dampak psikososial pada seorang pasien morbus hansen tipe … · 2017. 6. 4. · penyakit kusta...
TRANSCRIPT
1
PRESENTASI KASUS
Dampak Psikososial Pada Seorang Pasien
Morbus Hansen Tipe Borderline Tuberkuloid
Oleh :
Aditya Permana
dr. IGAA Dwi Karmila, Sp.KK
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2016
2
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………. 3
BAB II. KASUS …………………………………………. ………………… 3
BAB III. PEMBAHASAN................................................................................ 9
SIMPULAN………………………………………………………………… 14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 15
3
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta atau dikenal juga sebagai Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit kronik
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama menyerang kulit
dan saraf tepi, namun dapat juga menyerang semua organ tubuh kecuali sistem saraf pusat.1
Kusta umumnya ditemukan di negara berkembang dan bersifat endemik hampir di
seluruh dunia. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) yang diterima dari
115 negara di seluruh dunia, prevalensi penyakit kusta tercatat pada trimester pertama tahun
2013 adalah sebesar 189.018 kasus dan deteksi kasus baru selama tahun 2012 adalah sebesar
232.857 kasus. Jumlah kasus terbanyak ditemukan di Asia Tenggara yaitu sebesar 125.167
kasus. Insiden teringgi penyakit kusta terdapat di India dengan jumlah kasus sebesar 134.752
kasus, diikuti oleh Brazil sebesar 33.303 kasus dan Indonesia sebesar 18.994 kasus pada
tahun 2012.2 Sementara itu, berdasarkan data registrasi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Sanglah, terdapat 107 kasus baru penyakit kusta selama kurun waktu 3 tahun sejak tahun
2013 hingga 2015.3
Penularan kusta diyakini terjadi karena adanya kontak kulit yang erat dan dalam
jangka waktu yang lama, juga diduga melalui infeksi saluran nafas atas. Oleh karena itu, bagi
penderita yang pekerjaannya mengharuskan mereka melakukan kontak yang erat dan dalam
jangka waktu yang lama dengan orang- orang yang terlibat dalam pekerjaannya, diperlukan
upaya pengobatan dan pencegahan yang efektif dan efisien untuk mencegah risiko
penularan.5
Berdasarkan laporan dari Departemen Kesehatan RI yang diterima dari berbagai
daerah di Indonesia, dilaporkan bahwa jumlah penderita kusta terbanyak memiliki pekerjaan
sebagai petani ( 40%), diikuti oleh buruh (27,5%), tidak berkerja ( 22,4%), swasta (5,1%)
dan jumlah penderita kusta terendah memiliki perkerjaan sebagai PNS ( 5%).6
Kusta merupakan penyebab utama terjadinya neuropati perifer dan kecacatan di antara
penyakit infeksi, sehingga memiliki dampak psikologis akibat stigma dan diskriminasi, serta
dampak sosial dan ekonomi akibat kecacatan yang ditimbulkannya. Walaupun mekanisme
penularan kusta telah sedikit banyak diketahui, penyakit kusta tetap merupakan salah satu
penyakit menular yang dapat menimbulkan masalah yang sangat kompleks akibat stigma di
masyarakat yang menyebabkan penderita dikucilkan dalam pergaulan.6
Berikut dilaporkan suatu kasus Morbus Hansen tipe borderline tuberkuloid dengan
dampak psikologis pada seorang petugas Dinas Kesehatan.
4
BAB II
KASUS
Seorang laki-laki,berusia 40 tahun, suku Bali, warga negara Indonesia, dengan nomor rekam
medis 15.06.58.89, datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah pada tanggal 19
Januari 2016 membawa rujukan dari seorang spesialis Kulit dan Kelamin dengan suspek
Morbus Hansen. Dari anamnesis didapatkan keluhan utama berupa bercak putih pada daerah
kedua lengan sejak 3 bulan yang lalu. Bercak awalnya muncul pada lengan kiri, dan
padadaerah bercak tersebut tidak dirasakan gatal maupun nyeri. Keluhan ini disertai dengan
perasaan tebal pada daerah bercak tersebut. Saat itu, pasien membeli salep anti jamur dan
menggunakannya selama beberapa minggu dan keluhan dirasakan tidak mengalami perbaikan
dan semakin lama muncul bercak putih baru pada daerah lengan kanan yang disertai dengan
perasaan tebal pada daerah bercak yang tersebut. Pasien memutuskan untuk berobat ke dokter
spesialis kulit, dan pasien disarankan untuk berobat ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP
Sanglah Denpasar untuk mendapatkan pemeriksaan yang lebih lanjut.
Pasien menyangkal adanya riwayat keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat penyakit
alergi, asma, kencing manis, sakit kuning, dan sakit ginjal disangkal penderita. Pasien tidak
pernah mengoleskan minyak ataupun agen topikal lainnyasebelum munculnya keluhan di
kulit.
Riwayat keluhan serupa di keluarga tidak ada. Riwayat alergi obat, kencing manis,
penyakit kuning, dan keganasan dalam keluarga disangkal.
Pasien adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Kesehatan yang sering
bertugas bersama delapan orang di dalam ruangan. Dikatakan oleh pasien, bahwa dirinya
sempat bercerita kepada beberapa temannya di dalam ruangan tersebut dan disarankan
berobat ke dokter spesialis kulit. Sejak saat itu, pasien merasa bahwa teman-temannya
tersebut seperti menjaga jarak dengan dirinya.
Pasien lahir dan tinggal di daerah Klungkung selama 11 tahun dan di sekitar tempat
tinggalnya terdapat tetangga yang memiliki kelainan kulit seperti yang diderita pasien. Pasien
kemudian pindah mengikuti orangtuanya ke Denpasar dan tinggal di sana hingga saat ini.
Saat ini pasien telah menikah dan memiliki tiga orang anak. Saat ini pasien tinggal dengan
kedua orangtuanya, istri, serta tiga orang anaknya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, kesadaran kompos
mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu aksiler
36,60C, berat badan 78 kg, tinggi badan 175 cm. Pada status generalis didapatkan kepala
5
normosefali, pada pemeriksaan kedua mata tidak tampak anemia dan ikterus, alis mata tidak
tampak madarosis, tidak terdapat lagoftalmus. Pada pemeriksaan telinga, hidung, dan
tenggorok tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan jantung didapatkan suara jantung
S1 dan S2 tunggal, reguler, tidak didapatkan murmur. Pemeriksaan paru didapatkan suara
nafas vesikuler, tidak didapatkan ronkhi ataupun wheezing. Pemeriksaan abdomen didapatkan
bising usus dalam batas normal, tidak terdapat distensi, hepar dan lien tidak teraba.
Pemeriksaan ekstremitas didapatkan teraba hangat dan tidak didapatkan edema. Pembesaran
kelenjar getah bening tidak ditemukan. Pemeriksaan rambut, kuku, dan kelenjar keringat
tidak ditemukan adanya kelainan.
Status dermatologi pada regio antebrachii dekstra dan sinistra didapatkan adanya
makula hipopigmentasi, multipel, berbatas tegas, bentuk bulat, ukuran diameter antara 2-3
cm. (gambar 1)
Gambar 1 : Lesi pada lengan dekstra dan sinistra
Pemeriksaan saraf tidak ditemukan penebalan saraf perifer. Pemeriksaan sensibilitas
pada daerah lesi terdapat penurunan terhadap rasa raba, nyeri, dan suhu. Pemeriksaan
Voluntary Muscle Test (VMT) tidak ditemukan adanya kelemahan.
Diagnosis pasien adalah suspek Morbus Hansen tipetuberkuloid polar dengan
diagnosis banding Morbus Hansen tipe borderline tuberkuloid. Direncanakan pemeriksaan
penunjang berupa hapusan sayatan kulit (slit-skin smear), darah lengkap, kimia darah (SGOT,
SGPT, ureum, kreatinin, gula darah sewaktu), serta biopsi kulit.
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit pada cuping telinga kanan dan kiri serta pada lesi
di daerah lengan tidak ditemukan adanya Basil Tahan Asam (BTA).
Diagnosis kerja pasien adalah Morbus Hansen suspek tipe tuberkuloid polar dengan
diagnosis banding Morbus Hansen tipe borderline tuberkuloid. Penatalaksanaan yang
diberikan adalah vitamin B1 100 mg, B6 200 mg, B12 200 μg 1 kali sehari. Terapi Multi
Drug Treatment (MDT) menunggu hasil pemeriksaan darah dan biopsi kulit
6
Pasien dan keluarga diberi konsultasi, informasi, dan edukasi (KIE) mengenai
penyakit yang diderita dan penyebabnya, kemungkinan penularan, perlunya pemeriksaan
penunjang dan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, terapi yang diberikan, pentingnya
keteraturan pengobatan dan kontrol.
PENGAMATAN LANJUTAN I (26 Januari 2016)
Penderita datang kontrol dengan membawa hasil biopsi dan pemeriksaan darah. Pada
anamnesis didapatkan bahwa keluhan bercak pada daerah kedua lengan masih ada dan tidak
didapatkan bercak yang baru. Keluhan berupa rasa tebal pada daerah bercakmasih
dirasakanoleh pasien.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, kesadaran kompos mentis.
Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 82 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu aksiler
36,30C. Status generalis pasien dalam batas normal.
Status dermatologi pada regio antebrachii dekstra dan sinistra didapatkan
makulahipopigmentasi, multipel, berbatas tegas, bentuk bulat, ukuran diameter antara 2-3 cm
(Gambar 2)
Gambar 2: Lesi pada lengan dekstra dan sinistra
Pemeriksaan saraf tidak ditemukan penebalan saraf perifer. Pemeriksaan sensibilitas
masih didapatkan penurunan terhadap rasa raba, nyeri, dan suhu pada dearah bercak di kedua
lengan.Pemeriksaan Voluntary Muscle Test (VMT) tidak ditemukan adanya kelemahan.
Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 19 Januari 2016, didapatkan eritrosit 5,22
106/µL (4,4-5,9); hemoglobin 17,3 d/dl (13,2-17,3); hematokrit 45 % (40-52); trombosit : 223
103/µL (150-440); leukosit 5,32 10
3/µL (3,8-10,6); neutrofil 3 10
3/µL (1,8-6,98); limfosit
7
1,64 103/µL (1,26-3,35); monosit 0,37 10
3/µL (0,29-0,95); eosinofil 0,1 10
3/µL (0,03-0,59);
basofil 0,01 103/µL (0,01-0,07) Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan SGOT 32 IU/L
(<33); SGPT 48 IU/L (<50). Dari pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan : BUN 11,21
mg/dL(6-20), kreatinin 1,1 mg/dL (0,7-1,2). Dari pemeriksaan gula darah didapatkan hasil 95
mg/dL (<200)
Pemeriksaan histopatologi dari biopsi kulit tanggal 19 Januari 2016 secara
mikroskopik didapatkan sediaan kulit terdiri dari epidermis dan dermis. Epidermis terdiri dari
epitel permukaan skuamous. Pada subepitel tampak gambaran granuloma dengan kumpulan
yang didominasi oleh sel epiteloid histiosit dan sel plasma di sekitar pembuluh darah dan
kelenjar ekrin. Hampir seluruh struktur granuloma tanpa diliputi oleh sel limfosit di bagian
tepi. Struktur granuloma tidak mengandung sel datia Langhan’s. Simpulan gambaran
morfologi sesuai untuk Morbus Hansen tipe borderline tuberkuloid.(gambar 3)
Gambar 3: Gambaran histopatologis menunjukkan gambaran morfologi MH tipe BT
Diagnosis pasien adalah follow up Morbus Hansen tipe borderline tuberkuloid.
Penatalaksanaan yang diberikan adalah MDT pausibasiler paket I, vitamin B1 100 mg, B6
200 mg, B12 200 μg 1 kali sehari (peroral).
Pasien dan keluarga diberi konsultasi, informasi, dan edukasi (KIE) mengenai
penyakit dan hasil pemeriksaan penunjang, terapi yang diberikan dan rencana pemberian
MDT sebanyak 6 paket, pentingnya kepatuhan minum obat, efek samping obat yang mungkin
terjadi, dan kontrol secara rutin.
PENGAMATAN LANJUTAN II ( 3 Februari 2016)
Penderita datang untuk kontrol. Pada anamnesis didapatkan bahwa keluhan bercak pada
daerah kedua lengan masih ada dan tidak didapatkan bercak yang baru. Keluhan berupa rasa
tebal pada daerah bercak dirasakan mengalami sedikit perbaikan dibandingkan sebelumnya
oleh pasien. Tidak didapatkan keluhan berupa demam, mual, muntah, maupun BAK
berwarna merah. Pasien juga mengatakan bahwa telah terjadi perbaikan di dalam suasana
8
lingkungan kerjanya setelah pasien menjelaskan mengenai penyakit kusta, cara penularannya,
serta penatalaksanaan pada penyakit kusta kepada teman-teman kerjanya.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, kesadaran kompos mentis.
Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 86 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu aksiler
36,30C. Status generalis pasien dalam batas normal.
Status dermatologi pada regio antebrachii dekstra dan sinistra didapatkan makula
hipopigmentasi, multipel, berbatas tegas, bentuk bulat, ukuran diameter antara 2-3 cm
(Gambar 4
Gambar 4: Lesi pada lengan dekstra dan sinistra
Pemeriksaan saraf tidak ditemukan penebalan saraf perifer. Pemeriksaan sensibilitas
masih didapatkan penurunan terhadap rasa raba, nyeri, dan suhu pada dearah bercak di kedua
lengan. Pemeriksaan Voluntary Muscle Test (VMT) tidak ditemukan adanya kelainan.
Diagnosis pasien adalah follow up Morbus Hansen tipe borderline tuberkuloid.
Penatalaksanaan yang diberikan adalah MDT pausibasiler paket I dilanjutkan, vitamin B1
100 mg, B6 200 mg, B12 200 μg 1 kali sehari (peroral).
Pasien dan keluarga diberi konsultasi, informasi, dan edukasi (KIE) mengenai
perkembangan penyakit, terapi yang diberikan dan rencana pemberian MDT sebanyak 6
paket, pentingnya kepatuhan minum obat, efek samping obat yang mungkin terjadi, dan
kontrol secara rutin.
9
BAB III
PEMBAHASAN
Penyakit kusta disebut juga sebagai Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan
yaitu dr. Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus
Hansen.7 Penyakit kusta merupakan suatu infeksi kronik granulomatosa yang terutama
menyerang kulit dan sistem saraf tepi. Kuman penyebab penyakit ini adalah Mycobacterium
leprae yang merupakan kuman berbentuk batang, tahan asam, bersifat obligat intraseluler
terutama pada jaringan bersuhu dingin. Kuman ini tidak dapat dibiakkan dalam media buatan
dan membutuhkan waktu 11-13 hari untuk membelah diri. Waktu replikasi yang lama ini
menyebabkan masa inkubasi yang panjang dari penyakit kusta.8 Masa inkubasi pada manusia
cukup panjang, minimal 2-3 tahun dengan rata-rata masa inkubasi antara 5-7 tahun, meskipun
dapat berlangsung hingga puluhan tahun.9Masa inkubasi tipe tuberkuloid yaitu 2-5 tahun, dan
tipe lepromatosa berkisar antara 8-12 tahun.10
Kusta dapat mengenai seluruh kelompok umur. Kusta paling sering terjadi pada
kelompok umur 20-30 tahun dengan perbandingan laki-laki dibanding wanita adalah sebesar
2:1. Terjadinya penyakit kusta dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu manusia sebagai pejamu
utama, Mycobacterium leprae sebagai agen dan faktor lingkungan. Faktor yang penting dari
pejamu adalah daya tahan tubuh dan respon imunitas seluler, serta adanya peran kerentanan
genetik. Faktor yang penting dari agen adalah masa inkubasi Mycobacterium leprae yang
panjang dan bervariasi mulai dari beberapa minggu hingga 20 tahun, sehingga menyulitkan
untuk mengetahui kapan seseorang terinfeksi kuman ini.10,11
Faktor lingkungan terkait MH
adalah lahir dan tinggal pada daerah endemik, anggota keluarga dengan MH, kemiskinan,
serta migrasi dari daerah rural ke urban.11
Sampai saat ini cara penularan kusta belum diketahui dengan pasti. Penularan
penyakit kusta dipercaya terjadi melalui kontak kulit yang lama dan erat, droplet infeksi yang
berasal dari saluran nafas. Jalur utama keluar masuknya basil M.leprae adalah melalui
mukosa nasal dan kontak kulit. Manusia sebagai reservoir alami satu-satunya dapat dikatakan
sebagai sumber utama penularan dan karenanya seluruh pasien yang belum diobati
merupakan sumber infeksi yang penting. Meskipun demikian pasien kusta tipe multibasiler
(MB) dianggap lebih bersifat infeksius dibandingkan tipe pausibasiler (PB).12
Penderita pada kasus adalah seorang laki-laki berusia 40 tahun. Pasien lahir dan
tinggal di Banjarangkan, Klungkung selama 11 tahun dan di sekitar tempat tinggalnya
terdapat tetangga yang memiliki kelainan kulit seperti yang diderita pasien. Pasien kemudian
10
pindah mengikuti orangtuanya ke Denpasar dan tinggal di sana hingga saat ini. Saat ini
pasien telah menikah dan memiliki tiga orang anak. Saat ini pasien tinggal dengan kedua
orangtuanya, istri, serta tiga orang anaknya.
Diagnosis MH didasarkan pada penemuan paling sedikit 1 dari 3 tanda kardinal MH,
yaitu bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi dan ditemukannya BTA pada hapusan
sayatan kulit (slit-skin smear). Bercak kulit dapat berupa makula atau plak, hipo atau
hiperpigmentasi, eritematosa atau berwarna tembaga, dengan permukaan kasar dan kering
pada sebagian kasus ataupun halus dan berkilat pada kasus lainnya. Pemeriksaan sensibilitas
dapat dijumpai hilangnya sensasi kutaneus yang seringkali bersifat parsial, baik terhadap rasa
raba (anestesia), nyeri (analgesia), atau terhadap suhu (dingin dan panas). Saraf tepi yang
terlibat pada penyakit MH dapat mengalami pembesaran dengan atau tanpa rasa nyeri dan
gangguan fungsi pada daerah yang dipersarafi (sensoris, motoris, dan otonom), walaupun
pada kasus yang dini pembesaran saraf mungkin tidak didapatkan.13
Ditemukannya BTA
pada hapusan sayatan kulit menggunakan metode pengecatan Ziehl-Neelsen atau auramin-
rhodamin mengkonfirmasi diagnosis MH.1
Pada kasus, pasien mengeluhkan adanya bercak putih pada daerah kedua lengannya
dengan perasaan tebal pada daerah bercak tersebut tanpa adanya rasa gatal ataupun nyeri.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya makula hipopigmentasi berbatas tegas dengan
permukaan kering. Terdapat penurunan sensibilitas terhadap rasa raba, nyeri, dan suhu pada
daerah lesi. Pada pemeriksaan saraf tidak ditemukan penebalan saraf perifer. Uji kekuatan
otot tidak didapatkan penurunan kekuatan otot. Pada pemeriksaan hapusan sayatan kulit tidak
ditemukan basil tahan asam (BTA) pada daerah cuping telinga dan lesi. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien didapatkan memenuhi kriteria diagnosis
MH.
Ridley dan Jopling mengembangkan suatu klasifikasi spektrum MH yang terperinci
berdasarkan gambaran klinis, imunologis, dan histopatologis penyakit yang ditentukan oleh
respon imun seluler terhadap M.leprae.14
Terdapat dua bentuk polar yang stabil, yaitu tipe TT
dengan respon imun seluler yang baik, BTA yang sedikit, lesi yang lokalisata dan penderita
yang tidak terlalu infeksius, serta tipe LL dengan respon imun seluler yang rendah, BTA yang
sangat banyak, lesi difus dan penderita yang sangat infeksius.15
Terdapat bentuk borderline
yang tidak stabil di antara kedua bentuk polar tersebut, yaitu tipe BT,BB, dan BL yang dapt
mengalami up atau downgrading ke arah bentuk tuberkuloid atau lepromatosa yang stabil.1
Tipe BT, mempunyai respon imunologi yang cukup kuat untuk melawan infeksi, sehingga
penyakit tersebut bersifat terbatas dan pertumbuhan basiler terhambat. Akan tetapi, respon
11
host tidak cukup kuatuntuk menyembuhkan penyakitnya. Tipe ini dikatakan tidak stabil,
sehingga dapat mengalami upgrading menjadi tipe TT atau downgrading menjadi tipe BL.
Lesi kulit tipe ini berupa makula, plak, papul, multipel, dengan bentuk anular, berbatas tegas,
distribusi asimetris, dengan permukaan kering bersisik, dan didapatkan hilangnya sensibilitas
yang jelas. Pada pemeriksaan BTA didapatkan hasil negatif atau +1. Secara histopatologi,
lapisan limfositiktidak berkembang baik, sel datia Langhans tidak ada atau dalam jumlah
yang sedikit, dan terdapat eksositosis fokal.1,4
Pada tipe TT, mempunyai respon imunologi
yang paling kuat di antara semua tipe. Tipe ini dikatakan tuberkuloid polar, yaitu tuberkuloid
100%, merupakan tipe yang stabil, sehingga tidak mungkin berubah tipe. Lesi kulit pada tipe
ini berupa makula, dapat soliter atau multipel, dengan bentuk anular, berbatas tegas, distribusi
asimetris, dengan permukaan kering bersisik, dan didapatkan hilangnya sensibilitas yang
jelas. Pada pemeriksaan BTA didapatkan hasil yang hampir selalu negatif.1,4
Pada kasus, didapatkan lesi kulit multipel yang hampir simetris berupa makula
hipopigmentasi berbatas tegas, bentuk anular, dengan kulit pada lesi kering, dengan jumlah
lesi kurang dari 5. Didapatkan keterlibatan saraf yang tidak simetris berupa gangguan fungsi
sensoris yang tidak terlalu banyak pada daerah lesi. Pada hapusan sayatan kulit tidak
didapatkan BTA. Hasil biopsi kulit didapatkan gambaran granuloma dengan kumpulan yang
didominasi oleh sel epiteloid histiosit dan sel plasma di sekitar pembuluh darah dan kelenjar
ekrin. Hampir seluruh struktur granuloma tanpa diliputi oleh sel limfosit di bagian tepi.
Struktur granuloma tidak mengandung sel datia Langhan’s. Simpulan gambaran morfologi
sesuai untuk Morbus Hansen tipe borderline tuberkuloid.Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang histopatologis, diagnosis banding MH tipe TT dapat
disingkirkan dan dapat ditegakkan diagnosis MH tipe BT.
Tujuan utama program pengendalian MH adalah deteksi dini pasien untuk memutus
rantai penularan dan menurunkan insiden penyakit, penatalaksanaan yang tepat, pencegahan
kecacatan dan rehabilitasi.10
Untuk kepentingan terapi MH dengan MDT, WHO membagi MH
menjadi tipe pausibasiler (PB) dengan BTA negatif dan multibasiler (MB) dengan BTA
positif.17
MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta. Kelompok pasien yang
membutuhkan MDT antara lain pasien baru yang didiagnosis kusta dan belum pernah
mendapatkan MDT, penderita yang mengalami relaps, default, pasien pindahan, dan ganti
klasifikasi.6,17
Regimen pengobatan MDT pada pasien MH tipe PB dewasa dalam 1 paketnya
terdiri dari rifampisin 600 mg yang diminum 1 kali sebulan di bawah pengawasan serta
dapson 100 mg perhari yang diminum sendiri. Lama pengobatan adalah sebanyak 6 paket
yang dihabiskan dalam jangka waktu 6 hingga 9 bulan.
12
Pada kasus, penderita adalah penderita yang baru didiagnosis MH tipe BT dan tidak
ditemukannya BTA pada pemeriksaan hapusan sayatan kulit sehingga pada klasifikasi WHO
dimasukkan dalam MT tipe PB. Pasien mendapat terapi berupa MDT PB 6 paket, dimana
paket I dimulai pada tanggal 26 Januari 2016.
Permasalahan psikososial lebih sering terjadi pada pasien yang menderita penyakit
kronis seperti kusta. Tiap penyakit kronis membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh
sehingga memunculkan permasalahan psikososial dalam hidup pasien. Stigma sosial pada
kusta, membuat kondisi perkembangan psikososial dan perilaku penderitanya menjadi lebih
buruk.Saat seseorang didiagnosa menderita kusta, kondisi psikologis normalnya terpengaruh.
Reaksi negatif dari keluarga, teman-teman, dan komunitas memperburuk moralnya yang telah
menurun dan keadaan psikologis secara keseluruhan.18,19
Pada kasus, pasien mengatakan bahwa dirinya sempat menceritakan mengenai
keluhan yang dialaminya pada teman-teman kerjanya yang berada dalam ruangan yang sama
dengannya. Sejak saat itu, pasien merasa bahwa teman-teman kerjanya tersebut seperti
menjaga jarak dengan dirinya. Pasien juga mengatakan bahwa dirinya memiliki perasaan
takut terhadap penularan penyakit kusta yang dideritanya kepada keluarganya dan teman-
teman di sekitarnya.
Istilah “sosial” memiliki arti yang sangat luas. Arti sosial pada kamus adalah hidup
dalam kelompok, seseorang tidak menjalani hidup yang soliter. Proses sosial atau sosialisasi
adalah fenomena yang terjadi seumur hidup. Dimulai dari keluarga dan berlanjut melalui
sekolah, kontak dengan keluarga, teman-teman, teman kerja. Istilah reintegrasi sosial dan
ekonomi dimaksudkan untuk membuat penderita kusta kembali ke status sosial dan ekonomi
aslinya, atau untuk membawa mereka kembali pada peranan mereka dalam masyarakat
sehingga dapat hidup normal baik, dimana hal ini dapat dicapai melalui tindakan
rehabilitasi.18,19
Komunitas ahli kusta WHO mendefinisikan rehabilitasi sebagai perbaikan fisik dan
mental dari semua pasien yang dirawat dengan semaksimal mungkin sehingga mereka dapat
melanjutkan kembali posisi mereka di rumah, masyarakat, dan industri.18,19
Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan fungsi fisik, membuat kondisi fisik
sekarang beradaptasi kembali dengan situasi kehidupan normal, berkumpul kembali dengan
keluarga dan komunitas, melanjutkan kehidupan sosial dan ekonominya yang normal.
Pengetahuan ilmiah tentang kusta mengenai penyebab, penyembuhan, dan deformitas
telah membantah keyakinan tradisional. Informasi ilmiah ini perlu disampaikan ke
masyarakat umum, yang sangat penting untuk membawa perubahan pada perilaku orang-
13
orang terhadap penderita kusta. Normalisasi merupakan tujuan holistik. Hal ini tidak dapat
dicapai apabila hanya menitikberatkan pada permasalahan fisik dari penderita kusta semata.
Perlu juga untuk membantu mereka mengatasi penyakitnya dalam kaitannya dengan
permasalahan psikologis, spiritual, sosial, dan ekonomi.18,19
Orang-orang yang membutuhkan rehabilitasi juga sangat beragam. Orang tersebut
dapat laki-laki atau perempuan, muda atau tua, berpendidikan dan tidak berpendidikan, kaya
atau miskin. Variasi yang luas di antara penderita kusta juga menekankan perlunya seleksi
dari penderita yang membutuhkan rehabilitasi. Oleh karena itu, sangat perlu untuk
dilakukannya tindakan pengelompokan penderita kusta secara luas untuk mengetahui siapa
yang akan membutuhkan, apa jenis bantuan yang akan diberikan, dan juga siapa yang tidak
sesuai untuk rehabilitasi.
Pengelompokan penderita kusta dibagi menjadi:18,19
1. Orang yang tidak memiliki deformitas, dan tidak memiliki permasalahan sosial dan
ekonomi serta dapat menjalani hidup normal.
2. Orang yang memiliki deformitas tapi tidak memiliki permasalahan sosial ekonomi
apapun serta dapat menjalani hidup normal.
3. Orang yang tidak memiliki deformitas tapi memiliki permasalahan sosial atau
ekonomi hanya karena mereka menderita kusta.
4. Orang dengan deformitas, yang kehidupan sosial ekonominya terancam.
5. Orang dengan deformitas yang posisi sosial ekonominya sudah terganggu. Kondisi
hidup normal mereka sangat terpengaruh.
6. Orang lanjut usia yang telah mengalami kemiskinan karena mengalami deformitas
berat dan penderitaan panjang sehingga kondisi sosial ekonomi mereka terganggu.
Berdasarkan pengelompokan penderita kusta tersebut, kelompok dengan kategori 1 dan
2 tidak memerlukan rehabilitasi apapun. Orang-orang yang termasuk kategori 3 memerlukan
konseling dan dukungan psikologis. Pada kelompok kategori 4 dan 5 dikatakan sangat
memerlukan rehabilitasi. Sedangkan pada kelompok kategori 6 yang telah berusia lanjut dan
mengalami deformitas, dikatakan bahwa mereka tidak memerlukan rehabilitasi dikarenakan
usia mereka yang telah lanjut disertai deformitas yang berat. Perawatan yang diperlukan pada
kelompok kategori ini berupa perawatan institusional.18,19
Penyakit kronik seperti kusta dikatakan dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
WHO mencoba untuk memperkirakan kualitas hidup seseorang dengan menggunakan suatu
metode kuosioner WHOQOL-BREF. Metode ini dapat memperkirakan kualitas hidup
seseorang berdasarkan persepsi individu terhadap empat aspek, antara lain: kesehatan fisik,
14
psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan.20
Masing- masing aspek memiliki nilai
maksimal 100 dan semakin rendah nilai yang didapatkan dari masing-masing aspek
menandakan semakin rendahnya kualitas hidup seseorang pada aspek tersebut.20
Pada suatu
penelitian mengenai kualitas hidup seseorang yang dilakukan di Brazil, dengan metode ini,
dikatakan bahwa aspek psikologis dan hubungan sosial merupakan aspek yang memiliki nilai
terendah dibandingkan aspek lainnya pada seseorang yang menderita kusta.21
Pasien pada kasus merupakan pasien laki-laki berusia 40 tahun yang tidak mengalami
deformitas, namun memiliki permasalahan sosial berupa adanya perasaan bahwa teman-
teman kerjanya seperti menjaga jarak dengan dirinya. Berdasarkan metode kuosioner
WHOQOL-BREF, aspek psikologis dan hubungan sosial dari pasien memiliki nilai kurang
dari 75. (data terlampir). Berdasarkan pengelompokan, pasien ini termasuk kelompok
kategori 3 sehinggapasien beserta keluarga diberikan dukungan psikologis dan KIE mengenai
penyakit kusta, penyebab dan cara penularannya serta pentingnya minum obat dan kontrol
secara teratur.Didapatkan adanya perbaikan psikologis pada pasien setelah adanya perbaikan
di dalam lingkungan kerjanya.
Prognosis pada pasien adalah dubius ad bonam karena pasien memberikan respon terapi
yang baik. Tetapi tetap memerlukan observasi lebih lanjut dalam deteksi dini adanya
gangguan fungsi saraf dan komplikasi lainnya.
SIMPULAN
Telah dilaporkan suatu kasus MH tipe BT pada seorang laki-laki berusia 40 tahun
yang bekerja sebagai PNS di Dinas Kesehatan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan adanya keluhan
berupa bercak putih pada daerah kedua lengan disertai dengan rasa tebal pada daerah bercak
tersebut. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya makula hipopigmentasi multipel, berbatas
tegas, bentuk anular disertai dengan penurunan rasa raba,nyeri, dan suhu. Dari pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan histopatologi didapatkan hasil yang sesuai untuk MH tipe BT.
Penatalaksanaan yang diberikan adalah MDT pausibasiler, vitamin B1 B6 B12, dan KIE pada
pasien dan keluarganya mengenai penyakit kusta, penyebab dan penularan penyakit kusta,
pentingnya rutin minum obat dan kontrol secara teratur. Prognosis pasien pada kasus ini
adalah dubius ad bonam.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Delphine JL, Rea TH, and Modlin RL. Leprosy. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine.
8th
ed. USA : McGraw-Hill. 2012: p.2253-63.
2. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record: Global Leprosy Situation
2013. Geneva, 2013; 35(88); 365-380.
3. Anonim. Buku Register Kunjungan Sub Bagian Morbus Hansen, Poliklinik Kulit dan
Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Denpasar; 2013-2015.
4. Soebono H., Suhariyanto B. Pengobatan Penyakit Kusta. In: Sjamsoe-Daili E.S., Menaldi
S.L., Ismiarto S.P., Nilasari H., editors. Kusta. 2nd
ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI,
2003; 66-74.
5. Bryceson, A., Pfatzgraff R.E. Clinical Pathology. In: Leprosy. 3rd
ed. United States of
America : Churcill Livingstone, 1990; p.11-24.
6. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Epidemiologi.
Dalam: Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI. 2012.
7. Kar KH, Sharma P. Leprosy Reactions. In: Kumar H, Kumar B. IAL Textbook of
Leprosy. New Delhi : Jaype; 2010; 269-289.
8. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical Leprosy. In: Hasting RC, Opromolla DVA, editors.
Leprosy. 2nd ed. New York: Churchill Livingstone, 1994; p.237-87.
9. Sekar, Balaraman. Bacteriological Aspect. In: IAL Textbook of Leprosy. New Delhi :
Jaypee; 2010; p.74-86.
10. Saonere JA. Leprosy: an overview. J Infect Dis Immun 2011; 3(14): 233-43.
11. Thorat DM, Sharma P. Epidemiology. In: Khar HK, Kumar B, editors. IAL. Textbook of
Leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers; 2010.p24-31
12. Worobec SM. Curret Approaches and Future Directions in The Treatment of Leprosy.
Research and Reports in Tropical Medicine. 2012; 3 : 79-91
13. Noto S, Schreuder PAM, Naafs B. The diagnosis of leprosy. Leprosy mailing list
archives 2011; 10:1-23.
14. Degang Y, Nakamura K, Akama T, Ishido Y, Luo Y, Ishii N, et al. Leprosy as a model
of immunity. Future Microbiol 2014; 9(1): 43-54.
15. Shahiduzzaman GKM, Kamal SM, Ahad MA, Islam R. Leprosy: an overview. Med
Today 2011; 23(1): 44-50.
16
16. Pardillo FEF, Fajardo TT, Abalos RM, Scollard D, Gelber RH. Methods for the
classification of leprosy for treatment purpose. Clin Infect Dis 2007; 44: 1096-9.
17. World Health Organization. Global leprosy situation, 2012. Wkly Epidemiol Rec 2012;
87(34): 317-28.
18. Gopal PK. Psychosocial aspects. In: Kar HK, Kumar B, editors. IAL textbook of leprosy.
New Delhi: Jaypee Brothers; 2010. P. 559 – 564
19. Bryceson, A., Pfatzgraff R.E. Social, psychological and vocational rehabilitation. In:
Leprosy. 3rd
ed. United States of America : Churcill Livingstone, 1990; p.183 – 189
20. Victoria State Government. Optional Modul 5 : Quality of Life (WHOQOL – Bref).
2013. www.turningpoint.org.au
21. Leite, IF. Arunda, AJCG de. Vasconcelos, DIB de et al. Jurnal of nursing : The quality of
life of patients with chronic leprosy. Juni, 2015.