di wilayah pulau
Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, yaitu hanya 7,08%. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah Jawa dan
Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Dalam kaitannya dengan rasio Dana Perimbangan apabila dibandingkan
dengan total Pendapatan Daerah, dapat dilihat bahwa secara agregat daerah-
daerah di wilayah pulau Jawa dan Bali hanya memiliki ketergantungan
terhadap Dana Perimbangan paling rendah, yaitu 50,19%. Adapun wilayah
yang memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap Dana Perimbangan
adalah di wilayah Sulawesi yang mencapai 74,55% persen. Sementara itu
7Pendahuluan
untuk rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang sah terhadap total Pendapatan
Daerah dapat disampaikan bahwa wilayah di pulau Nusa Tenggara, Maluku,
dan Papua masih yang tertinggi hingga mencapai 19,78%, sedangkan
wilayah Sumatera memiliki rasio sebesar 12,91%. Untuk wilayah Kalimantan
memiliki rasio yang paling rendah, yaitu sebesar 7,66%. Salah satu faktor
penyebab dua wilayah yaitu pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua serta
pulau Sumatera memiliki rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah yang
relatif tinggi terutama adanya dana Otonomi Khusus di wilayah tersebut, yaitu
di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Aceh.
2. Belanja Daerah
Potret rasio Belanja Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun
2014 di kabupaten, kota, dan provinsi pada beberapa wilayah secara agregat
menunjukkan fakta sebagai berikut:
Grafik 1.4
Rasio Belanja Daerah APBD 2014 Per Wilayah
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
Dari Grafik 1.4. dapat dilihat bahwa Belanja Pegawai masih menempati porsi terbesar dalam Belanja Daerah APBD
Tahun 2014, yang selanjutnya diikuti oleh Belanja Modal, serta Belanja Barang dan Jasa.
Di wilayah Sulawesi, Belanja Pegawai mencapai 47,52%, atau terbesar apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya,
sedangkan porsi Belanja Pegawai di wilayah Kalimantan menempati posisi yang terendah, yaitu 32,29%. Sementara itu, apabila
dilihat dari rasio jumlah pegawai terhadap total jumlah penduduk di wilayah Sulawesi dan wilayah Kalimantan secara berturut-
turut adalah 1:83 dan 1:94. Hal ini berarti bahwa 1 (satu) orang PNSD di wilayah Sulawesi memberikan layanan publik kepada
Bel. Pegawai/Tot. Belanja Bel. Modal/Tot. Belanja Bel. Barang & Jasa/Tot. Belanja
Sumatera 41,06% 26,56% 22,73%
Jawa-Bali 41,10% 23,86% 21,97%
Kalimantan 32,29% 35,19% 22,94%
Sulawesi 47,52% 22,77% 21,39%
NT-Maluku-Papua 35,75% 25,60% 22,40%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Persentase
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
8 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Dari Grafik 1.4. dapat dilihat bahwa Belanja Pegawai masih menempati
porsi terbesar dalam Belanja Daerah APBD Tahun 2014, yang selanjutnya
diikuti oleh Belanja Modal, serta Belanja Barang dan Jasa.
Di wilayah Sulawesi, Belanja Pegawai mencapai 47,52%, atau terbesar
apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, sedangkan porsi Belanja
Pegawai di wilayah Kalimantan menempati posisi yang terendah, yaitu
32,29%. Sementara itu, apabila dilihat dari rasio jumlah pegawai terhadap
total jumlah penduduk di wilayah Sulawesi dan wilayah Kalimantan
secara berturut-turut adalah 1:83 dan 1:94. Hal ini berarti bahwa 1 (satu)
orang PNSD di wilayah Sulawesi memberikan layanan publik kepada 83
orang penduduk. Sedangkan di wilayah Kalimantan 1 (satu) orang PNSD
memberikan layanan publik kepada 94 orang penduduk.
Sebagai perbandingan, rasio PNSD dan penduduk di wilayah Jawa dan
Bali adalah 1:196. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah PNSD di wilayah
Jawa masih sedikit karena total penduduknya sangat banyak, sehingga
rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja juga besar, yaitu 41,10%.
Berbagai pengeluaran kegiatan yang terangkum dalam akun Belanja Modal
di wilayah Jawa dan Bali sangat kecil, yaitu hanya 23,86%. Hal ini dapat
memunculkan 2 (dua) pendapat, yaitu kebutuhan infrastruktur di wilayah
Jawa dan Bali relatif rendah sehingga setiap daerah di wilayah tersebut tidak
perlu menganggarkan terlalu banyak Belanja Modal, atau atau memang APBD
di semua daerah di wilayah Jawa dan Bali dirasakan cukup berat untuk
diarahkan dalam pemberian pelayanan publik yang dicerminkan dari besarnya
jumlah pegawai dan rasio Belanja Pegawai per Total Belanjanya yang juga
besar.
Untuk daerah-daerah di wilayah Kalimantan menunjukkan perkembangan
pembangunan infrastruktur yang paling signifikan. Hal ini tercermin dari rasio
Belanja Modalnya yang mencapai 35,19%, demikian pula rasio Belanja
Barang dan Jasanya yang juga relatif tinggi yaitu 22,94%.
9Pendahuluan
3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah
Potret beberapa rasio yang terkait Pembiayaan Daerah berdasarkan
data konsolidasi APBD Tahun 2014 di kabupaten, kota, dan provinsi pada
beberapa wilayah secara agregat menunjukkan fakta sebagai berikut:
Grafik 1.5
Pembiayaan APBD 2014 Per Wilayah
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
Besarnya defisit APBD Tahun 2014 yang paling tinggi terjadi di wilayah Kalimantan, yaitu mencapai 20,52%. Untuk
menutup defisit tersebut, seluruh daerah di wilayah Kalimantan bisa menggunakan SiLPA tahun lalu dikarenakan persentase
-25% -20% -15% -10% -5% 0% 5% 10% 15% 20% 25%
Sumatera
Jawa-Bali
Kalimantan
Sulawesi
NT-Maluku-Papua
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi NT-Maluku-Papua
Pinjaman/Pendapatan 0,29% 0,14% 0,16% 0,89% 0,43%
SiLPA/Pendapatan 9,02% 8,85% 21,48% 3,78% 4,56%
Defisit/Pendapatan -8,18% -5,99% -20,52% -3,83% -3,79%
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
Besarnya defisit APBD Tahun 2014 yang paling tinggi terjadi di wilayah
Kalimantan, yaitu mencapai 20,52%. Untuk menutup defisit tersebut,
seluruh daerah di wilayah Kalimantan bisa menggunakan SiLPA tahun lalu
dikarenakan persentase SiLPA sudah melampaui defisit tersebut. Namun
demikian, bila dilihat dari rasio pinjaman daerah sekitar 0,16%, maka bisa
ditengarai bahwa tidak seluruh daerah itu mempunyai SiLPA yang besar
untuk menutup defisit anggarannya. Hal ini berarti bahwa bisa juga sebagian
10 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
daerah tersebut mengandalkan penerimaan pembiayaan dari pinjaman untuk
menutup defisit anggaran daerahnya.
Potret nilai agregat defisit anggaran yang secara langsung bisa ditutup
dengan SiLPA tahun sebelumnya juga terlihat di wilayah Sumatera, wilayah
Jawa dan Bali, dan wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Di wilayah
Sulawesi terlihat sedikit berbeda, dimana secara agregat rasio defisitnya
sebesar -3,83% akan tetapi SiLPA-nya hanya 3,78%, sehingga secara agregat
pinjaman daerah di wilayah tersebut mencapai 0,89%. Hal ini ditengarai
bahwa sebagian besar daerah memutuskan untuk melakukan pinjamam
sebagai upaya antisipasi apabila proyeksi pendapatan daerahnya tidak
tercapai. Di sisi yang lain sebagian daerah juga membuat kebijakan ekspansi
pembangunan dengan mengandalkan sumber pembiayaan berupa pinjaman
daerah.
Melihat dari besarnya ketergantungan daerah atas dana Transfer ke
Daerah serta besarnya resiko fiskal yang ditanggung oleh APBN, maka daerah
seyogyanya juga harus memasukkan berbagai resiko fiskal yang terkait dalam
proyeksi pendapatan maupun belanja daerah. Porsi Belanja Pegawai yang
masih tinggi berdampak terhadap berkurangnya alternatif untuk melakukan
efisiensi belanja daerah. Hal ini berarti daerah harus melakukan berbagai
upaya untuk meningkatkan PADnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Upaya optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU No. 28
Tahun 2009 lebih mengedepankan pada perluasan objek pajak, penambahan
jenis pajak baru secara limitatif, serta optimalisasi tarif pajak yang akan
dipungut berdasarkan diskresi masing-masing daerah.
Perkembangan anggaran pajak daerah dan retribusi daerah setiap
tahunnya menunjukkan trend peningkatan yang cukup besar. Apabila pada
tahun 2010 total pajak daerah secara nasional hanya sebesar Rp47,68
triliun, maka sejak diberlakukannya UU tersebut seluruh pemerintah daerah
pada tahun 2014 telah menganggarkan penerimaan dari pajak daerah sebesar
Rp132,93 triliun atau meningkat sebesar 178,80 persen. Begitu juga dengan
11Pendahuluan
retribusi daerah di mana pada tahun 2010 hanya sebesar Rp8,03 triliun lalu
mengalami peningkatan terus setiap tahunnya hingga di tahun 2014 menjadi
sebesar Rp13,21 triliun atau meningkat sebesar 64,51%.
C. Tren APBD (2010 – 2014)Tren APBD Tahun 2010-2014 yang telah dikonsolidasikan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Grafik 1.6
Trend APBD TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (diolah)
2010 2011 2012 2013 2014
Pendapatan 386.338 459.893 551.946 653.512 759.476
Belanja 426.857 495.274 592.660 707.890 817.674
Surplus/defisit (40.519) (35.381) (40.714) (54.378) (58.198)
Pembiayaan Netto 40.791 36.119 41.120 54.814 59.197
(200.000)
0
200.000
400.000
600.000
800.000
1.000.000
Mily
ar R
upia
h
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (diolah)
Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 2010-
2014, pendapatan daerah setiap tahunnya meningkat rata-rata sebesar
18,42%. Pendapatan Daerah di tahun 2014 menjadi 759,48 triliun, atau
meningkat sebesar Rp105,97 triliun (16,21%) dari tahun sebelumnya
Rp653,51 triliun. Dalam periode yang sama, trend anggaran belanja daerah
12 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
juga mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan
17,66%. Apabila Belanja Daerah pada tahun 2013 sebesar Rp707,89
triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi sebesar Rp817,67 triliun
(15,51%).
Selanjutnya, trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif.
Apabila dalam tahun 2010-2011 mengalami penurunan, maka setelah itu
hingga tahun 2014 terus mengalami peningkatan, di mana defisit anggaran
tahun 2014 meningkat 7,02%. Trend peningkatan pembiayaan netto
juga relatif sama polanya setiap tahun dengan trend defisit. Sementara itu
persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun
sebelumnya.
Grafik 1.7
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 2010-2014, pendapatan daerah setiap tahunnya
meningkat rata-rata sebesar 18,42%. Pendapatan Daerah di tahun 2014 menjadi 759,48 triliun, atau meningkat sebesar
Rp105,97 triliun (16,21%) dari tahun sebelumnya Rp653,51 triliun. Dalam periode yang sama, trend anggaran belanja daerah
juga mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan 17,66%. Apabila Belanja Daerah pada tahun 2013
sebesar Rp707,89 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi sebesar Rp817,67 triliun (15,51%).
Selanjutnya, trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif. Apabila dalam tahun 2010-2011 mengalami
penurunan, maka setelah itu hingga tahun 2014 terus mengalami peningkatan, dimana defisit anggaran tahun 2014 meningkat
7,02%. Trend peningkatan pembiayaan netto juga relatif sama polanya setiap tahun dengan trend defisit. Sementara itu
persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun sebelumnya.
Grafik 1.7
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada Grafik 1.7 diatas. Secara nasional porsi
Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila dibandingkan dengan
laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka pada
2010 2011 2012 2013 2014
PAD 71.852 90.393 112.745 140.328 180.347
Dana Perimbangan 292.281 327.368 380.984 433.213 482.221
Lain-lain Pend. Daerah yang Sah 22.205 42.132 58.218 79.971 96.908
0
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
Mily
ar R
upia
h
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
13Pendahuluan
Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada
Grafik 1.7 di atas. Secara nasional porsi Dana Perimbangan masih dominan
setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila
dibandingkan dengan laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh
daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka
pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp180,35 miliar rupiah. Secara rata-
rata, peningkatan PAD tahun 2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan
terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 28,52%.
Untuk Dana Perimbangan, secara nasional setiap tahunnya juga
mengalami peningkatan. Apabila Dana Perimbangan tahun 2010 baru
mencapai sebesar Rp292,28 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat
menjadi Rp482,22. Secara rata-rata, peningkatan Dana Perimbangan tahun
2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun
2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 11,31%.
Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga
menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara nasional Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21 triliun,
maka dalam kurun waktu 5 tahun hingga tahun 2014 terdapat peningkatan
rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah
mencapai Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang
Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya.
14 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 1.8
Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Pendapatan Daerah
per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
tahun 2014 meningkat menjadi Rp180,35 miliar rupiah. Secara rata-rata, peningkatan PAD tahun 2010 s.d. 2014 adalah
25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 28,52%.
Untuk Dana Perimbangan, secara nasional setiap tahunnya juga mengalami peningkatan. Apabila Dana Perimbangan
tahun 2010 baru mencapai sebesar Rp292,28 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp482,22. Secara rata-rata,
peningkatan Dana Perimbangan tahun 2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun
2014, yaitu meningkat 11,31%.
Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara
nasional Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21triliun, maka dalam kurun waktu 5 tahun
hingga tahun 2014 terdapat peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah mencapai
Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya.
Grafik 1.8
Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Pendapatan Daerah
per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Berdasarkan data trend tahun 2010-2014, juga dapat dilihat gambaran tingkat pertumbuhan total Pendapatan Daerah
beserta komponen utamanya, yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah per provinsi dapat
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
Beng
kulu
Papu
a
Mal
ut
Sultr
a
Kalte
ng
Mal
uku
Sum
bar
Babe
l
Sum
sel
Aceh
Riau
Kep.
Ria
u
Kalti
m
Jam
bi
Papu
a Ba
rat
Suls
el
NTB
DI Y
ogya
kart
a
Sulb
ar
Jaw
a Te
ngah NTT
Jaw
a Ti
mur
Goro
ntal
o
Sulte
ng
Sum
ut
Bali
Sulu
t
Kals
el
Lam
pung
Kalb
ar
Jaw
a Ba
rat
DKI J
akar
ta
Bant
en
PAD Dana Perimbangan
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Berdasarkan data trend tahun 2010-2014, juga dapat dilihat gambaran
tingkat pertumbuhan total Pendapatan Daerah beserta komponen utamanya,
yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah
per provinsi dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan
Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (22,98%), lalu diikuti
oleh Provinsi Banten (19,08%) dan Provinsi Jawa Barat (16,45%). Sementara
itu, rata-rata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah adalah di
Provinsi Kalimantan Timur (9,03%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,53%),
dan Provinsi Maluku (11,98%).
Apabila dilihat dari rata-rata pertumbuhan PAD tahun 2010-2014,
Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata PADnya paling tinggi,
yaitu mencapai 26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang
mencapai 25,74%, dan Provinsi Jawa Barat yang mencapai 22,33%. Untuk
daerah yang rata-rata pertumbuhan PADnya paling rendah adalah Provinsi
15Pendahuluan
Bengkulu yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi
Maluku Utara dengan capaian 6,83%.
Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun 2010-2014
cenderung lebih merata dan tidak berfluktuasi terlalu tajam, serta berada
dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana
Perimbangan tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah
dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi Kalimantan
Timur.
Grafik 1.9
Trend Belanja Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (22,98%), lalu
diikuti oleh Provinsi Banten (19,08%) dan Provinsi Jawa Barat (16,45%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Pendapatan
Daerah yang terendah adalah di Provinsi Kalimantan Timur (9,03%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,53%), dan Provinsi
Maluku (11,98%).
Apabila dilihat dari rata-rata pertumbuhan PAD tahun 2010-2014, Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata
PADnya paling tinggi, yaitu mencapai26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 25,74%, dan Provinsi
Jawa Barat yang mencapai 22,33%. Untuk daerah yang rata-rata pertumbuhan PADnya paling rendah adalah Provinsi Bengkulu
yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi Maluku Utara dengan capaian 6,83%.
Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun 2010-2014 cenderung lebih merata dan tidak
berfluktuasi terlalu tajam, serta berada dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan
tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi
Kalimantan Timur.
Grafik 1.9
Trend Belanja Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
2010 2011 2012 2013 2014
Belanja Pegawai 198.562 229.081 261.358 296.818 326.737
Belanja Barang dan jasa 82.007 104.116 122.422 148.171 182.523
Belanja Modal 96.179 113.523 137.525 175.808 213.670
Belanja Lain-lain 50.110 48.554 71.355 87.093 94.745
0
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000
Mily
ar R
upia
h
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Berdasarkan Grafik 1.9 maka dapat dilihat porsi tiap jenis Belanja Daerah
setiap tahun dan trend kenaikan/penurunannya antar tahun. Apabila dicermati
Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara nasional cenderung
16 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
terus meningkat dari tahun 2010 hingga tahun 2014. Total Belanja Pegawai
secara nasional tahun 2010 sebesar Rp198,56 miliar, meningkat menjadi
Rp326,74 miliar di tahun 2014, dengan rata-rata peningkatan Belanja
Pegawai mencapai 13,28%. Namun apabila dilihat dari persentasenya,
terdapat penurunan jumlah belanja pegawai sejak tahun 2011 hingga tahun
2014, secara berturut-turut dari yaitu 15,37%, 14,09%, 13,57%, dan
10,08%.
Sementara itu, besarnya Belanja Barang dan Jasa juga terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Jika pada tahun 2010 total Belanja Barang
dan Jasa secara nasional di kisaran Rp82,01 miliar, maka pada tahun 2014
meningkat menjadi Rp182,52 miliar rupiah. Peningkatan Belanja Barang dan
Jasa secara rata-rata dari tahun 2010 hingga 2014 adalah sebesar 22,19%.
Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, maka peningkatan
Belanja Barang dan Jasa secara agregat provinsi, kabupaten/kota cenderung
lebih fluktuatif. Jika pada tahun 2011 meningkat 26,96% dari tahun
sebelumnya, namun pada tahun 2012 menurun 17,58%, dan meningkat
kembali pada tahun 2013 sebesar 21,03%. Pada tahun 2014, persentase
peningkatan porsi Belanja Barang dan Jasa juga meningkat 23,18%, yang
berarti berada di atas rata-rata peningkatan dalam 5 tahun terakhir sebesar
22,19%.
Hal yang sama juga terjadi pada pos Belanja Modal. Dapat kita lihat,
dari trend Belanja Modal tahun 2010 hingga 2014. Jika Belanja Modal
pada pada tahun 2010 mencapai Rp96,18 miliar, maka pada tahun 2014
sudah mencapai Rp213,67 miliar, yang berarti secara rata-rata mengalami
peningkatan 22,14%. Namun demikian, apabila dilihat dari persentasenya,
peningkatan Belanja Modal lebih fluktuatif. Jika total Belanja Modal di tahun
2011 meningkat 18,03%, dan meningkat lagi tahun 2013 sebesar 27,84%,
namun pada tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 21,54%.
Dalam periode yang sama, Belanja Lain-Lain juga cenderung fluktuatif.
Pada tahun 2010 Belanja Lain-Lain secara total mencapai Rp50,11 miliar, dan
17Pendahuluan
mengalami penurunan menjadi Rp48,55 miliar di tahun 2011. Selanjutnya
pada tahun 2012, 2013, dan 2014 mengalami kenaikan sehingga masing-
masing menjadi Rp71,36 miliar, Rp87,09 miliar, dan Rp94,75 miliar. Secara
rata-rata peningkatan total Belanja Barang dan Jasa pada tahun 2010 hingga
2014 adalah sebesar 18,67%.
Grafik 1.10
Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Belanja Daerah
Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Berdasarkan Grafik 1.7 dapat dilihat mengenai gambaran rata-rata tingkat pertumbuhan total Belanja Daerah beserta
komponen utamanya yaitu Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2010 – 2014. Secara
agregat, rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (21,50%), lalu diikuti oleh
Provinsi Banten (19,14%) dan Provinsi Lampung (16,20%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan belanja daerah yang terendah
terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (8,77%), Provinsi Kalimantan Tengah (10,67%), dan Provinsi Bangka Belitung (10,77%).
Apabila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per tahunnya, maka secara berurutan yang
tertinggi adalah Provinsi Maluku Utara (13,16%), lalu diikuti oleh Provinsi Maluku (12,94%), dan Provinsi Sulawesi Tengah
(12,91%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai yang terendah secara berurutan terdapat di Provinsi
Kalimantan Timur (6,87%), Provinsi Kepulauan Riau (9,08%), dan Provinsi Sumatera Selatan (10,07%).
Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi
Bali (23,59%), dan Provinsi Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang
terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara
(13,42%).
Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu
diikuti oleh Provinsi DI Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Belanja
Modal yang terendah terdapat di Provinsi Bangka Belitung (5,39%), Provinsi Kalimantan Timur (7,55%), dan Provinsi Aceh
(7,80%). Khusus untuk belanja modal di Provinsi Aceh relatif terus menurun mengingat pembangunan infrastruktur sejak
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Kalti
m
Kalte
ng
Babe
l
Sum
bar
Mal
uku
Beng
kulu
Mal
ut
Sultr
a
Sulu
t
Aceh
Papu
a
Kep.
Ria
u
NTT
Goro
ntal
o
NTB
Kalb
ar
Kals
el
Sulte
ng
Suls
el
Sum
ut
Sulb
ar
Papu
a Ba
rat
Jam
bi
Riau
Jaw
a Ti
mur
Jaw
a Ba
rat
Jaw
a Te
ngah
DI Y
ogya
kart
a
Bali
Sum
sel
Lam
pung
Bant
en
DKI J
akar
ta
Belanja Pegawai Belanja Barang dan jasa Belanja Modal
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Berdasarkan Grafik 1.7 dapat dilihat mengenai gambaran rata-rata tingkat
pertumbuhan total Belanja Daerah beserta komponen utamanya yaitu Belanja
Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2010
– 2014. Secara agregat, rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang
tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (21,50%), lalu diikuti oleh Provinsi
Banten (19,14%) dan Provinsi Lampung (16,20%). Sementara itu rata-rata
pertumbuhan belanja daerah yang terendah terdapat di Provinsi Kalimantan
18 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Timur (8,77%), Provinsi Kalimantan Tengah (10,67%), dan Provinsi Bangka
Belitung (10,77%).
Apabila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per
tahunnya, maka secara berurutan yang tertinggi adalah Provinsi Maluku
Utara (13,16%), lalu diikuti oleh Provinsi Maluku (12,94%), dan Provinsi
Sulawesi Tengah (12,91%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan Belanja
Pegawai yang terendah secara berurutan terdapat di Provinsi Kalimantan
Timur (6,87%), Provinsi Kepulauan Riau (9,08%), dan Provinsi Sumatera
Selatan (10,07%).
Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi
terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi Bali (23,59%), dan Provinsi
Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang
dan Jasa yang terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi
Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara (13,42%).
Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi
terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu diikuti oleh Provinsi DI
Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, rata-
rata pertumbuhan Belanja Modal yang terendah terdapat di Provinsi Bangka
Belitung (5,39%), Provinsi Kalimantan Timur (7,55%), dan Provinsi Aceh
(7,80%). Khusus untuk belanja modal di Provinsi Aceh relatif terus menurun
mengingat pembangunan infrastruktur sejak terjadinya tsunami di Provinsi
Aceh lebih didominasi dari bantuan hibah yang masuk pada kelompok Lain-
lain Pendapatan Daerah yang sah.
19Pendahuluan
Tabel 1.3
Rata-rata pertumbuhan (2010 – 2014) SiLPA
Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
No Se-Provinsi SiLPA (%) No Se-Provinsi SiLPA (%)
1 Prov. Bangka Belitung -20,47% 18 Prov. Sulawesi Tengah 5,56%
2 Prov. Sumatera Barat -20,38% 19 Prov. Jawa Timur 5,68%
3 Prov. Lampung -18,65% 20 Prov. Bengkulu 8,20%
4 Prov. Nusa Tenggara Timur -15,74% 21 Prov. Sulawesi Utara 9,91%
5 Prov. Sulawesi Tenggara -15,48% 22 Prov. Maluku Utara 10,57%
6 Prov. Papua -9,13% 23 Prov. Kalimantan Timur 10,66%
7 Prov. Aceh -9,09% 24 Prov. Jawa Tengah 11,68%
8 Prov. Sumatera Utara -7,34% 25 Prov. Kalimantan Selatan 12,61%
9 Prov. Kepulauan Riau -5,62% 26 Prov. Sumatera Selatan 13,91%
10 Prov. Sulawesi Selatan -4,53% 27 Prov. Jambi 14,53%
11 Prov. Nusa Tenggara Barat -4,37% 28 Prov. Maluku 15,35%
12 Prov. Jawa Barat -3,54% 29 Prov. Bali 15,88%
13 Prov. Kalimantan Tengah -0,13% 30 Prov. Banten 21,00%
14 Prov. DI Yogyakarta 1,80% 31 Prov. Riau 22,78%
15 Prov. Papua Barat 1,93% 32 Prov. DKI Jakarta 28,99%
16 Prov. Gorontalo 3,29% 33 Prov. Sulawesi Barat 41,73%
17 Prov. Kalimantan Barat 5,37% 34 Prov. Kalimantan Utara n/a
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Di sisi Pembiayaan Daerah, bisa dilihat gambaran mengenai rata-rata
pertumbuhan SiLPA Daerah agregat provinsi, kabupaten dan kota dalam
kurun waktu 2010-2014. Rata-rata pertumbuhan SiLPA yang terendah
terdapat di Provinsi Bangka Belitung yaitu (-20,47%), yang diikuti oleh
Provinsi Sumatera Barat (-20,38%), dan Provinsi Lampung (-18,65%).
Kecenderungan pertumbuhan SiLPA yang negatif setiap tahunnya bisa
diartikan bahwa dalam proses perencanaan anggaran secara keseluruhan,
Pemerintah Daerah di provinsi tersebut lebih mengedepankan prinsip kehati-
20 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
hatian dalam melakukan estimasi terhadap sumber pendanaan yang akan
diterima pada saat anggaran tahun berjalan atau mengindikasikan daerah
tersebut sudah semakin mengoptimalkan pos SiLPAnya dalam anggaran.
Sementara itu, daerah dengan rata-rata pertumbuhan SiLPA tertinggi
adalah Provinsi Sulawesi Barat (41,73%), Provinsi DKI Jakarta (28,99%),
dan Provinsi Riau (22,78%). Kecenderungan ini bisa diartikan bahwa
pemerintah daerah di provinsi tersebut lebih optimis terhadap estimasi dana
yang akan diterima pada tahun anggaran berjalan, namun tidak berani
mengalokasikannya dalam jenis belanja untuk mendanai kegiatan layanan
publik di dalam APBD-nya.
Di sisi lain, pinjaman daerah belum mempunyai peran yang cukup kuat
dalam pembiayaan daerah. Hal ini disebabkan karena SiLPA di daerah relatif
masih cukup tinggi, sehingga daerah cenderung akan menutup defisit dari
SiLPA, yang notabene merupakan dana dari internal yang bersifat jangka
pendek. Selain itu, masih kompleksnya pengajuan dan administrasi pinjaman
daerah juga menjadi salah satu faktor belum berkembangnya pinjaman daerah
dalam mendanai APBD.
21Analisa Pendapatan Daerah
bAb II ANAlISIS PENDAPATAN DAERAH
Desentralisasi fiskal di Indonesia pada dasarnya menekankan pada
expenditure assignment, yang ditandai dengan pembagian urusan pada
berbagai tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang
terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Dalam mendanai pelaksanaan urusan
tersebut, terdapat dua sumber pendanaan utama, yaitu Pendapatan Asli
Daerah dan Transfer ke Daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah,
Hasil Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD. Perkembangan
PAD dari sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001 hingga tahun
2014 dapat dilihat pada grafik 2.1. Jika pada tahun pertama pelaksanaan
desentralisasi fiskal PAD meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi Rp15,2
triliun dari sebelumnya Rp5,5 triliun, maka pada tahun 2014 sudah
mencapai Rp180,3 triliun, yang berarti meningkat hampir 12 kali lipat. Dari
keempat komponen PAD tersebut, peran Pajak Daerah sangat signifikan,
terlihat dari total Pajak Daerah tahun 2014 untuk seluruh pemerintah daerah
mencapai sebesar Rp132,9 triliun, atau 73,7% dari total PAD. Peningkatan
PAD ini didorong antara lain oleh adanya kebijakan penguatan kewenangan
perpajakan daerah, pertumbuhan ekonomi, upaya penggalian PAD oleh
daerah, dan jumlah daerah.
22 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 2.1
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
BAB II
ANALISIS PENDAPATAN DAERAH
Desentralisasi fiskal di Indonesia pada dasarnya menekankan pada expenditure assignment, yang ditandai dengan
pembagian urusan pada berbagai tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang terdiri dari urusan wajib
dan pilihan. Dalam mendanai pelaksanaan urusan tersebut, terdapat dua sumber pendanaan utama, yaitu Pendapatan Asli
Daerah dan Transfer ke Daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Kekayaan Daerah yang Dipisahkan,
dan Lain-lain PAD. Perkembangan PAD dari sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001 hingga tahun 2014 dapat
dilihat pada grafik 2.1.Jika pada tahun pertama pelaksanaan desentralisasi fiskal PAD meningkat lebih dari dua kali lipat
menjadi Rp15,2 triliun dari sebelumnya Rp5,5 triliun, maka pada tahun 2014 sudah mencapai Rp180,3 triliun, yang berarti
meningkat hampir 12 kali lipat. Dari keempat komponen PAD tersebut, peran Pajak Daerah sangat signifikan, terlihat dari total
Pajak Daerah tahun 2014 untuk seluruh pemerintah daerah mencapai sebesar Rp132,9 triliun, atau 73,7% dari total PAD.
Peningkatan PAD ini didorong antara lain oleh adanya kebijakan penguatan kewenangan perpajakan daerah, pertumbuhan
ekonomi, upaya penggalian PAD oleh daerah, dan jumlah daerah.
Grafik 2.1
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
Sumber: DJPK, (diolah)
7,1 5,515,2 21,5 26 26,7
38,1 44,752,2
64,7 67,681,2
109,2
131,8140,3
180,3
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
1999
/200
0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Rp
Trili
un
Sebe
lum
Des
entr
alis
asi F
iska
l Desentralisasi Fiskal
UU 28/2009UU 34/2000
Sumber: DJPK, (diolah)
Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, penguatan perpajakan daerah dilakukan, antara lain melalui
pemberian diskresi penetapan tarif dan pendaerahan beberapa jenis pajak
baru seperti Pajak Rokok, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan – Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2).
Outcome dari perubahan kebijakan penguatan perpajakan daerah tersebut
terlihat dari peningkatan PAD mulai tahun 2010 sampai dengan 2014 yang
mencapai 22,1% secara rata-rata.
Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan dan sesuai
dengan prinsip money follows function, pemerintah pusat setiap tahunnya
mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Seiring
dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN, jumlah dana
yang ditransfer ke daerah selalu meningkat setiap tahunnya, terakhir pada
tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp592,5 triliun. Dana Transfer ke Daerah
dalam APBD diklasifikasikan ke dalam Dana Perimbangan untuk Dana Bagi
Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK),
serta Lain-Lain Pendapatan yang Sah untuk Dana Otonomi Khusus, Dana
23Analisa Pendapatan Daerah
Keistimewaan, dan Dana Penyesuaian. Perkembangan Transfer ke Daerah dari
sebelum pelaksanaan desentralisasi sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat
pada grafik 2.2 di bawah ini.
Grafik 2.2
Perkembangan Transfer ke Daerah
Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penguatan perpajakan daerah dilakukan,
antara lain melalui pemberian diskresi penetapan tarif dan pendaerahan beberapa jenis pajak baru seperti Pajak Rokok, Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan – Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2).
Outcome dari perubahan kebijakan penguatan perpajakan daerah tersebut terlihat dari peningkatan PAD mulai tahun 2010
sampai dengan 2014 yang mencapai 22,1% secara rata-rata.
Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan dan sesuai dengan prinsip money follows function,
pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Seiring dengan
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN, jumlah dana yang ditransfer ke daerah selalu meningkat setiap tahunnya,
terakhir pada tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp592,5 triliun. Dana Transfer ke Daerah dalam APBD diklasifikasikan kedalam
Dana Perimbangan untuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Lain-Lain
Pendapatan yang Sah untuk Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan, dan Dana Penyesuaian. Perkembangan Transfer ke
Daerah dari sebelum pelaksanaan desentralisasi sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat pada grafik 2.2 di bawah ini.
Grafik 2.2
Perkembangan Transfer ke Daerah
Sumber: DJPK, (diolah)
Jika dilihat dari proporsi antara besaran PAD dan Transfer ke Daerah, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah
relatif masih tergantung kepada dana dari pemerintah pusat, kecuali beberapa daerah yang memiliki potensi PAD yang besar
seperti DKI Jakarta. Data APBD Tahun 2014 menunjukkan rata-rata secara agregat komposisi dana transfer dalam pendapatan
daerah mencapai 81,6%. Fenomena ini perlu dikaji, karena jika dilihat berdasarkan data yang ada, potensi ekonomi yang dimilik i
22,9 33,982,4 98,5 116,9 130 149,58
226,2253,3
292,4 308,6344,7
411,3
478,8529,4
592,5
0
100
200
300
400
500
600
700
1999
/200
0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Rp tr
iliun
Desentralisasi Fiskal
Sebe
lum
Des
entr
alis
asi F
iska
l
Sumber: DJPK, (diolah)
Jika dilihat dari proporsi antara besaran PAD dan Transfer ke Daerah, maka
dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah relatif masih tergantung kepada
dana dari pemerintah pusat, kecuali beberapa daerah yang memiliki potensi
PAD yang besar seperti DKI Jakarta. Data APBD Tahun 2014 menunjukkan
rata-rata secara agregat komposisi dana transfer dalam pendapatan daerah
mencapai 81,6%. Fenomena ini perlu dikaji, karena jika dilihat berdasarkan
data yang ada, potensi ekonomi yang dimiliki daerah untuk mengembangkan
PAD masih cukup besar, namun potensi-potensi tersebut belum dapat
dimanfaatkan dengan baik.
Dalam tulisan ini akan dicoba untuk memberikan gambaran kondisi
pendapatan daerah yang tercermin dalam APBD. Beberapa indikator yang
akan digunakan dalam analisis ini yaitu rasio pajak daerah, rasio pajak per
kapita, rasio ruang fiskal daerah, dan rasio ketergantungan daerah. Setiap
24 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
perhitungan rasio akan dibagi ke dalam 5 jenis, yaitu perhitungan rasio
secara nasional (agregat pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan
pemerintah kota), rasio seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah
kota dalam satu provinsi, rasio pemerintah provinsi, dan rasio per wilayah
(pembagian 5 wilayah yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali, Sulawesi,
serta dan Nusa Tenggara, Maluku, Papua). Untuk rasio pajak terhadap PDRB,
mengingat terdapat keterbatasan data untuk Provinsi Kalimantan Utara maka
penghitungan masih digabungkan dengan provinsi induknya yaitu Provinsi
Kalimantan Timur. Selanjutnya, pada bagian terakhir analisis ini, juga akan
dibahas mengenai deviasi antara besaran Dana Perimbangan (DBH, DAU,
dan DAK) yang dicantumkan dalam APBD dengan besaran alokasi Dana
Perimbangan sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Keuangan untuk
melihat sejauh mana informasi transfer ke daerah yang disampaikan oleh
pemerintah pusat diakomodir dalam APBD.
A. Rasio Pajak (Tax Ratio)Kebijakan pajak daerah yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009
mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menerapkan closed list system
untuk jenis pajak daerah yang dapat dikelola oleh pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten dan kota. Pemerintah provinsi diberi kewenangan
untuk memungut 5 jenis pajak dan pemerintah kabupaten dan kota diberi
kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak. Salah satu kebijakan baru
dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah adanya PBB-P2 dan BPHTB dari
pusat ke daerah. Dengan adanya pengalihan kewenangan pemungutan kedua
pajak tersebut kepada daerah, diharapkan akan menambah peluang bagi
daerah untuk melakukan pemungutan secara lebih optimal.
Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan
perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB)
suatu negara dalam satu tahun. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan
perbandingan antara jumlah penerimaan pajak daerah dengan PDRB. Rasio
25Analisa Pendapatan Daerah
pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam
membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak
yang dimiliki.
PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah karena dapat
menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi
daerah baik tentunya akan menjadi potensi penerimaan pajak di wilayah
tersebut. PDRB yang akan digunakan dalam analisis ini adalah PDRB atas
dasar harga berlaku yang merupakan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun. Nilai PDRB ini pada
umumnya digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi yang terjadi
di suatu wilayah.
Perhitungan rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia akan memberikan
gambaran hubungan antara penerimaan pajak daerah di wilayah tersebut
dengan PDRB-nya, menilai kondisi suatu daerah, dan membandingkannya
dengan daerah lain.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 2.3 menunjukkan rasio pajak secara agregat provinsi, kabupaten
dan kota pada 33 provinsi seluruh Indonesia. Secara agregat, rata-rata pajak
yang bisa dipungut oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten
dan kota hanya 1,9% dari PDRB non migas.
Provinsi Bali memiliki rasio pajak tertinggi, yaitu sebesar 5,3%.
Pencapaian tersebut terutama karena didukung oleh posisi Bali sebagai daerah
tujuan wisata, sehingga memiliki basis pajak yang cukup besar terutama yang
terkait dengan hotel, restoran dan sarana hiburan lainnya. Sementara itu,
provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Riau dan
Provinsi Papua Barat, yaitu masing-masing hanya 0,5%.
Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak
daerah memang terbatas (closed list). Sumber penerimaan pajak daerah yang
26 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
berlaku saat ini cenderung bias ke daerah yang tingkat urbanisasinya tinggi
(urban-biased), seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Kendaraan
Bermotor.
Grafik 2.3
Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Perhitungan rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia akan memberikan gambaran hubungan antara penerimaan
pajak daerah di wilayah tersebut dengan PDRB-nya, menilai kondisi suatu daerah, dan membandingkannya dengan daerah lain.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 2.3 menunjukkan rasio pajak secara agregat provinsi, kabupaten dan kota pada 33 provinsi seluruh Indonesia.
Secara agregat, rata-rata pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota hanya
1,9% dari PDRB non migas.
Provinsi Bali memiliki rasio pajak tertinggi, yaitu sebesar 5,3%. Pencapaian tersebut terutama karena didukung oleh
posisi Bali sebagai daerah tujuan wisata, sehingga memiliki basis pajak yang cukup besar terutama yang terkait dengan hotel,
restoran dan sarana hiburan lainnya. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Riau dan
Provinsi Papua Barat, yaitu masing-masing hanya 0,5%.
Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak daerah memang terbatas (closed list). Sumber
penerimaan pajak daerah yang berlaku saat ini cenderung bias ke daerah yang tingkat urbanisasinya tinggi (urban-biased),
seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Kendaraan Bermotor.
Grafik 2.3
Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah), (*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara
*
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
(*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara
Berdasarkan data rasio pajak di seluruh provinsi, diperoleh gambaran
bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara nasional adalah 1,9%. Provinsi
yang memiliki rasio pajak diatas rata-rata nasional sebanyak 12 provinsi
sebagaimana terlihat pada grafik diatas.
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Grafik 2.4 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten
dan kota untuk masing-masing wilayah provinsi. Rata-rata pajak yang bisa
dipungut oleh pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia sebesar 0,53%
dari PDRB non migasnya. Rasio ini meningkat dari tahun sebelumnya yang
hanya mencapai 0,37%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perluasan objek
27Analisa Pendapatan Daerah
pajak dan pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU
28 Tahun 2009 telah memberikan efek positif kepada penguatan perpajakan
daerah. Rasio pajak pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Bali
menunjukkan angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 3,4%. Sebagai daerah
tujuan wisata, sumber penerimaan pajak daerah di Bali berasal dari sektor
pariwisata seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan, sehingga
potensi penerimaan pajaknya menjadi lebih tinggi dibanding daerah lain.
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten
dan kota se-Provinsi Papua Barat dan Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,1%.
Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan
pajak daerah kabupaten dan kota. Potensi penerimaan yang tinggi di Provinsi
Papua Barat dan Riau adalah dari sektor pertambangan, yang merupakan
sumber penerimaan Negara, dan selanjutnya akan menjadi sumber
pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) yang dalam rasio ini
tidak dihitung.
Grafik 2.4
Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan KotaSe-Provinsi *)
Berdasarkan data rasio pajak di seluruh provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara
nasional adalah1,9%. Provinsi yang memiliki rasio pajak diatas rata-rata nasional sebanyak 12 provinsi sebagaimana terlihat
pada grafik diatas.
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Grafik 2.4 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk masing-masing wilayah provinsi.
Rata-rata pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia sebesar 0,53% dari PDRB non migasnya.
Rasio ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,37%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perluasan objek
pajak dan pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU 28 Tahun 2009 telah memberikan efek positif
kepada penguatan perpajakan daerah. Rasio pajak pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Bali menunjukkan angka yang
paling tinggi, yaitu sebesar 3,4%. Sebagai daerah tujuan wisata, sumber penerimaan pajak daerah di Bali berasal dari sektor
pariwisata seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan, sehingga potensi penerimaan pajaknya menjadi lebih tinggi
dibanding daerah lain.
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Papua Barat dan
Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,1%. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan pajak daerah
kabupaten dan kota. Potensi penerimaan yang tinggi di Provinsi Papua Barat dan Riau adalah dari sektor pertambangan, yang
merupakan sumber penerimaan Negara,dan selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH
SDA) yang dalam rasio ini tidak dihitung.
Grafik 2.4
Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan KotaSe-Provinsi *)
Sumber: APBD 2014 (Diolah), Tidak termasuk DKI Jakarta, *)termasuk Provinsi Kalimantan Utara
*
Sumber: APBD 2014 (Diolah), Tidak termasuk DKI Jakarta
*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara
28 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
3. Pemerintah Provinsi
Grafik 2.5
Rasio Pajak Pemerintah Provinsi
3. Pemerintah Provinsi
Grafik 2.5
Rasio Pajak Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah)*)termasuk Provinsi Kalimantan Utara
Grafik 2.5 memperlihatkan rata-rata pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi sebesar 1,4% dari PDRB non
migas. Untuk seluruh pemerintah provinsi di Indonesia, rasio pajak tertinggi dicapai oleh Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu
sebesar 3,1%. Tingginya rasio pajak provinsi Kalimantan Selatan ini menarik untuk dikaji, mengingat rasio pajak Provinsi
Kalimantan Selatan tahun 2014 mampu melampaui Provinsi DKI Jakarta.
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat di Provinsi Papua Barat dan Provinsi Riau (0,4%). Hasil ini menunjukkan
bahwa kemampuan untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah di kedua provinsi tersebut belum optimal mengingat jumlah
pajak yang bisa dipungut dari potensi basis pajak yang ada masih rendah.
4. Per Wilayah
Berdasarkan pembagian 5 wilayah di Indonesia, secara rata-rata rasio pajak per wilayah sebesar 1,97%. Dengan
mengeluarkan Provinsi DKI Jakarta dalam perhitungan, rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali merupakan wilayah yang rasio
pajaknya paling tinggi dibandingkan 4 wilayah lainnya, yaitu sebesar 2,6%, sedangkan wilayah dengan rasio pajak terendah
sebesar 1,37% terdapat di wilayah Sumatera.
Grafik 2.6
Rasio Pajak per Wilayah*)
*
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*)termasuk Provinsi Kalimantan Utara
Grafik 2.5 memperlihatkan rata-rata pajak yang dipungut oleh pemerintah
provinsi sebesar 1,4% dari PDRB non migas. Untuk seluruh pemerintah
provinsi di Indonesia, rasio pajak tertinggi dicapai oleh Provinsi Kalimantan
Selatan, yaitu sebesar 3,1%. Tingginya rasio pajak provinsi Kalimantan
Selatan ini menarik untuk dikaji, mengingat rasio pajak Provinsi Kalimantan
Selatan tahun 2014 mampu melampaui Provinsi DKI Jakarta.
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat di Provinsi Papua Barat
dan Provinsi Riau (0,4%). Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk
meningkatkan penerimaan pajak daerah di kedua provinsi tersebut belum
optimal mengingat jumlah pajak yang bisa dipungut dari potensi basis pajak
yang ada masih rendah.
29Analisa Pendapatan Daerah
4. Per Wilayah
Berdasarkan pembagian 5 wilayah di Indonesia, secara rata-rata rasio
pajak per wilayah sebesar 1,97%. Dengan mengeluarkan Provinsi DKI
Jakarta dalam perhitungan, rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali merupakan
wilayah yang rasio pajaknya paling tinggi dibandingkan 4 wilayah lainnya,
yaitu sebesar 2,6%, sedangkan wilayah dengan rasio pajak terendah sebesar
1,37% terdapat di wilayah Sumatera.
Grafik 2.6
Rasio Pajak per Wilayah*)
Sumber: APBD 2014 (Diolah),
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
B. Pajak per Kapita (Tax perCapita)
Pajak per kapita (tax per capita) belum banyak digunakan dalam menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai
sumber Pendapatan Daerah.Namun begitu, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif dalam menghitung efektifitas
pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu
daerah dengan jumlah penduduknya, yang berarti pula menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah.
Menurut Gregory N. Mankiw1, rasio pajak per PDB merupakan ukuran yang paling umum digunakan. Namun demikian,
semakin tinggi tingkat persentase pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga ukuran tersebut dapat
terlihat bias. Untuk tujuan tertentu (misalnya statistik yang lebih baik), pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan.
Pajak per kapita dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita, sehingga diperoleh pajak/PDRB x
PDRB/personal=pajak / personal.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Rata-rata rasio pajak per kapita secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota) sebesar Rp496.217,00. Provinsi
DKI Jakarta memiliki rasio pajak per kapita tertinggi, yaitu sebesar Rp3.189.570,00, yang berarti bahwa secara rata-rata setiap
1http://gregmankiw.blogspot.com/2010/03/taxes-per-person.html
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
B. Pajak per Kapita (Tax per Capita)Pajak per kapita (tax per capita) belum banyak digunakan dalam
menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai sumber Pendapatan Daerah.
Namun begitu, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif dalam
menghitung efektifitas pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan
perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah
dengan jumlah penduduknya, yang berarti pula menunjukkan kontribusi
setiap penduduk pada pajak daerah.
30 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Menurut Gregory N. Mankiw, rasio pajak per PDB merupakan ukuran yang
paling umum digunakan. Namun demikian, semakin tinggi tingkat persentase
pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga ukuran
tersebut dapat terlihat bias. Untuk tujuan tertentu (misalnya statistik yang
lebih baik), pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan. Pajak per
kapita dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita,
sehingga diperoleh pajak/PDRB x PDRB/personal=pajak / personal.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Rata-rata rasio pajak per kapita secara nasional (agregat provinsi,
kabupaten dan kota) sebesar Rp496.217,00. Provinsi DKI Jakarta memiliki
rasio pajak per kapita tertinggi, yaitu sebesar Rp3.189.570,00, yang berarti
bahwa secara rata-rata setiap penduduk yang ada di Provinsi DKI Jakarta
memberikan kontribusi melebihi Rp3,1 juta untuk Pendapatan Daerah melalui
pajak daerah.
Sementara itu, Provinsi Kalimantan Utara sebagai daerah otonom baru
memiliki rasio pajak per kapita sebesar Rp70.189,00, dan merupakan yang
terendah dibandingkan dengan 33 provinsi lainnya di Indonesia. Selanjutnya,
pada grafik 2.7, terlihat masih banyak daerah yang rasio pajak per kapitanya
berada di bawah rata-rata nasional. Hanya 7 (tujuh) provinsi yang rasio pajak
per kapitanya berada di atas rata-rata nasional, yaitu Provinsi DKI Jakarta,
Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Bali, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi
Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Banten.
31Analisa Pendapatan Daerah
Grafik 2.7
Rasio Pajak per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
penduduk yang ada di Provinsi DKI Jakarta memberikan kontribusi melebihi Rp3,1 juta untuk Pendapatan Daerah melalui pajak
daerah.
Sementara itu, Provinsi Kalimantan Utara sebagai daerah otonom baru memiliki rasio pajak per kapita sebesar
Rp70.189,00, dan merupakan yang terendah dibandingkan dengan 33 provinsi lainnya di Indonesia. Selanjutnya, pada grafik 2.7,
terlihat masih banyak daerah yang rasio pajak per kapitanya berada di bawah rata-rata nasional. Hanya 7 (tujuh) provinsi yang
rasio pajak per kapitanya berada di atas rata-rata nasional, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi
Bali, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Banten.
Grafik 2.7
Rasio Pajak per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio pajak per kapita pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam satu provinsi dapat dilihat pada grafik 2.8.
Rasio tersebut menunjukkan nilai total pajak daerah seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam satu provinsi
dibagi dengan total seluruh penduduk di provinsi tersebut. Dalam perhitungan rasio ini, Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan.
Rasio pajak per kapita tertinggi terdapat di Provinsi Bali, yaitu sebesar Rp683.557,00. Sementara itu, Provinsi Nusa
Tenggara Timur memiliki rasio terendah yaitu sebesar Rp37.548,00. Besaran nilai rasio tergantung pada basis pajak yang
dimiliki masing-masing daerah, serta jumlah penduduk di daerah tersebut.
Grafik 2.8
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio pajak per kapita pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam
satu provinsi dapat dilihat pada grafik 2.8. Rasio tersebut menunjukkan nilai
total pajak daerah seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam
satu provinsi dibagi dengan total seluruh penduduk di provinsi tersebut. Dalam
perhitungan rasio ini, Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan.
Rasio pajak per kapita tertinggi terdapat di Provinsi Bali, yaitu sebesar
Rp683.557,00. Sementara itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki rasio
terendah yaitu sebesar Rp37.548,00. Besaran nilai rasio tergantung pada
basis pajak yang dimiliki masing-masing daerah, serta jumlah penduduk di
daerah tersebut.
32 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 2.8
Rasio Tax per Kapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-Provinsi *)
Rasio Tax per Kapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2014 (Diolah),Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Pajak per kapita pada seluruh pemerintah provinsi sebagaimana pada grafik 2.9 menunjukkan bahwa Provinsi DKI
Jakarta merupakan daerah yang memiliki pajak per kapita terbesar, sama dengan pajak per kapita pada agregat provinsi,
kabupaten dan kota yaitu sebesar Rp3.189.570,00 per kapita. Sementara itu dua provinsi yang memiliki rasio per kapita
terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp105.087,00, dan Provinsi Kalimantan Utara yang sampai tahun 2014
belum menganggarkan penerimaan dari pajak daerah, sehingga rasio pajak per kapita masih nol. Kondisi tersebut menunjukkan
ketimpangan yang cukup besar antara rasio yang tertinggi dan terendah. Rata-rata rasio pajak per kapita pemerintah provinsi
sebesar Rp380.522,00, dimana sebagian besar diantaranya berada di bawah rata-rata nasional. Dari keseluruhan provinsi,
terdapat 28 provinsi yang memiliki rasio pajak per kapita di bawah rata-rata nasional, dan hanya 6 provinsi yang berada di atas
rata-rata nasional.
Grafik 2.9
Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*)Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Pajak per kapita pada seluruh pemerintah provinsi sebagaimana pada
grafik 2.9 menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah
yang memiliki pajak per kapita terbesar, sama dengan pajak per kapita
pada agregat provinsi, kabupaten dan kota yaitu sebesar Rp3.189.570,00
per kapita. Sementara itu dua provinsi yang memiliki rasio per kapita
terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp105.087,00, dan
Provinsi Kalimantan Utara yang sampai tahun 2014 belum menganggarkan
penerimaan dari pajak daerah, sehingga rasio pajak per kapita masih nol.
Kondisi tersebut menunjukkan ketimpangan yang cukup besar antara rasio
yang tertinggi dan terendah. Rata-rata rasio pajak per kapita pemerintah
provinsi sebesar Rp380.522,00, dimana sebagian besar diantaranya berada
di bawah rata-rata nasional. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 28 provinsi
yang memiliki rasio pajak per kapita di bawah rata-rata nasional, dan hanya 6
provinsi yang berada di atas rata-rata nasional.
33Analisa Pendapatan Daerah
Grafik 2.9
Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
Grafik 2.10 memperlihatkan rasio pajak per kapita per wilayah, dengan rasio tertinggi berada di wilayah Kalimantan
yang mencapai sebesar Rp616.227 per kapita, dan rasio terendah di berada wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar
Rp224.888 per kapita. Sementara itu, rata-rata rasio pajak per kapita per wilayah sebesar Rp423.495, dan hanya wilayah
Kalimantan yang memiliki rasio diatas rata-rata nasional. Untuk wilayah Jawa dan Bali hanya memiliki rasio sebesar Rp558.481.
Jika memasukkan Provinsi DKI Jakarta ke dalam perhitungan, maka rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali menjadi Rp934.351 per
kapita. Terkait dengan tingginya rasio pajak per kapita di Kalimantan, hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah penduduk
yang menjadi pembagi rasio tersebut. Sementara itu, besarnya rasio pajak per kapita di wilayah Jawa dan Bali disebabkan oleh
banyaknya jumlah penerimaan pajak daerah yang diimbangi dengan banyaknya jumlah penduduk.
Grafik 2.10
Rasio Tax per Kapita Per Wilayah*)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
Grafik 2.10 memperlihatkan rasio pajak per kapita per wilayah, dengan
rasio tertinggi berada di wilayah Kalimantan yang mencapai sebesar
Rp616.227 per kapita, dan rasio terendah di berada wilayah Nusa Tenggara,
Maluku, dan Papua sebesar Rp224.888 per kapita. Sementara itu, rata-rata
rasio pajak per kapita per wilayah sebesar Rp423.495, dan hanya wilayah
Kalimantan yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Untuk wilayah
Jawa dan Bali hanya memiliki rasio sebesar Rp558.481. Jika memasukkan
Provinsi DKI Jakarta ke dalam perhitungan, maka rasio pajak di wilayah Jawa
dan Bali menjadi Rp934.351 per kapita. Terkait dengan tingginya rasio pajak
per kapita di Kalimantan, hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah
penduduk yang menjadi pembagi rasio tersebut. Sementara itu, besarnya
rasio pajak per kapita di wilayah Jawa dan Bali disebabkan oleh banyaknya
jumlah penerimaan pajak daerah yang diimbangi dengan banyaknya jumlah
penduduk.
34 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 2.10
Rasio Tax per Kapita Per Wilayah*)
Sumber: APBD 2014(Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta
C. Ruang Fiskal (Fiscal Space)
Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah
dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki
suatu daerah, maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan
belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, seperti pembangunan infrastruktur daerah.
Ruang fiskal daerah diperoleh dengan menghitung total Pendapatan Daerah dikurangi dengan pendapatan hibah,
pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian serta
Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya mengikat, yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi dengan
total pendapatannya.
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja rutin
(Belanja Pegawai). Memperbesar ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus
perekonomian daerah. Untuk itu, Pemerintah Daerah diharapkan dapat membuat kebijakan yang mampu menciptakan iklim
perekonomian yang kondusif. Selain itu, efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran di daerah juga dapat mendukung
terciptanya ruang fiskal.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 2.11 menunjukkan ruang fiskal secara agregat provinsi, kabupaten dan kota. Dari keseluruhan 34 provinsi,
Provinsi DKI Jakarta mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 60,64%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi DKI Jakarta
karena didukung oleh tingginya PAD yang mencapai 61,13% dari total pendapatan. Dengan ruang fiskal sebesar itu, belanja
modal yang dianggarkan pada APBD cukup besar yaitu mencapai 44,75% dari total anggaran belanja daerah.
Sumber: APBD 2014(Diolah),
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
C. Ruang Fiskal (Fiscal Space)Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur
fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD
untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar
ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah, maka akan semakin besar pula
fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan
belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, seperti
pembangunan infrastruktur daerah.
Ruang fiskal daerah diperoleh dengan menghitung total Pendapatan
Daerah dikurangi dengan pendapatan hibah, pendapatan yang sudah
ditentukan penggunaannya (earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus
dan Dana Penyesuaian serta Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya
mengikat, yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi
dengan total pendapatannya.
35Analisa Pendapatan Daerah
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar
anggaran digunakan untuk belanja rutin (Belanja Pegawai). Memperbesar
ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi
stimulus perekonomian daerah. Untuk itu, Pemerintah Daerah diharapkan
dapat membuat kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian
yang kondusif. Selain itu, efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran di
daerah juga dapat mendukung terciptanya ruang fiskal.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 2.11 menunjukkan ruang fiskal secara agregat provinsi, kabupaten
dan kota. Dari keseluruhan 34 provinsi, Provinsi DKI Jakarta mempunyai
ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 60,64%. Tingginya ruang fiskal di
Provinsi DKI Jakarta karena didukung oleh tingginya PAD yang mencapai
61,13% dari total pendapatan. Dengan ruang fiskal sebesar itu, belanja modal
yang dianggarkan pada APBD cukup besar yaitu mencapai 44,75% dari total
anggaran belanja daerah.
Sementara itu, Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu
21,63%. Rendahnya ruang fiskal di Provinsi Aceh karena porsi Pendapatan
dari Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian pemerintah daerah se
Provinsi Aceh cukup besar, yaitu 31,24% dari total Pendapatan Daerah,
sehingga ruang fiskal yang tersisa sangat kecil karena pendapatan tersebut
telah dibatasi penggunaannya. Dengan demikian, Provinsi Aceh harus
memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah
yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
36 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 2.11
Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Sementara itu, Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu 21,63%. Rendahnya ruang fiskal di Provinsi Aceh
karena porsi Pendapatan dari Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian pemerintah daerah se Provinsi Acehcukup besar,
yaitu 31,24% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang tersisa sangat kecil karena pendapatan tersebut telah
dibatasi penggunaannya. Dengan demikian, Provinsi Aceh harus memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan
Belanja Daerah yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
Grafik 2.11
Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
Secara agregat, rata-rata ruang fiskal seluruh pemerintah daerah di Indonesia sebesar 39,31%. Dari rata-rata tersebut,
terdapat 14 provinsi dengan ruang fiskal yang berada di atas rata-rata nasional.
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Ruang fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota pada satu provinsi digambarkan pada grafik 2.12.
Secara rata-rata, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota memiliki ruang fiskal sebesar 34,82% dari total pendapatannya.
Dari rata-rata tersebut, terdapat 18 daerah yang memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata dan 15 daerah lainnya di atas rata-
rata nasional.
Ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di Provinsi Kalimantan Utara yang mencapai sebesar
55,41%.Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya, yang didominasi oleh sektor
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Prov
. Ace
h
Prov
. Jaw
a Te
ngah
Prov
. Sum
ater
a Ba
rat
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Prov
. DI Y
ogya
kart
a
Prov
. Sul
awes
i Sel
atan
Prov
. Sul
awes
i Uta
ra
Prov
. Lam
pung
Prov
. Ben
gkul
u
Prov
. Gor
onta
lo
Prov
. Sul
awes
i Ten
ggar
a
Prov
. Sul
awes
i Ten
gah
Prov
. Sum
ater
a U
tara
Prov
. Jaw
a Ti
mur
Prov
. Mal
uku
Prov
. Pap
ua
Prov
. Sul
awes
i Bar
at
Prov
. Bal
i
Prov
. Jaw
a Ba
rat
Prov
. Pap
ua B
arat
Prov
. Jam
bi
Prov
. Kal
iman
tan
Sela
tan
Prov
. Mal
uku
Uta
ra
Prov
. Kal
iman
tan
Bara
t
Prov
. Ban
gka
Belit
ung
Prov
. Kal
iman
tan
Teng
ah
Prov
. Ban
ten
Prov
. Sum
ater
a Se
lata
n
Prov
. Ria
u
Prov
. Kal
iman
tan
Uta
ra
Prov
. Kep
ulau
an R
iau
Prov
. Kal
iman
tan
Tim
ur
Prov
. DKI
Jaka
rta
Ruang Fiskal Rata2
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Secara agregat, rata-rata ruang fiskal seluruh pemerintah daerah di
Indonesia sebesar 39,31%. Dari rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi
dengan ruang fiskal yang berada di atas rata-rata nasional.
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Ruang fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota pada
satu provinsi digambarkan pada grafik 2.12. Secara rata-rata, pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota memiliki ruang fiskal sebesar 34,82%
dari total pendapatannya. Dari rata-rata tersebut, terdapat 18 daerah yang
memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata dan 15 daerah lainnya di atas rata-
rata nasional.
Ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di Provinsi
Kalimantan Utara yang mencapai sebesar 55,41%. Tingginya angka ini
dapat disebabkan oleh pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya, yang
didominasi oleh sektor pertambangan dan migas, serta sektor kehutanan.
Pendapatan Provinsi Kalimantan Utara didominasi oleh transfer pemerintah
pusat berupa DBH yang mencapai 50% dari total pendapatan. Sebagai daerah
37Analisa Pendapatan Daerah
otonom baru, besarnya ruang fiskal yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan
Utara diikuti dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang mencapai
71% dari total anggaran belanja tahun 2014.
Kabupaten dan Kota yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
dan Provinsi Jawa Tengah memiliki ruang fiskal terendah, yaitu sebesar
21,19%. Ruang fiskal kedua provinsi tersebut rendah karena porsi Belanja
Pegawai kabupaten/kota di kedua provinsi tersebut mencapai lebih dari
55% dari total pendapatan. Sementara itu, komposisi Pendapatan Daerah
pemerintah kabupaten dan kota di kedua provinsi tersebut masih didominasi
oleh transfer dari pemerintah pusat terutama dari DAU yang mencapai lebih
dari 60% dari total Pendapatan Daerah. Persentase PAD terhadap total
Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah hanya sebesar 12,06%, dimana
pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 4,39% dari total
Pendapatan Daerah. Kondisi yang sama juga dialami oleh Provinsi NTB yang
memiliki persentase PAD hanya sebesar 8,74% terhadap total pendapatan,
dimana pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 2,68% terhadap
total pendapatan. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pemerintah
daerah di Provinsi NTB dan Jawa Tengah belum mengoptimalkan pemungutan
pajak dari basis pajak yang dimilikinya.
38 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 2.12
Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
pertambangan dan migas, serta sektor kehutanan. Pendapatan Provinsi Kalimantan Utaradidominasi oleh transfer pemerintah
pusat berupa DBH yang mencapai 50% dari total pendapatan. Sebagai daerah otonom baru, besarnya ruang fiskal yang dimiliki
oleh Provinsi Kalimantan Utaradiikuti dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang mencapai 71% dari total anggaran
belanja tahun 2014.
Kabupaten dan Kota yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Provinsi Jawa Tengah memiliki ruang
fiskal terendah, yaitu sebesar 21,19%. Ruang fiskal kedua provinsi tersebut rendah karena porsi Belanja Pegawai
kabupaten/kota di kedua provinsi tersebut mencapai lebih dari 55% dari total pendapatan. Sementara itu, komposisi
Pendapatan Daerah pemerintah kabupaten dan kota di kedua provinsi tersebut masih didominasi oleh transfer dari pemerintah
pusat terutama dari DAU yang mencapai lebih dari 60% dari total Pendapatan Daerah. Persentase PAD terhadap total
Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah hanya sebesar 12,06%, dimana pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar
4,39% dari total Pendapatan Daerah. Kondisi yang sama juga dialami oleh Provinsi NTB yang memiliki persentase PAD hanya
sebesar 8,74% terhadap total pendapatan, dimana pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 2,68%terhadap total
pendapatan. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pemerintah daerah di Provinsi NTB dan Jawa Tengah belum
mengoptimalkan pemungutan pajak dari basis pajak yang dimilikinya.
Grafik 2.12
Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2013 (Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Prov
. Jaw
a Te
ngah
Prov
. Sum
ater
a Ba
rat
Prov
. DI Y
ogya
kart
a
Prov
. Lam
pung
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Prov
. Sul
awes
i Uta
ra
Prov
. Gor
onta
lo
Prov
. Ben
gkul
u
Prov
. Sul
awes
i Sel
atan
Prov
. Sul
awes
i Bar
at
Prov
. Sul
awes
i Ten
gah
Prov
. Sul
awes
i Ten
ggar
a
Prov
. Jaw
a Ti
mur
Prov
. Sum
ater
a U
tara
Prov
. Mal
uku
Prov
. Jaw
a Ba
rat
Prov
. Ace
h
Prov
. Bal
i
Prov
. Kal
iman
tan
Sela
tan
Prov
. Ban
gka
Belit
ung
Prov
. Jam
bi
Prov
. Kal
iman
tan
Bara
t
Prov
. Mal
uku
Uta
ra
Prov
. Pap
ua B
arat
Prov
. Kal
iman
tan
Teng
ah
Prov
. Ban
ten
Prov
. Pap
ua
Prov
. Sum
ater
a Se
lata
n
Prov
. Ria
u
Prov
. Kep
ulau
an R
iau
Prov
. Kal
iman
tan
Tim
ur
Prov
. Kal
iman
tan
Uta
ra
Ruang Fiskal Rata2
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Grafik 2.13
Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi
3. Pemerintah Provinsi
Grafik 2.13
Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
Grafik 2.13 menggambarkan ruang fiskal pada masing-masing pemerintah provinsi. Secara rata-rata pemerintah
provinsi memiliki ruang fiskal sebesar 60,60% dari total pendapatannya. Dalam hal ini, terdapat 19 daerah yang memiliki ruang
fiskal di bawah rata-rata nasional, dan 15 daerah memiliki ruang fiskal di atas rata-rata nasional.
Ruang fiskal tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Utara yang mencapai sebesar 81,94%.Tingginya angka ini karena
adanya pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya yang didominasi oleh sektor pertambangan dan migas, serta sektor
kehutanan. Pendapatan Provinsi Kalimantan Utaradidominasi oleh transfer pemerintah pusat berupa DBH yang mencapai
65,77% dari total pendapatan. Sebagai daerah otonom baru hasil pembentukan tahun 2013, besarnya ruang fiskal yang dimiliki
oleh Provinsi Kalimantan Utaraperlu diikuti dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang lebih ekspansif untuk
membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun demikian, Provinsi Kalimantan Utara baru
menganggarkan sekitar 22% dari pendapatannya untuk belanja modal pada tahun 2014 ini.
Selain itu, Pemda Provinsi Kalimantan Timur juga memiliki ruang fiskal yang tinggi yaitu sebesar 74,51%. Hal ini
didukung dari penerimaan DBH dan penerimaan pajak daerah yang cukup besar. Sementara itu porsi Belanja Pegawai jumlahnya
tidak terlalu besar sehingga ruang fiskal yang tersedia masih besar. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur per lu
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
Prov
. Ace
h
Prov
. Pap
ua
Prov
. Jaw
a Te
ngah
Prov
. Pap
ua B
arat
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Prov
. DI Y
ogya
kart
a
Prov
. Sul
awes
i Ten
ggar
a
Prov
. Ben
gkul
u
Prov
. Mal
uku
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Prov
. Sul
awes
i Ten
gah
Prov
. Gor
onta
lo
Prov
. Sul
awes
i Uta
ra
Prov
. Mal
uku
Uta
ra
Prov
. Ban
gka
Belit
ung
Prov
. Sum
ater
a Ba
rat
Prov
. Jam
bi
Prov
. Sul
awes
i Sel
atan
Prov
. Lam
pung
Prov
. Kal
iman
tan
Bara
t
Prov
. Sul
awes
i Bar
at
Prov
. Bal
i
Prov
. Sum
ater
a U
tara
Prov
. Jaw
a Ti
mur
Prov
. Jaw
a Ba
rat
Prov
. Ria
u
Prov
. DKI
Jaka
rta
Prov
. Kal
iman
tan
Teng
ah
Prov
. Ban
ten
Prov
. Kal
iman
tan
Sela
tan
Prov
. Sum
ater
a Se
lata
n
Prov
. Kep
ulau
an R
iau
Prov
. Kal
iman
tan
Tim
ur
Prov
. Kal
iman
tan
Utar
aRuang Fiskal Rata2
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
39Analisa Pendapatan Daerah
Grafik 2.13 menggambarkan ruang fiskal pada masing-masing pemerintah
provinsi. Secara rata-rata pemerintah provinsi memiliki ruang fiskal sebesar
60,60% dari total pendapatannya. Dalam hal ini, terdapat 19 daerah yang
memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata nasional, dan 15 daerah memiliki
ruang fiskal di atas rata-rata nasional.
Ruang fiskal tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Utara yang mencapai
sebesar 81,94%. Tingginya angka ini karena adanya pendapatan yang tidak
dibatasi penggunaannya yang didominasi oleh sektor pertambangan dan migas,
serta sektor kehutanan. Pendapatan Provinsi Kalimantan Utara didominasi
oleh transfer pemerintah pusat berupa DBH yang mencapai 65,77% dari total
pendapatan. Sebagai daerah otonom baru hasil pembentukan tahun 2013,
besarnya ruang fiskal yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Utara perlu diikuti
dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang lebih ekspansif untuk
membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun
demikian, Provinsi Kalimantan Utara baru menganggarkan sekitar 22% dari
pendapatannya untuk belanja modal pada tahun 2014 ini.
Selain itu, Pemda Provinsi Kalimantan Timur juga memiliki ruang fiskal
yang tinggi yaitu sebesar 74,51%. Hal ini didukung dari penerimaan DBH
dan penerimaan pajak daerah yang cukup besar. Sementara itu porsi Belanja
Pegawai jumlahnya tidak terlalu besar sehingga ruang fiskal yang tersedia
masih besar. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur perlu
memanfaatkan ruang fiskal yang tinggi tersebut untuk kegiatan yang dapat
memacu pembangunan di daerahnya untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah.
Sementara itu ,Provinsi Aceh mempunyai ruang fiskal terendah yaitu
sebesar 20,22%. Hal ini disebabkan karena kontribusi terbesar pada
Pendapatan Daerah Provinsi Aceh adalah pendapatan dari dana otonomi
khusus yang sudah dibatasi penggunaannya.
40 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
4. Per Wilayah
Grafik 2.14 memperlihatkan ruang fiskal yang dimiliki agregat pemerintah
provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia per wilayah di Indonesia. Terlihat
bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal tertinggi yaitu sebesar
46,49%. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang
fiskal yang cukup untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka
pembangunan daerahnya. Percepatan pembangunan di daerah tentunya
diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi
di daerahnya.
Grafik 2.14
Ruang Fiskal Per Wilayah*)
memanfaatkan ruang fiskal yang tinggi tersebut untuk kegiatan yang dapat memacu pembangunan di daerahnya untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah.
Sementara itu ,Provinsi Aceh mempunyai ruang fiskal terendah yaitu sebesar 20,22%. Hal ini disebabkan karena
kontribusi terbesar pada Pendapatan Daerah Provinsi Aceh adalah pendapatan dari dana otonomi khusus yang sudah dibatasi
penggunaannya.
4. PerWilayah
Grafik 2.14 memperlihatkan ruang fiskal yang dimiliki agregat pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia per
wilayah di Indonesia. Terlihat bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal tertinggi yaitu sebesar 46,49%. Hal ini
menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal yang cukup untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka
pembangunan daerahnya. Percepatan pembangunan di daerah tentunya diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi
pertumbuhan ekonomi di daerahnya.
Grafik 2.14
Ruang Fiskal Per Wilayah*)
Sumber: APBD 2013 (Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Sementara itu, wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal terendah yaitu sebesar 26,66%. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar daerah di wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan belanja pemerintah dalam
rangka pembangunan di daerahnya.Dengan ruang fiskal yang tersedia, diharapkan pemerintah daerah diwilayah Sulawesi dapat
27,29%30,16%
35,56% 36,30%
46,49%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Sulawesi Jawa-Bali Papua-Maluku-NusaTenggara
Sumatera Kalimantan
Ruang Fiskal Rata2
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Sementara itu, wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal terendah yaitu
sebesar 26,66%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di
wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan
belanja pemerintah dalam rangka pembangunan di daerahnya. Dengan ruang
fiskal yang tersedia, diharapkan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi dapat
mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas
daerah dan mempunyai daya ungkit (leverage) yang tinggi bagi perekonomian
daerahnya.
41Analisa Pendapatan Daerah
D. Rasio Ketergantungan DaerahRasio ketergantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan
suatu daerah terhadap bantuan pihak eksternal, baik yang bersumber dari
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lain. Rasio ini ditunjukkan
oleh rasio PAD terhadap total pendapatan dan rasio dana transfer terhadap
total pendapatan. Rasio PAD terhadap total pendapatan memiliki arti
yang berkebalikan dengan rasio dana transfer terhadap total pendapatan.
Semakin besar angka rasio PAD maka ketergantungan daerah semakin kecil.
Sebaliknya, semakin besar angka rasio dana transfer, maka semakin besar
tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal. Dengan
demikian, daerah yang memiliki tingkat ketergantungan yang rendah adalah
daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi, sekaligus rasio dana transfer
yang rendah.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 2.15 menggambarkan potret rasio PAD dan dana transfer
terhadap pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan menurut provinsi.
Perhitungan dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada
satu provinsi, dan untuk selanjutnya dibagi dengan total pendapatan untuk
wilayah yang sama. Hal yang sama juga berlaku untuk rasio Dana Transfer,
yang terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan Dana
Penyesuaian, yang kemudian dibandingkan dengan total pendapatan daerah
tersebut. Secara agregat (provinsi, kabupaten, dan kota), rata-rata rasio PAD
terhadap pendapatan sebesar 18,08% dan rata-rata rasio Dana Transfer
terhadap Pendapatan sebesar 80,52%.
Berdasarkan hasil analisis, Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio PAD yang
paling tinggi, yaitu sebesar 61,13%, sekaligus rasio dana transfer terendah
yaitu sebesar 31,15%. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki
rasio PAD terendah sebesar 3,62% sekaligus rasio dana transfer tertinggi
yaitu sebesar 95,96%. Hal ini menunjukkan bahwa, Provinsi DKI Jakarta
42 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
memiliki ketergantungan daerah yang paling rendah dibandingkan provinsi-
provinsi yang lain. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat
ketergantungan yang paling tinggi, baik dari sisi PAD yang dihasilkan maupun
dari sisi dana transfer yang diterima dari pusat.
Grafik 2.15
Rasio Ketergantungan Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi DKI Jakarta tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD
khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini sejalan dengan analisis pada bagian rasio pajak yang menempatkan
DKI Jakarta pada posisi pertama dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki
tingkat ketergantungan tertinggi disebabkan oleh rendahnya PAD, khususnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah
tersebut, dan tingginya dana transfer yang diterima.
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Pada Grafik 2.16 terlihat bahwa rata-rata rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah adalah 8,5%, sedangkan rata-rata
rasio dana transfer terhadap Pendapatan Daerahmencapai91,2%. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota terhadap dana transfer masih sangat tinggi.
Rasio PAD terhadap pendapatan tertinggi terdapat pada seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di
Provinsi Bali yang mencapai 31,6%, sedangkan yang terendah adalah di pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi
Papua Barat yaitu hanya sebesar 2,4%.
Grafik 2.16
Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota Se-Provinsi *)
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
Prov
. Pap
ua B
arat
Prov
. Kal
iman
tan
Uta
ra
Prov
. Pap
ua
Prov
. Mal
uku
Prov
. Sul
awes
i Bar
at
Prov
. Mal
uku
Uta
ra
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Prov
. Ace
h
Prov
. Ben
gkul
u
Prov
. Sul
awes
i Ten
ggar
a
Prov
. Sul
awes
i Ten
gah
Prov
. Gor
onta
lo
Prov
. Jam
bi
Prov
. Sul
awes
i Uta
ra
Prov
. Kal
iman
tan
Teng
ah
Prov
. Ban
gka
Belit
ung
Prov
. Sum
ater
a Se
lata
n
Prov
. Sum
ater
a Ba
rat
Prov
. Ria
u
Prov
. Lam
pung
Prov
. Kal
iman
tan
Bara
t
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Prov
. Sul
awes
i Sel
atan
Prov
. Kep
ulau
an R
iau
Prov
. Sum
ater
a U
tara
Prov
. Kal
iman
tan
Tim
ur
Prov
. Jaw
a Te
ngah
Prov
. Kal
iman
tan
Sela
tan
Prov
. DI Y
ogya
kart
a
Prov
. Jaw
a Ti
mur
Prov
. Jaw
a Ba
rat
Prov
. Bal
i
Prov
. Ban
ten
Prov
. DKI
Jaka
rta
Rasio Ketergantungan Agregat Prov/Kab/Kota
PAD/Pdptn Transfer/Pdptn Rata2 PAD/Pdptn Rata2 Transfer/Pdptn
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi DKI Jakarta tersebut
disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah
dan retribusi daerah. Hal ini sejalan dengan analisis pada bagian rasio pajak
yang menempatkan DKI Jakarta pada posisi pertama dibandingkan dengan
provinsi-provinsi lainnya. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki tingkat
ketergantungan tertinggi disebabkan oleh rendahnya PAD, khususnya pajak
daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut, dan tingginya dana transfer
yang diterima.
43Analisa Pendapatan Daerah
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Pada Grafik 2.16 terlihat bahwa rata-rata rasio PAD terhadap Pendapatan
Daerah adalah 8,5%, sedangkan rata-rata rasio dana transfer terhadap
Pendapatan Daerah mencapai 91,2%. Hal ini menunjukkan bahwa
ketergantungan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota terhadap dana
transfer masih sangat tinggi.
Rasio PAD terhadap pendapatan tertinggi terdapat pada seluruh
pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali yang mencapai
31,6%, sedangkan yang terendah adalah di pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota di Provinsi Papua Barat yaitu hanya sebesar 2,4%.
Grafik 2.16
Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota Se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2013 (Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Sementara itu, rasio dana transfer terhadap pendapatan yang tertinggi terdapat di pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang mencapai sebesar 97,4%, sedangkan yang terendah adalah
pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali yang mencapai sebesar 68,4%.
3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat pemerintah provinsi, rata-rata rasio PAD terhadap pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio
dana transfer terhadap pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18 pemerintah provinsi yang memiliki
rasio PAD terhadap pendapatan di atas rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana transfer
terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat
bergantung bantuan dana dari pihak eksternal.
Pemerintah Provinsi Banten memiliki rasio PAD terhadap pendapatan yang paling tinggi, yaitu sebesar 67,97%,
sedangkan Pemerintah Provinsi Papua Barat memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 3,87%. Sebaliknya, rasio dana transfer
terhadap total pendapatan yang tertinggi terdapat di Provinsi Papua Barat sebesar 96,13%, sedangkan yang terendah terdapat
di Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 31,15%.
Grafik 2.17
Rasio Ketergantungan Pemerintah Provinsi
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Prov
. Pap
ua
Prov
. Mal
uku
Prov
. Pap
ua B
arat
Prov
. Sul
awes
i Bar
at
Prov
. Ben
gkul
u
Prov
. Kal
iman
tan
Uta
ra
Prov
. Sul
awes
i Ten
gah
Prov
. Kal
iman
tan
Teng
ah
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Prov
. Sul
awes
i Uta
ra
Prov
. Ace
h
Prov
. Jam
bi
Prov
. Sul
awes
i Ten
ggar
a
Prov
. Mal
uku
Uta
ra
Prov
. Lam
pung
Prov
. Kal
iman
tan
Bara
t
Prov
. Sum
ater
a Se
lata
n
Prov
. Sum
ater
a Ba
rat
Prov
. Kal
iman
tan
Tim
ur
Prov
. Ria
u
Prov
. Kal
iman
tan
Sela
tan
Prov
. Gor
onta
lo
Prov
. Ban
gka
Belit
ung
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Prov
. Sul
awes
i Sel
atan
Prov
. Sum
ater
a U
tara
Prov
. Jaw
a Te
ngah
Prov
. Kep
ulau
an R
iau
Prov
. Jaw
a Ti
mur
Prov
. DI Y
ogya
kart
a
Prov
. Jaw
a Ba
rat
Prov
. Ban
ten
Prov
. Bal
i
Rasio Ketergantungan Kab/Kota
PAD/Pdptn Transfer/Pdptn Rata2 PAD/Pdptn Rata2 Transfer/PdptnSumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Sementara itu, rasio dana transfer terhadap pendapatan yang tertinggi
terdapat di pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat yang mencapai sebesar 97,4%, sedangkan yang
terendah adalah pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali
yang mencapai sebesar 68,4%.
44 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat pemerintah provinsi, rata-rata rasio PAD terhadap
pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio dana transfer terhadap
pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18
pemerintah provinsi yang memiliki rasio PAD terhadap pendapatan di atas
rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana
transfer terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini
menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat bergantung bantuan
dana dari pihak eksternal.
Pemerintah Provinsi Banten memiliki rasio PAD terhadap pendapatan yang
paling tinggi, yaitu sebesar 67,97%, sedangkan Pemerintah Provinsi Papua
Barat memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 3,87%. Sebaliknya, rasio
dana transfer terhadap total pendapatan yang tertinggi terdapat di Provinsi
Papua Barat sebesar 96,13%, sedangkan yang terendah terdapat di Provinsi
DKI Jakarta, yaitu sebesar 31,15%.
Grafik 2.17
Rasio Ketergantungan Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
4. Per Wilayah
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar
ketergantungan daerah pada 5 kelompok wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama.
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
Prov
. Kal
iman
tan
Uta
ra
Prov
. Pap
ua B
arat
Prov
. Pap
ua
Prov
. Ace
h
Prov
. Mal
uku
Uta
ra
Prov
. Sul
awes
i Bar
at
Prov
. Gor
onta
lo
Prov
. Mal
uku
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Prov
. Sul
awes
i Ten
ggar
a
Prov
. Ban
gka
Belit
ung
Prov
. Kep
ulau
an R
iau
Prov
. Ben
gkul
u
Prov
. Sul
awes
i Ten
gah
Prov
. Jam
bi
Prov
. Sum
ater
a Se
lata
n
Prov
. DI Y
ogya
kart
a
Prov
. Ria
u
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Prov
. Sul
awes
i Uta
ra
Prov
. Kal
iman
tan
Teng
ah
Prov
. Kal
iman
tan
Bara
t
Prov
. Sum
ater
a Ba
rat
Prov
. Kal
iman
tan
Tim
ur
Prov
. Lam
pung
Prov
. Sul
awes
i Sel
atan
Prov
. Bal
i
Prov
. Sum
ater
a U
tara
Prov
. Jaw
a Te
ngah
Prov
. DKI
Jaka
rta
Prov
. Kal
iman
tan
Sela
tan
Prov
. Jaw
a Ti
mur
Prov
. Jaw
a Ba
rat
Prov
. Ban
ten
Rasio Ketergantungan Provinsi
PAD/Pdptn Transfer/Pdptn Rata2 PAD/Pdptn Rata2 Transfer/Pdptn
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Papua-Maluku-NusaTenggara
Kalimantan Sulawesi Sumatera Jawa-Bali
Rasio Ketergantungan Agregat Prov/Kab/Kota Per Wilayah
PAD/Pdptn TRANSFER/Pdptn RATA2 PAD/Pdptn RATA2 TRANSFER/Pdptn
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
45Analisa Pendapatan Daerah
4. Per Wilayah
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan
untuk menunjukkan seberapa besar ketergantungan daerah pada 5 kelompok
wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama.
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
4. Per Wilayah
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar
ketergantungan daerah pada 5 kelompok wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama.
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
Prov
. Kal
iman
tan
Uta
ra
Prov
. Pap
ua B
arat
Prov
. Pap
ua
Prov
. Ace
h
Prov
. Mal
uku
Uta
ra
Prov
. Sul
awes
i Bar
at
Prov
. Gor
onta
lo
Prov
. Mal
uku
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Prov
. Sul
awes
i Ten
ggar
a
Prov
. Ban
gka
Belit
ung
Prov
. Kep
ulau
an R
iau
Prov
. Ben
gkul
u
Prov
. Sul
awes
i Ten
gah
Prov
. Jam
bi
Prov
. Sum
ater
a Se
lata
n
Prov
. DI Y
ogya
kart
a
Prov
. Ria
u
Prov
. Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Prov
. Sul
awes
i Uta
ra
Prov
. Kal
iman
tan
Teng
ah
Prov
. Kal
iman
tan
Bara
t
Prov
. Sum
ater
a Ba
rat
Prov
. Kal
iman
tan
Tim
ur
Prov
. Lam
pung
Prov
. Sul
awes
i Sel
atan
Prov
. Bal
i
Prov
. Sum
ater
a U
tara
Prov
. Jaw
a Te
ngah
Prov
. DKI
Jaka
rta
Prov
. Kal
iman
tan
Sela
tan
Prov
. Jaw
a Ti
mur
Prov
. Jaw
a Ba
rat
Prov
. Ban
ten
Rasio Ketergantungan Provinsi
PAD/Pdptn Transfer/Pdptn Rata2 PAD/Pdptn Rata2 Transfer/Pdptn
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Papua-Maluku-NusaTenggara
Kalimantan Sulawesi Sumatera Jawa-Bali
Rasio Ketergantungan Agregat Prov/Kab/Kota Per Wilayah
PAD/Pdptn TRANSFER/Pdptn RATA2 PAD/Pdptn RATA2 TRANSFER/Pdptn
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Berdasarkan pembagian 5 wilayah, secara rata-rata rasio PAD terhadap
total pendapatan hanya sebesar 9,04%, sedangkan rata-rata rasio dana
transfer terhadap total pendapatan mencapai sebesar 84,01%. Rasio PAD
terhadap total pendapatan di wilayah Jawa dan Bali mempunyai rasio yang
paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya, yaitu sebesar 27,6%.
Hal ini membuktikan bahwa kemampuan pemerintah daerah di wilayah Jawa
dan Bali dalam menghasilkan sumber-sumber PAD relatif cukup tinggi. Hal ini
berbeda dengan wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang rasio PAD
terhadap total pendapatannya sangat rendah, yang hanya mencapai 4,63%.
Namun demikian, secara umum ke-5 wilayah tersebut masih memiliki
rasio PAD terhadap total pendapatan rata-rata di bawah 50% (sekitar 16%),
yang berarti masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pusat.
46 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Berdasarkan analisis terhadap rasio dana transfer terhadap pendapatan,
wilayah Jawa dan Bali memiliki angka yang paling rendah, yaitu 73,14%.
Walaupun angka tersebut masih besar, namun apabila dibandingkan dengan
wilayah lainnya, rasio ini menunjukkan bahwa wilayah Jawa dan Bali memiliki
tingkat ketergantungan dengan dana transfer yang paling rendah. Sementara
itu, rasio dana transfer terhadap total pendapatan yang tertinggi terdapat di
wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang mencapai sebesar 92,97%.
Ini berarti wilayah tersebut memiliki rasio ketergantungan daerah yang tinggi.
E. Deviasi Alokasi Transfer ke Daerah pada APBDSalah satu permasalahan yang sering disampaikan oleh daerah dalam
penyusunan APBD adalah terlambatnya informasi alokasi dana Transfer ke
Daerah yang ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya. Terlambatnya informasi
alokasi Transfer ke Daerah dari Kementerian Keuangan yang diterima oleh
daerah mempengaruhi perencanaan APBD, terutama dari sisi pendapatan.
Kepastian jumlah pendapatan akan mempengaruhi besaran belanja yang
akan direncanakan oleh pemerintah daerah.
Sebagai gambaran, alokasi dana transfer tahun 2014 dalam UU APBN
yang disahkan tanggal 14 November 2013 mencapai Rp592,5 triliun,
terdiri dari alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan
Penyesuaian. Berdasarkan UU APBN tersebut, alokasi Dana Alokasi Khusus
per daerah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
180/PMK.07/2013 tanggal 13 Desember 2013. Selain itu, informasi alokasi
Dana Alokasi Umum (DAU) per daerah ditetapkan melalui Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 2 Tahun 2014 telah dipublikasikan pada tanggal 27
Januari 2014, sedangkan informasi alokasi DBH tahun 2014 yang dimuat
dalam PMK baru dapat diterbitkan pada bulan Mei 2014. Namun demikian,
untuk mempercepat penyampaian informasi alokasi yang diterima oleh
setiap daerah, Kementerian Keuangan telah mengunggah informasi tersebut
47Analisa Pendapatan Daerah
ke website www.djpk.depkeu.go.id setelah UU APBN disahkan pada rapat
raripurna DPR pada tanggal 14 November 2013.
Untuk melihat apakah keterlambatan informasi alokasi masih menjadi
permasalahan dalam penetapan APBD, pada bagian ini akan disajikan
mengenai deviasi antara besaran Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK)
yang dicantumkan dalam APBD dengan besaran alokasi Dana Perimbangan
sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Deviasi negatif
diperoleh jika besaran alokasi dalam APBD lebih kecil daripada alokasi dari
Kementerian Keuangan. Hal ini juga berarti pemerintah daerah bersikap
pesimistis terhadap alokasi yang akan diterima tahun berikutnya. Sebaliknya,
deviasi positif diperoleh ketika pemerintah daerah bersikap optimis.
Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan Pemerintah
dengan penetapan dalam APBD, secara umum dapat disimpulkan bahwa
pengumuman alokasi Dana Perimbangan yang dilakukan segera setelah
pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat dimanfaatkan oleh daerah dalam
menyusun APBD. Hal ini terbukti dari banyaknya daerah yang mengalokasikan
DAU dan DAK pada APBD sama besar dengan penetapan pemerintah pusat.
Adapun untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan terlambat, yaitu
pada Mei 2014 atau setelah APBD ditetapkan oleh daerah, menunjukkan
gambaran bahwa seluruh daerah mengalokasikan berbeda dengan alokasi
dalam PMK.
Berdasarkan hal di atas, dapat disampaikan bahwa peranan kecepatan
informasi transfer mempunyai peran penting dalam menekan rendahnya
deviasi alokasi transfer pada APBD. Satu hal yang perlu dicermati bahwa
deviasi yang terlalu besar, akan mengakibatkan eksekusi APBD menjadi
terkendala. Dalam hal dianggarkan jauh terlalu rendah dalam APBD
maka akan terjadi potensi pelampauan pendapatan yang lebih lanjut akan
berpotensi pada terbentuknya dana idle daerah yang tidak dapat digunakan
untuk mendanai belanja publik. Di sisi lain, apabila dianggarkan oleh daerah
jauh terlalu tinggi juga akan mengganggu ketersediaan dana untuk mendanai
48 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
belanja yang telah direncanakan, sehingga kegiatan yang didanai dari APBD
dapat mengalami keterlambatan, atau bahkan tidak dapat diselesaikan.
1. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dalam APBN tahun 2014, DBH yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2013 tentang APBN adalah sebesar Rp113,71 triliun,
yang terdiri dari DBH Pajak sebesar Rp51,78 triliun dan DBH SDA sebesar
Rp61,92 triliun. Sementara, dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur tentang alokasi DBH per daerah (bersifat perkiraan), jumlah
yang dialokasikan adalah sebesar Rp104,228 triliun. Adapun total alokasi
DBH dalam APBD 2014 adalah sebesar Rp108,042 triliun, yang sedikit lebih
besar daripada jumlah alokasi dalam PMK.
Secara total, deviasi alokasi antara APBD dan PMK hanya 3,66%,
tetapi apabila dilihat per daerah, deviasi tertinggi dalam nominal mencapai
Rp5,69 triliun dan dalam persentase mencapai 202,16%. Jumlah daerah
dengan deviasi positif (alokasi DBH dalam APBD lebih besar daripada alokasi
PMK) lebih sedikit daripada jumlah daerah dengan deviasi negatif, dengan
perbandingan 190:349. Berikut disajikan daerah-daerah dengan persentase
deviasi tertinggi.
Tabel 2.1
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DBH Tertinggi
Daerah Deviasi Alokasi (Rp) Persentase Deviasi Tanggal Perda
Kab. Mahakam Ulu (354,938,727,913) -92.78% 31 Dec 2013
Kab. Sabu Raijua (5,187,440,704) -91.72% 11 Dec 2013
Kab. Sumba Tengah (8,489,243,739) -80.07% 24 Dec 2013
Kab. Tambrauw (26,989,158,311) -77.34% 27 Dec 2013
Kab. Landak (28,145,062,644) -72.69% 30 Dec 2013
Sumber: DJPK (2014), data diolah
49Analisa Pendapatan Daerah
Tabel 2.1 di atas menunjukkan lima daerah yang memiliki persentase
deviasi negatif tertinggi. Persentase deviasi yang diperoleh dari lima pemerintah
daerah tersebut seluruhnya merupakan pemerintah daerah kabupaten yang
berada pada wilayah Kalimantan, serta Nusa Tenggara dan Papua. Kelima
daerah tersebut menganggarkan pendapatan DBH pada APBD terlalu pesimis
hingga sekitar 90% di bawah alokasi yang akan diterimanya.
Tabel 2.2
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DBH Tertinggi
Daerah Deviasi Alokasi (Rp) Persentase Deviasi Tanggal Perda
Kab. Mamuju 28.146.732.024 101,05% 31 Des 2013
Kab. Nagan Raya 27.128.958.019 101,67% 30 Des 2013
Kab. Tanah Karo 19.178.771.472 101,72% -
Kab. Labuhanbatu Selatan 30.187.140.867 109,61% 03 Mar 2014
Kab. Raja Ampat 121.884.664.177 202,16% 27 Des 2013
Sumber: DJPK (2014), data diolah
Daerah yang melakukan penganggaran dengan optimis akan mengalami
deviasi yang positif atas alokasinya. Kabupaten Raja Ampat menganggarkan
DBH pada APBD dua kali lebih tinggi daripada alokasi DBH pada PMK
alokasi. Dengan persentase tersebut, Kabupaten Raja Ampat memiliki deviasi
penganggaran DBH tertinggi. Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang cukup
lambat dalam penetapan perda APBD mengalami deviasi positif anggaran
DBH tertinggi kedua.
Secara umum, deviasi antara alokasi DBH pada APBD dan PMK terjadi
pada seluruh daerah. Hal ini terjadi karena informasi alokasi DBH belum
ditetapkan sampai saat APBD ditetapkan.
50 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
2. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp341,2
triliun. Peraturan Presiden yang mengatur alokasi per daerah telah ditetapkan
pada tanggal 27 Januari 2014. Sementara itu, DAU dalam APBD dialokasikan
sebesar Rp341,34 triliun atau relatif sama besar dengan alokasi dari
pemerintah pusat, sehingga secara total deviasi antara APBD dan Perpres
relatif tidak signifikan (Rp120,69 juta).
Jika dilihat per daerah, sebanyak 490 daerah mengalokasikan DAU sama
dengan yang ditetapkan pemerintah pusat, dimana 32 daerah mengalokasikan
DAU dengan rentang deviasi +1%, serta 17 daerah dengan deviasi lebih dari
+1%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengumuman informasi
alokasi yang dilakukan beberapa saat setelah rapat paripurna DPR RI yang
mengesahkan RUU APBN 2014 menjadi UU telah diterima dengan baik oleh
sebagian besar pemerintah daerah.
Walaupun begitu, masih terdapat beberapa daerah yang memiliki deviasi
cukup besar walaupun informasi alokasi untuk daerah mereka masing-
masing telah dipublikasikan. Tabel 2.3 berikut ini menunjukkan lima daerah
dengan persentase deviasi alokasi DAU negatif tertinggi. Kabupaten Bengkalis
merupakan daerah dengan persentase deviasi negatif tertinggi dan paling
lambat dalam menetapkan APBD dibandingkan 4 daerah lain. Keempat
daerah lainnya yang memiliki deviasi negatif dibawah 27% menetapkan
APBD sebelum Perpres Alokasi DAU ditetapkan.
Tabel 2.3
Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DAU Negatif Tertinggi
Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda
Kab. Bengkalis (50.961.070.569) -59,41% 20 Mar 2014
Kab. Sumba Tengah (111.548.944.000) -26,97% 24 Des 2013
Kab. Kepulauan Sitaro (60.442.761.000) -15,09% 20 Jan 2014
51Analisa Pendapatan Daerah
Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda
Kab. Balangan (31.589.190.000) -9,90% 17 Des 2013
Kab. Aceh Barat (42.832.065.000) -7,78% 16 Des 2013
Sumber: DJPK (2014), data diolah
Sementara itu, Kabupaten Banggai Kepulauan merupakan daerah dengan
persentase deviasi positif tertinggi meskipun perda APBD ditetapkan setelah
Perpres Alokasi DAU ditetapkan. Seluruh daerah yang menganggarkan
DAU terlalu optimis menetapkan perda APBD setelah Perpres Alokasi DAU
ditetapkan kecuali Kota Bandar Lampung yang memiliki deviasi positif sebesar
10,48% dibandingkan alokasi DAU yang diperolehnya.
Tabel 2.4
Daftar Daerah Persentase Deviasi Positif Alokasi DAU Tertinggi
Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda
Kota Dumai 17.250.322.831 4,79% 17 Apr 2014
Kota Bandar Lampung 96.611.339.010 10,48% 27 Sep 2013
Kab. Minahasa Tenggara 60.579.834.000 17,81% 05 Feb 2014
Kab. Sumba Barat Daya 111.548.944.000 36,93% 04 Feb 2014
Kab. Banggai Kepulauan 140.679.186.419 40,54% 04 Apr 2014
Sumber: DJPK (2014), data diolah
3. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Pada APBN 2013, pemerintah pusat mengalokasikan DAK sebesar
Rp31,7 triliun yang terdiri dari Rp29,7 triliun dialokasikan untuk 19 bidang
dan bagi seluruh pemerintah daerah, serta Rp2 triliun yang dialokasikan
untuk infrastruktur jalan dan pendidikan bagi 183 daerah tertinggal. Dari
539 daerah, terdapat 11 daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAK dan
seluruh daerah tersebut tidak menganggarkan DAK pada APBD. PMK alokasi
52 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
DAK ditetapkan lebih awal dibandingkan alokasi DAU yaitu pada tanggal 13
Desember 2013.
Sementara itu, alokasi DAK pada APBD mencapai sebesar Rp33 triliun
dan anggaran DAK pada APBD 539 daerah berjumlah Rp32,83 triliun.
Dibandingkan dengan total DAK yang ditetapkan pemerintah pusat, deviasi
yang terjadi tidak signifikan, yaitu hanya -0,49%. Jika dibandingkan per
daerah, pola yang sama dengan DAU terjadi pada DAK, yaitu 490 daerah
mengalokasikan sama besar dengan DAK yang ditetapkan pemerintah pusat,
32 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi dalam rentang +1%, serta
17 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi diatas rentang +1%.
Dari tabel 2.8 di atas dapat dilihat bahwa masih terdapat daerah yang
tidak menganggarkan DAK pada APBD sehingga mengakibatkan deviasi
daerah tersebut menjadi sebesar 100%. Kab Bekasi menjadi daerah yang
memiliki deviasi dengan nominal terbesar sekaligus persentase terbesar.
Lima daerah yang memiliki persentase deviasi negatif tertinggi sebagaimana
terlihat pada tabel di bawah ini disebabkan karena daerah tersebut tidak
menganggarkan DAK pada APBD-nya. Jika dilihat dari penetapan APBD
kelima daerah tersebut, seharusnya informasi DAK yang mereka peroleh
sudah dapat ditampung dalam APBD.
Tabel 2.5
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DAK Tertinggi
Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda
Kab. Bekasi (111.171.910.000) -100,00% 24 Jan 2014
Kab. Mappi (97.101.660.000) -100,00% 06 Jun 2014
Kota Tarakan (3.786.510.000) -100,00% 31 Des 2013
Kab. Bengkalis (24.753.430.096) -69,26% 20 Mar 2014
Prov. Kalimantan Selatan (29.189.940.000) -53,87% 27 Des 2013
Sumber: DJPK (2014), data diolah
53Analisa Belanja Daerah
Kabupaten Kepulauan Meranti menjadi daerah yang menganggarkan
DAK tahun 2014 terlalu optimis, dengan persentase deviasi hingga mencapai
900%, Kabupaten Kepulauan Meranti mengalami deviasi penganggaran
DAK sebesar Rp17,9 Miliar. Kabupaten tersebut menganggarkan DAK terlalu
optimis meskipun tanggal penetapan APBD jauh setelah PMK alokasi DAK
ditetapkan. Kecuali Kota Bandar Lampung, daerah yang mengalami deviasi
DAK terbesar ini menetapkan perda APBD setelah informasi alokasi DAK
dapat diperoleh daerah.
Tabel 2.6
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAK Tertinggi
Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda
Kota Singkawang 19.657.451.132 41,07% 23 Mei 2014
Kota Bandar Lampung 22.186.410.000 51,79% 27 Sep 2013
Kab. Rokan Hulu 10.076.807.960 95,22% 22 Mei 2014
Kab. Tanjung Jabung Barat 2.075.221.402 115,14% 10 Apr 2014
Kab. Kepulauan Meranti 17.963.795.695 923,69% 02 Apr 2014
Sumber: DJPK (2014), data diolah
54 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
bAb III ANAlISIS bElANJA DAERAH
Dalam dua belas tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia,
titik beratnya diletakkan pada desentralisasi di sisi pengeluaran (expenditure
assignment) yang ditandai dengan adanya pembagian urusan pada berbagai
tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang terdiri
dari urusan wajib dan pilihan. Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan
kewenangan/urusan tersebut dan sesuai dengan prinsip money follow function,
pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah
kepada pemerintah daerah. Jumlah Transfer ke Daerah memiliki tren yang
meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN.
Dalam APBN tahun 2014, alokasi Transfer ke Daerah mencapai sebesar
Rp592,5 triliun, yang berarti sekitar 32% dari total belanja APBN telah
diserahkan pengelolaannya kepada daerah yang diikuti dengan adanya diskresi
yang sangat besar. Hal tersebut diharapkan dapat mempengaruhi pola belanja
di daerah yang mampu mendorong adanya peningkatan kinerja pelayanan
publik di daerah. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah
dalam melaksanakan tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan
sumber-sumber pendanaan melalui kebijakan perencanaan dan penganggaran
yang sejalan dengan prioritas dan kebutuhan di daerah.
Implementasi atas kebijakan perencanaan dan penganggaran tersebut
adalah melalui Belanja Daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Anggaran Belanja Daerah akan mempunyai peran riil dalam
peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi
perekonomian daerah apabila dapat direalisasikan dengan baik. Dengan
demikian, Belanja Daerah seharusnya dapat menjadi komponen yang
55Analisa Belanja Daerah
penting dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber
daya ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, yang pada
gilirannya diharapkan akan memberikan dampak nyata pada perekonomian
daerah secara luas.
Anggaran Belanja Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan
potret pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas terkait
program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran.
Penyusunan anggaran Belanja Daerah dapat menunjukkan apakah suatu
daerah pro poor, growth, and jobs. Pada komponen Belanja Daerah juga
nampak seberapa besar porsi belanja langsung yang dapat mendorong
pertumbuhan perekonomian daerah dan terkait langsung dalam pemenuhan
pelayanan kepada masyarakat.
Untuk menggambarkan seberapa besar belanja pemerintah daerah yang
digunakan dalam upaya untuk menyejahterakan penduduk di suatu daerah,
dapat digunakan berbagai macam tool, misalnya dengan pengukuran rasio
Belanja Daerah terhadap jumlah penduduk (Belanja Daerah per kapita).
Semakin besar nilai rasio Belanja Daerah per kapita, semakin besar belanja
yang dikeluarkan untuk menyejahterakan satu orang penduduk wilayah
tersebut sehingga semakin besar kemungkinan tercapainya. Sebaliknya,
semakin kecil angka rasionya, semakin kecil dana yang disediakan pemda
untuk menyejahterakan penduduknya.
Namun demikian, rasio ini juga dirinci lagi menjadi per jenis belanja
sehingga akan lebih menggambarkan kontribusi dari setiap jenis belanja
sebagai faktor yang mendorong peningkatan kualitas layanan publik. Berbagai
macam pengukuran rasio belanja akan disajikan pada bab ini. Pada prinsipnya,
dalam tataran kebijakan, untuk menuju pelaksanaan Belanja Daerah yang
berdampak positif kepada masyarakat perlu diupayakan agar pemerintah
daerah mempercepat realisasi belanjanya dan menjalankan kebijakan belanja
yang baik, antara lain dengan mendorong agar proses penetapan Perda APBD
dapat dilakukan secara tepat waktu, menetapkan anggaran Belanja Modal
56 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
yang lebih besar dan tepat sasaran, mempertajam penggunaan anggaran
Belanja Pegawai, dan sebagainya.
A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Mengingat bahwa proporsi belanja pegawai menempati porsi terbesar
dalam APBD, perlu kita hitung rasio belanja pegawai terhadap total belanja
daerah. Tujuan penghitungan rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja
Daerah adalah untuk mengetahui proporsi Belanja Pegawai terhadap total
Belanja Daerah. Data Belanja Pegawai di sini adalah penjumlahan dari
Belanja Pegawai langsung dan Belanja Pegawai tidak langsung. Rasio ini
menggambarkan bahwa semakin tinggi angka rasionya maka semakin
besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai. Begitu pula
sebaliknya, semakin kecil angka rasio Belanja Pegawai maka semakin kecil
proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai APBD.
Mengingat jumlah guru mendominasi jumlah keseluruhan dari Pegawai
Negeri Sipil Daerah (PNSD), maka menjadi penting untuk melihat proporsi
jumlah guru terhadap total PNSD di suatu daerah. Selama ini banyak pihak
yang menyoroti dan mengkritisi mengenai jumlah Belanja Pegawai yang dinilai
terlalu besar dalam APBD. Kritik tersebut didasarkan pada argumen bahwa
hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya alokasi untuk Belanja Modal
yang nota bene dipandang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pemenuhan pelayanan publik kepada masyarakat.
Namun demikian, dalam peraturan perundangan disebutkan bahwa
Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya dengan prioritas kepada pelaksanaan urusan
daerah yang sifatnya wajib. Salah satu urusan wajib adalah bidang pendidikan,
sehingga belanja untuk gaji guru sebenarnya dilakukan dalam rangka untuk
mendukung pelaksanaan urusan daerah yang sifatnya wajib.
57Analisa Belanja Daerah
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja
Pegawai terhadap total Belanja Daerah sebesar 40,87%. Rasio ini lebih
rendah apabila dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya yang
mencapai rata-rata 42,78% pada tahun 2013 dan sebesar 44,7% pada
tahun 2012. Meskipun relatif kecil, penurunan rasio belanja pegawai secara
konsisten dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya upaya
rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah. Rasio belanja pegawai agregat
provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 15
provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 19 provinsi
yang lain memiliki rasio belanja pegawai yang melebihi rata-rata nasional.
Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Provinsi DKI
Jakarta, yaitu sebesar 22,79%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio
yang paling besar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan rasio yang mencapai
sebesar 51,62%.
Grafik 3.1 menunjukkan adanya 3 provinsi yang memiliki rasio belanja
pegawai lebih dari 50%, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Nusa Tenggara
Barat, dan Provinsi Jawa Tengah, meskipun rasionya masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian,
karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan
sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja di luar belanja pegawai.
Dengan kata lain, kondisi tersebut akan menyebabkan semakin terbatasnya
sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai program dan
kegiatan yang dapat mendukung pemenuhan layanan publik.
58 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 3.1
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 22,79%, sedangkan provinsi
yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan rasio yang mencapai sebesar 51,62%.
Grafik 3.1 menunjukkan adanya 3 provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai lebih dari 50%, yaitu Provinsi
Sumatera Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Jawa Tengah, meskipun rasionya masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut
hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja di luar belanja pegawai.Dengan kata lain, kondisi
tersebut akan menyebabkan semakin terbatasnya sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai program dan
kegiatan yang dapat mendukung pemenuhan layanan publik.
Grafik 3.1
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
b. Rasio Jumlah Guru Terhadap PNSD
Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru terhadap total PNSD adalah 51,0%, lebih
tinggi dibandingkan dengan rasio tahun sebelumnya yang mencapai 49,41%. Sama seperti deskripsi sebelumnya, peningkatan
rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan rasio belanja pegawai secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah
semakin rasional dalam alokasi belanja pegawainya yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya porsi jumlah PNS maupun
besaran belanja untuk PNS yang bekerja di bidang administrasi. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat provinsi,
kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan adanya 20 provinsi mempunyai rasio lebih rendah dari rata-rata
nasional, sedangkan 14 provinsi yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio paling kecil
22,79%
51,62%
40,87%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
DKI
Jaka
rta
Kal
iman
tan
Uta
ra
Pap
ua B
arat
Kal
iman
tan
Tim
ur
Pap
ua
Kep
ulau
an R
iau
Ria
u
Ban
ten
Sum
ater
a Se
lata
n
Kal
iman
tan
Teng
ah
Ace
h
Kal
iman
tan
Sela
tan
Mal
uku
Uta
ra
Ban
gka
Belit
ung
Kal
iman
tan
Bara
t
Jam
bi
Jaw
a Ba
rat
Sul
awes
i Bar
at
Bal
i
Mal
uku
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Jaw
a Ti
mur
Sul
awes
i Ten
gah
Lam
pung
Gor
onta
lo
Sul
awes
i Uta
ra
Sum
ater
a U
tara
Sul
awes
i Sel
atan
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Ben
gkul
u
DI Y
ogya
kart
a
Sum
ater
a Ba
rat
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Jaw
a Te
ngah
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
b. Rasio Jumlah Guru Terhadap PNSD
Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah
guru terhadap total PNSD adalah 51,0%, lebih tinggi dibandingkan dengan
rasio tahun sebelumnya yang mencapai 49,41%. Sama seperti deskripsi
sebelumnya, peningkatan rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan
rasio belanja pegawai secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah
semakin rasional dalam alokasi belanja pegawainya yang ditunjukkan dengan
semakin menurunnya porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS
yang bekerja di bidang administrasi. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD
agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan
adanya 20 provinsi mempunyai rasio lebih rendah dari rata-rata nasional,
sedangkan 14 provinsi yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional.
Provinsi yang memiliki rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah,
yaitu sebesar 43,6%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang
paling besar adalah Provinsi DKI Jakarta dengan rasio sebesar 64,0%.
59Analisa Belanja Daerah
Grafik 3.2
Rasio Jumlah Guru terhadap Total PNSD
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 43,6%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar
adalah Provinsi DKI Jakarta dengan rasio sebesar 64,0%.
Grafik 3.2
Rasio Jumlah Guru terhadap Total PNSD
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: DJPK (Data Diolah)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Grafik 3.3 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap
total belanjanya. Dari grafik tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota
se-provinsi memiliki rasio di atas 30%, kecuali Provinsi Kalimantan Utara (25,94%) dan Provinsi Kalimantan Timur (29,72%).
Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total
belanjanya pada APBD 2014 adalah sebesar 48,61%, yang berarti lebih rendah apabila dibandingkan dengan rata-rata tahun
2013 yaitu sebesar 49,26% dan tahun 2012 yang mencapai 50,9%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota se-provinsi mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari
angka rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai yang lebih rendah, dan 19 provinsi memiliki
rasio belanja pegawai yang lebih besar. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakartamemiliki rasio belanja pegawai terbesar, yaitu sebesar 59,42%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah
kota se-Provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah terkecil, yaitu sebesar 25,94%.
43,6%
64,0%
51,0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Kal
iman
tan
Teng
ah
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Ace
h
Sul
awes
i Ten
gah
Ben
gkul
u
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Kal
iman
tan
Sela
tan
Bal
i
Kal
iman
tan
Tim
ur
Pap
ua
Mal
uku
Uta
ra
Kep
ulau
an R
iau
Gor
onta
lo
Sul
awes
i Bar
at
Ria
u
Sul
awes
i Uta
ra
Kal
iman
tan
Bara
t
Sul
awes
i Sel
atan
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Sum
ater
a Se
lata
n
Jaw
a Ti
mur
Pap
ua B
arat
Jam
bi
Lam
pung
Jaw
a Ba
rat
Ban
gka
Belit
ung
DI Y
ogya
kart
a
Jaw
a Te
ngah
Sum
ater
a Ba
rat
Sum
ater
a U
tara
Ban
ten
Kal
iman
tan
Uta
ra
Mal
uku
DKI
Jaka
rta
Sumber: DJPK (Data Diolah)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Grafik 3.3 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total belanjanya. Dari grafik
tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota se-provinsi memiliki rasio di atas 30%, kecuali Provinsi
Kalimantan Utara (25,94%) dan Provinsi Kalimantan Timur (29,72%).
Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota se-provinsi terhadap total belanjanya pada APBD 2014
adalah sebesar 48,61%, yang berarti lebih rendah apabila dibandingkan
dengan rata-rata tahun 2013 yaitu sebesar 49,26% dan tahun 2012 yang
mencapai 50,9%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota se-provinsi mengalokasikan hampir setengah belanja
daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari angka rata-rata
tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai yang lebih
60 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
rendah, dan 19 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih besar.
Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki rasio belanja pegawai terbesar, yaitu sebesar 59,42%,
sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Kalimantan
Utara memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah terkecil, yaitu
sebesar 25,94%.
Grafik 3.3
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Grafik 3.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerah. Berdasarkan grafik
tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 47,52%, sedangkan
wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total
belanja daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi
mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja
daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai.
Grafik 3.6
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah
8,21%
30,08%
17,65%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Pap
ua B
arat
Jaw
a Ba
rat
Pap
ua
Ban
ten
Kal
iman
tan
Tim
ur
Ace
h
Kal
iman
tan
Uta
ra
Kep
ulau
an R
iau
Sum
ater
a Se
lata
n
Sum
ater
a U
tara
Ria
u
Jaw
a Ti
mur
Kal
iman
tan
Teng
ah
Lam
pung
Jaw
a Te
ngah
Sul
awes
i Bar
at
Kal
iman
tan
Sela
tan
Sul
awes
i Sel
atan
Ban
gka
Belit
ung
DI Y
ogya
kart
a
Kal
iman
tan
Bara
t
Sum
ater
a Ba
rat
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Jam
bi
Bal
i
Sul
awes
i Ten
gah
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
DKI
Jaka
rta
Gor
onta
lo
Sul
awes
i Uta
ra
Mal
uku
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Mal
uku
Uta
ra
Ben
gkul
u
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
b. Rasio Jumlah Guru Terhadap PNSD
Grafik 3.4 memperlihatkan rasio jumlah guru pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota se-provinsi terhadap total PNSD-nya. Dari grafik tersebut
terlihat bahwa semua rasio jumlah guru terhadap total PNSD kabupaten
dan kota se-provinsi di atas 45%, dengan rata-rata sebesar 54,7%. Dengan
demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi
mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawai daerahnya untuk
membayar gaji guru daerah.
61Analisa Belanja Daerah
Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat kabupaten dan kota untuk
setiap provinsi menunjukkan bahwa 19 provinsi rasio jumlah guru terhadap
total PNSD-nya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 14 provinsi
yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki
rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 46,9%,
sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah
Provinsi Maluku yang mencapai sebesar 62,9%.
Grafik 3.4
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
Sumber: DJPK (Data Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Pada tahun 2014, rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di seluruh Indonesia memiliki persentase rata-rata
sebesar 17,65%, yang berarti lebih rendah apabila dibandingkan dengan rasionya di tahun 2013, yaitu sebesar 19,33% dan
tahun 2012 yang hanya mencapai sebesar 21%. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang
lebih rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut, sedangkan 17 provinsi memiliki rasio di atas rata-rata. Grafik 3.5
memperlihatkan bahwa pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar adalah Pemerintah ProvinsiBengkulu
dengan rasio sebesar 30,08%, sedangkan pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalah Pemerintah
ProvinsiPapua Barat yaitu sebesar 8,21%. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rasio belanja pegawai pemerintah provinsi relatif
lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi.
Grafik 3.5
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja DaerahPemerintah Provinsi
46,9%
62,9%54,7%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Kal
iman
tan
Teng
ah
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Ace
h
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Sul
awes
i Ten
gah
Bal
i
Kal
iman
tan
Sela
tan
Ben
gkul
u
Pap
ua
Kal
iman
tan
Tim
ur
Kep
ulau
an R
iau
Mal
uku
Uta
ra
Sul
awes
i Sel
atan
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Sum
ater
a Se
lata
n
Kal
iman
tan
Bara
t
Sul
awes
i Uta
ra
Ria
u
Jaw
a Ti
mur
Sul
awes
i Bar
at
Gor
onta
lo
Jaw
a Ba
rat
Pap
ua B
arat
Kal
iman
tan
Uta
ra
Jaw
a Te
ngah
Lam
pung
Jam
bi
Ban
ten
Sum
ater
a U
tara
Sum
ater
a Ba
rat
Ban
gka
Belit
ung
DI Y
ogya
kart
a
Mal
uku
Sumber: DJPK 2013 (Data Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Pada tahun 2014, rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di seluruh
Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 17,65%, yang berarti lebih
rendah apabila dibandingkan dengan rasionya di tahun 2013, yaitu sebesar
19,33% dan tahun 2012 yang hanya mencapai sebesar 21%. Dari jumlah
62 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
tersebut, sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih
rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut, sedangkan 17 provinsi memiliki
rasio di atas rata-rata. Grafik 3.5 memperlihatkan bahwa pemerintah provinsi
yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar adalah Pemerintah Provinsi
Bengkulu dengan rasio sebesar 30,08%, sedangkan pemerintah provinsi yang
memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalah Pemerintah Provinsi Papua
Barat yaitu sebesar 8,21%. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rasio belanja
pegawai pemerintah provinsi relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan
rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi.
Grafik 3.5
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Grafik 3.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerah. Berdasarkan grafik
tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 47,52%, sedangkan
wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total
belanja daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi
mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja
daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai.
Grafik 3.6
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah
8,21%
30,08%
17,65%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Pap
ua B
arat
Jaw
a Ba
rat
Pap
ua
Ban
ten
Kal
iman
tan
Tim
ur
Ace
h
Kal
iman
tan
Uta
ra
Kep
ulau
an R
iau
Sum
ater
a Se
lata
n
Sum
ater
a U
tara
Ria
u
Jaw
a Ti
mur
Kal
iman
tan
Teng
ah
Lam
pung
Jaw
a Te
ngah
Sul
awes
i Bar
at
Kal
iman
tan
Sela
tan
Sul
awes
i Sel
atan
Ban
gka
Belit
ung
DI Y
ogya
kart
a
Kal
iman
tan
Bara
t
Sum
ater
a Ba
rat
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Jam
bi
Bal
i
Sul
awes
i Ten
gah
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
DKI
Jaka
rta
Gor
onta
lo
Sul
awes
i Uta
ra
Mal
uku
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Mal
uku
Uta
ra
Ben
gkul
u
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Grafik 3.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap
total belanja daerah. Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa
wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar
63Analisa Belanja Daerah
47,52%, sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu
sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja
daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan
dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi mengalokasikan hampir setengah
belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih
sedikit porsi belanja daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/
kegiatan non pegawai.
Grafik 3.6
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
b. Rasio Jumlah Guru Terhadap PNSD
Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD
per wilayah di Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk wilayah
Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi, yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio
yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja
pegawainya untuk membayar belanja pegawai bagi guru daerah.
Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja
Pegawai tertinggi, namun di sisi yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah
Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di
Indonesia. Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif inilah yang menjadi
sorotan masyarakat karena dinilai terlalu “gemuk” dan tidak efisien.
Grafik 3.7
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*)
41,10% 41,06%
47,52%
32,29%35,75%
39,54%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
b. Rasio Jumlah Guru Terhadap PNSD
Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per
wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah di Indonesia
memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat
dilihat bahwa untuk wilayah Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi,
yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio
yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan
64 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawainya untuk membayar
belanja pegawai bagi guru daerah.
Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam
dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja Pegawai tertinggi, namun di sisi
yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa di wilayah Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif
jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang
bersifat administratif inilah yang menjadi sorotan masyarakat karena dinilai
terlalu “gemuk” dan tidak efisien.
Grafik 3.7
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*)
Sumber: DJPK (Data Diolah)
B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah
Porsi belanja modal dalam APBD merupakan komponen belanja yang sangat penting karena realisasi belanja modal
akan memiliki multiplier effect dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya,
diharapkan akan semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin
berkurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Alokasi Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk
membiayai Belanja Modal. Belanja Modal ditambah Belanja Barang dan Jasa merupakan belanja pemerintah daerah yang
mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, di samping pengaruh dari sektor swasta, rumah
tangga, dan luar negeri.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 3.8 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota. Rata-
rata rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 25,86%, lebih tinggi
jika dibandingkan dengan rasio belanja modal pada APBD 2013 sebesar 24,81%. Sementara itu, rata-rata porsi belanja modal
dalam APBD 2012 menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah, yaitu sebesar 23,4%. Hal ini menunjukkan adanya shifting
atau pergeseran dari penurunan porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal, yang berarti dapat menjadi indikasi
positif terhadap perbaikan kualitas struktur belanja daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 18 provinsi masih memiliki rasio
belanja modal di bawah rata-rata, sedangkan 16 provinsi lainnya berada di atas rata-rata.
54,19%
51,99%
48,22%47,66%
50,00%
50,41%
44%
46%
48%
50%
52%
54%
56%
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: DJPK 2014 (Data Diolah)
B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja DaerahPorsi belanja modal dalam APBD merupakan komponen belanja yang
sangat penting karena realisasi belanja modal akan memiliki multiplier effect
65Analisa Belanja Daerah
dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Oleh karena itu, semakin
tinggi angka rasionya, diharapkan akan semakin baik pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin
berkurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Alokasi Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah mencerminkan porsi
belanja daerah yang dibelanjakan untuk membiayai Belanja Modal. Belanja
Modal ditambah Belanja Barang dan Jasa merupakan belanja pemerintah
daerah yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu daerah, di samping pengaruh dari sektor swasta, rumah tangga, dan
luar negeri.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 3.8 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara
agregat provinsi, kabupaten dan kota. Rata-rata rasio belanja modal terhadap
total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar
25,86%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio belanja modal pada
APBD 2013 sebesar 24,81%. Sementara itu, rata-rata porsi belanja modal
dalam APBD 2012 menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah, yaitu
sebesar 23,4%. Hal ini menunjukkan adanya shifting atau pergeseran dari
penurunan porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal, yang
berarti dapat menjadi indikasi positif terhadap perbaikan kualitas struktur
belanja daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 18 provinsi masih memiliki
rasio belanja modal di bawah rata-rata, sedangkan 16 provinsi lainnya berada
di atas rata-rata.
Dari keseluruhan agregat provinsi, kabupaten, dan kota tersebut, provinsi
yang memiliki rasio terendah adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
yaitu sebesar 15,30%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio
tertinggi, yaitu sebesar 44,75%. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian
besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal dengan
proporsi yang kecil, yaitu di bawah 25%.
66 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 3.8
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Dari keseluruhan agregat provinsi, kabupaten, dan kota tersebut, provinsi yang memiliki rasio terendah adalah
ProvinsiDaerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sebesar 15,30%, sedangkan Provinsi DKI Jakartamemiliki rasio tertinggi, yaitu
sebesar 44,75%. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal
dengan proporsi yang kecil, yaitu dibawah 25%.
Grafik 3.8
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber : APBD 2014 (Diolah)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada grafik 3.9 memperlihatkan bahwa secara rata-
rata nasional, rasio belanja modal terhadap belanja daerah sebesar 26,14%, yang berarti lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan rata-ratanya pada tahun 2013 sebesar 25,36%, serta tahun 2012 sebesar 24,1%.Dari rata-rata tersebut,terdapat 14
provinsi yang memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-rata, sedangkan 19 provinsi memiliki rasio yang lebih kecil dari
rata-rata. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja modal yang terbesar
yaitu sebesar 45,82%, sedangkan pemerintahkabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki
rasio terkecil yaitu 15,73%.
Grafik 3.9
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
15,30%
44,75%
25,86%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
DI Y
ogya
kart
a
Jaw
a Te
ngah
Bal
i
Jaw
a Ba
rat
Jaw
a Ti
mur
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Sul
awes
i Ten
gah
Sul
awes
i Sel
atan
Sum
ater
a Ba
rat
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Ben
gkul
u
Gor
onta
lo
Mal
uku
Sul
awes
i Bar
at
Sul
awes
i Uta
ra
Lam
pung
Sum
ater
a U
tara
Ban
gka
Belit
ung
Ace
h
Kal
iman
tan
Bara
t
Kep
ulau
an R
iau
Pap
ua
Mal
uku
Uta
ra
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Pap
ua B
arat
Kal
iman
tan
Teng
ah
Sum
ater
a Se
lata
n
Ban
ten
Jam
bi
Kal
iman
tan
Sela
tan
Ria
u
Kal
iman
tan
Tim
ur
Kal
iman
tan
Uta
ra
DKI
Jaka
rta
Sumber : APBD 2014 (Diolah)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada
grafik 3.9 memperlihatkan bahwa secara rata-rata nasional, rasio belanja
modal terhadap belanja daerah sebesar 26,14%, yang berarti lebih tinggi
apabila dibandingkan dengan rata-ratanya pada tahun 2013 sebesar 25,36%,
serta tahun 2012 sebesar 24,1%. Dari rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi
yang memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-rata, sedangkan 19
provinsi memiliki rasio yang lebih kecil dari rata-rata. Pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota di Provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja
modal yang terbesar yaitu sebesar 45,82%, sedangkan pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio
terkecil yaitu 15,73%.
67Analisa Belanja Daerah
Grafik 3.9
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Gambaran mengenai rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerah dapat dilihat pada Grafik
3.10. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja
daerahadalah sebesar 19,56%, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 2013 sebesar 18,85%, serta
tahun 2012 sebesar 17,4%. Dilihat dari rata-ratanya, terdapat 20 pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja modal lebih
besar dari rata-rata, sedangkan 14 provinsi lainnya lebih kecil dari rata-rata.
Dari keseluruhan provinsi, Provinsi Jawa Barat memiliki rata-rata rasio belanja modalpemerintah provinsiterhadap
belanja daerahyang terendah yaitu sebesar 6,56%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio belanja modalpemerintah
provinsiterhadap belanja daerah tertinggi yaitu sebesar 44,75%.
Grafik 3.10
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
15,73%
45,82%
26,14%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
DI Y
ogya
kart
a
Jaw
a Te
ngah
Bal
i
Sum
ater
a Ba
rat
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Jaw
a Ba
rat
Jaw
a Ti
mur
Sul
awes
i Sel
atan
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Gor
onta
lo
Sul
awes
i Ten
gah
Sul
awes
i Bar
at
Sul
awes
i Uta
ra
Mal
uku
Lam
pung
Ben
gkul
u
Sum
ater
a U
tara
Ban
gka
Belit
ung
Ace
h
Kep
ulau
an R
iau
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Mal
uku
Uta
ra
Kal
iman
tan
Bara
t
Kal
iman
tan
Teng
ah
Ban
ten
Jam
bi
Kal
iman
tan
Sela
tan
Pap
ua
Pap
ua B
arat
Sum
ater
a Se
lata
n
Ria
u
Kal
iman
tan
Tim
ur
Kal
iman
tan
Uta
ra
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Gambaran mengenai rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap
total belanja daerah dapat dilihat pada Grafik 3.10. Grafik tersebut
menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi
terhadap total belanja daerah adalah sebesar 19,56%, yang berarti lebih
tinggi jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 2013 sebesar 18,85%,
serta tahun 2012 sebesar 17,4%. Dilihat dari rata-ratanya, terdapat 20
pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-
rata, sedangkan 14 provinsi lainnya lebih kecil dari rata-rata.
Dari keseluruhan provinsi, Provinsi Jawa Barat memiliki rata-rata rasio
belanja modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah yang terendah
yaitu sebesar 6,56%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio belanja
68 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah tertinggi yaitu sebesar
44,75%.
Grafik 3.10
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
Grafik 3.11 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5 wilayah yaitu Sumatera, Jawa dan
Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Grafik tersebut menunjukkanbahwa rata-rata rasio
belanja modal terhadap total belanja daerahdi5 wilayah di Indonesia adalah sebesar 26,80%, yang berarti lebih tinggi jika
dibandingkan dengan rata-rata rasio pada tahun 2013 sebesar 25,85%. Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa rasio
belanja modal terhadap total belanja daerah di 4 wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, Sulawesi, serta dan Nusa Tenggara,
Maluku, dan Papuamemiliki rasio lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata rasio secara nasional. Sementara itu, untuk
wilayah Kalimantan memiliki rasio lebih besar darirata-rata rasionya secara nasional. Adapun Belanja Modal yang tertinggi
terdapat di wilayah Kalimantan, yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu sebesar 22,77%.
Grafik 3.11
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)
6,56%
44,75%
19,56%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Jaw
a Ba
rat
Jaw
a Ti
mur
Bal
i
Jaw
a Te
ngah
Sul
awes
i Ten
gah
DI Y
ogya
kart
a
Sul
awes
i Sel
atan
Sum
ater
a Se
lata
n
Kal
iman
tan
Bara
t
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Ben
gkul
u
Sum
ater
a U
tara
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Mal
uku
Lam
pung
Kal
iman
tan
Uta
ra
Pap
ua
Sul
awes
i Uta
ra
Ria
u
Gor
onta
lo
Sul
awes
i Bar
at
Ace
h
Ban
gka
Belit
ung
Sum
ater
a Ba
rat
Ban
ten
Kep
ulau
an R
iau
Kal
iman
tan
Teng
ah
Pap
ua B
arat
Kal
iman
tan
Sela
tan
Kal
iman
tan
Tim
ur
Jam
bi
Mal
uku
Uta
ra
Sul
awes
i Ten
ggar
a
DKI
Jaka
rta
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
Grafik 3.11 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja
daerah di 5 wilayah yaitu Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi,
serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Grafik tersebut menunjukkan
bahwa rata-rata rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5
wilayah di Indonesia adalah sebesar 26,80%, yang berarti lebih tinggi jika
dibandingkan dengan rata-rata rasio pada tahun 2013 sebesar 25,85%.
Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa rasio belanja modal terhadap
total belanja daerah di 4 wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, Sulawesi,
serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua memiliki rasio lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata rasio secara nasional. Sementara itu, untuk
wilayah Kalimantan memiliki rasio lebih besar dari rata-rata rasionya secara
nasional. Adapun Belanja Modal yang tertinggi terdapat di wilayah Kalimantan,
69Analisa Belanja Daerah
yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu
sebesar 22,77%.
Grafik 3.11
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
C. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk
Untuk mengetahui seberapa besar belanja modal yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur
daerah per penduduk, dalam sub bab ini akan digambarkan mengenai rasio belanja modal per kapita, baik secara nasional,
agregat provinsi, agregat kabupaten/kota, maupun per wilayah. Rasio belanja modal per kapita memiliki hubungan yang erat
dengan pertumbuhan ekonomi mengingat belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi
pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan
perekonomian penduduknya yang dilihat dari alokasi belanja yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi (agregat provinsi, kabupaten dan kota), dan
memperlihatkan rata-rata rasio belanja modal per kapita tahun 2014 sebesar Rp1,586 juta, yang berarti lebih tinggi jika
dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki
rasio belanja modal perkapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24 provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal
perkapita lebih rendah dari rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita
tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah adalah Provinsi Jawa Barat sebesar
Rp0,302 juta.
Grafik 3.12
23,86%
26,56%
22,77%
35,19%
25,60%
26,80%
0%
10%
20%
30%
40%
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
C. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah PendudukUntuk mengetahui seberapa besar belanja modal yang dialokasikan
pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk, dalam
sub bab ini akan digambarkan mengenai rasio belanja modal per kapita,
baik secara nasional, agregat provinsi, agregat kabupaten/kota, maupun per
wilayah. Rasio belanja modal per kapita memiliki hubungan yang erat dengan
pertumbuhan ekonomi mengingat belanja modal merupakan salah satu jenis
belanja pemerintah yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini
bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan
perekonomian penduduknya yang dilihat dari alokasi belanja yang dikeluarkan
untuk pembangunan infrastruktur.
70 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi
(agregat provinsi, kabupaten dan kota), dan memperlihatkan rata-rata rasio
belanja modal per kapita tahun 2014 sebesar Rp1,586 juta, yang berarti
lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar
Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki rasio
belanja modal per kapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24
provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal per kapita lebih rendah dari
rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio
belanja modal per kapita tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar
Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah adalah Provinsi Jawa Barat sebesar
Rp0,302 juta.
Grafik 3.12
Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan KotaRasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio belanja modal perkapita kabupaten dan kota se-provinsi menggambarkan besaran belanja modal yang
dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap provinsi. Dari data APBD dapat
dilihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata nasional
adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah
yang besar dari pusat terutama dari DBH SDA dan Dana Otonomi Khusus.
Grafik 3.13 menunjukkan rasio belanja modal per kapitapemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi.
Secara nasional, rata-rata rasio belanja modalper kapita kabupaten dan kota se-provinsi tahun 2014 adalah Rp1,248 juta, atau
lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanyadalam tahun 2013 sebesar Rp0,97juta. Pemerintah kabupaten dan pemerintah
kotase-provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita lebih rendah dari rata-rata sebanyak 25 provinsi, sedangkan yang
di atas rata-rata sebanyak 8 provinsi. Kabupaten dan kota se-provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja modal perkapita
tertinggi yaitu sebesar Rp7,216 juta, sedangkan kabupaten dan kota se-Provinsi Jawa Baratmemiliki rasio yang terendah yaitu
sebesar Rp0,271 juta.
Grafik 3.13
Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
302.451
7.836.252
1.586.001
-
1.000.000
2.000.000
3.000.000
4.000.000
5.000.000
6.000.000
7.000.000
8.000.000
9.000.000
Jaw
a Ba
rat
Jaw
a Te
ngah
Jaw
a Ti
mur
DI Y
ogya
kart
a
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Ban
ten
Lam
pung
Bal
i
Sum
ater
a U
tara
Sul
awes
i Sel
atan
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Sum
ater
a Ba
rat
Sul
awes
i Bar
at
Sul
awes
i Ten
gah
Kal
iman
tan
Bara
t
Gor
onta
lo
Ben
gkul
u
Sum
ater
a Se
lata
n
Sul
awes
i Uta
ra
Mal
uku
Jam
bi
Ban
gka
Belit
ung
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Kal
iman
tan
Sela
tan
Kep
ulau
an R
iau
Ace
h
Ria
u
Kal
iman
tan
Teng
ah
Mal
uku
Uta
ra
DKI
Jaka
rta
Pap
ua
Kal
iman
tan
Tim
ur
Pap
ua B
arat
Kal
iman
tan
Utar
a
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
71Analisa Belanja Daerah
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi
menggambarkan besaran belanja modal yang dibelanjakan untuk
pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap
provinsi. Dari data APBD dapat dilihat bahwa provinsi-provinsi yang
menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata
nasional adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang
besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah yang besar dari pusat
terutama dari DBH SDA dan Dana Otonomi Khusus.
Grafik 3.13 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi. Secara nasional, rata-rata rasio
belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi tahun 2014 adalah
Rp1,248 juta, atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam
tahun 2013 sebesar Rp0,97 juta. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota
se-provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita lebih rendah dari
rata-rata sebanyak 25 provinsi, sedangkan yang di atas rata-rata sebanyak
8 provinsi. Kabupaten dan kota se-provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio
belanja modal per kapita tertinggi yaitu sebesar Rp7,216 juta, sedangkan
kabupaten dan kota se-Provinsi Jawa Barat memiliki rasio yang terendah yaitu
sebesar Rp0,271 juta.
72 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 3.13
Rasio Belanja Modal per Kapita
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Grafik 3.14 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal
per kapita pemerintah provinsi tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata
tahun sebelumnya sebesar Rp0,28 juta. Sebagian besar pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah
penduduk di bawah rata-rata nasional, yaitu sebanyak 26 provinsi, serta hanya 8 provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata
nasional. Pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
yaitu sebesar Rp2,916 juta sedangkan yang terendah adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp0,031 juta.
Grafik 3.14
Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi
271.755
7.216.717
1.248.389
-
1.000.000
2.000.000
3.000.000
4.000.000
5.000.000
6.000.000
7.000.000
8.000.000
Jaw
a Ba
rat
Jaw
a Te
ngah
DI Y
ogya
kart
a
Jaw
a Ti
mur
Ban
ten
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Lam
pung
Bal
i
Sum
ater
a U
tara
Sul
awes
i Sel
atan
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Sul
awes
i Bar
at
Sum
ater
a Ba
rat
Sul
awes
i Ten
gah
Gor
onta
lo
Kal
iman
tan
Bara
t
Ben
gkul
u
Ban
gka
Belit
ung
Sul
awes
i Uta
ra
Sum
ater
a Se
lata
n
Jam
bi
Mal
uku
Ace
h
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Kal
iman
tan
Sela
tan
Kep
ulau
an R
iau
Ria
u
Mal
uku
Uta
ra
Kal
iman
tan
Teng
ah
Pap
ua
Pap
ua B
arat
Kal
iman
tan
Tim
ur
Kal
iman
tan
Uta
ra
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Grafik 3.14 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah
provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi
tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan
dengan rata-rata tahun sebelumnya sebesar Rp0,28 juta. Sebagian besar
pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk
di bawah rata-rata nasional, yaitu sebanyak 26 provinsi, serta hanya 8
provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Pemerintah provinsi
yang memiliki rasio belanja modal per kapita tertinggi adalah Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp2,916 juta sedangkan yang terendah
adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp0,031 juta.
73Analisa Belanja Daerah
Grafik 3.14
Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
Rasio belanja modal perkapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik 3.15 memperlihatkan bahwa rasio rata-rata
belanja modal perkapita adalah sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal perkapita tertinggi berada di wilayah Kalimantan,
yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di
wilayah Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu, rasio belanja modal perkapita terendah adalah
di wilayah Jawa dan Bali, yaitu sebesar Rp0,55 juta.
Grafik 3.15
Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *)
30.696
2.916.738
374.329
-
400.000
800.000
1.200.000
1.600.000
2.000.000
2.400.000
2.800.000
3.200.000 Ja
wa
Bara
t
Jaw
a Ti
mur
Jaw
a Te
ngah
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Sul
awes
i Sel
atan
Sul
awes
i Ten
gah
Bal
i
Sum
ater
a U
tara
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Lam
pung
DI Y
ogya
kart
a
Sum
ater
a Se
lata
n
Kal
iman
tan
Bara
t
Ban
ten
Sum
ater
a Ba
rat
Ben
gkul
u
Mal
uku
Sul
awes
i Uta
ra
Sul
awes
i Bar
at
Gor
onta
lo
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Jam
bi
Ria
u
Kal
iman
tan
Teng
ah
Ban
gka
Belit
ung
Kal
iman
tan
Sela
tan
Mal
uku
Uta
ra
Kep
ulau
an R
iau
Ace
h
Kal
iman
tan
Utar
a
Pap
ua
Kal
iman
tan
Tim
ur
Pap
ua B
arat
DKI
Jaka
rta
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
Rasio belanja modal per kapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik
3.15 memperlihatkan bahwa rasio rata-rata belanja modal per kapita adalah
sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal per kapita tertinggi berada di
wilayah Kalimantan, yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa
anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah
Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu,
rasio belanja modal per kapita terendah adalah di wilayah Jawa dan Bali,
yaitu sebesar Rp0,55 juta.
74 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 3.15
Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
D. Rasio Belanja Bantuan SosialTerhadap Total Belanja Daerah
Belanja Bantuan Sosial merupakan salah satu pos dalam belanja tidak langsung. Secara definisi, bantuan sosial
adalah pemberian bantuan yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif dalam bentuk uang/barang kepada masyarakat
atau organisasi profesi yang bertujuan untuk kepentingan umum. Dalam bantuan sosial ini termasuk di dalamnya antara lain
yaitu bantuan partai politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari sisi pemerintah daerah, bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kegiatan dengan kegiatan
yang dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) mengingat keduanya menggunakan dana dari APBD. Sebagai contoh,
bantuan sosial kepada masyarakat di lingkungan kumuh, pondok pesantren, bantuan untuk bidang sanitasi, serta penyediaan
akses air bersih, yang dalam juga dilaksanakan oleh SKPD. Oleh karena itu, pemantauan terhadap jumlah anggaran yang
dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial perlu dilakukan pemantauan dalam pelaksanaannya. Agar pengelolaan Belanja
Bantuan Sosial dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, saat ini Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012.
Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan
untuk Belanja Bantuan Sosial. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk
Belanja Bantuan Sosial, demikian juga sebaliknya semakin kecil angka rasio Belanja Bantuan Sosial maka semakin kecil pula
proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial.
545.903
1.057.273 913.355
2.482.181
1.550.466
1.309.836
-
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2.500.000
3.000.000
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
D. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja DaerahBelanja Bantuan Sosial merupakan salah satu pos dalam belanja tidak
langsung. Secara definisi, bantuan sosial adalah pemberian bantuan yang
sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif dalam bentuk uang/barang
kepada masyarakat atau organisasi profesi yang bertujuan untuk kepentingan
umum. Dalam bantuan sosial ini termasuk di dalamnya antara lain yaitu
bantuan partai politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari sisi pemerintah daerah, bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan
tumpang tindih kegiatan dengan kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja
perangkat daerah (SKPD) mengingat keduanya menggunakan dana dari
APBD. Sebagai contoh, bantuan sosial kepada masyarakat di lingkungan
kumuh, pondok pesantren, bantuan untuk bidang sanitasi, serta penyediaan
akses air bersih, yang dalam juga dilaksanakan oleh SKPD. Oleh karena itu,
pemantauan terhadap jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Belanja
75Analisa Belanja Daerah
Bantuan Sosial perlu dilakukan pemantauan dalam pelaksanaannya. Agar
pengelolaan Belanja Bantuan Sosial dilaksanakan secara transparan dan
akuntabel, saat ini Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 39 Tahun 2012.
Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan
porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan untuk Belanja Bantuan Sosial.
Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang
dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial, demikian juga sebaliknya semakin
kecil angka rasio Belanja Bantuan Sosial maka semakin kecil pula proporsi
APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Rata-rata pengeluaran daerah untuk belanja bantuan sosial pada APBD
2014 secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 0,92%,
yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pada tahun
2013 sebesar 1,05%. Dari 34 provinsi di Indonesia, yang memiliki angka
rasio di bawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah
26 provinsi, dan sisanya sebanyak 8 provinsi memiliki angka rasio yang lebih
besar dari angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi
Sumatera Selatan memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja
daerah yang terkecil, yaitu sebesar 0,17%, sedangkan daerah yang memiliki
rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah terbesar secara
agregat adalah Provinsi Papua, yaitu sebesar 3,06%. Gambaran ini dapat
dilihat pada Grafik 3.16 di bawah ini.
76 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 3.16
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Rata-rata pengeluaran daerah untuk belanja bantuan sosial pada APBD 2014 secara agregat provinsi, kabupaten dan
kota adalah sebesar 0,92%, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pada tahun 2013 sebesar 1,05%. Dari
34 provinsi di Indonesia, yang memiliki angka rasio dibawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah 26
provinsi, dan sisanya sebanyak8 provinsi memiliki angka rasio yang lebih besar dari angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten
dan kota. Provinsi Sumatera Selatanmemiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah yang terkecil, yaitu
sebesar0,17%, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah terbesar secara
agregat adalah ProvinsiPapua, yaitu sebesar 3,06%. Gambaran ini dapat dilihat pada Grafik 3.16 di bawah ini.
Grafik 3.16
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rata-rata rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah dalam APBD 2014 pada pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota se-provinsi adalah sebesar 0,87% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan
dengan rasio pada APBD tahun anggaran sebelumnya sebesar 0,93%. Dari hal tersebut, sebanyak 26 provinsi memiliki rasio
belanja bantuan sosial yang lebih kecil dari rata-rata, dan sebanyak 7 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari rata-rata.
Dari Grafik 3.17 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di ProvinsiPapuaBarat memiliki rasio belanja
bantuan sosial yang tertinggi, yaitu sebesar 4,03%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di ProvinsiSumatera
Selatan memiliki rasio terendah, yaitu sebesar 0,20%.
0,17%
3,06%
0,92%
0,00%
0,50%
1,00%
1,50%
2,00%
2,50%
3,00%
3,50%
Sum
ater
a Se
lata
n
Sul
awes
i Sel
atan
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Kal
iman
tan
Bara
t
Sul
awes
i Ten
gah
Ria
u
Lam
pung
Mal
uku
Kal
iman
tan
Sela
tan
Ban
gka
Belit
ung
Kal
iman
tan
Tim
ur
Jaw
a Ba
rat
Sum
ater
a U
tara
Jaw
a Te
ngah
Sul
awes
i Uta
ra
Sum
ater
a Ba
rat
Mal
uku
Uta
ra
Jaw
a Ti
mur
Gor
onta
lo
Kal
iman
tan
Uta
ra
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Kal
iman
tan
Teng
ah
Jam
bi
Ban
ten
Sul
awes
i Bar
at
DI Y
ogya
kart
a
Bal
i
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
DKI
Jaka
rta
Ace
h
Ben
gkul
u
Kep
ulau
an R
iau
Pap
ua B
arat
Pap
ua
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rata-rata rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah dalam
APBD 2014 pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi
adalah sebesar 0,87% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika
dibandingkan dengan rasio pada APBD tahun anggaran sebelumnya sebesar
0,93%. Dari hal tersebut, sebanyak 26 provinsi memiliki rasio belanja bantuan
sosial yang lebih kecil dari rata-rata, dan sebanyak 7 provinsi memiliki rasio
yang lebih besar dari rata-rata. Dari Grafik 3.17 terlihat bahwa pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua Barat memiliki rasio belanja
bantuan sosial yang tertinggi, yaitu sebesar 4,03%, sedangkan pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Sumatera Selatan memiliki rasio
terendah, yaitu sebesar 0,20%.
77Analisa Belanja Daerah
Grafik 3.17
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
Grafik 3.17
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Dalam APBD 2014, rasio belanja bantuan sosial terhadap belanja daerah pemerintah provinsi memperlihatkan bahwa
secara rata-rata rasio belanja bantuan sosial adalah sebesar 1,05% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika
dibandingkan dengan rasio pada APBD 2013 sebesar 1,06%. Berdasarkan angka rata-rata rasio belanja bantuan sosial tersebut,
terdapat 22 provinsi yang memiliki rasio lebih kecil dari angka rata-rata, sedangkan 12 provinsi lainnya memiliki rasio yang lebih
besar dari angka rata-rata.Dari kondisi tersebut, terdapat 3 provinsi yang tidak menganggarkan belanja bantuan sosial dalam
APBD 2014, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Grafik 3.18
menunjukkan bahwa Pemerintah ProvinsiBengkulu memiliki rasio belanja bantuan social tertinggi dalam APBD 2014, yaitu
sebesar 7,86% dari total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak menganggarkan belanja bantuan
sosial. Adapun Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Pemerintah ProvinsiKalimantan Selatan yang memiliki rasio sebesar
0,0002% dari total belanja daerah.
Grafik 3.18
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Provinsi
0,20%
4,03%
0,87%
0,00%
0,50%
1,00%
1,50%
2,00%
2,50%
3,00%
3,50%
4,00%
4,50%
Sum
ater
a Se
lata
n
Sul
awes
i Sel
atan
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Sul
awes
i Ten
gah
Kal
iman
tan
Bara
t
Ria
u
Mal
uku
Lam
pung
Kal
iman
tan
Teng
ah
Ben
gkul
u
Kal
iman
tan
Sela
tan
Mal
uku
Uta
ra
Bal
i
Sul
awes
i Uta
ra
Ban
gka
Belit
ung
Ban
ten
Jaw
a Ba
rat
Kal
iman
tan
Tim
ur
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Sum
ater
a U
tara
Jaw
a Te
ngah
Jam
bi
Sum
ater
a Ba
rat
Jaw
a Ti
mur
Sul
awes
i Bar
at
Kal
iman
tan
Uta
ra
Gor
onta
lo
DI Y
ogya
kart
a
Ace
h
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Kep
ulau
an R
iau
Pap
ua
Pap
ua B
arat
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Dalam APBD 2014, rasio belanja bantuan sosial terhadap belanja daerah
pemerintah provinsi memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja
bantuan sosial adalah sebesar 1,05% dari total belanja daerah, yang berarti
lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio pada APBD 2013 sebesar
1,06%. Berdasarkan angka rata-rata rasio belanja bantuan sosial tersebut,
terdapat 22 provinsi yang memiliki rasio lebih kecil dari angka rata-rata,
sedangkan 12 provinsi lainnya memiliki rasio yang lebih besar dari angka
rata-rata. Dari kondisi tersebut, terdapat 3 provinsi yang tidak menganggarkan
belanja bantuan sosial dalam APBD 2014, yaitu Provinsi Sumatera Barat,
Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Grafik 3.18
menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Bengkulu memiliki rasio belanja
bantuan sosial tertinggi dalam APBD 2014, yaitu sebesar 7,86% dari
total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak
78 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
menganggarkan belanja bantuan sosial. Adapun Provinsi yang memiliki rasio
terendah adalah Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki rasio
sebesar 0,0002% dari total belanja daerah.
Grafik 3.18
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
Untuk memetakan rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah berdasarkan clustering wilayah, daerah
di Indonesia dibagi menjadi 5 wilayah. Grafik 3.19 memperlihatkan bahwa rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja
daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa
wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki rasio tertinggi yaitu sebesar 2,02%, sedangkan wilayah yang memiliki rasio
belanja bantuan sosial terendah adalah Sulawesi yaitu sebesar 0,39%.
Grafik 3.19
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *)
0,00%
7,86%
1,05%
0%
1%
2%
3%
4%
5%
6%
7%
8%
Sum
ater
a Ba
rat
Sul
awes
i Sel
atan
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Kal
iman
tan
Sela
tan
Sum
ater
a Se
lata
n
Sum
ater
a U
tara
Kal
iman
tan
Bara
t
Lam
pung
Kal
iman
tan
Tim
ur
Ban
gka
Belit
ung
Jaw
a Ti
mur
Jaw
a Ba
rat
Gor
onta
lo
Sul
awes
i Ten
gah
Ria
u
Jaw
a Te
ngah
Kal
iman
tan
Uta
ra
Mal
uku
DI Y
ogya
kart
a
Pap
ua B
arat
Sul
awes
i Uta
ra
Sul
awes
i Bar
at
Jam
bi
Mal
uku
Uta
ra
Ban
ten
Kep
ulau
an R
iau
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Pap
ua
DKI
Jaka
rta
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Kal
iman
tan
Teng
ah
Ace
h
Bal
i
Ben
gkul
u
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
Untuk memetakan rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja
daerah berdasarkan clustering wilayah, daerah di Indonesia dibagi menjadi
5 wilayah. Grafik 3.19 memperlihatkan bahwa rasio belanja bantuan sosial
terhadap total belanja daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata
rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa
wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki rasio tertinggi yaitu
sebesar 2,02%, sedangkan wilayah yang memiliki rasio belanja bantuan
sosial terendah adalah Sulawesi yaitu sebesar 0,39%.
79Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
Grafik 3.19
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
0,92%
0,82%
0,39%0,52%
2,02%
0,93%
0,00%
0,50%
1,00%
1,50%
2,00%
2,50%
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
80 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
bAb IV ANAlISIS SURPlUS/DEFISIT DAN
PEMbIAYAAN DAERAH
APBD disusun sebagai suatu perencanaan terkait pendapatan dan belanja.
Dalam anggaran, apabila pendapatan lebih besar daripada belanja, maka akan
terjadi surplus, dan sebaliknya jika belanja lebih besar daripada pendapatan,
maka akan terjadi defisit. Apabila dalam APBD direncanakan akan terdapat
surplus/defisit, maka APBD tersebut wajib mencantumkan pos pembiayaan
yang meliputi anggaran Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Pos Penerimaan Pembiayaan berfungsi untuk
menutupi defisit, sedangkan pos Pengeluaran Pembiayaan berfungsi untuk
menyalurkan dana surplus. Dari data APBD 2014 yang diterima dari daerah
dapat diketahui bahwa sebagian besar pemerintah daerah menyusun APBD-
nya defisit.
A. DefisitSejak pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang
diterapkan tahun 2001, daerah diberikan keleluasaan dalam penyusunan
APBD apakah menerapkan pola anggaran berimbang, surplus, ataupun defisit.
Berdasarkan data APBD TA 2014 diketahui jumlah daerah otonom adalah
sebanyak 505 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Daerah yang menerapkan
anggaran defisit sebanyak 472 daerah, meningkat dari tahun sebelumnya
sebanyak 447 daerah. Sementara itu, daerah yang menerapkan anggaran
surplus sebanyak 51 daerah, lebih sedikit apabila dibandingkan dengan tahun
81Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
sebelumnya sebanyak 68 daerah, sedangkan sisanya sebanyak 16 daerah
menerapkan pola anggaran berimbang.
Banyaknya daerah yang menerapkan pola anggaran defisit selain ditujukan
untuk menutupi kebutuhan anggaran belanja yang dibiayai dari pinjaman
daerah, juga ditujukan untuk menampung SiLPA tahun anggaran sebelumnya.
Berdasarkan data realisasi APBD-nya, daerah-daerah yang berpola anggaran
defisit tersebut justru mengalami surplus pada saat realisasi anggaran. Kondisi
tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan dalam hal kesiapan daerah
dalam melakukan perencanaan dan penganggaran di APBD.
Di bawah ini akan disajikan rasio defisit terhadap pendapatan, yang
berarti semakin besar persentase rasionya, maka semakin besar pula
Penerimaan Pembiayaannya (SiLPA dan Pinjaman Daerah) yang diperlukan
untuk menutupi anggaran belanjanya.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (agregat propinsi, kabupaten,
dan kota) dapat dilihat pada grafik 4.1. di bawah ini.
Grafik 4.1
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan,
Agregat Provinsi, Kabupaten, dan KotaRasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan, Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.1. di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten, dan kota)
adalah sebesar 7,7%, di mana defisit tersebut akan ditutup dengan menggunakan pembiayaan. Sumber penerimaan
pembiayaan terbesar berasal dari SiLPA, dengan kontribusi sebesar 94,7% dari penerimaan pembiayaan. Sumber penerimaan
pembiayaan terbesar kedua adalah berasal dari pinjaman daerah, namun kontribusinya sangat kecil yaitu hanya sebesar 2,94%
dari penerimaan pembiayaan. Dari grafik di atas terlihat bahwa daerah yang menduduki posisi rasio defisit terbesar adalah
Kalimantan Utara (48,6%). Secara rasio, Kalimantan Timur (30,3%) dan Riau (21,2%) lebih rendah dari Kalimantan Utara ,
namun secara nilai, Kalimantan Timur (Rp.9,3 triliun) dan Riau (Rp.5,9 triliun) lebih tinggi dari Kalimantan Utara (Rp.3,8 triliun).
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi) dapat dilihat pada grafik di
bawah ini.
Grafik 4.2
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
-48,
6%-3
0,3% -2
1,2%
-16,
4%-1
5,3%
-11,
9%-1
1,6%
-10,
9%-9
,9%
-9,8
%-7
,7%
-7,5
%-6
,9%
-6,8
%-6
,4%
-6,2
%-5
,5%
-4,9
%-4
,7%
-4,5
%-4
,3%
-4,3
%-4
,1%
-3,7
%-3
,7%
-3,5
%-3
,4%
-3,2
%-2
,9%
-2,9
%-2
,8%
-1,9
%-1
,1%
-0,3
% -7,7%
-60%
-40%
-20%
0%
Kalta
raKa
ltim
Riau
Kals
elKe
pri
Bali
Bant
enBa
bel
Jam
biAc
ehJa
bar
Sum
bar
Kalte
ngDI
YJa
timJa
teng
Sultr
aBe
ngku
luPa
pbar
Sulu
tGo
ront
alo
Kalb
arPa
pua
Suls
elLa
mpu
ngN
TTM
aluk
uSu
lbar
Mal
utN
TBSu
mut
Sulte
ngSu
mse
lJa
kart
a
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
82 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 4.1. di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit secara nasional
(agregat provinsi, kabupaten, dan kota) adalah sebesar 7,7%, di mana defisit
tersebut akan ditutup dengan menggunakan pembiayaan. Sumber penerimaan
pembiayaan terbesar berasal dari SiLPA, dengan kontribusi sebesar 94,7%
dari penerimaan pembiayaan. Sumber penerimaan pembiayaan terbesar
kedua adalah berasal dari pinjaman daerah, namun kontribusinya sangat
kecil yaitu hanya sebesar 2,94% dari penerimaan pembiayaan. Dari grafik
di atas terlihat bahwa daerah yang menduduki posisi rasio defisit terbesar
adalah Kalimantan Utara (48,6%). Secara rasio, Kalimantan Timur (30,3%)
dan Riau (21,2%) lebih rendah dari Kalimantan Utara, namun secara nilai,
Kalimantan Timur (Rp.9,3 triliun) dan Riau (Rp.5,9 triliun) lebih tinggi dari
Kalimantan Utara (Rp.3,8 triliun).
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah kabupaten dan
kota se-provinsi) dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 4.2
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Grafik 4.2 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah kabupaten dan kota se-
propinsi adalah 8,4%. Daerah yang mempunyai persentase rasio defisit terbesar adalah kabupaten dan kota di wilayah
Kalimantan Utara (55,0%), kemudian diikuti kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Timur (33,9%), kabupaten dan kota di
wilayah Riau (21,9%), dan kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Selatan (16,4%). Karena sebagian besar defisit daerah
ditutup dengan menggunakan SiLPA maka semakin besar defisit daerah mengindikasikan semakin besar pula SiLPA daerah yang
bersangkutan. Provinsi yang anggaran defisitnya paling kecil (terbaik) adalah Provinsi Papua Barat (0,9%), Provinsi Sulawesi
Tengah (1,7%), dan Provinsi Sulawesi Barat (2,0%).
3. Pemerintah Provinsi
Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah provinsi) dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 4.3
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi
-55,
0%
-33,
9%
-21,
9% -16,
4%
-14,
1%
-12,
4% -9,6
%
-8,8
%
-8,6
%
-8,3
%
-7,5
%
-7,1
%
-6,9
%
-6,6
%
-6,1
%
-5,2
%
-5,1
%
-4,8
%
-4,7
%
-4,4
%
-4,3
%
-4,2
%
-4,0
%
-4,0
%
-3,3
%
-3,3
%
-3,2
%
-3,2
%
-3,0
%
-2,8
%
-2,0
%
-1,7
%
-0,9
%
-08%
-60%
-40%
-20%
00%
Kalta
ra
Kalti
m
Riau
Kals
el
Kepr
i
Bant
en
Jam
bi
Babe
l
Bali
Sum
bar
Jaba
r
Jatim
Jate
ng
Kalte
ng
DIY
Sultr
a
Kalb
ar
Beng
kulu
Mal
ut
Lam
pung
Sum
sel
Sulu
t
NTB
NTT
Mal
uku
Suls
el
Goro
ntal
o
Sum
ut
Papu
a
Aceh
Sulb
ar
Sulte
ng
Papb
ar
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
83Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
Grafik 4.2 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap
pendapatan pemerintah kabupaten dan kota se-propinsi adalah 8,4%. Daerah
yang mempunyai persentase rasio defisit terbesar adalah kabupaten dan kota
di wilayah Kalimantan Utara (55,0%), kemudian diikuti kabupaten dan kota
di wilayah Kalimantan Timur (33,9%), kabupaten dan kota di wilayah Riau
(21,9%), dan kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Selatan (16,4%).
Karena sebagian besar defisit daerah ditutup dengan menggunakan SiLPA
maka semakin besar defisit daerah mengindikasikan semakin besar pula
SiLPA daerah yang bersangkutan. Provinsi yang anggaran defisitnya paling
kecil (terbaik) adalah Provinsi Papua Barat (0,9%), Provinsi Sulawesi Tengah
(1,7%), dan Provinsi Sulawesi Barat (2,0%).
3. Pemerintah Provinsi
Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah provinsi) dapat
dilihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 4.3
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014(Diolah)
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar
4,9%. Sementara itu, pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturut-turut dari yang tertinggi adalah
Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Provinsi
Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan
Provinsi Papua Barat (11,4%).
4. Per Wilayah
Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik 4.4
Rasio Defisit terhadap Pendapatan Per Wilayah*)
-19,
7%
-16,
5%-1
6,1%
-14,
8%-1
3,8%
-13,
4%-1
2,0%
-11,
8%-1
1,4% -9
,5%
-7,6
%-7
,4%
-6,9
%-6
,8%
-6,5
%-6
,4%
-6,3
%-5
,8%
-5,3
%-5
,0%
-4,4
%-3
,6%
-3,2
%-2
,6%
-2,4
%-1
,9%
-0,7
%-0
,6%
-0,5
%-0
,4%
-0,3
%1,
0% 3,2%
8,9%
-05%
-25%
-20%
-15%
-10%
-5%
0%
5%
10%
15%
Aceh
Kepr
iRi
auBa
bel
Kalti
mBa
liKa
lsel
Kalta
raPa
pbar
Jam
biGo
ront
alo
DIY
Bant
enPa
pua
Jaba
rSu
lbar
Sultr
aKa
lteng
Sulu
tBe
ngku
luSu
lsel
Mal
uku
Sum
bar
Sulte
ngJa
timJa
teng
Kalb
arN
TTLa
mpu
ngSu
mut
Jaka
rta
NTB
Mal
utSu
mse
l
-18,8%
-7,8% -6,9%
-3,9% -3,7%
-08%
-20%
-15%
-10%
-5%
0%Kalimantan Sumatera Jawa_Bali NT Maluku Papua Sulawesi
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
84 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap
pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar 4,9%. Sementara itu,
pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturut-
turut dari yang tertinggi adalah Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan
Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%),
Provinsi Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi
Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan Provinsi
Papua Barat (11,4%).
4. Per Wilayah
Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik
dibawah ini.
Grafik 4.4
Rasio Defisit terhadap Pendapatan Per Wilayah*)
Sumber: APBD 2014(Diolah)
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar
4,9%. Sementara itu, pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturut-turut dari yang tertinggi adalah
Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Provinsi
Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan
Provinsi Papua Barat (11,4%).
4. Per Wilayah
Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik 4.4
Rasio Defisit terhadap Pendapatan Per Wilayah*)
-19,
7%
-16,
5%-1
6,1%
-14,
8%-1
3,8%
-13,
4%-1
2,0%
-11,
8%-1
1,4% -9
,5%
-7,6
%-7
,4%
-6,9
%-6
,8%
-6,5
%-6
,4%
-6,3
%-5
,8%
-5,3
%-5
,0%
-4,4
%-3
,6%
-3,2
%-2
,6%
-2,4
%-1
,9%
-0,7
%-0
,6%
-0,5
%-0
,4%
-0,3
%1,
0% 3,2%
8,9%
-05%
-25%
-20%
-15%
-10%
-5%
0%
5%
10%
15%
Aceh
Kepr
iRi
auBa
bel
Kalti
mBa
liKa
lsel
Kalta
raPa
pbar
Jam
biGo
ront
alo
DIY
Bant
enPa
pua
Jaba
rSu
lbar
Sultr
aKa
lteng
Sulu
tBe
ngku
luSu
lsel
Mal
uku
Sum
bar
Sulte
ngJa
timJa
teng
Kalb
arN
TTLa
mpu
ngSu
mut
Jaka
rta
NTB
Mal
utSu
mse
l
-18,8%
-7,8% -6,9%
-3,9% -3,7%
-08%
-20%
-15%
-10%
-5%
0%Kalimantan Sumatera Jawa_Bali NT Maluku Papua Sulawesi
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Grafik 4.4 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap
pendapatan per wilayah yang mencapai sebesar 8%. Selanjutnya, wilayah
yang memiliki rasio rata-rata defisit tertinggi adalah wilayah Kalimantan
(18,8%), sedangkan yang paling rendah adalah wilayah Sulawesi (3,7%).
Semakin besar persentase rasio defisit berarti semakin besar pula anggaran
85Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
belanja yang tidak dapat ditutupi oleh Pendapatan Daerah. Dengan demikian,
daerah harus mencari sumber-sumber penerimaan lain sebagai pembiayaan,
antara lain yaitu SiLPA, Pinjaman Daerah, Penerimaan kembali dana yang
dipinjamkan, serta Pencairan Dana Cadangan.
Jika dilihat sumber Penerimaan Pembiayaan terbesar anggaran defisit
adalah berasal dari SiLPA, maka terlihat bahwa wilayah Kalimantan dan
wilayah Sumatera merupakan wilayah dengan SiLPA yang paling besar
dibandingkan dengan tiga wilayah lainnya.
5. Daerah dengan Defisit yang tidak dapat ditutup oleh pembiayaan
Tabel 4.1. di bawah merupakan gambaran daerah yang menerapkan
pola penganggaran defisit, akan tetapi penerimaan pembiayaannya belum
seluruhnya dapat menutupi defisit yang dianggarkan, sehingga apabila
diakumulasikan antara besaran defisit dengan besaran pembiayaan masih
mempunyai nilai minus.
Tabel 4.1
Daerah dengan Besaran Defisit yang tidak dapat ditutup oleh Pembiayaan
No Nama DaerahSurplus/Defisit (Juta Rupiah)
Pembiayaan (Juta Rupiah)
Surplus/Defisit + Pembiayaan
(Juta Rupiah)
1 Kab. Halmahera Utara -13.882,9 -5.000,0 -18.882,9
2 Kab. Yahukimo -37.258,0 22.615,2 -14.642,9
3 Kab. Sukamara -35.117,9 34.740,0 -377,9
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari tabel 4.1. di atas dapat dilihat bahwa Kabupaten Halmahera
Utara mempunyai nilai defisit anggaran terbesar yang tidak dapat ditutup
melalui pembiayaan, yaitu sebesar Rp18,88 miliar. Daerah yang APBD-nya
dianggarkan defisit namun penerimaan pembiayaannya tidak seluruhnya
86 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
dapat menutupi defisit, berangsur-angsur berkurang dari 20 daerah di tahun
2012, menjadi 15 daerah di tahun 2013, dan pada tahun anggaran 2014
menjadi 3 daerah. Melihat kondisi tersebut, diharapkan pada tahun-tahun
mendatang tidak ada lagi daerah yang menganggarkan APBD-nya defisit
tanpa ada kejelasan sumber pembiayaan untuk menutupi defisit. Untuk itu,
pembinaan daerah dibidang pengelolaan keuangan perlu terus dilakukan
agar daerah dapat menerapkan pola penganggaran yang lebih realistis.
Secara normatif, anggaran defisit yang tidak dapat ditutupi seluruhnya oleh
pembiayaan tidak layak dilakukan karena akan menimbulkan ketidakpastian
dalam alokasi belanja publik.
Sementara itu pada sisi yang lain terdapat daerah yang tidak
memanfaatkan seluruh dana yang dimilikinya untuk membiayai anggaran
belanja maupun pengeluaran pembiayaan dalam APBD-nya. Daerah-daerah
tersebut justru menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan di akhir tahun 2014.
Beberapa daerah yang menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan disajikan
dalam tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2
Daerah yang Menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan
No Nama Daerah Surplus/ DefisitPembiyaan
Daerah
SILPA tahun Berkenaan
(miliar Rupiah)
(1) (2) (3) (2)+(3)
1 Prov. Jawa Timur -417,4 651,3 233,9
2 Kab. Siak -585,3 711,3 126,0
3 Kab. Mamasa 2,0 93,0 94,9
4 Prov. Maluku Utara 52,5 27,5 80,0
5 Kab. Barito Utara -32,6 110,0 77,3
6 Prov. Sumatera Barat -111,6 171,1 59,5
7 Kab. Lamandau -26,8 83,9 57,1
8 Kab. Indragiri Hilir -376,3 430,9 54,6
87Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
No Nama Daerah Surplus/ DefisitPembiyaan
Daerah
SILPA tahun Berkenaan
(miliar Rupiah)
(1) (2) (3) (2)+(3)
9 Kab. Rokan Hilir -96,2 132,1 35,9
10 Kab. Barito Selatan -36,9 72,2 35,2
11 Kab. Buru 21,2 11,5 32,7
12 Kab. Kepulauan Aru -77,6 109,1 31,4
13 Kab. Tanah Laut -419,1 445,0 25,9
14 Prov. Jawa Barat -1.286,4 1.305,2 18,8
15 Kab. Kotawaringin Barat -58,0 70,9 12,9
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Kemungkinan alasan mengapa daerah melakukan hal tersebut,
diantaranya adalah untuk keperluan pembayaran gaji pegawai di awal tahun,
yang diindikasikan dari penerimaan DAU yang lebih kecil dari belanja pegawai
khususnya belanja pegawai tidak langsung, seperti halnya Provinsi Jawa
Timur, Kabupaten Siak, Kabupaten Rokan Hilir, dan Kabupaten Tanah Laut.
Namun demikian, adanya penganggaran SILPA pada tahun berkenaan dirasa
kurang sesuai dengan peran pemerintah daerah sebagai penyedia layanan
dasar kepada masyarakat, sehingga dana yang ada seyogianya digunakan
untuk kepentingan rakyat, bukan untuk disimpan.
B. Pembiayaan DaerahUndang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran
diperkirakan defisit, maka daerah harus menetapkan sumber-sumber
pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila
anggaran diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan
surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan bagian terbesar
untuk menutupi defisit APBD 2014 berasal dari SiLPA, sedangkan yang
terkecil berasal dari Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Untuk
88 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
manampung penerimaan pembiayaan maupun pengeluaran pembiayaan,
maka dalam APBD terdapat pos pembiayaan yang bertujuan untuk menutup
defisit anggaran. Grafik 4.5. dan grafik 4.6. berikut menggambarkan
penerimaan pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota.
Grafik 4.5
Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota
sebagai penyedia layanan dasar kepada masyarakat, sehingga dana yang ada seyogianya digunakan untuk kepentingan rakyat,
bukan untuk disimpan.
B. Pembiayaan Daerah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran diperkirakan defisit, maka daerah harus
menetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila anggaran
diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan
bagian terbesar untuk menutupi defisit APBD 2014 berasal dari SiLPA, sedangkan yang terkecil berasal dari Hasil Penjualan
Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Untuk manampung penerimaan pembiayaan maupun pengeluaran pembiayaan, maka dalam
APBD terdapat pos pembiayaan yang bertujuan untuk menutup defisit anggaran. Grafik 4.5. dan grafik 4.6. berikut
menggambarkan penerimaan pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota.
Grafik 4.5
Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.6
Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan
Provinsi Kabupaten/Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.6
Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan
Provinsi Kabupaten/Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Penerimaan pembiayaan baik provinsi, kabupaten, maupun kota didominasi oleh SiLPA. Di tingkat provinsi,
penerimaan pembiayaan mencapai 96,02%, sedangkan tingkat kabupaten/ kota mencapai 94,18%, sebagaimana tampak pada
grafik 4.6 di atas. Besarnya porsi SiLPA dalam penerimaan pembiayaan APBD mengindikasikan adanya penyerapan belanja
pada tahun anggaran sebelumnya kurang optimal, sehingga terdapat sisa anggaran yang terakumulasi dalam SiLPA. Sumber
pembiayaan lainnya untuk menutup defisit adalah Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah, yang mencapai sebesar 2,61% untuk
provinsi, sebesar 3,08 untuk kabupaten/kota. Sumber-sumber lain penerimaan pembiayaan di luar SiLPA dan Pinjaman Daerah
adalah Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Penerimaan Kembali Pinjaman yang jumlahnya relatif kecil, yakni
di bawah 1%.
Secara umum, pengeluaran pembiayaan terbesar dalam APBD adalah untuk Penyertaan Modal Pemerintah daerah
pada badan-badan usaha milik daerah yang merupakan bagian dari Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Secara nominal,
besaran Penyertaan Modal Pemerintah provinsi lebih besar daripada Penyertaan Modal Pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut
diduga terjadi karena ruang fiskal pemerintah provinsi lebih besar dibandingkan dengan ruang fiskal pemerintah kabupaten/kota.
Selain itu, pembayaran pokok pinjaman kabupaten/kota yang jauh lebih besar daripada pokok utang provinsi menunjukkan
adanya beban pemerintah kabupaten/kota yang jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan pemerintah provinsi. Selanjutnya,
rincian Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/kota dapat dilihat pada grafik 4.7 di bawah ini.
Grafik 4.7
Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota
96,02%
0,33%0,00%
2,61% 1,04% SiLPA TA sebelumnya
Pencairan danacadangan
Hasil PenjualanKekayaan Daerah yangDipisahkan
Penerimaan PinjamanDaerah dan ObligasiDaerah
94,18%
0,97%
0,13%
3,08%
1,65%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
sebagai penyedia layanan dasar kepada masyarakat, sehingga dana yang ada seyogianya digunakan untuk kepentingan rakyat,
bukan untuk disimpan.
B. Pembiayaan Daerah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran diperkirakan defisit, maka daerah harus
menetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila anggaran
diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan
bagian terbesar untuk menutupi defisit APBD 2014 berasal dari SiLPA, sedangkan yang terkecil berasal dari Hasil Penjualan
Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Untuk manampung penerimaan pembiayaan maupun pengeluaran pembiayaan, maka dalam
APBD terdapat pos pembiayaan yang bertujuan untuk menutup defisit anggaran. Grafik 4.5. dan grafik 4.6. berikut
menggambarkan penerimaan pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota.
Grafik 4.5
Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.6
Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan
Provinsi Kabupaten/Kota
89Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
Penerimaan pembiayaan baik provinsi, kabupaten, maupun kota
didominasi oleh SiLPA. Di tingkat provinsi, penerimaan pembiayaan
mencapai 96,02%, sedangkan tingkat kabupaten/ kota mencapai 94,18%,
sebagaimana tampak pada grafik 4.6 di atas. Besarnya porsi SiLPA dalam
penerimaan pembiayaan APBD mengindikasikan adanya penyerapan belanja
pada tahun anggaran sebelumnya kurang optimal, sehingga terdapat sisa
anggaran yang terakumulasi dalam SiLPA. Sumber pembiayaan lainnya untuk
menutup defisit adalah Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah, yang mencapai
sebesar 2,61% untuk provinsi, sebesar 3,08 untuk kabupaten/kota. Sumber-
sumber lain penerimaan pembiayaan di luar SiLPA dan Pinjaman Daerah
adalah Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Penerimaan
Kembali Pinjaman yang jumlahnya relatif kecil, yakni di bawah 1%.
Secara umum, pengeluaran pembiayaan terbesar dalam APBD adalah
untuk Penyertaan Modal Pemerintah daerah pada badan-badan usaha milik
daerah yang merupakan bagian dari Kekayaan Daerah yang Dipisahkan.
Secara nominal, besaran Penyertaan Modal Pemerintah provinsi lebih besar
daripada Penyertaan Modal Pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut diduga
terjadi karena ruang fiskal pemerintah provinsi lebih besar dibandingkan
dengan ruang fiskal pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, pembayaran
pokok pinjaman kabupaten/kota yang jauh lebih besar daripada pokok utang
provinsi menunjukkan adanya beban pemerintah kabupaten/kota yang jauh
lebih besar apabila dibandingkan dengan pemerintah provinsi. Selanjutnya,
rincian Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/kota dapat dilihat
pada grafik 4.7 di bawah ini.
90 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 4.7
Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.8
Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan
Provinsi Kabupaten/Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kemiripan, namun berbeda
halnya jika dilihat dari sisi Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya didominasi oleh
1,12%
90,70%
7,69% 0,49% Pembentukan DanaCadangan
Penyertaan Modal(Investasi) Daerah
Pembayaran Pokok Utang
Pemberian PinjamanDaerah
Pembayaran KegiatanLanjutan
Pengeluaran PerhitunganPihak Ketiga
8,81%
56,06%
28,49%
3,20%0,30% 3,12%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.8
Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan
Provinsi Kabupaten/Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.8
Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan
Provinsi Kabupaten/Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kemiripan, namun berbeda
halnya jika dilihat dari sisi Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya didominasi oleh
1,12%
90,70%
7,69% 0,49% Pembentukan DanaCadangan
Penyertaan Modal(Investasi) Daerah
Pembayaran Pokok Utang
Pemberian PinjamanDaerah
Pembayaran KegiatanLanjutan
Pengeluaran PerhitunganPihak Ketiga
8,81%
56,06%
28,49%
3,20%0,30% 3,12%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/
kota mempunyai kemiripan, namun berbeda halnya jika dilihat dari sisi
91Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya
didominasi oleh Penyertaan Modal Pemerintah Daerah, sedangkan pada
kabupaten/kota terdapat 2 (dua) komponen yang dominan, yaitu (i) Penyertaan
Modal Pemerintah Daerah, dan (ii) Pembayaran Pokok Utang. Pembayaran
Pokok Utang terbesar untuk tingkat kabupaten/kota ditempati oleh Kabupaten
Ogan Ilir (Rp119,5 Miliar), dan untuk Penyertaan Modal Pemerintah Daerah
terbesar ditempati oleh Kabupaten Muara Enim (Rp124,3 miliar). Sementara
itu untuk tingkat provinsi, daerah yang menganggarkan penyertaan modal
terbesar ditempati oleh Provinsi DKI Jakarta (Rp7,1 triliun). Selanjutnya,
penjelasan lebih detil mengenai pembiayaan dapat dijelaskan pada bahasan
di bawah ini.
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
Selisih pengurangan pendapatan terhadap belanja pada realisasi APBD
merupakan sisa dana yang dapat bernilai minus ataupun positif. Apabila
sisa dana tersebut bernilai minus disebut defisit, dan jika positif disebut
surplus, yang dalam APBD dinamakan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
(SiLPA). Besaran SiLPA yang tercantum dalam APBD tahun anggaran 2014
merupakan perkiraan besaran SiLPA yang akan terjadi pada akhir tahun
anggaran berkenaan. Apabila terdapat nilai SiLPA yang sangat besar, hal ini
mengindikasikan adanya kekurangcermatan dalam penyusunan anggaran
maupun terdapat kendala dalam pelaksanaannya, sehingga penyerapan
anggaran belanja berpotensi kurang optimal. Anggaran belanja yang sudah
dialokasikan semestinya dapat terserap pada tahun anggaran berkenaan.
Penyerapan yang kurang optimal akan mengakibatkan adanya saldo (SiLPA)
yang merupakan dana idle yang belum dimanfaatkan. Di bawah ini akan
dijelaskan mengenai rasio SiLPA terhadap belanja yang merupakan persentase
porsi belanja yang tidak terserap atau tertunda. Rasio tersebut dapat dilihat
dalam grafik 4.9 berikut :
92 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 4.9
Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja daerah secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 8,6%,
yang berarti naik sebesar 1,2% dari tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA
terhadap belanja daerah adalah Provinsi Kalimantan Utara (32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%).
Selanjjutnya untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tengah
(2,0%).
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Grafik 4.10
Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
1,9%
2,0%
2,4%
2,6%
2,8% 3,4%
3,5% 4,2%
4,4%
4,8%
4,8%
5,1%
5,1%
5,2%
5,3%
5,3%
5,6% 6,3%
6,7% 7,6%
7,7%
8,1% 9,1%
9,2% 9,7% 10
,3%
10,8
%
11,3
%
11,9
%
13,1
%
14,4
% 17,8
%
23,8
% 32,5
%
09%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Mal
ut
Sulte
ng
Goro
ntal
o
Sum
ut
NTB
Suls
el
Lam
pung
NTT
Sultr
a
Papu
a
Sulu
t
Kalb
ar
Sum
sel
Sulb
ar
Beng
kulu
Mal
uku
Papb
ar
Jate
ng
Jatim DI
Y
Sum
bar
Jaba
r
Kalte
ng
Aceh
Jam
bi
Babe
l
Jaka
rta
Bali
Bant
en
Kepr
i
Kals
el
Riau
Kalti
m
Kalta
ra
1,6%
1,8%
1,9%
2,1% 3,0%
3,2%
3,4%
3,7%
3,7% 4,2%
4,2%
4,2%
4,4%
4,8%
5,1%
5,2%
5,5%
5,5% 6,
7%
6,8%
7,0% 7,6%
7,9% 8,5%
8,8%
9,0% 9,7% 11
,4%
12,5
% 15,3
% 18,4
%
25,7
%
35,8
%
08%
0%
10%
20%
30%
40%
Goro
ntal
o
Sulte
ng
Mal
ut
Papb
ar
Sum
ut
Aceh
NTB
Papu
a
Suls
el
Sultr
a
Lam
pung
NTT
Sulu
t
Sulb
ar
Sum
sel
Beng
kulu
Mal
uku
Kalb
ar DIY
Jatim
Jate
ng
Jaba
r
Sum
bar
Bali
Babe
l
Kalte
ng
Jam
bi
Bant
en
Kepr
i
Kals
el
Riau
Kalti
m
Kalta
ra
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja daerah secara agregat provinsi,
kabupaten dan kota adalah sebesar 8,6%, yang berarti naik sebesar 1,2% dari
tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi
rasio SiLPA terhadap belanja daerah adalah Provinsi Kalimantan Utara
(32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%). Selanjjutnya
untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang
diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tengah (2,0%).
93Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Grafik 4.10
Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi*)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja daerah secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 8,6%,
yang berarti naik sebesar 1,2% dari tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA
terhadap belanja daerah adalah Provinsi Kalimantan Utara (32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%).
Selanjjutnya untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tengah
(2,0%).
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Grafik 4.10
Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
1,9%
2,0%
2,4%
2,6%
2,8% 3,4%
3,5% 4,2%
4,4%
4,8%
4,8%
5,1%
5,1%
5,2%
5,3%
5,3%
5,6% 6,3%
6,7% 7,6%
7,7%
8,1% 9,1%
9,2% 9,7% 10
,3%
10,8
%
11,3
%
11,9
%
13,1
%
14,4
% 17,8
%
23,8
% 32,5
%
09%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Mal
ut
Sulte
ng
Goro
ntal
o
Sum
ut
NTB
Suls
el
Lam
pung
NTT
Sultr
a
Papu
a
Sulu
t
Kalb
ar
Sum
sel
Sulb
ar
Beng
kulu
Mal
uku
Papb
ar
Jate
ng
Jatim DI
Y
Sum
bar
Jaba
r
Kalte
ng
Aceh
Jam
bi
Babe
l
Jaka
rta
Bali
Bant
en
Kepr
i
Kals
el
Riau
Kalti
m
Kalta
ra
1,6%
1,8%
1,9%
2,1% 3,0%
3,2%
3,4%
3,7%
3,7% 4,2%
4,2%
4,2%
4,4%
4,8%
5,1%
5,2%
5,5%
5,5% 6,
7%
6,8%
7,0% 7,6%
7,9% 8,5%
8,8%
9,0% 9,7% 11
,4%
12,5
% 15,3
% 18,4
%
25,7
%
35,8
%
08%
0%
10%
20%
30%
40%
Goro
ntal
o
Sulte
ng
Mal
ut
Papb
ar
Sum
ut
Aceh
NTB
Papu
a
Suls
el
Sultr
a
Lam
pung
NTT
Sulu
t
Sulb
ar
Sum
sel
Beng
kulu
Mal
uku
Kalb
ar DIY
Jatim
Jate
ng
Jaba
r
Sum
bar
Bali
Babe
l
Kalte
ng
Jam
bi
Bant
en
Kepr
i
Kals
el
Riau
Kalti
m
Kalta
ra
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota
se-provinsi adalah 8,2%, yang berarti naik 1,4% dari tahun lalu sebesar
6,8%. Pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah
kabupaten dan kota se-provinsi adalah Provinsi Kalimantan Utara (35,8%),
dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (25,7%). Sementara itu, yang
terendah (terbaik) adalah adalah Provinsi Gorontalo (1,6%), dan diikuti olrh
Provinsi Sulawesi Tengah (1,8%)
94 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
3. Pemerintah Provinsi
Grafik 4.11
Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
* Tidak termasuk DKI Jakarta
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah 8,2%, yang berarti naik 1,4%
dari tahun lalu sebesar 6,8%. Pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota se-
provinsi adalah Provinsi Kalimantan Utara (35,8%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (25,7%). Sementara itu, yang
terendah (terbaik) adalah adalah Provinsi Gorontalo (1,6%), dan diikuti olrh Provinsi Sulawesi Tengah (1,8%)
3. Pemerintah Provinsi
Grafik 4.11
Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja daerah pemerintah provinsi adalah 8,4% atau naik 1,8% dari tahun lalu sebesar
6,6%. Pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah provinsi adalah Provinsi Bali (16,7%), dan diikuti oleh
Provinsi Aceh (16,5%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (0,4%), dan diikuti oleh
Provinsi Sumatera Utara (0,4%).
4. Per Wilayah
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau naik 0,3% dari sebelumnya sebesar 7,75%.
Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera (8,0%). Sementara
itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi (3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%).
Secara lebih detil, rasio rata-rata SiLPA antar wilayah tersebut dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
0,4%
0,4%
0,6% 1,
5% 1,9%
2,1% 2,7%
2,8% 3,3% 4,
3% 4,6%
4,6%
4,6% 5,1% 5,5% 6,0%
6,2%
6,2% 7,
3%
7,4%
7,5% 8,
2% 8,4% 8,7% 10
,3%
10,8
%
11,1
% 12,9
%
13,0
%
13,0
%
13,9
% 15,8
%
16,5
%
16,7
%
08%
0%
4%
8%
12%
16%
20%
NTB
Sum
ut
Lam
pung
Suls
el
Mal
ut
Jate
ng
Kalb
ar
Sulte
ng NTT
Sum
sel
Mal
uku
Jatim
Goro
ntal
o
Sultr
a
Beng
kulu
Sulu
t
Sulb
ar
Sum
bar
Kalte
ng
Papu
a
Jaba
r
Kals
el
DIY
Jam
bi
Bant
en
Jaka
rta
Papb
ar
Babe
l
Kepr
i
Kalti
m
Riau
Kalta
ra
Aceh Bali
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja daerah pemerintah provinsi
adalah 8,4% atau naik 1,8% dari tahun lalu sebesar 6,6%. Pemegang posisi
tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah provinsi adalah Provinsi
Bali (16,7%), dan diikuti oleh Provinsi Aceh (16,5%). Sementara itu, yang
terendah (terbaik) adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (0,4%), dan diikuti
oleh Provinsi Sumatera Utara (0,4%).
4. Per Wilayah
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau
naik 0,3% dari sebelumnya sebesar 7,75%. Pemegang posisi tertinggi rasio
ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera
(8,0%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi
(3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%).
Secara lebih detil, rasio rata-rata SiLPA antar wilayah tersebut dapat dilihat
pada grafik dibawah ini.
95Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
Grafik 4.12
Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah *)
Grafik 4.12
Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah *
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
* Tidak termasuk DKI Jakarta
C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman
Pos pembiayaan dalam struktur APBD dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu (i) Penerimaan Pembiayaan, dan
(ii) Pengeluaran Pembiayaan. Untuk Penerimaan Pembiayaan, sumber dana yang paling dominan adalah SiLPA dan Pinjaman
Daerah, sedangkan untuk Pengeluaran Pembiayaan adalah Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dan Pengembalian Pinjaman
Daerah. Pinjaman Daerah sangat diperlukan untuk menutupi defisit APBD. Pinjaman Daerah dapat bersumber dari Pemerintah,
Penerusan Pinjaman melalui Pemerintah, Pemerintah daerah lain, Lembaga keuangan bank, Lembaga keuangan bukan bank,
maupun Obligasi Daerah. Berikut ini disajikan rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah dilihat dari pembagian lima wilayah,
pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi, dan pemerintah provinsi.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 4.13
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
3,5%4,5%
7,3% 8,0%
16,7%
8,1%
0%
5%
10%
15%
20%
Sulawesi NT Maluku Papua Jawa_Bali Sumatera Kalimantan
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman Pos pembiayaan dalam struktur APBD dibagi menjadi 2 (dua) bagian,
yaitu (i) Penerimaan Pembiayaan, dan (ii) Pengeluaran Pembiayaan. Untuk
Penerimaan Pembiayaan, sumber dana yang paling dominan adalah SiLPA
dan Pinjaman Daerah, sedangkan untuk Pengeluaran Pembiayaan adalah
Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dan Pengembalian Pinjaman Daerah.
Pinjaman Daerah sangat diperlukan untuk menutupi defisit APBD. Pinjaman
Daerah dapat bersumber dari Pemerintah, Penerusan Pinjaman melalui
Pemerintah, Pemerintah daerah lain, Lembaga keuangan bank, Lembaga
keuangan bukan bank, maupun Obligasi Daerah. Berikut ini disajikan rasio
Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah dilihat dari pembagian lima wilayah,
pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi, dan pemerintah provinsi.
96 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 4.13
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan
kota adalah sebesar 0,3%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan dalam PMK Nomor
125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah
yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari
grafik di atas juga dapat dilihat terdapat 10 wilayah provinsi dari 33 wilayah provinsi tidak menganggarkan penerimaan
pinjaman dalam APBD-nya.
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Grafik 4.14
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0% 0,1% 0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,2% 0,
3% 0,3%
0,3% 0,4%
0,4%
0,4% 0,
5% 0,6%
0,6%
0,9% 1,0%
1,3%
1,5%
1,7%
2,5%
0,3%
0,0%
0,5%
1,0%
1,5%
2,0%
2,5%
3,0%
Jam
bi DIY
Sulu
tBa
nten
Babe
lKe
pri
Kalta
raBa
liN
TTJa
bar
Aceh
Kals
elKa
ltim
Kalte
ngM
aluk
uJa
timJa
teng
Sum
utPa
pbar
Sulb
arPa
pua
Sum
sel
Sum
bar
Riau
Jaka
rta
Sulte
ngBe
ngku
luKa
lbar
Suls
elLa
mpu
ngN
TBM
alut
Sultr
aGo
ront
alo
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0% 0,1% 0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,2%
0,2% 0,2% 0,
4% 0,4%
0,5%
0,5% 0,5% 0,
6% 0,7%
0,7%
1,2% 1,
3%
1,6%
1,9% 2,
1%
00%
0,0%
0,5%
1,0%
1,5%
2,0%
2,5%
Jam
bi DIY
Sulu
t
Bant
en
Babe
l
Kepr
i
Kalta
ra
Bali
NTT
Jaba
r
Aceh
Kals
el
Kalti
m
Kalte
ng
Suls
el
Mal
uku
Jatim
Jate
ng
Sum
ut
Papb
ar
Sulb
ar
Sum
sel
Papu
a
Sum
bar
Riau
Sulte
ng
Kalb
ar
Beng
kulu
Lam
pung
Sultr
a
NTB
Mal
ut
Goro
ntal
o
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap
pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan kota adalah sebesar 0,3%.
Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan
dalam PMK Nomor 125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah
sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah yang
melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio
ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari grafik di atas juga dapat dilihat
terdapat 10 wilayah provinsi dari 33 wilayah provinsi tidak menganggarkan
penerimaan pinjaman dalam APBD-nya.
97Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Grafik 4.14
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan
kota adalah sebesar 0,3%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan dalam PMK Nomor
125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah
yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari
grafik di atas juga dapat dilihat terdapat 10 wilayah provinsi dari 33 wilayah provinsi tidak menganggarkan penerimaan
pinjaman dalam APBD-nya.
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Grafik 4.14
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0% 0,1% 0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,2% 0,
3% 0,3%
0,3% 0,4%
0,4%
0,4% 0,
5% 0,6%
0,6%
0,9% 1,0%
1,3%
1,5%
1,7%
2,5%
0,3%
0,0%
0,5%
1,0%
1,5%
2,0%
2,5%
3,0%
Jam
bi DIY
Sulu
tBa
nten
Babe
lKe
pri
Kalta
raBa
liN
TTJa
bar
Aceh
Kals
elKa
ltim
Kalte
ngM
aluk
uJa
timJa
teng
Sum
utPa
pbar
Sulb
arPa
pua
Sum
sel
Sum
bar
Riau
Jaka
rta
Sulte
ngBe
ngku
luKa
lbar
Suls
elLa
mpu
ngN
TBM
alut
Sultr
aGo
ront
alo
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0% 0,1% 0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,2%
0,2% 0,2% 0,
4% 0,4%
0,5%
0,5% 0,5% 0,
6% 0,7%
0,7%
1,2% 1,
3%
1,6%
1,9% 2,
1%
00%
0,0%
0,5%
1,0%
1,5%
2,0%
2,5%
Jam
bi DIY
Sulu
t
Bant
en
Babe
l
Kepr
i
Kalta
ra
Bali
NTT
Jaba
r
Aceh
Kals
el
Kalti
m
Kalte
ng
Suls
el
Mal
uku
Jatim
Jate
ng
Sum
ut
Papb
ar
Sulb
ar
Sum
sel
Papu
a
Sum
bar
Riau
Sulte
ng
Kalb
ar
Beng
kulu
Lam
pung
Sultr
a
NTB
Mal
ut
Goro
ntal
o
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap
pendapatan daerah pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah sebesar
0,3%, Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi
Gorontalo (2,1%), yang diikuti oleh Provinsi Maluku Urata (1,9%).Dalam hal
ini terdapat 13 daerah yang rasio pinjamannya di atas nilai rata-rata.
3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat Provinsi terdapat 4 pemerintah provinsi yang menganggarkan
pinjaman dalam APBD-nya, sebagaimana dapat dilihat dalam grafik 4.15.
Keempat Pemerintah provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Selatan
(3,7%), Provinsi Gorontalo (3,5%), Provinsi Sulawesi Tenggara (3,4%), dan
Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Jika berdasarkan nilai pinjaman, maka Provinsi
DKI Jakarta (Rp269,4 miliar) merupakan daerah dengan pemegang posisi
nilai terbesar.
98 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 4.15
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
* Tidak termasuk DKI Jakarta
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan daerah pemerintah kabupaten
dan kota se-provinsi adalah sebesar 0,3%, Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,1%),
yang diikuti oleh Provinsi Maluku Urata (1,9%).Dalam hal ini terdapat 13 daerah yang rasio pinjamannya di atas nilai rata-rata.
3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat Provinsi terdapat 4 pemerintah provinsi yang menganggarkan pinjaman dalam APBD-nya, sebagaimana
dapat dilihat dalam grafik 4.15. Keempat Pemerintah provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Selatan (3,7%), Provinsi
Gorontalo (3,5%), Provinsi Sulawesi Tenggara (3,4%), dan Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Jika berdasarkan nilai pinjaman, maka
Provinsi DKI Jakarta (Rp269,4 miliar) merupakan daerah dengan pemegang posisi nilai terbesar.
Grafik 4.15
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah
Dari grafik di atas terlihat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang melampaui batas maksimal
pinjaman sesuai ketentuan PMK Nomor 125/PMK.07/2013, sehingga wajib mendapatkan persetujuan pelampauan defisit
terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Besaran pinjaman Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3,7% dari pendapatan daerah
sedangkan batasan yang ditetapkan dalam PMK tersebut adalah sesuai kapasitas fiskalnya, yaitu 3,5% dari pendapatan daerah.
4. Per Wilayah
Secara total, daerah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua mempunyai rasio pinjaman terhadap pendapatan
per wilayah tertinggi (0,4%), atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan rasio pinjaman terendah
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0% 0,
4%
3,4%
3,5%
3,7%
0,2%0,0%
1,0%
2,0%
3,0%
4,0%
Aceh
Sum
ut
Sum
bar
Riau
Jam
bi
Sum
sel
Beng
kulu
Lam
pung
Jaba
r
Jate
ng DIY
Jatim
Kalb
ar
Kalte
ng
Kals
el
Kalti
m
Sulu
t
Sulte
ng Bali
NTB NTT
Mal
uku
Papu
a
Mal
ut
Bant
en
Babe
l
Kepr
i
Papb
ar
Sulb
ar
Kalta
ra
Jaka
rta
Sultr
a
Goro
ntal
o
Suls
el
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari grafik di atas terlihat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah
satu daerah yang melampaui batas maksimal pinjaman sesuai ketentuan
PMK Nomor 125/PMK.07/2013, sehingga wajib mendapatkan persetujuan
pelampauan defisit terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Besaran pinjaman
Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3,7% dari pendapatan daerah sedangkan
batasan yang ditetapkan dalam PMK tersebut adalah sesuai kapasitas
fiskalnya, yaitu 3,5% dari pendapatan daerah.
4. Per Wilayah
Secara total, daerah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
mempunyai rasio pinjaman terhadap pendapatan per wilayah tertinggi (0,4%),
atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan
rasio pinjaman terendah adalah wilayah Kalimantan (0,1%). Selanjutnya,
rasio per-wilayah dan penyebarannya dapat dilihat pada grafik 4.16 di bawah
ini.
99Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
Grafik 4.16
Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah *)
adalah wilayah Kalimantan (0,1%). Selanjutnya, rasio per-wilayah dan penyebarannya dapat dilihat pada grafik 4.16 di bawah
ini.
Grafik 4.16
Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah *
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
* Tidak termasuk DKI Jakarta
5. Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai Pinjaman
Dalam tahun 2014, pembatasan maksimal defisit yang dapat dibiayai dari pinjaman diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 125/PMK.07/2013 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD, Batas Maksimal Defisit APBD dan Batas Maksimal
Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2014. Dalam PMK tersebut ditetapkan batas maksimal kumulatif defisit APBD
(nasional) yang dibiayai dari pinjaman adalah sebesar 0,3% dari proyeksi PDB. Demikian halnya, batas maksimal defisit
masing-masing daerah terhadap pendapatannya juga tidak boleh terlampaui sesuai kategori kapasitas fiskalnya yaitu 6,5%
untuk kategori kapasitas fiskal sangat tinggi; 5,5% untuk kategori kapasitas fiskal tinggi; 4,5% untuk kategori kapasitas fiskal
sedang; dan 3,5% untuk kategori kapasitas fiskal rendah. Apabila APBD melampaui batas defisit yang ditentukan, maka daerah
harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan pelampauan defisit dari Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan.
Tabel 4.3. di bawah ini menunjukkan beberapa pemda yang batas persentase pinjaman untuk menutup defisitnya telah
terlampaui.
Tabel 4.3
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari tabel di atas dapat dilihat adanya 19 daerah yang pinjamannya melampaui batas yang ditentukan. Untuk posisi
tertinggi adalah Kabupaten Buton (11,4%). Apabila daerah yang defisit anggarannya akan ditutup dengan pinjaman telah
melampaui batas yang ditentukan, maka daerah tersebut harus terlebih dahulu meminta ijin pelampauan defisit untuk
0,12%0,15%
0,29%0,32%
0,39%
0,26%
0,00%
0,10%
0,20%
0,30%
0,40%
0,50%
Kalimantan Sulawesi Jawa_Bali Sumatera NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
5. Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai Pinjaman
Dalam tahun 2014, pembatasan maksimal defisit yang dapat dibiayai
dari pinjaman diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/
PMK.07/2013 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD, Batas
Maksimal Defisit APBD dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun
Anggaran 2014. Dalam PMK tersebut ditetapkan batas maksimal kumulatif
defisit APBD (nasional) yang dibiayai dari pinjaman adalah sebesar 0,3%
dari proyeksi PDB. Demikian halnya, batas maksimal defisit masing-masing
daerah terhadap pendapatannya juga tidak boleh terlampaui sesuai kategori
kapasitas fiskalnya yaitu 6,5% untuk kategori kapasitas fiskal sangat tinggi;
5,5% untuk kategori kapasitas fiskal tinggi; 4,5% untuk kategori kapasitas
fiskal sedang; dan 3,5% untuk kategori kapasitas fiskal rendah. Apabila
APBD melampaui batas defisit yang ditentukan, maka daerah harus terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan pelampauan defisit dari Menteri Keuangan
c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan. Tabel 4.3. di bawah ini menunjukkan
100 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
beberapa pemda yang batas persentase pinjaman untuk menutup defisitnya
telah terlampaui.
Tabel 4.3
Daerah dengan % Pinjaman diatas Batas yang ditetapkan
No Nama Daerah
Batas Sesuai dengan
PMK 125 tahun 2013
Pendapatan (miliar rupiah)
Pinjaman Daerah dan
Obligasi (miliar rupiah)
% Pinjaman
1 Kab. Buton 3,5% 878,8 100,0 11,4%
2 Kab. Halmahera Selatan 5,5% 701, 77,8 11,1%
3 Kab. Boalemo 3,5% 540,4 51,0 9,4%
4 Kab. Keerom 5,5% 750,5 60,0 8,0%
5 Kab. Lombok Barat 3,5% 1.133,6 90,0 7,9%
6 Kab. Mukomuko 3,5% 648,4 47,5 7,3%
7 Kab. Lampung Selatan 3,5% 1.263,4 91,0 7,2%
8 Kab. Temanggung 3,5% 1.094,3 76,5 7,0%
9 Kab. Morowali 4,5% 516,6 33,3 6,5%
10 Kota Mataram 3,5% 961,1 60,0 6,2%
11 Kab. Bangkalan 3,5% 1.417,4 87,5 6,2%
12 Kab. Muara Enim 4,5% 1.730,3 97,3 5,6%
13 Kab. Puncak 4,5% 1.075,3 60,0 5,6%
14 Kab. Pesawaran 3,5% 902, 50,0 5,5%
15 Kab. Kampar 4,5% 2.157,3 113,0 5,2%
16 Kab. Sambas 3,5% 1.171,7 48,6 4,1%
17 Prov. Sulawesi Selatan 3,5% 5.593,9 207,5 3,7%
18 Kab. Sidenreng Rappang 3,5% 822,7 30,0 3,6%
19 Kota Gorontalo 3,5% 789,3 28,5 3,6%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari tabel di atas dapat dilihat adanya 19 daerah yang pinjamannya
melampaui batas yang ditentukan. Untuk posisi tertinggi adalah Kabupaten
101Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
Buton (11,4%). Apabila daerah yang defisit anggarannya akan ditutup dengan
pinjaman telah melampaui batas yang ditentukan, maka daerah tersebut
harus terlebih dahulu meminta ijin pelampauan defisit untuk mendapatkan
persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan. Dari 19 daerah tersebut di atas, baru Kabupaten Bualemo yang
telah mengajukan ijin pelampauan defisit.
D. Dana IdleRekening kas umum daerah merupakan rekening daerah untuk
menampung uang masuk maupun uang keluar yang dibuka pada bank umum
dan BPR. Seiring dengan pelaksanaan anggaran, pergerakan arus uang masuk
dan uang keluar milik daerah dapat diketahui melalui bank sentral yaitu
Bank Indonesia. Apabila arus uang masuk lebih besar daripada arus uang
keluar, maka akan terjadi penumpukan dana (idle). Dana idle ini merupakan
akumulasi dari penerimaan berupa pendapatan, transfer dana perimbangan,
penerimaan pembiayaan setelah dikurangi belanja. Dana Idle terjadi antara
lain karena pemerintah daerah menahan dana untuk tujuan berjaga-jaga
apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pendanaan segera, sementara
arus uang masuk belum dapat diprediksi. Akan tetapi, jika dana idle terlalu
besar dan ditahan terlalu lama justru akan menghambat kegiatan pemberian
layanan masyarakat. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat
dalam grafik 4.17 berikut :
102 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 4.17
Dana Pemda di Perbankan per Bulan (Bulan Desember)
mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Dari 19 daerah tersebut di
atas, baru Kabupaten Bualemo yang telah mengajukan ijin pelampauan defisit.
D. Dana Idle
Rekening kas umum daerah merupakan rekening daerah untuk menampung uang masuk maupun uang keluar yang
dibuka pada bank umum dan BPR. Seiring dengan pelaksanaan anggaran, pergerakan arus uang masuk dan uang keluar milik
daerah dapat diketahui melalui bank sentral yaitu Bank Indonesia. Apabila arus uang masuk lebih besar daripada arus uang
keluar, maka akan terjadi penumpukan dana (idle). Dana idle ini merupakan akumulasi dari penerimaan berupa pendapatan,
transfer dana perimbangan, penerimaan pembiayaan setelah dikurangi belanja. Dana Idle terjadi antara lain karena pemerintah
daerah menahan dana untuk tujuan berjaga-jaga apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pendanaan segera, sementara
arus uang masuk belum dapat diprediksi. Akan tetapi, jika dana idle terlalu besar dan ditahan terlalu lama justru akan
menghambat kegiatan pemberian layanan masyarakat. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat dalam grafik 4.17
berikut :
Grafik 4.17
Dana Pemda di Perbankan per Bulan (Bulan Desember)
Sumber: Bank Indonesia (Diolah)
Besaran simpanan pemda di perbankan setiap bulannya selalu berfluktuasi dan pada 4 tahun terakhir ini selalu
mencapai titik terendah pada bulan Desember. Dengan demikian, data dana pemda di perbankan pada posisi bulan Desember
tersebut digunakan sebagai acuan besaran dana pemda yang menganggur (idle). Dari grafik di atas terlihat besaran dana idle
provinsi pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibanding dengan tahun 2012, namun untuk kabupaten/kota justru
62.088
80.446
99.24094.313
23.34528.519
32.33627.432
38.743
51.927
66.905 66.881
0
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
2010 2011 2012 2013
mili
ar r
upia
h
Nasional Provinsi Kota/kabupaten
Sumber: Bank Indonesia (Diolah)
Besaran simpanan pemda di perbankan setiap bulannya selalu
berfluktuasi dan pada 4 tahun terakhir ini selalu mencapai titik terendah
pada bulan Desember. Dengan demikian, data dana pemda di perbankan
pada posisi bulan Desember tersebut digunakan sebagai acuan besaran dana
pemda yang menganggur (idle). Dari grafik di atas terlihat besaran dana idle
provinsi pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibanding dengan
tahun 2012, namun untuk kabupaten/kota justru mengalami peningkatan.
Dana pemda di perbankan secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota per
provinsi dapat dilihat pada grafik 4.18 di bawah ini.
103Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014
Grafik 4.18
Dana Pemda di Perbankan Agregat Kab/kota/Provinsi
mengalami peningkatan. Dana pemda di perbankan secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota per provinsi dapat dilihat pada
grafik 4.18 di bawah ini.
Grafik 4.18
Dana Pemda di Perbankan Agregat Kab/kota/Provinsi
Sumber: Bank Indonesia (Diolah)
Daerah yang menduduki posisi tertinggi simpanan pemda di perbankan agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan
Desember 2013 adalah Provinsi Kalimantan Timur, kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi DKI Jakarta.
Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai
APBD suatu daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank umum dan BPR. Adapun nilai korelasi
besaran nilai APBD terhadap besaran nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%.
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000GO
RON
TALO
MAL
UT
SULB
AR
MAL
UKU NTB
SULT
ENG
LAM
PUN
G
BEN
GKUL
U
BABE
L
KALB
AR
SULU
T
SULT
RA
KEPR
I
DIY
SULS
EL
JAM
BI
SUM
SEL
NTT
SUM
BAR
KALT
ENG
SUM
UT
Papu
a Ba
rat
PAPU
A
BALI
ACEH
BAN
TEN
KALS
EL
RIAU
JATI
M
JABA
R
JAKA
RTA
JATE
NG
KALT
IM
Mili
ar R
upia
h
Sumber: Bank Indonesia (Diolah)
Daerah yang menduduki posisi tertinggi simpanan pemda di perbankan
agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan Desember 2013 adalah Provinsi
Kalimantan Timur, kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi
DKI Jakarta. Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai
APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai APBD suatu
daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank
umum dan BPR. Adapun nilai korelasi besaran nilai APBD terhadap besaran
nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%.
104 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
bAb V REAlISASI bElANJA DAERAH APbD 2014 SAMPAI DENGAN
bUlAN MEI 2014
Guna merespon tuntutan yang tinggi atas kecepatan informasi
penyerapan belanja daerah yang bersifat periodik dengan interval waktu yang
relatif singkat, telah dibuat sebuah instrumen yang dapat digunakan untuk
memonitor besarnya penyerapan belanja APBD secara bulanan. Instrumen ini
didasarkan pada data-data sekunder untuk dapat membuat proxy penyerapan
belanja daerah per bulan per provinsi, yang merupakan agregasi penyerapan
pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dalam satu wilayah provinsi.
Dengan cakupan informasi penyerapan belanja yang lebih luas, diharapkan
dapat memberikan bahan masukan yang lebih baik bagi Pemerintah Pusat
untuk mendesain kebijakan keuangan ke daerah.
Pendekatan ini merupakan proxy dengan menggunakan data dana
pemerintah daerah di perbankan per bulan dari Bank Indonesia, data realisasi
transfer per bulan dan proxy realisasi PAD. Laporan estimasi penyerapan
bulanan ini mempunyai lag time kurang dari 20 hari setelah akhir bulan
yang bersangkutan. Lag time ini terjadi karena salah satu sumber informasi
utama yang dijadikan sebagai basis estimasi adalah informasi dana pemda di
Bank Umum per provinsi yang baru dapat diterima setelah 15 hingga 20 hari
setelah berakhirnya bulan yang diobservasi (sumber dari Bank Indonesia).
Dalam analisis ini, data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Dana pemerintah daerah di perbankan per bulan (sumber : Bank
Indonesia);
105Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014
2. Realisasi transfer per bulan (sumber : Ditjen Perimbangan Keuangan);
3. Laporan realisasi PAD per triwulan (sumber: Ditjen Perimbangan
Keuangan).
Adapun cara perhitungan yang dipakai menggunakan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Langkah Pertama
- Menghitung total realisasi dana transfer yang disalurkan ke daerah
berdasarkan nomor SP2D per provinsi;
- Mengestimasi realisasi PAD yang berasal dari laporan realisasi APBD
per triwulan, dibedakan antara realisasi PAD Kabupaten/Kota/Provinsi.
2. Langkah Kedua
- Menghitung realisasi belanja dengan rumus sebagai berikut :
Belanja = DPdP(t-1)+DT(t)+PAD(t)-DPdP(t)
Keterangan :
DPdP = Dana Pemerintah Daerah di Perbankan
DT = Dana Transfer
PAD = Estimasi Penerimaan dari PAD
t = bulan ke t
3. Langkah Ketiga
Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut :
% Belanja = estimasi belanja / anggaran belanja APBD
Analisis ini memiliki beberapa kelemahan yaitu :
1. Hanya dapat membuat estimasi realisasi belanja pemerintah daerah
secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk masing-masing
provinsi.
2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja secara total,
tidak per jenis belanja.
3. Masih terdapat lag 15 - 20 hari untuk dapat menyajikan laporan
realisasi bulanan per provinsi.
106 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Atas dasar metode proxy tersebut di atas, sampai dengan bulan Mei 2014
dapat diketahui bahwa realisasi belanja daerah adalah sebesar 24,6%. Hal ini
bisa dilihat pada Grafik 5.1 berikut.
Grafik 5.1
Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)
PAD = Estimasi Penerimaan dari PAD
t = bulan ke t
3. Langkah Ketiga
Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut :
% Belanja = estimasi belanja / anggaran belanja APBD
Analisis ini memiliki beberapa kelemahan yaitu :
1. Hanya dapat membuat estimasi realisasi belanja pemerintah daerah secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk
masing-masing provinsi.
2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja secara total, tidak per jenis belanja.
3. Masih terdapat lag 15 - 20 hari untuk dapat menyajikan laporan realisasi bulanan per provinsi.
Atas dasar metode proxy tersebut di atas, sampai dengan bulan Mei 2014 dapat diketahui bahwa realisasi belanja
daerah adalah sebesar 24,6%. Hal ini bisa dilihat pada Grafik 5.1 berikut.
Grafik 5.1
Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Realisasi penyerapan belanja secara persentase menunjukkan perbandingan antara besaran realisasi penyerapan
dengan anggaran belanja (konsolidasi). Secara persentase, penyerapan belanja pada bulan Januari adalah sebesar 4,0% dari
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2014 4,0 7,8 11,7 18,6 24,6
2013 4,1 8,4 13,6 20,5 26,9 34,3 44,8 50,6 57,6 66,6 75,5 96,1
2012 4,9 8,3 13,3 20,2 26,3 34,6 42,8 50,8 58,7 66,6 75,5 96,2
2011 4,8 8,4 14,0 20,3 26,8 33,1 42,4 54,4 58,8 67,1 76,1 98,8
0
20
40
60
80
100
%
Anggaran
(Milyar)
815.907
708.214
593.506
495.274
Anggaran
(Milyar)
815.907
708.214
593.506
495.274
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Realisasi penyerapan belanja secara persentase menunjukkan
perbandingan antara besaran realisasi penyerapan dengan anggaran belanja
(konsolidasi). Secara persentase, penyerapan belanja pada bulan Januari
adalah sebesar 4,0% dari total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun),
lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
2013 yaitu sebesar 4,1% dan tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan
pada akhir triwulan I tahun 2014, estimasi realisasi belanja daerah adalah
sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada
periode yang sama tahun 2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu
sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014 diperkirakan sebesar 24,6%,
lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yaitu
sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
2013 yaitu sebesar 4,1% dan tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan pada akhir triwulan I tahun 2014, estimasi realisasi
belanja daerah adalah sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014diperkirakan sebesar 24,6%, lebih
rendah jikadibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yaitu sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
Pada Grafik 5.1 terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d. Mei 2014, estimasi realisasi belanja daerah
diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun-tahun sebelumnya.
Grafik 5.2
Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota)
Bulan Mei 2014 (triliun rupiah)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Grafik 2 menggambarkan realisasibelanja daerah yang menunjukkan perkiraan penyerapan belanja daerah hingga
bulan Mei 2014. Secara nominal realisasi bulan Mei tahun 2014diperkirakan sebesar 200,66 triliun (total belanja daerah
sebesar 815,91 triliun), lebih tinggijika dibandingkan dengan estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahun
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli AgustusSeptem
berOktober
Novemb
er
Desemb
er
2014 32.600 63.235 95.440 151.98 200.66
2013 28.838 59.534 96.144 145.35 190.85 242.66 317.30 358.55 407.72 472.02 534.68 680.84
2012 29.024 49.297 78.875 119.89 155.99 205.08 253.98 301.56 348.25 395.34 448.10 570.72
2011 23.650 41.927 69.545 100.64 132.85 164.16 210.62 269.92 291.52 332.77 377.68 490.44
32.60063.235
95.441
151.986200.661
-
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
600.000
700.000
800.000
Mili
ar R
upia
h
Anggaran
(Milyar)
815.907
708.214
593.506
495.274
107Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014
Pada Grafik 5.1 terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d.
Mei 2014, estimasi realisasi belanja daerah diperkirakan lebih rendah
dibandingkan dengan periode yang sama tahun-tahun sebelumnya.
Grafik 5.2
Realisasi Belanja Daerah
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) Bulan Mei 2014 (triliun rupiah)
total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
2013 yaitu sebesar 4,1% dan tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan pada akhir triwulan I tahun 2014, estimasi realisasi
belanja daerah adalah sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014diperkirakan sebesar 24,6%, lebih
rendah jikadibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yaitu sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
Pada Grafik 5.1 terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d. Mei 2014, estimasi realisasi belanja daerah
diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun-tahun sebelumnya.
Grafik 5.2
Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota)
Bulan Mei 2014 (triliun rupiah)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Grafik 2 menggambarkan realisasibelanja daerah yang menunjukkan perkiraan penyerapan belanja daerah hingga
bulan Mei 2014. Secara nominal realisasi bulan Mei tahun 2014diperkirakan sebesar 200,66 triliun (total belanja daerah
sebesar 815,91 triliun), lebih tinggijika dibandingkan dengan estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahun
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli AgustusSeptem
berOktober
November
Desember
2014 32.600 63.235 95.440 151.98 200.66
2013 28.838 59.534 96.144 145.35 190.85 242.66 317.30 358.55 407.72 472.02 534.68 680.84
2012 29.024 49.297 78.875 119.89 155.99 205.08 253.98 301.56 348.25 395.34 448.10 570.72
2011 23.650 41.927 69.545 100.64 132.85 164.16 210.62 269.92 291.52 332.77 377.68 490.44
32.60063.235
95.441
151.986200.661
-
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
600.000
700.000
800.000
Mili
ar R
upia
h
Anggaran
(Milyar)
815.907
708.214
593.506
495.274
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Grafik 2 menggambarkan realisasi belanja daerah yang menunjukkan
perkiraan penyerapan belanja daerah hingga bulan Mei 2014. Secara nominal
realisasi bulan Mei tahun 2014 diperkirakan sebesar 200,66 triliun (total
belanja daerah sebesar 815,91 triliun), lebih tinggi jika dibandingkan dengan
estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahun 2013 yaitu
sebesar 190,85 (total belanja daerah sebesar 708,21 triliun) dan tahun 2012
yaitu sebesar 155,99 triliun (total belanja daerah sebesar 593,51 triliun).
Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja
daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu lebih tinggi jika dibandingkan
dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali
PAD = Estimasi Penerimaan dari PAD
t = bulan ke t
3. Langkah Ketiga
Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut :
% Belanja = estimasi belanja / anggaran belanja APBD
Analisis ini memiliki beberapa kelemahan yaitu :
1. Hanya dapat membuat estimasi realisasi belanja pemerintah daerah secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk
masing-masing provinsi.
2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja secara total, tidak per jenis belanja.
3. Masih terdapat lag 15 - 20 hari untuk dapat menyajikan laporan realisasi bulanan per provinsi.
Atas dasar metode proxy tersebut di atas, sampai dengan bulan Mei 2014 dapat diketahui bahwa realisasi belanja
daerah adalah sebesar 24,6%. Hal ini bisa dilihat pada Grafik 5.1 berikut.
Grafik 5.1
Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Realisasi penyerapan belanja secara persentase menunjukkan perbandingan antara besaran realisasi penyerapan
dengan anggaran belanja (konsolidasi). Secara persentase, penyerapan belanja pada bulan Januari adalah sebesar 4,0% dari
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2014 4,0 7,8 11,7 18,6 24,6
2013 4,1 8,4 13,6 20,5 26,9 34,3 44,8 50,6 57,6 66,6 75,5 96,1
2012 4,9 8,3 13,3 20,2 26,3 34,6 42,8 50,8 58,7 66,6 75,5 96,2
2011 4,8 8,4 14,0 20,3 26,8 33,1 42,4 54,4 58,8 67,1 76,1 98,8
0
20
40
60
80
100
%
Anggaran
(Milyar)
815.907
708.214
593.506
495.274
Anggaran
(Milyar)
815.907
708.214
593.506
495.274
108 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
realisasi belanja daerah pada akhir triwulan I tahun 2014 yang diperkirakan
hanya sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi
belanja daerah pada beberapa tahun sebelumnya.
Grafik 5.3
Realisasi Belanja Daerah Secara
Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Per Provinsi Bulan Mei 2014 (%)
2013 yaitu sebesar 190,85 (total belanja daerah sebesar 708,21 triliun) dan tahun 2012 yaitu sebesar 155,99 triliun (total
belanja daerah sebesar 593,51 triliun).
Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu
lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali realisasi belanja
daerah pada akhir triwulan I tahun 2014 yang diperkirakan hanya sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan
realisasi belanja daerah pada beberapa tahun sebelumnya.
Grafik 5.3
Realisasi Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Per Provinsi Bulan Mei 2014 (%)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Grafik 5.3 menunjukkan persentase penyerapan belanja secara agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota di provinsi yang
sama sampai dengan bulan Mei 2014. Rata-rata realisasi belanja daerahbulan Mei 2014 agregat per provinsi diperkirakan
adalah sebesar 24,6 %, lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 sebesar 26,9%.
Sementara itu, terdapat 13 daerah yang mempunyai realisasi belanja di bawah rata-rata dan 21 daerah mempunyai
realisasi belanja di atas rata-rata. Yang menarik adalah beberapa daerah di Jawa yang meliputi Provinsi Banten dan DI
Yogyakarta memiliki rata-rata realisasi belanja daerah di bawah rata-rata.
9,6
34,4
24,6
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
40,0
Kalim
anta
n U
tara
Kalim
anta
n Ti
mur
Riau
Aceh
Kalim
anta
n Se
lata
n
Papu
a
Papu
a Ba
rat
Kalim
anta
n Ba
rat
Bang
ka B
elitu
ng
Jam
bi
DI Y
ogya
kart
a
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Bant
en
DKI J
akar
ta
Kepu
laua
n Ri
au
Beng
kulu
Sum
ater
a Ba
rat
Sula
wes
i Ten
ggar
a
Bali
Sum
ater
a Se
lata
n
Jaw
a Te
ngah
Jaw
a Ti
mur
Sula
wes
i Ten
gah
Sum
ater
a U
tara
Kalim
anta
n Te
ngah
Mal
uku
Jaw
a Ba
rat
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Lam
pung
Sula
wes
i Sel
atan
Goro
ntal
o
Sula
wes
i Bar
at
Sula
wes
i Uta
ra
%
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Grafik 5.3 menunjukkan persentase penyerapan belanja secara agregat
Provinsi, Kabupaten dan Kota di provinsi yang sama sampai dengan bulan
Mei 2014. Rata-rata realisasi belanja daerah bulan Mei 2014 agregat per
provinsi diperkirakan adalah sebesar 24,6 %, lebih rendah jika dibandingkan
dengan periode yang sama tahun 2013 sebesar 26,9%.
Sementara itu, terdapat 13 daerah yang mempunyai realisasi belanja di
bawah rata-rata dan 21 daerah mempunyai realisasi belanja di atas rata-rata.
Yang menarik adalah beberapa daerah di Jawa yang meliputi Provinsi Banten
dan DI Yogyakarta memiliki rata-rata realisasi belanja daerah di bawah rata-
rata.
Provinsi Sulawesi Utara memiliki realisasi belanja pemerintah daerah
secara agregat yang paling baik dibandingkan dengan provinsi lainnya. Hal
109Daftar Pustaka
ini dapat dilihat dari Grafik 5.3, di mana penyerapan belanja daerahnya pada
bulan Mei 2014 sebesar 34,4%.
Adapun Provinsi Kalimantan Utara memiliki realisasi belanja daerah yang
paling rendah jika dibandingkan dengan provinsi lainnya, dimana realisasi
penyerapan belanja Pemda di Provinsi Kalimantan Utara hanya sebesar 9,6%,
yang berarti jauh di bawah standar belanja yang ideal.
110 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
__________, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012.
__________, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.07/2013 tentang
Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2014.
__________ , Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan.
__________ , Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah.
__________ , Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
__________ , Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
__________ , Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah.
__________ , Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Bank Indonesia, Dana Pemerintah Daerah di Perbankan.
Mankiw, Gregory, http://gregmankiw.blogspot.com/2010/03/taxes-per-person.
html.
111Ucapan Terima kasih
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyusunan buku “Deskripsi dan Analisis APBD 2014” dilaksanakan
dengan teamwork yang solid dan tidak akan mungkin terselesaikan tanpa
kontribusi dan kerjasama dari seluruh pihak yang berperan. Oleh karena itu
apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya diejawantahkan dalam
ucapan berikut ini:
- Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan – Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E. – dan Plt. Direktur
Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah – Rukijo, S.E., M.M.
– yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga diselesaikannya
penyusunan buku ini.
- Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Subdirektorat Data
Keuangan Daerah Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan
Daerah yang telah menyediakan data Ringkasan APBD 2014 melalui
Sistem Informasi Keuangan Daerah.
- Tak lupa kami juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Subdirektorat Dana Alokasi Umum, Subdirektorat Pelaksanaan Transfer I
dan Subdirektorat Pelaksanaan Transfer II - Direktorat Dana Perimbangan,
yang telah menyediakan data guru, PNSD, dan realisasi transfer
pemerintah daerah.
- Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana
Desentralisasi dan Perekonomian Daerah (Ubaidi Socheh Hamidi, S.E.,
M.M.; Ahmad Iskandar, SE, M.Fin.Mgt.; Prasetyo Indro S., SE, ME;
Armansyah Sinaga, S.E.; Faisal, S.E., Ak.; Edi Soeprijono, S.Sos; Nanag
Garendra Timur, S.Si; Maryadi, S.E., M.Si.; Chrisliana Tri Ferayanti, SE,
ME; Radies Kusprihanto Purbo, S.E., M.Sc., Ganjar Prihatmoko, S.E.;
Desain Kristian Gulo, S.E.; Virgin Marthalia, A.Md. dan Lukman Adi
112 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Santoso, S.E., M.E.; yang telah melakukan pengolahan data dan sekaligus
mendukung penulisan buku, melakukan editing hingga melakukan setting
layout pencetakan buku ini. Terima kasih atas kerja kerasnya.
113
114 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
115