dekonstruksi terhadap cerpen ambe masih sakit dan renjana
TRANSCRIPT
DEKONSTRUKSI TERHADAP CERPEN AMBE MASIH SAKIT DAN
RENJANA
A. Cerpen Ambe Masih Sakit
1. Oposisi antara tokoh ‘aku’ dan tokoh ‘Indo’
Tokoh ‘aku’ dalam cerpen Ambe Masih Sakit digambarkan sebagai anak yang
harus menanggung beban upacara kematian bapaknya (Ambe), seperti dalam
kutipan berikut.
Cuma tongkonan ini yang kami punya atau yang tersisa. Indo hanya istri kedua Ambe. Katanya, dulu banyak kerabat tidak setuju ketika mereka menikah dan kakak-kakak tiriku menerima dengan syarat menuntut pembagian harta sebagai ahli waris mendiang ibu mereka. Sekarang, Ambe tak memiliki harta peninggalan, bahkan buat perayaan kematiannya sendiri. Anak-anaknya terdahulu pun seperti tak peduli. Tinggallah aku dan Indo yang menanggung beban. Berat, entah sampai kapan kami mampu menahan (hlm.59).
Sebagai penanggung beban utama, tokoh ‘aku’ menyerah mencari dana untuk
pelaksanaan upacara kematian Ambe, sebagaimana terdapat dalam bagian berikut.
Dan, sampai kapan aku harus menanggung? Tabunganku tidak akan genap sekeras apa pun aku berusaha. Maafkan aku, Ambe, bila aku mengeluh. Aku sedang patah hati, mungkin putus asa. Indo tidak bisa dibujuk (hlm.61).
Ketidakmampuan tokoh ‘aku’ menanggung beban biaya upacara kematian
bapaknya, membuatnya berpikir untuk tidak melaksanakan semua rangkaian
upacara kematian Ambe, seperti dalam bagian berikut.
“Beberapa babi dan seekor kerbau aku kira sudah cukup, Indo. Tedong bonga ratusan juta harganya. Kita mana sanggup” (hlm.62).
Tokoh Indo digambarkan sebagai sosok yang memegang teguh adat istiadat.
Semua rangkaian upacara kematian harus dilakukan sebagia wujud ketaatan
terhadap tradisi, seperti terdapat dalam bagian berikut.
“Kau ini! Ambemu keturunan tana bulaan. Bukan orang sembarangan. Kalau cuma itu, sudah dari dulu Indo melakukan rambu solo. Tak perlu menunggu bertahun-tahun. Dengar, Upta. Ini bukan asal upacara, tapi martabat yang mesti dijunjung. Kau tahu itu! Ambemu akan tersesat karena ulahmu.” Suara Indo melangit seperti bulan yang pongah (hlm.62).
Oposisi yang tercipta antara tokoh ‘aku’ dan Indo terbangun atas pandangan
manusia mengenai sebuah tradisi. Menurut tokoh ‘aku’ tradisi hanyalah sebuah
ritual belaka, yang kebetulan tokoh ‘aku’ terjebak di dalamnya sebagai
penanggung jawab upacara kematian Ambenya. Sedangkan tokoh Indo
menganggap ritual ini tidak hanya sebuah tradisi belaka, melainkan memiliki nilai
prestise yang tinggi bagi keluarganya.
2. Oposisi antara penalaran logis dan penghayatan intuitif
Oposisi antara penalaran logis dan penghayatan intuitif terlihat dalam
hubungan antara tokoh-tokoh dalam cerpen dalam menanggapi upacara kematian
tokoh Ambe. Penghayatan intuitif terlihat dalam upacara kematian (rambu solo)
dianggap sebagai bagian dari tradisi yang sakral dan memiliki nilai yang mampu
mengangkat martabat keluarga, seperti dalam kutipan berikut.
“Indo merasa tidak pernah kurang mengajarimu, Upta.” Ia memanggil namaku seakan aku bukan anaknya lagi. Dapat kudengar hela embusnya kecewa, ”Ambemu perlu kunci untuk membuka pintu ke puya, rambu solo. Perjalanan ke sana jauh sekali butuh kendaraan, tedong bonga, agar cepat sampai.”
“Kau ini! Ambemu keturunan tana bulaan. Bukan orang sembarangan. Kalau cuma itu, sudah dari dulu Indo melakukan rambu solo. Tak perlu menunggu bertahun-tahun. Dengar, Upta. Ini bukan asal upacara, tapi martabat yang mesti dijunjung. Kau tahu itu! Ambemu akan tersesat karena ulahmu.” Suara Indo melangit seperti bulan yang pongah” (hlm.62).
Di sisi lain, penalaran logis terlihat dalam upacara rambu solo yang tidak lagi
dipandang sebagai sebuah tradisi. Seiring perkembangan zaman, upacara rambu
solo telah bertransformasi menjadi sajian pariwisata, sebagaimanan terlihat dalam
kutipan berikut.
“Kontaklah saudara-saudaramu itu untuk segera pulang. Urusan ini harus lekas dibereskan. Kami di sini sudah siap memberikan bantuan. Nanti kami ajukan proposal ke pemda buat diikutkan program pariwisata Natal dan Tahun Baru. Babi-babi dan kerbau akan kami sumbangkan. Kurangnya kalian usahakanlah” (hlm.63).
Oposisi ini dibangun atas pandangan sebagian masyarakat terhadap
kelangsungan upacara rambu solo. Sebagian masyarakat masih mengagungkan
upacara ini sebagai perwujudan kesetiaan terhadap tradisi, dan bagi sebagian
masyarakat lainnya, upacara ini merupakan bentuk eksploitasi kultur untuk tujuan
pariwisata semata.
B. Cerpen Renjana Karya Dwicipta
1. Oposisi tokoh ‘aku’ dan ‘Ayah Renjana’
Tokoh ‘aku’ merupakan seorang aktivis yang sekian tahun terpisah dari
kekasihnya, sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut.
Menjelang berangkat aku bangun sebelum cahaya kemerahan merekah di timur. Kubuka jendela kamar agar angin pagi menyegarkan ruangan kamar dan menahan mataku dari serangan kantuk. Kegelapan yang perlahan menghilang di luar rumah sungguh menggetarkan. Aku seolah terkurung dua makhluk mengerikan, di depan dan di belakang. Telinga dan benakku masih memperdengarkan gemuruh teriakan-teriakan demonstrasi, rentetan tembakan dari senapan tentara, dan tubuh teman-temanku yang roboh oleh peluru karet atau peluru sungguhan. Mungkin aku masih mengalami halusinasi berkepanjangan akibat peristiwa tiga belas tahun lalu itu (hlm.69).
Sebagai seorang aktivis, ia jelas menuntut sebuah keadilan yang belum
dirasakan oleh masyarakat, seperti yang terlihat dalam bagian berikut.
Untuk menutupi rasa pedih kehilanganmu dan teror masa lalu itu, kunyanyikan lagu masa kanak-kanakku, ”Di Timur Matahari”. Di sekolah dasar, aku sangat menyukai lagu itu. Lima belas tahun kemudian aku dan teman-temanku kembali menyanyikannya setiap kali kami berdemonstrasi di bawah ancaman moncong senjata. Ingatkah engkau kalau di masa-masa awal demonstrasi itu kita bertemu, saat orang-orang berseragam itu menghalau demonstran dan kau yang sedang dalam perjalanan pulang dari kampus hampir saja dipukul oleh mereka? Lengan kananku memar akibat menangkis pemukul mereka. Sedangkan kau, yang terus gemetar tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun, membiarkan tubuhmu terseret tangan kiriku yang mencari jalan di tengah kekacauan itu. Tak kusangka kalau ternyata dirimulah orang yang gantian menyelamatkan aku ketika kaki tangan penguasa tua itu hendak menghabisiku lewat daftar mahasiswa yang harus diamankan begitu demonstrasi tak bisa lagi dikendalikan oleh ancaman senapan (hlm.69).
Ayah Renjana digambarkan melalui sosok yang menganggap bahwa apa yang
dilakukan tokoh ‘aku’ dan teman-temannya (mahasiswa) merupakan tindakan
yang tidak berguna dan perusuh belaka, sebagaimana digambarkan dalam bagian
berikut.
”Setelah ini mungkin kita tak bisa lagi bertemu. Ayahku tak pernah bisa memaafkanmu atas apa yang telah kau lakukan bersama teman- temanmu. Ia menganggap dirimu dan teman-temanmu adalah perusuh dan generasi tak tahu diri,” katamu sembari memandang lekat ke dalam kedua biji mataku (hlm.72).
Oposisi yang dibagun antara tokoh ‘aku’ dan ‘Ayah Renjana’ didasarkan atas
pandangan kedua belah pihak terhadap demonstrasi. Tokoh ‘aku’ menganggap
demonstrasi adalah sebuah bentuk reaksi atas ketidakadilan yang terjadi di dalam
masyarakat. Di sisi lain, Ayah Renjana menganggap demonstrasi adalah tindakan
anarkis yang sia-sia.
2. Oposisi antara tokoh ‘aku’ dan penguasa, pemerintah
Penguasa digambarakan sebagai oknum yang memiliki kuasa penuh atas
setiap tindakan yang dianggap menganggu kestabilan negara, seperti demonstrasi.
Hal tersebut tercermin dalam kutipan berikut.
… Lima belas tahun kemudian aku dan teman-temanku kembali menyanyikannya setiap kali kami berdemonstrasi di bawah ancaman moncong senjata. Ingatkah engkau kalau di masa-masa awal demonstrasi itu kita bertemu, saat orang-orang berseragam itu menghalau demonstran dan kau yang sedang dalam perjalanan pulang dari kampus hampir saja dipukul oleh mereka? Lengan kananku memar akibat menangkis pemukul mereka. Sedangkan kau, yang terus gemetar tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun, membiarkan tubuhmu terseret tangan kiriku yang mencari jalan di tengah kekacauan itu. Tak kusangka kalau ternyata dirimulah orang yang gantian menyelamatkan aku ketika kaki tangan penguasa tua itu hendak menghabisiku lewat daftar mahasiswa yang harus diamankan begitu demonstrasi tak bisa lagi dikendalikan oleh ancaman senapan (hlm.69).
Oposisi antara penguasa, pemerintah dan tokoh ‘aku’ hampir sama dengan
oposisi tokoh ‘aku’ dan tokoh ‘Ayah Renjana’. Penguasa menganggap bahwa
demonstrasi merupakan sebuah ancaman bagi sebuah negara sehingga perlu
diatasi. Sedangkan tokoh ‘aku’ dan kawan-kawannya beranggapan bahwa
demonstrasi bukanlah sesuatu yang sifatnya mengancam. Mereka menganggap
bahwa demonstrasi merupakan langkah awal menuju sebuah negara yang lebih
baik.
3. Oposisi antara penalaran logis dan penghayatan intuitif
Oposisi antara penalaran logis dan penghayatan intuitif terletak pada tokoh
Renjana. Di satu sisi, Renjana dianggap sebagai sosok agung yang selalu muncul
di pikiran tokoh ‘aku’. Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut.
Apakah aku harus berbohong pada diriku sendiri bahwa aku tak bisa melupakanmu, bahwa bayanganmu selalu mengikuti setiap adegan dalam film yang kutonton, bahwa tatapan matamu yang teduh bermain di antara halaman buku yang sedang kubaca? Bertahun-tahun setelah kau pergi, setelah demonstrasi mahasiswa yang heroik itu telah berlalu, setelah kusaksikan tumbangnya harapan-harapanku pada negeri ini, aku berpikir bagaimana akan kutulis skenario film tentang perjalanan kereta sepanjang dua setengah jam ini, kegelisahanku di dalam gerbong kereta dan para penumpang yang masih diterkam hawa kantuk luar biasa sekalipun tubuh mereka telah bersih dan wangi (hlm.71).
Di sisi lain, Renjana dianggap sebagai sosok manusiawi yang harus
dihadapkan kepada pilihan yang sulit.
”Kau tak mau mengambil pilihan lain?”
”Aku tak bisa meninggalkan ayahku. Kalau aku memilihmu, dia akan mengambil pilihan yang mungkin membuatku menyesal seumur hidup,” ujarmu dengan tenggorokan turun-naik (hlm.72).
Dalam oposisi ini, penghayatan intuitif tokoh Renjana yang digambarkan oleh
tokoh ‘aku’ lebih dominan dalam cerpen Renjana ini.