dalam teori dan praktek di indonesiarepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/buku...
TRANSCRIPT
HUKUM ACARA
PERADILAN ANAK DALAM TEORI DAN PRAKTEK
DI INDONESIA
Dr. Alfitra, SH. MH.
ii
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta
1. Setiap orang yang dengan atau tanpa hak melakukan pelanggaran
terhadap hak ekonomi yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100. 000.000 (seratus juta
rupiah)
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500. 000.000 (lima
ratus juta rupiah).
3. Setiap orang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk peggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1. 000. 000.000
(satu miliar rupiah).
4. Setiap orang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/ atau pidana denda
paling banyak Rp. 4. 000. 000.000 (empat miliar rupiah).
iii
HUKUM ACARA
PERADILAN ANAK DALAM TEORI DAN PRAKTEK
DI INDONESIA
iv
HUKUM ACARA PERADILAN ANAK DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA
Penulis:
Dr. Alfitra, SH. MH.
Editor : Team WADE Publish
Layout : Team WADE Publish
Design Cover : Team WADE Publish
Diterbitkan oleh:
Jln. Pos Barat Km. 1 Melikan Ngimput Purwosari
Babadan Ponorogo Jawa Timur Indonesia 63491
buatbuku.com
0821-3954-7339
Penerbit Wade
buatbuku
Anggota IKAPI 182/JTI/2017
Cetakan Pertama, Agustus 2019
ISBN: 978-623-7548-02-7
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini
dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfoto-
copy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa seizin tertulis dari
Penerbit.
15x23 cm
v
PRAKARTA
Undang-undang peradilan anak N0.3 tahun 1997 yang
sudah diubah dengan undang-undang N0. 11, tahun 2012 ten-
tang sistem peradilan anak. Tindak pidana yang dilakukan oleh
anak dewasa ini semakin meningkat, dengan demikian perlu
pengaturan yang khusus tentang beracara dipengadilan, yang
mana pelakunya adalah anak-anak yang perlu pengaturan se-
cara khusus. Materi buku ini pada umumnya analisis dari per-
aturan Penerapan undangan-undang N0. 11 tahun 2012 dan
mengatur secara khusus tentang Restorative Justice dalam konsep
Diversi tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Berbicara tentang hukum acara peradilan anak, baik
ditingkat Anqusatoir, maupun Aqusatoir harus sesuai dengan
undang-undang yang berlaku, baik dalam teori maupun prak-
tek yang sesungguh menjadi standar operasional ditingkat
penyelidikan dan penyidikan. Pihak-pihak terkait seperti: polisi,
Jaksa, dan Hakim hendaknya menguasai hukum acara per-
adilan anak. Lebih bagi seorang penyidik agar bisa mempre-
diksi apakah seorang anak yang terbukti melakukan tindak
pidana tersebut dapat diberlakukan Diversi atau tidak.
Dilihat dari materi buku ini diharapkan dapat mem-
berikan manfaat baik baik bagi aparat penegak hukum, masya-
rakat luas khususnya kalangan terpelajar, dan bagi mereka
sudah menginjakkan kakinya didunia kampus khususnya di-
fakultas hukum buku ini sangat dibutuhkan. Oleh karena itu
saran yang bersifat membangun sangat diharapkan dalam pe-
nyempurnaan buku ini khususnya bagi penulis sendiri.
vi
vii
DAFTAR ISI
PRAKARTA ..................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................. vii
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................. 1
A. Pendahuluan .......................................................................... 1
B. Diversi ................................................................................... 10
C. Aspek Historis Doktrin Restoratif Justice ......................... 18
D. Konsep Prinsip dan Penggunaan Program
Restorative Justice ................................................................. 23
E. Teori-Teori Pemidanaan .................................................... 33
F. Pemahaman Pertanggung jawaban Pidana Anak ......... 40
BAB II : HISTORIS LAHIRNYA UNDANG-
UNDANG 3 TAHUN 1997 .......................................................... 47
A. Pengertian ............................................................................ 47
B. Hak Anak Menurut Hukum di Indonesia ...................... 50
C. Anak dan Kemampuan Bertanggung Jawab.................. 57
D. Kekerasan Terhadap Anak ................................................ 61
E. Perlindungan Anak ............................................................ 66
F. Peradilan Anak .................................................................... 76
G. Wewenang Pengadilan Negeri ......................................... 80
H. Hukum Positif Yang Terkait Dengan Anak ................... 90
I. Harmonisasi Instrumen Hukum Nasional,
Mengacu pada Standar Instrumen Internasional
tentang Perlindungan Anak. ............................................. 93
J. Peradilan Anak (Junvenile Justice) Menurut
Konvensi Internasional ...................................................... 95
viii
K. Batas Usia Penahanan Anak dan
Pertanggungjawaban Pidana Anak yang Dapat
Diajukan ke Sidang Anak ................................................ 105
L. Korban dan Pelaku sama-sama Anak. .......................... 109
BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG
PENGADILAN ANAK .............................................................. 113
A. Sejarah Pengadilan Anak ................................................. 113
B. Diundangkannya UU. NO. 3 TAHUN 1997
Tentang Pengadilan Anak yang telah dirobah
menjadi UU. No 11 tahun 2012 ....................................... 117
C. Perbedaan Istilah Peradilan Anak Dengan
Pengadilan Anak ............................................................... 119
D. Asas-Asas Pemidanaan Anak ......................................... 121
E. Hubungan Undang-undang Pengadilan Anak
Dengan KUHP dan KUHAP ........................................... 126
F. Aspek-Aspek Pada Pengadilan Anak ........................... 129
G. Pengertian Anak di Bawah Umur menurut
Hukum Positif ................................................................... 136
H. Tempat Pembinaan Anak Nakal .................................... 136
I. Diversi Restorative Justice Sistem Peradilan Anak ..... 137
BAB IV : HUKUM ACARA PENGADILAN ANAK ........... 143
A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada
Tahap Penyidikan ............................................................. 143
B. Penuntutan ......................................................................... 166
C. Pemeriksaan di Persidangan Pengadilan ..................... 169
D. Penjatuhan Pidana Kepada Anak Nakal....................... 174
BAB V : UPAYA HUKUM ........................................................ 179
A. Banding............................................................................... 179
B. Kasasi .................................................................................. 182
C. Peninjauan Kembali.......................................................... 185
ix
D. Sanksi Pidana bagi Penyidik, Jaksa dan Hakim
dalam system Peradilan Anak ........................................ 188
E. Sistem Pemasyarakatan Anak......................................... 192
DAFTAR BACAAN .................................................................... 197
TENTANG PENULIS ................................................................ 201
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keber-
langsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah
bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki
peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara
menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak
patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan
hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah
yang bertujuan melindungi Anak.
Anak perlu mendapat pelindungan dari dampak negatif
perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di
bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian
orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang men-
dasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh
terhadap nilai dan perilaku Anak. Penyimpangan tingkah laku
atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,
antara lain, disebabkan oleh faktor di luar diri Anak tersebut.
Data Anak yang berhadapan dengan hukum dari Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan menunjukan bahwa tingkat kriminali-
tas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psiko-
tropika, dan zat adiktif semakin meningkat.
Prinsip pelindungan hukum terhadap Anak harus sesuai
dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the
Child the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah
Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the
Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan
untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan
dengan hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya
yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada Anak
agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk men-
jadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna
bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek
dan perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum
cenderung merugikan Anak. Selain itu, Undang-Undang ter-
sebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam
masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan per-
3
lindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan
hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma
dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum,
antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, peme-
rintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan Anak
serta memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang ber-
hadapan dengan hukum.
Penyusunan Undang-undang ini merupakan penggantian
terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peng-
adilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3668) yang dilakukan dengan tujuan agar dapat ter-
wujud peradilan yang benar-benar menjamin pelindungan ke-
pentingan terbaik terhadap Anak yang berhadapan dengan
hukum sebagai penerus bangsa. Undang-undang ini mengguna-
kan nama Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai
badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan per-
adilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan per-
adilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Kons-
titusi. Namun, Undang-undang ini merupakan bagian dari
lingkungan peradilan umum.
Adapun substansi yang diatur dalam Undang-undang ini,
antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses
peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-
undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan
Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari
dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat
4
menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan
dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam
lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diper-
lukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal
tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan
Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan
Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak
yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama
mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibat-
kan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak
berdasarkan pembalasan. Dari kasus yang muncul, ada kalanya
Anak berada dalam status saksi dan/atau korban sehingga
Anak Korban dan/atau Anak Saksi juga diatur dalam Undang-
Undang ini. Khusus mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan
berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang
masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai
tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12
(dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat
dijatuhi tindakan dan pidana.
Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi
pelindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan
dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak
yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan
perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaan-
nya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami
masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para
penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupaya-
kan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui
Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Undang-
undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur
mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang
5
berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai
dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Kelangsungan dan berhasilnya pembangunan sangat ber-
gantung kepada situasi, kondisi keamanan, stabilitas dan ke-
adaan negara yang konsisten. Oleh karena itu perlu usaha
memelihara dan mengembangkan stabilitas nasional yang sehat,
dinamis di bidang politik, ekonomi, serta sosial. Stabilitas di
bidang politik akan nampak dengan tegak tumbuhnya kehidup-
an konstitusional demokratis berdasarkan hukum, dan selanjut-
nya meningkatkan usaha memelihara ketertiban serta kepastian
hukum yang mampu mengayomi masyarakat. Pembangunan
nasional yang merupakan proses modernisasi membawa dam-
pak positif maupun negatif. Banyak peristiwa yang menarik
perhatian masyarakat akhir-akhir ini yaitu dengan semakin
banyaknya perbuatan-perbuatan pidana (openbare order), delin-
kuensi/kenakalan anak-anak atau meningkatnya devinisi serta
anak-anak terlantar.
Kecenderungan meningkatnya kualitas maupun kualitas
pelanggaran baikterhadap ketertiban umum maupun pelang-
garan terhadap ketentuan Undang-undang oleh pelaku-pelaku
muda usia, atau dengan perkataan lain meningkatnya kenakal-
an remaja yang mengarah kepada tindakan kriminal, men-
dorong kita untuk lebih banyak memberi perhatian akan pe-
nanggulanagan serta penganannya, khusus di bidang Hukum
Pidana, (Anak), Beserta Hukum Acaranya. Hal ini erat
hubungannya dengan perlakuan khusus kepada pelaku tindak
pidana yang masih muda usianya.
Masalah pembinaan generasi muda merupakan bagian
integrasi dari maslah pembangunan. Oleh sebab itu sebagian
masalah pembinaan yaitu pembinaan yustisial terhadap gene-
rasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian dan
pembahasan tersendiri. Dalam proses pengembangan tidak
jarang timbul peristiwa-peristiwa yang menyebabkan anak
6
dalam keadaan terlantar maupun terjadinya perbuatan-per-
buatan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur berupa
ancaman/pelanggaran terhadap ketertiban umum dalam
masyarakat, bahkan ada kecenderungan adanya penyalagunaan
anak bagi kepentingan-kepentingan tertentu yang justru di-
lakukan oleh para orang tua atau pembinanya. Oleh sebab itu
anak nakal dan anak terlantr perlu diselesaikan melaluisuatu
badan yaitu Lembaga Peradilan khusus, agar ada jaminan
bahwa penyelesaiantersebut dilakukan benar-benar untuk ke-
sejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masya-
rakat tanpa mengabaikan terlaksananya Hukum dan Keadilan.
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan pe-
nerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia
bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan
Sumber Daya Manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu
memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-
dasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, diperlukan
pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial sera
perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahaya-
kan mereka dan bangsa dimasa depan. Dalam berbagai hal
upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada
permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-
kadang dijumpai penyimpangan perilaku dikalangan anak,
bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan
yang melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial ekonomi.
Disamping itu, terdapat pula anak yang karena satu dan lain hal
tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian fisik,
mental, sampai sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai
tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga
7
anak melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat me-
rugikan dirinya dan atau masyarakat.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan
pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komuni-
kasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubah-
an gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa
perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat
yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih
sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengem-
bangan sikap, prilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari
orang tua, wali, atas orang tua asuh lingkungannya yang
kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.
Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai per-
buatan dan tingkah laku Anak Nakal, perlu dipertimbangkan
kedudukan anak dengan ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun
anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya
berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keada-
an sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena
itu, dalam mengahadapi masalah Anak Nakal, orang tua dan
masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab
terhadap pembinaan, pendidikan dan pengembangan perilaku
anak tersebut.
Hubungan anak orang tua dengan anaknya merupakan
suatu hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis mau-
pun mental dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap
Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jengan dipisahkan
dari orang tuanya. Apabila karena hubungan orang tua dan
anak kurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat me-
rugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari
orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pe-
8
misahan tersebut sama-sama demi pertumbuhan dan perkem-
bangan tersebut di atas demi pertumbuhan.
Disamping pertimbangan tersebut di atas, demi per-
tumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan
pembedaan perlakuan didalam hukum acara dan ancaman dan
hukum pidananya. Dalam hubungan ini pengturan pengecua-
lian dari ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana yang lama pelak-
sanaan penahanannya di tentukan sesuai dengan kepentingan
anak dan pembedaan ancaman pidana yang ditentukan oleh
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang penjatuhan pidana-
nya di tentukan ½ (Satu per dua) dan maksimum ancaman
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan pen-
jatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak
diberlakukan terhadap anak.
Perbedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam
Undang-undang ini dimaksudkan untuk lebih melindungi dan
mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa
depannya yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut
dimaksudkan untuk memberi kesempatankepada anak agar
melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk men-
jadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab,berguna bagi
diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Khusus me-
ngenai sanksi terhadap anak dalam Undang-undang ini di-
tentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak
yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun
hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang
tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial atau diserahkan
kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai
umur diatas 12 (dua belas) sampai 14 (empat belas) tahun
dijatuhkan pidana.
Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atau per-
tumbuhan dan perkembangn fisik, mental, dan sosial anak.
9
Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demu
perlindungan terhadap anak, maka perkara Anak Nakal dari
sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan selanjutnya,
wajib dilakukan oleh pejabat khusus benar-benar memahami
masalah anak.
Dalam penyelesaian perkara Anak Nakal, Hakim wajib
mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan
yang dihimpun oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengenai
cara pribadi maupun keluarga dari anak yang bersangkutan.
Dengan adanya hasil laporan tersebut, diharapkan Hakim dapat
memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan
yang seadil-adilnya bagi anak yang bersangkutan. Putusan
hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak
yang bersangkutan, oleh sebab itu Hakim harus yakin benar,
bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi sakah satu
dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak
menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya
sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan
keluarga bangsa dan negara.
Untuk lebih menetapkan upaya pembinaan dan pem-
berian bimbingan bagi Anak Nakal yang telah diputus oleh
Hakim, maka anak tersebut ditampung di Lembaga Permasya-
rakatan Anak. Berbagai pertimbangan tersebut di atas serta
dalam rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan per-
lindungan dan kepentingan anak, maka perlu diatur ketentuan-
ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus
bagi anak dalam lungkungan Peradilan Umum. Dengan
demikian, Pengadilan Anak diharapkan memberikan arah yang
tepat dalam pembinaan dan perlindungan terhadap anak.
10
B. Diversi
1. Sejarah Diversi
Di dalam penjelasan umum UU No 11 tahun 2012
disebutkan: UU No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak di-
maksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang ber-
hadapan dengan hukum agara anak dapat menyongsong masa
depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan pada
anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk
menjadi manusia mandiri, bertanggung jawab dan berguna
pada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Namun dalam pelaksanaanya anak diposisikan sebagai objek
dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
cenderung merugikan anak.
Untuk menghindari efek atau dampak negative proses
peradilan pidana terhadap anak ini, United Nations Standrad
Minimum Rules for the Administator of Juvenile (The Beijing Rules)
telah memberikan pedoman sebagai upaya menghindari efek
negative tersebut, yaitu dengan memberikan kewenangan
kepada aparat penegak hukum mengambil tindakan kebijakan
dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak
dengan tidak mengambil jalan formal, anatar lain menghentikan
atau tidak meneruskan atau melepaskan dari proses pengadilan
atau mengembalikan atau menyerahkan kepada masyarakat
dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Tindakan
ini disebut diversi (diversion). Dengan adanya tindakan diversi
ini, diharapkan akan mengurangi dampak negative akibat
keterlibatan anak dalam proses pengadilan tersebut.
Ide diversi yang dicanangkan dalam SMRIJ (The Beijing
Rules) Sebagai standard internasional dalam penyelenggaran
peradilan anak ini. Di Indonesia ide diversi telah menjadi salah
satu rekomendasi dalam Seminar Nasional Peradilan anak yang
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Pajajaran
Bandung tanggal 5 oktober 1996.
11
Secara formal ide diversi tersebut belm dicantumkan
dalam UU No. 3 tahun 1997 dan baru dicantumkan dalam UU
No. 11 tahun 2012.
2. Pengertian Diversi
Diversi yaitu menurut Undang-undang No.11 Tahun 2012
telah diberikan tafsiran autentik pada pasal 1 angka 7 tentang
pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke
proses diluar peradilan pidana. Akan tetapi, dalam naskah
Akademik RUU Sistemm Pradilan Pidana anak dikemukakan
bahwa diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus
anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses
pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka atau ter-
dakwa atau pelaku tindak pidana dengan korban yang difasi-
litasi oleh keluarga dan atau masyarakat, pembimbing kemasya-
raktkan anak, polisi, jaksa, atau hakim.
Berdasarkan pada United Nations Standard Minimum Rules
for the Administration of Juveniles Justice (The Beijing Rules), apa
yang dimaksud dengan diversi adalah pemberian kewenangan
kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-
tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan
masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal
antara lain menghentikan atau meneruskan atau melepaskan
dari proses peradilan pidana atau mengembalikan atau menye-
rahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan lainnya.
3. Tujuan Diversi
Tujuan diversi yang dijabarkan dalam pasal 6 UU No. 11
tahun 2012 adalah:
1. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
2. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
3. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
12
5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
4. Perkara yang diupayakan diversi
Pasal 7 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 menentukan bahwa
pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara
anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan diversi. Dalam hal
ini yang dimaksud dengan frasa ‘’perkara anak’’ dalam pasal 7
ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 adalah perkara tindak pidana
yang diduga dilakukan anak. Adapun yang dimaksud dengan
‘’perkara tindak pidana’’ adalah perkara tentang perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa me-
langgar larangan tersebut. Apakah pada tingkat penyelidikan
sudah dapat dilakukan diversi? Menurut Pasal 1 angka 5
KUHAP yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serang-
kaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan me-
nurut cara yang diatur dalam undnag-undang ini.
Pedoman pelaksanaan KUHAP mengemukakan bahwa
penyelidikan sebagai subfungsi penyidikan atau cara pelaksana-
an penyidikan, maka penyelidikan mendahului tindakan lain,
yaitu untuk menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga
tindak pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Dengan
demikian, penggunaan upaya paksa dapat dibatasi hanya dalam
keadaan terpaksa demi kepentingan umum yg lebih luas.
Penyelidikan menurut fungsi teknis reserse adalah salah satu
kegiatan penyidikan yang bersifat teknis dan dapat bersifat
tertutup serta belum menyentuh bidang KUHAP. Dengan mem-
perhatikan apa yang dimaksud dengan oenyelidikan menurut
pasal 1 angka 5 KUHAP Dan pedoman pelaksanaan KUHAP di
atas, dapat diketahui bahwa pada tingkat penyelidikan belum
mungkin atau belum dapat diupayakan diversi, karena pada
tingkat penyelidikan baru diupayakan kegiatan yang berupa
13
mencari dan menemukan peristiwa yang diduga merupakan
tindak pidana dan belum sampai menemukan siapa yang
diduga melakukan tindak pidana tersebut.
Apakah diversi hanya terbats dapat diupayakan sampai
pada tingkat pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri
saja? Apakah diversi dapat pula diupayakan pada tingkat
pemeriksaan di pengadilan Tinggi. Jika hanya dilihat pada
perumusan Pasal 7 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 saja, maka ke-
simpulannya adalah diversi memang haya terbatas dapat di-
upayakan sampai tingkat pemeriksaan perkara anak di
Pengadilan Negeri, karena adanya frasa’’ pemeriksaan perkara
anak di Pengadilan Negeri’’ dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 11
Tahun 2012.
Dengan demikian, diversi tidak dapat diupayakan pada
pemeriksaan di Pengadilan Tinggi, apalagi perkara tindak
pidana anak selalu diajukan ke pengadilan Negeri dengan
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Pasal 6 KUHAP).
Akan tetapi, jika dingat bahwa tujuan dari diversi adalah seperti
yang disebutkan dalam pasal 6 UU No. tahun 2012 dan pe-
meriksaan di Pengadilan Tinggi sifatnya devolutif, artinya
seluruh pemeriksaan perkara dipindahkan dan di ulang oleh
Pengadilan Tinggi yangbersangkutan, maka ada alas an untk
membenarkan bahwa diversi dapat pula diupayakan pada
tingkat pemeriksaan di Pengadilan Tinggi.
Jika ketentuan yang terdapat dalam pasal 7 ayat 1
dikaitkan dengan pasal 7 ayat 2 UU No. 11 tahun 2012, maka
dapat diketahui bahwa perkara anak wajib diupayakan diversi
pada waktu dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksa-
an siding di pengadilan negeri adalah perkara anak yang tindak
pidananya:
1. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (Tujuh) tahun,
dan penjelasan Pasal 7 ayat 2 huruf a UU No. 11 tahun 2012
14
menyebutkan bahwa ketentuan ‘’pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun’ mengacu pada hukum pidana;
2. Bukan merupakan pengulanagna dan tindak pidana.
Penjelasan pasal 7 ayat 2 huruf b UU No. 11 tahun 2012
menyebutkan bahwa pengulangan tindak pidana dalam ke-
tentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak,
baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk
tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi.
Dengan demikian, perkara anak yang tidak wajib di
upayakan diversi adalah perkara anak yang tidak pidananya
dilakukan:
1. Diancam dengan pidana penjara diatas 7 tahun
2. Merupakan pengulangan tindak pidana.
Pengertian ‘’tidak wajib diupayakn diversi’’ tersebut
adalah tidak bersifat imperative atau fakultatif.
Artinya perkara anak yang tindak pidana nya di ancam pidana
penjara diatas 7 tahun atau merupakan pengulangan tindak
pidana, dapat saja diupayakan diversi.
5. Musyawarah
Pasal 8 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 menentukan,
bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan
melibatkan anak dan dan orang tua atau walinya, korban dan
atau orang tua atau walinya, pembimbing kemasyarakatan,
serta pekerja sosial professional berdasarkan pendekatan keadil-
an restorative. Musyawarah yaitu pembahasan bersama dengan
maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ketetntuan yang ter-
dapat dalam pasal 8 (1) No. 11 tahun 2012 adalah proses diversi
dilakukan melalui pembahasan bersama dengan maksud
15
mencapai keputusan mengenai diversi yang akan diterapkan
untuk penyelesaian suatu perkara anak.
Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 tahun 2012 juga ditentukan
bahwa proses diversi wajib memperhatikan
1. Kepentingan korban
2. Kesehjateraan dan tanggung jawab anak
3. Penghindaran stigma negative
4. Penghindaran pembalasan
5. Keharmonisan masyarakat
6. Kepatutan, kesulitan, dan ketertiban umum.
Dalam melakukan diversi, oleh pasal 9 ayat (1) UU No. 11
tahun 2012 ditentukan penyidik, penuntut umum, dan hakim
harus mempertimbangkan antara lain sebagi berikut.
a. Kategori tindak pidana. Dalam penjelasan paal 9 ayat (1)
huruf a UU No. 11 tahun 2012 disebutkan bahwa ketentuan
ini merupakan indicator bahwa semakin rendah ancaman
pidana semakin tinggi prioritas diversi.
b. Umur anak Dalam penjelasan pasal 9 ayat (1) huruf b UU
No. 11 tahun 2012 disebutkan bahwa umur anak dalam
ketentuan ini maksudkan untuk menentukan prioritas
pemberian diversi dan semakin muda umur anak semakin
tinggi prioritas diversi.
c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari BAPAS
d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat
6. Hasil Kesepakatan Diversi
Dalam pasal 11 UU No. 11 tahun 2012 ditentukan bahwa
hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk antara lain;
a) Perdamaian dengan atau tanpa diganti kerugian
b) Penyerahan kembali kepada orang tua atau wali\
16
c) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 bulan atau
d) Pelayanan masyarakat
Pasal 12 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 yang dimaksud
dengan pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pe-
meriksaan adalah:
1. Pada tingkat penyidikan: pejabat polisi Negara RI yang di-
tunjuk sebagai penyidik oleh kepala kepolisian untuk per-
kara anak yang bersangkutan
2. Pada tingkat penuntutan: jaksa yang ditunjuk sebagai
penuntut umum oleh kepala kejaksaan negeri untuk per-
kara anak yang bersangkutan
3. Pada tingkat pemeriksaan sidang pengadilan: hakim yang
ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri untuk memeriksa
dan memutus perkara anak yang bersangkutan.
Sebagai akibat lebih lanjut, maka yang dimaksud dengan
‘’penetapan’’ dalam pasal 12 ayat (2) UU No. 11 tahun 2012
adalah penetapan ketua pengadilan. Menurut pasal 12 ayat (3)
UU No. 11 tahun 2012, ketua pengadilan mengeluarkan pe-
netapan dalam waktu paling lama 3 hari terhitung sejak di-
capainya kesepakatan diversi, yang selanjutnya menurut pasal
12 ayat (3) UU No. 11 tahun 2012 penetapan tersebut dalam
waktu paling lama 3 hari terhitung sejak ditetapkan, di sam-
paikan kepada pembimbing kemasyarakatan, penyidik, pe-
nuntut umum, dan hakim. Setelah menerima penetapan ter-
sebut, menurut Pasal 12 ayat (4) UU No 11 tahun 2012, penyidik
menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau penuntut
umum menerbitkan penghentian penuntutan. Oleh karena itu,
pasal 13 UU No. 11 tahun 2012 ditentukan bahwa proses diversi
peradilan pidana anak dilanjutkan dalam hal:
17
a. Proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau
b. Kesepakatan diversi tidak dilaksanakan
Dalam hal ini yang dimaksud dengan ‘’proses diversi
peradilan pidana anak dilanjutkan’’ adalah perkara anak yang
beersangkutan untuk dilakukan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan sidang pengadilan untuk mendapatkan putusan.
Ad. a
Maksud dari ‘’proses diversi tidak menghasilkan ke-
sepakatan’’ adalah proses diversi yang sedang dilakukan tidak
sampai dapat menghasilkan kesepakatan seperti yang di-
maksud oleh pasal 11 UU No. 11 tahun 2012. Sebagai akibat jika
proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan, maka penyi-
dikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara pidana anak tetap
dilanjutkan. Sebagai bukti pertanggungjawaban, menurut pe-
nulis selanjutnya para pihak yang terlibat untuk memperoleh
kesepakatan diversi, membuat pernyataan bersama yang isinya
tidak memperoleh kesepakatan dan ditandatangani bersama
sebagai bahan pertimbangan nantinya jika seandainya benar-
benar proses diversi peradilan pidana anak ternyata kemudian
dilanjutkan.
Ad. b
Maksud dari ‘’kesepakatan diversi tidak dilaksanakan’’
adalah dalam perkara anak tersebut sudah diperoleh kese-
pakatan diversi seperti yang disebutkan dalam pasal 11 UU No.
11 tahun 2012, tetapi kemudian ternyata tidak dilaksanakan.
Pasal 14 ayat (2) UU No.11 Tahun 2012 menentukan bahwa
selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan
diversi dilaksanakan pembimbing kemasyarakatan wajib me-
lakukan pendampingan dan pengawasan.
18
Jika sampai kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam
waktu yang ditentukan, maka pasal 14 ayat (3) UU No.11 tahun
2012 menentukan bahwa pembimbing kemasyarakatan segera
membuat laporan kepada penyidik, penuntut umum, dan
hakim bahwa kesepaktan diversi tidak dilaksanakan. Sebagai
tindak lanjut adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim akan
mencabut atau menyatakan tidak berlaku bagi penetapan peng-
hentian penyidikan, penetapan penghentian penuntutan, dan
penetapan penghentian pemeriksaan yang telah dikeluarkan,
yang selanjutnya proses peradilan pidana anak diteruskan.
7. Pengawasan
Jika pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, menurut pasal 55
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dibebankan kepada ketua peng-
adilan, maka pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan
kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung
pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan.
Penjelasan pasal 14 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan atasan langsung
antara lain kepala kepolisian, ketua kejaksaan, dan ketua peng-
adilan.
C. Aspek Historis Doktrin Restoratif Justice
1. Hukum pidana dan perubahan sosial
a. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
(hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua
peradaban manusia itu sendiri. Adapula yang menye-
butnya sebagai “older philosophy of crime control”. Dilihat
sebagai suatu masalah kebijakan, ada yang memper-
masalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi,
dicegah atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi
pidana.
19
b. H.L. Packer: pidana merupakan “peninggalan ke-
biadaban kita masa lalu” (a vestige of our savage past)
yang seharusnya dihindari.
c. M. Cherif Bassiouni: sejarah hukum pidana penuh
dengan gambaran-gambaran perlakuan yang oleh ukur-
an-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui
batas. Gerakan pembaharuan pidana di Eropa Kon-
tinental dan di Inggris terutama justru merupakan raeksi
humanistis terhadap kekejaman pidana.
d. Smith dan Hogan: teori retributif tentang pemidanaan
merupakan “a relic of barbarism”.
e. Faham determinisme: orang tidak mempunyai kehendak
bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena di-
pengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis
maupun faktor lingkungan kemasyarakatan oleh karena
itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas per-
buatannya dan tidak dapat dikenakan pidana melainkan
diperlukan tindakan-tindakan perawatan yang ber-
tujuan memperbaiki. Sebaliknya hukum pidana meng-
anut indeterminisme yang pada dasarnya berpendapat,
bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini
merupakan sebab dari segala keputusan kehendak.
Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada ke-
salahan. Apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada
pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan.
f. Alf Ross: pandangan determinisme melahirkan gerakan
modern mengenai kampanye anti pemidanaan (“the
campaign against punishment”) dengan slogan yang ter-
kenal “the strugle against punishment” atau “abolition
punishment” yang menurut Kinberg bahwa kejahatan
pada umumnya merupakan perwujudan daripada ke-
tidak-normalan atau ketidak-matangan pelanggar yang
20
lebih memerlukan tindakan perawatan (treatment)
daripada pidana.
g. Karel Menninger: perlu diadakan pergeseran dari “sikap
memidana” (punitive attitude) ke arah “sikap mengobati”
(therapeutic attitude).
F. Gramatica: hukum perlindungan sosial harus menggantikan
hukum pidana yang ada sekarang dan mengintegrasikan
individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap
perbuatan. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan peng-
hapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan diganti-
kan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial.
Ajaran Gramatika menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak
pidana, penjahat dan pidana kurungan.
Penerapan sanksi pidana pencabutan kemerdekaan
mengandung lebih banyak aspek-aspek negatif daripada aspek-
aspek positifnya. Hal ini terbukti bahwa penjatuhan pidana
pencabutan kemerdekaan menimbulkan hal-hal negatif sebagai
berikut:
a. Dehumanisasi Pelaku Tindak Pidana:
1) tujuan pidana penjara pertama adalah menjamin peng-
amanan narapidana dan kedua adalah memberikan ke-
sempatan-kesempatan kepada narapidana untuk di-
rehabilitasi.
2) hakekat dari fungsi penjara tersebut di atas sering kali
mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan
pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana
yang terlalu lama di dalam lembaga, berupa ketidak-
mampuan narapidana untuk melanjutkan kehidupan-
nya secara produktif di dalam masyarakat.
21
b. Prisonisasi (Prisonization) Narapidana.
Proses prisonisasi narapidana dimulai ketika narapidana
masuk dalam lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasya-
rakatan berisi kehidupan penjara sebagai suatu sistem sosial
informal yang disebut sebagai sub kultur narapidana (inmate
subculture). Sub kultur narapidana ini mempunyai pengaruh
besar terhadap kehidupan individual narapidana, khususnya
proses sosialisasi narapidana tersebut kedalam masyarakat
narapidana (the inmate community) yang oleh Clemmer disebut
sebagai prisonisasi. Dalam proses prisonisasi narapidana baru
(new comer) harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan
yang berlaku di dalam masyarakat narapidana. Disamping itu
ia harus mempelajari kepercayaan, perilaku-perilaku dari
masyarakat tersebut, yang pada akhirnya menimbulkan mental
penjahat.
c. A place of contamination
Menurut Bernes dan Teeters bahwa penjara telah tumbuh
menjadi tempat pencemaran (a place of contamination) yang
justru harus dihindari. Di dalam penjara, penjahat kebetulan
(accidental offenders), pendatang baru (novices in crime) dirusak
melalui pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis. Bahkan
personil yang paling baikpun telah gagal untuk menghilangkan
keburukan yang sangat besar dari penjara ini.
d. Pidana Berjangka Pendek
Pidana berjangka pendek akan sangat merugikan di
dalam pembinaan sebab disamping kemungkinan hubungan-
hubungan yang tidak dikehendaki, pidana penjara jangka
pendek jelas tidak mendukung kemungkinan untuk
mengadakan rehabilitasi narapidana terhadap anak.
22
e. Stigmatization
Kerugian lain yang sangat dirasakan dari penerapan
pidana penjara adalah terjadinya stigmatisasi (stigmatization).
Menurut Hoefnagels, stigma terjadi bilamana identitas sese-
orang terganggu atau rusak disebabkan oleh pandangan masya-
rakat sekitar terhadapnya. Secara psikhologis stigmatisasi me-
nimbulkan kerugian terbesar bagi pelaku tindak pidana, karena
dengan demikian publik mengetahui bahwa ia seorang pen-
jahat, dengan segala akibatnya. Bersamaan dengan kegagalan
sistem peradilan pidana yang didasari dinamika perubahan dan
perkembangan hukum pidana timbul suatu paradigma peng-
hukuman yang disebut sebagai restorative justice. Dalam
restorative justice pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian
yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan
juga masyarakat.
Program utamanya adalah “a meeting place for people” guna
menemukan solusi perbaikan hubungan dan kerusakan akibat
kejahatan. Keadilan yang dilandasi perdamaian (peace) pelaku,
korban dan masyarakat itulah yang menjadi moral etik
restorative justice, oleh karena itu keadilannya dilakukan sebagai
“Just Peace Principle”. Prinsip ini mengingatkan kita bahwa
keadilan dan perdamaian pada dasarnya tidak dipisahkan.
Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan, keadilan tanpa
perdamaian adalah bentuk baru penganiayaan/tekanan. Dikata-
kan sebagai Jus Peace Ethics karena pendekatan terhadap
kejahatan dalam restorative justice bertujuan untuk pemulihan
kerusakan akibat kejahatan (it in an attempt to recovery justice),
upaya ini dilakukan dengan mempertemukan korban, pelaku
dan masyarakat.
23
D. Konsep, Prinsip dan Penggunaan Program Restorative
Justice
1. Konsep Restorative Justice
Restorative Justice merupakan reaksi terhadap teori retri-
butive yang berorientasi pada pembalasan dan teori neo klasik
yang berorientasi pada kesetaraan sanksi pidana dan sanksi
tindakan. Dalam teori retributif, sanksi pidana bersumber pada
ide “mengapa diadakan pemidanaan”. Dalam hal ini sanksi
pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan (peng-
imbalan) yang sesungguhnya bersifat reaktif terhadap sesuatu
perbuatan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada seorang pelanggar, atau seperti dikatakan oleh J. E.
Jonkers bahwa sanksi pidana dititik beratkan pada pidana yang
diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan. Sementara sanksi
tindakan bersumber pada ide “untuk apa diadakan pemidanaan
itu”. Jika dalam teori retributif sanksi pidana tertuju pada per-
buatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang
bersangkutan menjadi jera), maka sanksi tindakan terarah pada
upaya memberi pertolongan agar dia berubah.
Sanksi tindakan bertujuan lebih bersifat mendidik dan
berorientasi pada perlindungan masyarakat. Retributive Justice
oleh banyak orang dilihat sebagai “a philosophy, a process, an idea,
a theory and intervention”. Restorative Justice adalah peradilan
yang menekankan pada perbaikan atas kerugian yang disebab-
kan atau terkait dengan tindak pidana. Restorative Justice di-
lakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua
pihak. (stake holders). Patut dikemukakan beberapa pengertian
Restorative Justice berikut ini:
a. Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing
the harm caused or revealed by criminal behaviour. It is best
accomplished through cooperative processes that include all
stakeholders. (Keadilan restoratif adalah teori keadilan yang
menekankan perbaikan kerusakan yang disebabkan oleh
24
perilaku kriminal. Yang paling baik hal ini dilakukan
melalui proses kerjasama yang mencakup semua pihak
yang berkepentingan).
b. Restorative justice is a valued-based approach to responding to
wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person
harmed, the person causing the harm, and the affected commu-
nity. (Keadilan restoratif adalah nilai/prinsip pendekatan
terhadap kejahatan dan konflik, dengan fokus keseim-
bangan pada orang yang dirugikan, penyebab kerugian,
dan masyarakat yang terkena dampak).
c. Howard Zehr: Viewed through a restorative justice lens, “crime is
a violation of people and relationships. It creates obligations to
make things right. Justice involves the victim, the offender, and
the community in a search for solutions which promote repair,
reconciliation, and reassurance. (Dilihat melalui lensa keadilan
restoratif, kejahatan adalah pelanggaran terhadap hubung-
an kemasyarakatan. Kejahatan menciptakan kewajiban
untuk memperbaikinya. Keadilan melibatkan korban, pe-
laku, dan masyarakat dalam mencari solusi yang me-
nawarkan perbaikan, rekonsiliasi, dan jaminan).
d. Burt Galaway dan Joe Hudson: A definition of restorative
justice includes the following fundamental elements: ”first, crime
is viewed primarily as a conflict between individuals that result
in injuries to communities by reconciling the parties and repair-
ing the injuries caused by the dispute; third, the criminal justice
should facilitate active participation by the victim, offenders, and
their communities in order to find solutions to the conflict.
(Definisi keadilan restorative meliputi beberapa unsur
pokok: Pertama, kejahatan dipandang sebagai suatu konflik
antara individu yang dapat mengakibatkan kerugian pada
korban, masyarakat, maupun pelaku sendiri; kedua, tujuan
dari proses peradilan pidana harus menciptakan per-
damaian dalam masyarakat, dengan jalan perujukan semua
pihak dan mengganti kerugian yang disebabkan oleh per-
25
selisihan tersebut; ketiga, proses peradilan pidana memu-
dahkan peranan korban, pelaku, dan masyarakat untuk
menemukan solusi dari konflik itu).
e. Kevin I. Minor dan J.T. Morrison: Restorative Justice may be
defined as a response to criminal behavior that seeks to restore the
loses suffered by crime victims and facilitate peace and tranquility
among opposing parties. (Keadilan restoratif dapat digambar-
kan sebagai suatu tanggapan kepada perilaku kejahatan
untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh para
korban kejahatan untuk memudahkan perdamaian antara
pihak-pihak saling bertentangan).
f. Tony Marshall: Restorative justice is a process whereby all the
parties with a stake in a particular offense come together to
resolve collectively how to deal with the offermath of the offense
and its implications for the future. (Keadilan restoratif adalah
proses Kevin Minor and J.T. Morrison, A Theoritical Study
and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe
Hudson, eds., Restorative Justice: International Perspectives,
(Monsey, New York: Ceimical Justice-Press and Kugler Publi-
cations, 1996), Tony Marshall, Restorative Justice: An Overview,
(London: Home Office Research Development and Statistic
Directorate, 1999).
(dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu pelang-
garan tertentu datang bersama-sama untuk menyelesaikan
secara kolektif bagaimana menghadapi akibat dari pelang-
garan dan implikasinya untuk masa depan).
g. B.E. Morrison: Restorative justice is a from of conflict resolution
and seeks to make it clear to the offender that the behavior is not
condoned, at the same time as being supportive and respectful of
the individual. (Keadilan restoratif merupakan bentuk pe-
nyelesaian konflik dan berusaha untuk menjelaskan kepada
pelaku bahwa perilaku tersebut tidak dapat dibenarkan,
kemudian pada saat yang sama juga sebagai langkah untuk
mendukung dan menghormati individu). Muladi: Keadilan
26
restoratif merupakan suatu pendekatan terhadap keadilan
atas dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab, keter-
bukaan, kepercayaan, harapan, penyembuhan, dan “inclu-
sivenes” dan berdampak terhadap pengambilan keputusan
kebijakan sistem peradilan pidana dan praktisi hukum di
seluruh dunia dan menjanjikan hal positif ke depan berupa
sistem keadilan untuk mengatasi konflik akibat kejahatan
dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan serta
keadilan restoratif dapat terlaksana apabila fokus perhatian
diarahkan pada kerugian akibat tindak pidana, keprihatin-
an yang sama dan komitmen untuk melibatkan pelaku dan
korban, mendorong pelaku untuk bertanggungjawab, ke-
sempatan untuk dialog antara pelaku dan korban, me-
libatkan masyarakat.
Dampak kejahatan dalam proses retroaktif, mendorong
kerjasama dan reintegrasi. Bagir Manan: Secara umum pengertian
restorative justice adalah penataan kembali sistem pemidanaan
yang lebih adil, baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat.
Di dalam proses restorative justice terkait erat dengan penerapan
Empowerment, yang terdapat beberapa pengertian, diantaranya
adalah:
a. Barton: “the action of meeting, discussing and resolving criminal
justice matters in order to meet material and emotional needs. To
him, empowerment is the power for poeple to choose between the
different alternatives that available to resolve one’s own matter.
The option to make such decisions should be present during the
whole process” (Pemberdayaan sebagai tindakan untuk me-
lakukan pertemuan, membahas dan menyelesaikan masa-
lah peradilan pidana dalam rangka memenuhi kebutuhan
materi dan emosi. Pemberdayaan adalah kekuatan bagi
orang untuk memilih antara berbagai alternatif yang ter-
sedia untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dan ke-
27
putusan untuk memilih itu tersedia dalam proses
Restorative Justice).
b. Van Ness and Strong: The genuine opportuinity to participate
in and effectively influence the response of the offence. (Pem-
berdayaan adalah kesempatan yang sesungguhnya/sejati
untuk berpartisipasi dan secara efektif memberi pengaruh
dalam menghadapi kejahatan).
c. To Zehr: Being empowered means for victims to be heard and to
have the power to play a role in the whole process. It also means
that victim have the opportunity to define their own needs and
how and when those needs should be met. (Diberdayakan ber-
arti korban didengar dan memiliki kekuatan untuk ber-
peran dalam seluruh proses. Ini juga berarti bahwa korban
memiliki kesempatan untuk mendefinisikan kebutuhan
mereka sendiri dan bagaimana serta kapan kebutuhan
tersebut harus dipenuhi).
d. Larson and Zehr: Explain empowerment as the power to
participle in the case but also as the capacity to identify needed
resources, to make decision on aspects relating to one’s case and to
follow through on those decision. (Pemberdayaan sebagai
kekuatan untuk berpartisipasi dalam kasus tersebut tetapi
juga sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi sumber
daya yang dibutuhkan, untuk mengambil keputusan pada
aspek yang berkaitan dengan kasus seseorang dan untuk
menindak lanjuti keputusan tersebut).
e. Toews and Zehr: Describe victim empowerment as a possibility to
be heard, to tell one’s story and to ariculate one’s needs. (Pem-
berdayaan digambarkan sebagai kemungkinan korban
untuk didengar, untuk menceritakan kisahnya dan menge-
mukakan kebutuhannya).
f. Bush and Folger: Define empowerment as an experience of
awareness of the own self-worth and the ability to deal with
difficulties. (Pemberdayaan diartikan sebagai kesadaran ter-
28
hadap pengalaman dirinya sendiri dan kemampuan untuk
mengatasi kesulitan).
2. Prinsip-Prinsip Restorative Justice
Ada tiga prinsip dasar untuk membentuk Restorative
Justice yaitu:
The three principles that are involved in restorative justice include:
there be a restoration to those who have been injured, the offender has
an opportunity to be involved in the restoration if they desire and the
court system’s role is to preserve the public order and the community’s
role is to preserve a just peace. Berdasarkan statement di atas, tiga
prinsip dasar Restorative Justice adalah
a. Terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita ke-
rugian akibat kejahatan;
b. Pelaku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemu-
lihan keadaan (restorasi);
c. Pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan
masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian yang
adil.
3. Program Restorative Justice
Praktik dan program Restorative Justice tercermin pada
tujuannya yang menyikapi tindak pidana dengan:
a. Identifying and taking steps to repair harm mengidentifikasi
dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki ke-
rugian/kerusakan)
b. Involving all stakeholders, (melibatkan semua pihak yang
berkepentingan) dan;
c. Transforming the traditional relationship between communities
and their government in responding to crime (mengubah se-
suatu yang bersifat tradisional selama ini mengenai
hubungan masyarakat dan pemerintah dalam menanggapi
kejahatan).
29
4. Penggunaan Program Restorative Justice
a. Program keadilan restoratif dapat digunakan dalam
setiap tahap sistem peradilan pidana;
b. Proses keadilan restoratif hanya digunakan apabila ter-
dapat bukti-bukti yang cukup untuk menuntut pelaku
tindak pidana dan disertai dengan kebebasan dan ke-
sukarelaan korban pelaku. Dalam hal ini termasuk
kebebasan pelaku dan korban untuk memundurkan diri
dari persetujuan setiap saat selama proses. Kesepakatan
juga harus dicapai secara sukarela dan memuat kewajib-
an-kewajiban yang wajar serta proporsional;
c. kesepakatan didasarkan atas fakta-fakta dasar yang
berkaitan dengan kasus yang terkait, dan partisipasi
pelaku tidak dapat digunakan sebagai bukti pengakuan
kesalahan dalam proses hukum berikutnya;
d. Disparitas akibat ketidak-seimbangan, baik kekuatan
maupun perbedaan kultural harus diperhatikan dalam
melaksanakan proses keadilan restoratif;
e. keamanan para pihak harus diperhatikan dalam proses
keadilan restoratif;
f. Apabila proses restoratif tidak tepat atau tidak mungkin
dilakukan, kasus tersebut harus dikembalikan kepada
pejabat sistem peradilan pidana, dan suatu keputusan
harus diambil untuk segera memproses kasus tersebut
tanpa penundaan. Dalam hal ini pejabat peradilan
pidana harus berusaha untuk mendorong pelaku untuk
bertanggungjawab berhadapan dengan korban dan
masyarakat yang dirugikan dan terus mendukung usaha
reintegrasi korban dan pelaku dalam masyarakat.
30
5. Pelaksanaan Program Restorative Justice.
Pedoman dan standar yang dirumuskan harus jelas me-
lalui “responsive regulation” berupa produk legislatif, yang
mengatur penggunaan proses keadilan restoratif. Asas-asas
yang dimuat dalam pedoman tersebut adalah:
a. Kondisi kasus yang berkaitan diarahkan masuk dalam
proses keadilan restoratif;
b. Penanganan kasus setelah masuk dalam proses keadilan
restoratif;
c. Kualifikasi, pelatihan dan penilaian terhadap fasilitator;
d. Administrasi program keadilan restoratif;
e. Standar kompetensi dan “rules of conduct” yang Mengen-
dalikan pelaksanaan keadilan restoratif.
6. Prosedur Keadilan Dasar Yang Menjamin Keadilan dan
Kejujuran Pelaku dan Korban Dalam elaksanaan Keadilan
Restoratif
a. Di bawah hukum nasional korban dan pelaku harus me-
miliki hak untuk berkonsultasi dengan onsultan hukum
sehubungan dengan proses keadilan restoratif dan
apabila perlu, untuk menterjemahkan dan menafsirkan.
Anak-anak di bawah umur memiliki hak untuk dibantu
orang tua atau pendamping;
b. Sebelum menyepakati untuk ikut serta dalam proses
keadilan restoratif para pihak harus diberi informasi
lengkap tentang hakhaknya, hakekat proses dan kon-
sekuensinya yang mungkin terjadiakibat keputusannya;
c. Baik korban maupun pelaku tidak dapat dipaksa atau
dibujuk dengan cara-cara tidak jujur untuk ikut serta
dalam proses keadilan restoratif atau untuk menerima
hasilnya.
31
7. Hal-hal Lain Yang Harus Diperhatikan dalam Restroratif
a. Konfidentialitas proses harus dijaga, kecuali atas per-
setujuan pihak-pihak harus terbuka.
b. Hasil dari kesepakatan yang timbul dalam proses
keadilan restoratif apabila diperlukan perlu diawasi oleh
lembaga judisial, atau digabungkan dalam keputusan
judisial dengan status yang sama dengan keputusan
judisial dan harus menghalangi penuntutan dalam kasus
yang sama;
c. Apabila tidak tercapai kesepakatan antara para pihak,
kasus tersebut harus dikembalikan pada proses per-
adilan pidana dan diproses tanpa ditunda-tunda. Ke-
gagalan untuk mencapai kesepakatan sendiri tidak akan
digunakan untuk proses peradilan selanjutnya;
d. Kegagalan untuk melaksanakan kesepakatan yang di-
buat dalam rangka proses keadilan restoratif harus di-
kembalikan dalam proses restoratif atau peradilan
pidana dan proses harus segera dilaksanakan tanpa pe-
nundaan. Kegagalan untuk melaksanakan kesepakatan
berbeda dengan keputusan pengadilan, tidak dapat di-
gunakan sebagai pembenaran untuk menjatuhkan
pidana yang lebih berat dalam proses peradilan selan-
jutnya;
e. Fasilitator harus melaksanakan tugasnya secara tidak
memihak, dengan menghormati martabat pihak-pihak.
Dalam rangka kapasitas tersebut, fasilitator harus men-
jamin bahwa pihak-pihak harus berbuat dengan meng-
hormati satu sama lain dan memungkinkan pihak-pihak
untuk menemukan penyelesaian yang relevan antar
mereka;
f. Fasilitator harus memiliki suatu pemahaman yang baik
terhadap kultur setempat dan masyarakat serta apabila
32
diperlukan memperoleh pelatihan sebelumnya sebelum
melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator;
g. Negara harus merumuskan strategi nasional dan ke-
bijakan untuk mengembangkan keadilan restoratif dan
memajukan budaya yang kondusif untuk mendaya
gunakan keadilan restoratif diantara penegak hukum,
lembaga sosial dan pengadilan maupun masyarakat
setempat;
h. Konsultasi harus dilakukan antar lembaga peradilan
pidana dan administrator proses keadilan restoratif un-
tuk mengembangkan pemahaman bersama dan mem-
perkuat efektivitas keadilan restoratif dan hasilnya,
untuk meningkatkan perluasan programprogram resto-
ratif yang digunakan, dan menjajagi kemungkinan cara-
cara agar pendekatan keadilan restoratif dapat di-
gabungkan dalam praktek peradilan pidana;
i. Negara bersama masyarakat madani (civil society) harus
mengembangkan riset untuk mengevaluasi program-
program keadilan restoratif dengan menilai tingkat
penggunaan hasilnya, dukungan sebagai pelengkap atau
alternatif proses peradilan pidana dan menciptakan
hasil positif bagi semua pihak. Proses keadilan restoratif
sangat dibutuhkan untuk melaksanakan perubahan
secara konkrit. Negara harus meningkatkan secara ber-
kala dan modifikasi yang diperlukan dari program-
programnya. Hasil dari riset dan evaluasi harus menjadi
pedoman kebijakan selanjutnya dan pengembangan
program;
j. Sekali lagi ditegaskan bahwa segala asas dasar di atas
tidak akan berpengaruh terhadap hak pelaku atau
korban yang telah diatur dalam hukum nasional atau
hukum internasional. Hambatan-hambatan dalam
33
Penerapan Restorative Justice yang terjadi diantaranya
adalah:
1. Korban yang dapat diidentifikasi
2. Partisipasi suka rela oleh korban
3. Pelaku yang menerima tanggung jawab untuk
perilaku kriminalnya.
4. Partisipasi pelaku yang tidak dipaksakan
Hambatan lain menurut Thomas Raffles dalam bukunya
berjudul History of Java adalah bahwa orang Jawa (maksudnya
Indonesia) itu pendendam dan oleh karena itu sulit untuk diajak
bermusyawarah untuk mencapai mufakat dan sulit untuk
berkompromi. Masyarakat Indonesia menghendaki agar semua
orang yang melakukan kejahatan harus masuk penjara supaya
jera dan tidak melakukan kejahatan atau tindak pidana.
E. Teori-Teori Pemidanaan
Dasar pembenaran dan Tujuan pidana secara tradisional
teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu:
1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/
vergeldings theorieen).
Dalam Teori absolut menyatakan bahwa pidana merupa-
kan res absoluta ab effectu futuro (keniscayaan yang terlepas dari
dampaknya dimasa depan). Karena dilakukan kejahatan, maka
harus dijatuhkan hukuman, quia peccatum (karena telah me-
lakukan dosa). Menurut Kant dan Hegel, ciri khas dari teori
absolut adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana,
sekalipun pemidanaan. sebenarnya tidak berguna, bahkan
bilamanapun keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih buruk.
Kejahatan adalah peristiwa yang berdiri sendiri; ada kesalahan
yang harus dipertanggungjawabkan dengan cara ini persoalan
34
dituntaskan. Kesalahan (dosa) hanya dapat ditebus dengan
menjalani penderitaan/nestapa Jadi pandangannya diarahkan
ke masa lalu (backward looking), bukan ke masa depan. Karel O.
Christiansen mengidentifikasi lima ciri pokok teori absolut,
yakni:
a. The purpose of punishment is just retribution (tujuan pidana
hanyalah sebagai balasan);
b. Just retribution is the ultimate aim, and not in itself a means to
any ather aim, as for instance social welfare which from this point
of view is without any significance whatsoever (Pembalasan
adalah tujuan utama dan didalamnya tidak meangandung
sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan
masyarakat);
c. Moral guilt is the only qualification for punishment (kesalahan
moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan);
d. The penalty shall be proportional to the moral guilt of the offender
(Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku);
e. Punishment point into the past, it is pure reproach, and it pur-
pose is not to improve, correct, educate or resocialize the offender
(Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang
murni dan bertujuan untuk memperbaiki, mendidik dan
meresosialisasi pelaku).
Menurut Nigel Walker para penganut teori retributif ini
dapat pula dibagi dalam beberapa golongan, yaitu:
a. Penganut teori retributif yang murni (The pure retributivist)
yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan
dengan kesalahan si pembuat. b.
b. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi)
yang dapat pula dibagi dalam
1) penganut teori retributif yang terbatas (the limiting
retributivist) yang berpendapat: pidana tidak harus
cocok/sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak
35
boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan
kesalahan terdakwa.
2) penganut teori retributif yang distributif (retribution in
distribution), disingkat dengan sebutan teori “distri-
butive” yang berpendapat: pidana janganlah dikenakan
pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak
harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan.
Prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan” di hormati,
tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya
dalam hal “strict liability”. Terhadap pertanyaan tentang
sejauh manakah pidana perlu diberikan kepada pelaku
kejahatan, teori retributif menjelaskan sebagai berikut:
a. Bahwa dengan pidana tersebut akan memuaskan
perasaan balas dendam si korban, baik perasaan
adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya.
Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak
dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak meng-
hargai hukum. Tipe retributif ini disebut vindicative.
b. Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringat-
an kepada pelaku kejahatan dan anggota masya-
rakat yang lain bahwa setiap ancaman yang me-
rugikan orang lain atau memperoleh keuntungan
dari orang lain secara tidak wajar, akan menerima
ganjarannya. Tipe retributif ini disebut fairness.
c. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya
kesebandingan antara apa yang disebut dengan the
gravity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan.
Tipe retributif ini disebut dengan: proportionality. Ter-
masuk ke dalam kategori the gravity ini adalah kekejaman dari
kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada
dalam kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja (dolus)
ataupun karena kelalaiannya (culpa). Lebih lanjut Nigel Walker
36
dalam “Sentencing in A Rational Society” menegaskan bahwa
asumsi lain yang dibangun atas dasar retributive adalah beratnya
sanksi harus berhubungan dengan besarnya kerugian yang di-
timbulkan oleh pelanggar. Asumsi ini dimasukkan dalam
undang-undang yang memberi sanksi-sanksi pidana maksimum
yang lebih kecil untuk usaha-usaha yang tidak berhasil dari
pada usaha-usaha yang berhasil. John Kaplan dalam bukunya
Chriminal justice membagi teori retributif menjadi dua:
a. The Revenge Theory (teori pembalasan).
b. The Expiation Theory (teori penebusan dosa).
Pembalasan mengandung arti, bahwa hutang si penjahat
“telah dibayarkan kembali” (the criminal is paid back), sedangkan
penebusan dosa mengandung arti bahwa si penjahat “mem-
bayar kembali hutangnya” (the criminal pays back). Jadi penger-
tian tidak jauh berbeda. Menurut John Kaplan tergantung dari
cara orang berpikir pada saat menjatuhkan suatu pidana/
sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu karena kita “meng-
hutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan “ia ber-
hutang sesuatu kepada kita”. Demikian pula Johannes
Andenaes menegaskan bahwa “penebusan” tidak sama dengan
“pembalasan dendam” (revenge). Pembalasan berusaha me-
muaskan hasrat balas dendam dari sebagian para korban atau
orang-orang lain yang simpati kepadanya, sedangkan pene-
busan dosa, lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan
keadilan.
2. Teori relatif atau teori tujuan.
Teori relatif atau teori tujuan Teori relatif berporos pada
tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu: preventif, deterrence dan
reformatif. Menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai
“teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence) atau
menurut Nigel Walker disebut aliran reduktif (the “reductive”
37
point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini
ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana bukanlah
sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan ke-
pada pelaku tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat. Dasar pembenaran adanya pidana adalah terletak
pada tujuan. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est”
(karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur”
(supaya orang jangan melakukan kejahatan). Oleh karena ber-
orientasi pada tujuan yang bermanfaat, maka teori ini disebut
teori tujuan (Utilitarian Theory). Tujuan pencegahan kejahatan
dibedakan antara “special deterrence” (pengaruh pidana ter-
hadap terpidana) dan “general deterrence” (pengaruh pidana
terhadap masyarakat pada umumnya).
Teori tujuan pidana yang berupa “special deterrence”
dikenal dengan sebutan ”Reformation atau Rehabilitation
Theory”. Dalam teori relatif ini dikenal dua pidana/sanksi, yaitu
sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam kedudukan yang
setara. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan
sanksi tindakan ini merupakan hakekat asasi atau ide dasar dari
konsep double track system yang menjadi ciri dari teori relatif.
Sanksi pidana terkait dengan unsur pencelaan/penderitaan dan
sanksi tindakan terkait dengan unsur pembinaan. Kedua-
duanya sama-sama penting. Pemidanaan sebagai suatu tindak-
an terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara moral
bukan terutama karena si terpidana telah terbukti bersalah,
melainkan karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-
konsekuensi positif bagi si terpidana, korban dan juga orang
lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga sebagai
teori konsekuensialisme. Menurut Karl O. Christiansen ada
beberapa ciri pokok teori relative ini, yakni:
38
a. The purpose of punishment is prevention (tujuan pidana adalah
pencegahan);
b. Prevention is not a final aim, but a means to a more suprems aim,
e.g. social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi
hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat);
d. Only breaches of the law which are imputable to the perpretator
as intent or negligence quality for punishment (hanya pelang-
garan-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan yang meme-
nuhi syarat untuk adanya pidana);
e. The penalty shall be determined by its utility as an instrument for
the prevention of crime (Pidana harus ditetapkan berdasar
tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan);
f. The punishment is prospective, it points into the future; it may
contain as element of reproach, but neither reproach nor retri-
butive elements can be accepted if they do not serve the prevention
of crime for the benefit or social welfare. (Pidana melihat ke
depan atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur pen-
celaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila
tak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat).
3. Teori modern.
Teori modern Teori modern berorientasi pada “hukum
perlindungan sosial” yang harus menggantikan hukum pidana
yang ada sekarang. Teori modern menolak konsepsi-konsepsi
tentang tindak pidana, penjahat dan pidana serta menolak fiksi-
fiksi yuridis dan tekhnik-tekhnik yuridis yang terlepas dari
kenyataan sosial. Atas dasar doktrin ini, teori modern melahir-
kan apa yang disebut dengan istilah “Restorative Justice”.
Apabila ditinjau secara historis lahirnya ide restorative justice,
dapat dilihat ragaan di bawah ini: Teori Relatif (Dad-Dader
Strafrecht) Jenis Sanksi “Double Track System” Punishment
39
Treatment Tidak mencapai hasil maksimal/gagal Melahirkan
Teori modern
▪ Berorientasi pada “social defence law”
▪ Menolak konsep tindak pidana
▪ Menolak fiksi-fiksi dan teknis-teknis yang terlepas dari
kenyataan social Dalam perkembangannya melahirkan Resto-
rative Justice pemberdayaan pihak-pihak yang terlibat akibat
terjadinya tindak pidana (pelaku, korban, keluarga pelaku
dan korban, masyarakat, dan aparat penegak hukum)
▪ musyawarah untuk mencapai mufakat
▪ pemulihan keadaan yang berupa penggantian kerugian yang
diakibatkan oleh tindak pidana
▪ solusi atas dasar win-win solution Individualisasi Pidana/
Reintegrasi Sosial Terkait dengan unsur pencelaan/pen-
deritaan Terkait dengan Unsur pembinaan Untuk mem-
bedakan Restorative Justice dengan Retributive Justice dapat
dilihat di bawah ini: Restoratif Justice Model Retributive Justice
Model
1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang
terhadap orang lain, dan diakui sebagai konflik.
2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggung-
jawaban dan kewajiban pada masa depan.
3. Sifat Normatif dibangun atas dasar dialog dan negoisasi
4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, re-
konsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama.
5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak,
dinilai atas dasar hasil.
6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial.
7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses
restoratif.
40
Teori modern dalam perkembangannya mengalami per-
geseran kearah abolisionisme pidana yang dikenal dengan
Restorative Justicese sebagaimana telah disebutkan di atas.
F. Pemahaman Pertanggung jawaban Pidana Anak
Menurut Roeslan Saleh dipidana atau tidaknya seseorang
yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada
saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah
seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang
punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana,
akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang
dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak
dipidana.
Mengenai asas kesalahan, Moeljatno dan Roeslan Saleh,
memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban
pidana yang disebut dengan ajaran dualisme. Ajaran dualisme
memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana ada dua tahap
yang perlu dilakukan, yaitu:
1. Hakim harus menanyakan, apakah terdakwa telah melaku-
kan yang dilarang oleh aturan undang-undang dengan
disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melangar
aturan ini.
2. Apakah pertanyaan di atas menghasilkan suatu kesimpulan
bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan undang-undang, maka ditanyakan lebih
lanjut, apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan
atau tidak mengenai perbuatan itu.
Pertanggung jawaban pidana mensyaratkan pelaku mam-
pu bertanggung jawab. Seseorang yang tidak dapat dikenakan
pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertang-
gungjawaban pidana. Berikut yang menjadi pertanyaan adalah
kapan seseorang itu dikatakan mampu bertanggungjawab dan
41
apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan
bertanggungjawab itu.
KUHP menentukan masalah kemampuan bertanggung-
jawab dihubungkan dengan pasal 44 KUHP. Pasal 44 KUHP
menentukan “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat
dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit”.
Berdasarkan pasal 44 Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk
adanya kemapuan bertanggungjawab harus adanya kemam-
puan untuk membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan
buruk, sesuai hokum dan yang melawan hukum, dan kemam-
puan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan ten-
tang baik dan buruknya perbuatan tadi. Syarat pertama faktor
akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diper-
bolehkan dan yang tidak. Syarat yang kedua adalah faktor
perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah
lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan
yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang tidak
mampu menetukan kehendaknya, menurut kehendaknya, me-
nurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia
tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak
dapat dipertanggungjawabkan, menurut pasal 44, ketidak-
mampuan tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau
sakit dalam tubuhnya.
Selanjutnya, mengenai kesengajaan dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (Criminee Wetboek) tahun 1809 dican-
tumkan “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau yang di-
perintahkan oleh undang-undang”. Memorie van Toeliching
(MvT) Menteri kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel wetboek
1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia tahun 1915) dijelaskan sengaja diartikan dengan sadar
dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.
42
Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan,
kemauan, kehendak dan perbuatan merupakan pelaksanaan
dari kehendak. De will(kehendak) dapat ditujukan terhadap
perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua
teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori
kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.
Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk
mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-un-
dang, sedangkan menurut teori pengetahuan atau teori mem-
bayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu
akibat karena manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan
atau membayangkan adanya suatu akibat, adanya “sengaja”
apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan
dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu
tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan
yang terlebih dahulu telah dibuat. Kedua teori Moeljatno
tersebut lebih cenderung kepada teori pengetahuan dan mem-
bayangkan, alasannya adalah:
Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi
pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang terlebih
dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) ten-
tang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu
juga dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah,
maksud dan tujuan perbuatannya. Konsekuensinya ialah,
bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang dikehendaki
oleh teKonsekuensinya ialah, bahwa untuk menentuksn suatu
perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, (1) harus dibuk-
tikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk ber-
buat dan bertujuan yang hendak dicapai (2) antara motif,
perbuatan dan tujuan harus ada hubunga kausal dalam batin
terdakwa. Secara umum ilmu hukum pidana membedakan 3
(tiga) macam kesengajaan, yaitu:
43
1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet alsoggmerk)
adalah suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana
yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Menu-
rut Jonkers kesengajaan ini merupakan bentuk yang paling
murni dan sederhana.
2. Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni se-
seorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan
suatu tindak pidana, dan menyadari bahwa apabila per-
buatan itu dilakukan, maka perbuatan lain yang juga
merupakan pelanggaran pasti terjadi.
3. Kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan ke-
insyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu per-
buatan lain yang merupakan tindak pidana. Kesengajaan
ini dikenal pula dengan sebutan voorwardelijk opzet atau
dolus eventualis.
Mengenai kelalaian, Moeljatno mengutip pendapat Smint
yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WsV
sebagai berikut:
“Pada umumnya kejahatan wet mengharuskan bahwa
kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang
dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu
mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum
mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan
banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak terhadap me-
reka yang tidak berhati-hati, yang toledor. Dengan pendek,
yang menimbulkan keadaan itu karena kealpaannya. Di sini
sikap batin orang yang menimbulkan keadaan dilarang itu
bukanlah menentang larang tersebut. Dia tidak menghendaki
atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahan-
nya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga
menimbulkan hal yang dilarang, lelah bahwa ia kurang
mengindahkan larangan itu.”
44
Dari apa yang diutarakan oleh Smint tersebut di atas,
Moeljatno menyimpukan bahwa kesengajaan adalah kesalahan
yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi dasarnya sama,
yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana adanya kemampuan bertanggung jawab, dan tidak ada-
nya alasannya pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesenga-
jaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan,
kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati
dalam melakukan sesuatu yang objektif klausal yang me-
nimbulkan keadaan yang dilarang.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggung-
jawaban pidana seorang anak, hal ini berarti bahwa terhadap
anak tersebut dapat dikenakan pemidanaan. Pemidanaan ter-
hadap anak hendaknya harus memperhatikan perkembangan
seorang anak. Hal ini disebabkan bahwa anak tidak dapat/
kurang perpikir dan kurangnya pertimbangan atas perbuatan
yang dilakukannya. Disamping itu, anak yang melakukan per-
buatan pidana tidak mempunyai motif pidana dalam melaku-
kan tindakannya yang sangat berbeda dengan orang dewasa
yang melakukan tindak pidana karena memang ada motif
pidananya.
Pemberian pertanggungjawaban terhadap anak harus
mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik
anak di masa yang akan datang. Penanganan yang salah menye-
babkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena
anak adalah generasi penerus bangsa dan cita-cita negara.
Undang-undang No.3 tahun 1997 Bab III memuat sanksi pidana
dan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak. Sebagaimana
ditentukan dalam pasal 23 UU No.3 Tahun 1997 pidan ayng
dapat dijatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana
tambahan. Pidana pokok berupa (a) Pidana penjara, (b) Pidana
kurungan (c) Pidana denda (d) pidana pengawasan. Sedangkan
45
pidana tambahan berupa permpasan barang-barang tertentu
dan ataupembayaran ganti rugi.
Sesuai dengan Undang-undang No.3 Tahun 1997/11
tahun 2012 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang anak
adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (4). Sedang-
kan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur
terhadap anak yang masih berumur 8 sampai dengan 12 tahun,
akan diberi tindakan; (1) dikembalikan kepada orang tuanya, (2)
ditempatkan pada organisasi sosial atau (3) diserahkan kepada
negara. Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk sistem
peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi sebagai-
mana termuat dalam Undang-undang No.35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik
bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkem-
bangannya, serta penghargaan terhadap anak.
Pada pasal 64 Undang-undang No.23 tahun 2002 yang
telah dirobah dengan N0 35 tahun 2014 tentang perlindungan
anak juga mengatur perlindungan terhadap anak yaitu:
1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan
martabat dan hak-hak anak
2. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini
3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus
4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang
tebaik bagi anak
5. Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap per-
kembangan anak yang berhadapan dengan hukum. Pem-
berian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
orang tua atau keluarga.
6. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan untuk menghindari labelisasi.
46
Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang me-
lakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak dapat
dilakukan penahanan. Undang-undang nasional memberikan
peluang dilakukannya penahanan terhadap anak pelaku tindak
pidana. Contohnya pasal 43 ayat 2 Undang-undang No.3 tahun
1997 menyatakan bahwa “Penangkapan anak nakal dilakukan
guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu)
hari”. Dalam pasal 44 ayat 2 menyebutkan bahwa “Penahanan
hanya berlaku utuk paling lama 20 hari. Dalam ayat 3 menye-
butkan bahwa “Apabila diperlukan guna kepentinan pemerik-
saan yang belum selesai, atas permintaan penyidik dapat di-
perpanjang oleh penuntut umum yang berwenang, untuk
paling lama 10 hari”. Selanjutnya dalam ayat 4 menyatakan
bahwa “Dalam jangka waktu 30 hari penyidik sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat 3 sudah harus menyerahkan berkas
perkara pada pihak penuntut umum. Jika dalam jangka waktu
30 hari polisi belum menyerahkan berkas perkara pada pihak
penuntut umum, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahan-
an demi hokum”. Selama anak ditahan, anak harus berada di-
tempat khusus dengan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial
anak harus tetap dipenuhi.
197
DAFTAR BACAAN
Bambang Purnomo. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, Indonesia, 1982
B. Simanjuntak. Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung: Alumni, 1973.
Kartono, Kartini. Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali, 1992.
Siregar, Bismar. Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali, 1986. Siregar, Bismar. Telaah tentang Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Wanita. Yogyakarta: Pusat Studi Kriminologi F. H. UII, 1986.
Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. cet. ke-2, Bandung: Penerbit Alumni, 1986.
Suparni, Niniek. Existensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan cet. ke-1, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Sudarto, 1980, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung
S. Sapto. UU RI. No. 1 Tahun 1995 tentang Pemilihan Umum. cet. ke-3, Semarang: Aneka Ilmu, 1986.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek: Dengan Tambahan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan. Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.
R. Sugandhi. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional,
R. Wiyono. Sistem Peradilan Anak di Indonesia
Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta: Fusco, 1955.
198
Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.02.UM.09.08 Tahun 1980 tentang Perunjuk Pelaksanaan bantuan Hukum
Instruksi bersama Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian RI Nomor: Instr-006/JA/19/1981, Nomor: Pol.: Ins/17/X/81 tentang Peningkatan Usaha Pengamanan dan Kelancaran Penyidangan Perkara-Perkara Pidana
Instruksi bersama Mahkamah Agung RI, Menteri Kehakiman RI, dan Jaksa Agung RI Nomor: KMA/35/III/1981, Nomor: M.01.PW.07.10 Tahun 1981, Nomor: Instr/ 001/JA/3/1981 tentang peningkatan Tertib Penyidangan dan Penyelesaian Perkara-Perkara Pidana
Keputusan menteri Kehakiman RI Nomor: M.08.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pelimpahan Wewenang Pengang-katan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Surat Keputusan No.: Skep/619/XII/1983 tentang Penentuan Penunjukan Penyidik dan Pengangkatan penyidik membantu dalam Lingkungan Kepolisian RI
Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan, dan Tata Tertib Rumah Tahanan egara
Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.06.UM.01.06 tahun 1983 tentang tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang sidang
Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.07.UM.01.06 tahun 1983 tentang Pakaian, Atribut Pejabat Peradilal, dan Penasihat Hukum
199
Undang-Undang republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 ten-tang Pengadilan Anak Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Redaksi Bumi Aksara. Undang-undang Pokok Perkawinan. cet. ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Redaksi Citra Umbara. Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bandung: Citra Umbara, 2003.
Redaksi Sinar Grafika. Undang-undang Peradilan Anak. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Redaksi Sinar Grafika. UU Kesejahteraan Anak. Jakarta: Sinar Grafika, 1997.
200
201
TENTANG PENULIS
Alfitra: lahirkan diujung Sumatra bagian barat perbatasan
Samudra Hindia, Air Bangis Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra
Barat menyelesaikan Strata S1 di kota Padang tepatnya di
Universitas Bung Hatta, Strata S2 di Universitas Muhammadiyah
Jakarta dan Strata S3 di Universitas Islam Bandung. Mengabdikan
diri sebagai Dosen PNS di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarat sejak tahun 2002 dan juga mengajar di
beberapa perguruan tinggi, UPVJ, UNPAM, UBHARA JAYA dan
STIH IBLAM.
Doktor ilmu hukum pidana ini juga sering juga memberikan
keterangan ahli pidana baik ditingkat penyidikan maupun peng-
adilan. Dan sekarang mengasuh mata kuliah: hukum pidana,
hukum acara pidana, hukum pembuktian, sister peradilan pidana,
delik-delik khusus di luar KUHP dan kriminologi, beberapa karya
buku yang sudah diterbitkan diantaranya: Hapusnya Hak
Menuntut dan Menjalankan Pidana, Hukum Pembuktian dalam
Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia. Modus Operasi
Tindak Pidana Khusus di luar KUHP, Konflik Sosial dalam
Masyarakat Moderen.
202