dalam mengkritik jokowi o posisi kurang...

1

Upload: votu

Post on 11-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: dalam Mengkritik Jokowi O posisi Kurang Kreatifbigcms.bisnis.com/file-data/1/2608/d1a61c4c_Des17-AnadanaGlobal... · Keduanya menguji Pasal 169, Pasal 227, Pasal 229 UU Pemilu

INDONESIA MEMILIHRABU, 25 APRIL 2018 ◆ HALAMAN 4

Pemohon Minta Capres dan Cawapres Direstui DPD

Larangan Koruptor Nyaleg tidak Langgar Konstitusi

PILEG TANPA KORUPTOR: (Dari kiri) Pengamat politik dari PARA Syndicate Ari Nurcahyo, Koordinator Komite Indonesia (TePI) Jeirry Sumampouw, akademisi Universitas Paramadina Arif Susanto, dan Deputi Indonesia Budget Center (IBC) Ibeth Koesrini saat diskusi di Jakarta, kemarin. Diskusi membahas topik Pileg 2019 tanpa koruptor.

MI/ADAM DWI

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 33/PUU-XVI/2018 tersebut diajukan Martinus Butarbutar dan Risof Mario.

Keduanya menguji Pasal 169, Pasal 227, Pasal 229 UU Pemilu. Mereka meni-lai hak-hak konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya pasal a quo lantaran tidak me nyertakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam pengusung an calon presiden dan wakil presiden.

Dalam sidang dengan a g e n d a p e m e r i k s a a n pendahuluan tersebut, Martinus menyampaikan, jika pencalonan presiden dan wakil presiden tidak mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari DPD sebagai orang asli Indone-sia, dikhawatirkan calon pemimpin tersebut berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia.

“Permohonan kami dasarnya kekhawatir-an kami tentang negara ini, jika UU Pemilu hanya memberikan syarat seperti itu, maka siapa pun bisa jadi presiden. Bukan ber dasarkan kedaulatan rakyat, tapi berdasarkan kedaulatan partai politik,” kata Martinus saat bersidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, kemarin.

Pada kesempatan tersebut, hakim anggota Suhartoyo pun meminta pemohon untuk kembali mencermati permohonannya. Ia mempertanyakan ketiga pasal yang digugat tersebut apakah memang bertentangan

dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Untuk diketahui, Pasal 169 berisi me-ngenai persyaratan untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Selan-jutnya, Pasal 227 mengenai kelengkapan syarat bagi pendaftaran bakal paslon. Adapun Pasal 229 menyangkut syarat yang harus diajukan partai politik atau gabun-gan partai politik saat mendaftarkan bakal paslon ke KPU.

“Pasal 169, kalau ini ( d i n y a t a k a n ) e n g g a k mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka persyaratan jadi capres dan cawapres hilang dong. Apa kriteria seseorang jadi capres atau cawapres?” tanya Suhartoyo.

Sementara itu, hakim anggota Aswanto menya-rankan kepada pemohon agar memperbaiki permo-honannya sehingga bentuk

permohonannya ialah meminta Mahkamah Konstitusi untuk memaknai pasal a quo.

“Bapak minta di petitumnya, DPD juga beri restu (pencalonan presiden dan wakil presiden),” ucapnya.

Hal senada juga diutarakan ketua majelis hakim, Saldi Isra. Ia meminta pemohon untuk menjelaskan kembali kerugian konstitusional yang dialami jika pasal a quo tidak diberikan pemaknaan lebih lanjut.

“Bapak ingin ada restu DPD dalam proses pencalonan presiden, sebutkan restunya bagaimana. Misalnya restu 50% plus satu. Nah, pasal mana yang mau ditambah atau diberi pemaknaan,” pungkasnya. (Nur/P-4)

NIAT Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membatasi mantan koruptor mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dinilai tidak melanggar undang-undang ataupun hak konstitusional. Pasalnya, pembatasan HAM memang dimungkinkan dalam Undang- Undang Dasar 1945.

“Kalau kita baca baik-baik Pasal 28 UUD ‘45, itu dikatakan (hak asasi) dimungkinkan untuk dibatasi untuk tujuan melindungi ke-bebasan, keadilan, dan menciptakan tertib sosial. Kalau tiga syarat itu terpenuhi, mung-kin saja (ada pembatasan),” ucap analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, di Jakarta, kemarin.

Oleh karena itu, lanjutnya, niat baik KPU itu seharusnya juga dapat dilihat partai politik. Alasan DPR menolak aturan yang termaktub dalam rancangan peraturan KPU tersebut, yakni karena bentrok dengan konstitusi, sudah sepatutnya tidak dipakai lagi.

Atas hal tersebut, Arif memberi dua con-toh pembatasan hak asasi dalam bidang politik. Pertama ialah pembatasan hak politik bagi TNI dan Polri. Kedua ialah pen-cabutan hak politik secara temporer yang dilakukan pengadilan kepada koruptor.

“Itu kan pembatasan, melanggar HAM ti-dak? Sejauh (pembatasan) itu dibuat dengan berlandasakan tiga poin penting tadi maka dia jadi sah,” lanjutnya.

Koordinator Divisi Jaringan Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, dalam

kesempatan yang sama menyatakan pasal syarat calon anggota legislatif tersebut bu-kan sebuah pencabutan hak politik. KPU hanya menerjemahkan undang-undang yang berada di atasnya terkait dengan pra-syarat calon.

“Pesan dari norma tersebut ialah untuk jadi pejabat publik, apalagi wakil rakyat, penting untuk syarat yang lebih ketat,” terang dia.

Direktur Lingkar Madani (Lima) Indo-nesia, Ray Rangkuti, menilai pembatasan bahkan pencabutan hak politik koruptor merupakan hukuman yang setimpal. Pasal-nya, jika hanya diberikan hukuman penjara dan denda, itu hanya sebagai bentuk hu-kuman pidana biasa.

Oleh karena itu, perlu satu upaya meng-hukum delik khusus tersebut, salah satunya melarang yang bersangkutan kembali ke ra-nah politik. Ray melihat niat KPU melarang mantan koruptor nyaleg dalam PKPU ten-tang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sudah tepat. Bahkan, penyalahgunaan jabatan yang dilakukan dalam melakukan korupsi, menurutnya, juga perlu mendapat sanksi administrasi.

“Korupsi itu extraordinary crime. Maka sanksinya juga harus ada tambahan. Di kita kan masih ragu-ragu (menambahkan sanksi), harta enggak dicabut, enggak boleh dimiskinkan, hak politik juga enggak di-cabut,” tandasnya. (Ric/P-4)

SIDANG UJI UU PEMILU: Hakim konstitusi Saldi Isra (tengah) didampingi Aswanto dan Suhartoyo (kanan) saat memimpin sidang pengujian UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, kemarin. Agenda sidang ialah pemeriksaan pendahuluan.

ANTARA/REGINA SAFRI

ASTRI NOVARIA [email protected]

PENGAMAT politik Ray Rangkuti menilai opo-sisi yang mengkritik Presiden Joko Widodo

‘kurang bahan’. Sama seperti pada Pemilu 2014, isu yang digulirkan agar Jokowi tak ter-pilih menjadi RI-1 masih sepu-tar isu PKI, anti-Islam, bahkan antek asing.

Menurut Ray, isu-isu se-macam itu sudah tak lagi relevan dibawa ke Pemilu 2019 karena faktanya elektabilitas Jokowi sebagai calon presi-den petahana terus melonjak, khususnya dalam enam bulan terakhir saat isu miring justru makin kencang berembus ke-padanya.

“Harusnya oposisi lebih kre-atif membuat isu yang me-

nyentuh hal yang dibutuhkan publik,” kata Ray di Jakarta, kemarin.

Jokowi pun tampaknya tak ambil pusing dengan isu-isu miring yang menerpanya. Ia menanggapi santai soal belum adanya calon wakil presiden yang akan mendampinginya di Pilpres 2019 karena mengaku kini masih fokus menyelesai-kan program kerjanya.

“Itu (pemilihan cawapres) masih panjang. Kalau waktu-nya tiba, akan didiskusikan dengan partai pendukung dan relawan,” kata Presiden di sela peninjauan perumahan untuk nelayan di Pangandaran, Jawa Barat, kemarin.

Belum defi nitifnya cawapres Jokowi membuat nama-nama calon terus bergulir, termasuk nama Ketua Umum Partai Ger-indra Prabowo Subianto. Ketua

DPR yang juga merupakan poli-tikus Partai Golkar, Bambang Soesatyo, menilai Prabowo cocok mendampingi Jokowi setelah Jusuf Kalla.

“Kalau Pak JK tidak bisa (maju sebagai cawapres), yang paling ideal untuk memini-malkan perpecahan bangsa ya menggandeng Pak Prabowo,” ujarnya di Gedung DPR, Ja-karta, kemarin.

Kaji usulDinamika capres-cawapres

dipastikan masih berlangsung dinamis hingga pendaftaran terakhir pada 10 Agustus 2018 mendatang. Meski demikian, waktu pendaftaran itu bisa maju setelah mendapat protes dari mantan ketua pansus UU Pemilu, Lukman Edy.

Sebelumnya, politikus PKB itu menyatakan Peraturan Komisi Pemilhan Umum (PKPU) No 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penye-lenggaraan Pemilu 2019 meng-ancam konstitusionalitas Pemi-lihan Presiden 2019. Pasalnya, PKPU tersebut bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Salah satunya ialah peng-aturan jadwal pendaftaran calon presiden dan wakil pre-siden pada 4-10 Agustus. Keten-tuan tersebut bertentangan de-ngan Pasal 226 ayat 4, 232 ayat 2, serta 235 ayat 4 UU Pemilu.

“Apakah betul itu salah prosedur atau malah setelah dikaji itu tidak masalah. Itu akan kita putuskan segera,” kata komisioner KPU Ilham Saputra di Kantor KPU, Jakarta, kemarin.

Sekretaris Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, menilai kritik PKB terhadap jadwal pendaftaran Pilpres 2019 ialah langkah kotor ter-hadap parpolnya. Pasalnya, wa-cana itu bisa menjegal Agus Ha-rimurti Yudhoyono (AHY) yang tengah didorong Demokrat maju di Pilpres 2019.

AHY lahir pada 10 Agustus 1978 atau saat ini berusia 39 tahun. Dengan kata lain, se-suai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Pasal 169, AHY hanya bisa mendaftar se-bagai capres/cawapres pada 10 Agustus 2018 saat dirinya genap berusia 40 tahun. (Opn/Pol/Ric/*/MTVN/P-4)

Oposisi Kurang Kreatif dalam Mengkritik JokowiElektabilitas Jokowi sebagai calon presiden petahana terus melonjak, khususnya dalam enam bulan terakhir saat isu miring justru makin kencang berembus kepadanya.

Hakim anggota Suhartoyo meminta pemohon untuk kembali mencermati permohonannya.

pusdok
Typewritten Text
25 April 2018, Media Indonesia | Hal. 4