dampak kenaikan harga daging sapi terhadap pola … · pangan dan menciptakan sumber daya manusia...
TRANSCRIPT
DAMPAK KENAIKAN HARGA DAGING SAPI TERHADAP
POLA KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN HEWANI
DI KABUPATEN BOGOR
ZULFATI RAHMA MAGISTRA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Kenaikan
Harga Daging Sapi terhadap Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di
Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Zulfati Rahma Magistra
NIM H14100105
ABSTRAK
ZULFATI RAHMA MAGISTRA. Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap
Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
SRI MULATSIH
Salah satu jenis pangan yang berperan penting dalam membangun ketahanan
pangan dan menciptakan sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas adalah
pangan sumber protein hewani. Pemerintah menargetkan konsumsi pangan sumber
protein hewani sebesar 7.2 gram/kapita/hari pada tahun 2014. Sumber pangan protein
hewani dapat berasal dari produk peternakan atau perikanan seperti daging
ruminansia, unggas, ikan, telur dan susu. Penelitian ini bertujuan menganalisis pola
konsumsi rumah tangga di Kabupaten Bogor, menganalisis tingkat elastisitas
permintaan, dan melakukan simulasi untuk menganalisis dampak kenaikan harga
daging sapi. Data yang digunakan berasal dari SUSENAS 2012 dengan 1125 rumah
tangga di Kabupaten Bogor. Metode analisis yang digunakan adalah analisis
deskriptif dan model Almost Ideal Demand System (AIDS). Hasil analisis
menunjukkan bahwa konsumsi kelompok daging jenis ruminansia memiliki sifat
sangat inelastis dan memiliki tingkat konsumsi yang lebih rendah dibandingkan
pangan protein hewani lain. Masyarakat di Kabupaten Bogor lebih banyak
mengkonsumsi daging ikan dibandingkan daging ruminansia. Kenaikan harga daging
sapi dapat membuat konsumsi masyarakat terhadap pangan sumber protein hewani
lain menurun. Konsumsi pangan protein masyarakat di Kabupaten Bogor telah
memenuhi target yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Kata kunci: AIDS, inelastis, pola konsumsi, protein hewani, SUSENAS
ABSTRACT
ZULFATI RAHMA MAGISTRA. The Impact of Increasing Price of Beef on Food
Consumption Patterns of Animal Protein Sources in Bogor Regency. Supervised by
SRI MULATSIH.
One kind of food which has important role in developing the food security and
create human resources who has healthy quality is food animal proteins. The
government is targeting food consumption of animal protein as much as 7.2 g/capita/
day in 2014. Food sources of animal protein can be derived from livestock or fishery
products like ruminant meat, poultry, fish, eggs, and milk. This study aims to analyze
the pattern of household consumption in Bogor Regency, analyze the level of demand
elasticity, and perform simulations to analyze the impact of higher prices for meat.
The data used comes from SUSENAS 2012 with 1125 households in Bogor Regency.
The analytical method used was descriptive analysis and model of Almost Ideal
Demand System (AIDS). The analysis showed that the type of ruminant meat
consumption group was very inelastic and have a lower level of consumption than
other animal protein foods. People in Bogor Regency consume more fish than
ruminant meat. Increasing the prices of beef could make other public consumption for
food source of animal proteins is down. Food protein consumption for the people of
Bogor regency have met the target set by the government
Keywords: AIDS, animal protein, consumption patterns, inelastic, SUSENAS
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DAMPAK KENAIKAN HARGA DAGING SAPI TERHADAP
POLA KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN HEWANI
DI KABUPATEN BOGOR
ZULFATI RAHMA MAGISTRA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap Pola Konsumsi
Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor.
Nama : Zulfati Rahma Magistra
NIM : H14100105
Disetujui oleh
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dedi Budiman Hakim, Ph.D
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2013 ini ialah
pola konsumsi, dengan judul Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap Pola
Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah
memberikan bantuan, dukungan, dan semangat bagi penulis yaitu:
1. Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar sehingga dapat
menyelesaikan skripsi dengan baik.
2. Ibu Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku dosen penguji utama dan
Bapak Deni Lubis, MA selaku dosen penguji perwakilan Komisi Pendidikan
yang telah memberikan saran dan nasihat kepada penulis.
3. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, dan adik-adik
serta seluruh keluarga atas doa, nasihat dan semangat yang diberikan.
4. Penghargaan penulis sampaikan kepada kakak Nursaidah yang telah banyak
membantu dalam pengolahan data serta memberi saran dan masukan yang
dibutuhkan bagi penulis.
5. Kepada Mba Ratna Dewanti dan Mba Dewi Rara selaku Staf Bagian
Konsultasi BPS Pusat yang telah membantu penulis dalam memperoleh data.
6. Kepada Nindya Shinta dan Heni Hindawati selaku rekan sebimbingan dan
teman seperjuangan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
7. Sahabat-sahabat penulis yaitu si kembar Ayu dan Dewi Budiyanti, Maria SF,
Dyah Ayu, Mutia R, Asiyah A, Gina R, dan Amalia P yang telah memberikan
doa, dukungan, dan semangat kepada penulis.
8. Kepada Teman-teman ESP 47 atas semangat dan dukungannya kepada penulis.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, Maret 2014
Zulfati Rahma Magistra
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 4
Teori Perilaku Konsumen 4
Konsep Elastisitas 5
Almost Ideal Demand System (AIDS) 7
Tinjauan Penelitian Terdahulu 8
Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu 9
Kerangka Pemikiran 10
METODE PENELITIAN 11
Jenis dan Sumber Data 11
Pengelompokkan Data 12
Metode Analisis 12
Analisis Deskriptif 12
Analisis AIDS 12
Perhitungan Elastisitas Permintaan 13
Metode Simulasi harga 14
HASIL DAN PEMBAHASAN 14
Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani 14
Perhitungan Tingkat Elastisitas Harga dan Pengeluaran 17
Elastisitas Harga Sendiri 17
Elastisitas Harga Silang 18
Elastisitas Pengeluaran 19
Simulasi Dampak Perubahan Harga Daging Sapi 20
SIMPULAN DAN SARAN 25
Simpulan 25
Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 27
LAMPIRAN 29
RIWAYAT HIDUP 38
DAFTAR TABEL
1 Proporsi pengeluaran per kapita menurut kelompok makanan di
Indonesia 1
2 Proporsi konsumsi kelompok pangan protein hewani 15
3 Proporsi konsumsi daging sapi, daging kerbau, dan daging kambing 15
4 Kecukupan konsumsi setara protein hewani masyarakat 16
5 Proporsi pengeluaran konsumsi pangan sumber protein hewani
masyarakat 16
6 Rata-rata harga komoditi kelompok pangan sumber protein hewani 17
7 Elastisitas harga sendiri, harga silang dan pengeluaran 18
8 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi
5.5 persen 21
9 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi
9.7 persen 21
10 Proporsi konsumsi daging saat kenaikan harga daging sapi 5.5 persen 22
11 Proporsi konsumsi daging saat kenaikan harga daging sapi 9.7 persen 22
12 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan
harga daging sapi 5.5 persen 23
13 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan
harga daging sapi 9.7 persen 23
14 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi
50.8 persen 24
15 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan
harga daging sapi 50.8 persen 24
DAFTAR GAMBAR
1 Efisiensi subtitusi dan efektifitas pendapatan pada kenaikan harga 5
2 Kerangka pemikiran penelitian 11
DAFTAR LAMPIRAN
1 Perintah (editor) membuat model AIDS dalam program SAS 29
2 Estimasi regresi permintaan pangan protein hewani dari model AIDS
(output SAS) 30
3 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani dengan
retriksi untuk golongan pendapatan secara umum 34
4 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani dengan
retriksi untuk golongan pendapatan rendah 35
5 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani dengan
retriksi untuk golongan pendapatan menengah 36
6 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani dengan
retriksi untuk golongan pendapatan atas 37
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan Sumber Daya Manusia
(SDM) yang berkualitas. Salah satu upaya yang mendukung berkembangnya
kualitas SDM adalah menjaga kecukupan pangan konsumsi masyarakat. Pola
konsumsi masyarakat umumnya berdasarkan pada ketersediaan jenis pangan yang
dikonsumsi. Salah satu jenis pangan yang berperan penting dalam membangun
ketahanan pangan dan menciptakan SDM yang sehat dan berkualitas adalah
pangan sumber protein hewani. Oleh sebab itu, konsumsi pangan sumber protein
hewani menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah menargetkan konsumsi protein
hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari pada tahun 2014 (Ditjen Nak 2011). Penargetan
konsumsi protein hewani diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan protein
hewani asal ternak. Pangan sumber protein hewani dapat berasal dari produk
peternakan atau perikanan seperti daging jenis ruminansia, unggas, ikan, telur dan
susu.
Tabel 1 Proporsi pengeluaran per kapita menurut kelompok makanan di
Indonesia (persen)
Jenis makanan 2008 2009 2010 2011 2012
Padi-padian 9.57 8.86 8.89 8.37 7.90
Umbi-umbian 0.53 0.51 0.49 0.48 0.42
Ikan 3.96 4.29 4.34 4.12 4.08
Daging 1.84 1.89 2.10 2.19 2.26
Telur dan susu 3.12 3.27 3.20 2.86 2.74
Sayur-sayuran 4.02 3.91 3.84 3.72 3.62
Kacang-kacangan 1.55 1.57 1.49 1.31 1.32
Buah-buahan 2.27 2.05 2.49 2.06 2.28
Minyak dan lemak 2.16 1.96 1.92 1.79 1.79
Bahan minuman 2.13 2.02 2.26 1.93 1.68
Bumbu-bumbuan 1.12 1.08 1.09 1.02 0.96
Konsumsi lainnya 1.39 1.33 1.29 1.07 1.01
Makanan jadi *1.44 *12.63 *12.79 *11.83 *11.6
Minuman beralkohol - - - - -
Tembakau dan sirih 5.08 5.26 5.25 5.73 6.00
Jumlah makanan 50.17 50.62 51.43 48.46 47.71
Jumlah bukan makanan 49.83 49.38 48.57 51.54 52.29
Total 100 100 100 100 100
Sumber : BPS RI 2013 (diolah) *Termasuk minuman beralkohol
2
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran rata-rata per kapita
bahan pangan sumber protein hewani yaitu ikan, daging, telur dan susu
mengalami peningkatan pada tahun 2008 hingga tahun 2012. Proporsi
pengeluaran untuk pangan sumber protein hewani tahun 2008 sebesar 17.77
persen. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan menjadi 18.66 persen dari total
pengeluaran pangan. Peningkatan tersebut juga berlangsung pada tahun 2010
hingga tahun 2012 dengan proporsi secara berurutan yaitu 18.74 persen, 18.92
persen, dan 19.03 persen.
Peningkatan pengeluaran pangan sumber protein hewani mencerminkan
peningkatan permintaan jenis pangan tersebut. Meningkatnya permintaan pangan
sumber protein hewani terutama pada permintaan daging menjadi salah satu
pendorong peningkatan impor terhadap daging sapi. Salah satu upaya untuk
mengendalikan impor daging sapi, Kementerian Pertanian membuat Program
Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014 demi mewujudkan ketahanan
pangan ternak dengan berbasis sumber daya lokal dan menargetkan impor 10
persen dari kebutuhan daging sapi nasional (Kementan 2010).
Meningkatnya permintaan terhadap pangan protein hewani mendorong
masyarakat untuk lebih peka terhadap kenaikan harga yang terjadi pada pangan
protein hewani terutama pada kenaikan harga daging sapi. Sebab daging sapi
merupakan jenis pangan sumber protein hewani yang memiliki kandungan protein
paling besar yaitu 18.8 persen (per 100 gram) tetapi memiliki harga yang relatif
paling mahal dibandingkan jenis pangan protein hewani lainnya. Harga pangan
dapat memberi pengaruh besar terhadap tingkat konsumsi masyarakat.
Pulau Jawa dengan jumlah penduduk terbanyak tahun 2010 yaitu sebesar
57.5 persen dari total penduduk Indonesia, menjadikan Pulau Jawa berpotensi
sebagai pusat konsumen pangan protein hewani. Selain itu, Jawa Barat sebagai
wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di Pulau Jawa yaitu lebih dari 44 juta
pada tahun 2012 memiliki proporsi konsumsi sumber protein hewani yang relatif
besar yaitu ikan sebesar 2.94 persen, daging sebesar 2.53 persen, serta telur dan
susu sebesar 2.95 persen dari total pengeluaran makanan per bulan (BPS Jawa
Barat 2013). Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk terbanyak di Jawa
Barat yaitu lebih dari 5 juta jiwa atau 11.20 persen dari total penduduk di Jawa
Barat pada tahun 2012. Selain itu, Kabupaten Bogor juga memiliki proporsi
pengeluaran pangan sumber protein hewani yang relatif besar yaitu ikan sebesar 6
persen, daging sebesar 4 persen, telur dan susu sebesar 7 persen dari total
pengeluaran makanan per kapita sebulan pada tahun 2012 (BPS Kabupaten Bogor
2013).
Perumusan Masalah
Salah satu upaya pembangunan sumber daya manusia adalah melalui
peningkatan konsumsi pangan. Protein hewani menjadi salah satu jenis sumber
pangan yang dapat mendorong upaya tersebut. Konsumsi protein juga dapat
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Undang Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menjelaskan bahwa
meskipun pasar nasional semakin terbuka sebagai akibat dari proses globalisasi
ekonomi, tetapi harus menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat (DPR RI
3
1999). Kesejahteraan masyarakat dapat dipengaruhi oleh harga pangan yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Harga kelompok pangan protein hewani jenis daging, terutama daging
ruminansia seperti daging sapi dapat memberikan pengaruh besar terhadap tingkat
konsumsi masyarakat sehingga pemerintah menetapkan adanya harga referensi.
Berdasarkan Permendag Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 harga referensi daging
sapi jenis potongan sekunder (secondary cuts) ditentukan sebesar Rp 76,000/kg.
Harga referensi digunakan sebagai patokan buka tutup impor. Ketika harga daging
sapi tidak sesuai dengan harga referensi maka impor ditunda hingga sesuai dengan
harga referensi (Kemendag 2013). Akibat meningkatnya nilai dollar menjadi Rp
12,000, pemerintah berencana untuk meningkatkan harga referensi menjadi Rp
91,200/kg. Meskipun Pemerintah telah menetapkan harga referensi tetapi harga
daging sapi terus berfluktuasi bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya
seperti peningkatan dari awal tahun 2013 sebesar Rp 86,000 menjadi lebih dari Rp
98,000 pada awal tahun 2014 (Kemendag 2014).
Harga daging yang cenderung meningkat setiap tahun dapat menurunkan
daya beli masyarakat terhadap pangan sumber protein hewani. Terjadinya
kenaikan harga daging sapi dapat membuat konsumsi menurun sehingga
masyarakat cenderung mencari subtitusi pangan sumber protein hewani yang lebih
murah. Jika konsumsi masyarakat terhadap pangan sumber protein hewani
menurun maka dapat mempengaruhi tercapainya target konsumsi protein hewani
sebesar 7.2 gr/kapita/hari pada tahun 2014. Hal itu dapat mempengaruhi
keberhasilan dari kebijakan PSDS 2014 dan kesejahteraan masyarakat. Jika dua
barang diukur dengan unit yang berbeda maka tidak dapat dengan mudah
membandingkannya untuk menentukkan barang mana yang lebih rensponsif
terhadap kenaikan harga. Diperlukan suatu konsep yang dapat membandingkan
hal tersebut yaitu konsep elastisitas (Nicholson 2002).
Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis mengenai pola konsumsi dan
elastisitas permintaan terhadap komoditi pangan sumber protein hewani yaitu
daging, ikan, unggas, telur, dan susu di Kabupaten Bogor. Diharapkan bahan
pangan seperti ikan, unggas, telur, dan susu dapat melengkapi atau menggantikan
konsumsi dari daging jenis ruminansia yang relatif lebih mahal. Rumusan masalah
yang dapat dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pola konsumsi komoditi pangan sumber protein hewani di
Kabupaten Bogor?
2. Bagaimana tingkat elastisitas harga dan pengeluaran dari komoditi pangan
sumber protein hewani di Kabupaten Bogor?
3. Bagaimana dampak perubahan harga daging sapi terhadap pola konsumsi
komoditi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis pola konsumsi komoditi pangan sumber protein hewani di
Kabupaten Bogor.
4
2. Menganalisis tingkat elastisitas harga dan pengeluaran dari komoditi pangan
sumber protein hewani di Kabupaten Bogor.
3. Menganalisis dampak perubahan harga daging sapi terhadap pola konsumsi
komoditi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-
pihak terkait, diantaranya:
1. Bagi penulis, diharapkan mampu menerapkan serta mengembangkan ilmu
pengetahuan yang telah dipelajari selama di Perguruan Tinggi.
2. Bagi pelaku pasar, diharapkan para pelaku pasar dapat mengetahui kondisi
perkembangan konsumsi sumber pangan protein di Kabupaten Bogor
3. Bagi pemerintah, diharapkan pemerintah dapat mengambil kebijakan secara
lebih tepat dalam memajukan dan mengembangkan sektor peternakan sehingga
konsumsi masyarakat terhadap sumber pangan protein dapat lebih stabil.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian menggunakan data cross section SUSENAS 2012 di Kabupaten
Bogor dan jumlah rumah tangga yang diteliti sebanyak 1125. Komoditi yang
diteliti meliputi daging jenis ruminansia (daging sapi, kambing dan kerbau),
unggas (daging ayam ras, ayam kampung dan daging unggas lainnya), ikan (ikan
segar/basah dan ikan asin/diawetkan), telur (tidak termasuk telur itik), dan susu.
Penelitian terhadap pola konsumsi di Kabupaten Bogor juga dibedakan
berdasarkan golongan pendapatan yaitu golongan bawah, golongan menengah
serta golongan atas berdasarkan rata-rata dan standar deviasi expenditure.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Perilaku Konsumen
Individu memiliki keterbatasan pada anggaran pendapatan yang dimiliki
untuk memaksimumkan utilitasnya sehingga menyebabkan individu atau rumah
tangga harus menentukkan pilihan terhadap barang dan jasa yang akan mereka
konsumsi (Nicholson 2002)
Pada teori perilaku konsumen terdapat teori ordinal yang menyatakan bahwa
kegunaan tidak dapat dihitung tetapi hanya dapat dibandingkan. Dua pokok
bahasan penting teori ordinal adalah garis anggaran dan kurva indiferen. Garis
anggaran adalah garis yang menunjukkan seluruh kombinasi x dan y yang dapat
dibeli oleh rumah tangga dengan membelanjakan seluruh pendapatannya pada
harga x dan y tertentu dengan biaya yang sama besar. Sedangkan kurva indiferen
merupakan kurva yang menghubungkan titik-titik kombinasi konsumsi dua barang
yang memberikan tingkat kepuasan yang sama (Rahardja 2006).
5
Saat konsumen telah mengalokasikan seluruh pendapatannya untuk
konsumsi maka akan tercapai kondisi keseimbangan. Akibatnya dapat diketahui
tingkah laku konsumsi rumah tangga. Rumah tangga berusaha untuk
memaksimumkan kepuasan dengan mencapai kurva indiferen tertinggi dengan
anggaran yang dimiliki. Keseimbangan konsumsi rumah tangga terjadi pada titik
persinggungan antara kurva indiferen dan garis anggaran.
Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa jika harga barang X meningkat maka
garis anggaran bergeser ke kiri. Perpindahan dari titik maksimilisasi utilitas awal
(X*,Y*) dapat dianalisis dengan dua efek secara terpisah. Efek subtitusi
menyebabkan perpindahan ke titik B pada kurva indeferen awal (U1). Peningkatan
harga akan mengakibatkan hilangnya daya beli. Efek pendapatan menyebabkan
perpindahan ke kurva indiferen yang lebih rendah (U2). Efek pendapatan dan efek
subtitusi menyebabkan kuantitas X yang diminta turun akibat kenaikan harga.
Intersep Y pada garis anggaran tidak terpengaruh oleh perubahan harga X
(Nicholson 2002).
Kuantitas
per minggu Y U1
U2
B
Y**
Y* Garis anggaran baru
Garis anggaran awal
0 X** XB X* X
Efek Efek subtitusi
pendapatan
Gambar 1 Efek subtitusi dan efek pendapatan pada kenaikan harga
Konsep Elastisitas
Elastisitas merupakan sebuah ukuran perubahan persentase dalam satu
variabel yang diakibatkan oleh perubahan satu persen dalam variabel lainnya
dalam kondisi cateris paribus (Nicholson 2002). Konsep elastisitas ini memiliki
tiga jenis yaitu elastisitas harga, elastisitas pendapatan, dan elastisitas harga
silang.
6
Elastisitas harga permintaan dimaksudkan untuk mengukur tanggapan
perubahan harga (P) yang mengarah pada jumlah barang yang akan dibeli (Q).
Nicholson (2002) mendefinisikan elastisitas melalui persamaan sebagai berikut:
Elastisitas Harga Permintaan (eQ,P) (Price Elastiscity of Demand)
eQ,P =
(1)
Saat eQ,P kurang dari -1 maka permintaan bersifat elastis yang artinya
kemungkinan harga memiliki pengaruh besar terhadap jumlah barang yang dibeli.
Sebaliknya, jika eQ,P lebih besar dari -1 maka permintaan bersifat inelastis yang
artinya harga tidak banyak berpengaruh terhadap jumlah barang yang diminta dan
kenaikan harga secara proposional lebih besar dari penurunan kuantitasnya.
Sedangkan jika eQ,P sama dengan -2 maka permintaan bersifat unitary elastis
(tidak ada perubahan). Contohnya nilai eQ,P adalah -1 artinya kenaikan harga
barang sebesar 1 persen menyebabkan penurunan kuantitas sebesar 2 persen.
Barang-barang yang mempunyai banyak subtitusi yang mirip adalah jenis
barang yang memiliki efek subtitusi besar sebagai akibat perubahan harga-harga.
Untuk barang-barang jenis ini dapat diperkirakan bahwa permintaannya relatif
elastic (eQ,P < -1). Sedangkan barang-barang yang tidak banyak mempunyai
subtitusi, memiliki efek subtitusi yang kecil jika harganya berubah. Permintaan
jenis barang ini diperkirakan bersifat inelastis dalam merespon harga (eQ,P > -1
berada antara 0 dan -1).
Elastisitas harga dari permintaan dapat digunakan untuk mengevaluasi
berapa perubahan pengeluaran total untuk suatu barang, sebagai respon terhadap
berubahan harganya. Jika permintaan elastis, kenaikan harga akan menyebabkan
pengeluaran total turun. Sedangkan saat permintaannya inelastis, kenaikan harga
akan menyebabkan pengeluaran total meningkat. Kenaikan harga dalam situasi
inelastis tidak menyebabkan pengurangan yang cukup besar pada kuantitas yang
diminta dan pengeluaran total akan meningkat.
Elastisitas pendapatan permintaan menjelaskan hubungan antar perubahan
pendapatan dan perubahan kuantitas yang diminta. Pada barang normal, eQ,I positif
karena kenaikan pendapatan mengakibatkan kenaikan pembelian barang dan
untuk barang inferior eQ,I negatif, implikasinya bahwa peningkatan pendapatan
menurunkan kuantitas yang dibeli. Sedangkan barang-barang yang memiliki eQ,I
lebih besar dari 1 memungkinkan barang tersebut adalah barang mewah yang
artinya pembelian barang-barang tersebut meningkat lebih cepat dari pendapatan.
Misalnya, jika elastisitas pendapatan dari permintaan mobil adalah 2 maka
kenaikan pendapatan sebesar 10 persen dapat menyebabkan kenaikan pembelian
mobil sebesar 20 persen. Definisi umum diberikan dalam persamaan berikut:
Elastisitas Pendapatan Permintaan (eQ,I ) (Income Elastiscity of Demand)
eQ,I =
(2)
Konsep terakhir adalah mengenai elastisitas harga silang yang dapat
menjelaskan persentase perubahan kuantitas yang diminta (Q) sebagai akibat dari
7
perubahan 1 persen perubahan harga barang-barang lainnya (P’). Jika harga
barang-barang saling bersubtitusi, elastisitas harga silang dari permintaan akan
positif saat harga suatu barang dan kuantitas permintaan barang lain bergerak
dengan arah yang sama. Misalnya, elastisitas harga silang untuk perubahan harga
teh pada permintaan kopi sebesar 0.2. Artinya, setiap 1 persen kenaikan harga teh
mengakibatkan 0.2 persen kenaikan permintaan kopi, jika kopi dan teh merupakan
subtitusi dalam pilihan konsumsi seseorang. Jika dua barang bersifat
komplementer, elastisitas harga silang akan negatif yang menunjukkan bahwa
harga suatu barang dan kuantitas barang lain bergerak pada arah yang berlawanan.
Misalnya, elastisitas harga silang dari harga donat untuk permintaan kopi sebesar
-1.5 maka 1 persen kenaikan harga donat akan menyebabkan permintaan kopi
turun sebsar 1.5 persen. Elastisitas harga silang didefinisikan dengan persamaan
berikut:
Elastisitas Permintaan Harga Silang (eQ,P’) (Cross-Price Elastiscity of Demand)
eQ,P’ =
(3)
Almost Ideal Demand System (AIDS)
Model AIDS mudah untuk diestimasi dan bentuk fungsinya lebih fleksibel.
Hal tersebut disebabkan retriksi-retriksi dari model seperti addivitas, homogenitas,
dan simetri dapat diuji secara statistik (Deaton dan Muellbauer 1980). Model
permintaan ini mempertimbangkan keputusan konsumen dalam menentukan
seperangkat komoditi secara bersama-sama sehingga hubungan silang dua arah
antara dua komoditi dapat ditentukan.
Deaton dan Muellbauer (1980) menunjukkan bahwa model AIDS
merupakan pendekatan orde pertama terhadap sembarang fungsi sistem
permintaan, memenuhi aksioma pemilihan dan agregasi dari konsumen tanpa
perlu mengasumsikan kurva Engel paralel, mempunyai bentuk fungsional yang
konsisten dengan anggaran rumah tangga, dapat menguji retriksi homogenitas dan
simetrik, serta parameternya mudah diduga tanpa harus menggunakan metode
nonlinier (Anindita 2008).
Permulaan dari model AIDS adalah fungsi pengeluaran, e(u,p), yaitu jumlah
minimalisasi dari pendapatan yang dikeluarkan untuk mencapai tingkat kepuasan
u saat harga sebesar p. Fungsi expenditure AIDS yaitu:
lne(u,p) = α0 + ∑ k lnpk + ⁄ ∑ ∑ *kj lnpklnpj + u β0 k pkβk (4)
secara mudah dapat diperiksa bahwa e(u,p) homogenitas linier dalam p (sebagai
gambaran preferensi) yang dipenuhi oleh :
= 1, Σj *kj = Σk
*kj = Σj βj = 0 (5)
Fungsi permintaan dinyatakan dalam bentuk bagian share of expenditure
yang diturunkan dari fungsi expenditure dari Hicksian demand. Diferensialkan
persamaan tersebut terhadap pi maka menghasilkan persamaan:
= wi (6)
Dimana wi adalah proporsi pengeluaran komoditi i sehingga penurunan logaritmik
dengan proporsi pengeluaran sebagai fungsi dari harga dan utilitas adalah:
8
wi (u,p) = αi + Σjγij ln pj + βiβ0u k pkβk
(7)
γij = ⁄ ( *ij + *
ji ) (8)
Untuk maksimisasi utilitas konsumen, pengeluaran total (x) harus sama
dengan e(u,p) dan dari persamaan tersebut dapat dibalikkan untuk mendapatkan u
sebagai fungsi dari p dan x. Apabila kita melakukan hal tersebut pada persamaan
(4) dan mensubtitusi hasilnya ke persamaan (7) akan didapatkan fungsi
permintaan AIDS dalam bentuk proporsi pengeluaran :
wi (p,x) = αi + Σjγij lnpj + βi ln(x/p) (9)
nilai x/p adalah pendapatan yang dibagi oleh indeks harga p. Indeks harga (p)
didefinisikan sebagai berikut:
lnp = α0 + ∑ k lnpk + ⁄ ∑ ∑ *kj lnpklnpj (10)
sehingga secara umum, model permintaan AIDS adalah:
wi = (αi-βiα0)+Σjγij lnpj+βi[ln x- ∑ k ln pk- ⁄ ∑ ∑ kj lnpklnpj] (11)
Persamaan (11) menyajikan fungsi permintaan yang konsisten jika
memenuhi retriksi-retriksi berikut:
Adivitas : Σi αi = 1 , Σi ij = 0 , Σiβi = 0 (12)
Homogenitas : Σj ij = 0 (13)
Simetri : ij = ji (14)
Berdasarkan persamaan (12) terlihat bahwa model AIDS adalah model
nonlinier akibat adanya penggunaan indeks harga (p). perlu dilakukan pendekatan
terhadap indeks harga (p) agar dapat diestimasi secara linier dengan
mengeksploitasi hubungan kolinierita antar harga. Salah satunya dengan
menggunakan indeks price stone (ln p* = Σkwkpk) sehingga model AIDS menjadi:
wi = α*i + Σj ji lnpj + βi ln(x/p*) (15)
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai pola konsumsi menggunakan metode AIDS
yang diperkenalkan oleh Deaton dan Muellbauer tahun 1980 antara lain:
Nugraha (2001), menganalisis diversi pangan pokok Indonesia
menggunakan data SUSENAS 1999 untuk komoditi pangan beras, jagung, ketela,
ubi jalar, kentang dan tepung. Penelitian menggunakan model AIDS dengan
metode Ordinary Least Square (OLS) dan Seemingly Unrelated Regression
(SUR). Berdasarkan hasil analisis, semua jenis komoditi pangan merupakan
barang normal. Untuk komoditi kentang dan tepung yang secara umum
merupakan barang normal berubah menjadi barang inferior bagi golongan
pendapatan sedang. Permintaan pangan pokok di pedesaan lebih responsif
terhadap perubahan pendapatan dibanding di perkotaan kecuali pada beras dan
jagung. Terdapat hubungan subtitusi yang kuat antara beras dengan ketela, jagung,
dan kentang. Berdasarkan pendugaan parameternya, secara umum peubah
pengeluaran pangan kurang berperan terhadap proporsi pengeluaran.
Eakins JM dan Gallagher LA (2003), menggunakan model AIDS untuk
menentukan model keseimbangan jangka panjang dan dinamika jangka pendek
melalui mekanisme error correction. Prosedur estimasi ini diterapkan pada
permintaan untuk alkohol di Irlandia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bir
9
memiliki harga yang inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang
namun wine memiliki harga yang elastis pada jangka pendek dan jangka panjang.
Jabarin dan Al-Karablieh (2011), tujuan utama penelitian ini adalah
memperkirakan berbagai jenis elastisitas permintaan sayuran segar yang
dikonsumsi di Yordania. Penelitian menggunakan estimasi Linear Approximate
Almost Ideal Demand Systems (LA-AIDS) untuk tanaman sayuran dengan
menggunakan data cross section dari survei pengeluaran rumah tangga pada tahun
2005. Hasil penelitian menunjukkan elastisitas harga sendiri memiliki nilai negatif
dan signifikan secara statistik. Elastisitas pengeluaran tomat, timun, dan kentang
adalah barang normal. Elastisitas kacang hijau yang tertinggi dan permintaan
untuk biji sangat responsif terhadap perubahan harga. Tingginya elastisitas harga
sendiri pada sayuran menunjukkan bahwa setiap perubahan harga tanaman bisa
membawa perubahan yang signifikan pada buah-buahan dan pola konsumsi
sayuran.
Jiumpanyarach (2011), meneliti permintaan lima komoditi pertanian di
Thailand dengan menggunakan model AIDS untuk memperkirakan respon
kuantitas terhadap harga. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan permintaan
sawit, singkong, dan gula responsif terhadap perubahan harga. Sedangkan karet
dan beras memiliki respon yang kurang terhadap perubahan harga. Hal tersebut
akan mempengaruhi pengeluaran ekspor di Thailand dan dapat meningkatkan
pasokan tanaman sehingga menguntungkan bagi petani Thailand untuk
memperluas pangsa pasar domestiknya terhadap komoditi tersebut.
Tash et al (2012), menganalisis perhitungan harga dan sensitivitas
pendapatan dari permintaan barang konsumsi di rumah tangga pedesaan selama
periode 1971-2008 dengan menggunakan model Linier Almost Ideal Demand
System (LAIDS) dan Iterative Seemingly Unrelated Regressions (ISUR). Hasil
penelitian menunjukkan elastisitas harga dengan sensitivitas tertinggi adalah
kelompok transportasi dan sensitivitas terendah pada kelompok sandang.
Elastisitas pendapatan positif untuk semua kelompok komoditas menunjukkan
bahwa semua kelompok komoditas adalah barang normal untuk konsumen
pedesaan. Nilai elastisitas ini menunjukkan bahwa kelompok makanan, tempat
tinggal dan kesehatan memiliki elastisitas pendapatan kategori barang normal dan
elastisitas pendapatan kelompok pakaian, furniture, dan transportasi dikategorikan
barang mewah.
Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan mengenai Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi
terhadap Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor
memiliki beberapa perbedaan dari penelitian-penelitian terdahulu. Pertama,
produk yang dianalisis terdiri dari lima komoditi sumber pangan protein hewani
yaitu daging ruminansia, ikan, unggas, telur, dan susu yang mempunyai potensi
dalam mensubtitusi komoditi daging. Kedua, cakupan wilayah penelitian di
Kabupaten Bogor. Ketiga, data yang digunakan berdasarkan data cross section
SUSENAS 2012 dengan membagi ke dalam tiga golongan pendapatan. Keempat,
dilakukan simulasi terhadap harga untuk mengetahui pengaruh dari kenaikan
harga.
10
Kerangka Pemikiran
Terjadinya peningkatan proporsi pengeluaran terhadap konsumsi pangan
sumber protein hewani secara tidak langsung mengartikan bahwa permintaan
terhadap pangan sumber protein hewani juga meningkat. Peningkatan tersebut
menjadi salah satu faktor yang mendorong pemerintah dalam menargetkan
pemenuhan konsumsi pangan sumber protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari
pada tahun 2014. Target tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas
SDM dan ketersediaan protein hewani asal ternak. Terjadinya kenaikan harga
daging sapi tiap tahunnya menjadi salah satu kendala bagi pemerintah dalam
memenuhi target konsumsi pangan sumber protein hewani. Secara tidak langsung
menurunkan daya beli serta mendorong masyarakat untuk mencari alternatif
pangan yang dapat mensubtitusikan konsumsi daging sapi. Akibatnya, diperlukan
diversifikasi terhadap konsumsi pangan sumber protein hewani dengan wilayah
penelitian di Kabupaten Bogor.
Penelitian mengenai pola konsumsi masyarakat dilakukan untuk mengetahui
diversifikasi pangan sumber protein. Analisis mengenai pola konsumsi
masyarakat dijelaskan dengan metode deskriptif. Setelah itu dilakukan analisis
kecukupan konsumsi setara protein hewani dan dibandingkan dengan target
pemerintah dalam pencapaian konsumsi pangan protein hewani sebesar 7.2
gr/kapita/hari.
Dianalisis pula tingkat elastisitas lima komoditi pangan sumber protein
hewani yaitu daging ruminansia, unggas, ikan, telur, dan susu. Tingkat elastisitas
dihitung dengan menggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS).
Tujuannya agar dapat mengetahui sifat dan karakteristik dari komoditi yang
diteliti serta dapat diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pangan
sumber protein hewani masyarakat di Kabupaten Bogor.
Adanya kenaikan harga daging sapi menjadi dasar dalam melakukan analisis
dampak kenaikan harga daging sapi terhadap konsumsi pangan sumber protein.
Simulasi kenaikan harga daging sapi dilakukan pada periode tertentu berdasarkan
hasil perhitungan pada model AIDS. Selanjutnya dihitung tingkat kecukupan
konsumsi setara protein hewani pada setelah adanya kenaikan harga daging sapi.
Hasil perhitungan dibandingkan dengan pencapaian target pemerintah terhadap
konsumsi pangan sumber protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat diketahui kecukupan
konsumsi pangan sumber protein hewani sebelum dan setelah terjadi kenaikan
harga daging sapi serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
pangan sumber protein hewani masyarakat di Kabupaten Bogor. Diharapkan hal
tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam
menentukkan arah kebijakan yang lebih baik dan dapat mendukung tercapainya
program pangan pemerintah serta target konsumsi pangan sumber protein hewani
sebesar 7.2 gr/kapita/hari.
11
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data cross section meliputi konsumsi lima jenis pangan sumber protein
hewani yang akan dianalisis berdasarkan SUSENAS 2012 pada 1125 rumah
tangga berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta didukung data yang berasal
dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Data tersebut
Faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan pangan sumber protein
hewani di Kabupaten Bogor
Target konsumsi pangan sumber
protein hewani sebesar 7.2
gr/kapita/hari
Diversivikasi pangan sumber protein
hewani di Kabupaten Bogor
Pola konsumsi pangan
sumber protein
hewani di Kabupaten
Bogor
Tingkat elastisitas harga dan
pendapatan pangan sumber
protein hewani di Kabupaten
Bogor
Dampak kenaikan harga
daging sapi pada
konsumsi pangan sumber
protein hewani
Metode analisis deskriptif Model Almost Ideal Demand
System (AIDS)
Simulasi harga
daging sapi
Kenaikan harga
daging sapi
Saran untuk kebijakan pemerintah
Kecukupan konsumsi
pangan sumber protein
hewani setelah kenaikan
harga daging sapi
Kecukupan
konsumsi pangan
sumber protein
hewani
Peningkatan permintaan
pangan sumber protein
hewani
Peningkatan proporsi
pengeluaran pangan
sumber protein hewani
12
mengenai proporsi pengeluaran makanan untuk komoditi protein hewani dan
harga komoditi pangan sumber protein di Kabupaten Bogor. Selain itu, terdapat
beberapa data pendukung lain yang diperoleh dari berbagai literatur serta sumber-
sumber lain yang relevan.
Pengelompokan Data
Penelitian dilakukan dengan membagi golongan pendapatan rumah tangga
yaitu rumah tangga golongan pendapatan rendah, menengah, dan atas. Pembagian
golongan pendapatan tersebut berdasarkan rata-rata dan standar deviasi
expenditure per kapita rumah tangga yaitu golongan pendapatan rendah dengan
rentang expenditure Rp 173,000–Rp 1,238,000/kapita/tahun, golongan pendapatan
menengah dengan rentang expenditure Rp 1,238,000–Rp 5,061,000/kapita/tahun
dan golongan pendapatan tinggi dengan rentang expenditure Rp 5,061,000–Rp
62,500,000/kapita/tahun.
Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan model Almost
Ideal Demand System (AIDS) untuk mengetahui parameter yang mempengaruhi
permintaan pangan dan elastisitas permintaannya. Data yang diperoleh diolah
dengan menggunakan software Microsoft Excel, SPSS, dan SAS (Statistical
Analitical System).
Analisis Deskriptif
Analisis ini dilakukan untuk menganalisis pola konsumsi dan permintaan
masyarakat di Kabupaten Bogor. Bertujuan untuk memberikan gambaran
pengeluaran konsumsi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor. Data
yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan untuk mempermudah
melakukan analisis. Analisis ini menggunakan software Microsoft Excel.
Analisis Almost Ideal Demand System (AIDS)
Model fungsi permintaan dalam penelitian ini adalah model Almost Ideal
Demand System (AIDS). Analisis ini menggunakan bantuan software Microsoft
Excel, SPSS, dan SAS. Persamaan linier dari model AIDS adalah sebagai berikut:
wit = αi + Σjγij lnpj + βi ln(
) + dit + єi (16)
keterangan :
wit : proporsi pengeluaran untuk komoditi i terhadap total pengeluaran konsumsi
pj : harga komoditi j
x : pengeluaran total konsumsi pangan
lnP* = Σ wk lnpk adalah indeks price stone
wk: pengeluaran (budget share) komoditi k
αi, γij, βi, φ, adalah parameter
13
ij : komoditi 1,2,3,…n
dit : dummy pengeluaran (expenditure)
Harga agregat dari masing-masing kelompok makanan diperoleh sebagai
rata-rata tertimbang dari harga masing-masing komponen dalam kelompok yang
bersangkutan. Pangsa pengeluaran untuk masing-masing komponen digunakan
sebagai penimbang yaitu pk = Σ wIpI, dimana pk adalah harga agregat kelompok k,
wI adalah pangsa pengeluaran komoditi I dalam kelompok k dan pI adalah harga
komoditi I.
Secara spesifik fungsi proporsi pengeluaran model AIDS untuk kelompok-
kelompok pangan protein hewani adalah :
1. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 1 ruminansia (daging sapi)
w1t = α1 + γ11 ln(p1) + γ12 ln(p2) + γ13 ln(p3) + γ14 ln(p4) +
γ15 ln(p5) + β1 ln(
) + d1 + d2 + є1 (17)
2. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 2 ikan
w2t = α2 + γ21 ln(p1) + γ22 ln(p2) + γ23 ln(p3) + γ24 ln(p4) +
γ25 ln(p5) + β2 ln(
) + d1 + d2 + є2 (18)
3. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 3 unggas
w3t = α3 + γ31 ln(p1) + γ32 ln(p2) + γ33 ln(p3) + γ34 ln(p4) +
γ35 ln (p5) + β3 ln (
) + d1 + d2 + є3 (19)
4. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 4 telur
w4t = α4 + γ41 ln(p1) + γ42 ln(p2) + γ43 ln(p3) + γ44 ln(p4) +
γ45 ln(p5) + β4 ln(
) + d1 + d2 + є4 (20)
5. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 5 susu
w5t = α5 + γ51 ln(p1) + γ52 ln(p2) + γ53 ln(p3) + γ54 ln(p4) +
γ55 ln(p5) + β5 ln(
) + d1 + d2 + є5 (21)
keterangan :
p1 : harga kelompok daging ruminansia
p2 : harga kelompok unggas
p3 : harga kelompok ikan
p4 : harga kelompok telur
p5 : harga kelompok susu
: pengeluaran total dibagi indeks price stone
d1 : dummy golongan pendapatan , 0 = miskin ; 1 = menengah atau atas
d2 : dummy golongan pendapatan, 0 = miskin atau menengah, 1 = atas
Perhitungan Elastisitas Permintaan
Untuk mencari nilai dari elastisitas permintaan diperoleh dari koefisien-
koefisien regresi pada model dari hasil pendugaan yang dianggap benar. Analisis
ini menggunakan bantuan software Microsoft Excel dan SAS. Besaran elastisitas
permintaan yang dicari adalah elastisitas pengeluaran, elastisitas harga sendiri,
dan elastisitas harga silang. Berdasarkan Anindita (2008), rumus elastisitas
permintaan tersebut yaitu:
Elastisitas pengeluaran :
(22)
14
Elastisitas harga sendiri : eii =
(23)
Elastisitas harga silang : eij =
(24)
Metode Simulasi Kenaikan Harga
Simulasi dilakukan dengan menggunakan harga dasar yang berasal dari
harga komoditi daging jenis ruminansia hasil perhitungan sebesar Rp 83,676/kg.
Kemudian dibandingkan dengan harga rata-rata daging sapi lokal di Kabupaten
Bogor pada tahun 2013 sebesar Rp 88,304/kg sehingga terjadi kenaikan harga
sebesar 5.5 persen dan harga rata-rata daging sapi lokal hingga februari 2014
sebesar Rp 91,781 yang menyebabkan harga daging sapi naik sebesar 9.7 persen.
Lalu penulis melakukan perkiraan kenaikan harga daging sapi Rp 126,200/kg atau
kenaikan sebesar 50.8 persen untuk memperkirakan harga kenaikan maksimum
yang dapat ditetapkan pemerintah untuk dapat mencapai target konsumsi pangan
protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari. Metode simulasi ini menggunakan
bantuan software Microsoft Excel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor
Pola konsumsi pangan protein hewani masyarakat dapat dijelaskan
berdasarkan proporsi pengeluaran terhadap komoditi tersebut. Besarnya proporsi
pengeluaran dapat dipengaruhi oleh faktor harga komoditi dan jumlah komoditi
yang dikonsumsi. Berdasarkan tingkat pendapatan rumah tangga, jumlah rumah
tangga yang mengkonsumsi komoditi pangan sumber protein hewani terbesar
pada golongan pendapatan menengah dengan jumlah 789 rumah tangga.
Selanjutnya diikuti oleh golongan pendapatan rendah dengan jumlah 184 rumah
tangga, dan golongan pendapatan tinggi dengan jumlah 152 rumah tangga. Tabel
2 menunjukkan bahwa proporsi konsumsi pangan protein hewani rumah tangga
golongan pendapatan atas lebih besar dibandingkan dengan golongan pendapatan
menengah dan rendah.
Pada Tabel 2 dan Tabel 5 terlihat bahwa pangan sumber protein hewani
yang banyak dikonsumsi secara berurutan berasal dari kelompok ikan, telur,
unggas, susu, dan daging. Kecenderungan tersebut dapat terlihat karena adanya
pengaruh dari harga komoditi ikan, unggas, dan telur yang relatif lebih murah
dibandingkan komoditi yang berasal dari daging jenis ruminansia dan susu.
Besarnya proporsi konsumsi (Tabel 2) dan proporsi pengeluaran (Tabel 5)
menunjukkan bahwa semakin tinggi golongan pendapatan maka semakin besar
nilai proporsi konsumsi dan proporsi pengeluaran masyarakat terhadap komoditi
pangan sumber protein hewani.
Tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi konsumsi komoditi golongan
pendapatan rendah, menengah dan golongan pendapatan tinggi memiliki urutan
15
yang sama dari yang banyak dikonsumsi yaitu ikan-telur-unggas-susu-daging.
Rumah tangga di golongan pendapatan rendah tidak mengkonsumsi komoditi
daging jenis ruminansia sehingga proporsi konsumsi untuk komoditi daging jenis
ruminansia bernilai nol. Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat proporsi
konsumsi komoditi ikan paling besar dibandingkan komoditi protein hewani lain
yaitu sebesar 9.44 kg/kapita/tahun dan daging memiliki proporsi terkecil sebesar
0.38 kg/kapita/tahun.
Tabel 2 Proporsi konsumsi kelompok pangan protein hewani di Kabupaten Bogor
tahun 2012
Golongan pendapatan Daging Unggas Ikan Telur Susu
(kg/kapita/tahun)
Umum 0.379 5.231 9.438 7.638 4.187
Rendah 0.000 1.770 6.517 5.484 0.631
Menengah 0.167 4.967 9.136 7.290 3.802
Tinggi 2.036 11.121 14.842 12.315 10.866
Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui besarnya proporsi dari daging sapi,
daging kerbau, dan daging kambing yang terdapat dalam daging ruminansia yang
dianalisis. Daging Sapi memiliki proporsi terbesar dari konsumsi daging jenis
ruminansia yaitu sebesar 92 persen, diikuti oleh daging kerbau dengan proporsi
5.72 persen, dan daging kambing memiliki proporsi terkecil sebesar 2.28 persen
dari total konsumsi daging jenis ruminansia di Kabupaten Bogor.
Tabel 3 Proporsi konsumsi daging sapi, daging kerbau, dan daging kambing di
Kabupaten Bogor
Komoditi
Rata-rata
konsumsi
Nilai
minimum
Nilai
maksimum
Proporsi
konsumsi
(%) (kg/kapita/tahun)
Sapi 0.349 0 25.714 92.002
Kerbau 0.022 0 12.857 5.720
Kambing 0.009 0 5.143 2.278
Total 0.380 0 43.714 100
Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)
Pada Tabel 4 menunjukkan kecukupan konsumsi setara protein hewani per
kapita per hari di Kabupaten Bogor pada tahun 2012. Total konsumsi masyarakat
di Kabupaten Bogor terhadap pangan sumber protein hewani adalah 10.24
gr/kapita/hari. Jika dikaitkan dengan target pemerintah untuk mencapai konsumsi
pangan sumber protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari pada tahun 2014 maka
16
target tersebut dapat tercapai. Total konsumsi setara protein hewani terbesar
berada pada daging sapi sebesar 0.180 gr/kapita/hari dari total konsumsi daging
jenis ruminansia. Sedangkan secara keseluruhan total konsumsi setara protein
hewani terbesar berada pada konsumsi komoditi ikan sebesar 4.396 gr/kapita/hari.
Tabel 4 Kecukupan konsumsi setara protein hewani masyarakat di Kabupaten
Bogor tahun 2012
Sumber
protein
Kandungan
protein
(%)
Proporsi
konsumsi
pangana
(kg/kapita/tahun)
Proporsi
konsumsi
pangan
(gr/kapita/hari)
Total konsumsi
setara protein
(gr/kapita/hari)
Sapi 18.8b 0.349 0.956 0.180
Kerbau 18.7b 0.022 0.059 0.011
Kambing 16.6b 0.009 0.024 0.004
Unggas 18.2b 5.231 14.331 2.608
Ikan 17.0c 9.438 25.857 4.396
Telur 12.8b 7.638 20.925 2.678
Susu 3.2 b 4.187 11.471 0.367
Total 10.244
Sumber: aSUSENAS 2012 (diolah);
bSuyatno (2010);
cRismayanthi (2011) (diolah)
Pada Tabel 5 menunjukkan proporsi pengeluaran konsumsi komoditi
pangan sumber protein hewani masyarakat di Kabupaten Bogor secara umum
maupun berdasarkan golongan pendapatan secara berurutan yang banyak
dikonsumsi adalah ikan-telur-unggas-susu-daging. Sedangkan pada golongan
pendapatan tinggi memiliki urutan proporsi konsumsi ikan-susu-telur-unggas-
daging. Secara umum komoditi ikan memiliki proporsi pengeluaran terbesar yaitu
44.52 persen dari total proporsi pengeluaran komoditi pangan sumber protein
hewani dan daging berada pada proporsi pengeluaran terkecil sebesar 1.67 persen.
Tabel 5 Proporsi pengeluaran konsumsi pangan sumber protein hewani
masyarakat di Kabupaten Bogor tahun 2012
Golongan
pendapatan
Daging Unggas Ikan Telur Susu
(%)
Umum 1.679 16.187 44.518 23.771 13.844
Rendah 0.998 7.431 64.256 24.941 3.372
14.252 Menengah 1.085 17.523 43.053 24.088
Tinggi 7.109 20.041 27.312 20.525 25.013
Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)
17
Komoditi protein yang berasal dari kelompok ikan lebih banyak dikonsumsi
dibandingkan dengan komoditi yang berasal dari kelompok daging jenis
ruminansia. Kecenderungan pola konsumsi tersebut diperkirakan karena adanya
pengaruh harga relatif dari komoditi-komodoti pangan protein serta selera dan
kebiasaan konsumsi rumah tangga di Kabupaten Bogor. Pada Tabel 6
menunjukkan bahwa komoditi yang memiliki harga relatif paling mahal adalah
kelompok daging jenis ruminansia sedangkan yang memiliki harga relatif paling
murah adalah kelompok telur.
Tabel 6 Rata-rata harga komoditi kelompok pangan sumber protein hewani di
Kabupaten Bogor tahun 2012
Golongan
pendapatan
Daging Unggas Ikan Telur Susu
(Rp/kg)
Umum 83676 28411 35057 17656 42244
Rendah 83256 23375 41613 15123 23125
Menengah 84651 27500 33823 17351 38953
Tinggi 83121 33141 33037 21764 56317 Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)
Perhitungan Tingkat Elastisitas Harga dan Pengeluaran dari Komoditi
Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor
Elastisitas Harga Sendiri
Seluruh komoditi pangan sumber protein hewani yang dianalisis bersifat
inelastis dikarenakan elastisitas harga bernilai negatif atau kurang dari 1. Artinya,
perubahan terhadap harga tidak berpengaruh terlalu besar pada perubahan
permintaan terhadap komoditi yang bersangkutan. Berdasarkan sifat dari kurva
permintaan ketika terjadi kenaikan harga dari suatu komoditi maka menurunkan
permintaan komoditi tersebut.
Pada Tabel 7 menunjukkan besarnya elastisitas harga sendiri secara umum
pada komoditi daging jenis ruminansia sebesar -0.490, unggas sebesar -0.889,
ikan sebesar -0.979, telur sebesar -0.908, dan susu sebesar -0.915. Elastisitas
harga sendiri komoditi ikan memiliki nilai terbesar di semua golongan
pendapatan. Sedangkan komoditi daging jenis ruminansia memiliki nilai
elastisitas harga terkecil, artinya komoditi tersebut kurang sensitif terhadap
perubahan harga sendiri dan permintaannya cenderung lebih stabil terhadap
perubahan harga sendiri. Daging jenis ruminansia memiliki sifat yang paling
inelastis sehingga harga daging tidak banyak berpengaruh pada kuantitas
permintaan daging itu sendiri. Secara umum dapat diartikan saat elastisitas harga
komoditi ikan bernilai -0.98 yang artinya jika harga naik 10 persen maka
permintaan untuk kelompok komoditi ikan turun sebesar 9.8 persen.
18
Tabel 7 Elastisitas harga sendiri, harga silang dan pengeluaran di Kabupaten
Bogor tahun 2012
Kelompok Daging Unggas Ikan Telur Susu Pengeluaran
Pangan
Golongan pendapatan secara umum
Daging -0.490 -0.006 -0.029 -0.010 -0.010 2.344
Unggas -0.284 -0.889 -0.031 -0.006 -0.051 0.943
Ikan -0.833 -0.019 -0.979 0.014 -0.120 0.832
Telur -0.488 -0.015 -0.023 -0.908 -0.062 0.912
Susu -0.250 -0.014 -0.028 -0.002 -0.915 1.158
Golongan pendapatan rendah
Daging -0.108 -0.014 -0.021 -0.011 -0.038 3.310
Unggas -0.285 -0.768 -0.032 -0.013 -0.152 0.875
Ikan -1.886 -0.016 -0.962 0.030 -0.619 0.884
Telur -0.866 -0.032 -0.014 -0.912 -0.263 0.916
Susu -0.188 -0.043 -0.032 -0.011 -0.582 1.647
Golongan pendapatan menengah
Daging -0.199 -0.006 -0.031 -0.011 -0.009 3.081
Unggas -0.467 -0.896 -0.030 -0.004 -0.052 0.947
Ikan -1.258 -0.018 -0.981 0.013 -0.114 0.827
Telur -0.762 -0.014 -0.023 -0.909 -0.061 0.913
Susu -0.396 -0.013 -0.028 -0.002 -0.918 1.153
Golongan pendapatan atas
Daging -0.896 -0.002 -0.032 -0.007 -0.011 1.318
Unggas -0.079 -0.908 -0.040 -0.002 -0.032 0.954
Ikan -0.142 -0.023 -1.013 -0.001 -0.051 0.727
Telur -0.105 -0.014 -0.046 -0.897 -0.032 0.898
Susu -0.095 -0.006 -0.015 0.009 -0.962 1.087 Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)
Elastisitas Harga Silang
Elastisitas harga silang untuk secara umum dan semua golongan
pendapatan menunjukkan nilai dominan yang negatif. Artinya, sifat hubungan
antar komoditi pangan sumber protein hewani adalah komplementer atau
pelengkap. Hasil tersebut kurang sesuai dengan hipotesis dimana hubungan antara
komoditi pangan sumber protein hewani diperkirakan bersifat subtitusi. Perbedaan
hipotesis ini diperkirakan karena adanya perkembangan dan perubahan terhadap
pola konsumsi masyarakat didukung adanya perbedaan selera, kemudahan
memperoleh, dan keanekaragaman jenis komoditi sumber protein hewani. Selain
itu, adanya sifat dari konsumsi terhadap daging yang cenderung memiliki sifat tak
tergantingan dengan pangan protein hewani lainnya. Misalnya pada konsumsi
19
makanan seperti bakso, rendang, steak, dan sebagainya yang menggunakan jenis
daging ruminansia seperti daging sapi, sulit untuk digantikan konsumsinya dengan
jenis pangan protein hewani lainnya. Nilai elastisitas silang yang bersifat
komplementer misalnya antara komoditi daging terhadap ikan bernilai -0.833
artinya jika harga daging naik sebesar 10 persen maka permintaan terhadap
komoditi ikan turun sebesar 8.33 persen.
Pada Tabel 7 terdapat elastisitas harga silang yang bernilai positif. Artinya,
terdapat hubungan subtitusi antar komoditi. Sifat subtitusi tersebut terdapat pada
golongan pendapatan secara umum, golongan pendapatan rendah, dan golongan
pendapatan menengah yaitu hubungan antara harga telur terhadap permintaan ikan
yang secara berurutan bernilai 0.014, 0.030, dan 0.013. Sedangkan pada golongan
pendapatan tinggi terdapat hubungan subtitusi antara harga telur terhadap
permintaan susu dengan nilai elastisitas silang sebesar 0.009. Nilai elastisitas
silang antara komoditi telur terhadap ikan sebesar 0.014 maka dapat diartikan
bahwa jika harga telur naik sebesar 10 persen maka permintaan ikan meningkat
sebesar 0.14 persen. Adanya perbedaan sifat barang yang bersubtitusi di setiap
golongan pendapatan diperkirakan karena adanya perbedaan perlakuan terhadap
komoditi tersebut oleh konsumen.
Pada Tabel 7 dapat dianalisis bahwa secara umum dan berdasarkan
golongan pendapatan, elastisitas silang terbesar berada pada hubungan antara
harga daging terhadap permintaan ikan sebesar -0.833 secara umum, -1.886 pada
golongan pendapatan rendah, -1.258 pada golongan pendapatan menengah, dan -
0.142 pada golongan pendapatan atas. Sedangkan secara umum, elastisitas silang
terkecil berada pada hubungan antara harga telur terhadap permintaan susu
sebesar -0.002. Pada golongan pendapatan rendah, elastisitas silang terkecil
terdapat pada hubungan antara harga telur terhadap permintaan daging dan susu
sebesar -0.011. Begitu juga pada golongan pendapatan menengah dengan
elastisitas silang sebesar -0.002 pada hubungan antara harga telur dengan
permintaan susu. Sedangkan pada golongan pendapatan atas, elastisitas silang
terkecil terdapat pada hubungan antara harga telur tehadap permintaan ikan
sebesar -0.001.
Secara keseluruhan perubahan harga yang terjadi pada daging jenis
ruminansia memberi pengaruh paling besar terhadap permintaan komoditi pangan
sumber protein hewani terutama pada ikan. Sedangkan harga komoditi yang
memberikan pengaruh terkecil pada perubahan permintaan komoditi protein
hewani adalah telur. Pada golongan pendapatan atas memiliki permintaan yang
lebih stabil terhadap perubahan harga komoditi pangan sumber protein hewani
karena memiliki nilai elastisitas silang yang cenderung lebih kecil dibandingkan
dengan elastisitas silang golongan pendapatan lain.
Elastisitas Pengeluaran
Elastisitas pengeluaran secara umum dan berdasarkan golongan
pendapatan bernilai positif. Artinya komoditi pangan sumber protein hewani
termasuk jenis barang normal. Elastisitas pengeluaran komoditi pangan sumber
protein hewani di semua golongan pendapatan menunjukkan kecenderungan
ketika pengeluaran meningkat maka permintaan terhadap komoditi pangan
sumber protein hewani juga meningkat namun dengan nilai elastisitas yang
20
semakin kecil seiring dengan tingkat pendapatan yang semakin tinggi. Hal ini
dapat dianalisis bahwa semakin tinggi pendapatan maka permintaan terhadap
pangan protein hewani semakin stabil terutama pada masyarakat berpendapatan
tinggi. Besarnya pengeluaran konsumen terhadap pangan sumber protein hewani
cenderung dipengaruhi oleh harga relatif komoditi tersebut.
Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai elastisitas pengeluaran terbesar terdapat
pada daging jenis ruminansia di semua golongan pendapatan yaitu pada golongan
pendapatan rendah, menengah, dan atas secara berurutan bernilai 3.310, 3.081,
dan 1.318. Pada jenis barang normal, barang-barang dengan elastisitas pendapatan
lebih besar dari 1 dapat disebut barang mewah (luxury). Misalnya, ketika
elastisitas pengeluaran daging sebesar 3.3 berarti kenaikan pengeluaran sebesar 10
persen menyebabkan kenaikan pembelian daging sebesar 33 persen. Elastisitas
pengeluaran terkecil pada golongan pendapatan menengah dan atas terdapat pada
komoditi ikan sebesar 0.827 dan 0.727. Sedangkan pada golongan pendapatan
rendah, komoditi unggas memiliki elastisitas pengeluaran terkecil sebesar 0.875.
Semakin meningkatnya pendapatan maka konsumsi daging jenis ruminansia
semakin stabil karena nilai elastisitas pengeluarannya semakin kecil. Artinya,
konsumsi daging jenis ruminansia sangat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan
konsumen dan besarnya pengeluaran konsumen. Konsumsi komoditi yang
memiliki pengaruh kecil terhadap pendapatan konsumen adalah komoditi ikan.
Artinya, pengaruh dari harga relatif komoditi ikan lebih kecil dibandingkan
permintaan terhadap konsumsi komoditi ikan.
Simulasi Dampak Perubahan Harga Daging Sapi Terhadap Pola
Konsumsi Komoditi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor
Penerapan kebijakan dari Pemerintah terhadap harga komoditi pangan
sumber protein hewani mempengaruhi pola konsumsi masyarakat pada komoditi
tersebut maupun komoditi pangan sumber protein lain yang sejenis. Simulasi
dilakukan ketika terjadi perubahan harga daging sapi pada periode tertentu. Sebab
berdasarkan nilai elastisitasnya, komoditi daging memiliki pengaruh yang besar
terhadap konsumsi sumber protein hewani lain dan komoditi daging sapi memiliki
proporsi paling besar pada konsumsi daging jenis ruminansia seperti pada Tabel 3.
Simulasi harga ini dapat mengetahui besarnya perubahan proporsi kuantitas
konsumsi komoditi pangan sumber protein hewani dan kecukupan konsumsi
pangan setara protein hewani masyarakat.
Harga dasar yang digunakan dalam simulasi adalah harga komoditi daging
jenis ruminansia pada Tabel 6 sebesar Rp 83,676/kg dibandingkan dengan harga
rata-rata daging sapi lokal di Kabupaten Bogor pada tahun 2013 sebesar
Rp 88,304/kg dan tahun 2014 (hingga Februari) sebesar Rp 91,781. Dilakukan
dua simulasi berdasarkan golongan pendapatan secara umum yaitu simulasi
dampak kenaikan harga daging sapi sebesar 5.5 persen pada tahun 2013 dan
kenaikan harga daging sapi hingga Februari 2014 sebesar 9.7 persen. Tabel 8 menunjukkan bahwa pada kenaikan harga daging sapi sebesar 5.5
persen, konsumsi komoditi daging jenis ruminansia menurun sebanyak 0.010
kg/kapita/tahun sehingga proporsi konsumsi akhir menjadi 0.370 kg/kapita/tahun.
Komoditi unggas mengalami penurunan konsumsi sebanyak 0.082
21
kg/kapita/tahun, ikan sebanyak 0.432 kg/kapita/tahun, telur sebanyak 0.205
kg/kapita/tahun, dan susu sebanyak 0.058 kg/kapita/tahun dari jumlah konsumsi
awal sehingga proporsi konsumsi akhir komoditi unggas, ikan, telur, dan susu
secara berurutan menjadi 5.148 kg/kapita/tahun, 9.008 kg/kapita/tahun, 7.435
kg/kapita/tahun, dan 4.132 kg/kapita/tahun.
Tabel 8 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi
5.5%
Sumber
protein
Perubahan
konsumsi
(%)
Pola konsumsi
awal
(kg/kapita/tahun)
Pola konsumsi
akhir
(kg/kapita/tahun)
Perubahan
konsumsi
(kg)
Daging -2.696 0.380 0.370 -0.010
Unggas -1.560 5.230 5.148 -0.082
Ikan -4.579 9.440 9.008 -0.432
Telur -2.685 7.640 7.435 -0.205
Susu -1.377 4.190 4.132 -0.058
Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)
Pada Tabel 9 menunjukkan simulasi peningkatan harga daging sapi sebesar
9.7 persen pada 2014 (hingga Februari 2014). Adanya peningkatan harga daging
sapi sebesar 9.7 persen menyebabkan turunnya proporsi komoditi daging jenis
ruminansia sebesar 0.018 kg/kapita/tahun, unggas sebesar 0.144 kg/kapita/tahun,
ikan sebesar 0.762 kg/kapita/tahun, telur sebesar 0.362 kg/kapita/tahun, dan susu
sebesar 0.102 kg/kapita/tahun sehingga proporsi akhir komoditi pangan sumber
protein hewani kelompok daging, unggas, ikan, telur, dan susu secara berurutan
menjadi 0.362 kg/kapita/tahun, 5.086 kg/kapita/tahun, 8.678 kg/kapita/tahun,
7.278 kg/kapita/tahun, dan 4.088 kg/kapita/tahun.
Tabel 9 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi
9.7%
Sumber
protein
Perubahan
konsumsi
(%)
Proporsi
konsumsi awal
(kg/kapita/tahun)
Proporsi
konsumsi akhir
(kg/kapita/tahun)
Perubahan
konsumsi
(kg)
Daging -4.755 0.380 0.362 -0.018
unggas -2.752 5.230 5.086 -0.144
ikan -8.075 9.440 8.678 -0.762
telur -4.734 7.640 7.278 -0.362
Susu -2.429 4.190 4.088 -0.102
Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)
22
Kenaikan harga daging sapi membuat permintaan konsumsi pangan sumber
protein hewani lain berkurang begitu juga sebaliknya. Berdasarkan simulasi yang
telah dilakukan dapat dijelaskan bahwa semakin besar persentase kenaikan harga
daging sapi maka semakin kecil proporsi konsumsi komoditi pangan sumber
protein hewani masyarakat.
Setelah mengetahui besarnya proporsi konsumsi dari daging sapi, kerbau,
dan kambing pada Tabel 3 maka dapat dianalisis besarnya perubahan konsumsi
ketiga jenis daging tersebut saat terjadi kenaikan harga pada daging sapi.
Berdasarkan Tabel 10 dan Tabel 11 dapat dianalisis bahwa saat terjadi kenaikan
harga daging sapi sebesar 5.5 persen maka besarnya proporsi konsumsi daging
ruminansia menurun menjadi 0.370 kg/kapita/tahun terdiri dari daging sapi
sebanyak 0.340 kg/kapita/tahun, daging kerbau sebanyak 0.021 kg/kapita/tahun,
dan daging kambing sebanyak 0.0084 kg/kapita/tahun. Sedangkan pada kenaikan
harga daging sapi sebesar 9.7 persen proporsi konsumsi akhir daging jenis
ruminansia menurun menjadi 0.362 kg/kapita/tahun yang terdiri dari proporsi
daging sapi sebesar 0.333 kg/kapita/tahun, daging kerbau sebesar 0.021
kg/kapita/tahun, dan daging kambing sebesar 0.0082 kg/kapita/tahun.
Tabel 10 Proporsi konsumsi daging saat kenaikan harga daging sapi 5.5%
Sumber
protein
Proporsi
(%)
Proporsi konsumsi
daging
Proporsi konsumsi
akhir
(kg/kapita/tahun)
Sapi 92.002 0.370 0.340
Kerbau 5.720 0.370 0.021
Kambing 2.278 0.370 0.008
Total 100 0.370
Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)
Tabel 11 Proporsi konsumsi daging saat kenaikan harga daging sapi 9.7 %
Sumber
protein
Proporsi
(%)
Proporsi konsumsi
daging
Proporsi konsumsi
akhir
(kg/kapita/tahun)
Sapi 92.002 0.362 0.333
Kerbau 5.720 0.362 0.021
Kambing 2.278 0.362 0.008
Total 100 0.362
Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)
Setelah melakukan simulasi dampak kenaikan harga daging sapi, dianalisis
kecukupan konsumsi setara protein hewani. Pada Tabel 12 menunjukkan bahwa
saat terjadi kenaikan harga daging sapi sebesar 5.5 persen maka proporsi
konsumsi pangan sumber protein hewani dan total kecukupan konsumsi setara
23
protein hewani mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kecukupan
konsumsi setara protein sebelum kenaikan harga daging sapi (Tabel 4). Ketika
terjadi kenaikan harga sebesar 5.5 persen, total kecukupan konsumsi setara protein
hewani adalah 9.922 gr/kapita/hari. Nilai tersebut memenuhi masih target
pemerintah dalam mencapai kecukupan konsumsi protein hewani sebesar 7.2
gr/kapita/hari.
Tabel 12 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan
harga daging sapi 5.5 %
Sumber
protein
Kandungan
protein
(%)
Proporsi
konsumsi
pangana
(kg/kapita/tahun)
Proporsi
konsumsi
pangan
(gr/kapita/hari)
Total
konsumsi
setara protein
(gr/kapita/hari)
Sapi 18.8b 0.340 0.932 0.175
Kerbau 18.7b 0.021 0.058 0.011
Kambing 16.6b 0.008 0.023 0.004
Unggas 18.2b 5.148 14.105 2.567
Ikan 17.0c 9.008 24.679 4.195
Telur 12.8b 7.435 20.370 2.607
Susu 3.2 b 4.132 11.321 0.362
Total 9.922
Sumber: aSUSENAS 2012 (diolah);
bSuyatno (2010);
cRismayanthi (2011) (diolah)
Tabel 13 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan
harga daging sapi 9.7%
Sumber
protein
Kandungan
protein
(%)
Proporsi
konsumsi
pangana
(kg/kapita/tahun)
Proporsi
konsumsi
pangan
(gr/kapita/hari)
Total
konsumsi
setara protein
(gr/kapita/hari)
Sapi 18.8b 0.333 0.912 0.172
Kerbau 18.7b 0.021 0.057 0.011
Kambing 16.6b 0.008 0.023 0.004
Unggas 18.2b 5.086 13.934 2.536
Ikan 17.0c 8.678 23.774 4.042
Telur 12.8b 7.278 19.941 2.552
Susu 3.2 b 4.088 11.201 0.358
Total 9.674
Sumber: aSUSENAS 2012 (diolah);
bSuyatno (2010);
cRismayanthi (2011) (diolah)
Selanjutnya, dilakukan simulasi untuk mengetahui kondisi saat proporsi
kecukupan konsumsi setara protein hewani memiliki nilai yang sama dengan
24
target konsumsi protein hewani pemerintah yaitu sebesar 7.2 gr/kapita/hari. Pada
Tabel 14 menunjukkan kenaikan harga daging sapi sebesar 50.8 persen atau
menjadi Rp 126,200/kg dari harga dasar sebesar Rp 83,676/kg (Tabel 6).
Kenaikan harga daging sapi sebesar 50.8 persen menurunkan proporsi konsumsi
masyarakat menjadi 0.285 kg/kapita/tahun.
Tabel 14 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi
50.8%
Sumber
protein
Perubahan
konsumsi
(%)
Proporsi
konsumsi awal
(kg/kapita/tahun)
Proporsi
konsumsi akhir
(kg/kapita/tahun)
Perubahan
konsumsi
(kg)
Daging -24.901 0.380 0.285 -0.095
unggas -14.413 5.230 4.476 -0.754
ikan -42.292 9.440 5.448 -3.992
telur -24.795 7.640 5.746 -1.894
Susu -12.722 4.190 3.657 -0.533
Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)
Pada Tabel 15 menunjukkan kecukupan konsumsi pangan setara protein
hewani saat terjadi kenaikan harga daging sapi sebesar 50.8 persen. Ketika harga
daging sapi naik sebesar 50.8 persen maka total kecukupan konsumsi setara
protein hewani menjadi 7.251 gr/kapita/hari. Nilai tersebut sama dengan target
konsumsi pangan protein hewani yang ditetapkan pemerintah yaitu sebesar 7.2
gr/kapita/hari.
Tabel 15 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan
harga daging sapi 50.8%
Sumber
protein
Kandungan
protein
(%)
Proporsi
konsumsi
pangana
(kg/kapita/tahun)
Proporsi
konsumsi
pangan
(gr/kapita/hari)
Total
konsumsi
setara protein
(gr/kapita/hari)
Sapi 18.8b 0.263 0.719 0.135
Kerbau 18.7b 0.016 0.045 0.008
Kambing 16.6b 0.007 0.018 0.003
Unggas 18.2b 4.476 12.264 2.232
Ikan 17.0c 5.448 14.925 2.537
Telur 12.8b 5.746 15.742 2.015
Susu 3.2 b 3.657 10.019 0.321
Total 7.251
Sumber: aSUSENAS 2012 (diolah);
bSuyatno (2010);
cRismayanthi (2011) (diolah)
25
Saat nilai kecukupan konsumsi pangan sumber protein hewani masyarakat
sama dengan target konsumsi pangan protein yang ditetapkan pemerintah maka
nilai tersebut menjadi nilai minimum bagi pemerintah untuk menjaga konsumsi
protein hewani masyarakat. Sebab jika nilai konsumsi pangan sumber protein
hewani tersebut berada di bawah standar kecukupan konsumsi yang ditetapkan
pemerintah maka dapat mempengaruhi pola konsumsi serta pemenuhan
kecukupan konsumsi setara protein hewani masyarakat. Hal tersebut dapat
mempengaruhi tujuan pemerintah dalam mengembangkan sumber daya manusia
yang cerdas dan berkualitas.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pola konsumsi rumah tangga di Kabupaten Bogor memiliki urutan mulai dari
yang banyak dikonsumsi adalah ikan-telur-unggas-susu-daging untuk semua
golongan pendapatan. Semakin tinggi golongan pendapatan maka semakin
besar nilai proporsi konsumsi dan proporsi pengeluarannya. Total kecukupan
konsumsi setara protein hewani masyarakat di Kabupaten Bogor pada tahun
2012 sebesar 10.24 gr/kapita/hari dan masih berada di atas target konsumsi
pangan protein hewani
2. Elastisitas harga sendiri pangan sumber protein hewani yang diteliti memiliki
sifat inelastis untuk semua golongan pendapatan. Nilai elastisitas harga terbesar
dimiliki oleh ikan dan elastisitas harga terkecil dimiliki oleh daging jenis
ruminansia. Elastisitas silang menunjukkan bahwa secara keseluruhan komoditi
pangan sumber protein hewani memiliki hubungan komplementer. Nilai
elastisitas pengeluaran pangan sumber protein hewani merupakan barang
normal. Semakin tinggi golongan pendapatannya maka nilai elastisitas
pengeluarannya semakin stabil.
3. Kenaikan harga daging sapi menyebabkan permintaan terhadap komoditi
pangan sumber protein hewani lainnya menurun. Selain itu, semakin
meningkatnya harga daging sapi maka kecukupan konsumsi setara protein
hewani masyarakat semakin berkurang. Apabila harga daging sapi naik sebesar
5.5 persen maka konsumsi protein hewani masyarakat turun menjadi 9.92
gr/kapita/hari dan 9.67 gr/kapita/hari pada kenaikan harga 9.7 persen. Nilai
tersebut berada di atas target pemerintah sebesar 7.2 gr/kapita/hari. Ketika
harga daging sapi naik sebesar 50.8 persen, kecukupan konsumsi masyarakat
bernilai 7.25 gr/kapita/hari dan memiliki nilai yang sama dengan target
konsumsi pangan protein hewani yang ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya,
kenaikan harga sebesar 50.8 persen menjadi batas maksimum pemerintah
dalam menaikkan harga daging sapi untuk dapat memenuhi target konsumsi
protein hewani. Implikasinya, jika pemerintah menaikkan harga lebih tinggi
dari 50.8 persen maka kecukupan konsumsi masyarakat berada dibawah target
pemerintah dan dapat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
26
Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Kepada pemerintah yaitu dengan adanya peningkatan harga daging sapi dapat
mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap pangan sumber protein hewani
sehingga pemerintah diharapkan dapat mengontrol harga pangan sumber
protein hewani supaya target konsumsi pangan protein hewani dapat tercapai.
Pemerintah dapat mengontrol harga daging sapi salah satunya dengan
memperluas peran Bulog.
2. Pemerintah diharapkan dapat menjaga agar kenaikan harga daging sapi tidak
lebih dari 50.8 persen untuk dapat mencapai target konsumsi pangan protein
hewani.
3. Pemerintah juga diharapkan dapat mengendalikan permintaan dan penawaran
terhadap pangan sumber protein hewani agar konsumsi masyarakat dapat lebih
stabil dan merata. Pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan memperkuat
produksi domestik dengan upaya mempermudah akses pembiayaan dan
pemberian insentif bagi peternak, membenahi infrastruktur distribusi, serta
mengembangkan riset di bidang teknologi dan meningkatkan transparansi
dalam mekanisme impor.
27
DAFTAR PUSTAKA
Anindita, R. 2008. Pendekatan Ekonomi untuk Analisis Harga. Jakarta (ID): Kencana
Prenada Media Group.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Persentase pengeluaran rata-rata per kapita
sebulan menurut kelompok barang, Indonesia, 1999, 2002-2013. Jakarta (ID):
BPS RI.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jawa Barat dalam angka 2013. Bandung (ID):
BPS Provinsi Jawa Barat.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Bogor dalam angka 2013. Bogor (ID):
BPS Kabupaten Bogor.
Deaton A, Muellbauer J. 1980. An almost ideal demand system. The American
Economic Review. 70(3): 312-325.
[Ditjennak dan Keswan] Direktoral Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011.
Rencana strategi, direktoral jendral peternakan dan kesehatan hewan 2010-2014
[internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Jakarta (ID):
Ditjennak dan Keswan, hlm 1-58; [diunduh pada 2014 Maret 1]. Tersedia pada:
http://ditjennak.deptan.go.id/download.php-file-renstra-setditjen.pdf.
[DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 1999. UU perlindungan
konsumen[internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Jakarta
(ID): DPR RI, hlm 1-54; [diunduh pada 2014 Maret 1]. Tersedia pada:
http://www.esdm.go.id/prokum/uu/1999/uu-8-1999.pdf.
Eakins JM, Gallagher LA. 2003. Dynamic almost ideal demand systems: an
empirical analysis of alcohol expenditure in Ireland. Applied Economics,
35(9), pp1025-1036. Jabarin AS, Al-Karablieh EK. 2011. Estimating the fresh vegetables demand system
in Jordan: a linear approximate almost ideal demand system. Journal of
Agricultural Science and Technology. 5(3): 322-331.
Jiumpanyarach W. 2011. Estimation of demand system in an AIDS model: The
opportunity of exporting thai agricultural products. European Journal of
Business and Economics. 5: 63-67, 2013.
[Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2013. Peraturan menteri perdagangan
Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang ketentuan impor dan ekspor hewan
dan produk hewan [internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui].
Jakarta (ID): Sekertariat Jederal Kementerian Perdagangan, hlm 1-41;
[diunduh pada 2014 Februari 28]. Tersedia pada:
http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2013/08/30/46m-dagper82013-id-
1378131055.pdf.
[Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2014. Tabel harga kebutuhan pokok nasional
[internet]. Jakarta (ID): Kemendag; [diunduh 2014 Feb 7]. Tersedia pada:
http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/prices/national-price-table. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian nomor:
19/Permentan/OT.140/2/2010 tentang pedoman umum program swasembada
daging sapi 2014 [internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui].
Jakarta (ID): Kementan, hlm 1-56; [diunduh pada 2014 Maret 1]. Tersedia
pada:http://ews.kemendag.go.id/download.aspxfile-permentan19_2010.pdf.
Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya; Edisi Kedelapan.
Jakarta (ID): Erlangga.
28
Nugraha A. 2001. Diversifikasi pangan pokok di Indonesia: penerapan model almost
ideal demand system untuk permintaan pangan pokok [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Rahardja P, Manurung M. 2006. Teori Ekonomi Mikro; Suatu Pengantar, Edisi
Ketiga. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Rismayanthi, C. 2011. Perhitungan nilai kalori bahan makanan (calory intake/energy
input) [internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. hlm 1-18;
[diunduh pada 2014 Februari 28]. Tersedia pada:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/perhitungan-nilai-kaori-bahan-makanan-
Compatibility-Mode.pdf.
Suyatno. 2010. Daftar komposisi bahan makanan (DKBM) Indonesia [internet];hlm
1-25; [diunduh pada 2014 Februari 28]. Tersedia pada:
http://suyatno.blog.undip.ac.id/files/2010/04/DKBM-Indonesia.pdf.
Tash M, Shahraki J, Jangi SN. 2012. Estimating the almost ideal demand system
model for rural households in Iran. International Journal of Academic Research
in Business and Social Sciences. 2(8): 344-355.
29
Lampiran 1 Perintah (editor) membuat model AIDS dalam program SAS
Data sasolah;set work.sasolah;
proc syslin SUR;
a: model w1 = lnP1 lnP2 lnP3 lnP4 lnP5 lnyi lnart D1 D2;
b: model w2 = lnP1 lnP2 lnP3 lnP4 lnP5 lnyi lnart D1 D2;
d: model w4 = lnP1 lnP2 lnP3 lnP4 lnP5 lnyi lnart D1 D2;
e: model w5 = lnP1 lnP2 lnP3 lnP4 lnP5 lnyi lnart D1 D2;
srestrict a.lnP1+ a.lnP2 + a.lnP3+ a.lnP4+ a.lnP5 = 0;
srestrict b.lnP1+ b.lnP2 + b.lnP3+b.lnP4+ b.lnP5 = 0;
srestrict d.lnP1+ d.lnP2 + d.lnP3+d.lnP4+ d.lnP5 = 0;
srestrict e.lnP1+ e.lnP2 + e.lnP3 +e.lnP4+ e.lnP5 = 0;
srestrict a.lnP2 = b.lnP1;
srestrict a.lnP4 = d.lnP1;
srestrict a.lnP5 = e.lnP1;
srestrict b.lnP4 = d.lnP2;
srestrict b.lnP5 = e.lnP2;
srestrict d.lnP5 = e.lnP4;
weight wert;
run;
proc sort data = sasolah;
by D1 D2;
proc summary data = sasolah;
by D1 D2;
var w1 w2 w3 w4 w5;
weight wert;
output out = aa1 mean=;
proc print data = aa1;
run;
proc summary data = sasolah;
var w1 w2 w3 w4 w5;
weight wert;
output out = aa1 mean=;
proc print data = aa1;
run;
30
Lampiran 2 Estimasi regresi permintaan pangan protein hewani dengan model
AIDS (output SAS)
The SAS System The SYSLIN Procedure
Seemingly Unrelated Regression Estimation
Cross Model Covariance
A B D E A 1.37567 0.0501 -0.3700 -0.7372 B 0.05015 12.1550 -1.6708 -3.3372 D -0.37000 -1.6708 22.2519 -5.3905 E -0.73716 -3.3372 -5.3905 19.3583
Cross Model Correlation A B D E
A 1.00000 0.01226 -0.06687 -0.14285 B 0.01226 1.00000 -0.10159 -0.21755 D -0.06687 -0.10159 1.00000 -0.25972 E -0.14285 -0.21755 -0.25972 1.00000
Cross Model Inverse Correlation A B D E
A 1.03459 0.04072 0.12226 0.18840 B 0.04072 1.08167 0.18792 0.28994 D 0.12226 0.18792 1.11782 0.34867 E 0.18840 0.28994 0.34867 1.18055
Cross Model Inverse Covariance A B D E
A 0.752063 0.009958 0.022097 0.036508 B 0.009958 0.088990 0.011426 0.018902 D 0.022097 0.011426 0.050235 0.016800 E 0.036508 0.018902 0.016800 0.060984
31
System Weighted MSE 1.3279 Degrees of freedom 4470 System Weighted R-Square 0.5962
Model A Dependent Variable W1 Label W1
The SAS System The SYSLIN Procedure
Seemingly Unrelated Regression Estimation
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -0.12355 0.035791 -3.45 0.0006 Intercept lnp1 1 0.008941 0.000180 49.68 <.0001 lnp1 lnp2 1 -0.00111 0.000104 -10.67 <.0001 lnp2 lnp3 1 -0.00393 0.000159 -24.74 <.0001 lnp3 lnp4 1 -0.00283 0.000151 -18.72 <.0001 lnp4 lnp5 1 -0.00108 0.000107 -10.12 <.0001 lnp5 lnyi 1 0.022578 0.003133 7.21 <.0001 lnyi lnart 1 0.007433 0.002925 2.54 0.0112 lnart D1 1 -0.00408 0.004014 -1.02 0.3094 D1 D2 1 -0.00288 0.005003 -0.58 0.5651 D2
Model B Dependent Variable W2 Label W2
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.351204 0.104773 3.35 0.0008 Intercept lnp1 1 -0.00111 0.000104 -10.67 <.0001 lnp1 lnp2 1 0.016529 0.000307 53.76 <.0001 lnp2 lnp3 1 -0.00720 0.000340 -21.16 <.0001 lnp3 lnp4 1 -0.00470 0.000302 -15.55 <.0001 lnp4 lnp5 1 -0.00352 0.000249 -14.11 <.0001 lnp5 lnyi 1 -0.00930 0.009215 -1.01 0.3129 lnyi lnart 1 0.009684 0.008660 1.12 0.2637 lnart D1 1 0.015412 0.011930 1.29 0.1966 D1 D2 1 -0.02568 0.014695 -1.75 0.0808 D2
32
Model D Dependent Variable W4 Label W4
The SAS System The SYSLIN Procedure
Seemingly Unrelated Regression Estimation
Parameter Estimates
Parameter Standard ariable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 0.385388 0.140768 2.74 0.0063 Intercept lnp1 1 -0.00283 0.000151 -18.72 <.0001 lnp1 lnp2 1 -0.00470 0.000302 -15.55 <.0001 lnp2 lnp3 1 -0.00588 0.000506 -11.62 <.0001 lnp3 lnp4 1 0.016825 0.000570 29.54 <.0001 lnp4 lnp5 1 -0.00341 0.000340 -10.03 <.0001 lnp5 lnyi 1 -0.02093 0.012405 -1.69 0.0918 lnyi lnart 1 -0.03737 0.011681 -3.20 0.0014 lnart D1 1 0.045948 0.016133 2.85 0.0045 D1 D2 1 0.030981 0.019886 1.56 0.1195 D2
Model E Dependent Variable W5 Label W5
Parameter Estimates Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 -0.01008 0.132043 -0.08 0.9391 Intercept lnp1 1 -0.00108 0.000107 -10.12 <.0001 lnp1 lnp2 1 -0.00352 0.000249 -14.11 <.0001 lnp2 lnp3 1 -0.00684 0.000389 -17.58 <.0001 lnp3 lnp4 1 -0.00341 0.000340 -10.03 <.0001 lnp4 lnp5 1 0.014847 0.000392 37.83 <.0001 lnp5 lnyi 1 0.021820 0.011609 1.88 0.0604 lnyi lnart 1 -0.02695 0.010876 -2.48 0.0134 lnart D1 1 0.020730 0.015043 1.38 0.1685 D1 D2 1 0.002154 0.018536 0.12 0.9075 D2
33
The SAS System The SYSLIN Procedure
Seemingly Unrelated Regression Estimation
Parameter Estimates Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
RESTRICT -1 104253.0 2887.820 36.10 <.0001 RESTRICT -1 7288.315 1426.683 5.11 <.0001 RESTRICT -1 -1639.56 952.5432 -1.72 0.0852 RESTRICT -1 10222.54 1194.439 8.56 <.0001 RESTRICT -1 12368.65 2056.543 6.01 <.0001 RESTRICT -1 -1266.81 1468.479 -0.86 0.3886 RESTRICT -1 10339.41 1701.799 6.08 <.0001 RESTRICT -1 242.4459 1854.749 0.13 0.8961 RESTRICT -1 -1088.23 2233.434 -0.49 0.6263 RESTRICT -1 3248.651 1651.614 1.97 0.0491
The SAS System Obs D1 D2 TYPE FREQ W1 W2 W3 W4 W5 1 0 0 0 184 0.009775 0.07431 0.64256 0.24941 0.03372 2 1 0 0 789 0.010852 0.17523 0.43053 0.24088 0.14252 3 1 1 0 152 0.071089 0.20041 0.27312 0.20525 0.25013
The SAS System
Obs TYPE FREQ W1 W2 W3 W4 W5
1 0 1125 0.016794 0.16187 0.44518 0.23771 0.13844
Keterangan :
W1: rata-rata proporsi pengeluaran daging jenis ruminansia
W2: rata-rata proporsi pengeluaran daging unggas
W3: rata-rata proporsi pengeluaran daging ikan
W4: rata-rata proporsi pengeluaran telur
W5: rata-rata proporsi pengeluaran susu
art : anggota rumah tangga
Pi : Harga Komoditi i
yi : Pendapatan Riil (
)
34
Lampiran 3 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani
dengan retriksi untuk golongan pendapatan secara umum di
Kabupaten Bogor, 2012
Parameter Daging Unggas Ikan Telur Susu
αi -0.1236 0.3512 0.1298 0.3854 -0.0101
bi 0.0226 -0.0093 -0.0746 -0.0209 0.0218
wі 0.0168 0.1619 0.4452 0.2377 0.1384
biwi 0.0004 -0.0015 -0.0332 -0.0050 0.0030
Eii -0.4902 -0.8886 -0.9789 -0.9083 -0.9146
Eiy 2.3444 0.9425 0.8324 0.9120 1.1576
wj 0.0168 0.0168 0.0168 0.0168 0.0168
0.1619 0.1619 0.1619 0.1619 0.1619
0.4452 0.4452 0.4452 0.4452 0.4452
0.2377 0.2377 0.2377 0.2377 0.2377
0.1384 0.1384 0.1384 0.1384 0.1384
Biwj 0.0004 -0.0002 -0.0013 -0.0004 0.0004
0.0037 -0.0015 -0.0121 -0.0034 0.0035
0.0101 -0.0041 -0.0332 -0.0093 0.0097
0.0054 -0.0022 -0.0177 -0.0050 0.0052
0.0031 -0.0013 -0.0103 -0.0029 0.0030
Link matrik γ1 γ2 γ3 γ4 γ5
γ1 0.009 -0.001 -0.014 -0.003 -0.001
γ2 -0.001 0.017 -0.026 -0.005 -0.004
γ3 -0.004 -0.007 -0.024 -0.006 -0.007
γ4 -0.003 -0.005 -0.028 0.017 -0.003
γ5 -0.001 -0.004 -0.023 -0.003 0.015
35
Lampiran 4 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani
dengan retriksi untuk golongan pendapatan rendah di Kabupaten
Bogor, 2012
Parameter Daging Unggas Ikan Telur Susu
αi -0.1236 0.3512 0.1298 0.3854 -0.0101
bi 0.0226 -0.0093 -0.0746 -0.0209 0.0218
wі 0.0098 0.0743 0.6426 0.2494 0.0337
biwi 0.0002 -0.0007 -0.0480 -0.0052 0.0007
Eii -0.1079 -0.7683 -0.9625 -0.9116 -0.5815
Eiy 3.3099 0.8748 0.8839 0.9161 1.6471
wj 0.0098 0.0098 0.0098 0.0098 0.0098
0.0743 0.0743 0.0743 0.0743 0.0743
0.6426 0.6426 0.6426 0.6426 0.6426
0.2494 0.2494 0.2494 0.2494 0.2494
0.0337 0.0337 0.0337 0.0337 0.0337
Biwj 0.0002 -0.0001 -0.0007 -0.0002 0.0002
0.0017 -0.0007 -0.0055 -0.0016 0.0016
0.0145 -0.0060 -0.0480 -0.0134 0.0140
0.0056 -0.0023 -0.0186 -0.0052 0.0054
0.0008 -0.0003 -0.0025 -0.0007 0.0007
Link matrik γ1 γ2 γ3 γ4 γ5
γ1 0.009 -0.001 -0.014 -0.003 -0.001
γ2 -0.001 0.017 -0.026 -0.005 -0.004
γ3 -0.004 -0.007 -0.024 -0.006 -0.007
γ4 -0.003 -0.005 -0.028 0.017 -0.003
γ5 -0.001 -0.004 -0.023 -0.003 0.015
36
Lampiran 5 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani
dengan retriksi untuk golongan pendapatan menengah di Kabupaten
Bogor, 2012
Parameter Daging Unggas Ikan Telur Susu
αi -0.1236 0.3512 0.1298 0.3854 -0.0101
bi 0.0226 -0.0093 -0.0746 -0.0209 0.0218
wі 0.0109 0.1752 0.4305 0.2409 0.1425
biwi 0.0002 -0.0016 -0.0321 -0.0050 0.0031
Eii -0.1987 -0.8964 -0.9808 -0.9092 -0.9176
Eiy 3.0805 0.9469 0.8267 0.9131 1.1531
wj 0.0109 0.0109 0.0109 0.0109 0.0109
0.1752 0.1752 0.1752 0.1752 0.1752
0.4305 0.4305 0.4305 0.4305 0.4305
0.2409 0.2409 0.2409 0.2409 0.2409
0.1425 0.1425 0.1425 0.1425 0.1425
Biwj 0.0002 -0.0001 -0.0008 -0.0002 0.0002
0.0040 -0.0016 -0.0131 -0.0037 0.0038
0.0097 -0.0040 -0.0321 -0.0090 0.0094
0.0054 -0.0022 -0.0180 -0.0050 0.0053
0.0032 -0.0013 -0.0106 -0.0030 0.0031
Link matrik γ1 γ2 γ3 γ4 γ5
γ1 0.009 -0.001 -0.014 -0.003 -0.001
γ2 -0.001 0.017 -0.026 -0.005 -0.004
γ3 -0.004 -0.007 -0.024 -0.006 -0.007
γ4 -0.003 -0.005 -0.028 0.017 -0.003
γ5 -0.001 -0.004 -0.023 -0.003 0.015
37
Lampiran 6 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani
dengan retriksi untuk golongan pendapatan atas di Kabupaten Bogor,
2012
Parameter Daging Unggas Ikan Telur Susu
αi -0.1236 0.3512 0.1298 0.3854 -0.0101
bi 0.0226 -0.0093 -0.0746 -0.0209 0.0218
wі 0.0711 0.2004 0.2731 0.2053 0.2501
biwi 0.0016 -0.0019 -0.0204 -0.0043 0.0055
Eii -0.8968 -0.9082 -1.0127 -0.8971 -0.9625
Eiy 1.3176 0.9536 0.7268 0.8980 1.0872
wj 0.0711 0.0711 0.0711 0.0711 0.0711
0.2004 0.2004 0.2004 0.2004 0.2004
0.2731 0.2731 0.2731 0.2731 0.2731
0.2053 0.2053 0.2053 0.2053 0.2053
0.2501 0.2501 0.2501 0.2501 0.2501
Biwj 0.0016 -0.0007 -0.0053 -0.0015 0.0016
0.0045 -0.0019 -0.0150 -0.0042 0.0044
0.0062 -0.0025 -0.0204 -0.0057 0.0060
0.0046 -0.0019 -0.0153 -0.0043 0.0045
0.0056 -0.0023 -0.0187 -0.0052 0.0055
Link matrik γ1 γ2 γ3 γ4 γ5
γ1 0.009 -0.001 -0.014 -0.003 -0.001
γ2 -0.001 0.017 -0.026 -0.005 -0.004
γ3 -0.004 -0.007 -0.024 -0.006 -0.007
γ4 -0.003 -0.005 -0.028 0.017 -0.003
γ5 -0.001 -0.004 -0.023 -0.003 0.015
Keterangan :
αi : Intercept
bi : Pendapatan riil (Lnyi)
wі : Rata-rata proporsi pengeluaran
Eii : Elastisitas harga sendiri
Eiy : Elastisitas pengeluaran
38
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Zulfati Rahma Magistra, lahir di Kebumen 6 Mei 1992.
Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara. Penulis merupakan putri dari
Bapak Suharman dan Ibu Nur Khasanah. Penulis dibesarkan di Kelurahan
Jaticempaka Kecamatan Pondok Gede, Kabupaten Bekasi.
Penulis memulai pendidikan formal mulai dari Taman Kanak-Kanak di TK
Tunas Nusantara pada tahun 1996. Dilanjutkan ke jenjang pendidikan Sekolah
Dasar di SDN Jatibening VIII Bekasi pada tahun 1998. Kemudian pada tahun
2004 penulis melanjutkan pendidikan ke SMP 109 Jakarta hingga tahun 2007.
Setelah itu pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan di SMA 71 Jakarta
hingga lulus pada tahun 2010. Pada tahun yang sama, penulis menempuh jalur
Ujian Talenta Masuk (UTM) untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi
di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan. Penulis mulai aktif dan masuk menjadi mahasiswa IPB pada 28
Juni 2010. Selama di IPB, penulis masuk menjadi anggota lembaga intra kampus
Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (Hipotesa)
ESP IPB. Penulis juga mengikuti kegiatan eksternal kampus berupa klub fotografi
ilmu ekonomi (THE CHEPHOT) pada divisi Learning and Discussion (LD)
sebagai bendahara divisi.