demokrasi perwakilan yang minim keterwakilan

49

Upload: ashari-edi

Post on 31-Mar-2016

281 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Courtesy IRE http://ireyogya.org/id/flamma/flamma-32-demokrasi-perwakilan-yang-minim-keterwakilan.html;download=58521e4e2bd3d4b988cbd17d7365df3c#downloadFile

TRANSCRIPT

Page 1: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan
Page 2: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan
Page 3: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan
Page 4: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

SOROTRubrik SOROT kali ini mengupas berbagai persoalan yang dihadapi anggota dewan dan partai politik. Disfungsi representasi selama ini dapat dipahami sebagai simpul dari bekerjanya berbagai keterbatasan yang dialami anggota dewan dan partai politik. Untuk itu, tulisan SOROT juga mengajukan sejumlah langkah praktis bagaimana mentransformasi partai politik untuk menunjang kinerja anggota legislatif dan responsif terhadap konstituen.

WAWANCARARegenerasi politik tidak bersifat alamiah. Demikian pesan Sosiolog Ignas Kleden kepada FLAMMA. Pak Ignas, sapaan akrabnya, mengemukakan pandangan dan analisis terkait hangatnya wacana masuknya kaum muda yang umumnya dari elemen gerakan sosial ke pentas politik. Bagaimana peluang kaum muda? Apakah pemimpin gerakan sosial bisa menjadi pemimpin nasional alternatif? Temukan jawabannya di rubrik WAWANCARA.

KUPASKUPAS edisi ini mengajak semua pihak belajar bagaimana Negara Bagian South Australia meregulasi dan mengadvokasi penggunaan tas belanja yang ramah lingkungan. Sebuah pelajaran dari potret pemerintah yang ingin warganya peduli lingkungan.

daftar isidaftar isi daftar isi daftar isi daftar isi daftar isi daftar isi daftar isi daftar isi daftar isi daftar isi daftar isi

Penanggung Jawab Arie Sujito Pemimpin Umum Krisdyatmiko Pemimpin Redaksi Abdur Rozaki Sidang Redaksi Abdur Rozaki, Ashari Cahyo Edi, Krisdyatmiko Redaktur Pelaksana Ashari Cahyo Edi, Machmud NA, Sg. Yulianto, Ahmad Subhan Kontributor Budi Fahlevi (Tangerang), M Zaenal Anwar (Australia), Mevi Ruthviana H (USA) Redaktur Senior Sutoro Eko, Bambang Hudayana Informasi dan Data Heri Purwanto Artistik & Fotografi Adrozen Ahmad Ilustrasi Agus Harnowo

Pemimpin Perusahaan Meilda Wiguna Sirkulasi, Iklan dan Pemasaran Machmud NA. Alamat Redaksi Dusun Tegalrejo, Desa Sariharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Telp/fax: (0274) 867-686 atau 748-2091 Email: [email protected] Website: www.ireyogya.orgRedaksi menerima sumbangan tulisan (opini maupun berita), fotografi, dan ilustrasi yang selaras dengan visi dan misi pemberdayaan IRE.

6

22

Perspektif ........................5Gagas .......................20Galeri Foto .......................26Pustaka .....................33Figur .........................42Sosok ..................... 44Refleksi .........................46

Rancangdan Foto Sampul: Adrozen Ahmad

32April - Juni 2009

SEORANG SISWA tampak melintas di bawah jajaran spanduk parpol di kawasan jalan Letjend. Suprapto Yogyakarta, medio Maret 2009.

Foto

: Adr

ozen

Ahm

ad

36

Page 5: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

S

S

F

beranda

Review Edisi LaluKotak Surat

Saya mendapatkan Majalah FLAMMA secara tidak rutin dari jaringan IRE di Solo. Terus terang saya tertarik dengan isu-isu yang ditulis di FLAMMA. Saya ingin mendapatkan Majalah Flamma secara rutin, bagaimana caranya? Majalah Flamma selama ini digunakan selain untuk kebutuhan bahan saya mengajar, juga untuk bahan bacaan komunitas belajar saya di kampung.

Salam,Fetty ernawatiDosen Tarbiyah STAIN Surakarta, Candidate doctor Manajamen Pendidikan UPI Bandung.

Redaksi:Terimakasih atas atensi dan minat Ibu Fetty. Ibu bisa mendapatkan FLAMMA cukup dengan mengisi form berlangganan yang ada di setiap terbitan FLAMMA dan mengirimkan form tersebut ke IRE baik via faks, maupun email. Untuk lebih jelas, Ibu bisa menghubungi IRE Yogyakarta.

kepada yth. Redaksi Jurnal Mandatory (IRE Yog-ya) di tempat Dengan hormat, Bersama email ini Saya hendak mengajukan beberapa pertanyaan berkaitan dengan Jurnal Mandatory. Saya, Leo Agustino, saat ini sedang menempuh studi S3 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), dan ingin menulis dalam Jurnal Mandatory. Jika, pihak IRE Yogya berkenan untuk memberitahu topik apa yang akan diangkat dalam penerbitan yang akan datang, maka Saya dapat menyesuaikan tulisan sesuai dengan keinginan redaksi. Atas perhatian dan pertimbangannya Saya ucapkan terimakasih. leo agustino

Redaksi:Terimakasih atas minat Bapak untuk menulis di Jurnal Mandatory. Redaksi Jurnal Mandatory segera akan menghubungi Bapak untuk informasi lebih lanjut.

REGENERASISaat orang ramai bicarakan soal regenerasi kepemimpinan nasional, di IRE telah terjadi rege-nerasi dalam arti sesung-guhnya. Di penghujung 2008 lalu, tepatnya 31 De-sember 2008, telah lahir Duhitaprajna Sri Kriswi-dayanti (Danti), putri staf IRE Sunaryo Hadi Wibo-wo dan Sri Nurlia Hapsari. Dua bulan sebelumnya, yakni 0 Oktober 2008 lalu, telah lahir Faiz Althaf Azkiya Krisna (Althaf), putra staf IRE Yuliana Am-bar Astuti dan Dwi Kriswanto. Untuk kedua keluarga, kami ucapkan selamat, sekaligus doa agar Danti dan Althaf kelak menjadi anak yang bertaqwa, anti

KKN, dan menjadi pelita perubahan di zamannya.

***Mulai awal April

2009, Staf IT IRE Heri Pur-wanto mengundurkan diri setelah kurang lebih 7 tahun 5 bulan bekerja. Mas Heri, sapaan akrab-nya, mulai bekerja di IRE Agustus 2001. Ia mun-

dur karena ingin dekat dengan istri. “Tentunya, selain alasan jarak tempuh dari rumah ke IRE yang cukup jauh,” ujarnya. Segenap keluarga besar IRE Yogyakarta mengucapkan terimakasih atas dedikasinya selama ini. Dengan mundurnya Mas Heri, IRE pun akan segera melakukan ‘regenerasi’ staf IT.

FLAMMA EDISI 31 Oktober - Desember 2008 ini menyoroti isu kaum muda di jalur politik. Wacana peran kaum muda dalam politik dan regenerasi kepemimpinan menjelang Pemilu 2009 semakin riuh. Yang muda diasosiasikan dengan semangat properubahan. Sementara golongan tua yang seharusnya bijak bestari, dinilai justru melestarikan politik gerontokrasi. Dalam laporan utama pada edisi ini diketengahkan bahwa kaum muda memang saatnya memimpin namun juga harus memenuhi sederet syarat: punya ideologi dan berakar di akar rumput.

Page 6: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

B

perspektif

pemilu tinggal menghitung hari. Perhelatan politik lima tahunan ini di-anggap sebagai arena paling legitimate bagi rotasi kepemimpinan di negara de-mokratis. Bagi Indonesia, Pemilu 2009 ini merupakan kali ketiga di era reformasi, diwarnai animo parpol yang tinggi, bak jamur di musim hujan.

Lantas, apakah meningkatnya ke-terbukaan senantiasa dapat meningkat-kan kualitas Pemilu: mampu menjawab permasalahan bangsa dan mengemban mandat rakyat? Apakah regulasi pemi-lu mampu menjadi payung hukum bagi kompetisi politik yang fair?

Pada dasarnya masih banyak per-tanyaan terkait dengan kualitas penye-lenggaraan pemilu. Terlebih lagi, hari-hari menjelang pemilu, banyak sekali kebijakan yang mengundang kontrover-si. Pertama, menyangkut parliamentary thresholds. Aturan tentang 2,5 persen, sebagaimana UU No. 10/2008, yang misi awalnya dinyatakan sebagai sarana seleksi terhadap parpol, mengundang sinisme sekadar sebagai upaya parpol besar menguasai DPR pusat. Aturan ini berpoten-si menuai konflik pasca pemilu bagi parpol dan/atau caleg yang tidak berhasil memenuhinya.

Kedua, keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara ter-banyak sebagai dasar dalam menentukan pemenang pemilu. Di satu sisi, ini dimaksudkan untuk membangun kompetisi yang fair. Di sisi lain, ini menghasilkan kader-kader parpol yang in-dividualis dan pragmatis. Misalnya, cara caleg menarik simpa-ti melalui pemasangan iklan di jalanan dan media massa yang lebih banyak menampilkan wajah mereka ketimbang program konkret yang ditawarkan.

Lebih lanjut, keputusan ini mengundang kontroversi dari aktivis perempuan karena dianggap mengancam affirmative act-ion (kuota 30 persen perempuan di legislatif). Padahal budaya politik masyarakat Indonesia, pada umumnya belum akomoda-tif terhadap politisi perempuan.

Perkara kualitas pemilu juga terus dipertanyakan meng-ingat fenomena parpol yang pada umumnya masih sangat ter-gantung pada figur pemimpinnya. Jumlah peserta pemilu yang mencapai 38 parpol dan 6 parpol lokal di Aceh, nyatanya belum mampu menyiratkan keterikatan parpol yang mengakar dengan para konstituennya.

Selain itu, parpol di Indonesia lebih digerakkan oleh politik identitas yang sektarian daripada oleh ideologi dan perjuangan kelas. Bahkan, banyak parpol masih mengalami kegagapan da-lam merumuskan ideologi, plattform, dan strategi perjuangan. Kalau toh ada yang bermaksud ideologis, tidak jarang kemu-

dian tiba-tiba berubah orientasi ideolo-ginya karena kepentingan pragmatis. Ini tercermin dari koalisi antar parpol yang berseberangan ideologi, sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya.

Bagi parpol-parpol baru, Pemilu 2009 ini bukan hal yang mudah. Mereka belum punya basis konstituen. Akibat-nya, parpol menjaring caleg sebanyak-banyaknya tanpa melihat track record mereka. Termasuk apakah para caleg mengetahui fungsi, visi, misi dan pro-gram-program parpol.

Tahun ini, oleh karena pemenang pe-milu adalah suara terbanyak, maka para caleglah yang berjuang habis-habisan untuk memperoleh simpati pemilih. Hal ini tidak bisa menghilangkan kekhawa-tiran terhadap ancaman keterputusan komunikasi politik antara parpol/caleg dan konstituen. Ibaratnya, habis manis sepah dibuang, sebagaimana yang telah lama terjadi, sebagai warisan kebijakan

massa mengambang dan praktik korpo-ratisme Orde Baru.

Pragmatisme parpol ini terus direproduksi dari pemilu ke pemilu. Tahun ini, pragmatisme kelembagaan dilengkapi dengan pragmatisme caleg karena mereka berkompetisi secara individual. Kekecewaan demi kekecewaan masyarakat akhir-nya pun berujung pada sikap pragmatis masyarakat. Ketika program-program kerja parpol/caleg tidak dapat diandalkan, maka uang adalah jawabannya. Akhirnya, transaksi politik ber-alih menjadi transaksi ekonomi. Money politic bukan hal aneh lagi dalam pemilu.

Problem lain terkait kualitas pemilu adalah sosialisasi mengenai tata cara pemilihan. Informasi tentang tata cara me-milih dalam pemilu masih kabur bagi sebagian besar pemilih, sementara itu, waktu yang tersisa juga sangat sempit.

Implikasi terparah dari berbagai pertanyaan terhadap kua-litas pemilu adalah meningkatnya apatisme masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pemilu. Akhirnya, ada sebagian ma-syarakat yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golput.

Dari berbagai terobosan baru dalam Pemilu 2009 ini, baik dalam hal regulasi, parpol-parpol baru, dan muka-muka baru - sebagai caleg dan kandidat presiden- tetap saja kita tidak bisa melepaskan diri dari kekhawatiran: akankah Pemilu 2009 ini mampu menghadirkan wakil rakyat yang berkualitas dan ber-pihak pada rakyat? Tidak ada jawaban pasti kecuali jika rakyat memilih secara cerdas. Selamat berpesta demokrasi!

Redaksi

RAKYAT BERHARAP APADARI PEMILU?

Page 7: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

6

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009Sorot

Demokrasi PerwakilanYANG MINIM KETERwAKILAN

Sebuah baliho salah seorang caleg sebuah partai yang rusak di salah satu ruas jalan Desa Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.

Foto: Adrozen Ahmad

Page 8: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

Demokrasi Perwakilanyang Minim KeterwakilanFLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

A

PENGANTARTulisan SOROT kali ini bersumber dari diskusi terbatas dengan tema ”Memperbaiki Komunikasi Politik Anggota Dewan, Partai Politik, dan Konstituen” pada akhir Oktober 2008 lalu. Acara yang diikuti oleh sekira 90 peserta dari anggota dewan, parpol, dan kelompok masyarakat itu terselenggara atas kerja sama Institute for Research and Empowerment (IRE) dan The International of Republican Institute (IRI). Tulisan dalam SOROT ini tidak ditujukan sebagai laporan resmi IRE kepada IRI. Tanggung jawab substansi tulisan sepenuhnya berada di redaksi FLAMMA/IRE Yogyakarta.

apa ada bedanya antara pemilihan bintang Idola entertainment dengan pemi-lu? Jika yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan yakni melakukan pemili-han, jawabnya: ya, ada! Masyarakat me-milih calon idola yang paling cantik, me-narik, merdu suaranya untuk jadi anak mas dunia hiburan. Sedangkan di pemilu (nasional maupun daerah) masyarakat memilih partai, calon legislatif (caleg), presiden, bupati, gubernur atau anggota DPD yang dipandang punya ideologi dan platform program yang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Tetapi bahwa dalam pemilihan idola, setelah menang, Rini IDOL atau Siti KDI tak punya tali mandat. Mereka tak ha-rus mempertanggungjawabkan kenapa memilih lagu A, menyanyi di nada dasar tinggi padalah suara cekak, atau kostum seronok yang buruk bagi anak-anak, dan seterusnya. Cukuplah para fans bergem-bira melihat jagonya menang. Selebihnya, biarkan sang idola menikmati segala ke-tenarannya.

Sayangnya, pemilu tak ada beda dan menunjukkan gejala serupa pemilihan idola: sekali memilih, ya sudah, putus hubungan. Relasi antara partai politik dengan konstituen hanya berlangsung saat pemilu. Ini kisah klasik yang terus berulang. Setelah menang, parpol dan kadernya di parlemen seolah berjalan sendiri. Pemandunya adalah kepenti-ngan pribadi dan partai, bukannya as-pirasi pemilih. Padahal, sebagai wakil rakyat, para angggota dewan idealnya selalu berkomomunikasi dengan konsti-tuennya, yang notabene adalah pemilik mandat.

Masih mending jika parpol punya platform dan ideologi yang jadi pandu arah dalam menjalankan peran legislasi, penganggaran, dan pengawasan jalannya pemerintahan. Akan tetapi ideologi, pi-lar fondasional partai politik ini juga tak sepenuhnya jadi pegangan parpol dalam berpolitik. Bagaimana ideologi di trans-fer menjadi gagasan kebijakan pun tidak pernah jelas. Justru makin terasa betapa ideologi kian tak bermakna.

Gejala umum di mana parpol yang berbeda ideologi bisa berkoalisi sepan-

jang kepentingan mereka bertemu, jadi satu bukti yang mengklarifikasi hal terse-but. “Di pusat, Partai A boleh berselisih dengan Partai B. Tapi anehnya mereka bisa bersatu di pilkada suatu daerah,” ujar I Ketut Putra Erawan dalam sebuah acara diskusi yang diselenggarakan IRE medio 2008 lalu.

Di usia era demokratisiasi yang menginjak satu dekade lebih, kini setiap warga negara bebas mendirikan partai, memilih dan dipilih menjadi legislator maupun pejabat eksekutif. Setiap orang kini berhak berdemo dan mengkritik ke-tika kebijakan dirasa tak berpihak kepada publik. Akan tetapi, sebagaimana hasil riset Demos (2004), situasi sesungguhnya hanyalah bahwa kini orang “lebih bebas, tetapi minim keterwakilan politik”.

Pengakuan hak-hak politik warga (ci-tizens) berhenti di mulut dan tidak meng-hasilkan suatu kondisi di mana para pe-jabat publik dan lembaga-lembaga rep-resentasi dalam demokrasi menjadi res-ponsif, akuntabel, kredibel, transparan, dan seterusnya. Buruh setiap saat bisa berdemo, PKL kapan saja bisa meminta hearing DPRD, tapi aspirasi belum tentu diakomodasi. Mau dibilang mendrama-tisir keadaan atau tidak, menakut-nakuti atau tidak, fakta terputusnya komunikasi politik tersebut sejatinya mencemaskan: demokrasi perwakilan yang miskin keter-wakilan sedang berlangsung!

Praktik “demokrasi perwakilan yang miskin keterwakilan”, salah satunya, bisa dipandang sebagai resultan dari beker-janya berbagai keterbatasan yang dialami anggota dewan, partai politik, maupun konstituen didalam menjalin komunikasi politik. Bila urusannya sekadar mencari kambing hitam, tentu mudah. Namun ketimbang berbuat demikian, adalah lebih baik bila benang ruwet macetnya komunikasi politik di antara ketiga pihak tersebut diurai. Mencari akar resultan adalah jauh lebih penting. Dari sana kita bisa mengira-ngira mana saja yang mesti dibenahi, siapa melakukan apa, rute-rute untuk perbaikan, sehingga praktik de-mokrasi bisa bermakna.

Ashari Cahyo Edi

Page 9: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

M diri di pohon, tiang listrik, pagar rumah, dan sebagainya. Bagi parpol dan caleg yang berkantong tebal, uang milyaran rupiah digelontorkan untuk beriklan di televisi. Semuanya punya satu tujuan: menarik simpati, dukungan, dan meya-kinkan calon pemilih bahwa partai A, caleg X itu merakyat, jujur, berkomitmen perjuangkan aspirasi, dan karena itu lay-ak dipilih.

Akan tetapi, bercermin pada pemilu 1999 dan 2004, semua hiruk-pikuk kam-

menjelang hari-h Pemilu, nyaris tidak ada satupun parpol berikut para caleg-nya yang tidak turun mendekati calon pemilih. Sesuai dengan kemam-puan dana, jumlah tim sukses, variasi strategi, dan seterusnya, partai dan para caleg berbondong menyusup ke perte-muan RT, arisan ibu-ibu, kumpulan ka-rang taruna, mengadakan kegiatan yang mengundang banyak orang seperti jalan santai atau sepeda gembira hingga ber-lomba memajang baliho, spanduk, potret

Mengurai Sumber Lemahnya

Kinerja Legislator

Foto

: Adr

ozen

Ahm

adSorot

Page 10: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

9

Demokrasi Perwakilanyang Minim KeterwakilanFLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

panye itu lenyap setelah prosesi pemilu usai. Para anggota legislatif terpilih, pe-ngurus dan kader parpol mundur teratur dari masyarakat. Di pihak lain, karena kampanye lebih bersifat satu arah serta melulu membujuk yang dibumbui ’poli-tik bantuan’ dan politik uang, masyarakat tidak banyak yang mengerti pentingnya menjalin hubungan dengan wakilnya, apa saja salurannya, dan bagaimana cara-nya. Dan komunikasi pun terputus.

“Setelah pemilu parpol kehilangan

orientasi bagaimana mengefektifkan ka-der-kadernya atau pekerja politiknya di dewan,” ujar Immawan Wahyudi dari Fraksi Amanat Nasional DPRD DIY. Al-hasil, demikian Immawan, komunikasi antara dewan dan masyarakat yang di-motori atau dimediasi oleh parpol men-jadi sangat minim. “Malah sebaliknya, anggota dewan kalau datang ke bawah, itu parpol yang diajak,” tuturnya.

Menurut Anggota DPRD Provinsi DIY dari Partai Demokrasi Indonesia Per-juangan Esti Wijayati, parpol umumnya tidak melakukan komunikasi secara rutin dengan para anggota dewan. Karena tu-run ke konstituen butuh dana, aktivitas ke konstituen bergantung pada kapasitas dan kreativitas anggota dewan. “Ang-gota dewan akhirnya berjalan sendiri-sendiri (tanpa peran parpol—red),” kata Esti yang juga Anggota Panitia Anggaran DPRD DIY.

Meskipun punya keterbatasan, terlepas ada fasilitas pendanaan atau tidak, anggota dewan menyadari kewa-jibannya untuk turun ke konstituen. Hal ini ditegaskan Farhan Hariem dari Partai Keadilan Sejahtera Sleman. ”Ada tida-knya anggaran atau fasilitasi dari partai politik, anggota dewan wajib turun ke masyarakat,” tegas Farhan.

Tetapi, komitmen menjalin komu-nikasi bukannya tanpa resiko. Anggota dewan kerap bertemu warga yang tak bertanya tentang proses kebijakan, apa yang berhasil dilakukan, melainkan lang-sung meminta dana atau bantuan mate-rial. ”Paling banter masyarakat menyam-paikan bahwa ‘di desa saya membangun masjid, kurang dana’ sehingga dewan menjadi ATM,” terang Farhan.

Lantaran kerap ”ditodong” warga, banyak anggota dewan merasa trauma jika harus bertemu konstituen. ”Ada be-berapa anggota dewan kalau nggak eng-gan ya istilahnya wegah untuk menemui konstituen. Yang trauma mungkin ka-susnya ya seperti tadi itu, kita menjadi seperti ATM bagi masyarakat,” tutur Arif Rahman Hakim, dari Fraksi PKS DPRD DIY.

”Ketika saya melakukan pemetaan tingkat pengenalan wakil anggota de-wan, DPD, oleh konstituen di tingkat kecamatan, dusun, di kabupaten Sleman, kadar pengenalan masyarakat terhadap wakilnya itu ternyata rendah. Dan ba-nyak yang menganggap anggota dewan setelah dipilih tidak memperhatikan ma-syarakat,” ujar Arif yang juga Wakil Ke-tua Komisi A DPRD DIY.

Trauma anggota dewan yang mem-buat mereka enggan turun ke konstituen boleh jadi memang memberi andil ke-tidakpopuleran mereka di masyarakat. Namun penting pula diingat bahwa seda-ri kampanye, para caleg telah mengondi-sikan warga memiliki persepsi bahwa ca-leg bersinonim dengan bantuan. Artinya, anggota dewan punya andil atas perilaku buruk masyarakat tersebut.

Perilaku warga yang pragmatis, me-mentingkan aksi karitatif para anggota dewan ketimbang kerja-kerja kebijakan merupakan imbas dari model kampanye caleg yang lebih mengedepankan janji-janji, mengeksploitasi sentimen kedaera-han, aliran politik, yang selalu dibumbui bantuan uang dan barang, tanpa secara sungguh-sungguh memasukkan substan-si pendidikan politik ke warga.

Setelah menjadi anggota legislatif, ki-ranya hanya sedikit anggota dewan yang kembali konstituen untuk mengklarifikasi aspirasi, menegaskan kontrak komitmen dan keberpihakan, maupun menjelaskan prosedur, mekanisme, dan teknis komu-nikasi yang bisa dilakukan warga.

Lantaran popularitasnya rendah, muncul kesan bahwa rakyat tidak mem-butuhkan anggota dewan. Di saat bersa-maan, kapasitas anggota dewan di parle-men juga lemah. Tak jauh berbeda de-ngan para pendahulunya di era Soeharto, eksekutif tetap mendominasi proses-pro-ses legislasi dan penganggaran. Itu semua tak pelak memburamkan citra anggota dewan. ”Image yang menilai masyarakat tidak butuh dewan, ini keterkaitannya dengan persoalan (rendahnya—red) ke-terwakilan dan ketidakpopuleran de-wan,” kata Immawan yang juga menjabat Ketua Badan Kehormatan DPRD DIY.

***Rasanya tidak adil bila lemahnya re-

presentasi politik yang berimbas pada rendahnya popularitas melulu ditimpa-kan kepada anggota dewan maupun par-pol. Sebaliknya, para wakil rakyat merasa berbagai regulasi yang ada mengekang ruang gerak mereka. Memang, peran dan kewenangan dewan dalam legis-lasi, penganggaran, dan pengawasan di-jamin dalam UU. Tapi dalam peraturan dibawahnya, pesan normatif yang mem-posisikan anggota dewan pada posisi

Salah seorang Caleg memanfaatkan acara pengajian rutin di Desa Kemusu, Kedungombo, Boyolali sebagai medium kampanye.

Page 11: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

10

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

kuat perlahan meluntur.”Pada undang-undangnya itu sebe-

tulnya terbaca legislatif heavy. Tapi sam-pai pada tingkat peraturan pemerintah dan kemudian permendagri khususnya pada penyusunan anggaran, itu kemu-dian menjadi executive heavy, dewan itu menjadi pelengkap penderita,” ujar Im-mawan Wahyudi. Padahal, karakter regulasi tersebut sebenarnya birokratis. “Regulasi karakternya birocratic oriented sehingga dewan menjadi berorientasi seperti birokrasi. Kalau tunduk pada itu, (anggota dewan—red) tidak mewakili rakyat,” tambah Immawan.

Dalam perencanaan dan pengangga-ran misalnya, dengan kuatnya kedudu-kan PP dan permendagri, anggota dewan dipaksa tunduk pada aturan tersebut. Dukungan yang timpang dalam hal regu-lasi serta kuatnya sumberdaya birokrasi di eksekutif akhirnya membuat timpang pula hasil penyerapan aspirasi antara anggota dewan dan eksekutif.

”Yang terjadi selama ini masih ada gap antara hasil musrenbang dengan hasil penyerapan masyarakat yang dilakukan dewan,” kata Arif Nur Hartanto, Ketua DPRD Kota Yogyakarta. ”Jaring asmara, itupun kalau anggota dewannya masih normatif bergerak, itu saja tidak imbang. Apalagi kalau dewannya anteng, tenang ditempatnya,” timpal Immawan.

Secara sistemik, penjaringan asirasi oleh dewan dengan siklus musrenbang tidak selalu terjadi secara bersamaan. Proses perencanaan pembangunan dilak-sanakan pada bulan Januari hingga Ma-ret. Sementara, tiap DPRD punya jadwal reses yang tidak selalu bertepatan den-gan masa reses DPRD. Padahal, di masa reseslah, anggota dewan leluasa turun ke konstituen.

Posisi politik anggota dewan kian su-lit akibat seringnya regulasi perencanaan dan penganggaran, yang sangat detil mengatur hal-hal teknis, berubah. Kon-disi yang tentu berbeda dengan ekseku-tif yang telah bertahun-tahun mengelola perencanaan melalui musrenbang dan terbiasa belajar cepat dan beradaptasi dengan regulasi baru.

Yang umum terjadi kemudian, kare-na terkendala soal teknis dan minimnya pengetahuan regulasi, anggota dewan banyak memilih ”melepas” proses peren-canaan di musrenbang. Betapapun mus-renbang adalah sistem dan mekanisme utama dalam perencanaan dan pengang-garan pembangunan—di mana secara holistik dan representatif aspirasi lintas wilayah dan sektor dihimpun, prioritas dibuat, dan idealnya menjadi basis proses penganggaran—tapi banyak anggota de-wan yang tidak berkomitmen mengawal

proses musrenbang. Fakta ini terungkap saat IRE dan REWANG (Rembug Warga Peduli Anggaran) Bantul mengawal pro-ses perencanaan di Bantul. ”Mereka lebih suka bermain di politik pembahasan ang-garan,” ujar Dina Mariana, peneliti IRE yang selama 2006-2008 mendampingi REWANG.

***Kalah di penyerapan aspirasi pe-

rencanaan, para anggota dewan lantas membuat terobosan. Salah satunya ada-lah menganjurkan konstituen di dapilnya untuk membuat proposal yang akan di-perjuangkan di proses penganggaran.

Aslam Ridho dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Sleman menga-takan, mekanisme di mana warga me-ngirim proposal langsung ke anggota de-wan lebih mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Proposal juga ia akui efektif menjabarkan kebutuhan tersebut. ”Saya melihat disinilah gunanya proposal un-tuk mengawal serta mendapat keperca-yaan konstituen,” ujar Aslam. ”Cara atau terobosan apapun menjalin relasi antara dewan dengan masyarakat perlu ditem-puh asalkan secara prosedural, legal, po-litis dibenarkan,” lanjutnya.

Pendapat senada diutarakan Imma-wan Wahyudi dari PAN DIY. ”Di sam-ping kepentingan masyarakat terpenuhi, dewan juga bisa mengecek kesehatan anggaran sampai laporannya. Namun ‘kualitas anggaran’ proposal juga harus dilihat,” kata Immawan. ”Saya melihat-nya lebih sebagai suatu penyiasatan sis-tem serta untuk pencitraan,” sambung Aslam Ridho.

Sayangnya, mekanisme proposal iba-rat pedang bermata dua justru karena ia menjadi ’jalan pintas’ usulan warga. ”Usulan program di proposal tidak ber-dasarkan proses perencanaan di musren-bang. Tiba-tiba muncul di penganggaran. Ia merusak sistem perencanaan dan peng-anggaran,” kata Dina Mariana dari IRE.

”Sebenarnya itu bukan kerja dewan. Tugas dewan adalah memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi oleh ekseku-tif, sehingga anggota dewan tidak ber-peran sebagai penerima proposal,” kata Arif Rahman Hakim dari PKS DIY. Arif khawatir, praktik yang sejatinya dituju-kan sebagai terobosan tersebut melem-baga. ”Khawatirnya jangan-jangan nanti dewan berganti, praktek seperti itu masih saja terus berlaku,” kata Arif.

Yang jadi soal, faktanya bukan ang-

Foto: Adrozen Ahmad

Sorot

Page 12: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

11

Demokrasi Perwakilan yang Minim KeterwakilanFLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

gota dewan saja yang menempuh me-kanisme proposal. Di Bantul, usulan-usulan yang tidak terakomodasi dalam musrenbang bisa diprogramkan melalui skema dana stimulan. Kebijakan terse-but langsung di bawah Bupati. Hal inilah yang kiranya membuat Aslam Rdiho dan Immawan Wahyudi tetap kukuh dengan mekanisme proposal. ”Kalau tidak di-lakukan politik terobosan, (terjadi—red) dominasi yang terlalu besar dari ekseku-tif,” Immawan berargumen. Ia pun mera-gukan ketepatan dan akuntabilitas skema program pembangunan yang dilakukan di luar musrenbang. “Sumbangan-sum-bangan sosial (eksekutif—red) itu di mana, jatuh di mana, itu tidak jelas,” kata Immawan.

Meskipun eksekutif dan legislatif mengklaim mekanisme proposal sebagai terobosan, mekanisme itu sesungguhnya tetaplah merusak sistem. Bila perenca-naan diibaratkan sebuah pipa air di mana proses pengisiannya berasal dari hulu, proposal ibarat pipa liar yang tiba-tiba menjebol dan menyedot air di tengah jalan. Warga yang telah tertib mengikuti musrenbang harus gigit jari karena usu-lannya diterabas proposal.

Yang penting lagi, ruang politik di

penganggaran juga tidak sepenuhnya menjanjikan karena terbentur regulasi. Kini hanya anggota dewan yang menjadi tim panitia anggaran yang punya hak un-tuk mengusulkan perubahan terhadap berbagai dokumen penganggaran. Ini berbeda dengan regulasi sebelumnya di-mana komisi, fraksi, dan anggota dewan bisa terlibat dan memberikan pengaruh.

Pengalaman IRE di dua kabupaten, Bantul (DIY) dan Kebumen (Jateng) ke-tika menjalankan Participatory Budget-ing and Expenditure Program menemu-kan, seharusnya proses musrenbang lah yang dibenahi. Musrenbang tidak efektif dalam arti usulan warga tidak nampak di APBD dan kemudian diemohi warga salah satunya karena ada sederet kewa-jiban yang tidak dipenuhi oleh eksekutif dan legislatif.

Dukungan pemda berupa penyedia-an dokumen seperti alokasi dana desa (ADD), renstra SKPD/dinas, Surat Eda-ran Bersama Mendagri-Kepala Bapenas sebagai panduan warga dalam musren-bang tidak sampai ke desa. Ini ditambah lagi dengan kapasitas fasilitator musren-bang desa yang minim. Lenyapnya usu-lan warga juga diakibatkan kuatnya ego sektoral di dinas-dinas kabupaten.

Sekadar mengingatkan, perencanaan pembangunan di Indonesia bersifat sek-toral namun dilakukan dengan basis spa-tial atau kewilayahan. Dinas-dinas mer-encanakan bahwa di tahun depan belanja di sektor pendidikan x persen, kesehatan y persen, infrastruktur z persen, dan se-terusnya. Idealnya, dinas-dinas menggu-nakan hasil musrenbang didalam menyu-sun rencana kerja anggaran.

Tanpa berbagai dukungan di atas, warga desa akhirnya membuat usulan tanpa memperhitungkan sinkronisasi dengan prioritas pembangunan kabu-paten, kategori usulan mana yang akan dibiayai melalui ADD atau mana yang harus diajukan ke APBD, dan seterusnya. Imbasnya, usulan desa mudah digunting oleh dinas-dinas di kabupaten.

***”Baiknya, level pendampingan ter-

hadap konstituen sebisa mungkin sampai level terendah. Misalnya saja, pendam-pingan pengawalan rute anggaran dari level terendah, dusun, desa harus kita kawal sampai tingkat tinggi,” kata Arif Rahman Hakim. Arif mengaku, ia dan rekan-rekannya sesama anggota dewan

sedang memikirkan adanya pembagian kerja untuk mendampingi dapil.

Meskipun sebagian anggota dewan seperti Immawan dan Aslam Ridho masih kukuh melihat mekanisme pro-posal sebagai terobosan, namun mere-ka juga memandang betapa strategisnya pendampingan terhadap konstituen. ”Mendampingi masyarakat ketika mus-renbang mulai tingkat dusun, bukan desa!” kata Immawan.

Immawan menggunakan organisasi basis sosialnya untuk mengawal mus-renbang dan prosesnya yakni Muham-madyah. ”Karena basis saya PAN dan Muhamadiyah, saya meminta mereka dilibatkan dalam musrenbang yang saya datangi. Ini untuk mengawal dan menga-wasi keputusan musrenbang,” ujarnya.

Selain dalam perencanaan dan peng-anggaran, pelayanan publik adalah hal yang penting untuk diadvokasi. Ba nyak kebijakan dan pelayanan yang su-dah dijamin oleh pemerintah namun sedikit sekali tersosialisasi ke masyara-kat. ”Terkait relasi dewan dengan ma-syarakat, masalahnya saya lihat pada sosialisasi. Anggaran itu ada, tapi ba-gaimana cara mengakses terhadap hak dasar masyarakat. Ini yang perlu di so-sialisasikan,” ujar Esti Wijayati yang me-rupakan Anggota Komisi B DPRD DIY. Di luar agenda kelembagaan, kampanye membangun popularitas bisa dilakukan dengan rajin turun ke masyarakat. In-vestasi citra di masyarakat seperti hadir dalam acara sosial seperti kerja bhakti, pemakaman, atau pernikahan perlu di-lakukan. Walau tampak sepele, hadir di hajatan warga menurut Aslam Ridho bernilai strategis bagi pembentukan citra aspiratif anggota dewan. ”Ini merupa-kan terobosan komunikasi yang efektif. Investasinya ya meluangkan waktu itu,” katanya.

Agar bisa beriringan, anggota dewan harus memetakan sekaligus mampu me-respon secara imbang antara tuntutan pragmatis dengan kerja-kerja strategis dan kelembagaan sesuai tupoksi legis-lator. ”Ketika kita turun ke masyarakat, kita perlu melakukan pemetaan kepen-tingan. Kalau kepentingannya pragmatis ya pragmatis,” kata Aslam Ridho.

Bagi parpol, pendampingan sepanjang masa merupakan upaya merawat jalinan antara partai dengan konstituen. ”Kondi-si masyarakat memerlukan pengawalan intens dan kontinyu. Kita lengah sedikit saja, sudah diambil partai lain. Padahal kita sudah capek-capek mendampingin-ya, merawatnya dari nol,” ujar Sugiyarto SY, anggota DPRD Gunung Kidul dari Partai Golkar.

Ashari Cahyo Edi

Sebuah poster Caleg yang tertempel di sebuah pohon terpaksa harus bersaing berebut perhatian dengan papan iklan Sedot WC di salah satu ruas jalan di Desa Nganglik, Sleman Yogyakarta.

Page 13: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

12

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

B

Parpol dalam Belenggu

KRISIS INTERNAL

kaderisasi dan rekrutmen politik yang buruk ini adalah rendahnya kualitas ke-cakapan dan internalisasi ideologi ang-gota dewan. “Bahwa salah satu hal yang menyebabkan parpol tidak bisa men-jalankan fungsi sehingga tidak menjadi kebijakan itu karena memang karena

Sejahtera D I Y DIY kha-watir politik uang dalam rekrutmen poli-tik akan berimbas buruk bagi masa depan kepe-mimpinan bang-sa. “Pengkaderan k e p e m i m p i n a n kita mengganggu sekali. Jadi, orang hanya berkampa-nye di TV, pin-gin jadi Presiden karena punya uang Rp 50 mili-ar,” katanya.

Persoalan di atas kian menegaskan per-soalan lain yang tak kalah penting: nyaris tidak adanya pembe-daan antara simpati-san, anggota, dan kader parpol. Menurut Wisnu Giyono dari Partai PNI Mar-haenisme Bantul, parpol terlalu mudah memberikan seseorang kartu anggota (KTA) meskipun be-lum lama mendaftar sebagai anggota suatu parpol. Begitu memegang KTA, parpol mengklaim anggota barunya itu kader. Anggota baru itupun mengklaim dirinya sebagai kader. “Kapan partai ini melakukan kaderisasi? Tapi kalau bagian dari simpatisan atau anggota partai ini, saya masih cukup bisa memahami,” ujar Wisnu.

Semuanya itu mengakibatkan rendahnya kualitas caleg yang berkompetisi di dalam pemilu. Bahkan, ada gejala, parpol me-maksakan diri, menyodorkan caleg ke pemilih tak peduli betapapun rendah kualitasnya. “Sehingga itu hanya sebuah proyek (pemilu-red). Yang jadi pun, yang muncul, bukan anggota legislatif yang memiliki basis massa yang besar karena visi-misinya yang dipupuk selama bebe-rapa tahun,” kata Bambang Wijaya.

Simpul dari proses dan mekanisme

Banyak orang yakin bahwa de-mokrasi tak akan terwujud selama partai politik belum mendemokrasikan dirinya sendiri. ”Partai tidak mungkin hanya menuntut demokrasi di luar, tetapi tidak menghiraukan proses di internalnya,” ujar pengamat politik CSIS Thomas A Le-gowo (Kompas, 24/12/2008). Menurutnya, tatkala parpol dikelola secara demokra-tis, tidak saja prosedur kepartaian akan berjalan, namun substansi demokrasi itu akan ditularkan pula ke luar.

Akan tetapi setelah 10 tahun era de-mokratisasi, parpol di negeri ini justru masih terperangkap dalam krisis yang bersumber dari dirinya sendiri: miskin ideologi dan kaderisasi, didominasi elit pengurusnya, rentan dibajak avonturis-me politik, serta berpijak di atas pondasi relasi parpol-konstituen yang rapuh.

Tanpa bermaksud mengkambing-hitamkan parpol, harus diakui bahwa deretan problem internal itu berandil be-sar atas terjadinya disfungsi representasi yang menjangkiti demokrasi kita. Tulisan ini mengupas berbagai masalah internal yang selama ini dihadapi partai-partai politik.

***Kader ibarat kaki dari gagasan, pro-

gram kerja, platform, maupun ideologi parpol. Sayang, parpol umumnya tidak serius mendidik kader-kadernya. “Tidak pernah saya diundang oleh sebuah Par-tai Politik untuk, yang disebut istilahnya, kaderisasi atau sosialisasi. Sama sekali tidak ada,” keluh Bambang Wijaya dari Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) Sle-man. Menurut Bambang, problem ini tak hanya terjadi di parpol baru melainkan juga parpol-parpol besar.

Bukannya memperbaiki sistem re-kruitmen dan kaderisasi, parpol malah menyuburkan praktik kroniisme, nepo-tisme, dan politik uang. Jelang Pemilu 2009, samar-samar terdengar praktik jual beli nomor urut dalam pencalegan oleh parpol. “Yang sekarang jadi adalah sopo yang nduwe duit, sopo sing iso membiayai kampanye,” ujar Bambang.

Suprih Hidayat dari Partai Keadilan

Sorot

Ilustrasi: Agus Harnowo

Page 14: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

13

Demokrasi Perwakilanyang Minim KeterwakilanFLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

ada lagi konflik internal partai,” ujar Gu-nawan Hartono yang juga Kepala Badan Pemenangan Pemilu DPC PDI-P Kota Yo-gyakarta ini.

Setelah bertahun berkecimpung di parpol, Gunawan merasa parpol hanya mendidik kadernya untuk berkuasa. “Ini cukup mengkultur di dalam partai kami. Jadi, ngertinya partai politik itu kudu berkuasa, tapi tidak pernah diajarkan setelah berkuasa itu untuk apa,” katanya.

***Selain problem kaderisasi, kehidupan

parpol di Indonesia belum juga lepas dari kultur oligarki. Fenomena “dinastitokra-si”, pengelolaan parpol yang didominasi trah elit dan keluarga pengurus parpol, hanya salah satu wujudnya. Wujud yang lainnya adalah corak relasi dan komuni-kasi internal yang tidak demokratis dan cenderung instruktif antara pengurus partai dengan fraksi, atau fraksi dengan anggota dewan.

“Selama ini yang dijalankan bahwa fraksi itu kepanjangan tangan dari par-tai. Nah, itu diartikan bahwa anggota parlemen manut kepada pengurus partai. Bukan manut partai, tapi manut pengurus partai,” kata Bambang Wijaya.

Karena melulu mengedepankan kua-sa dan otoritas, corak kepemimpinan di parpol di berbagai level kepengurusan-menurut Bambang telah memotong ide-ide kreatif dari bawah. “Seorang Ketua Umum, seorang Ketua DPC, PAC dan se-bagainya, kadang-kadang mengutamak-an kekuasaan yang ada di tangannya un-tuk memotong satu ide-ide tertentu dari bawah,” ujar Bambang. “Kadang-kadang, kontribusi ide yang betul-betul ideologis, itu terputus oleh pemikiran-pemikiran yang sepihak yang memiliki kekuasaan,” tambah Gunawan Hartono.

Posisi elit pengurus parpol kian kuat lantaran kader yang kritis terbentur oleh ancaman sanksi parpol. “Kalau ada ang-gota fraksi yang tidak manut keputusan parpol, nanti di-PAW. Hal ini yang menu-rut saya menyebabkan teman-teman di dewan kehilangan kreativitasnya untuk bernegosiasi,” keluh Arif Rahman Hakim dari Partai Keadilan Sejahtera DIY.

Arif menceritakan, tak jarang sesa-ma anggota fraksi berbeda sikap. Atau kadang, sikap fraksi di parlemen berbe-da dengan partainya. Kultur relasi dan komunikasi yang buruk menyebabkan perbedaan-perbedaan itu tak terkelola dengan baik. Dampaknya, pembahasan suatu keputusan di parlemen pun men-jadi lama.

“Akhirnya, ya voting. Harusnya kan ada negosiasi, take and give-nya apa. Aku melepas kepentingan ini tapi aku menda-

pat timbal balik keuntungan apa dari kepentinganmu. Ini yang menurut saya kurang ulet diperjuangkan anggota de-wan,” papar Arif.

Kultur oligarkis inilah yang hendak-nya dihindari oleh partai-partai baru. Partai baru hendaknya belajar agar tidak membudayakan dominasi elit pengurus parpol terhadap kebijakan partai terma-suk mensubordinasi kader partai di par-lemen. “Paling tidak, bagi partai baru, bisa merefleksikan pengalaman dari par-tai lama,” ujar Gunawan Hartono.

***Krisis ideologi adalah persoalan lain-

nya yang hingga kini masih membelit partai-partai politik. Walaupun menga-kui pentingnya ideologi, namun aktua-lisasi ideologi ke dalam aksi dan agenda kebijakan nyaris tidak tampak. “Ini yang masih menjadi tanda tanya besar,” ujar Muhammad Ulinuha, Caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa Kulonprogo.

“Sebetulnya keterbatasan parpol da-lam rangka persoalan sosialisasi ke basis rakyat itu bukan sebatas persoalan-per-soalan teknis skill, tapi lebih ke persoa-lan ideologis,” papar Aris Widiyarta dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Aris memandang, selama ini tidak ada satu parpol pun yang secara tegas menun-jukkan posisi ideologisnya terhadap par-adigma mainstream neoliberalisme.

Sementara bagi Bambang Wijaya, rapuhnya ideologi di parpol berkaitan dengan rendahnya kapasitas kader. “Ide-ologi parpol tidak termanifestasi kedalam program maupun inisiatif karena lemahn-ya kader,” ujarnya. Akibatnya, kata Bam-bang, berbagai persoalan yang ada sangat jarang mendapat respon dari parpol.

Ideologi parpol yang seolah kian luntur juga disebabkan kuatnya motif ekonomi orang-orang di dalam parpol. “Pengurus parpol itu memahami partai politik sebagai alat ekonomi. Hal ini san-gat kental sekali. Kami sendiri mengalami hal itu, akibatnya parpol secara substansi menjadi gerombolan,” kata Gunawan Hartono.

Motif ekonomi tersebut salah satunya tampak dari mudahnya elit parpol ber-pindah dari satu partai ke partai lainnya. Masa menjelang pemilu ibarat musim transfer pemain sepakbola dari satu klub ke klub yang lain. Tentu saja, perpinda-han elit parpol di satu-dua kasus didasar-kan pertimbangan idealisme. Namun tak sedikit yang benar-benar disebabkan mo-tif mencari jabatan.

“Kadang-kadang, maaf ya, orang nasionalis gamang moro neng partai isla-mis. Itu jane bertentangan. Tapi karena aku nek kono iso dadi, punya kedudukan,

flik internal parpol. “Pengkaderan dan rekrutmen yang jelas akan berdampak pada ploting kader di masing-masing PAC, kemudian DPC, DPW dan DPP, ter-masuk nanti misalnya di distribusi caleg. Ketika ada jenjang yang jelas, maka tidak

ketidakmampuan kadernya,” tutur Gu-nawan Hartono dari PDI Perjuangan Ko-taYogyakarta.

“Integritas, kualitas ideologi kader itu harus digodok sebelumnya di par-tai organisai massa itu. Sehingga ketika sang kader itu terjun menjadi anggota salah satu Partai Politik, dia sadar, bahwa diri-nya adalah makhluk politik,” kata

Bambang Wijaya. Idealnya, parpol se-harusnya menyiapkan integritas dan

kapasitas kader sebelum menjadi anggota dewan.

Rekrutmen dan ka-derisasi yang baik juga

berguna untuk me-minimalkan kon-

Page 15: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

14

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

maka ideologinya itu hilang. Pokoke waton anu (mendapat jabatan—red) lah. Lha ini ideologinya nggak ada sama sekali,” kata Wisnu Giyono.

Sementara itu, menurut Bambang Wijaya, sejak parpol dibentuk, ideologi sesungguhnya tidak pernah menjadi lan-dasan penting. Parpol didirikan sebatas sebagai proyek pemilu, bukan sebagai respon terhadap keterpurukkan bangsa. “Idealnya, sebuah partai politik itu be-rangkat dari organisasi-organisasi massa yang memilki ideologi dan kepentingan yang sama, kemudian sepakat untuk ber-gabung mendirikan sebuah Partai Poli-tik,” lanjutnya.

Bambang memandang, orang mem-bentuk parpol tak ubahnya membentuk band musik. “Sehingga anggota pun, kadernya pun, seolah-olah kayak, dire-krut tanpa ada landasan-landasan ideolo-gis juga sifatnya,” tutur Bambang.

***Masalah lain yang penting adalah

keterputusan komunikasi politik antara parpol dengan konstituen terutama setelah pemilu usai. Ada struktur tapi miskin fungsi, kiranya tepat menggambarkan potret organisasi parpol. Selain menjelang perhelatan pemilu, kantor partai baik Pimpinan Anak Cabang, Dewan Pimpinan Cabang, umumnya sepi senyap.

“Kalau di tingkat pusat, barangkali masih ada pertemuan-pertemuan, tapi di tingkat wilayah kemudian cabang, sampai PAC, hampir pasti bahwa sekretariat-

sekretariat itu hanya ramai ketika masa pemilu. Ini kan menjadi problem,” cerita Muhammad Ulinuha, Caleg PKB DPRD Kulonprogo. “Entah itu hanya di partai saya atau juga partai yang lain.”

Dalam bayangan Ulin, sekretariat parpol bisa menjadi rumah bagi rakyat maupun anggota dewan. Misalnya partai A, partai B, partai C membuka kantornya di berbagai level sebagai tempat diskusi antara masyarakat dengan pengurus par-tai. “Itu akan sangat efektif, tapi mesti di-lakukan dari mulai tingkat cabang, sam-pai tingkat ranting,” ujarnya.

“Yang saya tekankan bukan strukturnya semata, tapi keberadaan struktur secara riil ada. Jadi kalau sebuah bangunan, megah bangunannya, tapi pondasinya tidak ada. Sekarang banyak terjadi, partai-partai itu hanya struktur organisasi hanya papan nama saja: PAC, PAW. Itu saja ora kopen papan namanya,” kata Bambang Wijaya.

Selain kantor sepi, Bambang melihat lembaga-lembaga parpol yang ada tidak mengakar dari atas hingga ke bawah. Ia menilai, tidak ada struktur di dalam par-tai yang memiliki pemahaman garis poli-tik kebijakan parpol sekaligus informasi yang komprehensif tentang kondisi riil di masyarakat. Akibatnya, partai tidak tahu persoalan di masyarakat. Antar level lem-baga parpol mengalami keterputusan isu maupun komunikasi. Bambang melihat, komunikasi kebijakan terputus antara rantai DPC sampai PAC. “Sehingga DPC

pun bingung, mau kasih program apa, padahal program banyak sekali. Kalau itu ada kontribusi informasi dari bawah,” ujarnya.

Seandainya itu ada, maka masyara-kat dari lapisan yang paling bawah, dia bisa menjadikan partai ini sebagai artiku-lasi politiknya. “Itu sebenarnya yang saya maksud adalah struktur yang betul-betul menguasai, yang betul paham bahwa garis politik partai seperti ini,” kata Bam-bang.

Selain membenahi agenda kerja sekre-tariat, parpol hendaknya memiliki kader yang bertugas menjadi “penyambung li-dah” baik dengan lembaga parpol di atas maupun dari sana ke kader anggota di parlemen. “Hendaknya punya kader pe-nyambung lidah rakyat dengan anggota dewan dan parpol. Tapi ada satu atau dua yang akan duduk di kursi dewan tapi yang lainnya bertugas sebagai ang-gota dewan di lapangan, ini sebagai pe-nyambung lidah,” kata Bambang Wijaya.

Gunawan Hartono menyarankan agar didalam membangun komunikasi de-ngan konstituen parpol memperhatikan konteks sosial masyarakat. Ia memisal-kan, bagi PKB yang lekat dengan tradisi Islam tradisional ala NU, forum penga-jian cukup efektif. Tiap partai menurut Gunawan punya strategi berbeda sesuai dngan kultur konstituennya. “Tapi subs-tansinya adalah bagaimana terbangun se-buah relationship,” ujar Gunawan.

Ashari Cahyo Edi

Foto: Adrozen Ahmad

SEORANG Ibu mengantar anaknya berangkat sekolah melewati jajaran spanduk parpol di kawasan jalan Letjend. Suprapto Yogyakarta, beberapa hari yang lalu. Di sejumlah ruas jalan di Yogyakarta sepanduk dan baliho parpol memadati tepi jalan yang mengakibatkan sejumlah pihak mengeluh karena dirasa mengganggu pemandangan.

Sorot

Page 16: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

1�

Demokrasi Perwakilanyang Minim KeterwakilanFLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

miskin mendapat pertanggungan biaya. “Untuk mendapatkan ruang perawatan di bangsal, kadang kami membawa te-man yang seorang advokat,” tambahnya.

Sekitar pertengahan tahun lalu, Bam-bang dan timnya punya pengalaman lucu. Seorang warga Kecamatan Kalasan, Sleman, menderita kanker prostat. Sejak 5 tahun lalu, pasien laki-laki yang miskin ini berupaya mendapatkan pengobatan gratis namun selalu ditolak. Bambang dan tim menyusun strategi. Tepat jam 12 malam pasien dibawa ke UGD RSUD Dr Sardjito. “Kami suruh dia bersandiwara kejang-kejang agar dia segera mendapat bangsal,” ujarnya. Setiap dokter akan memeriksa, si pasien berteriak kesakitan. Hasilnya, pihak rumah sakit memberikan kamar. “Tapi saya lupa ngasih tahu dia kalau aduh-aduhnya cuma buat kepenti-ngan booking tempat. Sampai dua hari dokter belum memberikan perawatan karena belum dipegang pun dia sudah aduh-aduh,” katanya sambil tertawa.

Contoh kasus yang sukses lainnya adalah advokasi penderita tumor yang juga selama 5 tahun berusaha mencari pengobatan gratis di rumah sakit tapi se-lalu ditolak. “Alasannya dia tidak dijamin oleh pemerintah. Kami melakukan advo-kasi, menerjang dinas kesehatan Sleman, dan kami berhasil mendapatkan JPKM, alhamdulilah sekarang sudah sembuh,” kata Bambang.

Aksi advokasi pelayanan publik menurut Bambang merupakan investasi politik yang strategis bagi parpol dan anggota dewan. Sayangnya, “Tindakan advokasi sebagai political investment be-lum dilakukan,” katanya. Menilik ren-tang kampanye yang panjang di dalam regulasi pemilu 2009, advokasi langsung ke masyarakat sejatinya sangat tepat. Secara tidak langsung, advokasi telah mendidik warga untuk mengetahui sal-uran dan mekanisme mengakses pelay-anan publik. Sementara dampak riilnya, masyarakat menjadi tahu bahwa parpol, anggota dewan, maupun caleg memang benar-benar bekerja untuk mereka.

Ashari Cahyo Edi

SSudah dua tahun ini Bambang Wijaya dan rekan-rekannya di Partai Demokrasi Pembaruan Sleman aktif mengadvokasi masyarakat miskin pengguna layanan kesehatan. “Kami memiliki pengaduan pasien pemegang jamkesmas, jamkesos, jamkeskin,” kata Bambang. Selama ini, banyak warga tidak mengetahui hak-haknya sebagai pemegang asuransi ke-sehatan yang ditanggung pemerintah. Celakanya, pihak rumah sakit pemerin-tah pun tetap memungut biaya dari war-ga tersebut.

Dengan berbagai alasan, termasuk berbohong bahwa stok kamar habis, pi-hak rumah sakit pemerintah sering meno-lak pasien pemegang tiga jenisi asuransi di atas. Bahkan, kata Bambang, para staf rumah sakit punya kode jika ada pasien pemegang askeskin yang mendaftar un-tuk rawat inap. “Kode pasien pemegang jamkeskin di Sarjito itu dipanggil ‘kin’,” ujarnya.

Warga miskin umumnya bingung

harus mengadu ke siapa. Bahkan, ketika Bambang menyosialisasikan program jaminan pelayanan kesehatan yang di-tanggung pemerintah daerah, Jamkes-mas, banyak kepala desa/lurah, perang-kat, maupun ketua RW/RT yang tidak tahu program tersebut.

Selain untuk membantu warga, advo-kasi ditujukan agar ada peran partai yang langsung memberi manfaat bagi warga. “Maka kalau rakyat ini punya kedekatan dengan partai, dia akan lari ke partainya. ‘Pak, Saya punya persoalan seperti ini’,” ujar Bambang. Ia juga memandang, partai wajib menyampaikan persoalan ini kepa-da para kadernya yang menjadi anggota legislatif. Namun Bambang menegaskan bahwa advokasi tersebut bukan bersifat bisnis. “Ini hanya mengarahkan, bukan biro jasa,” katanya.

Dalam aksinya, Bambang punya ‘tim intelijen’ yang bertugas memastikan bah-wa di rumah sakit terdapat kamar yang kosong, kususnya di kelas di mana warga

denganMerebutHATI AKSI

Ilustrasi: Agus Harnowo

Page 17: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

16

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

Pparpol merupakan institusi perwu-judan asosiasi kepentingan masyarakat yang berfungsi sebagai alat perjuangan aspirasi untuk meraih kekuasaan. Dalam suatu negara yang menganut sistem de-mokrasi, cara parpol meraih kekuasaan dilandasi oleh norma dan kaidah de-mokrasi.

ideologi dan platformSecara normatif Parpol memiliki ide-

ologi, yang di dalamnya terkandung prin-sip dasar dan nilai-nilai pemandu arah dan strategi yang diterapkan secara prak-sis. Ideologi berfungsi sebagai basis tum-puan atau landasan perjuangan mampu bekerja efektif sesuai kondisi nyata. Itu-lah pentingnya transformasi ideologi dan peran parpol kedalam isu-isu kebijakan nyata. Bagaimana caranya?

Pertama, harus dipahami bahwa ide-ologi bersifat abstrak. Ia harus diturun-kan kedalam plattform: yakni kerangka umum perjuangan (meliputi berbagai sek-tor strategis), orientasi serta tujuan yang akan dicapai. Kemudian, ideologi juga mesti dilengkapi dengan strategi untuk mencapai tujuan. Misalnya perjuangan dibidang ekonomi, politik, budaya, per-tahanan dan keamanan, dan sejenisnya, seperti apa akan dilakukan, dan dengan strategi yang bagaimana?

Kedua, Memetakan isu-isu strategis yang diangkat dari masalah dan kon-disi nyata yang terjadi atau dialami ma-syarakat (khususnya konstituen), lalu merumuskan dan memproyeksikannya pada keadaaan berupa kebijakan yang diharapkan sesuai dengan ideologi dan platform parpol. Perumusan isu strategis sifatnya dialektis, antara kondisi empiris, platform dan strategi parpol.

mendidik kader parpolAgar tujuan mewujudkan aspirasi

dan arah perjuangan dapat dicapai, maka dibutuhkan para kader atau politisi par-pol yang handal dengan memiliki 3 syarat utama, yaitu: (1) komitmen yang tinggi; (2) pengetahuan yang mendalam; serta (3) ketrampilan yang memadai. Kader dan politisi semacam ini diharapkan se-bagai motor perubahan dengan koridor

ideologi, plattform dan strategi yang telah ditetapkan. Asumsinya: tiap aktivis, politisi dan anggota memiliki minat dan perhatian yang berbeda saat mendalami perannya didalam parpol.

Untuk mendidik kader, pertama, par-pol diharuskan memiliki model dan me-kanisme pendidikan kader yang sistema-tik, terarah dan tepat sesuai dengan mi-nat, perhatian dan kebutuhan parpol.

Kedua, parpol menyusun materi dan metode pendidikan kader yang menca-kup tiga target (menumbuhkan dan mem-perkuat komitmen, pendalaman pengeta-huan, dan ketrampilan) yakni berisi dari hal-hal paling dasar sampai kemampuan praktis, yakni pendalaman ideologi, platform, dan strategi, merumuskan program dan kebijakan, kemampuan mengorganisir massa, komunikasi poli-tik, ketrampilan berkampanye, sampai

mengelola institusi. Model pendidikan bisa berupa diskusi, training, penugasan lapangan sampai praktik mengelola dan bertanggungjawab atas aktivitas.

mengelola, merawat dan mengembangkan parpol

Prinsip utama memperlakukan par-pol adalah seperti organisasi modern. Membentuk parpol adalah pekerjaan mudah, tetapi mengembangkan adalah pekerjaan sulit. Untuk itu, parpol hen-daknya menerapkan sejumlah kaidah berikut. Pertama, menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam mengambil keputusan (musyawarah dan voting dalam pengam-bilan keputusan, transparansi, ada aturan main yang jelas dan ditegakkan), de-ngan demikian menghindari pengambi-lan keputusan dengan model oligarkhi dan otoriterisme.

Transformasi

Peran Partai Politik

Sorot

dalam Kebijakan

Ilustrasi: Agus Harnowo

Page 18: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

1�

Demokrasi Perwakilanyang Minim KeterwakilanFLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

Kedua, menerapkan pembagian kerja antar pengurus sesuai dengan kom-petensi, sekaligus masing-masing ha-rus bertanggungjawab atas tugasnya. Ketiga, membangun kultur solidaritas untuk kekompakan dalam menjunjung nilai-nilai positif yang digariskan oleh parpol. Keempat, menjalankan program secara konsisten sesuai mandat. Kelima, berkomunikasi secara terus menerus de-ngan konstituen sebagai media menjaring aspirasi untuk perjuangan .

kebersamaan dengan konstituenParpol seharusnya memiliki kedeka-

tan dengan konstituen sepanjang masa. Idealnya, parpol memiliki sayap-sayap organisasi yang bekerja di berbagai sek-tor. Itulah yang disebut kelompok induk organisasi (KINO). Tugas sayap parpol ini menjadi basis pengelompokan massa atau konstituen sesuai sektor masing-masing, sekaligus menjadi mesin peng-umpul aspirasi dan dukungan suara yang akan diperjuangkan oleh parpol. Misalnya organisasi tani, buruh, nelayan, kaum miskin kota, kaum muda maha-siswa, perempuan, dan sejenisnya.

Untuk itulah, parpol hendaknya membentuk organisasi sektoral jika par-pol belum memiliki. Jika sudah memiliki organisasi sektoral, organisasi ini harus bekerja menemami masyarakat (konsti-tuen) sepanjang masa, fungsinya peno-pang gerak parpol saat nanti pemilu.

Melalui organisasi sektoral ini pula,

parpol idealnya melakukan kegiatan advokasi untuk perubahan kebijakan di masyarakat, melakukan pendidikan dan pendampingan pada para korban pem-bangunan, membuka akses dalam kerja dan mengatasi problem sosial ekonomi, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan konstituen dalam hal memperoleh hak pelayanan publik sebagai warga negara, dst. Dengan catatan: dalam hal memban-tu konstituen tidak musti dalam bentuk uang atau materi.

Pada saat parpol melalui sayap-sayap organisasi bekerja secara praksis bersama konstituen itulah, dijalankan pula ideolo-gisasi, pendidikan politik, membangun kesadaran kritis sebagai warga negara maupun sebagai pendukung parpol. Caranya: bekerja dan menjalankan aktivi-tas sekaligus diisi dengan nilai-nilai, ide-ologi, plattform, dan strategi perjuangan.

Bersaing dalam pemiluPemilu merupakan medan tempur

parpol, bersaing untuk merebut kursi perwakilan. Salah satu ukuran kehebatan dan kebesaran parpol, ketika mere-ka mendapatkan perolehan perwakilan (kursi) di parlemen. Itulah wujud nyata dukungan masyarakat atau konstituen pada parpol.

Harus diingat, jika kerja parpol ber-jalan dengan baik (organisasi dikelola sesuai kaidah sebagaimana dijelaskan di atas), dijalankan melalui cara pendeka-tan dan kebersamaan dengan konstituen,

maka saatnya dalam persaingan di pemi-lu, parpol kemungkinan akan mendapat-kan dukungan nyata dari konstituen.

Parpol harus berkampanye dengan cara-cara santun, damai, dialogis dan ko-munikatif. Termasuk menghindari money politic, kekerasan dan manipulasi.

Pertama, parpol mesti mengingatkan para pemilih, khususnya konstituen, ten-tang kebersamaan yang telah dijalankan selama ini. Ajaklah kepada pemilih ber-partisipasi dalam pemilu dengan me-milih parpol anda, dengan meyakinkan kelebihan kemampuan dan komitmen. Kedua, parpol tidak boleh ragu memban-gun komitmen dan kontrak (politik) ber-sama untuk perjuangan strategis melalui parlemen.

Yang tidak boleh dilupakan, parpol harus menjelaskan dan meyakinkan pe-milih bahwa pemilu sangat penting bagi perjuangan untuk mengubah keadaan sebagaimana cita-cita yang telah dirintis selama ini; bahwa sebagai warga negara, masyarakat harus punya wakil yang se-ideologi, sepaham dan segaris perjuangan untuk mewujudkan aspirasi bersama

mempertanggungjawabkan pada konstituen

Partai disusun bukan untuk semata ke-butuhan pengurusnya. Tetapi alat meraih cita-cita konstituen yang dimandatkan pada parpol. Oleh karena itu, parpol yang mendapat dukungan, dan berhasil memiliki kursi perwakilan di parlemen, harus senantiasa mempertanggungja-wabkan amanatnya itu kepada pemilih dan pendukungnya. Karena itu, parpol ti-dak boleh melupakan dan meninggalkan pendukungnya setelah pemilu selesai.

Baik menang atau kalah, setelah pemi-lu berakhir parpol tetap harus berkomu-nikasi dengan konstituen. Prinsipnya menjaga komitmen kebersamaan dalam perjuangan dan merawat kedekatan de-ngan konstituen.

Jika mendapatkan dukungan dan berhasil meraih kursi di parlemen, maka para politisi dengan difasilitasi parpol harus menemui kembali konstituen un-tuk mengklarifikasi dan mematangkan bernagai program sebagai janji saat kam-panye, sekaligus membuat peta jalan un-tuk pembuktian janji-janji itu dalam per-juangan yang nyata berupa perwujudan kebijakan.

Parpol perlu meminta dukungan dan kontrol dari masyarakat dan konstituen atas kinerja politisi parpol yang telah ter-pilih (mewakili) di parlemen untuk men-jamin dan memastikan terjaganya komit-men dan kualitas perjuangan.

Arie Sujito

Page 19: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

1�

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

KketidakpuaSan ataS kebijakan pu-sat dalam membagi kewenangan dan kue ekonomi mendorong lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Pemerin-tah pusat kemudian meresponnya dengan menjadikan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM). Selama kurang lebih 30 tahun, Aceh dikenal orang sebagai salah satu daerah di Indonesia yang subur akan konflik bersenjata antara TNI dan GAM.

Tragedi tsunami yang melanda propinsi “serambi mekah” di penghu-jung 2004 telah memaksa kedua pihak yang bertikai itu berdamai. Kesepakatan Helsinski lantas menjadi tonggak awal dimulainya era baru, era di mana Aceh yang damai menjadi cita-citanya. Kese-pakatan tersebut merupakan manifestasi jeritan manusia yang secara fitrah selalu mendamba irama hidup yang penuh ke-damaian.

Dari pengamatan sekilas FLAMMA pada akhir 2008 dan awal 2009, kehidu-pan di Aceh sudah menunjukan irama kehidupan sosial yang cukup damai. Kita semua berharap kondisi kondusif ini tetap berlangsung.

Pembangunan pascatsunami dan MoU damai RI-GAM mendorong per-tumbuhan ekonomi Aceh. Kini ham-pir di sepanjang ruas-ruas jalan di Kota Hamzah Fansyuri ini bertebaran kios-kios

yang menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat. Kedai-kedai kopi pun kian ramai dipenuhi pengunjung. Tak keting-galan surau, masjid, dan madrasah juga ramai dengan para santri yang mengaji.

Di bidang politik, pasca-tsunami dan MoU Helsinski di Aceh ditandai muncul-nya gairah masyarakat mendirikan partai politik lokal. Kemunculannya paling tidak turut meredam gejolak memori kolektif massa terhadap konflik berkepanjangan di masa lalu. Pelan tapi pasti, berbagai kelompok kepentingan bersama-sama meretas jalan dan membangun demokra-si melalui panggung politik formal.

Setidaknya sekarang ada enam par-pol lokal yang cukup kuat mewarnai dinamika politik lokal di Aceh. Pertama, Partai Aceh. Secara genealogis partai ini didirikan atas prakarsa eks-anggota GAM dimana sesuai dengan kesepaka-tan Helsinski GAM harus dibubarkan. Bendera partainya pun tak berbeda jauh dengan bendera GAM, hanya berbeda pada tulisannya saja. Tulisan GAM di-ganti Aceh. Sebagaimana diketahui, pas-ca-perjanjian Helsinski GAM diorgani-sasisipilkan menjadi Komite Peralihan Aceh. Organisasi ini kemudian berubah menjadi Partai Aceh pada 2007. Tampuk kepemimpinan partai ini dikendalikan oleh Mudzakir Manaf, mantan Panglima

GAM seluruh Aceh.Partai kedua yaitu Partai Rakyat Aceh

(PRA). Partai ini lahir dari inisiatif ke-lompok aktivis, baik itu kelompok maha-siswa maupun aktivis lembaga swadaya masyarakat. Sebelum berubah jadi partai pada 2006, PRA adalah ormas yang ber-nama Front Pemuda Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA). Agar proses kaderisasi selalu berjalan, partai ini telah mem-bangun sayap organisasi berbasis maha-siswa yakni Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) sejak 1998. Kepemimpi-nan PRA saat ini dipercayakan kepada Agus Wandi, mantan ketua SMUR per-tama.

Ketiga, Partai Daulat Aceh (PDA). Partai ini lahir dari rahim ide para ulama Aceh. Sebagaimana kebanyakan kyai di Jawa, ulama-ulama Aceh, katakanlah 90 persen bermazhab ahli sunnah wal jamaah. Bahkan banyak kalangan menyetarakan-nya dengan Nahdlatul Ulama (NU) se-cara amaliahnya, namun belum tentu ma-suk organisasi NU. Kaum ulama pendiri partai ini sebagian besar adalah para pengasuh pondok pesantren tradisional, sebagaimana pesantren-pesantren kyai NU di Jawa.

Berikutnya adalah Partai Suara Inde-penden Rakyat Aceh (Partai SIRA) yang juga didirikan oleh kalangan aktivis ma-hasiswa. Partai ini dulunya organisasi merupakan pusat informasi referendum Aceh di mana mahasiswa adalah pendi-rinya pada tahun 1999. Ia berubah jadi partai tahun 2007.

Kelima, Partai Bersatu Aceh (PBA). Partai ini didirikan seorang politisi PAN DPR RI Farhan Hamid tahun 2007. Par-tai lokal lain yang didirikan oleh mantan anggota DPR RI dari PPP yakni Ghazali Abbas Abdan tahun 2007.

Menjelang pemilu 2009, partai-partai lokal tersebut harus menghadapi parpol-parpol nasional. Partai Aceh kabarnya mematok target perolehan kursi di legis-latif NAD sebanyak 50 persen. Menurut seorang aktivis mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Safrijal Arby, target itu cu-kup rasional. Infrastruktur partai yang cukup mengakar dan tersebar di berbagai lapisan masyarakat sangat memungkin-kan Partai Aceh meraih suara sebanyak itu.

Tidak muluk-muluk tapi pasti, Partai Rakyat Aceh memasang target minimal lolos electroral threshold. Pertanyaannya, mungkinkah parpol-parpol lokal terse-but mampu meraih suara sesuai target, mengingat mereka harus bertarung de-ngan parpol besar nasional? Kita tunggu tanggal mainnya.

Bornie Kurniawan

Sorot

Dari Konflik Senjata

KE PARTAI LoKAL

Ilust

rasi

: Agu

s H

arno

wo

Page 20: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

?Kenapa

BeriklanharusSaya

di majalah

DIDIStRIbuSIkAN ke komunitas masyarakat desa dampingan IRE di seluruh Indonesia, terutama di Jateng-DIY, LSM mitra se-Indonesia, pusat studi, perpustakaan sejumlah kampus, lembaga donor, serta kedutaan besar sejumlah negara.

SEbARAN majalah mencapai sebagian besar wilayah Indonesia.

Memuat lApORAN juRNAlIStIk mendalam dan publikasi

pENElItIAN perihal desentralisasi, politik lokal, dan tata kelola (governance).

DItulIS dengan bahasa

sederhana-populer sehingga dipahami pembaca dari beragam kalangan.Berita dan tulisannya dijadikan

bAhAN REfERENSI dan

SumbER INfORmASI.Oplah mencapai 2000 eksemplar

Dikerjakan secara pROfESIONAl oleh aktivis LSM yang memiliki pengalaman jurnalistik

Sasaran pembaca:lSm/NGO

Dosen dan mahasiswapusat studi dan advokasi

lembaga donorkedutaan besar

Aparat Desamasyarakat Desa

pemerintah daerahDpRD

No ukuRAN pENEmpAtANWAR-NA

tARIf

1 1 Halaman 22 X 28 CmCover Depan Dalam

FC Rp 650,000.00

2½ hal Horizontal 11 X 14 Cm

Cover Depan Dalam

FC Rp 325,000.00

5 1 Halaman 22 X 28 Cm Cover Belakang FC Rp 1,150,000.00

6½ Hal Horizontal 11 X 14 cm

Cover Belakang FC Rp 700,000.00

7 1 Halaman 22 X 28 cmCover dalam Belakang

FC Rp 700,000.00

8½ Hal Horizontal 11 X 14 cm

Cover dalam Belakang

FC Rp 400,000.00

11 1 Halaman 22 X 28 Cm Halaman Dalam FC Rp 450,000.00 12 ½ Halaman 22 X 28 Cm Halaman Dalam FC Rp 250,000.00 16 1 Halaman 22 X 28 cm Advetorial B/W Rp 600,000.00

17½ Halaman Horizontal 11 X 14 cm

Advetorial B/W Rp 300,000.00

Page 21: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

20

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 Gagas FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

MmaSih Belum lenyap dari pikiran kita, gegap gempita teriakan reformasi 1998. Krisis ekonomi 1997 mendorong se-makin cepatnya gelombang menuju reformasi di segala bi-dang. Situasi negara oligarkhis dengan sistem pemerintahan yang sangat otoriter di bawah kepemimpinan Presiden Soe-harto tidak bisa lagi dipertahankan, karena tidak sesuai den-gan azas kehidupan demokratis yang menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan.

Bagaikan koor paduan suara, berbagai kalangan mulai dari aktivis sampai birokrat pro-perubahan sepakat bahwa cara perubahan yang dipilih bukanlah revolusi. Cara ini dianggap beresiko terlalu besar bagi kemanusiaan. Korban kemanusiaan akibat perilaku penguasa otoriter dirasa sudah sangat menya-kitkan. Pilihan perubahan bukan membongkar, yang berkon-sekuensi mengganti dengan sistem pemerintahan dan sistem politik bernegara yang baru, akan tetapi memperbaiki sistem politik dan pemerintahan negara. Kata yang tepat untuk ini adalah reformasi. Apa boleh dikata, ini adalah konsensus ber-sama dari semua kalangan, termasuk kalangan militer yang banyak mendapat hujatan waktu itu.

Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, karena desakan semua pihak termasuk militer yang pro-reformasi, situasi sosial langsung mereda. Penangkapan para aktivis organisasi sosial dan mahasiswa oleh rezim mi-liter yang berkuasa lenyap begitu saja, meskipun kasus-kasus kemanusiaan seperti hilangnya aktivis mahasiswa belum lagi tuntas hingga kini.

Urusan pembelaan kemanusiaan ini terasa berat sebab orang yang sangat dekat dengan urusan orang hilang, Mu-nir dari Kontras, meninggal karena pembunuhan di sebuah pesawat dalam perjalanan ke Negeri Belanda. Apa motifnya, siapa pembunuhnya, dan skenario apa dibaliknya hingga kini pun masih buram.

Tanda-tanda sulitnya reformasi sebagai pilihan perubahan sudah kelihatan sejak awal. Presiden pertama setelah reforma-si, KH Abdurrahman Wahid, menjabat presiden tidak sampai selesai hingga akhir masa jabatannya. Di tengah jalan, presi-den ini diturunkan dan diganti dengan Megawati, yang kala itu posisinya wakil presiden.

pertanyaan perubahan di mata orang awamTidak terlalu salah bila orang awam menilai jaman Orde

Baru jauh lebih baik dibanding jaman reformasi. Mereka me-lihat realitas, bukan melihat dari sisi perjuangan untuk mem-buat perubahan yang lebih baik. Ulah anggota legislatif yang mirip perilaku preman adalah sebuah pemandangan yang dapat disaksikan oleh orang awam melalui media televisi.

Pertanyaannya, apa yang salah dengan reformasi dan de-

mokrasi yang berlangsung di Indonesia ini? Sistem politik dan pemerintahannya yang salah atau aturan main dalam sistem politik dan pemerintahan yang salah urus? Bukankah sudah banyak aturan main seperti undang-undang dan peraturan pemerintah di Era Reformasi ini? Atau Reformasi itu sekadar permainan cangihnya politik Rezim Orde Baru untuk mencip-takan situasi masyarakat yang makin keos kala itu?

Ini semua mungkin tak terpikirkan oleh para elit yang mengisi reformasi. Dipikirnya, musuh bersama sudah hilang dan ruang baru telah tersedia untuk diisi dengan sesuatu yang lebih baik. Realitas berlainan, tanda mengejutkan pun mulai tampak ketika komponen gelombang demonstrasi yang men-dorong turunnya Soeharto adalah berbeda dengan komponen pendemo yang menurunkan Gusdur.

Banyak pula aktivis gerakan sosial bergeser ke gerakan politik. Ini bagus untuk mengisi reformasi, akan tetapi perge-seran ini mengejutkan juga. Banyak di antara mereka yang ber-gabung dengan nafas rezim masa lalu. Kalau tidak demikan, dalam afiliasi kepartaian, mereka tak lagi pembela-pembela moral akan tetapi pembela uang. Inilah nuansa kekinian yang sedang berlangsung. Lalu, bagaimana menjelaskan semua ini dan apa solusinya?

antara demokrasi dan anarkhi Kata demokrasi diadopsi oleh Negara Kesatuan Repu-

blik Indonesia (NKRI) sudah sejak awal negara ini merdeka. Diskursus intelektual Indonesia masa lalu juga menyisakan agenda yang tidak selesai meskipun Indonesia telah mencapai kemerdekaannya tahun 1945. Pilihan demokrasi macam apa yang hendak dipilih?

Pada akhirnya konstitusi telah menyuratkan dengan pili-han kata Pancasila. Dalam perjalanan sejarah kenegaraan, im-plementasi Demokrasi Pancasila ini tidak tampak jelas karak-teristiknya. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, kata Pancasila, hemat saya, digunakan untuk menepis Demokrasi Barat yang bersifat liberal.

Implementasi demokrasi sosial lebih nampak pada kon-sepnya Mohammad Hatta yang kemudian menjadi landasan pemikiran demokrasi ekonomi menurut UUD 45 Pasal 33. Ke-tika nilai-nilai Pancasila gagal diimplementasikan dalam Tata Hukum Indonesia untuk mengatur kehidupan empiris, maka demokrasi belum menjadi kebudayaan masyarakat Indone-sia.

Di bawah Soekarno, Bangsa Indonesia hendak dibawa menuju bangsa yang memiliki jati diri, membangunan di atas kekuatan sendiri (Berdikari). Oleh sebab itu, bangsa ini perlu digembleng dan dimasukkan “kawah candradimuka” agar menjadi bangsa yang tangguh dan bukan bangsa yang me-

rengek-rengek di depan orang asing.Demokrasi yang telah disetujui bersama diijinkan ber-

langsung akan tetapi bukan demokrasi liberal. Kebebasan berdemokrasi dikendalikan dengan Demokrasi Terpimpin. Ini adalah istilah yang dipilih Soekarno untuk membedakan dengan Demokrasi Liberal, yang cukup kuat juga mewarnai pemikiran intelektual masa lalu. Ide-ide liberal dibabatnya se-hingga sikap revolusioner yang selalu melawan neo-kolonial-isme dan posisi sebagai presiden seumur hidup adalah egois dan otoriter.

Di bawah Soeharto, bangsa ini dibawa kedalam pendi-dikan politik yang berbeda. Masyarakat diajak membangun dengan membunuh konstelasi pertarungan ideologis masa lalu. Gantinya adalah ideologi tunggal pembangunan di mana ada partai politik tapi pemimpinnya harus disetujui oleh Soe-harto sebagai presiden.

Antara Orla dan Orba sama-sama menegakkan sistem politik demokrasi, namun Demokrasi Liberal sangat mengua-sai arena politik pembangunan di era Orde Baru, yang sama sekali berbeda dengan jaman Soekarno. Soekarno anti ideologi liberal sedangkan Soeharto pro-kapital asing yang dikenda-likan oleh ideologi liberal.

Di bawah presiden yang murah senyum dan bapak pem-bangunan, demokrasi ekonomi liberal lambat laun masuk me-lalui kebijakan ekonomi yang pro-investasi asing dan hutang luar negeri, namun demokrasi politik di zaman Orba lebih ter-pimpin dari demokrasi terpimpinnya Orla. Sikap otoriter men-jadikan negara dikuasai oleh sekelompok orang, yakni kroni Soeharto dan anak-naknya. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) mewarnai arena politik di Indonesia saat itu. Presiden yang telah berkuasa 30 tahun mengklaim pemerintahan de-mokratis, akan tetapi dengan praktek Monarkhi Absolut.

Memasuki reformasi setelah 1998, bangsa ini belum per-nah mengalami praktek demokrasi yang makin lama makin matang. Bangsa ini lepas dari penindasan rezim kolonial ma-suk ruang yang sama di Jaman Orde Lama dan Orde Baru. Sungguhpun jaman Orde Lama ada demokrasi terpimpin, pendidikan politik ke arah demokrasi sedang mulai bersemai. Situasi multipartai seperti ini mewarnai pemilu pada tahun 1955 waktu itu. Masyarakat yang sedang mencari pengalaman berdemokrasi pupus dengan peristiwa tahun 1965.

Di zaman Orde Baru masyarakat dibawa dalam sebuah kondisi yang harus menjauhkan konflik. Konflik dan perbe-daan pendapat dianggap “haram” dan masyarakat yang ber-beda ide dengan pemerintahan Orde Baru dan mengkhawat-irkan jalannya pembangunan diancam. Praktis masyarakat sedang menjalani proses demokrasi di era reformasi. Bagai burung lepas dari sangkar, masyarakat menyikapi demokrasi

sesukanya, mempertahankan haknya dengan cara melanggar hak orang lain. Berpolitik mencari kemenangan untuk men-jadi anggota DPR juga menghalalkan semua cara.

Keberhasilan utama pembangunan di zaman Orde Baru salah satunya adalah mempanglimakan uang sebagai alat un-tuk memperoleh kekuasaan. Kegagalan terbesar di jaman Orba adalah tidak membudayakan hukum sebagai alat penegak ke-adilan, bahkan hukum menjadi komoditas dalam kekuasaan. Pembelaan hak yang berlebihan yang dibumbuhi dengan pe-milikan uang menjadi hambatan tersendiri bagi tumbuhnya demokrasi. Orang tidak paham bagaimana kerja politik dalam DPR sehingga anggota DPR hanya sebagai pengisi lowongan kerja atau pencari status bagi yang empunya uang. Dalam se-buah arena politik orang menjadi tidak pernah mengerti mana demokrasi dan mana anarkhi.

usaha mencari SolusiDemokrasi itu sebuah kebudayaan yang tidak hanya se-

batas memilih wakil rakyat di DPR dan presiden. Akar dari pemikiran demokrasi itu adalah paham tentang kemanusiaan, penghargaan terhadap hak dan martabat kemanusiaan. De-mokrasi itu sebuah kebudayaan yang mengijinkan ruang kon-flik, namun ruang konflik itu dikontrol oleh penegakkan hu-kum yang kuat sehingga pelanggaran terhadap kemanusiaan dapat dihindarkan.

Kalau masa lalu hukum itu adalah Soeharto, di zaman re-formasi seharusnya hukum formal menjadi panglima untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dan menjamin kepas-tian hukum untuk setiap orang tanpa memandang status pemilikan uangnya. Hukum adalah alat jaminan kepastian untuk keadilan, bukan hukum adalah alat mendapatkan se-banyaknya uang atas nama keadilan.

Satu-satunya solusi yang harus tegak lebih dulu dalam ruang demokrasi adalah hukum dan penegakkannya. Carut-marut dunia perpolitikan kita di era reformasi karena hukum tak pernah jadi perhatian serius terutama mengenai kuali-tas penegakkan aparat hukum. Makin besar diteriakkan de-mokrasi bukan makin baik kualitas budaya demokrasi tanpa jaminan kepastian hukum. Persoalan teknis seperti kualitas caleg akan selesai dengan sendirinya kalu hukum untuk men-jamin demokrasi itu tegak.

Di Pemilu 2009 dan bahkan sebelumnya, orang pandai yang mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat secara politis kemungkinan sulit menjadi anggota DPR karena tidak punya uang sebab keanggotaan DPR sama dengan barang da-gangan. Ini akan terus berlangsung disetiap Pemilu jika ruang hukum tak pernah baik kualitasnya.

Dunia Perpolitikan KitaCarut-marut

di Era Reformasi

Page 22: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

21

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 Demokrasi Perwakilanyang Minim Keterwakilan FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 Demokrasi Perwakilanyang Minim Keterwakilan

maSih Belum lenyap dari pikiran kita, gegap gempita teriakan reformasi 1998. Krisis ekonomi 1997 mendorong se-makin cepatnya gelombang menuju reformasi di segala bi-dang. Situasi negara oligarkhis dengan sistem pemerintahan yang sangat otoriter di bawah kepemimpinan Presiden Soe-harto tidak bisa lagi dipertahankan, karena tidak sesuai den-gan azas kehidupan demokratis yang menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan.

Bagaikan koor paduan suara, berbagai kalangan mulai dari aktivis sampai birokrat pro-perubahan sepakat bahwa cara perubahan yang dipilih bukanlah revolusi. Cara ini dianggap beresiko terlalu besar bagi kemanusiaan. Korban kemanusiaan akibat perilaku penguasa otoriter dirasa sudah sangat menya-kitkan. Pilihan perubahan bukan membongkar, yang berkon-sekuensi mengganti dengan sistem pemerintahan dan sistem politik bernegara yang baru, akan tetapi memperbaiki sistem politik dan pemerintahan negara. Kata yang tepat untuk ini adalah reformasi. Apa boleh dikata, ini adalah konsensus ber-sama dari semua kalangan, termasuk kalangan militer yang banyak mendapat hujatan waktu itu.

Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, karena desakan semua pihak termasuk militer yang pro-reformasi, situasi sosial langsung mereda. Penangkapan para aktivis organisasi sosial dan mahasiswa oleh rezim mi-liter yang berkuasa lenyap begitu saja, meskipun kasus-kasus kemanusiaan seperti hilangnya aktivis mahasiswa belum lagi tuntas hingga kini.

Urusan pembelaan kemanusiaan ini terasa berat sebab orang yang sangat dekat dengan urusan orang hilang, Mu-nir dari Kontras, meninggal karena pembunuhan di sebuah pesawat dalam perjalanan ke Negeri Belanda. Apa motifnya, siapa pembunuhnya, dan skenario apa dibaliknya hingga kini pun masih buram.

Tanda-tanda sulitnya reformasi sebagai pilihan perubahan sudah kelihatan sejak awal. Presiden pertama setelah reforma-si, KH Abdurrahman Wahid, menjabat presiden tidak sampai selesai hingga akhir masa jabatannya. Di tengah jalan, presi-den ini diturunkan dan diganti dengan Megawati, yang kala itu posisinya wakil presiden.

pertanyaan perubahan di mata orang awamTidak terlalu salah bila orang awam menilai jaman Orde

Baru jauh lebih baik dibanding jaman reformasi. Mereka me-lihat realitas, bukan melihat dari sisi perjuangan untuk mem-buat perubahan yang lebih baik. Ulah anggota legislatif yang mirip perilaku preman adalah sebuah pemandangan yang dapat disaksikan oleh orang awam melalui media televisi.

Pertanyaannya, apa yang salah dengan reformasi dan de-

mokrasi yang berlangsung di Indonesia ini? Sistem politik dan pemerintahannya yang salah atau aturan main dalam sistem politik dan pemerintahan yang salah urus? Bukankah sudah banyak aturan main seperti undang-undang dan peraturan pemerintah di Era Reformasi ini? Atau Reformasi itu sekadar permainan cangihnya politik Rezim Orde Baru untuk mencip-takan situasi masyarakat yang makin keos kala itu?

Ini semua mungkin tak terpikirkan oleh para elit yang mengisi reformasi. Dipikirnya, musuh bersama sudah hilang dan ruang baru telah tersedia untuk diisi dengan sesuatu yang lebih baik. Realitas berlainan, tanda mengejutkan pun mulai tampak ketika komponen gelombang demonstrasi yang men-dorong turunnya Soeharto adalah berbeda dengan komponen pendemo yang menurunkan Gusdur.

Banyak pula aktivis gerakan sosial bergeser ke gerakan politik. Ini bagus untuk mengisi reformasi, akan tetapi perge-seran ini mengejutkan juga. Banyak di antara mereka yang ber-gabung dengan nafas rezim masa lalu. Kalau tidak demikan, dalam afiliasi kepartaian, mereka tak lagi pembela-pembela moral akan tetapi pembela uang. Inilah nuansa kekinian yang sedang berlangsung. Lalu, bagaimana menjelaskan semua ini dan apa solusinya?

antara demokrasi dan anarkhi Kata demokrasi diadopsi oleh Negara Kesatuan Repu-

blik Indonesia (NKRI) sudah sejak awal negara ini merdeka. Diskursus intelektual Indonesia masa lalu juga menyisakan agenda yang tidak selesai meskipun Indonesia telah mencapai kemerdekaannya tahun 1945. Pilihan demokrasi macam apa yang hendak dipilih?

Pada akhirnya konstitusi telah menyuratkan dengan pili-han kata Pancasila. Dalam perjalanan sejarah kenegaraan, im-plementasi Demokrasi Pancasila ini tidak tampak jelas karak-teristiknya. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, kata Pancasila, hemat saya, digunakan untuk menepis Demokrasi Barat yang bersifat liberal.

Implementasi demokrasi sosial lebih nampak pada kon-sepnya Mohammad Hatta yang kemudian menjadi landasan pemikiran demokrasi ekonomi menurut UUD 45 Pasal 33. Ke-tika nilai-nilai Pancasila gagal diimplementasikan dalam Tata Hukum Indonesia untuk mengatur kehidupan empiris, maka demokrasi belum menjadi kebudayaan masyarakat Indone-sia.

Di bawah Soekarno, Bangsa Indonesia hendak dibawa menuju bangsa yang memiliki jati diri, membangunan di atas kekuatan sendiri (Berdikari). Oleh sebab itu, bangsa ini perlu digembleng dan dimasukkan “kawah candradimuka” agar menjadi bangsa yang tangguh dan bukan bangsa yang me-

rengek-rengek di depan orang asing.Demokrasi yang telah disetujui bersama diijinkan ber-

langsung akan tetapi bukan demokrasi liberal. Kebebasan berdemokrasi dikendalikan dengan Demokrasi Terpimpin. Ini adalah istilah yang dipilih Soekarno untuk membedakan dengan Demokrasi Liberal, yang cukup kuat juga mewarnai pemikiran intelektual masa lalu. Ide-ide liberal dibabatnya se-hingga sikap revolusioner yang selalu melawan neo-kolonial-isme dan posisi sebagai presiden seumur hidup adalah egois dan otoriter.

Di bawah Soeharto, bangsa ini dibawa kedalam pendi-dikan politik yang berbeda. Masyarakat diajak membangun dengan membunuh konstelasi pertarungan ideologis masa lalu. Gantinya adalah ideologi tunggal pembangunan di mana ada partai politik tapi pemimpinnya harus disetujui oleh Soe-harto sebagai presiden.

Antara Orla dan Orba sama-sama menegakkan sistem politik demokrasi, namun Demokrasi Liberal sangat mengua-sai arena politik pembangunan di era Orde Baru, yang sama sekali berbeda dengan jaman Soekarno. Soekarno anti ideologi liberal sedangkan Soeharto pro-kapital asing yang dikenda-likan oleh ideologi liberal.

Di bawah presiden yang murah senyum dan bapak pem-bangunan, demokrasi ekonomi liberal lambat laun masuk me-lalui kebijakan ekonomi yang pro-investasi asing dan hutang luar negeri, namun demokrasi politik di zaman Orba lebih ter-pimpin dari demokrasi terpimpinnya Orla. Sikap otoriter men-jadikan negara dikuasai oleh sekelompok orang, yakni kroni Soeharto dan anak-naknya. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) mewarnai arena politik di Indonesia saat itu. Presiden yang telah berkuasa 30 tahun mengklaim pemerintahan de-mokratis, akan tetapi dengan praktek Monarkhi Absolut.

Memasuki reformasi setelah 1998, bangsa ini belum per-nah mengalami praktek demokrasi yang makin lama makin matang. Bangsa ini lepas dari penindasan rezim kolonial ma-suk ruang yang sama di Jaman Orde Lama dan Orde Baru. Sungguhpun jaman Orde Lama ada demokrasi terpimpin, pendidikan politik ke arah demokrasi sedang mulai bersemai. Situasi multipartai seperti ini mewarnai pemilu pada tahun 1955 waktu itu. Masyarakat yang sedang mencari pengalaman berdemokrasi pupus dengan peristiwa tahun 1965.

Di zaman Orde Baru masyarakat dibawa dalam sebuah kondisi yang harus menjauhkan konflik. Konflik dan perbe-daan pendapat dianggap “haram” dan masyarakat yang ber-beda ide dengan pemerintahan Orde Baru dan mengkhawat-irkan jalannya pembangunan diancam. Praktis masyarakat sedang menjalani proses demokrasi di era reformasi. Bagai burung lepas dari sangkar, masyarakat menyikapi demokrasi

sesukanya, mempertahankan haknya dengan cara melanggar hak orang lain. Berpolitik mencari kemenangan untuk men-jadi anggota DPR juga menghalalkan semua cara.

Keberhasilan utama pembangunan di zaman Orde Baru salah satunya adalah mempanglimakan uang sebagai alat un-tuk memperoleh kekuasaan. Kegagalan terbesar di jaman Orba adalah tidak membudayakan hukum sebagai alat penegak ke-adilan, bahkan hukum menjadi komoditas dalam kekuasaan. Pembelaan hak yang berlebihan yang dibumbuhi dengan pe-milikan uang menjadi hambatan tersendiri bagi tumbuhnya demokrasi. Orang tidak paham bagaimana kerja politik dalam DPR sehingga anggota DPR hanya sebagai pengisi lowongan kerja atau pencari status bagi yang empunya uang. Dalam se-buah arena politik orang menjadi tidak pernah mengerti mana demokrasi dan mana anarkhi.

usaha mencari SolusiDemokrasi itu sebuah kebudayaan yang tidak hanya se-

batas memilih wakil rakyat di DPR dan presiden. Akar dari pemikiran demokrasi itu adalah paham tentang kemanusiaan, penghargaan terhadap hak dan martabat kemanusiaan. De-mokrasi itu sebuah kebudayaan yang mengijinkan ruang kon-flik, namun ruang konflik itu dikontrol oleh penegakkan hu-kum yang kuat sehingga pelanggaran terhadap kemanusiaan dapat dihindarkan.

Kalau masa lalu hukum itu adalah Soeharto, di zaman re-formasi seharusnya hukum formal menjadi panglima untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dan menjamin kepas-tian hukum untuk setiap orang tanpa memandang status pemilikan uangnya. Hukum adalah alat jaminan kepastian untuk keadilan, bukan hukum adalah alat mendapatkan se-banyaknya uang atas nama keadilan.

Satu-satunya solusi yang harus tegak lebih dulu dalam ruang demokrasi adalah hukum dan penegakkannya. Carut-marut dunia perpolitikan kita di era reformasi karena hukum tak pernah jadi perhatian serius terutama mengenai kuali-tas penegakkan aparat hukum. Makin besar diteriakkan de-mokrasi bukan makin baik kualitas budaya demokrasi tanpa jaminan kepastian hukum. Persoalan teknis seperti kualitas caleg akan selesai dengan sendirinya kalu hukum untuk men-jamin demokrasi itu tegak.

Di Pemilu 2009 dan bahkan sebelumnya, orang pandai yang mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat secara politis kemungkinan sulit menjadi anggota DPR karena tidak punya uang sebab keanggotaan DPR sama dengan barang da-gangan. Ini akan terus berlangsung disetiap Pemilu jika ruang hukum tak pernah baik kualitasnya.

Oleh SusetiawanGuru Besar Sosiatri FISIPOL UGM

Page 23: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

22

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

IGNAS KLEDEN“Partisipasi Politik Mendorong Regenerasi”

WawancaraFo

to: B

udi F

ahle

vi

Page 24: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

23

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

IignaS kleden memandang bahwa regenerasi politik tidaklah bersifat ala-miah. “Yang ada, regenerasi politik yang harus menjadi hasil dari partisipasi poli-tik,” ujar Dewan Pendiri dan Komite Pen-garah Nasional Komite Indonesia Untuk Demokrasi (KID) ini.

Pria kelahiran Larantuka, Flores Timur, 19 Mei 1948 ini berpesan agar kaum muda harus mempersiapkan diri sebelum terjun ke gelanggang politik. “Jadi jangan berharap setelah sepuluh tahun nanti mudah-mudahan naik. Itu tidak ada ceritanya di politik,” lanjut So-siolog alumnus Universitas Bielefeld, Jer-man, 1995.

Berikut wawancara kontributor Flamma Budi Fahlevi dengan pria yang akrab disapa Pak Ignas ini.

Mulai dari zaman Boedi Oetomo hingga peristiwa Rengasdengklok, apakah merupakan keniscayaan politik yang berujung pada dominasi politik kaum tua pada saat itu?

Saya akan mengomentari bahwa pergerakan kemerdekaan didorong oleh para kaum muda seperti Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka sedangkan pada peristiwa Rengasdengklok kebanyakan digerakkan oleh kaum revolusioner yang berfikir implementis dan mereka tidak semuanya muda. Memang yang tampil seperti Sukarni dan termasuk juga kaum revolusioner seperti Chairul Saleh dan Bung Adam Malik.

Kemudian Sukarno dan Hatta sebagai pucuk pimpinan harus bisa menjaga ini, jangan sampai momentum (perjuangan menuju kemerdekaan) ini hancur lebur karena kaum muda yang panas hati dan kaum revolusioner yang percaya bahwa kemerdekaan dapat direbut dengan kekuatan bersenjata dan gerakan massa.

Kita tidak bisa menyebut Sukarno itu tua, karena umurnya juga sekitar 40-an. Adanya ketegangan yang terjadi antara kelompok yang percaya dengan cara diplomatik dan kelompok yang tidak percaya dengan diplomasi. Yang diplomatis lebih percaya gerakan yang tidak memakan banyak korban dan pertumpahan darah. Masalahnya bukan pertentangan kaum muda dengan kaum tua, hal ini tidak dapat dijadikan keniscayaan untuk sekarang ini karena mereka semua muda.

Apa karena mereka (Sukarni, dkk) menilai bahwa ada stagnasi dari perjuangan kelompok yang pro diplomasi (Sukarno, Sjahrir dkk), sehingga kaum muda yang biasa bertindak cepat merasa harus segera mendorong terjadinya proses perubahan?

Iya, tetapi ini juga bukan bentuk pertentangan tua dan muda, namun perbedaan strategi perjuangan antara yang percaya dengan perjuangan bersenjata tetapi dibarengi dengan diplomasi dengan yang percaya perjuangan bersenjata saja. Seperti saat Sjahrir diculik, saat itu dia baru berumur 30-an jadi tidak bisa dibilang tua. Jika kita bandingkan dengan tokoh-tokoh PI (Pergerakan Indonesia) mereka semua masih muda-muda dan masih berumur 20-an. Jadi kita tidak bisa membayangkan bahwa ada pemisahan tokoh-tokoh tua dan muda.

Ada isu, ideologi kaum tua adalah pro kapitalis dan konservatif. Sehingga, di masa transisi ini, kaum muda ingin tampil sebagai pemimpin. Apakah isu ini hanya komoditas politik?

Sekali lagi saya melihat ini hanya sebagai pertentangan antara kaum yang ingin ada perubahan dan tidak. Seperti halnya kemunculan Obama. Kadang ada juga yang ingin mempertahankan establishment karena mereka sudah menikmati itu. Seperti anak-anak dari politisi-politisi sekarang ini kan semua masih muda. Anaknya SBY, Amien Rais, Agung Laksono, Sabam Sirait, semua muda-muda namun cenderung mendukung sistem yang established. Jadi sekarang kurang muncul sebenarnya pertentangan yang ideologis.

Secara umum, kaum muda dikatakan lebih punya ide-ide baru dan progresif dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Pendapat Pak Ignas?

Saya tidak begitu yakin bahwa secara biologis, umur akan sejalan sikap secara ideologis, semua tergantung pada di mana keberadaan mereka apakah berada di luar establishment (kemapanan) atau di dalam establisment. Belum tentu juga orang yang di atas umur lima puluh tahun tidak punya keinginan mendorong perubahan. Ini tergantung apakah dia ingin ada establishment atau tidak.

Jadi apakah ini hanya komoditas politik saja?

Ya, karena mereka-mereka yang muda dan berada di dalam sistem yang establishment juga banyak yang tidak menginginkan perubahan, dan mereka

IgnasKleden

Page 25: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

24

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

menikmatinya dan merasa sistem yang ada sudah cukup dan baik-baik saja. Seperti Partai Golkar misalnya. Anak-anak muda yang masuk ke sana tidak mau mengubahnya, mereka hanya menyesuaikan diri saja dengan apa yang ada di partai.

Seberapa siap dan bagaimana prospek politikus muda dalam Pemilu Legislatif dan Presiden 2009?

Kita harus melihat aspirasi-aspirasi yang masuk ke kelompok muda ini dan bagaimana secara program mereka meresponnya, jadi tidak bisa juga kita remehkan ya. Tetapi persoalannya seberapa jauh mereka menyiapkan diri. Inikan ibaratnya naik ke atas ring tinju, tidak bisa kita bertanding hanya dengan persiapan satu minggu. Menurut saya banyak yang belum melakukannya

Seberapa kuat basis politik mereka?Mungkin mereka memiliki basis

politik tapi di luar parlemen. Kalau kita ingin berbicara demokrasi perwakilan, anda harus paham bahwa perwakilan itu ada dalam sistem kepartaian. Kalau LSM ingin menghendaki perwakilan, konstituennya siapa?

Mana yang lebih substantif, kaum muda bergerak di luar sistem atau di dalam sistem? Atau keduanya memang dibutuhkan?

Kita semua menginginkan perubahan baik di dalam atau di luar sistem. Namun jika kita menuntut adanya perwakilan kita mesti memiliki konstituen dan bersaing atas nama konstituen. LSM tidak bisa, kecuali kalau

ada aktivisnya yang masuk melalui calon independen.

Artinya, apakah kaum muda harus membentuk partai baru jika punya aspirasi yang berbeda?

Iya, mereka harus membentuk partai politik baru dengan platform yang berbeda sama sekali, karena jika bergerilya di luar sitem bisa saja tapi mereka tidak punya konstituen. Saya tidak bisa menyebut diri saya Komunitas Indonesia untuk Demokrasi, namun siapa konstituen saya.

Ketika anak-anak muda ini membuat partai politik, kerap ada jebakan ideologi dan mungkin uang. Bagaimana mengatasinya?

Jika berada di luar sistem dan tidak mau masuk ke dalamnya tetap bisa melakukan perubahan dan juga kontrol sosial terhadap sistem yang berjalan untuk mempengaruhi keputusan politik melalui political pressure dari luar

Jadi memang harus berbarengan baik di dalam dan di luar sistem?

Iya, jadi tetap ada kekuatan yang di luar seperti kita ini (di Sekolah Demokrasi KID).Anak-anak muda yang memiliki ide progresif ”kiri” mendirikan partai. Namun masyarakat menolak karena stigma komunis masih menakutkan. Padahal, bisa jadi platform utama mereka bukan komunis. Bagaimana Pak Ignas melihat ini?

Ini bisa tergantung dari cara pendekatan dan sosialisasinya ke masyarakat. Bahwa mereka itu adalah

partai kiri namun tidak menganut komunisme. Garis sosial demokrat itu bukan sesuatu yang ditakuti dan bukan komunis. Di kita sosial demokrat itu diakui, mereka tidak akan dibasmi hanya karena mengambil jalan sosial demokrat

Apakah sistem politik saat ini lebih terbuka bagi politisi muda?

Terbuka atau tidaknya juga tergantung juga perjuangan anak mudanya. Dulu Sukarno tidak pernah bertanya apakah Belanda akan memberi kemerdekaan untuk Indonesia, mereka merebut dengan kekuatan kaum mudanya. Jangan berharap orang-orang tua kapan akan memberi kesempatan, namun harus berjuang dengan matang, melakukan persiapan, dan mampu meyakinkan masyarakat. Seperti Obama ini, banyak orang tidak tahu dia, namun dia mampu meyakinkan rakyat Amerika bahwa mereka mampu.

Apa tantangan kaum muda dalam menghadapi situasi politik ke depan?

Tantangan pertama adalah persiapan yang matang dan mereka bekerja dengan platform yang jelas. Mereka harus mempunyai konstituen politik yang andal dan perjuangan mereka ini menaungi aspirasi masyarakat.

Partai berideologi progresif yang didirikan pemuda di Pemilu 1999 tidak mendapat suara. Menurut Pak Ignas, apa kelemahannya?

Sebelumnya kan ada partainya Budiman Sudjatmiko, PRD, yang masih bertempur dengan prasangka-prasangka Orde Baru, tetapi kalau mereka trampil dengan platform bahwa mengkhususkan dirinya bahwa mereka membela secara khusus misalnya keadilan sosial, saya rasa masyarakat akan memilih.Yang mana itu merupakan hal yang prinsipil yang ada dalam Pancasila dan dibenarkan Pancasila, siapa yang bisa melawan dan bagaimana mereka menjual idenya agar diterima secara politik.

Budiman Sudjatmiko tidak membesarkan PRD-nya dan pilih masuk ke partai lama. Bagaimana menurut Pak Ignas?

Itu harus kita tanya pada beliau, akan tetapi menurut saya jika anda membuat satu partai politik dan punya program menyejahterakan masyarakat dan anda adalah partai yang dibutuhkan masyarakat dan tidak bertentangan dengan asas-asas di Indonesia, ini harus dimasukkan ke dalam program dangan berpikir masyarakat tidak akan terima.

Wawancara

Sejumlah baliho Caleg berjajar di perempatan Jalan Kenari Yogyakarta.

Foto: Adrozen Ahmad

Page 26: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

2�

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

Ke depan, apakah gerakan NGO bisa mengkristal jadi kekuatan politik tersendiri, misalnya, maju ke parlemen?

Bisa. Akan tetapi, seperti yang Anda ketahui, bahwa LSM inikan susah sekali bersatu. Pada tahun 1980-1987, saya tidak tahu persisnya, ketika saya di LP3S membuat pertemuan nasional pertama LSM se-Indonesia, dan waktu itu diusulkan untuk dibentuknya satu forum bersama LSM se-Indonesia supaya ada konsolidasi kekuatan dan pembagian tugas yang jelas antara LSM yang satu dengan LSM yang lain. Karena masih banyak pekerjaan yang masih harus dikerjakan jadi ada pembagian kerjanya dan menjadi sinkron.

Sayang usulan itu ditolak habis-habisan dengan alasan, pertama, dengan membentuk forum LSM se-Indonesia kita bisa dipukul mati padahal tidak. Kedua, dengan membentuk forum besar kita akan mengalami resiko sentralisme kemudian gagal. Ini sangat sulit sekali karena watak LSM harus bekerja seperti sekarang ini. Padahal menurut saya harus ada network-nya yang bergerak tanpa ada organisasi. Jadi harus ada sinyalemen yang rapi dan harus ada pusat informasi LSM sehingga tidak perlu ada duplikasi pekerjaan.

Kini banyak tokoh LSM yang masih dikatagorikan muda seperti Teten Masduki (ICW), Usman Hamid (KONTRAS), dll. Ke depan, bisakah mereka jadi tokoh alternatif kepemimpinan nasional?

Tergantung, karena mereka bergerak di luar kekuasaan. Kita kan tidak punya kekuasaan yang belum diuji ketika kita mempunyai kekuasaan. Kita tidak dapat menilai apakah baik atau tidak kekuasaan kita. Saya tidak setuju jika menyudutkan karena kita belum bisa menahan godaan. Jika kita bergerak di luar kekuasaan, walaupun belum memiliki kepentingan kekuasaan, kita mengawasi tapi tidak jaminan.

Pada saat kita di dalam kekuasaan kita mengalami mekanisme dari kekuasaan maka akan terlihat orang yang tahan dari godaan kekuasaan dan yang tidak tahan godaan, ketika kita tidak punya kekuasaan maka aman-aman saja, coba jika anda mempunyai kekuasaan jadi bupati. Jadi kekuasaan itu harus kita awasi meski kita tidak memiliki kekuasaan dengan tanpa kepentingan karena kita tidak punya kepentingan dengan kekuasaan.

Ada tidak pengalaman pak Ignas digoda untuk masuk partai politik atau terlibat didalamnya?

Ada sih, tapi saya tidak bisa jadi orang politik.

Di Sekolah Demokrasi ini banyak kawan yang jadi Caleg muda meski masih di tingkat Legislatif untuk Pemilu 2009. Apa masukan Pak Ignas untuk mereka?

Saya harap kepada teman-teman yang jadi Caleg dari Sekolah Demokrasi Tangerang dan teman-teman yang lain untuk tetap berpegang pada nilai-nilai demokrasi yang kita dapat dari sekolah selama ini. Dan saya harap mereka secara khusus memperkuat wacana demokrasi di dalam politis, karena teori kita demokrasi adalah perkawinan di antara besarnya partisipasi dengan kuatnya wacana politik.

Dengan harapan teman-teman dapat membawa sedikit pengaruh terhadap wacana demokrasi liberal dan mereka harus berani minimal merubah sistem yang ada di partainya. Sebab dengan di dalam partai lebih pas menyampaikan pendapat-pendapat tentang demokrasi yang kita inginkan dan bukan permainan kekuasaan saja .

Adakah optimisme akan adanya proses regenerasi kepemimpinan di tingkat nasional sampai di tingkat lokal?

Saya rasa regenerasi itu tidak alamiah. Yang ada, regenerasi politik yang harus menjadi hasil dari partisipasi politik. Jadi jangan berharap setelah sepuluh tahun nanti mudah-mudahan naik. Itu tidak ada ceritanya di politik. Jika mau maju harus mempersiapkan diri serta dapat menunjukkan lebih unggul dari yang tua. Anda bisa diterima masyarakat sekarang dan mengerti aspirasi masyarakat, Anda mulai aktif dalam mengungkapkan kepentingan-kepentingan mereka. Contoh yang hebat Obama.

Pembelajaran apa bagi kaum muda tanah air dari kemenangan Obama?

Pertama, mempersiapkan diri. Obama mempersiapkan diri dalam organisasi yang rapi. Kedua, Obama tidak bekerja dengan arogansi. Dia sangat modes bagaimana

menggabungkan beberapa modes dengan sikap rendah hati. Lihat saja setelah dia menang, dia biasa-biasa saja tidak meloncat.

Mungkin apakah sikap rendah hati ini yang belum dimiliki tokoh-tokoh politik di Indonesia?

Ya kalau di kita, belum apa-apa ngomongnya sudah gede.

Sejauhmana iklan politik efektif bagi pemenangan tokoh muda seperti yang dilakukan Rizal Malarangeng?

Iklan fungsinya untuk mensosialisasikan tetapi harus ada dulu apa yang disosialisasikan, tapi kalau mensosialisasikan tampangnya dan senyumnya siapa yang mau pilihkan, harus tahu apa yang akan disosialisasikan. Obama punya apa yang disosialisasikan. Programnya jelas.

Terkait pencalonan tokoh muda oleh partai, apakah ini harus diwaspadai atau jadi kebanggaan?

Tokoh muda harus sadar bahwa politik adalah permainan kekuasaan. Partai mencalonkan Anda itu bukan karena sayang tentunya pasti ada perhitungan-perhitungan politik bisa jadi hanya untuk menunjukkan bahwa mereka menghargai tokoh muda tapi sudah di-set mereka tidak akan naik. Jadi kita sebagai orang yang berpolitik harus pahamlah, tidak boleh terjebak dalam kebodohan berpolitik.

Yang namanya keterampilan berpolitik yaitu kita harus paham bahwa demokrasi yang di wujudkan dalam permainan tersebut. Maksud dia mengoper ke kita itu harus dipahami maksudnya apa. Kuncinya bagi politisi muda adalah persiapan.

Seperti apa kira-kira persiapan tersebut?Ya seperti bertanding tinju atau

sepak bola, berlatih bertanding, berlatih bertanding terus hingga mampu. Persiapan yang baik kira-kira setelah lima puluh persen siap dan ada faktor-faktor lain seperti kesempatan, faktor keberuntungan. Kemudian, kesiapan tidak dapat hanya berharap dari keberuntungan. Lebih baik jangan. Persiapan itu bukan hanya dalam keuangan saja tapi rencana juga harus ada. Jangan berharap pada keberuntungan.

Persiapan di sini meliputi persiapan organisasi, persiapan program, persiapan platform, persiapan network, persiapan sosialisasi kepada masyarakat. Sekarang dengan iklan mereka beranggap orang sudah kenal.

Ignas Kleden

“Tokoh muda harus sadar bahwa

politik adalah permainan kekuasaan. Partai mencalonkan Anda itu bukan karena sayang

tentunya pasti ada perhitungan-perhitungan politik ..

Page 27: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

26

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009GAleri Foto

SSeperti pada saat-saat menjelang pemilu tahun 2004 yang lalu, menjelang pemilu April 2009 ini sejumlah gerai sablon kaos di Yogyakarta mengalami kenaikan omzet sebesar 20% hingga 30% dibanding hari-hari biasa.

Momon (40 tahun), salah seorang pengusaha penyablonan kaos di Jl. Ibu Ruswo mengaku sampai harus rela menghentikan produksi kaos reguler yang dipesan oleh sejumlah perusahaan dari Jakarta. Pengusaha yang memiliki 11 orang karyawan ini menuturkan bahwa hingga sekarang ada sekitar 18 hingga 19 partai peserta pemilu yang sudah dan sedang memesan kaos pada gerainya.

Rata-rata Momon mematok harga untuk kaos partai pada konsumennya sebesar Rp 6.000,00 hingga Rp 15.000,00 per kaos dengan jumlah pemesanan rata-rata sebanyak 1000 buah kaos per partai.

“Lama pembuatannya, jika dalam keadaan normal, untuk 1000 buah kaos itu memakan waktu tiga hari,” tutur pengusaha penyablonan kaos yang sudah berkecimpung dalam dunia usaha ini selama 5 tahun.

Teks dan Foto: Adrozen Ahmad

SejumputGerai Sablon Kaos Partai

kEtERANGAN fOtO: Mulai dari kiri atas searah

jarum jam ; menjemur kaos yang sudah disablon;

jajaran alat penyemprot; beristirahat di sela-sela kesibukan; memasang

screen sablon; menyampur cat dalam baskom;

tampilan gambar-gambar di dinding gerai.

BerkahPemilu

Page 28: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

2�

Demokrasi Perwakilanyang Minim KeterwakilanFLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

Page 29: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

2�

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

S

Manifesto

…pembangunan adalah kebebasan (Amartya Zen, 1999).

Tawaran atas situasi ini adalah mere-vitalisasi politik. Merujuk politik dari konsep awalnya sebagai polis, maka poli-tik berarti suatu kondisi dimana warga duduk dalam posisi yang setara. Kese-taraan posisi ini juga harus disertai de-ngan ditanggalkannya atribut asal yang dimilikinya (suku, agama, ras, etnis, dan sebagainya) dalam setiap pengambilan keputusan yang terkait dengan kepenti-ngan publik. Dengan demikian, negara ti-dak bisa lagi berperan seolah tidak tahu-menahu realitas politik yang ada, tetapi secara minimalis negara harus menjadi fasilitator.

Lesson learned dialog komunitasKabupaten Tangerang sebagai bagian

dari Provinsi Banten adalah wilayah ur-ban fringe yang sangat heterogen. Tidak hanya dalam hal suku, agama, dan ras tetapi juga dalam kelas sosial dan pilihan politik. Bukan hanya sebagai pertanda ke-makmuran warganya, 4.000-an pabrik di

wilayah Tangerang juga merupakan per-ingatan akan pentingnya kehati-hatian dalam mengelola potensi. Karena dengan ini berarti bertambah satu faktor risiko yang harus dihitung oleh Tangerang. Se-lain karena tidak mengurangi ancaman pengangguran (angka pengangguran tahun 2006 sebanyak 42.730 orang ang-katan kerja menjadi 45.639 orang pada tahun 2007), keberadaan pabrik tersebut ternyata juga menciptakan peluang kon-flik antara pendatang dan penduduk asli.

Kemajemukan masyarakat ini diwar-nai pula oleh dominasi homogen satu ke-lompok masyarakat di berbagai wilayah kemasyarakatan. Meminjam bahasa Joel Migdal (1988, 2001) mereka adalah ‘orang kuat lokal’. Biasanya mereka adalah pen-duduk asli yang berasal dari satu silsilah penting pendekar atau jawara. Hampir bisa dikatakan tidak ada satu pun or-ganisasi di Kabupaten Tangerang yang terlepas dari pengaruh jawara.

Di tengah itu semua, Tangerang sen-

kembali pada Res-publicKebutuhan utama menjawab persoa-

lan yang kontradiktif antara kebutuhan partisipasi warga dengan sistem politik yang privat adalah dengan menegakkan kebajikan seorang warga. Meminjam is-tilah yang ditemukan Machiavelli dalam kerajaan Romawi yaitu civic virtue, warga negara yang baik adalah mereka yang mau mendahulukan kepentingan publik. Dengan sendirinya warga tidak diatur oleh penguasa baik yang sifatnya tunggal maupun jamak. Warga diatur oleh sistem yang impersonal: hukum. Hukum men-jadi dasar dalam berwarganegara, karena dalam tradisi republik jika warga mengi-kuti hukum maka dia bebas. Inilah per-bedaan antara kebebasan liberal dengan kebebasan republik.

Pasca reformasi, kiranya kata ke-bebasan ‘sangat murah’ dibandingkan pada masa Orde Baru (1966-1998). Seb-agai sebuah proses politik yang bergerak kualitatif kita pantas mensyukurinya. Namun kebebasan (dan sekaligus de-mokrasi) yang memberikan ruang bagi masyarakat yang multi-faceted, tanpa me-mandang berbagai identitas pribadi yang melekat, tidak serta merta melahirkan kompetisi yang adil. Hal ini karena ti-dak semua orang mempunyai akses yang sama baik di lapisan sosial, arena politik, dan wilayah ekonomi. Fakta lainnya, de-mokrasi tidak sedang dijalankan dengan rasional oleh seluruh warga. Banyak mas-sa mengambang (swing voters) yang bisa beralih memberikan suara kepada siapa pun dengan kepentingan jangka pendek.

Hal ihwal diataslah yang menjadi sebagian faktor penyebab terciptanya kesenjangan antara kepentingan publik dengan kepentingan wakil mereka. Ke-senjangan ini pula yang membuat publik merasa tidak terakomodir kepentingan-nya. Bukan hal yang mengejutkan jika ke-mudian aktivitas protes dan demonstrasi, walaupun tidak diikuti semua orang, banyak mewarnai aktivitas pemerintahan (publik) Indonesia.

Seperti amartya Sen, Todaro (2000) juga mendefinisikan makna dan tujuan pembangunan bukan hanya sebagai sub-sistensi pemenuhan kebutuhan dasar dan penegakan harga diri (self esteem). Menu-rutnya, pembangunan juga merupakan kebebasan untuk bertindak (freedom from servitude–to be able to choose). Paradigma ini tentu tidak akan kita temukan dalam artefak-artefak pembangunan kita selama puluhan tahun. Bagi negara dunia ketiga yang melihat pembangunan adalah mem-eratakan infrastruktur dan perbaikan ekonomi, kata kebebasan tidak menjadi hal yang prinsipil.

Secara serius instrumen pembangun-an berarti mewujudkan kebebasan poli-tik, hak akan fasilitas ekonomi, ruang gerak sosial, dan transparansi. Minimal masyarakat berhak tahu atas haknya se- bagai warga negara, dan tahap selanjut-nya adalah partisipasi. Problematis, kare-na instrumen pembangunan kemudian hanya dikalkulasi sebagai demokrasi for-mal. Demokrasi formal dianggap sebagai jawaban atas kebutuhan pemerintah yang semakin banyak dan luas fungsinya, se-hingga kebutuhan legitimasi pun menin-gkat.

Demokrasi formal secara dangkal kemudian dianggap sebatas persoalan prosedur memilih dan dipilih saja. Semen-tara itu, ekonomi pasar telah menyeret ru-ang politik pada tindakan-tindakan yang lebih individualis dan berbiaya-mahal. Transaksi politik tidak lagi menyertakan institusi politik atau kepartaian. Pertama-tama dalam berbagai tindakan politik, seseorang dipandang sebagai ‘hanya’ dirinya saja. Sehingga juga merupakan keniscayaan jika pada akhirnya transaksi lebih bersifat ekonomis (pemenuhan ke-butuhan subsisten atau jangan-jangan malah tersier). Politik dengan demikian telah menjadi urusan yang sangat privat. Tidak mengherankan jika pada akhirnya output dari kegiatan politik yang seha-rusnya berpihak pada publik lebih berpi-hak pada sektor-sektor privat.

Membawa Politik

PADA KEPENTINGAN PUBLIK

Pengantar Opini Manifesto ini hadir atas kerjasama IRE Yogyakarta dengan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) dalam Program Demokratisasi melalui Simpul Demokrasi di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Sasaran program ini adalah kaum muda di LSM, omas, media massa, kampus, birokrasi, politisi, partai politik, pengusaha muda, serta organisasi keagamaan.

Ilustrasi: Agus Harnowo

Page 30: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

29

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 Membawa Politik padaKepentingan Publik

Tawaran atas situasi ini adalah mere-vitalisasi politik. Merujuk politik dari konsep awalnya sebagai polis, maka poli-tik berarti suatu kondisi dimana warga duduk dalam posisi yang setara. Kese-taraan posisi ini juga harus disertai de-ngan ditanggalkannya atribut asal yang dimilikinya (suku, agama, ras, etnis, dan sebagainya) dalam setiap pengambilan keputusan yang terkait dengan kepenti-ngan publik. Dengan demikian, negara ti-dak bisa lagi berperan seolah tidak tahu-menahu realitas politik yang ada, tetapi secara minimalis negara harus menjadi fasilitator.

Lesson learned dialog komunitasKabupaten Tangerang sebagai bagian

dari Provinsi Banten adalah wilayah ur-ban fringe yang sangat heterogen. Tidak hanya dalam hal suku, agama, dan ras tetapi juga dalam kelas sosial dan pilihan politik. Bukan hanya sebagai pertanda ke-makmuran warganya, 4.000-an pabrik di

wilayah Tangerang juga merupakan per-ingatan akan pentingnya kehati-hatian dalam mengelola potensi. Karena dengan ini berarti bertambah satu faktor risiko yang harus dihitung oleh Tangerang. Se-lain karena tidak mengurangi ancaman pengangguran (angka pengangguran tahun 2006 sebanyak 42.730 orang ang-katan kerja menjadi 45.639 orang pada tahun 2007), keberadaan pabrik tersebut ternyata juga menciptakan peluang kon-flik antara pendatang dan penduduk asli.

Kemajemukan masyarakat ini diwar-nai pula oleh dominasi homogen satu ke-lompok masyarakat di berbagai wilayah kemasyarakatan. Meminjam bahasa Joel Migdal (1988, 2001) mereka adalah ‘orang kuat lokal’. Biasanya mereka adalah pen-duduk asli yang berasal dari satu silsilah penting pendekar atau jawara. Hampir bisa dikatakan tidak ada satu pun or-ganisasi di Kabupaten Tangerang yang terlepas dari pengaruh jawara.

Di tengah itu semua, Tangerang sen-

diri terancam pada persoalan kemiski-nan yang akut. Dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp 300,8 milyar (APBD Perubahan 2008), di Tangerang masih ada penduduk miskin dengan rata-rata pendapatan per bulan Rp 175 ribu. Ang-ka-angka ini tidak saja menunjukkan kesenjangan namun lebih jauh juga keti-adaan penegakan harga diri masyarakat sebagai warga dari sebuah negara.

Kondisi-kondisi subyektif dan obyek-tif inilah yang mewarnai masyarakat se-hari-hari di sana. Sayangnya, selama seki-an lama ‘kondisi yang penuh warna’ ini tidak pernah berada dalam wadah yang tepat untuk menjadi bagian dari dialog yang lebih kualitatif dengan melibatkan komponen masyarakat yang lebih ba-nyak dan majemuk.

Sekolah Demokrasi (SD) Tangerang yang dimulai pada tahun 2007 mengelola segala potensi dan risiko yang ada. Dua tahun angkatan telah mencetak sekurang-nya 60 alumni aktif yang bekerja dan ber-aktivitas di dalam berbagai organisasi sipil, politik, dan birokrasi. Tidak sedikit dari mereka yang berasal dari partai poli-tik yang saling berseberangan kepentin-gan. Ada juga alumni dari kalangan lem-baga swadaya masyarakat (LSM) yang pastinya selalu merasa berada dalam po-sisi berhadapan dengan pihak birokrasi, partai politik, dan pengusaha. Sekali lagi, mereka tidak dalam satu kepentingan yang sama.

Pengalaman selama dua tahun mem-perlihatkan bahwa perbedaan kepen-tingan atau identitas seseorang ternyata tidak membuat seseorang kehilangan kesadarannya sebagai warga negara (citi-zenship). Sebagai warga negara, seseorang akan lebih dahulu menempatkan kepent-ingan publik daripada kepentingan lain. Ini terlihat dari dua kasus advokasi yang dilakukan alumni SD Tangerang yaitu advokasi infrastruktur dan tempat pem-buangan akhir (TPA) Jatiwaringin. Kedua kasus ini melibatkan banyak pihak dan banyak kepentingan, yang tentunya juga

beririsan dengan kepentingan alumni.Dalam advokasi infrastruktur jalan

raya, data yang dikumpulkan alumni SD Tangerang menyebutkan bahwa hampir 1.100 km2 atau 77 persen dari seluruh panjang jalan di Kabupaten Tangerang rusak berat. Advokasi ini tentu di dalam-nya akan ‘menyinggung’ pihak birokrasi, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan ‘orang kuat lokal’ yang mendapatkan jatah dari proses pembangunan infrastruktur jalan raya. Tidak sedikit juga alumni yang berasal dari birokrasi, anggota partai politik dari pemerintah yang berkuasa, atau juga ang-gota dari organisasi ‘orang kuat lokal’. Tetapi merekalah yang maju dan melaku-kan dengar pendapat dengan berbagai pengampu kepentingan atas persoalan infrastruktur jalan raya tersebut.

Pun demikian dengan kasus TPA Jati-waringin. TPA Jatiwaringin tidak hanya meliputi satu desa atau wilayah saja, tetapi juga berbatasan dengan banyak desa. Desa-desa yang bersangkutan tidak satu suara dalam menanggapi persoalan sampah ini. Ada yang setuju, ada yang menolak. Di dalam alumni SD Tangerang pun juga ada yang berasal dari desa yang setuju dan tidak setuju tersebut, tetapi dengan dialog yang panjang, turun ke la-pangan dan pengumpulan berbagai data mereka sepakat pada satu hal: kepentin-gan publik atas hak mendapatkan ling-kungan yang sehat adalah hak mendasar warga negara (manusia).

Kedua pengalaman telah memberikan sebuah harapan bagi dua persoalan pen-ting yaitu pembangunan dan keterlibatan warga negara. Politik dengan demikian, dari dua contoh di atas, telah dikemba-likan pada wilayah publik. Sehingga lebih utama dalam setiap hal adalah memban-gun kepentingan bersama di atas identi-tas diri yang melekat. Jika prasyarat ini telah dipenuhi maka pembangunan akan mengembalikan martabat warga dan ke-bebasan itu sendiri.

Oleh Sigit Giri WibowoManajer Program Sekolah Demokrasi IRE-KID di Tangerang

Page 31: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

30

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

Ddi ujung pulau Sumatra, di balik sim-bol Serambi Mekah, tersimpan potensi besar bangsa Indonesia. Semua rakyat Indonesia tahu di Aceh melimpah akan kekayaan alam. Namun selama kurang lebih tiga dasawarsa, deposit potensi itu tak berbuah kesejahteraan. Yang ke-nyang justru segelintir elit penguasa di Jakarta. Sebaliknya, masyarakat Aceh hanya dapat ”remahan kue”. Pola pe-merintahan yang sentralistis dan distri-busi kue pembangunan yang timpang tak pelak memunculkan semangat un-tuk memisahkan diri dari republik. Akan tetapi, tahun 2004 lalu saat tensi ketegangan antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka masih tinggi, bencana tsunami da-tang mendera. Derita rakyat Aceh yang belum beringsut dari ketertinggalan ekonomi pun kian berlipat.

Namun tsunami juga mem-bawa blessing in disguise, hikmah yang tiada terduga. Bencana alam terdahsyat sepanjang abad ini, secara tidak langsung mengembalikan ke-percayaan bangsa Indonesia untuk segera mengakhiri konflik dengan perdamaian. Tak hanya itu, tsu-nami seolah telah mengembalikan kekayaan Aceh pada masyarakatnya: bahwa mereka berhak sejahtera dengan potensi alamnya. Mengalirnya berbagai bantuan untuk korban tsunami dari du-nia internasional, lembaga donor, LSM internasional dan nasional, pemerintah Indonesia maupun lembaga-lembaga si-pil lainnya seperti mengisyaratkan kem-balinya kekayaan alam Aceh tersebut.

Kini lima tahun lebih konflik dan tsu-nami telah berlalu. Meski demikian, kedu-a tragedi itu masih menyisakan segumpal ingatan kolektif betapa keduanya telah begitu melemahkan kondisi Aceh. Ken-dati proses recovery, rekonstruksi, dan rehabilitasi Aceh paska tsunami dinilai lebih lambat ketimbang Yogyakarta, tapi kini di beberapa kabupaten telah mun-

cul titik-titik api semangat untuk segera melepaskan Aceh dari ketertinggalan pembangunan. Salah satunya tampak di kabupaten Aceh Besar.

Tak mau tertidur pulas akibat konflik, tsunami, dan bantuan, kabupaten Aceh Besar menggugah dirinya untuk segera memandirikan gampong. Kemandirian gampong diyakini sebagai pintu masuk mewujudkan kesejahteraan masyara-kat mulai dari bawah. Kabupaten yang

mempunyai 604 gampong ini menaruh harapan, saat g a m p o n g berdaya dan mandiri dari segi kewena-ngan maupun anggaran pembangunan-nya, maka proses penyejahteraan akan lebih cepat. Karena dengan demikian proses pembangunan tak lagi dimonopoli pemerintah supra-gampong, sebagaima-na terjadi pada masa Orde Baru. Sebagai

mukadimahnya, Pemerintah Aceh Besar merevitalisasi struktur pemerintahan gampong melalui pemilihan keuchik (ke-pala desa) secara langsung di tahun 2007 serta Alokasi Dana Gampong (ADG) pada tahun 2008 lalu.

mengungkap masalahCita-cita memandirikan gampong

tidaklah semudah mereplikasi model pengembangan pemerintahan desa se-perti yang diterapkan di desa-desa di Jawa. Tidak berfungsinya kelembagaan pemerintahan gampong bertahun-tahun

lamanya akibat konflik GAM-RI serta tsunami yang menenggelamkan

gampong dalam kondisi hampa akan tata kelola pemerintahan merupakan kendala yang mengharuskan orang paham kenapa proses pengembangan. Hal ini juga menyiratkan pesan

bahwa Pemkab Aceh Besar ti-dak bisa berjalan sendirian.

Menyadari hal itu, Pemkab Besar pun menggandeng Mercy Corps, AIPRD-LOGICA, dan IRE Yogyakarta untuk menemukan formula pengembangan kapasitas pemerintahan gampong. Dalam skema kerjasama ini, IRE diper-caya melakukan pemetaan kapa-sitas pemerintahan gampong di seluruh Aceh Besar. Hasil pemetaan itu lantas dijadikan baseline data untuk merancang roadmap kebijakan pengemba-ngan kapasitas pemerintahan

gampong.Dengan menggabungkan dua

pendekatan kuantitatif dan kualitatif, Tim IRE menyisir dan menjumput berba-gai persoalan di semak-belukar peme-rintahan gampong. Tim menyurvei 122 gampong yang diambil secara acak dari seluruh kecamatan yang ada. Selain me-nyibak peta masalah di level gampong, survey juga dilakukan pada level kabu-paten dan kecamatan. Memperkuat riset

Manifesto

PENGANTAR Sejak 3 November 2008 sampai 23 Maret 2009, IRE Yogyakarta bekerjasama Mercy cops dan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar yang didukung AIPRD LOGICA menjalankan Program “Merumuskan Disain Program Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Gampong di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Bentuk program ini berupa riset kuanlitatif dan kualitatif, yang bertujuan memetakan kapasitas yang dimiliki pemerintahan gampong guna merumuskan program pengembangan kapasitas untuk mewujudkan gampong yang mandiri, demokratis dan sejahtera.

Menuju Gampong MandiriMeretas Jalan

Ilustrasi: Agus Harnowo

Page 32: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

31

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

kuantitatif tersebut, Tim menelusuri pro-blem kapasitas berikut produk kebijakan yang dihasilkan pemerintah-pemerintah gampong melalui FGD, indepth interview dan telaah dokumen kebijakan daerah.

Rupanya, banyak kerikil yang meng-halangi agenda pemandirian gampong yang dicanangkan Pemerintah Kabu-paten Aceh Besar. Riset menemukan peta masalah sebagai catatan Pemerintah Ka-bupaten Aceh Besar.

Pertama, kesadaran pemerintahan gampong atas kepemilikan suatu regulasi di tingkat gampong masih cukup lemah. Secara umum, pemerintahan gampong di Aceh Besar tergerak untuk membuat sistem peraturan, saat kabupaten Aceh Besar meluncurkan kebijakan Alokasi Dana Gampong tahun 2008. Syaratnya, se-tiap gampong harus membuat peraturan gampong berupa perencanaan pemba-ngunan sebagaimana dihimpun dalam dokumen RPJMG, RKPG dan APBG. Se-belum ada kebijakan tersebut, gampong-gampong di Aceh Besar dapat dikatakan bergerak berdasarkan adat kebiasaan saja. Kebiasaan sistem kerja pemerintah gam-pong yang tidak beraturan, di satu sisi, berdampak pada sulitnya membangun koordinasi antara pemerintah kecamatan dengan pemerintah gampong. Di sisi lain, pemerintah gampong seolah-olah bekerja 24 jam, yang tentunya jika ditakar dari waktu kerja, sudah melampaui target kinerja.

Kedua, tingginya ketimpangan kapa-sitas diantara perangkat pemerintahan gampong berkontribusi bagi terciptanya relasi dominasi antar lembaga atau badan dalam struktur pemerintahan gampong. Secara umum, sekretaris gampong men-dominasi peran dalam tata pemerintahan gampong. Banyak gampong yang me-nyerahkan proses erumusan dokumen perencanan seperti RPJMG, RKPG, dan APBG kepada sekretaris gampong. Se-mentara keuchik (kepala desa), perang-kat gampong dan tuha peut (BPD), ting-gal membahas dan menetapkannya. Ket-impangan ini mungkin terjadi karena ti-dak berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi dalam pemerintahan gampong itu sendiri.

Ketiga, belum terserapnya regulasi yang ada di level pemerintahan propinsi dan kabupaten hingga ke level pemerin-tahan gampong. Banyak sekali produk hukum yang telah dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat, propinsi, maupun ka-bupaten namun banyak pula substansi materinya yang sulit dicerna masyara-kat. Mengenai kedudukan mukim dalam tata pemerintahan gampong misalnya. Di dalam UU No. 11 Tahun 2006 Ten-tang Pemerintahan Aceh, Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam No. 4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim da-lam Provinsi Nangroe Aceh Darussa-lam dan Qanun Kabupaten Aceh Besar No. 9 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Mukim tidak membahas secara konkret pola hubungan antara mukim dengan kecamatan, kelurahan dan gampong. Di-dalamnya hanya menyebutkan, imeum mukim berkedudukan di bawah dan ber-tanggung jawab kepada camat.

Keempat, kecilnya jumlah perempuan dalam pemerintahan gampong. Ini meru-pakan “PR” jangka panjang. Dari segi hak, perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-aki. Namun umumnya akses perempuan relatif masih rendah. Oleh karena itu, perlu afirmatif action agar perempuan punya kesempatan lebih luas di masa mendatang. Sementara dari sisi regulasi, Qanun No. 10 Tahun 2007 Ten-tang Tuha Peut Gampong dalam Kabupa-ten Aceh Besar Pasal 3 ayat (3) menyebut-kan bahwa komposisi keanggotaan Tuha Peut Gampong sekurang-kurangnya terdiri atas 30 persen kaum perempuan. Dengan demikian, perempuan sebenar-nya sudah diberi kesempatan yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan. Kini tinggal bagaimana agar ruang itu bisa dimanfaatkan secara baik. Sayangnya, kuatnya budaya patri-arkhi di Aceh masih membatasi partisi-pasi perempuan dalam struktur pemerin-tahan gampong.

Seberkas potensiBiarpun Aceh secara umum masih

dipandang tertinggal dari segi tata pe-merintahannya, bukan berarti potensi sumber daya manusianya tertinggal pula.

Riset Tim IRE menemukan bahwa seba-gian besar aparat pemerintah gampong punya level pendidikan yang baik.

Dari 366 responden, yang berseko-lah hingga jenjang SLTA masing-masing ada geuchik 58,2%, perangkat gampong 59,0% dan tuha peut 48,4%. Bahkan tak sedikit pula yang lulus perguruan tinggi.

Artinya, tingginya angka geuchik, perangkat gampong, dan tuha peut yang mengenyam pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi menjadi potensi peme-rintah gampong untuk berbuat lebih bagi masyarakat karena memiliki modal ilmu dan pengetahuan yang baik. Hal ini juga akan mendorong tingkat kinerja yang baik pula.

Terlepas dari kelemahan dan kelebi-han implementasinya, kebijakan pemer-intah kabupaten melakukan pilihan keu-chik langsung dan Alokasi Dana Gam-pong sesungguhnya merupakan potensi dan menunjukkan adanya komitmen Pemkab Aceh Besar.

Keinginan memodernisasi tata kelola pemerintahan gampong ternyata juga didambakan masyarakat gampong sendi-ri. “Pemerintahan secara tradisional me-nyangkut persoalan sosial, agama, gotong royong telah berjalan. Tetapi yang secara modern administratif belum,” ujar Adnan Hasyim, tuha peut Lambirah. Pernyataan ini bisa menjadi tolok ukur kebangkitan gampong yang dicirikan adanya pelaksa-naan manajemen pemerintahan modern, profesional, dan efektif.

Keberadaan reusam, sebagai adat atau aturan kebiasaan yang tidak tertulis, se-benarnya juga mencerminkan tingkat kepatuhan dan kreativitas masyarakat gampong akan hadirnya tata kehidupan yang berdasar pada aturan main yang baik dan berdasarkan konsensus. Selain itu, kekuatan lain yang dimiliki gam-pong-gampong di Aceh yaitu kebiasaan bermusyawarah. Tentu potensi demokra-si ini menjadi modal dasar besar untuk mendorong tata kelola pemerintahan yang demokratis. Adanya reusam secara khusus menjadi prakondisi bagi peme-rintah supra-gampong untuk menginter-nalisasikan sejumlah produk regulasi ke dalam tata pemerintahan gampong. Seka-rang tinggal menanti kemauan (political will) dari Pemkab untuk melakukan so-sialisasi regulasi yang telah dibuat untuk membangun gampong.

Tetapi, sepanjang pemerintah supra-gampong tidak punya kemauan untuk melimpahkan kewenangan dan anggaran pada pemerintah gampong, boleh jadi im-pian Aceh Besar mewujudkan gampong mandiri hanya berakhir sekadar mimpi.

Borni Kurniawan

Tingkat pendidikan Geuchik Perangkat Tuhapeut

Tidak tamat SD 0,8 0,0 0SD 4,1 2,5 8,2SLTP 22,1 7,4 18,9SLTA 58,2 59,0 48,4PT 14,8 31,1 24,6

100% 100% 100%(N=122) (N=122) (N=122)

Meretas Jalan MenujuGampong Mandiri

Page 33: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

32

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

Jjantho Baro adalah gampong di Aceh Besar yang penduduknya sebagian besar para transmigran dari Pulau Jawa. Mereka diboyong ke daerah itu sekitar tahun 1986. Menyimak foto-foto yang tersimpan baik di kantor Gampong Jan-tho, kita bisa melihat betapa kehidupan di sana saat itu penuh dengan semangat kebersamaan. Meski berasal dari suku Jawa yang berbeda dan hanya dipersatu-kan oleh program transmigrasi, mereka mampu hidup berdampingan dengan harmonis.

Kegiatan 17 Agustusan dan peringa-tan hari-hari besar agama selalu diisi ber-bagai kesenian dan budaya dari masing-masing daerah. Transmigran dari Jawa Tengah menampilkan wayang kulit. Yang dari Jawa Timur menyuguhkan Reog Po-norogo. Sementara warga dari Jawa Barat dan Banten menari Jaipong dan Pencak Kendang.

Tak hanya antar pendatang, interaksi sosial yang kental juga terjadi antara war-ga transmigan dengan budaya Aceh. Kini warga transmigran sudah fasih berbaha-sa Aceh. Bahkan, sudah tak terlihat lagi kalau mereka dulunya berasal dari Jawa. Selain itu, warga transmigran sudah ba-nyak yang menikah dengan warga Aceh. Keuchik Gampong Jantho Baro sendiri, yang berdarah Aceh, menikah dengan

perempuan kelahiran Boyolali. Pernika-hannya dulu dirayakan dengan dua adat, Jawa dan Aceh.

Konflik berkepanjangan antara GAM dengan RI sempat mem-perkeruh kehidupan di gampong ini. Tahun 1997-an ke belakang,

gampong ini dihuni sekitar 450-an KK. Saat konflik memanas, banyak

warga eksodus keluar daerah, termasuk yang kembali ke daerah

asal. Mereka rela menjual rumah beserta lahannya sebagai bekal pulang kam-pung. Saat banyak warga yang eksodus, jumlah KK yang bertahan tinggal 82-an KK. Setelah kondisi kembali pulih paska penandatangan MoU antara RI dan GAM di Helsinski, Gampong Jantho Baro pun kembali ramai. Meski banyak warga ti-dak kembali, saat ini gampong Jantho Baro dihuni oleh sekitar 302 KK.

FGD di Jantho Baro 28 Nopember 2008 sungguh memberikan kesan dan pelaja-ran yang cukup berbeda. Heterogenitas di sana memancarkan potret kehidupan sosial, budaya dan politik yang berbeda dibanding gampong lain yang lebih ho-mogen. Selain itu, perkampungan Jantho Baro yang lebih dekat dengan akses pe-merintahan kabupaten, memungkinkan adanya perhatian yang berbeda terhadap akses pembangunan.

Pertama, perbedaan geneaologi bu-daya di Jantho Baro ternyata tidak me-nimbulkan sekat sosial. Heterogenitas suku diantara aparat pemerintahan, mi-salnya, memunculkan corak komunikasi yang terbuka. Tak seperti FGD di gam-pong-gampong lainnya, di Jantho Baro tampak sekali sebuah pola hubungan yang sinergis namun dialektis. Tuha peut (BPD) di sana lebih resisten terhadap pemerintah gampong namun dimanis. Amirudin, salah satu anggota tuha peut, sepanjang diskusi selalu berpendapat berbeda dengan Sekdes pemerintah gam-pong tentang kinerja pemerintah gam-pong. Saat moderator forum menanya-kan pelaporan pembangunan gampong, Sekdes mengatakan bahwa setiap tahun pihaknya mengeluarkan laporan pertang-gungjawaban. Di luar dugaan, Amirudin pun menyangkalnya. Tuha peut samase-kali belum pernah menerima laporan dari

Bukan Berarti BesarDekat Pusat Pemerintahan

Jatah Kue Pembangunannya

Manifesto

pemerintah gampong. Kedua, meski gampong Jantho Baro

dekat dengan pusat pemerintahan Aceh Besar, gampong ini tak punya akses yang besar terhadap kue pembangunan. Surat-min, salah satu tokoh pemuda setempat mengatakan, akhir-akhir ini gampong-nya malah lebih banyak menerima ban-tuan dari lembaga donor seperti CARDI dan AIPRD-LOGICA. CARDI misalnya, telah menyumbangkan seperangkat ra-dio amatir yang sekarang telah menjadi aset pemerintahan gampong. Sementara AIPRD-LOGICA telah memberikan ber-bagai pelatihan hingga asistensi pem-buatan RPJMG dan RKPG Jantho Baro. Sebaliknya, Suratmin mengaku pihak pe-merintah kabupaten tak begitu memper-hatikan kebutuhan gampongnya. Bukti-nya, ujar Suratmin, Pemkab tidak pernah merespon proposal pembangunan dari gampongnya.

Menyambut argumentasi Surat-min, Sekdes menyatakan bahwa proyek pembangunan yang masuk ke Jantho Baro adalah proyek-proyek siluman. Ar-tinya, proyek itu bukan proyek usulan warga dan masuk dalam perencanaan gampong. Tanpa ada pemberitahuan dari Pemkab, tiba-tiba ada pembangunan jem-batan, bendungan dan irigasi. Sebaliknya, usulan pembangunan dari gampong tak pernah terealisasi.

Soal serupa dihadapi sektor keseha-tan, khususnya yang ditangani para ka-der posyandu. Menurut Rosilawati, pos-yandu yang ditanganinya tak banyak me-nerima bantuan. Tahun 2008 posyandu yang dipimpinnya dibantu Pemkab sebe-sar Rp. 2 juta yang dimasukan dalam Alo-kasi Dana Gampong dengan rincian Rp. 500 ribu untuk posyandu dan Rp. 1,5 juta untuk kegiatan PKK. Tahun sebelumnya, PKK juga pernah mendapat bantuan dari Pemkab sebesar Rp. 1,5 juta tapi dipotong pihak kecamatan sebesar Rp. 500 ribu. Menurutnya dana sebesar Rp. 500 ribu tidak cukup untuk membiayai kegiatan posyandu. Untuk menutup kekurangan biaya perbaikan gizi balita yang diseleng-garakan tiap bulan, akhirnya kader-kader posyandu harus patungan atau iuran.

Borni Kurniawan

Ilustrasi: Agus Harnowo

Page 34: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

33

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

SSejak Berdiri 1756, Kota Yogyakarta telah mengalami perjumpaan dengan agama-agama besar di dunia seperti Hin-duisme dan Budhisme, Islam dan Kristen. Juga dengan budaya-budaya besar dari luar seperti Eropa, Cina, Arab, dan India, kemudian disusul budaya-budaya dari berbagai wilayah nusantara.

Dalam kurun waktu dua setengah abad, Kota Yogyakarta bertumbuh pelan-pelan menjadi sebuah kota dengan basis budaya Jawa dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang terbuka dan inklusif bagi kultur yang lain. Dalam perjalanan-nya, Kota Yogyakarta juga berpredikat kota Pendidikan dan city of tolerance. Ke-dua predikat ini saling berhubungan satu sama lain dalam membentuk multikul-turalisme Yogyakarta.

Maka, hakikat dan kualitas toleransi yang dimiliki kota Yogyakarta pun ba- nyak ditentukan oleh relasi-relasi intelek-tual. Seandainya Kota Yogyakarta adalah kota industri maka pola-pola interaksi sosial dan bentuk-bentuk toleransi yang dihasilkan pun akan berbeda. Warga Yogyakarta memandang predikat city of tolerance yang disandang mempunyai kontribusi terhadap berbagai prestasi yang diraih kota ini. Toleransi yang yang didalamnya mengandung makna yang melampaui pengertian toleransi antar suku/etnis, agama, dan kebudayaan.

Toleransi dalam konteks ini menyen-tuh aspek struktur sebuah masyarakat di mana tidak ada kesenjangan sosial dan ekonomi yang tidak dijembatani di dalam masyarakat yang dapat memicu konflik antarkelompok masyarakat. Karena se-mangat toleransi dalam pengertian ini pula maka para warga, tanpa membeda-kan status dan kelas sosial, bisa memiliki tingkat kekompakan yang tinggi dalam

menjaga ketertiban, kebersihan dan kein-dahan kota sebagai tanggung jawab ber-sama.

Berangkat dari cara pandang di atas, realitas multikultural Kota Yogyakarta menyangkut pengakuan dan memperhi-tungkan semua komponen masyarakat Kota Yogyakarta dengan segala realitas kehidupan mereka. Dengan demikian, tidak ada kelompok masyarakat yang merasa dipinggirkan dan tidak mendapat perhatian yang layak dari pemerintah kota dan masyarakat lain.

Sejalan dengan itu semua, kehadiran buku yang ditulis Herry Zudianto ini, dengan dalam segala kekurangan dan kelebihannya, menawarkan persepektif tersendiri dalam melihat dimensi-di-mensi kehidupan sosial yang amat men-dasar dan penting dalam menjaga dan

merawat kebersamaan.Salah satu persoalan yang amat pen-

ting dalam buku ini adalah bagaimana mengelola perbedaan dengan cara-cara demokratis, dialogis, dan santun sesuai tatakrama kultur yang mengakar. Jika paradigma resolusi konflik pada umum-nya mengedepankan pengelolaan perbe-daan, maka buku ini menawarkan sebuah pradigma khas: bagaimana mengelola kesamaan untuk merawat kebersamaan agar tidak terkikis oleh wacana-wacana dikotomis yang dibawa oleh perbedaan.

Keberanian dan kemampuan untuk melihat kesamaan-kesamaan yang dimili-ki seseorang atau sekelompok masyara-kat dengan pihak lain berfungsi sebagai filter untuk tidak serta-merta meman-dang mereka yang lain dengan segala perbedaan sebagai lawan. Sebaliknya, ke-mampuan mengindentifikasi kesamaan-kesamaan berfungsi sebagai langkah etis untuk menghargai perbedaan tanpa niat untuk mengubah mereka yang lain agar menjadi sama dan seragam sesuai dengan kemauan kita (hal. 152). Kesamaan yang hendak diidentifikasi itu juga melampaui pengertian kesamaan identitas.

Dialog dan masalah etika komunikasi sebagai syarat demokrasi, sebagaimana digali dan diangkat dalam buku ini, jadi inspirasi yang amat berharga untuk me-maknai kesamaan: kesamaan atau kese-taraan sebagai patner dialog yang men-junjung tinggi penghargaan terhadap martabat manusia dan posisi sosial ma-sing-masing; kesamaan dalam semangat mencari titik temu dalam memecahkan persoalan yang ditimbulkan oleh perbe-daan cara pandang; dan kesamaan untuk mau berubah secara bersama-sama.

Kesamaan-kesamaan dalam penger-tian ini lebih dari sekadar kesamaan yang diwariskan, melainkan kesamaan dinamis, kesamaan yang terus-menerus diupayakan untuk menemukan common-platform dalam rangka membangun kese-pakatan bersama.

Jika ada yang dapat disebut sebagai kegelisahan dalam buku ini, maka kege-lisahan itu adalah gejala menguatnya in-divialisme yang telah menggerogoti ham-pir semua aspek kehidupan warga DAN mengancam wajah Kota Yogyakarta menjadi kapitalis, individualis, dan ma-terialistis, jauh dari filosofi tepo seliro dan humanisme. Kegelisahan seorang warga kota (citizen) yang kebetulan menjadi wa-likota yang bertanggung jawab menge-vlola tata kehidupan sebuah komunitas masyarakat warga (society) dalam kota.

M. Nurul Ikhsan,Peneliti pada Central for Humankind and

Cultural Studies (CHCS), Yogyakarta

Multikultural

Kekuasaan sebagai Wakaf Politik; Manajemen Yogyakarta Kota MultikulturHerry ZudiantoImpulse dan Kanisius, YogyakartaI, 2008 vii + 167 halaman

judul buku

penulispenerbitCetakan

tebal

Pustaka

Pertaruhan

Jogja

Page 35: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

34

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 Gagas FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

L

Regulasi Pemilu

lahirnya uu No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, di satu sisi, oleh beberapa pi-hak dianggap sebagai kabar baik bagi kaum perempuan. UU 10/2008 menegaskan substansi kebijakan kuota sedikitnya ter-dapat 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif Parpol (Pasal 53), dimana setidaknya 1 dari 3 calon legis-latif yang diajukan partai politik adalah kaum perempuan (Pasal 55 Ayat 2). Sementara itu, UU 2/2008 menegaskan kuota 30 persen dalam pembentukan dan kepe-ngurusan organisasi partai politik (Pasal 2 Ayat 2).

Tapi di sisi lain, kelahiran kedua UU tersebut dirasa masih belum menjawab kebutuhan representasi politik perempuan. Sanksi dalam UU 10/2008 bagi Parpol yang tak memenuhi kuota sangatlah lemah. UU 10/2008 ini pun gagal membaca konteks sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang selama ini memarjinalkan kaum perempuan. Penetapan syarat yang sama antara kandidat laki-laki dan perempuan, di tengah gamblangya ketimpangan akses pendidikan laki-laki dan perempuan, menunjukkan betapa abainya UU 10/2008 ter-hadap permasalahan, constraints, serta konteks yang mengha-dang kaum perempuan.

Di level lokal, kebijakan kuota sebagai mandatori juga ti-dak ditekankan oleh UU 2/2008 di dalam pembentukan dan kepengurusan organisasi partai politik. Kelemahan berikut-nya, UU ini tidak assertive untuk menjamin akses perempuan dalam decision making di Parpol. Pasal 27 UU 2/2008 hanya mengatur bahwa pembuatan kebijakan di Parpol dilakukan secara demokratis, tanpa memberi “tindakan khusus” agar perempuan punya akses dan pengaruh dalam pembuatan ke-bijakan di Parpol.

Menimbang berbagai limitasi tersebut, ketika kedua UU ini diundangkan, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan kuota akan terjebak dalam “the politics of presence”. “Politik kehadiran”, ujar Carol Bacchi (2006: 36), adalah suatu kondisi dimana sebuah kebijakan sudah merasa cukup dengan keha-diran kaum perempuan dalam lembaga politik, tanpa secara serius menelusuri apakah kehadiran tersebut telah dan akan berkontribusi bagi perubahan kebijakan yang lebih gender-aware. Implikasinya, kata Gaventa (2005: 12), kebijakan kuota tidak akan secara cukup menggeser ruang yang diklaim oleh kaum laki-laki sebagai wilayah kekuasaannya (men’s claimed space of power).

Terlepas dari berbagai limitasi di atas, substansi kebijakan kuota dalam UU 2/2008 dan UU 10/2008 sejatinya mencer-minkan pengakuan betapa hak pilih dalam Pemilu tidaklah

cukup untuk membuat perempuan setara dengan laki-laki—sebagaimana temuan Sinha (2006: 11) ketika menganalisis kebi-jakan kuota di India.

***Peraturan mengenai kuota pada

dasarnya merupakan salah satu bentuk perjuangan kaum feminis liberal untuk ke-setaraan gender. Signifikasi regulasi kuota beranjak dari asumsi dasar bahwa perem-

puan telah sekian lama termarjinalkan dari proses pembu-atan kebijakan publik. Padahal, setiap kebijakan tak hanya berdampak bagi kaum laki-laki saja melainkan juga kaum perempuan. Baik langsung maupun tak langsung, berbagai kebijakan semisal di bidang kesehatan, infrastruktur (sarana air, sanitasi, jalan), pendidikan bahkan punya implikasi spesi-fik bagi kaum perempuan.

Di sinilah pentingnya perempuan untuk duduk di legisla-tif. Dengan menjadi legislator—melalui fungsi legislasi, peng-anggaran, dan pengawasan—kaum perempuan bisa memas-tikan bahwa setiap kebijakan berlandaskan perspektif gender dan menjawab persoalan perempuan. Kuota, ujar Dahlerup dan Freidenvall (2005: 30), bisa menjadi jalan pintas guna me-ningkatkan keterwakilan politik perempuan.

Dipengaruhi secara kuat oleh wacana GAD (Gender and Development), kuota perempuan di parlemen juga bagian dari upaya meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan. Kuota perempuan di parlemen menjadi salah satu wujud im-plementasi pendekatan GAD dimana perempuan lintas kelas, etnis, latar belakang sosial ekonomi memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan, termasuk dalam governing process (Guldvik, 2003: 2-11). Kuota perem-puan di parlemen menegaskan kesamaan hak untuk memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat, bukan saja antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, tetapi juga antarkaum perempuan yang saling berbeda kelas, asal-usul daerah, stratifikasi sosial, dan latar belakang ekonomi.

Selain dipengaruhi gerakan feminis liberal dan wacana GAD, penekanan terhadap kuota perempuan dipengaruhi pula oleh introduksi konsep dan praktik demokrasi liberal, terutama di negara-negara berkembang (Jones, 2006: 10). Bagi kaum feminis dan advokat kesetaraan gender, diperkenalkan-nya konsep dan praktik demokrasi liberal—yang membuka keran aspirasi bagi masyarakat pada khususnya di negara berkembang—ternyata tidak berdampak signifikan terhadap semakin terbukanya kesempatan bagi kaum perempuan un-tuk terlibat dan dilibatkan dalam proses pengambilan kepu-tusan.

Tak Peka Gender

Page 36: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

3�

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 Demokrasi Perwakilanyang Minim Keterwakilan FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 Demokrasi Perwakilanyang Minim Keterwakilan

Demokrasi liberal, oleh Pateman (Rai, 2000: 2), dinilai memberikan privilege secara dominan bagi kaum laki-laki. Oleh karena itu, diperkenalkannya dan perlu ditekankannya peraturan mengenai kuota perempuan di parlemen merupa-kan upaya konkret untuk memastikan bahwa demokrasi libe-ral tidak dibajak dan didominasi oleh kaum laki-laki (yang umumnya miskin perspektif gender); dan agar kaum perem-puan memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dan dili-batkan dalam proses pengambilan keputusan.

Setelah menilik tiga perspektif di atas, orientasi regulasi tentang kuota perempuan di parlemen pun menjadi jelas. Yakni untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang di-ambil telah dikerangkai perspektif gender dalam arti pro-blem, konteks, dan dampak kebijakan yang secara spesifik berpengaruh bagi kaum perempuan telah dipertimbangkan. Harapannya perempuan menjadi lebih berdaya secara politik sehingga mampu mengakses sumber daya (resources) ekono-mi dan kekuasaan, menjadi bagian dari pengambil keputusan (agency), serta menikmati hasil (achievements) dari akses sum-ber daya dan pengambilan keputusan tersebut (Kabeer, 1999: 436-438).

Lahirnya kebijakan kuota perempuan di parlemen di In-donesia juga tak lepas dari pengaruh tiga perspektif tersebut. Meski sangat lamban, peraturan mengenai kuota—dari UU 13/2003 yang mengatur Pemilu 2004 ke UU 10/2008 dan UU 2/2008—terus menunjukkan progres yang positif bagi keter-wakilan politik perempuan. Dari sebelumnya yang sekadar ”introduksi” kuota, ke regulasi yang memiliki sanksi (meski lemah), dan menegaskan kuota perempuan dalam pemben-tukan dan kepengurusan Parpol.

***Sayangnya, perkembangan evolutif dari regulasi Pemilu

tersebut telah terbajak oleh lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi N0m0r 22-24/PUU-VI/2008. Mahkamah Konsti-tusi (MK) mengabulkan uji materi UU No 10 Tahun 2008 yang diajukan politisi PDIP Muhammad Sholeh dan Caleg Partai Demokrat Sutjipto. Keduanya memandang, sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut serta kuota perem-puan dalam daftar urut caleg bersifat diskriminatif. MK lalu memutuskan, sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. Penetapan kemenangan Caleg pun akhirnya didasarkan perolehan suara terbanyak. Sedangkan keberatan pemohon bahwa kuota adalah tindakan diskrimi-natif, MK memutuskan UU 10/2008 tetap konstitusional.

Bagi sebagian orang, keputusan MK ini lebih fair bagi kaum perempuan. Perempuan bisa leluasa bersaing tanpa perlu ter-belenggu kebijakan partai yang oligarkis dan memihak laki-

laki. Dengan asumsi everything is being equal atau dalam istilah ekonomi biasa disebut sebagai ceteris paribus, bisa jadi memang demikian. Tapi faktanya, kita tidak sedang berada dalam kon-disi (circumstances) yang ceteris paribus. Dalam berpolitik, laki-laki dan perempuan tak berada di garis start yang sama. Laki-laki telah lebih dulu menikmati akses pendidikan, beraktivitas sosial, dan pekerjaan dibanding kaum perempuan. Konstruksi sosial juga berada di pihak laki-laki sehingga selama ini mere-ka punya akses ke decision making yang lebih besar.

Dengan berbagai keunggulan tersebut, kapital kaum laki-laki dalam meretas karir politik cenderung lebih besar dari-pada kaum perempuan. Lantaran menafikan berbagai aspek di luar kondisi yang ceteris paribus, maka putusan tersebut menjadi tak relevan terhadap keadilan dan kesetaraan gen-der. Jika Pemilu 2009 kita pandang sebagai fase lanjut progres kuota perempuan dari Pemilu 2004, maka putusan MK sejati-nya telah mengaborsi satu fase penting perkembangan gender reform di Indonesia.

Merespon putusan MK, KPU berupaya menawarkan ide “kursi ketiga” dan menggodognya sebagai Perpu. Dengan aturan “kursi ketiga”, Parpol yang memenangkan tiga kursi (diasumsikan jika dimenangkan ketiga-tiganya oleh Caleg laki-laki) di sebuah daerah pemilihan (Dapil), harus menyerah-kan kursi ketiga mereka kepada Caleg perempuan. Meskipun suara Caleg pemenang kursi ketiga itu lebih besar dibanding perolehan suara Caleg perempuan.

Ide ini bertujuan menjalankan amanat UU Pemilu tentang keterwakilan perempuan. Tanpa menafikan itikad baik KPU, ide tersebut masih terkesan minimalis. Dengan hitung-hitun-gan probabilitas, mempertimbangkan jumlah partai yang ja-mak (38), serta persaingan yang sangat ketat, kita bisa meng-alkulasi ada berapa partai yang akan memenangkan tiga atau lebih kursi di satu Dapil. Tentu tidak banyak. Prospek perem-puan untuk duduk di parlemen, dengan demikian, masih be-lum terjamin. Itu pun masih mendapat tentangan. Ide “kursi ketiga” dianggap tak sesuai, dengan argumen bahwa kebi-jakan kuota di UU Pemilu bukan untuk (winnable) seat, tetapi untuk kandidasi (Kompas, 16/01/2009). Gender reform makin tidak mendapat tempat.

Dalam Pemilu 2009 ini langkah perempuan makin berat. Perempuan mesti menata kembali strategi untuk memper-juangkan keterwakilannya di parlemen. Pengawalan kebi-jakan yang berperspektif gender mesti semakin ketat meng-ingat jumlah kaum perempuan dalam lingkaran policy makers makin tidak memperoleh jaminan. Affirmative action pun mesti ditegaskan di dalam konstitusi sebagai amanat yang manda-tory supaya kesetaraan gender di masa depan menjadi lebih pasti.

Oleh Laila Kholid AlfirdausDosen Ilmu PemerintahanFISIP Universitas Diponegoro

Page 37: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

36

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

P

Kupas

pada awal datang di Kota Adelaide, South Australia, awal September tahun lalu, ada yang ganjil ketika harus pergi ke mal atau pasar. Saya sebut ganjil karena lazimnya pergi ke mal atau pasar kita tak perlu repot-repot membawa tas sendiri. Para pedagang atau penjual di pasar, apalagi di supermarket, tentu sudah me-nyediakan tas plastik untuk para pem-belinya. Tetapi tidak demikian dengan di Adelaide. Saya harus membawa plastik sendiri. Bukan tas plastik atau tas kresek, melainkan semacam tas kain yang bisa digunakan berkali-kali.

Memang, karena telah lama menjadi kebiasaan dalam berbelanja, menjadi su-lit meninggalkan tas plastik. Selain kare-na kita kadang terlalu repot membawa sendiri tas plastik ketika harus pergi be-lanja, pihak pedagang atau supermarket juga masih menyediakan tas plastik. Ter-kadang, tas plastik ini juga menjadi ruang iklan tersendiri bagi supermarket.

Selama 5 bulan ini, jika saya pergi be-lanja ke pasar atau supermarket dan lupa tidak membawa tas, petugas kasir atau pedagang masih menyediakan tas plas-tik. Tapi tiba-tiba saja, menjelang akhir

Februari ini, ketika berbelanja ke pasar seperti biasa, saya kaget bahwa toko ikan yang biasa saya kunjungi sudah mema-sang pengumuman: mulai awal Mei 2009 ini, toko tidak lagi menyediakan tas plas-tik. Apa yang terjadi?

***Perbincangan hangat yang tengah

berlangsung di South Australia, di sela-sela berita kebakaran hebat yang me-landa Negara Bagian Victoria, adalah soal larangan tas plastik. Ya, parlemen di Negara Bagian South Australia memang telah menyetujui aturan tentang penggu-

Selamat Tinggal Tas Plastik...

Foto

: Adr

ozen

Ahm

ad

Page 38: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

3�

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009Selamat TinggalTas Plastik

naan tas plastik pada medio November 2008 lalu.

Aturan baru itu disebut Plastic Shop-ping Bags (Waste Avoidance) Bill. Sosial-isasi, kampanye, hingga pelaksanaan aturan dilakukan bertahap mulai Januari hingga Mei 2009. Inti regulasinya adalah larangan bagi para pedagang, termasuk supermarket, untuk memberikan tas plastik kepada pembeli. Jenis tas plastik yang dilarang adalah tas plastik ti-pis dan ringan (istilahnya lightweight plastic bags).

Tak perlu panik dulu. Tidak semua jenis tas plastik dilarang. Setelah 4 Mei 2009, pemerintah tetap mengizinkan penggunaan tas plastik berbahan kompos (compostable bags) untuk dipakai di toko-toko. Tapi, tas ini pun harus berstandar Australia (The Australian standard AS 4736-2006). Selain itu, tas yang diperbo-lehkan adalah sejenis barrier bags atau tas putih yang biasa berbentuk gulung dan biasanya dipakai untuk mewadahi buah atau sayuran; paper bags, yakni tas yang bahannya dari kertas bekas; sturdy bags, yakni tas yang multiguna dan bahannya dari kain yang kokoh; serta heavier retail (“boutique”) bags, sejenis tas plastik yang biasanya dipakai untuk pakaian di super-market.

Tidak mengherankan jika di super-market atau di toko-toko kecil akan di-jumpai tas berukuran sedang yang ter-buat dari kain sehingga bisa digunakan berkali-kali dengan harga variatif sekitar 1-2 Dollar Australia (sekitar 7500-15.000

dengan kurs Rp. 7500). Dalam masa tran-sisi sebelum aturan larangan penggunaan tas plastik, toko maupun supermarket memang diharuskan menyediakan tas al-ternatif yang bisa dipakai pembeli.

Sejak awal Januari lalu, pemerintah Negara Bagian South Australia gencar melakukan kampanye dengan jargon “Bring Your Own Bags” atau disingkat menjadi byobags yang sekaligus menjadi nama situs terkait larangan tas plastik di South Australia (www.byobags.com.au). Maksudnya, warga diharapkan mem-bawa tas belanja sendiri ketika pergi ke pasar atau supermarket. Hal ini untuk membangun kesadaran dan membia-sakan masyarakat sebelum pemerintah memberlakukan aturan larangan pembe-rian tas plastik bagi pembeli pada awal Mei 2009.

Pemerintah South Australia juga me-nyiapkan sanksi jika ada yang melanggar. Denda yang diberlakukan tidak main-main, bisa mencapai 5000 hingga 20.000 Dollar Australia. Bagi pedagang yang ti-dak meyediakan tas alternatif selama fase sosialisasi atau justru menyediakan tas plastik yang dilarangn setelah 4 Mei akan dikenakan sanksi 5000 $A. Denda hingga 20.000 $A juga akan diberikan kepada penyetor (supplier) jika dengan sengaja memberikan atau menjual tas yang dila-rang pemerintah ke pedagang.

***Tas plastik sebagai bahan yang susah

dicerna atau diurai oleh bumi merupa-

kan sesuatu yang sudah cukup banyak diketahui masyarakat. Bahaya akan tas plastik juga telah banyak diketahui oleh masyarakat. Di perut bumi, sampah plas-tik berbahan konvensional dari polimer sintetik baru bisa terurai setelah ratusan tahun. “Kami sangat berharap bahwa regulasi tas plastik ini bisa menurunkan secara signifikan jumlah hewan laut yang tewas atau cedera setiap tahunnya aki-bat kantong plastik,” ujar Jon Dee, salah seorang aktivis Planet Ark, sebuah organ-isasi non-provit di Australia yang fokus pada isu-isu lingkungan.

Regulasi tentang sampah plastik di South Australia membuat negara bagian di Australia ini bergabung dengan bebe-rapa negara yang telah maupun sedang berupaya menuju ke arah yang sama, yakni larangan penggunaan tas plastik seperti China, Negara Bagian San Fran-cisco-Amerika Serikat, Bangladesh mau-pun Italia (regulasi baru akan dikenalkan pada tahun 2010).

Upaya daur ulang sampah plastik mungkin sudah banyak dilakukan beber-apa komunitas di Indonesia. Tapi tentu tidak salah jika pemerintah, entah mulai dari dusun atau desa, mulai membuat aturan yang lebih jelas mengenai peng-gunaan sampah plastik.

M. Zainal Anwar, Kontributor FLAMMA

Adelaide-South Australia.(Berbagai sumber)

Foto

-foto

: Zae

nal A

nwar

Foto

: Zae

nal A

nwar

Sejumlah seruan untuk beralih menggunakan tas yang ramah lingkungan tertera pada sejumlah tas yang dipakai di supermarket di Australia. Himbauan pemerintah dan kesadaran warga diharapkan dapat mengurangi bahaya efek pemanasan global.

Page 39: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

3�

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

M

Potensi

Simbol Tradisi di Tengah

Modernisme Arsitektur

Rumoh Acehdan kanan. Ruang untuk memajang foto adalah ruangan sebelah kiri. Me-masuki ruang tengah, pengunjung akan mendapati beberapa almari dan ruang berkaca. Almari-almari di ruangan ini tersimpan berbagai jenis tembikar yang terbuat dari keramik. Tembikar-tembikar tersebut dibuat pada zaman yang ber-beda. Yang jelas umurnya sudah ratusan tahunan. Tiga guci besar juga turut meng-hiasi ruangan tengah. Sementara itu, ada dua kamar berkaca di ruang tengah. Ma-sing-masing di sebelah timur dan barat. Masing-masing menyimpan berbagai perabot kerajaan seperti pakaian kebesa-ran, gading gajah yang ukurannya sangat besar, alat musik kerajaan, dan tempat tidur raja.

Di ruang sebelah kanan, pengunjung dihantarkan pada tata ruang yang ber-fungsi sebagai dapur. Sebagaimana dapur pada umumnya, ruangan ini mungkin sebagai tempat memasak. Kenapa mung-kin, pasalnya, kalau dipikir, mungkinkah proses memasaknya dilakukan di atas

melihat aceh dari sisi yang lebih dekat bisa Anda lakukan. Caranya, kun-jungilah salah satu museum di Aceh. Di museum yang terletak di sebelah utara pendopo gubernur NAD, berdiri kokoh sebuah rumah yang lebih dikenal dengan ”Rumoh Aceh”. Ya, rumah Aceh yang berbahan dasar kayu. Semua terbuat dari kayu. Mulai dari tiang, dinding, kuda-kuda, semua terbuat dari kayu. Atapnya saja yang berbeda, terbuat dari anyaman daun rumbia. Pilihan daun tentu karena untuk mengurangi beban bangunan.

Jika anda ingin masuk ke rumoh Aceh ini, tangga dan pintu masuk ada di ba-gian kiri depan dan kanan belakang ru-moh. Begitu pengunjung masuk dari pintu belakang, anda akan bertatapan dengan sederet lukisan para pejuang Aceh. Be-berapa di antara foto tersebut yaitu Cut Nyak Dien, Panglima Polem, Tengku Cik Ditiro, Cut Meutia, dan Sultan Sikandar Muda.

Tata ruang rumoh Aceh ini dibagi menjadi tiga ruang besar. Kiri, tengah,

Foto

-foto

: Bor

nie

Kur

niaw

an

Page 40: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

39

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 RumohAceh

rumah yang terbuat dari kayu. Tidak rentankah memasak di dalam dan di atas rumah yang terbuat dari kayu. Bisa-bisa kebakaran. Di ruang ini ada sejumlah peralatan masak seperti periuk, pawon (kalau sekarang kompor), dan alat dapur lainnya yang semuanya terbuat dari ta-nah, kayu dan bambu seperti tampah. Ternyata pawonnya sendiri tidak diletak-kan secara langsung bersentuhan dengan lantai rumah. Tapi diletakan di atas meja yang cukup lebar yang di atasnya telah dilapisi dengan semacam tanah liat. Nah, tanah ini sungguh mungkin bertujuan untuk mengurangi panas api dari tungku saat api menyala.

Di bawah rumoh Aceh terdapat beber-

apa artefak kuno yang semuanya melam-bangkan perkembangan peradaban Aceh. Lumbung padi besar yang terbuat dari anyaman bambu melambangkan betapa makmurnya Aceh dengan hasil pertanian. Pedati atau gerobak kayu dan beroda kayu melambangkan kemajuan di bidang alat transportasi pendukung pertanian. Di belakang pedati, terdapat alat penumbuk padi. Kalau di Jawa ada lesung, alat penumbuk padi di Aceh ber-beda. Alat penumbuk padi di museum ini sudah menggunakan teknologi pengung-kit. Seseorang yang hendak menumbuk padi, tinggal menggenjot tuas bagian belakang. Sedangkang padi diletakan di bagian ujung yang berfungsi sebagai pen-

umbuk. Tidak jauh dari lumbung padi ber-

bentuk silinder besar tersebut, terdapat dua potongan kayu yang berdiameter be-sar. Pertama yaitu kayu peureulak (peu-reulak boom) sebanyak dua buah. Yang satu berukuran panjang 250 cm, lebar 134 cm, tebal 7 cm dan satunya lagi memiliki ukuran panjang 352 cm, lebar 160 cm dan tebal 8 cm. Ukuran kayu yang sangat be-sar bukan. Kayu peureulak ini menurut informasi sebagaimana tertulis di atasnya adalah bahan untuk membuat perahu.

Tidak jauh dari kayu peureulak ter-dapat pula seonggok kayu besar yang dipotong melintang. Menurut informasi yang tertulis di atasnya, potongan kayu ini berasal dari pohon yang tumbuh dise-belah utara masjid raya Baiturrahman. Pohon itu bernama pohon Kohler (kohler boom) atau dalam bahasa Acehnya ”geu-lumpang”. Nama kohler diambil dari nama seorang panglima perang Belanda. Dulu, pada saat Belanda menjajah Aceh, di pohon inilah sang pemimpin Belanda berpangkat jenderal itu tewas di tangan pejuang Aceh. Tidak jauh dari lumbung padi, terdapat dua meriam.

Rumah-rumah panggung yang seje-nis masih mudah kita dapatkan di Aceh. Fenomena ini sangat berbeda dengan kondisi saat ini di Jawa. Masyarakat Jawa telah mengalami pergeseran identitas lo-kal. Simbol lokal berupa rumah adat joglo misalnya, telah tergantikan dengan mod-el rumah yang modern. Di Aceh, apalagi di pelosoknya, rumah-rumah panggung masih menjadi identitas kental yang su-lit tergantikan walau modernisme telah merasuki kultur sosial masyarakat Aceh.

Secara umum, rumah tradisional Aceh dibagi menjadi tiga ruang. Serambi depan disebut sramoe kaeue, bagian tengah disebut rambat. Bagian serambi belakang disebut likot. Serambi depan berfungsi sebagai ruang untuk menerima dan men-jamu tamu, tempat kegiatan agama sep-erti tahlil dan musyawarah. Ruangan ten-gah diapit dua ruangan tadi yaitu rambat dan sramoe likot. Nah, di sinilah terletak ruang keluarga. Selain berfungsi seb-agai ruangan keluarga, kawasan ini juga adalah area wanita yang hanya boleh di-jamah oleh sanak keluarga saja. Di bagian tengah ini kamar khusus untuk suami dan istri berada. Ruang ini disebut rumoh inong atau juree. Di ruang inilah suami is-tri melakukan upacara sakral. Akankah rumah-rumah tradisional Aceh bertahan di masa datang? Meski derasnya arus globalisasi yang mulai terasa di tanah rencong, semoga ciri khas lokal ini tetap berdiri tegak bersanding dengan teknolo-gi arsitektur bermahzhab modernis.

Bornie Kurniawan

Keterangan foto dari kiri atas ke kanan bawah: Rumoh Aceh; panggung rembug warga; lumbung dan pedati

Page 41: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

40

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

A

Potensi

Pabrik MiYANG MENGHIDUPI

Foto

-foto

: Adr

ozen

Ahm

ad

areal Bangunan buatan akhir 1930-an yang terletak sekitar 30 km ke arah barat kota Bantul itu lebih tampak seba-gai sebuah museum ketimbang pabrik mi. Tiang-tiang penyangganya masih kokoh berdiri, atapnya tampak utuh rapi, dan peralatannya serba lengkap. Namun semua itu seolah teronggok mati.

Tapi itu dulu sekitar tujuh tahun yang lalu. Sebelum Salmah (63 tahun) pemilik pabrik mi tradisional yang berlokasi di Dusun Bendo, Trimurti, Srandakan, Ban-tul, Yogyakarta ini didatangi sejumlah penambang pasir kali progo untuk me-minta pengoperasian kembali pabrik mi yang pernah berjaya pada kurun tahun 1940 hingga 1985 itu. Kala itu akhir ta-hun 2002. Sebagian penambang pasir kali progo yang notabene mantan karyawan di pabrik mi lethek bermerek ‘Garuda’ itu

merasa bahwa lahan pencaharian mereka mulai menyusut karena menipisnya pa-sir akibat dibangunnya sejumlah dam di kawasan hulu sungai progo. Sedangkan pabrik mi tempat mereka pernah berkarya itu sudah tutup sejak tahun 1985.

Begitu mendapat usulan dari para mantan karyawannya lantas bu Salmah, begitu sejumlah karyawannya menyapa-nya, menawarkan kepada salah seorang putranya, Yasir Ferry Ismatrada, untuk kembali membuka lahan berkarya yang pernah menghidupi sejumlah warga di desanya. Syahdan, Ferry pun bersedia. Dengan peralatan yang serba tradisional ia kembali memutar roda ekonomi untuk keluarganya dan sejumlah karyawannya.

Salmah adalah istri dari almarhum Ismed Bakir Saleh yang merupakan pe-milik pabrik mi generasi kedua setelah

mewarisi pabrik ini pada 1972. Bersama suaminya ia memegang tongkat estafet pabrik ini dari ayahnya, Umar Bisyir Nahdi, yang mendirikannya sekitar tahun 1940. Uniknya, ketika tampuk kepemim-pinan dialihkan kepada putranya ham-pir tak satu pun dari peralatan produksi yang sudah berumur sekian puluh tahun itu digantikan dengan peralatan modern yang lebih efisien produktivitasnya, ter-masuk silinder pengaduk adonan yang masih menggunakan tenaga sapi. Ala-sannya sederhana, agar pabrik mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. “Jika semua dilakukan dengan peralatan modern saya juga takut rasanya nanti akan berbeda,” ujar Salmah sembari mengisahkan kronologi pembuatan mi le-thek yang dalam cuaca cerah membutuh-kan masa produksi selama dua hari ini.

Page 42: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

41

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 Pabrik Miyang Menghidupi

Boleh dibilang pabrik mi dengan frekuensi produksi sebanyak 28 kali se-bulan ini sedikit banyak menopang ke-hidupan ekonomi masyarakat sekitar. Karena dari 40-an karyawannya sebagian besar adalah warga Dusun Bendo. Bah-kan yang menarik lagi adalah rata-rata usia mereka empatpuluh tahun ke atas dan hanya sekitar lima orang karyawan saja yang berusia tigapuluhan.

Seperti Yogo (75 tahun), lelaki yang mengaku sudah menjadi karyawan sejak masa awal berdirinya pabrik ini misal-nya, dalam usia yang boleh dibilang ti-dak lagi produktif itu masih saja ia terli-hat giat berkarya meski hanya bertugas di bagian penjemuran. Begitu juga dengan Kasiman (50 tahun), karyawan spesialis bagian pengaduk adonan dengan silinder ini mengaku bahwa ia sudah bergabung

sejak tahun 1976. Meski hanya dengan upah Rp8.000,00 per hari ia tetap berse-mangat bekerja untuk menghidupi pu-tranya yang berjumlah 3 orang.

Lain halnya dengan Yanto (46 tahun), karyawan bagian pengepakan ini bertu-tur bahwa ia baru 5 tahun ini bergabung. Namun ia sudah merasa cukup dengan upah Rp20.000,00 per hari untuk meng-hidupi keluarganya. “Saya baru bekerja di sini setelah pabrik mi milik saya tu-tup,” ujar ayah satu orang putra dan satu orang putri yang mengaku pernah me-miliki pabrik serupa dan akhirnya tutup akibat kurangnya tenaga pengelola.

Seperti halnya bagi sejumlah karya-wan lainnya, Yanto merasa bahwa apa yang membuat dia betah untuk tetap bekerja di pabrik mi itu adalah karena a-danya rasa kekeluargaan baik antar kar-yawan maupun dengan pihak pengelola. Seringkali pihak pengelola pabrik menye-diakan logistik tambahan berupa maka-nan ringan dan lain sebagainya.”Enaknya di sini makanan sudah terjamin dan pihak pabrik juga tidak mempermasalahkan faktor usia,” ujarnya sembari mengatakan bahwa sempitnya lapangan pekerjaan juga menjadi penyebab yang tidak bisa dielakkan terutama bagi para karyawan yang sudah tidak kuat lagi menambang pasir di sungai karena faktor usia.

Karena masa produksi selama dua hari, pihak pabrik membuat kebijakan mekanisme dua hari kerja satu hari libur. Kebijakan ini seringkali juga dimanfaat-kan oleh karyawan untuk ngompreng a lias mencari tambahan uang dengan me-naikkan pasir ke truk pengangkut pasir. Maklum, upah dari pabrik hanya berkisar antara Rp8.000,00 – Rp20.000,00 per hari tergantung keahlian kerja masing-ma-sing karyawan. Meski demikian upah dari hasil ngompreng juga tidaklah banyak. Antara duaribu hingga limaribu rupiah setiap satu truk per orang. “Tapi itu khu-sus bagi mereka yang masih muda-muda. Tapi kalau yang sudah tua ya ndak kuat,” tuturnya sembari tersenyum.

Saat ini kondisi pabrik mi yang me-makai bahan dasar campuran tepung ta-pioka dan tepung gaplek ini jauh melesat dibanding tujuh tahun yang lalu. Jika pada saat awal kebangkitannya Yasir Fer-ry Ismatrada harus dengan susah payah menawarkan produknya dari pasar ke pasar, namun sekarang mi produksinya sudah banyak diminati di Yogyakarta. Bahkan konon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyukai mi seharga Rp 6.500,00 per kilo ini dan memesannya se-cara berkala.

Adrozen Ahmad

keterangan foto dari kiri atas ke kanan: Silinder pengaduk adonan bertenaga sapi; mi ditata di atas papan bambu untuk dijemur; para karyawan yang sedang duduk beristirahat di antara jajaran papan penjemur.

Page 43: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

42

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

B

Figur

Begitulah kekhawatiran Gu-bernur Jenderal Idenburg dalam suratnya kepada salah seorang anggota dewan di negeri Belanda. Sebegitu berbahayanya seorang Douwes Dekker (DD) bagi Iden-burg, sehingga pejabat tertinggi bak dewa di tanah jajahan itu merasa perlu me-makai hak luar biasa, exorbitante rechten, menghukum tangkap-buang seseorang yang dianggap mengancam rust en orde.

Pemicu tindakan pemerintah Hindia Belanda tersebut ialah terbitnya artikel “Als Ik een Nederlander was” oleh Su-wardi Suryaningrat dalam koran De Ex-pres yang dipimpin DD. Sebuah artikel legendaris yang semenjak kemunculan-nya itulah pemerintah kolonial mulai serius mencermati kritik-kritik terhadap mereka. Tohokan Suwardi pada peme-rintah Hindia Belanda dilanjutkan oleh Tjipto Mangoenkoesoemo yang menulis

“Kekuatan atau Ketakutan”, kemudian dipungkas oleh DD yang menulis “Pahla-wan Kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat”. Maka lengkaplah alasan bagi pemerintah untuk menghu-kum tangkap-buang bagi tiga serangkai.

Pejabat Hindia Belanda melihat ba-haya mengancam karena Suwardi de--ngan jelas menunjukkan bahwa dirinya bisa menjadi “penghubung” yang baik, yang dapat membawa gagasan Douwes Dekker yang subversif kepada kaum bu-miputra.

Bagi kalangan kolonialis Belanda, Douwes Dekker dicap sebagai pembawa keonaran. Karena DD membawa gaga-san-gagasan politik yang dapat menjadi pedoman bagi kaum bumiputra yang sedang mencari bentuk untuk menampil-kan kesadaran politik mereka yang baru, menggerakkan pikiran dan gagasan, dan

DAlAm zAmAn bergerak, suatu masa

ketika kesadaran politik baru di kalangan

kaum bumiputra sedang bersemai,

Douwes Dekker tampil membawa gagasan

politik modern. Dialah pendiri Indische Partij, partai politik pertama

di nusantara.”Bayangkanlah Tuan,

pergerakan seperti SI dapat dipengaruhi oleh seorang seperti

DD. Bahaya yang akan ditimbulkan dan

tidak dapat dilihat dari luar lebih besar.

Pimpinan cabang-cabang SI dipegang oleh

intelektual muda yang dipengaruhi secara

pribadi oleh DD. Bagi kepentingan gerakan yang besar itu, saya terpaksa mengambil

tindakan…”

Douwes DekkerPartai Politik

dan Zaman Bergerak

Sumber foto: www.uni-giessen.de

Page 44: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

43

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009 Douwes Dekker

menghadapi kenyataan di Hindia Belan-da dalam suatu zaman yang Takashi Shi-raishi sebut dengan zaman bergerak.

***Mengenal Douwes Dekker, ada dua

sisi yang penting diketahui, yakni pergu-latannya dalam menentukan identitas ke-bangsaannya, yang berkonsekuensi pada pilihan gagasan politik yang ia genggam teguh dan perjuangkan. Dua sisi yang utuh menyatu dalam diri seorang Douwes Dekker sebagai salah satu tokoh peletak batu landasan pergerakan kemerdekaan nasional Indonesia.

***“…Hindia tidak berbangsa-ganda.

Hindia berbangsa Hindia, bangsa In-disch,” ucap Douwager atau Edu, seorang tokoh rekaan Pramoedya Ananta Toer dalam roman Jejak Langkah, sekuel ke-tiga dari Kuartet Buru yang hingga kini belum dicabut pelarangannya oleh Ke-jaksaan Agung. Melalui Jejak Langkah, Pramoedya bercerita perihal suatu masa di Hindia Belanda ketika gagasan politik dan perserikatan kaum bumiputra mulai tumbuh subur.

Dalam panggung sejarah itulah, tampil sosok orang berkulit putih yang membawa gagasan politik modern, peri-hal apa itu rapat raksasa, apa itu partai politik, bagaimana seharusnya seorang wartawan, apa itu pemogokan, dll. Dia adalah Ernest François Eugène Douwes Dekker yang lahir di Pasuruan, 8 Oktober 1879. Douwes Dekker juga memiliki da-rah Indonesia, yaitu dari nenek di pihak ibu, yang merupakan orang Jawa. Ken-dati dalam dirinya mengalir darah Eropa, DD tidak suka dengan sebutan Indo, se-dangkan sebutan Europeaan ia anggap se-bagai ejekan. Ketika DD berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Zurich, Swiss, dalam biodatanya DD tercatat sebagai “bangsa Jawa”.

DD masih terhitung saudara dari pe-ngarang buku Max Havelaar, yakni Edu-ard Douwes Dekker alias Multatuli yang merupakan adik kakeknya. Max Havelaar patut dicatat sebagai salah satu buku ber-pengaruh dalam sejarah Indonesia. Buku itu menyentak kesadaran warga negara Belanda, karena membeberkan keseng-saraan penduduk Hindia Belanda akibat tanam paksa. Konon, Max Havelaar men-jadi bacaan bagi orang-orang Belanda yang akan ditugaskan ke nusantara.

Sebagaimana kerabat tuanya, DD juga adalah seorang penulis ulung. DD adalah guru politik dan jurnalistik bagi tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Karena ki-prahnya dalam dunia jurnalistik, DD tak pernah absen disebut sebagai salah satu

tokoh perintis pers negeri ini. DD mulai sadar dengan nasionalisme

dan kemanusiaan setelah mendapat pen-galaman dalam Perang Boer di Afrika Selatan (1900-1902). Menarik dari peng-alamannya, DD berkesimpulan bahwa pemerintah kolonial di mana pun akan melakukan diskriminasi rasial. Model diskriminasi itupun diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda yang membe-lah golongan masyarakat Hindia Belanda menjadi Golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra. Dalam konstelasi terse-but, hadir masyarakat Indo. Umumnya mereka adalah keturunan dari perkawi-nan campuran antara Belanda Totok de-ngan perempuan pribumi yang sebagian besar berstatus sebagai Nyai. Golongan Indo secara formal masuk dalam status Eropa dan mereka condong mengidenti-fikasi diri dengan pihak Eropa, ini berarti mereka mengingkari asalnya dari pihak ibu. Pilihan sikap tersebut menyebabkan mereka berjarak dengan kalangan pribu-mi. Di lain pihak, golongan totok tak mau disamakan dengan golongan Indo. Secara ekonomis, pendapatan golongan Indo di bawah Belanda Totok. Posisi tersebut berdampak pada status sosial-politis mereka. Golongan Indo kurang berperan bahkan sukar memainkan peranan kepe-mimpinan, karena keterbatasan akses pada kekuasaan, kekayaan, dan status.

DD dengan lantang menentang pem-bedaan itu dan ia secara tegas memilih status kebangsaan sebagai warga Hindia. Melalui koran De Expres, DD mengajak golongan Indo untuk tidal lagi menyebut diri sebagai orang Eropa. “Ik ben Indisch, Ik ben Indonesier! Aku seorang Indo, aku berbangsa Indonesia!” seru DD.

Tak sebatas membaptis diri sebagai

orang Indonesia, DD mendirikan Indische Partij (IP) pada tahun 1912, partai poli-tik yang menghimpun semua golongan bangsa di Hindia Belanda, termasuk ke-turunan asing. Melalui kendaraan partai politik pertama di Hindia Belanda inilah DD sekaligus menjadi yang pertama me-ngajukan tuntutan merdeka dari negeri Belanda, dengan semboyan “Hindia un-tuk orang Hindia”.

DD membawa gagasan-gagasan poli-tik modern ke Hindia Belanda. Dialah yang memperkenalkan apa itu partai poli-tik dan bagaimana menjalankan kendara-an politik itu untuk menghimpun massa menjadi rapat raksasa. Pada 25 Desember 1912, IP mengadakan rapat raksasa per-tama di Hindia Belanda. Peristiwa politik itulah yang menginspirasi munculnya rapat-rapat raksasa pada kemudian hari di Hindia Belanda, sebagaimana kemudi-an diadakan oleh Sarekat Islam pada Ja-nuari 1913, yang berhasil mengumpulkan sepuluh ribu orang dengan Tjokroami-noto sebagai motornya.

***IP tidak berumur panjang, pemerin-

tah Hindia Belanda tidak mengijinkan partai politik ini hidup lebih lama. Na-mun, tak berarti gagasan-gagasan politik yang diinisiasi DD turut mati. Sartono Kartodirdjo menulis bahwa para pe-mimpin pergerakan adalah akumula-tor ide-ide revolusioner. Dari merekalah massa rakyat mengenal konsep-konsep nasionalisme, demokrasi, humanisme, keadilan, dll. Gagasan perihal persatuan dari IP ini kemudian dilanjutkan oleh to-koh-tokoh pergerakan dan partai-partai politik di kemudian hari. Gagasan per-satuan tersebut menjadi salah satu unsur dalam manifesto yang diusung oleh Per-himpunan Indonesia (PI) yang kemudian menjadi rujukan bagi banyak kalangan pergerakan di Indonesia.

***DD meninggal dunia di Bandung,

pada 28 Agustus 1950. Dengan begitu, ia dapatlah dikatakan beruntung karena termasuk salah satu tokoh dari generasi pemula pergerakan nasional yang sem-pat melihat bangsanya merdeka, seb-agaimana Suwardi Suryaningrat dan Haji Agus Salim. Serupa tapi tak sama dengan Suwardi Suryaningrat yang mengubah namanya, kemudian jadi lebih populer sebagai Ki Hadjar Dewantara; DD meng-ganti namanya menjadi Danudirdja Se-tiabudhi. Kendati demikian, ia tetaplah dikenang sebagai Douwes Dekker yang berkulit putih dan berkumis pirang.

Ahmad Subhan

“…Hindia

tidak berbangsa-

ganda. Hindia

berbangsa Hindia, bangsa

Indisch...

Page 45: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

44

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

Ppemenang harapan I Du-ta Yogyakarta Pemilihan Putri Indonesia 2005, Gilang Desti Parahita (25 tahun), tampak sibuk menjadi guide salah seorang profesor dari Univer-sity of Colombo, Prof. Uyango-da Jayadeva, selepas acara public lecture untuk program S2 ‘HAM dan Demokrasi di Asia Tenggara’ di ruang seminar Fisipol UGM beberapa hari yang lalu. Ganti profesi? “Nggak, cuma mengantar aja,” ujar lulusan Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan IImu Politik UGM yang lulus setahun yang lalu ini sambil tersenyum.

Mulai awal tahun ini, gadis kelahi-ran Yogyakarta, 21 September 1984 itu, sibuk menempati jabatan barunya seba-gai staf peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT). Selain karena minat, ia menegaskan bahwa seorang lulusan jurusan komunikasi tidaklah harus berprofesi tertentu seperti menjadi wartawan, misalnya. Ia menggambarkan bahwa dalam dunia penelitian seseorang bisa memperluas jaringan sekaligus mengadakan perubahan di masyarakat melalui wacana dan kerja nyata. “Kalau menjadi wartawan kan tidak bisa se-idealis itu,” papar gadis yang sebelumnya menduduki jabatan sebagai sekretaris eksekutif di PSSAT ini serius.

Alasan dia memilih PSSAT karena menurutnya lembaga ini berfokus pada studi kawasan yang hingga sekarang masih ja-rang digarap oleh institusi penelitian lain. “Keunikan studi ka-wasan ini adalah bukan pada gagasan tentang bagaimana nega-ra memperlakukan warganya. Namun sebaliknya, bagaimana warga memandang negaranya,” tegas dara penyuka film Before Sun Rise dan Before Sun Set ini.

Menjelang hari-hari pencontrengan pada pemilu April 2009 nanti, saat ditanya partai apa atau caleg mana yang akan dia pilih, lajang berambut panjang ini hanya menggeleng. Menu-rutnya kampanye yang selama ini digencarkan oleh sejumlah partai maupun caleg secara pribadi masih belum mampu me-narik simpatinya. “Rekam jejak calegnya aja belum kelihatan, bagaimana (saya) mau memilih?” ujarnya malah balik tanya.

Lantas bagaimana kelanjutan petualangannya di Ajang Pemilihan Putri Indonesia? “Ah itu kan cuma ajang untuk senang-senang saja,” ujarnya sembari bertutur bahwa di masa mendatang ia berharap bisa meneruskan studi S2 di salah satu negara entah di Eropa, Australia, atau Singapura.

Baiklah Gilang, semoga harapanmu segera terwujud.

Adrozen Ahmad

A

Sosok

anna marie Brightman terkejut campur gembira. Warga Dusun Karang Kulon, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Ban-tul, Yogyakarta, menyambutnya dengan sangat hangat. Sejak awal Februari 2009 lalu hingga setahun ke depan, Anna menjadi warga “dadakan” di salah satu dusun yang merupakan sentra industri batik tulis di Bantul tersebut.

“It has been extraordinary, luar biasa Mas,” ujar mahasiswi S3 di School of Geography, Politics and Sociology, Faculty of Hu-manities and Social Sciences, Newcastle University, Inggris ini.

Di Dusun Karang Kulon itulah, Anna tengah melakukan riset doktornya yang berjudul “Paying the Price of Disaster: An Eth-nography of New Economic Institutions, Informal Economies, and Recovering Livelihoods in Post-Earthquake Yogyakarta”. Dalam hal ini, IRE menjadi mitra riset Anna membantu dalam hal diskusi, literatur, dan sebagainya.

Anna merasa para tetangganya sangat baik hati. Saat ia beru-saha mempelajari beberapa kata dalam bahasa Jawa, hampir se-tiap orang ingin mengajarinya. Ia juga sering mendapat kiriman makanan, yang tentu saja itu masakan khas Jawa.

Dan ketika ia ingin belajar memasak masakan khas Jawa di dapur yang khas Jawa pula, lagi-lagi ia merasa hampir semua orang, dalam hal ini ibu-ibu, ingin mengajarinya. “Seolah men-jadi anak-anak lagi, melihat ibumu untuk belajar yang ia ker-jakan,” katanya.

Selama sebulan lebih ini Anna telah menghadiri beberapa pertemuan warga, termasuk ikut kerja bhakti, serta diundang dalam berbagai acara kampung. Ia pun telah mengunjungi 14 dari 16 kepala dusun yang ada di Wukirsari. Dari sekira 15 ribu warga Wukirsari, Anna merasa telah bertemu separuhnya. “Wah, sulit sekali mengingat semua nama dan wajah para tetangga. Tapi usaha saya ternyata tidak sia-sia juga ,” katanya dengan wajah sumringah.

Selain melakukan risetnya, Anna juga sibuk memberi les bahasa Inggris kepada anak-anak setiap sore dan jogging pagi bersama ibu-ibu. Hm…betah ya tinggal di desa.

Ashari Cahyo Edi

Anna Marie Brightman

Betah HidupGilang Desti Parahita

Menjadi

Foto: Adrozen A

hmad

Foto: Ashari Cahyo Edi

Peneliti di Desa

Page 46: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

Ya! Saya ingin berlangganan majalah FLAMMA

Nama/lembaga :............................................................................................Alamat :............................................................................................ ............................................................................................Kota :.......................................................... Kode Pos:................. Telepon/fax :............................................................................................

Saya memilih untuk berlangganan majalah FLAMMA sebanyak (pilih salah satu): 1 edisi Rp. 9.500 4 edisi Rp. 32.000 6 edisi Rp. 45.000 8 edisi Rp. 56.000

(ditambah ongkos kirim, Jawa Rp. 6.000, Luar Jawa Rp 12.000)

Pembayaran:Pembayaran dilakukan dengan transfer ke Rekening Bank: a/n Arie Sujito/Hesti Rinandari QQ IRE, Bank Mandiri Cabang YKT MM UGM, Yogyakarta. A/C No: 137-00-0549310-7Silakan kirimkan bukti transfer tersebut kepada:Hesti Rinandari, IRE Yogyakarta, Dusun Tegalrejo, Sariharjo, Ngaglik Sleman, YogyakartaTelp: 0274-867-686 Email: [email protected] Website: www.ireyogya.org

Foto

: Adr

ozen

Ahm

ad

Page 47: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan

46

FLAMMA Edisi 32, April - Juni 2009

K

Refleksi

konSep maSSa mengambang memang sudah tidak berlaku lagi. Namun mema-suki Pemilu 2009, pendulumnya kini bergeser kencang pada adanya fenomena massa pragmatis, yakni sekumpulan in-dividu atau komunitas yang meminta im-balan dalam memberikan dukungan pada berbagai ajang arena pemilihan umum. Mulai dari pemilihan di tingkat kepala desa, bupati, gubenur sampai calon le-gislatif. Inilah era di mana uang menjadi modal utama meraih kekuasaan.

Fenomena merebaknya massa prag-matis ini dikontruksi oleh dua hal. Per-tama, para elite yang memandang kekua-saan sebagai cara meraih keuntungan material dan kemewahan duniawi lain-nya. Elite yang pragmatis yang tidak me-miliki komitmen untuk memperjuangkan nasib rakyat inilah yang lalu berupaya menukar dukungan pemilih dengan cara memberi imbalan, seperti uang atau ben-tuk barang dan jasa lainnya.

Para elite dengan kesadaran semacam ini tidak memiliki kapasitas dan latar be-lakang di dalam mendampingi berbagai kesulitan dan penderitaan hidup ma-syarakat. Modal uang yang dimilikinya dijadikan sebagai alat tukar (substitusi) atas ketidakberakaran dirinya baik secara sosial maupun kultural dengan masyara-kat.

Kedua, massa-rakyat yang tidak me-miliki kesadaran ideologis, putus asa dengan pejabat pemerintahan, atau yang memendam dendam dengan para elite dengan mencoba ‘memeras’ menjelang pemilu. Di tengah masyarakat yang pu-tus harapan dengan perubahan, misal-nya, kerap kita dengar ungkapan, “Ambil saja uangnya sekarang daripada besok juga tidak mendapatkan apa-apa.”

Elite pragmatis bertemu dengan mas-sa-rakyat pragmatis akhirnya bertemu di bursa jual-beli suara. Supply and demand pun bertemu. Di tengah proses itu se-lalu ada perantara, yang dalam bahasa populer disebut makelar atau broker. Para makelar politik ini bergentanyangan men-jadi perantara yang mempertemukan elite pragmatis dengan massa-rakyat pragma-

tis. Ia mendorong terjadinya transaksi karena dari situ juga ia akan mendapat imbalan atas jasa yang dikerjakan.

***Bertemunya antara elite dengan mas-

sa-rakyat dalam lingkaran siklus kepent-ingan yang pragmatis ini tentu sangat membahayakan bagi perkembangan de-mokrasi, bahkan keselamatan bangsa dan kesejahteraan warga secara keseluruhan.

Mengapa demikian? Karena kesada-ran elite dan massa-rakyat yang pragmatis hanya akan melahirkan representasi atau keterwakilan kepemimpinan yang tanpa

Cerdaslah dalam Memilih

visi dan kapasitas dalam menjalankan roda pemerintahan yang mengabdi pada perwujudan kesejahteraan masyarakat, harkat dan martabat bangsa. Terlebih bila mengingat bahwa kita kini berada di te-ngah persaingan global.

Dalam pemilu 2009 ini, masyarakat kita akan mengalami ujian berat. Jika kesadaran dominan yang berkembang adalah pragmatisme politik dalam pem-berian dukungan pada calon legislatif di tingkat pusat dan daerah (kabupaten/kota dan provinsi), pemilihan DPD dan presiden, maka kehidupan kita dalam

lima tahun ke depan akan suram. Sebab, para elite yang telah menukar dukungan dengan uang itu akan tutup mata dan telinga dengan penderitaan masyarakat. Sekeras dan secepat kilat para elite itu akan menghisap aset-aset negara untuk mendorong perbaikan kesejahteraan diri, keluarga, kroni, dan kelompoknya.

Pilihan rakyat yang hanya sekadar memperhatikan pemenuhan jangka pendek, yakni semata menukar keperca-yaan, aspirasi, dan perbaikan masa depan bangsanya hanya dengan uang recehan, jelas mengandung resiko. Baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang.

Dalam jangka pendek, program-pro-gram kesejahteraan, kesehatan, pendi-dikan, perumahan untuk rakyat jelas akan dipangkas. Begitu pula dengan in-frastruktur publik lainnya seperti sarana transportasi, air bersih, jembatan yang rusak karena banjir akan terbengkalai tak terurus dengan cepat. Kalau toh akan ada program perbaikan, pasti hanya dengan jalan pintas yakni berutang pada negara dan lembaga donor asing, yang membuat bangsa ini terus didikte oleh kekuatan kapitalis asing yang membuat bangsa ini terus berada dalam bayang-bayang pen-jajahan.

Agar bangsa ini tegak dan bermar-tabat dengan bangsa lain, dan pemerin-tahan ini membela kepentingan atas pen-deritaan nasib rakyat, maka semua anak bangsa ini perlu membangun itikad yang kuat untuk menjadi pemilih yang cerdas.

Cerdas tidak saja benar secara prose-dur dalam mencontreng kartu suara. Le-bih dari sekadar itu adalah menyeleksi dan memilih para wakil yang akan duduk di pemerintahan yang memiliki moral, dekat dengan rakyat, punya kapasitas dan komitmen terhadap perbaikan hidup dan masalah rakyat dan bangsa.

Akan lebih baik jika para pemilih cerdas ini saling berhimpun memban-gun kekuatan mendorong kontrak poli-tik dengan para caleg, calon DPRD, dan calon presiden pada Pemilu 2009 ini.

Abdur Rozaki

Ilustrasi: Agus Harnowo

Page 48: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan
Page 49: Demokrasi Perwakilan yang Minim Keterwakilan