demokrasi filsafat
DESCRIPTION
randomTRANSCRIPT
![Page 1: Demokrasi filsafat](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082709/55cf8f5c550346703b9b9045/html5/thumbnails/1.jpg)
1. Demokrasi filsafat
Demokrasi (“pemerintahan oleh rakyat”) dalam pemikiran Yunani berarti bentuk politik
dimana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik. Ini mereka
usulkan untuk menentang pemerintahan oleh satu orang (monarki) atau oleh kelompok
yang memiliki hak-hak istimewa (aristokrasi) dan bentuk-bentuk yang jelek dari kedua
jenis pemerintahan ini (tirani dan oligarki)
PANDANGAN BEBERAPA FILSUF
Demokrasi oleh para filsuf dievaluasi secara berbeda-beda
- Plato memandang demokrasi dekat dengan tirani, dan cenderung menuju tirani. Ia
juga berpendapat bahwa demokrasi merupakan yang terburuk dari semua
pemerintahan yang berdasarkan hukum dan yang terbaik dari semua pemerintahan
yang tidak mengenal hukum.
- Aristoteles melihat demokrasi sebagai bentuk kemunduran politeia, dan yang paling
dapat ditolerir dari ketiga bentuk pemerintahan yang merosot; dua yang lain adalah
tirani dan oligarki
Dari sisi istilah bahasa saya melihat bahawa menurut pengertian bahasa arab, syura (syura/musyawarah)
adalah mashdar (kata-dasar) dari kata syawara (Zallum, 2002: 216). Jelasnya, syura adalah mencari
pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah
Syura berlandaskan Al-quran dan Sunnah sedangkan demokrasi berdasarkan suara
terbanyak. Perbedaan lain antara syra dan demokrasi adalah dari sisi sumbernya, syura adalah
aturan Ilahi sedangkan demokrasi merupakan aturan orang-orang banyak, syura dipandang
sebagai bagian dari agama, sedangkan demokrasi adalah aturan sendiri. Di dalam syura ada
orang-orang berakal dari kalangan ulama ahli fikih dan orang-orang yang mempunyai
kemampuan spesialisasi dan pengetahuan, merekalah yang mempunyai kapabilitas menentukan
hukum yang disodorkan kepada mereka dengan syariat Islam, sedangkan demokrasi meliputi
orang-orang yang di dalamnya dari seluruh rakyat sampai yang bodoh dan pandir bahkan kafir
sekalipun. Dalam demokrasi semua orang sama posisinya; orang alim dan bertakwa pun sama
dengan pelacur, orang shalih sama dengan orang bejat dll, sedangkan dalam syura maka
semuanya diposisikan secara proporsional.[7]
![Page 2: Demokrasi filsafat](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082709/55cf8f5c550346703b9b9045/html5/thumbnails/2.jpg)
Kemudain kita juga harus melihat dari segi wilayah kajiannya, syura yang saya pahami
banyak membahasa mengenai wilayah kajian tentang keagamaan baik dari segi penetapan
hokum maupun mencari solusi keagamaan dan sosial. Sedangkan demokrasi lebih menkankan
pada kenegaraan dan kemasyarakatan, kadang dalam demokrasi terdapat unsure-unsur politik
yang bias mempengaruhi hasil dari musyawarah tersebut.
Persamaan antara keduanya memang terletak dari prinsip musyawarah dalam mengambil keputusan, di
dalam syura dan demokrasi menggunakan system pemerintahan yang mengambil keputusan denagn
cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Islam sendiri menjadi sifat dasar dari demokrasi, ini
dikarenakan konsep syura, ijtihad, dan ijma’ itu semua merupakan konsep yang tidak jauh berbeda
dengan demokrasi.
2. SOSIAL DEMOKRASI BARAT
- Demokrasi barat atau demokrasi liberal oleh kaum komunis disebut demokrasi
kapitalis. Demokrasi barat ialah demokrasi yang dianut oleh Negara-negara Eropa
Barat dan Amerika.
- Tujuan dari demokrasi barat, yaitu agar manusia tidak diangap sebagai alat belaka,
melainkan manusia dipandang sebagai makhluk hidup yang memiliki tujuan sendiri.
Menurut catatan sejarah, sistem demokrasi Barat yang pertama di dunia adalah
diasaskan oleh kerajaan Perancis semasa peristiwa Revolusi Perancis pada tahun
1789. Menurut catatan sejarah, sistem demokrasi Barat yang pertama di dunia adalah
diasaskan oleh kerajaan Perancis semasa peristiwa Revolusi Perancis pada tahun
1789.
Ciri – ciri Sistem politik liberalisme : yaitu:
1. Sangat menekankan kebebasan/kemerdekaan individu.
2. Sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia yang utama seperti hak hidup, hak
kemerdekaan, hak mengejar kebahagiaan, dan lain-lain.
3. Dalam sistem pemerintahan, terbagi atas beberapa kekuasaan, yaitu kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
4. Menganggap sistem demokrasi sebagai sistem politik yang paling tepat untuk suatu
negara karena hak-hak asasi manusia itu terlindungi.
5. Infra struktur/struktur sosial selalu berusaha untuk mewujudkan tegaknya demokrasi dan
tumbangnya sistem kediktatoran.
![Page 3: Demokrasi filsafat](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082709/55cf8f5c550346703b9b9045/html5/thumbnails/3.jpg)
6. Adanya homo seksual dan lesbianisme yang disebabkan penekanan kepada kebebasan
individu.
7. Melahirkan sekularisme, yaitu paham yang memisahkan antara negara dengan agama.
Menurut pemahaman mereka, agama adalah urusan masyarakat sedangakan negara adalah
urusan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh turut campur dalam hal agama.
8. Menentang ajaran komunisme yang menganut sistem kediktatoran sehingga hak-hak
asasi manusia banyak dirampas dan diperkosa.
9. Melahirkan kelas ekonomi yang terdiri dari kelas ekonomi kuat dan lemah. Saat ini
sedang diusahakan dalam Sistem politik liberalisme modern untuk menghilangkan jurang
pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin
Usulan pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh DPRD terus menguat dalam pembahasan Rancangan
Undang-undang (RUU) Pilkada yang kini sedang digodok DPR.
Fenomena ini pun menimbulkan pro dan kontra, terutama saat fraksi-fraksi di DPR yang tergabung
dalam Koalisi Merah Putih solid mendukung sistem pemilihan tak langsung tersebut.
Sejumlah kalangan ramai-ramai mengkritik keras usulan pilkada tak langsung yang dinilainya bisa
merusak demokratisasi yang selama ini telah tumbuh di Indonesia. Ada juga yang menyatakan pilkada
oleh DPRD akan membajak kedaulatan rakyat.
Kelompok lain menyebut fenomena itu bakal melanggengkan politik oligarki di daerah. Ada lagi yang
menilai pilkada tak langsung ini telah melanggar amanat reformasi karena tidak melibatkan rakyat
secara langsung dalam pilkada.
Di alam demokrasi seperti ini perbedaan pendapat sah-sah saja dilakukan. Pun penilaian-penilaian di
atas memang tak sepenuhnya juga salah. Namun, pilkada langsung yang selama ini telah dilaksanakan di
seluruh Indonesia bukan tanpa cacat.
Banyak juga ihwal negatif yang muncul dari pelaksanaan pilkada langsung oleh rakyat tersebut.
Sebaliknya, ide untuk mengusung kembali sistem pilkada tak langsung juga tidak salah.
Ada sejumlah alasan mengapa usulan pilkada oleh DPRD ini perlu mendapat perhatian serius dan perlu
dicoba lagi dengan cara dan pengawasan yang lebih baik. Apalagi, cara ini juga diperbolehkan secara
![Page 4: Demokrasi filsafat](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082709/55cf8f5c550346703b9b9045/html5/thumbnails/4.jpg)
hukum alias konstitusional.
Pertama, pilkada langsung yang sudah berlaku sejak era pascareformasi ini punya banyak kelemahan.
Tak bisa dimungkiri, pilkada langsung telah menimbulkan dampak buruk pada masalah hukum.
ebagai bukti konkret, sedikitnya 309 kepala daerah produk pilkada langsung tersangkut masalah hukum.
Mereka rata-rata dijebloskan penjara karena diduga terlibat kasus korupsi. Tentu fenomena ini sangat
ironis saat pemerintah sedang giat-giatnya melakukan upaya dalam pemberantasan korupsi.
Selain itu, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa pilkada langsung ternyata juga diliputi banyak
sekali politik uang (money politic ). Fenomena suap-menyuap yang telah lazim terjadi di masyarakat
pada setiap pilkada ini tentu pada gilirannya akan merusak moral bangsa ini.
Pilkada oleh DPRD memang tidak serta-merta secara langsung akan menghapus politik uang. Politik uang
mungkin tetap akan ada, namun potensinya bisa diminimalisasi.
Pengawasan terhadap politisi nakal pada pelaksanaan pilkada tak langsung ini akan lebih mudah karena
jumlahnya sedikit ketimbang harus mengawasi seluruh masyarakat yang punya hak memilih.
Aparat hukum bisa mengawasi lebih ketat politisi tersebut. Jika terbukti melakukan tindakan tercela,
tinggal dijerat secara hukum. Pilkada tak langsung ini setidaknya bisa meminimalisasi kerusakan moral
yang sudah cukup parah akibat politik uang di masyarakat.
Kedua, pilkada langsung juga memiliki potensi lebih besar untuk terjadi konflik horizontal di masyarakat.
Pengalaman selama ini pelaksanaan pilkada langsung banyak menimbulkan masalah dan gejolak di
masyarakat.
Pilkada oleh DPRD ini diharapkan bisa mengurangi potensi konflik tersebut. Apalagi, sejauh ini
pelaksanaan pilkada bisa dipastikan selalu berujung konflik kubu antarpasangan dengan membawa
kasus ke Mahkamah Konstitusi (MK).
![Page 5: Demokrasi filsafat](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082709/55cf8f5c550346703b9b9045/html5/thumbnails/5.jpg)
Ketiga, pilkada langsung butuh dana besar. Pilkada tak langsung dinilai bisa menghemat anggaran
negara yang bisa digunakan untuk membiayai sektor-sektor penting lain bagi kesejahteraan rakyat.
Kalau sama-sama sah secara hukum, kenapa kita tidak memilih pelaksanaan pilkada yang efektif dan
efisien tersebut dibanding hanya mengejar cap demokrasi, namun belum tentu membawa kebaikan bagi
negara ini.
Karena itu, bukan hal tabu dan buruk untuk memunculkan lagi sistem pilkada tak langsung dalam
pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Intinya, kita jangan alergi untuk menerima usulan yang bisa
menyejahterakan negara ini.
Proses pemilihan bupati dan wali kota atau mungkin juga gubernur yang dilakukan melalui mekanisme di
DPRD yang transparan dan akuntabel bisa jadi lebih baik daripada hasil pilkada langsung.
Pandangan Mohammad Hatta
Gagasan demokrasi sosial dalam konteks Indonesia mendapatkan formulasi secara lebih jelas dari Mohammad Hatta, menurutnya demokrasi yang dipancangkan melalui revolusi Perancis pada aad ke-18 hanya membawa Masyarakat Perancis pada demokrasi politik an sich yang dalam level tertentu hanya menguntungkan masyarakat borjuis dan menepikan rakyat jelata.Demokrasi memberikan panduan dasar bahwa pemerintahan harus berasal dan melibatkan rakyat di negara tersebut. Dan salah satu proses penting dalam demokrasi adalah soal prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat berdaulat dalam arti memiliki kekuasaan untuk menentukan cara bagaimana seharusnya ia diperintah. Keputusan rakyat yang menjadi peraturan pemerintah bagi semua orang adalah keputusan yang ditetapkan dengan cara musyawarah mufakat dalam satu perundingan yang teratur bentuk dan prosesnya. Menurut Moh Hatta, mekanisme permusyawaratan bisa dilakukan dengan melibatkan semua orang dewasa di suatu wilayah. Akhirnya Mohammad Hatta menyimpulkan bahwa masyarakat indonesia tidak mengenal paham individualisme sebagai mana yang ada di Barat. Oleh karena itu, model demokrasi yang dikembangkan hendaknya bukan demokrasi yang menjiplak budaya masyarakat Barat secara mentah, melainkan demokrasi yang cocok dengan karakter keindonesiaan sendiri, yakni demokrasi kekeluargaan berlandaskan permusyawaratan.