definisi uang muka

8
Uang Muka Uang Muka dalam istilah fiqh dikenal dengan al-‘Urbuun. Dalam bahasa Arab, kata ini memiliki sinonim atau padanan kata yaitu di antaranya Urbaan, ‘Urbaan, dan Urbuun. Secara bahasa, kesemuanya dapat diartikan sebagai “Jadi transaksi dalam jual beli”. Secara istilah (terminologis), penulis kitab al-Mishbah al- Munier dalam kitabnya hal. 10 memberi definisi sebagai berikut: “Al-Arabuun dengan difathahkan ‘Ain dan Ra’nya. Sebagian ulama menyatakan bahwa al-Urbuun ini ialah kegiatan jual beli di mana seseorang membeli sesuatu atau menyewa sesuatu dan memberikan sebagian bayarannya atau uang sewanya, kemudian menyatakan “apabila transaksi sempurna maka kita hitung ini sebagai pembayaran dan bila tidak maka itu untukmu dan aku tidak meminta kembali darimu”. Al-Ashma’i menyatakan bahwa al-‘Urbun adalah kata A’jam yakni kata yang bukan bahasa Arab namun diarabkan (kata serapan dari bahasa lain). Gambaran dalam jual beli ini ialah sebagai berikut: - Pembeli membayar sejumlah uang di muka kepada si penjual. Uang itu dibayarkan di awal pertemuannya dengan penjual, ketika pembeli memilih untuk membeli barang yang bersangkutan

Upload: universitas-islam-negeri-syarif-hidayatullah-jakarta

Post on 11-Apr-2017

259 views

Category:

Economy & Finance


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Definisi uang muka

Uang Muka

Uang Muka dalam istilah fiqh dikenal dengan al-‘Urbuun. Dalam bahasa Arab, kata ini

memiliki sinonim atau padanan kata yaitu di antaranya Urbaan, ‘Urbaan, dan Urbuun.

Secara bahasa, kesemuanya dapat diartikan sebagai “Jadi transaksi dalam jual beli”.

Secara istilah (terminologis), penulis kitab al-Mishbah al-Munier dalam kitabnya hal. 10

memberi definisi sebagai berikut:

“Al-Arabuun dengan difathahkan ‘Ain dan Ra’nya. Sebagian ulama menyatakan bahwa al-

Urbuun ini ialah kegiatan jual beli di mana seseorang membeli sesuatu atau menyewa

sesuatu dan memberikan sebagian bayarannya atau uang sewanya, kemudian menyatakan

“apabila transaksi sempurna maka kita hitung ini sebagai pembayaran dan bila tidak maka

itu untukmu dan aku tidak meminta kembali darimu”.

Al-Ashma’i menyatakan bahwa al-‘Urbun adalah kata A’jam yakni kata yang bukan bahasa

Arab namun diarabkan (kata serapan dari bahasa lain).

Gambaran dalam jual beli ini ialah sebagai berikut:

- Pembeli membayar sejumlah uang di muka kepada si penjual. Uang itu dibayarkan di

awal pertemuannya dengan penjual, ketika pembeli memilih untuk membeli barang yang

bersangkutan maka uang yang dibayar diawal pertemuannya itu menjadi bayaran separuh

untuk pembelian barang ybs. Namun jika pembeli memilih untuk membatalkan

pembeliannya, maka uang tersebut menjadi hak bagi penjual (menjadi milik penjual).

- Gambarannya bisa juga melalui percakapan yang dilakukan oleh penjual dan pembeli.

Dalam pembeliannya, pembeli berkata “Apabila saya ambil barang tersebut maka ini adalah

bagian dari nilai harga dan bila saya tidak mengambil (barang ini), maka uang muka

tersebut untukmu (penjual).”

Jika dalam kehidupan modern, masyarakat mengenal uang muka ini dengan istilah DP

(uang jadi).

Page 2: Definisi uang muka

Jual beli dengan ‘Urbuun ini sempat menjadi kontroversial di kalangan ulama. Dari masa

Tabi’in hingga kini, banyak ulama yang masih memperdebatkannya. Di Indonesia sendiri

telah dilakukan seminar khusus untuk mengkaji apakah jual beli ini diperbolehkan atau

tidak, seminar ini diselenggarakan oleh Majlis Fikih Islam. Berbeda dengan mayoritas

ulama salafus-shaleh, pada akhir perdebatannya, ulama modern abad ini bersepakat bahwa

jual beli panjar (uang muka) ialah halal hukumnya.

Namun sebelumnya, saya akan mengupas bagaimana pandangan atau bangunan

argumentasi dari kedua belah pihak ulama yang berkontroversi perihal panjar tersebut.

1. Pendapat ulama yang mengharamkannya

Ulama klasik, sebenarnya telah mengeluarkan ijma mengenai hukum uang muka ini.

Mereka bersepakat bahwa uang muka haram hukumnya. Hal ini dilandasi oleh sumber

hukum Islam itu sendiri yakni hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Umar bin

Syuaib, dari ayahnya, dari kakenya, bahwa ia berkata:

العربان بيع عن سلم و عليه الله صلىى الله رسول نهىالدبة يتكارى او العبد الرجل ييشتري انن اعلم والله نرى فيما ذالك و مالك قاللك اعطيتك فما الكراء اوو السلعة تركت ان عنى على دىنارا اعطيك يقول ثم

Artinya: “Rasulullah SAW melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Malik

menyatakan: “Dan menurut yang kita lihat –Wallahu A’lam- jual beli ini adalah seseorang

membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian menyatakan, ‘Saya berikan

kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya

mamka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu.’”(kitab Muwatha Imam Malik

dan Sunan Ibnu Majjah).

Ulama yang menggantungkan argumentasinya kepada hadis ini di antaranya adalah Imam

Syafi’i, Imam Maliki, dan ahlu ra’yi yakni Imam Hanafi. Pendapat mereka bahkan

diperkuat lagi oleh ulama ahli tafsir, Imam al-Qurtubhi. Dalam kitab tafsirnya ia

menyatakan bahwa “Di antara bentuk memakan harta orang lain dengan bathil adalah jual

beli dengan panjar (uang muka). Jual beli ini tidak benar dan tidak boleh menurut sejumlah

ahli fiqih dari ahli Hijaz (madzhab Syafi’i) dan Iraq (madzhab Hanafi), karena termasuk

Page 3: Definisi uang muka

jual beli perjudian, gharar, spekultaif, dan memakan harta orang lain dengan bathil tanpa

pengganti dan hadiah dan itu jelas bathil menurut ijma”.

Pernyataan al-Qurtubhi di atas adalah tafsirnya untuk ayat 29 al-Quran Surat an-Nissa,

yang bunyinya:

تراض عن تجارة تكون ان اال الباطل با بينكم اموالكم تاكلوا ال امنوا الذين ايها يارحيما بكم كان الله ان انفسكم تقتلوا وال منكم

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu

dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka

di antara kamu. Dan, janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepadamu.”

Al-Qurtubhi ialah seorang ulama ahli tafsir. Buku tafsirnya yang terkenal biasa disebut

dengan nama tafsir al-Qurtubhi. Di samping itu pula, ahli tafsir ini ialah seorang ulama

penganut madzhab Maliki. Sehinggga tidak mengherankan jika pendapatnya dapat menjadi

argumen tambahan sekaligus penguat bagi pendapatnya Imam Maliki yang mengharamkan

jual beli panjar.

Argumen ketiga untuk ulama-ulama yang mengharamkan jual beli panjar adalah argumen

yang menyatakan bahwa dalam jual beli panjar terdapat dua syarat bathil: syarat

memberikan uang panjar dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan

salah satu pihak tidak ridha (Shahih Fiqhus Sunnah 4/411). Hadis menyatakan:

( الخمسه ( روه بيع في شرطان ال و بيع و سلف يحل الArtinya: “Tidak boleh ada hutang dalam jual beli, dan dua syarat dalam satu jual beli”.

Ibnu Qudamah mengqiyaskannya dengan Khiyar Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak

diketahui/tidak lazim). Ia berkata “inilah qiyas/analogi” (Nailul Authar 6/289). Illat (sebab

hukum) dari larangan ini ialah jual beli ini mengandung dua syarat yang fasid. Salah

satunya adalah mensyaratkan kepada si pembeli untuk menyerahkan uang muka secara

gratis apabila pembeli gagal membelinya. Yang kedua adalah syarat mengembalikan

barang ybs apabila pembeli tidak ridha untuk membelinya (Lil al-Mughni 6/331).

Pendapat Ibnu Qudamah dan pendapat-pendapat para ulama yang melarang jual beli uang

muka yang sudah dijelaskan sebelumnya itu dirajihkan pula oleh Al-Syaukanni, al-

Page 4: Definisi uang muka

Syaukanni berpendapat “Yang rajih atau kuat adalah pendapat mayoritas ulama, karena

hadist Amru bin Syua’ib telah ada dari beberapa jalur periwayatan yang saling menguatkan.

Juga karena hal ini mengandung larangan dan hadist yang terkandung larangan lebih rajih

dari yang menunjukan kebolehan sebagaimana telah jelas dalam Ushul Fiqh.”

2. Pendapat ulama yang membolehkannya.

Imam Ahmad Ibnu Hambal (Imam Hambali) membolehkan jual beli panjar dengan dalil

utamanya ialah sebuah atsar dari Umar. Umar bin Khattab melakukan jual beli panjar ini

dan putera Umar sendiri yakni Abdullah Ibnu Umar juga membenarkan bahwa ayahnya

telah melakukan jual beli panjar. Beberapa tabi’in juga membolehkannya termasuk Said

Ibnu Musayyib, Ibnu Sirrin, Nafi’ Ibnu al-Harits, dan Zaid Ibnu Aslam (Abu Sulaiman, al-

Ikhtiyarat, 33). Atsar yang berbunyi:

فان االميه بن الصفوان من السجن دار لعمر اششترى انه الحارث ابن نافع عن

كذا و كذا فله واال عمر رضي

Artinya: “Diriwayatkan dari Nafi’ bin al-Harist, ia pernah membelikan sebuah bangun

penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan) apabila Umar suka.

Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.”

Bahkan kisah atau atsar mengenai Umar ini telah masyhur di kalangan para ulama dan

penulis sejarah Mekkah seperti al-Azraaqi, al-Fakihi, dan Umar bin Syubah. Penjaranya

pun diriwayatkan masih ada hingga zaman al-Fakihi (Fiqh wa Fatwa al-Buyu, disusun

asyraf Abdul Maqshud hal. 219).

Selain itu ulama yang membolehkan panjar juga berpendapat bahwa hadist yang dijadikan

sandaran bagi jumhur ulama (“Rasulullah melarang jual beli dengan ‘Urbuun”) adalah

hadis yang dhaif. Disebut dhaif karena jalur periwayatannya kembali kepada orang tsiqah

yang mubham (tidak disebut namanya). Hal ini dapat diketahui dari pernyataan Imam

Maliki “telah menceritakan kepadaku seorang tsiqah” (al-Muwatha), namun ia tidak

menyebutkan namanya. Dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majjah diriwayatkan Imam

Page 5: Definisi uang muka

Malik menyatakan “telah sampai kepada kami bahwa Amru bin Syuaib...” dan Ibnu Majjah

meriwayatkan hadis ini dari jalur lain yakni dari perawi yang bernama Abu Muhammad

Habieb bin Abi Habieb Khatib Malik, seorang perawi hadis yang matruk (lemah sekali),

dan dari perawi hadis Abdullah bin Amir al-Aslami yang juga lemah.

Hadis tersebut juga dinilai lemah (dhaif) oleh Imam Ahmad, al-Baihaqi, al-Nawawi, al-

Mundziri, Ibnu Hajar, dan al-Bani.

Ulama-ulama yang membolehkan panjar juga berpendapat bahwa panjar ialah uang

kompensasi bagi si penjual karena telah menyimpankan barang yang akan dibeli. Pembeli

yang memberikan uang muka akan menangguhkan pembeliannya, mulanya ia memberikan

uang muka namun barang tidak diambilnya dahulu. Ketika ia memutuskan untuk membeli

dan mengambil barang maka uang muka itu dianggap sebagai bayaran separuh harga

barang, namun jika tidak maka uang muka itu menjadi milik si penjual.

Terlebih dahulu, penjual tentunya harus menunggu keputusan si pembeli untuk mengambil

atau membatalkan pembelian barangnya. Selama si penjual menunggu keputusan tersebut,

pastinya ia harus menyimpan, menjaga, dan tidak menjualnya kepada pembeli yang tidak

bersangkutan. Sehingga, karena inilah penjual akan kehilangan sebagian kesempatan

berjualannya dan ia berhak mendapat uang kompensasi dari si pembeli yang membuat ia

kehilangan sebagian kesempatan berjualannya itu.