dampak penerapan elemen estetis produk kriya tradisonal bali secara eklektik
TRANSCRIPT
DAMPAK PENERAPAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI
SECARA EKLEKTIK PADA DESAIN MASA KINI
berdasarkan perspektif historis dan semiotis
Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Bali Secara Eklektik Pada Desain Masa Kini
Berdasarkan Perspektif Historis dan Semiotis
Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn E-mail: arimbawa @yahoo.com
Hak Cipta © 2010 Pada penulis
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara digital maupun mekanis, termasuk memfotocofy, merekam atau dengan system penyimpanan lainnnya, tanpa seizin tertulis dari penulis
Desain cover & setiting : Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn
21 x 15 cm
Penerbit : Udayana University Press Jimbaran Denpasar Bali Bekerja sama dengan: Intitut Seni Indonesia Denpasar Jl. Nusa Indah Denpasar
ISBN: 978-602-8566-65-0
DAFTAR ISI JUDUL………………………………………………… i DAFTAR ISI…………………………………………... iii SAMBUTAN ................……………………………… v PENGANTAR PENULIS……………………………. viii BAB I PENDAHULUAN………………………………................... 1 BAB II EKLEKTIK DAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI………………………………………..
19
A. Pengertian Eklektik……………………………... 19 B. Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Bali 21 BAB III PERKEMBANGAN DAN MOTIVASI PENCIPTAAN PRODUK KRIYA DI BALI………………………………….
28
A. Sejarah Penerapan Produk Kriya…………….. 28 B. Peranan Produk Kriya dalam Kehidupan Agama
Hindu Sesuai dengan Adat di Bali….
52 BAB IV PENDEKATAN HISTORIS DAN SEMIOTIS TERHADAP PRODUK KRIYA……………………………………………...
97
A. Pendekatan Historis…………………………….. 97 B. Pendekatan Semiotis…………………………… 100 C. Semiotika dalam Rancangan Produk Kriya…. 115 1. Konsep Sekular……………………………….. 116 2. Konsep Spiritual Religius……………………... 119 D. Beberapa Fenomena yang Muncul Sehu-
bungan dengan Tindakan Eklektik pada Unsur Produk Kriya Masa Lalu ……………...
122
BAB V DAMPAK PENERAPAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI ………………………………
128
A. Faktor-Faktor Pendorong Penerapan Ele-men Estetis Produk Kriya Tradisional Bali Secara Eklektik Pada Desain Masa Kini……...
128 1. Kajian Historis…………………………………. 128
2. Kajian Semiotis………………………………... 148 B. Dampak yang Ditimbulkan Baik pada Produk
Masa Lalu yang Dipilih maupun pada Produk Kriya yang Dibuat Masa Kini…….....................
157 1. Dampak Eklektisme Terhadap Produk
Kriya Masa Lalu………………………….
159 2. Dampak Eklektisme Terhadap Desain
Masa Kini………………………………….
161 DAFTAR BACAAN 168
PENDAHULUAN
etelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1950,
perkembangan pariwisata di Bali kembali menga-
lami kebangkitan dan hingga sekarang menjadi pusat
pengembangan industri pariwisata di kawasan tengah
Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut, pengaruh pa-
riwisata sangat dirasakan oleh masyarakat di Bali. Di
satu sisi banyak prestasi gemilang yang telah diraih
dan secara tidak langsung dapat membawa kehidupan
masyarakat di Bali menjadi lebih baik, namun di sisi
lain pengaruh tersebut tidak dapat dielakkan lagi
menimbulkan dampak negatif dan menjadi masalah
terhadap kelestarian kebudayaan Bali. Nilai-nilai tra-
disional banyak menjadi tidak eksis dan bahkan men-
jadi rusak akibat perkembangan komersialisasi dan
materialisme dalam hubungan antar manusia sebagai
konsekuensi logis adanya aktivitas pariwisata. Hubung-
an sosial antar manusia yang pada mulanya didasari
oleh nilai-nilai moral berubah menjadi hubungan yang
didasari oleh nilai-nilai ekonomi dan kepentingan. Bu-
daya kolektif berubah menjadi individual.
Menurut Geriya (1993), bahwa dampak pariwisata
khususnya dalam konteks sosial budaya ditandai dengan
adanya beberapa indicator sebagai berikut.
S
BAB I
1. Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat dan ter-
konsentrasi di daerah wisata sebagai akibat dari
adanya migrasi penduduk pencari kerja ke wilayah
tersebut.
2. Berkembangnya pola hubungan sosial yang lebih
bersifat impersonal.
3. Meningkatnya mobilitas penduduk dalam bekerja.
4. Mundurnya aktivitas gotong royong.
5. Berkembangnya konflik antargenerasi, khususnya
generasi tua dan generasi muda.
6. Terjadinya gejala social defiance yang meliputi ke-
jahatan, narkotika, maupun penyakit kelamin.
7. Terjadi komersialisasi kebudayaan dan hasilnya.
Mengenai indikator pada poin ketujuh merupakan
salah satunya masalah terkait dengan eksistensi kehi-
dupan kebudayaan tradisional Bali. Hasil kebudayaan
unggul (height culture) hendaknya diposisikan sebagai
basis kreativitas yang kaya inspirasi, kokoh identitas,
kuat modal budaya yang mengkonstruksi, mengintegrasi
dan menyeimbangkan, sehingga tidak tergerus oleh
mekanisme komersialisasi dan komoditisasi. Antara
kebudayaan tradisional Bali dan penciptaan desain
produk masa kini agar terjaga pola hubungan sinergis,
komplementer yang simetris dan saling meningkatkan.
Hal tersebut menjadi penting, mengingat hasil
kebudayaan unggul memiliki karakteristik sebagai ber-
ikut: (1) mengedepankan kualitas, sehingga diagung-
kan dan dimuliakan (adhiluhung); (2) menjadi sumber
inspirasi atau spirit dan kreasi oleh mayoritas populasi
dan perajin; (4) memiliki sifat khas, lentur dan adaptif
dengan roh budaya; (5) mengandung sari-sari budaya
dan peradaban, seperti etika, estetika, logika, solidari-
tas, spiritualitas dan aneka kearifan lokal.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Mantra
(1988) bahwa kebudayaan Bali dalam perkembangannya
berfungsi secara “normatif” dan “operasional”. Berfungsi
normatif, karena terkait dengan adat-agama Hindu di Bali,
maka peranan kebudayaan Bali diharapkan mampu
dan berpotensi memberikan pegangan dasar dan pola
pengendalian, sehingga ketahanan dan kelestarian bu-
daya dapat diwujudkan. Berfungsi operasional, karena
kebudayaan Bali diharapkan mampu menjadi daya
tarik bagi peningkatan kualitas kepariwisataan di Bali.
Upaya mewujudkan ketahanan dan kelestarian
kekayaan budaya serta alam Bali, maka pada bebe-
rapa dasawarsa silam, pemerintah daerah Tingkat I
Bali dalam melaksanakan pembangunan yang menca-
kup berbagai sektor dirumuskan peraturan-peraturan
daerah yang diarahkan pada pembangunan dengan
pola budaya Bali, berwawasan lingkungan dan dilan-
dasi dengan konsep adati-Hinduisme, seperti:
1. Rwa Bhineda, yaitu dua hal yang berbeda ter-
dapat di dunia ini. Bagi orang Bali perbedaan
tersebut tidak harus dipertentangkan, melainkan
diharmoniskan (serasi, selaras dan seimbang).
Konsep tersebut memberi kesadaran manusia
dalam menjalani kehidupan tidak luput dari be-
lenggu dikotomi yang bersifat kodrati, seperti:
baik atau buruk, siang atau malam, pria atau
wanita, nyata atau tidak nyata (sekala atau nis-
kala), dan sakral atau profan. Hal tersebut, se-
suai dengan yang termaktub dalam Kitab Sara-
samušcaya, seloka: 498, yaitu sebagai berikut:
sukha vã yadi vã duhkham bhûtãnãm paryu-pasthitam, prãptavyamavašaih sarva pari-hãro na vidyate.
Artinya: dua hal yang berbeda, seperti su-
ka dan duka tidak dapat dipisahkan dari kehi-
dupan, merupakan kekuasaan Sang Hyang
Widhi Waša atau Tuhan, sehingga segala
makhluk tidak luput dari ikatan suka maupun
duka (Kadjeng, 1993.) Sebagai manusia de-
ngan berbagai keterbatasan, kebolehan dan
kemampuan sebenarnya sangat sulit untuk
menentukan batas absolut dua hal tersebut.
Oleh sebab itu, maka dalam mengambil sua-
tu tindakan atau keputusan, dituntut bijak,
menghidarkan tindakan yang arogan dan ha-
rus berdasarkan nalar atau wiweka, yaitu ke-
mampuan untuk menimbang konsekuensi baik
atau buruk yang akan berpengaruh pada ma-
nusia dan lingkungan.
2. Catur Purusha Artha, artinya empat tujuan hi-
dup sebagai dasar kehidupan sosial, yaitu
terdiri dari: dharma, artha, kãma dan moksa.
Keempat bagian tersebut adalah merupakan
satu kesatuan yang utuh.
Perkataan dharma, berasal dari bahasa
Šanskerta, ‘dhir,’ yang berarti: menjunjung, me-
mangku, mengatur, adil, rasa bersahabat, me-
nuntun, memelihara dan melestarikan. Artha,
artinya benda atau sarana yang dapat me-
menuhi kebutuhan hidup manusia. Kãma,
berarti naluri, dorongan nafsu atau keinginan
yang bersifat duniawi. Sedangkan perkataan
Moksa, berasal dari Bahasa Šanskerta, ‘Muc’
yang berarti membebaskan atau melepaskan
ikatan duniawi.
Dari keempat tujuan hidup tersebut, mok-
sa adalah merupakan tujuan hidup yang ter-
tinggi, karena merupakan kebahagian sejati.
Sedangkan dharma adalah tujuan terpenting,
sebab dengan perbuatan yang dilandasi de-
ngan dharma, maka tuntutan akan artha dan
kãma dapat dikendalikan; moksartham jaga-
dithya ca iti dharma, artinya tujuan dharma
adalah untuk mencapai kesejahteraan jasma-
ni dan kebahagiaan rohani yang selaras dan
seimbang. Hal tersebut, sesuai dengan pen-
jelasan dalam Kitab Sarasamušcaya, seloka:
12, yaitu sebagai berikut:
Kamãrthau lipsamnastu dharmmamevã-ditašsaret, nahi dharmmãdapetyãrthah kãmo vapi kadãcana.
Artinya: jika menuntut artha dan kãma
dalam hidup ini, hendaknya mengutamakan
dharma, nantinya tak disangsikan lagi pasti
akan diperoleh artha dan kãma. Tidak ada
artinya, bila artha dan kãma tesebut diper-
oleh dengan perbutan yang menyimpang dari
dharma (Kadjeng,1993.)
Konsep tersebut merupakan panduan
absolut bagi manusia untuk membina kese-
imbangan dan keselarasan antara alam se-
kala dan niskala. Dalam usaha memenuhi
tuntutan artha dan kãma, hendaknya manu-
sia mengendalikan diri dan lebih mengutama-
kan perbuatan dharma. Hal tersebut merupa-
kan suatu penafsiran atau fatwa agar manu-
sia senantiasa memelihara dan melestarikan
alam semesta yang mencakup bhuana agung
(makrokosmos) serta bhuana alit (mikrokos-
mos), untuk mencapai jagaddhita atau keba-
hagian dan kesejahteraan hidup.
3. Desa Kala Patra, adalah bagian dari Tri Pra-
mana dalam lingkup perilaku manusia, meru-
pakan tiga ukuran yang dapat dipakai seba-
gai pedoman untuk menilai kenyataan Rwa
Bhineda. Desa dalam konteks perilaku ma-
nusia merupakan pedoman berdasarkan tem-
pat atau lingkungan di mana perbuatan ter-
sebut dilakukan. Kala merupakan pedoman
berdasarkan waktu perbuatan atau aktivitas
tersebut dilakukan. Sedangkan Patra meru-
pakan pedoman berdasarkan “keadaan” atau
peraturan tertulis yang berlaku.
Konsep tersebut memberikan landasan ideal
yang luwes atau fleksibel, khususnya dalam
mengambil sikap, peraturan, keputusan atau
kebijakan yang akan diberlakukan dalam ma-
syarakat. Manusia hendaknya mampu me-
nyesuaikan dengan waktu, tempat atau ling-
kungan dan keadaan atau peraturan yang te-
lah berlaku, sehingga tercipta kesatuan pan-
dang dan keadaan yang mengarah pada ke-
damaian, kenyamanan, kesejahteraan umat
manusia dan kelestarian lingkungan.
4. Karma Phala, yaitu terdiri dari kata Karma
yang artinya perbuatan dan Phala artinya buah
atau hasil. Jadi Karma Phala mengandung arti:
hasil dari perbuatan. Dua hal tersebut memi-
liki hubungan timbal balik dan marupakan
“hukum” dan telah dipercayai umat Hindu di
Bali, bahwa semua perbuatan manusia pasti
akan memperoleh hasil yang setimpal (inter-
aksi yang seimbang); baik di dunia nyata
(sekala) maupun di akhirat (nis-kala). Hukum
Karma dikenal pula sebagai hukum alam
atau kausalitas dan tak seorang pun luput
dari hukum tersebut. Dalam Kitab Reg Veda
VII. 25. 1, hukum tersebut dikenal dengan
perkataan Rtã dan dijelaskan sebagai berikut:
Tã vãm vivaya gopã Deva dikesu yajñiyã rtãvãnã yajase putadaksasã.
Artinya: Kami memuja engkau yang menjaga
alam semesta, Dewa yang tersuci penegak
hukum keabadian yang memiliki kekuatan
suci. Jadi, hukum Rtã selain sebagai hukum
perbuatan serta hukum moral, juga sebagai
hukum jagat raya. Hukum tersebut mengatur
keterpaduan, keseimbangan dan menghin-
dari kekacauan alam semesta.
Konsep yang dilandasi Karma Phala, mem-
beri pendirian terhadap hukum kausalitas
yang pasti terjadi dalam kehidupan manusia
di dunia ini. Menanamkan kepercayaan bah-
wa, perbuatan baik selalu akan mendatang-
kan hasil yang baik, sebaliknya perbuatan
buruk akan memperoleh hasil yang buruk.
Jadi, konsep tersebut melandasi sikap anti-
sipatif, pengendalian atau restraint dan pem-
binaan moral dalam segala perilaku manusia
sehari-hari, baik antar sesama sebagai sum-
ber daya manusia, maupun dalam memper-
dayakan sumber daya alam.
5. Tri Hita Karana. Perkataan tersebut terdiri
dari kata ‘Tri’ berarti tiga, ‘Hita’ berarti sejah-
tera, selamat atau kemakmuran dan ‘Karana’
berarti penyebab. Terdiri dari: Parhyangan,
Palemahan dan Pawongan. Secara keselu-
ruhan Tri Hita Karana mengandung penger-
tian: tiga penyebab terciptanya keselamatan,
kesejahteraan atau kemakmuran.
Esensi dari konsep tersebut merupakan si-
nergisme yang meliputi pembinaan hubung-
an yang harmonis, baik secara vertikal mau-
pun horizontal, yaitu: (1) Pola hubungan ma-
nusia dengan Tuhan disebut Parhyangan,
artinya manusia hendaknya selalu sujud ke-
hadapan-Nya atas segala rahmat dan karu-
nia-Nya, (2) Pola hubungan antara manusia
dengan alam lingkungannya disebut Pale-
mahan, artinya manusia hendaknya selalu
merawat dirinya sendiri dan menjaga, meme-
lihara kelestarian alam disekitarnya. Memba-
tasi eksplorasi dan ekploitasi alam, sehingga
tercipta kehidupan yang sehimbang, selamat
dan sejahtera. (3) Pola hubungan manusia
dengan manusia disebut dengan Pawongan,
artinya manusia dalam kehidupanya hendak-
nya selalu dapat menjalin rasa persahabatan
yang didasari dengan saling pengertian dan
Tãt Twãm Ãsi. Secara harfiah terdiri dari
kata: Tãt artinya “itu”, Twãm artinya “kamu”
dan Ãsi artinya “adalah”. Jadi secara kese-
luruhan berarti “itu adalah kamu”. Pengertian
“itu” termasuk “aku” dimaksudkan diri sendiri
dan alam semesta beserta isinya. Jika me-
nyakiti orang lain secara implisit berarti me-
nyakiti diri sendiri.
6. Etos Kerja dan Jengah atau semangat kerja.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dije-
laskan, bahwa perkataan etos yang terkait
dengan kebudayaan berarti: sifat, nilai dan
adat-istiadat yang khas serta memberi watak
kepada kebudayaan suatu golongan sosial di
masyarakat. Kalau ditambah dengan kerja,
berarti semangat kerja yang menjadi ciri khas
dan keyakinan seseorang atau suatu kelom-
pok (Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1994) Demikian juga secara Sosio-
logi, berarti: (1) nilai-nilai dan ide-ide suatu
kebudayaan; (2) karakter umum suatu pe-
kerjaan (Soekanto, 1985) Sedangkan jengah
dalam Bahasa Bali berarti: semangat juang.
Dalam konteks seni Budaya Bali, terutama
dalam menciptakan produk-produk seni ber-
mutu tinggi, kata jengah berkonotasi sebagai
“semangat bersaing” atau competitive pride
(Mantra, 1993)
Dari pengertian etos kerja tersebut, maka si-
fat khas atau semangat kerja yang dimiliki
masyarakat dalam lingkungan adat Bali, ada-
lah semangat kerja yang dilandasi dengan
gotong royong serta berbakti dengan cara
yang tulus iklas atau ngayah kepada Tuhan
berserta ciptaannya, yaitu dalam bentuk pe-
ngorbanan suci atau Yajña. Sedangkan dalam
perkata jengah secara implisit tersirat sifat
dinamis dan merupakan pangkal dari segala
dinamika perubahan dalam kehidupan masya-
rakat di Bali.
Konsep tersebut merupakan landasan dari
kerja keras, dinamis dan kebersamaan dalam
pembangunan disegala sektor. Tetapi kedua
hal tersebut perlu diarahkan, diakomodasikan
dan dikendalikan dengan konsep tersebut
sebelumnya, sehingga tercipta keharmonisan
dan kedamaian serta dalam mengeksploitasi
sumber daya alam akan dapat diharapkan
terwujudnya kelestarian.
7. Estetika. Bagi orang Bali keindahan, baik ke-
indahan alam maupun keindahan hasil olah
cita, rasa dan karsa manusia yang muncul
akibat perpaduan antara keserasian kesela-
rasan dan keseimbangan dalam suatu pro-
duk seni atau desain adalah merupaka ka-
runia Tuhan. Oleh sebab itu, seni dengan
keindahan hendaknya dipersembahkan kem-
bali kepada-Nya dalam produk seni ataui de-
sain berbentuk simbol-simbol atau nyasa, se-
bagai rasa terimakasih.
Dengan pandangan tersebut, maka dalam
setiap kegiatan adat-agama Hindu di Bali,
keindahan merupakan hal pokok yang harus
diperhitungkan, karena bagi umat Hindu di
Bali dipercayai bahwa dalam keindahan tersi-
rat nilai-nilai kebaikan, kejujuran dan kebe-
naran. Sehingga dengan melakukan persem-
bahan keindahan berarti berbuat yajña. Pan-
dangan tersebut sesuai dengan yang dijelas-
kan Gie (1976) bahwa keindahan dalam arti
luas mencakup pula ide kebaikan (mengacu
pada pengertian bangsa Yunani kuno, seperti
Plato menyebut ‘watak indah’ atau ‘hukum
indah’ dalam konteks tersebut, maka penger-
tian indah akan menyiratkan nilai kejujuran
dan kebaikan.
Konsep tersebut juga merupakan pedoman
bagi generasi penerus dalam menghayati
menikmati, dan menghargai keindahan, baik
terlihat di alam sebagai ciptaan-Nya yang
agung, maupun pada produk seni atau pro-
duk kriya tradisional yang adiluhung, karena
di dalamnya tersirat nilai-nilai luhur. Meng-
ajarkan manusia agar berbuat dengan meng-
arah pada keselarasan, keserasian, dan ke-
seimbangan, baik dengan Tuhan, sesama
mahkluk maupun dengan alam di sekeliling-
nya, sehingga tetap tercipta “keindahan”.
8. Taksu, merupakan personal asset atau inner
power yaitu kekuatan dari dalam diri sese-
orang sebagai fitrah yang memberikan kecer-
dasan, keindahan dan mujizat. Dalam kaitan-
nya dengan pelbagai aktivitas budaya Bali,
taksu juga mempunyai arti sebagai kreativi-
tas murni, genuine creativity, yang memberi
kekuatan spiritual kepada seorang seniman
untuk mengungkap dirinya menjadi “lebih be-
sar” dari kehidupan sebelumnya (Mantra, 1993)
Konsep tersebut menuntun kesadaran ma-
nusia untuk menumbuhkan rasa percaya diri,
sebab setiap insan memiliki taksu sebagai
anugrah Tuhan yang perlu dilatih dan dikem-
bangkan, sehingga dapat tampil sebagai jati
diri yang mandiri. Seorang seniman tari dapat
dikatakan memiliki taksu, apabila ia mampu
mentransformasikan dirinya secara utuh se-
suai dengan peran yang ditampilkan. Seorang
perupa dikatakan produknya ber-taksu, apa-
bila mampu merefleksikan inner power pada
produk visualnya, sehingga berkesan “hidup”
dan sebagainya. Namun dalam mensosiali-
sasikan kesadaran tersebut, perlu juga dito-
pang atau dikendalikan oleh konsep-konsep
lainnya yang telah dipaparkan, sehingga ti-
dak terjadi penampilan yang terlalu berlebih-
an, “over acting”, atau jangan sampai mele-
wati batas norma-norma yang berlaku. Kare-
na sikap tersebut, kadang dapat menjadi bu-
merang. Taksu yang dimiliki akan berubah
menjadi “kelemahan”.
Demikian juga pengembangan pariwisata di
daerah Bali, secara yuridis berdasarkan Per-
da Nomor 3 tahun 1974 juncto Perda Nomor
3 tahun 1991 yang menetapkan bahwa konsep
pengembangan pariwisata di Bali adalah ber-
basis budaya Bali, yaitu jenis kepariwisataan
yang bertumpu pada kebudayaan daerah
Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu
sebagai potensi daerah yang paling dominan.
Dalam konsep tersebut secara implisit ter-
sirat suatu harapan agar terjadi relasi timbal
balik atau symbiosis mutually beneficial rela-
tionship antara pariwisata dengan kebudaya-
an Bali. Konsep pariwisata budaya diharap-
kan dapat mengkonstruksikan interaksi yang
sangat erat antara pariwisata dan kebudaya-
an masyarakat Bali serta dapat memberi pe-
ningkatan yang signifikan secara serasi, sela-
ras, dan seimbang. Diupaya agar meminimal-
kan timbulnya dampak negatif terhadap ke-
lestarian seni budaya Bali.
Walaupun sedemikian luhurnya maksud dan tu-
juan konsep yang melandasi strategi pembangunan di
Bali. Namun pada kenyataannya tak jarang ditemukan
juga “ketidaktaatan” dalam operasionalnya. Sebagai
salah satu contoh yang dapat dijumpai dalam dasa-
warsa belakangan ini, seperti fenomena eklektik atau
“pemilihan” bentuk-bentuk atau ragam hias tradisional
Bali yang sebenarnya dirancang dengan bentuk, isi
(content) atau bobot, narasi, dan nilai-nilai estetika yang
khusus untuk diterapkan pada sarana pemujaan dan
dianggap mengandung nilai simbolis dan sakral, namun
kini banyak tampak diterapkan pada desain produk-
produk profan atau tempat-tempat yang tidak sesuai.
Misalnya, Karang Bhoma yang sebenarnya merupa-
kan ragam hias pada bangunan-bangunan suci, seka-
rang banyak terlihat diterapkan sebagai elemen estetis
pada hotel, perkantoran, rumah tinggal dan bahkan
sebagai hiasan pada bagian tubuh dengan di-tatto.
Kalau dikaji dari sudut kesejarahan dan semiotika,
maka fenomena tersebut merupakan suatu pergeseran
makna dan dapat berakibat terjadinya “desakralisasi”,
pengkaburan makna dan berkonotasi negatif. Produk
yang dibuat tersebut kadang-kadang menampakan
“kejanggalan”, karena dalam pengerjaannya tidak
mengacu pada referensi kesepakatan yang dibuat
oleh leluhurnya di masa lalu dan nilai-nilainya masih
eksis pada masyarakat Hindu di Bali.
Menyikapi kondisi tersebut dalam masyarakat
Bali terjadi polarisasi pandangan, sementara ada yang
berpendapat bahwa hal tersebut “sah-sah” saja ter-
gantung pada proses pengerjaannya, di lain pihak ada
yang memandang sebagai sesuatu yang baku dan
tindakan tersebut sebagai sesuatu yang keliru. Namun
jika ditinjau dari sudut visualnya sebenarnya imple-
mentasi tersebut tidak sesuai dan dapat berdampak
buruk, baik terhadap produk yang dipilih dan demikian
juga terhadap desain yang diberi elemen estetis
produk kriya tradisional yang sarat makna religius.
Dalam penerapan elemen estetis tradisional
pada desain masa kini, mereka kadang-kadang tidak
mempersoalkan masalah eksistensi makna dan nilai-
nilai filosofi yang dikandungnya. Penerapannya semata-
mata berorientasi pada faktor estetis dan komersial.
Jika ditinjau kembali dengan merujuk konsep estetika
yang mendasari strategi pembangunan di daerah Bali.
Jelas tidakan tersebut tidak relevan dan merupakan
suatu sikap “ketidaktaatan. Mereka memilih dan mene-
rapkannya pada produk atau tempat yang bersifat pro-
fan dengan tendensi lebih mengutamakan segi pe-
mampilan “artistik” semata, tanpa peduli akan terjadi
pelunturan nilai-nilai filosofi, terutama yang terkait de-
ngan nilai-nilai simbolis religius yang dikandungnya.
Produk yang tergolong high art sebagai hasil kebu-
dayaan tinggi atau high culture yang adiluhung, menja-
di kehilangan ‘jiwa’ kesuciannya atau menjadi suatu
produk yang lumrah. Sikap seperti tersebut tanpa disa-
dari dapat mengancam spirit dan kelestarian budaya
Bali yang dibanggakan dan dijadikan sebagai daya ta-
rik utama dalam pengembangan kepariwisataan di Bali
Dari uraian tersebut dapat diketahui, bahwa “ma-
syarakat Bali” dalam mengaplikasikan konsep-konsep
adati Hinduisme yang kini dijadikan sebagai landasan
strategi pembangunan di daerah Bali, khususnya dalam
aktivitas penciptaan dan penggunaan elemen estetis
produk kriya tradisional, secara umum dapat digam-
barkan dalam suatu sekematik hubungan hirarki atau
taksonomi pandangan tentang dunia (weltanschaúung)
manusia Bali seperti Gambar 1 berikut:
THEOLOGICAL CONCEPTASUMSI DASAR
KARMA PHALA
RWA BHINEDA
TAKSU
ETOS KERJAJENGAH
CATURPURUSHA
ARTHA
KEINDAHAN("RASA")
TRI HITAKARANA
DESA
KALA
PATRA
ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYATRADISIONAL
MASA LALU DI BALI
NISKALA
SKALA
EXTERNAL DESAIN MASA KINI BERSIFAT
KOMERSIAL:- CITRA TRADISIONAL
PENUNJANGKEPARIWISATAAN
DI BALI
(SUB SISTEM)
PENGARUH -PARIWISATA
-MODERNISASI /TEKNOLOGI
OPE
RA
SIO
NA
L (H
IDU
PD
I B
UM
I)
KO
NF
OR
MIT
AS
TO
TA
L
Gambar 1: Taksonomi Pandangan Dunia Manusia Bali
EKLEKTIK DAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI
A. Pengertian Eklektik
erkataan eklektik dalam bahasa Yunani
disebut eklektikos, Perancis, eklegein
berarti:1) memilih yang dipandang terbaik dari
berbagai doktrin, metode, sistem, atau gaya. 2)
mengkomposisikan beberapa elemen yang diambil
dari berbagai sumber (Webster, 1983.)
Dalam filosofi dan teologi, eklektik merupakan
praktek memilih doktrin dari beberapa sistem yang
berbeda tanpa memakai keseluruhan sistem yang la-
ma untuk masing-masing doktrin. Berbeda dengan sin-
kretisme —merupakan suatu usaha untuk menyerasi-
kan, perpaduan atau mengkombinasikan beberapa
sistem— karena masih meninggalkan kontradiksi yang
belum dihilangkan (Encyclopaedia Britannica ,1995).
Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, di-
artikan bahwa eklektik sebagai usaha memilih atau
menggunakan bermacam-macam susunan yang tidak
terbatas pada satu sumber ide dan sebagainya, baik
berupa orang, kepercayaan dan sebagainya (Hornby,
1989), dan dalam Moeliono, et al, (1994), perkataan
eklektik mengandung pengertian; suatu usaha bersifat
P BAB II
memilih yang terbaik dari berbagai sumber tentang:
orang, gaya atau metode.
Dalam seni dan desain, istilah eklektik dikenal
sebagai upaya untuk mencampur atau meramu bebe-
rapa gaya yang berasal dari berbagai sumber dalam
satu produk. Jadi, sebenarnya eklektik tidak memiliki prin-
sip khusus dalam kreativitasnya, namun gaya eklektik
merupakan olah image dari perpaduan berbagai gaya.
Bahkan pada perkembangannya dalam seni dan de-
sain, eklektik lebih merujuk pada perpaduan antara
beberapa gaya yang saling bertolakbelakang. Misal-
nya, memadukan gaya modern dan tradisional. Meski
terkesan tidak memiliki prinsip, namun bukan berarti
eklektik tidak unik. Justru dengan perpaduan berbagai
macam gaya akan melahirkan satu nuansa baru yang
jelas berbeda dengan gaya-gaya sebelumnya.
Dari uraian tersebut, maka dapat dipahami, bahwa
eklektik tidaklah selalu menghasilkan sesuatu yang
bersifat “merusak” norma-norma masa lampau akan
tetapi dapat juga berarti sebagai bentuk “penghargaan”
atau produk “nostalgia”. Hal tersebut juga sesuai de-
ngan konsep Charles Jencks yang menggunakan peng-
kodean ganda atau double coding dan eklektik digu-
nakan untuk menerangkan hakekat produk post modern-
isme. Dalam hal tersebut ia mendefinisikan postmodern
sebagai” kombinasi teknik-teknik modern dengan se-
suatu yang lain, seperti elemen-elemen estetika tradi-
sional) agar dapat berkomunikasi dengan publik dan
minoritas yang terkait” (Jencks,1987). Perkembangan
yang menampilkan multivariousness, kembalinya nilai-
nilai tradisional dan juga reaksinya yang justru mene-
kankan bentuk-bentuk baru yang radikal dan menen-
tang seluruh ekspresi kesenian yang dianggap ideal
dalam bingkai high art
Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka da-
lam pembahasan selanjutnya mengenai masalah pe-
nerapan elemen produk kriya tradisional secara eklek-
tik pada desain masa kini, akan dicoba mengkaji me-
ngenai dampak “negatif” yang ditimbulkan akibat eklektis-
me yang kurang terkendali. Hal tersebut, mengingat
unsur-unsur produk kriya masa lalu yang “dipilih” ter-
kait dengan sarana penghayatan dan pengamalan ajar-
an agama Hindu sesuai dengan adat di Bali dan nilai-
nilainya masih diyakini oleh sebagian besar umat Hindu
di Bali.
B. Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Bali
Kata kriya atau kria berasal dari bahasa Sanse-
kerta “kr” yang berarti ‘mengerjakan’, dari akar kata
tersebut kemudian menjadi karya, kriya dan kerja da-
lam bahasa Jawa disebut pekaryaan yang berarti pe-
kerjaan dan pengertian tersebut mengacu kepada ha-
sil suatu pekerjaan yang disebut ‘karya’. Dalam Kamus
Bahasa Kawi Indonesia dijelaskan, bahwa kriya berarti
pekerjaan atau perbuatan (Wojowasito, 1977) dan me-
nurut Moeliono, et al (1994) dijelaskan, bahwa per-
kataan kriya berarti pekerjaan tangan. Dalam arti khu-
sus adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan
benda atau objek yang bernilai seni dan miliki nilai
estetis. Pengertian kriya sering diselaraskan pengerti-
an handicrafts. Istilah tersebut dipergunakan untuk me-
nyebut suatu cabang seni yang mengutamakan kete-
rampilan yang luar biasa (virtousity) menggunakan ta-
ngan. Dalam Encyclopedia of World Art (1963) dide-
finisikan sebagai berikut:
The word “handicrafts” refers to useful or de-corative objects made by hand or with tool by workman who has direct control over the product during all stages of production.
Pengerjaannya bisa saja menggunakan bantuan
peralatan kerja, namun sepanjang proses pembuatan-
nya si pembuat atau kriyawan sepenuhnya dapat me-
nguasai seluruh tahap produksi, bahkan untuk tujuan-
tujuan tertentu dapat diciptakan peralatan khusus. Pe-
ngertian kriya juga sering dipadankan dengan istilah
craft yang mengandung pengertian suatu keahlian atau
keterampilan yang menghasilkan benda. Menurut
Soedarso (1988) kriya adalah cabang seni rupa yang
mengutamakan kekriyaan (craftmanship) yang tinggi,
Sehingga kriya pada hakekatnya tertuju pada pene-
kanan bobot kekriyaan yang memungkinkan melahir-
kan nilai seni terapan atau dalam bentuk ekspresi baru
sesuai tuntutan budaya masa kini. Atas dasar hal ter-
sebut, maka cakupan kriya memiliki fleksibilitas yang
tinggi, bisa memiliki ciri khas atau identitas, bisa ber-
ada pada domain seni murni atau seni pakai atau seni
terapan atau desain. Jadi orientasi penciptaan produk
mencerminkan kecenderungan-kecenderungan kepada
salah satu dari kedua hal tersebut atau terkadang
dapat merupakan perpaduan seni dan desain. Hal ter-
sebut membawa cara penilaian atau assessment este-
tika produk kriya tergantung dari wawasan atau per-
sepektif ilmu yang dipergunakan untuk mendekatinya.
Berdasarkan beberapa definisi dan ulasan terse-
but, maka dapat disimpulkan, bahwa pengertian kriya,
handicrafts atau craft adalah:
1. Sesuatu yang dibuat dengan kecenderungan
lebih banyak melibatkan kemampuan atau ke-
ahlian tangan kriyawan atau virtousity
2. Bersifat dekoratif atau secara visual dibuat sa-
ngat indah dan dalam perujudannya dapat be-
rupa produk seni murni atau seni terapan atau
desain yang memiliki fungsi guna atau utility.
Sedangkan pada masyarakat umumnya kriya se-
ring disebut sebagai “seni rakyat”. Hal tersebut ada
benarnya, karena sumberdaya manusia pelaku kegiat-
an tersebut umumnya rakyat biasa dan disebut “seni
tradisional” karena banyak menghidupkan atau konsis-
ten berbasis pada estetika tradisional. Kriya juga dise-
but “industri rumah-tangga” atau home industry yang
memproduksi barang dalam jumlah terbatas dengan
peralatan sederhana. Selain hal tersebut seni kriya juga
sering didekatkan dengan istilah “kerajinan” atau sega-
la sesuatu yang berkaitan dengan buatan tangan atau
kegiatan yang berkaitan dengan barang yang dihasil-
kan melalui keterampilan tangan. Kerajinan yang di-
buat biasanya terbuat dari berbagai bahan, sehingga
sebutan jenis kerajinan dikaitkan dengan medium yang
digunakan, seperti: kerajinan logam, kulit, batik dan se-
bagainya. Produk yang dihasilkan dapat berupa hiasan
atau benda seni maupun barang pakai (Wikipedia,
2010). Menurut Moeliono dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1994) dijelaskan bahwa kerajinan adalah
proses produksi melalui keterampilan tangan. Selain
hal tersebut, juga berarti industri kecil small scale in-
dustry yang membuat barang-barang sederhana dan
bisa menggunakan unsur seni. Berdasarkan pengerti-
an tersebut, maka dapat dipahami bahwa antara kriya
dengan kerajinan memiliki kesamaan ditinjau dari pro-
ses pengerjaannya dan pencapaian hasil, yaitu sama-
sama menggunakan keterampilan tangan dalam pro-
ses pengerjaannya dan benda yang dihasilkan dapat
berupa produk seni atau produk pakai yang menguta-
makan kegunaan atau utility.
Namun antara seni kriya dan kerajinan secara
prinsip terdapat perbedaan. Seni kriya bukanlah karya
yang dibuat dengan intensitas rajin semata, didalam-
nya terkandung nilai keindahan (estetika) dan juga
kualitas skil yang tinggi craftmenship. Karya kriya me-
rupakan karya yang memiliki keunikan,karakteristik, di
dalamnya terkandung muatan-muatan atau nilai este-
tik, komologis, simbolis, filosofis dan sekaligus fung-
sional. Seni kriya merupakan salah satu cabang seni
rupa yang memiliki akar kuat, yakni nilai tradisi yang
bermutu tinggi atau bernilai adhilung. Sebab pada masa
lampau, para kriyawan menghasilkan karya seni dengan
ketekunan dan konsep filosofi tinggi memberikan legiti-
masi pada produk seni kriya tempo dulu. Dalam Konsep
tersebut termasuk pola pikir metafisis yang mengandung
muatan nilai-nilai spiritual, religius, serta magis. Kesa-
daran kolektif terhadap lingkungan alam, solidaritas yang
tinggi dan didukung oleh tatanan budaya tradisional yang
ternyata telah menghasilkan seni kriya yang berkualitas
dan mencerminkan jiwa zaman lampau. Seluruh ke-
hidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan,
pikiran, angan-angan pada masa dari sebuah budaya
berlangsung.
Sedangkan kerajinan tumbuh atas desakan ke-
butuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang
tersedia dan berdasarkan pengalaman kerja yang di-
peroleh dari kehidupan sehari-hari. Kerajinan suatu hal
yang rajin, kegiatan, kegetolan, barang yang dihasil-
kan melalui ketrampilan tangan. Seni kerajinan adalah
implementasi dari karya seni kriya yang telah dipro-
duksi secara masal (mass product). Umumnya barang
kerajinan banyak dikaitkan dengan unsur seni, yang
kemudian disebut seni kerajinan
Dewasa ini penciptaan produk kriya di satu sisi
mengarah pada estetika plural. Dalam kreativitas pen-
ciptaan karya kriya, terjadi gejala mempertontonkan
identitas invidual, sebagai ekspresi pribadi yang ber-
upaya untuk merangsang pemahaman masyarakat akan
produk budaya yang berupa kriya seni. Selain hal ter-
sebut juga terjadi reproduksi karya masa lalu yang di-
warisinya dengan tujuan untuk menampilkan karya
kriya etnis. Kecenderungan saat ini mengusung pema-
haman bahwa media bukan persoalan yang signifikan
namun idea menjadi panglima dalam menciptakan se-
buah karya seni kriya. Idea yang kreatif inovatif den-
gan mengangkat isu-isu yang sedang berkembang
membuat seni kriya mengikuti nazab seni yang sedang
berkembang, seperti karya kriya kontemporer. Sebutan
"kriya kontemporer" (yang merupakan padan kata dari
contemporary craft) sendiri sebenarnya mengandung
paradoks karena di satu sisi ia menempatkan dirinya
pada suatu kategori "kriya" (craft) yang berseberangan
atau setidaknya terpisah dari "seni" (art). Namun, di
sisi lain, sebutan kontemporer seolah mengacu pada
paradigma seni masa kini yang dilandasi pandangan
postmodernisme, di mana pembedaan kategori diang-
gap tidak berlaku lagi. Perkembangan karya menam-
pilkan multivariousness. Menurut Julian Stallabrass da-
lam "Contemporary Art" mengatakan bahwa sekarang
ini bermacam-macam bentuk, teknik, dan subject-matter
dalam seni rupa sudah benar-benar campuraduk. Se-
karang jamannya permainan tanda-tanda budaya glo-
bal yang melingkupi budaya tradisi, budaya modern dan
budaya masa kini. Produk seni kriya dapat mengambil
posisi strategis di tengah mengeliatnya isu seni rupa
kontemporer dan pasar seni rendah dengan kuantitas
massal; produk kriya diciptakan mengarah pada “ko-
mersialisasi” produk dan dianggap sebagai barang ko-
muditi yang memiliki milai ekonomis. Dalam kaitan ter-
sebut, maka parameter pengukur nilai estetika produk
kriya adalah uang. Estetika menjadi praktik normatif
dalam menciptakan unique selling point.
Bertolak dari uraian tersebut, maka yang dimak-
sud dengan elemen estetis produk kriya tradisional
Bali adalah mengenai unsur-unsur atau bagian-bagian
yang mengandung nilai-nilai estetik, simbolik, filosofis,
kosmologis, dan sakral, merupakan hasil pekerjaan ta-
ngan para kriyawan secara konvensional, bersifat tra-
disional, adiluhung dan terkait erat dengan keper-
cayaan umat Hindu di Bali. Untuk lebih jelasnya nilai-
nilai yang dikandung dalam produk kriya dapat ditelu-
suri dari perkembangan penciptaan produk kriya.
Seperti diuraikan pada BAB III berikut.
PERKEMBANGAN DAN MOTIVASI PENCIPTAAN PRODUK KRIYA DI BALI
A. Sejarah Penerapan Produk Kriya
emaparan produk kriya di Bali secara hitoris
mengenai awal penciptaan dan
penggunaan-nya dalam kehidupan
masyarakat di Bali adalah merupakan
hal yang sangat sulit diungkap secara tuntas. Penggu-
naan dan penciptaan produk kriya tradisional Bali de-
wasa ini adalah merupakan bagian dari mata-rantai
sejarah perkembangan kebudayaan Bali sejak ber-
abad-abad yang silam. Tingkat perkembangannya di-
tentukan oleh berbagai faktor, seperti tingkat peradab-
an, dinamika dan perubahan lingkungan budaya internal
maupun eksternal.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam pe-
nelusuran perkembangan dan motivasi penciptaan
produk kriya dalam masyarakat Hindu di Bali, tidaklah
mungkin dapat dipaparkan secara kronologis, akurat
dan tuntas, karena keterbatasan referensi dan data
berupa artifak-artifak yang ada. Namun berdasarkan
benda etnologi yang tersimpan di Museum Bali, Den-
pasar, Museum Gedung Arca, Bedulu, Gianyar dan
didukung dengan beberapa buku yang terkait, maka
secara sinkronis atau berdasarkan penggalan sejarah
dapat ditelusuri sebagai berikut:
P BAB III
1. Zaman Pra-Hindu.
Sebelum kedatangan gelombang migrasi bangsa-
bangsa pendukung kebudayaan Neolitikum dan Pe-
runggu dari dataran Asia Tenggara, Pulau Bali —se-
perti halnya beberapa pulau lain di Nusantara— dihuni
oleh penduduk yang tergolong ras Negrito yang meng-
usung kebudayaan Paleolitikum (Koentjaraningrat, 1971).
Pada saat tersebut, penduduk yang menghuni pulau
Bali masih hidup dengan pola nomaden; mengembara,
berpindah-pindah, sebagai pemburu dan peramu. Pola
pikirnya masih terbatas pada tingkat pemenuhan ke-
butuhan hidup berupa makanan dan belajar secara
alamiah dari gejala-gejala atau kejadian-kejadian alam
yang pernah dialaminya. Seperti terjadinya kelahiran,
kematian, petir, angin, hujan, tanah longsor, timbulnya
api, kejadian gunung berapi, gangguan binatang buas,
dan sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut, membuat
mereka harus waspada dan seolah-olah selalu diba-
yangi oleh perasaan takut, memohon keselamatan dan
memuja atau percaya dengan kekuatan alam. Dalam
terminologi antropologi disebut dengan kepercayaa
animisme dan dinamisme.
Dalam melakukan aktivitas hidupnya didukung
dengan peralatan kerja berupa produk kriya terbuat
dari ranting kayu, tulang binatang, tanduk dan batu
yang dikerjakan dengan cara sangat sederhana, se-
hingga hasil produk yang ditinggalkan tampak relatif
masih kasar, seperti berupa kapak batu yang tergo-
long jenis kapak perimbas, kapak genggam dan seba-
gainya. Di antaranya berhasil ditemukan Bali oleh R.P.
Soejono, seperti: di daerah Sembiran, Buleleng, di Gua
Seloding, desa Pecatu, Badung ditemukan beberapa
buah sudip dan tiga buah alat tusuk terbuat dengan tu-
lang binatang atau tanduk rusa dan di daerah lainnya.
Gambar 2: Kapak perimbas dari batu peninggalan zaman Palaeolithikum (Zaman Batu Tua)
Gambar 3 Kapak Gengngam dari Batu Peninggalan Zaman Neolithikum (Zaman Batu Muda
Gambar 4 Kapak dari Batu Bertangkai Peninggalan Zaman Neolithikum (Zaman Batu Muda)
Produk kriya berupa peralatan kerja yang diting-
galkan tersebut, tampak bersahaja, lebih mengutama-
kan kegunaan, belum tampak usaha untuk memper-
indah penampilan dan kenyamanan (ergonomis). Ke-
mungkinan juga peralatan tersebut diambil langsung
dari alam serta digunakan hanya sekali pakai, kemu-
dian ditinggalkan ke tempat lain (Sutaba, 1980)
Kemudian dengan kedatangan gelombang mi-
grasi bangsa-bangsa pendukung kebudayaan Neoliti-
kum, —migrasi orang-orang Proto Melayu dan tergo-
long ras Mongoloid, diperkirakan berlangsung sekitar
tahun 2500 SM— maka mulailah terjadi integrasi den-
gan kebudayaan dari luar (Suwondo, 1977-1978). Pen-
duduk Bali secara berangsur-angsur meninggalkan pola
hidup nomaden, mulai hidup bertempat tinggal di suatu
daerah dengan batas-batas wilayah tertentu yang disebut
pedukuhan, belajar bercocok tanam dan bermasyarakat.
Dalam masyarakat yang terbentuk saat tersebut,
muncul etiket saling menghargai antar sesama dan
berkembang tradisi menghormati orang yang dituakan,
seperti, tokoh-tokoh masyarakat atau orang yang di-
anggap memiliki kekuatan tertentu. Hal tersebut men-
jadi dasar berkembangnya kepercayaan syamanisme,
yaitu suatu ajaran berdasarkan keyakinan, bahwa roh
yang ada di sekeliling manusia dapat merasuk ke
tubuh seseorang melalui suatu ritual tertentu (Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengem-
bangan Bahasa, 1994). Mereka percaya, bahwa roh
orang yang meninggal dapat berpengaruh terhadap
kehidupan di dunia ini. Kepercayaan animisme dan
dinamisne juga semakin tumbuh subur di masyarakat
Mereka percaya dengan kekuatan-kekuatan metafisis
yang dimiliki oleh suatu materi. Menganggap suatu
benda memiliki kekuatan magis atau bertuah dan dapat
menyelamatkan atau merusak kehidupannya. Atas
dasar kepercayaan tersebut, maka berkembang gejala
simbolisasi dan penghargaan atau pemujaan terhadap
suatu benda, dalam terminologi antropologi, perilaku
tersebut disebut fetisisme. Seperti menyembah batu,
pohon dan di antara produk-produk kriya yang dicipta-
kan juga dihargai dan dipuja sebagai benda bertuah
atau sebagai simbol-simbol tertentu, seperti bekal
kubur (funeral gifts). Produk kriya tersebut dibuat se-
bagai simbol penghormatan atas jasa orang yang me-
ninggal.
Pengaruh kebudayaan Neolitikum terutama tam-
pak dalam penciptaan produk kriya berupa peralatan
dari batu. Mereka mampu menciptakan produk-produk
dari batu dengan disertai usaha-usaha untuk memper-
indah penampilan dan memikirkan segi kenyamanan
dalam pemakaiannya, seperti kapak persegi, beliung,
belincung, pahat pembelah batang kelapa dan seba-
gainya. Proses pengerjaannya dengan cara digosok
menggunakan batu lain sampai halus (Sutaba, 1980).
Beberapa peninggalan produk kriya yang mendapat
pengaruh kebudayaan neolitikum berupa peralatan
terbuat dengan batu, seperti ditemukan di beberapa
tempat di Bali. Misalnya di Palasari, Bantiran, Nusa
Penida dan di daerah lain. Sekarang benda-ben-da itu,
disimpan di Museum Bali, Denpasar dan Ge-dung
Arca, Bedulu, Gianyar.
Dalam perkembangan selanjutnya, diperkirakan
sekitar tahun 600-300 SM, datang gelombang migrasi
bangsa-bangsa pendukung kebudayaan Perunggu yang
disebut juga migrasi orang-orang Deutro Melayu. De-
ngan kedatangannya, maka di Bali terjadi akulturasi
antara kebudayaan batu dengan perunggu. Kebuda-
yaan masyarakat di Bali semakin tumbuh dan berkem-
bang. Demikian juga pengaruh-pengaruh dari luar te-
rus berlangsung, seperti masuknya pengaruh kebu-
dayaan Budha, Hindu, Cina, Mesir, dan sebagainya.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut diterima dan diadap-
tasi, sehingga memperkaya kasanah kebudayaan Bali
di masa lalu.
Cara penciptaan produk kriya untuk penunjang
aktivitas hidupnya mengalami perkembangan yang sa-
ngat pesat, karena mereka mengenal bijih logam dan
cara peleburannya, seperti: emas, perak, kuningan,
tembaga, besi, dan sebagainya. Kemampuan tersebut
terus ditingkatkan, sehingga mampu menghasilkan be-
berapa jenis produk dari perunggu yang cukup ber-
kualitas. Dalam penciptaan produk-produk kriya ter-
sebut, mereka tidak hanya mengutamakan kegunaan
semata, tetapi keindahan penampilan produk juga mu-
lai diperhatikan. Hal tersebut dapat dilihat pada artifak
yang sangat menakjubkan, yakni berupa sebuah ne-
kara perunggu yang ditemukan di desa Pejeng, Gianyar
Gambar 5. Nekara Perunggu Ditemukan di Pejeng, Gianyar
Nekara tersebut berbentuk selinder atau dadang
terbalik. Mempunyai ukuran luar biasa dengan tingggi
1,96 m dan bidang pukulnya bergaris tengah 1,60 m.
Digunakan untuk genderang perang atau sarana upa-
cara memohon turunnya hujan (Kartodirdjo, 1976). Pola
hias yang diterapkan, di antaranya berupa hiasan yang
detail hiasan wajah manusia
1m hiasan wajah
manusia
distilasi dari bentuk wajah manusia, binatang, bulu bu-
rung, pola tumpal yang tersusun bertolak belakang,
empat pasang topeng dan lain sebagainya (Kempers,
1960).
Penerapan ragam hias tersebut, selain bertujuan
sebagai dekorasi, juga sebagai simbol yang mengan-
dung makna terkait dengan kepercayaan animisme
dan dinamisme, seperti penerapan hiasan empat pa-
sang topeng wajah manusia, merupakan personifikasi
nenek moyangnya yang telah meninggal. Benda atau
hiasan tersebut dipercayai memiliki kekuatan magis
atau bertuah yang memberi perlindungan dan kesela-
matan kepada kerabat atau masyarakat yang diting-
galkannya (Soejono, 1975).
Pada masa tersebut, pembuatan produk kriya
selain menggunakan logam juga dengan bahan-bahan
lain, seperti tanah liat yang dibakar atau tembikar, anyam-
anyaman bambu dan mengukir batu sebagai perkem-
bangan kebudayaan Neolitikum. Salah satu contoh pe-
ninggalan berupa peti terbuat dengan batu (sarko-
fagus) digunakan untuk tempat mayat. Pada sarkofa-
gus tersebut tampak ditatah langsung berupa hiasan-
hiasan dan simbol-simbol terkait dengan kepercayaan
mereka.
3. Zaman Hindu (Pengaruh dari India dan Majapahit)
Pengaruh kebudayaan Hindu yang masuk ke
Pulau Bali, diduga berlangsung melalui dua “pengaruh”,
yaitu pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa lang-
sung dari India, baik yang dibawa oleh orang-orang
Drawida maupun Arya pada masa-masa Raja Maya
Denawa berkuasa di Bali, sekitar abad 8 M (Djawatan
Penerangan Propinsi Suda Ketjil, 1953) dan pengaruh
kebudayaan Hindu yang berasal dari Pulau Jawa.
Persebaran kebudayaan Hindu dari Pulau Jawa, di-
duga berlangsung sekitar abad 10 M, yaitu sejak ter-
jadi hubungan antara masyarakat Bali dengan Ke-
rajaan Medang Kemulan di Pulau Jawa. Hubungan
tersebut terus berlangsung pada zaman Kerajaan
Singosari dan puncaknya terjadi pada zaman Keraja-
an Majapahit sekitar abad 14 dan 15 M (Suwondo,
1977/1978).
Masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dari Ma-
japahit ke Bali, diawali dengan ekspedisi di bawah
pimpinan Maha Patih Gajah Mada (Prabu Wisnuwar-
dana) pada tahun 1343, yaitu saat Kerajaan Maja-
pahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Tri
Bhuwana Tungga Dewi Djaya Wisnuwardana). Dalam
ekspedisi tersebut terjadi perang melawan penduduk
Bali asli dan berakhir dengan kemenangan di pihak pa-
sukan Gajah Mada. Kekalahan tersebut mengakibatkan
penduduk Bali asli, akhirnya terdesak ke daerah pe-
dalaman, seperti di Desa Tenganan, Karangasem, De-
sa Trunyan, Songan, Kedisan, Kubu dan Sukawana,
Bangli, Sembiran, Cempage, Pedawa, Sidetapa, Julah,
dan di daerah lainnya di Buleleng (Covarrubias, 1972).
Penduduk di Pulau Bali saat tersebut jumlahnya
relatif sedikit di bandingkan sekarang. Daerahnya di-
batasi hutan belantara. Namun mereka telah memiliki
sistem kemasyarakatan yang mapan dengan kebiasa-
an berbeda dengan penduduk Bali lainnya. Sebagai
penganut sekte-sekta, seperti: Sambu, Brahma, Indra,
Wisnu, Bayu, dan Kala (Soeka,1986). Percaya dengan
alam nyata dan tidak nyata, roh nenek moyang, kekuatan
alam atau dewa-dewa penguasa alam gaib, dan kon-
sep utara-selatan (kaja-kelod atau dulu dan tebén)
dengan berpedoman pada laut dan gunung (segara-
ukir), di mana gunung dianggap utara dan sebagai
tempat yang bersih atau suci sedangkan laut adalah
selatan sebagai tempat yang kotor atau tempat pem-
bersihan. Gunung dianggap sebagai alam arwah dan
sekaligus sebagai waduk alamiah yang mengairi da-
taran rendah di Pulau Bali sepanjang tahun. Mereka ti-
dak mengenal sistem Kasta, bahasa yang digunakan
umumnya menggunakan Bahasa Bali Kuno dan tidak
mengenal tingkatan bahasa (bahasa halus-kasar)
Masuknya kebudayaan Hindu ke Bali, ternyata
membawa pengaruh yang cukup besar terhadap
konstelasi kehidupan masyarakat di Bali. Seluruh
unsur kebudayaan tradisonal Bali dominan dijiwai oleh
agama Hindu dan sebaliknya wujud kebudayaannya
kembali diabdikan untuk keperluan agama. Sehingg
terjalin hubungan yang saling berkait seperti pada
Gambar 6.
Gambar 6. Unsur Kebudayaan Bali Dijiwai Agama Hindu
Keterangan
Lima unsur dominan dalam tata kehidupan tradional di Bali, seperti: (1) Filsafat hidup atau pandangan hidup masyarakat. (2) Adat istiadat dan hukum adat. (3) Seni budaya, (4) Organisasi sosial tradisional, dan (5) Keseluruhannya dilandasi dengan ajaran Agama Hindu.
Anak panah melengkung pada gambar tersebut menunjukkan hubungan antar unsur.
Anak panah menuju kearah pusat lingkaran besar menunjukkan bahwa semua unsur bertumpu pada ajaran Agama Hindu.
Anak panah munuju kearah keluar lingkaran besar, menunjukkan segala produk kebudayaan kembali diabdikan atau dipersembahkan untuk agama, seperti: berupa seni rupa, bangunan tradisional, tari, tata cara upacara di pura, dan sebagainya.
Tata cara bercocok tanam tradisonal dan sistem
pengairan atau subak dikembangkan berdasarkan
konsepsi Agama Hindu. Sistem tersebut diajarkan oleh
Resi Markandeya berasal dari Jawa Timur. Sarana
dan prasarana keagamaan mengalami perkembangan
dan pembenahan sejak datangnya Empu Kuturan dan
Dang Hyang Nirarta dari Jawa Timur. Empu Kuturan
datang ke Bali pada abad ke-11, yaitu pada zaman
pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042)
dan di Bali diperintah oleh Raja Marakata dan Anak
Wungsung. Ia mengembangkan konsep Tri Murti untuk
pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa
Brahma ‘pencipta alam’ ke arah laut, Wisnu ‘pemeli-
hara alam’ tengah dan Šiwa ‘pelebur alam’ ke arah
gunung. Menyusun sistem organisasi kemasyarakatan
berdasarkan ajaran Agama Hindu yang disebut Desa
Pekraman atau Desa Adat. Mengajarkan tata cara
pembuatan Kayangan atau Pura, seperti, Kayangan
Tiga —terdiri dari: Pura Desa, Pura Puseh dan Pura
Bale Agung— untuk melengkapi Desa Pekraman. Meng-
ajarkan pembuatan Sadkahyangan Jagat, Kayangan
Catur Lokapala, Kayangan Rwabhineda dan memper-
lebar Pura Besakih dan sebagainya (Purnata, 1977
/1978).
Sedangkan Dang Hyang Nirarta atau Danghyang
Dwijendra (juga terkenal dengan sebutan Peranda Sakti
Wawu Rawuh) —seorang agamawan dan pujangga
besar dari Jawa Timur— datang ke Bali ketika Keraja-
an Gelgel, Klungkung dipemerintah oleh Dalem Watu-
renggong (1460-1550). Kedatangannya sangat berpe-
ngaruh dalam pengembangan dan penyempurnaan
ajaran Agama Hindu di Bali serta turut membawa Ke-
rajaan Gelgel ke zaman keemasannya. Dia mengem-
bangkan konsep Tri Purusa yang terdiri dari: Parama
Šiwa (Swah Loka atau alam atas), Sada Šiwa (Bwah
Loka atau alam Tengah) dan Šiwa (Bhur Loka atau
alam bawah). Keberhasilannya adalah memperjelas
“kekaburan” antara tempat pemujaan Tuhan dengan
roh leluhur, yakni dengan membuat pelinggih berupa
Padmasana, yaitu untuk pemujaan Tuhan, sedangkan
Pura Dadia, Pedharmaan, Paibon untuk pemujaan roh
leluhur (Wiana, 1945).
Penciptaan produk-produk kriya pada zaman ter-
sebut, mempunyai peranan yang sangat penting, se-
perti, berupa alat pertanian, menunjang keperluan se-
hari-hari, terutama untuk sarana pemujaan, seperti be-
rupa wadah, simbol maupun sebagai hiasan. Salah
satu contoh, dalam pembuatan Pelinggih Padmasana.
Hiasan yang diterapkan berupa pepatran, seperti patra
punggel, patra welanda, patra sari, mas-masan dan
sebagainya serta kekarangan, seperti karang asti, ka-
rang goak, karang bentulu, dan sebagainya. Perwujud-
an dalam bentuk simbol, seperti Empas, Naga Basuki,
Ananta Boga, Kalpa Warksa, Purnaghata, Kinara Ki-
niri, Achentya dan sebagainya yang terkait dengan
konsepsi Tri Murti dan Tri Purusa.
Di bidang kesenian lainnya, juga mengalami per-
kembangan diwarnai dengan pengaruh kebudayaan
Jawa dan sarat dengan misi pembinaan umat Hindu.
Seperti seni tari, pertunjukan wayang, tari topeng, dan
sebagainya. Hal ini dapat diketahui dari Prasasti Be-
betin, nomor kropak M55 dijelaskan:
...pandê mas, besi, tembaga (kriyawan atau “tu-kang” emas, besi, tembaga), pamukul (juru tabuh), pagending (penyanyi), pabunjing (penari), pabang-si (juru rebab), partapukan (topeng), parbwayang (wayang)...turun di panglapuan di Singamandawa, di bulan besakha Cuklapancami, rge pasaran Wi-jayamanggala, tahun Šaka 818 (896 M). (dibuat oleh pegawai di Singamandawa pada bulan ke-10, tanggal 5 tahun Šaka 818) ( Simpen, 1974)
Prasasti tersebut memberi petunjuk, bahwa ke-
senian termasuk produk-produk kriya pada zaman ter-
sebut, juga dipakai sebagai media pendidikan atau
komunikasi dalam masyarakat. Seperti dalam bentuk
pagelaran topeng, wayang dan sebagainya.
Pada zaman tersebut di Bali sudah berdiri kera-
jaan-kerajaan, seperti kerajaan Bedahulu (1324-1343)
dengan rajanya yang terkenal bernama Sri Astasura
Ratna Bumi Banten, Kerajaan Samprangan (1351-
1380) dengan rajanya Sri Kresna Kepakisan berasal
dari Daha (Kediri), Jawa Timur, Kerajaan Gelgel (1380
-1460) dengan masa keemasan pada saat peme-
rintahan Raja Dalem Waturenggong sampai Kerajaan
Klungkung, yaitu salah satu kerajaan di Bali yang pa-
ling terakhir dikuasai oleh Belanda dalam perang Pu-
putan pada tanggal 28 April 1908 dipimpin oleh Dewa
Agung Jambe.
Dalam kaitan dengan sistem kerajaan, maka pe-
ranan penciptaan produk-produk kriya saat tersebut
memiliki kecenderungan untuk melaksanakan tugas
yang dilandasi dengan semangat kebanggaan dan de-
dikasi kepada raja dan keluarga raja. Jadi berorientasi
pada puri atau istana centris. Oleh sebab itu, kegiatan
penciptaan produk-produk kriya tampak lebih berkem-
bang di sekitar pusat kerajaan dan di bawah patrona-
ge kerajaan (Joedawinata, 1990:4). Produk kriya yang
diciptakan saat itu tampak lebih mengutamakan segi
keindahan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
para raja dan keluarganya yang bersifat hedonistik atau
sebagai simbol status sosial. Sebagai contoh, produk
kriya berupa keris atau atribut raja dibuat dengan sa-
ngat indah, bangunan istana raja, umumnya dibuat le-
bih megah dibandingkan dengan perumahan rakyat dan
sebagainya. Sehingga melahirkan produk-produk yang
unggul dan adhiluhung.
4. Zaman Kolonial
Ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Cornelis
de Houtman untuk menemukan sumber rempah-rem-
pah di dunia timur. Pada tahun 1597 sempat mampir
di Kerajaan Gelgel (Bali), saat diperintah oleh Raja Da-
lem Sagening. Kedatangannya disambut dengan tata
cara yang sangat hormat, karena kunjungannya ter-
sebut dengan dalih ingin menawarkan ikatan persaha-
batan, yang nantinya akan ditingkatkan menjadi hu-
bungan perdagangan. Kesempatan itu dimanfaatkan
oleh Be-landa dengan sebaik-baiknya untuk menulis
mengenai Bali, terutama mengenai segala sesuatu
yang terkait dengan pemerintahan Raja Dalem Sa-
gening. Pada saat tersebut, Belanda juga melontarkan
suatu julukan “Jonck Hollands”, artinya “Belanda
Muda”, yang ditujukan untuk Pulau Bali. Bagi Belanda,
dalam julukan itu sebenarnya teselip suatu ambisi atau
impian untuk menjadikan Bali sebagai wilayah kekua-
saannya.
Impian tersebut akhirnya benar menjadi kenya-
taan, setelah Belanda mampu mengalahkan perlawan-
an para raja Bali dalam perang puputan (terakhir tahun
1908). Mulai saat itu pamor kekuasaan para raja se-
makin memudar di mata rakyat Bali, karena kekuasa-
an kerajaan “feodal” secara berangsur-angsur diganti
dengan sistem pemerintahan kolonial “modern” menu-
rut cara Belanda. Keadaan tersebut menimbulkan per-
ubahan dalam tata kehidupan masyarakat di Bali. Sis-
tem pemerintahan tersebut, menyebabkan muncul ke-
lompok-kelompok elite atau golongan atas baru dalam
masyarakat dan memperkenalkan ide-ide baru, misal-
nya, dalam pendidikan, kesehatan, menanamkan penger-
tian tentang pentingnya hidup non-agraris dan seba-
gainya.
Di sisi lain, Belanda juga sangat tertarik dengan
keindahan alam dan kehidupan kebudayaan masyara-
kat di Bali yang memiliki ciri tersendiri, seperti memiliki
beraneka ragam jenis kesenian tradisional, upacara
Agama Hindu sesuai dengan adat di Bali, terdapat
pura hampir di seluruh pelosok Pulau Bali dan seba-
gainya.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah
kolonial Belanda berkeinginan untuk mengembangkan
potensi tersebut untuk dijadikan objek wisata. Dalam
menyusun strategi pengembangan ke arah tersebut,
maka mereka selalu konsisten untuk menjaga kelesta-
riannya dan berusaha untuk mengisolasi dari penetrasi
pengaruh-pengaruh kebudayaan eksternal, karena di-
kawatirkan dapat “merusak”. Pemerintah Belanda meng-
inginkan agar keindahan alam dan kebudayaan Bali
menjadi objek wisata budaya, sebagai “museum hidup”
dan menjadi tontonan semata. Pemasukan berupa
devisa hanya diharapkan dari pemungutan pembayaran
yang dikenakan pada para wisatawan yang berkunjung
(Djawatan Penerangan Propinsi Sunda Ketjil, 1953)
Langkah-langkah lain yang dilakukan dalam upaya
pelestarian itu, seperti mengembangkan sistem pendi-
dikan kolonial yang disesuaikan dengan tata kehidup-
an adat-Agama Hindu di Bali. Misalnya, diupayakan
dengan mengangkat tenaga pendidik lokal, seperti pe-
lajaran menggambar diajarkan oleh “Guru Adat” (seni-
man tradisional). Sistem pendidikan itu dikenal dengan
sebutan Balisering, dikembangkan oleh H. te Flierhaar
—seorang tokoh pendidik dari Negeri Belanda— pada
tahun 1920, ketika menjadi guru HIS di Klungkung.
(Putra, 1991/1992). Selain itu, di Singaraja pada tahun
1928, di bawah pimpinan Leifrinck dan Van der Tull,
medirikan Gedong Kirtya yang digunakan sebagai
perpustakaan untuk menyelamatkan lontar-lontar yang
berisi sastra lama dan segala aspek tentang Bali. Ke-
mudian di Denpasar pada tahun 1932, WF. Kroos
mendirikan sebuah bangunan digunakan untuk me-
nyimpan benda-benda peninggalan masa lalu dan se-
karang dijadikan Museum Bali.
Sedangkan dalam usaha mempromosikan Bali
sebagai daerah tujuan wisata, dilakukan dengan men-
datangkan beberapa pakar dalam berbagai disiplin
ilmu dari negeri Belanda untuk mempelajari, meneliti
dan menulis berbagai aspek tentang Bali. Di antaranya
H.N.Van der Tuuk, menulis tentang “Kawi-Balineesch-
Nederlandsch Woordenboek” (1912), P. De Kat
Angelino dengan tulisannya berjudul “De Leak op Bali”
(1923), R. Goris menulis buku berjudul “Secten op
Bali” (1933), V. E. Korn menulis buku berjudul “Het
Adatrecht van Bali” (1932) dan yang lainnya. Kemu-
dian tulisan-tulisan tersebut didistribusikan ke seluruh
dunia. Walhasil, usaha tersebut cukup menggetarkan
keinginan banyak orang termasuk para penulis dari
barat lain-nya untuk melihat Bali secara langsung.
Sekitar tahun 1920, kapal dagang Belanda K.P.M
(Koninklijke Paketvaart Maatschappij) dialihfungsikan
untuk mengangkut rombongan wisatawan Belanda per-
tama mengunjungi Bali. Sarana dan prasarana pen-
dukung kepariwisataan di Bali saat itu kurang mema-
dai, sehingga banyak di antara mereka terpaksa tidur
dalam kapalnya. Namun kebanyakan wisatawan dalam
rombongan tersebut merasa puas setelah meninggal-
kan Pulau Bali.
Melihat peluang tersebut, maka dalam pengem-
bangan selanjutnya mulailah diadakan pembenahan
sarana dan prasarana yang terkait, seperti memba-
ngun Hotel Bali di Denpasar, pesanggrahan di Kinta-
mani dan di Pelaga, perbaikan sarana transportasi, dan
sebagainya. Upaya pengembangan tersebut secara ti-
dak langsung akhirnya berpengaruh pada kegiatan-
kegiatan lain di Bali. Misalnya pada kegiatan pencip-
taan dan penggunaan produk kriya.
Pada masa tersebut, para kriyawan dengan
“serta merta” mulai aktif menciptakan produk-produk
kriya untuk dijadikan mata dagangan berupa produk
kriya lokal sebagai cenderamata. Penciptaan tersebut
termotivasi oleh permintaan para wisatawan yang se-
makin meningkat, sehingga para kriyawan dan peng-
usaha produk-produk kriya di Bali mulai merasakan
nilai ekonomis atau nilai tukar dari produk kriya yang
diciptakan atau diusahakannya. Motivasi atau sema-
ngat penciptaan produk yang dulunya dilandasi dengan
rasa pengabdian yang tulus kepada agama dan ke-
rajaan, namun pada saat tersebut mulai muncul gejala
yang mengarah pada komersialsasi produk kriya.
Dalam kreativitas penciptaan produk berciri khas Bali
mulai terjadi gejala reproduksi atau tindakan eklektik
terhadap unsur-unsur produk masa lalu yang diwarisi-
nya, kemudian disuguhkan untuk para wisatawan.
Pada masa selanjutnya, dengan meletusnya Pe-
rang Dunia ke-II, maka pengembangan pariwisata di
Bali tidak dapat diteruskan lagi oleh pemerintah Be-
landa, karena harus menerima kekalahan dalam meng-
hadapi semangat hegemonisme Jepang. (Mirsa, 1988).
Dengan kekalahan Belanda, maka situasi dan kondisi
masyarakat di Bali mengalami perubahan cukup drastis.
Di bawah penguasaan Jepang yang berlangsung da-
lam waktu relatif singkat sehingga pengembangan
sektor pariwisata kurang mendapat prioritas, karena
saat tersebut, Jepang lebih terfokus pada ambisinya
untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.
5. Zaman Kemerdekaan
Sejak bangsa Indonesia memproklamasikan ke-
merdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga
sekarang ini (lebih kurang seperempat abad silam).
Dalam kurun waktu tersebut, pembangunan di daerah
Bali yang dilaksanakan berdasarkan program Repelita
dan dengan strategi pembangunan daerah seperti
tampak pada Gambar 7, ternyata mengalami perkem-
bangan cukup pesat. Walaupun dalam pelaksanaan-
nya masih banyak ditemukan kendala.
TUJUAN PEMBANGUNAN DAERAH BERORIENTASI PADA PELESTARIAN NILAI-NILAI BUDAYA
TUJUAN PEMBANGUNAN DAERAH BERORIENTASI PADA PEMERATAAN
TUJUAN PEMBANGUNAN DAERAH BERORIENTASI PADA PERTUMBUHAN
A. Pelestarian nilai-
nilai budaya, agama dan warisan spiritual dalam seluruh aspek kehidupan
B. Pengembangan
identitas Bali
1.2. Delapan
Jalur Pemerataan
2.2. Pendekatan
Regional
EKONOMI
a. Pembangunan Sektor Pertanian
b. Pembangunan Sektor Pariwisata
c. Pembangunan Sektor Industri
SOSIAL
a. Pemenuhan Kebutuhan Dasar
b. Peningkatan dan Perluasan Sarana dan Prasarana Sosial
c. Mendorong Partisipasi Aktif dari Masyarakat dalam Pembangunan
TUJUAN INTI
ARAH IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN
ALAT UKUR YANG MENGARAHKAN PADA KESERASIAN DAN KETERPADUAN
Sumber: (Oka, 1991)
Gambar 7. Bagan Strategi Dasar Pembangunan Daerah Bali
Dari sekema tersebut dapat diketahui, bahwa tu-
juan pembangunan bidang ekonomi di Bali adalah be-
rorientasi pada pertumbuhan sektor pertanian, pariwi-
sata dan industri kecil. Hasil pembangunan ketiga
sektor tersebut, seperti pada Pelita I yang dimulai
sejak tahun 1969 dengan menitikberatkan pada sektor
pertanian, ternyata mendapat respons cukup besar dari
masyarakat petani di Bali, karena kemantapannya
yang kuat sebagai masyarakat pewaris budaya agraris.
Sehingga hasilnya tampak jelas dari Pelita I sampai V
mampu membawa masyarakat Bali ke tingkat swasem-
bada pangan.
Pembangunan sektor pariwisata di Bali, yang kem-
bali dibangkitkan oleh pemerintah Indonesia sekitar ta-
hun 1950, dengan tetap memakai potensi budaya se-
bagai daya tarik utama, ternyata memberi peningkatan
perekonomian yang cukup signifikan bagi masyarakat
di Bali. Sektor tersebut memberi oportunitas cukup
besar untuk tumbuh suburnya berbagai bidang usaha,
seperti semakin menjamurnya usaha di bidang perhotel-
an, transportasi atau biro perjalanan, toko kesenian,
garmen, berbagai jenis industri kecil dan rumah tangga
dan sebagainya.
Demikian juga industri kecil dan rumah tangga
yang bergerak dalam usaha penciptaan produk kriya,
kini terus dibina dan dikembangkan. Pemerintah men-
jadikan sektor tersebut sebagai salah satu cabang
industri alternatif yang strategis, prospektif dan sesuai
dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara, karena
memiliki karakteristik antara lain, humanisasi proses
kerja, sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja
(mass employee) berakumulasi modal kecil, dan se-
bagainya. Sehingga diharapkan dapat terjadi pening-
katan dan pemerataan pendapatan masyarakat di
pedesaan serta dapat memperlambat laju urbanisasi.
Dengan dukungan pemerintah dan perkembang-
an pariwisata di Bali yang cukup pesat, maka pada era
kemerdekaan, usaha perluasan atau enlargement pen-
ciptaan produk-produk kriya, tampak semakin mantap
dan dengan kecenderungan mengarah kepada hal yang
bersifat “komersial”. Para kriyawan dan pengusaha
produk-produk kriya masa kini merasa semakin ber-
gairah dalam usaha tersebut, karena termotivasi oleh
nilai ekonomi yang dapat dinikmati dari produk kriya
yang diciptakannya.
Kondisi tersebut semakin terpacu, karena pada
dasawarsa belakangan ini pemerintah Indonesia se-
makin mengkonsetrasikan perhatiannya pada sektor
tersebut, sehubungan dengan upaya untuk memper-
oleh sumber dana penunjang pembangunan nasional.
Berbagai program telah diluncurkan terkait dengan hal
tersebut, salah satunya seperti program OVOP (one
village one product). Malah pada tahun 1990-an terbukti
produk-produk kriya sempat dijadikan sebagai salah
satu alternatif komoditi ekspor di luar minyak dan gas
alam (LNG) Liquid Natural Gas. Kebijakan tersebut
ditempuh oleh pemerintah, mengingat ekspor andalan
Indonesia berupa bahan-bahan mentah yang dibutuh-
kan oleh industri pengolahan di luar negeri, mengalami
penurunan dipasaran dunia dan diikuti oleh resesi dunia
pada saat tersebut (Joedawinata, 1990)
B. Peranan Produk Kriya dalam Kehidupan Agama Hindu Sesuai dengan Adat di Bali
1. Pelaksanaan Ajaran Agama Hindu Sesuai dengan Adat di Bali
Agama Hindu berasal dari lembah Sungai Sindhu
di India. Di tempat tersebut, ajaran diterima dari Tuhan
dalam bentuk wahyu suci oleh tujuh orang Maharsi,
yaitu: Maharesi Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa,
Atri, Baradwaja, Wasista dan Kanwa. Ajaran tersebut
dikumpulkan dan disusun kembali oleh Bhagawan
Abyasa dalam bentuk kitab suci yang disebut Weda.
Kemudian ajaran tersebut disebarkan keseluruh dunia
melalui para pengikutnya, hingga sampai ke Indonesia.
Di Indonesia, Agama Hindu sering diberi sebutan
yang berbeda-beda sesuai dengan nama daerah di
mana Agama Hindu tersebut tumbuh dan berkem-
bang, seperti disebut Agama Hindu Bali, Hindu Jawa,
Hindu Kaharingan dan sebagainya. Terjadinya hal ter-
sebut, salah satunya, karena dalam tata cara peng-
amalan ajarannya disesuaikan dengan kemampuan
dan kondisi budaya masyarakat penganutnya atau di-
sesuaikan dengan desa, kala dan patra, sehingga da-
lam perkembangannya di masing-masing daerah di
Indonesia, tampak memiliki etos kebudayaan Hindu
yang berbeda. Namun inti ajaran Agama Hindu yang
dianutnya tetap satu bersumber pada ajaran Weda.
Kondisi tersebut memang menungkinkan untuk
terjadi, sebab ajaran Agama Hindu memberi tuntunan
yang bersifat lentur. Misalnya bagi umat Hindu yang
telah “ahli” dalam teori dan praktek ilmu ketuhanan
(teologi), dibenarkan mengamalkannya dengan tanpa
sarana upacara dan tidak memilih tempat serta arah
tertentu, karena mereka telah menaruh upacara terse-
but dalam batinnya (adyâtmika). Seperti bunga yang
bersemayam dalam batin yang tak pernah layu (puspa
tan alun), api yang tidak pernah padam (geni angla-
yang), suara sukma yang tidak pernah putus (swa-
raning genta pinara pitu), air amerta batin yang tidak
pernah kering (Šiwambhâ-dhyatmika) dan dapat ma-
nunggal dengan Tuhan atau purusa katemunta ma-
reka si tan katemu. Namun umat seperti tersebut po-
pulasinya sangat sedikit dapat dikatakan satu per mil
atau sewu tinunggal.
Berdasarkan hal tersebut, maka sarana dan pra-
sarana yang bersifat lahiriah, seperti produk-produk
kriya berupa simbol-simbol atau nyasa yang bersifat
sakral, mutlak akan diperlukan dalam mengamalkan
ajaran Agama Hindu di Bali (Sugriwa, tt). Hal tersebut
juga sesuai dengan ajaran Agama Hindu. Seperti yang
disebutkan pada Bhagawag Gîtã, sloka IX-26, yaitu
sebagai berikut:
Yat karosi yad ašnãsi yaj juhosi dadãsi yat, yat tapasyasi kaunteya tat Kurushva mandarpanam.
Artinya: Apapun yang kau kerjakan, kau makan,
kau persembahkan, kau dermakan dan disiplin
diri apapun kau laksanakan asalkan menuju ke-
benaran, lakukanlah, Kuntipura, sebagai bhakti
pada-Ku (Pendit, 1995).
Acuan lainya sesuai dengan pendapat tersebut,
juga dapat disimak dalam cara menghayati dan meng-
amalkan ajaran Weda yang dapat mengacu pada be-
berapa hal seperti:
a. Sifat ajaran Weda. Pada garis besarnya dapat di-
jabarkan menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Mantra,
Isinya terdiri dari empat himpunan atau samhita
(Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan
Atharwa Weda), 2) Brahmana (Karma Kanda),
dan 3) Upanisad (Jñána Kanda.)
Bagian kedua dari penjabaran sifat ajaran Weda
di atas, yaitu Brahmana (Karma Kanda) adalah
merupakan ajaran yang berisi himpunan doa-doa
dan tuntunan yang dipergunakan untuk keperlu-
an upacara Yajña, ceritera-ceritera dan simbol
yang dipergunakan untuk memantapkan rasa
percaya kepada Tuhan. Jadi pada dasarnya ajar-
an tersebut “membenarkan” penggunaan sarana
yang bersifat lahiriah untuk membantu pengha-
yatan kepada Tuhan. Seperti penggunaan pro-
duk kriya berupa simbol-simbol yang terkait de-
ngan ajaran agama dan sebagainya.
b. Catur Marga, yaitu empat cara atau jalan utama
ditempuh untuk mencapai tujuan Moksaratha
Jagathita, terdiri dari: 1) Bhakti Marga, 2) Karma
Marga, 3) Jñána Marga dan 4) Raja Marga.
Bhakti Marga, artinya cinta kasih. Ajaran ini me-
rupakan salah satu alternatif dalam menghayati
dan mengamalkan ajaran Agama Hindu dengan
menggunakan sarana pemujaan. Bhakti Marga
merupakan ajaran yang langsung, alamiah, mu-
dah diterima dan dilaksanakan oleh semua ting-
katan. Seorang Bhakta —penganut Bhakti Marga
— adalah orang yang penuh cinta kasih kepada
Tuhan berserta ciptaannya. Cetusan rasa cinta
kasih dan kerinduan kepada Tuhan dapat diwu-
judkan dalam bentuk pesembahan bhakti atau
dalam produk kriya berupa simbol-simbol untuk
melukiskan sifat maya Tuhan (mayasakti) (Cuda-
mani, 1993).
c. Kerangka Agama Hindu, yang terdiri dari: Tattwa
(Filsafat Agama), Susila (Etika) dan Upacara (ri-
tual). Dalam pelaksanaan upacara Agama Hindu,
menurut kerangka tersebut, juga membenarkan
menggunakan sarana untuk pemujaan Tuhan
Ketiga acuan di atas memberi gambaran, bahwa
ajaran Agama Hindu memberi suatu tuntunan yang
bersifat luwes dalam usaha mendekatkan diri dengan
Tuhan. Ketiga ajaran tersebut memberi tuntunan yang
mengarah pada pengorbanan suci berupa tindakan
atau kerja dan membenarkan menggunakan sarana
dalam pemujaan Tuhan. Seperti menggunakan pro-
duk-produk kriya, bangunan suci, busana, sesajen, air,
bunga, api dan sebagainya.
Pengamalan ajaran agama Hindu tersebut, se-
cara implisit memberi peluang munculnya keanekara-
gaman atau perbedaan penciptaan sarana pemujaan
Tuhan di setiap daerah di Indonesia. Sarana tersebut
dibuat berdasarkan kesepakatan dan keyakinan ma-
syarakat setempat serta menjadi aktivitas adat atau
“hukum adat” yang diusung dari generasi ke generasi
berikutnya. Hal tersebut sesuai dengan definisi yang
dikemukakan oleh E. Utrecht bahwa sebagian dari
kaidah-kaidah atau norma-norma yang ada dalam ma-
syarakat yang berasal dari sumber hukum yang di-
anggap sakral (dalam Suasthawa, 1990).
Umat Hindu di Bali, dalam mengamalkan ajaran
Weda, masih dominan mengacu pada tiga ajaran ter-
sebut di atas. Seperti dalam pengamalan tiga kerang-
ka Agama Hindu, ternyata yang lebih dominan dilak-
sanakan adalah upacara atau ritual keagamaan yang
disesuaikan dengan adat-istiadat umat Hindu di Bali,
sehingga hampir setiap hari umat Hindu di Bali dijum-
pai melaksanakan upacara, baik di pura, rumah ting-
gal, sawah, jalan, maupun di tempat lain yang diang-
gap sakral. Dari upacara-upacara tersebut, hampir se-
muanya tampak menggunakan sarana upacara, baik
berupa wadah atau tempat, simbol-simbol, maupun
berupa hiasan dan dibuat berdasarkan kesepakatan
masyarakat Hindu di Bali.
Upacara yang dilaksanakan tersebut dipercayai
merupakan suatu bentuk pengorbanan yang tulus dan
suci atau Yajña. Dengan tujuan untuk melaksanakan
tiga kewajiban atau utang yang disebut Tri Rna, yaitu
utang kepada Tuhan, para resi atau guru dan leluhur.
Tujuan tersebut dilaksanakan didasari dengan suatu
keyakinan, bahwa kelahiran manusia selalu diselimuti
oleh utang yang harus dibayar. Selain hal tersebut,
pelaksanaan juga diyakini bertujuan untuk menyela-
raskan hubungan dengan Tuhan, manusia dan alam
yang didasari konsep Tri Hita Karana.
Dari sekian banyak upacara Yajña yang dilaku-
kan oleh umat Hindu di Bali, pada garis besarnya da-
pat dikelompokan menjadi lima, yang disebut Panca
Yajña, terdiri dari: (1) Dewa Yajña, yaitu, persembah-
an kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai de-
wa; (2) Resi Yajña, yaitu, persembahan atau penghor-
matan kepada para Resi atau guru; (3) Manusa Yajña,
yaitu, upacara penyucian yang ditujukan mulai perka-
winan hingga ajal tiba; (4) Pitra Yajña, yaitu persem-
bahan kepada roh leluhur dan upacara kematian; (5)
Bhuta Yajña, yaitu upacara korban suci kepada Bhuta
Kala.
Upacara Panca Yajña dapat dipilah lagi memjadi
beberapa jenis upacara, misalnya, upacara Dewa Yajña
atau Dewapuja, dikenal beberapa jenis upacara, se-
perti: Odalan, Nuntun, Ngenteg linggih, Melasti, dan
sebagainya. Semuanya menggunakan sarana yang
khusus dan sangat beragam, seperti berwujud beban-
tenan atau sesajen, penganggé atau busana dewa
dan melibatkan berbagai produk kriya, baik yang ber-
sifat temporel maupun permanen.
2. Peranan Produk Kriya dalam Upacara Agama Hindu di Bali
Secara umum produk kriya di Indonesia dapat
dibagi menjadi empat kategori, yaitu: (1) Produk kriya
dalam konteks budaya; (2) Produk kriya dibuat dalam
konteks agama atau kepercayaan; (3) Produk kriya
dalam konteks kerajinan rakyat; Dan (4) Produk kriya
yang dibuat oleh kriyawan dan para perancang masa
kini (Buchori, 1990)
Berdasarkan kategori tersebut dan mengingat pe-
ranan serta jenis produk-produk kriya yang digunakan
untuk menunjang aktivitas hidup masyarakat di Bali
sangat beraneka ragam, maka dalam konteks bahasan
ini, produk-produk kriya yang dimaksudkan adalah
produk yang tergolong kategori kedua, yaitu sebagai
sarana upacara Agama Hindu sesuai dengan adat di
Bali. Terutama produk-produk kriya yang digunakan
sebagai sarana upacara Odalan, bersifat “permanen”,
mengandung makna atau nilai simbolis dan dianggap
sakral oleh umat Hindu di Bali.
a. Pengertian Odalan
Sebelum lebih lanjut menguraikan tentang peran-
an produk kriya, terlebih dahulu akan dijelaskan me-
ngenai pengertian Odalan.
Odalan atau Dewapuja berasal dari kata Wedal,
yang berarti kelahiran. Dalam hal tersebut bukan ber-
arti Tuhan mengalami kelahiran, tetapi yang dimaksud-
kan adalah upacara peringatan hari mulai enteg linggih
atau hari peringatan mulai “distanakannya” atau diling-
gakan Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasi seba-
gai dewa pada suatu tempat suci atau pura. Perayaan-
nya dilangsungkan setiap enem sasih atau enam bulan
(menurut perhitungan kalender Bali; 1 sasih = 35 hari.)
b. Peranan Produk Kriya dalam Melaksanakan Upa-cara Odalan
Masuknya Agama Hindu ke Bali, ternyata memberi
pengaruh dominan pada tatanan kehidupan dan sistem
relegi masyarakat Bali. Sebelum masuknya pengaruh
kebudayaan Hindu kepercayaan terhadap alam nyata
dan tidak nyata, roh nenek moyang, kekuatan alam gaib
serta memberi penghargaan atau ucapan terimakasih
dalam bentuk persembahan kepada alam atas hasil atau
sumber pangan yang di berikannya. Kemudian keyakinan
tersebut dimatangkan lagi semenjak Rsi Markandeya
datang dari Jawa. Pola masyarakat agraris yang telah
mengakar tersebut, dipadukan dengan konsep yang
“bernafaskan” Agama Hindu dari Jawa, seperti dalam
pelaksanaan sistem irigasi yang disebut subak.
Konsep Agama Hindu dari Jawa yang bersifat
menyempurnakan tersebut, juga terlihat pada sarana
pemujaan kepada Tuhan dalam segala manifestasi-
nya. Seperti berupa pelinggih, penggunaan arca, pertima
atau pralingga dan sarana lainnya, yang merupakan
bentuk “penyempurnaan” dari hasil kebudayaan megalitik
di Bali. Pengaruh perpaduan Agama Hindu, juga mem-
beri sepirit dan inspirasi untuk tumbuh suburnya ber-
aneka ragam jenis kesenian tradisional berciri khas Bali.
Menurut pandangan umat Hindu Bali, fungsi ke-
senian tradisional tersebut, pada garis besarnya dapat
dikelompok menjadi tiga bagian, seperti: (1) Seni Suci
atau Wali, jenis kesenian ini difungsikan sebagai bagi-
an dari suatu rangkaian upacara yang sarat dengan
makna religius dan dianggap sakral; (2) Seni Ritual
atau Bebali yaitu, jenis kesenian sebagai pengiring
atau “penghias” dan sekaligus terkait dengan rangkain
upacara; (3) Seni “Sekular” atau Bali-balihan yaitu, je-
nis kesenian yang cenderung mengarah pada hiburan
rakyat atau kesenangan (Pindha, 1973)
Produk kriya, sebagai salah satu bagian dari ke-
senian tradisional Bali, ternyata dapat menduduki ke-
tiga fungsi tersebut. Khususnya produk kriya yang di-
fungsikan sebagai sarana wali berbeda dengan yang
lainnya, sebab dalam penciptaannya disertai dengan
proses penyucian atau sakralisasi dengan melalui ta-
hap-tahap upacara tertentu, seperti di antaranya dapat
dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut
Tabel 1 Tahap Penyucian Produk Kriya
No. TAHAPAN ARTINYA DAN KEGIATAN
(1) (2) (3)
1.
nglakar
pemilihan bahan baku yang akan digunakan, dewasa ayu atau “hari baik” mulai mencari bahan dan disertai dengan persembahan sesajen kepada Tuhan untuk mohon kekutan agar produk kriya tersebut ber-taksu.
2. makalin membentuk secara global
3. nepong membuat detailnya
4. ngasren menghaluskan
5. mulas memberi warna
6. ngias memberi kontur dan hiasan tambahan
7. melapas upacara pembersihan, dengan membuatkan banten pemlapas
8. ngulapin memanggil atau memohon kekuatan agar merasuk pada produk tersebut yaitu dengan membuatkan banten pengulap
9. ngurip menghidupkan yaitu dilakukan dengan mempersembahkan banten pengurip
10. ngeteg linggih upacara menstanakan pada tempat suci
11. nuedin dengan jalan mempersembahkan sesajen pada tempat atau asal bahan yang digunakan
12. ngerehang untuk mengetahui apakah benda yang dibuat bertuah
(1) (2) (3)
13. ngajar-ngajar upacara membawa benda tersebut ke tempat suci lainnya, seperti Kahyangan Jagat, dengan tujuan “mendaftarkan”.
14. ngodalin upacara memperingati hari dilinggakan benda tersebut sebagai benda sakral
15. mepajar memfungsikan
Narasumber: Gelebet.
Dalam melaksanakan upacara Odalan biasanya
memanfaatkan berbagai macam produk kriya dengan
beraneka ragam bentuk dan fungsinya serta tergolong
sebagai sarana wali, seperti berupa:
1. Benda pakai, antara lain: pedupaan, bokor atau
tempat sesajen, dulang, sokasi atau bakul, saab
atau tutup sesajen, kendi, sangku atau tempat air
suci, canting alat untuk mengambil tirta air suci,
peralatan yang digunakan oleh Pedanda atau pe-
mimpin upacara, seperti pedipan, pasepan kedu-
anya berfungsi sebagai tempat pedupaan, stana
lingga tempat api, swamba atau tempat tirta, tri-
pada sebagai “kaki” swamba, pewijan tempat be-
ras suci, dan sebagainya .
2. Ragam hias pada sarana perlengkapan upacara,
seperti: Lontek, kober, pengawin atau bandrangan,
tedung atau payung, ider-ider, berupa relief pada
pelinggih-pelinggih, candi, patung, dan sebagainya.
3. Selain hal tersebut, peranan produk kriya sekaligus
juga berfungsi sebagai simbol yang mengandung
nilai-nilai atau makna terkait dengan kepercayaan
umat Hindu di Bali. Beberapa contoh produk kriya
jenis tersebut dapat disimak pada uraian berikut
3.1. Relief Acintya
a) Karakteristik:
1) Bentuk: Umumnya dibuat dalam bentuk relief
yang digubah dari bentuk mirip manusia de-
ngan tanpa busana. Sikap berdiri (padaasa-
na) dan kaki pada posisi bergerak. Pada tiap-
tiap persendian, kepala, telinga, dan pada
kelamin berisi bajra. Bentuk Acintya seperti
tampak pada Gambar 8
Gambar 8. Acintya
2) Material: Biasanya terbuat dengan batu alam
(batu padas) atau emas. Namun sekarang ada
juga menggunakan “beton cetak” (campuran
semen pasir yang dicetak).
3) Warna: Sesuai dengan bahan yang digunakan
(abu-abu, hitam atau kuning emas dan putih).
b) Fungsi: Produk kriya tersebut umumnya diguna-
kan sebagai hiasan bersifat permanen dan se-
kaligus sebagai simbol. Diterapkan pada bangun-
an suci atau pelinggih berupa Padmasana Se-
perti tampak pada Gambar 9
Tampak Samping
Kepala badan kaki
Gambar 9. Pelinggih Padmasana
b) Makna, nilai-nilai simbolik dan religiusnya: Ber-
dasarkan lontar Widi Tatwa atau filsafat tentang
Tuhan; Acintya, artinya tak terpikirkan, merupa-
kan salah satu sifat kemahakuasaan Tuhan.
Dan dalam lontar Wrhaspati Tattwa disebutkan:
Aprameya, bhatara Paramasiwa tan pangen-pangen, ape hetu ri kadadinyan ananta, tan pahingan, anirdesyam...
Artinya; Bhatara Parama-šiwa atau Tuhan se-
benarnya bersifat tidak terbayangkan (Aprameya)
dalam pikiran, karena keadaannya yang tidak
habis-habisnya atau ananta, tak dapat dibatasi
atau anirdesyam...
Oleh sebab itu, maka untuk mempermudah
penghayatan-Nya, para yogiswara atau orang
suci yang mampu berkomunikasi langsung
dengan Tuhan membuat dalam bentuk simbol
bersifat ikonografi dengan mengambil bentuk
mirip manusia tanpa busana, anatomi tubuh dan
jenis kelamin dibuat “tidak jelas” atau Ardha-
nareswari, melambangkan sifat yang bebas dari
ikatan duniawi. Sikap kaki seperti berjalan atau
bergerak, artinya kehidupan yang selalu ber-
gerak dinamis dan berproses. Bersemedi dengan
sikap pada asana atau berdiri, melambangkan
sifat Tuhan yang maha pemurah dan memberi-
kan anugrah kepada ciptaan-Nya di alam. Se-
tiap persendian, kepala, telinga, ujung kaki, dan
pada tempat kelamin dihiasi dengan bajra,
melambangkan energi Tuhan berupa sinar suci
yang memancar ke segala arah dan memberi
penerangan kepada seluruh ciptaan-Nya.
3.2. Aksara Suci Ongkara
a) Karakteristik:
1) Bentuk: huruf atau aksara suci Ongkara se-
bagai simbol diwujudkan berdasarkan kon-
sep kosmologi dan terdiri dari beberapa ba-
gian seperti pada Gambar 10 berikut
Keterangan: 1. Bayu atau angin, bintang (angin
dapat menjadi bintang. 2. Teja atau api, matahari. 3. Apah atau air (air yang padat
berputar terjadilah bulan). 4. Akasa atau langit, ether
(memenuhi ruang yang ada). 5. Pertiwi, tanah, bumi (terjadinya
pertama-tama berawal dari gelap). Angka telu atau angka tiga
melambangkan tiga manifestasi Tuhan (Brahma, Wisnu dan Šiwa
Gambar 10. Aksara Suci Ongkara
2) Material: Pada umumnya dibuat dengan
menggunakan batu alam atau dari logam,
seperti: emas, perak, kuningan atau tem-
baga, kain kapan dan sebagainya.
3) Warna: sesuai dengan warna bahan yang
digunakan, seperti: abu-abu warna batu pa-
das atau hitam, kuning emas, putih perak
atau kain kapan dan sebagainya.
b) Fungsi: Dipergunakan sebagai simbol Ida Sang
Hyang Widhi atau Tuhan dalam manifestasinya
sebagai dewa Tri Murti. Umumnya diterapkan
pada bangunan Pelinggih Padmasana dalam
bentuk relief, ulap-ulap (secarik kain kapan di-
beri gambar aksara suci ongkara dan diletakkan
pada pertengahan kolong atau tadah alas ba-
ngunan tradisional, sebagai tanda bahwa ba-
ngunan tersebut telah diupacarai), dipakai untuk
membuat sesikep atau gegemet atau jimat, pe-
dagingan dan sebagainya.
c) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Aksara
Bali dalam penerapannya dibedakan menjadi
dua golongan (Kaler, tt), yaitu:
(1) Aksara Wrešastra atau aksara yang “tampak”
atau aksara yang umum atau aksara “biasa”
digunakan dalam masyarakat Bali. Akasara
tersebut boleh diajarkan kepada siapa saja
dan biasa digunakan seperti untuk membuat
pipil (nama orang dalam suatu organisasi
atau seka Banjar, dadya Pura), dalam mem-
buat surat bukti yang ditulis di atas daun lon-
tar, pangéling-éling atau tanda untuk meng-
ingatkan sesuatu untuk menulis bahasa Bali,
Kawi, Jawa Kuno dan sebagainya
(2) Aksara Cwalalita; aksara yang “tidak tampak”
terdiri dari dua buah aksara yaitu Ah ( ) dan
Ang ( ) merupakan aksara yang didak boleh
diajarkan kepada sembarang orang. Huruf
tersebut disebut juga dengan Aksara Modré,
yaitu aksara suci atau aksara yang digunakan
untuk menulis ilmu kedyatmikan, seperti:
mantra, perlambang atau simbol terkait de-
ngan keagamaan, berhubungan dengan du-
nia gaib, pengobatan dan sebagainya. Kedua
aksara tersebut dilengkapi dengan pengangge
sastra atau kelengkapan huruf yaitu berupa:
Nada melambangkan angin, bayu atau bin-
tang, windu melambangkan teja, api atau mata-
hari. Ardha-candra berbentuk bulan sabit me-
lambangkan apah, air atau bulan. Ketiga ke-
lengkapan aksara tersebut menyimbolkan ke-
kuatan tiga dewa, yaitu: Dewa Brahma (Ang ),
Dewa Wisnu (Ung ) dan Dewa Ciwa (Mang).
Ketiga aksara tersebut jika disatukan akan
menjadi Ang-Ung-Mang atau A-U-M yang
dibaca Aum atau Om. Dalam bahasa Bali di-
ucapkan Ong. Aksara Ong atau Ongkara me-
rupakan sumber semua aksara, sehingga di-
sebut Wija-aksara atau Ekã-aksara, yaitu ak-
sara yang maha suci lambang Ida Sang Hyang
Widi atau Tuhan Yang Maha Esa dalam ma-
nifestasinya sebagai Dewa Tri-Murti. Demikian
juga di India, aksara Ongkara sebagai simbol
Tuhan telah digunakan sejak zaman Weda.
Jadi dari penjelasan tersebut, maka dapat
diketahui bahwa aksara Ongkara sebagai
simbol yang mengandung makna religius ter-
kait dengan ajaran ketuhanan, sehingga peng-
gunaannya sangat terbatas dan tidak boleh
secara sembarangan, harus mengikuti pe-
tunjuk para rohaniwan (Nala, 1991; Sudartha,
1991)
3.3. Badavañ Nala
a) Karakteristiknya:
1) Bentuk: Penciptaan produk kriya tradisional
berupa simbol tersebut dilandasi dengan
konsep kosmologi, Hindu yaitu digubah dari
bentuk kurakura dengan kepala berambut
dan lidah mejulur keluar berbentuk api serta
dililit naga, seperti tampak pada Gambar 11.
2) Material yang digunakan: Pada umumnya
dibuat dengan menggunakan batu alam atau
batu padas.
3) Warna: Sesuai dengan bahan yang digunakan
yaitu berwarna abu-abu batu padas atau
hitam.
Gambar 11. Badavañ Nala dan Anantabhoga
b) Fungsi: Badavañ Nala digunakan sebagai sim-
bol dan sekaligus sebagai hiasan pada bagian
dasar atau “kaki” sebuah bangunan suci
berupa pelinggih Padnasana Gambar 12.
Gambar 12. Bagian Dasar Atau “Kaki” Pelinggih Padmasana
c) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Perkataan
Badavañ Nala atau Baduvañ Nala terdiri dari kata
Badavañ dan Nala. Badavañ adalah istilah yang
digunakan untuk nama binatang kura-kura, empas
atau penyu. Dalam bahasa Šanskerta disebut
dengan kata kûrma. Dan da-lam kepercayaan Hindu
sebagai simbol awatara Dewa Wisnu atau disebut
Kûrmaratarâ. Se-dangkan Nãla atau Anala dalam
bahasa Šan-skerta sebagai padanannya adalah
ageni ber-arti api.
Badavañ Nãla berasal dari urat kata Bada=
tempat, Bang=merah dan Nãla=api. Keseluruh-
an dapat diartikan sebagai tempat atau sumber
api yang merah membara. Dalam simbol terse-
but dimaknai sebagai inti bumi atau magma
sebagai sumber panas bumi yang terus mene-
rus membara
Jadi pada simbol tersebut tersirat ajaran suci
tentang ciptaan Tuhan yang tiada tara dan
maha agung berupa alam makrokosmos, ter-
bentuk dengan unsur Panca Maha Bhuta. Se-
bagai tempat kehidupan dengan berbagai
persediaan bahan makanan dan sebagainya,
Oleh sebab itu, perlu dihormati, dan dilestari-
kan. Bagi umat Hindu. Perwujudan simbol atau
nyasa tersebut bertujuan untuk memberi ajaran
alam semesta dan membangkit kesadaran moral
dalam segala aktivitas hidup untuk menjaga serta
sebagai ucapan terimakasih atau bakti dihadap-
an Tuhan atas ciptaannya.
3.4. Nãga
a) Karakteristiknya:
1) Bentuk: Simbol nãga merupakan bentuk
fantasi atau hasil imajinasi dari para kriya-
wan masa lalu yang digarap dengan dida-
sari mitologi Hindu. Bentuk dan penerapan
Nãga tersebut dibuat membelit Badavañ
Nala, sehingga membentuk satu simbol de-
ngan satu kesatuan makna tentang keagung-
an alam semesta. Bentuk Nãga tersebut se-
perti tampak pada Gambar 11, 12 dan 13
2) Material: dibuat dengan menggunakan batu
alam atau batu bata.
3) Warna: Sesuai dengan warna bahan yang
digunakan, seperti warna abu-abu batu
padas atau warna hitam batu alam).
b) Fungsinya: Kegunaan dan penempatan nãga di
dalam pura sama dengan Badavañ Nala, yaitu
dipakai sebagai simbol dan sekaligus sebagai
ragam hias dan umumnya diterapkan pada da-
sar atau bagian “kaki” Pelinggih Padmasana
berupa relief tinggi, digambar pada lontek atau
umbul-umbul, dan di Pelinggih Saptapetala da-
lam bentuk patung nãga.
Gambar 13 Lontek Umbul-umbul Keterangan:
Tangkainya terbuat dengan bambu, diameter pakalnya ±5 Cm, Panjang ± 8 m.
Bentuk potongan kain semakin ke atas semakin kecil dan pada ujung bambu
terlipat ke bawah serta di ujungnya diberi plat logam berbentuk seperti jantung.
a) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Dalam
kamus Bahasa Šansekerta kata nãga berarti
ular. Selain arti tersebut, nãga juga berarti gu-
nung atau pohon (Pemda Tingkai I Bali, 1982/
1983). Dan dalam Kamus Bahasa Kawi-Indo-
nesia, kata nãga tersebut diartikan ular naga
atau gajah. Dari pengertian tersebut, maka
nãga dapat diartikan sebagai ular besar.
Dalam mitologi Agama Hindu Bali,tentang
bentuk simbolis nãga yang diterapkan pada
masing-masing pelinggih atau peralatan upa-
cara memiliki pengertian atau filosofi dan se-
butan yang kontekstual, seperti, penerapan
pada Padmasana didasari filosofi Tri Loka,
yaitu, Bhur Loka (lapisan alam bawah), Bwah
Loka (lapisan alam tengah) dan Swah Loka
(lapisan alam atas). Sehingga dikenal tiga nãga,
yaitu, Basukih, Anantabhoga dan Taksaka.
Jika ketiga nãga tersebut dikaitkan dengan
para Dewa sebagai manifestasi dari Ida Sang
Hyang Widi, Maka Basukih simbol dari Dewa
Brahma (pencipta alam), Anantabhoga simbol
dari Dewa Wisnu (pemelihara alam), dan
Taksaka simbol dari Dewa Šiwa (Pelebur).
Penerapan patung nãga pada Padmasana,
sebenarnya hanya satu dan membelit Badavañ
Nala, yang disebut Nãga Anantabhoga.
Berasal dari urat kata “a”-“nanta” dan “bhoga”
(a=tidak, nanta= habis dan bhoga=makanan).
Secara keseluruhan berarti sumber bahan
makanan yang tidak habis-habisnya. Jadi
peristiwa tersebut berlangsung pada lapisan
alam tengah (Swah Loka) atau di permukaan
bumi. Namun kenyataannya dalam membuat
Pelinggih Padmasana sering diterapkan dua
nãga (Basukih dan Anantabhoga) secara estetis
hanya bertujuan untuk membuat komposisi yang
simetris. Sedangkan nãga Taksaka, dalam
perwujudannya diterapkan pada umbul-umbul
(Narasumber: Gelebet)
Penerapan patung Nãga Basukih pada peling-
gih Sapta Patala, didasari oleh filosofi, bahwa
alam dibagi menjadi tujuh lapisan alam atas
yang disebut Sapta Loka (bhur loka, bhwah
loka, swah loka, maha loka, jana loka, tapa
loka, dan satya loka), dan tujuh lapisan alam
bawah Sapta Patala yang terdiri dari tãla, sutãla,
santãla, atãla, waitãla, nitãla dan patãla. Jadi
penerapan nãga pada pelinggih tersebut se-
bagai simbol tujuh lapisan alam bawah.
3.5. Senjata Nawa Sanga
a) Karakteristiknya:
1) Bentuk: Senjata Nawa Sanga merupakan
sembilan sejata para dewa dengan bentuk
berbeda satu dengan yang lainnya. Perbeda-
an tersebut mencerminkan atau sebagai sim-
bol karakter dan sifat kekuasaan dari masing-
masing dewa. Tata letak dari senjata-senjata
tersebut dalam padma angelayang atau pang-
ider-ider, seperti pada gambar 14, 15
2) Material: Simbol-simbol tersebut diwujudkan
dengan menggunakan berbagai bahan, seperti
dengan meggunakan kain kapan, batu padas,
atau dengan menggunakan besi dan diwujud-
kan sebagai ujung-ujung tombak yang disebut
bandrangan atau pengawin.
3) Warna: Warnanya produk kriya tersebut,
menyesuai dengan bahan yang digunakan,
seperti “hitam besi”, atau ada juga diwarnai
dengan cat warna hitam dan putih perak.
Dalam penerapan-penerapan tertentu ada
juga yang diwarnai sesuai dengan tata warna
Senjata dan Dewata Nawa Sanga, seperti
pada Gambar 14 dan 15.
b) Fungsinya: Produk Kriya tersebut digunakan
sebagai simbol dan sekaligus hiasan yang di-
wujudkan dalam bentuk perlengkapan upacara,
seperti berupa ujung-ujung tombak yang dise-
but dengan bandrangan atau pengawin
Wayabya (barat daya)
Sangkara
Angkus
Limpa
Wilis (Hijau)
Uttara (utara)
Wisnu
Cakra
Ampru (empedu)
Ireng (Hitam)
Ersanya (timur laut)
Swayambhu
Trisula
Ineban
Pelung (biru)
Pascima (barat)
Mahadewa
Nagapasa
Ungsilan Ginjal
Kuning
Madya (tengah)
Siwa
Padma
Tumpuking Hati)
Amanca (Pancawarna)
Purwa (timur)
Iswara
Bajra
Jantung
Putih
Niriti (barat daya)
Rudra
Moksala
Usus
Oranye (jingga)
Daksima (selatan)
Brahma
Gadha
Hati
Bang (merah)
Geniyan (tenggara)
Mahesora
Dupa
Peparu (paru-paru)
Dadu (merah muda)
Gambar 14. Jenis dan Tata Letak Senjata Nawa Sanga
Gambar 15. Dewata Nawa sanga
c) Makna, Nilai-nilai Simbolik dan Religius: Dalam
alam transendental, dipercayai oleh umat Hin-
du, bahwa Ida Sang Hyang Widi atau Tuhan
Yang Maha Esa berwujud sebagai Paramašiwa,
dengan keadaan-Nya: “tunggal”, kekal abadi, ti-
dak berawal-berakhir, tanpa aktivitas, maha tahu
dan sebagainya serta disebut Nirgunam Brahman
(sunya). Namun dalam alam imanensi, Tuhan
berwujud sebagai Sadašiwa dan dipercayai,
bahwa Tuhan telah berkrida, telah dipengaruhi
oleh sakti atau kekuatan untuk melakukan ke-
hendak-Nya, sehingga memiliki sifat, fungsi dan
aktivitas (Saguna Brahman), dengan berma-
cam-macam manifestasi-Nya dan dipersonifi-
kasikan sebagai dewa-dewi. Selanjutnya Tuhan
diwujudkan sebagai Šiwa atau Šiwatman atau
Mayasarira Tattwa. Dalam hal tersebut, Tuhan
memiliki delapan Ilmu pengetahuan untuk me-
nyucikan Sang Hyang Atma yang ada dalam
semua mahkluk dari dosa sesuai dengan amal
baktinya (Wardana, 1994).
Dalam alam imanensi umat Hindu di Bali,
Tuhan diwujudkan sebagai Sada Šiwa, maka
dikenal dewa-dewa yang termasuk kelompok
Dewata Nawa Sanga, manifestasi Tuhan dalam
menjalankan tugasnya sebagai pengatur kehar-
monisan alam makrokosmos (Bhuana Agung)
yang terletak di seluruh penjuru mata angin dan
mikrokosmos (Bhuana Alit) yang terletak pada
organ-organ tubuh mahkluk hidup. Dan kesem-
bilan dewa tersebut masing-masing memiliki
senjata yang disebut dengan Senjata Nawa Sa-
nga Seperti Pada Gambar 14, 15.
Dalam Lontar Kekawin Bhomakawya atau Bho-
mantaka, bahwa Senjata Nawa Sanga tersebut
adalah merupakan simbol-simbol atau nyasa
dari kekuatan-kekuatan yang dimiliki para dewa
dalam menjalankan tugas-Nya. Simbol-simbol da-
lam mayasakti berbentuk senjata tersebut, di-
ciptakan dengan didasari kosmologi khususnya
tentang bumi. Masing-masing mengandung arti
atau makna yang saling terkait satu dengan
lainnya serta merupakan satu kesatuan yang
utuh. Penjelasan lebih lengkap dapat disimak
pada Tabel: 2 berikut
Tabel 2 Makna Senjata Nawa Sanga
No. Nama Senjata
Makna simbol
(1) (2) (3)
1. Cakra
Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Dewa Wisnu untuk mengatur rotasi dan peredaran bumi. Dalam hal ini berfungsi sebagai kutub utara yang nantinya dihubungkan dengan Dewa Brahma di kutub selatan sehingga terbentuk sumbu rotasi bumi.
2. Trisula
merupakan simbol kekuasaan tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Sambu, yaitu berfungsi menjalankan tugas sebagai pengatur kehidupan di bumi berdasarkan ketentuan Upeti, Setiti dan Pralina. Lahir, Hidup dan Mati.
(1) (2) (3)
3. Bajra
Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatanTuhan dalam manifestasi Nya sebagai Dewa Iswara yang bertugas mengatur getaran alam (makrokomos dan mikrokosmos).
4. Dupa
Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-nya sebagai Dewa Mahesora, dalam fungsinya sebagai pengatur panas alam (makrokomos dan mikrokosmos).
5. Gadha Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Brahma, dalam fungsinya mengatur, mengendalikan dan menentukan danda atau hukum alam. (yang menyangkut Rwabhineda —siang, malam, baik, buruk dan sebagainya —).
6. Moksala Merupakan simbol kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Rudra, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengatur atau menentukan sifat dan karakter alam semesta bersama isinya.
7. Nagapasa Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Mahadewa, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengikat atau pengatur kestabilan alam semesta bersama isinya.
8. Angkus Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Sangkara, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengatur kemakmuran dan kesejateraan alam semesta bersama isinya.
9. Padma Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Šiwa, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengendali dan penentu dari tugas-tugas yang dijalankan oleh delapan dewa yang terletak di delapan penjuru arah mata angin. Simbol senjata-Nya digubah dari bentuk bunga teratai atau padma yang bermahkota delapan atau Asta Dala, sebagai kekuasaan atau kekuatan dari delapan dewa tersebut terpusat pada Dewa Šiwa. atau disebut dengan Padma Anglayang atau pangider-ider
Narasumber: Ida Pedanda Budha, Griya Sukawati.
3.3. Bhoma
a) Karakteristiknya:
1) Bentuk: Bhoma dibuat dalam bentuk relief
tinggi yang digolongkan sebagai kekarangan,
sehingga disebut dengan Karang Bhoma.
Karang tersebut merupakan stilisasi dari ben-
tuk kepala raksasa atau punggalan. Perwu-
judan bertuk tersebut didasari ceritera Bho-
mantaka. Ciri-crinya: mata besar dan men-
delik, di kanan dan kiri dilengkapi dengan te-
lapak tangan yang dikepak, dilatarbelakangi
dengan patra wangga, kakul-kakulan serta
patra punggel. Sebagai salah contoh seperti
pada Gambar 16 berikut.
Gambar 16. Karang Bhoma
b) Fungsinya: Produk kriya tersebut umumnya di-
gunakan sebagai simbol dan sekaligus ragam
hias yang diterapkan di atas relung kori agung
atau paduraksa, merupakan gerbang pertama
dari sebuah pura atau sebuah pintu yang mem-
batasi halaman kedua atau madia mandala
(jaba tengah) dengan halaman pertama atau
utama mandala (jeroan) seperti pada Gambar
17 berikut
Gambar 17. Kori Agung Atau Paduraksa Dengan Ragam Hias berupa Bhoma
2) Material: Umunya bahan yang digunakan un-
tuk membuatnya, seperti batu alam, batu pa-
das atau batu bata.
3) Warna: sesuai dengan bahan yang digunakan,
seperti: “hitam batu alam”, “abu-abu batu pa-
das” atau merah bata.
c) Makna, nilai-nilai simbolik dan Religius: Bhoma
berarti lukisan (ukiran) yang berbentuk muka rak-
sasa atau kala (Bahasa Bali) yang ditempatkan di
atas relung pintu gerbang utama pura atau padu-
raksa (Dinas Pengajaran Propinsi Bali, 1978).
Dalam A Šanskrit-English-Dictionary dijelaskan,
bahwa perkataan Bhoma berasal dari Bahasa
Šanskerta; Bhauma, artinya berhubungan dengan
bumi, yang keluar dari bumi, tinggal di dalam
bumi atau tanah (Monier, 1963). Sedangkan
menurut Miguel Covarrubias dalam bukunya
Island of Bali, dijelaskan, bahwa Bhoma adalah
raksasa putra bumi, mata melotot seram seperti
kepala monster, mulut terbuka lebar, gigi dan
taring mencuat keluar (Covarrubias, 1972)
Di Bali, Bhoma digunakan sebagai simbol dari
pepohonan dan disebut Banaspatiraja serta di-
anggap keramat. Pandangan tersebut disela-
raskan dengan kepercayaan, bahwa Banaspati-
raja adalah raja bhuta, kala, dengen, tonye atau
mahkluk halus yang menempati pohon-pohon
besar, seperti pohon randu, pole, kepuh dan se-
bagainya.
Menurut Mitologi Bhoma dalam kesusastraan
Jawa kuno, seperti pada kekawin Bhomantaka;
dinarasikan tentang kelahiran Sang Bhoma.
Berawal dari perdebatan antara Dewa Brahma
dengan Dewa Wisnu tentang kesaktian yang
mereka miliki. Bersamaan dengan kejadian
tersebut tiba-tiba muncul sebuah lingga kristal
dari bumi dan menjulang ke angkasa. Milihat
kejadian tersebut, mereka tercengang dan me-
mutuskan untuk menemukan ujung dan pangkal
dari lingga tersebut. Dewa Brahma menyuruh
Dewa Wisnu untuk mencari pangkalnya dan
Dewa Brahhma dengan kesaktiaannya ber-
ubah menjadi burung layang-layang hitam ter-
bang meluncur ke atas mengejar ujung lingga,
sedangkan Dewa Wisnu berubah wujud men-
jadi seekor babi jantan dan menggali tanah
untuk menemukan pangkal lingga. Mamun usa-
ha mereka sia-sia, karena pangkal lingga ter-
sebut terus masuk ke dalam bumi dan ujungnya
terus menjulang ke angkasa dengan batas yang
tak terhingga. Dalam pencarian tersebut Dewa
Wisnu bertemu dengan Dewi Wasundari (Dewi
Pertiwi). Dalam pertemuan tersebut akhirnya
terjalin hubungan yang dalam sehingga mela-
hirkan seorang putra yang diberi Naraka atau
Bhoma (Lontar Bhomantaka, Lampiran 5b, Ke-
ropak IV.b).
Heinrich Zimmer dalam bukunya Myths and
Symbols in Indian Art an Civilization dipaparkan
tentang Bhoma sebagai akibat pemenggalan le-
her raksasa bernama Rau yang dilakukan oleh
Dewa Wisnu, karena raksasa tersebut diketahui
sedang minum tirta amertha. Namun pada saat
dipenggal tirta tersebut belum sampai di teng-
gorokan, sehingga bagian kepalanya tetap hi-
dup sedangkan bagian badannya langsung mati.
Kepala raksasa tersebut akhirnya murka, meru-
sak dan mengganggu aktivitas para dewa di
kahyangan. Melihat kejadian tersebut, akhirnya
Dewa Siwa menjadi sangat marah, sehingga
muncul makhluk yang luar biasa sebagai Ghora
Murti Siwa —wujud Tuhan yang dideskripsikan
sebagai sesuatu yang sangat sangat dasyat
dan, mengerikan— dari ajňa cakra-Nya atau ke-
ning. Akhirnya raksasa Rau dimakan oleh mak-
hluk tersebut.
Namun makhluk yang diciptakan tersebut memi-
liki sifat yang rakus dan memakan apa saja yang
dijumpainya serta sangat tunduk dengan
perintah Dewa Siwa. Akhirnya Dewa Siwa me-
merintahkan agar memakan tubuhnya sendiri.
Perintah tersebut segera dilakukan. Dia mulai
makan kaki, tangan, badan, sampai bagian di-
bawah leher dan hanya tersisa bagian leher
serta kepala. Mahkluk tersebut kembali bertanya,
apa yang saya lakukan lagi ?. Karena kepatuh-
annya tersebut, Dewa Siwa memberi tugas untuk
menjaga istana Siwa, menelan, menghancurkan
dan menolak pikiran jahat yang akan merusak
kesucian stana Dewa Siwa serta diberi nama
Kirttimukha serta diletakan pada bendul pintu
utama. Pada saat tersebut Dewa Siwa bersab-
da “ Barang siapa yang masuk ke dalam kuilku
tanpa menyembahmu, mereka tidak akan mem-
peroleh rahmatku” (Zimmer, 1945).
3.4. Garuda Wisnu
a) Karakteristiknya
1) Material: Bahan baku yang digunakan untuk
membuat produk itu adalah kayu, batu bata,
batu padas, atau batu alam, dan sebagainya.
2) Bentuk: Pada umumnya bentuk Garuda Wis-
nu digubah dari bentuk fantasi yang menye-
rupai burung. Tubuh dan anggota badan me-
nyerupai manusia, telapak kaki dibuat seperti
cakar burung, bersayap, berparuh, mata me-
lotot, gigi runcing, bertaring dan diberi busana
serta mahkota. Dibagian belakang diberi ekor
dan dipunggungnya dibuat patung Dewa Wisnu
memegang Cakra, seperti pada Gambar 18
berikut
Gambar 18. Garuda Wisnu
Tetapi yang digunakan untuk menghias pada
sendi tugeh jarang dilengkapi dengan patung
Dewa Wisnu, karena dari punggung patung ga-
ruda tersbut, langsung berdiri tugeh atau tiang
penyangga menuju puncak langit-langit.
b) Fungsinya: Produk kriya tersebut mempunyai
fungsi religius dan estetis, digunakan sebagai
simbol dan hiasan, biasanya diterapkan di bela-
kang bangunan Pelinggih Padmasana, sendi tu-
geh (dasar tiang penyangga puncak langit-langit
pada bangunan piasan), gedong bata dan seba-
gainya, salah satu contoh penerapannya, se-
perti pada Gambar 19. Berikut
Gambar 19. Relief Garuda Wisnu Diterapkan di Belakang Padmasana
c) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Dalam
bahasa Šanskerta perkataan “garuda” be-
rasal dari akar kata “gri”, yang berarti “me-
nelan” (penakluk para naga, memiliki kekuat-
an magis untuk menangkal bisa ular). Dalam
perwujudannya sebagai simbol, sering ditung-
gangi oleh Dewa Wisnu. Garuda dipakai se-
bagai simbol matahari, naga sebagai simbol
air kosmis dan Wisnu berada pada kedua sisi
antagonis tersebut. Adegan tersebut sangat
populer dalam episode Ramayana, ceritera-
ceritera rakyat dan dalam bentuk visualnya
dipakai sebagai sarana pemujaan oleh umat
Hindu di India dan Bali (Zimmer, 1946). Di
Nusantara, garuda juga digunakan sebagai
simbol kebesaran atau penggambaran aspek
keagungan Tuhan. Diperkirakan telah ber-
langsung sejak pertengahan abad X. Hal ter-
sebut dapat diketahui dari tipografi pening-
galan cap atau stempel bermotif Garuda-
mukha yang pertama kali digunakan sebagai
lencana kepala pemeritahan oleh Sri Maha
Raja Blitung (808-910) yang berkuasa di Jawa
Tengah. Penggunaannya semakin berkem-
bang dan terus seperti digunakan oleh Raja
Jayabaya, Raja Kertajaya (raja yang terhak-
hir memerintah dikerajaan Kediri), Prabu
Aerlangga dengan peninggalannya yang pa-
ling terkenal berupa garuda yang ditunggangi
Dewa Wisnu dan sebagainya (Titib, 1995)
Setelah bangsa Indonesia bebas dari beleng-
gu penjajahan bangsa-bangsa lain, maka ga-
ruda kembali dijadikan sebagai lambang ne-
gara, yaitu Garuda Pancasila. Dalam perwu-
judannya kaki burung Garuda tersebut men-
cengkram pita yang berisi tulisan tentang ikrar
bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Lambang tersebut sebagai sumber yang kreatif
mencerminkan kebebasan untuk menentukan
nasib bangsa indonesia di antara bangsa-
bangsa di dunia.
Dalam Adiparwa —sebuah kesusastraan Ja-
wa yang diperkirakan ditulis pada zaman pe-
merintahan Raja Darmawangsa Teguh seki-
tar tahun 918 Saka (918 Masehi), dalam ba-
hasa Kawi— terdapat satu episode yang
menceritakan keajiaban atau kebesaran Sang
Garuda, seberikut:
Aparan pwa ya makateja Ya? Garudo balawan tesam manuk mahacakti, anak Bhagawan Kacyapa ri Sang Winata ika. Nama tluya sutejasa. Kunang pada tejanya lawan teja nghulun.
Makana ling Sang Hyang Agenbi ri sang watek dewata. Mari ta sira harohara, kapwa maso mangastuti Sang Garuda, ling nira:
Twam rsi, twam mahabhagas, twam dewah, pathagecwara, twam prabhuprahus tapanah twam nastranam anuttamam
Artinya; Apakah yang bersinar itu ? Garuda
tiada lain seekor burung yang maha sakti,
anak Bhagawan Kacyapa dengan Sang Wi-
nata. Sinanya sangat bagus, dan sinarnya
sama dengan sinarku.
Demikianlah kata Sang Hyang Ageni kepada
para dewa. Mereka tertegun dan berdiam,
semua tampil ke depan dan memuji Sang
Garuda serta mengatakan: Hyang Garuda,
engkau resi, engkau pendeta besar, engkau
dewa, engkau penguasa segala yang ter-
bang melayang, engkau rajanya, sinarmu
seperti sinar matahari (Widiatmaja, 1958).
Dalam episode selanjutnya diceritakan usaha
Garuda dalam mencari tirta amertha yang
disimpan oleh para dewa di Gunung Somaka.
Tirta tersebut natinya digunakan sebagai per-
syaratan untuk membebaskan ibunya (Sang
Winata) dari perbudakan Sang Kadru.
Dalam perjalanan mencari tirta amertha ia
menemui banyak hambatan. Seperti para dewa
yang membawa senjata menghadang dan
menyrangnya. Namun dengan kesaktiannya
tak satupun bulu Garuda tersebut dapat di-
rontokan oleh senjata para dewa. Akhirnya
sang Garuda berhasil mengambil tirta amer-
tha yang disimpan dalam goa dilereng gunung
Somaka dan membawanya terbang ke ang-
kasa.
Di angkasa dengan serta merta dewa Wisnu
mengampirinya dan menyuruh agar tirta ter-
sebut dikembalikan. Namun sang Garuda
menolaknya dan menyuruh agar para dewa
minta anugrahnya… Episude cerita tersebut
diakhiri dengan menerima permintaan dewa
Wisnu untuk menjadikannya sebagai kenda-
raanya dan tirta amerthan tersebut kembali
dapat direbut oleh para dewa serta Sang
Winata bebas dari perbudakan.
Sedangkan di Bali, karya sastra tersebut ba-
nyak mengilhami para seniman atau para
kriyawan masa lalu dalam berkaya. Mitologi
tentang keagungan atau kesaktian tokoh
Garuda dan Wisnu dijadikan sebagai landas-
an estetika dan penerapan Garuda Wisnu
juga sebagai simbol kebesaran Tuhan, di-
anggap mengandung nilai-nilai simbolis reli-
gius serta disakralkan. Sehubungan dengan
hal tersebut, maka Garuda Wisnu diterapkan
pada bangunan-bangunan suci, seperti pada
Pelinggih Padmasana.
3.5. Barong Ket dan Rangda
a) Karakteristiknya:
1) Material: Bahan baku yang digunakan, seperti:
kulit sapi yang telah disamak, praksok ( Baha-
sa Bali) atau sejenis serat daun pandan, kayu,
kaca, pewarna (menggunakan pewarna tradi-
sional, seperti: kincu, jelaga, serbuk tulang
menjangan, atal ancur dan perada), kain dan
sebagainya.
2) Bentuk: Barong yang digunakan di Bali ben-
tuknya sangat beragam dengan sebutan yang
berbeda-beda, seperti: Barong Ket, Barong
Bangkal, Barong Asu, Barong Macan, Barong
Blas-Blasan, Barong Brutuk dan sebagainya.
Salah satu contoh berupa Barong Ket dan
Rangda dapat dilihat pada Gambar 20
b) Warna: Topeng barong biasanya diwarnai den-
gan merah, bulunya diwarnai hitam atau dibiar-
kan putih (warna praksok). Hiasannya, seperti:
badong, gelung kekendon, geruda mungkur,
silat bahu, kembang sasak, angkeb pale dan
sebagainya, dibuat dengan kulit dan diwarnai
perada atau warna emas. Demikian juga hiasan
Rangda, dibuat dan diwarnai dengan cara yang
sama. Warna topeng Rangda umumnya putih.
Gambar 20. Barong Ket dan Rangda
c) Fungsinya: Barong dan Rangda adalah tergo-
long produk kriya bebali, karena selain men-
gandung nilai-nilai sakral (sebagai sarana upa-
cara agama), juga mengandung nilai-nilai pro-
fan. Produk kriya tersebut diciptakan dan di-
gunakan sebagai sarana pagelaran seni tari
wali, yaitu tarian yang dipentaskan serangkaian
dengan upacara Agama Hindu di Bali. Seperti,
dalam melangsungkan upacara odalan di pura.
Produk kriya tersebut juga digunakan sebagai
pratima dan biasanya di simpan di Pura Dalem.
d) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Banyak
pengertian mengenai kata barong, seperti da-
lam Bahasa Šanskerta, berasal dari kata Bhah-
rwang, artinya binatang beruang. Pengertian
tersebut, sesuai dengan pendapat R. Goris,
bahwa sinonimnya disitir dari Bahasa Belanda,
yaitu dari kata beer. Sedangkan ditinjau dari
cara memakai, maka perkataan barong disela-
raskan dengan perkataan bareng (Bahasa Bali),
artinya bersama —cara menarikan atau me-
mainkan bersama-sama —(Proyek Sasana Bu-
daya Bali, 1975/1976)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelas-
kan, bahwa perkataan barong berarti, tarian
yang memakai kedok dan kelengkapannya
sebagai binatang buas (singa), dimainkan oleh
dua orang, satu dibagian kepala dan satu di
bagian ekor, dipertunjukkan dengan ceritera
Calon Arang (Kridalaksana, 1994). Perkataan
”Ket“ tidaklah mengandung arti khusus, hanya
disesuikan dengan suara yang ditimbulkan
akibat entakan rahang bawah kedok barong,
sewaktu dimainkan. Sedangkan Rangda atau
Randa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
perkataan itu berarti perempuan yang kehilang-
an suami (cerai atau meninggal dunia) atau
janda (Kridalaksana, 1994).
Barong dan Rangda dalam episode Calona-
rang adalah dua tokoh yang melambangkan
dua sifat atau karakter berbeda (Rwa Bhineda)
atau antagonis, di mana Barong sebagai lam-
bang kebenaran atau dharma. Masyarakat di
Bali menyebutnya sebagai penganut ajaran be-
raliran “tengen atau kanan” (white magic), se-
bagai juru penyelamat, mengayomi dan dapat
menyembuhkan penyakit. Sedangkan tokoh
Rangda melambangkan sifat atau karakter
yang mengarah pada hal-hal kurang baik atau
adharma, merusak, mengganggu dan sebagai
penganut ajaran “beraliran kiwa atau kiri”
(black magic) (Covarrubias, 1972).
Menurut mitologi, bahwa penciptaan Barong
dan Rangda di Bali diilhami cerita yang terda-
pat dalam lontar Šiwa Tattwa. Secara singkat
diceritakan tentang kutukan Dewa Šiwa yang
ditujukan kepada istrinya Dewi Uma agar ber-
ubah menjadi Dewi Durga —Seorang dewi
atau perempuan yang berwajah angker dan
menakutkan sebagai dewi penguasa kuburan
yang bernama setra Gandamayu— karena
ulahnya yang tidak wajar dilakukan ketika di-
suruh mencari susu atau empehan lembu, Dia
berani menghianati, mengorbankan kesucian
dan kesetiannya, melakukan perselingkuhan
dengan pengembala lembu. Pada hal kejadian
tersebut dibuat oleh Dewa Šiwa. Sebenarnya
pengembala tersebut adalah siluman dari dewa.
Masalah tersebut terungkap berkat kehebatan
ilmu tenung yang dimiliki dewa Ganesh. Dalam
kutukan tersebut Dewa Šiwa juga mengijinkan
istrinya untuk berubah wujud kembali menjadi
dewi Uma saat hari tilem sasih kesanga ( saat
bulan mati di bulan sembilan).
Ketika hari tersebut tiba, istrinya menghadap
dalam wujud rangda dengan wajah menakut-
kan. Lalu untuk memberkati perubahan wujud
istrinya menjadi dewi Uma, maka Dewa Šiwa
berubah menjadi Bhuta Egeg (Lontar Šiwa
Tattwa, namdala 53-56).
PENDEKATAN HISTORIS DAN SEMIOTIS TERHADAP PRODUK KRIYA
A. Pendekatan Historis
ejarah atau dalam bahasa Inggris disebut
history dan berasal dari bahasa Yunani istoria
(kata benda) berarti “ilmu”. Dalam penggunaannya
oleh filusuf Yunani seperti istoria yang dipakai Aristo-
teles berarti suatu cara menelaah sesuatu secara sis-
tematis mengenai seperangkat gejala alam, entah
suatu susunan yang kronologis ataupun tidak. Pende-
katan tersebut disebut natural history. Namun dalam
perkembangan selanjutnya metode untuk menelaah
sesuatu yang tidak kronologis digunakan istilah scientia.
Sedangkan yang kronologi terutama menyangkut ke-
hidupan manusia dipakai istilah istoria. Dalam definisi
yang universal istilah history berarti masa lampau umat
manusia. Namun masa lampau tersebut tidaklah dapat
direkonstruksi kembali secara utuh, karena sejarah
hanya berdasarkan rekaman dan berdasarkan simpulan
mengenai lingkungannya (Gottschalk, 1969).
S
BAB IV
Pendekatan hitoris adalah suatu proses penguji-
an dan analisis secara kritis hasil rekaman dan pe-
ninggalan masa lampau. Rekonstruksi yang imajinatif
dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh
dengan menempuh proses historiografi (penulisan
sejarah); dilakukan seleksi, penyusunan, dan deskripsi.
Dan cara tersebut berbeda dengan metode sejarah
analitis, karena pada batas-batas tertentu metode seja-
rah analitis adalah ilmiah, yakni hasilnya dapat diverifi-
kasi dan dapat titolak atau diterima. Sejarah merupa-
kan suatu metode atau prosedur (procědě de connais-
sance), sehingga metode sejarah dapat diterapkan
pada berbagai disiplin yang digunakan sebagai sarana
untuk memastikan fakta (Gottschalk,1969).
Cara penulisan sejarah bertumpu pada empat
kegiatan pokok yaitu:
1) Pengumpulan data yang berasal dari jaman
yang sedang dialami menjadi konsentrasi dan
pengumpulan bahan-bahan: tercetak, tertulis
dan lisan yang relevan.
2) Menyingkirkan bahan yang dianggap tidak otentik
3) Menyimpulkan kesaksian yang dapat diperca-
ya mengenai bahan bahan yang otentik.
4) Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya
tersebut menjadi suatu penyajian atau deskripsi
yang berarti.
Secara umum sumber data yang digunakan dalam
penelitian sejarah dapat dikelompokan menjadi tiga
kelompok yaitu:
1) Peninggalan berupa material, seperti: candi,
posil, monumen, senjata, perhiasan, bangun-
an, perabotan dan sebagainya.
2) Peninggalan tertulis: seperti: prasasti, relief,
lontar, kitab, naskah kuno dan sebagainya.
Penggunaan arsip dan dukumen harus dibe-
dakan dengan studi dokumenter yang merupa-
kan metote deskriptif.
Studi dokumenter, cenderung menggunakan
data yang belum terlalu lama, sehingga masih
dapat dikelompokkan sebagai usaha meng-
ungkap fakta masa sekarang. Sedangkan dari
segi waktu, pendekatan historis menggunakan
data yang relatif sudah lampau.
3) Peninggalan yang tidak tertulis atau budaya,
seperti berupa ceritera rakyat, dogeng, adat-
istiadat, hukum, kepercayaan,dan sebagainya.
Bentuk penelitian historis (Namawi,1990):
1) Penelitian atau studi komparatif hitoris, dilaku-
kan dengan membandingkan gejala yang seje-
nis, baik berdasarkan perbedaan waktu terja-
dinya atau tempat terjadinya di dalam kurun
waktu yang sama.
2) Penelitian legal atau yuridis. Bermaksud meng-
ungkap kegiatan-kegiatan pemerintah suatu
bangsa, kerajaan, lembaga dalam menetapkan
kebijakan, sehingga berpengaruh bagi kehidup-
an pada masa terntentu dalam prospek sejarah.
3) Penelitian bibliografi atau kepustakaan, dilakukan
untuk mengungkap berbagai teori pandangan
hidup, pemikiran filsafat dan lain-lain yang da-
pat ditemui di dalam berbagai peninggalan ter-
tulis terutama buku-buku yang dihasilkan pada
zaman tertentu.
4) Penelitian kronologis atau secara diakronis pe-
nelitian ini bermaksud untuk mengungkap ke-
jadian atau keadaan dan peristiwa menurut
urutan waktunya dari masa yang paling tua
dapat dicapai sampai masa-masa mendekati
masa sekarang.
B. Pendekatan Semiotis
Pendekatan Semiotis diartikan sebagai prosedur
yang digunakan untuk pemecahan masalah yang di-
tinjau dari perspektif ilmu tanda atau dikenal dengan
“semiologi” atau “semiotika”. Dalam bidang seni, kriya
dan desain pendekatan semiotis dapat diartikan sebagai
prosedur pemecahan masalah estetika dan semantika
produk kriya. Upaya pemecahan masalah tersebut dapat
dilakukan dengan membaca atau menginterpretasikan
hubungan antar tanda dan makna pada produk kriya.
Indeks, simbol, tanda, ikon yang merupakan hal
yang mendasar dalam semiotika, sebenarnya dalam
desain bukan merupakan hal yang baru. Sebab me-
nurut Tjahjono (1980) bahwa istilah desain (design)
dalam penggunaannya sebagai kata kerja berasal dari
kata latin-baru desingare yang berarti ‘menandai’ atau
membatasi (penambahan suku kata ‘de’ di depan me-
nunjukkan pemakaian secara intensif). Kata desingare
sendiri mempengaruhi kata designer dari bahasa Pe-
rancis abad pertengahan (dalam pengertian meran-
cang), berasal dari kata signum yang berari sebuah
tanda khusus.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994)
dijelaskan, bahwa pengertian semiotika adalah ilmu
atau teori tentang lambang dan tanda. Di Amerika ilmu
tersebut disebut dengan Semiotics, yang dikembang-
kan oleh Charles Sanders Peirce (1838-1914), se-
orang filosuf dari Amerika. Dia menegaskan bahwa
peranan tanda dalam kehidupan sangatlah besar,
yaitu sebagai sarana berpikir dan berkomunikasi. Di
Eropa ilmu tersebut disebut dengan Semiology, yang
dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-
1913), seorang linguis dari Swiss. Namun kedua istilah
tersebut berasal dari bahasa Yunani, Semeion, dalam
artian sign atau tanda. Merupakan cabang ilmu yang
mengkaji tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan tanda, seperti sistem tanda, proses yang ber-
laku dalam penggunaan atau fungsi tanda, hubungan
dengan tanda lainnya, penerima dan pengiriman tan-
da, konvensi dan sebagainya (Zoest dalam Soekowati,
1993). Luxemburg menyatakan, bahwa semiotika ada-
lah ilmu yang secara sistematis mempelajari tentang
tanda dan lambang (sistem dan proses perlambangan)
(Luxemburg dalam Hartoko, 1984).
Kemudian Wiryaatmadja (1981) menyatakan,
bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji kehidupan
tanda dalam maknanya yang luas di dalam masyarakat,
baik bersifat literal maupun alegori (kias) atau figuratif,
baik menggunakan bahasa verbal atau ujar maupun
non-bahasa atau nirujar. Batasan tersebut sesuai
dengan pendapat Rene Wellek dalam telaah linguistik,
yang memasukan image (citra), metaphor (metafora),
symbol dan myth ke dalam cakupan semiotika (dalam
Santosa, 1990).
Dari definisi-definisi tersebut dapat dipahami
bahwa bidang kajian semiotika sangat luas. Ruang
lingkup kajiannya tidak terbatas pada bidang bahasa
saja, tetapi meliputi berbagai aspek kebudayaan, se-
perti gerak isyarat atau gesture, pakaian, dan berbagai
produk lainnya (The American Heritage® Dictionary of
the English Language, Third Edition, 1992 ). Semiotika
mempelajari tentang tanda, cara berfungsi, hubungan
antara tanda dengan tanda lainnya, termasuk pengirim-
an, dan penerimaan tanda dalam komunikasi tanda.
Dalam pengkajian semiotika menggunakan bebe-
rapa pendekatan, seperti
1) Sintaksis semiotika, yaitu studi tentang tanda
yang berpusat pada penggolongan, hubungan
dengan tanda-tanda lain dan cara bekerja sa-
manya dalam menjalankan fungsinya.
2) Semantik semiotika, apabila pengkajian menon-
jolkan hubungan tanda dengan acuannya dan
interpretasi yang dihasilkannya.
3) Pragmatik semiotika, apabila mengutamakan
hubungan antara tanda dengan pengirim dan
penerima tanda.
Bidang kajian semiotika seperti dipaparkan ter-
sebut, secara garis besarnya mencakup komponen
dasar, seperti tanda (sign), lambang (symbol) dan
isyarat atau sandi.
1) Tanda (sign) merupakan komponen semiotika
yang menandai suatu hal atau keadaan untuk
menerangkan atau memberitahukan objek ke-
pada subyek. Dalam konteks tersebut, tanda
selalu menunjuk pada sesuatu hal yang riil,
misalnya, benda, kejadian, tulisan, bahasa, tin-
dakan, peristiwa, dan bentuk-bentuk tanda yang
lain, sehingga tanda memiliki arti yang statis,
umum, lugas dan objektif.
Menurut Peirce, makna tanda yang sebenarnya
adalah mengemukakan objek atau sesuatu —
apa yang dimaksud oleh tanda, diacu atau di-
tunjuknya, disebut designatum atau denotatum.
Dalam Bahasa Prancis digunakan kata référent,
sedangkan dalam Bahasa Indonesia disebut
“acuan”— disebut representamen. Represen-
tamen dapat terlaksana apabila ada bantuan
sesuatu, misalnya, konvensi. “Sesuatu” yang
diacu oleh tanda agar dapat berfungsi disebut
dengan latar atau ground. Setelah tanda diaso-
siasikan dengan suatu acuan, maka dari tanda
yang orisinil berkembang menjadi suatu “tanda
yang baru” disebut interpretant. Interpretant
merupakan suatu peristiwa psikologis dalam
pikiran interpreter atau penterjemah. Jadi dalam
suatu tanda selalu terdapat tiga unsur, yaitu de-
notatum, ground dan interpretant. (Sudjiman,
1992). Tanda mempunyai dua entitas yaitu:
signifier atau wahana tanda dan signified atau
wahana makna atau dapat diartikan sebagai
penanda dan petanda serta keduanya tidak
dapat dipisahkan. Keseluruhan dari proses ter-
laksananya representamen digambarkan oleh
Peirce dalam diagram segitiga, seperti tampak
pada Gambar 21 berikut:
Sumber: Eco 1979
Gambar 21: Proses Berlangsungnya Representamen
Salah satu contoh: dua buah produk
kriya berupa patung raksasa apitlawang (Ba-
hasa Bali) yang diletakkan mengapit pintu
gerbang utama pura atau paduraksa. Awal-
nya patung tersebut merupakan tanda untuk
“benda biasa” atau sekadar hiasan semata,
namun setelah mengacu pada latar (ground)
yang terkait dengan pengamalan ajaran
Agama Hindu di Bali, —dua buah patung
raksasa tersebut mempunyai fungsi komuni-
kasi tanda visual, yaitu untuk “menyadarkan”
atau mengingatkan umat, sebelum memasuki
pura atau tempat suci agar “membunuh” si-
fat-sifat “keraksasaan” (marah, dengki, loba,
atau emosi diri yang tak terkendali lainnya)—
maka patung tersebut akan menjadi tanda
baru yang memuat latar tersebut. Bagi umat
yang memahami latar atau ground yang tersi-
rat pada patung tersebut, maka pada dirinya
akan muncul interpretasi yang menggugah
kesadaran, bahwa memasuki pura hendak-
nya mengendalikan “emosi”, sehingga dapat
mengikuti upacara dengan khidmat. Dalam
kondisi tersebut, dapat dikatakan represen-
temen dari patung tersebut dapat berlang-
sung dengan baik.
Unsur penanda (dasar atau latar) atau
ground dari tanda dapat dibedakan menjadi
tiga berdasarkan sifatnya, yaitu:
a) Qualisign adalah terbentuknya tanda ber-
dasarkan sifat atau kualitas.
b) Sinsign berasal dari singular sign adalah
tanda terbentuk berdasarkan penampilan-
nya yang nyata, semua pernyataan indivi-
dual yang belum terkonvensikan dapat
disebut sinsign.
c) Legisign adalah tanda terbentuk atas da-
sar suatu peraturan yang berlaku umum,
seperti, konvensi atau kode.
Selain hal tersebut, tanda dapat dibedakan
menjadi tiga berdasarkan sifat penghubung
tanda dengan denotatum, yaitu:
a) Iconic adalah tanda terbentuk berdasarkan
suatu kemiripan potensial yang dimilikinya
dan tidak tergantung pada makna deno-
tatum. Batasan tersebut mengimplikasikan
bahwa segala sesuatu merupakan icon,
karena semua yang ada di alam dapat
diasosiasikan dengan yang lain.
b) Indeks adalah tanda yang sangat tergan-
tung pada denotatum dan memiliki hu-
bungan bersebelahan atau kedekatan
eksistensi. Contoh, ada asap sebagai per-
tanda ada api dan sebagainya.
c) Symbol atau lambang adalah hubungan
berdasarkan konvensi dari suatu kelom-
pok komunitas manusia.
Selanjutnya unsur interpretant atau petanda dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a) Rhême, apabila tanda tersebut dapat
diinterpretasikan sebagai representasi dari
suatu kemungkinan denotatum.
b) Dicisign, apabila bagi interpretant tanda
itu, menawarkan hubungan yang benar
ada di antara tanda denotatum.
c) Argument atau interpretant dalam arti
umum. Dalam hal tersebut tanda terkait
dengan renungan kebenaran, membawa
penjelasan mengenai daya atau kekuatan
kebenaran pada sistem-sistem semiotika.
2) Lambang atau simbol . Manusia sering disebut
sebagai “mahkluk simbolik”, karena hampir
semua aktivitas dalam kehidupan manusia se-
hari-hari, seperti dalam berpikir, membaca, ber-
komunikasi, berperasaan, bersikap, bekerja dan
sebagainya, dari dulu hingga sekarang tidak
terlepas dari aktivitas simbolisasi.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Ernst Cassirer, bahwa semua
mahkluk ciptaan Tuhan dalam menghadapi realita
kehidupan, umumnya dilandasi oleh dua sistem,
yaitu sistem penerimaan dan pemberian. Namun
manusia selain terlibat dua sistem tersebut, juga
mempunyai kelebihan untuk menciptakan sistem
komunikasi dengan matra baru yang menye-
suaikan dengan lingkungan realitas, yaitu ke-
mampuan untuk menciptakan “sistem simbolik”.
Dan sekaligus dipakai untuk menandai salah satu
perbedaan manusia dengan binatang Sehingga
ia menyatakan:
”... instead of defining man as an animal rationale, we should define him as animal symbolicum”. (Cassirer, 1944).
Istilah simbol berasal dari perkataan Yunani,
symballein (suatu bentuk kata kerja) yang ber-
arti meletakan secara bersama atau menaksir
bersama, sebagai kata benda, berarti perban-
dingan dengan sesuatu, maksudnya prihal yang
harus dikaji dengan kritis, karena merupakan
analogi tanda untuk menghadirkan tanda yang
lain. Lambang atau simbol adalah tanda yang
mampu menuntun pemahaman si subjek ke-
pada objek berhubungan dengan makna de-
notatum dan konotatum, berdasarkan konvensi
atau kode yang berlaku umum dalam lingkungan
budaya masyarakat tertentu.
Dalam kaitan dengan simbol, Ogden dan
Richards dalam Eco (1979) memberi dua istilah,
yaitu reference (yang mengandung, isi atau
konsep sebagai acuan) dan referent (yang me-
ngandung persepsi, denotatum, “sesuatu” dan
sebagainya, sebagai hasil interpretasi). Ketiga
komponen tersebut digambarkan dalam diagram
segitiga, seperti Gambar 22 berikut.
Sumber: Eco 1979
Gambar 22 Berlangsungnya Referent
Jadi simbol merupakan tanda yang me-
ngandung pengertian sertaan dan antara simbol
dengan yang disimbolkan atau referent yang di-
hasilkan sama sekali tidak terdapat pertalian
makna alamiah, sehingga lambang atau simbol
bermakna dinamis, khusus, subyektif, kias, dan
majas. Perwujudannya sangat tergantung pada
permasalahan yang bersifat kultural, situasional
dan kondisional.
Lambang atau simbol merupakan pedoman
untuk memudahkan pengenalan atau penghayatan
sesuatu di tengah-tengah kesemerautan perbuatan
manusia dan keragaman kejadian alam. Karena di
dalamnya terkandung kaidah yang bertalian de-
ngan akal budi dalam seluruh paradigma tentang
kehidupan sadar dan di bawah sadar. Mitos,
khayalan, impian dan bentuk-bentuk abstrak lain-
nya dapat direalisasikan dalam wujud simbol.
3) Isyarat adalah sesuatu hal atau keadaan yang
diberikan oleh si subjek kepada objek. Dalam ke-
adaan tersebut, si subjek selalu berbuat sesuatu
untuk memberitahukan kepada si objek yang
memberi isyarat pada waktu itu juga. Jadi isyarat
selalu bersifat temporal (kewaktuan), apabila di-
tangguhkan pemakaiannya, isyarat akan berubah
menjadi tanda atau perlambang (Santosa,1990).
Sebenarnya penerapan ketiga komponen
semiotika, seperti tanda, simbol dan isyarat, sering
menemui kesulitan, terutama dalam menentukan
garis demarkasinya secara tepat. Hal tersebut di-
sebabkan, karena ketiganya saling terkait. Namun
berdasarkan uraian tersebut, secara garis besar-
nya dapat dilihat ciri masing-masing komponen ter-
sebut, seperti Tabel 2 berikut:
Tabel 2
Tiga Komponen Semiotika
No. TANDA SIMBOL ISYARAT/SANDI
(1) (2) (3) (4)
1. subjek diberitahu oleh objek (subjek pasif)
subjek dituntun memahami objek (subjek aktif)
diberitahukan oleh subjek kepada objek (subjek aktif)
2. hanya memuat dua arti
memuat banyak arti atau sedikit-dikitnya dua arti.
hanya memuat satu arti
3. subjek dibeitahu oleh objek terus menerus (berlaku konstan)
subjek dituntun memahami objek secara terus menerus (berlaku secara konstan), karena terkonvensi
diberitahukan oleh subjek kepada objek secara langsung (berlaku satu kali)
4. berbentuk konkret dan / atau abstrak.
berbentuk konkret dan atau abstrak.
berbentuk abstrak
5. diketahui oleh manusia, dan dapat juga oleh binatang setelah diajarkan secara berulangulang
hanya dapat dipahami oleh manusia.
dapat dikenal oleh binatang dan manusia
6. yang dipakai untuk tanda selalu mempunyai hubungan khusus dengan yang ditandai (kontekstual).
yang dipakai untuk lambang atau simbol tidak mempunyai hubungan khusus dengan yang dilambangkan atau disimbolkan.
yang dipakai sebagai dasar isyarat tidak ada hubungan khusus dengan yang diisyaratkan.
(1) (2) (3) (4)
7. diciptakan oleh manusia, alam dan juga binatang untuk manusia dan/atau binatang.
diciptakan oleh manusia untuk manusia.
diciptakan oleh manusia untuk manusia dan “mahkluk lain”
(Herusatoto, 1983)
Penjelasan semiotika tersebut, terutama terkait
dengan model semiotika yang dikembangkan oleh
Ferdinand de Saussure maupun Ogden dan Richards
—dimana antara tanda (sign), penanda (signifier) dan
petanda (signified) meunjukkan hubungan yang “statis”—
merupakan semiotika dengan model berpikir struktur,
sinkronik dan konvensional —Apapun bentuk pertukar-
an tanda, harus mengikuti model struktur kaitan antara
penanda dengan petanda yang berlangsung stabil atau
mapan— serta sebagai konsep dari paham strukturalis.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka model
semiotika tersebut akan dipakai untuk menjelaskan atau
memaparkan tinjauan mengenai penggunaan tanda atau
simbol dalam masyarakat Hindu di Bali pada zaman
Hindu dan pewaris tradisi tersebut. Terutama peng-
gunaan tanda atau simbol dalam konteks pelaksanaan
ajaran agama Hindu sesuai adat di Bali. Hal tersebut
dilakukan mengingat dalam mengamalkan ajarannya,
hampir semua diwujudkan dalam bentuk simbol atau
lambang dengan konvensi yang telah mapan dan stabil
yang mengacu pada mitologi atau filosofi agama Hindu
dan didasari keyakinan. Simbol-simbol tersebut di-
upayakan dengan harapan agar dapat “mempermudah”
penghayatan kepada sifat-sifat maya Tuhan. Misalnya,
diwujudkan dalam produk-produk kriya seperti: patung,
relief, senjata dan sebagainya.
Sedangkan kajian semiotika terkait dengan feno-
mena eklektik pada desain produk masa kini di Bali
diuraikan berdasarkan model semiotika ‘intertekstualitas’
(intertextuality) yang diperkenalkan oleh Julia Kristeva,
seorang pemikir post-strukturalis dari Perancis. Model
semiotika tersebut merupakan pengembangan lebih
lanjut dari paham ‘dialogisme’ (dialogism) yang diper-
kenalkan oleh Mikhail Bakthin, seorang pemikir Rusia.
Menurut pendapat Mikhail Bakthin, bahwa “dialog-
isme” sebagai relasi-relasi yang harus ada di antara
ungkapan-ungkapan dalam discourse, karena tidak
ada ungkapan yang tidak terkait dengan ungkapan
lain. Pemikiran tersebut menjadi salah satu konsep
dalam paham post-strukturalisme.
Dalam buku Revolution in Poetic Language
(1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach
to Literature and Art (1979), Kristeva menerangkan
bahwa pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam ana-
lisis teks atau produk desain atau seni. Sebuah teks atau
produk desain atau seni selalu dibuat dalam ruang dan
waktu yang konkrit. Oleh sebab itu, maka antara satu
teks atau produk dengan teks atau produk yang lain
dalam ruang dan antara satu teks atau produk dengan
teks atau produk sebelumnya yang saling silang me-
nyilang satu dengan yang lainnya dalam rentang wak-
tu tertentu mesti ada relasi-relasi ( Kristeva, 1979).
Istilah intertekstualitas merupakan proses perlin-
tasan atau diistilahkan dengan ‘transposisi’ (transposi-
tion) dari satu sistem tanda (sign system) ke sistem
tanda yang lain. Pemakaian petanda sebelumnya yang
telah mapan untuk petanda baru yang kurang jelas
maksudnya akan menunjukkan terjadinya suatu perlin-
tasan sistem tanda, sehingga sepanjang perlintasan
tersebut, suatu sistem tanda kadang-kadang dapat
berdampak negatif atau ‘merusak’ sistem tanda sebe-
lumnya. Misalnya dapat menimbulkan terjadi ‘peng-
hapusan’ atau ‘pengkaburan’, ‘pelesetan’ bagian tanda
dari sistem tanda yang menjadi referensinya. Konsep
intertekstualitas yang dikembangkan oleh Kristeva ter-
sebut dapat digambarkan dalam suatu sekematik se-
perti Gambar 23 berikut
Gambar 23 Transposisi Sistem Tanda Berdasarkan Model Semiotika Intertekstualitas (Intertextuality)
Dalam penggunaan tanda atau simbol dengan
petanda atau maknanya di masyarakat, sering dijumpai
terjadi fenomena “permainan penanda”, misalnya dalam
pengadaan komoditi mata dagangan. Pada mata da-
gangan tersebut terjadi ekspansi secara total serta per-
kembangbiakan konvensi tanda yang tak terbatas untuk
mencapai kesenangan, prestise, image, nostagia, janji
dan sebagainya. Konsumen sering disuguhi permanen
tanda-tanda atau simbol-simbol yang dikondisikan oleh
pihak produsen dengan tujuan untuk memperoleh bene-
fit atau untuk memenangkan kompetisi dagang.
C. Semiotika dalam Rancangan Produk Kriya
Berdasarkan uraian tersebut dan dikaitkan dengan
penciptaan serta penggunaan produk kriya dalam kehi-
dupan masyarakat di Bali, seperti telah dipaparkan ter-
sebut, maka permasalahan rancangan produk-produk
kriya juga dapat dianalisis berdasarkan pendekatan se-
miotika. Hal tersebut, mengingat produk-produk kriya
masa lalu juga merupakan salah satu artefak kebu-
dayaan, di dalam tersirat nilai-nilai atau norma-norma
budaya yang melibatkan beberapa komponen semiotika.
Untuk lebih jelasnya mengenai permasalahan semiotika
dalam produk-produk kriya, akan dilakukan tinjauan ber-
dasarkan konsep yang melatarbelakangi penciptaannya,
seperti konsep “sekular” dan konsep spiritual religius
serta dikaitkan dengan nilai fungsi guna dan estetis yang
dikandungnya.
1. Konsep Sekular
Berbagai aktivitas kehidupan masyarakat di Bali,
sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan kebutuhan
akan produk kriya, baik berupa produk fungsional seba-
gai alat bantu, maupun sebagai produk yang berfungsi
estetis sebagai benda hiasan yang ditujukan untuk pe-
menuhan kebutuhan yang bersifat sekular. Konsep de-
sain produk kriya untuk benda fungsional, jika ditinjau
dari sudut semiotika, maka tampak tanda-tanda yang
diterapkan lebih mengutamakan makna denotasi dan
mengarah pada kategori pragmatis semiotika, karena
bangun tanda yang diwujudkan lebih lugas, objektif dan
mengutamakan segi utilitas karena semata-mata untuk
dipakai. Dengan konsep penerapan tanda tersebut,
maka para pemakai (user) akan secara gamblang dapat
menafsirkan tanda-tanda yang bekerja pada wujud vi-
sualnya. Sistem tanda tersebut dapat sebagai penuntun
dalam penggunaan produk tersebut. Misalnya, produk
kriya berfungsi sebagai wadah, alat untuk mengambil,
memotong, menusuk dan sebagainya.
Wujud produk kriya fungsional yang diperuntukan
sebagai peralatan kerja (working tool) dalam perenca-
naannya terkait dengan tuntutan kebutuhan suatu pro-
fesi, seperti kebutuhan produk kriya berupa peralatan
kerja untuk profesi sebagai petani, pedagang, tukang,
dan sebagainya. Sehingga ditinjau dari historis dan se-
miotis produk yang digunakan oleh seseorang dengan
mata pencaharian tertentu juga dapat dipakai sebagai
indeks mengenai profesi seseorang. Misalnya, alat bajak
yang ditarik oleh sapi dengan fungsi untuk membajak
tanah pertanian, maka alat tersebut jelas digunakan oleh
profesi seseorang sebagai petani tradisional. Produk
kriya seperti tersebut, dalam konteks semiotika akan
bertindak sebagai dicisign, karena interpretasi menawar-
kan hubungan yang benar ada di antara tanda dan de-
notasinya.
Kemudian dengan semakin majunya tingkat pera-
daban masyarakat, maka tuntutan kebutuhan hidupnya
juga semakin kompleks dan bervariasi. Pemenuhan ke-
butuhan akan produk kriya tidak hanya terbatas pada
fungsi guna semata, melainkan mulai mengarah pada
pemenuhan kebutuhan bersifat “sekular” atau hedonistik.
Produk kriya yang diciptakan disertai dengan berbagai
pertimbangan-pertimbangan menyangkut hal-hal bersifat
psikis, sehingga secara subjektif dapat menyentuh
sukma dan dirasakan sebagai penghargaan bagi para
pemakai. Seperti mempertimbangkan segi estetis yang
menyangkut keseimbangan, kesatuan, keselarasan,
makna dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka berbagai
upaya dilakukan oleh para kriyawan untuk menghasilkan
produk kriya yang unik, indah dan dengan berbagai ka-
rakteristiknya. Menawarkan berbagai alternatif produk
dengan menanamkan tanda atau simbol dengan makna
konotatif. Dengan upaya tersebut dapat melahirkan
suatu image atau citra rasa tertentu dalam masyarakat.
Misalnya, produk kriya berupa mahkota yang dibuat
dengan berbagai hiasan dan tanda atau simbol yang
terkonvensi dalam suatu masyarakat. Pada zaman ke-
rajaan, produk tersebut dengan faham fitisime dapat
berfungsi untuk pembeda status sosial di dalam masya-
rakat, sebagai simbol kebesaran, keagungan atau ke-
kuasaan seorang individu ciptaan Tuhan yang memiliki
status sebagai raja. Produk kriya berupa cincin, selain
digunakan untuk perhiasan, juga disepakati sebagai
tanda atau simbol ikatan perkawinan. Produk-produk
kriya tradisonal yang memiliki ciri khas daerah tertentu
dan sebagainya, dikonsumsi dan dipakai tanda kenang-
an atau sebagai simbol harga diri seseorang atau pres-
tise. Misalnya dalam fenomena kecenderungan membeli
produk kriya tradisonal Bali. Di antara para wisatawan
yang berkunjung ke Bali tampak banyak yang menbeli
produk-produk kriya tradisonal Bali disertai dengan ha-
rapan untuk memperoleh kenangan-kenangan tentang
hasil kebudayaan tradisional Bali atau dipakai sebagai
tanda kebanggaan, bahwa mereka pernah berkunjung
ke objek wisata di Bali dan sebagainya.
Dalam perkembangan produk kriya sebagai mata
dagangan, juga tampak fenomena memakai kekuatan
nilai tukar yang kecenderungannya lebih menyandarkan
pada makna konotasi. Pada fenomena tersebut tanpa
disadari terjadi permainan tanda dengan konvensi yang
terkondisikan dan dengan matra yang tak terbatas. Pro-
duk-produk kriya diangkat statusnya dan digunakan se-
bagai simbol-simbol tertentu yang menghasilkan berba-
gai interpretasi pada masyarakat konsumen, kadang-ka-
dang tindakan tersebut sampai melupakan nilai utilitas
dan religius pada produk tersebut. Dalam hal tersebut
akhirnya produk kriya menjadi Rhême, karena diinter-
pretasikan sebagai representasi dari suatu kemungkinan
denotasinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Baudrillard, bahwa dalam kondisi se-
perti tersebut justru nilai guna sering kali tak lebih dari
semacam jaminan praktis (alibi) (Baudrillard, 1981).
Konsumer terkadang bukan lagi mencari konteks
makna, sehingga terjadi ketidakstabilan penanda dan
petanda.
2. Konsep Spiritual Religius
Manusia Bali setelah melalui tingkatan hidup es-
tetis dan etis, biasanya melanjutkan tingkatan hidup-
nya ke arah mencari nilai religius. Pada tingkatan ini,
manusia menginginkan adanya jalinan hubungan de-
ngan Tuhan atau keinginannya untuk menerima ikat-
an-Nya, sehingga berkembang sistem kepercayaan
yang mengandung keyakinan dan penafsiran terhadap
sifat-sifat Tuhan serta wujud dari alam gaib yang tran-
sendental, misalnya menyangkut tentang hakikat hi-
dup, maut, bayangan wujud dewa-dewa dan mahkluk
halus lainnya yang mendiami alam tidak nyata. Keya-
kinan itu bersumber dari: ajaran agama berupa wahyu
suci yang terhimpun dalam kitab-kitab suci, mitologi
dan ceritera-ceritera rakyat berupa dongeng yang tum-
buh dalam lingkungan masyarakat tertentu.
Sehubungan dengan tujuan manusia tersebut,
maka muncul sistem upacara religius yang merupakan
visualisasi kelakuan atau behavioral manifestation.
Perilaku tersebut diwujudkan dalam berbagai macam
ungkapan seperti, berdoa, bersujud, bersemedi, berta-
pa, berpuasa, bersaji, beryajña, berkurban, menari,
menyanyi, berprosesi, dan sebagainya. Selain hal ter-
sebut, juga muncul penghargaan pada suatu benda
untuk digunakan sebagai sarana pendukung keper-
cayaannya, misalnya, berupa bangunan suci, berbagai
peralatan upacara termasuk melibatkan produk-produk
kriya yang disakralkan.
Produk-produk kriya yang dipakai dalam upacara
agama, pada umumnya mencakup beberapa fungsi,
seperti berfungsi sebagai simbol, sarana komunikasi,
peralatan upacara dan fungsi estetis dalam wujud
benda hiasan. Produk-produk kriya yang difungsikan
sebagai simbol, dalam perwujudannya dilandasi den-
gan suatu konvensi yang acuannya merujuk pada ajar-
an agama atau kepercayaan dari suatu komunitas
manusia yang sepaham, sehingga dalam produk ter-
sebut terpatri suatu “ideologi” tertentu yang nilai-nilai-
nya diyakini dan dijadikan sebagai tradisi.
Salah satu contoh dapat dilihat dalam tata cara
penghayatan dan pengamalan ajaran agama Hindu di
Bali. Produk kriya tersebut digunakan sebagai “alat”
upacara, simbol-simbol diwujudkan berdasarkan kon-
vensi yang mengacu atau dilatari kosmologi Hinduistis
di Bali, sebagai media komunikasi yang dilandasi kon-
sep Tri Hita Karana dan difungsikan sebagai hiasan.
Produk kriya yang digunakan untuk simbol tersebut,
merupakan tanda bersifat argument, karena interpre-
tasinya terkait dengan renungan tentang kebenaran
keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan maha segala-
galanya (seperti telah disinggung di depan). Dengan
penggunaan simbol-simbol tersebut, diharapkan dapat
mempermudah penghayatan dan pengamalan ajaran
agama Hindu serta untuk mempermudah membayang-
kan sifat abstrak-Nya tersebut.
Perwujudan produk kriya sebagai tanda atau
simbol, kadang dapat dalam bentuk icon, seperti stilasi
bentuk manusia, binatang, benda alam dan sebaginya.
Misalnya diwujudkan dalam berbagai produk kriya, se-
perti berbentuk relief, patung atau pratima dan seba-
gainya atau dibuat berdasarkan kualitas material yang
digunakan atau qualisign, misalnya, warna (darah bi-
natang, warna bunga, kapur, arang dan lainnya), ka-
rakter bahan (suatu jenis kayu, batu, kulit, logam dan
sebagainya).
Namun tidak dipungkiri, bahwa dalam menginter-
pretasikan simbol-simbol tersebut, sering terjadi perbe-
daan pandangan, sehingga melahirkan interpretasi ber-
sifat mendua antara masyarakat yang berada dalam
konvensi dengan di luarnya. Salah satu contoh produk
kriya berupa umbul-umbul bergambar naga taksaka
yang digunakan sebagai salah satu sarana upacara
Agama Hindu di Bali. Bagi umat Hindu menganggap
benda tersebut sebagai tanda diadakan upacara agama
dan sekaligus penerapan gambar naga taksaka disepa-
kati sebagai simbol lapisan alam atas (Swah Loka). Se-
bagai dasar acuannya adalah kosmologi Hinduistis den-
gan interpretasi yang bersifat konotatif dan dianggap sa-
kral. Sedangkan bagi umat atau orang yang tidak paham
atau berada di luar konvensi tersebut, melihat umbul-
umbul tersebut hanya sekedar hiasan belaka. Feno-
mena seperti itu, belakangan ini memang cukup banyak
terjadi di daerah Bali. Produk-produk kriya seperti itu,
kadang hanya dilihat dari fungsi estetisnya saja.
D. Beberapa Fenomena yang Muncul Sehubungan dengan Tindakan Eklektik pada Unsur Produk Kriya Masa Lalu
Eklektik adalah suatu usaha yang bersifat memilih
unsur-unsur yang baik atau menggunakan bermacam-
macam susunan yang tidak terbatas pada satu sumber
ide dan sebagainya, baik berupa orang, gaya, metode,
kepercayaan dan sebagainya. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka dalam buku ini yang dimaksudkan ada-
lah eklektisme terhadap elemen estetis masa lalu yang
diterapkan pada desain produk masa kini. Tindakan
“memilih” unsur-unsur tersebut secara tidak langsung
jelas akan menimbulkan beberapa permasalahan, baik
pada vitalitas idiom masa lalu itu sendiri maupun kesatu-
an substansi pada desain produk masa kini. Fenomena
tersebut dapat dipahami dari beberapa istilah seperti
berikut:
1) Pastiche
Istilah pastiche berarti menyusun elemen-
elemen yang dipinjam dari pelbagai pengarang
atau seniman masa lalu. Oleh sebab itu, istilah ini
bisa mengandung pengertian dengan konotasi
negatif dan dianggap miskin orisinallitas (Baldick
dalam Yasraf 1994). Linda Hutcheon dalam buku-
nya yang berjudul: A Theory of Parody, dijelaskan
bahwa:
Pastiche, in this sense, is a pure imitation without any pretension. A pastiche text imitate other past text, in order to emulate or to appreciate them. Pastiche has been called by one critic as “form rendering” to describe its superficiality, that is, its lack to thoroughness. (Hutcheon, 1985).
Menurut Linda Hutcheon, pastiche adalah
suatu bentuk imitasi murni, tanpa disertai de-
ngan pretensi tertentu. Gaya atau teks yang di-
pakai meniru dari teks masa lalu, disebut seba-
gai kritikan “gubahan bentuk” yang menunjukan
suatu kedangkalan sebagai kekurangan yang
utama. Selain hal tersebut, Fredric Jameson se-
cara metaforis menyebut istilah tersebut seba-
gai “penggunaan topeng sejarah, pengungkap-
an dalam bahasa yang telah mati” (Jameson
dalam Yasraf, 1991).
2) Parody
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1994), dijelaskan bahwa, parody (parodi), arti-
nya produk sastra atau seni yang dengan sen-
gaja menirukan gaya atau kata penulis atau
pencipta lain dengan maksud mencari efek ke-
jenakaan. Dalam peniruannya dapat bersifat iro-
nis dan kritis, bahkan bermuatan politis dan
ideologis. Parodi merupakan suatu bentuk “di-
alogisme tekstual”, yaitu dua teks atau lebih di-
pertemukan dan berinteraksi satu sama lain da-
lam bentuk dialog: debat, kritik, dan humor.
Dengan demikian, parodi selalu mengambil
keuntungan dari bentuk, gaya atau produk yang
menjadi sasarannya (kelemahan, kekurangan,
keseriusan, atau kemasyuran) (Yasraf, 1994).
Jadi dari uraian tersebut, pada dasarnya parodi
adalah merupakan suatu fenomena yang terjadi
dalam produk sastra, seni, atau arsitektur de-
ngan tendensi bersifat memilih dan didistorsi,
kemudian diimitasi dalam suatu produk dengan
tujuan mengarah pada humoristik dan kadang
kala bersifat “pelesetan”.
3) Kitsch
Istilah Kitsch berasal dari bahasa Jerman,
verkitshen berarti “membuat murahan”. Dan
kistchen, secara harfiah berarti “memungut
sampah dari jalan”. Dalam bidang seni, istilah ini
sering diselaraskan artinya sebagai “sampah ar-
tistik” atau sering diberi pengertian sebagai “se-
lera rendahan” atau segala produk seni palsu
(pseudo art) yang murahan dan tanpa selera.
Predikat kitsch sebagai selera rendahan dimani-
festasikan oleh lemahnya ukuran dan kriteria
estetis yang dipakai.
Selain hal tersebut, kitsch bertujuan mensi-
mulasi atau mengkopi elemen-elemen gaya
“seni tinggi” atau objek sehari-hari untuk kepen-
tingan sendiri dan menjadikan sebagai mass
product. Mengimitasi suatu bentuk gaya atau
objek untuk tujuan yang palsu. Menurut Clement
Greenberg, pada awalnya keberadaan kitsch di-
dorong oleh semangat mereproduksi, yang di-
akibatkan oleh berkembangnya produksi, kon-
sumsi dan komunikasi massa; merupakan suatu
upaya untuk menghasilkan efek-efek reproduksi
dalam sistem kebudayaan massa atau memba-
ngun aura seni dari reproduksi itu sendiri.
(Greenberg dalam Yasraf, 1995).
4) Camp
Pada fenomena estetika pengertian camp
sering dikelirukan dengan istilah kitsch yang
mengarah pada pengertian “selera rendahan”
atau merupakan “sampah estetik”. Sebenarnya
camp merupakan salah satu cara untuk melihat
dunia sebagai suatu gejala estetik dalam derajat
kecerdasan, kesemuan dan stylization atau
penggayaan.
Dalam suatu bentuk produk seni, camp lebih
menititik beratkan pada dekorasi, tekstur, per-
mukaan sensual, dan style dengan distorsi yang
berlebihan dan meremehkan isi serta netral. Me-
rupakan kemenangan gaya atas isi, estetik atas
moral dan ironi atas tragedi. Hubungannya de-
ngan masa lalu bersifat “mendaurulang” dan
sentimentil. Dalam upaya mewujudkan produk,
berusaha menampilkan sesuatu yang special,
berlebihan dan glamor (Sontag, 1992).
Dengan memahami beberapa istilah di atas,
ternyata dalam usaha perluasan desain masa
kini yang berciri khas Bali, dengan mengusung
eklektisme elemen estetis produk kriya tradisi-
onal dan dieksploitasi pada desain masa kini,
kadang-kadang juga dapat menimbulkan dam-
pak tersebut. Selanjutnya untuk mengetahui
dampak yang ditimbulkan dari tindakan eklektis
terhadap produk kriya masa lalu dapat dipahami
pada uraian berikut, yaitu dengan menganalisa
beberapa contoh kasus penerapan elemen
estetis produk kriya secara eklektik pada desain
masa kini di Bali seperti diuraikan pada Bab V.
DAMPAK PENERAPAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI
A. Faktor-Faktor Pendorong Penerapan Elemen
Estetis Produk Kriya Tradisional Bali Secara Eklektik Pada Desain Masa Kini
1. Kajian Historis
Transformasi atau pergeseran merupakan suatu
fenomena yang universal dan selalu mewarnai lintas
sejarah perkembangan kebudayaan suatu masyara-
kat. Oleh sebab itu, maka suatu masyarakat dengan
kebudayaannya secara mutlak tidak mungkin dapat
hidup statis, stagnan dan terisolir. Setiap kebudayaan
akan mengalami perubahan atau pergeseran dalam
fungsi waktu dengan laju yang bervariasi.
Kegiatan penciptaan dan penggunaan produk kriya
di Bali sebenarnya sudah berlangsung sejak dahulu kala
dan terus mengalami perkembangan dan perubahan
yang didorong oleh berbagai faktor, baik faktor internal
yang disebabkan oleh penggunaan dan penghargaan
BAB V
produk kriya dalam berbagai aktivitas kehidupan ma-
syarakat Bali, maupun faktor eksternal berupa penga-
ruh-pengaruh kebudayaan dari luar melalui proses
akulturasi yang berlangsung dari zaman ke zaman
dalam kapasitas yang berbeda-beda. Faktor pendo-
rong tersebut seperti (1) karena adanya tuntutan kebu-
tuhan produk kriya fungsional yang mengandung nilai
utilitas, berupa peralatan kerja untuk penunjang berbagai
aktivitas hidup sehari-hari, (2) sarana penunjang keaga-
maan atau kepercayaan dan untuk dipersembahkan ke-
pada raja dan keluarganya (3) kebutuhan produk kriya
untuk menunjang kebutuhan lain yang mengarah pada
penciptaan produk kriya untuk memenuhi kebutuhan
bersifat sekular, hedonistik dengan mengutamakan
fungsi estetis dan efek finansial yang ditimbulkannya.
Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan produk kriya pe-
nunjang kepariwisataan dan sebagai komoditi ekspor.
Bersamaan dengan upaya untuk memenuhi kebutuh-
an tersebut sering dijumpai kasus fenomena penerap-
an elemen estetis produk kriya tradisional secara ek-
lektik. Faktor pendorong tersebut dapat digambarkan
seperti pada Gambar 24.
Ditinjau dari sudut historis mengenai perkembang-
an dan perubahan penciptaan serta penggunaan pro-
duk kriya di Bali, secara diakoronis dapat disimak,
bahwa sebelum mendapat pengaruh dari kebudayaan
neolitikum dan perunggu, saat penduduk Bali masih
hidup nomaden, umumnya memiliki pola pikir terbatas
pada usaha pemenuhan kebutuhan berupa makanan
untuk kelangsungan hidupnya. Dalam melakukan usa-
ha tersebut, mereka menggunakan peralatan berupa
produk kriya terbuat dengan batu, tulang binatang,
ranting kayu dan sebagainya, dengan proses penger-
jaan masih sangat sederhana.
MUATAN LOKAL/
ETOS KEBUDAYAAN
(latar belakang sejarah)
PENGEMBANGAN PARIWISATA
DAN KEGIATAN EKSPOR PRODUK
KERAJINAN DI BALI
SARANA PENUNJANG
Produk-produk kriya berupa:
Souvenir
menciptakan citra atau
suasana
UNSUR-UNSUR EKLEKTIK
PADA KARYA MASA LALU
Gambar 24 Faktor Pendorong Munculnya Tindakan Eklektik Terhadap Elemen Estetis Tradisioanal Bali
Di masa-masa selanjutnya, setelah masuknya
pengaruh kebudayaan neolitikum dan perunggu di Bali,
maka dalam sistem peralatan dan perlengkapan hidup
mengalami perubahan. Penduduk di Bali telah mampu
menciptakan produk-produk kriya berupa peralatan ter-
buat dengan logam, batu, gerabah (tanah liat yang di-
bakar) dan sebagainya yang dikerjakan dengan teknik
lebih sempurna. Dalam proses penciptaan produk-
produk kriya, pertimbangan mengenai keindahan, ke-
nyamanan dan simbolisasi sudah menggejala dan
menjadi bagian yang esensial.
Pada zaman tersebut, masyarakat sudah mampu
menghasilkan produk-produk kriya yang bermutu, mi-
salnya peralatan berupa kapak batu yang dibentuk
dan digosok sampai halus, nekara perunggu diberi
hiasan yang sekaligus berfungsi sebagai simbol-sim-
bol terkait dengan kepercayaan animisme dan dina-
misme, sarkofagus untuk tempat mayat dan sebagai
tanda penghormatan atau simbol kendaraan arwah,
cincin untuk bekal kubur dan sebagainya.
Munculnya gejala tersebut, disebabkan semakin
meningkatnya kesadaran, hasrat, nafsu atau emosi
dalam diri individu untuk menghargai suatu materi
yang distimuli oleh alam atau lingkungan masyarakat
yang terbentuk, sistem relegi yang berkembang dan
semakin menggejalanya pengaruh integrasi kebudaya-
an dari luar serta didukung dengan banyak waktu luang
yang dimilikinya sebagai masyarakat agraris, misalnya
dikerjakan sambil menunggu datangnya musim panen.
Pada zaman Hindu, di Bali terjadi suatu “inter-
vensi kebudayaan” yang bersifat menyempurnakan
kebudayaan tradisi masa lalu dengan berorientasi pada
penyebaran, pembinaan dan peletakan dasar-dasar
ajaran Agama Hindu. Semua kegiatan ekonomi, sosial
kemasyarakatan dan kebudayaan Bali dirumuskan
dengan “bahasa” agama Hindu. Terjadi suatu sinkre-
tisasi atau proses penyerasian dua aliran (agama) dan
akulturasi yang harmonis antara unsur-unsur kebuda-
yaan India, Hindu dari Jawa Timur bergabung dengan
kultur agraris dan pemujaan roh leluhur yang telah
tumbuh di masyarakat Bali. Unsur India dominan pada
taraf filsafat dan mitologi, sedangkan unsur kebuda-
yaan Jawa umumnya tampak pada taraf ritual yang
bersumber pada kitab suci Weda. Perpaduan tersebut
melahirkan suatu kebudayaan yang bercorak khas Bali.
Penciptaan produk-produk kriya dominan dikem-
bangkan untuk keperluan Agama Hindu dan kerajaan.
Perwujudannya berupa hiasan, simbol dan benda pa-
kai, seperti ditujukan untuk menunjang kebutuhan sa-
rana upacara ritual, pembinaan umat dan dipersem-
bahkan kepada raja. Motivasi penciptaan dilandasi
dengan konsep dharma, karma phala yang diwujudkan
dalam sikap kebersamaan (kolektif), religius, dan loya-
litas dengan kecenderungan dedikasi, ketekunan serta
keiklasan yang sangat tinggi. Dengan sikap tersebut,
maka para kriyawan saat itu mampu menghasilkan
produk-produk puncak dengan kualitas yang sangat
tinggi, meliputi sistem peralatan dan perlengkapan hi-
dup, seperti berupa hiasan pada pura, wayang, berba-
gai bentuk topeng, patung, senjata, barang gerabah,
busana hasil tenunan tradisional (berupa kain songket,
sabuk dan sejenisnya). Bahan yang digunakan, seperti
logam, tanah liat, kulit binatang, kayu dan sebagainya.
Beberapa jenis kegiatan penciptaan produk kriya itu
diwariskan dari generasi ke genarasi berikutnya dan
sampai sekarang masih ditekuni oleh masyarakat kri-
yawan di beberapa daerah di Bali.
Produk-produk kriya yang difungsikan sebagai
simbol atau tanda terkait dengan kepercayaan umat
Hindu di Bali, khususnya yang digunakan dalam me-
laksanakan upacara ritual, ternyata di dalamnya sarat
mengandung makna atau nilai-nilai kesucian yang adi-
luhung. Produk-produk tersebut diciptakan dengan di-
landasi kosmologi Hinduistis dan adat di Bali, yang
terkait dengan kepercayaan tentang keagungan dan
kekuasaan Tuhan serta ajaran suci tentang ciptaan-
Nya, misalnya berupa simbol-simbol alam makrokos-
mos (bhuana agung) dan mikrokosmos (bhuana alit).
Produk-produk kriya tersebut termasuk katergori
produk kriya dibuat dalam konteks agama atau keper-
cayaan. Tergolong jenis kesenian Wali yang dianggap
sebagai benda sakral karena, dalam pembuatannya mu-
tlak disertai dengan proses penyucian atau melalui be-
berapa tahap penyucian (lihat Tabel 1, halaman: 61).
Ditinjau dari sudut keyakinan umat Hindu di Bali
terhadap nilai kesakralan yang dikandungnya, ternyata
sampai sekarang masih digunakan dan diyakini oleh
umat Hindu di Bali. Hal tersebut mengingat heterogen-
nya tingkat kemampuan umat dalam mengamalkan
ajaran agama Hindu atau dalam hasrat menghubung-
kan diri dengan Tuhan. Oleh sebab itu produk-produk
kriya berupa simbol-simbol untuk sarana pengamalan
ajaran Agama Hindu di Bali, sampai sekarang dan
bahkan untuk seterusnya tetap hadir dan diperlukan.
Dari sudut pandang ajaran agama Hindu, ternyata
“cara” tersebut memang diperbolehkan, seperti dise-
butkan dalam ajaran Catur Marga. Demikian juga da-
lam sifat Weda dan filsafat Wedanta, maupun sesuai
kerangka agama Hindu.
Jadi, dari uraian tersebut, jelaslah produk kriya
yang digunakan sebagai sarana pengamalan ajaran
agama Hindu di Bali, dari zaman Hindu sampai seka-
rang nilai-nilai kesakralannya tetap diyakini oleh seba-
gian besar umat Hindu di Bali. Di sisi lain, dalam kon-
teks pengembangan pariwisata, budaya tersebut juga
dipakai sebagai daya tarik utama. Oleh sebab itu, ma-
ka di masa-masa mendatang eksistensinya perlu dija-
ga dari penetrasi pengaruh-pengaruh luar yang dapat
mengancam kelestariannya.
Pada zaman kolonial, Bali dan kebudayaannya
diperkenalkan sebagai daerah tujuan wisata, maka
pengaruh-pengaruh Belanda dan kebudayaan masya-
rakat dari luar lainnya semakin merebak masuk ke
Bali. Sehingga dalam tata kehidupan masyarakat di
Bali tampak mengalami banyak perubahan, seperti se-
makin berkembangnya corak masyarakat yang meng-
arah pada usaha-usaha non-agraris. Masyarakat Bali
semakin dimantapkan dan didorong untuk bergerak
dalam bidang ekonomi, misalnya: membuat koperasi,
mengaktifkan kembali kegiatan ekspor-impor barang
yang sudah berlangsung sejak zaman kerajaan, men-
jual hasil pertanian dan sebagainya. Dalam usaha me-
nunjang pengembangan pariwisata, mulai berkembang
usaha yang bergerak dalam bidang perhotelan, res-
toran, biro perjalanan, toko kerajinan, kesenian tradi-
sional yang telah tumbuh dan berarkar di masyarakat
Bali, kembali aktif, termasuk penciptaan “produk-pro-
duk kriya komersial”.
Khusus mengenai masalah penciptaan produk-
produk kriya yang bermuatan lokal dengan tendensi
komersial. Gejalanya muncul secara “spontan” dari
masyarakat kriyawan Bali saat itu. Para kriyawan men-
ciptakan produk kriya tersebut, semata-mata didorong
oleh permintaan para wisatawan yang semakin me-
ningkat dan bukan atas prakarsa pemerintah kolonial
Belanda. Keadaan tersebut, dapat ditelusuri dari tujuan
Belanda untuk menguasai Pulau Bali, selain untuk
menguras hasil pertanian, peternakan dan lain-lainnya,
Selain hal tersebut pemerintah Belanda juga berke-
inginan untuk mempertahankan keaslian kebudayaan
Bali dengan menerapkan politik isolasi atau mengasing-
kannya dari pengaruh-pengaruh luar dan semata-mata
ingin dijadikan sebagai “museum hidup”. Upaya terse-
but diawali dengan usaha untuk mendatangkan para
pakar yang terkait dari negerinya, untuk mempelajari
berbagai aspek tentang kehidupan masyarakat dan
kebudayaan tradisonal. Kemudian membangun Gedong
Kertiya di Singaraja untuk menyimpan dan menyela-
matkan kesusastraan Bali yang ditulis pada lontar, mem-
bangun museum di Denpasar untuk melindungi dan
menyelamatkan artifak etnografi Bali. Mengembangkan
sistem pendidikan yang menyesuaikan dengan kebuda-
yaan terkait dengan tata kehidupan adat-Agama Hindu,
misalnya dengan mengangkat tenaga pendidik lokal
yang berkompeten dalam bidang kebudayaan Bali.
Motivasi perluasan usaha penciptaan produk
kriya di Bali saat tersebut, mengalami perkembangan
baru dibandingkan sebelumnya, di mana pada masa
berkembangnya pengaruh Hindu dan zaman kerajaan,
penciptaan produk kriya dilandasi dengan rasa pe-
ngabdian yang tulus kepada agama dan kerajaan.
Namun pada masa pemerintahan kolonial Belanda,
faktor pendorong atau motivasi penciptaan produk
kriya dengan serta merta mulai mengarah pada hal-hal
bersifat komersial. Para kriyawan kebanyakan mulai
memandang hasil produksinya sebagai mata dagang-
an yang bernilai ekonomis. Mereka cenderung men-
ciptakan produk kriya dalam bentuk cenderamata
untuk dijual kepada para wisatawan atau diekspor ke
luar pulau Bali.
Dalam pengadaan produk-produk kriya untuk me-
nunjang pengembangan pariwisata pada saat terse-
but, di satu sisi tampak para kriyawan berusaha me-
ngembangkan produk-produk kriya masa lalu yang di-
warisinya. Seperti: berupa patung, topeng, fanil, relief
dan gambar atau lukisan dengan menggunakan ber-
bagai bahan, misalnya: kayu, (berkembang di daerah
Gianyar dan Badung), batu padas (berkembang di
Gianyar), logam (berkembang di Klungkung, Gianyar,
Bangli dan di Buleleng), tempurung kelapa, tulang,
tanduk (berkembang di Gianyar), tanah liat atau kera-
mik (di Tabanan) dan lain sebagainya. Dalam upaya-
nya tersebut, kadang juga muncul tindakan eklektisme
elemen estetis produk kriya tradisional, tanpa kecuali
produk yang digunakan untuk sarana pengamalan dan
penghayatan ajaran agama Hindu Bali. Di sisi lain,
mereka juga mulai memadukan pengaruh dari luar, se-
hingga menghasilkan produk dengan berbagai peng-
gayaan atau style. Seperti pengaruh seni rupa modern
yang dibawa oleh para seniman Barat, seperti: Rudolf
Bonnet, Walter Spies dan seniman lainnya. Perpaduan
pengaruh tersebut, melahirkan produk-produk dengan
style Batuan, Ubud, pengosekan dan sebagainya.
Dalam masa pendudukan Jepang yang berlang-
sung relatif lebih singkat dibandingkan dengan peme-
rintahan Belanda. Usaha pengembangan pariwisata
kurang mendapat perhatian, karena pada waktu terse-
but, Jepang lebih mementingkan usaha penanaman
semangat militer dan arti penting perang Asia Timur
Raya untuk meraih kemenangan. Oleh sebab itu, usaha
penciptaan “produk kriya komersial” semakin surut dan
penggunaannya terbatas untuk memenuhi kebutuhan
sendiri. Otoritas masyarakat pada saat tersebut sangat
terbatas, sehingga keadaan kebudayaan Bali nyaris
terisolir dari pengaruh luar, kecuali pengaruh pemerin-
tahan Jepang sendiri.
Ulasan dari sudut historis tersebut memberi des-
kripsi bahwa pada saat mulai masuknya pengaruh Ba-
rat (Belanda) dan dijadikannya Bali sebagai daerah
tujuan wisata, maka usaha penciptaan produk-produk
kriya di Bali dengan serta merta mulai mengarah pada
tujuan komersial dan disertai dengan muncul gejala
penerapan elemen estetis produk tradisional secara
eklektik pada desain yang kemudian diterapkan pada
produk-produk kriya yang dibuat saat tersebut. Dido-
rong pula oleh semakin meningkatnya permintaan
para wisatawan akan produk-produk kriya yang ber-
muatan lokal berupa barang cenderamata.
Pada zaman kemerdekaan, sekitar tahun 1950,
sektor pariwisata di Bali kembali dikembangkan oleh
Pemerintah Indonesia dengan tetap berbasis pada ke-
kuatan budaya Bali sebagai daya tarik utama. Usaha
pengembangan tersebut, ternyata merupakan salah satu
pemicu arus penetrasi budaya modern dan global, se-
kaligus memberi dampak pada tata kehidupan masya-
rakat di Bali. Dikaitkan dengan pembangunan sektor pe-
rekonomian, ternyata upaya tersebut memberi pengaruh
yang signifikan. Lapangan pekerjaan atau bidang usaha
industri kecil memiliki peluang atau opportunity untuk
tumbuh dan berkembang, seperti dalam kegiatan pen-
ciptaan produk-produk kriya yang mengarah komersial.
Pada dasawarsa belakangan, sebelum terjadi tragedi
bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 di Kecamatan
Kuta dan bom Bali II pada tanggal 1 Oktober 2005.
usaha tersebut sempat mengalami perkembangan yang
cukup pesat, selain didorong oleh perkembangan sektor
pariwisata, juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah
yang terkait dengan pengembangan industri kecil dan
mendijadikan produk kriya lokal sebagai salah satu
alternatif komoditi ekspor non-migas.
Kondisi tersebut, cukup mendorong para kriya-
wan dan pengusaha di Bali masa kini untuk semakin
aktif menekuni sektor tersebut. Banyak di antara ma-
syarakat di Bali menjadikan sebagai mata pencaharian
tetap. Mereka termotivasi oleh aspek ekonomis yang
dihasilkan dari produk kriya yang diciptakannya. Ber-
beda dengan dulu, terutama di zaman prakolonial, di
mana kegiatan menciptakan produk kriya hanya me-
rupakan pekerjaan sambilan di waktu senggang seu-
sai di sawah atau kesibukan lain. Dan hasil produknya
jarang diperjual belikan sebagai mata dagangan.
Dalam pengadaan produk-produk kriya untuk di-
konsumsi para wisatawan masa kini, para kriyawan
berupaya untuk menyuguhkan produk yang dapat
memberi kenangan tersendiri, misalnya berwujud cen-
deramata yang menyiratkan keindahan alam atau ke-
budayaan Bali. Demikian juga dalam penataan ling-
kungan, berkeinginan menampilkan suasana yang
berbeda dengan daerah lain, salah satunya dengan
menerapkan elemen estetis produk kriya masa lalu.
Dalam hubungan dengan kreativitas penciptaan
produk kriya, di satu sisi tampak usaha inovatif yang
mengarah pada produk individual, misalnya dengan
mengeksploitasi alam fauna dan flora sebagai sumber
inspirasinya, seperti tampak pada Gambar 25 dan 26.
Gambar 25 Beberapa Hasil Kreasi Produk Kriya Dengan Mengeksploitasi Alam Fauna
Gambar 26 Beberapa Hasil Kreasi Produk Kriya Dengan Mengeksploitasi Alam Flora
Di sisi lain, tindakan-tindakan eklektik terhadap
elemen estetis produk kriya masa lalu yang diterapkan
pada desain produk kriya masa kini, tampak semakin
menggejala di kalangan masyarakat kriyawan. Mereka
melakukan tindakan tersebut didorong oleh harapan
atau keinginan untuk menciptakan produk-produk kriya
etnik yang bermuatan lokal atau tercerap suasana atau
citra rasa tradisional yang berciri khas budaya Bali
seperti tampak pada Gambar 27- 32
Gambar 27 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Pada Barang Komoditi.
Gambar 28 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Pada Barang Komoditi.
Gambar 29 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Pada Panil untuk Barang
Komoditi.
Gambar 30 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya
Tradisional Yang Sakral Untuk Barang Komoditi.
Gambar 31 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya
Tradisional Yang Sakral Pada Façade Bangunan.
Gambar 32 Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Diterapkan Dalam Bentuk Tatto.
Dalam pemilihan unsur-unsur terbaik produk
masa lalu, sering muncul sikap “ketidaktaatan” yang
dilakukan oleh para kriyawan di Bali. Banyak di antara
mereka kadang-kadang melupakan konteks nilai yang
terkandung pada produk kriya masa lalu dengan masa-
lah kepercayaan umat Hindu di Bali. Produk-produk kriya
wali yang digunakan dalam upacara agama dan diang-
gap sakral, “dipilih”, kemudian diterapkan begitu saja
pada benda-benda yang bersifat profan dengan lebih
mengutamakan segi artistik dan semata-mata menyan-
dar pada efek finansialnya.
Sebagai contoh, Bhoma diterapkan dengan di-
tatto pada bokong atau Ongkara ditatto pada lengan.
(lihat Gambar: 31). Hal tersebut, jelas merupakan pe-
nyimpangan dan sama sekali tidak ada hubungan per-
maknaan. Pada hal kedua elemen tersebut mengan-
dung nilai religius dan konvensinya masih eksis di ma-
syarakat Hindu di Bali. Penerapan tersebut memiliki tu-
juan yang tidak jelas, semata-mata untuk sensasi. Tin-
dakan tersebut jelas berdampak negatif, merusak atau
mengganggu kesepakatan yang telah mapan.
Relief Acintya, sebenarnya merupakan produk
kriya yang mengandung nilai simbolis pada bangunan
suci, seperti pada pelinggih padmasana, tetapi sekarang
banyak digunakan untuk hiasan benda pakai yang ber-
sifat profan, misalnya diterapkan sebagai hiasan dinding
rumah tinggal, relief pada tebing dekat kuburan,
divisualisasikan dalam bentuk patung untuk menghias
persimpangan jalan. Diterapkan pada tebing kuburan.
Ditiru atau direproduksi dengan kemampuan tangannya,
kemudian dijual sebagai barang cenderamata dan
sebagainya. Bhoma, Garuda Wisnu dan Nãga, diterap-
kan sebagai hiasan pada façade sebuah kantor bank
atau bangunan lain, Bedawang Nala dipakai hiasan
tapal batas kota, lonték dan tedung Agung, sebenarnya
sebagai “busana pura” yang dikenakan sewaktu melang-
sungkan upacara agama tertentu, seperti pada upacara
Odalan, namun sekarang digunakan untuk menghias
halaman supermarket, artshop, hotel, restoran dan se-
bagainya. Sehingga timbul kerancuan dan menimbulkan
kebingungan bagi generasi penerus tradisi tersebut.
Gambar 33 Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional
berupa Relief yang Sakral Diterapkan Di Perepatan
Jalan dan Sebagai Hiasan Tebing Kuburan
Selain hal tersebut, banyak para kriyawan di Bali
dalam kegiatan penciptaan produk kriya masa kini, cen-
derung tergantung pada permintaan pasar. Idealisasi,
inovasi dengan ide baru dan kreativitas mereka sering
terhambat karena takut tidak laku di pasaran. Sehingga
dengan kondisi tersebut “jalan pintas” sering dilakukan-
nya, misalnya dengan jalan “mengkopi” atau “membajak”
produk-produk yang sedang laku dipasaran atau dengan
tetap bertahan pada produk tradisional. Sekalipun ada
kriyawan yang berusaha mencipta “produk kriya baru”,
itu pun hanya dilakukan oleh beberapa orang kriyawan,
seperti: Ide Bagus Nyana, I Nyoman Togog dan yang
lainnya. Dan banyak produk ciptaannya setelah dilem-
parkan di pasaran atau dipamerkan, juga tidak luput dari
konsekuensi tersebut.
Dalam proses penciptaan produk-produk kriya
dengan unsur eklektik yang ditujukan untuk para wisa-
tawan masa kini, terjadi “desakralisasi”. Maksudnya,
dalam proses penciptaan produk-produk tersebut yang
seharusnya disertai dengan upacara penyucian, tetapi
pada kenyataannya bagian tersebut sering ditinggalkan,
“dipaksakan” dan “diberanikan” demi untuk memenuhi
tujuan lain dengan alasan faktor ekomoni.
Kejadian tersebut, juga didorong oleh pihak peng-
usaha produk-produk kriya di Bali. Seperti dalam pem-
berian pesanan kepada para kriyawan, sikap mereka
cenderung menyandar pada kesiapan, kemampuan atau
keterampilan yang dimiliki para kriyawan untuk menger-
jakannya, sehingga pesanan tersebut sesuai dengan
keinginan konsumennya dan transaksi dapat berjalan
tepat pada waktunya. Dan permasalahan sudah diang-
gap selesai sampai di sana, karena mereka merasa
mampu memberi pelayanan yang memuaskan wisata-
wan. Namun sikap tersebut, kalau dikaitkan dengan
konsep Catur Purus Artha yang dipakai landasan pem-
bangunan di Bali, jelas kurang relevan, karena dapat
menimbulkan arti hidup dan kehidupan yang tidak stabil.
Mereka tampak lebih mengutamakan Artha dan Kama
sebagai tujuan hidup, sehingga kesadaran untuk lebih
selektif terhadap makna atau nilai yang dikandungnya
terasa masih kurang.
2. Kajian Semiotis
Dari pembahasan pada Bab III dapat difahami,
bahwa produk-produk kriya yang diciptakan oleh para
kriyawan Bali di masa lalu, baik yang diciptakan pada
zaman pra-Hindu, maupun setelah mendapat pengaruh
kebudayaan Hindu dari Jawa Timur, ternyata eksisten-
sinya dapat menembus beberapa zaman dalam rentang
waktu sangat lama. Banyak di antaranya produk-produk
kriya tersebut merupakan karya puncak, sehingga sulit
dikembangkan lebih lanjut. Para pewarisnya dewasa ini
hanya mampu menduplikasikan dan menggunakannya.
Salah satu faktor yang menyebabkan produk-produk
tersebut dapat bertahan, karena dalam proses pencipta-
annya dilandasi dengan konsep-konsep perancangan
sangat mantap, komprehensif, kompleks, mengacu pada
norma-norma ajaran agama Hindu atau sistem keper-
cayaan umat Hindu di Bali dan dikerjakan dengan total
serta penuh pengabdian yang tulus.
Dalam usaha perluasan gagasan desain produk
kriya masa kini, tampak produk-produk tersebut kem-
bali ditampilkan “secara eklektik” dengan menitikberat-
kan pada nilai estetis dan diklaim sebagai identitas
etnik Bali atau local genuine, dengan di sana-sini di-
adakan penambahan atau pengurangan yang diistilah-
kan sebagai ‘pengembangan’ dan tak jarang dibarengi
dengan tujuan-tujuan lain yang tidak sesuai dengan
esensi konsep penciptaan di masa lalu.
Jika ditinjau kembali berdasarkan kajian semiotika,
dengan memandang peristiwa penciptaan dan penggu-
naan produk atau produk kriya di setiap zaman sebagai
fenomena bahasa, maka secara diakronis hasil pening-
galan tersebut, dapat dipakai sebagai tanda (sign) za-
man yang merepresentasikan sejarah perkembangan
aktivitas penciptaan dan penggunaan produk atau pro-
duk kriya dalam masyarakat Bali dari zaman ke zaman,
sedangkan secara sinkronis, hasil tersebut dapat dipakai
tanda (sign) yang merepresentasikan aktivitas pencip-
taan dan penggunaan produk atau produk kriya, pada
masing-masing penggalan zaman atau kurun waktu ter-
tentu. Pembahasan lebih rinci mengenai kajian semio-
tis, adalah sebagai berikut:
Sebelum penduduk Bali mendapat pengaruh ke-
budayaan neolitikum dan perunggu, memberi tanda da-
lam bentuk indeks, bahwa masyarakat di Bali saat itu,
dalam aktivitas penciptaan dan penggunaan produk
kriya tampak masih sangat sederhana, lebih ke arah
makna denotasi, karena mereka bertumpu pada nilai
guna atau utilitas dan pragmatis, seperti batu dengan
karakternya yang keras diperlakukan untuk “menghacur-
kan” benda yang lebih lunak. Belum ada tanda-tanda
yang mengarah pada makna konotasi. Misalnya masa-
lah kenyamanan, keindahan produk maupun simbolisasi.
Hubungan struktur tanda tersebut menurut Semiotika
Saussure dapat digambarkan seperti Gambar 34 berikut
Gambar 34 Relasi Tanda, Penanda dan Petanda Pada Produk Kriya Bali Sebelum Mendapat Pengaruh Kebu-
dayaan Neolitikum dan Perunggu)
Pada zaman selanjutnya, arah penciptaan dan
penggunaan produk-produk kriya tidak lagi terpaku pada
pertimbangan yang bersifat denotatif, melainkan sudah
memperhatikan hal-hal yang bersifat konotatif. Produk-
produk yang diciptakan, selain memiliki berfungsi se-
bagai alat, juga sudah memperhatikan nilai estetis dan
simbolis dengan latar atau konvensi yang dilandasi
dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Seperti
kepercayaan alam gaib, roh atau kekuatan-kekuatan lain
yang dimiliki oleh suatu benda yang dapat berpengaruh
terhadap kehidupan mereka atau fetishism.
Simbol-simbol tersebut diterapkan atau diwujudkan
dalam berbagai bentuk produk kriya, seperti berupa se-
buah nekara yang dibuat dengan perunggu. Pada pro-
duk kriya tersebut diterapkan relief berupa topeng yang
distilasi dari bentuk wajah manusia, dipakai sebagai
simbol roh nenek moyang mereka dan dianggap bertuah
atau mengandung nilai magis. Selain hal tersebut, juga
dipakai sebagai tanda atau simbol status sosial, misal-
nya pada penguburan mayat seorang tokoh masyarakat
dengan menggunakan sarkofagus. Penguburan dengan
cara tersebut, dilakukan sebagai simbol penghormatan
kepada tokoh yang meninggal. Hubungan produk-pro-
duk kriya sebagai tanda atau simbol dengan pengguna
tanda atau penanda (masyarakat Bali zaman Pra-Hindu)
dapat digambarkan seperti Gambar 35 berikut
Gambar 35 Relasi Tanda, Penanda dan Petanda Pada Produk Kriya Bali Setelah Mendapat Pengaruh Kebu-
dayaan Neolitikum dan Perunggu
Pada Zaman Hindu menunjukan, bahwa dalam
aktivitas penciptaan dan penggunaan produk-produk
kriya dilandasi dengan konsep yang mengarah pada
makna konotasi atau asosiatif dengan latar atau ground
digali dari mitologi, ceritera-ceritera rakyat, filosofi,
kosmologi dan sebagainya yang bersumber pada ajaran
Agama Hindu. Diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol
sehingga produk-produk kriya tersebut tergolong karya
spiritual religius dan dianggap sakral yang digunakan
sebagai media untuk mempermudah membayangkan
sifat abstrak yang dimiliki Tuhan. Seperti produk-produk
kriya yang digunakan dalam upacara Odalan. Secara
semiotika relasi tanda dengan pengguna tanda pada
zaman tersebut, dapat digambarkan seperti Gambar 36
berikut,
Gambar 36 Relasi Tanda, Penanda dan Petanda Pada Produk Kriya Bali Mendapat Pengaruh Kebudayaan
Hindu-Jawa Timur
Pada zaman Kolonial dan Kemerdekaan, kondisi
penciptaan dan penggunaan produk kriya di Bali memi-
liki kemiripan langgam atau tipe, baik tujuan, maupun
arah pengembangan yang dilakukan oleh para kriyawan
di Bali. Pada saat tersebut, penciptaan dan pengunaan
produk kriya pengalami perkembangan baru. Produk-
produk tersebut mulai dijadikan sebagai penunjang ke-
pariwisataan di Bali berupa cenderamata, elemen estetis
untuk menciptakan suasana tradisional Bali atau sebagai
digunakan komoditi ekspor.
Produk-produk kriya —terutama yang terkait pe-
ngamalan ajaran Agama Hindu di Bali— yang diciptakan
sebagai tanda dalam bentuk simbol-simbol dengan kon-
vensi budaya yang dilandasi nilai-nilai atau norma-norma
Agama Hindu yang telah mapan dalam masyarakat ma-
sa lalu. Namun dewasa ini, kadang kembali “dipilih” dan
ditata atau dipadukan dengan tanda lain. Jika kondisi ter-
sebut dikaji berdasarkan semiotika model “interteks-
tualitas” seperti yang dikembangkan oleh Kristeva, maka
dalam fenometa tersebut tampak terjadi “permainan pe-
tanda” yang menghasilkan petanda baru dengan kon-
vensi atau makna yang tidak jelas arahnya, subyektif,
pretensius, relatif dan bersifat temporal. Seperti tujuan
para kriyawan untuk menciptakan produk bermuatan lo-
kal atau dorongan para wisatawan untuk membeli suatu
produk (emotional product motives), seperti kebanggaan
(pride) memperoleh produk kriya lokal yang berciri khas
Bali dan dipakai sebagai tanda kenangan, bahwa mere-
ka pernah mengunjungi pulau Bali, dianggap sebagai
suatu kepuasan atau prestise dan sebagainya. Selain
motivasi tersebut juga didorong keinginan untuk mencip-
takan lingkungan atau tata bangunan dengan nuansa
tradisional.
Petanda baru yang muncul tersebut hanya bersifat
subjektif yang “dihubung-hubungkan” atau hanya me-
rupakan suatu pretensi yang sama sekali tidak ada per-
talian petanda dengan ground simbol yang diterapkan
pada produk tersebut di masa lalu. Bahkan tindakan
tersebut dapat “merusak” atau memutuskan pertautan
petanda dengan penanda atau narasi yang sebenarnya.
Sebagai contoh, produk kriya berupa relief Garuda
Wisnu yang lazimnya diterapkan dibelakang Padmasan,
namun sekarang tampak diterapkan sebagai hiasan
façade. Pada façade tersebut tampak logo Bank BPD
diletakkan di atas dari simbol Garuda Wisnu. Dari kedua
tanda tersebut sama sekali tidak terjalin suatu kesatuan
makna. Masing-masing tanda atau simbol tersebut me-
nyiratkan makna tersendiri. Pada contoh tersebut, tam-
pak simbol Garuda Wisnu menjadi kehilangan makna,
janggal dan berkonotasi negatif karena terjadi diskre-
pansi antara tanda dengan petanda yang sebenarnya,
kalau dilihat dari tata letak kedua tanda tersebut, di
mana simbol Garuda Wisnu adalah terkait dengan ajar-
an Agama Hindu, dianggap sebagai lambang kebesaran
Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu, na-
mun pada façade itu diletakkan di bawah logo yang cen-
derung berkonotasi tentang uang yang bersifat sekular.
Penempatan tersebut “asal pasang” dan hanya
didorong oleh suatu preferensi “pajang seni” semata,
tanpa memikirkan lebih jauh tentang pertalian petanda
yang terbentuk akibat penempatan simbol dan logo
tersebut. Tanpa disadari penempatan tersebut memba-
wa makna konotasi yang mengarah pada interprestasi
negatif. Meletakkan penghargaan terhadap nilai-nilai ke-
duniawian (uang dan investasi), kesenangan dan
kenikmatan (hedonisme) lebih tinggi dari nilai yang ber-
hubungan dengan ajaran ketuhanan. Berdasarkan kajian
dari sudut model semiotika “intertekstualitas”, maka se-
cara umum penciptaan produk kriya dengan unsur ek-
lektik dewasa ini di Bali dapat digambarkan pada Gam-
bar 37
Gambar 37 Perbandingan Relasi Tanda, Penanda dan Petanda (“Intertekstualitas”) Kaitannya Dengan
Fenomena Eklektik Unsur Produk Kriya Masa Lalu
B. Dampak yang Ditimbulkan Baik pada Produk Masa Lalu yang Dipilih maupun pada Produk Kriya yang Dibuat Masa Kini
Konsep pengembangan pariwisata di Bali berba-
sis budaya Bali. Sebenarnya di dalamnya secara implisit
tersirat suatu harapan agar terjadi relasi timbal balik
atau symbiosis mutually beneficial relationship antara
pariwisata dengan kebudayaan Bali. Konsep tersebut
diharapkan dapat mengkonstruksikan interaksi yang
sangat erat antara pariwisata dan budaya Bali serta
dapat memberi peningkatan yang signifikan secara se-
rasi, selaras, dan seimbang. Di satu sisi menurut hasil
penelitian Kean (1973) maupun Geriya dan Erawan
(1993) membuktikan bahwa interaksi antara pariwisata
dan kebudayaan Bali, ternyata mendatangkan banyak
kemanfaatan atau beneficial bagi pengembangan ke-
budayaan Bali sekaligus pengembangan sektor eko-
nomi masyarakat. Namun di sisi lain banyak muncul
kekawatiran tentang nasib masa depan kehidupan ma-
syarakat dan kebudayaan Bali. Sejak 60 tahun yang
silam di kalangan para pengamat: budayawan, sosio-
log, antropolog dan seniman sudah memprediksi, bahwa
masyarakat Bali bersama kebudayaannya di masa-
masa mendatang akan mengalami perubahan besar
sebagai dampak maraknya perkembangan pariwisata.
Mereka mendeskripsikan, bahwa pariwisatalah yang
akan menjadi salah satu katalisator atau sebagai pe-
micu terjadinya perubahan sosial-budaya masyarakat di
Bali. Seperti, sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh
Miguel Covarrubias dalam bukunya berjudul Island of
Bali —“Isn’t Bali Spoiled ?”— sebagai kalimat pembu-
kaan dalam pembicaraan Modern Bali and The Future.
Pertanyaan tersebut diungkap sehubungan dengan
kekawatiranya akan kerusakan yang akan terjadi pada
seni budaya Bali sebagai akibat diperkenalkannya
menjadi daerah tujuan wisata oleh Pemerintah Koloni-
al Belanda saat tersebut (Covarrubias, 1937). Demi-
kian juga kekawatiran tersebut dimuat dalam buku
dengan judul: Republik Indonesia (Kepulauan Sunda
Kecil), pada paparan keadaan masyarakat dan kebu-
dayaan Bali yang diterbitkan pada tahun 1953.
Prediksi atau asumsi tersebut, ternyata dalam
beberapa dekade belakangan ini menjadi suatu fakta
yang tidak bisa dipungkiri lagi. Suatu dinamika baru
dan perubahan-perubahan struktural telah terjadi dalam
tatanan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Bali.
Hal tersebut juga terjadi dalam perluasan penciptaan
produk-produk kriya dan desain lainnya yang dilakukan
oleh para kriyawan atau desainer di Bali. Salah satunya
diakibatkan oleh eklektisme elemen estetis tradisonal
yang tak terkendali dalam penerapannya pada desain
produk masa kini. Berikut akan diuraikan mengenai
dampak yang ditimbulkan, baik pada produk masa lalu
maupun pada desain produk masa kini.
1. Dampak Eklektisme Terhadap Produk Kriya
Masa Lalu
Dampak eklektisme terhadap produk kriya masa
lalu sebagai objek pilihan, secara tidak langsung akan
terganggunya konvensi yang mendasari objek yang
dipilih dan kemungkinan akan terjadi suatu pelunturan
nilai, “desakralisasi”, “deteriorasi”, “generalisasi”, ke-
simpangsiuran atau pengkaburan makna, terutama bagi
generasi pewaris kesepakatan tersebut. Secara visual
mereka akan semakin sulit untuk membedakan antara
produk kriya yang digunakan untuk sarana upacara
ritual di tempat suci dengan produk kriya yang dipakai
di tempat yang bersifat profan. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Jean Couteau, bahwa dampak dari
peran khas pariwisata Bali membawa pengaruh dan
perubahan yang tak terbatas. Keadaan tersebut tanpa
disadari dengan perlahan-lahan dapat mengikis alam
pikiran spiritual umat Hindu di Bali dan dapat terjebak
dalam kecenderungan efek komersial dari produk ter-
sebut.
Akibat dari tindakan tersebut, tanpa disadari da-
pat mengurangi rasa penghargaan atau pemahaman
spiritual terhadap makna atau nilai yang ditanamkan
pada produk kriya yang dianggap sakral tersebut, ka-
rena telah “diduplikasi” untuk dijadikan barang tontonan
biasa atau barang komoditi untuk pemenuhan kebu-
tuhan sekuler semata. Seperti: relief tinggi berupa
Bhoma, Garuda Wisnu dan sebagainya, sekarang ba-
nyak ditiru dan diterapkan sebagai hiasan toko, kantor,
rumah tinggal dan bangunan umum lainnya. Rangda
dan Barong ket, banyak ditiru dengan tidak disertai
dengan “sakralisasi” dan dipakai pertunjukan khusus
untuk konsumsi para wisatawan, bahkan sengaja di-
pentaskan di hotel-hotel untuk menghibur para wisa-
tawan. Topeng Barong Ket juga dipakai sebagai peng-
hias ruangan boutique yang dipajang berdampingan
dengan busana yang dijual, seperti pada Gambar 38
berikut
Gambar 38 Topeng Barong Ket Diterapakan
Sebagai Hiasan Boutique
Ditinjau dari sudut semiotika, penerapan elemen
estetis tradisional secara eklektis tersebut dapat ber-
dampak terganggunya kestabilan antara tanda dengan
petanda, karena terjadi suatu “mutilasi” struktur simbol
atau lambang dengan konvensi adat yang telah ma-
pan dalam kalangan umat Hindu di Bali. Terbentuk
kepingan-kepingan dan perpaduan tanda dengan pe-
tanda yang tidak jelas atau “mati”. interpretasi makna
menjadi simpangsiur dan terkecoh karena secara vi-
sual semakin sulit untuk membedakan antara produk
kriya sakral dengan profan. Seperti senjata nawa sanga,
produk kriya tersebut biasanya digunakan sebagai
hiasan di pura berupa bandrangan dan sekaligus se-
bagai simbol kekuatan para Dewa, namun kini semata-
mata diciptakan sebagai barang cenderamata untuk
konsumsi para wisatawan (lihat Gambar 29). Makna
konotasinya mengalami perubahan dan mengarah pada
nilai komersial.
2. Dampak Eklektisme Terhadap Desain Masa Kini
Penerapan elemen estetis secara eklektik pada
desain masa kini yang dilakukan oleh para kriyawan
atau desainer di Bali masa kini, dalam upaya untuk
menciptakan karya yang bermuatan lokal atau dido-
rong oleh harapan agar dapat menciptakan suasana
tradisional Bali. Ternyata usaha tersebut tanpa disadari
dapat menimbulkan permasalahan yang mendasar.
Pada desain atau produk kriya yang diciptakan
dengan menerapkan elemen estetis tradisonal kadang-
kadang tampak “janggal”, “tertekan”, “terpaksa”, ber-
lebihan, mubasir dan dari perpaduan tersebut tidak
terjalin pertalian makna di antara tanda-tanda atau
simbol-simbol yang diterapkannya. Dikaitkan dengan
konsep estitika yang melandasi strategi pembangunan
di daerah Bali, seperti telah dipaparkan pada bab pen-
dahuluan, kondisi tersebut jelas kurang relevan, sebab
pada produk-produk yang diciptakan sering terlihat ku-
rang selaras, kurang harmonis dan tidak seimbang.
Bahkan tak jarang melahirkan karya yang termasuk:
pastiche, parody, kitsch, atau camp. Sebagai contoh
dapat diamati pada penerapan elemen estetis produk
kriya tradisional, berupa relief garuda pada sebuah
façade toko sepatu bata seperti Gambar 38 berikut,
Gambar 38 Penerapan Relief Garuda Pada Façade Toko Sepatu Bata
Pada hiasan tersebut tampak elemen estetis ber-
bentuk garuda yang meniru dari bentuk Garuda Wisnu
dan penyuguhannya tidak dilengkapi dengan simbol
Dewa Wisnu. “Tangan” garuda dibuat menunjuk logo
sepatu bata dan posisi penempatan kedua elemen ter-
sebut sejajar secara horisontal.
Pada penampilan tanda tersebut tampak suatu
fragmen yang terbentuk dari hasil perpaduan dua, yaitu
antara simbol dengan logo. Disimak dari permaknaan,
maka keduanya sama sekali tidak terdapat pertautan
makna. Konsep penciptaan hanya didasari oleh suatu
pretensi menciptakan nuansa bagunan tradisional Bali.
Bentuk garuda tersebut sebenarnya merupakan pro-
duk kriya masa lalu yang khusus diterapkan pada
bangunan suci dan mengandung nilai filosofi yang
tinggi dan sebagai simbol kekuatan Tuhan. Namun kini
dipilih dan diterapkan begitu saja tanpa memikirkan
dampak negatif terhadap makna yang dikandungnya.
Mereka meminjam makna simbol garuda yang telah
mapan dalam kehidupan beragama Hindu di Bali,
hanya sekadar untuk menunjukan logo sepatu bata
atau bertujuan untuk membangun imitasi image atau
citra rasa palsu (kitsch) dalam usaha membangun
keyakinan masyarakat konsumen, bahwa produk se-
patu merek bata sudah terpercaya, kuat dan sebagai-
nya, sampai-sampai simbol garuda yang masih di-
yakini oleh umat Hindu “digambarkan” memberi pe-
tunjuk tentang keunggulannya.
Peniruan dan perpaduan tersebut dapat dikata-
kan sebagai suatu produk kriya parodi, sebab pemilih-
an dan penerapannya merupakan suatu “pelesetan”
dari makna garuda yang sebenarnya. Narasinya ber-
sifat ironis dan kritis dalam artian mengecilkan makna
adiluhung yang terkandung dalam simbol garuda ter-
sebut. Selain hal tersebut, juga termasuk produk
pastiche dan camp. Pastiche, karena merupakan hasil
penyusunan elemen-elemen masa lalu yang melahir-
kan bangun tanda palsu yang berkonotasi negatif.
Simbol yang bersifat sakral dan terkait dengan ajaran
ketuhanan, kini “dipermainkan”, —dikombinasikan
dengan tanda atau simbol atau logo lain— dan di-
manfaatkan hanya untuk menunjukan merek sepatu.
Sedangkan terkait dengan fenomena camp, karena
dalam penampilannya bersifat mendaurulang bentuk
garuda yang merupakan hasil produk kriya masa lalu
dan diterapkan begitu saja, sehingga terkesan sen-
timentil terhadap simbol yang masih diyakini oleh umat
Hindu di Bali.
Contoh kasus sejenis lainnya, juga dapat diamati
pada penerapan elemen estetis produk kriya tradi-
sional berupa dua patung naga yang mengapit pintu
gerbang utama di lantai I di bawah selasar kantor se-
buah bank di Denpasar, seperti tampak pada Gambar
39. Bentuk hiasan tersebut merupakan penggayaan
dari bentuk naga hasil produk kriya masa lalu. Naga
tersebut sebenarnya merupakan hiasan sekaligus se-
bagai simbol yang diterapkan pada bangunan suci
atau pelinggih di pura, seperti pada bangunan suci be-
rupa padmasana (lihat pada Gambar 12)
Gambar 39 Penerapan Patung Naga Pada Gerbang Utama Pada Lantai I Di Bawah Selasar Kantor Sebuah
Bank di Denpasar
Penerapan tersebut, termotivasi oleh keinginan
yang lebih mengutamakan segi artistik dibandingkan
substansi atau bobot dari elemen estetis produk kriya
masa lalu yang dipilihnya, sehingga berkesan berlebih-
an, absurd, glamor, dan tidak terbentuk pertalian makna
dengan tempat yang diberi hiasan tersebut. Nilai sim-
bolis terkait dengan ajaran kosmologi Hinduistis di Bali
dan dianggap sebagai benda sakral, namun pada pe-
nerapan tersebut berubah menjadi produk biasa, makna
atau nilai yang dikandungnya diimitasi dan dibuat-buat
atau sama sekali tanpa makna serta menengelamkan
objek yang dijadikan sasaran eklektis. Secara semiotik
kondisi tersebut tidak mencerminkan hubungan antara
penanda dengan petanda dan dengan narasi yang tidak
jelas. Bangun tanda baru yang dianggap sah dengan
petanda yang tidak jelas. Usaha tersebut tanpa disadari
membawa dampak terjadinya pergeseran dan peluntur-
an nilai yang dikandungnya serta bersifat ironis kalau
ditinjau dari peletakan naga tersebut.
Penerapan produk tersebut dapat dimasukan se-
bagai fenomena-fenomena, seperti: pastiche, kitsch mau-
pun camp. Digolongkan sebagai fenomena pastiche, ka-
rena produk tersebut merupakan penyusunan elemen-
elemen yang dipinjam dari unsur produk kriya masa
lalu dan dalam penerapannya menimbulkan konotasi
negatif, seperti merendahkan penghargaan nilai simbolis
yang dikandung pada patung naga tersebut, disebab-
kan penenpatannya tidak sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang telah terkonvensi.
Sebagai fenomena kitsch, karena bentuk terse-
but merupakan peniruan dari elemen “seni tinggi” atau
high art yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri
dengan dibarengi tujuan palsu, misalnya untuk keme-
gahan, kebesaran, menciptakan suasana tradisional
dan sebagainya. Karya tersebut juga dapat digolong-
kan sebagai camp, karena dalam penerapan tersebut
hanya menitikberatkan pada penggayaan, dekorasi
atau segi artistik semata. Usaha penciptaan penerap-
an naga tersebut juga disertai dalih untuk menciptakan
suasana tradisional Bali, sebenarnya kurang relevan
kalau dikaitkan dengan makna yang dikandungnya,
karena tanpa disadari dapat membawa dampak ne-
gatif —nilai simbolis yang dikandungnya menjadi se-
pele dan bahkan tanpa makna— terhadap konvensi
yang diyakini oleh umat Hindu di Bali.
Usaha-usaha seperti tersebut secara tidak lang-
sung juga dapat berdampak menghambat kreativitas
para kriyawan untuk berkreasi dan berinovasi, sebab
dalam proses penciptaannya hanya bersifat “mendaur-
ulang”, “menduplikasi” atau meniru, meramu dan ber-
orientasi pada elemen-elemen yang sudah ada. Me-
reka dalam proses pengerjaannya hanya mengandal-
kan keahlian tangan atau virtuosity semata untuk
menjadikan “mass product” dan didorong oleh keingin-
an pemenuhan kebutuhan para pengembang untuk
menciptakan suasana dengan citra tradisional Bali.
Selama ini tindakan-tindakan tersebut dianggap
sebagai sikap atau model pelestarian dan pengem-
bangan seni budaya Bali yang berkesinambungan. En-
tahlah ?. Untuk contoh kasus yang sejenis masih ba-
nyak terjadi di masyarakat. Untuk itu, bagi para pem-
baca yang tertarik silakan diabadikan lalu kita bahas
dari berbagai perspektif ilmu di lain kesempatan.
Terimakasih
DAFTAR BACAAN
Ardana, I B. 1994. Data Bali Membangun. Denpasar: Bappeda Tingkat I Bali.
Ariawati, S. N. M, 1992. Upakara Upacara, Denpasar: Upada Sastra.
Bagus, IGN, 1995. Budaya Bali Dalam Pertemuan dengan Budaya Dunia. dalam Bali Dipersimpang-an Jalan (Sebuah Bungan Rampai). Denpasar: Nusa Data IndoBudaya.
Baudrillard, J. 1981. For Critique of The Political of Economy of The Sign, USA: Telos Press.
Bija, I M. 1991. Aji Maya Sandi, Singaraja: Percetakan Guna Agung.
Buchori, I, Z. 1990. Aspek Desain dalam Produk Kriya. (makalah seminar). Yogyakarta: ISI. Yogyakarta.
Cassirer, E. 1944. An Essay On Man, Yale University Press.
Couteau, J. 1995. Transformasi Struktural Masyarakat Bali Dalam Bali Dipersimpangan Jalan (Sebuah Bungan Rampai). Jilid: 2. Denpasar: Nusa Data IndoBudaya.
Covarrubias, M. 1972. Island of Bali. Oxford University Press / PT. Indra, Kuala Lumpur-Singapura-Djakarta
Cudamani, 1990. Apakah Upacara Baten Masih Perlu?. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.
____,1993. Pengantar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti
Dinas Pengajaran Propinsi Bali, 1978. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas Pengajaran Propinsi Bali.
Djawatan Penerangan Propinsi Sunda Kecil, 1953. Republik Indonesia (Sunda Ketjil). Singaraja: Ke-menterian Penerangan.
Eco, U. 1979. A Theory Of Semiotika. Indiana University Press, Blomington.
Encyclopaedia Britannica, 1995. CD-ROM 2.0Freed dan Eiseman, Margaret, 1988. Woodcarving of Bali. Berkeley - Singapore: Periplus Editions.
Encyclopedia of World Art,1963. New York, Toronto, Lodon: McGraw-Hill, Book Company, Inc.
Frutiger, A.1989. Signs and Symbols (Their Design and Meaning). West Germany: Weiss Verlag Gmbh, Studio Edition.
Gambar, I M, tt. Buku Paider-ideran dengan Gambar Dewata Nawa Sanga dan Jimat-Jimatnya.
Gelebet, N. 1981/1982. Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebuda-yaan Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Ke-budayaan Daerah.
Geriya, W. 1993. “Pariwisata dan Segi Sosial Budaya Masyarakat Bali” dalam Kebudayaan dan Ke-pribadian Bangsa (Tjok Sudharta, dkk. Ed.). Den-pasar: Upada Sastra.
Gie, T.L. 1976. Garis-Garis Besar Estetika (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Karya Yogyakarta.
Ginarsa, K. 1997. Gambar Lambang. Denpasar: CV. Kayumas.
Goris, R. 1951. Atlas Kebudayaan Bali. Jakarta: Pe-meritah Republik Indonesia.
Gottschalk, L.1969. Mengerti Sejarah: Pengantar Me-tode Sejarah (terjemahan). Jakarta: Yayasan Pe-nerbit Universitas Indonesia 1975.
Hartoko, D. 1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Ka-nisius.
Hornby. AS. 1989. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, fourth edition. Oxford: University Press.
Hutcheon, L. 1985. A Theory of Parody. London: Methuen.
Jencks, C. 1987. The New Classicism in Art and Architecture. London.
Jessup, H I.1990. Court Art of Indonesia. New York: The Asia Society Galleries.
Joedawinata, A. 1990. Sejarah dan Pendidikan Kriya di Indonesia.(Makalah Seminar Kriya). Yogyakarta: ISI. Yogyakarta.
Kadjeng, I. N, dkk, 1993. Sarasamušcaya. Jakarta: Hanuman Sakti.
Kaler, I, N, tt. Krakah Modré Aji Griguh, Denpasar: -
Kartodirdjo, S. Dkk, 1976. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Grafitas.
Kean, MC. Frick. P. 1973. Cultural Involution: Tourist Balinese and the Processs of Modernization in
Antropological Perspective (Disertation Ph.D.) USA: Anthropology. Brown University
Kempers, A.J. Bernet. 1960: Bali Purbakala (disalin oleh: R. Soekmono). Jakarta:PT. Penerbitan dan Balai Buku “Ichtiar”
Kerepun, I MK, 1995. Bali dan Ekspor Hasil Kerajinan. dalam Bali Dipersimpangan Jalan (Sebuah Bu-ngan Rampai). Jilid: 2. Denpasar: Nusa Data IndoBudaya.
Koentjaraningrat, 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: (red) Jambatan.
____, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta: Angkasa Baru
Kridalaksana, H. 1994. Kamus Bahasa Indonesia. Edisi ke dua. Jakarta: Balai Pustaka
Kristeva, J.1979. Desire in Laguage: A Semiotic Approarch to Literature and Art. Oxford: Basil Blackawell
Lontar Bhomantaka, No. Kropak IV.b. Singaraja: Koleksi Gedong Kertya.
Mantra, I B. 1976. Darsana Bali. Denpasar: Universal Press.
____,1988. Masalah Sosial Budaya Khususnya Pembangunan di Daerah Bali dalam Rangka Menyongsong Era Tinggal Landas. Denpasar: (makalah pada Simlok Penelitian Menyongsong Tinggal landas, 1-2 Nopember 1988.
____, 1993. Bali: Masalah Sosial Baudaya dan Modernisasi. Denpasar: PT. Mahabhakti Offset.
Mirsa, R, 1988. Peristiwa Sejarah dan Peristiwa Nos-talgia. (dalam Puspanjali, sebuah Bunga Rampai). Denpasar: CV. Kayumas.
Moeliono, et al, 1994. Kamus Bahasa Besar Indonesia. Edisi ke dua. Jakarta: Balai Pustaka
Monier, S M. William, 1963. A Šanskrit English Dictionary. Oxford : The Clarendom Press.
Museum Negeri Propensi Bali, 1993/1994. Pameran Topeng Tradisional Bali & Jawa Barat (Katalog Pameran). Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebuda-yaan Museum Negeri Propinsi bali.
Nala, IGN. 1991. Usada Bali. Denpasar: PT. Upada Sastra.
Namawi, H. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Jogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ngurah, I G M. 1995, Doa Sehari-Hari Menurut Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.
Nyoka, 1990. Sejarah Bali, Denpasar: Toko Buku Ria.
Oka, I. B. 1991. Bali Dalam Perspektif Sosial Budaya (laporan Seminar. Bandung, 8 Pebruari 1991) Bandung: Panitia Seminar.
Parisada Hindu Dharma. 1982/1983. Himpunan Kepu-tusan (SeminarKesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu. Denpasar: Parisada Hindu Dharma.
Pemda. Tk. I Bali. 1982/1983. Kamus Kecil Sanse-kerta-Indonesia, Denpasar: Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan.
Pendit, 1988. Bhagavad-Gîtã. Jakarta: Hanuman Sakti.
____,1993. Aspek-aspek Agama Hindu, Seputar Weda dan Kebijakan: Jakarta : Manikgeni.
Pindha, I G. N. 1973. Pola dasar Kebijaksanaan Pembinaan Kebudayaan Daerah Bali. Denpasar: Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebuda-yaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, Wisma “Praja Mukti”
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.
Putra, A.A.A. G, 1991/1992. Sejarah Pendidikan Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidik-an dan Kebudayaan Diretorat Jenderal Kebuda-yaan, Derektorat Sejarah dan Nilai-nilai Tradisi-onal, Bagian Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya.
Raka, I B. 1977/1978. Jajahitan Bali serta Fungsinya Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali.
Santog, S. 1992. Notes on “Camp”. (Againts Interpreta-tion). New York: Anchor Books.
Santosa, P. 1990. Ancangan Semiotika dan Pengkaji-an Susastra. Bandung: Penerbit Angkasa.
Sara, S. G, 1994. Konsepsi Monotheisme dalam Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra.
Simpen, W. 1975. Sejarah Wayang Parwa, Serba Neka Wayang Kulit. Denpasar: Listibya Daerah Bali.
Singging, W. I N. 1993. Ngodalin pada Sanggah Pemrajan. (Upacara-upakara, Hakekat dan Makna serta Arti Simbol-simbol)
Soedarso, Sp, 1990/1991. Seni Rupa Indonesia Da-lam Masa Prasejarah. Bandung: Panitia Pameran KIAS 1990/1991, Committee of Festival of Indo-nesia.
____, 1988, Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Suku Dayar San, Yogyakarta
Soejono, R.P, 1975. Jaman Prasejarah Indonesia. (Sejarah Nasional Indonesia I). Jakarta: Balai Pustaka.
Soeka, G, 1986.Trimurti Tattwa. Denpasar: CV. Kayu-mas.
Soekanto, S, 1985. Kamus sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali.
Soeroso, M.P, 1988. Sejarah Peradaban Manusia Zaman Bali Kuna. Jakarta: PT. Gita Karya.
Suasthawa, D. I. M. 1990. Hubungan Adat Dengan Agama dan Kebudayaan. Denpasar: CV. Kayu-mas.
Sudartha, T. R. at al, 1991. Arti dan Fungsi Sarana Upakara. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.
Sudjiman, P.1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Sugriwa, I G B, tt. Seni Budaya Hindu-Bali, dimuat dalam Majalah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Yayasan Penerbitan Kebudayaan.
Sura, I G. 1991. Agama Hindu (Sebuah Pengantar). Denpasar: CV. Kayumas.
Surayin, I A P, 1991. Dewa Yadnya. Denpasar: Upada Sastra
Surpha, I W, 1993. Eksistensi Desa Adat di Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Sutaba, I M. 1980. Prasejarah Bali. Denpasar: B.U. Yayasan Purbakala Bali.
Suwondo, B.1977/1978. Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah Propinsi Bali, Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Titib, I M. 1995. Garuda, Burung Merah Putih (dimuat dalam surat kabar Nusa Tenggara, Kamis, 31 Agustus 1995)
____,1989. Pengertian Pura dan Bangunan Suci di Bali. Denpasar: Yayasan Panti Asuhan Hindu “Dharma Jati”
Tjahjono, G. 1980. Desain dan Merancang: Penjela-jahan Suatu Gagasan, Architrave
Tonjaya, I N. G. B. K. 1987. Kanda Pat Dewa, Denpasar:Toko Buku Ria.
____,1982. Lintas Asta Kosali. Denpasar: Penerbit dan Toko Buku Ria.
Transkrip Lontar Šiwa Tattwa, Singaraja: Koleksi Gedong Kertya.
Transkrips Lontar Bhomantaka, No. Kropak IV.b. Koleksi Gedong Kertya, Singaraja.
Van Zoest, A, 1993. Semiotika. (Tentang Tanda, Cara Kerja dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya), (terjemahan). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Wardana, IB. R, 1994. Buku Pelajaran Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.
Webster, M. 1983. Webster,s Collegiate Dictionary, USA
Wiana, I K, 1995. Penataan dan Perlembagaan Agama Hindu di Bali. dalam Bali Dipersimpangan Jalan (Sebuah Bungan Rampai) Jilid: 1. Denpasar: Nusa Data IndoBudaya.
Widyatmanta, S. 1958. Adiparwa. Yogyakarta: Pener-bit dan Toko Buku “Spring”.
Wikipedia ,2010 Kamus Bahasa Indonesia online [cited 2010 Maret 18] Available at: URL: http: //id.wikipedia.org/wiki/Kerajinan
Wiryatmadja, S, 1981. Memahami Cerita Rekaan Secara Semiotika. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Wojowasito, S. 1977. Kamus Bahasa Kawi-Indonesia. Jakarta: CV. Pengarang.
Yasraf, A, P. 1994, Decoding Postmodern Style (Submitted for a Mater Degree in Industrial Design) London: The London Institute Central Sain Martns College of Art and Design
____, 1994. Tamasya di Antara Keping- keping Masa Lalu, (dimuat dalam Jurnal Kebudayaan Kalam edisi: 2-1994). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Yudha Triguna, IB, 1994. Pergeseran dalam Pelak-sanaan Agama Menuju Tattwa. Dalam “Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali (Sebuah Ontologi). Denpasar: Penerbit-BP. Denpasar.
Yudoseputro, W, 1983: Seni Kerajinan Indonesia. Jakarta: Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan, Derektorat Pendidikan Me-nengah Kejuruan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Zimmer, H, 1946. Myth and Symbols in Indian Art and Civilization. New York: Haeper Torchbooks The Bolingen Library.