dalam teori dan praktek di indonesiarepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/buku...

62
HUKUM ACARA PERADILAN ANAK DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA Dr. Alfitra, SH. MH.

Upload: others

Post on 24-Feb-2020

22 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

HUKUM ACARA

PERADILAN ANAK DALAM TEORI DAN PRAKTEK

DI INDONESIA

Dr. Alfitra, SH. MH.

Page 2: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

ii

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014

Tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang dengan atau tanpa hak melakukan pelanggaran

terhadap hak ekonomi yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 9

ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana

dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun

dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100. 000.000 (seratus juta

rupiah)

2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta

atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi

Pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c,

huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara

Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500. 000.000 (lima

ratus juta rupiah).

3. Setiap orang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau

Pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi

Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a,

huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk peggunaan Secara

Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat)

tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1. 000. 000.000

(satu miliar rupiah).

4. Setiap orang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud ayat (3) yang

dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/ atau pidana denda

paling banyak Rp. 4. 000. 000.000 (empat miliar rupiah).

Page 3: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

iii

HUKUM ACARA

PERADILAN ANAK DALAM TEORI DAN PRAKTEK

DI INDONESIA

Page 4: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

iv

HUKUM ACARA PERADILAN ANAK DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA

Penulis:

Dr. Alfitra, SH. MH.

Editor : Team WADE Publish

Layout : Team WADE Publish

Design Cover : Team WADE Publish

Diterbitkan oleh:

Jln. Pos Barat Km. 1 Melikan Ngimput Purwosari

Babadan Ponorogo Jawa Timur Indonesia 63491

buatbuku.com

[email protected]

0821-3954-7339

Penerbit Wade

buatbuku

Anggota IKAPI 182/JTI/2017

Cetakan Pertama, Agustus 2019

ISBN: 978-623-7548-02-7

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini

dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfoto-

copy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa seizin tertulis dari

Penerbit.

15x23 cm

Page 5: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

v

PRAKARTA

Undang-undang peradilan anak N0.3 tahun 1997 yang

sudah diubah dengan undang-undang N0. 11, tahun 2012 ten-

tang sistem peradilan anak. Tindak pidana yang dilakukan oleh

anak dewasa ini semakin meningkat, dengan demikian perlu

pengaturan yang khusus tentang beracara dipengadilan, yang

mana pelakunya adalah anak-anak yang perlu pengaturan se-

cara khusus. Materi buku ini pada umumnya analisis dari per-

aturan Penerapan undangan-undang N0. 11 tahun 2012 dan

mengatur secara khusus tentang Restorative Justice dalam konsep

Diversi tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

Berbicara tentang hukum acara peradilan anak, baik

ditingkat Anqusatoir, maupun Aqusatoir harus sesuai dengan

undang-undang yang berlaku, baik dalam teori maupun prak-

tek yang sesungguh menjadi standar operasional ditingkat

penyelidikan dan penyidikan. Pihak-pihak terkait seperti: polisi,

Jaksa, dan Hakim hendaknya menguasai hukum acara per-

adilan anak. Lebih bagi seorang penyidik agar bisa mempre-

diksi apakah seorang anak yang terbukti melakukan tindak

pidana tersebut dapat diberlakukan Diversi atau tidak.

Dilihat dari materi buku ini diharapkan dapat mem-

berikan manfaat baik baik bagi aparat penegak hukum, masya-

rakat luas khususnya kalangan terpelajar, dan bagi mereka

sudah menginjakkan kakinya didunia kampus khususnya di-

fakultas hukum buku ini sangat dibutuhkan. Oleh karena itu

saran yang bersifat membangun sangat diharapkan dalam pe-

nyempurnaan buku ini khususnya bagi penulis sendiri.

Page 6: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

vi

Page 7: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

vii

DAFTAR ISI

PRAKARTA ..................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................. vii

BAB I : PENDAHULUAN ............................................................. 1

A. Pendahuluan .......................................................................... 1

B. Diversi ................................................................................... 10

C. Aspek Historis Doktrin Restoratif Justice ......................... 18

D. Konsep Prinsip dan Penggunaan Program

Restorative Justice ................................................................. 23

E. Teori-Teori Pemidanaan .................................................... 33

F. Pemahaman Pertanggung jawaban Pidana Anak ......... 40

BAB II : HISTORIS LAHIRNYA UNDANG-

UNDANG 3 TAHUN 1997 .......................................................... 47

A. Pengertian ............................................................................ 47

B. Hak Anak Menurut Hukum di Indonesia ...................... 50

C. Anak dan Kemampuan Bertanggung Jawab.................. 57

D. Kekerasan Terhadap Anak ................................................ 61

E. Perlindungan Anak ............................................................ 66

F. Peradilan Anak .................................................................... 76

G. Wewenang Pengadilan Negeri ......................................... 80

H. Hukum Positif Yang Terkait Dengan Anak ................... 90

I. Harmonisasi Instrumen Hukum Nasional,

Mengacu pada Standar Instrumen Internasional

tentang Perlindungan Anak. ............................................. 93

J. Peradilan Anak (Junvenile Justice) Menurut

Konvensi Internasional ...................................................... 95

Page 8: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

viii

K. Batas Usia Penahanan Anak dan

Pertanggungjawaban Pidana Anak yang Dapat

Diajukan ke Sidang Anak ................................................ 105

L. Korban dan Pelaku sama-sama Anak. .......................... 109

BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG

PENGADILAN ANAK .............................................................. 113

A. Sejarah Pengadilan Anak ................................................. 113

B. Diundangkannya UU. NO. 3 TAHUN 1997

Tentang Pengadilan Anak yang telah dirobah

menjadi UU. No 11 tahun 2012 ....................................... 117

C. Perbedaan Istilah Peradilan Anak Dengan

Pengadilan Anak ............................................................... 119

D. Asas-Asas Pemidanaan Anak ......................................... 121

E. Hubungan Undang-undang Pengadilan Anak

Dengan KUHP dan KUHAP ........................................... 126

F. Aspek-Aspek Pada Pengadilan Anak ........................... 129

G. Pengertian Anak di Bawah Umur menurut

Hukum Positif ................................................................... 136

H. Tempat Pembinaan Anak Nakal .................................... 136

I. Diversi Restorative Justice Sistem Peradilan Anak ..... 137

BAB IV : HUKUM ACARA PENGADILAN ANAK ........... 143

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada

Tahap Penyidikan ............................................................. 143

B. Penuntutan ......................................................................... 166

C. Pemeriksaan di Persidangan Pengadilan ..................... 169

D. Penjatuhan Pidana Kepada Anak Nakal....................... 174

BAB V : UPAYA HUKUM ........................................................ 179

A. Banding............................................................................... 179

B. Kasasi .................................................................................. 182

C. Peninjauan Kembali.......................................................... 185

Page 9: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

ix

D. Sanksi Pidana bagi Penyidik, Jaksa dan Hakim

dalam system Peradilan Anak ........................................ 188

E. Sistem Pemasyarakatan Anak......................................... 192

DAFTAR BACAAN .................................................................... 197

TENTANG PENULIS ................................................................ 201

Page 10: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,
Page 11: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keber-

langsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah

bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki

peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara

menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh,

dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak

patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan

hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Page 12: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

2

perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah

yang bertujuan melindungi Anak.

Anak perlu mendapat pelindungan dari dampak negatif

perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di

bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian

orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang men-

dasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh

terhadap nilai dan perilaku Anak. Penyimpangan tingkah laku

atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

antara lain, disebabkan oleh faktor di luar diri Anak tersebut.

Data Anak yang berhadapan dengan hukum dari Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan menunjukan bahwa tingkat kriminali-

tas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psiko-

tropika, dan zat adiktif semakin meningkat.

Prinsip pelindungan hukum terhadap Anak harus sesuai

dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the

Child the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah

Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36

Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the

Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan

untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan

dengan hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya

yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada Anak

agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk men-

jadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna

bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek

dan perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum

cenderung merugikan Anak. Selain itu, Undang-Undang ter-

sebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam

masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan per-

Page 13: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

3

lindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan

hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma

dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum,

antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, peme-

rintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan

bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan Anak

serta memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang ber-

hadapan dengan hukum.

Penyusunan Undang-undang ini merupakan penggantian

terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peng-

adilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997

Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3668) yang dilakukan dengan tujuan agar dapat ter-

wujud peradilan yang benar-benar menjamin pelindungan ke-

pentingan terbaik terhadap Anak yang berhadapan dengan

hukum sebagai penerus bangsa. Undang-undang ini mengguna-

kan nama Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai

badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2)

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan per-

adilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan per-

adilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Kons-

titusi. Namun, Undang-undang ini merupakan bagian dari

lingkungan peradilan umum.

Adapun substansi yang diatur dalam Undang-undang ini,

antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses

peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus

Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-

undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan

Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari

dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat

Page 14: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

4

menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan

dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam

lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diper-

lukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal

tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan

Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan

Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak

yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama

mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk

membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibat-

kan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk

memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak

berdasarkan pembalasan. Dari kasus yang muncul, ada kalanya

Anak berada dalam status saksi dan/atau korban sehingga

Anak Korban dan/atau Anak Saksi juga diatur dalam Undang-

Undang ini. Khusus mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan

berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang

masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai

tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12

(dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat

dijatuhi tindakan dan pidana.

Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi

pelindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan

dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak

yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan

perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaan-

nya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami

masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para

penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupaya-

kan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui

Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Undang-

undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur

mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang

Page 15: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

5

berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai

dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Kelangsungan dan berhasilnya pembangunan sangat ber-

gantung kepada situasi, kondisi keamanan, stabilitas dan ke-

adaan negara yang konsisten. Oleh karena itu perlu usaha

memelihara dan mengembangkan stabilitas nasional yang sehat,

dinamis di bidang politik, ekonomi, serta sosial. Stabilitas di

bidang politik akan nampak dengan tegak tumbuhnya kehidup-

an konstitusional demokratis berdasarkan hukum, dan selanjut-

nya meningkatkan usaha memelihara ketertiban serta kepastian

hukum yang mampu mengayomi masyarakat. Pembangunan

nasional yang merupakan proses modernisasi membawa dam-

pak positif maupun negatif. Banyak peristiwa yang menarik

perhatian masyarakat akhir-akhir ini yaitu dengan semakin

banyaknya perbuatan-perbuatan pidana (openbare order), delin-

kuensi/kenakalan anak-anak atau meningkatnya devinisi serta

anak-anak terlantar.

Kecenderungan meningkatnya kualitas maupun kualitas

pelanggaran baikterhadap ketertiban umum maupun pelang-

garan terhadap ketentuan Undang-undang oleh pelaku-pelaku

muda usia, atau dengan perkataan lain meningkatnya kenakal-

an remaja yang mengarah kepada tindakan kriminal, men-

dorong kita untuk lebih banyak memberi perhatian akan pe-

nanggulanagan serta penganannya, khusus di bidang Hukum

Pidana, (Anak), Beserta Hukum Acaranya. Hal ini erat

hubungannya dengan perlakuan khusus kepada pelaku tindak

pidana yang masih muda usianya.

Masalah pembinaan generasi muda merupakan bagian

integrasi dari maslah pembangunan. Oleh sebab itu sebagian

masalah pembinaan yaitu pembinaan yustisial terhadap gene-

rasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian dan

pembahasan tersendiri. Dalam proses pengembangan tidak

jarang timbul peristiwa-peristiwa yang menyebabkan anak

Page 16: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

6

dalam keadaan terlantar maupun terjadinya perbuatan-per-

buatan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur berupa

ancaman/pelanggaran terhadap ketertiban umum dalam

masyarakat, bahkan ada kecenderungan adanya penyalagunaan

anak bagi kepentingan-kepentingan tertentu yang justru di-

lakukan oleh para orang tua atau pembinanya. Oleh sebab itu

anak nakal dan anak terlantr perlu diselesaikan melaluisuatu

badan yaitu Lembaga Peradilan khusus, agar ada jaminan

bahwa penyelesaiantersebut dilakukan benar-benar untuk ke-

sejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masya-

rakat tanpa mengabaikan terlaksananya Hukum dan Keadilan.

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan pe-

nerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia

bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan

Sumber Daya Manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu

memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa

dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-

dasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, diperlukan

pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup,

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial sera

perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahaya-

kan mereka dan bangsa dimasa depan. Dalam berbagai hal

upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada

permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-

kadang dijumpai penyimpangan perilaku dikalangan anak,

bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan

yang melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial ekonomi.

Disamping itu, terdapat pula anak yang karena satu dan lain hal

tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian fisik,

mental, sampai sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai

tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga

Page 17: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

7

anak melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat me-

rugikan dirinya dan atau masyarakat.

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar

hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai

faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan

pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komuni-

kasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubah-

an gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa

perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat

yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.

Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih

sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengem-

bangan sikap, prilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari

orang tua, wali, atas orang tua asuh lingkungannya yang

kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.

Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai per-

buatan dan tingkah laku Anak Nakal, perlu dipertimbangkan

kedudukan anak dengan ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun

anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya

berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keada-

an sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena

itu, dalam mengahadapi masalah Anak Nakal, orang tua dan

masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab

terhadap pembinaan, pendidikan dan pengembangan perilaku

anak tersebut.

Hubungan anak orang tua dengan anaknya merupakan

suatu hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis mau-

pun mental dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap

Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jengan dipisahkan

dari orang tuanya. Apabila karena hubungan orang tua dan

anak kurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat me-

rugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari

orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pe-

Page 18: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

8

misahan tersebut sama-sama demi pertumbuhan dan perkem-

bangan tersebut di atas demi pertumbuhan.

Disamping pertimbangan tersebut di atas, demi per-

tumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan

pembedaan perlakuan didalam hukum acara dan ancaman dan

hukum pidananya. Dalam hubungan ini pengturan pengecua-

lian dari ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana yang lama pelak-

sanaan penahanannya di tentukan sesuai dengan kepentingan

anak dan pembedaan ancaman pidana yang ditentukan oleh

Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang penjatuhan pidana-

nya di tentukan ½ (Satu per dua) dan maksimum ancaman

pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan pen-

jatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak

diberlakukan terhadap anak.

Perbedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam

Undang-undang ini dimaksudkan untuk lebih melindungi dan

mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa

depannya yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut

dimaksudkan untuk memberi kesempatankepada anak agar

melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk men-

jadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab,berguna bagi

diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Khusus me-

ngenai sanksi terhadap anak dalam Undang-undang ini di-

tentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak

yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun

hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang

tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial atau diserahkan

kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai

umur diatas 12 (dua belas) sampai 14 (empat belas) tahun

dijatuhkan pidana.

Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atau per-

tumbuhan dan perkembangn fisik, mental, dan sosial anak.

Page 19: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

9

Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demu

perlindungan terhadap anak, maka perkara Anak Nakal dari

sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan selanjutnya,

wajib dilakukan oleh pejabat khusus benar-benar memahami

masalah anak.

Dalam penyelesaian perkara Anak Nakal, Hakim wajib

mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan

yang dihimpun oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengenai

cara pribadi maupun keluarga dari anak yang bersangkutan.

Dengan adanya hasil laporan tersebut, diharapkan Hakim dapat

memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan

yang seadil-adilnya bagi anak yang bersangkutan. Putusan

hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak

yang bersangkutan, oleh sebab itu Hakim harus yakin benar,

bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi sakah satu

dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak

menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya

sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan

keluarga bangsa dan negara.

Untuk lebih menetapkan upaya pembinaan dan pem-

berian bimbingan bagi Anak Nakal yang telah diputus oleh

Hakim, maka anak tersebut ditampung di Lembaga Permasya-

rakatan Anak. Berbagai pertimbangan tersebut di atas serta

dalam rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan per-

lindungan dan kepentingan anak, maka perlu diatur ketentuan-

ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus

bagi anak dalam lungkungan Peradilan Umum. Dengan

demikian, Pengadilan Anak diharapkan memberikan arah yang

tepat dalam pembinaan dan perlindungan terhadap anak.

Page 20: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

10

B. Diversi

1. Sejarah Diversi

Di dalam penjelasan umum UU No 11 tahun 2012

disebutkan: UU No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak di-

maksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang ber-

hadapan dengan hukum agara anak dapat menyongsong masa

depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan pada

anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk

menjadi manusia mandiri, bertanggung jawab dan berguna

pada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Namun dalam pelaksanaanya anak diposisikan sebagai objek

dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum

cenderung merugikan anak.

Untuk menghindari efek atau dampak negative proses

peradilan pidana terhadap anak ini, United Nations Standrad

Minimum Rules for the Administator of Juvenile (The Beijing Rules)

telah memberikan pedoman sebagai upaya menghindari efek

negative tersebut, yaitu dengan memberikan kewenangan

kepada aparat penegak hukum mengambil tindakan kebijakan

dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak

dengan tidak mengambil jalan formal, anatar lain menghentikan

atau tidak meneruskan atau melepaskan dari proses pengadilan

atau mengembalikan atau menyerahkan kepada masyarakat

dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Tindakan

ini disebut diversi (diversion). Dengan adanya tindakan diversi

ini, diharapkan akan mengurangi dampak negative akibat

keterlibatan anak dalam proses pengadilan tersebut.

Ide diversi yang dicanangkan dalam SMRIJ (The Beijing

Rules) Sebagai standard internasional dalam penyelenggaran

peradilan anak ini. Di Indonesia ide diversi telah menjadi salah

satu rekomendasi dalam Seminar Nasional Peradilan anak yang

diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Pajajaran

Bandung tanggal 5 oktober 1996.

Page 21: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

11

Secara formal ide diversi tersebut belm dicantumkan

dalam UU No. 3 tahun 1997 dan baru dicantumkan dalam UU

No. 11 tahun 2012.

2. Pengertian Diversi

Diversi yaitu menurut Undang-undang No.11 Tahun 2012

telah diberikan tafsiran autentik pada pasal 1 angka 7 tentang

pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke

proses diluar peradilan pidana. Akan tetapi, dalam naskah

Akademik RUU Sistemm Pradilan Pidana anak dikemukakan

bahwa diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus

anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses

pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka atau ter-

dakwa atau pelaku tindak pidana dengan korban yang difasi-

litasi oleh keluarga dan atau masyarakat, pembimbing kemasya-

raktkan anak, polisi, jaksa, atau hakim.

Berdasarkan pada United Nations Standard Minimum Rules

for the Administration of Juveniles Justice (The Beijing Rules), apa

yang dimaksud dengan diversi adalah pemberian kewenangan

kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-

tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan

masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal

antara lain menghentikan atau meneruskan atau melepaskan

dari proses peradilan pidana atau mengembalikan atau menye-

rahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan lainnya.

3. Tujuan Diversi

Tujuan diversi yang dijabarkan dalam pasal 6 UU No. 11

tahun 2012 adalah:

1. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;

2. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;

3. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

Page 22: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

12

5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

4. Perkara yang diupayakan diversi

Pasal 7 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 menentukan bahwa

pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara

anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan diversi. Dalam hal

ini yang dimaksud dengan frasa ‘’perkara anak’’ dalam pasal 7

ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 adalah perkara tindak pidana

yang diduga dilakukan anak. Adapun yang dimaksud dengan

‘’perkara tindak pidana’’ adalah perkara tentang perbuatan

yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa me-

langgar larangan tersebut. Apakah pada tingkat penyelidikan

sudah dapat dilakukan diversi? Menurut Pasal 1 angka 5

KUHAP yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serang-

kaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan

suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan me-

nurut cara yang diatur dalam undnag-undang ini.

Pedoman pelaksanaan KUHAP mengemukakan bahwa

penyelidikan sebagai subfungsi penyidikan atau cara pelaksana-

an penyidikan, maka penyelidikan mendahului tindakan lain,

yaitu untuk menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga

tindak pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Dengan

demikian, penggunaan upaya paksa dapat dibatasi hanya dalam

keadaan terpaksa demi kepentingan umum yg lebih luas.

Penyelidikan menurut fungsi teknis reserse adalah salah satu

kegiatan penyidikan yang bersifat teknis dan dapat bersifat

tertutup serta belum menyentuh bidang KUHAP. Dengan mem-

perhatikan apa yang dimaksud dengan oenyelidikan menurut

pasal 1 angka 5 KUHAP Dan pedoman pelaksanaan KUHAP di

atas, dapat diketahui bahwa pada tingkat penyelidikan belum

mungkin atau belum dapat diupayakan diversi, karena pada

tingkat penyelidikan baru diupayakan kegiatan yang berupa

Page 23: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

13

mencari dan menemukan peristiwa yang diduga merupakan

tindak pidana dan belum sampai menemukan siapa yang

diduga melakukan tindak pidana tersebut.

Apakah diversi hanya terbats dapat diupayakan sampai

pada tingkat pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri

saja? Apakah diversi dapat pula diupayakan pada tingkat

pemeriksaan di pengadilan Tinggi. Jika hanya dilihat pada

perumusan Pasal 7 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 saja, maka ke-

simpulannya adalah diversi memang haya terbatas dapat di-

upayakan sampai tingkat pemeriksaan perkara anak di

Pengadilan Negeri, karena adanya frasa’’ pemeriksaan perkara

anak di Pengadilan Negeri’’ dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 11

Tahun 2012.

Dengan demikian, diversi tidak dapat diupayakan pada

pemeriksaan di Pengadilan Tinggi, apalagi perkara tindak

pidana anak selalu diajukan ke pengadilan Negeri dengan

Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Pasal 6 KUHAP).

Akan tetapi, jika dingat bahwa tujuan dari diversi adalah seperti

yang disebutkan dalam pasal 6 UU No. tahun 2012 dan pe-

meriksaan di Pengadilan Tinggi sifatnya devolutif, artinya

seluruh pemeriksaan perkara dipindahkan dan di ulang oleh

Pengadilan Tinggi yangbersangkutan, maka ada alas an untk

membenarkan bahwa diversi dapat pula diupayakan pada

tingkat pemeriksaan di Pengadilan Tinggi.

Jika ketentuan yang terdapat dalam pasal 7 ayat 1

dikaitkan dengan pasal 7 ayat 2 UU No. 11 tahun 2012, maka

dapat diketahui bahwa perkara anak wajib diupayakan diversi

pada waktu dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksa-

an siding di pengadilan negeri adalah perkara anak yang tindak

pidananya:

1. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (Tujuh) tahun,

dan penjelasan Pasal 7 ayat 2 huruf a UU No. 11 tahun 2012

Page 24: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

14

menyebutkan bahwa ketentuan ‘’pidana penjara di bawah 7

(tujuh) tahun’ mengacu pada hukum pidana;

2. Bukan merupakan pengulanagna dan tindak pidana.

Penjelasan pasal 7 ayat 2 huruf b UU No. 11 tahun 2012

menyebutkan bahwa pengulangan tindak pidana dalam ke-

tentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak,

baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk

tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi.

Dengan demikian, perkara anak yang tidak wajib di

upayakan diversi adalah perkara anak yang tidak pidananya

dilakukan:

1. Diancam dengan pidana penjara diatas 7 tahun

2. Merupakan pengulangan tindak pidana.

Pengertian ‘’tidak wajib diupayakn diversi’’ tersebut

adalah tidak bersifat imperative atau fakultatif.

Artinya perkara anak yang tindak pidana nya di ancam pidana

penjara diatas 7 tahun atau merupakan pengulangan tindak

pidana, dapat saja diupayakan diversi.

5. Musyawarah

Pasal 8 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 menentukan,

bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan

melibatkan anak dan dan orang tua atau walinya, korban dan

atau orang tua atau walinya, pembimbing kemasyarakatan,

serta pekerja sosial professional berdasarkan pendekatan keadil-

an restorative. Musyawarah yaitu pembahasan bersama dengan

maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan ketetntuan yang ter-

dapat dalam pasal 8 (1) No. 11 tahun 2012 adalah proses diversi

dilakukan melalui pembahasan bersama dengan maksud

Page 25: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

15

mencapai keputusan mengenai diversi yang akan diterapkan

untuk penyelesaian suatu perkara anak.

Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 tahun 2012 juga ditentukan

bahwa proses diversi wajib memperhatikan

1. Kepentingan korban

2. Kesehjateraan dan tanggung jawab anak

3. Penghindaran stigma negative

4. Penghindaran pembalasan

5. Keharmonisan masyarakat

6. Kepatutan, kesulitan, dan ketertiban umum.

Dalam melakukan diversi, oleh pasal 9 ayat (1) UU No. 11

tahun 2012 ditentukan penyidik, penuntut umum, dan hakim

harus mempertimbangkan antara lain sebagi berikut.

a. Kategori tindak pidana. Dalam penjelasan paal 9 ayat (1)

huruf a UU No. 11 tahun 2012 disebutkan bahwa ketentuan

ini merupakan indicator bahwa semakin rendah ancaman

pidana semakin tinggi prioritas diversi.

b. Umur anak Dalam penjelasan pasal 9 ayat (1) huruf b UU

No. 11 tahun 2012 disebutkan bahwa umur anak dalam

ketentuan ini maksudkan untuk menentukan prioritas

pemberian diversi dan semakin muda umur anak semakin

tinggi prioritas diversi.

c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari BAPAS

d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat

6. Hasil Kesepakatan Diversi

Dalam pasal 11 UU No. 11 tahun 2012 ditentukan bahwa

hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk antara lain;

a) Perdamaian dengan atau tanpa diganti kerugian

b) Penyerahan kembali kepada orang tua atau wali\

Page 26: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

16

c) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga

pendidikan atau LPKS paling lama 3 bulan atau

d) Pelayanan masyarakat

Pasal 12 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 yang dimaksud

dengan pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pe-

meriksaan adalah:

1. Pada tingkat penyidikan: pejabat polisi Negara RI yang di-

tunjuk sebagai penyidik oleh kepala kepolisian untuk per-

kara anak yang bersangkutan

2. Pada tingkat penuntutan: jaksa yang ditunjuk sebagai

penuntut umum oleh kepala kejaksaan negeri untuk per-

kara anak yang bersangkutan

3. Pada tingkat pemeriksaan sidang pengadilan: hakim yang

ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri untuk memeriksa

dan memutus perkara anak yang bersangkutan.

Sebagai akibat lebih lanjut, maka yang dimaksud dengan

‘’penetapan’’ dalam pasal 12 ayat (2) UU No. 11 tahun 2012

adalah penetapan ketua pengadilan. Menurut pasal 12 ayat (3)

UU No. 11 tahun 2012, ketua pengadilan mengeluarkan pe-

netapan dalam waktu paling lama 3 hari terhitung sejak di-

capainya kesepakatan diversi, yang selanjutnya menurut pasal

12 ayat (3) UU No. 11 tahun 2012 penetapan tersebut dalam

waktu paling lama 3 hari terhitung sejak ditetapkan, di sam-

paikan kepada pembimbing kemasyarakatan, penyidik, pe-

nuntut umum, dan hakim. Setelah menerima penetapan ter-

sebut, menurut Pasal 12 ayat (4) UU No 11 tahun 2012, penyidik

menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau penuntut

umum menerbitkan penghentian penuntutan. Oleh karena itu,

pasal 13 UU No. 11 tahun 2012 ditentukan bahwa proses diversi

peradilan pidana anak dilanjutkan dalam hal:

Page 27: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

17

a. Proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau

b. Kesepakatan diversi tidak dilaksanakan

Dalam hal ini yang dimaksud dengan ‘’proses diversi

peradilan pidana anak dilanjutkan’’ adalah perkara anak yang

beersangkutan untuk dilakukan penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan sidang pengadilan untuk mendapatkan putusan.

Ad. a

Maksud dari ‘’proses diversi tidak menghasilkan ke-

sepakatan’’ adalah proses diversi yang sedang dilakukan tidak

sampai dapat menghasilkan kesepakatan seperti yang di-

maksud oleh pasal 11 UU No. 11 tahun 2012. Sebagai akibat jika

proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan, maka penyi-

dikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara pidana anak tetap

dilanjutkan. Sebagai bukti pertanggungjawaban, menurut pe-

nulis selanjutnya para pihak yang terlibat untuk memperoleh

kesepakatan diversi, membuat pernyataan bersama yang isinya

tidak memperoleh kesepakatan dan ditandatangani bersama

sebagai bahan pertimbangan nantinya jika seandainya benar-

benar proses diversi peradilan pidana anak ternyata kemudian

dilanjutkan.

Ad. b

Maksud dari ‘’kesepakatan diversi tidak dilaksanakan’’

adalah dalam perkara anak tersebut sudah diperoleh kese-

pakatan diversi seperti yang disebutkan dalam pasal 11 UU No.

11 tahun 2012, tetapi kemudian ternyata tidak dilaksanakan.

Pasal 14 ayat (2) UU No.11 Tahun 2012 menentukan bahwa

selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan

diversi dilaksanakan pembimbing kemasyarakatan wajib me-

lakukan pendampingan dan pengawasan.

Page 28: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

18

Jika sampai kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam

waktu yang ditentukan, maka pasal 14 ayat (3) UU No.11 tahun

2012 menentukan bahwa pembimbing kemasyarakatan segera

membuat laporan kepada penyidik, penuntut umum, dan

hakim bahwa kesepaktan diversi tidak dilaksanakan. Sebagai

tindak lanjut adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim akan

mencabut atau menyatakan tidak berlaku bagi penetapan peng-

hentian penyidikan, penetapan penghentian penuntutan, dan

penetapan penghentian pemeriksaan yang telah dikeluarkan,

yang selanjutnya proses peradilan pidana anak diteruskan.

7. Pengawasan

Jika pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, menurut pasal 55

ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dibebankan kepada ketua peng-

adilan, maka pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan

kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung

pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan.

Penjelasan pasal 14 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan atasan langsung

antara lain kepala kepolisian, ketua kejaksaan, dan ketua peng-

adilan.

C. Aspek Historis Doktrin Restoratif Justice

1. Hukum pidana dan perubahan sosial

a. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan

(hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua

peradaban manusia itu sendiri. Adapula yang menye-

butnya sebagai “older philosophy of crime control”. Dilihat

sebagai suatu masalah kebijakan, ada yang memper-

masalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi,

dicegah atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi

pidana.

Page 29: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

19

b. H.L. Packer: pidana merupakan “peninggalan ke-

biadaban kita masa lalu” (a vestige of our savage past)

yang seharusnya dihindari.

c. M. Cherif Bassiouni: sejarah hukum pidana penuh

dengan gambaran-gambaran perlakuan yang oleh ukur-

an-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui

batas. Gerakan pembaharuan pidana di Eropa Kon-

tinental dan di Inggris terutama justru merupakan raeksi

humanistis terhadap kekejaman pidana.

d. Smith dan Hogan: teori retributif tentang pemidanaan

merupakan “a relic of barbarism”.

e. Faham determinisme: orang tidak mempunyai kehendak

bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena di-

pengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis

maupun faktor lingkungan kemasyarakatan oleh karena

itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas per-

buatannya dan tidak dapat dikenakan pidana melainkan

diperlukan tindakan-tindakan perawatan yang ber-

tujuan memperbaiki. Sebaliknya hukum pidana meng-

anut indeterminisme yang pada dasarnya berpendapat,

bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini

merupakan sebab dari segala keputusan kehendak.

Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada ke-

salahan. Apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada

pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan.

f. Alf Ross: pandangan determinisme melahirkan gerakan

modern mengenai kampanye anti pemidanaan (“the

campaign against punishment”) dengan slogan yang ter-

kenal “the strugle against punishment” atau “abolition

punishment” yang menurut Kinberg bahwa kejahatan

pada umumnya merupakan perwujudan daripada ke-

tidak-normalan atau ketidak-matangan pelanggar yang

Page 30: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

20

lebih memerlukan tindakan perawatan (treatment)

daripada pidana.

g. Karel Menninger: perlu diadakan pergeseran dari “sikap

memidana” (punitive attitude) ke arah “sikap mengobati”

(therapeutic attitude).

F. Gramatica: hukum perlindungan sosial harus menggantikan

hukum pidana yang ada sekarang dan mengintegrasikan

individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap

perbuatan. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan peng-

hapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan diganti-

kan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial.

Ajaran Gramatika menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak

pidana, penjahat dan pidana kurungan.

Penerapan sanksi pidana pencabutan kemerdekaan

mengandung lebih banyak aspek-aspek negatif daripada aspek-

aspek positifnya. Hal ini terbukti bahwa penjatuhan pidana

pencabutan kemerdekaan menimbulkan hal-hal negatif sebagai

berikut:

a. Dehumanisasi Pelaku Tindak Pidana:

1) tujuan pidana penjara pertama adalah menjamin peng-

amanan narapidana dan kedua adalah memberikan ke-

sempatan-kesempatan kepada narapidana untuk di-

rehabilitasi.

2) hakekat dari fungsi penjara tersebut di atas sering kali

mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan

pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana

yang terlalu lama di dalam lembaga, berupa ketidak-

mampuan narapidana untuk melanjutkan kehidupan-

nya secara produktif di dalam masyarakat.

Page 31: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

21

b. Prisonisasi (Prisonization) Narapidana.

Proses prisonisasi narapidana dimulai ketika narapidana

masuk dalam lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasya-

rakatan berisi kehidupan penjara sebagai suatu sistem sosial

informal yang disebut sebagai sub kultur narapidana (inmate

subculture). Sub kultur narapidana ini mempunyai pengaruh

besar terhadap kehidupan individual narapidana, khususnya

proses sosialisasi narapidana tersebut kedalam masyarakat

narapidana (the inmate community) yang oleh Clemmer disebut

sebagai prisonisasi. Dalam proses prisonisasi narapidana baru

(new comer) harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan

yang berlaku di dalam masyarakat narapidana. Disamping itu

ia harus mempelajari kepercayaan, perilaku-perilaku dari

masyarakat tersebut, yang pada akhirnya menimbulkan mental

penjahat.

c. A place of contamination

Menurut Bernes dan Teeters bahwa penjara telah tumbuh

menjadi tempat pencemaran (a place of contamination) yang

justru harus dihindari. Di dalam penjara, penjahat kebetulan

(accidental offenders), pendatang baru (novices in crime) dirusak

melalui pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis. Bahkan

personil yang paling baikpun telah gagal untuk menghilangkan

keburukan yang sangat besar dari penjara ini.

d. Pidana Berjangka Pendek

Pidana berjangka pendek akan sangat merugikan di

dalam pembinaan sebab disamping kemungkinan hubungan-

hubungan yang tidak dikehendaki, pidana penjara jangka

pendek jelas tidak mendukung kemungkinan untuk

mengadakan rehabilitasi narapidana terhadap anak.

Page 32: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

22

e. Stigmatization

Kerugian lain yang sangat dirasakan dari penerapan

pidana penjara adalah terjadinya stigmatisasi (stigmatization).

Menurut Hoefnagels, stigma terjadi bilamana identitas sese-

orang terganggu atau rusak disebabkan oleh pandangan masya-

rakat sekitar terhadapnya. Secara psikhologis stigmatisasi me-

nimbulkan kerugian terbesar bagi pelaku tindak pidana, karena

dengan demikian publik mengetahui bahwa ia seorang pen-

jahat, dengan segala akibatnya. Bersamaan dengan kegagalan

sistem peradilan pidana yang didasari dinamika perubahan dan

perkembangan hukum pidana timbul suatu paradigma peng-

hukuman yang disebut sebagai restorative justice. Dalam

restorative justice pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian

yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan

juga masyarakat.

Program utamanya adalah “a meeting place for people” guna

menemukan solusi perbaikan hubungan dan kerusakan akibat

kejahatan. Keadilan yang dilandasi perdamaian (peace) pelaku,

korban dan masyarakat itulah yang menjadi moral etik

restorative justice, oleh karena itu keadilannya dilakukan sebagai

“Just Peace Principle”. Prinsip ini mengingatkan kita bahwa

keadilan dan perdamaian pada dasarnya tidak dipisahkan.

Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan, keadilan tanpa

perdamaian adalah bentuk baru penganiayaan/tekanan. Dikata-

kan sebagai Jus Peace Ethics karena pendekatan terhadap

kejahatan dalam restorative justice bertujuan untuk pemulihan

kerusakan akibat kejahatan (it in an attempt to recovery justice),

upaya ini dilakukan dengan mempertemukan korban, pelaku

dan masyarakat.

Page 33: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

23

D. Konsep, Prinsip dan Penggunaan Program Restorative

Justice

1. Konsep Restorative Justice

Restorative Justice merupakan reaksi terhadap teori retri-

butive yang berorientasi pada pembalasan dan teori neo klasik

yang berorientasi pada kesetaraan sanksi pidana dan sanksi

tindakan. Dalam teori retributif, sanksi pidana bersumber pada

ide “mengapa diadakan pemidanaan”. Dalam hal ini sanksi

pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan (peng-

imbalan) yang sesungguhnya bersifat reaktif terhadap sesuatu

perbuatan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan

kepada seorang pelanggar, atau seperti dikatakan oleh J. E.

Jonkers bahwa sanksi pidana dititik beratkan pada pidana yang

diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan. Sementara sanksi

tindakan bersumber pada ide “untuk apa diadakan pemidanaan

itu”. Jika dalam teori retributif sanksi pidana tertuju pada per-

buatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang

bersangkutan menjadi jera), maka sanksi tindakan terarah pada

upaya memberi pertolongan agar dia berubah.

Sanksi tindakan bertujuan lebih bersifat mendidik dan

berorientasi pada perlindungan masyarakat. Retributive Justice

oleh banyak orang dilihat sebagai “a philosophy, a process, an idea,

a theory and intervention”. Restorative Justice adalah peradilan

yang menekankan pada perbaikan atas kerugian yang disebab-

kan atau terkait dengan tindak pidana. Restorative Justice di-

lakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua

pihak. (stake holders). Patut dikemukakan beberapa pengertian

Restorative Justice berikut ini:

a. Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing

the harm caused or revealed by criminal behaviour. It is best

accomplished through cooperative processes that include all

stakeholders. (Keadilan restoratif adalah teori keadilan yang

menekankan perbaikan kerusakan yang disebabkan oleh

Page 34: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

24

perilaku kriminal. Yang paling baik hal ini dilakukan

melalui proses kerjasama yang mencakup semua pihak

yang berkepentingan).

b. Restorative justice is a valued-based approach to responding to

wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person

harmed, the person causing the harm, and the affected commu-

nity. (Keadilan restoratif adalah nilai/prinsip pendekatan

terhadap kejahatan dan konflik, dengan fokus keseim-

bangan pada orang yang dirugikan, penyebab kerugian,

dan masyarakat yang terkena dampak).

c. Howard Zehr: Viewed through a restorative justice lens, “crime is

a violation of people and relationships. It creates obligations to

make things right. Justice involves the victim, the offender, and

the community in a search for solutions which promote repair,

reconciliation, and reassurance. (Dilihat melalui lensa keadilan

restoratif, kejahatan adalah pelanggaran terhadap hubung-

an kemasyarakatan. Kejahatan menciptakan kewajiban

untuk memperbaikinya. Keadilan melibatkan korban, pe-

laku, dan masyarakat dalam mencari solusi yang me-

nawarkan perbaikan, rekonsiliasi, dan jaminan).

d. Burt Galaway dan Joe Hudson: A definition of restorative

justice includes the following fundamental elements: ”first, crime

is viewed primarily as a conflict between individuals that result

in injuries to communities by reconciling the parties and repair-

ing the injuries caused by the dispute; third, the criminal justice

should facilitate active participation by the victim, offenders, and

their communities in order to find solutions to the conflict.

(Definisi keadilan restorative meliputi beberapa unsur

pokok: Pertama, kejahatan dipandang sebagai suatu konflik

antara individu yang dapat mengakibatkan kerugian pada

korban, masyarakat, maupun pelaku sendiri; kedua, tujuan

dari proses peradilan pidana harus menciptakan per-

damaian dalam masyarakat, dengan jalan perujukan semua

pihak dan mengganti kerugian yang disebabkan oleh per-

Page 35: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

25

selisihan tersebut; ketiga, proses peradilan pidana memu-

dahkan peranan korban, pelaku, dan masyarakat untuk

menemukan solusi dari konflik itu).

e. Kevin I. Minor dan J.T. Morrison: Restorative Justice may be

defined as a response to criminal behavior that seeks to restore the

loses suffered by crime victims and facilitate peace and tranquility

among opposing parties. (Keadilan restoratif dapat digambar-

kan sebagai suatu tanggapan kepada perilaku kejahatan

untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh para

korban kejahatan untuk memudahkan perdamaian antara

pihak-pihak saling bertentangan).

f. Tony Marshall: Restorative justice is a process whereby all the

parties with a stake in a particular offense come together to

resolve collectively how to deal with the offermath of the offense

and its implications for the future. (Keadilan restoratif adalah

proses Kevin Minor and J.T. Morrison, A Theoritical Study

and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe

Hudson, eds., Restorative Justice: International Perspectives,

(Monsey, New York: Ceimical Justice-Press and Kugler Publi-

cations, 1996), Tony Marshall, Restorative Justice: An Overview,

(London: Home Office Research Development and Statistic

Directorate, 1999).

(dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu pelang-

garan tertentu datang bersama-sama untuk menyelesaikan

secara kolektif bagaimana menghadapi akibat dari pelang-

garan dan implikasinya untuk masa depan).

g. B.E. Morrison: Restorative justice is a from of conflict resolution

and seeks to make it clear to the offender that the behavior is not

condoned, at the same time as being supportive and respectful of

the individual. (Keadilan restoratif merupakan bentuk pe-

nyelesaian konflik dan berusaha untuk menjelaskan kepada

pelaku bahwa perilaku tersebut tidak dapat dibenarkan,

kemudian pada saat yang sama juga sebagai langkah untuk

mendukung dan menghormati individu). Muladi: Keadilan

Page 36: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

26

restoratif merupakan suatu pendekatan terhadap keadilan

atas dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab, keter-

bukaan, kepercayaan, harapan, penyembuhan, dan “inclu-

sivenes” dan berdampak terhadap pengambilan keputusan

kebijakan sistem peradilan pidana dan praktisi hukum di

seluruh dunia dan menjanjikan hal positif ke depan berupa

sistem keadilan untuk mengatasi konflik akibat kejahatan

dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan serta

keadilan restoratif dapat terlaksana apabila fokus perhatian

diarahkan pada kerugian akibat tindak pidana, keprihatin-

an yang sama dan komitmen untuk melibatkan pelaku dan

korban, mendorong pelaku untuk bertanggungjawab, ke-

sempatan untuk dialog antara pelaku dan korban, me-

libatkan masyarakat.

Dampak kejahatan dalam proses retroaktif, mendorong

kerjasama dan reintegrasi. Bagir Manan: Secara umum pengertian

restorative justice adalah penataan kembali sistem pemidanaan

yang lebih adil, baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat.

Di dalam proses restorative justice terkait erat dengan penerapan

Empowerment, yang terdapat beberapa pengertian, diantaranya

adalah:

a. Barton: “the action of meeting, discussing and resolving criminal

justice matters in order to meet material and emotional needs. To

him, empowerment is the power for poeple to choose between the

different alternatives that available to resolve one’s own matter.

The option to make such decisions should be present during the

whole process” (Pemberdayaan sebagai tindakan untuk me-

lakukan pertemuan, membahas dan menyelesaikan masa-

lah peradilan pidana dalam rangka memenuhi kebutuhan

materi dan emosi. Pemberdayaan adalah kekuatan bagi

orang untuk memilih antara berbagai alternatif yang ter-

sedia untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dan ke-

Page 37: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

27

putusan untuk memilih itu tersedia dalam proses

Restorative Justice).

b. Van Ness and Strong: The genuine opportuinity to participate

in and effectively influence the response of the offence. (Pem-

berdayaan adalah kesempatan yang sesungguhnya/sejati

untuk berpartisipasi dan secara efektif memberi pengaruh

dalam menghadapi kejahatan).

c. To Zehr: Being empowered means for victims to be heard and to

have the power to play a role in the whole process. It also means

that victim have the opportunity to define their own needs and

how and when those needs should be met. (Diberdayakan ber-

arti korban didengar dan memiliki kekuatan untuk ber-

peran dalam seluruh proses. Ini juga berarti bahwa korban

memiliki kesempatan untuk mendefinisikan kebutuhan

mereka sendiri dan bagaimana serta kapan kebutuhan

tersebut harus dipenuhi).

d. Larson and Zehr: Explain empowerment as the power to

participle in the case but also as the capacity to identify needed

resources, to make decision on aspects relating to one’s case and to

follow through on those decision. (Pemberdayaan sebagai

kekuatan untuk berpartisipasi dalam kasus tersebut tetapi

juga sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi sumber

daya yang dibutuhkan, untuk mengambil keputusan pada

aspek yang berkaitan dengan kasus seseorang dan untuk

menindak lanjuti keputusan tersebut).

e. Toews and Zehr: Describe victim empowerment as a possibility to

be heard, to tell one’s story and to ariculate one’s needs. (Pem-

berdayaan digambarkan sebagai kemungkinan korban

untuk didengar, untuk menceritakan kisahnya dan menge-

mukakan kebutuhannya).

f. Bush and Folger: Define empowerment as an experience of

awareness of the own self-worth and the ability to deal with

difficulties. (Pemberdayaan diartikan sebagai kesadaran ter-

Page 38: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

28

hadap pengalaman dirinya sendiri dan kemampuan untuk

mengatasi kesulitan).

2. Prinsip-Prinsip Restorative Justice

Ada tiga prinsip dasar untuk membentuk Restorative

Justice yaitu:

The three principles that are involved in restorative justice include:

there be a restoration to those who have been injured, the offender has

an opportunity to be involved in the restoration if they desire and the

court system’s role is to preserve the public order and the community’s

role is to preserve a just peace. Berdasarkan statement di atas, tiga

prinsip dasar Restorative Justice adalah

a. Terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita ke-

rugian akibat kejahatan;

b. Pelaku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemu-

lihan keadaan (restorasi);

c. Pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan

masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian yang

adil.

3. Program Restorative Justice

Praktik dan program Restorative Justice tercermin pada

tujuannya yang menyikapi tindak pidana dengan:

a. Identifying and taking steps to repair harm mengidentifikasi

dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki ke-

rugian/kerusakan)

b. Involving all stakeholders, (melibatkan semua pihak yang

berkepentingan) dan;

c. Transforming the traditional relationship between communities

and their government in responding to crime (mengubah se-

suatu yang bersifat tradisional selama ini mengenai

hubungan masyarakat dan pemerintah dalam menanggapi

kejahatan).

Page 39: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

29

4. Penggunaan Program Restorative Justice

a. Program keadilan restoratif dapat digunakan dalam

setiap tahap sistem peradilan pidana;

b. Proses keadilan restoratif hanya digunakan apabila ter-

dapat bukti-bukti yang cukup untuk menuntut pelaku

tindak pidana dan disertai dengan kebebasan dan ke-

sukarelaan korban pelaku. Dalam hal ini termasuk

kebebasan pelaku dan korban untuk memundurkan diri

dari persetujuan setiap saat selama proses. Kesepakatan

juga harus dicapai secara sukarela dan memuat kewajib-

an-kewajiban yang wajar serta proporsional;

c. kesepakatan didasarkan atas fakta-fakta dasar yang

berkaitan dengan kasus yang terkait, dan partisipasi

pelaku tidak dapat digunakan sebagai bukti pengakuan

kesalahan dalam proses hukum berikutnya;

d. Disparitas akibat ketidak-seimbangan, baik kekuatan

maupun perbedaan kultural harus diperhatikan dalam

melaksanakan proses keadilan restoratif;

e. keamanan para pihak harus diperhatikan dalam proses

keadilan restoratif;

f. Apabila proses restoratif tidak tepat atau tidak mungkin

dilakukan, kasus tersebut harus dikembalikan kepada

pejabat sistem peradilan pidana, dan suatu keputusan

harus diambil untuk segera memproses kasus tersebut

tanpa penundaan. Dalam hal ini pejabat peradilan

pidana harus berusaha untuk mendorong pelaku untuk

bertanggungjawab berhadapan dengan korban dan

masyarakat yang dirugikan dan terus mendukung usaha

reintegrasi korban dan pelaku dalam masyarakat.

Page 40: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

30

5. Pelaksanaan Program Restorative Justice.

Pedoman dan standar yang dirumuskan harus jelas me-

lalui “responsive regulation” berupa produk legislatif, yang

mengatur penggunaan proses keadilan restoratif. Asas-asas

yang dimuat dalam pedoman tersebut adalah:

a. Kondisi kasus yang berkaitan diarahkan masuk dalam

proses keadilan restoratif;

b. Penanganan kasus setelah masuk dalam proses keadilan

restoratif;

c. Kualifikasi, pelatihan dan penilaian terhadap fasilitator;

d. Administrasi program keadilan restoratif;

e. Standar kompetensi dan “rules of conduct” yang Mengen-

dalikan pelaksanaan keadilan restoratif.

6. Prosedur Keadilan Dasar Yang Menjamin Keadilan dan

Kejujuran Pelaku dan Korban Dalam elaksanaan Keadilan

Restoratif

a. Di bawah hukum nasional korban dan pelaku harus me-

miliki hak untuk berkonsultasi dengan onsultan hukum

sehubungan dengan proses keadilan restoratif dan

apabila perlu, untuk menterjemahkan dan menafsirkan.

Anak-anak di bawah umur memiliki hak untuk dibantu

orang tua atau pendamping;

b. Sebelum menyepakati untuk ikut serta dalam proses

keadilan restoratif para pihak harus diberi informasi

lengkap tentang hakhaknya, hakekat proses dan kon-

sekuensinya yang mungkin terjadiakibat keputusannya;

c. Baik korban maupun pelaku tidak dapat dipaksa atau

dibujuk dengan cara-cara tidak jujur untuk ikut serta

dalam proses keadilan restoratif atau untuk menerima

hasilnya.

Page 41: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

31

7. Hal-hal Lain Yang Harus Diperhatikan dalam Restroratif

a. Konfidentialitas proses harus dijaga, kecuali atas per-

setujuan pihak-pihak harus terbuka.

b. Hasil dari kesepakatan yang timbul dalam proses

keadilan restoratif apabila diperlukan perlu diawasi oleh

lembaga judisial, atau digabungkan dalam keputusan

judisial dengan status yang sama dengan keputusan

judisial dan harus menghalangi penuntutan dalam kasus

yang sama;

c. Apabila tidak tercapai kesepakatan antara para pihak,

kasus tersebut harus dikembalikan pada proses per-

adilan pidana dan diproses tanpa ditunda-tunda. Ke-

gagalan untuk mencapai kesepakatan sendiri tidak akan

digunakan untuk proses peradilan selanjutnya;

d. Kegagalan untuk melaksanakan kesepakatan yang di-

buat dalam rangka proses keadilan restoratif harus di-

kembalikan dalam proses restoratif atau peradilan

pidana dan proses harus segera dilaksanakan tanpa pe-

nundaan. Kegagalan untuk melaksanakan kesepakatan

berbeda dengan keputusan pengadilan, tidak dapat di-

gunakan sebagai pembenaran untuk menjatuhkan

pidana yang lebih berat dalam proses peradilan selan-

jutnya;

e. Fasilitator harus melaksanakan tugasnya secara tidak

memihak, dengan menghormati martabat pihak-pihak.

Dalam rangka kapasitas tersebut, fasilitator harus men-

jamin bahwa pihak-pihak harus berbuat dengan meng-

hormati satu sama lain dan memungkinkan pihak-pihak

untuk menemukan penyelesaian yang relevan antar

mereka;

f. Fasilitator harus memiliki suatu pemahaman yang baik

terhadap kultur setempat dan masyarakat serta apabila

Page 42: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

32

diperlukan memperoleh pelatihan sebelumnya sebelum

melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator;

g. Negara harus merumuskan strategi nasional dan ke-

bijakan untuk mengembangkan keadilan restoratif dan

memajukan budaya yang kondusif untuk mendaya

gunakan keadilan restoratif diantara penegak hukum,

lembaga sosial dan pengadilan maupun masyarakat

setempat;

h. Konsultasi harus dilakukan antar lembaga peradilan

pidana dan administrator proses keadilan restoratif un-

tuk mengembangkan pemahaman bersama dan mem-

perkuat efektivitas keadilan restoratif dan hasilnya,

untuk meningkatkan perluasan programprogram resto-

ratif yang digunakan, dan menjajagi kemungkinan cara-

cara agar pendekatan keadilan restoratif dapat di-

gabungkan dalam praktek peradilan pidana;

i. Negara bersama masyarakat madani (civil society) harus

mengembangkan riset untuk mengevaluasi program-

program keadilan restoratif dengan menilai tingkat

penggunaan hasilnya, dukungan sebagai pelengkap atau

alternatif proses peradilan pidana dan menciptakan

hasil positif bagi semua pihak. Proses keadilan restoratif

sangat dibutuhkan untuk melaksanakan perubahan

secara konkrit. Negara harus meningkatkan secara ber-

kala dan modifikasi yang diperlukan dari program-

programnya. Hasil dari riset dan evaluasi harus menjadi

pedoman kebijakan selanjutnya dan pengembangan

program;

j. Sekali lagi ditegaskan bahwa segala asas dasar di atas

tidak akan berpengaruh terhadap hak pelaku atau

korban yang telah diatur dalam hukum nasional atau

hukum internasional. Hambatan-hambatan dalam

Page 43: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

33

Penerapan Restorative Justice yang terjadi diantaranya

adalah:

1. Korban yang dapat diidentifikasi

2. Partisipasi suka rela oleh korban

3. Pelaku yang menerima tanggung jawab untuk

perilaku kriminalnya.

4. Partisipasi pelaku yang tidak dipaksakan

Hambatan lain menurut Thomas Raffles dalam bukunya

berjudul History of Java adalah bahwa orang Jawa (maksudnya

Indonesia) itu pendendam dan oleh karena itu sulit untuk diajak

bermusyawarah untuk mencapai mufakat dan sulit untuk

berkompromi. Masyarakat Indonesia menghendaki agar semua

orang yang melakukan kejahatan harus masuk penjara supaya

jera dan tidak melakukan kejahatan atau tindak pidana.

E. Teori-Teori Pemidanaan

Dasar pembenaran dan Tujuan pidana secara tradisional

teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam tiga

kelompok, yaitu:

1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/

vergeldings theorieen).

Dalam Teori absolut menyatakan bahwa pidana merupa-

kan res absoluta ab effectu futuro (keniscayaan yang terlepas dari

dampaknya dimasa depan). Karena dilakukan kejahatan, maka

harus dijatuhkan hukuman, quia peccatum (karena telah me-

lakukan dosa). Menurut Kant dan Hegel, ciri khas dari teori

absolut adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana,

sekalipun pemidanaan. sebenarnya tidak berguna, bahkan

bilamanapun keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih buruk.

Kejahatan adalah peristiwa yang berdiri sendiri; ada kesalahan

yang harus dipertanggungjawabkan dengan cara ini persoalan

Page 44: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

34

dituntaskan. Kesalahan (dosa) hanya dapat ditebus dengan

menjalani penderitaan/nestapa Jadi pandangannya diarahkan

ke masa lalu (backward looking), bukan ke masa depan. Karel O.

Christiansen mengidentifikasi lima ciri pokok teori absolut,

yakni:

a. The purpose of punishment is just retribution (tujuan pidana

hanyalah sebagai balasan);

b. Just retribution is the ultimate aim, and not in itself a means to

any ather aim, as for instance social welfare which from this point

of view is without any significance whatsoever (Pembalasan

adalah tujuan utama dan didalamnya tidak meangandung

sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan

masyarakat);

c. Moral guilt is the only qualification for punishment (kesalahan

moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan);

d. The penalty shall be proportional to the moral guilt of the offender

(Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku);

e. Punishment point into the past, it is pure reproach, and it pur-

pose is not to improve, correct, educate or resocialize the offender

(Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang

murni dan bertujuan untuk memperbaiki, mendidik dan

meresosialisasi pelaku).

Menurut Nigel Walker para penganut teori retributif ini

dapat pula dibagi dalam beberapa golongan, yaitu:

a. Penganut teori retributif yang murni (The pure retributivist)

yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan

dengan kesalahan si pembuat. b.

b. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi)

yang dapat pula dibagi dalam

1) penganut teori retributif yang terbatas (the limiting

retributivist) yang berpendapat: pidana tidak harus

cocok/sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak

Page 45: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

35

boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan

kesalahan terdakwa.

2) penganut teori retributif yang distributif (retribution in

distribution), disingkat dengan sebutan teori “distri-

butive” yang berpendapat: pidana janganlah dikenakan

pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak

harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan.

Prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan” di hormati,

tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya

dalam hal “strict liability”. Terhadap pertanyaan tentang

sejauh manakah pidana perlu diberikan kepada pelaku

kejahatan, teori retributif menjelaskan sebagai berikut:

a. Bahwa dengan pidana tersebut akan memuaskan

perasaan balas dendam si korban, baik perasaan

adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya.

Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak

dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak meng-

hargai hukum. Tipe retributif ini disebut vindicative.

b. Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringat-

an kepada pelaku kejahatan dan anggota masya-

rakat yang lain bahwa setiap ancaman yang me-

rugikan orang lain atau memperoleh keuntungan

dari orang lain secara tidak wajar, akan menerima

ganjarannya. Tipe retributif ini disebut fairness.

c. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya

kesebandingan antara apa yang disebut dengan the

gravity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan.

Tipe retributif ini disebut dengan: proportionality. Ter-

masuk ke dalam kategori the gravity ini adalah kekejaman dari

kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada

dalam kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja (dolus)

ataupun karena kelalaiannya (culpa). Lebih lanjut Nigel Walker

Page 46: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

36

dalam “Sentencing in A Rational Society” menegaskan bahwa

asumsi lain yang dibangun atas dasar retributive adalah beratnya

sanksi harus berhubungan dengan besarnya kerugian yang di-

timbulkan oleh pelanggar. Asumsi ini dimasukkan dalam

undang-undang yang memberi sanksi-sanksi pidana maksimum

yang lebih kecil untuk usaha-usaha yang tidak berhasil dari

pada usaha-usaha yang berhasil. John Kaplan dalam bukunya

Chriminal justice membagi teori retributif menjadi dua:

a. The Revenge Theory (teori pembalasan).

b. The Expiation Theory (teori penebusan dosa).

Pembalasan mengandung arti, bahwa hutang si penjahat

“telah dibayarkan kembali” (the criminal is paid back), sedangkan

penebusan dosa mengandung arti bahwa si penjahat “mem-

bayar kembali hutangnya” (the criminal pays back). Jadi penger-

tian tidak jauh berbeda. Menurut John Kaplan tergantung dari

cara orang berpikir pada saat menjatuhkan suatu pidana/

sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu karena kita “meng-

hutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan “ia ber-

hutang sesuatu kepada kita”. Demikian pula Johannes

Andenaes menegaskan bahwa “penebusan” tidak sama dengan

“pembalasan dendam” (revenge). Pembalasan berusaha me-

muaskan hasrat balas dendam dari sebagian para korban atau

orang-orang lain yang simpati kepadanya, sedangkan pene-

busan dosa, lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan

keadilan.

2. Teori relatif atau teori tujuan.

Teori relatif atau teori tujuan Teori relatif berporos pada

tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu: preventif, deterrence dan

reformatif. Menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai

“teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence) atau

menurut Nigel Walker disebut aliran reduktif (the “reductive”

Page 47: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

37

point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini

ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana bukanlah

sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan ke-

pada pelaku tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang

bermanfaat. Dasar pembenaran adanya pidana adalah terletak

pada tujuan. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est”

(karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur”

(supaya orang jangan melakukan kejahatan). Oleh karena ber-

orientasi pada tujuan yang bermanfaat, maka teori ini disebut

teori tujuan (Utilitarian Theory). Tujuan pencegahan kejahatan

dibedakan antara “special deterrence” (pengaruh pidana ter-

hadap terpidana) dan “general deterrence” (pengaruh pidana

terhadap masyarakat pada umumnya).

Teori tujuan pidana yang berupa “special deterrence”

dikenal dengan sebutan ”Reformation atau Rehabilitation

Theory”. Dalam teori relatif ini dikenal dua pidana/sanksi, yaitu

sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam kedudukan yang

setara. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan

sanksi tindakan ini merupakan hakekat asasi atau ide dasar dari

konsep double track system yang menjadi ciri dari teori relatif.

Sanksi pidana terkait dengan unsur pencelaan/penderitaan dan

sanksi tindakan terkait dengan unsur pembinaan. Kedua-

duanya sama-sama penting. Pemidanaan sebagai suatu tindak-

an terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara moral

bukan terutama karena si terpidana telah terbukti bersalah,

melainkan karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-

konsekuensi positif bagi si terpidana, korban dan juga orang

lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga sebagai

teori konsekuensialisme. Menurut Karl O. Christiansen ada

beberapa ciri pokok teori relative ini, yakni:

Page 48: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

38

a. The purpose of punishment is prevention (tujuan pidana adalah

pencegahan);

b. Prevention is not a final aim, but a means to a more suprems aim,

e.g. social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi

hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih

tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat);

d. Only breaches of the law which are imputable to the perpretator

as intent or negligence quality for punishment (hanya pelang-

garan-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan

kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan yang meme-

nuhi syarat untuk adanya pidana);

e. The penalty shall be determined by its utility as an instrument for

the prevention of crime (Pidana harus ditetapkan berdasar

tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan);

f. The punishment is prospective, it points into the future; it may

contain as element of reproach, but neither reproach nor retri-

butive elements can be accepted if they do not serve the prevention

of crime for the benefit or social welfare. (Pidana melihat ke

depan atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur pen-

celaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila

tak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan

kesejahteraan masyarakat).

3. Teori modern.

Teori modern Teori modern berorientasi pada “hukum

perlindungan sosial” yang harus menggantikan hukum pidana

yang ada sekarang. Teori modern menolak konsepsi-konsepsi

tentang tindak pidana, penjahat dan pidana serta menolak fiksi-

fiksi yuridis dan tekhnik-tekhnik yuridis yang terlepas dari

kenyataan sosial. Atas dasar doktrin ini, teori modern melahir-

kan apa yang disebut dengan istilah “Restorative Justice”.

Apabila ditinjau secara historis lahirnya ide restorative justice,

dapat dilihat ragaan di bawah ini: Teori Relatif (Dad-Dader

Strafrecht) Jenis Sanksi “Double Track System” Punishment

Page 49: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

39

Treatment Tidak mencapai hasil maksimal/gagal Melahirkan

Teori modern

▪ Berorientasi pada “social defence law”

▪ Menolak konsep tindak pidana

▪ Menolak fiksi-fiksi dan teknis-teknis yang terlepas dari

kenyataan social Dalam perkembangannya melahirkan Resto-

rative Justice pemberdayaan pihak-pihak yang terlibat akibat

terjadinya tindak pidana (pelaku, korban, keluarga pelaku

dan korban, masyarakat, dan aparat penegak hukum)

▪ musyawarah untuk mencapai mufakat

▪ pemulihan keadaan yang berupa penggantian kerugian yang

diakibatkan oleh tindak pidana

▪ solusi atas dasar win-win solution Individualisasi Pidana/

Reintegrasi Sosial Terkait dengan unsur pencelaan/pen-

deritaan Terkait dengan Unsur pembinaan Untuk mem-

bedakan Restorative Justice dengan Retributive Justice dapat

dilihat di bawah ini: Restoratif Justice Model Retributive Justice

Model

1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang

terhadap orang lain, dan diakui sebagai konflik.

2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggung-

jawaban dan kewajiban pada masa depan.

3. Sifat Normatif dibangun atas dasar dialog dan negoisasi

4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, re-

konsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama.

5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak,

dinilai atas dasar hasil.

6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial.

7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses

restoratif.

Page 50: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

40

Teori modern dalam perkembangannya mengalami per-

geseran kearah abolisionisme pidana yang dikenal dengan

Restorative Justicese sebagaimana telah disebutkan di atas.

F. Pemahaman Pertanggung jawaban Pidana Anak

Menurut Roeslan Saleh dipidana atau tidaknya seseorang

yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada

saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah

seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang

punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana,

akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang

dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak

dipidana.

Mengenai asas kesalahan, Moeljatno dan Roeslan Saleh,

memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban

pidana yang disebut dengan ajaran dualisme. Ajaran dualisme

memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana ada dua tahap

yang perlu dilakukan, yaitu:

1. Hakim harus menanyakan, apakah terdakwa telah melaku-

kan yang dilarang oleh aturan undang-undang dengan

disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melangar

aturan ini.

2. Apakah pertanyaan di atas menghasilkan suatu kesimpulan

bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan undang-undang, maka ditanyakan lebih

lanjut, apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan

atau tidak mengenai perbuatan itu.

Pertanggung jawaban pidana mensyaratkan pelaku mam-

pu bertanggung jawab. Seseorang yang tidak dapat dikenakan

pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertang-

gungjawaban pidana. Berikut yang menjadi pertanyaan adalah

kapan seseorang itu dikatakan mampu bertanggungjawab dan

Page 51: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

41

apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan

bertanggungjawab itu.

KUHP menentukan masalah kemampuan bertanggung-

jawab dihubungkan dengan pasal 44 KUHP. Pasal 44 KUHP

menentukan “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak

dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat

dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit”.

Berdasarkan pasal 44 Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk

adanya kemapuan bertanggungjawab harus adanya kemam-

puan untuk membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan

buruk, sesuai hokum dan yang melawan hukum, dan kemam-

puan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan ten-

tang baik dan buruknya perbuatan tadi. Syarat pertama faktor

akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diper-

bolehkan dan yang tidak. Syarat yang kedua adalah faktor

perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah

lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan

yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang tidak

mampu menetukan kehendaknya, menurut kehendaknya, me-

nurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia

tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak

dapat dipertanggungjawabkan, menurut pasal 44, ketidak-

mampuan tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau

sakit dalam tubuhnya.

Selanjutnya, mengenai kesengajaan dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (Criminee Wetboek) tahun 1809 dican-

tumkan “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak

melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau yang di-

perintahkan oleh undang-undang”. Memorie van Toeliching

(MvT) Menteri kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel wetboek

1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Indonesia tahun 1915) dijelaskan sengaja diartikan dengan sadar

dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.

Page 52: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

42

Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan,

kemauan, kehendak dan perbuatan merupakan pelaksanaan

dari kehendak. De will(kehendak) dapat ditujukan terhadap

perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua

teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori

kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.

Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk

mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-un-

dang, sedangkan menurut teori pengetahuan atau teori mem-

bayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu

akibat karena manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan

atau membayangkan adanya suatu akibat, adanya “sengaja”

apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan

dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu

tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan

yang terlebih dahulu telah dibuat. Kedua teori Moeljatno

tersebut lebih cenderung kepada teori pengetahuan dan mem-

bayangkan, alasannya adalah:

Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi

pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang terlebih

dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) ten-

tang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu

juga dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah,

maksud dan tujuan perbuatannya. Konsekuensinya ialah,

bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang dikehendaki

oleh teKonsekuensinya ialah, bahwa untuk menentuksn suatu

perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, (1) harus dibuk-

tikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk ber-

buat dan bertujuan yang hendak dicapai (2) antara motif,

perbuatan dan tujuan harus ada hubunga kausal dalam batin

terdakwa. Secara umum ilmu hukum pidana membedakan 3

(tiga) macam kesengajaan, yaitu:

Page 53: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

43

1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet alsoggmerk)

adalah suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana

yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Menu-

rut Jonkers kesengajaan ini merupakan bentuk yang paling

murni dan sederhana.

2. Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni se-

seorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan

suatu tindak pidana, dan menyadari bahwa apabila per-

buatan itu dilakukan, maka perbuatan lain yang juga

merupakan pelanggaran pasti terjadi.

3. Kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan ke-

insyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu per-

buatan lain yang merupakan tindak pidana. Kesengajaan

ini dikenal pula dengan sebutan voorwardelijk opzet atau

dolus eventualis.

Mengenai kelalaian, Moeljatno mengutip pendapat Smint

yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WsV

sebagai berikut:

“Pada umumnya kejahatan wet mengharuskan bahwa

kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang

dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu

mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum

mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan

banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak terhadap me-

reka yang tidak berhati-hati, yang toledor. Dengan pendek,

yang menimbulkan keadaan itu karena kealpaannya. Di sini

sikap batin orang yang menimbulkan keadaan dilarang itu

bukanlah menentang larang tersebut. Dia tidak menghendaki

atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahan-

nya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga

menimbulkan hal yang dilarang, lelah bahwa ia kurang

mengindahkan larangan itu.”

Page 54: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

44

Dari apa yang diutarakan oleh Smint tersebut di atas,

Moeljatno menyimpukan bahwa kesengajaan adalah kesalahan

yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi dasarnya sama,

yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana adanya kemampuan bertanggung jawab, dan tidak ada-

nya alasannya pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesenga-

jaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan,

kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati

dalam melakukan sesuatu yang objektif klausal yang me-

nimbulkan keadaan yang dilarang.

Dengan terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggung-

jawaban pidana seorang anak, hal ini berarti bahwa terhadap

anak tersebut dapat dikenakan pemidanaan. Pemidanaan ter-

hadap anak hendaknya harus memperhatikan perkembangan

seorang anak. Hal ini disebabkan bahwa anak tidak dapat/

kurang perpikir dan kurangnya pertimbangan atas perbuatan

yang dilakukannya. Disamping itu, anak yang melakukan per-

buatan pidana tidak mempunyai motif pidana dalam melaku-

kan tindakannya yang sangat berbeda dengan orang dewasa

yang melakukan tindak pidana karena memang ada motif

pidananya.

Pemberian pertanggungjawaban terhadap anak harus

mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik

anak di masa yang akan datang. Penanganan yang salah menye-

babkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena

anak adalah generasi penerus bangsa dan cita-cita negara.

Undang-undang No.3 tahun 1997 Bab III memuat sanksi pidana

dan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak. Sebagaimana

ditentukan dalam pasal 23 UU No.3 Tahun 1997 pidan ayng

dapat dijatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana

tambahan. Pidana pokok berupa (a) Pidana penjara, (b) Pidana

kurungan (c) Pidana denda (d) pidana pengawasan. Sedangkan

Page 55: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

45

pidana tambahan berupa permpasan barang-barang tertentu

dan ataupembayaran ganti rugi.

Sesuai dengan Undang-undang No.3 Tahun 1997/11

tahun 2012 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang anak

adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum

mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (4). Sedang-

kan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur

terhadap anak yang masih berumur 8 sampai dengan 12 tahun,

akan diberi tindakan; (1) dikembalikan kepada orang tuanya, (2)

ditempatkan pada organisasi sosial atau (3) diserahkan kepada

negara. Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk sistem

peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi sebagai-

mana termuat dalam Undang-undang No.35 tahun 2014 tentang

perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik

bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkem-

bangannya, serta penghargaan terhadap anak.

Pada pasal 64 Undang-undang No.23 tahun 2002 yang

telah dirobah dengan N0 35 tahun 2014 tentang perlindungan

anak juga mengatur perlindungan terhadap anak yaitu:

1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan

martabat dan hak-hak anak

2. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini

3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus

4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang

tebaik bagi anak

5. Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap per-

kembangan anak yang berhadapan dengan hukum. Pem-

berian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan

orang tua atau keluarga.

6. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media

massa dan untuk menghindari labelisasi.

Page 56: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

46

Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang me-

lakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak dapat

dilakukan penahanan. Undang-undang nasional memberikan

peluang dilakukannya penahanan terhadap anak pelaku tindak

pidana. Contohnya pasal 43 ayat 2 Undang-undang No.3 tahun

1997 menyatakan bahwa “Penangkapan anak nakal dilakukan

guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu)

hari”. Dalam pasal 44 ayat 2 menyebutkan bahwa “Penahanan

hanya berlaku utuk paling lama 20 hari. Dalam ayat 3 menye-

butkan bahwa “Apabila diperlukan guna kepentinan pemerik-

saan yang belum selesai, atas permintaan penyidik dapat di-

perpanjang oleh penuntut umum yang berwenang, untuk

paling lama 10 hari”. Selanjutnya dalam ayat 4 menyatakan

bahwa “Dalam jangka waktu 30 hari penyidik sebagaimana

yang dimaksud dalam ayat 3 sudah harus menyerahkan berkas

perkara pada pihak penuntut umum. Jika dalam jangka waktu

30 hari polisi belum menyerahkan berkas perkara pada pihak

penuntut umum, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahan-

an demi hokum”. Selama anak ditahan, anak harus berada di-

tempat khusus dengan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial

anak harus tetap dipenuhi.

Page 57: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

197

DAFTAR BACAAN

Bambang Purnomo. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, Indonesia, 1982

B. Simanjuntak. Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung: Alumni, 1973.

Kartono, Kartini. Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali, 1992.

Siregar, Bismar. Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali, 1986. Siregar, Bismar. Telaah tentang Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Wanita. Yogyakarta: Pusat Studi Kriminologi F. H. UII, 1986.

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. cet. ke-2, Bandung: Penerbit Alumni, 1986.

Suparni, Niniek. Existensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan cet. ke-1, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Sudarto, 1980, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung

S. Sapto. UU RI. No. 1 Tahun 1995 tentang Pemilihan Umum. cet. ke-3, Semarang: Aneka Ilmu, 1986.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek: Dengan Tambahan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan. Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.

R. Sugandhi. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional,

R. Wiyono. Sistem Peradilan Anak di Indonesia

Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta: Fusco, 1955.

Page 58: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

198

Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.02.UM.09.08 Tahun 1980 tentang Perunjuk Pelaksanaan bantuan Hukum

Instruksi bersama Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian RI Nomor: Instr-006/JA/19/1981, Nomor: Pol.: Ins/17/X/81 tentang Peningkatan Usaha Pengamanan dan Kelancaran Penyidangan Perkara-Perkara Pidana

Instruksi bersama Mahkamah Agung RI, Menteri Kehakiman RI, dan Jaksa Agung RI Nomor: KMA/35/III/1981, Nomor: M.01.PW.07.10 Tahun 1981, Nomor: Instr/ 001/JA/3/1981 tentang peningkatan Tertib Penyidangan dan Penyelesaian Perkara-Perkara Pidana

Keputusan menteri Kehakiman RI Nomor: M.08.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pelimpahan Wewenang Pengang-katan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Surat Keputusan No.: Skep/619/XII/1983 tentang Penentuan Penunjukan Penyidik dan Pengangkatan penyidik membantu dalam Lingkungan Kepolisian RI

Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan, dan Tata Tertib Rumah Tahanan egara

Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.06.UM.01.06 tahun 1983 tentang tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang sidang

Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.07.UM.01.06 tahun 1983 tentang Pakaian, Atribut Pejabat Peradilal, dan Penasihat Hukum

Page 59: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

199

Undang-Undang republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 ten-tang Pengadilan Anak Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Redaksi Bumi Aksara. Undang-undang Pokok Perkawinan. cet. ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.

Redaksi Citra Umbara. Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bandung: Citra Umbara, 2003.

Redaksi Sinar Grafika. Undang-undang Peradilan Anak. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Redaksi Sinar Grafika. UU Kesejahteraan Anak. Jakarta: Sinar Grafika, 1997.

Page 60: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

200

Page 61: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

201

TENTANG PENULIS

Alfitra: lahirkan diujung Sumatra bagian barat perbatasan

Samudra Hindia, Air Bangis Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra

Barat menyelesaikan Strata S1 di kota Padang tepatnya di

Universitas Bung Hatta, Strata S2 di Universitas Muhammadiyah

Jakarta dan Strata S3 di Universitas Islam Bandung. Mengabdikan

diri sebagai Dosen PNS di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarat sejak tahun 2002 dan juga mengajar di

beberapa perguruan tinggi, UPVJ, UNPAM, UBHARA JAYA dan

STIH IBLAM.

Doktor ilmu hukum pidana ini juga sering juga memberikan

keterangan ahli pidana baik ditingkat penyidikan maupun peng-

adilan. Dan sekarang mengasuh mata kuliah: hukum pidana,

hukum acara pidana, hukum pembuktian, sister peradilan pidana,

delik-delik khusus di luar KUHP dan kriminologi, beberapa karya

buku yang sudah diterbitkan diantaranya: Hapusnya Hak

Menuntut dan Menjalankan Pidana, Hukum Pembuktian dalam

Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia. Modus Operasi

Tindak Pidana Khusus di luar KUHP, Konflik Sosial dalam

Masyarakat Moderen.

Page 62: DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47830/1/Buku Pak Fitra-HUKUM ACARA...atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak,

202