daftar isi - universitas tadulako
TRANSCRIPT
0
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
Pengaruh Suhu Dan Durasi Perawatan Terhadap Kuat Tekan Mortar Geopolimer
Berbahan Dasar Abu Terbang
Horianto¹, Andi Arham Adam² dan Nicodemus Rupang³ 1
Studi Kinerja Angkutan Umum Penumpang Antar Kota Dalam Propinsi
(A.K.D.P) di Sulawesi Tengah
Ali Alhadar 15
Profil Distribusi Kecepatan Vertikal Suatu Aliran Pada Dsaluran Terbuka
Alifi Yunar 27
Hubungan Kerapatan Dengan Kuat Rekat Kayu Kelapa Pada Gaya Kempa Yang
Konstan
Kusnindar. Abd. Chauf 1, dan Agus Rivani
2 40
Algoritma Pemfilteran Untuk Reduksi Noise Pada Citra Menggunakan Logika
Fuzzy
Anita Ahmad Kasim1 dan Agus Harjoko
2 51
Model GPS Pengukuran Pola Arus Pasang Surut Dan Gelombang (Kasus Pantai
Bahari Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat)
Baharuddin; Wihardi Tjaronge2; Arsyad Thaha
3; Farouk Maricar
4 60
Test X-Ray Tomography Permeable Asphalt Pavement Menggunakan Batu
Domato Sebagai Course Aggregate Dengan Bahan Pengikat Bna-Blend Pertamina
Firdaus Chairuddin1, Wihardi Tdaronge
2, Muhammad Ramli
3, Johannes
Patanduk4 75
Eksistensi Ruang Aktivitas Tepian Teluk Pasca Pembangunan Jalan Lingkar
Pantai Teluk Palu (JLPTP)
Muhammad Bakri1, Prof. Nindyo Soewarno
2, Dr. Budi Prayitno
3 89
Mengatasi Rutting Subgrade Melalui Peningkatan Kualitas Subbase
Menggunakan Material Lolioge
Syamsul Arifin1, Mary Selintung
2, Lawalenna Samang
3, Tri Harianto
4 103
ii
Model Evaluasi Dan Monitoring Pengadaan Barang Dan Jasa Bangunan
Konstruksi Berbasis Mitigasi Di Pesisir Pantai
Tutang Muhtar Kamaludin 118
Buis Beton Berlubang Sebagai Alternatif Sumur Resapan Air Hujan
I Gede Tunas1, Rizaldi Maadji
2, Arody Tanga
3 138
Perencanaan Pondasi Dangkal Dan Pondasi Tiang Bor Dengan Metode Analitis
Dan Metode Elemen Hingga
Astri Rahayu¹, Dini Afrianti² 150
Perbandingan Frekuensi Alami Balok Beton Bertulang Berpenampang I Dengan
Balok Beton Bertulang Berpenampang T Berlubang Memanjang
Muhammad Yusuf Amir 1, Fatmawati Amir2 171
Penerapan Sni 1726 2012 Pada Bangunan Bertingkat Di Kota Palu Dalam Upaya
Mitigasi Bencana Gempa (Studi Kasus Bangunan Rusunawa Ujuna Kota Palu)
I Ketut Sulendra 182
Pengaruh Penambahan Bitumen Asbuton Terhadap Modulus Kekakuan Campuran
Arief Setiawan 193
Pengaruh Komposisi Alkali Aktivator Terhadap Kuat Tekan Mortar Geopolimer
Barbahan Dasar Abu Terbang
Medi Tikara1, Andi Arham Adam
2, I Wayan Suarnita
3 215
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keefektifan Sistem Penjaminan Mutu Pada
Perguruan Tinggi
Nirmalawati 227
Hubungan Kreativitas, Motivasi Dan Karakter Individu Terhadap Kepemimpinan
Penanggung Jawab Teknik (Pjt) Industri Konstruksi Di Indonesia (Studi Kasus:
Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah)
Tilaar, T.A.M.1, Selintung, M.
2, Rahim, M.R.
3, Nurdin, D.
4 241
Penentuan Ketebalan Media Saringan Pada Model Penjernihan Air Limbah
Masyarakat
Saparuddin¹, M. Saleh Pallu², Mary Selintung3 dan Rita Tahir Lopa
4 255
iii
Kajian Spasial Permukiman Vernakular Pesisir di Kabupaten Kepulauan Selayar
Sulawesi Selatan Studi Kasus : Permukiman Pesisir Desa Appa‘tana
Muhammad Najib1, Ahda Mulyati
2, Arya Ronald
3 265
Studi Karakteristik Lentur Balok Beton Bertulang Beragregat Styrofoam
Yasser 1, Herman Parung
2, M. Wihardi Tjaronge
3, Rudy Djamaluddin
4 276
Aplikasi Model MockWyn-UB untuk Menaksir Indek Kekeringan Akibat Adanya
Perubahan Iklim
I Wayan Sutapa 293
Perubahan Permukaan Air Akibat Adanya Hambatan Pilar Pada Belokan Saluran
M. Galib Ishak1, M. Saleh Pallu
2, M. Arsyad Thaha
3 dan Rita Tahir Lopa
4 306
Pengaruh Penambahan Material Perkerasan Daur Ulang Terhadap Karakteristik
Campuran Beton Aspal Lapis Aus
Novita Pradani1, Ratnasari Ramlan
2 322
Studi potensi sungai salena dusun salena kota palu Sebagai sumber energi
PLTMH
Kennedy.M1,Ridho Hantoro
2,Khairil Anwar
3, Prabowo
4 333
Peran Fakultas Teknik Universitas Tadulako Dalam Peningkatan Sdm
Transportasi
Jurair Patunrangi 352
Penempatan Lokasi Tiang Jaringan Distribusi Primer Menggunakan Geographic
Infomartion System (GIS)
Deny Wiria Nugraha1, Yuli Asmi Rahman2 363
1
PENGARUH SUHU DAN DURASI PERAWATAN TERHADAP KUAT
TEKAN MORTAR GEOPOLIMER BERBAHAN DASAR ABU TERBANG
Horianto¹, Andi Arham Adam² dan Nicodemus Rupang³
Universitas Tadulako, Palu, Indonesia
Email: [email protected]
ABSTRACT
The Purpose of this research is to determine the optimum temperature and
duration of curing which produce acceptable compressive strength of fly ash
based geopolymer mortar. In this research, sodium silicate (Na2SiO3) and sodium
hydroxide (NaOH) were used as alkaline activator. The dosage of activator was
55% and the ratio between sodium silicate and alkali activator is 1 : 2. The
research was conducted by varying the curing temperature of 80, 100 and 120oC
with each curing temperature has a duration of 4, 6 and 20 hours. Compressive
strength test was performed at age of 3, 7, 14 and 28 days on cube specimens
with a size of 50 x 50 x 50 mm with a mass ratio between the sand and fly ash is 1
: 2,75.
The test results showed that the compressive strength of geopolymer mortar
with temperature and duration of curing 120oC and 20 hours produces the highest
compressive strength of 33.1 MPa. The compressive strength is greater than that
produced by normal mortar compressive strength of 27.6 MPa.
Keywords: Geopolymer, Fly ash, Compressive Strength, Temperature, Duration.
PENDAHULUAN
Merujuk pada besarnya sumbangan industri semen terhadap total emisi
karbon dioksida (CO2), maka perlu segera dicarikan solusi yang tepat untuk
meminimalisir gas yang mencemari lingkungan ini. Penggantian sejumlah bagian
semen dalam pembuatan beton, atau secara total menggantinya dengan bahan lain
yang lebih ramah lingkungan menjadi pilihan yang lebih menjanjikan.
Salah satu alternatif pemecahannya adalah penggunaan limbah abu terbang
(fly Ash). Abu terbang merupakan limbah industri dari Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU) hasil dari sisa pembakaran batu bara yang mengandung silica amorf.
Istilah ‗geopolimer‘ digunakan pertama kali pada tahun 1970 oleh seorang
insinyur dan juga seorang ilmuwan Prancis, Prof. Joseph Davidovits. Geopolimer
sendiri terbentuk dari reaksi kimia aluminium dan silikon sebagai bahan kimia
dasar yang dengan bantuan aktivator alkali akan mengalami proses polimerisasi
2
anorganik (inorganic polymerization), yang hasilnya sebuah benda padat
menyerupai beton/mortar.
Perawatan (curing) merupakan salah satu tahapan yang sangat penting
dalam proses pembuatan beton/mortar agar kualitas yang direncanakan dapat
tercapai. Pada beton/mortar biasa perawatan dapat dilakukan dengan perendaman
atau memberikan air tambahan untuk proses hidrasi. Perawatan beton/mortar
geopolimer pada suhu kamar akan menyebabkan penundaan pada waktu
pengikatan. Hal ini dapat dihindari dengan perawatan panas menggunakan oven
(Kirschner dan Harmuth, 2004). Selama proses perawatan, beton/mortar
geopolimer mengalami proses polimerisasi. Pada suhu tinggi, proses polimerisasi
menjadi lebih cepat dan beton/mortar geopolimer dapat mencapai 70% dari kuat
tekannya dalam waktu 3 sampai 4 jam pemanasan (Kong dan Sanjayan, 2008
dalam Bakri dkk., 2010). Penurunan kuat tekan geopolimer dapat terjadi dalam
perawatan dengan suhu yang tinggi untuk waktu yang lama (Puertas dkk, 2008
dalam Khale, 2007).
Gambar 1 Pengaruh Waktu Curing terhadap Kuat Tekan Mortar Geopolimer
(Sumber : Ravikumar dkk., 2010)
Pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa waktu curing memberikan pengaruh
yang signifikan pada kuat tekan mortar geopolimer. Hal ini diduga bahwa waktu
curing yang lebih lama melepaskan molekul air yang lebih banyak pada mortar
geopolimer. Curing yang lebih lama juga akan mempercepat reaksi polimerisasi
dan setting dari mortar tersebut (Ravikumar dkk., 2010).
3
TINJAUAN PUSTAKA
Reaksi polimerisasi dapat terjadi karena adanya reaksi antara alkaline
activator (NaOH atau KOH) dengan material yang mengandung silikat atau
alumina yang tinggi yang digunakan sebagai penyeimbang reaksi dengan
menyumbangkan ion positif (kation) dan juga berfungsi untuk mereaktifkan unsur
aluminium dan silika di dalam fly ash.
Pemberian Sodium Silikat (Na2SiO3) pada mortar geopolimer dapat
mempercepat reaksi polimerisasi yang cenderung lambat, sehingga dengan
demikian kekuatan mortar geopolimer dapat meningkat dibandingkan dengan
tanpa adanya penambahan Na2SiO3 (Davidovits, 2008).
Gambar 2 Ikatan Polimerisasi yang Terjadi pada Geopolimer
(Sumber : www.geopolymer.org)
Secara keseluruhan proses geopolimerisasi digambarkan dalam empat tahap
yaitu (Xu, dkk. 2001 dalam Song 2007) :
1) Terjadinya penguraian aluminium silikat di dalam alkali aktivator. Ketika
mineral aluminum silikat berada pada pH tinggi (keadaan basa), maka
ikatan yang menghubungkan antara silikat dan aluminium tetrahedral akan
terputus.
2) Unsur aluminum dan silika kompleks yang telah terurai, menyebar dari
permukaan padatan aluminium silikat ke ruang antar partikel.
3) Terbentuklah benda uji menyerupai gel, yang merupakan hasil dari proses
polimerisasi akibat penambahan larutan silika (sodium silikat) dengan
unsur aluminium dan silika kompleks.
4
4) Bentuk benda uji yang menyerupai gel mulai mengalami pengerasan yang
berkaitan dengan pengeluaran air yang tidak ikut mengalami reaksi kimia
dan terbentuklah geopolimer.
Gambar 3 Ikatan yang terjadi pada semen (kiri) dan ikatan yang terjadi pada
geopolymer (kanan)
(Sumber : www.geopolymer.org).
Gambar 4 Perbandingan Antara Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan
Umur Benda Uji pada Suhu Ruang.
(Sumber: Manjunath dkk., 2011)
Umur benda uji (hari)
Ku
at T
eka
n
(N/m
m2)
5
Kuat tekan mortar geopolimer pada suhu ruangan secara berkelanjutan
meningkat sesuai dengan umur benda uji, yang dapat dilihat pada Gambar 2.9.
Peningkatan kuat tekan ini dapat dikaitkan dengan pembentukan dari alumino
silikat/kalsium silikat hidrat gel secara terus menerus yang merupakan bahan
pengikat dari mortar geopolimer (Manjunath dkk.,2011)
Kondisi perawatan dari geopolimer terdiri dari suhu perawatan dan lama
pemanasan. Efek dari suhu pemanasan pada suhu 30, 60 dan 91oC pada
perkembangan kuat tekan di perlihatkan pada Gambar 5, yang mana menandakan
bahwa keuntungan dari pemanasan pada proses perawatan geopolimer adalah
signifikan. Kondisi perawatan geopolimer terbaik adalah pada suhu 60oC selama
24 jam. (Hardjito, dkk., 2002 dalam Song, 2007)
Gambar 5 Pengaruh dari suhu pemanasan terhadap perkembangan kuat tekan
geopolimer
(Sumber : Hardjito dkk., 2002 dalam Song, 2007)
Tabel 1 Hasil Penelitian Suhu Perawatan terhadap Perkembangan Geopolimer Berbahan Dasar
Abu Terbang
No Variasi Suhu dan Durasi Optimum Referensi
1 30, 60, 91oC selama 24 jam 60oC, 24 jam Hardjito dkk, 2002
2 30, 75oC selama 24 jam 75oC, 24 jam Sindhunata dkk, 2004
3 75, 95oC selama 6 atau 24 jam 95oC, 24 jam Bakharev, 2005c
4 45, 65, 85oC selama 24 jam 85oC, 20 jam Fernandez-Jimenez dan Palomo, 2002
(Sumber : Song, 2007)
METODE PENELITIAN
Bahan dasar (raw material) berupa abu terbang (fly ash) yang diambil dari
PLTU Mpanau. Abu terbang yang digunakan tergolong ke dalam abu terbang
Ku
at T
eka
n p
ad
a u
mu
r 7
ha
ri
(MP
a)
Suhu Perawatan (oC)
Catatan : durasi perawatan selama 24 jam
6
kelas F yaitu abu terbang dengan kadar kalsium yang rendah. Analisis unsur kimia
yang terdapat dalam abu terbang dapat dilihat pada Tabel 2.
Dalam penelitian ini, Sodium Silikat (Na2SiO3) yang digunakan memiliki
kerapatan sebesar 1.552 g/cc (Na2O = 15.4% dan SiO2 = 32.33%). Dosis aktivator
(Alkali Aktivator/fly ash) yang digunakan adalah sebesar 55% serta perbandingan
antara sodium silikat dan alkali aktivator adalah 1 : 2. Sodium hidroksida yang
digunakan adalah dalam bentuk cairan (liquid) yang dipersiapkan sehari sebelum
dilakukan pencampuran dengan tambahan air.
Tabel 2 Komposisi Kimia dari Binder (% Massa)
Komponen Abu terbang
SiO2 55.540
Fe2O3 23.760
Al2O3 14.020
CaO 2.020
K2O 1.580
SO3 1.300
TiO2 0.920
MnO 0.291
Mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang dalam penelitian ini
menggunakan Water to Solid ratio (W/S) sebesar 0.35. Jumlah air dalam
campuran mortar merupakan penjumlahan dari kandungan air yang berada dalam
sodium silikat, sodium hidroksida dan tambahan air sedangkan jumlah padatan
(solid) merupakan penjumlahan dari berat abu terbang, dan kandungan padatan
dalam sodium silikat dan sodium hidroksida. Perbandingan antara abu terbang dan
pasir yang dipakai adalah 1 : 2.75.
Detail mix yang digunakan diadopsi dari Adam (2009) dan SNI 06-6825-
2002, akan tetapi dalam penelitian ini digunakan kemolaran sodium hidroksida
dan air tambahan yang berbeda. Berikut adalah Tabel 3 jumlah bahan yang
dibutuhkan dalam mix design mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang (per
1 liter campuran).
Alat yang digunakan adalah Hobart mixer dengan kapasitas 5 liter, benda uji
dibuat dalam bentuk 5 cm3, dipadatkan dan digetarkan sesuai dengan prosedur
yang digunakan dalam SNI 06-6825-2002. Benda uji kemudian dioven dengan
variasi suhu perawatan 80o, 100
o dan 120
oC serta durasi masing 4, 6 dan 20 jam
7
dan juga satu set benda uji yang dibiarkan di ruangan terbuka yang terkena sinar
matahari langsung (kering udara).
Tabel 3 Jumlah Bahan dari Mortar Geopolimer (per litre mix)
Abu
terbang
(Kg)
Pasir
(Kg)
Activator (Kg) Air
Tambahan
(Kg)
Total
(Kg) Na2SiO3
(liquid)
NaOH
(10M)
0.516 1.420 0.142 0.142 0.046 2,265
Benda uji yang sebelum dimasukan ke dalam oven tersebut, setelah dicetak
didiamkan sejenak selama ± 3 jam sebelum dilapisi dengan cling wrap, kemudian
durasi pemanasan telah tercapai maka benda uji di keluarkan dari oven dan
dibiarkan selama ± 6 jam sebelum dilepaskan dari cetakan. Setelah dilepaskan
dari cetakan, benda uji tetap dibiarkan dalam suhu kamar sampai pada hari
pengetesan.
Mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang yang dibiarkan di ruangan
terbuka yang terkena sinar matahari langsung belum dapat dilepaskan dari cetakan
sebelum mencapai umur 3 hari, hal ini disebabkan benda uji belum berubah
menjadi benda padat.
Kuat tekan rata-rata dari mortar geopolimer tersebut diperoleh dari
pengetesan kuat tekan menggunakan mesin uji kuat tekan dengan pengaturan
kecepatan penekanan sebesar 20 MPa/menit. Kuat tekan dari benda uji dites pada
umur 3, 7, 14 dan 28 hari setelah pencampuran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Normal dan Mortar Geopolimer dengan
Perawatan Kering Udara
Hasil pengujian kuat tekan pada umur 3 hari untuk mortar normal adalah 15,733
MPa sedangkan untuk mortar geopolimer sangat rendah yaitu 0,867 MPa. Pada
umur 7 hari grafik kuat tekan untuk mortar normal mengalami kenaikan menjadi
21,867 MPa dan untuk mortar geopolimer sebesar 2,133 MPa. Selanjutnya, pada
umur 14 hari grafik kuat tekan untuk mortar normal masih mengalami kenaikan
yang walaupun tidak terlalu besar yaitu 25,867 MPa dan untuk mortar geopolimer
sebesar 8,133 MPa. Setelah itu pada umur 28 hari kuat tekan untuk mortar normal
yaitu sebesar 27,600 MPa dan mortar geopolimer adalah 15,200 MPa.
8
Gambar 6 Grafik Kuat Tekan Antara Mortar Normal dan Mortar Geopolimer
dengan Perawatan Kering Udara
Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Suhu 80oC dan Durasi 4,
6 dan 20 jam.
Gambar 7 Grafik Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Suhu 80oC dan
Durasi 4, 6 dan 20 Jam
Hasil pengujian kuat tekan untuk mortar geopolimer suhu 80oC ini, untuk
durasi 4 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 1,160; 3,160;
6,280; dan 11,750 MPa. Selanjutnya untuk durasi 6 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28
hari masing-masing sebesar 5,040; 6,560; 8,640; dan 12,500 MPa. Setelah itu,
untuk durasi 20 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar
9
17,120; 19,200; 19,360; 19,400 MPa. Gambar 7 menunjukkan bahwa pada suhu
perawatan 80oC durasi 4 dan 6 jam menghasilkan kuat tekan yang sangat kecil
bila dibandingkan dengan durasi 20 jam. Akan tetapi perkembangan kuat tekan
pada durasi 4 dan 6 jam menunjukkan hasil lebih besar dibandingkan dengan
durasi 20 jam yang cenderung tetap. Hal ini disebabkan karena pada durasi 20 jam
proses polimerisasi diperkirakan telah mencapai titik maksimal sehingga tidak
adanya lagi unsur yang dapat bereaksi yang menyebabkan kuat tekan yang
dihasilkan cenderung tetap.
Pada Gambar 7 juga terihat bahwa laju kenaikan kuat tekan pada durasi 4
dan 6 jam cenderung konstan dan linear apabila dibandingkan dengan kenaikan
kuat tekan pada durasi 20 jam yang cenderung tetap setelah umur 7 hari. Hal ini
dikarenakan pada durasi 4 dan 6 jam dengan suhu 80oC mortar geopolimer tidak
memperoleh pemanasan yang cukup sehingga mengakibatkan kenaikan dari kuat
tekan pada setiap umur mengalami kenaikan yang cukup signifikan, sedangkan
pada durasi 20 jam dengan suhu 80oC, mortar geopolimer terlihat telah mencapai
kuat tekan yang optimum.
Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Suhu 100oC dan Durasi 4,
6 dan 20 jam.
Gambar 8 Grafik Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Suhu 100oC dan
Durasi 4, 6 dan 20 Jam
10
Hasil pengujian kuat tekan untuk mortar geopolimer suhu 100oC ini, untuk
durasi 4 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 11,680;
12,880; 13,240 dan 13,450 MPa. Selanjutnya untuk durasi 6 jam pada umur 3, 7,
14 dan 28 hari masing-masing sebesar 16,280; 16,680; 17,800 dan 18,500 MPa.
Setelah itu, untuk durasi 20 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing
sebesar 20,680; 21,160; 21,360 dan 21,900 MPa.
Gambar 8 menunjukkan bahwa pada suhu perawatan 100oC durasi 4 dan 6
jam menghasilkan kuat tekan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan durasi 20
jam.
Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Suhu 120oC dan Durasi 4,
6 dan 20 jam.
Gambar 9 Grafik Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Suhu 120oC dan
Durasi 4, 6 dan 20 Jam
Pada Gambar 8 juga menunjukkan bahwa kuat tekan dari mortar
geopolimer telah mencapai kuat optimumnya pada setiap durasi pemanasan yang
ditunjukkan dengan kenaikan kuat tekan dari masing-masing durasi perawatan
yang cenderung tetap, walaupun demikian kuat tekan maksimum dari setiap durasi
perawatan menunjukkan hasil yang berbeda. Semakin lama durasi perawatan dari
mortar geopolimer tersebut maka hasil kuat tekannya semakin besar.
Hasil pengujian kuat tekan untuk mortar geopolimer suhu 120oC ini, untuk
durasi 4 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 11,680;
11
13,200; 13,520 dan 14,300 MPa. Selanjutnya untuk durasi 6 jam pada umur 3, 7,
14 dan 28 hari masing-masing sebesar 16,280; 17,800; 17,920 dan 19,600 MPa.
Setelah itu, untuk durasi 20 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing
sebesar 27,680; 32,160; 33,040 dan 33,100 MPa. Gambar 9 menunjukkan bahwa
pada suhu perawatan 120oC durasi 4 dan 6 jam menghasilkan kuat tekan yang
lebih kecil bila dibandingkan dengan durasi 20 jam. Hal ini juga terlihat
ditunjukkan pada Gambar 8, dimana kuat tekan akan bertambah seiring dengan
bertambahnya durasi pemanasan dari mortar geopolimer, akan tetapi dengan
adanya penambahan suhu juga mengakibatkan hasil kuat tekan maksimal pada
masing-masing durasi pemanasan berbeda, yaitu semakin tinggi suhu pemanasan
maka kuat tekan dari mortar geopolimer tersebut akan semakin besar.
Perbandingan Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer karena Perbedaan Suhu
Perawatan
Gambar 10 Grafik Pengaruh Suhu Perawatan Terhadap Kuat Tekan Mortar
Geopolimer
Gambar 10 di atas memperlihatkan efek dari suhu pemanasan terhadap kuat
tekan mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang dengan menjaga durasi
pemanasan agar tetap konstan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa untuk
durasi pemanasan yang sama, kuat tekan mortar geopolimer akan mengalami
kenaikan seiring dengan bertambahnya suhu pemanasan dari mortar geopolimer.
Untuk pemanasan pada durasi 4 jam laju kenaikan dari kuat tekan mortar
geopolimer terlihat membentuk garis lurus yang artinya mengalami kenaikan kuat
12
tekan yang konstan. Sedangkan pada durasi 20 jam memperlihatkan kenaikan kuat
tekan yang paling besar yaitu 33,100 MPa dibandingkan dengan durasi 4 dan 6
jam yang masing-masing menghasilkan kuat tekan sebesar 14,300 MPa dan
19,600 MPa.
Perbandingan Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer karena Perbedaan Durasi
Perawatan
Gambar 11 Grafik Pengaruh Durasi Perawatan Terhadap Kuat Tekan Mortar
Geopolimer
Gambar 11 di atas memperlihatkan efek dari durasi pemanasan terhadap
kuat tekan mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang dengan menjaga suhu
pemanasan agar tetap konstan. Hasil pengamatan menujukkan bahwa untuk suhu
perawatan yang sama kuat tekan mortar geopolimer akan mengalami peningkatan
seiring dengan bertambahnya durasi pemanasan. Pada suhu 80oC memperlihatkan
laju kenaikan kuat tekan mortar geopolimer membentuk sebuah garis lurus yang
artinya laju kenaikan dari kuat tekannya konstan, sedangkan pada suhu 100oC dan
suhu 120oC terlihat laju kenaikan dari kuat tekan yang hampir sama yaitu sebesar
37% pada durasi pemanasan 6 jam, akan tetapi setelah dilakukan pemanasan
sampai 20 jam terlihat bahwa kuat persentase kenaikan dari kuat tekan pada suhu
120oC adalah 2 kali lebih besar dibandingkan pada suhu 80
oC dan suhu 100
oC.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
13
Kombinasi suhu dan durasi perawatan untuk mortar geopolimer berbahan
dasar abu terbang yang memiliki kuat tekan paling tinggi adalah pada suhu
120oC dan durasi selama 20 jam. Pada umur 28 hari, kuat tekan mortar
geopolimer dengan kombinasi tersebut adalah 33,100 MPa.
Pada umur 28 hari persentase kenaikan kuat tekan mortar geopolimer
berbahan dasar abu terbang untuk suhu 120oC durasi 6 dan 20 jam masing-
masing memiliki kenaikan sebesar 37,063% dan 131,469% terhadap durasi
4 jam.
Untuk mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang dengan perawatan
kering udara pada umur 28 hari memiliki kuat tekan lebih rendah yaitu
sebesar 15,200 MPa dibandingkan dengan mortar normal yaitu sebesar
27,600 MPa.
Suhu dan durasi perawatan memiliki pengaruh dalam kuat tekan mortar
geopolimer yang ditunjukan dengan semakin tinggi suhu dan lama durasi
perawatan maka kuat tekan yang dihasilkan akan semakin besar.
DAFTAR PUSTAKA
Adam AA. 2009. Strength and Durability Properties of Alkali Activated Slag and
Fly Ash-Based Geopolymer Concrete, Thesis, School of Civil,
Enviromental and Chemical Engineering, RMIT University, Melbourne,
Australia.
Badan Standar Nasional, SNI 03-6825-2002. Metode Pengujian Kekuatan Tekan
Mortar Semen Portland Untuk Pekerjaan Sipil, Jakarta
Bakri Mohd. M. Al., Mohammed H., Kamarudin H., Niza I. K. dan Zarina Y.
2010. Review on Fly ash-based Geopolymer Concrete without Portland
Cement. Journal of Engineering and Technology Research Vol. 3(1), PP.
1-4.
Davidovits, J. 2008. Geopolymer Chemistry and applications. Saint-Quentin,
France, Institut Geopolymer.
Khale D, Chaudhary R. 2007. Mechanism of Geopolymerization and Factors
Influencing Its Development. J Mater Sci, 42:729-746
Kirschner A.V., Harmuth H. 2004. Inverstigation of Geopolymer Binders with
Respect to Their Application for Building Materials. Christian Doppler
14
Laboratory for Building Materials with Optimized Properties at the
Department Of Ceramics, University of Leoben, Leoben, Austria.
Manjunath, G. S., Radhakrishma, Giridhar C., Jadahv Mahesh. 2011. Compressive
Strength Development in Ambient Cured Geo-polymer Mortar.
International Journal of Earth Sciences and Engineering. ISSN 0974-5904,
Volume 04, No. 06 SPL, October 2011, pp. 830-834.
Ravikumar, D., Peethamparan, S., & Neithalath, N. 2010. Structure and Strength
of NaOH Activated Concretes Containing Fly Ash or GGBFS as the Sole
Binder. Cement and Concrete Composites, 32(6), 399-410. Elsevier Ltd.
Song, Xiujiang. 2007. Development and Performance of Class F Fly Ash Based
Geopolymer Concretes against Sulphuric Acid Attack. Thesis, School of
Civil and Environmental Engineering, The University of New South
Wales, Sydney, Australia.
http://www.geopolymer.org/applications/introduction_developments_and_applica
tions_in_geopolymer_2, di akses 19 Februari 2013
15
STUDI KINERJA ANGKUTAN UMUM PENUMPANG ANTAR KOTA
DALAM PROPINSI ( A.K.D.P. ) DI SULAWESI TENGAH
Ali Alhadar
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Taduloako
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Angkutan umum penumpang antar kota dalam propinsi adalah angkutan
umum penumpang yang melayani dari ibu kota Kabupaten ke ibu kota
Kabupaten lain yang berasal dari satu Propinsi. Di Sulawesi Tengah terdapat 12 (
Dua belas ) Kabupaten dan 1 (satu ) Kota. Kota Palu merupakan Ibu Kota
Propinsi Sulawesi Tengah adalah terminal induk yang menghubungkan ibu kota
kabupaten di Sulawesi Tengah, masih banyak daerah daerah yang belum
terjangkau oleh angkutan umum terutama di daerah pedesaan dalam kabupaten
sehingga roda ekonomi tidak berjalan lancar, sulit menjangkau pasar, dengan
terpaksa mereka menjual hasil produksi dengan harga murah. Dilain pihak
pengusaha angkutan umum kesulitan dalam menginvestasi armada pada daerah
yang belum terjangkau oleh angkutan umum. Pada penelitian ini mengkaji
tentang daerah daerah yang belum terjangkau oleh angkutan umum dengan kata
lain membuka rute baru dengan tanpa investasi armada dengan cara
memanfaatkan waktu tunggu keberangkatan kembali kerute yang selama ini yang
dilaluinya. Artinya memanfaatkan waktu tunggu diterminal , yang selama ini
menurut pengamatan kami kendaraan banyak menganggur diterminal, pool pool
kendaraan menunggu keberangkatan kembali , hal tersebut perlu dimanfaatkan
untuk melayani rute yang dekat dalam kabupaten yang belum terjangkau oleh
aramada angkutan umum, sehingga pengadaan armada tidak perlukan lagi. Perlu
diketahui bahwa dalam perhitungan Biaya Operasi Kendaraan ( B.O.K. ) salah
komponen yang paling signifikan adalah pengadaan armada, dalam penelitian ini
pengadaan armada menjadi nol sehingga kinerja financial perusahaan akan
meningkat dan waktu operasi kendaraan sangat optimal. Dengan kata lain waktu
menganggur kendaraan diterminal secara ekonomi bisa menghasilkan
pendapatan tambahan yang selama ini nol. Dalam penelitian ini manajemen
operasi kendaraan harus dipisahkan atau diatur tersendiri agar tidak mengganggu
jadwal keberangkatan rute utamnya, Pada penelitian ini dapat membuka lapangan
kerja baru karena manajeman operasi terpisah dengan dengan manajemen operasi
tetapnya.
Kata kunci: Investasi Armada, Rute baru, manajemen operasi, waktu operasi, kineja financial.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Angkutan umum adalah sarana yang di butuhkan oleh sebagaian besar
masyrakat kota, tidaklah mungkin suatu kota dapat hidup tanpa angkutan umum.
16
Perlu di ketahui bahwa sistem transportasi merupakan salah satu komponen atau
aspek yang tak terpisahkan dari aspek atau komponen lainnya yang membentuk
kota sebagai sistem, karena hanya dengan sudut pandang seperti inilah kita dapat
memahami bahwa masalah transportasi yang timbul di suatu kota merupakan
refleksi dari keterkaitan yang kompleks dan intens antara berbagai aspek atau
komponen yang meliputi kultur budaya, social , ekonomi , kependudukkan,pola
aktivitas, tata guna lahan, sarana dan prasarana transportasi, lingkungan,
pemilikan kendaraan dan angkutan umum.
Perlu di ketahui pertumbuhan jumlah kendaraan rata-rata diatas 3%
pertahun. Pertumbuhan lalulintas yang tinggi ini tidak dibarengi dengan
pengembangan jaringan jalan perkotaan yang memadai. Pertumbuhan jalan yang
relative kecil yaitu dibawah 1% pertahunnya. Ketidak seimbangan pertumbuhan
antara jumlah lalulintas dan prasarana jalan yang secara kasat mata dapat dilihat
dengan makin berambahnya titik-titik kemacetan di kota-kota. Ditinjau dari sudut
pandang sistem angkutan umum kondisi diatas sangatlah menyulitkan. Santoso,
(1996).
Di Sulawesi Tengah terdapat 12 Kabupaten dan Kota (terlampir peta),
kota Palu merupakan terminal induk yang menghubungkan seluruh ibukota
Kabupaten.
Di Sulawesi Tengah masih banyak daerah daerah yang belum terjangkau oleh
angkutan umum, terutama didaerah pedesaan, sehingga roda ekonomi tidak
berjalan lancar , sangat sulit menjangkau pasar, dengan terpaksa mereka menjual
dengan harga murah. Dilain pihak pengusaha angkutan kesulitan karena
memerlukan investasi yang cukup besar untuk pengadaan armada angkutan
umum baik penumpang maupun barang.
Dari uraian tersebut timbul pemikiran penulis untuk membuka rute baru
tanpa investasi kendaraan dengan memanfaatkan waktu sisa kendaraan di
terminal sebelum berangkat kembali kerute yang sudah ditetapkan, Hal tersebut
dapat dilakukan dengan mengkaji rute rute yang jauh dan waktu istirahatnya
cukup lama. Misalnya Rute Palu – Luwuk, Palu – Morowali, Palu Buol
17
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka pokok penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Kesulitan investasi untuk pengadaan armada angkutan dapat diatasi dengan
memanfaatkan waktu luang operasi kendaraan sebelum berangkat kembali
kerute tetapnya.
Banyaknya lokasi lokasi yang belum terjangkau oleh angkutan umum
dapat diatasi dengan memanfaatkan waktu tunggu sebelum melakukan
perjalanan kembali kerute tetapnya, sehingga roda ekonomi akan berputar.
Pembukaan rute baru tidak mengalami kesulitan aramada banyaknya
kendaraan yang menganggur di terminal untuk menunggu keberangakatan
kembili kerute tetapnya. Sehingga jam operasi kendaraan sangat optimal.
Membuka lapangan kerja baru karena manajemen operasi kendaraan harus
di pisahakan dengan manajemen operasi pada rute tetapnya , sehingga
sistem operasi kendaraan memnfaatkan waktu tunggu kendaraan di terminal
bisa berjalan dengan baik.
Maksud Penelitian
Membuka rute baru angkutan umum penumpang dengan optimalisasi
wuktu tunggu armada diterminal sebelum keberangkatan kembali dengan tanpa
investasi kendaaran sehingga kinerja operasi kendaraan akan meninggkat, karena
salah satu kesulitan dalam mengoperasikan rute baru adalah kendaraan dan
komponen yang besar dalam perhitungan biaya operasi kendaraan ( B. O. K. )
adalah investasi kendaran.
Tujuan Penelitian
Melakukan studi kinerja angkutan umum (A.K.D,P.) di Sulawesi Tengah
dalam upaya optimalisasi jam dan hari operasi operasi kendaraan dengan
memanfaatkan waktu tunggu armada diterminal.
Membuka rute baru uuntuk daerah daerah yang belum terjangkau oleh
angkutan umum tanpa investasi kendaraan
18
Manfaat Penelitian
Kesulitan pengadaan armada untuk pembukaan rute baru yang belum
terjangkau oleh angkutan umum penumpang dapat diatasi dengan optimalisasi
jam operasi kendaraan dengan tanpa investasi kendaraan .
Dengan optimalisasi jam operasi kendaraan banyak daerah daerah yang
belum terjangkau rute kendaraan atau di lewati kendaraan dapat diatasi.
Membuka lapangan kerja baru, baik pengendara dan administrasi operasi
kedaraan, karena harus di pisahkan denagn operasi rute tetapnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Umum
Pada dasarnya pihak yang dapat terlibat dalam semua aspek kegiatan
penyelenggaraan angkutan umum ada dua komponen yaitu :
Pihak Pemerintah ( Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat )
Pihak Swasta.
Keterlibatan pihak pemerintah dalam penyelenggaraan angkutan umum
pada dasarnya sebagai representasi keinginan rakyat yang diwakili oleh
pemerintah sehingga kepentingan masyarakat luas (penumpang) merupakan hal
utama yang harus menjadi perhatian. Dengan demikian ada 2 (dua) kondisi
lingkungan yang menjadi konsideran dalam kebijakan pemerintah, yaitu kondisi
sosial dan kondisi politik.
Bagi pihak swasta keterlibatan dalam penyelenggaraan angkutan umum
pada dasarnya berorientasi ekonomi yaitu berusaha meraih keuntungan ekonomi
sebesar besarnya. Sasaran dari keterlibatan pihak swasta dalam penyelenggaraan
angkutan umum adalah memaksimalkan keuntungan.
Dari filosofi dasar masing masing yang berbeda tersebut, maka jelas bahwa
makin besar tingkat keterlibatan pemerintah dalam aspek aspek kegiatan
penyelenggaraan angkutan umum maka makin besar pula tingkat pemenuhan
kepentingan masyarakat luas Dan sebaliknya makin besar pula keterlibatan pihak
swasta dalam pemyelenggaraan angkutan umum, maka makin rendah pula tingkat
pemenuhan kepentingan masyarakat luas terhadap angkutan umum.
19
Bila ditinjau dari dari alokasi dana yang harus disediakan oleh pemerintah,
maka jelas bahwa makin besar keterlibatan pemerintah dalam aspek kegiatan
penyelenggaraan angkutan umum maka makin besar pula alokasi dana yang harus
disediakan pemerintah.
Sebaliknya semakin kecil tingkat keterlibatan pemerintah dalam
penyelenggaraan angkutan umum yang berarti makin besar tingkat keterlibatan
pihak swasta akan semakin kecil alokasi dana yang harus disediakan oleh
pemerintah. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa tingkat keterlibatan yang
tinggi dari pemerintah berarti usaha pemenuhan kepentingan masyarakat akan
semakin besar, untuk itu diperlukan alokasi dana yang tidak sedikit.
Dari uraian tersebut akan jelas bahwa faktor finansial sangat mempengaruhi
tingkat keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan angkutan umum.
Sistem angkutan umum adalah merupakan sistem pelayanan jasa angkutan yang
berfungsi untuk mengumpulkan dan mendistribusikan penumpang yang
mempunyai kebutuhan akan pergerakan. Meskipun para penumpang belum tentu
mempunyai tempat asal yang sama ataupun tujuan yang sama, tetapi pola ataupun
karakteristik pergerakannya adalah sedemikian sehingga memungkinkan suatu
rute sistem angkutan melayani secara baik.
Sistem Pentarifan Angkutan Umum.
Dalam menentukan besar dan struktur tarif faktor yang perlu diperhatikan
ialah besarnya biaya operasi kendaran yang digunakan sebagai alat angkut. Faktor
ini harus diperhatikan karena keuntungan yang diperoleh operator sangat
tergantung kepada besarnya tarif yang ditetapkan dan biaya operasi kendaraan
struktur tarif merupakan cara bagaimana tarif tersebut dibayarkan.
1. Tarif Seragam (Flat Fare).
Tarif seragam adalah tarif yang dikenakan tanpa memperhatikan jarak yang
dilalui Tarif seragam menawarkan sejumlah keuntungan yang telah dikenal secara
luas terutama kemudahan dalam pengumpulan ongkos didalam kendaraan
Struktur ini memungkinkan transaksi yang cepat, terutama dalam kendaraan yang
ukuran besar dan dioperasikan oleh satu orang dan secara umum pengumpulan
tarifnya sederhana.
20
Gambar 1. Struktur Permasalahan Sistem Angkutan Umum
2. Tarif Berdasarkan Jarak ( Distance Fare)
Struktur tarif ini sangat bergantung pada jarak yang ditempuh, yakni
penetapan besarnya tarif dilakukan pengalian ongkos tetap perkilometer dengan
panjang perjalanan yang ditempuh oleh setiap penumpangnya Jarak minimum
(tarif minimum) diasumsikan nilainya
3. Tarif Bertahap
Struktur tarif ini dihitung berdasarkan jarak yang ditempuh oleh penumpang
Tahapan ini adalah suatu penggal dari rute yang jaraknya antara satu atau lebih
tempat perhentian sebagai dasar perhitungan dasar tarif untuk itu jaringan
perangkutan dibagi dalam penggal penggal rute yang secara kasar mempunyai
panjang yang sama. Jarak antara kedua titik diatur dengan memperhatikan kondisi
setempat Titik perubahan tahapan haaislah mudah dikenali dan cukup spesifik
21
Tarif bertahap mencerminkan usaha penggabungan secara wajar keinginan
penumpang dan pertimbangan biaya yang dikeluarkan perusahaan dengan waktu
untuk mengumpulkan ongkos
4. Tarif Zona.
Struktur tarif ini merupakan bentuk penyederhanaan dari tarif bertah jika
daerah pelayanan perangkutan dibagi kedalam zona zona Pu: kota biasanya
merupakan zona terdalam dan dikelilingi oleh terk yang tersusun sepciti sebuah
sabuk Daerah pelayanan perangkutan ju dapat dibagi kedalam zona zona yang
berdekatan Jika terdapat jal melintang dan melingkar, panjang jalan ini harus
dibatasi dengan membagi kedalam sektor sektor Kerugian akan terjadi bagi
penumpang yang hanya melakukan suatu perjalanan jarak pendek didalam dua
zona. Sebaliknya suatu perjalanan yang panjang dapat menjadi lebih murah
apabila dilakukan dalam sebuah zona dibandingkan dengan perjalanan pendek
yang melintasi batas zona Kerugian ini dapat diimbangi dengan memberlakukan
zona tumpang tindih atau skala tarif yang dapat dipakai untuk dua zona. Seperti
tarif bertahap batas tertinggi tarif dapat ditetapkan dengan tidak membuat
pembagian zona yang terlalu banyak. Pengelompokkan dari beberapa zona juga
mungkin untuk dilakukan.
Biaya Operasi Kendaraan. (B.O.K.)
Biaya operasi kendaraan didefinisikan sebagai biaya yang secara ekonomi
terjadi dengan dioperasikan satu kendaran pada kondisi normal untuk suatu
tujuan. Komponen2 biaya yang diperhitungakan :
Biaya tetap (fixed cost)
Biaya tidak tetap (Variabel cost)
Biaya lainnya (Overhead)
1. Biaya Tetap (Fixed Coast)
Biaya tetap adalah biaya yang harus dikeluarkan pada saat awal
dioperasikan sistem angkutan umum. Biaya tetap ini tidak terganti pada
bagaimana sistem angkutan ini dioperasikan.
Biaya tetap untuk angkutan umum penumpang terdiri dari (komponen)
biaya yang semuanya dihitung dalam satuan wa tertentu. Biasanya jangka waktu
22
perhitungan adalah 1 (satu) tah karena sebagaian besar komponen biaya dibayar
setiap tahun. Empat komponen biaya dari biaya tetap adalah :
2. Biaya Tidak Tetap
Biaya tidak tetap bisa juga disebut sebagai biaya variabel (variabel cost),
karena biaya ini sangat bervariasi tergantung hasil diproduksi, seperti waktu
tempuh atau jumlah penumpang atau barang yang diangkut
3. Biaya biaya yang diperhitungkan adalah :
Pemakaian BBM.
Pemakaian Oli Mesin.
Biaya Penggunaan Ban.
Biaya Perawatan Kendaraan.
4. Biaya Overhead.
David Lowe menyatakan bahwa untuk menghitung biaya overhead
beberapa peneliti melakukan 2 (dua) cara :
Menghitung 20 - 25 % dari jumlah biaya tidak tetap dan tetap.
Menghitung biaya overhead secara terperinci, yaitu menghitung biaya
overhead perlu terus dipantau secara berkala oleh pemilik kendaraan.
Aspek Finansial.
Aspek Finansial Dimaksudkan untuk menyelidiki terumi perbandingan
antara pengeluaran dan " Revenue Earnings " proyek
Apakah proyek itu terjamin dananya yang diperlukan
Apakah proyek akan mampu membayar kembali dana tersebut
Apakah proyek akan berkembang sedemikian rupa sehingga secara finansial
dapat berdiri sendiri Kadariah, (1986)
Pendapatan.
Dalam pengelolaan penisahaan angkutan umum yang perlu diperhatikan
adalah kelayakan kinerja operasi kendaraan, yaitu dengan menganalisis hal hal
yang berhubungan kemampuan pengoperasian kendaraan dan kesesuaian antara
pendapatan yang akan diterima dari pembayaran tarif penumpang dengan
besarnya biaya yang dikeluarkan.
23
Identifikasi Masalah dan Studi Pustaka
Gambar 2. Bagan Alir Penelitian
METODE PENELITIAN
Umum
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan berbagai literatur dan data
sekunder yang berkaitan dengan penelitian yang akan di lakukan. Kemudian
dilakukan survey lapangan untuk mendapatkan data primer.
Observasi Lapangan dan Survei Pendahuluan
Penetapan Tujuan Penelitian
Data
Pengambilan Data Primer
Data Jenis Kendaraan
Data Lalu Lintas
Data Penumpang
Data Terminal
Data Geometrik
Pengumpulan Data Sekunder
Jumlah Kendaraan AKDP
Jumlah Perusahaan Beroperasi
Peta Jaringan Jalan ( Rute )
Jumlah Penduduk
Kompilasi Data
Analisis Data
Kesimpulan dan Saran
24
Data primer antara lain jenis kendaraaan, jumlah kendaraan, waktu tempuh,
kecepatan kendaraan, jumlah terminal, jumlah perusahaan yang beroperasi antar
kota dalam propinsi, mengedarkan kuisioner.
Data sekunder antara lain jumlah terminal, jumlah perusahaan yang
beroperasi antar kota dalam propinsi, panjang jalan yang dilalui kendaraan,
mengedarkan kuisioner.
Observasi Lapangan.
Dalam obserevasi lapangan dilakukan dengan melihat langsung serta ikut
naik dalam angkutan umum untuk mengetahui load faktor kendaraan , kecepatan ,
waktu tempuh , terminal , mengetahui perilaku supir, wawancara dengan
penumpang, wawancara dengan pengendara.
Pengumpulan data
1. Data Sekunder
Cara untuk mendapatkan data sekunder adalah dengan menghubungi
instansi terkait seperti Dinas perhubungan, Dinas Kimpraswil, Kantor Statistik .
2. Data Primer
Untuk mendapatkan data primer yaitu dengan cara survey langsung di
lapangan dan langsung langkah awal adalah dengan mempersiapkan alat-alat dan
keperluan survey dan dibantu oleh beberapa tenaga surveyor.
Alat-alat yang dibutuhkan antara lain:
Stopwatch untuk digunakan menghitung waktu tempuh, kecepatan
kendaraan, kecepatan perjalan, kecepatan gerak, waktu tunggu
Alat penghitung (manual counter) untuk mengetahui jumlah kendaraan,
jenis kendaraan.
Formulir kuisioner untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang
penerapan rencana yang berkaitan dengan penelitian ini.
Formulir data untuk mencatat data di lapangan
Pengambilan data di Lapangan
Sebelum di lakukan pengambilan data di lapangan surveyor diarahkan cara
pengisian formulir dan penggunaan alat dan dilakukan survey pendahuluan untuk
25
melihat kelemahan-kelemahan dalam pengambilan data dalam rangka
penyempurnaan pada data survey
1. Lama Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama 8 Bulan setiap lokasi penelitian yaitu:
2. Kompilasi Data
Kompilasi data adalah data primer dan data sekunder untuk mengetahui data
yang akan digunakan untuk dipilah-pilah yang kemungkinan salah satu sehingga
data tersebut dibuang atau (out layers)
3. Analisis Data
Dari hasil kompilasi data primer data sekunder kemudian diadakan analisis
untuk dapat mengetahui kinerja angkutan Umum Antar Kota Dalam Propinsi
dalam upaya.
Fare Box Ratio
Fare box ratio adalah perbandingan antara pendapatan dan biaya operasi
kendaraan yang terjadi dengan dioperasikannya kendaraan
suatubperusahaan, untuk mengetahui apakah di perlukan subsidi.
Hal hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
Bila fare box ratio kurang dari 1 maka masih perlu subsidi.
Bila fare box ratio sama dengan 1 maka terjadi keseimbangan, tidak perlu subsidi
Bila fare box ratio lebih besara dari 1 maka maka terdapat laba
0 1 2.5
Gambar 3. Fare Boxs Ratio
Diagram proses fare Box Ratio terlihat pada gambar 4 terlampir
26
DAFTAR PUSTAKA
Angkeara P. 1997. Studi Perkembangan Angkutan Umum Kota Di Kota Madya
Bandung (Thesis Program Magister Perencanaan Wilayah Dan Kota ITB)
Black J. 1981. Urban Transport Planning. Croom Helm Itd, 2-10 st. John,s Road,
London, SWI
Gray, G, E. et al. 1979. Public Transportation. Prentice-Hall Inca. Simon &
Schuster Company Englewood Cliffs, New Jersey.
Hermawan, R, et al. 1999. Pemberdayaan Angkutan Umum Makalah Seminar
Musda II MTI Jabar.
Kanafani A. 1983. Transportation Demand Analysis, University Of California,
Berkely.
Morlok, E, K. 1978. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. Penerbit
Erlangga.
Mudiono R. 1998. Tinjauan Kelayakan Pengoperasian Angkutan Umum Bus
Sedang, (Thesis Program Magister Bidang Khusus Rekayasa Transportasi
ITB).
Napitipulu R. 1999. Analisis Pemilihan Ukuran Angkutan Kota Optimum Pada
Suatu Rute Tertentu ( Kasus : Rute Dipati Ukur – Leuwi Panjang,
Bandung) Jurnal Transportasi FSTPT ITB.
Nasution.H.M.N. 1996. Manajemen Transportasi, Penerbit Ghalia Indonesia.
Purwatmoko H, Permadi E. 1999. Penentuan Nilai Waktu Pengguna Angkutan
Umum Di Kotamadya Bandung, Tugas Akhir Jurusan Teknik Sipil ITB
Santoso, I. 1996. Perencanaan Prasarana Angkutan Umum. Pusat Studi
Transportasi & Komunikasi Institut Teknologi Bandung (Seri 002).
Tamin, O, Z. 1998. Pemodelan Optimasi Jumlah Armada dan Tarif Angkutan
Kota Di Kotamadya Bandung. Laporan Akhir Penelitian No. 18685097
DIK-ITB TA 1997/1998.
Tamin, O, Z. 1997. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Penerbit. ITB
Tamin, O, Z. 2011. Strategi Peningkatan Pelayanan Angkutan Umum Penerbit.
ITB
Tumewu W, et al. 1999. Laporan Akhir Pengabdian kepada Masyarakat ITB,
Evaluasi Kinerja Operasi Angkutan Taxi di Kota Bandung.
27
PROFIL DISTRIBUSI KECEPATAN VERTIKAL SUATU ALIRAN PADA
DSALURAN TERBUKA
Alifi Yunar
Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin,
Email : [email protected]
ABSTRAK
Aliran air pada aliran terbuka terlihat bersamaan berpindah dari hulu ke
hilir. Jika diperhatikan lebih rinci ternyata aliran itu tidaklah bersamaan melainkan
berbeda pada bagian permukaan aliran sampai bagian di atas permukaan dasar.
Ilmu tentang aliran air pada saluran terbuka ini dikaji sepenuhnya pada Hidraulika
sungai atau hidraulika saluran terbuka.
Pendekatan-pendekatan mengenai perbedaan aliran ini telah banyak di
lakukan oleh para peneliti. Dan untuk pendekatan awal dari semua pendekatan
yang ada maka pendekatan matematis yang dapat di lakukan secara praktis.
Penggambaran profil distribusi kecepatan vertikal akan di gunakan diberbagai
penelitian lanjutan seperti penelitian angkutan sediimen dan penelitian tentang
aliran saluran terbuka baik langsung di lapangan atau di laboratorium.
Kata kunci :Hidraulika sungai, SedimenDasar, profil distribusi aliran
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendekatan utama yang sering dilakukan oleh peneliti aliran saluran terbuka
adalah debit aliran, kecepatan aliran dan luas penampang aliran. Pada konsep
debit aliran ini, seakan akan seluruh aliran bergerak bersamaan dari hulu ke hilir.
Vijay P. Singh (2003) menuliskan, Sifat fisika air yang mampu mengadakan
gesekan dengan permukaan yang padat ataupun permukaan yang bergerak,
berakibat pada perubahan kecepatan dibagian permukaan yang bergerak ataupun
permukaan yang keras tersebut.
Secara umum dapat kita lihat bahwa air dapat di hentikan dengan menutup
aliran saluran terbuka. Air akan berhenti mengalir. Tetapi pada kondisi lain jika
pada penutup tersebut terdapat lubang, atau penutupan dilakukan setengah dari
luas penampang air itu sendiri maka air akan berusaha untuk melewati hambatan
tersebut. Jika kondisi ini terjadi di sebagian saja dari badan sungai, maka yang
terjadi adalah proses perlambatan aliran secara umum, dan khusus terjadi
perlambatan aliran di atas permukaan dasar atau di pinggir sungai.
3
28
Ketika air melewati hambatan yang ada maka kecepatan di sekitar hambatan
tersebut akan berubah. Perubahan tersebut dapat berupa pusaran air atau air akan
melambat dari kecepatan sebelum melampaui hambatan.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Tentang Hambatan Aliran di Saluran Terbuka
Studi pada aliran saluran terbuka dengan batasan yang padat tidak bergerak,
menghasilkan koefisien kekasaran yang konstan. Setelah koefisien kekasaran di
peroleh maka persaman hambatan aliran pun dapat di rumuskan dengan
memperhitungkan kecepatan, kemiringan dasar, dan kedalaman aliran.
Chang Chun Kiat et al (2004) menuliskan bahwa, pada hidraulika alluvial,
batas aliran selalu bergerak, dan koefisien kekasaran berfariasi. Pada kondisi ini
persamaan hambatan aliran tidak dapat di aplikasikan langsung di lapangan.
Studi berikutnya dilakukan oleh beberapa peneliti untuk mendapatkan persamaan
koefisien kekasaran pada permukaan allufial. Hasil yang diperoleh sungguh
berbeda satu dengan yang lainnya.
Prandtl (1926) dalam Alifi Yunar (2005) menuliskan persamaan kecepatan
aliran pada setiap lapisan aliran pada kedalaman tertentu :
(1)
(2)
Dimana : u = Kecepatan pada jarak vertikal y diatas
permukaan dasar
= = kecepatan geser
D = Kedalaman aliran
S = Kemiringan dasar saluran/sungai
y = Kedalaman aliran yang di tinjau
29
= Viskositas kinematik
= Koefisien kekasaran oleh Schlichting (1935)
Persamaan (1) dan persamaaan (2) dapat di integrasikan untuk
mendapatkan hubungan antara kecepatan aliran rata rata, v dan kecapatan
geser, atau koefisien kekasaran, ks.
Hasil integrasi tersebut dapat memperhitungkan beberapa hal antara lain :
Untuk penampang aliran lingkaran dengan dinding halus, Alifi Yunar
(2005) :
(3)
Untuk penampang persegi empat luas dan dinding halus :
(3)
CT Yang (1996) Untuk penampang lingkaran dengan dinding kasar :
(4)
Untuk penampang penampang persegi empat yang luas dengan dinding
kasar :
(5)
Untuk penampang penampang persegi empat yang luas dengan dinding
kasar :
(6)
.J.J. Peters (2009), mengungkapkan bahwa di dalam teori terdapat lapisan
aliran laminar yang ada pada bagian bawah lapisan aliran turbulen.
Peng Gao dan Athol Graham (2004) menuliskan, pada dasarnya aliran ini tidak
sepenuhnya ada pada sungai sebenarnya, dan akan lebih sulit lagi dalam
30
pengamatan jika dasar sungai tersebut bergerak dimana pada proses pergerakan
dasar tersebut terdapat angkutan sedimen dasar.
Gambar 1. Teori tentang lapisan aliran di atas permukaan dasar.
METODE PENELITIAN
Sebelum melakukan penelitian maka dilakuka npenyusunan peralatan utama
dan peralatan pendukung lainnya, hal ini dilakukan untuk mempermudah
pekerjaan penelitian yang dapat sewaktu-waktu dicari dan dipergunakan
Alat penelitian utama yang digunakan adalah standard multipurpose tilting
flume yang terdapat pada Laboratorium Hidraulikadan Hidrologi UGM.
Gambar 2. Standard Multi Purpose Tilting Flume
31
Gambar 3 Tampak atas Flume
Keterangan Gambar :
1. Penyearah arus
2. Rigid bed
3.Rough bed
4. Jarak penelitian dari rough bed
5. Jarak penelitian dan penangkapsedimen
6. Panjang penangkap sedimen
7. Penampungan air
Domain atau daerah yang diteliti adalah sepanjang 44 cm searah aliran dan
selebar 20 cm tegak lurus arah aliran. Standard multi purpose tilting flume
merupakan peralatan utama yang paling dibutuhkan karena dalam flumeinise
muahal yang menyangkut tentang penelitian pola aliran dan gerusan dapat dilihat
dan diketahui.
Flume ini pada bagian dinding dibuat dari fleksiglass dan pada bagian dasar
dibuat dari stainlesstell licin dengan panjang 17 m, tinggi 0.45 m, dan lebar 0.30
m, dan kemiringan dasar saluran dapat diatur hingga maksimum +5%
dankemiringan minimum hingga -1%.
Aliran Dalam Flume
Sebelum mengenai pilar sudah dapat diyakinkan bahwa aliran tersebut
adalah seragam. Tetapi semburan air dari pompa dapat dipastikan akan
mengakibatkan pusaran yang menyebabkan ketidakseragaman aliran. Sehingga
diperlukan adanya perlakuan khusus aliran air sebelum mengenai pilar.
Penyearah arus, dibuat dari susunan pipa paralon yang mempunyai
diameter kecil 2 cm dengan alat ini diharapkan aliran yang mengalir lebih
32
terarah, tidak terjadi turbulensi akibat datangnya air dari pompa yang kemudian
membentur dinding flume.
Permukaan kasar, dibuat dari campuran semen, pasir dan kerikil dengan
ukuran 30 cm x 100 cm dicetak di atas papan agar diperoleh ikatan yang kuat
sehingga tidak terangkut oleh kondisi aliran yang ada. Permukaan kasar ini
diletakkan pada bagian hulu yang berguna untuk menyeragamkan distribusi aliran
arah vertikal.
Pintu air hilir (tailgate), pada dasarnya alat ini berupa pintu air yang juga
berfungsi sebagai peluap pada bagian ujung hilir flume, namun pada penelitian ini
dapat digunakan sebagai pengatur ketinggian muka air dalamflume. Tail gate ini
digunakan pada awal running dengan cara mengatur tinggi rendahnya bukaan
pintu pada bagian hilir dan pada saatrunning berlangsung tailgate dikunci agar
ketinggian air yang dingin akan tetap terjaga.
Peralatan Pengambilan Data
Merupakan berbagai peralatan yang digunakan untuk mengambil data yang
diperlukan dalam penelitian. Hal umum yang diperlukan adalah peralatan tulis
menulis, papan pencatat kegiatan laboratorium dan komputer sebagai pengolah
data dan penyusunan laporan.
Pencatat waktu (Stopwatch), alat ini digunakan untuk mengukur selang
waktu yang ditetapkan pada pengukuran kedalaman gerusan selama running
berlangsung.
Pengukur tinggi kedalaman tiap titik (Point gauge), alat ini digunakan
untuk mengukur elevasi dasar saluran untuk mendapatkan kontur dari dasar
saluran akibat gerusan yang terjadi disekitar pilar. Daerah yang diukur adalah
daerah disekitar pilar dengan jarak titik yang sudah ditentukan yaitu sejajar aliran,
dan arah melintang aliran
33
Bagan Alir Penelitian
Persiapan
1. Peralatan utama (standard multi purpose tilting flume)
2. Bahan : Pasir dan air
3. Peralatan tulis-menulis dan pengolah data (laptop)
Debit konstan disiapkan dengan
mengatur aliran dalam flume
sebesar 0,0045 m3/det.
Kedalaman air dari permukaan
dasar, yo = 0,065 m
Pasir di siapkan dengan variasi
kekasaran:
1. Ks = d65 = 0,00054 m 2. Ks = d90 = 0,00088 m 3. Ks = d85 = 0,00076 m 4. Ks = d50 = 0,00043 m
Penyusunan persamaan untuk mengetahui
parameter parameter aliran seperti,
1. Kefisien kekasaran dasar saluran, C . 2. Menghitung kecepatan rata rata, Uo . 3. Menghitung Bilangan Froude, Fr. 4. Menghitung Bilangan Reynolds, Re. 5. Menghitung parameter Partikel. 6. Menghitung Parameter kritik Shields.
7. Menghitung tegangan geser tc,r
8. Menghitung kecepatan kritik butiran u*c,r
9. Menghitung Regim aliran 10. Menghitung kecepatan krtitik aliran
1. Percepatan gravitasi Bumi = 10 m/det
2
2. Kedalaman Normal = 0,0065 m
3. Kemiringan dasar = 10
-4
4. Kecepatan geser aliran = 0,00799 m/det
Membuat grafik dengan menempatkan kecepatan
pada kedlaman tertentu dengan koefisien kekasaran
yang di gunakan
Membagi kedalaman aliran (yo) dalam ruas yang sama.
Dengan menggunakan persamaan :
Untuk menentukan garis lengkung profil distribusi kecepatan vertikal
Penyusunan laporan hasil
penelitian Selesai
Mulai
34
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aliran air dan pergerakan butiran di dalam flume
Debit aliran yang digunakan dalam penelitian adalah sebesar 0.0045 m3/s.
Diperoleh dari pengamatan pergerakan sedimen pada beberapa tempat (tidak
keseluruhan bergerak) dengan ketinggian muka air normal y0= 0.065 m. .Bacaan
pada manometer, h = 10 mm, kemudian dengan membandingkan pembacaan
kalibrasi flume dan dilakukan pula kalibrasi alat sebelum digunakan dengan
menggunakan ember maka diperoleh nilai h = 10 mm = 0.001 m sama dengan
debit yang dialirkan sebesar 4.5 ltr/s = 0.0045 m3/s .Data kalibrasi terdapat pada
lampiran.
Jenis aliran air yang digunakan adalah aliran yang seragam (uniform),
dengan keadaan bahwa permukaan air sama sejajar dengan permukaan dasar, dan
debit yang dialirkan tetap. Kemiringan dasar yang digunakan adalah
0.0001,diketahui dari pembacaan alat pengukur kemiringan pada Multi Purpose
Tilting Flume.
Menghitung parameter-parameter hidraulik
1. Koefisen kekasaran permukaan dasar
sk
12Rln
κ
gC g = 9.81 m2/s
= 0.4
R = P
A A = yo b = 0.065 0.30 = 0..0195m
2
P = b + 2yo=0.30 + 2 0.065 = 0.430 m
R = 430.0
0195.0 = 0.045 m
Ks = 2 d50 = 0.00086 m
0.00086
0.045 12ln
0.4
9.81C
= 45.078 m
1/2/s
35
2. Menghitung kecepatan rata-rata kecepatan aliran dengan menggunakan
persamaan Uo= Q/A
A
QUA UQ 00 =
)3.0065.0(
0045.0
= 0.23 m/s
Kecepatan yang diperoleh v = U0 = 0.23 m/s
3. Menghitung bilangan Froude :
n
0
yg
UFr
065.081.9
23.0Fr
= 0.28
4. Menghitung bilangan Reynolds :
v
LURe 0
6
10
065.023.0Re
=14950
5. Menghitung parameter partikel :
50
3
1
2d
ν
g1)(sD 00043.0
)(10
81.91)(2.81D
3
1
26-
D* = 11.22 10 < D* 20
6. Menghitung parameter kritikShields (critical Shields parameter) partikel
(d50 = 0.00043 m )
cr = 0.04 D*-0.1
= 0.0314
7. Menghitungreratawaktutegangangeserpermukaan (time-averaged critical
shear stress)
50s
crb,
crdgρρ
τθ
00043.081.900018102
τ0314.0
crb,
crb,τ = 0.0314 1810 9.81 0.00043
= 0.24 N/m
8. Menghitung kecepatan kritik butiran :
50s
crb,
50
2
,
dgρρ
τ
)1( dgs
u cr0314.0
)1( 50
2
,
dgs
u cr
36
0.0314dg1)(su 50
2
cr,
0.0314dg1)(su 50cr,
= 0.0156 m/s
9. Menghitung regime aliran butiran:
v
ku sc
6
10
00043.0.01560
= 6.708
10. Menghitungkecepatankritik :
g
CuU cr
c81.9
078.450156.0 cU
= 0.062 m/s
Tabel 5.1 Kesimpulan Hasil Perhitungan Aliran dan Butiran
Q (m3/s) yn (m) B (m) R (m) U0 (m/s) Ucr (m/s)
0.0045 0.065 0.3 0.045 0.231 0.062
I g (m2/s) C(m
1/2/s) kg/m
3) Fr
0.0001 9.81 45.078 1000 0.289
0 (N/m) GS skg/m3) d50 (m) cr (N/m) u* (m/s) u*c (m/s)
0.0084 2.81 2810 0.00043 0.0024322 1.81 0.0080 0.031
Pembahasan hasil perhitungan:
- Jenis aliran dalam flume adalah turbulen sub kritik karena :
Fr < 1 dan Re > 2000
- Regim aliran dengan kekasaran permukaan adalah aliran transisi
(transitionalflow) karena :
v
scku = 6.078 5 <v
scku < 70
Penggambaran profil distribusi kecepatan vertikal untuk kedalaman aliran
0,06 m. Dari data hasil perhitungan di atas, maka penggambaran distribusi
kecepatan vertikal, yang di butuhkan adalah :
1. Percepatan grafitasi Bumi = 10 m/det2
37
Kedalaman Normal = 0,0065 m
2. Kemiringan dasar = 10-4
3. Kecepatan geser aliran = 0,00799 m/det
Hasil perhitungan kecepatan aliran untuk setiap kedalaman aliran disajikan dalam
bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel 2. Distribusi vertikal kecepatan aliran dalam saluran terbuka (Flume)
Gambar 4. Grafik Distribusi Kecepatan Vertikal Hasil Perhitungan
c = 1,04 c = 1,12 c = 1,09 c = 1,01
i y
0 1,00E-04 0,0356 0,0274 0,0299 0,0392
1 4,16E-03 0,1129 3,01E-04 0,1107 2,80E-04 0,1109 2,86E-04 0,1142 3,11E-04
2 8,21E-03 0,1270 4,87E-04 0,1259 4,80E-04 0,1257 4,80E-04 0,1280 4,91E-04
3 1,23E-02 0,1354 5,32E-04 0,1349 5,29E-04 0,1344 5,28E-04 0,1360 5,35E-04
4 1,63E-02 0,1413 5,61E-04 0,1412 5,60E-04 0,1406 5,58E-04 0,1418 5,63E-04
5 2,04E-02 0,1459 5,82E-04 0,1462 5,83E-04 0,1455 5,80E-04 0,1463 5,84E-04
6 2,44E-02 0,1497 5,99E-04 0,1503 6,01E-04 0,1494 5,98E-04 0,1499 6,01E-04
7 2,85E-02 0,1528 6,13E-04 0,1537 6,16E-04 0,1528 6,13E-04 0,1530 6,14E-04
8 3,26E-02 0,1556 6,26E-04 0,1567 6,29E-04 0,1556 6,25E-04 0,1557 6,26E-04
9 3,66E-02 0,1580 6,36E-04 0,1593 6,41E-04 0,1582 6,37E-04 0,1581 6,36E-04
10 4,07E-02 0,1602 6,45E-04 0,1616 6,51E-04 0,1605 6,46E-04 0,1602 6,45E-04
11 4,47E-02 0,1622 6,54E-04 0,1638 6,60E-04 0,1626 6,55E-04 0,1621 6,54E-04
12 4,88E-02 0,1640 6,62E-04 0,1657 6,68E-04 0,1644 6,63E-04 0,1638 6,61E-04
13 5,28E-02 0,1656 6,69E-04 0,1675 6,76E-04 0,1662 6,71E-04 0,1654 6,68E-04
14 5,69E-02 0,1672 6,75E-04 0,1691 6,83E-04 0,1678 6,77E-04 0,1669 6,74E-04
15 6,09E-02 0,1686 6,81E-04 0,1707 6,89E-04 0,1693 6,84E-04 0,1683 6,80E-04
16 6,50E-02 0,1699 6,87E-04 0,1721 6,95E-04 0,1707 6,89E-04 0,1696 6,85E-04
S u = 0,0096 S u = 0,0096 S u = 0,0096 S u = 0,0096
u1 u2 u3
0,0080Ks = d65 Ks = d90 Ks = d85
u4
Ks = d50
0,00054 0,00088 0,00076 0,00043
U*u1 u2 u3 u4
38
KESIMPULAN
Penggambaran profil distribusi kecepatan vertikal adalah kegiatan rangkaian
perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui kecepatan aliran pada kedalaman
tertentu. Data awal adalah kegiatan laboratorium untuk mengetahui perermukaan
dasar yang bergerak (pasir) dengan gradasi tertentu dan aliran air dalam flume
dengan debit aliran 0,0045 m3/det. Dalam pengamatan fisik di laboratorium tidak
dapat di lihat dengan kasat mata distribusi aliran tersebut. Tetapi dari hasil
perhitungan dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk nilai Ks = d65 = 0,00054 m diperoleh kecepatan pada bagian
permukaan 0,1699 m/det dan kecepatan di dasar 0,0356 m/det.
2. Untuk nilai Ks = d90 = 0,00088 m diperoleh kecepatan pada bagian
permukaan 0,1721m/det dan kecepatan di dasar 0,0274m/det.
3. Untuk nilai Ks = d85 = 0,00076 m diperoleh kecepatan pada bagian
permukaan 0,0299m/det dan kecepatan di dasar 0,1707 m/det.
4. Untuk nilai Ks = d50 = 0,00043 m diperoleh kecepatan pada bagian
permukaan 0,0392 m/det dan kecepatan di dasar 0,1696 m/det .
Hasil diatas menunjukkan bahwa pada tahap pertama tentang penelitian ini
sudah dapat menggambarkan secara detil adanya perbedaan kecepatan antara
bagian permukaaan aliran saluran terbuka dengan pada bagian dasar aliran
tersebut.
Untuk Bahan Diskusi
Penelitian tentang distribusi vertikal kecepatan aliran ini sangat sedikit.
Mengingat banyaknya anggapan dalam memahami aliran saluran terbuka,
distribusi aliran vertikal pada saluran terbuka ini akan mempersempit parameter
aliran dan menghasilkan pendekatan yang lebih sempurna pada liran yang terjadi.
Penelitian lebih lanjut tentang garis distribusi vertikal ini masih berupa garis yang
semi lengkung dan terlihat lebih lurus ketika mendekati permukaan dasar. Dengan
persamaan matematika maka lanjutan penelitian ini adalah membentuk distribusi
vertikal kecepatan aliran dalam saluran terbuka terlihat lebih lengkung.
39
DAFTAR PUSTAKA
Alifi Yunar. 2005. Karakteristik Gerusan Lokal di Sekitar Pilar Silinder dan Pilar
Segi Empat Ujung Bulat pada kondisi Terjadi Penurunan Dasar Suangai ,
Tesis, UGM, Jogjakarta
Alifi Yunar. 2007. Karakteristik Gerusan Pilar Segi Empat Ujung Bulat Pada
Kondisi Terjadi Penurunan Dasar Sungai dengan Proteksi Tirai ,
SMARTEK, UNTAD, Palu.
Bambang Trihatmojo. 2003. Hidraulika II Beta Offset, Jogjakart
Chang Chun Kiat et al. 2004. Measurement of Bed Load Transport for selected
Small Streams in Malaysia ,International Conference on Managing Rivers
in 21st century, Malaysia
M.Ashiq and J.C.Bathrust.1999. Comparison of Bed Load Sampler and Tracer
data on initation of motion, Journal of Hydraulic Engineering.
Muhammad SalehPallu. 2012. TeoriDasarAngkutanSedimen DI DalamSaluran
Terbuka, CV. TelagaZamzam, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia.
Peng Gao and Athol D. Abrahams. 2004. Bedload Transport in Rough Open
Channel Flow, Departemen geography, State University of New York, NY
1461, USA.
Vijay P Singh. 2003. On The Theories of Hydraulic Geometry. Departement of
Civil and Environmental Engineering Lousiana State University, USA.
Van Rijn LC. 1977. Principles of Sediment Transport in Rivers, Estuaries,Coastal
Seas and Oceans, Oldemarkt, The Netherlands.
CT Yang. 1996. Sediment Transport, Theory and Practice , UCLA, USA,
Hoffmans, G.J.C.M. danVerheij, H.J.1997. Scour Mannual, A.A. Balkema,
Rotterdam, Brookfield.
H.N.C Breussers and AJ Rudkivi. 1991. Scouring, A.A Balkema, Rotterdam.
JJ Pieters. 2009. Hydroeurope, Belgium
Laboratorium Hidraulika-Hidrologi. 2005. Universitas Gajahmada, Jogjakarta
40
HUBUNGAN KERAPATAN DENGAN KUAT REKAT KAYU KELAPA
PADA GAYA KEMPA YANG KONSTAN
Kusnindar. Abd. Chauf
1, dan Agus Rivani
2
Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Tadulako
ABSTRAK
Selain mutu kayu, kualitas rekatan lamina pada balok laminasi sangat
ditentukan oleh kuat tarik dan geser sejajar kayu. Jika perekatan yang terjadi tidak
monolit, maka ada kemungkinan terjadi cacat perekatan. Oleh karena itu untuk
aplikasi pada kayu kelapa, perlu dilakukan penentuan keteguahn rekatan kayu,
mengingat angka kerapatan kayu kelapa sangat variatif. Di sisi lain angka
kerapatan kayu berkorelasi positif dengan kuat tarik dan geser sejajar kayu. Untuk
mendukung hal itu dilakukan uji geser rekatan dengan menggunakan UTM
dengan variasi kerapatan pada kondisi kadar air 8,6%, dengan standar ASTM.
Dari hasil uji itu diperoleh fakta bahwa tingkat variasi kerapatan kayu kelapa
relatif besar antara 0,3 – 1,1 gr/cm3, sehingga harus diperhatikan pola penempatan
lamina sesuai dengan daya dukung yang diperlukan. Perekatan optimum tercapai
pada kerapatan 0,8 gr/cm3, dengan intensitas perekatan mencapai 14,75 kN. Di
samping itu terdapat kecenderungan penurunan intensitas perekatan mengikuti
kenaikan nilai kerapatan. Dari sisi visual, diperoleh fakta bahwa kegagalan
perekat 80% terjadi pada kayu dengan kerapatan tinggi, dan 0% pada kerapatan
rendah, dalam hal ini yang mengalami kegagalan adalah kayu yang direkatkan.
Kata Kunci: Kerapatan, Kuat Rekat, Kayu Kelapa, Gaya Kempa
PENDAHULUAN
Inovasi rekayasa konstruksi kayu harus dilakukan melalui diversifikasi
sumber kayu untuk mencapai tataran struktural bangunan. Salah satu yang dapat
dikembangkan adalah kayu kelapa (Cocos nucifera) dengan perkiraan produksi
nasional mencapai 8.815.884 m3/tahun. Selama ini pola pemanfaatan kayu kelapa
masih terbatas pada elemen solid. Balok solid cenderung memiliki keterbatasan
dimensi dan kapasitas. Di sisi lain dengan bobot ±650 kg/m3, dapat dipastikan
penggunaan konstruksi kayu bersifat lebih ringan dan daktail sehingga sangat
menguntungkan bila konstruksi berkapasitas besar dapat dibuat dari material kayu
kelapa yang ringan, terutama untuk ketahanan terhadap gempa. Oleh karena itu
aplikasi teknologi laminasi bisa menjadi solusi.
Masalahnya adalah bahwa aplikasi teknologi laminasi masih terbatas pada
kayu sub tropis dan dikotil. Oleh karena itu penelitian menjadi sangat penting
4
41
karena akan menghasilkan informasi mengenai kriteria desain balok struktural
laminasi (glue laminated timber) dengan bahan kayu kelapa.
Kadar air kayu kelapa berkorelasi negatif dengan berat jenisnya, dan tidak
ada perbedaan susut tangensial dan radial. Sifat mekanik kayu kelapa pada kondisi
kering udara disajikan dalam Tabel 1 (Romulo, 1997).
Tabel 1. Sifat mekanis kayu kelapa menurut kategori kerapatan
gr/cm3
Lentur Statis (MPa) Tekan // (Mpa) Tekan
(MPa)
MOE MOR Prop E Max Prop
≥ 0,6 11.414 104 61,7 9.747 57 9,0
0,4-0,6 7.116 63 38,4 5.282 38 3,4
0,25-0,4 3.633 33 15,4 2.914 19 1,7
Jika dikategorikan menurut kelompok umur maka pada kondisi kering udara
sifat fisis dan mekanis kayu kelapa disajikan dalam Tabel 2 (Kusnindar, 2006).
Tabel 2. Sifat fisis dan mekanis kayu kelapa bagian dalam pada w = 15%
Umur
Thn
σtk//
MPa
σtk┴
MPa
σtr//
MPa
τ
MPa
MOR
MPa
MOE
MPa
Ρ
gr/cm3
30 18,80 - 31,01 10,15 48,96 14.478 0,52
50 - 60 49,45 19,63 27,39 4,91 69,932 13.716 0,78
60 - 80 81,79 25,35 146,90 5,01 72,67 14.666 0,78
> 80 119,49 43,54 148,84 6,87 111,86 20.938 0,83
Kapasitas kayu sebagai elemen lentur sangat dipengaruhi oleh kerapatan
kering udaranya, sebagaimana disajikan dalam Gambar 1 (Kusnindar, 2006).
Kekuatan batas balok laminasi lebih tinggi dibanding balok solid (Bakar dkk.,
2004). Daya dukung balok laminasi sangat ditentukan oleh kapasitas tarik lamina
42
terluar. Mode keruntuhan garis rekatan tergantung pada ketebalan lamina terluar
(Serrano dan Larsen, 1999).
Gambar 1. Hubungan kerapatan dengan kapasitas lentur (Kusnindar, 2006)
Untuk memperoleh kapasitas lentur optimal, dibutuhkan pengempaan
0,3//. Bila desain balok ditujukan untuk optimalisasi MOE, maka diperlukan
pengempaan < 0,3// atau > 0,3// (Kusnindar, 2005). Pemberian tekanan tegak
lurus serat kayu melampaui titik proporsional akan menyebabkan perubahan
bentuk elastis dan cenderung akan terjadi compressive failure (Wardhani dkk
,2006).
Terlepas dari mutu kayu, maka kualitas rekatan lamina sangat ditentukan
oleh kuat tarik sejajar dan kuat geser sejajar kayu. Jika perekatan yang terjadi
tidak monolit, maka ada kemungkinan terjadi cacat perekatan (Kessel dan Martin
H, 2005). Keteguahn rekatan balok dengan tiga lapis adalah 1,6 kali keteguhan
geser balok solid (Noguchi dan Komatsu, 2002).
Peningkatan kekuatan lamina akibat perekatan berkisar 1,06 - 1,68 dengan
kyield = 1,35-1,65 (Serrano dan Larsen, 1999). Garis perekatan yang pejal dan
tipis akan membantu perataan distribusi beban pada lamina (San dkk., 2001).
Bahan dan Metode
Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan melalui uji geser rekatan untuk
memperoleh kuat rekat dan modulus geser rekatan pada setiap kategori kerapatan
kayu, uji foto makro untuk visualisasi penetrasi perekat. Bahan dasar penelitian
adalah balok kayu kelapa 6/12 yang diperoleh dari tebangan pohon kelapa berusia
35 – 50 tahun (Gambar 2). Dalam hal ini tegakan yang dipilih adalah yang
43
tumbuhnya relatif lurus dengan usia tanaman ± 50 Tahun (Usia tidak produktif).
Bentuk dan jumlah benda uji disajikan dalam Tabel 3.
Gambar 2. Tegakan Pohon Kelapa yang Siap Ditebang
Selanjutnya pembuatan sampel uji geser rekatan (Gambar 3). Dimensi dan
bentuk sampel mengikuti ASTM.
Gambar 3. Bentuk dan dimensi sampel uji geser rekatan
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar air dan kerapatan (Gambar 4).
7
9 10
8
44
Gambar 4. Proses uji kerapatan dan kadar air
Selanjutnya dilakukan uji geser rekatan dengan menggunakan UTM
(Gambar 5)
Gambar 5. Proses uji geser rekatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji Kerapatan dan Kadar Air
Berdasarkan hasil uji kerapatan, maka kayu kelapa yang digunakan berada
dalam kisaran kerapatan 0,3 – 1,1 grm/cm3 sebagaimana disajikan dalam Tabel 3.
Dengan tingkat variasi yang besar itu, maka yang harus diperhatikan adalah
penempatan lamina sesuai dengan daya dukung diperlukan.
45
Tabel 3. Variasi kerapatan kayu kelapa
N
o
KOD
E
TEBA
L
(cm)
LEBAR
(cm)
TINGGI (cm) BERAT
(gram)
(gr/cm3)
Rata-rata LONG SHORT
1 X6 2,50 5,00 7,03 5,15 46,7 0,3
0,3
2 X1 2,50 5,00 7,03 5,06 47 0,3
3 V3 2,50 5,00 7,05 5,19 48,2 0,3
4 S6 2,50 5,00 6,53 4,67 44,40 0,3
5 S5 2,50 5,00 6,74 4,35 44,20 0,3
1 A3E 2,50 5,00 7,50 4,95 54,60 0,4
0,4
2 A2E 2,50 5,00 7,04 4,92 52,50 0,4
3 W4 2,50 5,00 7,13 5,15 54 0,4
4 V1 2,50 5,00 6,97 4,99 53,1 0,4
5 V4 2,50 5,00 6,63 4,42 49,10 0,4
1 K6 2,50 5,00 6,95 4,97 69,70 0,5
0,5
2 L3 2,50 5,00 7,00 5,02 70,60 0,5
3 K5 2,50 5,00 7,03 4,91 70,60 0,5
4 L4 2,50 5,00 7,03 5,06 73,60 0,5
5 K3 2,50 5,00 6,95 5,07 77,10 0,5
1 C3 2,50 5,00 6,85 4,90 126,50 0,9
0,9
2 C4 2,50 5,00 7,05 4,99 132,30 0,9
3 C1 2,50 5,00 6,87 4,96 130,40 0,9
4 G2' 2,50 5,00 7,09 4,92 135,2 0,9
5 G4' 2,50 5,00 7 4,94 134,7 0,9
1 E2E 2,50 5,00 6,66 4,95 138,50 1,0
1,0
2 JI1 2,50 5,00 6,99 5,05 144 1,0
3 E1 2,50 5,00 6,94 4,93 142,40 1,0
4 E2 2,50 5,00 7,03 4,99 144,90 1,0
5 G3 2,50 5,00 6,90 4,87 142,90 1,0
1 J3'' 2,50 5,00 6,75 4,62 150,00 1,1
1,1
2 N2'' 2,50 5,00 6,69 4,42 147,30 1,1
3 Q2'' 2,50 5,00 6,49 4,54 146,50 1,1
4 B2E 2,50 5,00 6,95 5,01 159,80 1,1
5 J2'' 2,50 5,00 6,68 4,36 147,90 1,1
Dari enam kategori kerapatan tersebut, maka terdapat nilai yang efektif jika
mengacu pada standar nasional Indonesia untuk kayu konstruksi, yaitu kayu
kelapa dengan kerapatan 0,5gr/cm3 sampai dengan 0,9 gr/cm
3
46
Hasil Uji Geser Rekatan
Selanjutnya dilakukan uji geser rekatan dengan hasil sebagaimana disajikan
dalam tabel 4. Dari tabel 4 diperoleh fakta bahwa setiap kategori kerapatan
memiliki karakteristik mekanik yang berbeda.
No Pmax max
No Pmax max
No
Pmax max No
Pmax max
kN mm kN Mm kN mm kN mm
1 03 4,82 2,64 1 04 5,63 2,06 1 05 3,33 4,64 1 06 12,98 2,54
2 03 4,39 4,11 2 04 8,26 2,31 2 05 7,44 4,91 2 06 10,53 2,08
3 03 5,49 4,17 3 04 1,92 1,74 3 05 8,95 2,83 3 06
4 03 4,32 3,11 4 04 3,99 1,53 4 05 7,26 2,32 4 06
5 03 5,86 4,04 5 04 4,29 1,69 5 05 10,16 2,00 5 06
6 03 6,41 3,86 6 04 4,97 5,58 6 05 8,08 3,53 6 06
7 03 5,33 1,89 7 04 5,17 3,58 7 05 5,91 2,67 7 06
8 03 5,95 3,03 8 04 6,93 2,39 8 05 11,81 4,03 8 06
9 03 9,64 1,78 9 04 5,52 2,49 9 05 9 06
10 03 5,27 3,67 10 04 6,00 3,02 10 05 10 06
No Pmax max
No Pmax max
No Pmax max
No KODE Pmax max
kN mm kN mm kN mm kN mm
1 09 10,53 1,82 1 1 13,90 0,93 1 1.1 9,37 2,36 1 DU 6,65 1,63
2 09 22,07 1,76 2 1 16,36 1,28 2 1.1 13,73 0,92 2 DU 8,40 1,55
3 09 16,36 1,75 3 1 12,50 1,16 3 1.1 15,43 1,01 3 OX 6,72 1,67
4 09 24,18 2,28 4 1 17,46 1,81 4 1.1 10,22 0,78 4 OX 8,66 2,35
5 09 17,68 2,99 5 1 17,79 1,67 5 1.1 6,90 2,04 5 IF 3,80 1,22
6 09 17,41 1,77 6 1 10,50 1,77 6 1.1 7,03 1,30 6 IF 6,72 1,86
7 09 14,02 2,87 7 1 11,44 1,28 7 1.1 5,19 0,84 7 UP 6,74 1,98
8 09 15,29 2,93 8 1 7,47 2,61 8 1.1 8 UP 6,03 3,96
9 09 9,63 2,83 9 1 9,73 5,11 9 1.1 9 VJ 4,12 1,83
10 09 25,12 3,05 10 1 14,63 1,36 10 1.1 10 VJ 7,73 3,04
11 09 11 1 11 1.1 11 MBR 5,53 1,76
12 09 12 1 12 1.1 12 MBR 7,36 5,73
13 09 13 1 13 1.1 13 BBR 6,40 5,60
Selanjutnya berdasarkan Gambar 6 diperoleh fakta bahwa perekatan
optimum tercapai pada kayu dengan kerapatan 0,8 gr/cm3, dengan intensitas
47
perekatan mencapai 14,75 kN. Di samping itu terdapat kecenderungan penurunan
intensitas perekatan mengikuti kenaikan nilai kerapatan.
Gambar 6. Hubungan kerapatan dengan kuat rekat kayu kelapa
Fenomena ini dapat dijelaskan dengan mengamati hasil fot makro yang
dilakukan terhadap penetrasi perekat sebagaimana Gambar 7. Dari Gambar 7
terlihat bahwa pada kayu dengan kerapatan rendah jumlah perekat yang masuk ke
dalam substrat lebih banyak dibanding dengan kayu kerapatan tinggi.
kerapatan rendah
kerapatan tinggi
kerapatan 0,8
Gambar 7. Hasil foto makro penetrasi perekat ke dalam substrat
Selanjutnya dari segi kemampuan deformasi, maka terdapat kecenderungan
bahwa semakin tinggi kerapatan, maka deformasi linier yang terjadi semakin
kecil. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan kayu, maka
kekakuannya semakin besar. Kenyataan ini disajikan dalam Gambar 8.
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2
Pm
ax (
kN)
Kerapatan (gr/cm3)
48
Gambar 8. Hubungan kerapatan dengan deformasi maksimum glue line
Pada benda uji rekatan yang terdiri dari kombinasi kategori kerapatan
terdapat fakta lain, yaitu bahwa:
1. Pada gabungan kerapatan rendah dan tinggi, kuat rekat cenderung mengikuti
kuat geser bagian dengan kerapatan rendah, dengan beban maksimum 8,6
kN.
2. Lendutan maksimum yang dihasilkan dapat lebih besar dari lendutan
maksimum pada sampel dengan kerapatan seragam.
Gambar 9. Sifat mekanik perekatan dengan dua kategori kerapatan
49
KESIMPULAN
Tingkat variasi kerapatan kayu kelapa adalah relatif besar antara 0,3 – 1,1
grm/cm3, sehingga harus diperhatikan pola penempatan lamina sesuai dengan
daya dukung diperlukan. Perekatan optimum tercapai pada kayu dengan kerapatan
0,8 gr/cm3, dengan intensitas perekatan mencapai 14,75 kN. Di samping itu
terdapat kecenderungan penurunan intensitas perekatan mengikuti kenaikan nilai
kerapatan. Selanjutnya tingkat kegagalan perekat 80% terjadi pada kepatan tinggi,
dan 0% pada kerapatan rendah. Dalam hal ini yang mengalami kegagalan adalah
justru pada kayu yang direkatkan. Pada benda uji dengan kerapatan kombinasi,
kuat rekat cenderung mengikuti kuat geser bagian dengan kerapatan rendah dan
lendutan maksimum yang dihasilkan lebih besar dari lendutan maksimum pada
sampel dengan kerapatan seragam.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar S. A., A. L. Saleh and Z. B. Mohamed, 2004, Factors Affecting Ultimate
Strength Of Solid And Glulam Timber Beams, Jurnal Kejuruteraan
Awam 16(1): 38-47
Blass, H.J., P. Aune, B.S. Choo, R. Gorlacher, D.R., Griffiths., dan G. Steck,
1995, Timber Engineering Step I. Centrum Hout, The Nederland.
Breyer, D.E., K.J. Fridley, dan K.E. Cobeen, 1998, Design of Wood Structures
ASD. McGraw-Hill Inc. New York.
Kessel M. H., dan Guenther M., 2005. Assessment of the load bearing capacity of
defectively glued laminated timber. Institute for Building Engineering and
Timber Structures. TU Braunschweig Germany
Kusnindar A. C., 2005. Karakteristik Mekanik Kayu Kelapa Sebagai Bahan
Konstruksi, Jurnal Smartek, Vol 3. No.1.
Kusnindar A. C., 2006. Pengaruh Proses Laminasi Terhadap Kapasitas Lentur
Balok Kayu. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan di
Sulawesi Tengah. Palu.
Noguchi M. and K. Komatsu, 2005. Design Method of the Knee Joints using
Adhesive for the Wooden Portal Frame Structures. Wood Research
Institute, Kyoto University, Uji, Kyoto, Japan Laboratory of Structural
Function
50
Prayitno, T.A. 1996. Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta.
Sakuna, T., dan C.C. Moredo. 1993. Bonding of selected Tropical Woods—Effects
of Extractivees and Related Properties. Symposium-USDA Forest Service,
and Taiwan Forestry Research Institute. May 25-28, 1993. Taipei.
Serrano, E., and H.J. Larsen. 1999. Numerical Investigation Of The Laminating
Effect In Laminated Beam. Journal of Structural Engineering. 125 (7 ) :
740-745.
Sunday E. E, Louis E. A dan Kenneth E. A, 2007. Determination Of Thermal
Properties Of Cocos Nucifera Trunk For Predicting Temperature
Variation With Its Thickness. Department of Physics, University of Uyo,
Uyo, Nigeria
Wardhani. I. Y., Surjokusumo. S., Hadi. Y. S dan Nugroho. N., 2006,
Performance of Densified Inner-Part of Coconut Wood (Cocos nucifera
Linn). J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis. Vol. 4 • No. 2
51
ALGORITMA PEMFILTERAN UNTUK REDUKSI NOISE PADA
CITRA MENGGUNAKAN LOGIKA FUZZY
Anita Ahmad Kasim1 dan Agus Harjoko
2
Jurusan Teknik Elektro Universitas Tadulako, Palu
Jurusan Ilmu Komputer dan Elekronika Instrumentasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Email: [email protected] [email protected]
ABSTRAK
Algoritma pemfilteran digunakan dalam pemrosesan mereduksi noise dari
sebuah citra. Nilai rata-rata (mean) filter biasanya digunakan untuk mereduksi
noise Gausian, tetapi tidak efektif untuk noise impulse misalnya pada noise Salt &
Pepper. Nilai tengah (median) filter baik untuk mereduksi noise impulse tetapi
tidak bekerja baik pada noise Gausian. Berdasarkan ide logika fuzzy, penelitian
ini mengemukakan pemfilteran baru yang disebut filter fuzzy. Filter fuzzy mampu
menangani 2 jenis noise tersebut sampai pada batas tertentu. Filter fuzzy
menggunakan fungsi triangular median center dengan cara mengambil jumlah
nilai deviasi piksel dengan nilai median dan menggantinya piksel noise dengan
output yang seharusnya berdasarkan fungsi keanggotaan fuzzy triangular. Dari
hasil implementasi diperoleh nilai besaran MSE masing-masing citra dengan
filterisasi citra menggunakan filter mean, filter median dan filter terendah ada
pada citra dengan noise Gaussian. Sedangkan pada noise salt & pepper, noise
terduksi baik pada filter fuzzy dan filter median. Terlihat bahwa pemanfaatan
filter fuzzy pada kedua citra dengan masing-masing noise lebih rendah yang
menandakan kualitas perubahan citra dari citra asli dengan noise dengan citra
hasil reduksi noise.
Kata Kunci: citra, filter fuzzy, reduksi noise
ABSTRACT
Filtering algorithm used in processing to reduce noise from an image. The
average value (mean) filter normally used to reduce Gaussian noise, but it is not
effective to the impulse noise such as the Salt & Pepper noise. The mean (median)
filter for reducing the impulse noise but does not work well on Gaussian noise.
Based on the idea of fuzzy logic, this study suggests a new filtering called fuzzy
filter. Fuzzy filter is able to handle the two types of noise to some extent. Using
triangular fuzzy filter function center median by taking the amount of deviation
value of pixels with the median value of pixel noise and replace it with the output
should be based on triangular fuzzy membership functions. From the results of the
implementation of MSE values obtained magnitude of each image by filtering the
image using the mean filter , median filter and the filter is in the image with the
lowest Gaussian noise . While the salt & pepper noise, noise reduced both the
fuzzy filter and median filter. The use of fuzzy filter on the second image
5
52
indicating lower noise image quality changes from the original image with the
image noise with noise reduction results.
Key Words : image, fuzzy filter, noise reduction
PENDAHULUAN
Algoritma pemfilteran digunakan dalam pemrosesan mereduksi noise dari
sebuah citra. Nilai rata-rata (mean) filter biasanya digunakan untuk mereduksi
noise Gausian, tetapi tidak efektif untuk noise impulse misalnya pada noise Salt &
Pepper. Nilai tengah (median) filter baik untuk mereduksi noise impulse tetapi
tidak bekerja baik pada noise Gausian. Berdasarkan ide logika fuzzy. Penelitian
ini mengemukakan pemfilteran baru yang disebut filter fuzzy. Filter fuzzy mampu
menangani 2 jenis noise tersebut sampai pada batas tertentu. Filter fuzzy
menggunakan fungsi triangular median center dengan cara mengambil jumlah
nilai deviasi piksel dengan nilai median dan menggantinya piksel noise dengan
output yang seharusnya berdasarkan fungsi keanggotaan fuzzy triangular.
Transmisi antarmuka atau interferensi ekternal sebuah citra digital akan
memiliki gangguan yang akan memberi efek dalam analisa sebuah citra. Analisa
sebuah citra akan dapat digunakan dalam proses pengenalan pola citra (Anita dan
Hendra, 2012). Efek ini akan sangat berpengaruh ketika akan dilakukan analisa
lebih dalam pada sebuah citra. Pada proses pengambilan gambar ada beberapa
gangguan yang mungkin terjadi, seperti kamera tidak fokus atau munculnya
bintik-bintik yang bisa jadi disebabkan oleh proses capture yang tidak sempurna.
Setiap gangguan pada citra dinamakan dengan noise.
Untuk menghilangkan noise dilakukan reduksi noise Proses tersebut
dilakukan dengan menggunakan berbagai macam metode tergantung pada kondisi
yang diharapkan pada citra, seperti mempertajam bagian tertentu pada citra,
menghilangkan noise atau gangguan, manipulasi kontras dan skala keabuan, dan
sebagainya.
Noise pada citra tidak hanya terjadi karena ketidaksempurnaan dalam proses
pengambilan citra, tetapi bisa juga disebabkan oleh kotoran-kotoran yang terjadi
pada citra. Berdasarkan bentuk dan karakteristiknya, noise pada citra dibedakan
menjadi beberapa macam yaitu:
53
1. Gaussian
Noise Gaussian merupakan model noise yang mengikuti distribusi normal
standard dengan rata-rata 0 dan standard deviasi 1. Efek dari Gaussian noise
muncul titik-titik berwarna yang jumlahnya sama dengan persentase noise.
2. Speckle
Noise speckle merupakan model noise yang memberikan warna hitam pada
titik yang terkena noise.
3. Salt & Pepper
Noise salt & pepper seperti halnya taburan garam, akan memberikan warna
putih pada titik yang terkena noise.
Untuk mereduksi noise digunakan filterisasi diantaranya adalah Filter Mean
dan Filter Median. Filter Mean adalah filter linear dan Filter Median adalah filter
non linear. Mean filter digunakan untuk mereduksi noise Gaussian sehingga tidak
efektif dalam filterisasi noise Salt & Pepper (Noise impulse), sedangkan Median
Filter baik untuk mereduksi noise impulse tetapi tidak bekerja baik pada noise
Gausian (Zhang,dkk,2011).
TINJAUAN PUSTAKA
Logika Fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh ahli Matematika asal
Amerika Richard pada tahun 1965. Logika fuzzy digunakan dalam berbagai
pengolahan citra seperti filterisasi (Zhang,dkk,2011), segmentasi
(Borges,dkk,2011), klasifikasi (Juanjuan,dkk,2012), kompresi (Luan,dkk,2009),
pemrosesan citra (Lu,2011; Zhige, 2008) dan beberapa analisa pengenalan pola
(Lazzerini,dkk,2001; Ting Chou,dkk,2011; Melin,2010). Berdasarkan ide logika
fuzzy, makalah ini mengemukakan pemfilteran baru yang disebut filter fuzzy.
Filter Fuzzy mampu menangani 2 jenis noise tersebut sampai pada batas tertentu.
Algoritma filter fuzzy hampir sama dengan filter mean, tetapi algoritmanya
memiliki koefisien. Filter fuzzy mampu diaplikasikan untuk mengurangi noise
pada noise Gaussian dan noise impulse.
Mean Filter dan Median Filter Untuk Reduksi Noise
Perbaikan kualitas citra adalah proses yang dilakukan untuk mendapatkan
kondisi citra tertentu. Proses tersebut dilakukan dengan menggunakan berbagai
54
metode tergantung kondisi yang diharapkan pada citra, seperti mempertajam
bagian tertentu pada citra, menghilangkan noise atau gangguan, manipulasi
kontras dan skala keabuan, dan sebagainya.
Reduksi Noise Menggunakan Filter Mean
Ada berbagai macam teknik untuk mereduksi noise, salah satunya
menggunakan Filter Mean (Zhang,dkk,2011). Filter Mean efektif digunakan untk
memproses reduksi noise pada noise Gaussian. Misalkan sebuah citra
direpresentasikan dalam sebuah matrik M x N dengan fungsi diskret f(x,y).
Algoritma fungsi Mean akan memproses citra sebagi sebuah titik g(x,y). Proses
satu titik di (x,y) dan ketetanggaan yang dimiliki citra dengan persamaan (1)
sebagai berikut:
(1)
Citra yang melalui proses Filter Mean dapat dilihat pada gambar 1 berikut:
Gambar 1. (a) Citra Asli, (b) Citra dengan Noise Salt & Pepper, (c) Reduksi Noise Filter
Mean, (d)Citra dengan Noise Gaussian, (e) Reduksi Noise Filter Mean
Reduksi Noise Menggunakan Filter Median
Filter Median digunakan untuk mereduksi noise impulse. Filter Median
akan mengganti nilai piksel dengan median dari level intensitas dalam
ketetanggan piksel yang telah dilakukan perangkingan (Zhang,dkk,2011).
Misalkan sebuah citra direpresentasikan dalam matrik M x N dengan fungsi
diskret f(x,y). Proses algoritma filter median dinyatakan dalam fungsi g(x,y).
Setiap titik diproses pada (x,y) baik dengan titik itu sendiri maupun dengan titik
yang berketetanggan seperti pada persamaan (2).
(2)
Citra yang melalui proses Filter Median dapat dilihat pada gambar 2 berikut:
55
Gambar 2. (a) Citra Asli, (b) Citra dengan Noise Salt & Pepper, (c) Reduksi Noise Filter Median,
(d) Citra dengan Noise Gaussian, (e) Reduksi Noise Filter Median
METODE PENELITIAN
Fuzzy Filter dapat digunakan untuk mereduksi noise Gaussian dan noise
impulse seperti noise Salt & Pepper. Konsep logika fuzzy digunakan untuk
menghitung variabel koefisien dalam sebuah citra. Adapun metode yang
dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Proses akan dilakukan pada sebuah citra bitmap 8 bit yang
direpresentasikan dalam 3 x 3 matrik ketetanggaan. Filter fuzzy
menggunakan sebuah mask berukuran 3x3, perhitungan dilakukan untuk
menentukan nilai pixel pusat berdasarkan perbedaan 4 pixel tetangganya
(atas, bawah, kanan, dan kiri), dan mengimplementasikan beberapa aturan
fuzzy.
2. Citra bitmap 8 bit direpresentasikan dalam sebuah matrik ketetanggan
seperti digambarkan pada Gambar 3 berikut:
Gambar 3. Area Ketetanggaan 3 x 3
B merupakan titik fokus yang memiliki level keabuan B. An (n dari 1 sampai
8) adalah titik yang berdekatan dengan fungsi antara An dan B dalam
‗ketidakjelasan‖ sebuah level keabuan yang baru yaitu C dan akan
menggantikan B.
3. Output filter fuzzy dapat diperoleh memalui persamaan 3 sebagai berikut:
(3)
56
4. Filter fuzzy dengan fungsi triangular median center adalah filter yang
mengambil jumlah nilai deviasi piksel dengan nilai median dan
menggantinya piksel noise dengan output yang seharusnya berdasarkan
fungsi keanggotaan fuzzy triangular
(4)
5. Kualitas citra diukur dengan menggunakan besaran MSE (Mean Square
Error). MSE adalah rata-rata kuadrat nilai kesalahan antara citra asli dengan
citra hasil pengolahan yang dengan cara membandingkan pixel-pixel pada
posisi yang sama dari dua citra yang berlainan. Secara matematis
ditunjukkan pada persamaan 5 sebagai berikut:
(5)
dimana x y = koordinat pixel pada citra
M = lebar citra (pixel)
s,t = nilai intensitas pixel
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa filter yang akan dilakukan pada file citra yang diberi noise. Noise
yang diberikan meliputi noise salt & pepper dan noise Gaussian. Masing-masing
citra yang telah memiliki noise akan direduksi noisenya dengan berbagai filter
yang telah dibahas diatas.
Setiap citra ditambahkan noise Gaussian dan noise salt & pepper. Noise
Gausssian pada setiap citra direduksi menggunakan tiga buah filter yaitu filter
mean, filter median dan filter fuzzy. Ketiga hasil filterisasi di bandingkan untuk
melihat kualitas setiap citra setelah dilakukan reduksi noise menggunakan filter
57
mean, filter median dan filter fuzzy. Dari hasil implementasi ketiga buah filter,
diperoleh hasil seperti pada gambar 4 berikut:
Gambar 5. (a) Citra Asli, (b) Citra dengan Noise Salt & Pepper, (c) Reduksi Noise Filter Mean,
(d) Reduksi Noise Filter Media, (e) Reduksi Noise Filter Fuzzy, (f)Citra dengan
Noise Gaussian, (g) Reduksi Noise Filter Mean, (h) Reduksi Noise Filter Media, (i)
Reduksi Noise Filter Fuzzy
Hasil perhitungan MSE keseluruhan citra dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1: Nilai rata-rata MSE hasil filterisasi
58
Dari hasil implementasi diperoleh nilai besaran MSE masing-masing citra
dengan filterisasi citra menggunakan filter mean, filter median dan filter terendah
ada pada citra dengan noise Gaussian. Sedangkan pada noise salt & pepper, noise
terduksi baik pada filter fuzzy dan filter media. Terlihat bahwa pemanfaatan filter
fuzzy pada kedua citra dengan masing-masing noise lebih rendah yang
menandakan kualitas perubahan citra dari citra asli dengan noise dengan citra
hasil reduksi noise.
KESIMPULAN
Dari analisa yang telah dijabarkan dapat disimmpilkan bahwa sistem
logika fuzzy dapat diterapkan pada prose filter citra. Dengan menambahkan
koefisien sebagaimana yang digunakan pada sistem fuzzy aditif, sebuah filter
mampu melakukan filterisasi citra karena koefisien yang digunakan bersifat
relative terhadap semua titik dan dirinya sendiri sehingga mampu beradaptasi
dengan titik-titik yang lain maupun dengan dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Anita AK dan Andi Hendra, 2012, Eigen Face Algorithm for Batik Bomba
Recognition, International Symposium Computational Science,
Yogyakarta.
Borges,VRP., Barcelos,CAZ., Guliato, D., Batista, MA., 2011, A Selective Fuzzy
Region Competition Model For Multiphase Image Segmentation, 2011,
23th IEEE International Confrence on Tools With Artificial Intellengence,
hal. 118-125
Guiming, Lu., Yuanzhe,Zhang., 2011, A New Additive Fuzzy System For Image
Processing, 2011, International Conference on Network Computing and
Information Security, hal. 332-334
Hong-qiao,ZHANG., Xin-Jun,MA., WU-Ning, 2011, A New Filter of Image
Based On Fuzzy Logical, International Symposium on Computer Science
and Society, China, hal. 315-272
Juanjuan, ZHAO., Huijun, LU, Yue, LI., Junjie,CHEN., 2012, A Kind of Fuzzy
Decision Tree Based on The Image Emotion Classification,
International Confrence on Computing Measurement, Control and Sensor
Network, hal. 167-170
59
Lazzerini, Batrice., Marcelloni, Franscesco., 2001, A Fuzzy Approach to 2-D
Shape Recognition, IEEE Transaction on Fuzzy System Vol. 9 No. 1,
February 2001, hal. 5-14
Luong, HV., Kim, Yong-Min., Kook, Byung., Hong Kim, Choel., 2009, Artificial
Intelligences, Networking and Parallel/Distribution Computing, 10th
ACIS
International Confrence on Software Engineering, hal. 510-515
Melin, P., 2010, Interval Type-2 Fuzzy Logic Application in Image Processing
and Pattern Recognition, 2010, IEEE International Confrence on Granular
Computing,hal 728-731
Ting Chou, Yang., Ming Huang,Shih., Hua Wu,Szu., Ferr Yang,Jar., 2011, DWT
and Sub-Pattern PCA for Face Recognition Based on Fuzzy Data Fussion,
2011 International Confrence on Intelligent Computation and Bio
Medical Instrumetation, hal. 296-299.
Zhige, Jia., Xiaoli, Liu., 2008, Modelling Spatial Relationships for Remote
Sensing Image Processing Based on Fuzzy Set Theory, 2008 International
Confrence on Computer Science and Software Engineering, hal. 1101-
1104
60
MODEL GPS PENGUKURAN POLA ARUS PASANG SURUT DAN
GELOMBANG (KASUS PANTAI BAHARI KECAMATAN POLEWALI
KABUPATEN POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT)
Baharuddin; Wihardi Tjaronge2; Arsyad Thaha
3; Farouk Maricar
4
1Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
2Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin Makassar
Email : [email protected]
ABSTRACT
The research was conducted in August 2012, which took place in the waters
of Beach Cliff of Pantai Bahari, Polewali Sub District, Polewali Mandar District,
west Celebes Province. This study aimed to determine the pattern of tidal currents
and wave characteristics. The method used in this study is a survey method in the
determination of station data retrieval consists of 3 stations and 1 station consists
of 3 sampling points around the coast. Data retrieval research done at low tide and
ebb tide towards the approaching tide. Beaches Bahari a coastal area that has a
relatively narrow beach, sand bersubstrat, located along the coast line along the
coast so there are Bahari vegetation Coconut tree (Cocos nucifera), Fir Tree
(Casuaria equesetifolia). Characteristics include wave height, period and
wavelength at high tide and low tide at station 2 is the largest when compared
with the two other stations. Bahari inshore depth value is average - average 1.52
m - 1.66 m at high tide and 0.86 m - 1.09 m at low tide. Flow patterns that occur
when tidal flow is towards the East, at low tide reverse flow towards the West
with the type of flow is the flow along the coast (Longshore current) type tidal
ebb and flow that happens is a daily mix biased toward a double (Mixed,
dominant semidiurnal) which occurs twice ups and downs twice in one day but
different heights.
Key Note : tides, bahari beach, the current wave.
PENDAHULUAN
Kondisi oseanografi fisika di kawasan pesisir dan laut dapat digambarkan
oleh terjadinya fenomena alam seperti terjadinya pasang surut, arus, gelombang,
kondisi suhu dan salinitas serta angin. Fenomena tersebut memberikan kekhasan
karakteristik pada kawasan pesisir dan lautan sehingga menyebabkan terjadinya
kondisi fisik perairan yang berbeda-beda.
Perairan Pantai Bahari terletak di Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali
Mandar Provinsi Sulawesi Barat, merupakan daerah pesisir yang mempunyai
pantai yang relatif sempit, bersubstrat pasir, yang terdapat di sepanjang garis
pantai. Daerah penelitian merupakan salah satu daerah pariwisata, pemukiman
61
maupun kegiatan lalu lintas kapal dengan kondisi karakteristik arus pasang surut
dan gelombang yang sangat besar.
Perairan Pantai Bahari dipengaruhi oleh pasang surut dan gelombang yang
terjadi dimana salah satu akibat dari gelombang dan pasang surut yang masuk ke
pantai menyebabkan beberapa kerusakan fisik seperti : pengikisan daratan (abrasi)
di perairan pantai ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola arus pasang surut dan
karakteristik gelombang.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2012, yang bertempat di
Perairan Pantai Bahari Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar Provinsi
Sulawesi Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
survei yaitu berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang
langsung diperoleh dari pengukuran di lapangan dan data sekunder adalah data
yang diperoleh dari instansi-instansi terkait.
Bahan dan alat yang digunakan selama penelitian ini adalah current
drogue, Stopwatch, Meteran, Tali Pemberat, Kompas, Kamera, GPS, Alat Tulis,
Anenometer. Penentuan stasiun dalam pengambilan data terdiri dari 3 stasiun dan
1 stasiun terdiri dari 3 titik sampling di sekitar pantai. Jarak setiap titik sampling
50 m. Titik sampling 1.1, 1.2 dan 1.3 terletak pada jarak 50 m dari garis pantai.
Titik sampling 2.1, 2.2 dan 2.3 terletak pada jarak 100 m dari garis pantai. Titik
sampling 3.1, 3.2 dan 3.3 terletak pada jarak 150 m dari garis pantai.
Pengambilan data penelitian dilakukan pada waktu pasang menjelang surut
dan surut menjelang pasang dengan menggunakan perahu dan pada waktu
pengambilan data perahu dalam keadaan berhenti untuk mengurangi bias dalam
pengambilan data. Adapun pengukuran karakteristik gelombang menggunakan
galah berskala dan stop wacth dan pengukuran gelombang meliputi
Tinggi Gelombang (H)
Tinggi Gelombang adalah nilai yang diperoleh antara jarak vertikal antara
puncak gelombang dengan lembah gelombang, dengan cara memancangkan galah
berskala tersebut ke dalam perairan, kemudian dari galah berskala tersebut dicatat
62
berapa batas air pada waktu terjadinya lembah gelombang. Setelah itu, dicatat
tinggi air pada saat terjadinya puncak gelombang, jarak vertikal antara tinggi
puncak dan batas lembah adalah tinggi gelombang.
Perioda Gelombang (T)
Perioda gelombang adalah interval waktu yang dibutuhkan oleh partikel air
untuk kembali ke kedudukan semula dengan kedudukan sebelumnya. Perioda
gelombang dengan menancapkan galah berskala, kemudian dihitung waktu antara
puncak gelombang ke puncak berikutnya.
Panjang Gelombang (L)
Panjang gelombang dapat diukur dengan melihat waktu yang dibutuhkan
oleh puncak gelombang berikutnya yang melalui satu titik kemudian dicatat jarak
atau panjang gelombang dari waktu yang diperlukan dua gelombang puncak
tersebut. Maka panjang gelombang dapat ditentukan dengan:
L = g(T) /2
Dimana : g = Gravitasi bumi (9,8 m/dt)
T = Perioda Gelombang
= 3,14
Panjang gelombang adalah Jarak antara dua puncak atau dua lembah
gelombang yang berturut-turut.
Pengambilan data arus bersamaan dengan pengambilan data gelombang.
Adapun pengukuran karakteristik Arus meliputi:
Kecepatan Arus
Untuk pengukuran kecepatan arus menggunakan current drogue dan
stopwatch di stasiun penelitian. Pengamatan ini secara kualitatif dengan
pembacaan selang waktu tertentu masing-masing selama mendekati pasang air
laut dan pada saat surut air laut. Jarak yang diukur dibandingkan dengan waktu
dengan menggunakan rumus :
v = s/t
Dimana : v = Kecepatan arus (m/dt)
63
t = Waktu (dt)
s = Jarak (m)
Arah Arus
Arah arus ditentukan berdasarkan kompas yang digunakan sejalan dengan
current drouge. Pengukuran kedalaman pada setiap stasiun dengan menurunkan
tali berskala yang diberi pemberat sampai ke dasar perairan dan diusahakan tali
tetap tegang. Kemudian di bantu dengan menggunakan GPS. Hasil yang diperoleh
di masukan ke dalam rumus menurut (Galib, 2005).
Kedalaman = Cosinus a x L
Dimana : L = Panjang tali
a = Sudut yang di bentuk oleh tali dengan bidang tegak
lurus
Data gelombang yang diperoleh antara lain berupa tinggi gelombang,
panjang gelombang, dan perioda gelombang. Selanjutnya data yang diperoleh
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dan dibahas secara deskriptif.
Dalam penelitian ini digunakan beberapa asumsi :
1. Ketelitian peneliti dianggap sama dalam melakukan penelitian
2. Titik sampling dianggap mewakili wilayah yang diteliti.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perairan Pantai Bahari terletak di Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali
Mandar Provinsi Sulawesi Barat terletak pada koordinat 103° 20‘ 07‖ BT sampai
103° 22' 05‖ BT sampai 1° 06‘ 22" LU sampai 1° 05‘ 18‖ LU. Memiliki luas
daerah 870,47 km2, Pantai Bahari merupakan daerah pesisir yang mempunyai
pantai yang relatif sempit, bersubstrat pasir, yang terdapat di sepanjang garis
pantai. Daerah penelitian merupakan salah satu daerah pariwisata, pemukiman
maupun kegiatan lalu lintas kapal dengan kondisi karakteristik gelombang dan
arus pasang surut yang sangat besar.
Vegetasi yang terdapat di sepanjang pantai Bahari adalah pohon Kelapa
(Cocos nucifera), pohon Cemara (Casuaria equesetifolia). Kecamatan Tebing
mempunyai ketinggian 22 m di atas permukaan laut. Curah hujan di kecamatan
Tebing sekitar 238,3 mm/tahun dengan suhu udara pada umumnya dipengaruhi
64
oleh tinggi rendahnya tempat dan permukaan laut, suhu rata - rata maksimum
antara 33,6 C° dan suhu rata - rata minimumnya 22,5 C°. Sedangkan kelembapan
udara relatif antara 80 - 89 %.
Di sepanjang pantai Bahari (stasiun 1, stasiun 2, stasiun 3) merupakan
pantai berpasir putih dengan keadaan air yang agak keruh karena dipengaruhi oleh
lumpur. Secara detail, keadaan tiap stasiun dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Stasiun 1, merupakan daerah yang dekat dengan aktifitas masyarakat.
Dengan kedalaman yang relatif kecil dan gelombang yang tidak terlalu besar
dan memiliki kedalaman yang bervariasi dengan rata – rata kedalaman 0,86
m.
2. Stasiun 2, merupakan daerah tempatan pariwisata. Di daerah ini, gelombang
yang terbentuk cukup besar bila dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya
dengan tinggi gelombang mencapai 0,33 m pada saat pasang dan 0,36 m
pada saat surut. Kedalaman mencapai 0,89 m.
3. Stasiun 3 , merupakan daerah yang dekat dengan aktifitas masyarakat, sama
pada stasiun 1. Gelombang di daerah ini tidak terlalu besar, kedalaman
bervariasi dengan rata – rata 1,09 m.
Karakteristik Gelombang
Karakteristik gelombang yang dapat diukur, diamati dan dihitung di setiap
stasiun penelitian meliputi : tinggi gelombang, perioda gelombang, dan panjang
gelombang.
Gelombang adalah pergerakan naik turunnya air dengan arah tegak lurus
terhadap permukaan laut yang membentuk kurva sinusoidal. Gelombang yang
terjadi di laut hampir sebagian besar disebabkan oleh angin. Angin di atas lautan
mentransfer energinya ke perairan, menyebabkan riak – riak, alun/bukit, dan
berubah menjadi apa yang kita sebut dengan gelombang. Selain itu, gelombang di
laut juga dapat disebabkan oleh angin (gelombang angin), gaya tarik menarik
antara Bumi, Bulan dan Matahari (gelombang pasang surut), gempa (tektonik atau
vulkanik) di dasar laut (gelombang tsunami), ataupun gelombang yang disebabkan
oleh gerakan kapal.
65
Tinggi Gelombang (H)
Tinggi gelombang diperoleh dari pengukuran jarak vertikal setara puncak
gelombang dengan lembah gelombang. Hasil pengukuran tinggi gelombang pada
setiap stasiun sangat bervariatif. Nilai rata-rata tinggi gelombang di perairan
pantai Bahari berdasarkan perhitungan di tiap stasiun dapat dilihat di Tabel 2 dan
grafik tinggi gelombang dapat dilihat pada Gambar 1
Tabel 2. Hasil Pengukuran Tinggi Gelombang (H) di Perairan Pantai Bahari
Tanggal
pengukuran
STASIUN
I II III
pasang (m) surut (m) pasang (m) surut (m) pasang (m) surut (m)
10- Aug -12 0,20 0,25 0,35 0,36 0,22 0,28
11- Aug -12 0,18 0,21 0,37 0,39 0,27 0,3
12- Aug -12 0,22 0,26 0,31 0,34 0,25 0,27
13- Aug -12 0,23 0,25 0,30 0,32 0,23 0,25
14- Aug -12 0,21 0,23 0,33 0,37 0,21 0,23
15- Aug -12 0,20 0,22 0,31 0,34 0,24 0,30
16- Aug -12 0,24 0,28 0,34 0,38 0,20 0,23
17- Aug -12 0,19 0,20 0,32 0,35 0,21 0,25
18- Aug -12 0,22 0,25 0,35 0,36 0,21 0,23
19- Aug -12 0,24 0,27 0,39 0,39 0,27 0,31
20- Aug -12 0,21 0,22 0,32 0,35 0,25 0,28
21- Aug -12 0,21 0,23 0,31 0,34 0,23 0,27
22- Aug -12 0,20 0,22 0,33 0,37 0,21 0,25
23- Aug -12 0,22 0,25 0,35 0,37 0,24 0,26
24- Aug -12 0,23 0,24 0,30 0,32 0,27 0,32
Rata-rata 0,21 0,24 0,33 0,36 0,23 0,27 Sumber : Data Primer 2012
Berdasarkan tabel dapat diketahui hasil pengukuran terhadap tinggi
gelombang perairan pantai Bahari pada saat pasang berkisar antara 0,21 – 0,33 m
dan pada saat surut berkisar antara 0,24 – 0,36 m. Di stasiun 1, tinggi gelombang
rata- rata adalah 0,21 m pada saat pasang dan rata-rata 0,24 m pada saat surut.
Pada stasiun 2 tinggi gelombang relatif lebih tinggi dibandingkan di stasiun 1 dan
stasiun 3, baik itu pada saat pasang maupun surut, yakni berkisar 0,33 m pada saat
pasang dan antara 0,32-0,39 pada saat surut dengan rata-rata 0,356 m. Pada
stasiun 3 tinggi gelombang rata-rata 0,23 m dan antara 0,23-0,32 m atau rata-rata
0,268 m pada saat surut. Pada gambar 2 dapat dilihat perbandingan tinggi
gelombang antara ketiga stasiun di lokasi penelitian.
66
Gambar 1. Diagram Tinggi Gelombang di Perairan Pantai Bahari
Periode Gelombang (T)
Periode gelombang adalah waktu yang diperlukan untuk membentuk dua
puncak gelombang atau lembah melalui satu titik tertentu yang saling berurutan.
Hasil pengukuran periode gelombang di perairan pantai Bahari dapat dilihat pada
tabel 3 dan grafik periode gelombang dapat dilihat pada gambar 2.
Tabel 3. Hasil Pengukuran Periode Gelombang (T) di Perairan Pantai Bahari
Tanggal
pengukuran
STASIUN
I II III
pasang (m) surut (m) pasang (m) surut (m) pasang (m) surut (m)
10- Aug -12 1,13 0,80 2,07 1,87 1,95 1,72
11- Aug -12 1,04 0,75 2,36 2,03 1,9 1,69
12- Aug -12 1,14 0,83 2,40 2,07 1,84 1,63
13- Aug -12 1,08 0,82 2,30 2,01 1,7 1,54
14- Aug -12 1,03 0,79 2,15 1,93 1,85 1,59
15- Aug -12 0,95 0,72 2,01 1,80 1,82 1,72
16- Aug -12 1,05 0,83 2,04 1,85 1,78 1,68
17- Aug -12 1,90 0,70 2,02 l.,82 1,72 1,63
18- Aug -12 0,93 0,75 2,05 1,89 1,79 1,68
19- Aug -12 1,07 0,87 2,18 1,97 1,91 1,77
20- Aug -12 1,12 0,94 2,27 2.02 1,87 1,74
21- Aug -12 0,95 0,73 2,03 1.86 1,85 1,7
22- Aug -12 0,92 0,70 2,05 1.91 1,9 1,79
23- Aug -12 1,07 0,92 2,25 1.98 1,95 1,83
24- Aug -12 1,11 0,97 2,36 2.12 1,8 1,79
Rata-rata 1,10 0,81 2,17 1,94 1,84 1,70
Sumber : Data Primer 2012
Pengukuran periode gelombang yang dilakukan menunjukkan bahwa
periode gelombang pada saat pasang relatif lebih besar dibandingkan pada saat
67
surut. Saat pasang berkisar antara 1,10 – 2,17 detik dan antara 0,81 – 1,84 detik
pada saat surut.
Gambar 2. Diagram Periode Gelombang di Perairan Pantai Bahari
Periode gelombang di stasiun 2 lebih lama dibandingkan kedua stasiun
lainnya. Pada stasiun 1 periode gelombang berkisar antara rata – rata 1,10 detik
pada saat pasang dan rata – rata pada 0,81 detik saat surut. Stasiun 2 periode
gelombang terjadi rata – rata 2,17 detik pada saat pasang dan rata – rata 1,94 detik
pada saat surut. Pada stasiun 3 periode gelombang yang rata – rata 1,84 detik pada
saat pasang dan rata – rata 1,70 detik pada saat surut.
Panjang Gelombang (L)
Panjang gelombang adalah jarak antara dua puncak atau lembah gelombang.
Atau jarak antara satu puncak dengan satu lembah gelombang.
Hasil pengukuran panjang gelombang menunjukkan ukuran panjang
gelombang yang bervariasi karena dipengaruhi hasil pengukuran periode
gelombang, yang berkisar antara 1,98 – 7,37 m pada saat pasang dan 1,03 – 5,90
m pada saat surut. Secara detail panjang gelombang di lokasi penelitian dapat
dilihat pada Tabel 4 dan grafik panjang gelombang pada Gambar 3
Tabel 4. Hasil Pengukuran Panjang Gelombang (L) di Perairan Pantai Bahari
Tanggal
pengukuran
STASIUN
I II III
pasang (m) surut (m) pasang (m) surut (m) pasang (m) surut (m)
10- Aug -12 1,99 1,00 6,69 5,46 5,93 4,62
11- Aug -12 1,69 0,88 8,69 6,43 5,63 4,46
12- Aug -12 2,03 1,08 8,99 6,69 5,28 4,15
13- Aug -12 2,03 1,05 8,26 6,30 4,51 3,70
14- Aug -12 1,66 0,97 7,21 5,81 5,34 3,95
15- Aug -12 1,41 0,81 6,30 5,06 5,17 4,62
68
16- Aug -12 1,72 1,08 6,49 5,34 4,94 4,40
17- Aug -12 5,63 0,76 6,37 5,17 4,62 4,15
18- Aug -12 1,35 0,88 6,56 5,57 5,00 4,40
19- Aug -12 1,79 1,18 7,42 6,06 5,69 4,89
20- Aug -12 1,96 1,38 8,04 6,37 5,46 4,72
21- Aug -12 1,41 0,83 6,43 5,40 5,34 4,51
22- Aug -12 1,32 0,76 6,56 5,69 5,63 5,00
23- Aug -12 1,79 1,32 7,90 6,12 5,93 5,23
24- Aug -12 1,92 1,47 8,69 7,01 5,06 5,00
rata-rata 1,98 1,03 7,37 5,90 5,30 4,52 Sumber : Data Primer 2012
Panjang gelombang di stasiun 2 lebih tinggi dibanding dengan stasiun 1 dan
stasiun 3. Pada stasiun 2 panjang gelombang pada saat pasang rata – rata 7,37 m
dan pada saat surut rata – rata 5,90 m. Sementara pada stasiun 1 panjang
gelombang rata – rata 1,98 m pada saat pasang dan rata – rata 1,03 m pada saat
surut. Pada stasiun 3 panjang gelombang yang terbentuk rata – rata 5,30 m pada
saat pasang dan pada saat surut berkisar rata – rata 4,52.
Gambar 3. Diagram Panjang Gelombang di Perairan Pantai Bahari
Karakteristik Arus
Pengambilan data arus yang diambil adalah data arus permukaan yang
meliputi pengukuran kecepatan arus dan menentukan arah arus pada saat pasang
dan pada saat surut di perairan pantai Bahari.
Bentuk arus yang terjadi di lokasi penelitian adalah arus perairan pesisir
yang merupakan arus menyusur pantai (Longshore current). Arus ini terjadi
karena gelombang mendekat dan menghantam ke pantai dengan arah yang miring
atau tegak lurus garis pantai. Akibatnya material yang terbawa oleh arus sebagian
tertinggal di pantai, sebagian lagi ikut terbawa kembali seiring dengan aliran balik
arus tersebut. Sehingga ketika material yang tertinggal lebih sedikit dari pada
material yang terangkut, maka terjadi pengikisan daratan atau abrasi.
69
Kecepatan dan Arah Arus
Arus di perairan pantai Bahari merupakan arus pasang surut yang merambat
dari arah lautan menuju daratan. Hasil pengukuran kecepatan dan arah arus di
perairan pantai Bahari dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Pengukuran Kecepatan dan Arah Arus di Perairan Pantai Bahari
Stasiun Sub Stasiun
Kecepatan dan Arah Arus
Saat Pasang Saat Surut
Arah Arus
(0)
Kec. Arus
(m/dt)
Arah Arus
(0)
Kec. Arus
(m/dt)
I 50m 55° 0,21 120° 0,18
100m 70° 0,19 140o 0,16
150 m 75° 0,20 145° 0,19
50 m 65° 0,24 135° 0,26
100 m 85° 0,22 150° 0,24
II 150 m 75° 0,19 140° 0,21
50 m 65° 0,22 130° 0,19
100 m 80° 0,20 145° 0,19
III 150 m 70° 0,18 165° 0,15 Sumber : Data Primer 2012
Hasil pengukuran kecepatan dan arah arus di lokasi menunjukkan adanya
kecepatan dan arah arus yang bervariasi di ketiga stasiun dengan 9 sub stasiun,
yaitu 0,18 – 0,24 m/det atau rata – rata 0,21 m/det pada saat air pasang dan antara
0,15 – 0,26 m/det atau rata – rata 0,19 m/det pada saat air surut. Meskipun
kecepatan arus pada saat pasang lebih tinggi daripada kecepatan arus pada saat
surut . Namun tidak dapat perbedaan yang cukup signifikan terhadap kecepatan
arus di tiga stasiun pada saat surut maupun pada saat pasang. Pada stasiun 1
kecepatan arus di ketiga sub stasiun pada saat pasang terjadi antara 0,19 – 0,21
m/det atau rata – rata 0,20 m/det dengan arah arus berkisar diantara 55 ° dan 75°
ke arah timur dan tenggara sementara kecepatan arus pada saat surut antara 016 –
0,19 m/det atau rata – rata 0,17 m/det dengan arah arus berkisar antara 120° dan
145° ke arah Barat Daya. Tidak berbeda dengan stasiun 1, pada stasiun 2,
kecepatan arus berkisar 0,19 – 0,24 m det atau rata – rata 0,21 m/det pada saat
pada pasang di ketiga stasiun dengan arah arus yang berada dikisaran 65° dan 85°
ke arah Timur dan Tenggara sementara pada pada saat surut , kecepatan arus
bervariasi antara 0,21 – 0, 26 m/det atau rata – rata 0,23 m/det dengan arah arus
diantara 135° dan 150° ke arah Barat Daya. Pada stasiun 3 dengan tiga sub
stasiun, diketahui bahwa kecepatan arus pada saat pasang berada pada nilai 0,18 –
70
0,22 m/det atau rata – rata 0,20 m/det dan arah arus pada kisaran 65° dan 80°
kearah Timur dan Tenggara. Sementara itu pada saat surut , kecepatan arus yang
diperoleh antara 0,15 – 0,19 m/det atau rata – rata 0,17 m/det dan arah arus antara
130° dan 165° ke arah Barat Laut. Untuk lebih detailnya dapat dilihat pada
gambar 4.
Gambar 4. Diagram Kecepatan Arus Tiap Stasiun di Perairan Pantai Bahari
Tinggi dan Tipe Pasang Surut
Kondisi pasang surut menurut Hutabarat dan Evan (1986) disebut dengan
high water dan low water, juga pada saat yang sama akan ditemukan
tinggi/rentang pasang surut (tidak range) yang besar. Kondisi ini terjadi pada saat
bumi, bulan dan matahari membentuk sudut 90 baik pada seperempat bulan awal
maupun akhhir dan pada saat tersebut akan terjadi tinggi pasang rendah yang
disebut pasang perbani (neap tide). Kebalikan dari kondisi ini adalah pada saat
bumi, bulan dan matahari berada pada satu garis lurus yang akan membangunkan
pasang yang dikenal dengan pasang purnama (spring tide)yang terjadi pada saat
bulan purnama (15 hari bulan) danbulan baru (1 hari bulan).
Tipe pasang surut ditentukan oleh frekuensi air pasang dengan surut setiap
harinya. Hal ini disebabkan karena perbedaan respon setiap lokasi terhadap gaya
pembangkit pasang surut . Jika suatu perairan mengalami satu kali pasang dan
satu kali surut, maka kawasan tersebut dikatakan bertipe pasang surut harian
tunggal (diurnal tides) , namun jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut
dalam sehari, maka tipe pasang surutnya disebut tipe harian ganda (semidiurnal
tides). Tipe pasut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda
71
disebut dengan tipe campuran (mixed tide) dan tipe pasut ini digolongkan menjadi
dua bagian, yaitu tipe campuran dominasi ganda dan tipe campuran dominasi
tunggal (Duxbury et al, 1992).
Dalam penelitian mengenai tipe pasang surut, peneliti tidak melakukan
pengamatan langsung terhadap pasang surut di lokasi penelitian, namun
berpedoman terhadap tabel pasang surut yang diperoleh dari Dinas Hydro –
oseanografi TNI AL Kabupaten Polewali Mandar.
Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan merupakan salah satu faktor lingkungan perairan yang
berpengaruh terhadap bentuk gelombang saat merambat mendekati pantai.
Pengukuran kedalaman di perairan pantai Bahari dilakukan pada saat pasang dan
surut dengan jarak setiap sub stasiun 50 m mulai dari garis pantai hingga 150 m ke
arah laut. Ini dimaksudkan untuk mengetahui bentuk dasar pantai. Hasil
pengukuran kedalaman laut di perairan pantai Bahari dinyatakan dalam persen
dan dalam bentuk grafik. Lebih jelasnya dilihat pada tabel 6 dan gambar 7
Tabel 6. Kedalaman Perairan di Perairan Pantai Bahari.
Stasiun Sub Stasiun Kedalaman
Pasang (m) Surut (m)
50 m 1,14 0,68
I 100 m 1,57 0,75
150 m 1,86 1,15
50 m 1,21 0,71
II 100 m 1,55 0,86
150 m 1,90 1,12
50 m 1,35 0,84
III 100 m 1,60 1,10
150 m 2,05 1,35 Sumber : Data Primer 2012
Gambar 7. Diagram Kedalaman Perairan Pantai Bahari
72
KESIMPULAN DAN SARAN
Karakteristik gelombang dan arus pasang surut ketiga stasiun di perairan
pantai Bahari selama penelitian berbeda satu sama lain. Karakteristik gelombang
yang meliputi tinggi, periode dan panjang gelombang pada saat pasang dan surut
di stasiun 2 merupakan yang terbesar apabila dibandingkan dengan kedua stasiun
lainnya. Nilai kedalaman perairan pantai Bahari adalah rata – rata 1,52 m – 1,66 m
pada saat pasang dan 0,86 m – 1,09 m pada saat surut.
Kecepatan arus di perairan pantai Bahari lebih cepat pada saat surut
dibanding saat pasang. Pola arus yang terjadi pada waktu pasang adalah arus
menuju ke arah Timur, sebaliknya pada saat surut arus menuju ke arah Barat
dengan tipe arus adalah arus menyusur pantai (Longshore current). Berdasarkan
data pasang surut yang diplot dalam bentuk grafik, menunjukkan bahwa tipe
pasang surut yang terjadi adalah pasang surut campuran condong ke harian ganda
(Mixed, dominant semidiurnal) yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut
dalam satu hari namun ketinggian yang berbeda.
Penelitian ini merupakan studi awal yang memberikan informasi mengenai
kondisi gelombang dan arus pasang surut di perairan Bahari, oleh karena itu perlu
untuk diketahui seberapa besar pengaruh gelombang dan arus pasang surut
tersebut terhadap perubahan garis pantai yang meliputi abrasi dan akreasi di
kawasan ini. Sedangkan untuk pemanfaatannya, disarankan untuk diadakan
pengkajian yang lebih intensif lagi mengenai bagaimana usaha pemanfaatan
kawasan ini sebagai lokasi wisata yang diharapkan mampu menjadi sumber
pemasukan bagi masyarakat setempat, mengingat potensinya yang cukup
berpeluang untuk dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus. 2011. Sifat Air Laut. http://www.geocities.com/agus.adut/sifatair laut.htm
(9 April 2009).
Amri, U. 2010. Arus Pasang Surut dan Profil Kawasan Pantai Pulau Labuhan
Bilik Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Riau. (tidak diterbitkan).
73
Arief. D., 1980. Pengantar Oseanografi. Hal. 123 – 124 dalam D.H. Kunarso dan
Rugitno (eds0, Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik
Penanggulangannya.
Birowo, S. 1991. Pengantar Oseanografi, hal. 123 – 124. Dalam Status
Pencemaran Laut di Indonesiadan Teknik Pemantauannya. PPPO-LIPI
Jakarta.
Darmadi. 2010. Karakteristik Gelombang dan Arus Pasang Surut di Pelabuhan
Kejawan Cirebon. Laporan Praktikum Oseanografi Fisika. Jurusan Ilmu
Kelautan. Universitas Padjadjaran Bandung.
Diposaptono, S. 2004. Karakteristik Laut Pada Kota Pantai. Direktorat Bina
Pesisir, Direktorat Jendral Urusan Pesisir dan Pulau – pulau kecil
Departemen Kelautan dan Perikanan.
Duxbury, A. B, Duxbury A. C, and Sverdrup. K. A., 1992. Fundamental of
Oceanography Fourth Edition. Wm C Brown. Dubuque. 337 page.
Faurika, Y. 2010. Studi Gelombang dan Arus Serta Kemiringan Pantai di
Kelurahan Pasie Nan Tigo Sumatera Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Riau.
Galib. M., 1999. Oseanografi Fisika. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau. 93 hal (tidak diterbitkan).
, 2005. Oseanografi Fisika Deskriptif. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau. FAPERIKA Press. 92 hal.
Horikawa. K. 1978. Coastral Engineering an Inrtoduction to Ocean Engineering,
University of Tokyo.
Hutabarat. S dan S. M. Evans, 1985. Pengantar Oseanografi, Universitas
Indonesia. Jakarta. 147 hal.
Idris, F. 2009. Distribusi Suhu dan Salinitas di Perairan Sekitar Muara Sungai
Ungar Kecamatan Kundur Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau.
Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
Pekanbaru. (tidak diterbitkan).
Jalaluddin. R. 2005. Hubungan Pasang Surut dengan Gelombang Bono di Perairan
Pantai Teluk Meranti Kecamatan Pelalawan Provinsi Riau. Skripsi Ilmu
Kelautan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan (tidak diterbitkan).
Markas Besar, T.N.I. A.L 2007. Hidrografi dan Oseanografi. Spesialisas Navigasi
dan Direksi. Jakarta. (terbatas).
74
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1988. Oseao. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis.
Diterjemahkan 0leh M. Eidmen, Koesbiono, D.G. Bengen, Hutomo dan
Sukarjo. Gramedia Jakarta 352 hal.
Pardjaman, 2006. Sumberdaya, sifat – sifat oseanologis serta permasalahan
Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Ekonomi, LON LIPI. Jakarta, hal
83-104.
Rahman H, 2007. Pola Arus dan Tipe Pasang Surut di Perairan Desa Panglima
Raja Kecamatan Kuala Indragiri Kabupaten Indragiri. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru. Hal 6 (tidak diterbitkan).
Rikha. A. 2004. Abrasi dan Sedimentasi Berdasarkan Energi Fluks Gelombang di
Pantai Teluk Pangandaran Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat.
Skripsi.FAPERIKA UNRI. 54 hal.
Setiana, A. 2000. Oseanografi Kimia Perairan Pesisir. Makalah Pada Kursus
Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan
Holistik (angkatan pertama). PPLH. IPB Bogor. 30 hal. (tidak diterbitkan).
Uktoselya, H. 1991. Beberapa Aspek Fisika Laut dan Perannya Dalam Masalah
Perencanaan Dalam Laporan Seminar Pencemaran Laut Serta Lembaga
Oseanografi Nasional LIPI. Jakarta. 175 hal.
75
TEST X-RAY TOMOGRAPHY PERMEABLE ASPHALT PAVEMENT
MENGGUNAKAN BATU DOMATO SEBAGAI COURSE AGGREGATE DENGAN
BAHAN PENGIKAT BNA-BLEND PERTAMINA
Firdaus Chairuddin1, Wihardi Tdaronge
2, Muhammad Ramli
3, Johannes Patanduk
4
1Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Dari
Universitas Atmajaya 2Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin Makassar
3Dosen Jurusan Teknik Sipil Unversitas Hasanuddin Makassar
4Dosen Jurusan Teknik Sipil Uiversitas Hasanuddin Makassar
Email : [email protected]
ABSTRAK
Aspal porus merupakan struktur lapisan perkerasan yang mempunyai rongga-
rongga yang membuat air tidak tergenang di permukaan jalan, mengurangi
percikan air dan membuat permukaan jalan tidak licin sehingga mengurangi
kecelakaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana pengaruh aspal
porus menggunakan pecahan batu domato dan batu pecah alam dengan bahan
pengikat BNA Blend Pertamina melalui karakteristik pengujian Marshall, Indirect
Tensile Strength (ITS), dan Cantabro. Serta mendapatkan nilai campuran gradasi
agregat kasar dan Kadar Aspal Optimum (KAO) yang sesuai. Metodologi
Penelitian yang digunakan dalam pengkajian adalah metode eksperimen di
laboratorium. Aspal porus diproduksi sebagian menggunakan jenis agregat kasar
pecahan batu domato dan sebagian agregat langsung dari stone cruser dengan
bitumen yang sama. Komposisi dan variasi aspal yang akan diteliti adalah 100%
BNA Blend Pertamina dengan kadar aspal 7%, 8%, 9%, dan 10%. Selanjutnya
dilakukan observasi untuk mengetahui nilai stabilitas Marshall, nilai uji keausan
(Cantabro Test).dan Indirect Tensile Strength (ITS). Dari hasil penelitian yang
dilakukan mengindikasikan bahwa campuran beraspal porus menunjukan
pengaruh terhadap nilai karakteristik aspal porus khususnya pada gradasi batu
domato 50% tertahan ½‖ dan batu alam 50% tertahan 3/8‖ dimana dari hasil
analisa didapatkan nilai Kadar Aspal Optimum yaitu 9.5%. Berdasarkan hasil
Scanning Electron Microscope (SEM) dapat dilihat secara mikrostruktur dan
kandungan unsur kimia yang terdapat di dalam aspal porus membuktikan bahwa
seluruh unsur-unsur dari senyawa BNA Blend Pertamina dengan batu domato
dapat menyatu dan mengikat dengan baik.
Kata Kunci: Aspal porus, batu domato, marshal test, cantabro test, indirect tensile strenght test.
PENDAHULUAN
Jalan merupakan lintasan dasar dan utama dalam menggerakkan roda
perekonomian Nasional dan daerah, mengingat penting dan srategisnya fungsi
jalan untuk mendorong distribusi barang dan jasa sekaligus mobilitas penduduk.
Dimana ketersediaan jalan memungkinkan masyarakat mendapatkan akses
kemudahan bertransportasi. Untuk itu diperlukan perencanaan struktur perkerasan
7
76
yang kuat, tahan lama dan mempunyai daya tahan tinggi terhada deformasi yang
terjadi. Kerusakan jalan di Indonesia umumnya disebabkan oleh physical damage
factor yang berlebih, banyaknya arus kendaraan yang lewat sebagai akibat
pertumbuhan jalan kendaraan juga sangat berpengaruh terhadap umur layak
kendaraan. Disamping itu kerusakan jalan banyak diakibatkan oleh fungsi
drainase struktur jalan kurang baik, akibatnya genangan air dipermukaan jalan
meningkat sehingga merusak struktur jalan. (Puslitbang PU, 2011).
Sifat aspal berpori antaranya adalah sifat hidrolik dikarenakan memberi
manfaat mencegah aqua planning pada jalan dengan kondisi basah atau tergenang
air di lapis permukaannya sehingga mengurangi hidroplanning. Selebihnya sifat
aspal berpori karena permukaannya yang kasar tahan selip kendaraan pada kndisi
kecepatan tnggi disamping itu pula aspal berpori mengurangi semprotan air dan
pantulan cahaya di jalan karea fungsi drainasenya baik. (Pagotto. et. al. 2000).
Kapasitas drainase aspal berpori sangat tergantung pada besar kecil ukuran
porositas, sedangkan daya tahan dan kekuatan tergantung pada besar ukuran isi
kekosongan pori yang berbeda, dimana di tentukan bahwa pavement dengan kadar
kekosongan lebih dari 20% itu lebih tahan lama dibanding kondisi kadar
kekosongan kurang dari 20%. (Ruz, et. al, 1990).
Pada aspal berpori yang menggunakan bahan pengikat BNA Blend
Pertamina 100%, curah hujan yang jatuh pada permukaan dengan kemiringan
antara 2% - 3% dengan intensitas 452 mm/jam besarnya rembesan vertikal adalah
100% dan aliran permukaan (surface run off) yaitu 0,05%. (Nur Ali, et.al, 2012).
Pada aspal berpori yang menggunakan bahan pengikat aspal minyak 100%,
curah hujan ang jatuh pada permukaan dengan kemiringan 2%-3% dengan
intensitas 452 mm/jam, besarnya rembesan vertikal adalah 100%, aliran
permukaan 0%, untuk curah hujan sebesar 452 mm/jam yang jatuh dipermukaan
aspal berpori dengan menggunakan aspal minyak sebesar 2% diperoleh rembesan
vertikal sebesar 99,88%. (Diana et.al, 2000).
Aspal berpori di indonesia belum memiliki spesifikasi khusus sehingga
pengukuran terhadap kinerja aspal berpori dilakukan dengan mengacu pada
standar spesifikasi Malaysia, Jepang, Australia, Inggris dan America. Aspal
berpori adalah jenis perkerasan yang menggunakan aggregat halus sebanyak 15%-
77
30% yang oleh beberapa Negara menggunakan aspal minyak sebagai bahan
pengikat. (Zulkarnain et. al. 2001).
Carr Donald D. dan Rooney L.F (1985) membuat klasifikasi mineral atas
dasar kandungan kalsit dan dolomit serta material non-karabonat dalam batuan.
Jika kandungan kalsit dalam batuan dominan, (MgCO3) yang paling banyak
(>15%) maka batuan tersebut diklasifikasikan sebagai batuan domato.
Batu domato yang mengalami metamorfosa akan berubah penampakannya
dan sifatnya. Itu terjadi karena pengaruh tekanan maupun panas tinggi, sehingga
batu domato tersebut menghablur, seperti yang dijumpai pada marmer. Air tanah
juga berpengaruh terhadap penghabluran ulang pada permukaan batu domato
sehingga membentuk kalsit.
Gambar 1. Batu Domato
Pada pengujian aspal poros permeability test dengan model test
experimental menunjukkan bahwa hasil test dengan menggunakan aspal minyak
yang di combaind dengan campuran aggregate kasar dan aggregat halus diperoleh
stability 0,15 cm/dt, artinya permeability cukup kuat. (Phil Herington, et all, 1997)
Aspal berpori berbeda dengan aspal padat, dimana aspal poros berpori
sebagian besar terdiri dari aggregat kasar gradasi terbuka (open graded course
aggregat) dan sejumlah kecil pasir serta filler. Rongga-rongga terbentuk dari
tumpukan rangka (skeleton) dimana aggregat kasar dan kadar rongga udara pada
aspal berpori adalah sebesar 10%-25% rongga udara yang bersambung
membentuk drainase dibawah permukaan yang dapat menyebarkan air secara
vertikal dengan cepat kebawah sehingga tidak terjadi genangan air. (Nur. Ali, et.
al. 2005).
78
Karakteristik konstruksi perkerasan jalan aspal beton banyak dipengaruhi
oleh bahan campuran antara aggregat dan aspal, nampak bahwa variasi
penggunaan aggregat kasar bentuk bulat sebesar 0%, 20%, 40%, 60%,80%
dimana dari test Marshall nampak bahwa nilai kelelehan 522, 86 kg nilai rongga
udara 6, 179% sedangkan agregat kasar bentuk pecah nilai kelelehan 716,22 kg
nilai rongga udara 8,779%. (Siti Nurfaridah et.all, 2008).
Dengan model simulation based ON Competed nampak bahwa unsur
carbonate pada strukture buatan dengan menganalisa mikro struktur lateral rock
strukture pada sistem X – ray Computed nampak bahwa ada korelasi Fluid Flow
dengan model ukuran butir batuan yang digunakan sebagai course aggregat. (Jon
Kaczmacak. et .all, 2010)
METODOLOGI
Desain penelitian
Komposisi campuran yang digunakan dalam penelitian ini yaitu komposisi
campuran menggunakan gradasi terbuka menggunakan agregat kasar pecahan
batu domato lolos saringan 3/4‖ tertahan saringan 1/2‖ dan pecahan batu alam
lolos saringan 1/2‖ tertahan saringan 3/8‖ dengan variasi penambahan agregat
halus 9% dengan komposisi campuran yang menggunakan trial gradations dan
pencampuran aspal dengan BNA Blend Pertamina menggunakan 7%, 8%, 9%,
10% kadar BNA Blend Pertamina.
Pengumpulan data primer dan data sekunder
Metode pengumpulan data digunakan data primer dengan menganalisa hasil
dari penelitian yang dilaksanakan mengadakan kegiatan percobaan di
laboratorium dimana Aspal Porus diproduksi dengan menggunakan jenis agregat
dengan sistem gradasi terbuka (open graded) dan menggunakan Asbuton sebagai
bahan pengikat, sedangkan data sekunder dengan membaca sejumlah buku,
artikel-artikel ilmiah sebagai landasan teori dalam menuju kesempurnaan
penelitian ini.
79
Metode analisis data
Selanjutnya dilakukan observasi untuk mengetahui nilai Porositas, Stabilitas
(Marshall Test), nilai Uji Keausan (Cantabro Test), dan nilai Kuat Tarik Tak
Langsung (Indirect Tensile Strenght (ITS).
HASIL PENELITIAN
Pengujian sifat fisik agregat
Hasil pengujian sifat diperlihatkan pada Tabel 1 menunjukkan nilai
penyerapan batu domato tertahan saringan ½‖ adalah 6,79% sangat tinggi
disebabkan Karakteristik batu domato mempunyai pori yang besar dibandingkan
pengujian agregat kasar batu alam tertahan saringan 3/8‖ dan karakteristik agregat
halus telah memenuhi syarat spesifikasi untuk digunakan sebagai agregat
campuran beraspal.
Pengujian sifat fisik BNA Blend Pertamina
Hasil pengujian sifat fisik BNA Blend Pertamina pada Tabel 2 menunjukkan
bahwa BNA Blend Pertamina memenuhi syarat spesifikasi untuk digunakan
sebagai bahan pengikat pada campuran beraspal. Dari hasil pengujian penetrasi
sebelum kehilangan berat dengan nilai 42,1 mm memperlihatkan bahwa BNA
Blend Pertamina merupakan jenis aspal keras, hasil solubility memperlihatkan
bahwa BNA Blend Pertamina mengandung aspal 69,16% sehingga mineral yang
terkandung selain aspal sebesar 30,84%.
Pengujian permeabilitas dan porositas
Pengujian Permeabilitas ini menggunakan benda uji yang sama dengan
benda uji Marshall, menunjukkan bahwa koefisian pereabilitas semakin kecil
dengan semakin bertambahnya kadar BNA Blend Pertamina maka volume rongga
yang berada di dalam benda uji semakin berkurang hal ini disebabkan rongga
yang terisi oleh liquid semakin kecil sehingga waktu untuk mengalirkan air
dipermukaan akan lebih lama. Hasil pengujian menunjukkan nilai terendah
19,40% pada gradasi batu domato 25% tertahan ½‖ dan batu alam 75% tertahan
3/8‖ sedangkan nilai tertinggi 24,63% pada gradasi batu domato 75% tertahan ½‖
dan batu alam 25% tertahan 3/8‖. Fenomena perilaku permeabilitas sangat
dipengaruhi juga dari persentase porositas dalam campuran aspal porus yaitu
80
minimal 10-1
cm/detik. Dari hasil pengujian porositas, campuran aspal porus telah
memenuhi spesifikasi yang ditentukan yaitu 15% - 25%.
Pengujian stabilitas (Marshall Test)
Proses pengujian Marshall dilakukan sesuai prosedur pengujian yang
mengacu pada SNI 06-2489-1991. Pengujian Marshall ini dilakukan hanya untuk
mengukur stabilitas dan alir (flow), hal ini merupakan salah satu parameter
indikasi nilai kekuatan yang dimiliki oleh suatu campuran dalam hal pemenuhan
kebutuhan berdasarkan parameter perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai stabilitas terendah diperoleh
470,66 kg pada gradasi Batu domato 75 % Tertahan 1/2" dan Batu Alam 25 %
Tertahan 3/8" dengan kadar aspal 7 %. Sedangkan nilai stabilitas tertinggi
diperoleh 837,09 kg pada gradasi pecahan Batu domato 50 % Tertahan 1/2" dan
Batu Alam 50 % Tertahan 3/8" dengan kadar aspal 9 %. Hanya gradasi campuran
angregat kasar 75:25 dengan kadar BNA Blend Pertamina 7 % dengan nilai
stabilitas 470.66 tidak memenuhi standar spesifikasi, sedangkan gradasi campuran
angregat kasar 75:25, 50:50, dan 25:75. Pada semua kadar variasi BNA Blend
Pertamina dapat memenuhi standar minimal spesifikasi yaitu 500 Kg.
Pengujian indirect tensile strenght (ITS Test)
Hasil pengujian Kuat Tarik Tak Langsung (ITS Test) mendapatkan nilai
kuat tarik tak langsung yang terendah 0,087 N/mm² pada gradasi batu domato 75
% Tertahan 1/2" dan batu alam 25 % Tertahan 3/8" sedangkan nilai kuat tarik tak
langsung yang tertinggi 0,166 N/mm² pada gradasi batu domato 50 % Tertahan
1/2" dan batu alam 50 % tertahan 3/8" dengan kadar aspal 9 % memberikan
pengaruh besar terhadap besarnya titik puncak kekuatan gaya tarik dari campuran
aspal porus tersebut.
Pengujian tingkat keausan (Cantabro Test)
Hasil pengujian menunjukkan nilai keausan tertinggi diperoleh 41,21% pada
gradasi pecahan batu domato 75% tertahan saringan 1/2‖ dan batu alam 25%
tertahan saringan 3/8‖ dengan kadar aspal 7%. Sedangkan nilai keausan terendah
diperoleh 10,77% pada gradasi pecahan batu domato 25% tertahan saringan 1/2‖
dan batu alam 75% tertahan saringan 3/8‖ dengan kadar aspal 10%.
81
Penentuan kadar BNA Blend Pertamina optimum pada gradasi 100%
tertahan saringan 1/2”
Penentuan kadar aspal optimum untuk gradasi agregat 100% tertahan pada
saringan 1/2" tidak dapat ditentukan karena tidak terdapat titik temu antara semua
kriteria, meskipun untuk kriteria permeabilitas, porositas, stabilitas, kelelehan,
kekakuan Marshall dan kuat tarik tak langsung untuk kadar aspal 7% - 10%
memenuhi spesifikasi. Hal ini berarti untuk gradasi agregat 100% tertahan
saringan 1/2‖, kadar aspal yang digunakan pada penelitian ini belum memenuhi
untuk mendapatkan campuran dengan ketahanan yang tinggi.
Pengujian XRD (X-Ray Diffraction) dan SEM (Scanning Electron
Microscope) BNA Blend Pertamina
Berdasarkan data pengujian XRD BNA Blend Pertamina menunjukkan
bahwa unsur penyusun BNA Blend Pertamina ini didominasi oleh Karbon (C) dan
Silika (Si). Pada fase intan (diamond), Karbon merupakan penyusun BNA Blend
Pertamina yang terbesar yaitu 68,17%. Selain fase intan, Karbon pada BNA Blend
Pertamina juga berupa hidrokarbon Dimethoxymethane sebanyak 7,9%. BNA
Blend Pertamina mengandung mineral yang terbentuk dari senyawa silicon oxide
(SiO2) pada fase coasite.
Melalui pengujian SEM, ditemukan atom-atom maupun oksida penyusun
BNA Blend Pertamina yang sulit ditemukan melalui analisis dari Pengujian XRD.
BNA Blend Pertamina terdiri dari bitumen dan butiran-butiran mineral yang
tersebar di antara bitumen. Dari hasil pengujian SEM diketahui bahwa dalam
BNA Blend Pertamina ini juga terdapat atom Sulfur (S) sebesar 5,45% yang
membentuk oksida SO4, Aluminium sebesar 8,64%yang membentuk oksida Al2O3
dan Kalsium (Ca) sebesar 3,33%.
Pengujian XRD batu domato
Data pengujian XRD batu domato menunjukkan bahwa batu domato yang
digunakan tersusun atas senyawa-senyawa yang terbentuk dari unsur Kalsium
(Ca), Silika (Si), Aluminium (Al) dan Oksigen (O2). Senyawa ini merupakan
unsur utama yang terdapat dalam semen. Fase terbesar dalam batu domato adalah
fase Tobermorite yaitu senyawa yang berbentuk kristal yang merupakan hasil dari
reaksi hidrasi C3S maupun C2S yang menyusun batu domato sebesar 68,7%. Hasil
82
dari reaksi hidrasi C3S maupun C2S selain Tobermorite adalah Portlandite (Ca
(OH)2) yang terdapat dalam batu domato sebesar 4,51%.
Fase penyusun batu domato terbesar kedua adalah Anorthite (Ca Al2Si2O8)
sebesar 8,81%. Selain itu terdapat fase Ettringite sebesar 8,71% dan fase Gypsum
(CaSO4.2H2O) sebesar 3,21% serta Quartz (SiO2) sebesar 7,5%.
Foto SEM briket aspal berongga
Pengujian foto SEM briket aspal berongga terlihat bahwa hingga pada
ketelitian 100 μm, seluruh permukaan agregat tertutup oleh aspal, serta dapat
diprediksi ketebalan film atau aspal yang menutupi agregat briket tersebut adalah
sekitar 60 hingga 70 μm.
Hasil foto SEM pada Aspal Porus gambar 1 terlihat mineral tersebut adalah
jenis batu kapur, berwarna putih tulang berasal dari senyawa CaCO3. Aspal porus
tersusun oleh unsur kimia Oksigen (O), Calsium (Ca), Carbon (C), Aluminium
(Al), Silicon (Si), Iron (Fe), Magnesium (Mg) dan Sulfur (S). Dari analisa
pengujian aspal porus diatas tersusun oleh beberapa unsur Magnesium (Mg) dan
Oksigen (O) sehingga berubah menjadi Magnesium Oksida (MgO) dimana ikatan
tersebut menjadi filler untuk menahan retakan dari pori yang membuat briket akan
semakin kuat.
Gambar 2. SEM Batu Domato Gambar 3.Permeable Asphalt Favement
Tescan vega 3SB
Spectrum: test
Element unn. C norm. C Atom. C Compound norm. Comp. C Error (3 Sigma)
[wt.%] [wt.%] [at.%] [wt.%] [wt.%]
------------------------------------------------------------------------------------------
Oxygen 41.56 42.98 58.53 0.00 15.03
Silicon 10.48 10.83 8.41 SiO2 23.18 1.46
Aluminium 8.06 8.33 6.73 Al2O3 15.74 1.29
Sodium 7.35 7.60 7.21 Na2O 10.25 1.59
Magnesium 4.74 4.90 4.39 MgO 8.12 0.92
Potassium 1.50 1.55 0.86 K2O 1.86 0.26
Calcium 16.39 16.95 9.21 CaO 23.71 1.58
Sulfur 6.64 6.86 4.66 SO3 17.14 0.84
-----------------------------------------------------------------------------------------
Total: 96.71 100.00 100.00
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0
10
20
30
40
50
60
cps/eV
O Si Al
Na Mg
K K Ca
Ca S
S
83
Gambar 5. BNA Blend Pertamina – EDS Tescan
vega3SB
Gambar 4. SEM BNA Blend Pertamina
Spectrum: test
Element unn. C norm. C Atom. C Compound norm. Comp. C Error (3 Sigma) [wt.%] [wt.%] [at.%] [wt.%] [wt.%]
---------------------------------------------------------------------------------------- Oxygen 20.01 40.36 58.46 0.00 9.11 Silicon 1.56 3.15 2.60 SiO2 6.73 0.36 Aluminium 1.68 3.39 2.91 Al2O3 6.40 0.42 Sodium 2.74 5.52 5.57 Na2O 7.45 0.79 Calcium 16.39 33.05 19.11 CaO 46.25 1.68 Sulfur 5.37 10.83 7.83 SO3 27.05 0.76 Magnesium 1.83 3.69 3.52 MgO 6.12 0.50 -----------------------------------------------------------------------------------------
Total: 49.57 100.00 100.00
Gambar 6. Hasil Analisis BNA Blend Pertamina
Gambar 7. Hasil Analisis
Kuantitatif BNA
Blend Pertamina
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0
5
10
15
20
25
30
35
40 cps/eV
O Si Al
Na Mg
S S
Ca Ca
K K
Fe Fe
Ti
Ti
20 40 60 80
0
1000
2000
3000
4000
5000
(1 0
4)
(0 0
2)
(1 1
0)
(1 2
0)
(2 1
0)
(1 1
2)
(1 2
2)
0
100
(1 0
4) Calcite, Ca C O3
0
100
(0 0
2) Graphite, C
0
100
(1 1
0) silicon dioxide, cristobalite-alpha HP, syn, Si O2
20 40 60 80 0
100 (1 2
0)
(2 1
0)
(1 1
2)
(1 2
2)
Sillimanite, Al2 ( Si O4 ) O
2-theta (deg)
Inte
nsity (
cps)
PFC
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Calcite Graphite
silicon dioxide, cristobalite-alpha HP, syn Sillimanite
Unknown
Wt(%)
84
PEMBAHASAN
Hasil pengujian menunjukkan bahwa semakin terbuka gradasi suatu
campuran beraspal maka kuat tariknya akan semakin menurun. Di lain sisi, kuat
tariknya akan meningkat jika kadar aspalnya bertambah hingga mencapai kuat
tarik maksimum (pada kadar aspal optimum) karena daya lekat agregatnya
semakin kuat. Akan tetapi jika kadar aspal meningkat, kuat tarik mulai menurun
karena telah melewati kuat tarik maksimum. Pengujian kuat tarik tak langsung
juga mengahasilkan pola retakan yang mengindikasikan retakan yang akan terjadi
di lapangan (Sunarjono, 2007), sedangkan campuran beraspal yang didesain
mempunyai porositas lebih tinggi dibandingkan jenis perkerasan yang lain, sifat
poros diperoleh karena campuran aspal porus menggunakan proporsi agregat
halus lebih sedikit dibanding campuran jenis yang lain. Kandungan rongga pori
dalam jumlah yang besar diharapkan menghasilkan kondisi permukaan agak
kasar, sehingga akan mempunyai tingkat kekesatan yang tinggi. Selain itu pori
yang tinggi diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran drainase di dalam
campuran (Djumari., dkk 2009).
Campuran aspal porus merupakan generasi baru dalam perkerasan lentur,
yang membolehkan air meresap ke dalam lapisan atas (wearing course) secara
vertikal dan horizontal. Lapisan ini menggunakan gradasi terbuka (open graded)
yang dihamparkan di atas lapisan aspal yang kedap air. Ketika rongga udara
semakin kecil, maka air yang mengalir ke dalam campuran aspal akan semakin
lambat (Tanan, 2010). Lapisan aspal porus ini secara efektif dapat memberikan
tingkat keselamatan dan kenyamanan terutama diwaktu hujan agar tidak terjadi
genangan-genangan air serta memiliki kekesatan permukaan yang lebih kasar dan
dapat mengurangi kebisingan (Setyawan, 2008).
Dari hasil pengujian ini dilakukan untuk mencari kadar aspal optimum dari
suatu campuran beraspal yang dilakukan dengan beberapa pengujian yaitu
Permeabilitas, Porositas, Stabilitas Marshall, Kelelehan (flow), Hasil Bagi
Marshall, Indeks Kekuatan Sisa, Kuat Tarik Tak Langsung, Cantabro. Dengan
Gradasi Agregat Batu domato 75%; 50%; 25% Tertahan ½‖ dan Batu Alam 25%;
50%; 75% Tertahan 3/8‖ , Agregat Halus 9%. Kemudian BNA Blend Pertamina
7%, 8%, 9%, 10%. (Tjaronge dkk., 2011)
85
Selanjutnya untuk menetukan Kadar Aspal Optimum (KAO) dilakukan
dengan metoda bar-chart yang merupakan rentang kadar aspal yang memenuhi
semua syarat kriteria campuran beraspal yaitu Permeabilitas, Porositas, Stabilitas
Marshall, Kelelehan (flow), Hasil Bagi Marshall, Indeks Kekuatan Sisa, Kuat
Tarik Tak Langsung, Cantabro ditunjukan seperti pada Gambar 2 Nilai kadar
aspal optimum ditentukan sebagai nilai tengah dari rentang kadar aspal
maksimum dan minimum yang memenuhi semua persyaratan spesifikasi,
sehingga diperoleh KAO untuk campuran Aspal Porus yang bergradasi agregat
batu domato 50% tertahan ½‖ dan batu alam 50% tertahan 3/8‖, agregat halus 9%
dan kadar BNA Blend Pertamina 9% - 10% adalah 9.5 %.
Dari hasil pengujian XRD dan SEM dengan benda uji BNA Blend
Pertamina, batu domato dan aspal porus mempunyai data analisa kimia sebagai
berikut. Untuk pengujian XRD dengan benda uji BNA Blend Pertamina
menguraikan fase senyawa bitumen dan mineral yang terdiri dari Oksigen (O),
Karbon (C), Silika (Si), Magnesium (Mg), Sulfur (S) dan Besi (Fe), sedangkan
benda uji batu domato menguraikan unsur-unsur penyusunnya yang tediri dari
Kalsium (Ca), Silika (Si), Aluminium (Al) dan Oksigen (O). Untuk mendukung
hasil pengujian XRD, maka pengujian foto SEM dilakukan agar dapat diuraikan
komposisi briket aspal porus yang merupakan perpaduan antara batu domato dan
BNA Blend Pertamina secara analisis terdapat elemen atom yaitu Oksigen (O),
Karbon (C), Kalsium (Ca), Almunium (Al), Silika (Si), Besi (Fe), Magnesium
(Mg) dan Sulfur (S) yang membentuk ikatan senyawa CaCO3 mineral tersebut
dalah jenis batu kapur berwarna putih tulang yang terbakar pada suhu 825 °C dan
Magnesium Oksida (MgO) dimana ikatan tersebut menjadi filler untuk menahan
retakan dari pori yang membuat briket akan semakin kuat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil analisa data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat
disimpulkan dari hasil pengujian dilakukan seperti Pengujian Permeabilitas,
Porositas, Stabilitas Marshall, Kelelehan (flow), Indeks Kekuatan Sisa (IKS), ITS
test, Cantabro menunjukkan pengaruh terhadap karakteristik aspal porus
khususnya pada gradasi Batu domato 50 % Tertahan 1/2" dan Batu Alam 50 %
Tertahan 3/8" dimana dari hasil analisis dapat dilihat jelas garis hubungan
86
trendline grafik didapatkan nilai Kadar BNA Blend Pertamina Optimum yaitu
9.5% sedangkan hasil XRD dan SEM membuktikan bahwa seluruh unsur-unsur
dari senyawa BNA Blend Pertamina dengan batu domato dapat menyatu/mengikat
dengan baik. Untuk selanjutnya perlu alat/mesin khusus di dalam pengolahan batu
domato sehingga dapat digunakan dengan jumlah banyak dan perlu dilakukan
penelitian lebih mendalam untuk pengolah BNA Blend Pertamina sehingga dapat
memenuhi spesifikasi yang sesuai, agar dapat dimasukkan kedalam spesifikasi
bina marga.
DAFTAR PUSTAKA
Allex Eduardo Alvarez Lugo, 2009, Improving Mix Design and Construction of
Permeable Friction Course Mixtures. Disserttion Departmen of Civil
Enginering Texas University.
Circular Transportation Research, 2012. Application of Advanced Mode to
Understand Behavior and Performance of Asphalt Mixtures.
Colorado Ready Mixed Concred Association, 2005. Specifiec’s Guide for Pervios
Concrete Pavement Design.
Esmael Ahmadina, Majid Zargar, Mohamed Rehan Karim, Mahrez Abdelaziz,
Payam Shatigh, 2011. Using Waste Plastic Bottles as Additive for Stone
Mastic Asphalt Journal of Material and Design.
Erik Sehlangen, Quantao Liu, Martin Van de Ven, Gerber Van Bochove, Jo Van
Montfort, 2011. Evaluation of The Induction Healing Efect of Poru
Asphalt Concrete Though Four Point Bending Fatique Test.
Felice Givliani, Filippo Merusi, Gioanni Polacco, Sara Filippi, Messimo Paci,
2012. Effectivenees of Sodium Chloride- Based Anti Icing Filter n Asphalt
Mixtures Journal of Construction and Building Materials.
Fazleem Hanim Ahmad Kamar, Jaszline Nor Sarif, 2005. Design of Porus Asphalt
Mixture to Performance Related Criteria.
He Gui Ping, Wong Wing Gun, 2006. Effects of Moisture On Strength and
Permanent Deformation of Foamed Asphalt Mix Incorporating Rap
Materials. Journal of Constraction and Building Materials.
Hao Ying, 2008, Using X-Ray Computed Tomography to Quantity Damage of
Hot-Mix Asphalt in The Dynamic Complex Modulus and Flow Number.
87
International Tecnology Exchange Program, 2005. Quite Pavement System In
Europe.
Lori Kathryn Schaus, 2007. Porus Asphalt Pavement Design In Proactive Design
for Cold Climate Use Thesis Departmen of Eivil Enginering Waterloo
University.
Meor Othman Hamzah, Mohammad Rosli Mohammad Hasan, Martin Van de
Van, 2011. Permeability Loss In Porus Asphalt due to Binder Creep.
Journal of Construction and Building Materials.
Mohammad Adli Sani, Abi Zzaid Abd Latib, Choy Peng Ng, Nordila Ahmad
Muhammad Y Yusof, Muhammad Anzari Matrani, 2011. Propertis of Coir
Fibre and Kenaf Fibre Modified Asphalt Mixes.
Mohammad Ruzaini Mohammad Yusof, Belinda Marie Balraj, Choy Peng Ng,
2011. Effect of Rubber Size In Reclaimed Rubber Modified Asphalt Mixes.
Matthias A. Haselbaner, Michael Manhart, 2011. Influence of Flow Couditions In
Porus Asphalt On Pollution and Cleaning.
Nur Sabahiah Binti Abdul Sukor, 2005. Evaluation of Laboratory Compactive
Effort On Asphaltic Concrete Mmixes, Thesis. Departement of Civil
Engineering, Technologi of Malaysia University.
Nrachai Tuntiworawit, Chayatan Phromsorn, Direk Lavansiri, 2005. The
Modification of Asphalt With Natural Rubber Latex Proceding of The
Ekstern Asia Society of for Transportation Studies Vol.5.pp.679.694.2005.
Remi M. Candacle, Miched E. Barrett, Randal J. Charbeneay, 2008. Porus
Friction Course In Laboratory Evaluation of Hydraulic Properties Center
For Research In Water Resources, The University of Texas at Austin.
R. Christopher Williams, 2009. Early Permebility Test For Asphalt Acceptance,
Center for Transportation Research and Education Lowa State University.
Storm Water Center University of new Hampshier, 2007. Porus Asphalt Pavement
and Infiltration Beds.
Prithvi. S. Kandhal, Rajib.B.Mallick, 1999. Design of New. Generation Open
Graded Friction Courses.
88
Verhelst, F.A.D.B, Vervoort and G Marchal (1995). X-Ray Computerized
Tomography Determination of Heterogeneties in Rock Samples.
Wu Shao Peng, Liu Gang, Molian tong, Chen Zheng, Ye Qun Shan, 2006. Effect
of Tiber Types On Relevant Properties of Porus Asphalt, Journal of
Transaction of Non Ferrous Metals Society of China.
89
EKSISTENSI RUANG AKTIVITAS TEPIAN TELUK PASCA
PEMBANGUNAN JALAN LINGKAR PANTAI TELUK PALU (JLPTP)
Muhammad Bakri1, Prof. Nindyo Soewarno
2, Dr. Budi Prayitno
3
Program Studi S3 Jurusan Teknik Arsitektur Dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jurusan Teknik Arsitektur Dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jurusan Teknik Arsitektur Dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Email: [email protected]/[email protected]
ABSTRACT
Areas of the city as the capital of Palu in Central Sulawesi province have a
very unique landscape format. The existence of rivers, valleys, mountais, hills, sea
(bay), and lake in the north are the diversity of landscape areas of the city. Lives
of the people are occupying the valley area as well as heterogeneous. Of activities
to support the survival of communities, groups, families and individuals
participate to make the region a more competitive atmosphere. Economic growth
and development is likely to lead to the edge of the bay, bringing changes to the
order of life in a region activity. Reorientation due to the construction of the Ring
Road Hammers Gulf Coast (JLPTP) is one of the factors influence the change in
the region. This paper seeks to uncover the existence of a qualitative approach
through case studies. The results will be followed up in other research studies -
advanced in an attempt to find the right formula in formulating development
programs in the region. So the development of the area can still synergize with
development programs launched by the government.
Keywords: Sustainability, Existence, Development
ABSTRAK
Wilayah kota Palu sebagai ibukota propinsi Sulawesi Tengah, mempunyai
format landscape yang sangat unik. Keberadaan sungai, lembah, gunung, bukit,
laut (teluk) serta danau di sebelah Utara menjadi fenomena keragaman bentang
alam wilayah kota. Kehidupan masyarakat yang menempati wilayah lembah juga
demikian heterogen. Macam aktivitas guna menunjang keberlansungan hidup
komunitas, kelompok, keluarga serta individu ikut menjadikan suasana ruang
kawasan semakin kompetitif. Pertumbuhan sektor ekonomi dan pembangunan
yang cenderung mengarah pada tepian teluk, membawa perubahan terhadap
tatanan kehidupan dalam ruang aktivitas kawasan. Reorientasi akibat
pembangunan Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLPTP) merupakan salah satu
faktor berpengaruh terhadap perubahan kawasan. Makalah ini berupaya
mengungkap eksistensi ruang melalui pendekatan kualitatif studi kasus. Hasil
penelitian nantinya dapat ditindak lanjuti pada penelitian-peneltian lanjutan
sebagai upaya untuk menemukan formula tepat dalam menyusun program
8
90
pembangunan pada kawasan. Sehingga pengembangan kawasan tetap dapat
bersinergi dengan program-program pembangunan yang dicanangkan pemerintah.
Kata kunci : Keberlangsungan, Eksistensi, Pembangunan
PENDAHULUAN
Konstitusi Negara UUD 1945, pasal 28H ayat (1) memberikan jaminan
pada Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Namun kenyataan dalam realita keseharian, masih
memamerkan penjara keruangan yang cenderung menjadikan penghuni ruang
sebagai objek penderita. Belum lagi bila menilik pada aturan yang lebih sepesifik
terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia Pasal 3 dan UU No. 23/1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup yang menekankan pada masyarakat berhak atas
lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat.
Kehadiran struktur pemerintahan daerah sebagai perpanjangan tangan pusat,
tentu diharapkan dapat mengejewantahkan amanah undang-undang dalam bentuk
pelaksanaan pembangunan diberbagai sektor. Pembangunan dengan
keberpihakan pada masyarakat harus terus digalakkan. Perencanaan konprehensif
yang digali dari upaya mengedepankan kepentingan masyarakat merupakan
tantangan tersendiri pelaksanaan pembangunan. Apalagi bila kawasan dimaksud
merupakan kawasan dengan karakteristik khusus dan dimanfaatkan oleh berbagai
komunitas/kelompok untuk melangsungkan aktivitasnya. Wilayah penelitian ini
merupakan gambaran kompleksitas pemanfaatan ruang, wilayah tepian pantai
tempat sebagian besar kelompok/komunitas masyarakat melangsungkan
kehidupan.
Sementara dalam Keputusan Presiden No 32 tahun 1990, menegaskan
bahwa, Kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting
untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Peraturan lain kemudian yang
harus menjadi perhatian adalah sempadan pantai guna melindungi wilayah pantai
dan kelestarian fungsi pantai. Kondisi ini menjadi menarik untuk menelaah lebih
dalam persoalan-persoalan pelaksanaan pembangunan kawasan, tidah hanya pada
tataran pelaksanaan fisik, namun yang terpenting dalam penelitian ini adalah
91
menalarkan keberadaan aktivitas kawasan pasca pembangunan Jalan Lingkar
Pantai Teluk Palu (JLPTP).
Lokus wilayah penelitian meliputi dua kecamatan yaitu Palu Barat dan Palu
Timur sepanjang pengembangan jalan pada tepian teluk Palu. Lokasi bersentuhan
langsung dengan wilayah perairan teluk dan wilayah kota tentu ikut menanggung
desakan perkembangan wilayah, atas kebutuhan hunian maupun fasilitas-fasilitas
penunjang kehidupan kota. Pembangunan Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu
(JLPTP), tanggul penahan ombak, dan perumahan petani garam oleh pemerintah
kota Palu serta propinsi, disamping itu terdapat pula kegiatan pengembang swasta
di bidang perumahan pertokoan dan resto. Kemudian berbagai program kegiatan
masyarakat pembangunan kawasan ditunjang program kerja pemerintahan dan
non pemerintahan, memperlihatkan kompleksitas kehidupan yang dialami
masyarakat guna mempertahankan eksistensi terhadap hak hidup maupun guna
kawasan.
\
Sumber : www.googleearth di olah
Gambar 1. Lokasi Pelaksanaan Penelitian dalam Wilayah Kota Palu
Fasilitas Wisata (resto)
92
TINJAUAN PUSTAKA
Keberadaan kelompok dalam suatau kawasan dapat diidentifikasi melalui
ciri memiliki sesuatu secara bersama-sama (common ownership), yang saling
bergantung pada satu wilayah, dan mereka saling berinteraksi. Komunitas dan
kelompok masyarakat lainnya dapat dibedakan atas berbagai pola, atas dasar
ukuran, atas dasar level, riil atau tidak riil, bersifat kooperatif (cooperative) atau
kompetitif (competitiv), serta formal atau informal. Komunitas kawasan
merupakan kesatuan hidup yang berada dalam satu wilayah tertentu disebut
sebagai ―community of places’, ciri komunitasnya adalah adanya keharmonisan,
egalitarian, serta sikap saling berbagi nilai dan kehidupan. Keruangan biasanya
terbentuk dari kesatuan manusia dan lingkungan sekitarnya untuk membentuk
suatu kehidupan (Christopher Alexander, 2007).
Mengidentifikasi keberadaan dalam suatu kawasan perlu memahami kohesi
sosial sebab biasanya akan lebih menonjol sebagaimana pendapat (Mitchell, 1994)
yaitu adanya 3 karakteristik kohesi sosial, yaitu (1) komitmen individu untuk
norma dan nilai umum, (2) saling tergantungan yang muncul karena adanya niat
untuk berbagi (shared interest), dan (3) individu yang mengidentifikasi dirinya
dengan grup tertentu. Sehingga tidak terjadi penolakan terhadap kehadiran ruang-
ruang baru dalam kawasan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi
peruntukan ruang, umumnya sangat di pengaruhi kemampuan satu individu atau
kelompok dalam menerapkan suatu jenis penghunian yang sesuai terhadap ruang.
Lingkungan didesain sebagai area beraktivitas oleh penduduk asli secara
unselfconscious, melalui interaksi (hubungan) antara unsur fungsional dengan
aspek human behavioral agar faktor alam dan non alam dapat berinteraksi dengan
seimbang dan mengalir dengan baik (Christopher Alexander, 2007).
Pendekatan yang dilakukan (Brower, 1980), Keberadaan suatu klaim
teritorial yang diartikan sebagai suatu penghunian, dan orang yang mengklaim
disebut dengan penghuni. Penghunian biasanya disertai dengan suatu tampilan
tanda-tanda teritorial, pengumuman keberadaan, sifat dan tingkat klaim teritori.
Jenis-jenis penghunian ini adalah penghunian personal, penghunian komunitas,
penghunian oleh masyarakat, dan penghunian bebas. Dari pendekatan tersebut
93
terdapat jarak kontrol keruangan masing-masing, berdasar teritori dan aturan
yang berlaku atau kesepakatan dalam sisten keruangan.
Berdasar pustaka diketahui proses-proses terbentuknya eksistensi suatu
kelompok pada suatu kawasan yang dapat di identifikasi dari cirri, hubungan
dengan lingkungan, hubungan aktivitas serta klaim terhadap wilayah tempat
aktivitas baik berupa individu maupun secara berkelompok.
METODE PENELITIAN
Pelakasanaan penelitian dilakukan dengan penggunaan data-data empirik
lapangan dipetakan berdasar ruang dan waktu berlangsungnya aktivitas pada sisi
pengembangan Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLTP). Rekaman tersebut
dilakukan menggunakan peta perilaku yang terlebih dahulu telah disipakan
sebelum melakukan survey lapangan. Proses ini dilakukan guna memudahkan
dalam pencatatan penandaan aktivitas yang berhubungan dengan keberadaan
dalam ruang kawasan.
Sumber : Haryadi (1996) di modifikasi
Gambar 2. Analisis Place Centered Mapping
Guna menjaga keakuratan temuan lapangan, dilanjutkan dengan teknik
layering dalam kurun waktu pengambilan data yang berbeda teknik ini oleh
(Tschumi, Bernard, 1994) dikenalkan sebagai teknik analisis superimpose yang
dilakukan pada Parc de la Villette, Paris. Proses pelaksanaan penelitian ini secara
keseluruhan dengan pendekatan kualitatif dengan teknik studi kasus yang
menetapkan kawasan sebagai kasus tunggal atau single case.
Perilaku/
Aktivitas
Tempat dan waktu
berlangsungnya aktivitas
Place Centered Mapping
Temuan penelitian
berhubungan dengan
eksistensi berdasar
tempat aktivitas
Jenis aktivitas
94
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kawasan penelitian meliputi empat wilayah kelurahan yaitu wilayah
Kelurahan Talise, wilayah Kelurahan Besusu, wilayah Kelurahan Lere dan
wilayah Kelurahan Silae. Lokasi tersebut berada dalam dua Kecamatan Kota yaitu
Kecamatan Palu Timur dan Kecamatan Palu Barat dibatasi sungai yang membelah
kota dari arah Selatan.
Kawasan Taman Ria (Kelurahan Silae)
Kawasan Taman Ria yang secara administratif masuk wilayah Kelurahan
Silae dalam proses pembentukannya terbilang tidak ada yang istimewa seperti
wilayah penelitian Talise, Besusu dan Lere. Terbentuknya kawasan ini berdasar
Undang – Undang No.5 tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa / Kelurahan yang
ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2 Tahun 1980 dan
Peraturan Daerah Tingkat I Sulawesi Tangah No.8 Tahun 1981 sampai dengan
1983.
Masyarakat di Kelurahan Silae seperti dengan kawasan lainnya di lokasi
penelitian di dominasi suku asli Kaili. Namun beberapa suku pendatang juga
mewarnai sebab di lokasi terdapat kawasan PERUMNAS. Populasi permukiman
padat hanya terdapat di kawasan tersebut. Mata pencaharian masyarakat Silae
cukup bervariasi yang terdiri dari petani sekitar 138 orang, nelayan sekitar 45
orang, PNS sekitar 980 orang, pedagang sekitar 372 orang, dan profesi lainnya
seperti tukang batu, tukang kayu, buruh bangunan, tukang gali batu, tukang ojek,
tukang becak sekitar 10 orang, sementara usaha produktif yang ada seperti
perbengkelan berjumlah 10 buah, kios berjumlah 33 buah, salon 3 buah, dan usaha
pembuatan batu bata berjumlah 6 buah (Profil Kelurahan Silae 2008).
Pertumbuhan kawasan tepi pantai di Keluraha Silae dan Tipo tergolong
sangat cepat kondisi ini di dukung view yang sangat menarik khususnya ke arah
Teluk dan Kota Palu. Beberapa investor telah membangun fasilitas wisata di
kawasan ruko sebagai tempat usaha. Kemudahan akses pembangunan JLPTP,
menjadi daya tarik sehingga pertumbuhan tepian pantai semakin pesat, baik
bangunan bersifat formal maupun nonformal.
Kawasan yang dulunya merupakan kawasan nelayan dan rekreasi
berenang dan taman bermain untuk anak kini semakin sempit akibat klaim ruang
95
oleh investor dan PKL. Kondisi tersebut terjadi bukan hanya pada ruang darat
tetapi juga pada ruang laut. Sehingga ruang parkir perahu semakin sempit dan area
tempat rekreasi berupa renang juga semakin tersingkirkan keberadaan PKL di
sepanjang Pantai.
Kawasan Kampung Lere (Kelurahan Lere)
Pada awalnya Lere bernama desa Panggona, di masa pemerintahan Belanda
Panggona kemudian diubah menjadi Lalere. Kondisi geografi wilayah Lere yang
terletak disepanjang pantai mempengaruhi, di mana terdapat banyak tanaman
Lalere (Bahasa Indonesia berarti daun Katang-katang atau Batata Pantai), hingga
sekarang dikenal dengan nama Lere.
Lere merupakan daerah pusat pemerintahan kota Palu pada masa Prakarsa
Magau Palu Jodjokodi pada tahun 1982, kemudian diteruskan oleh keturunan
Magau Palu ke seluruh penjuru Kabupaten Donggala, sebagai Magau/Raja yang
mempunyai kekuasaan mutlak pada saat itu. Sehingga Kampung Lere menjadi
Kota Lama dengan sejarah yang terus dikenang oleh masyarakat Palu.
Masyarakat kelurahan Lere, dominan dengan suku To Kaili atau orang Kaili
asli serta beberapa pendatang dari Bugis dan Jawa berbaur lewat pernikahan
dengan masyarakat setempat. Walaupun terdiri dari berbagai macam suku,
masyarakat kelurahan Lere masih memiliki semangat gotong royong serta
kekeluargaan.
Walaupun telah banyak pengaruh kebudayaan luar, masyarakat kelurahan
Lere masih tetap mempertahankan kebudayaan asli mereka seperti dalam
pelaksanaan upacara-upacara adat. Adapun acara-acara yang sering diadakan di
Kampung Lere yang masih sangat kental dengan budaya / adat yang berlaku
misalnya adalah acara besar keluarga, diantaranya; Acara Pernikahan (Poboti),
Acara Potong rambut anak (Akeka Nongana), Acara Pengkhataman Al-Quran
(Nopatama), Khitanan / Sunatan (Pokeso), serta sebuah acara kebudayaan yang
sangat-sangat jarang dilakukan oleh masyarakat tanah Kaili, yakni Upacara Balia
(Upacara Tolak Bala). Sedangkan dari segi kesenian antara lain Pamonte, Raego.
Alat kesenian yang biasa digunakan sebagai pengiring yaitu gendang, suling dan
gong.
96
Tingkat perekonomian masyarakat di kelurahan Lere tergolong tingkat
menengah ke bawah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendapatan masyarakat di
kelurahan Lere, dimana masyarakat yang bermukim di pesisir pantai bekerja
sebagai nelayan yang masih menggunakan alat-alat tradisional untuk mencari
ikan. Kondisi ini berlangsung secara turun temurun yang merupakan warisan dari
nenek moyang To Kaili Kampung Lere
Kegiatan ekonomi lainnya guna menunjang pendapatan yang dilakukan
secara sampingan dan musiman, seperti mencari Nener dan bertambak udang serta
tambak ikan. Sementara sebagian lainnya membuka usaha sampingan dengan
dagang makanan, warung makanan, mendirikan kios seadanya dalam upaya
menambah penghasilan. Beberapa diantaranya mempunyai pekerjaan tetap
sebagai pegawai negeri/swasata.
Kawasan yang berada di pusat kota dan sekaligus pengembangan wisata
teluk, diintervensi perkembangan kota dan pertumbuhan bisnis kawasan tepi teluk
dengan adanya koneksitas akses. Pesona alami yang ditawarkan sebagai kawasan
kampung tua dengan panorama eksotik, mengundang para pemodal untuk
berinvestasi seperti pandiriang hotel, karaoke, kafe dan resto beserta fasilitasnya
penunjangnya.
Perubahan fungsi ruang kawasan juga berpengaruh pada arsitektur rumah
yaitu dari konstruksi kayu menjadi kontruksi beton. Kondisi tersebut mewarnai
ruang dan pola berkehidupan kawasan.
Struktur kelembagaan masyarakat di kelurahan Lere masih mengenal sistem
kekerabatan seperti istilah To Tua untuk orang yang dituakan. Biasanya orang
tersebut dari golongan yang berpengaruh (turunan raja) dan keberadaannya sangat
di hargai oleh masyarakat setempat yang ditandai dengan masih adanya nuansa
kerajaan dari rumah adat Souraja (rumah raja) di kawasan.
Kegiatan investasi oleh pemodal mempersempit ruang kampung,
pembangunan Tanggul, akses JLPTP dan jembatan penghubung kawasan Palu
Timur dan Palu Barat memaju pertumbuhan/perkembangan kawasan.
Kecenderungan mengganti rumah tradisional menjadi rumah dengan konstruksi
beton berkembang sehingga populasi rumah tradisional semakin berkurang.
Program-program pembangunan fisik kawasan seperti drainase tidak mampu
97
menyelesaikan permasalahan kawasan. Kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya kebersihan pantai dan lingkungan yang masih kurang.
Kawasan Besusu Barat (Kelurahan Besusu)
Kelurahan Besusu Barat terbentuk berdasarkan Undang-Undang tahun 1979
tentang Pemerintahan Daerah/Kelurahan, ditindak lanjuti dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1980 dan Peraturan Daerah Tingkat I Sulawesi
Tengah No. 8 Tahun 1980.
Kawasan termasuk dalam potensi pengembangan perdagangan karena
berada pada pusat kota, terhitung pada tahun 2007, jumlah warung 58 dan
toko/kios sebanyak 264 terdiri atas bangunan permanen dan non permanen. Selain
Kegiatan PKL kawasan juga biasa digunakan sebagai area pentas seni, lomba-
lomba, serta pelaksanaan upacara adat selamatan serta interaksi sosial.
Pembangunan Jalan Lingkar JLPTP oleh pemerintah menyebabkan
masyarakat nelayan kehilangan tempat menambatkan/parkir perahu. Aktivitas
PKL yang menguasai tepian pantai membawa masalah terhadap kebersihan
kawasan sebab sampah yang dihasilkan dibiarkan di lokasi. Sementara sebagian
kawasan pinggir jalan yang dulunya sebagai area pemukiman kini di intervensi
bangunan-bangunan komersial seperti toko dan warung.
Kawasan Kampung Nelayan/Penggaraman (Kelurahan Talise)
Kawasan Kampung Nelayan secara administratif terletak di Kelurahan
Talise. Pada awalnya Talise lebih dikenal dengan nama Kalantaro berada dibawah
Pemerintahan Kampung Besusu. Sekitar tahun 1920-an kalantaro berdiri sendiri
dan berubah nama menjadi Talise diambil dari sebuah pohon ketapang besar yang
dalam bahasa Kaili Talise berarti Ketapang.
Pada Tahun 1920-an itulah mulai terbentuk kampung Talise yang dikepalai
oleh seorang Kepala kampung. Pada tahun 1970-an Kampung Talise berubah
menjadi Desa Talise dibawah Pemerintahan Kepala Desa. Kelurahan Talise baru
terbentuk pada Tahun 1990-an yang dipimpin oleh seorang Lurah dibawah
Pemerintahan Kota
Masyarakat Kelurahan Talise didominasi oleh suku Kaili sebagai penduduk
asli yang turun temurun menempati kawasan. Terdapat juga suku pendatang
98
diantaranya dari Sulawesi Selatan (Suku Bugis/Makassar, Toraja) dan Jawa.
Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin yaitu laki- laki 8.068 jiwa,
perempuan 8.244 jiwa, menurut golongan usia.
Pembangunan jalan lingkar dalam, tanggul penahan ombak, dan perumahan
petani garam oleh pemerintah Kota Palu dan Propinsi, disamping itu terdapat pula
kegiatan pengembang swasta di bidang perumahan, pertokoan dan resto.
Untuk kelompok dalam kegiatan ekonomi terdapat kelompok kegiatan
ekonomi Petani Garam, kelompok Nelayan Talise dan Persatuan Jagung Bakar
Talise (PEJABAT) yang meliputi sebagian wilayah Kelurahan Besusu Barat.
Terjadi konflik antara penggunaan ruang di kawasan seperti kegiatan
nelayan, kegiatan rekreasi, kegiatan resto, serta PKL. Ruang parkir nelayan yang
semakin sempit, sebagian kawasan penggaraman dibangun industri dan pertokoan,
kegiatan resto terhadap klaim ruang laut sebagai area privat serta kegiatan PKL
yang tidak terkontrol.
Identifikasi Eksistensi Aktivitas Kawasan
Sejak pengoperasian Jalan Lingkar JLPTP yang mengitari tepian teluk
Palu pada tahun 2006, pertumbuhan aktivitas dilokasi tumbuh semakin beragam.
Perilaku keruangan pada setiap spot kawasan penelitian dalam kurung waktu 24
jam memperlihatkan dinamika pemanfaatan. Secara umum kawasan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu pertama, ruang dengan nuansa tradisional dalam
artian masih dikelolah secara tradisional seperti ruang nelayan dan petani garam.
Aktivitas kawasan cenderung berlansung monoton. Kedua, ruang yang
berkembang mengakomodasi aktivitas bersantai,berlibur (berwisata). Ruang ini
mengakomodasi variasi aktivitas mulai dari sekedar duduk, minum, makan,
berkumpul, berjualan, menikmati pemandangan dan bahkan menginap. Kelompok
ruang ini lebih bersifat atraktif dan dinamik.
Fasilitas Wisata (resto)
99
Sumber : Survey 2012
Gambar 3. Kelompok Aktivitas dan Lokasi Berlangsungnya Aktivitas
Perkembangan kawasan membawa konsekwensi terhadap interaksi perilaku
keruangan. Kolaborasi antara aktivitas perilaku yang kental dengan tradisi dengan
aktivitas berwisata menjadi menarik. Kondisi ini disebabkan adanya interaksi
keruangan dan perilaku dalam lokasi yang sama. Oleh karena itu perlu pemetaan
macam aktivitas, lokasi serta waktu berlangsungnya guna memudahkan
identifikasi yang mengarah pada tujuan penelitian. Berdasar maksud tersebut
maka berikut ini dipetakan macam aktivitas di lokasi yang kemudian
dikelompokkan dalam tabel yang menunjukkan aktivitas, media aktivitas, lokasi,
jenis kegiatan serta waktu berlangsungnya aktivitas.
A
B
CC
D
E
F
G
H
0.00m 600m 1200m 1800m 2400m 3000m 3600m 4200m
600m
1200m
1800m
2400m
3000m
KawasanKampung
Nelayan
Kawasan Kampung Lere
Kawasan BesusuBarat
Kawasan
Taman Ria
meter
skala
S
N
50
10025
Aktivitas Nelayan
Aktivitas Petani Garam
Aktivitas Pelaku Wisata
KETERANGAN :
100
Sumber : Survey 2012
Gambar 4. Kelompok Pelaku Aktivitas Kawasan
Durasi waktu kelompok aktivitas pada lokasi menunjukkan adanya
kesamaan waktu dan tempat berlangsungnya. Kondisi ini menunjukkan secara
ekplisit bahwa kemungkinan ada interaksi antara aktivitas keruangan baik itu yang
bersifat sinergi maupun yang menimbulkan pertentangan (konflik) terhadap
keberadaan JLPTP. Guna menelaah lebih lanjut aktivitas keruangan yang
berlangsung maka dilakukan pengelompokan aktivitas yang saling berhubungan
atau menyatu dengan kelompok lainnya. Sebab secara umum setting keruangan
kawasan menunjukkan adanya kelompok yang mendominasi. Sementara perilaku
keruangan lainnya menjadi penunjang eksistensi pola dan keruangan yang
diekspresikan dalam macam bentuk aktivitas.
Berdasarkan peta perilaku yang dilakukan ditemukan berbagai aktivitas
pengguna ruang kawasan , melakukan aktivitas dalam kurun waktu masing-
masing sesuai dengan aktivitas kelompok. Terdapat tiga kelompok utama apabila
101
keseluruhan aktivitas dibagi berdasar pola perilaku terhadap pemanfaatan ruang
kawasan.
Analisis berdasar gambar kemudian dikelompokkan berdasarkan hubungan
memberikan informasi tentang keberadaan/eksistensi ruang-ruang kawasan pasca
pembangunan Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLPTP) masih tetap eksis. Bahkan
berdasar analisis keberadaan JLPTP ikut menambah pertumbuhan aktivitas
kawasan serta pendapatan sebagai imbas dari kunjungan dan kemudahan akses.
Ruang berbasis lokalitas yang terbentuk jauh sebelum perencanaan ataupun
pembangunan kawasan, seperti kawasan penggaraman dan kampung Lere tetap
eksis dan melakukan aktivitas keseharian sebagaimana biasanya. Walau beberapa
perubahan struktur ruang kemudian terjadi seperti reorientasi pada akses serta
adanya perubahan pencapaian akses nelayan pada ruang laut dalam konsep ruang
Nakappali (Bakri, 2011).
KESIMPULAN
Penelitian mengungkapkan bahwa pasca pembangunan JLPTP pada tepian
teluk Palu yang diorientasikan untuk pengembangan kawasan wisata teluk dan
kemudahan akses tidak kemudian mengusik keberadaan ruang komunitas/aktivitas
kawasan. Terjadi reorientasi ruang kawasan yang langsung mengakses pada jalan
ditepian teluk. Keberadaan JLTP ikut mengenerik eksistensi aktivitas meruang
dikawasan.
Terdapat tiga kelompok utama yang memperlihatkan eksistensi aktivitas
pada ruang kawasan antara lain ruang aktivitas wisata meliputi aktivitas
pembangunan penunjang wisata, hotel, restoran dan ruang penunjang untuk
menikmati aktivitas berwisata seperti kuliner, berenang, selancar, menyelam atau
hanya sekedar menikmati pemandangan teluk. Sementara duan ruang aktivitas
yang memperlihatkan eksistensinya adalah ruang aktivitas tambak garam dan
ruang aktivitas nelayan.
Sehingga untuk tindak lanjut dari penelitian ini perlu dikaji lebih mendalam
mengenai strategi-strategi perencanaan yang konprehensif terhadap eksitensi
ruang kawasan. Lanjutan penelitian diharapkan menemukan formula yang dapat
mengitegrasikan pelaksanaan pembangunan terhadap eksistensi aktivitas ruang
kawasan
102
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, C. 2007. Rethinking Technology: A Reader in Architectural Theory,
Christopher Alexander-The Selfconscious Proces, New York: Routledge p.
2007.
Bakri, M. 2011. Local Wisdom ― To Kaili‖ in The Utilization of Coastal Area.
Makassar, Indonesia.
Bakri, M. 2012. "Pasompoa" Layover Space in the Spatial Structure Of
Fisherman in Teluk Palu Concept Of Spatial The Fisherman ’ S Teluk
Palu pp. 425–432.
Brower, S. N. 1980. Human Behavior and Enviromen Advances in Theory and
Research, Theory in Urban Setting. Empironment and Culture, 4, 179–
207.
Haryadi & B.Setiawan, 1996., Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, Gajah Mada
Press
Michael J. Hatton, 1999., Community Base Tourism In The Asia Pacific., Apec
publication The Scool of Media Studies of Humber Collage, Toronto
Canada
Tschumi, B. 1994. Event - Cities (Praxis). New York: MIT Press
103
MENGATASI RUTTING SUBGRADE MELALUI PENINGKATAN
KUALITAS SUBBASE MENGGUNAKAN MATERIAL LOLIOGE
Syamsul Arifin1, Mary Selintung
2, Lawalenna Samang
3, Tri Harianto
4
1 Universitas Tadulako
2 Universitas Hasanuddin
3 Universitas Hasanuddin
4 Universitas Hasanuddin
Email: [email protected]
ABSTRAK
Modus kerusakan deformasi permanen (rutting) pada konstruksi jalan lentur
merupakan persoalan yang dominan terjadi, ditandai bekas roda kendaraan
khususnya di daerah dimana gaya rem yang besar sering terjadi. Menurut M.
Khabiri, (2010) bahwa rutting dengan kedalaman tertentu bisa dialami oleh setiap
lapis perkerasan lentur (lapis permukaan, base, subbase, dan subgrade), yaitu pada
saat stress lebih besar dari strength (bearing capacity) pada lapis tersebut. Artinya
kemampuan konstruksi jalan menahan terjadinya rutting tergantung pada
kemampuan individu setiap lapis perkerasan (Dormon, 1962). Perlindungan
terhadap bahaya stress juga didapat dari strength lapis subbase yang ada di
atasnya (M.Khabiri, 2010). Semakin tinggi kualitas material subbase semakin
besar perlindungan yang diberikan ke subgrade sehingga rutting sulit terjadi.
Salah satu metode untuk meningkatkan kualitas material subbase adalah dengan
menambahkan zat aditif seperti semen, aspal, kapur dan sebagainya (Tensar,
1998). Tujuan penelitian ini adalah mengupayakan konstruksi jalan lentur yang
dibangun di Indonesia tercegah dari kerusakan rutting di atas subgrade dengan
cara meningkatkan kualitas material subbase yang ada di atasnya. Hasil penelitian
yang diharapkan adalah terjadinya peningkatan kemampuan memikul gaya tekan
vertikal subgrade, melalui pengujian Unconfined Compressive Strength.
Berdasarkan nilai strength subgrade tersebut dan dengan bantuan Kenlayer
Software Program dan model matematika yang dikembangkan oleh Morton
(2004), akan diketahui jumlah repetisi beban yang dapat dipikul oleh konstruksi
jalan.
Kata Kunci: Rutting, Deformasi Permanen, Repetisi beban, Perkerasan Lentur
PENDAHULUAN
Rutting dengan kedalaman tertentu (rutting depth), bisa saja dialami oleh
setiap lapis perkerasan lentur, yaitu pada saat stress (load passages, atau external
forces) lebih besar dari strengh (bearing capacity) material (Khabiri, M, 2010).
Salah satu tugas penting lapis subbase saat beban lalu lintas bekerja adalah
mengurangi compressive strain atau penurunan permukaan akibat gaya tekan di
9
104
atas subgrade. Gaya tekan ini disinyalir penyebab utama rutting di permukaan
tanah dasar dimana semua lapis konstruksi jalan ditempatkan di atasnya. Telah
menjadi pemahaman umum selama bertahun-tahun untuk mengaitkan deformasi
permanen dengan vertical strain yang begitu besar pada bagian atas permukaan
subgrade. (NCHRP, 2004).
Gambar 1. Deformasi Plastis pada Lapis Permukaan dan Subgrade
Dari keterangan di atas difahami bahwa rutting terjadi jika kualitas
individual material konstruksi jalan tidak memenuhi syarat spesifikasi. Olehnya
itu pemilihan quarry dengan kualitas individual material yang tinggi akan
membantu mencegah terjadinya rutting. Dari latar belakang ini, telah dilakukan
pengujian pendahuluan terhadap material yang diambil dari beberapa quarry
berbeda, yaitu; Sungai Suluri, Desa Walatana Kecamatan Dolo Selatan, Sungai
Wuno, Desa Tulo Kecamatan Dolo, Sungai Matampondo Kecamatan Palu Timur,
dan Sungai Lolioge, Kelurahan Watusampu, Kecamatan Palu Barat, guna memilih
material dengan kualitas terbaik.
Perencanaan konstruksi jalan lentur (Flexible Pavement) memiliki standar
layanan tertentu yang dapat berupa prediksi waktu (umumnya tahun) berapa lama
konstruksi tersebut diharapkan dapat memberi layanan (design life atau life time)
kepada pengguna jalan. Standar layanan juga dapat dalam bentuk prediksi jumlah
105
repetisi beban (Cumulative load repetition), misalnya berapa juta kali lintasan
kendaraan dengan standar beban tertentu sebelum rutting atau kerusakan bentuk
lain mulai terjadi. Dengan demikian, dapat difahami bahwa material subbase
dengan kualitas yang baik akan memberi kontsribusi positif pada peningkatan
kualitas subgrade, yang pada akhirnya meningkatkan kemampuan konstruksi jalan
secara keseluruhan. Target khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah
untuk mengetahui sejauh mana peningkatan vertical compressive strength dan
modulus elastisitas subbase pasca stabilisasi dengan kapur, serta efeknya terhadap
strain subgrade dan prediksi peningkatan repetisi beban yang dapat dilayankan
oleh konstruksi jalan (accumulative of load repetition number) secara
keseluruhan. Dengan stabilisasi ini pula diharapkan akan terjadi peningkatan
vertical compressive strength pada permukaan subgrade. Perubahan ini akan
diketahui melalui pengujian Unconfined Compressive Strength. Berdasarkan nilai
strength subgrade tersebut, dengan bantuan Kenlayer Software Program dan
model matematika yang dikembangkan oleh Morton (2004), akan diketahui
jumlah repetisi beban yang dapat dipikul oleh konstruksi jalan.
TINJAUAN PUSTAKA
Deformasi Permanen (Rutting)
Deformasi Plastis adalah jenis kerusakan utama yang ditemui pada
konstruksi perkerasan jalan lentur, khususnya saat temperatur udara meninggi.
Kerusakan jenis ini disebabkan oleh akumulasi deformasi permanen pada seluruh
lapis perkerasan akibat repetisi beban lalu lintas. Lebar dan kedalaman rutting
umumnya disebabkan oleh sifat – sifat struktural lapis perkerasan (termasuk
ketebalan dan kualitas material), beban lalu lintas dan kondisi lingkungan
(L.A.Khateeb et al, 2011). Agregat memainkan performa penting pada campuran
beraspal. Jumlah mineral agregat dalam campuran umumnya berkisar 90 hingga
95% berdasarkan berat dan sekitar 75 hingga 85 persen berdasarkan volume
campuran. Agregat diharapkan menyiapkan batu skeleton yang kuat agar bisa
menahan repetisi beban kendaraan. Saat sekumpulan agregat terbebani oleh gaya
yang cukup besar, maka akan terjadi suatu bidang yang mengalami gaya shear
sebagai akibat adanya partikel agregat yang tergelincir atau bergeser satu sama
lain. Kejadian ini menghasilkan apa yang disebut dengan deformasi permanen
106
pada konstruksi jalan beraspal. Disepanjang bidang ini shear stress yang bekerja
melabihi shear strength campuran beraspal.
Dormon (1962) adalah peneliti pertama yang mengemukakan kriteria desain
klasik dan compressive strain pada subgrade yang muncul saat temperatur
meninggi. Hal yang istimewa pada kriteria ini adalah dipertahankannya dasar teori
desain mekanis. Ia juga mengemukakan obseravasi penting lainnya, yaitu adanya
kenyataan bahwa hampir seluruh konstruksi jalan beraspal mengalami sejumlah
deformasi permanen setelah setiap aplikasi beban
Gambar 2. Strains akibat repetisi beban
(Dormon, 1962)
Gambar 2 memperlihatkan bagaimana sejumlah penurunan (strain) terjadi
akibat repetisi beban pada material yang selalu berganti setiap saat. Pada awalnya,
material memperlihatkan peningkatan jumlah deformasi permanen (akumulasi
plastic strain). Namun demikian, saat jumlah beban meningkat, akumulasi plastic
strain material cendrung menjadi elastic (recoverable strain). Penomena ini
umumnya terjadi setelah 100 hingga 200 aplikasi beban.
Penggunaan vertical compressive strain untuk mengontrol deformasi
permanen didasarkan kenyataan bahwa plastic strain proporsional terhadap elastic
strain pada material konstruksi jalan. Jadi, dengan mengurangi elastic strain pada
subgrade, elastic strain pada komponen lainnya di atas permukaan subgrade akan
dapat dikontrol. Olehnya itu terjadinya deformasi permanen pada permukaan
lapisan beraspal akan juga dapat dikontrol (Huang, 2004). Research yang
dilakukan Eliot dan Thomson menyimpulkan bahwa shear strength dan kuantitas
rutting tergantung pada granular materials dan material subbase. Dengan
demikian untuk menentukan deformasi permanen material subbase digunakan
107
parameter yang didapat dari unconfined compressive strength (UCS) berdasarkan
Metode AASHTO-24 (Little, 1999 & Mallela et al, 2004).
Gambar 3. Alat Uji UCS
Dimungkinkan untuk menggunakan ―Software Kenlayer‖ untuk
menentukan nilai compressive strain pada subgrade soil (Daba, 2006). Software
ini telah digunakan oleh peneliti sebelumnya dengan mempertimbangkan
validitasnya dalam pemeriksaan pavement pada kondisi yang berbeda.
Untuk menentukan modulus elastisitas lapis subbase dengan
mempertimbangkan hasil pengujian compressive strength-nya, digunakan rumus-1
di bawah dengan memperbandingkan nilainya dengan compressive strength
material, yaitu sebesar; (SPO, 2007)
Eeq = 550 x fme ………………….. (1)
Dimana:
Eeq = Modulus elastisitas equivalen material (Kg/cm2)
fme = Compressive strength material (Kg/cm2)
Untuk menentukan efek stabilisasi material subbase terhadap strength yang
dihasilkan, akan digunakan EDF (Equivalent Damage Factor), hal mana dapat
dihitung menggunakan rumus-2 (Morton, 2004).
dimana:
NCC = Jumlah repetisi beban yang diijinkan untuk kondisi material subbase
NCD = Jumlah repetisi untuk beban yang diijinkan pada kondisi standar.
108
EDFC = Equivalent damage factor.
Untuk menghitung jumlah repetisi beban pada kondisi berbeda di lapis
subbase digunakan rumus-3 berikut;
ECX = Compressive strain pada kondisi lapis subbase
Bahan Penstabilisasi Kapur
Menurut Wesley, L.D, (1987), bahwa kapur untuk bahan stabilitas diperoleh
dari hasil pembakaran batu kapur alam (limestone) yang mengandung Calcium
Carbonate (CaCO3) sampai Carbon Dioxide (CO2) yang dikandungnya hilang.
Calcium Oxide (CaO) hasil pembakaran ini dikenal sebagai ―Quick Lime‖
kemudian diberi air dengan segera untuk membentuk Hydrated Lime berupa
Calcium Hydoixide (Ca(OH)2) yang lebih dikenal sebagai ―Slaked Lime‖ berupa
bubuk yang halus. Slaked Lime lebih banyak digunakan untuk keperluan
stabilisasi dari pada Quick Lime karena ia merusak peralatan dan dapat membakar
kulit pekerja. Menurutnya, stabilisasi adalah proses alami atau buatan untuk
membuat tanah lebih kuat dan tahan terhadap perubahan bentuk, perubahan
struktur, perpindahan dan pergeseran yang diakibatkan oleh beban ataupun oleh
perubahan kondisi alam sekitar. Ia menuliskan bahwa, secara garis besar,
stabilisasi dengan kapur akan meningkatkan kekuatan dan kekakuan material
berbutir halus. Bahkan menurutnya, kapur terkadang digunakan untuk
meningkatkan sifat-sifat teknis fraksi halus dari tanah granular.
METODE PENELITIAN
Suchman, E.A (1967) dalam Nasir, M (1999), menyatakan bahwa desain
penelitian adalah ‗semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan
pelaksanaan penelitian‘.
Desain percobaan adalah step – step atau langkah yang utuh dan berurutan
yang dibuat lebih dahulu, sehingga keterangan yang ingin diperoleh dari
percobaan akan mempunyai hubungan yang nyata dengan masalah penelitian.
Akan halnya pengertian metode penelitian dapat dicermati dari uraian Nasir, M,
109
(1999) bahwa: ―Jika kita membicarakan bagaimana secara berurut suatu penelitian
dilakukan, yaitu dengan alat apa dan prosedur bagaimana suatu penelitian
dilakukan, maka itu adalah metode penelitian‖.
Gambar 4. Bagan Alur Penelitian
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode penelitian adalah
operasionalisasi dari desain penelitian yang lebih bersifat detail, dengan
Studi Pustaka
Pengambilan Material pada 4 quarry; S.Suluri,
S.Wuno, S.Matampondo, dan S.& G. Lolioge
Rumusan
Masalah
Mix Design Campuran, Menggunakan Material
dari Quarry Terbaik
Pemeriksaan Pendahuluan Agregat Untuk Seleksi
Kualitas Terbaik; pengujian berat jenis, penyerapan,
dan abrasi
Lapis Permukaan,
Pemerisaan Aspal,
Pembuatan Gradasi
Campuran Beraspal,Uji
Pemadatan, Uji Marshall,
Penentuan Volumetrik,
Penentuan KAO, Modulus
Elastisitas, Poisson Ratio
Lapis Base,
uji pendahuluan, Uji
Pemadatan, Uji CBR,
Unconfined
Compressive Strength
Test, Modulus
Elastisitas, Poisson
Ratio
Lapis Subbase,
Analisa Saringan,
Batas Atterberg,
Stabilisasi Kapur, uji
Pemadatan, Uji
CBR, Modulus
Elastisitas, Poisson
Ratio
Subgrade,
Analisa Saringan,
AnalisaHidrome ter,
Batas-batas Atterberg,
Uji Pemadatan, Uji
CBR, Modulus
Elastisitas, Poisson
Ratio
Pengumpulan Data
Analisa Data
Kesimpulan dan Rekomendasi
Software Kenlayer, Modulus Elastisitas, Tebal Setiap
lapis, & Poisson Ratio
Subgrade Strain (Rutting Depth) &
Load Repetition Number
110
menyebutkan alat apa dan prosedur bagaimana setiap item dari langkah kerja
dilakukan. Mengacu pada pemahaman tersebut, desain penelitian didesain seperti
pada Figur-4. Dari bagan penelitian terlihat bahwa penelitian ini dimulai dari
―rumusan masalah‖, diakhiri dengan kesimpulan dan rekomendasi. Bagian bagan
berwarna biru adalah seluruh aktifitas yang merupakan bagian intergral penelitian
yang akan dilakukan dalam rangka mencapai gelar doktor di Fakultas Teknik,
Program Studi S3, Universitas Hasanuddin.
Menurut Nasir, M. (1999), bahwa pengumpulan data tidak lain adalah suatu
proses pengadaan data primer untuk keperluan penelitian. Pengumpulan data
merupakan langkah yang amat penting dalam metode ilmiah, karena pada
umumnya, data yang dikumpulkan, digunakan, kecuali untuk penelitian
eksploratif, untuk menguji hipotesa yang telah dirumuskan.
Tabel-1, Spesifikasi Subbase
ASTM-D 2940
No. % Lolos Toleransi
2 ― 100
1 ½ ‖ 90-100 ± 5
No.4 30-60 ± 10
No.200 0 - 12 ± 5
Tabel-2, Perhitungan Berat Tertahan Pada Setiap Nomor Saringan
Saringan
No.
Bukaan
(mm)
Spesifikasi Gradasi % Lolos
(nilai
tengah)
%
tertahan
Berat
Tertahan
(gram) Min Max
2 ― 50.8 100 100 100 0 0
1 ½ ‖ 37.5 90 100 95 5 250
No.4 4.75 30 60 45 50 2500
No.200 0.075 0 12 6 45 2250
5000
Pengumpulan data akan dilakukan dengan ‗Metode Pengamatan Langsung‘,
yaitu dengan pencatatan secara sistematis data – data yang dihasilkan dari seluruh
rangkaian pengujian, sambil mengontrol validitas dan reabilitas data yang
dikumpulkan. Khusus untuk data gradasi, diawali dengan pembuatan tabel untuk
setiap jenis diameter butiran yang diperiksa.
Skenario penelitian dalam rangka mengetahui rutting resistance material
subbase yang telah distabilisasi diawali dengan menyajikan prosentase masing –
111
masing material yang dicampur. Analisa saringan material subbase akan
dilakukan menggunakan standar ASTM-D 2940, gradasi ideal.
Setelah berat material pada setiap nomor saringan diketahui, selanjutnya
membuat benda uji yg beratnya 5000 gram (atau sesuai berat yg diatur pada
modified compaction method) dengan variasi kadar kapur 0, 2, 4, 6 dan 8%
terhadap berat material subbase.
Tabel-3. Prosentase Setiap Material Untuk Stabilisasi.
Jenis Material Prosentase setiap Material Berat untuk kebutuhan
benda uji (Kg)
Subbase 100 5
Kapur 2 0,1
Air 15 0,75
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa untuk mengetahui efeknya
terhadap strength material lapis subbase, maka dalam penelitian ini direncanakan
untuk mengaplikasi beberapa variasi prosentase kapur (0, 2, 4, 6, dan 8%) dan
juga variasi grading size kapur yaitu tertahan saringan # 100 (0,0375 mm) dan
lolos saringan # 200 (0,075 mm). Dalam hal ini berat material subbase dibuat
konstan. Benda uji akan dibuat dengan ukuran 30×30×30 cm3, dan akan dibiarkan
selama 7 hari pada ruangan lembab.
Batas
Atas Batas
Bawah Grada
si
Ideal
Gambar 5. Dimensi Benda Uji
30 x 30 x 30 cm, dan
Gambaran kondisinya
setelah curing 7 hari.
Gambar 6. Gradasi Material Subbase dan
perbandingannya Dengan
Gradasi Standar Khabiri.M,
(2010)
112
Tabel-4. Penentuan Compressive Strength Campuran Subbase
Prosentase Kapur Ukuran Butiran Kapur Compressive Strength
Campuran (Kg)
0
Tertahan Saringan # 100
(0,0375 mm)
2
4
6
8
0
Filler, Lolos Saringan #
200
(0,075 mm)
2
4
6
8
Setelah mengetahui nilai compressive strength subbase, selanjutnya
menghitung besarnya modulus elastisitas menggunakan persamaan-1. Hasilnya
akan disajikan seperti pada Tabel-5.
Menentukan subgrade strength capacity dengan menggunakan Program
Software Kenlayer. Model fisik perkerasan di desain dengan ketebalan masing –
masing; 7,5 cm untuk lapis permukaan, 15 cm untuk lapis base, 30 cm untuk
lapis subbase, dan tanah dasar subgrade.
Table 5. Nilai Modulus Elastisitas Lapis Perkerasan
Jenis Lapis
Perkerasan
Tebal Lapis
(cm) Poisson’s Ratio
Modulus Elastisitas
(kg/cm2)
Surface (Asphalt) 7,5 0,35 (contoh saja)
Base (Granular) 15 0,45
Subbase (Stabilized) 30 0,25
Subgrade (soil) - 0,45
113
Menurut Daba (2006), bahwa untuk menentukan nilai compressive strain
subgrade soil digunakan Software Kenlayer.
Dari uraian di atas, secara umum peta penelitian yang akan dilakukan pasca
studi pendahuluan digambarkan secara skematik seperti pada gambar 8.
Table-6. Penentuan compressive strain subgrade menggunakan software Kenlayer
Ukuran Butiran
Kapur Persen Kapur
Modulus Elastisitas
(kg/cm2)
Subgrade Strain
(Micro Strain)
Tertahan saringan
# 100
(0,0375 mm)
0
Telah diketahui
sebelumnya
2
4
6
8
Filler, Lolos
saringan # 200
(0,075 mm)
0
2
4
6
8
7,5 cm
15 cm
30 cm
Gambar 7. Model Fisik
Lapis Perkerasan Lentur
dengan Ketebalan Masing –
Masing lapis yang akan
diinput ke Kenlayer
Software
Gambar 8. Peta Penelitian
Unconfined Compressive Strength Test
Compressive Strength
Modulus Elasticity
Parameter: Modulus Elasticity,
Layer Thicknesses, Poisson’s Ratio
Subgrade Strain (Rutting
Depth)
Repetion Numbers
Uji
Laboratorium
Model
Matematis
Kenlayer
Software
Model
Matematis
114
Pada bagian akhir, Load Repetition Capacity konstruksi jalan dihitung
menggunakan persamaan-3. Hasilnya disajikan dalam bentuk tabel berikut;
Table 7. Akumulasi Repetisi Beban yang Dilayani oleh Konstruksi Jalan
Persen Kapur Subgrade Strain
(Micro Strain)
Akumulasi Repetisi
Beban
0
Telah diketahui sebelumnya
2
4
6
8
0
2
4
6
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana diulas pada latar belakang, bahwa telah diadakan penelitian
pendahuluan di laboratorium terhadap material dari empat quarry berbeda. Jenis
pemeriksaan individual material yang dilakukan terdiri dari pengujian berat jenis,
penyerapan, dan abrasi, yang hasilnya disajikan pada Tabel-8. Terlihat bahwa
material Sungai/Gunung Lolioge memilki kualitas terbaik, ditandai berat jenis
yang paling besar, serta penyerapan dan abrasi paling kecil.
Tabel 8. Hasil Uji Pendahuluan Kualitas Individual Material Beberapa Quarry
No. Sumber Material Jenis
Agregat Berat Jenis
Penyerapan
(%) Abrasi (%)
1 Sungai Suluri Kasar 2.20 1.41
36.79 Halus 2.40 2.17
2 Sungai Wuno Kasar 2.41 0.96
35.58 Halus 2.47 1.57
3 Sungai
Matampondo
Kasar 2.62 0.86 35.86
Halus 2.63 0.88
4 Sungai/Gunung
Lolioge
Kasar 2.77 0.58 20.44
Halus 2.71 0.81
Mengapa kualitas material quarry Lolioge lebih baik dibandingkan material
quarry lainnya diharapkan akan lebih jelas terlhat dengan analisa detil permukaan
sel tiga dimesi menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy), serta analisa
komposisi unsur yang terkandung dalam material tersebut melalui pengujian EDS
(Energy Dispersive Spectroscopy).
115
Tabel 9. Daya Dukung Material LPA Beberapa Quarry
No. Sumber Material CBR LPA (%)
1 Sungai Suluri 87.19
2 Sungai Wuno (Tulo) 88.51
3 Sungai Matampondo 90.26
4 Sungai/Gunung Lolioge 96.84
Telah dilakukan pengujian lanjutan terhadap material dari empat quarry di
atas, guna menentukan daya dukung terbesar jika digunakan sebagai LPA. Hasil
pengujiannya disajikan pada Tabel-9. Terlihat bahwa material Lolioge
menunjukkan daya dukung tertinggi dengan nilai CBR 96,84%.
Adapun uji UCS terhadap material subbase yang distabilisasi saat ini dalam
persiapan, dan diharapkan dalam bebrapa pekan kedepan hasilnya sudah dapat
dianalisis.
KESIMPULAN
Dari hasil uji UCS di laboratorium diharapkan akan jelas terlihat pengaruh
stabilisasi beberapa variasi kadar kapur dan variasi besar butiranya terhadap
kemampuan material subbase dalam menurunkan compressive strain pada
permukaan subgrade. Jika hal ini terbukti, berarti bahwa stabilisasi tersebut
berpotensi meningkatkan kapasitas subbase dalam mengatasi rutting pada
permukaan subgrade. Semakin tinggi performa subbase menahan rutting, semakin
besar pula harapan akan akumulasi repetisi beban yang dapat dilayani oleh
konstruksi jalan lentur secara keseluruhan.
Perbedaan nilai modulus elastisitas setiap lapis perkerasan lentur (lapis
permukaan, base, subbase dan subgrade) diperkirakan akan memberi efek
berbeda pada ketahanan konstruksi dalam menahan rutting dan jumlah repetisi
beban kendaraan yang bisa dilayani. Hal ini akan dibuktikan setelah membuat
model fisik konstruksi perkerasan yang dibebani dengan beban vertikal sebagai
116
refresentasi beban kendaraan. Analisis akan dilakukan menggunakan bantuan
Software Kenlayer.
DAFTAR PUSTAKA
Daba S. Gedafa, (2006), Comparison of Flexible Pavement Performance Using
Kenlayer and HDM-4, Fall Student Conference Midwest Transportation
Consortium November 15, Ames, Iowa,pp .
Dormon, G.B, (1962). The Extension to Practice of a Fundamental Procedure for
the Design of Flexible Pavements. Ann Arbor, Mich., 1st International
Conference on the Structural Design of Asphalt Pavements, ISAP.
Huang, Y.H, (2003). Pavement Analysis and Design. 2nd
Edn, Prentice Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey, USA., ISBN-10: 0131424734, pp: 792.
Khabiri.M, (2010), The Effect of Stabilized Subbase Containing Waste
Construction Materials on Reduction of Pavement Rutting Depth, Civil
Engineering group, Vali-Asr University, Rafsanjan, Iran, EJGE, Vol. 15,
Bund. L.
Khateeb, L.A, et al (2011), Rutting Prediction of Flexible Pavements Using Finite
Element Modeling, Jordan Journal of Civil Engineering, Volume 5, No. 2.
Kim, J.R, et al (1991), Rational Test Methods for predicting permanent
deformation in Asphalt Concrete pavement, Final Report, Civil & Mineral
Engineering Department University of Minnesota.
Little D. N., (1999), Evaluation of Structural Properties of Lime Stabilized Soils
and Aggregates, Volume 1: Summary of Findings Prepared for the
National Lime Association, pp 1-97.
Mallela J., Von Quintus H. and Smith K. (2004), Consideration of Lime-Stabilized
Layers in Mechanistic-Empirical Pavement Design, The National Lime
Association, Arlington, Virginia, pp 1-30.
Mochtar, I.S.B, (2004), Bahan Presentase pada ‖Seminar Nasional Tentang
Kerusakan Dini Konstruksi Jalan, Kelongsoran Lereng, dan Strategi
Penanganannya‖, Kerjasama Teknik Sipil ITS, Untad, dan Kimpraswil
Sulteng, Palu.
Morton, B.S, et al (2004), The Effect Of Axle Load Spectra And Tire Inflation
Pressures On Standard Pavement Design Methods, Proceedings Of The
8th Conference On Asphalt Pavements For Southern Africa
September,pp1-15.
117
Nasir, M, (1999), ―Metode Penelitian‖, Ghalia Indonesia
NCHRP, (2004). Guide for Mechanistic-Empirical Design of New and
Rehabilitated Pavement Structures. Illinois, Urbana: National Cooperative
Highway Research Program, Transportation Research Board (TRB),
National Research Council. Final Document Appendix RR: "Finite
Element Procedures For Flexible Pavement Analysis".
SPO Specifications Providing Office, (2007), Guideline of support Un-Reinforced
Masonry Building against Earthquake, Technical Work Deputy,
Publishing Number 376, Tehran, 2007, pp12.
Tensar (1998), Chemical and Mechanical Stabilization of Subgrades and Flexible
Pavement Sections, Technical Note, Atlanta.
Wesley, L.D, (1987), Mekanika Tanah, Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta.
118
MODEL EVALUASI DAN MONITORING PENGADAAN BARANG DAN
JASA BANGUNAN KONSTRUKSI BERBASIS MITIGASI DI PESISIR
PANTAI
Tutang Muhtar Kamaludin
ABSTRACT
Selection of providers of goods and construction services ortendersisan
importantst agein the process of building constructions ervice activity-based
mitigation. This needs constructiondue to building conditionson the coast have
special characteristics. Procure ment activities and construction servicesis a
starting point to wards the creation of quality development outcomes. Therefore,
the usersandproviders of goods and construction servicesneed to
understandandhave the same perceptionin implementing regulations relating
toprocurementof construction
Researchusing observational methodsto the opinion of the service users and
service providers from all counties and cities in Central Sulawesi relating to
procurement of construction servicesto thecoastalareasespeciallybuilding-based
disaster mitigation.Descriptive statistic alanalysis performed with the program
packageis applied from the decision-making. Monitoring and evaluation ofthe
implementation ofquality standards ofthe road pavementis done bya systemic
approach (input-process-output-outcome-impact) This study evaluated the
performance ofthe application ofquality standardsin the procurement of subjective
reasons (subjective reasoning) andan objective assessmen to facomplex problem.
Data collection techniquest hat are relevantto the nature and type of qualitative
data is the interview(interview) and ora writtenanswerto thequestionnaire(survey
form) addressed to experts(expert).
The resultsare expected to determine the activities or projects are consistent
with the planor program has been established. So that monitoring and evaluation
is necessary to determine whether there source has been used appropriately and
according to plan, whether the activityof the process conducted in accordance
withthe required means, and whether the planned targets or targets tha tcan
beachieved
Keywords: Tender, Evaluation, Monitoring. Beachbuilding
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemilihan penyedia barang dan jasa konstruksi merupakan tahapan yang
penting dalam proses kegiatan pembangunan. Sebab, kegiatan pengadaan barang
dan jasa konstruksi merupakan titik awal menuju terwujudnya hasil pembangunan
yang berkualitas. Oleh karena itu, para pengguna dan penyedia barang dan jasa
119
konstruksi perlu memahami dan memiliki persepsi yang sama dalam
melaksanakan peraturan yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa
konstruksi.
Menurunnya kepedulian dari pengguna jasa terhadap aturan yang berlaku
dan rendahnya sumber daya manusia (SDM) yang memahami berbagai macam
regulasi yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa konstruksi yang salah
satunya diatur dalam Keppres 80 tahun 2003. Menambah daftar panjang buruknya
manajemen proses pengadaan barang dan jasa.
Dari berbagai macam penyimpangan dan pelanggaran dalam proses
pengadaan barang dan jasa konstruksi tersebut. Mendorong para penyedia jasa
yang merasa dirugikan dan diberlakukan tidak adil oleh pengguna jasa sebagai
pelaksana dalam proses pelelangan untuk melakukan sanggahan.
Namun seringkali penyedia barang dan jasa yang melakukan sanggahan
lebih cenderung ―menyerang‖ terhadap kekurangan dari pemenang atau ke arah
kecurigaan terjadinya KKN (korupsi kolusi nepotisme) antara panitia dengan
peserta pemilihan, dengan tanpa disertai dengan bukti-bukti serta dasar yang kuat,
sehingga materi sanggahan dengan mudah dapat dinyatakan tidak diterima.
Implementasi e-Procurement di lingkungan instansi pemerintah memberikan
tantangan Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Kontruksi di Indonesia termasuk
bidang yang mengalami inovasi karena perkembangan teknologi informasi.
Apalagi dengan kebijakan dan regulasi pemerintah yang terus menerus
disempurnakan sehingga hal ini mempengaruhi tata cara dan sistim yang telah
dibentuk.Pengadaan barang/jasa untuk pemerintah adalah salah satu alat untuk
menggerakkan roda perekonomian.Penyerapan anggaran yang diambil dari
APBN/APBD melalui pengadaan barang/jasa ini menjadi faktor yang sangat
penting.Maka, tidak heran bila kegiatan pengadaan barang dan jasa menjadi salah
satu kegiatan pemerintahan yang banyak ‗diburu‘ para pemilik badan usaha.
Persaingan usaha yang tidak sehat (premanisme bad governace),
kolusi,persengkokongkolan antara pengguna jasa dan calon penyedia jasa, antara
sesama calon penyedia jasa, informasi harga dan akses pasar yang terbatas dan
tersekat-sekat (fragmented) melatar belakangi munculnya peraturan tentang
pengadaan secara elektonik, dan saat ini hamper seluruh wilayah Indonesia
120
termasuk Sulawesi Tengah sudah melaksakan transaksi elektonik dalam hal
pengadaan barang dan jasa dalam bidang konstruksi.
Pada sistim pengadaan barang dan jasa konstruksi di Indonesia telah
diterapkan sistim E-procurement. Pada sistim E-procurement seluruh proses
lelang mulai dari pengumuman, mengajukan penawaran, seleksi, sampai
pengumuman pemenang akan dilakukan secara online melalui situs internet
(website).Pemerintah Indonesia saat ini memang berusaha mewujudkan
pemerintahan yang bersih (clean government) dan menerapkan tata kelola yang
baik (good governance). Kedua hal ini baru bisa tercapai jika penyelenggaraan
pemerintahan didasarkan pada prinsip kepastian hukum, professional, visioner,
efisien, akuntabel, transparan,dan partisipatif.
Untuk mendukung tujuan pemerintah tersebut, keluarnya Perpres No.
70/2012 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, yang
menggantikan Keppres No. 80/2003, pada prinsipnya untuk menciptakan iklim
persaingan yang sehat, efisiensi belanja negara, dan percepatan pelaksanaan
APBN/APBD, memerlukan sistem dan prosedur lelang yang lebih sederhana
dengan tetap memperhatikan good governance serta mendukung terciptanya
kepastian aturan.Mengingat sistim lelang di Indonesia mengalami perubahan. Dari
Konvesional, menuju sistim lelang elektronik, perubahan itu terjadi bertahap
karena sistim lelang elektronik memerlukan persyaratan yang berbeda dengan
sistim lelang konvesional. Ada tiga bidang prasyarat yang harus dipenuhi yaitu
hukum, teknis, dan manajemen. Tanpa kesiapan dalam itu, maka lelang
elektronik tidak dapat mencapai tujuannya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terkait dengan pemberlakuan peraturan standard
pengadaan barang dan jasa untuk bangunan konstruksi berbasis Mitigasi di Pesisir
Pantai, maka rumusan-rumusan masalah dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengenalan dan pemahaman pengguna jasa terhadap substansi
standard pengadaan barang dan jasa untuk bangunan konstruksi berbasis
Mitigasi di Pesisir Pantai dengan implementasi proses penerapannya
121
2. Bagaimana pengenalan dan pemahaman penyedia jasa terhadap substansi
standard pengadaan barang dan jasa untuk bangunan konstruksi berbasis
Mitigasi di Pesisir Pantai dengan implementasi proses penerapannya
3. Apa kendala dan penyimpangan yang sering terjadi dalam implementasi
standar pengadaan barang dan jasa dari mulai proses perencaan dan tahapan
kontrak
4. Bagaimana kerangka berpikir menyusun model dan monitoring dan evaluasi
pemberlakuan regulasi tentang pengadaan barang dan jasa
5. Faktor-faktor apa yang mempertimbangkan dalam tiap subsistem
pemberlakuan standar pengadaan barang dan jasa
6. Variabel-variabel apa yang mempertimbangkan dapat mempengaruhi faktor-
faktor dalam tiap subsistem pemberlakuan pengadaan barang dan jasa.
Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi kendala memahami pengguna jasa terhadap substansi
standard pengadaan barang dan jasa untuk bangunan konstruksi berbasis
Mitigasi di Pesisir Pantai dengan implementasi proses penerapannya;
2. Mengidentifikasi kendala memahami penyedia jasa terhadap substansi
standard pengadaan barang dan jasa untuk bangunan konstruksi berbasis
Mitigasi di Pesisir Pantai dengan implementasi proses penerapannya;
3. Mengidentifikasi kendala dan penyimpangan yang sering terjadi dalam
implementasi standar pengadaan barang dan jasa dari mulai proses
perencaan dan tahapan kontrak;
4. Merumuskan kerangka berpikir menyusun model dan monitoring dan
evaluasi pemberlakuan regulasi tentang pengadaan barang dan jasa;
5. Menganalisis perbandingan tingkat faktor-faktor dalam tiap subsistem
pemberlakuan standar pengadaan barang dan jasa;
6. Menganalisis antar variabel yang mempertimbangkan dapat mempengaruhi
faktor-faktor dalam tiap subsistem pemberlakuan pengadaan barang dan
jasa.
TINJAUAN PUSTAKA
122
Umum
Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi mempunyai peranan penting
dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa
bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana
yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang,
terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang−Undang Dasar 1945. Selain berperan mendukung berbagai bidang
pembangunan, jasa konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan
berkembangnya berbagai industri barang/jasa yang diperlukan dalam
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.(Penjelasan Undang-Undang No. 18 Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi).
Guna mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-undang Nomor 18
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yaitu perusahaan nasional yang mampu
menunjukkan komitmennya pada penyelenggaraan jasa konstruksi dalam bentuk
peningkatan kemampuan personil, teknologi dan permodalan usahanya di
Indonesia, maka perusahaan nasional perlu diberikan kesempatan untuk bersaing
dalam proses pelelangan dengan tetap memperhatikan asas kejujuran dan
keadilan, keseimbangan, keterbukaan, dan kemitraan serta kriteria biaya, mutu,
jadwal serta tidak boleh menimbulkan efek proteksi (non tarif barier) maupun
ketentuan-ketentuan lain yang diatur dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
1995 tentang Usaha Kecil serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (Penjelasan
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi).
Dalam rangka menghapuskan inefisiensi, monopoli, dan praktek–praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam kegiatan jasa konstruksi, telah dirumuskan
asas keterbukaan secara lebih rinci dalam pasal-pasal pengaturan yang diharapkan
dapat mewujudkan tertib penyelenggaraan dalam kegiatan jasa konstruksi yang
bernuansa tersedianya kesempatan atau peluang yang adil bagi masyarakat untuk
berperanserta dalam penyelenggaraan pekerjaan jasa konstruksi, persaingan yang
sehat antar para penyedia jasa, kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dengan
123
penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan akan
peraturan perundang-undangan. (Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun
2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi).
Yang dimaksud dengan prinsip – prinsip dasar pengadaan jasa pemerintah
adalah hal –hal mendasar yang harus menjadi acuan, pedoman dan harus
dijalankan, dilakuan, serta dapat diwujudkan oleh seluruh pihak (stake holder)
dalam melakukan, mengikuti, mengawasi pengadaan jasa pemerintah sesuai
dengan perannya masing – masing.
Filosofi Prinsip-prinsip Dasar Pengadaan Jasa Pemerintah
Prinsip – prinsip dasar adalah acuan atau pedoman pokok, dalam
penyusunan aturan perundang – undangan, tata cara, prosedur, praktek sehari –
hari dalam pengadaan jasa pemerintah. Dalam hal ini sesuatu yang belum jelas
diatur, pemilihan jalan keluarnya harus berpedoman dan mengacu kepada prinsip
– prinsip dasar.
Dalam prinsip-prinsip dasar pengadaan jasa tersebut terkandung hal-hal
yang berkaitan dengan hakekat, filosofi, etika dan norma pengadaan jasa
pemerintah. Artinya, dalam melaksanakan dan mewujudkan seluruh prinsip-
prinsip dasar tersebut, perlu dipahami esensi, maksud dan tujuan yang
mendasarinya, dan bukan sekedar dijalankan untuk memenuhi persyaratan secara
formal. Namun apabila melaksanakan dan mewujudkannya disertai dengan
pemahaman terhadap hakekat, filosofi dan etika yang mendasari prinsip-prinsip
dasar tersebut, diharapkan tujuan dari diberlakukannya prinsip-prinsip dasar akan
dapat dicapai.
Agar hakekat, esensi, tujuan dan maksud pengadaan jasa tersebut dapat
dilaksanakan sebaik-baiknya, maka kedua belah pihak yaitu pihak pengguna dan
pihak penyedia harus berpedoman kepada filosofi dasar pengadaan jasa, tunduk
kepada etika dan norma pengadaan jasa yang berlaku, mengikuti dan memahami
prinsip-prinsip dasar pengadaan jasa, serta menjalankan metoda dan proses
pengadaan jasa yang telah berlaku diatur dalam aturan perundang-undangan yang
berlaku.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapatdinyatakan bahwa filosofi
pengadaan jasa adalah upaya untuk mendapatkan jasa yang diinginkan yang
124
dilakukan atas dasar pemikiran logis dan sistematis (the system of thougt),
mengikuti norma dan etika yang berlaku, berdasarkan metode dan proses
pengadaan yang baku.
Proses Pengadaan Jasa Konstruksi
Cara pengadaannya juga dapat dilakukan langsung oleh badan usaha yang
bersangkutan, yang biasanya memiliki unit untuk pengadaan
(procurement/logistic unit), dengan cara membeli langsung di pasar, atau dengan
menggunakan jasa pihak kedua, yaitu pemasok (supplier), pemborong
(contractor), dan konsultan. Tata cara hubungan dengan pihak kedua, yang dapat
berupa: pembelian langsung, pelelangan terbuka, pelelangan terbatas, pemilihan
langsung, penunjukkan langsung, bentuk kontrak, cara pembayaran, cara
penyerahan pekerjaan, perawatan dan jaminan, serta lain-lain, sepenuhnya
ditentukan dalam aturan yang telah disepakatidan disetujui oleh manajemen
perusahaan.
Untuk mencapai tujuan pengadaan barang/jasa, yaitu mendapatkan
barang/jasa yang tepat jumlah, tepat waktu, kualitas yang baik, dan harga wajar,
sesuai atau bahkan lebih baik dari yang telah direncanakan, maka perlu
dipertimbangkan keadaan alamiah (nature conditions) dan jenis dari barang/jasa
yang akan dilakukan pengadaannya.
Perbedaan alamiah tersebut, dapat terkait dengan kompleksitas
permasalahannya, siklus serta tahapannya, juga resiko yang akan dihadapi dalam
pelaksanaan pengadaannya. Pengadaan untuk keperluan rutin dan operasional
mungkin tidak diperlukan perencanaan yang teliti dan komplek, karena hampir
tiap perioda tertentu dilakukan. Berbeda dengan pengadaan untuk keperluan
investasi baru, diperlukan perencanaan yang matang dan teliti, terutama untuk
aktivitas yang menyangkut pendanaan yang sangat besar.
Untuk memahami kondisi alamiah (nature conditions) tersebut, biasanya
kita mempertimbangkan 2 (dua) faktor pokok, dalam menentukan cara
pengelolaan (manajemen) pengadaan. Faktor yang pertama adalah harga atau
biaya. Semakin besar biaya yang dipergunakan untuk pengadaan, semakin
komplek permasalahan yang dihadapi, dan semakin diperlukan tingkat manajemen
pengadaan (procurement management) yang lebih canggih (sophisticated).
125
Sebaliknya, semakin kecil biaya yang dipergunakan untuk pengadaan, semakin
sederhana pula manajemen pengadaan dijalankan.
Faktor kedua adalah resiko, dari pelaksanaan aktivitas pengadaan yang
bersangkutan. Semakin tinggi resiko yang dihadapi, semakin diperlukan
manajemen pengadaan yang canggih. Sebaliknya semakin rendah resiko yang
dihadapi, semakin sederhana manajemen pengadaan yang dipilih.
Penyedia Jasa Konstruksi
Penyedia barang/jasa adalah orang perseorangan atau badan usaha yang
kegiatan usahanya menyediakan barang/layanan jasa.(Keputusan Presiden No. 80
Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah).
Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa dan para pihak yang terkait
dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut:
1. Melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk
mencapai sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan
barang/jasa;
2. Bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga
kerahasiaan dokumen pengadaan barang/jasa yang seharusnya dirahasiakan
untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa;
3. Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung untuk
mencegah dan menghindari terjadinya persaingan tidak sehat;
4. Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan
sesuai dengan kesepakatan para pihak;
5. Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak
yang terkait, langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan
barang/jasa (conflict of interest);
6. Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran
keuangan Negara dalam pengadaan barang/jasa;
7. Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi
dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;
126
Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi
atau menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapapun yang diketahui
atau patut dapat diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa. (Keputusan
Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah).
Pengertian Model dan Evaluasi
Pengertian dari model adalah: a description of observed behaviour,
simplified by ignoring certain details. Models allow complex systems to be
understood and their behaviour predicted within the scope of the model, but may
give incorrect descriptions and predictions for situations outside the realm of
their intended use (Ortuzar& Willimsen, 1994). Dengan kata lain, model adalah
suatu deskripsi dari perilaku yang diobservasi, kemudian disederhanakan dengan
mengabaikan detail tertentu. Pemodelan akan memungkinkan sistem yang
kompleks dapat dipahami dan perilaku sistem tersebut dapat diprediksi
berdasarkan cakupan dari model, tetapi model tersebut tidak dapat menjelaskan
seluruh aspek dari realitas.
Secara spesifik, mendefinisikan model sebagai suatu representasi sederhana
dari dunia nyata atau suatu sistem pengamatan yang menekankan pada elemen-
elemen tertentu atas pertimbangan-pertimbangan kepentingan.Pemodelan suatu
fenomena adalah membangun suatu teori yang menggambarkan dan menjelaskan
fenomena tersebut.Pemodelan dilakukan dengan menuliskan suatu deskripsi
tentang sistem tersebut atau membangun suatu teori dari seluruh fenomena yang
diamati.
Pemodelan dari suatu fenomena alam, baik fisik maupun non-fisik dapat
berbentuk model phisik dan non-phisik.Model fisik merupakan replika dari
kondisi fisik ideal dari suatu entitas, misal model mobil, model rumah, model
gelombang, model mesin, dan model jembatan. Model non-fisik atau model
abstrak atau disebut mental model,biasanya digunakan untuk merepresentasikan
karakteristik dari suatu perilaku atau kejadian, proses, karakteristik, dan sistem
dari suatu fenomena, misal model bangkitan lalu-lintas, model aliran tunai, model
kejadian kecelakaan, dan model pengendalian proyek konstruksi. Struktur model
tersebut dapat ditulis dalam bentuk matematika dan diagram atau gambar-gambar
127
yang menjelaskan karakteristik hubungan antar elemen atau subsistem dari
sesuatu yang dimodelkan (any systems). Ortuzar & Willimsen (1994)
menyebutkan bahwa model fisik biasanya digunakan untuk keperluan rancangan
(design of structure), sedangkan model abstrakmerepresentasikan suatu teori
tentang sistem yang ditinjau dan bagaimana sistem tersebut bekerja.Mental model
memegang peranan penting dalam memahami dan menginterprestasikan
fenomena alam (dunia nyata) dan model-model analitis. Salah satu bentuk dari
mental model tersebut adalah model logika(logic model) yang digunakan untuk
menyelesaikan pengendalian dan pengembangan sistem prasarana kegiatan, misal
monitoring dan evaluasi terhadap suatu proses yang komplek (sistemik) sehingga
dapat diketahui efisiensi dan efektivitas dari proses tersebut.
Pengertian Monitoring dan Evaluasi
Monitoring adalah kegiatan pengumpulan dan analisis informasi secara
sistematik tentang bagaimana suatu organisasi atau program sedang berjalan.
Monitoring didasarkan pada sasaran yang ditetapkan dan aktivitas yang
direncanakan selama tahapan perencanaan program.
Evaluasi adalah perbandingan dampak aktual program terhadap rencana
strategi yang ditetapkan. Evaluasi akan melihat apa yang telah ditetapkan untuk
dilaksanakan, apa yang telah dicapai dan bagaimana pencapaian tersebut,definisi
monitoring sebagai berikut, " monitoring is an intermittent (regular or irregular)
series of observations in time, carried out to show the extent of compliance with
formulated standars or degree of deviation from an expected norm".Dengan kata
lain, monitoring adalah suatu serial observasi periodik yang dilakukan untuk
menunjukkan tingkat pemenuhan standar yang telah ditetapkan atau observasi
tersebut dilakukan untuk mengetahui derajad penyimpangan dari suatu norma,
standar, pedoman dan manual yang ditetapkan. Istilah monitoring juga dapat
dipahami sebagai upaya sistematis untuk menilai atau mengevaluasi apakah suatu
tujuan atau target dari suatu proses telah tercapai. Selanjutnya, monitoring
dirumuskan sebagai:"The act of overseeing the progress of a research study to
ensure that the rights and well-being of participants are protected, that the data
are accurate, complete and verifiable, and that the conduct of the research is in
compliance with the protocol, with applicable regulatory requirements and with
128
standars of the field".Artinya dalam konteks monitoring penelitian, kata
monitoring dapat dijelaskan sebagai tindakan mengawasi proses. suatu program
penelitian untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat memiliki hak-hak
yang terlindungi, data yang diperoleh akurat, lengkap dan sudah diverifikasi
dengan pihak terkait. Selain itu, monitoring tersebut dilakukan terhadap kaidah
dan persyaratan serta standar yang harus dipenuhi oleh suatu proses penelitian.
Konsep Dasar Monitoring dan Evaluasi
Secara mendasar, monitoring dan evaluasi adalah upaya menentukan apakah
suatu kegiatan atau proyek dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan rencana
atau program yang telah ditetapkan. Secara praktis, monitoring dan evaluasi
diperlukan untuk menentukan apakah sumberdaya telah digunakan secara tepat
dan sesuai rencana, apakah aktivitas dari proses dilakukan sesuai dengan cara-cara
yang disyaratkan, dan apakah sasaran atau target yang direncanakan dapat
tercapai. Oleh karena itu, monitoring dan evaluasi menjadi sangat penting
posisinya dalam implementasi suatu rencana karena beberapa hal, antara lain
untuk mengetahui sejauh mana suatu program dapat diimplementasikan dan apa
intervensi yang dibutuhkan untuk meningkatkan dampak dari suatu program
tersebut .
Sistem monitoring dan evaluasi dirancang untuk mencapai berbagai tujuan
(Shapiro, 2004), antara lain: (i) menyediakan informasi untuk semua tingkatan
manajemen; (ii) menunjukkan kinerja dari implementasi program(programme
performance)sebagai bagian dari akuntabilitas; (iii) mengukur hasil(project
outcomes and impacts) terhadap keluaran; dan (iv) membangkitkan pemahaman
yang luas dan mendapatkan pelajaran untuk tindak lanjut dari suatu implementasi
program.
Hal yang mendasar dari monitoring dan evaluasi adalah menfokuskan pada
efisiensi, efektivitas dan dampak (impact) suatu program. Oleh karena itu,
pengembangan monitoring dan evaluasi melibatkan penetapan indikator-indikator
efisiensi, efektivitas dan dampak. Disamping itu, monitoring dan evaluasi
memerlukan suatu sistem untuk mengumpulkan, mencatat dan menganalisis
informasi yang terkait dengan indikator-indikator tersebut. Sedangkan, evaluasi
melibatkan pengkajian apa hasil dan dampak yang dicapai, termasuk
129
keberlanjutan dari program (Shapiro, 2004). Pertama kali, tujuan monitoring dan
evaluasi harus.
1. Pengembangan Perangkat Lunak
Pengembangan perangkat lunak monitoring dan evaluasi pemberlakuan
standar mutu Pengadaan Penyedia Jasa Konstruksi berbasis Mitigasi dibangun
untuk mengaplikasikan logic model dari sistem hierarki elemen-elemen yang
berpengaruh terhadap kinerja pemberlakuan standar mutu Pengadaan Penyedia
Jasa Konstruksi berbasis Mitigasi berbasis pendekatan sistemik.
Aplikasi Model
Perangkat Lunak
data monitoring kuantitatif kinerja
pengadaan Jasa Konstruksi Studi kasus <—
Gambar 1. Kerangka berpikir pengembangan perangkat lunak model
monitoring dan evaluasi pemberlakuan standar Jasa Konstruksi
130
Pengembangan perangkat lunak pada prinsipnya terdiri atas: (i) brainware (olah
pikir) yang meliputi logic model, logika kecenderungan pengaruh variabel dan
program aksi tiap variabel; dan (ii)Software(perangkat lunak) yang meliputi
bahasa pemrograman, rancangan basis data dan proses olah data input, rancangan
implementasi antar muka dan eksekusi aplikasi model. Kerangka pengembangan
perangkat lunak tersebut dapat ditunjukkan dalam Gambar 1
METODE PENELITIAN
Metodologi Penelitian
Penelitian merupakan suatu proses yang panjang berawal dari minat untuk
mengetahui fenomena tertentu dan selanjutnya berkembang menjadi gagasan,
teori, konseptualisasi. Proses penelitian memerlukan pemilihan metode yang
sesuai, proses pengambilan data, pengumpulan dan pengolahan serta analisis data
dan menyusun kesimpulan yang melahirkan gagasan atau teori baru, sehingga
merupakan suatu proses yang tiada henti (Biatna dkk., 2005).
Metode penelitian dilaksanakan berdasarkan observasi terhadap pendapat
para pengguna jasa dan penyedia jasa dari seluruh kabupaten dan kota di Sulawesi
Tengah yang berkaitan dengan bidang pengadaan jasa konstruksi
khusunyabangunan konstruksi berbasis Mitigasi di Pesisir Pantai. Analisis
diskriptif dilakukan dengan statistik yang diaplikasikan dari paket program
pengambilan keputusan. Metodologi penelitian secara garis besar menjelaskan
tiga bagian penting (Nazir, 2004), yaitu: (i) prosedur penelitian, (ii) teknik
penelitian, dan (iii) metode penelitian. Berkaitan dengan hal tersebut, metodologi
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam 7 (tujuh) tahapan
kegiatan
Desain responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain
responden tetap karena responden yang dibentuk mengikuti aturan tertentu dan
tidak berubah-ubah selama proses penarikan responden berlangsung. Desain
responden tetap yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode cluster sampling
(responden berkelompok), yaitu teknik memilih sebuah responden dari kelompok
unit-unit yang kecil atau cluster. Teknik cluster sampling yang digunakan adalah
two stage cluster sampling.
131
Instrumen Penelitian
Monitoring dan evaluasi pemberlakuan standar mutu Pengadaan Penyedia
Jasa Konstruksi berbasis Mitigasi dilakukan dengan pendekatan sistemik (input-
process-output-outcome-impact) sehingga perlu ditetapkan faktor, variabel beserta
indikator dan parameternya dalam tiap bagian-bagian sistem (subsistem)
pemberlakuannya. Faktor dalam penelitian ini dimaksudkan keadaan atau
peristiwa yang mempengaruhi terjadinya sesuatu atau sesuatu yang secara aktif
berkontribusi terhadap suatu penyelesaian, hasil dan proses. Variabel dalam
penelitian ini dimaksudkan sebagai sesuatu yang memiliki variasi atau sesuatu
yang dapat berubah-ubah yang mencerminkan karakter dari faktor. Indikator yang
dimaksud dalam penelitian ini sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat untuk
mengukur, memberi petunjuk dan keterangan terhadap variabel. Parameter yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah ukuran yang membatasi atau tolok ukur
kinerja (performance) variabel.
Penelitian ini mengkaji tentang kinerja pemberlakuan standar mutu
Pengadaan Penyedia Jasa Konstruksi berbasis Mitigasi yang mendasarkan pada
alasan-alasan subyektif(subjective reasoning) dan penilaian obyektif terhadap
suatu permasalahan yang kompleks. Berkaitan dengan hal tersebut, teknik
pengumpulan data yang relevan dengan sifat dan jenis data yang bersifat kualitatif
adalah wawancara(interview)dan atau menjawab tertulis terhadap kuesioner
(formulir survai) yang ditujukan kepada pakar(expert).Instrumen penelitian yang
paling sesuai berupa formulir survai yang berisi pertanyaan-pertanyaan pilihan
yang harus dijawab atau dipilih dengan pertimbangan obyektif dan pengalaman
serta keahlian responden (pakar) eksemplar pada tiap tahapan survai.
Pengumpulan data dengan mengirimkan kuesioner kepada responden
(pakar) memiliki beberapa keuntungan, antara lain: (i) penggunaan kuesioner
melalui komunikasi pos tidak memerlukan enumerator sehingga dapat
mengurangi biaya; (ii) kuesioner yang dikirimkan dapat mencapai responden
(pakar) dalam area yang luas, terutama pada daerah yang anggota populasinya
jarang dan memiliki pelayanan kantor pos yang baik; (iii) pengiriman kuesioner
dengan menggunakan jasa pos dapat mengurangi error dari enumerator; (iv)
kuesioner yang dikirimkan dapat memberikan kesempatan yang lebih fleksibel
132
bagi responden untuk menjawabya dengan melengkapi data pendukung yang lebih
akurat; (v) responden dapat menjawab pertanyaan yang diajukan secara lebih
jujur, karena responden tidak bertatap muka langsung dengan enumerator.
Selain keuntungan-keuntungan di atas, pengiriman kuesioner juga memiliki
batasan-batasan sebagai berikut: (i) pertanyaan-pertanyaan yang diajukan harus
sederhana dan langsung mengenai sasaran; (ii) pertanyaan yang dibuat harus yang
dapat dimengerti oleh responden; (iii) jawaban dari pertanyaan tersebut harus
diterima sebagai suatu jawaban final kecuali akan dilakukan pengecekan ulang;
(iv) penggunaan kuesioner yang dikirimkan biasanya memakan waktu lama untuk
mendapatkan tanggapan responden; (v) jawaban yang diberikan untuk masing-
masing responden tidak lagi independen karena responden sudah dapat membaca
terlebih dahulu terhadap pertanyaan yang diajukan; (vi) tidak ada kesempatan
untuk membuat tambahan terhadap jawaban yang diperoleh berdasarkan
observasi; (vii) responden dapat saja tidak mengembalikan kuesioner.
Pengembalian kuesioner yang terisi lebih besar 40% dari desain responden yang
terkirim dapat diteruskan untuk analisis jika sampel yang terkirim tersebut tidak
terfokus pada satu tempat melainkan tersebar di semua lokasi penarikan jawaban
responden.
METODE ANALISIS DATA
Beberapa metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
(i) statistik diskriptif; (ii) analisis faktor; dan (iii) analisis hierarki proses. Analisis
statistik diskriptif untuk menjelaskan profil atau kinerja Pengadaan Penyedia Jasa
Konstruksi berbasis Mitigasi saat ini termasuk bagaimana proses pemberlakuan
standar mutu Pengadaan Penyedia Jasa Konstruksi berbasis Mitigasi serta
menjelaskan persepsi pakar terhadap verifikasi variabel-variabel yang
mempengaruhi faktor-faktor pemberlakuan standar mutu
1. Seleksi dan Pengelompokkan Variabel Pengaruh dengan Pendekatan
Analisis Faktor (factor analysis)
Analisis faktor merupakan salah satu model statistik yang memanfaatkan
hubungan-hubungan korelasi maupun kovariansi pada suatu kelompok variabel
untuk menerangkan kembali atau meringkas kelompok variabel tersebut dalam
133
beberapa kuantitas acak yang tidak teramati, yang disebut faktor. Factor analysis
mulai dikembangkan oleh Karl Pearson dan Charles Spearman pada awal abad ke-
20 untuk mempelajari inteligensia yang tidak mungkin diamati atau diukur secara
langsung (Johnson & Wichern, 1992). Sebagaimana halnya dengan model-model
statistik yang lain, diperlukan alasan-alasan teoritik yang mendukung seorang
analis untuk melakukan factor analysis. Suatu alasan teoritis diperlukan untuk
memotivasi analis dalam menduga beberapa variabel yang mengukur sebuah
fenomena mendasar yang sama, dengan harapan jumlah data yang tersedia mampu
mendukung dugaan atau pemodelan yang akan dilakukan
Pada dasarnya analisis faktor dilakukan dengan tujuan-tujuan berikut: (i)
meringkas data (data summarization), yaitu mengidentifikasi adanya hubungan
antar variabel dengan melakukan uji korelasi dan dilanjutkan dengan meringkas
beberapa variabel dalam satu faktor sepanjang memungkinkan; (ii) mengurangi
banyaknya variabel (data reduction), yaitu dengan menggunakan faktor yang
dihasilkan dari sejumlah variabel. Variabel-variabel yang difaktorkan umumnya
disyaratkan sebagai variabel kuantitatif berskala interval atau rasio (Hair et al.,
1998; Santoso, 2003; Johnson & Wichern, 1992; Washington et al., 2003).
Dengan mengikuti notasi yang digunakan oleh Washington et al. (2003),
formulasi matematis model faktor dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.
Sebuah model faktor diformulasikan dengan menyatakan variabel-variabel
teramati, X j hingga Xpdi dalam satu set fungsi linier seperti yang ditunjukkan
dalam Persamaan (3.1)
Xi - Ul = I11F1 + I12F2 + ... + llmFm + Si
X2- U2 = /21F1 + /22F2 + ... + hmFm + S2 (3.1) Xp —Up=/p1Fr +lpF2 +.*..+IpmFm +Sp
yang ditunjukkan dalam Persamaan (3.2)
(X—u)px1 =
Lpxm
Fpxm +
Spx1 (3.2)
F merupakan faktor-faktor yang terbentuk dan lj merupakan nilai-nilai
bobot faktor. Suku galat sihanya berasosiasi dengan X,. Sejumlah p galat acak
(random errors)dan m bobot faktor yang terbentuk bersifat tidak teramati dalam
observasi pengumpulan data atau laten. Dengan p buah persamaan dan p + m
buah kuantitas tidak diketahui, nilai kuantitas-kuantitas ini dapat dihitung secara
134
langsung tanpa memerlukan adanya informasi tambahan. Untuk menghitung
besarnya nilai bobot faktor dan galatnya, beberapa pembatasan digunakan.
Pembatasan ini akan menentukan jenis model faktor yang dihasilkan,
apakahorthogonalataukah oblique.Model faktororthogonalyang mensyaratkan
tidak adanya korelasi antar faktor-faktor yang terbentuk lebih populer dan umum
digunakan karena dapat diinterpretasikan dengan lebih tegas. Model faktor
orthogonal disyaratkan untuk memenuhi hal-hal berikut: F dan S bersifat saling
bebas; E[ F] = 0; Cov[F]=I; E[S] = 0; dan Cov[s]= v,dengan vmerupakan sebuah
matriks diagonal. Nilai bobot faktor berkisar antara 0 dan 1. Sebuah bobot faktor
lj dengan nilai mendekati 1 menunjukkan bahwa variabel Xibanyak dipengaruhi
oleh faktor Fj. Sebaliknya, nilai bobot faktor yang mendekati 0 menunjukkan
bahwa variabel Xitidak dipengaruhi oleh faktor Fj secara substantif. Jumlah faktor
yang perlu diekstrak dari sekumpulan variabel bergantung pada nilai eigen tiap
faktornya.. Salah satu metode ekstraksi faktor yang umum digunakan adalah
metodeprincipal component.Metode ini mengasumsikan bahwa variabel dapat
dibentuk kembali melalui kombinasi faktor secara tepat linear. Selain itu,
diasumsikan pula bahwa tidak terdapat korelasi antar komponen (faktor), dan
jumlah nilai kebersamaan (commonality)tiap variabel pada seluruh faktor bernilai
1 (satu). Asumsi terakhir mensyaratkan bahwa nilai galat tiap variabel memiliki
nilai harapan nol. Untuk memperjelas hubungan antara variabel dengan faktornya,
matriks faktor perlu dirotasi. Metodevarimaxmerupakan sebuah metode rotasi
yang paling umum digunakan dalam model faktor orthogonal. Metode ini bekerja
dengan prinsip memaksimalkan jumlah variabel yang memiliki bobot faktor tinggi
pada suatu faktor. Interpretasi suatu model faktor bersifat langsung. Variabel-
variabel yang memiliki nilai bobot faktor tinggi pada suatu faktor dianggap
memiliki pengaruh yang tinggi dalam mendeskripsikan faktor tersebut, demikian
pula sebaliknya. Pemeriksaan beberapa variabel yang memiliki nilai bobot faktor
tinggi pada suatu faktor dilakukan untuk mencermati struktur mendasar atau
kesamaan (commonality) antar variabel tersebut. Struktur mendasar yang dimiliki
oleh beberapa variabel berbobot tinggi inilah yang perlu dicari interpretasi
logisnya oleh seorang analis berdasarkan konteks penelitian yang dilakukan.
135
Metode analisis faktor telah diimplementasikan dalam berbagai program
komputer statistik terkemuka, sepertiStatistical Package for the Social Sciences
(SPSS), Statistica dan SAS.Pada penelitian ini analisis faktor dilakukan dengan
bantuan SPSS versi 18 di bawah sistem operasi Microsoft Windows. Paket
program ini dipilih karena memiliki langkah-langkah pengujian matriks korelasi
antar variabel yang dapat dimonitor sebelum analisis faktor dilakukan atas
sekumpulan variabel tersebut. Pengujian awal atas korelasi antar variabel ini
diperlukan untuk memeriksa tingkat kepatutannya (appropriateness) sebelum
dilanjutkan dengan pemodelan faktor.
PENUTUP
Penelitian diharapkan akan menghasilkan hal-hal sebagai berikut:
a. Peningkatan kualitas dan kompetensi SDM Pengguna Jasa dan Penyedia
Jasa yang memahami secara utuh standar Pengadaan Jasa Konstruksi sesuia
dengan ketentuan yang berlaku
b. Adanya perbaikan system dengan pengaturan dan manajamen pengelolaan
yang baik di LPSE untuk mempermudah dan semakin transparannya
pengadaan jasa konstruksi terutama untuk pekerjaan bangunan konstruksi
berbasis Mitigasi di Pesisir Pantai.
c. Melalui penerapan dan regulasi yang standar diharapkan dapat menyatukan
presepsi antara pengguna jasa dan penyedia jasa untuk semakin
menumbuhkan rasa kompetisi yang baik diantara pengguna jasa sehingga
bisa mewujudkan bangunan gedung yang andal.
DAFTAR PUSTAKA
ANDREW R.J. DAINTY1*, MEI-I CHENG1 AND DAVID R. MOORE A
competency-based performance model for construction project
managers'Department of Civil and Building Engineering, Loughborough
University, Loughborough, Leicestershire, LE11 3TU, UK Scott
Sutherland School, The Robert Gordon University, Garthdee Road,
Aberdeen AB10 7QB, UK Received 23 June 2003; accepted 20 December
2003,Construction Management and Economics (OCTOBER 2004) ll, 877-
886
136
D. A. LANGFORD1*, P. KENNEDY
2, J. CONLIN
1 and N.
MCKENZIE3Comparison of construction costs on motorway projects
using measure and value and alternative tendering initiative contractual
arrangements,'Department of Civil Engineering, Strathclyde University,
Glasgow, UKSchool of the Built and Natural Environment, Glasgow
Caledonian University, Glasgow, UK ^National Roads Directorate,
Scottish Executive, Edinburgh, UKConstruction Management and
Economics (December 2003) 21, 831-840.
Edmond W.M. Lam, Albert P.C. Chan and Daniel W.M. Chan,Benchmarking
design-build procurement systems in construction,Department of Building
and Real Estate, The Hongkong Polytechnic University, Kowloon, People's
Republic of China Benchmarking: An International Journal Vol. 11 No. 3,
2004 pp. 287-302
FARZAD KHOSROWSHAHI1 * and AMIR M. ALANI A model for smoothing
time-series data in construction University of Central England, Faculty of
the Built Environment, Perry Barr, Birmingham B42 2SU, UK 2University
of Portsmouth, Department of Civil Engineering, Lion Gate Building, Lion
Terrace, Portsmouth PO1 3HF, UKReceived 26 April 2002; accepted 17
January 2003 Construction Management and Economics (July 2003) 21,
483-494
Godefroy Beauvallet, Younes Boughzala, and Said Assar,E-Procurement, from
Project to Practice: Empirical Evidence from the French Public Sector,S.
Assar (*)Institut Télécom, Telecom Business School, 9, rue Ch. Fourier,
91011 Evry, France e-mail: [email protected],S. Assar et al. (eds.),
Practical Studies in E-Government: Best Practices 13 from Around the
World, DOI 10.1007/978-1-4419-7533-1_2, © Springer Science+Business
Media, LLC 2011
Inder Singh1 and Devendra Kumar Punia
2EMPLOYEES ADOPTION OF E-
PROCUREMENT SYSTEM: AN EMPIRICAL STUDY Center for Information
Technology in CES, University of Petroleum & Energy Studies,Dehradun
(Uttarakhand), [email protected] of Information
Systems in CMES, University of Petroleum & Energy Studies, Dehradun
(Uttarakhand), India.International Journal of Managing Information
Technology (IJMIT) Vol.3,No.4, November 2011
K. P. Anagnostopoulos, A. P. Vavatsikos DEMOCRITUS,An AHP Model for
Construction Contractor PrequalificationEjux£ipr|aiaKr| 'Epeuva /
Operational Research. An International Journal. Vol.6, No 3 (2006),
pp.136-346
137
Lampiran Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 12/SE/M/2008. Tentang
Prosedur Pelaksanaan Pelelangan E – Procurement.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Persyaratan
dan Ketentuan Penggunaan Sistem Pengadaan Secara Elektronik
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Petunjuk
Pengoperasian Layanan Pengadaan Secara Elektronik Nasioanl
Martin Betts, Petter Black,Sharon, Juan Gonzales, ―Toward Secure And Legala E-
Tendering‖,Tean Vol 11 (2006) bats et al pg 89,April2006
Noor Maizura Mohamad Noor and Rosmayati Mohemad,Decision Support for
Web-based Prequalification Tender Management Systemin Construction
Projects,Universiti Malaysia Terengganu Malaysia,ISBN 978-953-7619-
64-0 Hard cover, 406 pages Publisher InTechPublished online 01, January,
2010 Published in print edition January, 2010
Pepres No.70 Tahun 2012, tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Penjelasan UU Republik Indonesia No. 11 tahun 2008, tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Penjelasan UU Republik Indonesia No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 54 tahun 2010 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.BP Cipta Karya
Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 29 tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Tony Ma, The Two-Envelope Tendering For Contractor Selection-South
Australian Expereinces, University Of South Australia
Seri Buku Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Indonesia, Konsolidasi
Keppres 80 Tahun 2003 dan Perubahannya. Ver. 1/.08. 2008.
138
BUIS BETON BERLUBANG SEBAGAI ALTERNATIF SUMUR
RESAPAN AIR HUJAN
I Gede Tunas
1, Rizaldi Maadji
2, Arody Tanga
3
1Jurusan Teknik Sipil Universitas Tadulako, Palu
2Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadyah, Luwuk
3Jurusan Teknik Sipil Universitas Tadulako, Palu
Email: [email protected]
ABSTRAK
Banjir yang terjadi di kawasan perkotaan umunya berasal dari luapan aliran
sistem drainase permukiman, yang sering menimbulkan kerugian baik sosial
maupun materi. Salah satu penyebabya adalah berkurangnya peresapan (infiltrasi)
aliran ke dalam tanah akibat meningkatnya pembangunan permukiman. Kondisi
ini juga memberikan dampak terhadap berkurangnya ketersediaan (cadangan) air
tanah terutama pada musim kemarau. Salah satu tindakan antisipasi yang dapat
dilakukan adalah membuat sumur resapan di lingkungan permukiman. Sumur
resapan terbuat dari buis beton berlubang pada bagian sisi-sisinya. Pemakaian
konstruksi ini diperkirakan lebih efektif dibandingkan buis beton konvensional.
Sebagai upaya verifikasi, maka perlu dilakukan pengujian mengetahui efisiensi
peresapan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa sumur resapan buis beton
berlubang memiliki efisiensi peresapan hingga 48.55 % pada jenis tanah berangka
permeabilitas 0.00282 cm/det dan debit 0.15 liter/det.
Kata kunci: genangan, sumur resapan, buis beton berlubang
PENDAHULUAN
Salah satu penyebab banjir yang paling konvensional selain hujan ekstrim
adalah ketidakseimbangan siklus hidrologi yang terjadi di alam ini (Hindarko,
2002). Fenomena yang paling nyata dari proses ini adalah jumlah air yang
melimpas dipermukaan (run-off) jauh lebih besar volume yang meresap kedalam
tanah (infiltrasi). Sebagai konsekuensi dari fenomena ini berdampak pada dua hal
yakni berkurangnya cadangan air bawah tanah (aquifer) dan berlebihnya air
dipermukaan (banjir). Arti fisik dari proses ini adalah berkurangnya faktor
tahanan permukaan yang berfungsi untuk memberi kesempatan peresapan air
kedalam tanah, akibat pemanfaatan lahan oleh manusia baik untuk pengembangan
usaha maupun untuk permukiman.
Defisit air pada musim kemarau akibat berkurangnya cadangan air tanah
juga merupakan masalah yang saling terkait dengan banjir/genangan (Asdak,
11
139
2002). Pengambilan air tanah dangkal secara kontinyu di daerah perkotaan telah
membawa dampak terhadap kesinambungan elevasi muka air tanah dangkal
(Sudjarwadi, 1998). Fluktuasi muka air tanah sangat dirasakan pada musim
penghujan dan musim kemarau. Rentang musim kemarau belakangan ini jauh
lebih panjang dibandingkan musim penghujan. Masalah muncul terutama pada
musim kemarau, hampir sebagian sumur-sumur yang diusahakan secara individu
oleh masyarakat perkotaan mengalami kekeringan terutama pada daerah-daerah
yang berada pada topografi yang lebih tinggi. Dampaknya adalah masyarakat
mengalami kesulitan dalam pemenuhan air bersih, apalagi daerah-daerah tersebut
belum terjangkau oleh PDAM.
Sebagai upaya preventif yang dilakukan melengkapi bangunan pada
kawasan permukiman dengan sumur resapan dalam hal ini menggunakan buis
beton berlubang, yang berfungsi sebagai media peresapan air hujan sehingga air
yang melimpas dipermukaan dapat diminimalkan, artinya peluang untuk
terjadinya luapan/banjir dapat diantisipasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Air Tanah
Salah satu komponen penting dalam siklus hidrologi adalah air tanah
(ground water). Telah diketahui bersama bahwa air tanah merupakan sumber air
tawar terbesar di planet bumi, mencakup kira-kira 30 % dari total air tawar. Akhir-
akhir ini pemanfaatn air tanah telah meningkat dengan pesat, bahkan dibeberapa
tempat tingkat eksploitasinya sudah sampai pada tingkat yang membahayakan
(Suripin, 2002). Air tanah biasanya diambil, baik untuk sumber air bersih maupun
irigasi, melaui sumur terbuka, sumur tabung, spring, atau sumur horizontal.
Kecendrungan memilih air tanah sebagai sumber air bersih, dibandingkan air
permukaan, mempunyai keuntungan sebagai berikut lebih bersih dari bahan
cemaran (polutan) permukaan, tersedia dekat dengan tempat yang memerlukan,
sehingga lebih murah ditinjau dari segi biaya, kualitasnya lebih seragam dan
bersih dari kekeruhan, bakteri, lumut, atau tumbuhan dan binatang air.
Cara pengambilan air tanah yang paling tua dan sederhana adalah dengan
membuat sumur gali (dug wells) dengan kedalaman lebih rendah dari posisi
140
permukaan air tanah (Kusnadi, 2003). Jumlah air yang dapat diambil dari sebuah
sumur gali biasanya terbatas, dan yang diambil adalah air tanah dangkal. Untuk
pengambilan yang lebih besar diperlukan luas dan kedalaman yang lebih besar.
Sumur gali biasanya dibuat dengan kedalaman lebih dari 5-8 meter dibawah
permukaan tanah. Untuk pengambilan air tanah dengan jumlah yang cukup besar,
misalnya daerah industri, cara yang paling banyak dipakai adalah dengan
membuat sumur dalam (deep wells) yang pada umumnya terbuat dari pipa dan air
yang diambil adalah air tanah dalam (confined aquifer).
Dalam rangka menjaga kelestarian air tanah, maka perlu dijaga
keseimbangan antara pengisisan dan pengambilan. Berakaitan dengan pengelolaan
air tanah, maka perlu dilakukan upaya konservasi dengan cara pengisian air tanah
buatan (artificial recharge) dan pengendalian pengambilan air tanah (Suripin,
2002). Pengisian air tanah buatan secara umum adalah dengan menggunakan
konsep penggenangan. Cara ini umumnya dilakukan dengan penggenangan buatan
dengan sumber air berasal dari sungai, membuat kolam-kolam di sekitar rumah,
pemanfaatan pipa jaring-jaring drainase yang porus guna meresapkan air hujan di
sekitar rumah. Pengisian buatan diakukan melalui permukaan, selanjutnya air
permukaan akan terinfiltrasi dan setelah kapasitas jenuh tercapai maka akan
terjadi perkolasi yang menyebabkan pengisian aquifer. Disisi lain pengendalian
pengambilan air tanah merupakan salah satu usaha yang penting dilakukan.
Pengambilan air tanah melalui sumur-sumur akan mengakibatkan lengkung
penurunan muka air tanah (depression cone). Makin besar laju pengambilan air
tanah, makin curam lengkung lengkung permukaan air tanah yang terjadi disekitar
sumur sampai terjadi keseimbangan baru (Sri Harto, 2002). Keseimbangan baru
akan tercapai hanya jika laju pengambilan air tanah lebih kecil dari pengisian oleh
air hujan pada daerah resapan.
Sumur Resapan
Kosep dasar sumur resapan pada hakekatnya adalah memberikan
kesempatan dan jalan pada air hujan yang jatuh di atap atau lahan yang kedap air
untuk meresap ke dalam tanah dengan jalan menampung air tersebut pada suatu
sistem resapan yang dikenal dengan sumur resapan. Sumur resapan ini merupakan
sumur kosong dengan kapasitas tampungan yang cukup besar sebelum air
141
meresap kedalam tanah. Dengan adanya tampungan, maka air hujan akan
mempunyai waktu yang cukup untuk meresap kedalam tanah, sehingga pengisian
tanah menjadi optimal. Berdasarkan konsep tersebut, maka ukuran atau dimensi
sumur yang diperlukan untuk suatu lahan/kapling sangan tergantung pada
beberapa faktor yaitu luas permukaan penutupan, karakteristik hujan, koefisien
permeabilitas tanah dan tinggi muka air tanah. Ada beberapa metode yang dapat
digunakan untu mendesain sumur resapan diantaranya metode Sunjoto dan
metode PU.
Sunjoto (1998, dalam Suripin, 2004) mengemukakan bahwa volume dan
efisiensi sumur resapan dapat dihitung berdasarkan keseimbangan air yang masuk
ke dalam sumur dan air yang meresap ke dalam tanah, dan dapat dituliskan
dengan:
(1)
dengan: H=tinggi muka air dalam sumur (m), F=faktor geometrik (m),
Q=debit air masuk (m3/det), T=waktu pengaliran (detik), K=koefisien
permeabilitas tanah (m/det) dan R=jari-jari sumur (m).
Departemen Pekerjaan Umum (Hindarko, 2002) telah menyusun standar tata
cara perencanaan teknis sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan. Metode
PU menyatakan bahwa dimensi atau jumlah sumur resapan air hujan yang
diperlukan pada suatu lahan pekarangan ditentukan oleh curah hujan maksimum,
permeabilitas tanah dan luas bidang tanah, yang dirumuskan sebagai berikut:
(2)
Berdasarkan mekanisme pengaliran dari atap, sumur resapan dibedakan
menjadi 2 bagian yakni sumur resapan pada rumah bertalang dan rumah tidak
bertalang. Sumur resapan pada bangunan bertalang dan ada/tanpa saluran
pelimpah air hujang yang dari talang dimasukkan ke saluran keliling bangunan
pada ujungnya diberi koral sehingga kotoran tidak masuk ke sumur resapan lalu
airnya dimasukkan kesumur resapan. Fungsi saluran pelimpah adalah apabila
sumur resapan penuh maka air akan mengalir kesaluran pelimpah. Sedangkan
2
1 R
FKT
eFK
QH
PKDA
AKDAIDH
s
st
142
Berdasarkan jenis bahan/material yang digunakan sumur resapan dapat dibedakan
menjadi sumur resapan pasangan batu bata, buis beton dan batu kali.
Sumur Resapan Buis Beton Berlubang
Secara tradisional buis beton banyak digunakan untuk sumur resapan air
hujan di sekitar permukiman. Bahan ini banyak digunakan karena dianggap
praktis sehingga tidak banyak menemukan kesulitan saat instalasi di lapangan.
Dengan menggunakan jenis konstruksi ini penggalian tanah sebagai tempat buis
beton dapat dilakukan secara bersama-sama dengan instalasi buis beton, sehingga
kemungkinan terjadinya longsoran pada sisi sumur dapat dihindari (Tunas, I.G.,
dan Tanga, A., 2010). Namun disamping, kemudahan instalasi tersebut,
berdasarkan beberapa pengamatan dilapangan ternyata kinerja sumur resapan ini
relatif kurang efektif untuk meresapkan air hujan. Sisi kedap buis beton ini
menyebabkan air hujan yang masuk ke dalam sumur tidak dapat meresap secara
horisontal dan hanya meresap secara vertikal. Bahkan pada beberapa kasus,
kapasitasnya sering terlampaui lebih awal dari lama hujan.
Sebagai antisipasi dari kelemahan ini, dengan tidak mengurangi tingkat
kepraktisan di lapangan, dimunculkan konsep sumur resapan dengan
menggunakan bahan yang sama (buis beton) tetapi pada semua sisi diberi lubang
pada saat proses pencetakan. Lubang-lubang ditentukan dan diatur sedemikian
rupa pada seluruh sisi buis beton sehingga tidak mengurangi kekuatan sumur
dalam menahan beban vertikal berupa plat penutup dan urugan tanah pada sisi
atas, dan beban horisontal berupa tekanan tanah lateral yang bekerja pada seluruh
sisi sumur. Pada saat proses pencetakan lubang-lubang sumuran ini di buat dengan
menggunakan pipa PVC berukuran 3 inchi.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini bertempat kawasan permukiman di Kelurahan
Birobuli Selatan dan Kelurahan Petobo Kota Palu. Adapun tahapan yang diambil
untuk menyelesaikan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tahap Pengumpulan Data dan Penyiapan Gambar Kerja
143
Pada tahap ini data yang akan dikumpulkan untuk penelitian adalah primer
berupa sampel tanah yang diambil pada beberapa titik menggunakan hand boring
untuk mengetahui angka permeabilitas tanah sebagimana diperlihatkan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Posisi pengambilan sampel tanah
Data lain adalah berupa data sekunder berupa data curah hujan untuk
mengetahui hujan tahunan yang terjadi di Kota Palu. Demikian pula pad tahap ini
dilakukan penyiapan gambar kerja/desain untuk pembuatan alat cetakan buis
beton berlubang.
Gambar 2. Gambar desain buis beton berlubang
2. Tahap Desain, Pengujian Model dan Pembuatan Alat Cetakan
Jalan
Kapling 1 Kapling 2 Kapling 3
Ja
lan
Kapling 4 Kapling 5 Kapling 6
Ja
lan
Jalan
Titik 1 Titik 2 Titik 3
Titik 4 Titik 5 Titik 6
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIOANAL
UNIVERSITAS TADULAKO LEMBAGA PENGABDIAN PADA MASYARAKAT
Kampus Bumi Tadulako Tondo Telp. 0451-429574
PROGRAM IbM
Ipteks bagi Masyarakat (IbM) Perumahan Petobo Permai
Untuk Mengatasi Genangan Air Hujan
PELAKSANA KEGIATAN
G. Tunas, S.T., M.T. Ir. Arody Tanga. MT
NAMA GAMBAR
SKALA GAMBAR
NOMOR DAN JUMLAH LEMBAR
Tampak dan Potongan Buis Beton Berlubang
1 : 10
01/03
TAMPAK DEPAN/SAMPING SKALA 1:10
1.00 m
0.80 m
Lubang Peresapan D8 cm
0.20 m
0.20m
0.20 m
0.20 m
0.35 m 0.35 m 0.15 m 0.15 m
144
Model sumur resapan buis beton berlubang dibuat dari pipa PVC
berdiameter 3 inch atau setara dengan diameter 7.5 cm dengan panjang 50 cm.
Model sumur yang dibuat di bedakan menjadi 3 macam yakni model sumur
konvensional, model sumur berlubang dan model sumur berlubang dengan tutup
dibawahnya. Jenis pertama dimaksudkan untuk mengetahui kinerja peresapan
sumur tanpa lubang di bagian dinding, jenis kedua dimaksudkan untuk
mengetahui kinerja peresapan lubang dikombinasikan dengan peresapan bagian
bawah, sedangkan jenis ketiga dimaksudkan untuk mengetahui kinerja peresapan
sumur khusus pada bagian lubang.
Gambar 3. Model buis (sumuran) konvensional, berlubang dan berlubang dengan tutup
bawah (a) dan alat cetakan buis beton berlubang (b)
Pembuatan model dilakukan dengan penyekalaan model, artinya model
sumur yang dibuat beserta ukuran dan posisinya sebanding dengan ukuran sumur
(buis) yang sebenarnya. Hal ini juga berarti bahwa dimensi dan posisi lubang pada
model proporsional dengan sumur (buis) yang akan dibuat. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari terjadinya penyimpangan hasil peresapan aliran antara debit
yang diinput pada model dengan debit yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Ketiga model ditunjukkan pada Gambar 3a. Setelah model selesai dibuat,
selanjutnya dilakukan pengujian model dan pembuatan alat cetakan. Bahan
pencetakan buis beton berlubang dibuat dari dari kayu Palapi (salah satu kayu
kelas kuat dan awet I-II di Sulawesi Tengah), dengan ukuran tinggi 80 cm,
diameter luar 1 m dan tebal 8 cm seperti terlihat pada Gambar 3b.
145
3. Tahap Pencetakan dan Pemasangan Buis Beton Berlubang
Pencetakan buis beton menggunakan bahan/material semen portland
(Semen Tonasa), kerikil dan pasir, dengan tulangan. Perbandingan campuran
adalah 1:2:3 menggunakan tulangan D8 (diameter 8 mm). Hasil cetakan buis
beton diperlihatkan pada Gambar 4a. Selanjutnya Pemasangan buis (Gambar
4b) dilakukan di lokasi pengambilan sampel tanah. Buis yang dipasang di susun
sebanyak 3 (tiga) buah sesuai kebutuhan kedalaman, sehingga kedalaman
penggalian tanah 1.6 m. Teknik pemasangan buis hampir sama dengan
pemasangan sumur dangkal untuk air bersih. Sedikit perbedaan yang dilakukan
adalah pemberian lapisan ijuk pada setiap pertemuan lubang dengan tanah, untuk
menghindari tanah pada dinding masuk ke dalam sumur melalui lubang. Demikian
pula pada bagian bawah diberi lapisan kerikil sebagai pembatas bidang kontak
antara air dan tanah. Pada bagian atas sumuran, di beri lapisan penutup untuk
memberikan perlindungan terhadap kenyamanan dan keindahan pemilik rumah.
Gambar 4. Hasil cetakan buis beton berlubang (a) dan pemasangan buis
di permukiman (b)
4. Tahap Analisis
Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap efektifitas lubang terhadap
infiltrasi aliran kedalam tanah. Hasil analisis ini juga dibandingkan terhadap hasil
pengujian terhadap kinerja peresapan tanpa menggunakan lubang pada sisi-sisi
sumuran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
146
Permeabilitas Tanah
Pengambilan sampel dan uji mekanika tanah dimaksudkan untuk mengatahui
tingkat kelulusan air pada lokasi dimana buis beton berlubang akan diterapkan, sehingga
pengaruh porositas tanah dapat diketahui. Berdasarkan sampel tanah yang diambil dengan
alat ukur bor, dan diuji di laboratorium menunjukkan bahwa tingkat kelulusan air sebesar
0,00282 cm/dtk, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Sampel tanah yang diambil
berjumlah 6 sampel dengan jarak minimal 30 m. Maing-masing kapling perumahan di
ambil 1 sampel.
Tabel 1. Sampel uji permebilitas (konstan head) sampel tanah
Dimensi Contoh :
Diameter = 6,2 cm, Luas = 30,175 cm² , Tinggi (h) = 1 cm
No.
sampel
Waktu (t)
detik
Volume air (Q)
Cc
Temperatur (T)
C°
1 180 195.00 28
2 180 192.00 28
3 180 189.00 28
4 180 189.50 28
5 180 179.00 28
6 180 178.00 28
Rata-rata 187,08
Pengujian Sumur Resapan
Pengujian model sumur yang dimaksudkan untuk mengetahui efektifitas
lubang pada dinding buis peresapan, berdasarkan angka parameter porositas tanah
yang telah didapatkan. Uji ini dilakukan dengan menggunakan debit aliran sebesar
0.15 liter perdetik, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4
yang dilakukan pada Kapling (titik) 1, 2 dan 6
Tabel 2. Hasil uji model sumur pada Titik 1
No.
Sumur
Debit
(liter/detik)
Lama pengisian
sumur penuh
(menit)
Lama
pengosongan
(menit) Keterangan
1 0.15 5.60 6.10 Tanpa lubang
2 0.15 12.40 3.20 Berlubang
3 0.15 6.15
6.35
Berlubang dengan
tutup bawah
147
Penentuan debit 0.15 liter per detik dilakukan bedasarkan penyekalaan debit
akibat hujan rancangan dengan periode ulang 1 tahun. Artinya bahwa pedoman
pengujian dilakukan berdasarkan debit akibat hujan tahunan. Transformasi hujan
menjadi debit dilakukan dengan Metode Rasional.
Pengujian dilakukan pada saat musim kemarau, dimana kadar dan muka air
tanah rendah. Pengaruah air tanah pada pengujian ini diabaikan, artinya bahwa
sumur ini akan bekerja dengan baik pada saat kadar air tanah belum mencapai titik
jenih. Berdasarkan data uji yang diperlihatkan pada Tabel 2 dapat dianalisis
bahwa terdapat pengaruh lubang terhadap kinerja peresapan sumur. Pengaruh
lubang berdasarkan hasil uji tersebut adalah sebesar 54.84 % (titik 1), 44.49 %
(titik 2) dan 46.32 % (titik 3). Apabila diambil nilai rata-rata ketiga titik tersebut,
pengaruh lubang terhadap pengisian sumur (pencapaian jenuh) adalah 48.55 %.
Tabel 3. Hasil uji model sumur pada Titik 2
No.
Sumur
Debit
(liter/detik)
Lama pengisian
sumur penuh
(menit)
Lama
pengosongan
(menit) Keterangan
1 0.15 6.30 7.25 Tanpa lubang
2 0.15 11.35 4.30 Berlubang
3 0.15 8.55
8.15
Berlubang dengan
tutup bawah
Tabel 4. Hasil uji model sumur pada Titik 6
No.
Sumur
Debit
(liter/detik)
Lama pengisian
sumur penuh
(menit)
Lama
pengosongan
(menit) Keterangan
1 0.15 6.20 6.90 Tanpa lubang
2 0.15 11.55 4.50 Berlubang
3 0.15 7.45
7.55
Berlubang dengan
tutup bawah
148
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengujian lapangan maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut ini :
1) Kondisi tanah di tempat pengujian memiliki angka permeabilitan
kategori sedang, mencapai 0.00282 cm/det.
2) Buis beton berlubang yang diuji sebagai sumur resapan air hujan,
berdasarkan hasil uji lapangan memberikan efisiensi peresapan 48.55 %
dibandingkan dengan buis beton konvensional dengan debit dan kedalaman
yang sama.
3) Buis beton berlubang dapat dijadikan sebagai alternatif sumur resapan air
hujan.
Saran
Beberapa hal yang dapat disarankan untuk menyempurnakan penelitian ini
adalah perlunya dilakukan variasi debit dan melakukan pengujian pada lokasi lain
dengan jenis tanah yang berbeda.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini
melalui Hibah Program IbM.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C., 2002, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Bear, J., 1979, Hydraulics of Groundwater, McGraw-Hill, New York.
Hindarko, 2002, Drainase Kawasan Daerah, Esha, Jakarta.
Hindarko, 2002, Manfaatkan Air Tanah Tanpa Merusak Kelestariannya, Esha,
Jakarta.
http://bplhd.jakarta.go.id/sumur_resapan
149
Kusnadi, 2003, Teknologi Sumur Resapan, Andi Offset, Yogyakarta.
Sudjarwadi., 1988, Teknik Sumberdaya Air, KMTS UGM, Yogyakarta.
Suripin, 2002, Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air, Andi Offset, Yogyakara
Tunas, I.G., dan Tanga, A., 2010, Laporan Program IBM Perumahan Petobo
Permai Dalam Mengugangi Genangan Air Hujan, LPM UNTAD, Palu.
150
PERENCANAAN PONDASI DANGKAL DAN PONDASI TIANG BOR
DENGAN METODE ANALITIS DAN METODE ELEMEN HINGGA
Astri Rahayu¹, Dini Afrianti²
Universitas Tadulako, Fakultas Teknik, Jurusan Sipil
Email : [email protected]
ABSTRAK
Di era Globalisasi ini dan menjelang keterbukaan Ekonomi Asean, bangsa
Indonesia harus mengejar ketertinggalannya dibanding bangsa lainnya dengan
membangun infrastruktur. Bangunan sipil yang ada seharusnya memiliki pondasi
yang kuat dan kokoh. Perhitungan pondasi yang ada selama ini berdasarkan
metode analitis yang didasarkan Daya Dukung Tanah dari Terzaghi. Analisa
kapasitas daya dukung pondasi dangkal dan dalam dapat dikontrol dengan
menggunakan metode elemen hingga untuk mempercepat perhitungan.
Tulisan ini bertujuan untuk membandingkan perhitungan analitis dan
metode elemen hingga pada pondasi dangkal dan dalam. Perhitungan pondasi
dangkal dengan studi kasus Pembangunan Gedung Bakorluh P2K Provinsi
Sulawesi Tengah yang terdiri dari 2 lantai menggunakan pondasi telapak
berbentuk bujur sangkar dengan dimensi 1,5 x 1,5 m dan kedalaman 2,2 m.
Perhitungan pondasi dalam dengan studi kasus Hotel Coco Best Western Palu
terdiri dari 10 lantai, menggunakan pondasi tiang bor D = 0,4 m dengan
kedalaman 18 m, dimana dilapangan menggunakan pondasi tiang pancang.
Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan dengan metode Terzaghi diperoleh
nilai kapasitas daya dukung pondasi telapak, qult = 1632,125 kN/m2, yang
ditujukan untuk menahan beban titik di atasnya, P = 139,819 kN. Hasil
perhitungan penurunan menggunakan menggunakan data (segera) memiliki
nilai penurunan maksimum sebesar 4,50 mm. Berdasarkan analisa menggunakan
Plaxis v. 8.2, penurunan pondasi telapak adalah 24,57 mm dan 24,18 mm pada
kolom A dan B.
Berdasarkan analisa menggunakan Plaxis v. 8.2, pondasi tiang bor tunggal
tidak dapat mendukung beban sebesar P =6526,018 kN sehingga harus digunakan
kelompok tiang bor sebanyak 9 hingga 10 buah, dimana Σ MSF = 8,3 beban P =
700 kN. Jika Faktor keamanaan antara 2,5 hingga 3 maka Kapasitas daya dukung
tanah akan lebih besar.
Kata kunci: Pondasi telapak, Pondasi tiang bor, Plaxis v. 8.2, Kapasitas daya dukung,
Penurunan.
151
PLANNING SPREAD FOUNDATIONS AND BORE PILE WITH
ANALYTICAL METHOD AND FINITE ELEMENT METHOD.
Astri Rahayu¹, Dini Afrianti²
Tadulako University, Teknik Faculty, Civil Departement
Email : [email protected]
ABSTRACT
In this era of globalization and openness towards the Asean Economic, Indonesian
people have to catch up compared to other nations by building infrastructure.
Existing civil buildings should have a strong and solid foundation. Calculations
exist for this foundation is based on analytical methods that are based on Terzaghi
Bearing Capacity. Analysis of bearing capacity of shallow and deep foundations
can be controlled by using the finite element method to accelerate the
computation.
This paper aims to compare the analytical calculations and finite element
method in shallow and deep foundations. Calculation of shallow foundation with
case studies Building Construction Bakorluh P2K Central Sulawesi province
consisting of 2 floors using square foundation with dimensions of 1.5 x 1.5 m and
a depth of 2.2 m. Calculation of deep foundation with case studies Hotel Best
Western Coco Palu consisted of 10 floors, using bored pile foundation D = 0.4 m
with a depth of 18 m, where in the real location using bore pile foundation.
Based on the analysis conducted by the method of Terzaghi bearing capacity
values obtained square foundation, qult = 1632.125 kN/m2, which is intended to
support point load on it, P = 139.819 kN. Calculations result of immediatelly
settlement using the data reduction using μ is 4.50 mm. Based on analysis using
Plaxis v. 8.2, deformation in the square foundation is 24.57 mm and 24.18 mm
for columns A and B.
Based on analysis using Plaxis v. 8.2, a single bored pile foundation can not
support the load of P = 6526.018 kN so bored pile group should be used as much
as 9 to 10 pieces, where MSF Σ = 8.3 P = 700 kN load. If safety factor between
2.5 to 3 then the bearing capacity will be greater. Keywords: square foundation, bore pile foundation, Plaxis v. 8.2, bearing capacity, settlement.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di era Globalisasi ini dan menjelang keterbukaan Ekonomi Asean, bangsa
Indonesia harus mengejar ketertinggalannya dibanding bangsa lainnya dengan
membangun infrastruktur. Bangunan teknik sipil meliputi dua bagian utama yaitu
struktur atas (upper structure) dan struktur bawah (sub structure) . Struktur atas
didukung oleh struktur bawah sebagai pondasi yang berinteraksi dengan tanah
152
untuk menghasilkan kapasitas dukung yang mampu memikul dan memberikan
keamanan pada struktur bagian atas. Struktur bawah sebagai pondasi secara umum
dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pondasi dangkal dan pondasi dalam.
Perhitungan pondasi dangkal yang ada selama ini berdasarkan metode
analitis yang didasarkan Daya Dukung Tanah dari Terzaghi. Analisa kapasitas
daya dukung pondasi dangkal dan dalam dapat dikontrol dengan menggunakan
metode finite elemen untuk mempercepat perhitungan.
Pemilihan jenis pondasi tergantung kepada jenis struktur atas, apakah
termasuk konstruksi beban ringan atau beban berat dan juga jenis tanahnya. Untuk
konstruksi beban ringan dan kondisi lapisan permukaan yang cukup baik,
biasanya jenis pondasi dangkal sudah cukup memadai. Tetapi untuk konstruksi
beban berat (high-rise building) biasanya jenis pondasi dalam adalah menjadi
pilihan. Tanah dasar yang baik dan stabil merupakan syarat bagi kemampuan
konstruksi dalam memikul beban. Apabila lapisan tanah pendukung keras, maka
daya dukung tanah tersebut cukup kuat untuk menahan beban yang ada.
Sebagai obyek penelitian adalah Gedung Badan Koordinasi Penyuluhan
Pertanian Perikanan dan Kehutanan (Bakorluh P2K) di Dinas Perkebunan
Provinsi Sulawesi Tengah sebanyak 2 lantai untuk pondasi dangkal, dan Hotel
Coco Best Western sebanyak 10 lantai untuk pondasi dalam. Penyelidikan tanah
dilakukan dengan menggunakan metode statis yaitu penyelidikan sondir yang
bertujuan untuk mengetahui perlawanan penetrasi konus dan hambatan lekat yang
merupakan indikasi dari kekuatan daya dukung lapisan dengan menggunakan
rumus empiris.
Pada penelitian ini perhitungan kapasitas daya dukung yang digunakan
adalah metode Terzaghi dan metode elemen hingga menggunakan program
Plaxis. Dari studi ini akan diperoleh nilai keamanan sehingga dapat diketahui
seberapa jauh perbedaan antara hasil kapasitas daya dukung pondasi berdasarkan
hasil perhitungan beberapa metode.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi
permasalahan pada studi ini yaitu mengenai:
1. Bagaimana kapasitas daya dukung pondasi dangkal dan pondasi dalam?
153
2. Seberapa besar penurunan yang terjadi pada pondasi?
Batasan Masalah
Uji sifat tanah berdasarkan data tanah yang diperoleh dari hasil penyelidikan
tanah di lapangan.
1. Perhitungan pembebanan menggunakan SAP 2000 v.14
2. Metode Terzaghi
3. Metode numeris, dimana didasarkan pada metode elemen hingga dengan
menggunakan program Plaxis v. 8.2.
4. Penurunan diperhitungkan menggunakan perhitungan penurunan data
(segera).
Tujuan dan Manfaat Penelitian
A. Tujuan
1. Menghitung dan menganalisa kembali besarnya daya dukung pondasi
berdasarkan rumus empiris dari metode Terzaghi dan metode elemen hingga
(finite element) menggunakan program Plaxis yang didasarkan pada data
CPT (sondir).
2. Menghitung besarnya penurunan (settlement) yang terjadi dengan
menggunakan rumus empiris dan program Plaxis.
TINJAUAN PUSTAKA
Pondasi
Pondasi terbagi atas pondasi dangkal dan pondasi dalam, pondasi dangkal
didefinisikan sebagai pondasi yang mendukung bebannya secara langsung, seperti
pondasi telapak, pondasi memanjang dan pondasi rakit. Pondasi dalam
didefinisikan sebagai pondasi yang meneruskan beban bangunan ke tanah keras
atau batuan yang terletak relatif jauh dari permukaan, contohnya pondasi sumuran
dan pondasi tiang, (Hardiyatmo, 2002).
Stabilitas pondasi ditentukan oleh beberapa faktor :
1. Kapasitas daya dukung tanah (bearing capacity)
Daya dukung tanah ini sangat dipengaruhi oleh :
154
a) Jenis pondasi yang meliputi bentuk, dimensi, dan kedalaman.
b) Sifat tanah dimana pondasi tersebut diletakkan.
2. Penurunan (settlement)
a) Penurunan seketika (immediate settlement) diakibatkan oleh elastisitas
tanah.
b) Penurunan konsolidasi (consolidation settlement) diakibatkan oleh
peristiwa konsolidasi atau keluarnya air dari ruang pori partikel tanah.
Daya Dukung Tanah
Daya dukung tanah (bearing capacity) adalah kemampuan tanah untuk
mendukung beban baik dari segi struktur pondasi maupun bangunan di atasnya
tanpa terjadinya keruntuhan geser. Daya dukung menyatakan tahanan geser tanah
untuk melawan penurunan akibat pembebanan, yaitu tahanan geser yang dapat
dikerahkan oleh tanah di sepanjang bidang gesernya.
Daya dukung dipengaruhi oleh nilai kuat geser tanah, dimana hal ini
dipengaruhi oleh nilai kohesi dan sudut geser tanah. Nilai kohesi (c) diperoleh dari
besarnya gaya tarik menarik antara butiran tanah, sedangkan daya tahan terhadap
pergeseran antar partikel tanah disebut sudut geser tanah ( ). Analisa daya
dukung tanah diperlukan untuk mempelajari kemampuan tanah dalam mendukung
beban pondasi struktur yang terletak di atasnya.
Metode Analisa Kapasitas Daya Dukung
Analisa Terzaghi yang merupakan perkembangan dari analisis daya dukung
Prandtl dalam Hardiyatmo (2002) untuk bentuk pondasi bujur sangkar, sebagai
berikut :
qult = 1.3 cNc + Df Nq + 0,4 B ....... (2.1)
dimana :
qult = kapasitas daya dukung ultimit (kN/m2)
c = kohesi (kN/m2)
Df = kedalaman pondasi (m)
= berat volume tanah (m)
B = lebar atau diameter pondasi (m)
155
L = panjang pondasi (m)
Nc, Nq, = faktor daya dukung Terzaghi
. Df = po = tekanan overburden (tekanan vertikal pada dasar pondasi)
= bila terdapat beban merata (qo) maka menjadi ( . Df +
qo) = (po + qo)
Pondasi harus memenuhi dua persyaratan dasar, yaitu :
1. Faktor aman (Fs) terhadap keruntuhan geser dari tanah pendukung harus
memadai, biasanya yang sering dipakai adalah 3.
2. Penurunan pondasi dapat terjadi dalam batas toleransi dan penurunan
sebagian tidak boleh menyebabkan kerusakan serius atau mempengaruhi
fungsi struktur.
Daya dukung izin didefinisikan sebagai tekanan maksimum yang boleh
dikerjakan pada tanah sedemikian rupa sehingga kedua kebutuhan dasar di atas
terpenuhi.
Kapasitas daya dukung untuk pondasi tiang bor ditinjau dari cara
mendukung beban dibedakan menjadi 2 (dua) macam (Hardiyatmo 2002), yaitu
tiang dukung ujung (end bearing pile) dimana tiang dipancang hingga mencapai
tanah keras dan tiang gesek (friction pile) dimana kapasitas dukungnya lebih
ditentukan oleh perlawanan gesek antara dinding tiang dan tanah disekitarnya.
Kapasitas daya dukung tiang bor dapat dihitung dengan beberapa metode
antara lain, Kapasitas daya dukung dari data sondir, Kapasitas daya dukung dari
data parameter tanah ( ɤ dan c ) dan dari hasil N SPT.
Penentuan Daya Dukung Izin
Daya dukung tanah atau pondasi dibedakan menjadi daya dukung ultimit,
qu, dan daya dukung izin, qall, dimana qult merupakan daya dukung ultimit atau
maksimum sedangkan qall merupakan batasan tegangan atau beban yang diizinkan
bekerja pada tanah atau pondasi yang ditinjau. Persamaan yang dipergunakan
dalam perhitungan daya dukung izin:
....... (2.2)
156
Setelah dilakukan perhitungan daya dukung izin tersebut, langkah
selanjutnya ialah melakukan desain pondasi sehingga nilai daya dukung netto
harus lebih kecil daripada nilai daya dukung izin (q ≤ ).
Penurunan Segera (immediate settlement)
Penurunan segera atau penurunan elastik adalah penurunan yang terjadi
akibat dari deformasi elastik tanah kering, basah atau jenuh air tanpa adanya
perubahan kadar air dalam tanah. Penurunan ini biasanya langsung terjadi setelah
pembebanan dilaksanakan dan perhitungan penurunannya didasarkan pada teori
elastisitas.
..... (2.3)
dengan :
Si = penurunan segera (m)
q = tekanan pada dasar pondasi (kN/m2)
= angka poison
= modulus elastik (kN/m2 )
Ip = faktor pengaruh
L dan B adalah panjang dan lebar pondasi.
Pembebanan
Komponen dari sebuah struktur harus direncanakan untuk menahan beban
yang bekerja padanya tanpa mengalami tegangan dan deformasi yang berlebihan.
Pada struktur gedung beban-beban yang diperhitungkan adalah beban mati, beban
hidup dan beban akibat gempa.
Sulawesi Tengah merupakan wilayah gempa-4 pada pembagian wilayah
untuk Indonesia. Beban yang bekerja pada konstruksi pondasi dibedakan atas
beban vertikal dan beban horizontal.
Metode Elemen Hingga (Finite Element Method)
Metode elemen hingga adalah cara pendekatan solusi analitis struktur secara
numerik dan struktur kontinum dengan derajat kebebasan tak terhingga
157
disederhanakan dengan diskretisasi kontinum ke dalam elemen-elemen kecil yang
umumnya memiliki geometri lebih sederhana dengan derajat kebebasan tertentu
(berhingga), sehingga lebih mudah dianalsis. Ketelitian perhitungan menggunakan
Finite Element Method (FEM), tergantung pada banyaknya nodal pada elemen,
dengan kata lain semakin banyak nodal maka perhitungan menjadi lebih teliti.
Gambar 1. Elemen hingga versi 2D pada umumnya
(Sumber: Potts Dan Zdravković, 1999)
Program Plaxis
Plaxis merupakan suatu paket program finite element yang khusus
digunakan untuk menghitung deformasi tanah pada konstruksi geoteknik. Analisa
deformasi tanah dasar di bawah pondasi telapak dan tiang bor dapat dilakukan
secara numeris dengan menggunakan software Plaxis versi 8.2. Plaxis merupakan
software yang berdasar pada metode elemen hingga dan merupakan kependekan
dari plane strain dan axi-symmetry (Brinkgreve dan Vermeer, 1998).
Plaxis memberikan beberapa pilihan model konstitutif dalam memecahkan
masalah, yaitu : Mohr-Coulomb model, Hardening Soil model, Soft Soil model dan
Soft Soil Creep model. Adapun program Plaxis yang digunakan untuk analisis
kasus ini adalah versi 8.2 dengan meninjau pada kondisi axi-symmetry dan
menggunakan pemodelan Mohr-Coulomb. Model Mohr-Colomb dipengaruhi oleh
lima parameter tanah yaitu parameter E dan υ mewakili elastisitas tanah, φ dan c
mewakili plastisitas tanah dan ψ sebagai sudut dilatancy.
Nilai kohesi c dan sudut gesek dalam diperoleh dari uji geser seperti uji
triaxial atau diperoleh dari hubungan empiris berdasarkan data uji lapangan.
Metode Penelitian
158
Perhitungan kapasitas daya dukung tanah pada pondasi telapak dan pondasi
tiang bor yang biasanya dihitung dengan metode analitis dapat dikontrol dengan
metode elemen hingga. Pada metode elemen hingga, beban (load) dari bangunan
atas (upper structure) disalurkan melalui pondasi ke tanah disekitarnya.
Kemampuan tanah mendukung beban diatasnya dibuat dalam berbagai pemodelan
tanah, salah satunya adalah model Mohr- Coulomb.
Pada penelitian ini diambil kasus pondasi dangkal pada gedung Bakorluh
Sulawesi Tengah dan pondasi tiang bor pada hotel Coco Best Western Palu.
Pondasi tiang bor tidak dihitung secara analitis akan tetapi langsung diuji
kapasitas dukung dengan elemen hingga.
Tahapan perencanaan
Setelah semua data-data yang dibutuhkan telah lengkap maka selanjutnya ke
proses perhitungan pondasi. Langkah-langkah dalam perhitungan pondasi telapak
adalah sebagai berikut :
1. Menghitung kapasitas daya dukung pondasi
Dalam perhitungan kapasitas daya dukung pondasi, metode yang digunakan
untuk pondasi telapak bujur sangkar dirumuskan:
Analisa Terzaghi (pers. 2.1)
qult = 1.3 cNc + Df Nq + 0,4 B
2. Menghitung tekanan tanah yang terjadi
qytd = P / Luas pondasi
dimana : qytd = Daya dukung tanah yang terjadi (kN/m2)
P = Beban ultimit (kN)
3. Menghitung faktor keamanan
FS = qult / qytd
Faktor aman (FS) terhadap keruntuhan geser dari tanah pendukung harus
memadai, sehingga FS ≥ 3.
4. Menghitung penurunan pondasi
a. Plaxis versi 8
Langkah-langkah analisa pondasi telapak dan pondasi tiang bor
menggunakan Plaxis v. 8.2:
159
1 m
4 m
4 m
18 m
Penggambaran pondasi
Penentuan material perencanaan
Generate mesh
Tentukan kondisi muka air tanah
Plaxis calculation
Plaxis output
Penurunan Pada Pondasi Telapak
a. Penurunan segera (immediate settlement), si
Dimana: Poisson ratio ( ) = 0,20
Modulus Elastisitas (Es) = 20000 kN/m2
Faktor pengaruh (Ip) = 0,82
Dimensi pondasi (B) = 1,5 m
Tekanan pondasi netto (qn) qn = q – (Df )
Analisa Pondasi Menggunakan Plaxis v. 8.2
a. Gambar potongan 2D dari kasus perencanaan
Pada dasarnya penggambaran potongan 2D dari kasus perencanaan
menggunakan Plaxis v. 8.2, menggunakan sistem koordinat xy. Adapun ukuran
mesh yang digunakan dalam analisa pondasi telapak adalah ukuran mesh kasar
(coarse).. Untuk menggambar potongan 2D kasus, gunakan ikon perintah ―line‖
untuk menentukan batasan-batasan (cluster) material, sedangkan untuk asumsi
penggambaran struktur seperti pondasi digunakan ikon perintah ―plate‖.
-139,819 kN -6525,02 kN
160
Gambar 2. Pemodelan perencanaan untuk pondasi pada Plaxis v. 8.2
(Sumber: Plaxis v. 8.2)
Untuk penggambaran beban aksial yang berupa beban titik digunakan ikon
perintah ―Point load – load system A‖, , setelah ikon dipilih, kotak dialog ini
akan diperoleh. Langkah selanjutnya adalah memasukan nilai beban aksial yang
bekerja yaitu sebesar -6525,02 kN untuk tiang bor dan -139,819 kN untuk telapak
yang pada Plaxis akan dibulatkan secara otomatis.
b. Tentukan material yang ada pada perencanaan
Untuk menentukan material digunakan ikon perintah ―Material Sets‖,
Gambar 3. Material set
(Sumber: Plaxis v. 8.2)
Gambar 4. Material set untuk Lempung Berlanau, CL (Parameters)
(Sumber: Plaxis v. 8.2)
Untuk parameter elastisitas yaitu Modulus Elastisitas (E) dan Angka
Poisson ( ) dimasukan sesuai dengan data yang ada, begitu juga dengan
parameter kuat geser, kohesi (c) dan sudut gesek ( ), untuk input data kohesi
tanah untuk satu profil Pasir, SW, diambil nilai c = 0,0001 kN/m2. Sementara nilai
Pilihan asumsi penggambaran
material
Material-material untuk pilihan “Soil
& Interfaces”
161
modulus geser Gref dan Eoed dan nilai kecepatan Vs dan Vp akan dihitung secara
otomatis oleh Plaxis. Setelah pengaturan ini selesai, klik ikon ―Next‖.
Untuk menentukan karakteristik pondasi, click ikon ―Material Set‖, opsi
―plate‖ dipilih, kotak dialog seperti pada gambar 3.5 akan muncul, langkah
selanjutnya adalah memasukan data sesuai dengan data yang diperoleh. Berikut
adalah data input untuk struktur pondasi.
Gambar 5. Material set untuk pondasi
(Sumber: Plaxis v. 8.2)
Pada Gambar 5 juga terlihat nilai ―d‖ yang merupakan ekuivalensi ketebalan
balok, nilai ini secara otomatis dihitung oleh Plaxis. Nilai ini juga dapat dijadikan
nilai pengontrol jika input data dilakukan dengan benar. Nilai ―w‖ adalah ini berat
isi beton yang diambil sebesar 24 kN/m3
sedangkan ― ‖ adalah nilai angka
Poisson beton yang diambil 0,20.
Setelah semua pengaturan material yang digunakan dalam analisa selesai,
hal penting lainnya adalah membatasi daerah analisa. Hal ini dapat dilakukan
dengan opsi ―standard fixities‖ atau ikon, , dimana ikon ini berfungsi untuk
membuat daerah analisa tidak mengalami deformasi, baik secara vertikal maupun
horizontal. Untuk mengaplikasikan pondasi yang telah diset, double klik pada
―Plate‖ yang telah digambar.
c. Generate mesh
Untuk men-generate mesh, klik ikon . Dalam analisa pondasi telapak dan
tiang bor, digunakan tingkat mesh kasar (course) dengan 15 nodal dalam setiap
meshnya.
162
1 m
4 m
4 m
Gambar 6. Mesh pada material tanah
d. Tentukan kondisi MAT
Setelah proses mesh generation selesai, klik ikon untuk
menentukan kondisi muka air tanah (MAT). Setelah itu untuk meletakkan muka
air tanah klik ikon ―phreatic level‖, , dimana pengaturan muka air tanah
dilakukan dengan cara yang sama dengan cara menggambar cluster. Langkah
berikutnya adalah membangkitkan tekanan air yang dapat dilakukan dengan ikon
―generate water pressure‖, . Setelah itu klik ikon ―initial pore pressure‖, ,
untuk opsi analisa dimana terdapat muka air tanah pada analisa.
Langkah berikutnya adalah membangkitkan tekanan awal yang dapat
dilakukan dengan mengklik ikon, , dan setelah itu klik ikon, , maka akan
diperoleh kotak dialog ―K0 procedure‖ dan nilai M-weight diisi dengan nilai 1
yang menandakan faktor pengali untuk material tanah. Setelah itu klik ikon ―OK‖.
e. Plaxis Calculation
Tahap perhitungan pada Plaxis hanya dapat ditempuh hanya apabila model
telah digambar dengan benar, mesh telah dibangkitkan dan tekanan air tanah telah
dibangkitkan.
1,5 m
(Sumber: Plaxis v. 8.2)
163
Gambar 7. Plaxis Calculation (General)
(Sumber: Plaxis v. 8.2)
Plaxis Calculation terdiri dari 4 tab utama yaitu General, Parameters,
Multipliers dan Preview. Tab General merupakan tab awal dimana dapat diberikan
penamaan fase (opsional), menentukan fase perhitungan dimulai dari fase mana
dan menentukan jenis perhitungan. Gambar 3.7 menunjukan pengaturan untuk
perhitungan ―struktur‖ . Setelah beban aksial dianalisa, dilakukan perhitungan
untuk menentukan faktor keamanan. Fasilitas yang digunakan adalah jenis
perhitungan Phi/c reduction. Setelah proses perhitungan selesai, fase-fase akan
diberi tanda, tanda centang berwarna hijau menandakan proses perhitungan
berhasil.
Gambar 8. Centang hijau yang menunjukan perhitungan yang berhasil
(Sumber: Plaxis v. 8.2).
Jenis-jenis perhitungan yang disediakan oleh
PLAXIS V 8.2
Click “Parameters” untuk tahap selanjutnya
Fase-fase perhitungan
Tanda centang berwarna hijau menandakan bahwa perhitungan
telah berhasil...!!
164
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perhitungan Kapasitas Daya Dukung Pondasi Telapak dengan
Menggunakan Parameter Kuat Geser Tanah
a. Ketahui tipe struktur dan beban ultimit (P)
Beban titik yang bekerja di atas pondasi merupakan beban dari atap, pelat
lantai dan balok, yang kemudian disalurkan ke kolom dan ke pondasi. Sehingga
untuk memperoleh nilai beban titik tersebut perlu dilakukan analisa pembebanan
dengan SAP 2000 terlebih dahulu.
Beban titik maksimum yaitu P = -139,819 kN untuk kolom B dan P = -
111,960 kN untuk kolom A pada gedung Bakorluh.
Beban titik maksimum pada hotel Coco Best Western P = -6526,081 kN.
Nilai maksimum ini selanjutnya akan digunakan sebagai acuan perhitungan
kapasitas daya dukung pondasi.
b. Ketahui kondisi tanah: sudut gesek ( ), kohesi (c), berat isi tanah
( ).
Pemodelan kasus perencanaan gedung Bakorluh sbb,
Gambar 9. Pemodelan perencanaan
Gedung Hotel Coco BW Palu, Profilisasi Tanah dianggap seragam dengan
dominasi Pasir berlanau ɤd =19 kN/m³ , Ø = 40˚, c = 0. Panjang Tiang bor = 18 m
D = 0,4 m. (Ponsedo L, 2013)
c. Hitung analisa daya dukung tanah
Analisa daya dukung tanah dengan menggunakan teori Terzaghi dengan
kedalaman muka air tanah 1,2 m di atas dasar pondasi. Kapasitas dukung ultimit
pada keruntuhan geser lokal: , dari tabel Ø -N diperoleh Nc = 25,18; Nq
= 12,75; = 8,35
165
Pondasi berbentuk bujur sangkar, maka: qult = 1.3 cNc + q Nq + 0,4 B ;
dimana: q = (Df – D) + D
1. Daya dukung ultimit pondasi
qult = 1.3 cNc + q Nq + 0,4 B
= 1,3 (37 x 25,18) + 29,066 x 12,75 + 0,4 (10,055 x 1,50 x 8,35)
= 1632,125 kN/m2
2. Hitung kapasitas pondasi (qytd)
qytd =
=
= 62,142 kN/m2
3. Gunakan faktor keamanan, FS = 3
Fs =
=
= 26,265
4. Periksa apakah FS ≥ 3
26,265 ≥ 3 aman
Sehingga disimpulkan bahwa pondasi telapak dengan dimensi, B = 1,5 m
dan kedalaman, Df = 2,2 m, yang ditempatkan pada tanah yang telah diprofilkan
sebelumnya, mampu menahan beban titik dari konstruksi bangunan atas.
d. Perhitungan Penurunan pada Pondasi Telapak
Perhitungan penurunan segera (immediate settlement), si
Dimana:
Poisson ratio ( ) = 0,20
Modulus Elastisitas (Es) = 20000 kN/m2
166
Faktor pengaruh (Ip) = 0,82
Dimensi pondasi (B) = 1,5 m
Tekanan pondasi netto (qn)
qn = q – (Df )
= 62,142 – (2,2 17)
= 24,742 kN/m2
Sehingga nilai si dapat dihitung:
= 0,00146 m = 1,461 mm
Dari hasil perhitungan penurunan segera diperoleh nilai penurunan masih
dalam batas kontrol penurunan rata-rata izin.
Tabel 1. Perhitungan daya dukung metode Terzaghi untuk kolom A dan B
Beban kolom A
c (kN/m2) ɣd (kN/m3) Nc Nq Nɣ lapisan 1 lapisan 2 P (kN/m)
B Df Df/B qult qytd
(m) (m) (kN/m2) (kN/m2) data sondir data μ
1.5 1.67 1697.150 49.760 34.107 14.978 0.429
1.2 2.5 2.08 1687.075 77.750 21.699 11.907 1.665
1.0 2.50 1680.358 111.960 15.009 11.274 2.734
1.5 1.47 1632.125 49.760 32.800 12.283 0.730
1.2 2.2 1.83 1622.050 77.750 20.862 10.505 1.906
1.0 2.20 1615.333 111.960 14.428 9.335 2.935
1.5 1 1480.400 49.760 29.751 9.335 1.432
1.2 1.5 1.25 1470.325 77.750 18.911 6.377 2.468
1.0 1.5 1463.608 111.960 13.073 5.125 3.403
Beban kolom B
c (kN/m2) ɣd (kN/m3) Nc Nq Nɣ lapisan 1 lapisan 2 P (kN/m)
B Df Df/B qult qytd
(m) (m) (kN/m2) (kN/m2) data sondir data μ
1.5 1.67 1697.150 62.142 27.311 19.048 1.160
1.2 2.5 2.08 1687.075 97.097 17.375 15.240 2.579
1.0 2.50 1680.358 139.819 12.018 14.449 3.830
1.5 1.47 1632.125 62.142 26.265 15.709 1.461
1.2 2.2 1.83 1622.050 97.097 16.706 13.487 2.820
1.0 2.20 1615.333 139.819 11.553 12.016 4.031
1.5 1 1480.400 62.142 23.823 12.016 2.163
1.2 1.5 1.25 1470.325 97.097 15.143 8.264 3.382
1.0 1.5 1463.608 139.819 10.468 6.661 4.500
139.819
Pondasi bujur sangkar
Keruntuhan geser lokal
37 12.75 8.3517
Parameter tanah
111.960
faktor daya dukung
25.18
qc (kN/m2)
3078.80 7696.41
3078.800 7696.410
penurunan (mm)
Fs
Pondasi bujur sangkar
penurunan (mm)
Fs
Parameter tanah
37 17 12.75 8.35
faktor daya dukung
25.18
qc (kN/m2)
167
Berdasarkan hasil perhitungan daya dukung pondasi telapak, dengan variasi
dimensi pondasi 1,0 - 1,5 m dan variasi kedalaman 1,5 - 2,5 m diperoleh nilai
faktor keamanan (Fs) yang memenuhi syarat dimana Fs > 3 untuk setiap tinjauan
beban kolom. Pada lokasi perencanaan, jenis pondasi yang digunakan adalah
pondasi telapak berbentuk bujur sangkar dengan dimensi B = 1,5 m dan
kedalaman 2,2 m.
Penggunaan pondasi telapak pada pembangunan Gedung Bakorluh P2K
Provinsi Sulawesi Tengah layak digunakan dengan lebar pondasi (B) = 1,5 m dan
kedalaman Df = 2,2 m dengan beban kolom B yang merupakan beban maksimum,
karena mampu menahan beban titik.
Analisa Pondasi Menggunakan Plaxis v. 8.2
a. Hasil analisis terhadap struktur pondasi
Simulasi hasil interaksi struktur terhadap tanah
(a) (b)
Gambar 10. Deformasi mesh pada Plaxis Output karena beban aksial
(Sumber: Plaxis v. 8.2)
Gambar 10. (a) menunjukan deformasi mesh yang terjadi karena instalasi
struktur pondasi telapak dan sloof yang diperuntukan untuk menahan beban titik,
P, akibat bangunan atas dimana pondasi telapak A menerima beban sebesar -
111,960 kN dan B menerima beban sebesar -139,819 kN pada kedalaman 2,2 m.
Dari tabel hasil analisa, penurunan yang terjadi pada nodal 1109 adalah
sebesar 24,57 mm dan pada nodal 1479 penurunan yang terjadi adalah sebesar
24,18 mm.
168
Gambar 11. Analisa perpindahan nodal nomor 1109 dan 1479
(Sumber: Plaxis v. 8.2)
Untuk mengetahui nilai pada masing-masing nomor nodal, klik ikon ―table‖
sehingga akan diperoleh data sebagai berikut:
Gambar 12. Tabel hasil analisa deformasi mesh nodal 1479
(Sumber: Plaxis v. 8.2)
Gambar di atas menunjukkan tabel hasil analisa deformasi mesh pada nodal
nomor 1479. Pada gambar di atas ditunjukkan secara detail letak koordinat nodal
nomor 1479 dan penurunan yang terjadi sebesar -24,18 mm.
Sedangkan pada perhitungan Pondasi tiang bor dengan beban P=-6526,018
kN tidak dapat dikalkulasi karena beban melebihi kemampuan daya dukung tanah.
Ketika beban dikurangi secara bertahap, pada beban P= -700,00 kN tanah dapat
mendukung dengan nilai ΣMSF = 8,3. Sehingga jika dihitung 6526,018 kN/700,00
kN = 9,3. Diperlukan kelompok tiang antara 9 – 10 buah untuk mendukung beban
tersebut. Dilapangan digunakan kelompok tiang pancang berjumlah 9.
24,57 mm 24,18 mm
-111,960 kN -139,819 kN Nodal
nomor 1109
Nodal
nomor 1479
169
KESIMPULAN
Sesuai dengan hasil penelitian, baik dengan menggunakan parameter kuat
geser tanah maupun dengan menggunakan perangkat lunak dengan dasar logika
elemen hingga, maka disimpulkan bahwa :
1. Hasil perhitungan daya dukung pondasi telapak pada pembangunan Gedung
Bakorluh P2K Provinsi Sulawesi Tengah dengan metode Terzaghi untuk
lebar pondasi B =1,5 m dan kedalaman Df = 2,2 m sebesar 1632,125 kN/m2
mampu menahan beban aksial maksimum sebesar 139,819 kN dimana
faktor keamanan ≥ 3.
2. Pada analisa penurunan maksimum yang terjadi akibat beban aksial yang
diberikan oleh konstruksi bangunan menunjukan bahwa cara empiris dengan
menggunakan Plaxis v. 8.2, menunjukan hasil yang berbeda. Penurunan
maksimum yang diperoleh menggunakan metode Terzaghi untuk lebar
pondasi B = 1,5 m dan kedalaman Df = 2,2 m untuk tinjauan kolom B
sebesar 1,461 mm, sedangkan dari perhitungan Plaxis v. 8.2 mengalami
penurunan sebesar 24,18 mm.
3. Pada perhitungan Pondasi tiang bor dengan beban P=-6526,018 kN tidak
dapat dikalkulasi karena beban melebihi kemampuan daya dukung tanah.
Ketika beban dikurangi secara bertahap, pada beban P= -700,00 kN tanah
dapat mendukung dengan nilai ΣMSF = 8,3. Diperlukan kelompok tiang
antara 9 – 10 buah untuk mendukung beban tersebut.
4. Perhitungan secara analitis dan elemen hingga, keduanya sama
membutuhkan data beban, data material dan bentuk pondasi serta data tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, D, 2011, Perencanaan Pondasi Telapak pada Gedung Badan Koordinasi
Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BAKORLUH P2K)
Propinsi Sulawesi Tengah. Jurusan Teknik Sipil. Fakultas Teknik.
Universitas Tadulako. Palu.
Bowles, J. E, 1986, Analisis dan Desain Pondasi Jilid I. Edisi keempat. Erlangga.
Jakarta.
Bowles, J. E., 1988, Foundation Analysis and Design, Fifth Edition, McGraw-Hill
Inc., USA.
170
Das, B. M, 1993, Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid I.
Edisi Ketiga. Erlangga. Jakarta
Das, B. M, 1993. Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid II.
Edisi Ketiga. Erlangga. Jakarta.
Das, B. M., 1999, Principles of Foundation Engineering, Fourth edition, PWS
Publishing, California State University Sacramento, USA.
Handoko, Gagak, 2010, Analisis Interaksi Tanah Terhadap Pondasi Tiang Pada
Rumah Susun di Kelurahan Ujuna Dengan Metode Elemen Hingga.
Jurusan Teknik Sipil. Fakultas Teknik. Universitas Tadulako. Palu.
Hardiyatmo, H.C. 2002, Mekanika Tanah I, Edisi Pertama. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Jumikis, A. R., Soil Mechanics, 1984, Robert E. Krieger Company, Inc., Florida.
Potts, D. M. dan Zdravković, L., 1999, Finite Element Anaysis in Geotechnical
Engineering, Thomas Telford, London.
Ponsedo, L, 2013, Perencanaan Pondasi Tiang Bor pada Pembangunan Hotel
Best Western Coco Palu, Sulawesi Tengah. Jurusan Teknik Sipil.Fakultas
Teknik. Universitas Tadulako.
Sosrodarsono, S., Nakazawa., 1990, Mekanika Tanah & Teknik Pondasi. PT.
Pradnya Paramita. Jakarta.
Terzaghi, K, & Peck, R. B, 1993, Mekanika Tanah dalam Praktik Rekayasa,
Penerbit Erlanga, Jakarta.
SNI–1726–2002, Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur
Bangunan Gedung, Jakarta.
SNI–03–2847–2002, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan
Gedung, Bandung.
171
PERBANDINGAN FREKUENSI ALAMI BALOK BETON BERTULANG
BERPENAMPANG I DENGAN BALOK BETON BERTULANG
BERPENAMPANG T BERLUBANG MEMANJANG
Muhammad Yusuf Amir
1), Fatmawati Amir
2)
Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Palu1)
,
Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Tadulako Palu2)
Email: [email protected]
1)
ABSTRAK
Beton bertulang dengan penampang I mengurangi bobot dan kebutuhan
beton, namun pengurangan kekuatannya tidak terlalu besar. Beton bertulang
dengan penampang I pelaksanaannya cukup rumit dan memakan waktu
berdasarkan pengamatan. Oleh karena itu dibuat balok beton dengan penampang
persegi berlubang memanjang (hollow core beam) yang beratnya ekivalen
dengan balok beton penampang I. Diharapkan beton bertulang penampang
persegi berlubang memiliki kekuatan yang tidak berbeda dengan beton bertulang
penampang I tersebut, namun lebih ekonomis dan lebih mudah dilaksanakan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan frekuensi alami
balok beton bertulang persegi berpenampang T berlubang memanjang dengan
balok beton bertulang berpenampang I ekivalennya.
Benda uji yang digunakan 4 (empat) buah dengan bentang 3500 mm, yaitu
masing-masing 1 (satu) balok kontrol (BK) berupa balok tampang T dengan flens
bawah dan 3 (tiga) balok berlubang (BB) berupa balok tampang T berlubang
secara geometri dan material sama dengan tinggi 300 mm, lebar dan tinggi
flens atas 600 mm dan 100 mm untuk lebar badan BK 125 mm BB 200 mm,
sedangkan lebar dan tinggi flens bawah BK 200 mm dan 75 mm. Masing-
masing benda uji diberi beban statik dan dinamik sampai dengan beban leleh
dengan menggunakan mesin penggetar.
Dari hasil analisis penelitian Balok uji BK yang ekuivalen dengan BB baik
material maupun dimensi tidak menjamin memiliki frekuensi alami yang sama
untuk sistem perletakan sendi-rol balok BB memiliki frekuensi alami yang lebih
tinggi dengan peningkatan sebesar 14,061 % sebelum pembebanan dan 12,625
% tahap pembebanan sebelum leleh (yield) dibandingkan BK dan sistem
perletakan sendi-sendi BB memiliki frekuensi alami yang lebih tinggi dengan
peningkatan sebesar 10,145 % sebelum pembebanan dan 2,957 % tahap
pembebanan sebelum yield dibandingkan BK dan ketika pembebanan leleh
(yield) sistem perletakan sendi-rol balok BB mengalami penurunan sebesar -
0,065 % dibandingkan BK begitu pula sistem perletakan sendi- sendi BB
mengalami penurunan sebesar -9,075 % dibandingkan BK. Peningkatan
frekuensi alami Balok BB dibandingkan Balok BK sebelum pembebanan tahap
leleh menunjukkan peningkatan kekakuan pada balok BB dan setelah leleh
mengalami penurunan kekakuan.
Kata kunci : Balok Beton T Berlubang Memanjang, Balok I, Beban Statik, Beban dinamik
13
172
PENDAHULUAN
Beton bertulang merupakan bahan bangunan yang paling banyak digunakan
pada saat ini. Dalam upaya meningkatkan efisiensi dalam suatu struktur
bangunan, bentuk penampang dari beton bertulang tidak lagi hanya berbentuk
persegi tetapi dengan penampang I mengurangi bobot dan kebutuhan beton,
namun pengurangan kekuatannya tidak terlalu besar. Beton bertulang dengan
penampang I pelaksanaan pembuatannya cukup rumit dan memakan waktu
lebih lama. Oleh karena itu dibuat bentuk lain dari penampang beton yang
pengurangan bobotnya ekivalen dengan balok beton penampang I, dengan
membuat beton bertulang dengan penampang persegi berlubang memanjang
(hollow core beam). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perilaku frekuensi
alami dan kekakuan pada keadaan layan dan saat runtuh balok tampang T
berlubang memanjang dan balok tampang I. Dari penelitian diharapkan
bermanfaat dalam mempermudah pelaksanaan pemasangan dan pengerjaan
bekisting dan baja tulangan dalam pembuatan balok beton bertulang.
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Mirwan (2008), melakukan Pengujian eksperimental tentang kuat lentur
balok persegi dan balok I. Penampang balok yang diteliti adalah dengan ukuran
(130 X 200) panjang 1300 (Gambar 1).
Gambar 1 Dimensi Tulangan Balok Persegi dan Balok I
Penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan balok I pada bagian
lentur diharapkan dapat menjadi pertimbangan praktisi kedepan mengingat karena
dapat mengurangi berat sendiri struktur. Balok I aman dengan pengurangan luasan
pada daerah tarik sebesar 2,42 %.
173
Gilang T (2009), melakukan pengujian untuk mengetahui karakteristik
kekuatan hollow core beam RC terhadap lentur dan geser. Hasil pengujian yang
dilakukan terhadap balok 150/300 bentang 2 m balok beton persegi solid
(BS), dan balok beton berlubang memanjang bentang dengan tiga buah lubang
diameter 50,8 mm (BRD). Dari hasil pengujian didapatkan nilai pada beban
ultimit seperti dalam tabel berikut ini (Tabel 1).
Tabel 1 Kuat lentur dan beban ultimit hasil pengujian
Kode Benda Uji Beban Ultimit (kN) Momen Lentur (kNm)
BS 8
4
25,2
BRD 8
8
26,4
% nilai BRD terhadap BS 104,76 % 104,76 %
Saleh, F (2000), melakukan pengujian eksperimental tentang deteksi
kerusakan pada balok beton bertulang non-prismatis dengan pemberian beban
dinamik. Penampang balok non-prismatis yang diteliti adalah dengan ukuran
(230-150 x 100) panjang 3000 mm. Hasil pengujian menunjukkan terjadi
peningkatan kerusakan dan penurunan frekuensi dengan bertambahnya beban
yang diberikan.
Kuat Lentur Balok Berlubang
Jika nilai a diasumsikan di bawah sayap atau pada lubang maka analisa
perhitungan Cc = Cc1 - Cc2 (Gambar 3.1) dimana Cc = Ts, Cc1 adalah gaya tekan
beton solid pada garis a dan Cc2 gaya tekan beton solid pada garis a-w
(Sapramedi, 2005).
Gambar 2. Distribusi tegangan pada balok persegi berlubang
Analisis perhitungannya sebagai berikut:
1. Menghitung gaya tekan Cc1 dengan anggapan balok persegi biasa.
174
Cc1 = 0,85fc‘.a.b (1)
2. Menghitung gaya tekan Cc2 sebagai gaya tekan yang tidak terpakai.
Cc2 = 0,85fc‘. (a-w).s (2)
3. Menghitung momen nominal yang terjadi.
Mn = Cc1.(d-a/2) + Cc2.{d-0,5.(a+w)} (3)
dengan: fc‘ = kuat tekan beton (MPa), a = tinggi blok tekan ekivalen (mm), b =
lebar balok (mm), w = tebal blok penuh (mm), s = lebar lubang (mm).
Frekuensi Alami
Sistem memiliki massa dan elastisitas dapat mengalami getaran bebas tanpa
rangsangan luar, yang dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut
(Supriyadi, 2002):
dengan: f = frekuensi alami (siklus/s, atau Hz), k = kekakuan struktur (N/m atau
kg/m), m = massa dari struktur (kg.s2/cm)
Pola-pola/mode normal dibedakan berdasarkan perletakan/tumpuan dari
balok, perletakan ini seperti berikut (Biggs, 1964).
a. Perletakan sederhana
b. Perletakan jepit-jepit
c. Perletakan salah satu ujungnya jepit dan ujung lainnya tertumpu sederhana
d. Perletakan salah satu ujungnya jepit dan ujung lainya bebas
dengan: ω = frekuensi alami sudut, (rad/s), n = pola/mode ke-1,2,3,…dst, l =
panjang bentang (m), E = modulus elastisitas bahan (N/mm2), I =
Momen Inersia (mm4), m = massa, (kg.s2/cm)
175
METODE PENELITIAN
Bahan Penelitian
Bahan digunakan dalam penelitian ini adalah beton jadi produksi PT.
KARYA BETON SUDHIRA, baja tulangan KS berdiameter S13 dan JKS
berdiameter P6 , tripleks dan kayu reng digunakan untuk bekisting serta
polyfoam digunakan sebagai pengisi lubang.
Alat Penelitian
Alat-alat yang dipakai menguji balok uji terdiri dari Loading Frame,
Hydraulic Jack dan Hydraulic Pump, Load cell, Data Logger, LVDT (Linear
Variable Differential Transducer), Mechanical Vibrator, Amplifier Sensor,
Accelerometer dan set komputer dengan Analog Convertor(PCL-812G). Dengan
setting up disajikan pada Gambar 5.
Benda Uji
Benda uji terdiri dari benda uji pendahuluan dan benda uji balok.
Benda uji pendahuluan terdiri: kuat tekan beton dan kuat tarik tulangan. Benda uji
balok terdiri dari 2 jenis yaitu, 1 buah balok I (BK), 3 buah balok berlubang (BB).
Pelaksanaan Penelitian
Pembuatan benda uji terdiri dari 4 buah balok dengan ukuran tinggi
300 mm, lebar 200 mm dan panjang 3500 mm (SNI 03-1747-1989 dengan
bentang 7 meter berdimensi 40/60, skala 1 : 2) skala pemodelan yang
digunakan adalah 1 : 2. Benda uji terdiri dari satu buah benda balok kontrol
(BK) berupa balok I dan tiga benda uji berupa balok persegi berlubang (BB1,
BB2, BB3), terlihat Tabel 2
Tabel 2 Spesifikasi benda uji
Kode
Jumlah
Panjang
(mm)
Lflens
(mm)
L web (mm) Tinggi (mm) Tul.Utama Tul.Sengkang
tengah bawah Balok Lubang Atas Bawah
Balok Lentur BK 1 3500 600 125 200 300 125 10D6 4D13 P6-50
BB 3 3500 600 125 200 300 125 10D6 4D13 P6-50
Keterangan : BK : Balok tampang T dengan flens di bawah
BB : Balok tampang T berlubang memanjang
176
Penulangan benda uji dilakukan dengan memasang tulangan pada sisi
bawah dan atas balok. Pemasangan Strain gauge untuk mengetahui regangan
yang terjadi pada baja tulangan dan beton. Pemasangan dilakukan pada balok
kontrol (BK) dan balok berlubang (BB). Pengujian pendahuluan terdiri dari
pengujian tarik baja ini berdasarkan SNI 07-2052-2002 dan pengujian kuat tekan
beton berdasarkan SNI 03-1974-1990. Pengujian benda uji balok dilakukan
setelah beton berumur 28 hari.
a. Tampang memanjang pengujian statik
b. Tampang memanjang pengujian dinamik
c. Tampang melintang
Gambar 3 Set-up pengujian balok beton
177
Data pengujian lentur meliputi beban dan lendutan selama pembebanan
berlangsung, besarnya beban pada saat terjadi retak pertama dan beban
maksimum, pola retak dan frekuensi alami.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Pendahuluan
Hasil pengujian 3 silinder beton diperoleh kuat tekan rata-rata sebesar
33,786 MPa. Kuat tarik baja tulangan D13 dan P6 sebesar 428,532 MPa dan
340,179 MPa.
Pengujian Lentur Eksperimen
Pengujian lentur berupa beban, lendutan dan lebar retak dalam Tabel
3. dan Gambar 6.
Tabel 3 Hasil pengujian balok uji lentur
No
Benda
Uji
Kapasitas Beban (kN) Lendutan yang terjadi (mm) Lebar Retak (mm) % kekuatan
(Pmax)
terhadap BK Retak 1 Maks Retak 1 Maks Retak 1
1 BB1 16,9 110,8 1,793 31,4 0,03 2.03
2 BB2 15,9 111,3 1,720 40,307 0,04 2.49
3 BB3 15,6 112,9 0,795 30,48 0,02 3.96
4 BK 16,5 108,6 0,650 77,797 0,08 0
Gambar 4 Hubungan beban dan lendutan benda uji lentur hasil eksperimen
Frekuensi alami tumpuan sendi-roll
Frekuensi alami hasil eksperimen beban dinamikbaik balok kontrol
(BK) dan balok berlubang (BB3) dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 9.
178
Tabel 4 Frekuensi Hasil Eksperimen Beban Dinamik
Jenis Frekuensi Alami (Hz) Peningkatan(%)
Balok Utuh Balok Crack Balok Yield Balok Utuh Balok Crack Balok yield
Balok Kontrol (BK) 31,250 27,902 26,856
14.061
12,625
-0,065 Balok Berlubang (BB) 35,644 31,424 26,839
Gambar 5 Frekuensi Hasil Eksperimen Beban Dinamik
Frekuensi alami tumpuan sendi-sendi
Frekuensi alami hasil eksperimen beban dinamik baik balok control
(BK) dan balok berlubang (BB3) dapat dilihat pada Tabel 5. dan Gambar 6.
Tabel 5 Frekuensi Hasil Eksperimen Beban Dinami
Jenis
Frekuensi (Hz) Peningkatan (%) Balok Utuh Balok
Crack
Balok
Yield
Balok
Utuh
Balok
Crack
Balok
Yield
Balok Kontrol (BK) 33,692 33,672 29,000 10,145
2,957
-9,075 Balok Berlubang (BB) 37,110 34,668 26,368
Gambar 6 Frekuensi Hasil Eksperimen Beban Dinamik
179
Perbandingan frekuensi alami hasil eksperimen dan teoritis
Hasil perhitungan secana teoritis dibandingkan dengan frekuensi alami
balok berlubang (BB3) secara eksperimen dapat dilihat pada Tabel 10 dan
Gambar 12.
Tabel 6 Frekuensi Hasil Eksperimen Beban Dinamik
Mode Frekuensi (Hz)
Sendi-Roll (Eksperimen) 35,644
Sendi-Sendi (Eksperimen) 37,110
Tumpuan Sederhana (Teoritis) 38,180
Jepit-Jepit (Teoritis) 57,269
Ujung Jepit dan Lainnya Sederhana (Teoritis) 47,725
Ujung Jepit dan Lainnya Bebas (Teoritis) 19,090
Gambar 7 Frekuensi alami hasil eksperimen dan teoritis
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan pengujian di laboratoriumyang telah dilakukan, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Beban lentur maksimum hasil eksperimen untuk benda uji BK, BB1,
BB2 dan BB3 secara berturut-turut adalah 108,6 kN; 110,8 kN; 111,3
kN dan 112,9 kN. Kenaikan kapasitas lentur balok BB1, BB2, dan
180
BB3 secara berurutan terhadap BK adalah 2,03%; 2,49% dan 3,96%.
2. Frekuensi alami untuk sistem perletakan sendi-rol balok berlubang
(BB3) memiliki frekuensi alami yang lebih tinggi dengan
peningkatan sebesar 14,061 % dibandingkan balok kontrol (BK).
3. Frekuensi alami untuk sistem perletakan sendi-sendi balok berlubang
(BB3) memiliki frekuensi alami yang lebih tinggi dengan
peningkatan sebesar 10,145 % dibandingkan balok kontrol (BK).
4. Pada saat pembebanan kondisi sebelum yield/crack balok BB
dibandingkan balok BK dengan sistem perletakan sendi rol sebesar 12,145
% sedangkan sistem perletakan sendi-sendi sebesar 2,957 %.
5. Pada saat pembebanan kondisi saat yield balok BB dibandingkan balok
BK dengan sistem perletakan sendi rol sebesar -0,065 % sedangkan sistem
perletakan sendi-sendi sebesar -9,075 %.
6. Hasil eksperimen sistem perletakan sendi-rol relatif aman
dibandingkan sistem perletakan sendi-sendi hal terlihat dari penurunan
frekuensi sebelum yield/crack dan saat yield.
Saran
Berdasarkan pengujian eksperimen dan analisis maka disarankan
penelitian selanjutnya :
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang balok tampang T
berlubang khususnya perilaku balok tampang T berlubang terhadap sumbu
lemah.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang pengujian dinamis
khususnya frekuensi yang cukup tinggi.
3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut hubungan tegangan-regangan yang
terjadi pada saat awal sampai runtuh balok tampang T berlubang.
4. Perlu adanya pemisahan pengujian statik maupun dinamis baik
balok tampang T dengan flens di bawah maupun balok tampang T
berlubang.
5. Penelitian selanjut tentang pengujian dinamis sebaiknya
memperhatikan kekakuan dari sistem perletakan dalam meredam getaran
dinamis yang diberikan sebelum melakukan pengujian.
181
6. Penelitian selanjut tentang pengujian dinamis sebaiknya
memperhatikan kekakuan beton masif dalam meredam getaran yang
diberikan sebelum melakukan pengujian.
DAFTAR PUSTAKA
Biggs, J.M., 1964, Structural Dynamics, McCraw-Hill Book company, USA
Gilang, 2009, Perilaku Geser dan Lentur Pada Balok Beton Bertulang
Berlubang Lingkaran. Tugas Akhir, UGM, Yogyakarta
Mirwan, 2008, Perbandingan Kuat Lentur Balok Berpenampang Persegi dengan
Balok Berpenampang, Tugas Akhir, UII, Jogjakarta.
Saleh, Fadillawaty, 2000, Deteksi Lokasi Kerusakan Balok Beton Non-Prismatis
Dengan Perubahan Mode Kelengkungan, Tesis, UGM, Yogyakarta
Sapramedi, W.N., 2005. Analisis Perilaku Geser dan Lentur Pada Balok Beton
Bertulang Berlubang Lingkaran (Hollow Core RC Beam). Tugas Akhir,
UGM, Yogyakarta
SNI 07-2052, 2002. Baja Tulangan Beton.
SNI 03-2847, 2002. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan
Gedung, Bandung.
SNI 03-1747, 1989. Metode, Tata Cara dan Spesifikasi Pembangunan Jembatan,
Bandung.
Supriyadi, B., dkk, 2002, Pengaruh Beban Hidup Dinamik Pada Struktur Lantai
Gedung Berbentang Panjang, Laporan penelitian Hibah Bersaing IX/2, LP-
UGM. Yogyakarta
182
PENERAPAN SNI 1726 2012 PADA BANGUNAN BERTINGKAT DI
KOTA PALU DALAM UPAYA MITIGASI BENCANA GEMPA
(Studi Kasus Bangunan Rusunawa Ujuna Kota Palu)
I Ketut Sulendra Dosen Fakultas Teknik Universitas Tadulako Palu
Email: [email protected];
ABSTRAK
Peraturan tentang bagunan gedung yang pernah diterapkan di Indonesia yaitu GBV &
PBI-55, (2) PBI-71, (3) PPTGIUG-83 & SNI Tata Cara Perencanaan Bangunan Gedung Beton
Bertulang tahun 1991, (4)SNI Perencanaan Bangunan Beton Bertulang 2002 & SNI Bangunan
Beton Bertulang Tahan Gempa tahun 2002, (5) SNI 1726 tahun 2012 tentang Tata Cara
Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, kelimanya
mempunyai beban rencana gempa dan pendetailan tulangan yang berbeda-beda. Sebagaimana
halnya kota lain yang sedang berkembang, kota Palu terus mengalami peningkatan jumlah
penduduk yang berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan pemukiman termasuk sarana dan
prasarananya bangunan gedung untuk berbagai fungsional seperti perniagaan, pendidikan,
kesehatan, pemerintahan, hiburan dan fungsional lainnya. Pengesahan Peta Gempa tahun 2010 dan
Penetapan SNI 1726 tahun 2012 tentang ―Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk
Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung‖ berimplikasi pada upaya evaluasi pada bangunan
yang telah dibangun sebelum tahun 2012 dan penerapan SNI 1726 tahun 2012 pada bangunan
yang akan dibangun, dalam upaya meminimalisasi jatuhkan korban jiwa dan kerugian material
Penelitian ini akan menyajikan data dan hasil analisis dari penerapan SNI 1726 tahun
2012 yang diterapkan pada bangunan yang telah dibangun sebelum tahun 2012. Hasil analisis
berupa output gaya-gaya dalam struktur bangunan serta dimensi penampangnya beserta
penulangannya. Perbedaan antara gaya-gaya dalam dan penampang serta kebutuhan luas tulangan
antara sebelum dan setelah penerapan SNI 1726 tahun 2012 pada beberapa bangunan bertingkat
rendah di kota Palu ini akan dijadikan dasar dalam upaya perkuatan struktur bangunan tersebut
untuk meminimalisasi dampak kerusakan bangunan akibat bencana gempa.
Hasil analisis terhadap gaya-gaya dalam dan luasan penampang beton serta kebutuhan
tulangan terhadap penerapan SNI 1726 tahun 2012 adalah sebagai berikut : penambahan luas
penampang balok dan kolom serta kebutuhan luas tulangan longitudinal berkisar 25-60%, hal
tersebut berbanding lurus dengan peningkatan gaya-gaya dalam berupa momen lentur, gaya geser
dan gaya aksial.. Hasil ini berimplikasi pada kebutuhan pada upaya evaluasi pada elemen struktur
khususnya pada kolom sebagai elemen penahan beban lateral.Evaluasi dapat berupa perkuatan
struktur. Jika hal ini dilakukan maka jatuhnya korban jiwa dan kerugian material dapat
diminimalisir.
Kata kunci : SNI 1726 2012, beban gempa, gaya dalam bangunan, mitigasi
PENDAHULUAN
Kota Palu sebagai pusat pemerintahan dan telah ditetapkan sebagai
Kawasan Industri Khusus, kedepannya pembangunan kota Palu membutuhkan
fasilitas infrastruktur yang semakin kompleks. Fasilitas-fasilitas tersebut seperti
pemukiman, perniagaan, perkantoran, parawisata, pendidikan dan kesehatan, serta
fasilitas umum untuk pengembangan social dan budaya. Tentunya fasilitas yang
183
akan dibangun tersebut harus sudah mengadopsi perencanaan terbaru dengan
mempertimbangkan factor keamanan yang lebih besar sesuai Peta Gempa
Indonesia 2010 dan SNI 1726 tahun 2012.
Secara umum peta zonasi gempa yang baru ini cenderung akan memberikan
beban gempa yang lebih besar pada bangunan dibandingkan dengan yang
ditentukan dalam peraturan gempa yang lama tersebut. Tentu saja secara defakto
peta zonasi gempa yang baru tersebut tidak hanya diterapkan bagi bangunan baru
atau bangunan yang akan dirancang tetapi harus diterapkan juga pada bangunan-
bangunan lama atau bangunan yang sudah berdiri. Sementara penerapan peta
zonasi gempa yang baru terhadap bangunan baru biasanya langsung dilakukan
oleh para perencana, penerapannya pada bangunan lama atau pada bangunan yang
sudah berdiri jarang sekali dilakukan dan sampai saat ini tidak jelas aturan
mainnya.
Padahal sebenarnya penerapan peta zonasi gempa yang baru tidak akan
efektif jika hanya diberlakukan pada bangunan baru saja. Hal ini mengingat
bangunan yang sudah ada jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah bangunan yang akan dibangun. Adalah suatu kenyataan bahwa untuk
Indonesia beberapa tahun terakhir ini kejadian gempa sudah bisa dikatakan
fenomenal karena kejadiannya yang cukup sering dalam waktu yang cukup
berdekatan sebagaimana yang telah terjadi antara lain di Nabire, Aceh, Nias,
Yogyakarta, Bengkulu, Tasikmalaya, Padang, dan daerah-daerah lainnya.
Sebelum kejadian gempa Padang pada tanggal 30 September 2009, sebagian besar
bangunan yang runtuh dan rusak adalah bangunan rumah masyarakat yang
digolongkan sebagai bangunan nonengineered, namun hasil evaluasi lapangan
pasca gempa Padang tersebut diketahui bahwa terdapat juga bangunan-bangunan
engineered yang rusak berat dan runtuh dengan jumlah yang cukup banyak.
Termasuk diantaranya adalah bangunan perkantoran, bangunan pendidikan,
bangunan hotel, dan bahkan bangunan rumah sakit yang sebagian besar termasuk
bangunan publik dan bangunan penting atau lifeline facilities. Hal ini tentu saja
menimbulkan pertanyaan serta kekhawatiran tentang keamanan bangunan-
bangunan engineered lain yang ada saat ini terutama yang berada di zonasi gempa
tinggi. Mampukah bangunan-bangunan ini bertahan jika terjadi gempa atau
184
akankah kejadian seperti di Padang terulang kembali. Apalagi peta zonasi gempa
baru sudah diperkenalkan dengan tingkat ancaman yang cenderung lebih tinggi
dari peta zonasi gempa sebelumnya.
Dari hasil tinjauan lapangan dapat diketahui bahwa sebagian besar
bangungan-bangunan nonengineered dan engineered rusak berat dan runtuh
karena bangunan-bangunan tersebut mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi.
Secara umum kerentanan bangunan ditentukan oleh kekuatan, kekakuan, redaman,
dan daktilitas yang dimiliki [FEMA 172 (1992)] yang secara dominan ditentukan
oleh kualitas bahan, kekuatan yang disediakan, kualitas pendetailan struktur, dan
konfigurasi bangunannya.
Permasalahan gempa bumi dalam bidang konstruksi sangat menekankan
pembangunan yang tahan akan beban gempa tersebut. Dengan merujuk pada suatu
filosofi konstruksi bangunan tahan gempa yakni apabila gempa kecil bangunan
tidak mengalami kerusakan apapun, dan jika gempa sedang komponen non
struktur boleh mengalami kerusakan, tetapi komponen strukturnya tidak boleh
mengalami kerusakan dan apabila gempa kuat, komponen non struktur maupun
komponen strukturnya boleh mengalami kerusakan namun masih sempat memberi
kesempatan pada penghuninya untuk menyelamatkan diri.
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Analisis Wilayah Gempa untuk kota Palu dengan Peta Gempa Tahun 2010
Berikut disajikan analisis wilayah gempa untuk kot Palu sesuai Peta Gempa
tahun 2010.
Lokasi Objek : Kota Palu pada Bangunan Rusunawa Ujuna
Klasifiasi site : Tanah keras, N > 50
Faktor keutamaan gedung, IE : IV dengan koefisien 1,50
185
Gambar 1 Peta Respons Spektra percepatan Ss untuk wilayah Indonesia
Peta Respons Spektra percepatan 0,2 detik (Ss) di batuan dasar (SB) untuk
probabilitas 2% dalam 50 tahun di kota Palu dan sekitarnya.
Gambar 2 Peta Respons Spektra percepatan Ss untuk wilayah kota Palu
Dari peta diperoleh Ss = 2,55 g
186
Tabel 1 Koefisien Situs, Fa dan Fv
Klasifikasi Site (Sesuai Tabel 3)
SS
Ss ≤ 0.25 Ss = 0.5 Ss= 0.75 Ss = 1.0 Ss ≥ 1.25
Batuan Keras (SA) 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
Batuan (SB) 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
Tanah Sangat Padat dan Batuan
Lunak (SC)
1.2
1.2
1.1
1.0
1.0
Tanah Sedang (SD) 1.6 1.4 1.2 1.1 1.0
Tanah Lunak (SE) 2.5 1.7 1.2 0.9 0.9
Tanah Khusus (SF) SS SS SS SS SS
Tabel 2 Nilai Fa untuk tanah sedang (SD) adalah 1.0
Klasifikasi Site (Sesuai Tabel 3)
S1
S1 ≤ 0.1 S1 = 0.2 S1 = 0.3 S1 =0.4 S1 ≥ 0.5
Batuan Keras (SA) 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
Batuan (SB) 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
Tanah Sangat Padat dan Batuan
Lunak (SC)
1.7
1.6
1.5
1.4
1.3
Tanah Sedang (SD) 2.4 2.0 1.8 1.6 1.5
Tanah Lunak (SE) 3.5 3.2 2.8 2.4 2.4
Tanah Khusus (SF) SS SS SS SS SS
Dari hasil tabel di atas diperoleh nialai Fv untuk tanah sedang (SD) adalah 1.3
Menentukan Spektral Respon Percepatan SDS dan SD1
Koefisien Situs, Fa dan Fv masing-masing utnuk tanah sangat padat dan
batuan lunak adalah 1,0 dan 1,3 maka, nilai SDS dan SD1 :
SDS = 2/3 (Fa x Ss) = 2/3 (1.0 x 2,55) = 1,70
SD1 = 2/3 (Fv x S1) = 2/3 (1,3 x 1,10) = 0,95
187
Tabel 3 Kategori Desain Seismik Berdasarkan Parameter Respon Percepatan pada
Periode 1 Detik
Dari hasil di atas, Kategori Desain Seismik (KDS) berdasarkan nilai SDS
adalah D dan berdasarkan nilai SD1 adalah F. Kesimpulan dari hasil Kategori
Desain Seismik (KDS) diambil yang terbesar adalah F.
1) Desain Respon Spektrum, Sa
a) Untuk perioda yang lebih kecil dari T0, digunakan grafik dari persamaan :
b) Untuk perioda T0 sampai TS, digunakan grafik dari persamaan: Sa = SDS
c) Untuk perioda lebih besar dari Ts, digunakan grafik dari persamaan:
Dimana : T = Periode Getar Fundamental Struktur sebagai berikut
d) Perkiraan periode fundamental alami, Ta
Nilai Ta untuk gedung dengan tipe struktur rangka beton pemikul momen :
Ta = Ct hnx dimana : hn = ketinggian struktur (m) = 19,52 m
Ct dan x = koefisien (lihat tabel 3. 13)
Ta = Ct x hnx
= 0,0466 x 19,520,9
= 0,676
188
Tabel 4 Respon Spektrum
Pemodelan Struktur
Gambar 3 Perspektif Bangunan Rusunawa Ujuna
T Sa
(periode) (g)
0 0,680
0,112 1,700
0,559 1,700
1 0,950
1,5 0,633
2 0,475
2,5 0,380
3 0,317
3,5 0,271
4 0,238
4,5 0,211
5 0,190
5,5 0,173
6 0,158
6,5 0,146
7 0,136
7,5 0,127
8 0,119
8,5 0,112
9 0,106
9,5 0,100
10 0,095
189
Gambar 4 Potongan Memanjang
Gambar 5 Potongan Melintang
Kombinasi Beban-beban
Kombinasi pembebanan yang digunakan:
1. 1,4D
2. 1,2D + 1,6L + 0,5Lr
3. 1,2D + 1,6Lr + L
4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5Lr
5. 1,2D + 1,0Ex + L
6. 1,2D + 1,0Ey + L
7. 0,9D + 1,0W
8. 0,9D + 1,0Ex
9. 0,9D + 1,0Ey
190
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Tabel 5 Dimensi Sebelum dan Setelah Penerapan SNI 1726 2012
No. Type Balok dan Kolom Dimensi (cm)
Sebelum Setelah
1 Balok Atap 20 x 50 25 x 50
2 Balok Lantai 25 x 50 30 x 50
3 Kolom Utama 30 x 50 40 x 60
4 Kolom Teras 30 x 30 40 x 40
Tabel 6 Momen ultimit kolom yang paling maksimum dari semua kombinasi
Type
Kolom
Pu (kN) Momen (kN.m)
Tumpuan Atas Lapangan Tumpuan Bawah
K 40 x 40 -192,996 -82,1214 -16,7184 117,5511
K 40 x 60 -435,989 -224,543 -77,882 371,332
Tabel 7 Momen ultimit balok yang paling maksimum dari semua kombinasi
Type Balok Momen (kN.m)
Tumpuan Kiri Lapangan Tumpuan Kanan
B 30 x 50 -83,4785 58,5599 -94,0012
B 25 x 50 -45,8002 -19,9157 27,8518
Tabel 8 Penulangan Longitudinal Sebelum dan Setelah Penerapan SNI 1726 2012
No. Type Balok dan Kolom Dimensi Tulangan Utama
Sebelum Setelah
1 Balok Atap 25 x 50 5D19 7D19
2 Balok Lantai 30 x 50 6D19 8D19
3 Kolom Utama 40 x 60 12D19 16D19
4 Kolom Teras 40 x 40 8D19 12D19
Dimensi penampang balok bertambah sekitar 20% sampai 25% serta luas
tulangan longitudinal bertambah 30% sampai 40% akibat konsekuensi penerapan
Peta Gempa 2010 dan SNI 1726 tahun 2012. Sedangkan Dimensi penampang
kolom bertambah sekitar 50% sampai 60% serta luas tulangan longitudinal
bertambah 30% sampai 50% akibat konsekuensi penerapan Peta Gempa 2010 dan
SNI 1726 tahun 2012. Hal ini juga berlaku untuk tulangan geser.
Tabel 9 Perpindahan Lantai Atas dari SKBI 1987, SNI 1726 2002 dan Peta Gempa
2010
Perpindahan Lantai Atas SKBI 1987 SNI 1726 2002 Peta Gempa 2010
1,5 cm 6 cm 9 cm
Perbandingan perpindahan/displacement pada puncak dengan lokasi yang
sama dan bangunan yang sama tetapi berbeda peta gempa, maka untuk bangunan
191
di atas, displacement berdasarkan peta tahun 2010 lebih besar 6 kali lipat dari peta
gempa tahun 1987. Jika dibandingkan dengan peta gempa tahun 2002
displacement yang terjadi 1,5 kali lipat. Hal ini berbanding lurus dengan
peningkatan gaya-gaya dalam struktur.
Gambar 6 Ilustrasi Bangunan Tahan Gempa Berbasis Kinerja
(Aplied Technology Council-58 )
Gambar 6 di atas menunjukkan bahwa beban gempa yang semakin besar
akan menyebabkan tingkat kerusakan yang semakin besar, perpindahan atap pada
puncak bangunan yang semakin besar juga menyebabkan tingkat kerusakan yang
semakin besar pula. Konsekuensi kerusakan yang semakin besar menyebabkan
biaya perbaikan yang semakin besar pula. Secara umum biaya perbaikan di bawah
60% dari biaya fisi awal bangunan masih ekonomis untuk dilakukan.
Dari hasil analisis dan studi literatur yang telah dilakukan maka penerapan
Peta Gempa tahun 2010 dan SNI 1726 tahun 2012 membawa konsekuensi pada
perencanaan gedung khususnya di kota Palu yaitu bertambahnya biaya kontruksi.
Biaya ini berupa bertambahnya volume pekerjaan baik pekerjaan beton dan berat
besi yang digunakan. Hal itu juga perlu ditambah dengan pelaksanaan dan
pengawasan yang baik selama pekerjaan konstruksi berlangsung.
Diharapkan dengan penerapan peraturan terbaru ini dalam perencanaan
bangunan gedung, dampak kerugian akibat bencana gempa baik kerugian harta
benda dan jatuhnya korban jiwa akibat bangunan yang rusak dan runtuh akibat
gempa dapat diminimalisir.
192
KESIMPULAN
1. Peta zonasi gempa yang baru telah dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun
2010 yang cenderung akan memberikan gaya gempa atau ancaman yang lebih
besar dibandingkan dengan peta zonasi gempa sebelumnya.
2. Peta zonasi gempa yang baru harus diterapkan tidak hanya untuk bangunan
baru tetapi harus diterapkan juga untuk bangunan lama atau bangunan yang
ada.
3. Sehubungan dengan diterapkannya peta zonasi gempa yang baru maka
bangunan yang ada perlu dievaluasi kerentanannya terhadap gempa.
4. Bangunan yang rentan terhadap gempa khususnya bangunan public seperti
ruko dan rumah susun harus direncanakan dan jika telah dibangun harus
dilakukan evaluasi terhadap beban gempa tahun 2012 dan SNI 176 tahun 2012
tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan
Gedung dan Non Gedung .
DAFTAR ACUAN/PUSTAKA
SNI-03-1727, Tata Cara Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung
SNI-03-2847, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung
PBI-55, Peraturan Beton Indonesia – 1955
PBI-71, Peraturan Beton Indonesia – 1971
SNI Beton 91, ―Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung 1991‖
PPTGIUG 1983,―Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung
1983‖
SNI Gempa 2002, ―Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan
Gedung –SNI 03-1726-2002‖
SNI Beton 2002, ―Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung – SNI
03-
2847-2002‖
SNI 1726 2012, ―Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung – SNI
0
2847-2002‖
Applied Technology Council.(1996). ― ATC 40 -Seismic Evaluation and Retrofit of
Concrete Buildings‖, Redwood City, California, U.S.A.
193
PENGARUH PENAMBAHAN BITUMEN ASBUTON TERHADAP
MODULUS KEKAKUAN CAMPURAN
Arief Setiawan
ABSTRAK
Suatu campuran dibentuk oleh agregat sebagai tulangan dan aspal sebagai bahan perekat.
Bitumen ekstrak asbuton dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambah pada aspal AC 60/70 agar
kepekaan terhadap temperatur dapat berkurang mengingat iklim tropis di Indonesia yang
memberikan temperatur relatif tinggi. Penambahan bitumen ekstrak asbuton pada campuran
diperlukan pemahaman tentang pengaruhnya terhadap nilai struktural campuran yaitu modulus
kekakuan campuran agregat aspal.
Penelitian dilakukan terhadap gradasi Superpave yaitu agregat dengan ukuran maksimum
nominal (nms) 19 mm. Variasi penambahan bitumen ekstrak asbuton (BEA) sebesar 0% dan 4%
terhadap total kadar aspal AC 60/70, lama pembebanan 87 ms dan variasi temperatur perkerasan
adalah 25C, 35C dan 45C yang disesuaikan dengan kondisi temperatur di Indonesia. Modulus
kekakuan campuran diuji dengan 2 metode yaitu pendekatan empiris metode Brown dan Brunton
(1984) dan pengujian dengan alat Universal Testing Machine (UTM). Untuk membuktikan
pengaruh temperatur dan penambahan bitumen ekstrak asbuton dilakukan pendekatan statistik
dengan analysis of variance two-factor dengan tingkat signifikansi = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan semakin bertambah BEA dalam campuran akan
meningkatkan nilai modulus kekakuan akan tetapi peningkatan temperatur akan menurunkan
modulus kekakuan campuran. Campuran dengan bahan perekat AC 60/70 dengan penambahan 4%
BEA memiliki modulus kekakuan yang lebih besar daripada campuran tanpa penambahan bitumen
ekstrak asbuton baik dengan pendekatan empiris cara Brown dan Brunton maupun dengan alat
UTM. Pengaruh temperatur dan penambahan bitumen ekstrak asbuton terhadap nilai modulus
kekakuan campuran agregat aspal pada agregat adalah signifikan dengan nilai fhitung = 1500,853
> f0,05 = 3,885 untuk pengaruh temperatur dan fhitung = 75,977 > f0,05 = 4,747 untuk pengaruh
penambahan bitumen ekstrak asbuton.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah pada perkerasan lentur adalah munculnya kerusakan yang
penyebab utamanya berhubungan dengan kualitas bahan pendukungnya, antara
lain aspal dan agregat. Kerusakan akan cepat terjadi jika perkerasan tersebut
mengalami pembebanan secara berlebih (overloading) dari beban yang
direncanakan serta pengaruh lingkungan, antara lain dengan adanya temperatur
perkerasan yang relatif tinggi.
Salah satu cara dalam mengatasi kerusakan jalan yang terjadi lebih awal
adalah dengan memperbaiki kinerja campuran agregat aspal dengan memodifikasi
sifat-sifat fisik aspal khususnya penetrasi dan titik lembek, menggunakan bahan
tambah, sehingga akan mengurangi kepekaan aspal terhadap temperatur. Bahan
tambah yang dapat digunakan adalah bitumen esktrak asbuton.
15
194
Metode desain struktur perkerasan lentur menuju metode desain analitis,
dimana salah satu input perencanaannya menggunakan nilai modulus kekakuan
campuran. Nilai modulus kekakuan campuran umumnya ditentukan dengan
pendekatan empiris karena untuk mendapatkan nilai modulus kekakuan dari uji
laboratorium memerlukan alat uji secara mekanik yang relatif mahal.
Metode empiris (metode tidak langsung) untuk mencari modulus kekakuan
campuran antara lain metode Brown dan Brunton (1984) sedangkan pengujian
modulus kekakuan campuran secara laboratorium (metode langsung) dengan alat
Universal Testing Machine (UTM).
Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengukur modulus kekakuan campuran dengan alat uji UTM untuk agregat
ukuran maksimum nominal 19 mm,
2. Menganalisis modulus kekakuan campuran pendekatan empiris cara Brown
dan Brunton (1984) untuk agregat ukuran maksimum nominal (nms) 19 mm,
Batasan Masalah
Tidak meninjau sifat kimia bahan serta tidak menganalisis secara geologis
jenis batuan. Pengujian sifat fisik bahan secara umum didasarkan pada Standar
Nasional Indonesia (SNI) No.1737-1989-F, sedangkan spesifikasi gradasi
Superpave dari The Asphalt Institute, Superpave Series No.2 (SP-2) (1996).
Gradasi agregat yang digunakan adalah ukuran maksimum nominal 19 mm
dan 25 mm dengan target gradasi dalam batas titik-titik kontrol dan melewati
daerah di bawah penolakan (restricted zone).
Persentase penambahan kadar bitumen ekstrak asbuton yang diteliti yaitu
sebesar 0% atau kadar AC 60/70 sebesar 100% dan 4% atau AC 60/70 sebesar
96%, dari total kadar aspal terhadap campuran.
Pengujian campuran panas agregat aspal dengan prosedur Marshall standar
untuk agregat dengan ukuran maksimum nominal 19 mm dengan persyaratan dan
penentuan kadar aspal optimum secara umum berdasarkan SNI No.1737-1989-F.
Analisis modulus kekakuan aspal dan modulus campuran agregat aspal,
lama pembebanan diasumsikan pada kecepatan rata-rata kendaraan komersil
195
sebesar 9 km/jam (standing load < 20 km/jam) dengan tebal perkerasan 75 mm
digunakan pendekatan empiris cara Brown dan Brunton (1984) dan uji di
laboratorium dengan alat UTM.
Variasi temperatur uji ditetapkan dari temperatur perkerasan yang diperoleh
berdasarkan data temperatur udara maksimum dan minimum bulanan rata-rata
beberapa kota di Indonesia pada kurun waktu selama 10 tahun yaitu dari tahun
1988 sampai dengan 1998, dengan hasil sebesar 25 C, 35 C dan 45 C.
Pengujian modulus kekakuan campuran agregat aspal dengan alat UTM
dengan batasan antara lain pembebanan berulang didasarkan pada 5 kali
pembebanan, benda uji pada kadar aspal optimum, perkiraan rasio Poisson pada
semua variasi temperatur sebesar 0,40 (untuk asphalt concrete), dan beban
repetisi berkisar 40 % beban runtuh uji tarik tak langsung yang diperkirakan
sebesar 13 % stabilitas Marshall.
TINJAUAN PUSTAKA
Bitumen Ekstrak Asbuton
Bitumen ekstrak asbuton diperoleh dengan memisahkan mineral asbuton
dari asbuton disebut dengan proses ekstraksi kemudian dilanjutkan dengan
merecovery hasil ekstraksi tersebut dengan proses destilasi (Zamhari, et al, 2000).
Akbar (2000), Ahmad (2000), Riyanto dan Nofrianto (2001) menunjukkan
bahwa penambahan bitumen ekstraks asbuton sebesar 4% mampu menurunkan
nilai penetrasi aspal dan menaikkan titik lembek aspal AC 60/70 sehingga
memenuhi spesifikasi AC 40/50.
Agregat Bergradasi Superpave
Siswosoebrotho (1993) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan ukuran dan
gradasi agregat mempunyai tujuan tertentu antara lain, ukuran agregat mempunyai
hubungan dengan tebal penyebaran atau penghamparan dan tebal padat suatu lapis
perkerasan, sedangkan gradasi berhubungan dengan kestabilan.
Superpave menetapkan gradasi dengan 2 (dua) spesifikasi khusus yaitu
target gradasi berada dalam batas titik-titik kontrol (control points) dan
menghindari daerah penolakan (restricted zone) yang meliputi 5 (lima) jenis
gradasi agregat yang dikategorikan dalam ukuran maksimum nominal yaitu 9,50
196
mm; 12,50 mm; 19,00 mm; 25,00 mm dan 37,50 mm (The Asphalt Insitute,
Superpave Series No.2 (SP-2), 1996).
Kennedy (1996) menyarankan untuk menghasilkan kinerja jalan yang baik
dengan volume yang tinggi dipilih target gradasi yang lewat di bawah daerah
penolakan.
Penelitian yang dilakukan oleh Giyanto (1993) menunjukkan bahwa gradasi
dengan ukuran maksimum nominal yang semakin besar mempunyai nilai VMA
yang mengecil dengan nilai stabilitas relatif makin besar diikuti dengan
kecenderungan modulus kekakuan yang semakin besar pula.
Modulus Kekakuan
Istilah kekakuan (stiffness) yang dikemukakan oleh Shell Research
Laboratory dalam Yang (1972) adalah ekspresi dari beban per-satuan
deformasinya. Teori kekakuan yang dikemukakan oleh Brown dan Brunton
(1984) menyebutkan bahwa nilai struktural perkerasan dapat dinyatakan dalam
modulus kekakuan campuran agregat aspal. Modulus kekakuan ini digunakan
untuk menyatakan suatu nilai tegangan dibagi regangan pada temperatur dan lama
pembebanan tertentu akibat beban dinamik lalu lintas kendaraan.
Brown dan Brunton juga menyatakan bahwa nilai modulus kekakuan
campuran agregat aspal ditentukan oleh kekakuan bahan perekat (aspal) dan
karakteristik perbandingan agregat (gradasi agregat). Kekakuan bahan perekat
sangat ditentukan oleh lama pembebanan (load time), recovered softening point of
bitumen dan recovered penetration index of bitumen.
Modulus elastis sebagai perbandingan antara tegangan dan regangan,
perilaku regangan pada setiap lapisan perkerasan saat menerima beban berulang
akan menimbulkan elastic strain, plastic strain keduanya merupakan total strain
dan peak strain. Huang (1993) dalam Dewantoro, et. al (2001) mengemukakan
daerah elastic strain menunjukkan struktur perkerasan akan kembali ke bentuk
semula, namun sebagian akan mengalami deformasi permanen dalam daerah
plastic strain. Hal tersebut berlangsung secara berulang-ulang sehingga terjadi
recoverable strain (regangan yang terjadi sebelum kekuatan maksimum struktur
tercapai) dan total plastic strain. Peak strain adalah regangan yang terjadi saat
kekuatan maksimum struktur tercapai, jika peak strain dilampaui maka struktur
197
perkerasan akan mengalami failure. Batas peak strain tergantung dari tebal
lapisan dan karakteristik material yang dinyatakan dalam rasio Poisson dan
modulus elastisitas. The Asphalt Insitute dan Shell menggunakan peak strain
dalam penentuan modulus kekakuan campuran.
Cara terbaik untuk menentukan kekakuan campuran agregat aspal adalah
dengan uji dengan alat di laboratorium (direct method) yang terjamin keakuratan
hasilnya, tetapi dapat juga digunakan metode prediksi yang diberikan untuk
respon elastik (Brown dan Brunton, 1984).
Yang (1972) menyatakan bahwa sifat viscous dari bahan perekat aspal
memberikan kontribusi yang besar terhadap sifat elastik dari dari asphaltic
concrete (beton aspal). Modulus elastisitas kemungkinan menurun dari 500.000
psi pada 40F (4,444C) menjadi 4.000 psi pada 100F (37,778C).
LANDASAN TEORI
Pemodelan sistem perkerasan lentur
Secara umum sistem perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapisan yaitu
lapisan beraspal, material lepas dan lapisan tanah dasar. Sifat fisik masing-msing
lapisan tersebut dapat diwakili oleh besaran modulus kekakuan (E) dan rasio
Poisson (), selain kedua sifat fisik tersebut adalah ketebalan perkerasan (h)
(Gambar 1).
Gambar 1 Pemodelan sistem perkerasan lentur Sumber: Brown dan Brunton (1984)
Penyebaran tegangan yang disebabkan oleh beban roda akan menyebabkan
terjadinya 2 (dua) titik kritis dalam perkerasan tersebut yaitu regangan tarik
horizontal pada lapisan beraspal dan regangan tekan vertikal pada permukaan
tanah dasar (Mulyadi, et. al, 2000).
Catatan: gambar tidak
berskala
198
Modulus Kekakuan
1. Modulus kekakuan aspal
Brown dan Brunton (1984) menyatakan regangan yang terjadi pada aspal
sangat tergantung pada tegangan, lama pembebanan dan temperatur. Modulus
kekakuan diperoleh dengan membagi tegangan dengan regangannya pada
temperatur dan waktu pembebanan tertentu. Modulus kekakuan aspal dinyatakan
sebagai fungsi dari temperatur dan lama pembebanan, dipresentasikan pada
Gambar 2.
Ullidtz dalam Brown dan Brunton juga menyatakan bahwa secara matematis
hubungan dari sifat-sifat fisik aspal dan lalu lintas seperti titik lembek, temperatur
dan waktu pembebanan adalah sebagai berikut ini.
Sb = 1,157.10 -7
. t - 0,368
. 2,718 - Pir
(SPr-T)5 ….……..........………..…....(1)
dengan :
Sb = modulus kekakuan bitumen, (MPa)
t = lama pembebanan, (detik)
T = temperatur perkerasan, (oC)
PIr = penetrasi indeks recovered
SPr = titik lembek recovered, (oC)
Gambar 2 Kekakuan aspal sebagai fungsi dari waktu dan temperatur
Sumber: Brown dan Brunton (1984)
Perbedaan temperatur pada saat penghamparan akan dilaksanakan dengan
temperatur di laboratorium menjadi suatu pertimbangan dalam pendekatan
persamaan Brown dan Brunton, sehingga recovered properties digunakan dalam
perhitungan modulus kekakuan aspal. Hubungan antara penetrasi awal (Pi)
dengan penetrasi recovered (Pr) adalah sebagai berikut ini.
Pr = 0,65 . Pi ……………………………….…………………….…… (2)
199
Titik lembek recovered (SPr) dapat dicari dari penetrasi recovered (Pr) dengan
persamaan sebagai berikut ini.
SPr = 98,4 – 26,35 . log Pr ……………….……………………….…….(3)
Indeks Penetrasi recovered (PIr) dapat dicari dari penetrasi recovered (Pr) dan titik
lembek recovered (SPr) dengan persamaan sebagai berikut ini.
PIr = 120,4SPr50.logPr
20.SPr500.log.Pr1951,4
………………..…………….……. (4)
Lama pembebanan (t, detik) tergantung pada tebal perkerasan (h, mm) dan
kecepatan kendaraan komersil rata-rata (V, km/jam) dapat dihitung dengan
persamaan 5 atau persamaan 6.
log t = 5.10-4
.h - 0,2 - 0,94.log V …………...…………………….…….(5)
Untuk tebal perkerasan antara 100 - 350 mm dapat digunakan persamaan sebagai
berikut ini.
t = V
1 ………………………………………………………………….. (6)
Batasan penggunaan prosedur untuk mencari modulus kekakuan aspal cara Brown
dan Brunton adalah 0,01 < t < 0,1 detik, –1 <PIr < +1 dan 20C < (SPr-T) < 60C.
Temperatur perkerasan (T) dapat dicari dengan persamaan yang diturunkan
oleh Witczak (1972) dalam Soedjatmiko (1999) sebagai berikut ini.
MMPT = MMAT 64Z
34
4Z
11
.…………………………….…(7)
dengan :
MMPT = temperatur perkerasan bulanan rata-rata (F)
MMAT = temperatur udara bulanan rata-rata (F)
Z = kedalaman struktur perkerasan (inch)
Temperatur pada kedalaman Z = h/3 (h adalah tebal lapisan aspal) diambil
sebagai temperatur yang mewakili seluruh lapis aspal dan digunakan sebagai basis
perhitungan modulus.
2. Modulus kekakuan campuran agregat aspal
a. Metode Brown dan Brunton (1984)
Brown dan Brunton memberikan persamaan untuk mencari modulus
kekakuan campuran agregat aspal sebagai berikut ini.
200
Sme = Sb
n
3)n.(VMA
2,5.VMA257,51
.………....................…........…….....(8)
n = 0,83.log
Sb
40.000 ……… ....………..............................………....(9)
dengan:
Sme = kekakuan campuran elastik, (MPa)
VMA = Void in Mineral Aggregate (%)
Persamaan Brown dan Brunton (1984) mendekati kebenaran antara lain jika
nilai minimum modulus kekakuan bitumen untuk kondisi berperilaku elastik
adalah 5 MPa, diatas nilai ini, modulus kekakuan campuran agregat aspal hanya
tergantung pada modulus kekakuan bitumen dan proporsi volumetrik (volumetric
proportion), tetapi di bawah nilai ini, sifat-sifat dari agregat menjadi sangat
menentukan, sedangkan pengaruh dari kekakuan bitumen mengalami penurunan.
Kondisi ini digambarkan pada Gambar 3 dimana modulus kekakuan dari
campuran agregat aspal ditunjukkan sebagai fungsi dari modulus kekakuan
bitumen.
Gambar 3. Hubungan antara modulus kekakuan campuran agregat aspal dan modulus
kekakuan bitumen. Sumber: Brown dan Brunton (1984).
Batasan lain penggunaan prosedur Brown dan Brunton adalah variasi nilai
VMA campuran agregat aspal dari 12 % sampai dengan 30 % dengan volume pori
dalam campuran lebih besar 3%. Prosedur Modulus kekakuan campuran agregat
aspal ini didasarkan pada apa yang didapatkan oleh Shell.
b. Uji modulus berdasarkan tarik tak langsung dengan UTM
Uji modulus tarik tak langsung (indirect tensile modulus test) atau disebut
juga repeated load indirect tensile, Robert et.al (1991), menyatakan bahwa
metode uji ini paling umum digunakan untuk mengukur modulus kekakuan
201
(stiffness modulus) campuran panas agregat aspal, dimana aturan pengujian serupa
dengan uji tarik tak langsung (indirect tensile test) yang akan menghasilkan
resilient modulus (MR). Pembebanan yang diaplikasikan tidak akan memberikan
kegagalan (runtuh, failure) pada benda uji. ASTM D 4123-82 (Reapproved 1987)
menetapkan beban repetisi sebesar 10%~50% beban runtuh pada uji tarik tak
langsung. Oleh karena itu untuk mengetahui modulus resilien, kekuatan tarik
harus diukur atau diperkirakan terlebih dahulu. Pembebanan umumnya diterapkan
selama 0,1 detik dan kondisi tanpa beban (rest period) selama 0,9 detik, yaitu
benda uji menerima satu beban berulang (one load cycle) per detik, waktu
perulangan beban dapat dilihat pada Gambar 4. Kombinasi lain antara lama
pembebanan dan rest period dapat digunakan (Robert, et al, 1991).
Gambar 4. Diagram Pembebanan dan Respon Regangan terhadap Waktu
Sumber : UTM (1995)
Besaran rasio Poisson diperlukan sebagai data masukan (input) pada UTM.
Yoder dan Witczak (1975) menyatakan bahwa besaran rasio Poisson () adalah
rasio antara regangan lateral (l) dengan regangan aksial (a) oleh beban yang
sejajar sumbu dimana regangan aksial terukur. Rasio Poisson yang digunakan
oleh berbagai agencies disajikan pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1 Poisson’s ratio yang digunakan oleh berbagai agencies
Bahan Original Shell
Oil Co.
Revised Shell
Oil Co.
The Asphalt
Institute
Kentucky
Highway
Asphalt concrete 0.50 0.35 0.40 0.40
Granular base 0.50 0.35 0.45 0.45
Subgrade 0.50 0.35 0.45 0.45
Sumber: Yoder dan Witzcak (1975)
Alat UTM adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk melakukan
pengujian tarik tak langsung beban berulang yang dikembangkan oleh Industrial
202
Process Controls Limited (IPC) di Australia. Prinsip kerja uji tarik tak langsung
dalam alat ini mengacu pada prosedur ASTM D 4123-82 (1987).
Hasil yang diperoleh dari pengujian modulus uji tarik tak langsung dengan
alat UTM adalah sebagai berikut:
1) modulus resilien elastis (resilient modulus of elasticity),
2) waktu pembebanan (loading time),
3) waktu penambahan pulsa gaya (force pulse rise time),
4) tegangan tarik (tensile stress),
5) puncak pembebanan gaya (peak loading force), dan
6) regangan recoverable total (total recoverable strain).
UTM memberikan persamaan-persamaan sebagai berikut:
St = π.L.D
2.F ………………….…………………………..……………….….. (10)
E = L.H
0,27)F.(R ………………….…….……………..…………..……….. (11)
r = D
H …………………………………………………………...……..….. (12)
dengan:
St = kekuatan tarik (MPa)
E = modulus resilien elastik total (MPa)
L = tinggi sampel (mm)
F = gaya maksimum (beban berulang) (N)
D = diameter sampel (mm)
R = perkiraan nilai rasio Poisson
H = deformasi horisontal recoverable total (mm)
r = regangan recoverable total
HIPOTESIS
Berdasarkan pada tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan landasan teori
yang ada, nilai modulus kekakuan campuran agregat aspal dipengaruhi modulus
kekakuan aspal dan nilai VMA. Penambahan bitumen ekstrak asbuton akan
mempengaruhi sifat fisik aspal khususnya titik lembek dan penetrasinya,
disamping itu aspal sebagai bahan yang bersifat termoplastik akan dipengaruhi
oleh temperatur, kedua hal tersebut akan mempengaruhi modulus kekakuan aspal.
203
Nilai VMA sangat dipengaruhi oleh volume pori udara dan volume aspal dalam
campuran padat. Temperatur pencampuran dan pemadatan yang diukur pada
viskositas aspal yang sama serta cara pemadatan yang dibuat sama maka besar
kecilnya pori akan tergantung pada sifat fisik agregat. Dengan demikian dapat
diduga bahwa temperatur dan penambahan bitumen ekstrak asbuton akan
mempengaruhi nilai modulus kekakuan campuran agregat aspal.
Penambahan bitumen ekstrak asbuton sebesar 4% diduga akan menurunkan
penetrasi dan menaikkan titik lembek sehingga akan menaikkan nilai modulus
kekakuan campuran agregat aspal baik dengan pendekatan empiris cara Brown
dan Brunton (1984) maupun pengujian dengan UTM.
CARA PENELITIAN
Proses kerja
Bagan alir metodologi penelitian dan bagan alir penelitian di presentasikan
pada Gambar 5 dan Gambar 6. Penentuan kadar aspal optimum dilakukan dengan
cara Marshall masing-masing 3 (tiga) benda uji untuk tiap variasi kadar aspal (4;
4,5; 5; 5,5; dan 6 %), variasi penambahan bitumen ekstrak asbuton (BEA) (0 dan
4%) untuk nms 19 mm dan 25 mm, selanjutnya dilakukan analisis variansi
dwifaktor untuk mengetahui pengaruh variasi kadar aspal dan pengaruh
penambahan BEA terhadap karakteristik Marshall. Untuk pengujian dengan UTM
masing-masing 3 (tiga) benda uji setiap variasi temperatur (25; 35 dan 45C) dan
variasi penambahan BEA (0 dan 4%), selanjutnya dilakukan analisis variansi
dwifaktor untuk mengetahui pengaruh variasi temperatur dan pengaruh
penambahan BEA terhadap modulus kekakuan campuran.
Kendala Penelitian
Ketajaman mata serta konsentrasi pikiran pada saat penimbangan,
pembacaan arloji pengukur kelelehan dan arloji pengukur stabilitas yang
dilakukan secara manual pada pengujian Marshall sangat dibutuhkan, sehingga
perlu dilakukan dengan cermat agar kesalahan dapat diminimalkan, apabila terjadi
kesalahan maka dilakukan pengulangan pengujian yang akan memperlambat
waktu pengujian berikutnya.
204
Gambar 5 Bagan alir Metodologi Penelitian
Gambar 6 Bagan alir penelitian
205
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Hasil pemeriksaan sifat fisik aspal
Tabel 2 Hasil Pemeriksaan Sifat Fisik Aspal
No Sifat-sifat Spesifikasi
AC 60/70 *)
Kadar penambahan BEA
terhadap AC 60/70 (%)
Satuan
Min Maks 0 2 4
1 Penetrasi 60 79 63,6 50,3 44,5 0,1 mm
2 Titik lembek 48 58 49,8 52,4 54,0 oC
3 Titik nyala 200 - 325 328 330 oC
4 Kehilangan berat - 0,8 0,0285 0,0659 0,04925 % berat
5 Kelarutan 99 - 99,5902 99,5679 99,5805 % berat
6 Daktilitas 100 - >140 >140 >140 cm
7 Berat jenis 1 - 1,0251 1,0344 1,0383 gr/cm3
8 Suhu Pencampuran - - 156 158 173 oC
9 Suhu Pemadatan - - 142 147 163 oC
Setelah kehilangan berat
10 Penetrasi 54 - 79 91,5 91 % asli
11 Daktilitas 50 - >140 >140 >140 cm
12 Titik Lembek - - 53,8 54,2 55,8 oC
13 Indeks Penetrasi (PI) - - -0,67455 -0,60315 -0,51632 -
*) SNI No.1737-1989-F
2. Hasil pemeriksaan agregat
Tabel 3 Hasil Pemeriksaan Agregat
No Sifat-sifat Spesifikasi *) Hasil
Pemeriksaan
Satuan
Min Maks
Agregat Kasar
1 Penyerapan air - 3 1,9835 %
2 Berat jenis bulk 2,5 - 2,620 -
3 Berat jenis semu - - 2,764 -
4 Berat jenis efektif - - 2,692 -
5 Tes abrasi Los Angeles - 40 16,93 %
6 Indeks kepipihan - 25 15,38 %
7 Kelekatan dengan aspal 95 - 95 %
Agregat Halus
1 Penyerapan air - 3 2,417 %
2 Berat jenis bulk 2,5 - 2,598 -
3 Berat jenis semu - - 2,772 -
4 Berat jenis efektif - - 2,685 -
5 Sand equivalent 50 - 64,48 %
Filler
1 Berat jenis - - 2,6505 -
*) SNI No.1737-1989-F
3. Hasil karakteristik Marshall pada kadar aspal optimum
206
Tabel 4 Hasil Pemeriksaan Marshall pada Kadar Aspal Optimum untuk nms 19 mm
No Karakteristik dan persyaratan
*)
Standar Rendaman Standar Rendaman
BEA 0% BEA 4%
Kadar Aspal (%)
5,1 5,1 5,2 5,2
1 Kepadatan (gr/cc) 2,327 2,323 2,330 2,323
2 VMA (%) (> 14) 15,73 15,85 15,69 15,96
3 VFWA (%) 70,60 69,93 72,27 70,84
4 VITM (%) (3 – 5) 4,62 4,77 4,35 4,66
5 Stabilitas (kg) (> 550) 1119,9 1038,8 1322,1 1277,0
6 Kelelehan (mm) (2-4) 3,73 4,37 3,8 4,3
7 MQ (kg/mm) (220-350) 300,0 238,9 347,9 294,9
8 Indeks Perendaman (%) (>75) 92,755 96,588
*)SNI No.1737-1989-F
4. Hasil analisis temperatur perkerasan
Tabel 5 Hasil Analisis MMAT dan MMPT pada tebal perkerasan 75 mm.
No Nama Kota MMAT (oC) MMPT (
oC)
Maks. Min. Maks. Min.
1 Banda Aceh 35,00 18,00 45,13 24,72
2 Medan 34,30 21,10 44,29 28,44
3 Padang 32,50 18,70 42,13 25,56
4 Riau 34,60 19,40 44,65 26,40
5 Jambi 33,40 14,00 43,21 19,92
6 Palembang 34,40 20,10 44,41 27,24
7 Bengkulu 32,60 13,40 42,25 19,20
8 Tanjung Karang 35,20 19,10 45,37 26,04
9 Jakarta 34,60 21,00 44,65 28,32
10 Bandung 30,60 14,60 39,85 20,64
11 Semarang 34,30 19,50 44,29 26,52
12 Yogyakarta 34,40 16,00 44,41 22,32
13 Surabaya 35,00 20,10 45,13 27,24
14 Bali 34,20 17,00 44,17 23,52
15 Mataram 36,30 19,10 46,69 26,04
16 Kupang 37,70 19,80 48,37 26,88
17 Dili 33,00 15,60 42,73 21,84
18 Pontianak 33,80 18,80 43,69 25,68
19 Palangkaraya 34,00 20,70 43,93 27,96
20 Banjarmasin 36,20 20,00 46,57 27,12
21 Samarinda 34,00 20,00 43,93 27,12
22 Manado 34,20 18,90 44,17 25,80
23 Palu 35,50 20,70 45,73 27,96
24 Ujung Pandang 34,70 18,50 44,77 25,32
25 Kendari 33,10 17,80 42,85 24,48
26 Ambon 33,80 17,80 43,69 24,48
27 Jayapura 32,30 21,60 41,89 29,04
Rata-rata 34,21 18,57 44,18 25,40
Sumber: Hasil olahan data Badan Meteorologi dan Geofisika (1988-1998)
Berdasarkan hasil analisis MMPT maka temperatur pengujian ditentukan
25C, 35C dan 45C. Penentuan ketiga temperatur tersebut dianggap mewakili
dari seluruh temperatur perkerasan beberapa kota di Indonesia.
207
5. Hasil analisis modulus kekakuan cara Brown dan Brunton (1984)
Tabel 6 Hasil Analisis Modulus Kekakuan cara Brown dan Brunton (1984)
Temperatur
(C)
nms 19 mm
BEA 0% BEA 4%
25 2157,089 3356,564
35 589,216 1142,612
45 56,246 193,971
6. Hasil pengujian modulus kekakuan dengan alat UTM
Tabel 7 Hasil Pengujian Modulus Kekakuan pada nms 19 mm
Temperatur
(C)
Mean MR (MPa)
0 %BEA 4%BEA
25 6242,500 7247,000
6614,500 6896,500
6495,000 6719,500
Rata-rata 6450,667 6954,333
35 2322,500 3673,000
2225,000 3541,000
2602,000 3412,500
Rata-rata 2383,167 3542,167
45 895,250 1538,500
951,950 1545,000
1163,000 1451,000
Rata-rata 1003,400 1511,500
Pembahasan
1. Pengaruh penambahan BEA terhadap sifat fisik AC 60/70
Gambar 7 Hubungan antara Penambahan BEA pada AC 60/70 dengan Penetrasi, Titik
lembek dan PI.
208
Penambahan bitumen ekstrak asbuton (BEA) telah merubah sifat fisik AC
60/70 terutama angka penetrasi dan titik lembeknya. Angka penetrasi akan
menurun yang mengindikasikan bahwa aspal menjadi lebih keras dari sebelumnya
sedangkan titik lembek akan naik mengindikasikan bahwa kepekaan aspal
terhadap temperatur menjadi berkurang (nilai PI naik) (Gambar 7). Hal ini
dikarenakan penetrasi BEA yang rendah (4. 0,1 mm) dan titik lembek yang tinggi
(82 C) (berdasarkan hasil penelitian Zamhari et.al, 2000).
Gambar 8 Hubungan kadar BEA dengan Temperatur Pencampuran dan Temperatur
Pemadatan
Penambahan bitumen ekstrak asbuton juga akan menaikkan temperatur
pencampuran dan temperatur pemadatan, hal ini disebabkan aspal minyak relatif
lebih kaku akibat penambahan BEA mengakibatkan kebutuhan pemanasan yang
lebih tinggi untuk mencapai viskositas yang telah ditetapkan untuk proses
pencampuran dan pemadatan.
2. Pengaruh penambahan BEA terhadap nilai VMA
Penambahan bitumen ekstrak asbuton ke dalam AC 60/70 yang digunakan
sebagai bahan perekat tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai
VMA, ditunjukkan dengan nilai fhitung = 1,063 < f0,05 = 7,709 untuk nms 19 mm
dan fhitung = 1,553 < f0,05 = 7,709 untuk nms 25 mm, hal ini dikarenakan
temperatur pencampuran dan temperatur pemadatan sudah disesuaikan dengan
penambahan kadar bitumen ekstrak asbuton ke dalam AC 60/70.
3. Modulus kekakuan campuran agregat aspal
a. Pendekatan empiris cara Brown dan Brunton (1984)
209
Tabel 8 Hasil Analisis Parameter Penentuan Modulus Kekakuan Aspal (Sbit)
BEA
(%)
Pen. (Pi)
(0.1 mm)
SP
(C)
Pr
(0.1 mm)
SPr
(C)
PIr t
(detik)
0 63,6 49,8 41,340 55,809 -0,283 0,087
4 44,5 54,0 28,925 59,895 -0,213 0,087
Tabel 9 Penentuan Sbit dan Sm Metode Brown dan Brunton (1984)
Nms (mm) BEA (%) VMA (%) Temperatur(C) Sbit (MPa) Sm(MPa)
19 0 15,73 25 5,936 2157,089
35 0,834 589,216
45 0,032 56,246
4 15,69 25 11,872 3356,564
35 2,194 1142,612
45 0,168 193,971
25 0 15,6 25 5,936 2226,198
35 0,834 611,587
45 0,032 58,895
4 15,39 25 11,872 3594,821
35 2,194 1238,305
45 0,168 213,770
Tabel 9 menunjukkan bahwa batasan metode Brown untuk kondisi elastik
PIr diantara –1 dan +1 serta nilai t berada diantara 0,01 dan 0,1 detik terpenuhi.
Berdasarkan hasil analisis modulus kekakuan campuran (Sm) pada Tabel 10 dapat
dilihat bahwa batasan nilai VMA terletak diantara 12% sampai dengan 30%
terpenuhi, sedangkan batasan nilai Sbit > 5 MPa terpenuhi hanya pada temperatur
25C. Hal ini berarti bahwa pada temperatur 35C dan 45C, aspal sudah tidak
lagi berperilaku elastis.
Tabel 10 Rasio Sm akibat Penambahan 4% BEA terhadap 0% BEA
Temperatur
(C)
Rasio
nms 19 nms 25
25 1,556 1,615
35 1,939 2,025
45 3,449 3,630
Tabel 10 menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur maka rasio
modulus kekakuan campuran agregat aspal semakin tinggi pula yang berarti
penambahan bitumen akan memberikan hasil yang baik jika temperatur relatif
tinggi.
b. Pengujian dengan UTM
210
Tabel 11 Rasio Sm akibat Penambahan 4% BEA terhadap 0% BEA
Temperatur (C) Rasio
25 1,078
35 1,486
45 1,506
Tabel 11 memberikan kecenderungan yang sama dengan Tabel 10 yaitu
penambahan bitumen akan memberikan hasil yang baik jika temperatur relatif
tinggi. Berdasarkan anova dwifaktor, temperatur berpengaruh signifikan terhadap
modulus kekakuan campuran agregat aspal, ditunjukkan dengan nilai fhitung =
1500,853 > f0,05 = 3,885, sedangkan penambahan BEA juga memberikan
pengaruh signifikan yang ditunjukkan dengan nilai fhitung = 75,977 > f0,05 = 4,747.
Interaksi antara kedua faktor tersebut juga berpengaruh secara signifikan yang
memberikan nilai fhitung = 6,878 > f0,05 = 3,885.
c. Perbandingan modulus kekakuan campuran antara metode Brown dan
Brunton (1984) dengan pengujian UTM
Perbedaan nilai modulus kekakuan campuran pengujian dengan alat UTM
terhadap pendekatan empiris metode Brown dan Brunton (1984) dengan variasi
terhadap temperatur dipresentasikan pada Gambar 9 sedangkan rasio antara UTM
terhadap Brown dan Brunton (1984) ditunjukkan pada Tabel 14.
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
25 35 45
Temperatur (oC)
Mo
du
lus K
ek
aku
an
Ca
mp
ura
n (
MP
a)
UTM_0%BEA
Brown_0%BEA
UTM_4%BEA
Brown_4%BEA
Gambar 9 Hubungan Pengukuran Modulus Kekakuan Campuran antara UTM dan Brown
dan Brunton (1984) terhadap temperatur 25C, 35C dan 45 C dengan lama
pembebanan 87 ms.
211
Tabel 14 Rasio UTM terhadap Metode Brown dan Brunton
Temperatur (C) 0%BEA 4%BEA
25 2,990 2,072
35 4,045 3,100
45 17,839 7,792
Nilai rasio modulus kekakuan campuran dengan pengujian UTM terhadap
metode Brown dan Brunton lebih besar dari 1 (rasio>1). Hal ini dikarenakan
perbedaan batasan regangan yang digunakan. Alat UTM didasarkan pada
recoverable strain sedangkan metode Brown dan Brunton didasarkan pada peak
strain.
Secara umum rasio perbandingan antara UTM terhadap metode Brown dan
Brunton dapat dikatakan bahwa semakin tinggi temperatur maka rasio yang
diberikan menjadi semakin besar pula yang berarti nilai keduanya semakin besar
perbedaannya. Hal ini dikarenakan selain batasan regangan antara kedua metode
berbeda, juga pada temperatur 35C dan 45C sudah tidak memenuhi batasan
penggunaan dari metode Brown dan Brunton (1984) sehingga akan memperbesar
perbedaan dari nilai modulus kekakuan campuran terhadap pengujian UTM.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan antara lain:
1. Penambahan bitumen ekstrak asbuton sebesar 2% dan 4% terhadap bahan
perekat AC 60/70 dapat menurunkan penetrasi dan menaikkan titik lembek.
2. Penambahan bitumen ekstrak asbuton ke dalam AC 60/70 dapat meningkatkan
viskositas yang mengakibatkan temperatur pencampuran dan temperatur
pemadatan menjadi lebih tinggi.
3. Penambahan bitumen ekstrak asbuton ke dalam AC 60/70 dapat meningkatkan
nilai stabilitas campuran agregat aspal dan Marshall Quotient menjadi lebih
besar. Stabilitas campuran pada kadar aspal optimum konvensional (0% BEA)
meningkat 18,1% untuk nms 19 mm dan 1,3% untuk 25 mm pada
penambahan 4% BEA.
4. Campuran dengan bahan perekat AC 60/70 + 4% BEA pada nms 19 mm
memperlihatkan ketahanan terhadap kerusakan yang diakibatkan air adalah
212
lebih baik sebagaimana ditunjukkan dengan Indeks Perendaman 92,755%
menjadi 96,588% yang berarti ada kenaikan sebesar 4,1%.
5. Campuran dengan bahan perekat AC 60/70 dengan penambahan 4% BEA
memiliki modulus kekakuan yang lebih besar daripada campuran tanpa
penambahan bitumen ekstrak asbuton baik dengan pendekatan empiris cara
Brown dan Brunton maupun dengan UTM.
6. Modulus kekakuan cara Brown dan Brunton (1984) hanya pada temperatur
25C yang memenuhi batasan untuk kondisi perilaku elastik dari aspal sebagai
bahan perekat.
7. Berdasarkan Analysis of Variance twofactor dengan pengujian satistik f
menyatakan bahwa penambahan Bitumen Ekstrak Asbuton (BEA) akan
memberikan pengaruh signifikan (fhitung = 75,977 > f0.05 = 4,747), dan
temperatur juga memberikan pengaruh signifikan (fhitung = 1500,853 > f0.05 =
3,885) terhadap respon yaitu nilai modulus kekakuan campuran agregat aspal.
8. Hasil pengujian modulus kekakuan campuran agregat aspal dengan alat UTM
tidak memiliki hubungan yang baik dengan pendekatan empiris metode
Brown dan Brunton (1984) karena perbedaan dasar kriteria batas regangan.
Saran-saran
Berdasarkan penelitian ini, beberapa saran yang diusulkan untuk penelitian
selanjutnya adalah sebagai berikut ini.
1. Penambahan bitumen ekstrak asbuton pada aspal keras dengan penetrasi yang
berbeda kemudian dibandingkan dalam hasil akhir penetrasi yang sama antara
aspal keras murni dan akibat penambahan bitumen ekstrak asbuton.
2. Pemadatan benda uji dengan menggunakan gyratory compactor kemudian
dianalisis indeks kemudahan pekerjaan untuk beberapa target gradasi
Superpave.
3. Penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengujian Indirect Tensile Static Load
untuk menentukan beban failure dan rasio Poisson suatu target gradasi tertentu
kemudian dilakukan uji Indirect Tensile Stiffness Modulus, dengan demikian
perkiraan atau asumsi dapat dikurangi.
213
4. Penelitian terhadap fatigue resistance dari campuran yang dibuat dengan
bahan perekat yang mengandung bitumen ekstrak asbuton.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1994, Road and Paving Materials; Paving Management Technologies,
Annual Book of American Society for Testing and Materials (ASTM)
Standards, Volume 04.03, Section 4 Construction, ASTM.
Anonim, 1987, Petunjuk Pelaksanaan Lapis Aspal Beton (Laston) untuk Jalan
Raya, SKBI-2.4.26. 1987, UDC: 625.75(02), SNI No. 1737-1989-F,
Yayasan Badan Penerbit PU, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Anonim, 1996, Superpave Mix Design, Superpave Series No.2 (SP-2), Asphalt
Institute.
Anonim, 1993, Mix Design Methods for Asphalt Concrete and Other Hot-Mix
Types, Manual Series No.2 (MS-2), 6th
Edition Asphalt Institute.
Ahmad, N.S., 2000, Ekstrak Bitumen Aspal Buton Mikro sebagai Salah Satu
Alternatif Perbaikan Sifat Aspal Minyak Produksi Pertamina, Tesis S-2,
Magister Sistem dan Teknik Transportasi, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. (tidak dipublikasikan)
Brown, S.F., dan Brunton, J.M., 1984, An Introduction to the Analytical Design of
Bituminous Pavement, 2th
Edition, University of Nottingham.
Dairi, G., dan James., 1991, Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Pemanfaatan Asbuton sebagai Perkerasan Jalan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Prasarana Jalan, Departemen Pekerjaan Umum,
Bandung.
Dairi, G., dan Arifin, Z., 1993, Studi Karakteristik Beton Aspal Diuji dengan
Static Indirect Tensile, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Prasarana Jalan, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.
Dewantoro, I., Subagio, B.S, dan Karsaman, R.H., 2001, Kajian Nilai Modulus
Elastis Perkerasan Lentur Hasil Pengukuran Alat GH dan UMATTA serta
Perhitungan Metode Shell dan Asphalt Institute, Simposium ke-4 Forum
Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi (FSTPT), Universitas Udayana,
Bali.
Giyanto, N., 1993, Penelitian Pengaruh Variasi Gradasi Agregat Kasar pada
Beton Aspal terhadap Modulus Kekakuan dan Koefisien Kekuatan Relatif,
214
Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. (tidak dipublikasikan)
Nasution, A. H., 1994, Pengkajian Modulus Elastisitas Perkerasan Beraspal
Campuran Panas di Laboratorium, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Prasarana Jalan, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.
Kennedy, T.W., 1996, The Bottom Line: Superpave System Works, The Superpave
Asphalt Research Program, The University of Texas at Austin.
K.B. de Vos., 1995, Universal Testing Machine (UTM), Reference Manual,
Industrial Process Controls Ltd, Australia.
Mulyadi, M., Samosir, B., Tarmedi, Sutrisno, Budjang, Suryana, O., dan Herman.,
2000, Pengkajian Kinerja Perkerasan Lentur Secara Analitis, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Prasarana Jalan, Departemen
Kimpraswil, Bandung.
Robert, F.L., Kandhal, P.S., Lee, D.Y., Brown, E.R., dan Kennedy, T.W., 1991,
Hot Mix Asphalt Material, Mixture Design and Construction, Napa
Education Foundation Lanham, Maryland.
Soedjatmiko, A.E.T., 1999, Karakterisasi Modulus Lapis Aspal untuk Kondisi
Klimatik di Indonesia, Tesis S-2, Magister Sistem dan Teknik Jalan Raya,
Institut Teknologi Bandung, Bandung (tidak dipublikasikan).
Walpole, R.E., dan Myers, R.H., 1993, Probability and Statistics for Engineers
and Scientists, 5th
Edition, Macmillan Publishing Company, a division of
Macmillan, Inc., United States of America.
Yang, N.C., 1972., Design of Functional Pavements, McGraw-Hill, Inc., United
States of America.
Yoder, E.J., dan Witczak, M.W., 1975, Principle of Pavement Design, 2nd
Edition,
John Wiley & Sons Inc., Canada.
Zamhari, K.A., H, Madi., Yamin, A., Lawalata, GM., Aristono, T., Arifin, Z., R,
Tuti., S, Dodi., Paidjo, Firdaus, J., dan S, Bongsu., 2000, Penelitian
Berbagai Campuran Aspal untuk Iklim Tropis di Indonesia, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Prasarana Jalan, Departemen
Kimpraswil, Bandung
215
PENGARUH KOMPOSISI ALKALI AKTIVATOR TERHADAP KUAT
TEKAN MORTAR GEOPOLIMER BARBAHAN DASAR ABU TERBANG
Medi Tikara1, Andi Arham Adam2, I Wayan Suarnita3 ¹ ²
3 Universitas Tadulako, Palu Indonesia
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi alkali aktivator yang menghasilkan
kuat tekan optimum untuk mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang. Dalam penelitian ini
digunakan Abu Terbang tipe F dari PLTU Mpanau dan aktivator yang digunakan adalah Sodium
Silikat (Na2SiO3) dan Sodium Hidroksida (NaOH). Benda uji yang dibuat adalah mortar
berbentuk kubus dengan ukuran 50 x50 x 50 mm dengan ratio massa antara abu terbang dengan
pasir adalah 1 : 2,75 dan rasio massa air terhadap solid (w/s) adalah 0,35. Variasi dosis aktivator
yang digunakan adalah 25%, 40% dan 55% dengan perbandingan Sodium Silikat terhadap
Aktivator (W/A) sebesar 0; 0,3; 0,5; 0,7 dan 1. Pengujian kuat tekan mortar dilakukan pada umur
3, 7, 14 dan 28 hari.
Hasil pengujian kuat tekan menunjukkan bahwa kuat tekan mortar geopolimer yang
paling besar serta kuat tekan yang optimum (sudah bisa digunakan sebagai elemen struktur) adalah
mortar dengan komposisi dosis 55% dan W/A = 0,5 menghasilkan kuat tekan sebesar 24,72MPa.
Kata-kata kunci : Abu terbang, alkal`i aktivator, dosis, geopolimer, kuat tekan
PENDAHULUAN
Seiring dengan maraknya pembangunan fisik, kebutuhan akan beton serta
mortar semakin meningkat, karena pada umumnya beton dan mortar
menggunakan bahan pengikat berupa semen portland. Namun belakangan ini
semen portland mulai mendapatkan sorotan dari kalangan pecinta lingkungan, hal
ini disebabkan oleh industri semen portland menjadi salah satu penyumbang emisi
gas karbon dioksida (CO2) terbesar selain penggunaan BBM.
Penggantian sejumlah bagian semen dalam pembuatan beton dan mortar,
atau secara total menggantinya dengan bahan lain yang lebih ramah lingkungan
menjadi solusi yang lebih menjanjikan untuk mengatasi masalah besarnya emisi
gas karbondioksida dari industri semen portland. Salah satu solusi dari
permasalahan tersebut adalah penggunaan limbah abu terbang (fly ash) sebagai
bahan utama pengganti semen. Abu terbang merupakan limbah dari industri
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berupa hasil dari sisa pembakaran batu
bara.
16
216
Pada tahun 1978 seorang ilmuwan Prancis, Prof. Joseph Davidovits adalah
orang yang memperkenalkan istilah yang disebut Geopolimerisasi, yaitu reaksi
cairan alkali dengan silikon dan aluminium dalam bahan sumber geologi atau
bahan limbah seperti fly ash dan abu sekam padi. Geopolimer sendiri terbentuk
dari rekasi kimia aluminium dan silikon sebagai bahan kimia dasar yang disebut
polimerisasi anorganik (inorganic polymerization) yang hasilnya sebuah benda
padat menyerupai beton atau mortar. Limbah seperti abu terbang, dapat digunakan
sebagai material dasar untuk membuat beton atau mortar geopolimer. Dengan
adanya teknologi geopolimer ini dapat membantu mereduksi limbah abu terbang
sehingga menjadi bahan yang bermanfaat serta memiliki nilai jual. Selain itu
penggunaan abu terbang sebagai bahan dasar beton atau mortar juga dapat
mengurangi kadar karbon dioksida di atmosfer karena dapat mengurangi produksi
semen portland atau bahkan dapat menggantikan produksi semen portland.
TINJAUAN PUSTAKA
Geopolimer adalah sebuah senyawa silikat alumino anorganik yang
disintesiskan dari bahan–bahan produk sampingan seperti fly ash (abu
terbang), abu kulit padi (rice husk ash) dan lain-lain, yang banyak mengandung
silikon dan aluminium (Davidovits, 2008 dalam Prasetio dkk. 2012). Mortar
geopolymer merupakan produk geosintetik dimanaa reaksi pengikatan yang terjadi
adalah reaksi polimerisasi. Dalam reaksi polimerisasi ini unsur aluminium dan
silikat merupakan unsur yang mempunyai peranan penting dalam membuat
ikatan polimer (Davidovits, 1994). Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan
digunakan fly ash agar terbentuk ikatan polimer.
Gambar 1 Ikatan Polimerisasi yang Terjadi pada Beton/Mortar Geopolimer (Sumber : www.geopolymer.org)
217
Gambar 2 Ikatan yang Terjadi pada Beton/Mortar Memen (Kiri) dan Ikatan yang
Terjadi pada Beton/Mortar Geopolymer (Kanan) (Sumber : www.geopolymer.org)
Untuk membuat campuran mortar geopolimer dibutuhkan bahan kimia
berupa larutan sodium silikat (waterglass) dan sodium hidroksida sebagai
aktivator. Sodium silikat dan sodium hidroksida digunakan sebagai alkaline
aktivator (Hardjito dkk, 2004). Sodium silikat atau waterglass mempunyai fungsi
untuk mempercepat reaksi polimerisasi. Sedangkan sodium hidroksida berfungsi
untuk mereaksikan unsur-unsur Al dan Si yang terkandung dalam fly ash
sehingga dapat menghasilkan ikatan polimer yang kuat.
Gambar 3 Kuat Tekan Mortar Geopolimer Berbahan Dasar Abu Terbang dengan Suhu
Perawatan 800 C dan Durasi 20 Jam
(Sumber : Adam, 2009)
218
METODE PENELITIAN
Bahan dasar yang digunakan untuk membuat murtar geopolimer berupa abu
terbang (fly ash) yang diambil dari PLTU Mpanau. Berasarkan hasil pemeriksaan
komposisi kimia dalam fly ash seperti pada Tabel 1 di bawah menunjukkan bahwa
fly ash yang digunakan masuk dalam fly ash kelas F dengan kandungan kalsium
yang rendah.
Dalam penelitian ini aktivator yang digunakan adalah larutan sodium silikat
(waterglass) dan larutan sodium hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi 10M.
Dengan rasio fly ash : pasir adalah 1:2,75 dengan perbandingan water/solid (w/s)
= 0,35. Dimana wwater/solid (w/s) merupakan perbandingan jumlah berat padatan
yang terkandung dalam fly ash, sodium silikat serta sodium hidroksida dengan
jumlah berat aii yang terkandung dalam sodium silikat, sodium hidroksida serta
air tambahan.
Tabel 1 Kandungan Kimia Abu Terbang yang Digunakan
No Parameter Fly Ash (%)
1 SiO2 55,54
2 Fe2O3 23,76
3 Al2O3 14,02
4 CaO 2,02
5 K2O 1,58
6 SO3 1,3
7 TiO2 0,92
8 MnO 0,291
9 Bahan Lain 0,5559
Total 99,9869
Detail mix serta prosedur yang dipakai dalam melakukan penelitian ini
iadopsi dari Adam (2009) serta SNI 06-6825-2002, dengan menggunakan 2
variasi komposisi aktivator, yaitu :
1. Dosis aktivator : persentase perbandingan massa antara aktivator dengan fly
ash.
2. Waterglass/aktivator (W?A) : perbandingan massa antara sodium silikat atau
waterglass (Na2SiO3) dengan aktivator (Na2SiO3 + NaOH).
Notasi benda uji yang digunakan untuk mortar geopolimer berbahan dasar
abu terbang diberikan pada Gambar 4 berikut :
219
Gambar 4 Notasi Benda Uji untuk Mortar Geopolimer Berbahan Dasar Abu Terbang
Dalam penelitian ini, berdasarkan variabel yang ditentukan maka dibuat
variasi dosis aktivator mulai dari 25%, 40% dan 55% dengan rasio
waterglass/aktivator (W/A) antara 0; 0,3; 0,5; 0,7 dan 1 dangan total 15 variabel
atau percobaan. Untuk perawatan (curing) benda uji dilakukan dengan
memanaskan benda uji yang sudah dibungkus dengan cling wrap dimasukkan
dalam oven pada suhu 1000C selama 20 jam. Kemudian setelah proses perawatan
benda uji selesai lalu benda uji di uji kuat tekan dengan umur mortar 3, 7, 14 dan
28 hari. Berikut adalah tabel mix desain yang menunjukkan variasi dosis dan rasio
waterglass/aktivator dari percobaan yang akan dilakukan.
Tabel 2 Variabel Dosis serta Modulus Aktivator
Aktivator yang
Digunakan
Notasi Variabel
Penelitian
Komposisi Aktivator
Dosis Aktivator (%) Na2SiO3/Aktivator
NaOH N25-0 25 0
N40-0 40 0
N55-0 55 0
NaOH + Na2SiO3 NS25-0,3 25 0,3
NS40-0,3 40 0,3
Tabel 3 Variabel Dosis serta Modulus Aktivator (Lanjutan)
Aktivator yang
Digunakan
Notasi Variabel
Penelitian
Komposisi Aktivator
Dosis Aktivator (%) Na2SiO3/Aktivator
NaOH + Na2SiO3 NS55-0,3 55 0,3
NS25-0,5 25 0,5
NS40-0,5 40 0,5
NS55-0,5 55 0,5
NS25-0,7 25 0,7
NS40-0,7 40 0,7
NS55-0,7 55 0,7
Na2SiO3 NS25-1 25 1
NS40-1 40 1
NS55-1 55 1
NS55-0,5Dosis Aktivator
(W/A) Waterglass /
Alkali Aktivator
* NS = Mortar Geopolimer Berbahan dasar Abu Terbang
dengan sodium silikat dan sodium hidroksida sebagai
aktivator
* N = Mortar Geopolimer Berbahan dasar Abu Terbang
dengan sodium hidroksida sebagai aktivator
* S = Mortar Geopolimer Berbahan dasar Abu Terbang
dengan sodium silikat/waterglass sebagai aktivator
( Fly Ash
AktivatorX 100%)
220
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil keseluruhan dari pengujian kuat tekan mortar geopolimer berbahan
dasar abu terbang serta mortar semen dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah.
Gambar 5 Kuat Tekan Mortar Geopolimer untuk Setiap Variasi Komposisi Alkali
Aktivator dan Mortar Semen
Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Dosis Aktivator yang
Berbeda
Hasil pengujian kuat tekan mortar geopolimer dengan dosis aktivator yang
berbeda untuk setiap variasi W/A (waterglass/aktivator) pada mortar umur 28 hari
dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah.
Gambar 6 Hubungan Antara Dosis Aktivator dengan Kuat Tekan Mortar Geopolimer
pada Umur 28 Hari
221
Dari Gambar 6 di atas dapat dilihat kuat tekan mortar geopolimer pada umur
28 hari dengan 55% kuat tekan dari mortar geopolimer juga semakin bertambah
dan peningkatan yang paling signifikan terjadi pada mortar dengan variasi W/A =
0,5 yaitu 24,72 MPa dimana pada mortar dengan W/A = 0,5 tersebut selain
menunjukkan peningkatan kuat tekan yang signifikan, peningkatan kuat tekannya
terhadap dosis aktivator juga cenderung konstan atau linier.
Hal ini menunjukkan bahwa dosis dari aktivator memiliki pengaruh yang
cukup signifikan terhadap kuat tekan mortar geopolimer, karena dengan
meningkatkan dosis aktivator berarti juga meningkatkan kadar Na2O yang
terdapat pada sodium hidroksida dan sodium silikat serta meningkatkan kadar
SiO2 yang terdapat pada sodium silikat. Dimana Na2O dan SiO2 tersebut
berpengeruh terhadap reaksi polimerisasi yang terjadi.
Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Variasi W/A yang
Berbeda
Hasil pengujian kuat tekan mortar geopolimer dengan W/A
(waterglass/aktivator) yang berbeda untuk setiap variasi dosis aktivator pada
mortar umur 28 hari dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah.
Gambar 7 Hubungan Antara W/A (Waterglass/Aktivator) dengan Kuat Tekan Mortar
Geopolimer pada Umur 28 Hari
Dari Gambar 7 di atas dapat dilihat kuat tekan mortar geopolimer pada
umur 28 hari dengan W/A = 0,5 menghasilkan kuat tekan hingga 24,72 MPa pada
dosis 55%, dan kuat tekan dari mortar kemudian menurun pada W/A = 0,7 dengan
kuat tekan paling besar adalah 21,84 MPa untuk dosis 55% kemudian kuat tekan
mortar geopolimer semakin menurun hingga 0 MPa untuk dosis 25% dan paling
222
tinggi 1,93 MPa untuk dosis 40% pada W/A = 1. Sehingga dari gambar 7 di atas
dapat dilihat bahwa rasio W/A yang optimum digunakan adalah W/A = 0,5-0,7
yang menghasilkan kuat tekan optimum.
Hal ini menunjukkan bahwa W/A (waterglass/aktivator) juga
mempengaruhi kuat tekan mortar geopolimer, karena dengan meningkatkan rasio
W/A dari campuran mortar geopolimer berarti sodium silikat yang digunakan
dalam aktivator akan semakin banyak sehingga meningkatkan jumlah SiO2 dalam
aktivator dimana unsur ini mempunyai peranan untuk mempercepat terjadinya
reaksi geopolimerisasi pada unsur silika dan aluminium yang terkandung di dalam
fly ash sehingga menghasilkan ikatan polimerisasi yang kuat. Namun semakin
tinggi rasio W/A yang digunakan dapat mengurangi kuat tekan dari mortar
geopolimer itu sendiri, hal ini terlihat jelas pada Gambar 7 di atas yang
menunjukkan semakin rendah atau tingginya rasio W/A yang digunakan hingga
melewati batas optimum dapat menghasilkan kuat tekan mortar geopolimer yang
rendah.
Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer Dosis 25% terhadap Umur
Mortar
Gambar 8 Hubungan Antara Umur dengan Kuat Tekan Mortar Semen dan Mortar
Geopolimer pada Dosis 25% dan W/A = 0-1
Hasil pengujian kuat tekan untuk mortar geopolimer dengan dosis
aktivator 25%, untuk W/A 0; 0,3; 0,5; 0,7 dan 1 pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari
dapat dilihat pada Gambar 8 di atas. Dari hasil pengujian didapatkan kuat tekan
untuk W/A = 0; 0,3 dan 1 pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari semuanya sebesar 0
MPa dan tidak mengalami peningkatan sama sekali. Kemudian untuk W/A = 0,5
0.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.100.15 0.15 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.00
15.73
21.87
25.87 27.60
0
5
10
15
20
25
30
0 7 14 21 28 35
Ku
at
Te
ka
n (
MP
a)
Umur (Hari)
N25-0
NS25-0,3
NS25-0,5
NS25-0,7
S25-1
Mortar Semen
223
pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 0, 0, 0 dan 0,1 MPa.
Kemudian untukl W/A = 0,7 pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing
sebesar 0,15; 0,15; 0 dan 0 MPa. Gambar 4.8 di bawah menunjukkan bahwa pada
dosis aktivator 25% dengan W/A = 0; 0,3; 0,5 dan 1 menghasilkan kuat tekan
yang sangat kecil bila dibandingkan dengan W/A = 0,7 dan hingga 28 hari kuat
tekannya sedikit meningkat. Walaupun kuat tekan yang dihasilkan dengan W/A =
0,7 juga sangat kecil, hal ini menunjukkan bahwa dengan dosis 25% tidak
menghasilkan kuat tekan yang baik karena unsur-unsur pereaksi dalam aktivator
seperti Na2O dan SiO2 sangat kurang untuk membentuk reaksi polimerisasi
walaupun dengan suhu perawatan yang cukup tinggi 1000C dan durasi 20 jam.
Pada W/A = 0,7 terdapat sedikit kuat tekan, hal ini disebabkan karena unsur SiO2
yang mencapai batas optimum untuk melakukan reaksi polimerisasi dalam mortar
geopolimer walaupun jumlahnya masih sedikit sehingga sedikit menghasilkan
kuat tekan.
Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer Dosis 40% terhadap Umur
Mortar
Gambar 9 Hubungan Antara Umur dengan Kuat Tekan Mortar Semen dan Mortar
Geopolimer pada Dosis 40% dan W/A = 0-1
Hasil pengujian kuat tekan untuk mortar geopolimer dengan dosis
aktivator 40% dengan W/A = 0-1 dapat dilihat pada Gambar 9 di atas. Untuk W/A
= 0 kuat tekan yang dihasilkan justru menurun pada umur 7 hari, yaitu 0,6 MPa
dan naik kembali pada umur 14 dan 28 hari menjadi 1,55 MPa. Kemudian untuk
1.40 0.60 1.45 1.553.92 4.56
5.525.68
12.16 12.1613.76
15.36
17.2816.32
17.3617.44
0.60 0.87 1.071.93
15.73
21.87
25.87 27.60
0
5
10
15
20
25
30
0 7 14 21 28 35
Ku
at
Te
ka
n (
MP
a)
Umur (Hari)
N40-0
NS40-0,3
NS40-0,5
NS40-0,7
S40-1
Mortar Semen
224
W/A = 0,3 menunjukkan kenaikan yang tidak signifikan mulai dari umur 3 sampai
28 hari dengan kuat tekan hingga 5,68 MPa, untuk W/A = 0,5 juga menunjukkan
kenaikan yang tidak terlalu signifikan mulai dari umur 3 sampai 28 hari dengan
kuat tekan hingga 15,35 MPa, untuk W/A = 0,7 juga menunjukkan kenaikan yang
tidak terlalu signifikan dan pada umur 7 hari kuat tekannya justru menurun hingga
16,32 MPa dan berangsur naik kembali pada umur 14 dan 28 hari dengan kuat
tekan hingga 17,44 MPa, dan untuk W/A = 1 juga menunjukkan menunjukkan
kenaikan yang tidak terlalu signifikan mulai dari umur 3 sampai 28 hari dengan
kuat tekan hingga 1,93 MPa.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan dosis 40% sudah mulai menghasilkan
kuat tekan yang cukup baik, pertambahan kuat tekan dari mortar geopolimer yang
tidak terlalu signifikan juga menunjukkan bahwa unsur-unsur pembentuk reaksi
polimer dalam mortar geopolimer sudah bereaksi secara penuh pada saat
dikeluarkan dari oven dengan suhu 1000C dan durasi 20 jam, sehingga pada umur
3 hari hingga 28 hari tidak menunjukkan peningkatan kuat tekan yang signifikan.
Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer Dosis 55% terhadap Umur
Mortar
Gambar 10 Hubungan Antara Umur dengan Kuat Tekan Mortar Semen dan Mortar
Geopolimer pada Dosis 55% dan W/A = 0-1
Hasil pengujian kuat tekan untuk mortar geopolimer dengan dosis
aktivator 55%dengan W/A = 0-1 dapat dilihat pada Gambar 10 di atas. Untuk
W/A = 0 kuat tekan yang dihasilkan justru menurun pada umur 7 sampai 14 hari
hingga 2,67 MPa dan naik kembali pada umur 28 hari menjadi 3,87 MPa.
Kemudian untuk W/A = 0,3 menunjukkan kenaikan yang tidak signifikan mulai
3.87 3.33 2.67 3.87
12.48 12.48 13.9214.24
21.6820.88
24.0024.72
17.6818.96
20.32
21.84
0.40 0.27 0.270.60
15.73
21.87
25.87 27.60
0
5
10
15
20
25
30
0 7 14 21 28 35
Ku
at T
eka
n (
MP
a)
Umur (Hari)
N55-0
NS55-0,3
NS55-0,5
NS55-0,7
S55-1
Mortar Semen
225
dari umur 3 sampai 28 hari dengan kuat tekan hingga 14,24 MPa, untuk W/A =
0,5 juga menunjukkan kenaikan yang tidak terlalu signifikan mulai dari umur 3
dan justru menurun pada 7 hari sebesar 20,88 MPa dan naik kembali pada umur
28 hari dengan kuat tekan hingga 24,72 MPa, untuk W/A = 0,7 juga menunjukkan
menunjukkan kenaikan yang tidak terlalu signifikan mulai dari umur 3 sampai 28
hari dengan kuat tekan hingga 21,84 MPa dan untuk W/A = 1 juga menunjukkan
kenaikan yang tidak terlalu signifikan mulai dari umur 3 dan justru menurun pada
7-14 hari sebesar 0,27 MPa dan naik kembali pada umur 28 hari dengan kuat
tekan hingga 0,6 MPa.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan dosis 55% sudah bisa menghasilkan
kuat tekan yang optimum (dalam hal ini optimum berarti sudah bisa digunakan
sebagai elemen struktural), pertambahan kuat tekan dari mortar geopolimer yang
tidak terlalu signifikan juga menunjukkan bahwa unsur-unsur pembentuk reaksi
polimer dalam mortar geopolimer sudah bereaksi secara penuh pada saat
dikeluarkan dari oven dengan suhu 1000C dan durasi 20 jam, sehingga pada umur
3 sampai 28 hari tidak menunjukkan peningkatan kuat tekan yang signifikan
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
Dari hasil pengujian kuat tekan mortar geopolimer berbahan dasar abu
terbang, komposisi aktivator yang dapat menghasilkan kuat tekan yang
optimum (sudah bisa digunakan untuk bahan konstruksi struktural) adalah
komposisi aktivator dengan dosis aktivator 40% dengan W/A = 0,5-0,7 dan
dosis aktivator 55% dan W/A = 0,3-0,7 dengan kuat tekan mulai dari 14,24
MPa hingga 24,72 MPa.
Dosis aktivator yang baik digunakan untuk menghasilkan kuat tekan mortar
geopolimer yang baik adalah dosis 40% - 55%.
W/A (Waterglass/Aktivator) yang baik digunakan untuk menghasilkan kuat
tekan mortar geopolimer yang optimum adalah W/A = 0,5 – 0,7 dengan syarat
dosis aktivator yang digunakan minimal 40%.
Dari hasil pengujian kuat tekan mortar geopolimer berbahan dasar abu
terbang, dengan hanya menggunakan sodium hidroksida sebagai aktivator
226
hanya dapat menghasilkan kuat tekan sebesar 3,87 MPa dengan komposisi
dosis aktivator 55% dan W/A = 0.
Dari hasil pengujian kuat tekan mortar geopolimer berbahan dasar abu
terbang, dengan hanya menggunakan sodium silikat sebagai aktivator hanya
dapat menghasilkan kuat tekan sebesar 1,93 MPa dengan komposisi dosis
aktivator 40% dan W/A = 1.
DAFTAR PUSTAKA
Adam A.A. (2009). Strength and Durability Properties of Alkali Activated Slag
and Fly Ash-Based Geopolymer Concrete. Thesis. (Unpublished). RMIT
University. Melbourne, Australia.
Badan Standar Nasional, SNI 03-6825-2002. Metode Pengujian Kekuatan Tekan
Mortar Semen Portland Untuk Pekerjaan Sipil, Jakarta
Davidovits, J. (1994b). Properties of Geopolymer Cements, Proceedings of the 1st
International Conference on Alkaline Cements and Concretes, Kiev State
Technical University, Kiev, Ukraine, pp.131-149
Hardjito, D. and Rangan, B.V. (2004). Influence Of Aggregate On The
Microstructure Of Geopolymer. Curtin University of Technology. Perth,
Australia.
Jaarsveld, v. J.G.S., Deventer, v. J.S.J., and Lukey, G.C. (2002). The
Characterisation Of Source Materials In Fly Ash-Based Geopolymers.
University of Melbourne, Australia.
Pontoh, S. (2009). Analisis Kuat Tekan Beton dengan Aditif Kapur dan Fly Ash
Ex. PLTU MPanau. Tugas Akhir. (Tidak Diterbitkan). Universitas
Tadulako, Palu.
Prasetio, P.P., Kartadinata G., Hardjito D. dan Antoni (2012). Karakteristik
Mortar dan Beton Geopolimer Berbahan Dasar Lumpur Sidoarjo. Skripsi.
Universitas Kristen Petra, Surabaya.
http://www.geopolymer.org/applications/introduction_developments_and_applica
tions_in_geopolymer_2, diakses 16 Februari 2013
http://www.geopolymer.org/chemical structure and applications.htm, diakses 13
Februari 2013
227
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEEFEKTIFAN SISTEM
PENJAMINAN MUTU PADA PERGURUAN TINGGI
Nirmalawati
Fakultas Teknik Universitas Tadulako Palu
Email : [email protected]
ABSTRAK
Tercapai keefektifan dalam pelaksanaan penjaminan mutu, merupakan salah satu bentuk
keberhasilan perguruan tinggi dalam mengelola sumber daya yang dimiliki secara optimal. Tujuan
dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor kapabilitas kepemimpinan,
komitmen dosen terhadap lembaga, akuntabilitas lembaga, kinerja tim, dan budaya mutu
berpengaruh terhadap keefektifan sistem pelaksanaan penjaminan mutu. Penelitian ini
menggunakan metode pendekatan kuantitatif, bersifat deskriptif-korelasional. Populasi penelitian
semua dosen pada universitas negeri maupun swasta, jumlah sampel penelitian diambil dengan
teknik proporsional random sampling dan menggunakan tabel yang disusun oleh Krejcie dan
Cohran. Pengumpulan data menggunakan teknik penyebaran angket kepada responden. Teknik
analisis data digunakan SEM (Structural Equation Modelling) dan diselesaikan dengan bantuan
software PLS (Partial Least Square). Hasil penelitian menyatakan bahwa (1) gambaran kapabilitas
kepemimpinan, komitmen dosen terhadap lembaga, akuntabilitas lembaga, budaya mutu, dan
kinerja tim pada universitas tersebut keseluruhan berkategori baik; (2) komitmen dosen,
akuntabilitas lembaga, kinerja tim, dan budaya mutu berpengaruh langsung terhadap keefektifan
pelaksanaan penjaminan mutu; sedangkan kapabilitas kepemimpinan tidak memiliki pengaruh
langsung terhadap keefektifan sistem penjaminan mutu.
Kata kunci: Keefektifan, penjaminan mutu, akuntabilitas
PENDAHULUAN
Proses penjaminan mutu di suatu perguruan tinggi merupakan kegiatan
mandiri, sehingga proses tersebut dirancang, dijalankan dan dikendalikan sendiri
oleh perguruan tinggi tanpa campur tangan dari pemerintah. Adapun landasan
juridis dari penjaminan mutu pendidikan tinggi adalah (1) Undang-undang Nomor
20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas No 20/2003),
yaitu evaluasi pendidikan yang terdiri dari kegiatan pengendalian, penjaminan dan
penetapan mutu pendidikan; (2) Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005,
tentang Standar nasional pendidikan; (3) Rencana Strategis (Renstra) Diknas
2005-2009 yang diarahkan pada aspek, (a) pemerataan dan perluasan akses; (b)
peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; (c) tata kelola, akuntabilitas dan
pencitraan publik; (4) Kerangka strategi pengembangan perguruan tinggi jangka
panjang atau Higher Education Long Term Strategy 2003-2010 (HELTS 2003-
17
228
2010), tentang ciri mutu pendidikan tinggi nasional dinyatakan secara khusus,
yaitu penjaminan mutu (Quality Assurance).
Adapun proses penjaminan mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi
dijalankan melalui tahap-tahap yang dirangkai sebagai berikut, (a) perguruan
tinggi menetapkan visi dan misinya, (b) berdasarkan visi dan misi tersebut, setiap
program studi menetapkan visi dan misinya, (c) visi setiap program studi
kemudian dijabarkan oleh program studi terkait menjadi serangkaian standar mutu
pada setiap butir-butir mutu, (d) standar mutu dirumuskan dan ditetapkan dengan
meramu visi perguruan tinggi (secara deduktif) dan kebutuhan stakeholders
(secara induktif), sebagai standar maka rumusannya harus spesifik dan terukur
yaitu mengandung unsur audience, behavior, competence, degree, (e) menetapkan
organisasi dan mekanisme kerja penjaminan mutu, (f) melaksanakan penjaminan
mutu dengan menerapkan manajemen kendali mutu, (e) perguruan tinggi
mengevaluasi dan merevisi standar mutu melalui benchmarking (patok duga)
secara berkelanjutan.
Pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan tinggi saat ini sudah menjadi isu
global yang merupakan tuntutan masyarakat pada umumnya. Adapun prospektif
dari pelaksanaan penjaminan mutu adalah memberikan perlindungan kepada
masyarakat agar mendapatkan hasil pendidikan yang sesuai dengan yang
dijanjikan oleh penyelenggara pendidikan tinggi, memberikan kepuasan kepada
stakeholders dan memberikan peningkatan mutu pendidikan tinggi. Di samping
itu, penjaminan mutu juga memberikan kesempatan dan peluang terjadinya
interaksi antara masyarakat kampus dengan masyarakat luas dalam berbagai
kegiatan terutama kegiatan kekaryaan, melibatkan masyarakat dalam menilai
tugas akhir mahasiswa, memperhatikan masukan dari masyarakat. Sedangkan
kegiatan evaluasi yaitu, akreaditasi yang dilakukan oleh BAN-PT, EPSBED yang
dilakukan oleh Dirjen Dikti, dan Sistem penjaminan mutu yang dilakukan secara
mandiri oleh perguruan tinggi yang bersangkutan, diarahkan pada pencapaian
mutu atau kualitas pendidikan tinggi. Kegiatan evaluasi tersebut dapat saling
mendukung dan melengkapi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sistem penjaminan mutu
perlu diketahui, terutama dalam pengembangan proses internal atau proses
229
manajemen. Seperti yang dinyatakan oleh Soetopo (2005) bahwa penjaminan
mutu secara internal perguruan tinggi akan tertopang, jika dilaksanakan
pengukuran keefektifan perguruan tingginya dengan memperhatikan proses
internal organisasi di samping produktivitas organisasi dalam penilaiannya.
Sehingga kajian tentang keefektifan sistem penjaminan mutu ditinjau dari sudut
pandang yang menekankan pada pendekatan proses internal atau proses
manajemen dalam pelaksanaan sistem penjaminan mutu. Pendekatan internal
dengan mengukur kemampuan organisasi dan manajemen dalam mengubah
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan organisasi, antara lain meliputi
faktor kapabilitas kepemimpinan, kinerja tim, akuntabilitas lembaga, komitmen
dosen, dan budaya mutu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada beberapa universitas negeri
maupun swasta, maka secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa universitas
tersebut telah melaksanakan penjaminan mutu yang ditandai dengan telah
memiliki lembaga penjaminan mutu. Tetapi secara umum masih terdapat beberapa
kendala atau kekurangan dalam pelaksanaan penjaminan mutu pada beberapa
universitas tersebut, antara lain (1) kapabilitas kepemimpinan dari para
pemimpinnya masih perlu ditingkatkan, (2) rendahnya komitmen dari para
pimpinan maupun dosen, (3) sikap mental dosen yang kurang suportif dalam
melaksanakan proses pembelajaran atau masih perlu ditingkat kompetensinya, dan
(4) rendahnya kualitas pelayanan terhadap mahasiswa, (5) rencana strategis
(Renstra) atau rencana induk pengembangan (RIP) suatu perguruan tinggi,
sebagian besar disusun hanya untuk memenuhi persyaratan akreditasi, (6)
rendahnya persentase dosen yang membuat rencana pembelajaran berupa satuan
acara perkuliahan (SAP).
Dengan masih adanya kendala dalam melaksanakan penjaminan mutu, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran faktor-
faktor: kapabilitas kepemimpinan, komitmen dosen terhadap lembaga,
akuntabilitas lembaga, kinerja tim, dan budaya mutu serta bagaimana faktor-faktor
tersebut berpengaruh terhadap keefektifan sistem pelaksanaan penjaminan mutu.
LANDASAN TEORI
Keefektifan Sistim Penjaminan Mutu
230
Istilah keefektifan (efectiveness) mempunyai banyak pengertian seperti yang
telah diungkapkan oleh para ahli sesuai dengan pandangan dan pendekatan
masing-masing. Kata "efektif‖ berdasarkan beberapa literatur ada yang
mengartikan dengan kesuksesan, kebaikan (goodness), hasil atau produk,
kemanjuran, ketepatan sasaran, melakukan sesuatu yang benar, dan lain-lain.
Keefektifan organisasi dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, yaitu segi
pencapaian tujuan, sistem komunikasi yang berhasil, keberhasilan
kepemimpinan yang diterapkan, proses manajemen dalam organisasi,
produktivitas, proses adaptasi yang terjadi dalam organisasi (Soetopo, 2001).
Robbins (2003) mengemukakan bahwa untuk mengartikan keefektifan organisasi
dapat melalui empat pendekatan, yaitu pendekatan pencapaian tujuan, pendekatan
sistem, pendekatan konstituensi-strategis, dan pendekatan nilai-nilai bersaing.
Kreitner dan Kinicki (1992) menyebutkan empat pendekatan multidimensional
dalam mengukur kefektifan organisasi yaitu, pendekatan pencapaian tujuan,
tersedianya sumber daya, proses internal dan kepuasan anggota.
Pendapat dari Scheerens (1997) menjelaskan bahwa keefektifan organisasi
dapat ditinjau dari tiga ilmu, yaitu ilmu ekonomi, ilmu organisasi, dan ilmu
pendidikan. Keefektifan sekolah menurut ilmu ekonomi sama dengan hasil proses
produksi dalam suatu organisasi, yaitu proses produksi dapat dikatakan sebagai
perputaran atau perubahan (tranformasi) dari masukan (inputs) ke keluaran
(outputs). Menurut teori organisasi, keefektifan sekolah dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan bermacam-macam kriteria, elemen atau aspek organisasi dari
organisasi yang memiliki dampak pada upaya peningkatan performasi (kinerja).
Menurut teori pendidikan, keefektifan sekolah merupakan hasil secara teknis,
yaitu hasil jangka pendek (output), dan hasil jangka panjang (outcome).
Keefektifan dapat dinyatakan sebagai output, yaitu pencapaian. Sedangkan
efisiensi dapat didefinisikan sebagai tingkat output yang diinginkan dengan biaya
yang mungkin paling rendah. Dengan kata lain, efisiensi adalah keefektifan
dengan persyaratan tambahan bahwa hal ini dicapai dengan cara semurah
mungkin (Scheerens & Bosker, 1997).
Pengertian sistem Penjaminan mutu dari berbagai pendapat para ahli: Ariani
(1999), Hedwig, R. & Polla, G. (2006), Darianto (2006), dan Usman (2006)
231
menyimpulkan bahwa sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi adalah
manajemen mutu yang memberikan jaminan kepuasan atau keyakinan kepada
stakeholders. Sedangkan Piper (dalam Ekroman, 2002) mendefinisikan bahwa
‖Quality assurance, the total of those mechanism and procedures adopted to
assure a given quality or the continued improvement of quality, which embodies
the planning, defining, encouraging, assessing and control of quality‖. Pendapat
tersebut menyatakan bahwa jaminan mutu merupakan mekanis dan prosedur total,
untuk memberikan keyakinan mutu atau perbaikan mutu berkelanjutan, dengan
perencanaan, definisi, memberi semangat, menilai dan mengontrol kualitas.
Direktur jenderal Pendidikan Tinggi mengemukakan bahwa penjaminan
mutu di perguruan tinggi merupakan strategi untuk meningkatkan kualitas
perguruan tinggi di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Higher Education
long Term Strategy 2003-2010 (HELTS 2003-2010) yang dikeluarkan pada
tanggal 1 April 2003, menguraikan bahwa ‖ Penjaminan mutu pendidikan tinggi
di perguruan tinggi adalah proses penerapan dan pemenuhan standar mutu
pengelolaan dan pendidikan tinggi secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga
stakeholders (mahasiswa, orang tua, dunia kerja, pemerintah, dosen, tenaga
penunjang, serta pihak lain yang berkepentingan) memperoleh kepuasan‖.
Berdasarkan berbagai sudut pandang tentang keefektifan organisasi yang
telah diuraikan di atas, maka pendekatan yang digunakan untuk mengukur
keefektifan sistem penjaminan mutu adalah pendekatan proses internal atau proses
manajemen dalam organisasi penjaminan mutu. Pendekatan proses internal atau
proses manajemen yang dimaksudkan adalah suatu pendekatan yang digunakan
untuk mengukur keefektifan sistem penjaminan mutu yang berfokus pada cara
yang dibutuhkan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan tinggi. Adapun
yang diukur adalah kemampuan organisasi dan manajemen penjaminan mutu
dalam mengubah atau mengatur faktor-faktor atau komponen-komponen penentu
keefektifan sistem penjaminan mutu perguruan tinggi.
Rangkuman dari para ahli, antara lain: Hadiwiardjo & Wibisono (2000),
Sallis (1993), Juran, MJ. (1993), dan Soetopo (2005) menyatakan bahwa untuk
mengukur keefektifan sistem penjaminan mutu dengan menggunakan komponen
proses penetapan standar, proses pemenuhan standar dan proses kontrol.
232
Komponen proses penetapan standar dijabarkan ke dalam indikator-indikator yang
meliputi, perumusan tujuan, pengambilan keputusan. Komponen proses
pemenuhan standar dijabarkan ke dalam indikator-indikator yang meliputi,
kepemimpinan, mekanisme pemenuhan standar, kekuatan motivasi, sistem
komunikasi. Komponen proses kontrol dijabarkan ke dalam indikator-indikator
yang meliputi, evaluasi standar mutu, revisi standar mutu.
Kapabilitas Kepemimpinan
Menurut The New Grolier Webster International Dictionary of the English
Language ―Capable‖ diartikan sebagai memiliki kemampuan (power) cukup,
kompoten, memiliki ketrampilan, atau berkualitas. Menurut Karahasan (2000)
dalam School Leadership Capabilities, menguraikan mengenai arti kapabilitas
sebagai berikut, bahwa kapabilitas kepemimpinan adalah perilaku kepemimpinan
yang meliputi kemampuan, ketrampilan, pengetahuan, kompetensi, kesanggupan,
kecakapan, yang dimiliki pemimpin dan dikendalikan oleh karakterisitik yang
berhubungan dengan kinerja sehingga dapat mempengaruhi bawahannya untuk
mencapai tujuan. Adapun karakteristik yang dimaksud adalah sifat dan motivasi.
Rangkuman dari berbagai pendapat mengenai pengertian dari kapabilitas
kepemimpinan, bahwa terdapat kesamaan dan perbedaan dalam mengukur
mengenai kapabilitas kepemimpinan dalam pendidikan. Setelah dilakukan
rekapitulasi didapatkan enam karakter pemimpin kapabel, yaitu: (1) pemimpin
memiliki kemampuan memandang masa depan universitas (Rossow, 1990;
Wiratman, 2002; Sagala, 2000; Sallis, 2006; Tampubolon, 2001); (2) pemimpin
memiliki kemampuan profesionalitas pendidikan yang tinggi (Mulyasa, 2002;
Sergiovani & Elliot, 1975; Scheerens, 1992; Foley & Conole, 2003; Tampubolon,
2001); (3) pemimpin lebih memfokuskan pada kegiatan pengajaran (Mulyasa,
2002; Sergiovani & Elliot, 1975; Scheerens, 1992); (4) pemimpin memiliki
kemampuan mengendalikan mutu pengajaran dan memonitoring kemajuan
belajar siswa (Tampubolon, 2001; Mulyasa, 2002; Sergiovani & Elliot, 1975;
Scheerens, 1992; Nasution, 2001; (5) pemimpin memiliki kemampuan mendorong
dan memotivasi tenaga pengajar untuk bekerja keras (Mulyasa, 2002; Sergiovani
& Elliot, 1975; Scheerens, 1992; Tampubolon, 2001); dan (6) pemimpin memiliki
233
kemampuan memelihara kerjasama (Tampubolon, 2001; Mulyasa, 2002;
Sergiovani & Elliot, 1975; Scheerens, 1992; Foley & Conole, 2003; Nasution,
2001; Sallis, 2006).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kapabilitas kepemimpinan adalah
kemampuan yang dimiliki ketua atau pimpinan yang meliputi kemampuan
memandang masa depan universitas, kemampuan dalam menfokuskan pada
kegiatan pengajaran, kemampuan professionalitas pendidikan yang tinggi,
kemampuan mengendalikan dan memonitoring, kemampuan mendorong tenaga
pengajar untuk bekerja keras, dan kemampuan memelihara kerjasama.
Komitmen Organisasi
Komitmen (commitment) diartikan sebagai janji, memenuhi janji, kesediaan,
kepercayaan, dan ada pula yang memandang sebagai suatu sikap perilaku.
Pendapat Glickman (1981) dan Deaux (1988) mengemukakan seseorang
dianggap berkomitmen apabila ia bersedia mengorbankan tenaga dan waktunya
secara relatif lebih banyak dari waktu yang telah ditetapkan baginya, terutama
dalam usaha-usaha peningkatan pekerjaannya. Dengan demikian komitmen
mencakup kepedulian, penggunaan waktu, penggunaan tenaga dan pemberian
perhatian. Steers dan Porter (1983) menyatakan bahwa komitmen dipandang
sebagai suatu sikap, yaitu suatu keadaan individu melibatkan diri dalam organisasi
tertentu sekaligus mendukung tujuan-tujuan dari organisasi tersebut. Sikap dapat
menghasilkan perilaku yang diinginkan. Dalam organisasi sikap bersifat penting
karena mereka akan mempengaruhi perilaku (Stephen P. Robbins, 2003).
Rangkuman pendapat para ahli, antara lain: Stoff (1995),Taylor (1994),
Boone dan Johnson (dalam Usman, 2006), maka dapat disimpulkan bahwa
komitmen adalah kesediaan dan sikap dari seseorang untuk menepati janji sebagai
suatu kekuatan yang bersifat positif maupun negatif dari seseorang untuk
melibatkan diri ke dalam organisasi. Sedangkan pengertian komitmen terhadap
organisasi secara garis besar terdapat dua macam yaitu, pertama adalah afektif,
normatif, dan continuance (berkelanjut) dari anggota organisasi atau pegawai;
kedua adalah sikap anggota organisasi terhadap terhadap organisasi dan kehendak
dari anggota organisasi. Serta variabel-variabel yang mempengaruhi komitmen
234
dosen terhadap lembaga terdiri adalahi: (1) kepercayaan yang teguh terhadap
universitas; (2) keterlibatan para dosen untuk berusaha sebaik mungkin demi
kepentingan universitas; dan (3) loyalitas untuk tetap mempertahankan
keanggotaannya di dalam universitas. Juga disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi komitmen dosen terhadap lembaga meliputi: (1) faktor personal;
(2) faktor organisasi; dan (3) faktor bukan organisasi, misalnya tersedia / tidaknya
alternatif pekerjaan yang lain.
Sedangkan Dirjen Dikti (2003),menyatakan bahwa sistem penjaminan mutu
agar dapat berjalan secara efektif, apabila memenuhi persyaratan, yaitu komitmen,
perubahan paradigma, sikap mental para pelaku proses pendidikan serta
pengorganisasian penjaminan mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi. Para
pelaku proses pendidikan tinggi di suatu perguruan, baik yang memimpin maupun
yang dipimpin harus memiliki komitmen yang tinggi untuk senantiasa menjamin
dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi yang diselenggarakannya.
Akuntabilitas Lembaga
Echols & Shadil (1996) menjelaskan mengenai istilah ―akuntabilitas‖ dapat
diterjemahkan sebagai suatu keadaan untuk dipertanggungjawabkan atau keadaan
dapat dimintai pertanggungjawaban. LAN-RI (1997) menyatakan bahwa
akuntabilitas adalah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan atau untuk
menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang atau badan hukum
atau pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki atau
berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Sedangkan
Hamid (1991) dalam artikelnya berjudul ―accountability in the public service‖
menulis: ―accountability can be defined as the obligation to give answer and
explanations, concerning one’s action’s and performance to those with right to
require such answers and explanations‖. Pernyataan di atas mengatakan bahwa
akuntabilitas berarti meminta individu dan organisasi bertanggungjawab atas
kinerja yang diukur seobyektif mungkin.
Rangkuman pengertian akuntabilitas lembaga dari beberapa ahli, antara lain:
Gorton (1976), Neave (1985), Sibley (1992), Maxwell (1994), Newmann (1997),
Craft (1994), McConnell (1981), Soehendro (1996), Jalal & Supriadi (2001),
235
Sheila Elwood (dalam Mardiasmo, 2002), dan Akdon (2006), disimpulkan bahwa
akuntabilitas lembaga adalah akuntabilitas proses atau pertanggungjawaban proses
penggunaan dan pelaksanaan prosedur-prosedur kerja atau tata kerja serta
instrumen-instrumen kerja yang memadai. Yang meliputi mekanisme perencanaan
prosedur kerja, pelaksanaan prosedur kerja, mekanisme penggunaan instrumen
kerja, dan monitoring kesesuaian.
Budaya Mutu
Istilah Budaya ( Culture) berasal dari kata ― Colere‖ yang artinya segala
daya dan upaya manusia untuk mengubah alam (Koentjaraningrat, 1994). Secara
umum konsep tentang budaya dipahami secara berbeda-beda dan sampai saat ini
belum ada kesepakatan dalam memahaminya , hal ini disebabkan oleh adanya
kompleksitas dari budaya itu sendiri.
Rangkuman pendapat dari para ahli: Robbins (2003), Gibson,
Ivanichevich,dan Donally (1995), Dobson dan McNay (dalam Warner &
Palfreyman, 1996), Owen (1995), Shein (1992), dan Indrajit & Djokopranoto
(2006), menyatakan bahwa budaya organisasi adalah karkateristik atau gambaran
kepribadian organisasi yang dapat berupa nilai-nilai, sikap, asumsi-asumsi,
keyakinan, harapan, tradisi, norma bersama untuk mengontrol dan mengarahkan
perilaku organisasi. Sedangkan Goetsch & davis (1994) menyatakan bahwa
budaya mutu adalah sistem nilai organisasi yang mengahasilkan suatu lingkungan
yang konduktif bagi pembentukan dan perbaikan mutu secara terus-menerus.
Budaya mutu terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi, prosedur
dan harapan yang meningkatkan mutu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa budaya mutu adalah karakteristik atau
gambaran kepribadian organisasi yang dapat berupa nilai-nilai, sikap, asumsi-
asumsi, keyakinan, harapan, tradisi, norma bersama yang menghasilkan
lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan mutu secara terus-
menerus.
Kinerja Tim
Rifai & Basri (2005) menyimpulkan pengertian kinerja dari berbagai ahli
manajemen yaitu: bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang
236
atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara
legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika.
Akdon (2006) mengatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja suatu organisasi
dalam rangka mewujudkan tujuan strategik, kepuasan pelanggan dan
kontribusinya terhadap lingkungan strategik. Tika (2005) Stoner (1978),
Bernardin dan Russel (1993),Mahsun (2006), Handoko, Prawiro Suntoro (1999),
Armstrong & Baron (1998) menjelaskan mengenai pengertian performance
diartikan sebagai kinerja, hasil kerja atau prestasi kerja. Sementara itu pernyataan
Robbins (1982) bahwa performansi atau kinerja menunjukkan efektivitas dan
efesiensi dalam melaksanakan tugas.
Memperhatikan uraian di atas, maka dapat disimpulkan tentang kinerja atau
performansi (performance), bahwa kinerja atau performansi dapat diartikan
sebagai prestasi kerja, pelaksanaan atau proses kerja, tingkat pencapaian kerja,
unjuk kerja atau hasil kerja. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam
menetapkan kinerja atau performansi diartikan sebagai proses atau pelaksanaan
kerja.
Hanafiah, dkk (1994) menyatakan bahwa tim adalah kumpulan orang-orang
yang bekerja dalam suatu program yang sama. Tampubolon (2001) menyatakan
bahwa tim kerjasama merupakan suatu strategi yang sangat efisien dan efektif
dalam usaha peningkatan mutu perguruan tinggi secara berkelanjutan. Sallis
(1993) menyatakan bahwa: menunjukkan bahwa tim kerja dalam sebuah
organisasi merupakan komponen penting dari implementasi sistem mutu,
mengingat tim kerja akan meningkatkan kepercayaan diri, komunikasi, dan
mengembangkan kemandirian. Berdasarkan tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa tim peningkatan mutu adalah sekelompok orang yang menjadi
kesatuan atau unit dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan berdasarkan
komitmen untuk menciptakan, memelihara dan meningkatkan mutu secara
berkesinambungan.
Kreitner & Kinicki (1997) menyatakan bahwa ada delapan atribut dari tim
yang berkinerja tinggi sebagai berikut, kepemimpinan partisipatif; berbagi
tanggungjawab; kesejajaran tujuan; komunikasi yang tinggi; fokus pada masa
237
depan; fokus pada tugas; bakat kreatif; respon cepat. Maka ditarik kesimpulan
bahwa penilaian kinerja tim adalah mengukur kemampuan tim dalam proses kerja
atau pelaksanaan tugas. Adapun pengukuran kinerja tim tersebut dalam penelitian
ini menggunakan delapan komponen tim yang berkinerja tinggi, sebagaimana
yang diidentifikasi oleh Kreitner & Kinicki.
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian
kuantitatif, rancangan penelitian deskriptif-korelasional. Populasi dalam penelitian
ini adalah semua dosen yang terdaftar pada seluruh universitas negeri dan swasta
di Jawa Timur. Teknik pengambilan sampel menggunakan cara proporsional
random sampling dan besarnya sampel ditentukan berdasarkan tabel sampel yang
disusun oleh Isaac dan Michael, dengan menggunakan taraf kepercayaan 95%.
Pengumpulan data menggunakan satu jenis instrumen, yaitu kuesioner dan
instrumen dalam penelitian ini telah diuji cobakan dan dinyatakan valid.
Pengujian validitas dan reliablitas instrumen menggunakan bantuan program
komputer SPSS versi 13.0 for windows. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan model SEM (Structural Equation Modelling) dan dengan bantuan
software Partial Least Square (PLS).
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa kapabilitas
kepemimpinan, komitmen dosen terhadap lembaga, akuntabilitas lembaga, budaya
mutu, dan kinerja tim yang dipersepsi oleh responden dengan kateori rata-rata
baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapabilitas kepemimpinan, komitmen
dosen terhadap lembaga, akuntabilitas lembaga, budaya mutu, dan kinerja tim
pada seluruh universitas telah dilaksanakan dengan baik.
Hasil analisis penelitian menemukan bahwa Kapabilitas kepemimpinan
tidak dapat mempengaruhi secara langsung keefektifan pelaksanaan sistem
penjaminan mutu, namun kapabilitas kepemimpinan hanya dapat mempengaruhi
akuntabilitas lembaga atau mempengaruhi komitmen dosen. Selanjutnya
akuntabilitas lembaga atau komitmen dosen dapat mempengaruhi keefektifan
pelaksanaan sistem penjaminan mutu. Temuan ini sejalan dengan pendapat dari
238
Arnold & Feldman (1986), yang mengatakan bahwa salah satu penentu komitmen
sebagai perilaku individual dipengaruhi oleh kepemimpinan.
Hasil analisis penelitian berikutnya menunjukkan bahwa ada hubungan
secara langsung antara komitmen dosen dengan keefektifan pelaksanaan sistem
penjaminan mutu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kepercayaan yang
teguh, keterlibatan para dosen dan loyalitas yang dibangun oleh para dosen di
universitas masing-masing akan diikuti semakin meningkatnya keefektifan sistim
penjaminan mutu. Temuan ini sejalan dengan penelitian Mahsun (2006)
menyatakan bahwa kinerja optimal dapat dicapai dengan memberikan rasa
kepemilikan atas setiap tindakan pada individu-individu atau group, dimana rasa
kepemilikan meningkatkan perilaku, tanggung jawab dan sikap.
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan secara langsung
antara akuntabilitas lembaga dengan keefektifan pelaksanaan sistem penjaminan
mutu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi mekanisme perencanaan
prosedur kerja, pelaksanaan prosedur kerja, mekanisme penggunaan instrumen
kerja, dan monitoring kesesuaian kerja yang dibangun pimpinan universitas akan
diikuti semakin tingginya keefektifan sistim penjaminan mutu.
Hal ini senada dengan pernyataan LAN-RI (1997) bahwa akuntabilitas
adalah mempertanggungjawabkan atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja
dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada
pihak yang memiliki atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau
pertanggungjawaban. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
secara langsung antara budaya mutu dengan keefektifan pelaksanaan sistem
penjaminan mutu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik nilai-nilai, sikap,
asumsi-asumsi, keyakinan, harapan, tradisi, norma bersama terhadap mutu akan
diikuti semakin tingginya keefektifan sistim penjaminan mutu.
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan secara langsung
antara kinerja tim dengan keefektifan pelaksanaan sistem penjaminan mutu. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin kuatnya kinerja tim akan diikuti semakin
tingginya keefektifan sistim penjaminan mutu.
239
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) gambaran
kapabilitas kepemimpinan, komitmen dosen terhadap lembaga, akuntabilitas
lembaga, budaya mutu terhadap keefektifan pelaksanaan sistem penjaminan mutu
memiliki kategori baik; (2) Makin tingginya komitmen dosen diikuti makin
meningkatnya keefektifan sistim penjaminan mutu; (3) Makin meningkatnya
akuntabilitas lembaga diikuti makin efektif sistem penjaminan mutu; (4) Makin
baiknya budaya mutu diikuti makin efektif sistim penjaminan mutu; (5) Makin
kuatnya kinerja tim diikuti makin efektif sistim penjaminan mutu; (6) Makin
baiknya kapabilitas kepemimpinan diikuti makin efektif sistim penjaminan mutu
asalkan disertai peningkatan akuntabilitas lembaga; dan (7) Makin baiknya
kapabilitas kepemimpinan diikuti makin efektif sistim penjaminan mutu asalkan
disertai kuatnya komitmen terhadap lembaga.
Berdasarkan hasil kesimpulan di atas dapat disarankan sebagai berikut: (1)
para pimpinan lembaga sertifikasi penjaminan mutu diharapkan memperhatikan
komponen-komponen dalam keefektifan sistem penjaminan mutu; (2) BAN-PT
dalam melaksanakan akreditasinya diharapkan memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi keefektifan sistem penjaminan mutu; (3) Dirjen dikti dan bagi para
tim audit internal maupun eksternal dalam melakukan pengawasan dan
pengendalian diharapkan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi
keefektifan sistem penjaminan mutu; (4) Para pimpinan universitas dalam
melaksanakan penjaminan mutu perlu memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi keefektifan sistem penjaminan mutu; (5) Para civitas akademik
dalam melaksanakan penjaminan mutu perlu meningkatkan komitmennya dalam
melaksanakan sistem penjaminan mutu
DAFTAR PUSTAKA
Alma, B. & Hurriyati, R. 2008. Manajemen Corporate & Strategi Pemasaran
Jasa Pendidikan Fokus Pada Mutu & Layanan Prima.Bandung:Alfabeta.
Cohran, W.G. 1974. Sampling Technique. New Delhi: Wiley Easter Preate
Limited.
Diknas. 2003. Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan
Tinggi. Jakarta: Dikti.
240
Ghozali, I. 2005. Structural Equation Modeling, Teori dan Konsep, & Aplikasi
Dengan Program Lisrel 8.54. Semarang: Badan Penerbi Universitas
Diponegoro.
Goetsch, L. D. & Davis, B. S. 1997. Introduction to Total Quality. New Jersey:
Prentice-Hall Inc.
Hair & Anderson, B., dkk. 2006. Multivariate Data Analysis. Singapore: Pearson
Prentice Hall.
Hedwig, R. & Polla, G. 2007. Model Sistem Penjaminan Mutu & Proses
Penerapannya di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hunt, D. S. & Morgan, M.R. 1994. Organizational Commitment: One of Many
Commitment or Key Mediating Construct. Academy of Management
Journal. Vol. 37.12.
Juran, M. J. & Gryna, M. F. 1993. Quality Planning and Analysis. New York:
McGraw-Hill, Inc.
Karahasan, B. 2000. A Leadership Development Model for Principals, Assistant
Principals and Leading Teachers in Victorian Schools. Victorian:
Department of Education &Training by the Hay Group.
Kuncoro, H. Z. S. 2002. Komitmen Organisasional, (http:// psikologi-komitmen
organisasional., diakses 10 januari 2008).
LAN-RI. 2001. Akuntabilitas and Good Governance. Jakarta: LANRI.
Nirmalawati. 2009. Hubungan antara kapabilitas kepemimpinan, komitmen
dosen, kompetensi dan akuntabilitas lembaga dengan kinerja lembaga
dalam pelaksanaan penjaminan mutu. Disertasi. Malang: Program
Pascasarjana, Universitas Negeri Malang.
Rossow, L. F. 1990. The Principalship Demensions in Instructional Leadership.
Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-all, Inc.
Sallis, E. 2006. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page
Education Management Series.
Sukrisno. 2008. Hubungan Antara Responsibilitas Manajemen, Akuntabilitas
Mutu Pelayanan, Budaya Mutu, Pembelajaran Organisasi, Kinerja Tim
Dengan Keefektifan Sistem Penjaminan Mutu Pada Universitas Swasta di
Surabaya. Disertasi. Malang: Program Pascasarjana, Universitas Negeri
Malang.
Tampupolon, P. D. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu, Paradigma Baru
Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad ke-21.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
241
HUBUNGAN KREATIVITAS, MOTIVASI DAN KARAKTER INDIVIDU
TERHADAP KEPEMIMPINAN PENANGGUNG JAWAB TEKNIK (PJT)
INDUSTRI KONSTRUKSI DI INDONESIA
(STUDI KASUS: KOTA PALU PROPINSI SULAWESI TENGAH)
Tilaar, T.A.M.1, Selintung, M.2, Rahim, M.R.3, Nurdin, D.4
1Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin
2Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin
3Professor Jurusan Teknik Areitektur, Universitas Hasanuddin
4Professor Jurusan Ekonomi Manajemen, Universitas Tadulako
email :[email protected]
ABSTRAK
Industri konstruksi berkemampuan menyediakan dan menghasilkan infrastruktur di
Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa industri konstruksi menjadi salah satu sub
sektor ekonomi dan sebagai pembentuk modal tetap kegiatan ekonomi masyarakat (gross fixed
capital formation). Mengelola proyek konstruksi di abad 21 membutuhkan pengetahuan dan gaya
kepemimpinan yang berbeda. Karakter kepemimpinan harus sesuai dengan kebutuhan proyek yang
unik seperti etika, kepercayaan yang diberikan, kejujuran, melaksanakan pekerjaan yang benar dan
adil dan bertanggung jawab. Mengelola proyek yang unik sebagai bagian implementasi ilmu
manajemen dalam manajemen proyek. Praktek manajemen terkait dengan filsafat, karena tanpa
filsafat praktek manajemen adalah robot yang miskin kreativitas dan miskin motivasi serta miskin
inovasi. Untuk proyek yang unik penyelesaian pekerjaan membutuhkan kreativitas. Selain
kreativitas dibutuhkan pula motivasi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik bagi industri
konstruksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis keberhasilan industri
konstruksi khususnya pada hubungan kreativitas, motivasi, karakter individu terhadap
kepemimpinan PJT untuk keberhasilan usaha industri konstruksi. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode survey, dengan melakukan pengambilan sampel dari populasi
industri konstruksi skala kecil di kota Palu. Penelitian ini merupakan penelitian penjelasan dari
persepsi responden (explanatory perceptional research). Analisis data menggunakan Structural
Equational Modeling (SEM) dengan menggunakan paket program statistik SEM dan Statistical
product and Service Solutions (SPSS). Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah
menemukan model kepemimpinan PJT industri konstruksi di Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah.
Hasil penelitian ini dapat berkontribusi terhadap materi pembelajaran manajemen konstruksi di
pendidikan keteknikan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat melengkapi dan memperkaya teori
manajemen dalam pengelolaan industri konstruksi dan untuk para praktisi akan bermanfaat dalam
merencanakan pengembangan usaha industri konstruksi dengan tantangan yang demikian
pesatnya.
Kata kunci: kreativitas, motivasi, karakter individu dan kepemimpinan, penanggung jawab
teknik
PENDAHULUAN
Industri konstruksi merupakan salah satu sub sektor bidang perekonomian
yang penting dan strategi di Indonesia. Industri konstruksi ini menyediakan dan
menghasilkan infrastruktur yang menjadi pembentuk modal tetap kegiatan
ekonomi masyarakat (gross fixed capital formation). Salah satu obyek kegiatan
18
242
industri konstruksi adalah proyek konstruksi. Mengelola proyek konstruksi di
abad 21 membutuhkan pengetahuan dan gaya kepemimpinan yang berbeda, Toor
dan Ofori (2008). Karakter kepemimpinan harus sesuai dengan kebutuhan proyek
yang unik seperti etika, kepercayaan yang diberikan, kejujuran, melaksanakan
pekerjaan yang benar dan adil dan bertanggung jawab, Walker, B. L. & Walker,
D. (2011).
Mengelola proyek yang unik sebagai bagian implementasi ilmu manajemen
dalam manajemen proyek. Praktek manajemen terkait dengan filsafat, karena
tanpa filsafat praktek manajemen adalah robot, yang miskin kreativitas dan miskin
motivasi serta miskin inovasi. Untuk proyek yang unik penyelesaian pekerjaan
membutuhkan kreativitas, Aleinikof A.G. (2002). Selain kreativitas dibutuhkan
pula motivasi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik bagi industri konstruksi
Thwala, W. D., Monese, L. N. (2007) Dengan demikian manajemen digunakan
untuk mengatur orang orang yang memiliki pendidikan dan keahlian yang tinggi.
Jika bekerja sendirian tidak akan menghasilkan produk yang optimal, apabila
beberapa ahli yang memiliki pengetahuan dan keahlian berbeda untuk
mengerjakan satu tujuan, maka kerjanya produktif dan hasilnya optimal, Druker
(2001). Keberhasilan usaha di industri konstruksi ditentukan oleh model
kepemimpinan yang memiliki karakter individu dengan sifat instrumental untuk
keberhasilan usaha, sifat prestatif untuk dapat bekerja lebih baik, sifat keluwesan
dalam hubungan kemitraan, sifat untuk mau bekerja keras, sifat kemampuan diri
dalam bekerja, sifat untuk mau mengambil resiko, sifat yang mampu dalam
mengendalikan diri, sifat inovatif untuk mendapatkan cara baru dalam
penyelesaian pekerjaan dan sifat kemandirian dalam tanggung jawab pribadi.
Apabila diperhatikan laporan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional
(LPJKN) 2012 dalam Natsir dkk. (2012), Tilaar (2013), postur industri konstruksi
seperti berikut ini:
Tabel 1 Struktur Industri Konstruksi
No. Jumlah Industri Konstruksi sesuai
Grade
Nasional Propinsi Sulawesi
Tengah
Kota Palu
1. Grade 2,3 dan 4 160.021 1.212 191
2. Grade 5 21.032 74 31
3. Grade 6 dan 7 1.742 20 13
Sumber: [12] dan [22]
243
Dengan memperhatikan sedemikian besar jumlah perusahaan industri
konstruksi di Indonesia ataupun di propinsi Sulawesi Tengah dan kota Palu tentu
memiliki sejumlah permasalahan. Masalah di Indonesia setiap tahun adalah
jumlah perusahaan asing disektor konstruksi meningkat, lingkungan usaha di
sektor konstruksi kurang kondusif, terjadi persaingan tidak sehat dan daya saing
rendah Suraji, A. (2013). Dalam ilmu manajemen terdapat beberapa prinsip
esensial yang bersifat filosofis yaitu manajemen adalah soal manusia sehingga
dalam fungsi manajemen memungkinkan manusia didalamnya dapat bekerjasama,
yaitu kekuatan yang ada dalam organisasi yang berbeda keahliannya menjadi satu
sehingga relevan menghadapi tantangan dalam bisnis untuk manajemen bisnis.
Dengan demikian ontology dari praktek manajemen adalah komunikasi dan
tanggungjawab individual yang saling terkait satu sama lain dan tidak terlepaskan.
Para ahli manajemen mengatakan bahwa manajemen adalah bagian dari liberal
arts karena manajemen terkait dengan pengetahuan kebijaksanaan dan
kepemimpinan.
Kepemimpinan yang memiliki ketrampilan atau keahlian bidang teknik
harus mampu memimpin sehingga keberhasilan untuk mengawal tiga constrains
utama yaitu waktu, biaya dan mutu kerja. Industri konstruksi harus memiliki
pemimpin yang mampu menjalankan kepemimpinan dengan baik sehingga dapat
melaksanakan pekerjaan konstruksi atau proyek yang didefinisikan sebagai
pekerjaan yang unik. Pekerjaan unik tersebut menjadi tantangan penanggung
jawab teknik (PJT) untuk mampu menjamin tertibnya pelaksanaan pekerjaan
konstruksi.
Berkaitan dengan studi teoritik dan studi empirik yang peneliti lakukan
maka faktor faktor yang telah menjadi perhatian peneliti adalah faktor kreativitas,
faktor motivasi dan faktor karakter individu yang memiliki hubungan dengan
kepemimpinan pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Kepemimpinan industri
konstruksi di Indonesia saat ini membutuhkan perkuatan yang didukung oleh
kepemimpinan PJT yang memiliki kreativitas, sehingga diperoleh ide bermutu
dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Kreativitas memiliki pengaruh
secara signifikan terhadap kinerja perusahaan dan kinerja karyawan karena
seseorang yang kreatif berkemampuan untuk menghasilkan ide baru dengan
244
menggabungkan, mengubah atau merekayasa ide ide yang sudah ada dan
menghasilkan produk yang lebih bermutu. Pendapat ahli mengemukakan bahwa
faktor motivasi perlu ada dalam implementasi sistem manajemen konstruksi agar
usaha menjadi sukses, karena dengan motivasi akan dapat menjawab masalah
yang dihadapi. Motivasi dalam karakter individu menjadi penting supaya proses
kerja sesuai visi dan misi perusahaan. Untuk mampu meraih kesuksesan
diperlukan kepemimpinan PJT yang merupakan salah satu dasar praktek yang
baik untuk menjadi industri konstruksi yang berhasil.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diidentifikasi rumusan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Apakah kreativitas memiliki hubungan signifikan terhadap kepemimpinan
PJT dan keberhasilan industri konstruksi?
2. Apakah motivasi memiliki hubungan signifikan terhadap kepemimpinan PJT
dan keberhasilan industri konstruksi?
3. Apakah karakter individu memiliki hubungan signifikan terhadap
kepemimpinan PJT dan keberhasilan industri konstruksi?
4. Apakah Kepemimpinan PJT memiliki hubungan signifikan terhadap
keberhasilan industri konstruksi?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, kajian masalah, dan rumusan masalah
yang telah dijelaskan sebelumnya, maka tujuan di lakukannya penelitian ini secara
umum dan secara khusus adalah sebagai berikut:
Tujuan penelitian secara umum
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara umum adalah untuk
menguji dan menganalisis keberhasilan industri konstruksi yang ada di kota Palu,
propinsi Sulawesi Tengah dan di Indonesia khususnya pada hubungan kreativitas,
motivasi, karakter individu terhadap kepemimpinan PJT untuk keberhasilan usaha
industri konstruksi.
Tujuan penelitian secara khusus
245
Tujuan khusus yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah untuk
menguji dan menganalisis: hubungan kreativitas, motivasi, karakter individu
terhadap kepemimpinan PJT dan keberhasilan industri konstruksi serta hubungan
kepemimpinan PJT terhadap keberhasilan industri konstruksi di kota Palu,
propinsi Sulawesi Tengah dan di Indonesia.
Kegunaan Penelitian/Manfaat
Berkaitan dengan tercapainya beberapa tujuan tersebut, maka penelitian ini
di harapkan akan berguna: untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya
dalam pendidikan teknik sipil, serta hasil penelitian ini dapat merupakan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
manajemen industri konstruksi khususnya yang berkaitan dengan kepemimpinan
PJT dan keberhasilan industri konstruksi di Indonesia. Bagi perusahaan industri
konstruksi, penelitian ini dapat menjadi dasar kebijakan pemerintah dalam
pembinaan dan pengembangan industri konstruksi di kota Palu, pemerintah daerah
propinsi Sulawesi Tengah dan di Indonesia. Bagi peneliti berikutnya, hasil
penelitian ini dapat menjadi referensi, terutama dalam bidang manajemen
konstruksi dan manajemen industri konstruksi meliputi kreativitas, motivasi,
karakter individu, kepemimpinan PJT untuk keberhasilan usaha.
Ruang Lingkup/Batasan Penelitian
Ruang lingkup dan batasan penelitian adalah perusahaan industri konstruksi
yang berada di kota Palu, propinsi Sulawesi Tengah dan terdaftar di asosiasi
badan usaha yang memiliki sertifikat badan usaha (SBU) yang terdaftar di
lembaga pengembangan jasa konstruksi propinsi (LPJKP) Sulawesi Tengah.
Sebagai responden dari populasi adalah penanggung jawab teknik (PJT) dari
sejumlah perusahaan industri konstruksi yang tersebar di kota Palu yang akan
ditentukan jumlahnya sesuai dengan metodologi penelitian yang digunakan.
KAJIAN PUSTAKA
Hubungan Kreativitas dengan Kepemimpinan
Berdasarkan hasil penelitian Okpara,F.O. (2007) bahwa nilai kreativitas dan
inovasi dalam entrepreneur adalah nama baru dalam permainan. Kemudian
246
kesimpulan lainnya Creativity and Innovation are at the heart of the spirit of
enterprise. Thus the value of creativity and innovation is to provide a gateway for
astute entrepreneurship. Keberhasilan pengusaha adalah kombinasi dari ide
kreativitas dan keputusan yang bernilai tinggi. Prinsip kreativitas yang ditemukan
dalam penelitian Okpora bahwa dalam setiap individu ada kreativitas yang
merupakan fungsi dari keahlian, berpikir kreatif dengan ketrampilan yang dimiliki
serta motivasi. Menurut Sriraman, B. (2004) dalam penelitiannya tentang The
characteristics of mathematical creativity. Tujuan penelitian ini untuk menambah
aturan tentang khayalan, intuisi, interaksi sosial, penggunaan heuristik dan
pentingnya pembuktian dalam proses kreatif model Gestalt yang terdiri atas:
preparing, Incubation, Illumination and Verification. Hasil penelitian yang
diperoleh bahwa model Gestalt oleh Haddamrd masih sesuai untuk diterapkan saat
ini. Hasil penelitian Poernomo, (2006) menemukan bahwa Kreativitas tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja manager, hal ini dimaksudkan agar
memberi kebebasan kepada manager untuk meningkatkan kreativitas dan
meningkatkan keahlian sesuai dengan bidang kerja masing masing. Dalam
penelitian ini Poernomo berkesimpulan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi
kreativitas adalah faktor karyawan yang dapat meningkatkan kreativitas.
Hubungan Motivasi dengan Kepemimpinan
Berdasarkan hasil penelitian Marisa, A. dan Yusof, N. (2011) menemukan
bahwa motivasi menjadi sangat penting yang mempengaruhi kinerja industri
konstruksi menjadi sukses. Lebih penting lagi dalam industri konstruksi adalah
kemampuan untuk membentuk tim kerja, memotivasi orang lain, membentuk
struktur organisasi yang kuat serta manajemen proyek yang terkendali. Hasil
penelitian di Pakistan oleh Khan, R.A. et.al. (2009) bahwa hubungan antara
motivasi dan produktivitas sangat signifikan. Bahkan yang ditemukan dalam
penelitian ini adalah motivasi kerja memberikan kontribusi kunci untuk
mengoptimalkan produktivitas pekerja sesuai dengan penelitian yang ditemukan
oleh Kazaz et.al. Sehingga dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah proses yang
mengaktifkan produktivitas tenaga kerja konstruksi. Hasil penelitian Parkin, A. B.
et. al. (2009) dalam pelaksanaan kerja konstruksi di Turki dengan 370 pekerja
konstruksi sebagai responden, hasilnya adalah faktor pendapatan terdahulu atau
247
pendapatan dimuka memotivasi pekerja untuk peningkatan tingkat produktivitas.
Penelitian ini memperkuat temuan Vroom dan Deci dan Hollyforde dan Whiddett
dalam Parkin, A. B. et.al. (2009). Hal inilah yang memperkuat teori Hirarki
kebutuhan Maslow yang berkaitan dengan 5 kebutuhan dasar manusia yaitu: 1.
Kebutuhan fisilogis seperti kebutuhan makanan, tempat tinggal, air, pakaian dan
lain lain, 2. Kebutuhan keselamatan seperti keamanan dari gangguan binatang liar,
penjahat, cuaca yang ekstrim, konflik, dan lain lain, 3. Kebutuhan cinta, kasih
sayang dan rasa memiliki, umumnya hubungan dengan sesame manusia, 4.
Kebutuhan kestabilan yang didasarkan dari evaluasi diri, kepercayaan diri,
kebebasan, pengakuan, penghargaan dan lain lain, 5. Kebutuhan aktuallisasi diri
yaitu individu yang dapat melakukan apa yang diinginkan seperti musisi, penyair,
pelukis dan lain lain.
Hasil penelitian Thawalah W. D. dan Monese L. N. (2007) dengan judul
Motivation as a tool to improve productivity on the construction life, yang
dilakukan di Afrika Selatan dimana industri konstruksi menjadi salah satu industri
yang memberikan peran pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan. Temuan
Thawalah dan Monese intinya mengungkapkan bahwa motivasi memberikan
pengaruh terhadap peningkatan produktivitas kerja untuk keberhasilan usaha dan
pekerja adalah pemain kunci yang harus dimotivasi. Hasil temuan yang
dikemukakan oleh Herzberg dalam Kreitner, R. and Kinicki, A (2005). Temuan
empirik ini menunjukkan bahwa apa yang ditemukan dalam penelitian Schaders
dalam Haris dan Dainty et.al, bahwa pekerja di bidang konstruksi terkait dengan
motivasi bidang konstruksi yang didefinisikan sebagai seperangkat hubungan
independen dan dependen yang menjelaskan arah dan tujuan serta keberhasilan
usaha menjadi tidak sesuai.
Hubungan Karakteristik Individu dengan Kepemimpinan.
Kepemimpinan dalam pengelolaan proyek di abad 21 harus beradaptasi
dengan lingkungan proyek jika ingin tetap relevan. Dengan demikian akan
diperoleh model model yang berbeda. Pendekatan dan atributnya akan berbeda
pula seperti kepemimpinan autentik yang dikemukakan Walker, B. L. and Walker,
D (2011) Hubungan karakter individu dimaksud adalah yang berkaitan dengan ciri
kepribadian seorang pemimpin. Berdasarkan hasil penelitian Douglas (2006)
248
dengan judul penelitian: Perseptions Looking at the World Through
Entrepreneurial Lenses menemukan bahwa menjadi ciri individu bahwa optimis
dengan melihat peluang dengan kemampuan untuk memecahkan masalah untuk
memiliki target pendapatan dengan memperhitungkan waktu serta menilai
preferensi konsumen serta berbagai resiko yang terkait dengan usaha yang
dijalankan. Penelitian yang dilakukan oleh Elfving et al. (2009) dengan judul
Toward A Contextual Model of Entrepreneural Intentions menemukan dalam
penelitiannya bahwa Model Intensional Entrepreneur yaitu motivasi dan
keinginan berada pada keinginan tradisional. Dengan demikian dalam berusaha
dapat mengintegrasikan berbagai elemen kognitif pengusaha menjadi lebih
komperhensif dalam prilaku pemimpin. Berdasarkan penelitian Drnovsek et.al.
(2010) yang diunduh dari [email protected] 23 juli 2013 dengan judul
Collective Passion in Entrepreneurial teams mengemukakaan bahwa setiap
individu dalam tim ditempat kerja adalah sebagai pengarah dalam pengambilan
keputusan. Hasil yang diperoleh adalah pengaruh kepemimpinan terjadi lonjakan
cepat dan signifikan memperkuat penelitian Baron dan Cardon et al. bahwa
pemimpin adalah sebagai driver dan pengambil keputusan untuk keberhasilan
usaha. Keberhasilan usaha industri konstruksi di Inggris adalah pada faktor
ketrampilan managerial dan latar belakang pengalaman pemimpin dalam
pengelolaan usaha.
Hubungan Kepemimpinan PJT dan Keberhasilan Usaha
Berdasarkan hasil penelitian Yang, L. R., Wu, K. S. dan Huang, C. F.
(2013) bahwa hubungan antara gaya kepemimpinan manager, kerjasama tim,
kinerja proyek dan kepuasan pemangku kepentingan mempengaruhi keberhasilan
proyek. Lebih lanjut penelitian Mahardiana, (2011) melakukan penggabungan
antara Model B Mod yaitu Contingency ABC dengan Model Four Primary
Characteristics of Succsessful Entrepreneurs, Barringer and Ireland maka
dikatakan bahwa karakteristik kepribadian wirausaha, motivasi dan komitmen
dalam menjalankan usaha akan mempengaruhi prilaku kepemimpinan seorang
wirausaha menjadi berhasil. Hasil penelitiannya adalah: karakteristik individu
wirausaha berpengatuh positif dan signifikan terhadap kepemimpinan pengusaha
kecil bidang konstruksi yang ada di Sulawesi Tengah, hasil temuan ini
249
mendukung teori entrepreneur characteristic personality yang dikemukakan oleh
Chell. Kemudian karakteristik kepribadian wirausaha tidak berpengaruh
signifikan terhadap keberhasilan usaha yang dijalankan oleh pengusaha kecil
bidang konstruksi yang ada di Sulawesi Tengah.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di kota Palu propinsi Sulawesi Tengah. Alasan
penetapan kota Palu sebagai lokasi penelitian karena dapat dikatakan bahwa
struktur industri konstruksi di Indonesia, Propinsi Sulawesi Tengah dan kota Palu
memiliki struktur dan jumlah perbandingan yang hampir sama untuk skala
nasional, propinsi dan kota Palu.
Rancangan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian dengan penjelasan atau explanatory research.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, dengan
melakukan pengambilan sampel dari populasi yang ada. Metode Survey menurut
Van Dalen dalam Sangaji, E. M. & Sofia (2010) mengemukakan bahwa survey
bertujuan membuktikan atau membenarkan suatu hipotesis. Survey dilakukan
dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data utama Sanusi
(2011). Penjelasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan
pengaruh antar variabel melalui pengujian hipotesis. Karena penelitian ini
berkaitan dengan prilaku manusia sebagai respons yang sifatnya sederhana
maupun kompleks dalam mempersepsikan jawaban atas pertanyaan yang
diajukan, dengan demikian penelitian ini, merupakan penelitian penjelasan dari
persepsi responden (explanatory perceptional research).
2. Populasi Penelitian
Populasi adalah kelompok individu atau sebagai obyek pengamatan yang
minimal memiliki persamaan fisik, sehingga kesimpulan penelitian tentang
keseluruhan populasi dapat diperoleh, Sangaji, E. M. & Sofia (2010). Populasi
dalam penelitian ini adalah industri konstruksi di kota Palu propinsi Sulawesi
Tengah. yaitu: sejumlah 235 Perusahaan yang terdaftar di LPJKP Sulawesi
250
Tengah tahun 2012. Alasan pengambilan populasi tersebut karena struktur
industri konstruksi di Indonesia, propinsi Sulawesi Tengah dan kota Palu
memiliki kesamaan perbandingannya.
3. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel.
Sampel adalah merupakan bagian dari populasi. Survey dalam penelitian ini
hanya sebagian populasi yang dijadikan sampel. Jumlah sampel disesuaikan
dengan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini. Alat analisis yang
digunakan adalah Structural Equational Modeling. Mustafa, Eq. Z. dan Wijaya, T
(2012) mengemukakan bahwa tidak ada ukuran sampel yang tepat untuk SEM
dengan bantuan software LISREL 8.30 Jumlah sampel yang diambil berkisar
antara 5 sampai 10 kali lipat dari jumlah indikator. Dalam berbagai penelitian
yang menggunakan SEM sebaiknya jumlah sampel adalah antara 100 sampai 200
sampel
4. Teknik Pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel adalah secara acak berupa stratified random
sampling (sampel acak distratifikasi). Menurut Sanusi, A. (2011) terdapat tiga
persyaratan yang harus dipenuhi dalam hal stratifikasi yaitu: Memiliki kriteria
yang jelas yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menstratifikasi populasi
dalam lapisan lapisan. Kriteria dimaksud adalah variabel yang akan diteliti atau
variabel lain yang menurut peneliti mempunyai hubungan yang erat dengan
variabel yang akan diteliti. 2. Harus ada data pendahuluan dari populasi mengenai
criteria yang digunakan untuk menstratifikasi, dan 3. Harus diketahui secara tepat
jumlah elemen dari setiap lapisan dalam populasi tersebut. Populasi industri
konstruksi di kota Palu berjumlah 235 perusahaan dengan 5 strata (grade) dan
jumlah responden penelitian seperti berikut ini: Grade 2 sejumlah 81 Perusahaan,
Grade 3 sejumlah 41 Perusahaan dan Grade 4 sejumlah 68 perusahaan.
5. Prosedur Penelitian
Instrumen
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner yang diisi oleh
responden. Kuesioner berisi sejumlah pernyataan dari indikator yang ada pada
variabel penelitian. Data adalah gambaran variabel yang diteliti dan berfungsi
dalam pembuktian hipotesis sehingga yang penting harus dipenuhi adalah
251
validitas dan realibilitasnya. Menurut Sanusi, A. (2011), mengemukakan agar data
yang diperoleh mempunyai tingkat akurasi dan konsistensi yang tinggi maka
instrumen yang digunakan harus valid dan reliabel. Suatu instrumen dikatakan
valid jika instrumen tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Tingkat
validitasnya pada alat ukur sudah harus terjamin. Sebelum kuesioner disampaikan
kepada responden perlu dilakukan uji coba kuesioner yang diberikan kepada 20
orang responden. Maksudnya adalah untuk dapat mengetahui alat ukur tersebut
memiliki kekuatan, untuk dapat mengukur apa yang akan diukur dalam penelitian.
Uji Validitas
Uji Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan
dan kesasihan suatu instrument. Menurut Sanusi, A. (2011) validitas instrumen
penelitian terdiri atas beberapa jenis antara lain, validitas konstruk (construct
validity), validitas isi (content validity), validitas eksternal (external validity) dan
validitas rupa (face validity).
Uji Reliabilitas
Uji Reliabilitas menunjukkan ketetapan suatu alat ukur seperti yang
dkemukakan oleh Walizer dan Wiener dan Mahardiana (2011). Lebih lanjut
dikemukakan bahwa sesuatu alat ukur dikatakan reliabel (dapat diandalkan) jika
kita selalu mendapatkan hasil yang konsisten dari gejala pengukuran yang tidak
berubah yang dilakukan pada waktu yang berbeda.Jadi reliabel memenuhi dua hal
penting dan utama yaitu stabilitas ukuran dan konsistensi internal ukuran. Oleh
Sanusi, A. (2011) mengemukakan bahwa reliabilitas ini mengandung objektivitas
karena hasil pengukuran tidak terpengaruh oleh siapa pengukurnya.
6. Pengambilan data
Pengambilan data dengan menyampaikan kuisioner kepada industri
konstruksi di Kota Palu yang respondennya adalah: setiap perusahaan diwakili
oleh satu orang Penanggung Jawab Teknik (PJT). Rencana pengisian kuisioner
akan disampaikan kepada perusahaan industri konstruksi yang tergabung pada 8
asosiasi perusahaan indusri konstruksi di Kota Palu.
7. Analisis Data
Dalam penelitian ini menggunakan model analisis Structural Equational
Modeling (SEM) dengan menggunakan paket program statistik SEM dan
252
Statistical product and Service Solutions (SPSS). Penggunakan SEM dapat
melakukan pengujian beberapa variabel dependen maupun dengan lainnya secara
bersamaan dengan membuat model struktural. Asumsi asumsi yang harus
dipenuhi dalam prosedur pengumpulan dan pengolahan data yang dianalisis
dengan pemodelan SEM adalah: pertama ukuran Sampel minimal 100 dan
maksimal 200 dengan setiap indikatornya perlu dipenuhi minimal lima observasi.
Kedua adalah normalitas dan linieritas dengan asumsi yang paling fundamental
dalam analisis multivarian adalah normalitas, yaitu karena perhitungan suatu
bentuk distribusi data pada suatu variabel metrik tunggal dalam menghasilkan
distribusi normal, atau membentuk suatu distribusi normal. Ketiga adalah
multicollinearity yaitu mengharuskan tidak adanya kolerasi yang sempurna atau
besar diantara variabel-variabel independen. Nilai korelasi antara variabel
observed yang tidak diperbolehkan adalah sebesar 0,9 atau lebih. Kemudian
keempat adalah angka ekstrim (outlier) berupa observasi yang muncul dengan
nilai nilai ekstrem baik univariate maupun multivariate yaitu yang muncul karena
kombinasi karakteristik unik yang dimiliki dan nampak jauh berbeda dengan
observasi lain.
HASIL YANG DIHARAPKAN
Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah menemukan model
kepemimpinan PJT industri konstruksi skala besar, sedang dan industri konstruksi
skala kecil di kota Palu, propinsi Sulawesi Tengah. Lebih lanjut diharapkan hasil
penelitian ini dapat berkontribusi terhadap materi pembelajaran manajemen
konstruksi di pendidikan keteknikan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
melengkapi dan memperkaya teori manajemen dalam pengelolaan industri
konstruksi. Kepada para praktisi, bahwa hasil penelitian ini akan bermanfaat
dalam merencanakan pengembangan usaha industri konstruksi di masa depan
dengan tantangan yang demikian pesatnya.
KESIMPULAN
Menemukan satu kebaharuan berupa model kepemimpinan PJT yang dapat
mendorong dan mengembangkan industri konstruksi di Indonesia dan untuk
keberhasilan menghadapi tantangan era AFTA dan MP3EI serta tantangan dalam
pengembangan ekonomi Indonesia.
253
DAFTAR PUSTAKA
Aleinikof, A.G. (2002) Mega Creativity Five Steps to Thinking Like a Genius,
Cincinnati, Ohio.
Drnovsek et.al. (2010) yang diunduh dari [email protected] 23 juli 2013
dengan judul Collective Passion in Entrepreneurial teams
Douglas (2006) Entrepreneurship and Management Education: A Case For
Change, Journal of management and Entrepreneurship, Vol. 1 No.2 pp. 1-
17.
Drucker, P. (2001) The Esensial Drucker, Harper Collins Publisher.
Elvings, J., Brannback, M., Carsrud, A. (2009) Toward A Contextual Model of
Entrepreneur Intention
www.springer.com/cda/content.../cda.../9781441904423-c2.pdf?...0... pp.23-
33, Diunduh, 10 Juli 2013.
Khan, R. A., Umer, M., Khan,S. M, (2009). Effect of Basic Motivation Factors
On Construction Workforce Productivity in Pakistan, Procs.Conference
ARCOM, Nottingham England, September 7-9, 2009: 10-14
Kreitner R, Kinicki, A. (2005), Diterjemahkan oleh Early Suwandi, Prilaku
Organisasi, Penerbit Salemba 4 Jakarta.
Mahardiana, L. (2011), Pengaruh Karakteristik Kepribadian Wirausaha, Motivasi
dan Komitmen Pengusaha Terhadap Kepemimpinan dan Keberhasilan
Usaha Kecil Studi Empiris kepada Pengusaha Kecil Bidang Konstruksi di
Sulawesi Tengah, Disertasi tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana
Universitas Airlangga, Surabaya
Marisa, A & Yusof, N. (2011). A Studi on the importance of Motivation among
the Managers in Construction Companies in Medan, World Academy of
Science Engineering and Technology 60, 2011: 2051-2055.
Putri, M. A. dan Budiastuti, D. (2011). Analisa pengaruh Kreativitas dan perilaku
Inovatif Terhadap Kinerja Karyawan:
thesis.binus.ac.id./doc/ringkasanind/2011-2-00014
MN%20Ringka….Diakses 30 Maret 2013.
Mustofa Eq. Z dan Wijaya, T. (2012), Panduan Teknik Statistik SEM & PLS
Dengan SPSS AMOS, Penerbit Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
Natsir, Rivai dan Rizal (2012). Team Perumus kerangka Kerja Bagaimana
Merestrukturisasi Industri Konstruksi Nasional, oleh LPJKN Juni, 2012.
Okpara, F.O. (2007). The Value of Creativity and Inovation in Entrepreneurship,
Journal of Asia Entrepreneurship and Sustainability No reproduction or
storage, in part or in full, permitted without prior permission.
([email protected]) Volume III, Issue 2, September
2007, diunduh 4 April 2013
Parkin, A.B., Tutesigensi., Buyukaip, A.I., (2009). Motivation Among
Construction Worker in Turkey. ARJ (Ed) Procs Annual Arcom
254
Conference, 7-9 Sept 2009Nothingham UK, Association of Researchers in
Construction Management: 105-114.
Poernomo, (2006). Kreativitas dan Kerjasama Tim Berpengaruh Terhadap Kinerja
Manager, Jurnal Ilmu ilmu Eknomi Vo.6 No.2. hal. 102 -108
Suhardi, (2013). The Science Of Motivation, Kitab Motivasi, Penerbit PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta.
Sriraman, B. 2004. The Characteristics of Mathematical Creativity, Journal The
Mathematics Educator, Vol. 14.No.1, pp 19-24.
Sangaji, E. M., Sopiah 2010. Metodologi Penelitian, Pendekatan Praktis dalam
Penelitian, Penerbit Andi Yogyakarta.
Sanusi, A. (2011). Metodologi Penelitian Bisnis, Penerbit Salemba 4, Jakarta.
Suraji, A. (2013) Analisa dan pilihan Kebijakan Pengembangan Pasar Konstruksi,
materi Forum Konsultasi Pasar Konstruksi Pusat Pembinaan Sumber Daya
Investasi Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum.
Thwala, W. D., Monese, L. N. (2007). Motivation As A Tool To Improve
Productivity On The Construction Site, Literature Review Department of
Quantity Surveying and Construction Management University of
Johannesburg ( [email protected] diunduh 28 Maret 2013).
Tilaar, T.A.M. (2013), Pengaruh Kreativitas, Motivasi dan Entrepreneur
terhadap Keberhasilan Usaha (studi kasus: Kota Palu Propinsi Sulawesi
Tengah), Bahan Presentasi Pelatihan Penanggung Jawab Teknik LPJK
Propinsi Sulawesi Tengah.
Toor,S.U.R., Ofori,G.(2008) Leadership For Future Construction Industry Agenda
for Auntentic Leadership. International Journal of Project Management,
26(6) 620-630.
Walker, B. L. and Walker, D (2011), Authentic Leadership for 21st Century
Project Delivery, International Journal of Project Management 29 (2011)
383-395.
Yang, L. R., Wu, K. S. dan Huang, C. F. (2013), Validation of a Model Measuring
the Efect of a Project Managers Leadership Style on Project Performance,
KSCE Journal of Civil Engineering (2013) 17 (2) 271-280
255
PENENTUAN KETEBALAN MEDIA SARINGAN PADA MODEL
PENJERNIHAN AIR LIMBAH MASYARAKAT
Saparuddin¹, M. Saleh Pallu², Mary Selintung
3 dan Rita Tahir Lopa
4
1Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin,
Jalan Perintis Kemerdekaan KM-10, Telp 081341052343, email: [email protected] 2Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin,
Jalan Perintis Kemerdekaan KM-10, Telp 0811444983, email: [email protected] 3Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin,:
Jalan Perintis Kemerdekaan KM-10, Telp 081241950035, email:[email protected] 4Assosiate Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin,
Jalan Perintis Kemerdekaan KM-10,Telp.081381266719, email : [email protected]
ABSTRAK Manusia dalam kehidupannya menggunakan air antara 100 liter sampai dengan 200
liter/orang/hari dan air yang telah digunakan itu dibuang kembali dalam bentuk yang sudah kotor
atau air limbah, pada umumnya masyarakat membuang air limbahnya itu ke badan air yang ada
disekitarnya tanpa melakukan pengolahan terlebih dahulu sehingga sumber-sumber air yang ada
ikut tercemar, untuk itu diperlukan usaha penjernihan air limbah masyarakat sebelum dibuang
kebadan air, tujuan penelitian ini untuk menentukan ketebalan media saringan yang ideal pada
model penjernihan air limbah masyarakat dengan menggunakan metode eksperimen di
laboratorium dengan analisa kualitatif dan kuantitatif, hasil yang diharapkan pada penelitian ini
diketahuinya ketebalan media penyaringan air limbah yang memenuhi standar efluen air limbah.
Kata kunci : Penjernihan air limbah, ketebalan saringan
ABSTRACT
People in their life using water from 100 liters up to 200 liters / person / day and water
that has been used it is thrown back in a form that is dirty or sewage water, in general, people
throw their waste water into water bodies around it without first processing advance so that the
sources of contaminated water that is involved, it is necessary to attempt purification of waste
water before discharge kebadan the water, the purpose of this study to determine the ideal
thickness of the filter media on the model of the wastewater purification using the experimental
method in the laboratory with the analysis of qualitative and quantitative results are expected in
this study knew wastewater filtration media thickness of the wastewater effluent standards
Keywords: Purification of waste water, the thickness of the filter
PENDAHULUAN
Masyarakat perkotaan menggunakan air bersih antara 100 sampai 200 liter/
orang/ hari, tergantung tingkat kesejahteraannya dan air yang telah digunakan itu
akan dibuang kembali dalam bentuk air yang sudah kotor. Air buangan yang
berasal dari masyarakat yang di kenal sebaeragai air limbah, merupakan bekas air
pakai, baik pemakaian rumah tangga maupun pemakaian air lainnya dan telah
tercemar.
Air tercemar atau air limbah domestik (rumah tangga) yang dominan
umumnya banyak mengandung bahan organik dan anorganik dan bersumber dari
255
256
rumah tinggal, kantor-kantor institusi, fasilitas hotel, tempat hiburan, daerah
komersil dan fasilitas umum lainnya yang digunakan masyarakat untuk
menunjang kegiatan sehari-hari.
Jumlah air limbah yang dibuang akan selalu bertambah dengan
meningkatnya jumlah penduduk dengan segala kegiatannya. Apabila jumlah air
yang dibuang berlebihan melebihi dari kemampuan alam untuk menerimanya
maka akan terjadi kerusakan lingkungan. Lingkungan yang rusak akan
menyebabkan menurunnya tingkat kesehatan manusia yang tinggal pada
lingkungan itu, sehingga perlu dilakukan penanganan air limbah yang seksama
dan terpadu baik itu dalam penyaluran maupun pengolahannya.
Sistem penyaluran air limbah adalah suatu rangkaian bangunan air yang
berfungsi untuk mengurangi atau membuang air limbah dari suatu kawasan/lahan
baik itu dari rumah tangga maupun kawasan industri. Sistem penyaluran biasanya
menggunakan sistem saluran tertutup dengan menggunakan pipa yang berfungsi
menyalurkan air limbah tersebut ke bak interceptor yang nantinya di salurkan ke
saluran utama atau saluran drainase dan seterusnya ke badan air yang lebih besar
seperti sungai. Jika tingkat kontaminasi air limbah masyarat ini tidak memenuhi
persyaratan baku mutu badan air, maka diperlukan adanya penanganan berupa
pengolahan sebelum dialirkan ke badan air. Pada umumnya pengolahan
dilakukan secara fisik di suatu tempat yang disebut sebagai Bangunan Pengolahan
Air Limbah (BPAL). Pengolahan air limbah dilakunan untuk mengurangi tingkat
perncemaran yang ada pada air limbah dengan jalan penjernihan
Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini Berapa besar ketebalan
media saringan yang ideal pada model penyaringan air limbah untuk
mendapatkan standar efluen air limbah yang akan dilepaskan ke badan air.
Tujuan penelitian ini melakukan pengujian untuk mendapatkan ketebalan
media saringan yang ideal pada model penyaringan air limbah sebelum dialirkan
ke badan air.
TINJAUAN PUSTAKA
Air Limbah
Air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari
rumah tangga, industri maupun tempat-tempat umum lainnya, dan pada umumnya
257
mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan bagi kesehatan
manusia serta menggangu lingkungan hidup. Batasan lain mengatakan bahwa air
limbah adalah kombiasi dari cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah
pemukiman, perdagangan, perkantoran dan industri, bersama-sama dengan air
tanah, air permukaan dan air hujan yang mungkin ada (Haryoto, 1997).
Djajadiningrat AH, (1995) Air limbah adalah terkonsentrasinya bahan
pencemar di dalam air dalam suatu periode waktu yang dapat menimbulkan
pengaruh-pengaruh tertentu yang dapat merugikan kesehatan dan lingkungan.
Menteri Negara lingkungan hidup Nomor 112 Tahun 2003, Air limbah
domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman
(real estate), rumah makan (restaurant), perkantoran, perniagaan, apartemen, dan
asrama.
Baku mutu air limbah domestik adalah ukuran batas atau kadar unsur
pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
air limbah domestik yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan.
Baku mutu air limbah domestik sesuai keputusan menteri Negara
lingkungan hidup No. 112 Tahun 2003 seperti pada tabel 1.
Tabel 1 Baku mutu air limbah domestik
Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH - 6 - 9
BOD mg/l 100
TSS mg/l 100
Minyak dan Lemak mg/l 10
Sumber: Kepmen Neg. LH No.12 Tahun 2003
Wayland R H. dan Timothy E, 2002, Perkiraan volume aliran air limbah
selain memperhitungkan banyaknya pemakaian air dalam rumah tangga seperti
mandi, cuci, masak dan lainnya juga dihitung pemakaian air yang digunakan di
luar rumah seperti cuci mobil, irigasi dan sebagainya.
Karakteristik Air Limbah
Karakteristik air limbah sangat ditentukan dari mana sumber air limbah
tersebut berasal. Tebbutt T.H.Y, 1992, Karena struktur molekul dan sifat listrik
dari konstanta dielektrik yang sangat tinggi dan konduktivitas yang rendah, air
mampu melarutkan berbagai zat, sehingga kimia air alami sangat kompleks.
257
258
Semua perairan alami mengandung berbagai bahan lain dalam konsentrasi mulai
dari tingkat konsentrasi yang rendah mg/lt pada air hujan, sekitar 35.000 mg / l
dalam air laut. Air limbah biasanya mengandung sebagian besar bahan terlarut
dari proses kotoran tambahan yang datang dari limbah sebelumnya.
Selanjutnya Tebbutt T.H.Y,1992, Dengan demikian, pelepasan metabolisme
manusia sekitar 6 gr klorida setiap hari sehingga dengan konsumsi air dari 150
l/orang hari limbah domestik akan mengandung setidaknya 40 mg klorida.
Limbah mentah khas berisi sekitar 1.000 mg/ padatan dalam larutan dan suspensi
dan dengan demikian sekitar 99,9% air murni. Air laut di sisi lain pada 35.000
mg/l dari kotoran ternyata jauh lebih terkontaminasi dibanding limbah mentah.
Djajadiningrat AH, 1995, air limbah perkotaan mengandung lebih dari 99,9
% cairan. Zat-zat yang terdapat dalam air limbah diantaranya unsur-unsur organik
tersuspensi maupun terlarut dan juga unsur-unsur anorganik serta
mikroorganisme. Unsur-unsur tersebut memberikan corak kualitas air limbah
dalam sifat fisik, kimiawi, maupun biologi.
Sugiharto, 1987, Penentuan derajat kekotoran air limbah sangat dipengaruhi
oleh adanya sifat fisik yang mudah dilihat pada air tersebut. Adapun sifat fisik
yang penting pada air adalah zat padat sebagai efek estetika dan kejernihan serta
bau dan warna juga temperatur.
Kodoatie RJ dan Sjarief R, 2009, memberikan karakteristik fisik air limbah
domestik dinyatakan dalam tempertur, warna, bau dan kekeruhan, sifat-sifat
tersebut seperti pada table 2.
Tabel 2 Karakteristik fisik limbah cair domestik
Parameter Penjelasan
Temperatur Suhu dari air limbah biasanya sedikit lebih tinggi dari air minum. Pemperatur ini
dipengaruhi aktifitas mikrobiologi, solubitas dari gas dan viskositas
Warna Air limbah yang baru dibuang biasanya berwarna agak abu-abu. Dalam kondisi
septik air limbah akan berwarna hitam
Bau Air limbah yang baru dibuang biasanya mempunyai bau seperti sabun atau bau
lemak. Dalam kondisi septik akan berbau sulfur dan kurang sedap.
Kekeruhan
Kekeruhan pada air limbah sangat tergantung pada kandungan zat padat
tersuspensi. Pada umumnya air limbah yang kuat mempunyai kekeruhan yang
tinggi.
Sumber: Kodoatie RJ dan Sjarief R, 2009
259
Chandra Budiman, 2007, mengemukakan karakteristik fisik yang dimiliki
air limbah terdiri dari 99,9 % air, mengandung 0,1 % bahan yang bersifat padat
(suspended solid), volume bahan padat bervariasi antara 100 – 500 mg/l. Apabila
volume bahan padat kurang dari 100 mg/lt, air limbah tersebut disebut lemah,
sedangkan bila bahan padat lebih dari 500 mg/l disebut kuat.
Penyaringan Air
Penyaringan air adalah suatu proses pemisahan zat padat dari air yang
membawanya menggunakan suatu medium berpori atau bahan berpori lain untuk
menghilangkan sebanyak mungkin zat padat halus yang tersuspensi dan koloid.
Disamping mereduksi kandungan zat padat, penyaringan air dapat pula mereduksi
kandungan bakteri, menghilangkan warna, rasa, bau, besi dan bakteri.
Saparuddin, 2010, Pada pengolahan air dengan menggunakan saringan
makin lama penggunaan saringan akan memperlambat penyaringan, begitu pula
ketebalan pasir saringan mempengaruhi kecepatan penyaringan
Pada penyaringan air dengan media berbutir, terdapat tiga penomena proses
yaitu:
a. Transportasi : meliputi proses gerak brown, sedimentasi, dan gaya tarik antara
partikel.
b. Kemampuan menempel : meliputi proses mechanical straining adsorpsi (fisik
– kimia), biologis.
c. Kemampuan menolak : meliputi tumbukan antar partikel dan gaya tolak
menolak.
Media Saringan dan Distribusi Pasir.
Adams, Jr, 1999, Pengelolaan yang paling sederhana ialah pengelolaan
dengan menggunakan pasir dan benda-benda terapung melalui bak penangkap
pasir dan saringan. Benda yang melayang dapat dihilangkan oleh bak pengendap
yang dibuat khusus untuk menghilangkan minyak dan lemak. Lumpur dari bak
pengendap pertama dibuat stabil dalam bak pembusukan lumpur, lumpur menjadi
semakin pekat dan stabil, kemudian dikeringkan dan dibuang.
Djajadiningrat AH, (1995) menetukan ada tiga hal yang perlu diperhatikan
pada system yang digunakan dalam pengolahan air limbah sebagai berikut:
260
a. Karakteristik air limbah baik limbah cair domestik maupun limbah cair
industri.
b. Assymilative capacity dari badan air penerima, adalah kemampuan badan air
untuk menerima beban yang berupa air limbah tanpa terjadi pencemaran.
Kemampuan badan air untuk menerima air limbah tergantung dari
perbandingan debit air yang ada pada badan air dengan debit air limbah yang
masuk ke badan air dan kadar polutan (bahan pencemar) yang terkandung di
dalamnya. Semakin besar debit badan air dan semakin rendah kadar polutan
yang dikandungnya semakin besar pula assimilative capacity badan air yang
bersangkutan.
c. Peraturan tentang air limbah yang berlaku terhadap badan air yang
bersangkutan. Peraturan ini bergantung dari peruntukan (beneficial use)
badan air yang dimaksud
Media saringan dapat tersusun dari pasir silika alami, anthrasit, atau pasir
garnet. Media ini umumnya memiliki variasi dalam ukuran, bentuk dan komposisi
kimia. Pemilihan media saringan yang akan digunakan dilakukan dengan analisa
ayakan.
Effective Size (ES) atau ukuran efektif media saringan adalah ukuran
media saringan yang dianggap paling efektif dalam memisahkan kotoran yang
besarnya 10 % dari total kedalaman lapisan media saringan atau 10 % dari fraksi
berat, ini sering dinyatakan sebagai P10 (persentil 10). P10 yang dapat dihitung
dari ratio ukuran rata-rata dan standar deviasinya.
Uniformity Coefficient (UC) atau koefisien keseragaman adalah angka
keseragaman media saringan yang dinyatakan dengan perbandingan antara ukuran
diameter pada 60 % fraksi berat terhadap ukuran.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (01)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (02)
Hidrolika Saringan
Pada prinsipnya aliran pada media berbutir (saringan pasir) dianggap
sebagai aliran dalam pipa berjumlah banyak, kehilangan tekanan dalam pipa
akibat gesekan aliran mengikuti persamaan Darcy – Weisbach sebagai berikut:
261
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (03)
Dimana:
hL = Kehilangan tekanan akibat gesekan aliran
L = Panjang atau kedalaman media.
V = Kecepatan aliran.
D = Diameter kanal.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan akhir dalam penelitian ini, maka
jenis studi ini menekankan pada desain model eksperimen yang dilaksanakan di
laboratorium dengam membuat penyaringan air limbah yang akan menghasilkan
air buangan yang memenuhi standar efluen air limbah yang akan dibuang ke
badan air.
Penelitian ini dilaksanakan dilaboratorium dengan menggunakan
pendekatan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif melalui beberapa teknik
analisis statistik dengan variabel-variabel sebagai berikut:
1. Variabel berpengaruh merupakan variabel yang menentukan kualitas fisik air
limbah yang telah dijernihkan meliputi:
a. Tingkat kekeruhan air limbah yang akan dibuang
b. Debit air limbah yang akan dibuang
c. Material penjernihan dan ketebalannya.
2. Variabel bebas adalah miniatur sungai sebagai model
3. Variabel kontrol adalah kualitas air limbah yang telah melewati model
penjernihan.
Kualitas air limbah yang telah disaring merupakan variabel yang
menentukan kondisi tingkat kekeruhan air limbah yang akan dibuang, kualitas air
limbah yang telah disaring dan tidak memenuhi syarat efluen air limbah,
mengisyaratkan struktur penjernihan air limbah perlu diperbaiki, Model
Penyaringan air limbah sperti gambar 1. Struktur saringan tersusun dari bawak
keatas : ijuk, pasir, dan kerikil seperti pada gambar 2.
262
Gambar 1 Model penjernihan air limbah
Pasir
Gambar 2 Struktur saringan penjernihan air limbah
Lokasi dan Waktu Penelitian
Sesuai dengan model desain penelitian, maka rencana pelaksanaan
penelitian ini akan di laksanakan pada Laboratorium
Alat dan Bahan
Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka memperoleh gambaran dan data-
data yang mendekati sebenarnya terjadi pada penjernihan air limbah sebelum
dialirkan kebadan air, pemodelan fisik yang akan dilakukan di Laboratorium,
Sepanjang bentang dibuat saringan air limbah yang dihubungkan dengan pipa ke
bak air limbah
Teknik Pengumpulan Data.
Adapun langkah-langkah kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini disusun
sebagai berikut:
1. Rancangan dan pembuatan alat.
2. Menganalisa tingkat kekeruhan air limbah masyarakat sebelum di jernihkan
3. Mengukur debit air limbah masyarakat yang mengalir ke sungai.
4. Menganalisa tingkat kekeruhan air limbah yang telah dijernihkan.
5. Menganalisa tingkat kekeruhan air sungai yang telah terkontaminasi dengan
air limbah yang telah dijernihkan.
6. Persiapan pelaksanaan pengambilan data, sampai dengan penyusunan tulisan.
Teknik Analisis
IJUK
PASIR
KERIKIL
Pasir
Ijuk
263
Data penelitian ini terdiri dari variabel berpengaruh berupa tingkat
kekeruhan air limbah masyarakat, variabel bebas berupa ketebalan dan media
penjernihan yang digunakan, dan variabel kontrol berupa tingkat kekeruhan air
limbah masyarakat yang telah dijernihkan.
Penelitian ini menentukan hubungan fungsional antara variabel-variabel
yang ada, maka untuk menentukan hubungan fungsional tersebut maka digunakan
analisa korelasi dan analisa regresi.
Hasil yang diharapkan
Hasil pengujian mengalirkan air limbah dengan debit rata-rata 0,4 l/dt
selama 60 menit, melewati interpal variasi ketebalan saringan masing-masing 4
Cm, 8 Cm, 12 Cm, 16 Cm, dan 20 Cm, dengan tingkat kekeruhan awal dan hasil
saringan seperti data pada tabel 2.
Tabel 2 : Hasil saringan air limbah
Sumber : data primer 2013
Kesimpulan
Menbandingkan olahan kekeruhan awal sebelum melewati saringan dengan
hasil saringan diperoleh hasil bahwa saringan pada model penjernihan air limbah
memberikan penurunan kekeruhan yang beararti, sementara lama penggunaan
saringan tidak menunjukkan perbedaan yang berarti.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Jr, 1999, Wastewater Treatment Plant Design, CRC Pres LLC,
Washington, D.C.
264
Chandra Budiman, 2007, Pengantar Kesehatan Lingkungan, Penerbit buku
kedokteran, Jakarta.
Djajadiningrat AH, 1995, Pengelolaan dan Pengolahan Limbah Waste
Management, PP-PSL Direktorat Jenderal Pendidikan Tingi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Huisman, L, 1994, Rapid Sand Filtration, Lecture Notes, IHE Delf Netherlands
Kodoatie RJ dan Sjarief R, 2009, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu,
Penerbit Andi, Yogyakarta
Kusnoputranto Haryoto, 1997, Air Limbah dan Ekskreta Manusia, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor 112 Tahun 2003, Baku Mutu Air
Limbah Domestik.
Saparuddin, 2010, Pemanfaatan Air Tanah Dangkal untuk Air Bersih di Kampus
Bumi Bahari Palu, Hal 143 - 152, Smartek, Vol. 8 Fakultas Teknik
Universitas Tadulako
Sugiharto, 1987, Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah, Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press) Jakarta.
Tebbutt T.H.Y, 1992, Principles of Water Quality Control, Pergamon Press, New
York, Seoul, Tokyo
Wayland R H. dan Timothy E, 2002, Onsite Wastewater Treatment Systems
Manual, Office of Research and Development U.S. Environmental
Protection Agency
265
KAJIAN SPASIAL PERMUKIMAN VERNAKULAR PESISIR DI
KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN STUDI
KASUS : PERMUKIMAN PESISIR DESA APPA’TANA
Muhammad Najib
1, Ahda Mulyati
2, Arya Ronald
3
¹ ² Jurusan Teknik Arsitektur Fak. Teknik Uniersitas Tadulako Palu
² PPS Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fak. Teknik Univ. Gadjah Mada Yogyakarta
³ Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fak. Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan merupakan wilayah dimana sebagian besar
masyarakatnya bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau. Oleh sebab itu masyarakat dengan
mata pencaharian sebagai nelayan membangun permukimannya pada tempat-tempat yang dapat
memberi kehidupan atau sumber mata pencaharian. Penelitian bertujuan mengeksplor spasial
permukiman vernakular pesisir sebagai bentukan masyarakat terhadap lingkungan fisik kawasan.
Metoda yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif-fenomenologi, pengambilan data secara
naturalistik dan teknik analisis indultif (Guba, GE and Lincoln, SY, 1985; Groat and Wang, 2002).
Kawasan pesisir terdiri atas gugusan pulau-pulau dan pesisir pantai yang terbentuk dari
bukit-bukit karang, dimanfaatkan sebagai permukiman dan tempat berladang/bertani. Babaroh
membentuk pagmundah, dan seterusnya kampoh mengelilingi lahan bukit-bukit karang. Oleh
sebab itu bagian depan rumak menghadap ke bukit karang atau jalan sedang bagian belakang
menghadap laut. Perahu-perahu mereka ditambatkan pada sepanjang pantai sebagai ruang atau
akses rumak terhadap laut. Daratan bukit-bukit lainnya berfungsi sebagai kawasan
berladang/bertani terletak bersebelahan dengan kawasan permukiman. Pekerjaan ini akan
dilakukan jika kondisi alam tidak memungkinkan untuk me-laut, karena angin, cuaca, ombak, dan
lain-lain. Bukit karang umumnya merupakan bagian dari lingkungan permukiman sebagai batas
antar desa atau permukiman lainnya. Permukiman membentuk spasial linier dihubungkan oleh
jalan sebagai akses. Bagian barat terletak lahan daratan berupa bukit karang masing-masing
berfungsi sebagai ruang berladang/bertani, serta ruang penunjang kehidupan (fasilitas air bersih,
kuburan, tempat membuat/memperbaiki lopi/bido‘, lepa-lepa, dan lain-lain). Ruang sakral
merupakan hal utama sebagai sumber kekuatan dalam pembentukan spasial permukiman,
berfungsi sebagai Ruang pertahanan terhadap bencana alam.
Kata Kunci : Spasial, Permukiman, Pesisir, Kepulauan.
PENDAHULUAN
Lingkungan permukiman akan berkembang secara alamiah seiring dengan
perjalanan waktu. Berbagai aspek berpengaruh antara lain pengetahuan, teknologi,
peradaban, maupun kebijakan. Hal ini diindikasikan adanya perubahan spasial
permukiman, sebagai proses adaptasi pemukim terhadap lingkungan. Perubahan
spasial dapat tejadi dengan proses yang relatif cepat, tetapi ada yang terjadi dalam
proses yang panjang. Faktor pemicunya dapat berupa pemicu alamiah (bencana
alam) ataupun rekayasa seperti tingkat pendidikan, teknologi, peradaban dan
kebijakan pemerintah. Terciptanya karakter spasial permukiman dapat dibentuk
20
266
secara visual di dalam lingkungan permukiman, dan oleh perilaku masyarakat
sebagai pelaku. Hal ini masih ditemui di beberapa komunitas lokal di kepulauan
Selayar Sulawesi Selatan dengan keragaman kehidupan budayanya. Kepulauan
Selayar mempunyai garis pantai sepanjang kurang lebih 90 km dan gugusan
pulau-pulau sehingga sebagian masyarakatnya bermukim di kawasan tersebut.
Permukiman masyarakat pesisir terbentuk karena kondisi alam dan geografi
yang sangat rentan terhadap bencana. Mereka membangun rumah tinggal
berbentuk rumah panggung, dimana sebagian atau seluruhnya berada diatas air,
menggunakan bahan-bahan yang mudah diperoleh di lingkungannya, yaitu kayu,
bambu, daun kelapa, enau, dan lain-lain. Awalnya permukiman dibentuk oleh
pemukim karena kebutuhan akan tempat bernanung dan berlindung. Mereka
memilih tempat bernaung yang dapat memberi keamanan, sehingga pulau-pulau
atau daratan berupa karang yang dapat memberi kehidupan adalah pilihannya.
Kelompok ini terdiri atas beberapa keluarga, membangun rumah tinggal sesuai
pengetahuan lokalnya dengan mengelilingi atau sejajar daratan bukit karang.
Ruang-ruang pesisir hampir terdapat pada semua kawasan, sehingga
berkembang masyarakat pesisir yang mendiami kawasan pesisir dan pulau-pulau.
Umumnya masyarakat tersebut mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan
sehingga membangun rumah tinggal dan permukimannya pada tempat-tempat
dimana mereka dapat menyatu dan hidup dengan tempat yang memberinya
kehidupan. Pada umumnya permukiman tidak direncanakan dengan baik, spontan,
hanya sebagai tempat tinggal bagi keluarga jika mereka pergi me-laut.
Permukiman dibangun sesuai tingkat pengetahuan lokal mereka, tidak mengenal
standar atau norma-norma yang baku, tetapi sesuai kebutuhan pada masa itu.
Masyarakat ini berkembang sesuai budaya lokal yang dimiliki sebagai ciri
khas yang spesifik dalam mengatur kehidupan mereka. Kebiasaan-kebiasaan
inilah yang kemudian berkembang menjadi hukum adat yang mengatur berbagai
aspek kehidupan baik dalam hubungan sosial kemasyarkatan, ritual, kepercayaan,
dan lain-lain. Hal-hal tersebut tercermin dalam wujud kehidupan mereka, baik
pada lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang merupakan karakter,
keunikan dan citra budaya yang khas pada setiap permukiman. Keunikan pada
267
lingkungan sosial maupun lingkungan fisik mengandung kearifan lokal yang
menjadi daya tarik dan dikembangkan sebagai nilai lokal dari permukiman itu.
Berdasarkan isu-isu tersebut, pertanyaan penelitian : seperti apa spasial
permukiman vernakular pesisir sebagai proses adaptasi terhadap lingkungan fisik
kawasan khususnya di desa Appa‘tana kepulauan Selayar ?
Gambar 1 Ragam bentuk permukiman masyarakat vernakular pesisir
(Data lapangan, 2010-2013)
Gambar 2 Peta Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan; dan
Letak Kasus Permukiman Pesisir (desa Appa‘tana) Kepulauan Selayar Sulawesi Tengah
(Sumber : RTRW Kab. Kep. Selayar, 2012 dan Google Map, 2012)
Gambar 3 : Kondisi Permukiman Pesisir Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan
(Data Lapangan, 2011 update data 2013)
268
TINJAUAN PUSTAKA
Vernakular adalah bahasa setempat, dalam arsitektur istilah ini untuk
menyebut bentuk-bentuk yang menerapkan unsur-unsur budaya, lingkungan
termasuk iklim setempat, diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak,
denah, struktur, detail-detail, ornamen, dan lain-lain) (Sumalyo, 1993).
Comparising the dwellings and all other buildings of the people. Related to their
environmental contexts and available researches they are customarily owner or
community-built, utilizing traditional technologies. All forms of vernacular
architecture are built to meet spesific needs, accommodating the values,
economies and ways of life of the cultures that produce them (Oliver, P, 1987 ).
Arsitektur vernakular sering disebut arsitektur kerakyatan. Vernakular
menunjukkan pada sesuatu yang asli, etnik, rakyat, dan arsitektur tradisional.
Bentuk-bentuk arsitektur berupa shelter, indigenous architecture, non-formal
architecture, spontaneous architecture, folk architecture atau traditional
architecture. Cerminan asritektur vernakular dapat dilihat pada dialog manusia
dengan lingkungan, tanggap terhadap lingkungan, keterbatasan material, budaya
dan teknologi serta dalam konteks relasi sosial. Keberadaan bangunan atau
lingkungan selalu terlingkupi faktor lingkungan fisik dan sosial-budaya karena
lahir didalam jejaring kehidupan manusia (Oliver, P, 1987).
Secara umum, ada lima elemen pembentuk suatu permukiman yaitu : alam,
manusia, masyarakat (community), perlindungan (shell) dan jaringan (network).
Kelima unsur akan bekerjasama sehingga membentuk suatu permukiman yang
utuh ( Doxiadis, CA, 1957). Permukiman vernakular mempertimbangkan kondisi-
kondisi fisik yang melingkupinya selain unsur-unsur sosial-ekonomi-budaya-
religi, dan berpengaruh terhadap karakteristiknya. Aspek yang sangat kuat adanya
kebutuhan spesifik pada lingkungan budaya. Struktur sosial mempengaruhi
karakter khusus pada hunian, permukiman, desa dari lingkungan budaya yang
berbeda. Tradisi ritual suatu masyarakat mempengaruhi organisasi spasial di
sebuah desa. Demikian juga tradisi perkawinan, dan tradisi-tradisi lain,
berpengaruh pada tata letak dan pengembangan desa-desa suatu masyarakat. Ciri
spesifik pada sosio-budaya masyarakat akan menghasilkan arsitektur vernakular
(bangunan, permukiman, desa) yang spesifik pula (Oliver, P, 1987).
269
Lingkungan terbangun oleh hubungan dari relasi-relasi elemen didalamnya
dan memiliki pola tertentu, memiliki struktur tertentu. Relasi yang terbentuk
antara manusia dengan lingkungan fisik secara fundamental bersifat spasial,
dipisahkan dan disatukan di dalam dan oleh ruang. Oleh karena itu, karakteristik,
sosial dan budaya suatu lingkungan tercermin dalam tatanan spasialnya. Ruang
merupakan ruang tiga dimensional yang mengelilingi manusia, relasi antara
elemen-elemen didalamnya membentuk tatanan tertentu dan disebut organisasi
spasial (Rapoport, A, 1977). Aspek spasial sebagai unsur mendalam pada tatanan
ruang, karena space adalah aspek permukaan, sedang spasial adalah struktur
didalamnya, yang mencerminkan karakteristik space (Bacon, E, 1967; Hiller,
1989). Ruang selalu terkait dengan realitas manusia dan kehidupannya, dimana
manusia terhadap artefak-artefak membentuk ‗spasial budaya‘. Spasial budaya
adalah tatanan ruang tertentu yang mengungkapkan tatanan relasi artefak-artefak
berdasarkan prinsip tatanan sosial. Relasi bolak balik antara tatanan sosial dengan
tatanan fisik spasial, mencerminkan bahwa pada momen tertentu tatanan spasial
dipengaruhi oleh tatanan sosial, begitu pula sebaliknya.
Manusia sangat menentukan dan mencerminkan keunikan suatu
permukiman, khususnya pada arsitektur permukiman vernakular. Keunikan akan
terlihat pada cara manusia berperilaku terhadap lingkungan yang menjadi ruang
kehidupan manusia (Madanipour, 1996). Perilaku me-Ruang manusia mempunyai
sistem tertentu, dan berpengaruh terhadap tatanan spasial yang terbentuk sebagai
wadah kehidupannya (Waterson, R, 1990). Perbedaan individu, kelompok dan
masyarakat menghasilkan konsep dan wujud ruang yang berbeda (Rapoport, A,
1969; Haryadi dan Setiawan, 1995, 2006). Bentukan lingkungan merupakan hasil
pikiran dan perilaku manusia. Setiap kelompok etnis memiliki image yang khas
tentang lingkungannya, karena perilaku masing-masing etnis juga khas. Bentukan
lingkungan tidah hanya disebabkan kondisi iklim dan lingkungan yang unik,
tetapi juga perilaku dari etnis itu sendiri.
METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan metode pendekatan kualitatif-fenomenologi,
pengumpulan data secara naturalistik dan teknik analisis secara induktif (Guba,
GE and Lincoln, SY, 1991). Data-data diperoleh melalui wawancara mendalam
270
pada masyarakat yang bermukim atau yang mengetahui sejarah terbentuknya
permukiman pesisir dan pulau-pulau (Groat, L and D. Wang, 2002). Oleh sebab
itu kajian ini menggunakan berbagai kepustakaan untuk mengetahui konsep
terbentuknya spasial permukiman. Lokus yang menjadi amatan adalah
permukiman pesisir yang tersebar di kepulauan Selayar Sulawesi Selatan terutama
desa Appa‘tana.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepulauan Selayar merupakan salah satu pulau yang terpisah dari daratan
propinsi Sulawesi Selatan dengan luas kira-kira 1.357,03 km2 yang membentang
dari utara ke selatan antara pulu Sulawesi dan pulau Takabonerate. Kepulauan ini
terdiri atas 130 (seratus tiga puluh) gugusan pulau, 7 (tujuh) diantaranya kadang
tidak terlihat (tenggelam) pada saat air pasang.
Desa Appa‘tana merupakan salah satu kampoh masyarakat pesisir di
kepulauan Selayar. Masyarakatnya sudah beradaptasi dengan suku Selayar yang
merupakan penduduk asli. Kondisi kampoh terdiri atas batu-batuan, berada di tepi
pantai (laut) yang landai. Sebagaimana kampoh-kampoh lainnya yang dihuni
masyarakat pesisir kepulauan Selayar, desa Appa‘tana sudah berada di daratan
bukit batu. Permukiman ini dihuni oleh suku Bajo yang ada dan tersebar di
Sulawesi Selatan dengan karakteristik tersendiri.
Mata pencaharian penduduk mayoritas nelayan, sehingga mereka
membangun rumak mendekati laut. Penempatan rumak dilakukan sesuai anjuran
Ketua Adat dan pengetahuan lokal yang dimiliki. Rumak tidak menghadap utara-
selatan agar terhindar dari bencana yang diakibatkan oleh alam dan lingkungan.
Perahu dan sampan ditambatkan di pesisir pantai, sehingga pada bagian rumak
terdapat ruang kolong, lego-lego dan pintu yang mudah dicapai jika pulang dari
me-laut. Jalan merupakan orientasi lain dalam kampoh, berfungsi sebagai ruang
sosialisasi, sedang laut merupakan orientasi lain yang sifatnya semi privat. Laut
masih merupakan Ruang sakral bagi pemukim, sehingga pada rumak (rumah)
terdapat ruang yang menghadap ke laut sebagai Ruang kehidupan.
Rumak selain sebagai tempat berlindung, ruang berlangsungnya proses
sosial-budaya, dimana manusia hidup dan berkembang. Sebagai bagian dari
271
kampoh (kampung), rumak memberikan kenyamanan bagi pemukim sehingga
dapat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Perubahan rumak seiring
tingkat kebutuhan yang juga berubah. Pemukim mayoritas beragama Islam,
sehingga Mesjid atau mushollah sebagai ‗typological view‘ kampoh, berfungsi
sebagai ruang ibadah dan kegiatan-kegiatan berkaitan dengan keagamaan.
Walaupun mereka telah memeluk agama Islam, sebagaian besar pemukim masih
melakukan tradisi-tradisi menyangkut ‗Ruang Laut‘ sebagai ruang mata
pencaharian. Kegiatan ini biasanya memanfaatkan ruang rumak, jalan dan laut
sebagai ruang utama.
Dalam perkembangan permukim semakin bertambah, sehingga unit-unit
permukiman tumbuh dan berkembang. Kumpulan rumah tinggal membentuk garis
linier mengelilingi bukit karang. Permukiman terdiri atas deretan rumah tinggal
dihubungkan oleh jalan. Unit-unit permukiman membentuk spasial dimana rumah
tinggal (rumak) mengelilingi ruang-ruang publik yaitu jalan, mesjid, sekolah,
balai desa, warung, tempat mandi cuci, dan tempat-tempat bermain.
Gambar 4 Permukiman pesisir kepulauan Selayar dan permukiman desa Appa‘tana (Sumber : Google Map, 2011; update peta 2013)
Interaksi sosial pemukim dilakukan pada teras depan rumah, jalan setapak
dan ruang-ruang publik yang ada di lingkungan permukiman. Interaksi lain
biasanya dilakukan pada saat mereka me‘laut‘ mencari ikan. Laut juga berfungsi
sebagai akses antar unit-unit lingkungan dan tempat bermain bagi anak-anak serta
ruang kehidupan bagi pemukim. Rumah tinggal merupakan ruang privat sehingga
teras depan dan jalan adalah ruang-ruang publik.
Spasial terbentuk karena Kondisi Alam dan Lingkungan
Permukiman masyarakat pesisisr terbentuk karena kondisi alam dan
geografi yang sangat rentan terhadap bencana. Mereka membangun rumah
tinggalnya berbentuk rumah panggung menggunakan bahan-bahan yang mudah
272
diperoleh di lingkungannya, yaitu kayu, bambu, kelapa, enau, dan lain-lain.
Awalnya permukiman dibentuk oleh pemukim karena kebutuhan akan tempat
bernanung dan berlindung. Mereka memilih tempat bernaung yang dapat memberi
keamanan bersama keluarganya, sehingga pulau-pulau karang dan pesisir pantai
yang berdekatan dengan tempat yang memberi kehidupan adalah pilihannya.
Kelompok ini terdiri atas beberapa keluarga akhirnya membangun rumah tinggal
(rumak) sesuai pengetahuan lokalnya mengelilingi daratan bukit karang ditengah
laut dan mendekati daratan pantai.
Gambar 5 Ruang permukiman yang terbentuk karena kondisi alam dan lingkungan (Hasil Analisis, 2013)
Dalam perkembangannya permukiman semakin bertambah, unit-unit
permukiman tumbuh dan berkembang sepanjang pantai dan mendekati daratan
pantai. Kumpulan rumah tinggal ini membentuk garis linier mengelilingi bukit
karang dan pantai. Permukiman terdiri atas deretan rumah tinggal dihubungkan
oleh jalan. Unit-unit permukiman membentuk spasial dimana rumah tinggal
mengelilingi ruang-ruang publik yaitu jalan, mesjid, sekolah, balai desa, warung,
tempat mandi cuci, dan tempat-tempat bermain. Laut tidak hanya sebagai ruang
kehidupan tetapi juga sebagai ruang bermain. Akses antar unit-unit lingkungan
bagi pemukim menggunakan sampan (lepa-lepa) atau kendaraan bermotor.
Rumah tinggal merupakan ruang privat sehingga teras bagian depan (lego-lego)
dan jalan adalah ruang-ruang publik.
Spasial trbentuk karena Interaksi Sosial Pemukim
Pemukim dalam kehidupan kesehariannya akan melakukan interaksi, baik
dengan pemukim itu sendiri maupun terhadap lingkungannya. Interaksi sosial
umumnya dilakukan pada teras depan rumah, jalan setapak, bale-bale dan ruang-
ruang publik yang ada di lingkungan permukiman. Keadaan ini biasanya ramai
pada sore hari, anak-anak kecil bermain dan ibu-ibu mengobrol sambil mengasuh
273
anak. Ruang-ruang lain yang dimanfaatkan sebagai ruang interaksi adalah tempat
mandi cuci/mengambil air, yang terdapat pada unit-unit lingkungan. Interaksi
terjadi pada saat mereka mandi, mencuci dan mengambil air bersih untuk
kebutuhan pemukim di masing-masing rumah.
Interaksi lain biasanya dilakukan pada saat mereka me‘laut‘ mencari ikan.
Biasanya mereka melakukan pekerjaan ini secara bersama-sama baik dalam satu
perahu atau berlainan perahu. Mereka akan menuju tempat atau lokasi
berdasarkan naluri dan petunjuk alam dimana akan memperoleh hasil yang
memadai untuk kehidupan keluarganya. Kegiatan itu biasanya dilakukan pada
siang hari dan pulang pada keesokan paginya. Laut tidak hanya sebagai Ruang
mata pencaharian tetapi merupakan ruang bermain bagi anak-anak. Biasanya
mereka melakukannya sambil mencari ikan, sehingga menggunakan sampan
(perahu kecil atau lepa-lepa). Masing-masing anak membawa perahu, jika telah
memperoleh hasil yang diinginkan, meraka lalu berenang sambil bercanda
sebagaimana layaknya anak-anak. Kebiasaan ini dilakukan pada siang atau sore
hari setelah pulang dari sekolah.
Gambar 6 Interaksi sosial yang dilakukan pemukim baik pada saat me-laut, di jalan, tempat
mandi cuci yang dilakukan pada laut, jalan, bale-bale dan teras atau kolong rumah tinggal .
(Hasil Analisis, 2013)
Spasial terbentuk karena Kondisi Fisik Ruang Permukiman
Permukiman terdiri atas sekumpulan rumah, dilengkapi dengan fasilitas
lingkungan antara lain balai desa, mesjid atau mushollah, sekolah, puskesmas
pembantu, tempat mandi cuci, bak air dan jalan atau tetean sebagai akses.
Biasanya antar rumah terdapat ruang yang dimanfaatkan sebagai tempat
memperbaiki sampan (perahu kecil), begitu pula pada ruang-ruang belakang
rumah yang menghadap laut. Pada ruang yang lebih luas dimanfaatkan sebagai
tempat membuat atau memperbaiki perahu yang berukuran lebih besar.
274
Sebagian besar permukiman menempati pesisir dan daratan pantai,
menyebabkan rumah-rumah berbentuk panggung menggunakan ketinggian tiang
yang bervariasi sesuai ketinggian lahan dan pasang-surut air. Rumah tinggal
mempunyai tiang setinggi ± 2-3 m, sedang pada permukiman pesisir pantai
biasanya mempunyai ketinggian lebih rendah yaitu ± 1,5-2 m. Kolong rumah
biasanya dimanfaatkan sebagai tempat pemeliharaan binatang piaraan atau
menyimpan alat untuk menangkap sumber daya laut. Rumah tinggal dan laut
dihubungkan oleh bagian belakang rumah tinggal yang disebut sebagai lego-lego
atau ruang tambahan. Dalam perkembangannya, jalan sebagai pusat orientasi
sehingga lego-lego pada bagian belakang yang menghadap laut pindah pada
bagian depan rumah. Ruang ini tidak saja sebagai akses ke laut tetapi juga
sebagai ruang istirahat, tempat menyimpan hasil yang diperoleh selama me-laut,
dan alat-alat penangkap ikan.
Gambar 7 Kondisi fisik Ruang permukiman, lego-lego atau ruang depan sebagai akses dan ruang
interaksi pemukim, ruang-ruang antara sebagai tempat membuat dan memperbaiki
lepa-lepa (sampan), lepa (perahu). (Hasil Analisis, 2013)
KESIMPULAN
1. Pembentukan spasial permukiman vernakular pesisir sangat tergantung pada
kondisi fisik permukiman, yang terbentuk oleh pengaruh alam, lingkungan
dan perilaku pemukimnya. Hal ini terjadi sebagai proses adaptasi terhadap
kondisi fisik dan lingkungannya.
Rumah tinggal berbentuk panggung dihubungkan dengan jalan berbahan pasir atau
beton
Mesjid sebagai pusat
lingkungan permukiman
dan Ruang sakral
Tanggul sepanjang pantai sebagai “Ruang Pertahanan”
275
2. Spasial permukiman membentuk pola sejajar mengikuti garis pantai dan jalan
sebagai arah hadap rumah yang berfungsi sebagai akses dan ruang publik dan
pusat orientasi. Orientasi lain yang bersifat privat yaitu laut sebagai Ruang
Utama sehingga ruang-ruang bagian belakang rumah tinggal menghadap ke
laut. Pusat permukiman adalah mesjid atau mushollah sebagai ruang sakral
dan ruang publik.
3. Kepercayaan terhadap kekuatan alam mempengaruhi penempatan ruang-
ruang sakral sebagai Ruang Pertahanan terhadap bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Bacon, Edmun. 1967 dan 1975. Design of Cities. Thames and Hudson, London.
Doxiadis, CA. 1957. Ekistics An Introduction to The Science of Human
Settlements. Hutchinson, London.
Groat, L and D. Wang. 2020. Architectural Research Methods. John Wiley and
Sons, New York.
Guba, GE and Lincoln, SY. 1985. Naturalistic Inquiry. Sage Publications Inc,
Beverly Hills.
Haryadi dan Setiawan. 1995 dan 2006. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku :
Suatu Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan, Jakarta.
Hiller, Bill. 1989. The Architecture of The Urban Object dalam Ekistics : The
Problems and Science of Human Settlements. Vol. 56 nr 334/335,
Januari/February-March/April 1989.
Madanipour. 1996. Design of Urban Space : An Inquiry into Sosio-Spatial
Process. John Wiley and Sons, Chichester.
Oliver, Paul.1987. Dwellings The House Across The World. Phaidon Press
Limited, Oxford, UK.
Rapoport, Amos. 1977. Human Aspects of Urban Form : Towards A Nonverbal
Communication Approach to Urban Form and Design. Pergamon Press,
New York.
--------. 1969. House Form and Culture. Prentice Hall, New Jersey.
Waterson, R. 1990. The Living House, An Antropology of Architecture in South
East Asia. Oxford University Press, Singapore.
276
STUDI KARAKTERISTIK LENTUR BALOK BETON BERTULANG
BERAGREGAT STYROFOAM
Yasser
1, Herman Parung
2, M. Wihardi Tjaronge
3, Rudy Djamaluddin
4
1 Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin,
2 3 4 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin,
email : [email protected],
ABSTRAK
Pada umumnya beban lentur yang bekerja pada elemen struktur balok
beton ditahan oleh serat terluar pada daerah tekan sementara daerah tariknya
diabaikan. Oleh karena itu sangat beralasan jika bagian balok beton pada daerah
tarik diminimalkan dengan pengurangan massa beton pada daerah tarik dengan
mengabaikan tegangan tarik beton saat menerima beban statis atau pada daerah
tersebut diisi dengan styrofoam concrete (styrocon). Salah satu upaya untuk
mengefesienkan nilai ekonomis beton dengan mereduksi beton dan menggunakan
styrocon sehingga komponen volume material alam, seperti: pasir tambang,
agregat kasar, dan semen serta berat konstruksi menjadi lebih kecil. Styrofoam
sebagai limbah dapat digunakan sebagai pengisi untuk mengurangi volume beton,
terutama untuk daerah dimana penampang beton tidak bekerja secara mekanik.
Sebagai usaha untuk mempelajari kekuatan lentur balok beton bertulangan luar
dan komposit beragregat styrofoam, maka dilakukan serangkaian pengujian.
Bahan uji berupa balok dengan dimensi 15 cm x 20 cm x 270 cm. Bahan uji
terdiri dari balok normal mutu beton 26.0 MPa dengan tulangan transversal
sebagai bahan uji kontrol dan bahan uji dengan bertulangan luar transversal serta
sistem rangka dan komposit beragregat styrofoam. Pada balok komposit normal-
styrocon dengan variasi kandungan styrofoam. Balok diletakkan pada 2 tumpuan
sederhana dengan pengujian metode pembebanan 2 titik. Hasil menunjukkan
kekuatan lentur balok beton normal 36.7 kN, tetapi pada balok bertulangan luar
transversal menurun 30.6 kN, tetapi balok bertulangan luar sistem rangka relatif
sama 35.8 kN. Namun balok bertulangan luar rentan terhadap korosi dan
kebakaran serta memerlukan perawatan. Oleh karena itu digunakan styrocon pada
bagian terluar dengan kandungan styrofoam sebesar 30%, 40%, dan 50% yang
memiliki kekuatan lentur masing-masing 33.8 kN, 31.0 kN, dan 29.0 kN.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa menggunakan balok beton komposit normal-
styrocon dapat mengefesienkan penggunaan material alam pada balok beton dan
mereduksi berat konstruksi serta memiliki aspek lingkungan dengan
menggunakan limbah buangan.
Kata-kata kunci: Kekuatan lentur, Balok beton berlapis, Styrocon, Tulangan luar, Beban
monotonik.
PENDAHULUAN
Beton masih merupakan salah satu bahan yang paling banyak digunakan di
seluruh dunia dan diperkirakan bahwa produksi global tahunan lebih dari 2 miliar 21
277
meter kubik (Jacobsen, 2006). Terbentuk dari suatu campuran yang mengeras dari
semen, air, agregat halus dan agregat kasar. Sebagai bahan utama penyusun beton
merupakan bahan alam yang semakin berkurang jumlahnya sehingga perlu
peningkatan kajian untuk mengefisienkan material alam yang digunakan pada
desain optimum struktur bangunan, khususnya pada gelagar jembatan. Gambar 1
memperlihatkan implementasi perletakan sendi-rol pada elemen konstruksi.
Gambar 1 Aplikasi sumple beam
Dari berbagai teori yang berkaitan dengan analisis elemen struktur balok
beton, diketahui bahwa bagian yang kekuatannya bekerja secara maksimal dalam
menahan gaya lentur hanya bagian terluarnya saja. Itupun pada bagian beton yang
mengalami tekan, sedangkan bagian beton yang mengalami tarik, kekuatannya
diabaikan (Nawy, 1998). Oleh karena itu tidak efisien apabila bagian inti beton
yang tidak bekerja secara maksimal terbuat dari jenis beton yang sama dengan
yang bekerja secara maksimal.
Melihat ketidakefisien tersebut maka timbulah pemikiran untuk membuat
beton yang terdiri dari beberapa lapisan yang berbeda (Schaumann, dkk., 2008).
Gambar 2 memperlihatkan balok beton yang terdiri dari beberapa lapisan berbeda.
Dengan ini, kita bisa mengefesienkan desain elemen struktur balok yang terbuat
dari beton dengan cara menggunakan beton normal pada lapisan tertentu
sedangkan bagian lainnya diisi dengan beton ringan styrocon yang menggunakan
styrofoam.
Dengan digunakannya styrocon maka secara total berat beton dan struktur
pun akan menjadi lebih ringan yang secara otomatis akan memperkecil dimensi
struktur, sehingga desain optimal pun bisa dicapai. Namun beton ringan memiliki
kelemahan seperti kekakuan yang lebih rendah serta susut dan rangkak yang lebih
besar. Oleh karena itu material ini cenderung ditempatkan pada posisi didekat
garis netral atau bagian bawah. Dengan diefisienkannya lapisan beton yang
278
bekerja dalam menahan lentur, secara teoritis, dengan melihat kekurangan dan
kelebihan dari beton normal dan ringan, diharapkan kombinasi dari kedua jenis
beton tersebut menjadi komposit, sehingga masing-masing jenis beton dapat
saling menutupi kekurangan masing-masing.
Gambar 2 Penampang balok beton berlapis
Styrofoam atau expanded polystyrene dikenal sebagai gabus putih yang
biasa digunakan sebagai pembungkus barang elektronik sering menjadi sampah
buangan. Gambar 3 memperlihatkan contoh styrofoam. Polystyrene ini dihasilkan
dari styrene (C6H5CH9CH2) yang tidak dapat terurai oleh tanah sehingga
mengurangi kualitas kesuburan lahan, jika dibakar menghasilkan oksida karbon
(COx) yang memicu pemanasan global serta sisa pembakaran menjadi plastik cair
yang mengakibatkan pencemaran tanah dan air. Oleh karena itu perlu teknologi
beton yang berwawasan lingkungan dengan me-reuse limbah tersebut pada
elemen struktur balok untuk me-reduce pencemaran tersebut sehingga
penggunaan beton ringan styrocon pada lapisan inti/ bawah balok berlapis normal-
ringan selain mengurangi berat konstruksi juga memiliki aspek lingkungan.
Gambar 3 Styrofoam
TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan material styrofoam pada beton dengan memanfaatkan limbah
dapat menurunkan biaya konstruksi beton, memperlambat timbulnya panas
hidrasi, menurunkan berat jenis beton, dan mengurangi beban gempa yang bekerja
lebih kecil karena berat struktur beton berkurang (Satyarno, 2006; Giri,
279
dkk.,2008). Yang pada akhirnya eksploitasi material alam seperti pasir, kerikil,
dan semen untuk bahan bangunan dapat dikurangi.
Motivasi untuk menyelidiki kinerja seperti balok berlapis beton normal dan
ringan adalah untuk merancang elemen struktur yang memanfaatkan sifat yang
paling menguntungkan dari dua mutu beton yang berbeda dan mereka dalam satu
penampang. Balok berlapis digunakan dalam aplikasi yang memerlukan kekakuan
lentur yang tinggi dan kekuatan dikombinasikan berat yang rendah (Skjølberg dan
Hansson, 2010; Ness dan Overli, 2011).
Studi penggunaan tulangan sistem rangka pada elemen struktur telah
dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Salmon dan Einea (1995) yang
menggunakan steel trusses untuk mereduksi lendutan pada panel cangkang.
Deshpande dan Fleck (2001) melakukan eksperimental pada balok sandwich, yang
terdiri dari inti truss segitiga face-sheets, yang telah dicetak dengan aluminium-
silikon alloy dan silikon in brass untuk mendapatkan kekakuan efektif
makroskopik dan kekuatan lembaran face-sheets dan inti tetrahedral. Kocher,
dkk. (2002) menyajikan pendekatan teoritis untuk mempelajari beberapa isu yang
berkaitan dengan desain struktur sandwich dengan diperkuat polimer rangka pada
inti berongga dengan menggunakan model analisis sederhana yang
menggambarkan kontribusi untuk mengatasi stabilitas struktur yang berongga
pada inti. Liu dan Lu (2004) meneliti sebuah prosedur optimasi multi-parameter
pada panel sandwich ultralightweight truss-core. Detail konfigurasi dan ukuran
untuk kedua facesheets dan struts individu dalam panel sandwich yang
dioptimalkan. Optimasi meningkatkan kinerja struktural dari setiap panel pada
kasus multiple loading dan meminimalkan berat struktural secara simultan. Kabir
(2005) mengembangkan suatu metode untuk menyelidiki karakteristik mekanik
panel dinding sandwich 3D pada beban geser dan lentur statis, dalam rangka
untuk memahami komponen struktural tersebut.
Secara umum penelitian terkait dengan pemanfaatan limbah syrofoam untuk
digunakan pada elemen struktur balok untuk keperluan efesiensi penggunaaan
material alam pada beton serta penerapan teknologi konstruksi yang berwawasan
lingkungan. Terkait dengan hal tersebut adalah penting untuk memperluas
penggunaan styrofoam untuk menggunakan kembali limbah tersebut. Untuk
280
melakukan studi aplikasi bahan styrofoam untuk subtitusi material alam, maka
telah dilakukan serangkaian studi analitis dan pengujian eksperimental. Tulisan ini
menyajikan hasil dari studi dimaksud yang terkait dengan kapasitas lentur balok
beton berlapis dengan menggunakan bahan styrofoam.
Styrofoam atau expanded polystyrene dikenal sebagai gabus putih yang
biasa digunakan sebagai pembungkus barang-barang elektronik sering menjadi
sampah buangan. Polystyrene ini dihasilkan dari styrene (C6H5CH9CH2) yang
tidak dapat terurai oleh tanah sehingga mengurangi kualitas kesuburan lahan, jika
dibakar menghasilkan oksida karbon (COx) yang memicu pemanasan global serta
sisa pembakaran menjadi plastik cair yang dapat mengakibatkan pencemaran
tanah dan air. Oleh karena itu perlu teknologi beton yang berwawasan lingkungan
dengan me-reuse limbah tersebut pada elemen struktur balok untuk me-reduce
pencemaran tersebut. Sehingga penggunaan beton ringan styrocon pada lapisan
inti atau bawah balok berlapis normal-ringan selain mengurangi berat konstruksi
juga memiliki aspek lingkungan.
METODE PENELITIAN
Gambar 4 memperlihatkan bahan uji untuk masing-masing balok normal
(BN), balok bertulangan luar tranversal (BTL), balok bertulangan luar system
rangka (BTR), balok normal-styrocon dengan kandungan styrofoam 30%
(BSC30), balok normal-styrocon dengan kandungan styrofoam 40% (BSC40), dan
balok normal-styrocon dengan kandungan styrofoam 50% (BSC50). Bahan uji BN
dimaksudkan sebagai balok kontrol atau sebagai pembanding sedangkan BTL,
BTR, BSC30, BSC40, dan BSC50 sebagai competitor, balok mana yang
memberikan kekuatan dan efesiensi penggunaam material alam.
(a) Balok BN
(b) Balok BTL
281
(c) Balok BTR
(d) Balok BSC30
(e) Balok BSC40
(f) Balok BSC50
Gambar 4 Detail bahan uji
Semua bahan uji adalah balok dengan dimensi panjang 270 cm, lebar balok
15 cm, dan tinggi balok 20 cm pada Gambar 5. Balok beton bertulang
direncanakan memiliki tulangan tarik 3 batang tulangan 20 cm dengan tulangan
geser berdiameter 6 mm. Untuk memudahkan perakitan tulangan, maka pada sisi
tekan juga diberi tulangan dengan diameter 6 mm. Bahan beton direncanakan
memilki kuat tekan 25 MPa.
Tabel 1 Karakteristik beton dan baja tulangan
Beton Baja
Parameter Nilai Parameter Nilai
Tegangan Tekan 26.0 MPa fy 458.27 MPa
Tegangan Tarik 3.0 MPa fymax 442.32 MPa
Tegangan Lentur 3.81 MPa εs 0.00253
Modulus Elastisitas 23219 MPa Es 209787 MPa
Proses pengecoran dilakukan sesuai standar yang baku dan dilakukan proses
perawatan beton selama 28 hari sepert pada Gambar 7. Untuk memeriksa sifat-
sifat beton dilakukan pengujian tekan dan uji belah pada bahan uji silinder selain
uji kuat tarik menggunakan bahan uji balok. Secara rinci sifat-sifat beton dan
tulangan baja disajikan pada Tabel 1.
282
Tabel 2 Spesifikasi expanded polystyrene/styrofoam
Pengujian dilakukan pada balok BN di atas suatu bentang sederhana dengan
membebani balok secara sentries pada 2 titik pembebanan berjarak 525 mm.
Gambar 5 Persiapan dan pengecoran bahan uji balok
Berdasarkan teori lentur beton bertulang (Wight dan MacGregor, 2005),
titik leleh tulangan ditandai dengan terjadinya perubahan kekakuan balok secara
nyata. Oleh karena balok direncanakan dalam kondisi berttulangan lemah (under
reinforcement) maka perubahan kekakuan tersebut akan disebabkan oleh
melelehnya tulangan seperti diilustrasikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Tipikal hubungan beban-lendutan untuk balok bertulangan lemah
Dari hasil pengujian berat volume styrofoam, diperoleh nilai berat volume
styrofoam 22,612 kg/m3 dan nilai faktor gembur sebesar 0,61. Dimana, berat
volume styrofoam diperoleh dari perbandingan berat padat styrofoam 354,8 kg gr
dengan volume padat styrofoam 15690,48 cm3. Dan nilai faktor gembur diperoleh
283
dari perbandingan antara volume padat 15690,48 cm3 dengan volume gembur
25636,73 cm3. Karakteristik bahan dasar Styrofoam disajikan pada Tabel 2.
Gambar 7 Perawatan bahan uji balok
Gambar 8 Metode pembebanan balok
Pengujian dilakukan dengan metode pembebanan seperti pada Gambar 8,
balok beton bertulang normal (BN). Balok diuji diatas tumpuan sederhana dengan
jarak antara tumpuan 2500 mm. Pembebanan diberikan dalam bentuk
pembebanan 2 titik berjarak 500 mm secara sentries pada tengah bentang.
Pembebanan dilakukan secara bertahap per 1 kN dengan menggunakan jack
hidrolis secara manual. Pengukuran lendutan dilakukan dengan menempatkan 3
buah dial gauge pada titik tengah bentang dan pada titik pembebanan. Pembacaan
beban dasn dial dilakukan pada stiap kenaikan beban 1 kN. Selain itu juga
dilakukan pengamatan terhadap retakan yang terjadi. Retak yang muncul
selanjutnya di sketsa. Untuk mengamati penjalaran retakan, maka dipilih 3 retakan
utama untuk dianalisis.
Estimasi Kapasitas Lentur
Gambar 9. Mengilustrasikan asumsi dasar regangan penampang, tegangan
dan gaya-gaya dalam pada analisis kapsitas lentur. Asumsi tersebut berdasar pada
kondisi penampang bertulangan lemah (ρs<ρsb). Berdasarkan teori lentur beton
bertulang (Wight dan MacGregor, 2005), maka diasumsikan juga pada analisis ini
bahwa terjadi hubungan regangan yang bervariasi linier pada penampang rekatan
284
yang sempurna antara baja tulangan dengan beton serta regangan beton pada
kondisi hancur adalah 0,003. Selain itu juga diasumsikan bahwa tegangan pada
penampang tekan beton saat kapasitas ultimit adalah segiempat serta tulangan
baja berprilaku elasto-plastis.
Pada suatu kondisi tertentu balok dapat menahan beban yang terjadi hingga
regangan tekan lentur beton maksimum (ε‘c)maks mencapai 0.003 sedangkan
tegangan tarik tulangan mencapai tegangan Ieleh fy. Jika hal itu terjadi, maka nilai
fs = fy dan penampang dinamakan mencapai keseimbangan regangan (penampang
bertulangan seimbang).
Berdasarkan pada asumsi yang telah dikemukakan di atas, dapat dilakukan
pengujian regangan, tegangan, dan gaya-gaya yang timbul pada penampang balok
yang bekerja menahan momen batas (Mu), yaitu momen yang timbul akibat beban
luar pada saat terjadi kehancuran. Kuat lentur balok beton terjadi karena
berlangsungnya mekanisme tegangan-regangan dalam yang timbul di dalam
balok, pada keadaan tertentu dapat diwakili oleh gaya-gaya dalam. Dimana ND
merupakan resultan gaya tekan dalam dan merupakan resultan gaya tekan pada
daerah yang berada diatas garis netral. Sedangkan NT adalah merupakan resultan
gaya tarik dalam dan merupakan seluruh gaya tarik yang direncanakan untuk
daerah yang berada di bawah garis netral. Resultan gaya tekan dalam dan resultan
gaya tarik dalam arah garis kerjanya sejajar, sama besar namun berlawan arah
dengan jarak z sehingga membentuk kopel momen tahanan dalam, dimana nilai
maksimumnya disebut sebagai kuat lentur.
Momen tahanan dalam tersebut akan memikul momen lentur rencana aktual
yang diakibatkan oleh beban luar. Untuk tujuan perencanaan pada kondisi balok
dibebani harus disusun sesuai dengan komposisi dimensi balok beton dan jumlah
luasan tulangan yang dapat menahan momen akibat beban luar. Terlebih dahulu
adalah mengetahui resultan total gaya beton tekan ND, dan letak garis kerja gaya
dihitung terhadap serat tepi tekan terluar, sehingga jarak z dapat dihitung. Nilai
ND dan NT dapat dihitung dengan menyederhanakan bentuk distribusi tegangan
lengkung dirubah dengan bentuk ekivalen yang lebih sederhana, dengan
memanfaatkan nilai intensitas tegangan rata-rata agar nilai dan letak resultan tidak
berubah.
285
Gambar 9 Model tegangan-regangan
Berdasarkan bentuk empat persegi panjang, intensitas tegangan beton tekan
rata-rata ditentukan sebesar 0,85 f‘c dan diasumsikan bekerja pada daerah tekan
dan penampang balok selebar b dan setinggi a, besarnya dapat ditentukan dengan
persamaan :
a = β1c (1)
Untuk balok underreinforced keruntuhan lentur ditandai dengan melelehnya
tulangan sementara tegangan yang terjadi pada beton kecil (fc< fc‘). Batas elastic
dimana nilai fs=fy. Sehingga momen yang terjadi seperti persamaan berikut:
My = fy.As.jd (2)
Setelah tegangan baja yang terjadi sama dengan tegangan leleh baja maka
hal ini dikatakan balok sudah mengalami lentur daktail. Dalam keadaan lentur
daktail balok mengalami deformasi tanpa terjadinya keruntuhan pada tulangan
tarik.
Dari persamaan keseimbangan gaya Cc+Cs = T, maka:
As.fy = 0,85fc.b.a + As’.fy (3)
atau
a = (As.fy - As’.fy)/( 0,85fc.b) (4)
sedangkan untuk menentukan momen ultimit:
Mu = 0,85.fc.a.b(d-a/2) + As’.fy(d-d’) (5)
Tabel 3 menyajikan hasil estimasi momen ultimit untuk masing-masing
bahan uji dengan menggunakan sifat-sifat material yang disajikan pada Tabel 2.
Momen retak awal diestimasi menggunakan teori lentur elastis (Wight et.al.
2005). Untuk momen ultimit, estimasi dilaksanakan berdasarkan kondisi dimana
286
terjadi kegagalan tekan pada beton setelah tulangan baja meleleh dengan
menggunakan pers. (5).
Dari Tabel 3 berdasarkan estimasi dapat diketahui bahwa untuk balok
bertulang biasa (BN) memiliki beban ultimit sebesar 28.77 kN. Untuk balok
bertulangan luar relatif sama, namun pada tulangan sistem rangka memperlihatkan
peningkatan. Untuk balok komposit normal-styrofoam menunjukkan kondisi yang
lebih baik dibanding balok bertulangan luar. Sehingga dapat mengefesiensikan
penggunaan material alam serta memanfaatkan kembali limbah tersebut pada
elemen struktur balok.
Tabel 3 Estimasi momen retak awal dan momen ultimit
Kode
Balok
Retak Awal Momen Ultimit Rasio
(x/BN) Mcr(kN.m) Pcr(kN) Mu(kN.m) Pu(kN)
BN 4.28 7.54 14.77 28.77 1.00
BTL 1.21 2.00 12.51 28.77 1.00
BTR 2.82 4.50 14.84 28.90 1.00
BSC30 2.05 3.02 15.09 29.42 1.00
BSC40 1.56 2.01 15.09 29.42 1.02
BSC50 1.22 1.34 15.09 29.42 1.02
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan Beban dan Lendutan
Gambar 10 menunjukkan hubungan antara beban dan lendutan dari masing-
masing bahan uji. Pada balok BN, awal pembebanan masih berupa garis lurus
yang memperlihatkan perilaku elastic sampai beban rata-rata 8 kN (working
stage). Sejalan dengan peningkatan beban, hubungan beban dan lendutan lebih
landai dibandingkan dengan sebelumnya. Hal ini terjadi sampai pada beban rata-
rata 32 kN (yielding stage). Pada saat baja tulangan mengalami leleh yang
ditandai dengan peningkatan lendutan yang besar tanpa diikuti dengan
peningkatan beban yang berarti, kurva hubungan beban dan lendutan yang jauh
lebih datar dibanding sebelumnya. Hal ini terjadi sampai beban ultimate rata-rata
37 kN (collapse stage).
287
Gambar 10 Hubungan beban dan lendutan
Pada balok BTL response ultimate lebih rendah dari BN dan relatif bersifat
brittle. Sedangkan pada BTR dengan tulangan system rangka memperlihatkan
peningkatan beban ultimate dibandingkan dengan BTL namun tetap tidak ductile.
Balok BSC30 memperlihatkan kondisi yang lebih daktail dibandingkan dengan
BN dengan penambahan styrofoam sebesar 30 % pada bagian tarik beton,
Sehingga dapat menefesiensikan penggunaan material alam serta memanfaatkan
kembali limbah tersebut pada elemen struktur balok. Balok BSC40 dan BSC50,
kapasitas masing-masing menurun dibandingkan BSC 30.
Tabel 4 Beban retak dan beban ultimit hasil pengujian
Kode Balok
Teoritis Eksperimental Rasio Exp/
Teoritis Pcr Pu Pcr Pu (x/BN)
(kN) (kN) (kN) (kN) exp.
BN(1)
7.54 28.77
8.00 37.50 1.00 1.303
BN(2) 8.00 36.00 1.00 1.251
BN(3) 8.00 36.50 1.00 1.269
BTL(1)
2.00 28.77
2.00 32.30 0.881 1.123
BTL(2) 2.00 31.50 0.859 1.095
BTL(3) 2.00 28.00 0.764 0.973
BTR(1)
4.50 28.90
4.00 36.60 0.998 1.266
BTR(2) 4.00 35.10 0.957 1.215
BTR(3) 4.00 35.60 0.971 1.232
BSC30(1)
3.02 29.42
4.00 34.00 0.927 1.156
BSC30(2) 4.00 33.00 0.900 1.122
BSC30(3) 4.00 34.50 0.941 1.173
BSC40(1)
2.01 29.42
3.00 30.50 0.832 1.037
BSC40(2) 3.00 31.00 0.845 1.054
BSC40(3) 3.00 31.50 0.859 1.071
BSC50(1)
1.34 29.42
2.00 29.00 0.791 0.986
BSC50(2) 2.00 29.00 0.791 0.986
BSC50(3) 2.00 29.00 0.791 0.986
288
Gambar 11 Tingkat deviasi antara hasil test dengan estimasi teoritis
(a) Bahan uji BN (b) Bahan uji BTL
(c) Bahan uji BTR (d) Bahan Uji BCS 30
(e) Bahan uji BSC40 (f) Bahan uji BSC 50
Gambar 12 Arah rambatan retak
Kapasitas Lentur
Tabel 4 menyajikan ringkasan beban pada saat retak awal dan saat beban
ultimit dari masing-masing balok normal (bahan uji BN), balok bertulang luar
(bahan uji BLT dan BTR), dan balok komposit normal-styroco (bahan uji BSC30,
BSC40, dan BSC40). Secara umum beban ultimit untuk semua bahan uji hasil
pengujian memiliki rasio kesamaan yang cukup baik dibandingkan dengan
estimasi teoritis sebagaimana terlihat pada Gambar 11 yang menunjukkan tingkat
deviasi antara hasil test dengan estimasi teoritis.
Beban ultimit balok BSC50 hasil pengujian yang dicapai pada tingkat beban
29.0 kN. Jika dibandingkan dengan estimasi teoritis dengan menggunakan asumsi
regangan dan tegangan yang dipaparkan di atas, menunjukkan hasil yang cukup
baik dengan rasio kesamaan 98.6 %. Hal ini mengindikasikan bahwa bahan uji
BSC50 berperilaku sebagaimana diasumsikan pada estimasi teoritis.
289
Untuk bahan uji BTL memiliki kapasitas lentur yang paling rendah dengan
benda uji lain terhadap bahan uji BN serta berperilaku getas. Balok BTR paling
mendekati kapasitas lentur BN, namun memperlihatkan karakteristik yang tidak
daktail. Kapasitas lentur balok BSC30 juga mendekati balok BN dan
memperlihatkan perilaku yang lebih daktail bahan uji pembanding tersebut, yang
memberikan efesiensi penggunaan material alam, seperti : pasir, kerikil, dan
semen sebesar 30 % pada tension area. Selain itu menggunakan kembali limbah
atau buangan sampah gabus putih pembungkus alat-alat elektronik tersebut.
Bahan uji BSC40 dan BSC50 memiliki beban ultimate yang lebih rendah.
Sehingga kurang memberikan kapasitas lentur dibandingkan bahan uji BN.
Pola Retak dan Pola Kegagalan
(a) Bahan uji BN (b) Bahan uji BTL (c) Bahan Uji BTR
(d) Bahan uji BSC30 (e) Bahan uji BSC40 (f) Bahan uji BSC50
Gambar 13 Pola penjalaran retak
Secara umum pola retak sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 12 adalah
merupakan retak lentur yang mulai saat tegangan yang terjadi melebihi tegangan
tarik material beton. Penambahan beban akan menyebabkan menjalarnya rekatan
mengarah ke atas menuju garis netral balok serta munculnya retakan baru.
Balok mengalami keruntuhan pada beban maksimum yang ditandai dengan
melebarnya retak dan melelehnya baja tulangan yang ditandai dengan lendutan
290
yang besar sampai balok mengalami hancur pada serat tekan. Pada balok beton
bertulang beragregat styrofoam, panjang retak yang terjadi lebih lambat daripada
panjang retak pada balok beton bertulang normal (BN). Monitoring terhadap
penjalaran 3 retak pada masing-masing bahan uji disajikan pada Gambar 13.
Nampak dapat diamati pada balok BN bahwa retak mulai menjalar saat beban
berada pada level sekitar 8 kN. Retakan terus menjalar hingga tercapai beban
ultimate balok. Pada balok bertulangan luar BTL dan BTR dapat diamati retakan
mulai menjalar setelah beban berada pada level yang sedikit lebih tinggi dari
beban retak awal balok BN, namun lebih cepat collapse karena retakan awal
sudah berada pada compression area balok beton tersebut.
Berdasarkan pola retak serta phenomena penjalaran retak seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 12 dan Gambar 13, dapat disimpulkan bahwa balok
yang beraggregat styrofoam memberikan keuntungan dan kondisi yang lebih baik,
pada panjang perambatan pola retak yang tidak langsung menuju keatas,
dibandingkan balok normal (BN) serta balok bertulangan luar (BTL dan BTR),
dikarenakan styrocon dengan penambahan expanded polistyerene lebih memiliki
elongation daripada beton normal.
(a) Bahan uji BN (b) Bahan uji BTL (c) Bahan Uji BTR
(d) Bahan uji BSC30 (e) Bahan uji BSC 40 (f) Bahan uji BSC 50
Gambar 14 Keruntuhan pada bahan uji
Gambar 14 memperlihatkan foto-foto bahan uji yang mengalami kerusakan.
Semua benda uji memperlihatkan keruntuhan lentur. Namun pada bahan uji BTR
dengan tulangan sistem rangka memperlihatkan reduksi deflection, tetapi setelah
beton bagian tekan retak langsung mengalami failure. Pada balok normal (BN)
kerusakan juga terjadi sampai bagian upper beton. Sedangkan pada beton
komposit normal-styrocon keruntuhan sampai pada tinggi blok tegangan
291
segiempat Whitney, disebabkan kuat tarik beton beragregat styrofoam memiliki
kuat tarik yang lebih baik dari beton normal.
KESIMPULAN
Berdasarkan pengujian dan analisis, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Hubungan beban dan lendutan pada balok beton komposit normal-styrocon
dengan penambahan 30% styrofoam memperlihatkan perilaku yang cukup
baik pada daktalitas perpindahan dibandingkan balok beton normal. Selain itu
dapat mengefesiensikan penggunaan material alam, seperti : pasir, kerikil, dan
semen sebesar 30 % pada penampang tarik dan mengurangi berat konstruksi
serta memanfaatkan kembali limbah atau sampah buangan gabus putih
pembungkus alat elektronik.
2. Kapasitas lentur balok beton komposit normal-styrocon dengan penambahan
30% styrofoam, memiliki kemampuan menaham beban ultimit sebesar 34.5
kN, serta penambahan material expanded polistyerene pada tension area
mengakibatkan styrocon memiliki elongation yang lebih dibandingkan beton
normal, sehingga memiliki kelenturan yang lebih baik pula.
3. Pada balok beton komposit normal-styrocon dengan penambahan 30%
styrofoam panjang retak yang terjadi lebih lambat daripada panjang retak pada
balok beton bertulang normal dan balok beton bertulangan luar dimana
perambatan pola retak yang tidak langsung menuju keatas.
4. Hasil pengujian yang dicapai menunjukkan hasil yang cukup baik dengan
rasio kesamaan 98.6% dibandingkan dengan estimasi teoritis, hal ini
mengindikasikan bahwa bahan uji berperilaku sebagaimana diasumsikan pada
estimasi teoritis.
5. Ada potensi kehilangan daya rekatan antara lapisan beton normal dan lapisan
styrocon pada balok beton komposit yang timbul akibat pergeseran
(sliding),terkelupas (bonding), kerutan (wrinkling), dan lekukan (indentation)
pada permukaan kedua lapisan tersebut.
6. Perlu dikembangkan metode perkuatan kemampuan rekatan antara kedua
lapisan beton komposit normal-styrocon tersebut untuk meningkatkan
kekuatan dan kestabilan pada balok beton berlapis tersebut.
292
DAFTAR PUSTAKA
Despandhe, V. S. and Fleck, N. A. 2001. Collapse of Truss Core Sandwich Beams
in 3-Point Bending. International of Solid and Structures, Pergamon, 38,
6275-6305.
Giri, I. B. D., Sudarsana, I. K., dan Tutarani, N. M. 2008. Kuat Tekan dan
Modulus Elastisitas Beton dengan Penambahan Styrofoam (Styrocon).
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 12, No. 1, Denpasar.
Jacobsen, S. (2006). Lecture Notes, BM3. Trondheim: NTNU.
Kabir, M. Z. 2005. Structural Performance of 3-D Sandwich Panel Under Shear
and Flexural Loading. Journal of Scientica Iranica, Vol. 12 No. 4, October
2005, 402-408.
Kocher, C., Watson, W., Gomez, M. and Birman, V. 2002. Integrity of Sandwich
Panels ands Beams with Truss-Reinforced Cores. Journal of Aerospace
Engineering, ASCE, Vol. 15, No. 3, July, 111-117.
Liu, J. S. and Lu, T. J. 2004. Multi-Objectif and Multi-Loading Optimization of
Ultraweight Truss Material. International Journal of Solids and Structures,
Elsevier, 41 (2004), 24 September 2004, 619-635.
Nawy, E. G. (1998). Reinforced Concrete A Fundamental Aproach. Third Edition,
Prentice-Hall, Inc.
Nes, L. G. and Overli, J. A. 2011. Composite and Hybrids Investigation of
Material Parameters and Structural Performance of a Concrete Sandwich
Slab Element. fib Symposium PRAQUE, Session 5-6.
Salmon, D. C. and Einea A. 1995. Partially Composites Sandwich Panel
Deflections. Journal of Structural Engineering. ASCE, Vol. 121, No. 4,
April, 778-783.
Satyarno. I. 2006. Ligthweight Styrofoam Concrete for Lighter and More Wall
Ductile. Jurnal HAKI, Yogyakarta.
Schaumann, E., Valle, T. and Keller, T. 2008. Direct Load Transmission in
Sandwich Slabs with Lightweight Concrete Core. Journal of Tailor Made
Concrete Structures-Walraven & Stoelhorst (eds), Taylor & Francis Group,
London, 849-855.
Skjølberg, O. G. and Hansson, A. 2010. Hybrid Concrete Structures :
Experimental Testing and Numerical Simulation of Structural Element.
Department of Structural Engineering, Faculty of Engineering Science and
Technology, NTNU - Norwegian University of Science and Technology.
Wight, J. K. and MacGregor, J. G. (2005). Reinforced Concrete Mechanics and
Design. Sixth Edition, Pearson.
293
APLIKASI MODEL MOCKWYN-UB UNTUK MENAKSIR INDEK
KEKERINGAN AKIBAT ADANYA PERUBAHAN IKLIM
I Wayan Sutapa
1
Kandidat Doktor pada Program Doktor Teknik Sipil Universitas Brawijaya, Malang
Dosen Teknik Sipil Universitas Tadulako, Palu
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi pengaruh perubahan iklim
terhadap indek kekeringan di Daerah Aliran Sungai Bangga. Investigasi dilakukan
dengan menganalisis perbandingan antara defisit air dengan evapotranspirasi
potensial. Defisit air dianalisis dari neraca air dengan metode MockWyn-UB
sebagai pengembangan dari program FJ. Mock. Skenario pengaruh perubahan
iklim didasarkan dari hasil deteksi dan proyeksi perubahan iklim metode
Makesens dimana selama periode pengamatan data historis terjadi penurunan
hujan tahunan sebesar 20% dan kenaikan suhu sekitar 10C. Kesimpulan dari studi
ini adalah: rerata tingkat kekeringan dengan skala kecil terjadi pada bulan
Pebruari sampai Agustus; skala sedang terjadi antara bulan September sampai
Desember dan skala besar terjadi pada bulan Desember. Setelah perubahan iklim,
terjadi peningkatan indek kekeringan antara 15% sampai 60%, dimana tingkat
kekeringan skala sedang terjadi pada bulan Pebruari sampai September dan
tingkat kekeringan skala besar terjadi pada bulan Januari, Oktober sampai
Desember.
Kata kunci: perubahan iklim, MockWyn-UB, indek kekeringan, Sungai Bangga
ABSTRACT This study aimed to investigate the effect of climate change on drought
index in Watershed Bangga. Investigations carried out by analyzing the ratio
between the water deficit of potential evapotranspiration. Water deficit was
analyzed by the method of water balance MockWyn-UB as the development of
programs FJ. Mock. Effects of climate change scenarios based on the results of
the detection and projection of climate change Makesens method whereby
historical data during the observation period the annual rainfall decreased by
20% and increase in temperature of about 10C. Conclusions of this study are: the
average level of small-scale droughts occurred in February and August; scales
occurring between the months of September to December and a large scale took
place in December. After climate change, drought index increased from 15% to
60%, where the rate of scale drought going on in February and September and
the level of large-scale droughts occurred in January, October and December.
Keywords: climate change, MockWyn-UB, drought index, River Bangga
22
294
PENDAHULUAN
Air adalah substansi yang paling melimpah di permukaan bumi, merupakan
komponen utama bagi semua makhluk hidup, dan merupakan kekuatan utama
yang secara konstan membentuk permukaan bumi. Air juga merupakan faktor
penentu dalam pengaturan iklim di permukaan bumi untuk kebutuhan hidup
manusia (Indarto, 2010). Pengaruh perubahan iklim yang ditandai dengan
terjadinya pergeseran musim yang mengakibatkan kemarau panjang sehingga
terjadi kekeringan yang berpengaruh terhadap sektor pertanian.
Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya air salah satunya
perlu dilakukan analisis neraca air (Nasution dan Djazim Syaifullah, 2005).
Secara umum neraca air menyatakan hubungan antara aliran air yang masuk
dengan aliran air yang keluar pada suatu daerah pada waktu tertentu. Neraca air
tersebut sangat diperlukan untuk mengevaluasi ketersediaan air hujan pada suatu
wilayah, khususnya untuk mengetahui kapan dan seberapa besar surplus dan
defisit air yang terjadi di wilayah yang ditinjau. Dengan hasil analisis neraca air
tersebut dapat dilakukan evaluasi secara tidak langsung terhadap komponen-
komponen neraca air yang tidak diketahui besarnya berdasarkan komponen-
komponen yang diketahui, seperti defisit atau surplus air pada bulan tertentu di
wilayah tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi pengaruh perubahan iklim
terhadap indek kekeringan (drought index) di Daerah Aliran Sungai Bangga.
Investigasi dilakukan dengan menganalisis perbandingan antara defisit air dengan
evapotranspirasi potensial. Defisit air dianalisis dari neraca air dengan metode
MockWyn-UB sebagai pengembangan dari metode FJ. Mock (Mock, F.J., 1973).
Skenario pengaruh perubahan iklim didasarkan dari hasil deteksi dan proyeksi
perubahan iklim metode Makesens, dimana selama periode pengamatan data
historis terjadi penurunan hujan tahunan sebesar 20% dan kenaikan suhu sekitar
10C (I Wayan Sutapa, dkk, 2013).
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kekurangan / defisit air
dan kelebihan/surplusnya dari nilai indek kekeringan sehingga dapat digunakan
sebagai pertimbangan dalam pengelolaan air di suatu wilayah. Indek kekeringan
dibagi dalam tiga skala yaitu skala sedikit (tidak ada) dengan batasan nilainya
295
antar 0 – 16,7 ; skala sedang nilainya antara 16,7 – 33,3dan besar dengan nilai
batas antara 33,3 – 100 (Nasution dan Djazim Syaifullah, 2005).
TINJAUAN PUSTAKA
Pemodelan Hidrologi
Model dapat didefinisikan sebagai penyederhanaan/abstraksi dari suatu
fenomena alam yang sangat komplek sebagai representasi dari realitas
sesungguhnya kedalam suatu seri persamaan matematis atau statistik. Misalnya
model fenomena hidrologi. Tujuan dari pembuatan model hidrologi adalah untuk
mempelajari siklus air yang ada di alam dan meramalkan outputnya (Indarto,
2010). Berbagai model dari yang sederhana sampai yang komplek telah
dikembangkan untuk menganalisis dan memprediksi fenomena hidrologi.
Pemilihan terhadap suatu model tergantung kepada jenis informasi apa yang
dibutuhkan dan bagaimana hasil pemodelan akan diterapkan, jumlah dan jenis
asumsi dalam model, jumlah data yang dibutuhkan dan tingkat kompleksitasnya.
Ada berbagai cara untuk mengklasifikasi model. Berdasarkan bentuknya,
ada model fisik, model analog dan model matematis (Indarto, 2010). Model fisik
merupakan reproduksi system riil tetapi dalam ukuran yang lebih kecil, biasanya
berupa prototype. Model analog, prinsipnya menggambarkan suatu system yang
akan dimodelkan dengan mengambil analogi (kemiripan) dari sistem lain.
Misalnya: model aliran air di dalam DAS seperti aliran listrik di dalam suatu
rangkaian elektronik. Model matematis, menyatakan persamaan atau suatu seri
persamaan yang menggambarkan respon dari suatu komponen atau sistem
hidrologi.
Model yang baik adalah model yang mampu menirukan perilaku DAS
sedekat mungkin. Suatu kriteria biasanya digunakan untuk menilai keandalan
suatu model dalam mereproduksi fenomena alam selama proses kalibrasi. Pada
prinsipnya, ada dua macam kriteria, yaitu secara visual (grafis) dan dengan
menggunakan seperangkat hasil analisa statistik (Indarto, 2010). Secara visual
keandalan tersebut diamati dengan melihat koherensi/kemiripan antara output
terukur dan terhitung, misalnya: hasil scatter-plot antara debit terukur & terhitung,
membuat grafik residual selisih antara debit terukur & terhitung dan perbandingan
grafik FDC (Flow duration curve) antara debit terhitung & terukur (Podger, 2004
296
dalam Indarto, 2010). Secara kuantitatif, keandalan model dalam mereproduksi
kejadian alam dinilai secara statistik dengan berbagai tolok ukur. Satu atau
beberapa fungsi obyektif biasanya digunakan untuk mengukur secara kuantitatif
tingkat kesalahan antara yang terhitung dan terukur. Model IHACRES (Croke et
al., 2004 dalam Indarto, 2010) menggunakan fungsi obyektif yang terdiri dari:
bias, relatif bias, R squared, R2 sqrt, R
2 log, R
2 inv.
Model MockWyn-UB
Model MockWyn-UB merupakan pengembangan dari model neraca air dari
FJ. Mock (I Wayan Sutapa, 2013) dengan memasukan fenomena-fenomena alam
yang terjadi saat ini sebagai hal terbarukan pada penelitian ini seperti perubahan
iklim, intersepsi tajuk, sebaran hujan berdasarkan tata guna lahan, jenis tanah dan
karakteristik tanah.
Model debit yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Hujan yang jatuh ke bumi sebagian diterima daun tumbuh-tumbuhan dan
disimpan pada daun tumbuh-tumbuhan yang disebut interception storage,
selanjutnya air hujan tersebut melalui stomata daun mengalami penguapan
sebagai transpirasi. Sedangkan air hujan yang jatuh ke permukaan sebagian
akan diuapkan kembali ke atmosfer sebagai evaporasi. Pada kondisi nyata di
lapangan sangat sulit membedakan antara evaporasi dan transpirasi jika
tanahnya tertutup oleh tumbuh-tumbuhan karena kedua proses tersebut saling
berkaitan sehingga dinamakan evapotranspirasi.
b. Air hujan yang tersimpan pada daun tumbuh-tumbuhan sebagian akan jatuh
ke permukaan tanah secara menetes (drip) dan sebagian mengalir turun ke
tanah merambat melalui batang tumbuhan (throughfall).
c. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah pada kondisi belum jenuh akan
meresap ke lapisan permukaan tanah sebagai infiltrasi. Apabila pada lapisan
permukaan tanah (root zone) terus menerus terjadi penambahan air untuk
mengisi pori-pori tanah, maka lapisan tanah akan mencapai kapasitas lapang
(field capacity). Setelah lapisan tanah permukaan mengalami kondisi jenuh
atau air berlebihan, maka air hujan lebih banyak mengalir di permukaan tanah
menjadi aliran permukaan (direct runoff).
297
d. Pada lapisan air tanah, sebagian air tanah yang disimpan menjadi simpanan
air tanah (ground water storage) akan mengalir secara kontinyu ke arah
horizontal sebagai aliran dasar (baseflow)
Tangki model MockWyn-UB sebagai pengembangan dari tangki FJ. Mock
disajikan pada gambar 1.
Gambar 1 Tangki model MockWyn-UB
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Daerah Aliran Sungai Bangga yang merupakan
anak Sungai Palu yang secara administrative terletak di Kampung Bangga,
Kecamatan Dolo Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Secara geografis
lokasi Daerah Aliran Sungai Bangga terletak antara 010 15‘07‖ LS - 01
021‘30‖ LS
dan 1190 49‘20‖ BT – 119
0 56‘05‖ BT. Luas Daerah Aliran Sungai Bangga adalah
65,90 km2 dan panjang sungai utama 15,50 km. Lokasi penelitian disajikan pada
gambar 1.
298
Gambar 2 Lokasi penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang terdiri
dari: 1) Data hujan harian dari stasiun Bangga Atas dan Bangga Bawah (1993 –
2011); 2) Data klimatologi dari stasiun Bora (1980 – 2011); 3) Peta topografi
skala 1:50.000 ; 4) Peta tata guna lahan/ landuse .
Untuk menginvestigasi pengaruh perubahan iklim terhadap indek
kekeringan diperlukan metode dan langkah-langkah berikut: 1). Deteksi
perubahan iklim; 2) Analisis data hujan; 2). Analisis evapotranspirasi potensial; 3)
Aplikasi model MockWyn-UB untuk tanpa perubahan iklim dan dengan adanya
perubahan iklim; 4) Analisis indeks kekeringan.
Metode perhitungan neraca air MockWyn-UB dilakukan dengan membuat
tabel neraca air dari parameter hidrologi dengan melakukan beberapa perhitungan
empiris. Beberapa persamaan empiris yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Curah hujan
Curah hujan diperhitungkan berdasarkan luas tata guna lahan
PHT = (LHT/LDAS) x PDAS (1)
PKC = (LKC/LDAS) x PDAS (2)
PLT = (LLT/LDAS) x PDAS (3)
2. Curah hujan netto (PNT)
Curah hujan netto didasarkan pada vegetasi tutupan lahan dan intersepsi tajuk
dengan menggunakan hasil penelitian Dunne dan Leopold (Nugroho
Hadisusanto. 2006)
- PNTHT = 0,886P + 0,088 (4)
- PNTKC = 0,925P + 0,333 (5)
Peta Sulawesi Tengah
299
- PNTLT = PLT (6)
- TPN = PNTHT + PNTKC + PNTLT (7)
3. Evapotranspirasi potensial
Evapotranspirasi potensial untuk tiap bulannya dihitung dengan persamaan
Penman Monteith (Allen G. Richard, 1998)
ETo = )34,01(
)()273(
900408,0
2
2
U
eeUT
Rn as
(8)
4. Evapotranspirasi aktual (ETa)
Evapotranspirasi aktual dibagi dua bagian yaitu:
- Jika TPN > ETo maka ETa = ETo (9)
- Jika TPN < ETo, maka ETa = TPN + ΔSM (10)
5. Selisih antara TPN dengan ETo tiap bulan, S = TPN – Eto (11)
6. Akumulasi hilangnya air potensial (Accumulated Potential Water Loss, APWL)
- Pada bulan-bulan kering atau nilai TPN < ETo, dilakukan dengan cara
menjumlahkan nilai selisih (TPN – ETo) setiap bulannya dengan nilai (TPN –
ETo) bulan sebelumnya.
- Pada bulan-bulan basah (TPN > ETo), maka nilai APWL sama dengan nol
7. Kelembaban tanah (Soil Moisture, SM)
- Pada bulan-bulan basah (TPN > ETo), nilai SM untuk tiap bulannya sama
dengan kapasitas lapang (field capacity)
- Pada bulan-bulan kering atau nilai TPN < Eto, nilai SM dihitung dengan
persamaan : SM = SMC. e-(APWL / SMC)
(12)
8. Perubahan kelembaban tanah tiap bulannya (ΔSM)
9. Water surplus (WS) atau kelebihan air
Kelebihan air terjadi pada bulan-bulan basah (TPN > ETo),diperoleh dengan
Jika SM < SMC, maka WS = 0 dan jika tidak maka WS = S
10. Water Deficit (WD) atau kekurangan air , WD = ETo – ETa (13)
11. Indeks kekeringan, Ia = WD/ETo (14)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perhitungan indek kekeringan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik
seperti berikut:
300
Tabel 1 Contoh perhitungan indek kekeringan tahun 1995
Dengan cara yang sama, maka rekapitulasi hasil perhitungan indek
kekeringan untuk periode 1995-2011 disajikan pada tabel berikut:
Tabel 2 Rekapitulasi hasil perhitungan indek kekeringan periode 1995-2011
302
Gambar 3 Korelasi antara R, ETo dengan Ia, periode 1995-2000
Gambar 4 Korelasi antara R, ETo dengan Ia, periode 2001-2006
Gambar 5 Korelasi antara R, ETo dengan Ia, periode 2007-2011
Gambar 6 Korelasi antara R, ETo dengan Ia, rerata bulanan periode 1995-2011
Dari hasil perhitungan pada tabel 2 dan disajikan dalam bentuk grafik pada
gambar 3 sampai gambar 5 dapat dijelaskan bahwa dengan nilai evapotranspirasi
potensial yang hampir sama sepanjang tahun, maka indek kekeringan (Ia) sangat
besar dipengaruhi oleh nilai hujan (R). Pada tahun 1995, 1996 dan 2007 nilai
indek kekeringan relative kecil dibandingkan dengan tahun yang lain. Hal ini
terjadi karena hujan yang terjadi relative lebih besar dari penguapannya. Nilai
indek kekeringan terbesar terjadi pada tahun 2005 (33,65) dan terkecil terjadi pada
304
tahun 1995. Hal ini mengindikasikan bahwa pada tahun 2005 terjadi kekeringan
yang cukup panjang, sedangkan tahun 1995 hampir tidak terjadi kekeringan
kecuali pada bulan Desember dengan skala kecil.
Korelasi antara hujan, evapotranspirasi dengan indek kekeringan pada
gambar 6 menggambarkan bahwa rerata tingkat kekeringan dengan skala kecil
terjadi pada bulan Pebruari sampai Agustus; skala sedang terjadi antara bulan
September sampai Desember dan skala besar terjadi pada bulan Desember. Hasil
analisis indek kekeringan sebelum perubahan iklim (Ia-1) dan setelah perubahan
iklim (Ia-2) menunjukkan bahwa setelah perubahan iklim, terjadi peningkatan
indek kekeringan antara 15% sampai 60%, dimana tingkat kekeringan sedang
terjadi pada bulan Pebruari sampai September dan tingkat kekeringan besar terjadi
pada bulan Januari, Oktober sampai Desember. Dengan adanya perubahan iklim,
maka terjadi masa kemarau/ kekeringan yang cukup lama dan tidak ada tingkat
kekeringan skala kecil.
KESIMPULAN
Berdasarkan data pengukuran hujan dan iklim (hidroklimatologi) bulanan
dalam periode 1980 sampai 2011 yang neraca airnya dianalisis dengan metode
MockWyn-UB, dapat disimpulkan bahwa rerata tingkat kekeringan dengan skala
kecil terjadi pada bulan Pebruari sampai Agustus; skala sedang terjadi antara
bulan September sampai Desember dan skala besar terjadi pada bulan Desember.
Setelah perubahan iklim, terjadi peningkatan indek kekeringan antara 15% sampai
60%, dimana tingkat kekeringan skala sedang terjadi pada bulan Pebruari sampai
September dan tingkat kekeringan skala besar terjadi pada bulan Januari, Oktober
sampai Desember. Hal ini mengindikasikan terjadi kemarau yang cukup panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Allen G. Richard. 1998. Crop Evapotranspiration-Guidelines for Computing Crop
Water Requirement-FAO Irrigation and Drainage Paper No. 56, Food
Agriculture Organization of the United Nation. Roma.
Indarto. 2010. Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi, Edisi Pertama.
Bumi Aksara. Jakarta
I Wayan Sutapa, Moh. Bisri, Rispiningtati, Lily Montarcih. 2013. Effect of
Climate Change on Water Availability of Bangga River, Central Sulawesi of
Indonesia, J.Basic Appl. Sci. Res. 3 (2):1051-1058
I Wayan Sutapa. 2013. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Pemodelan Debit,
Disertasi. Universitas Brawijaya. Malang
Mock, F.J. 1973. Water Availability Appraisal, Food Agriculture Organization of
the United Nation. Bogor.
Nasution dan Djazim Syaifullah. 2005. Analisis Spasial Indeks Kekeringan
Daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, Jurnal Air Indonesia (JAI). 1
(2): 235-243.
Nugroho Hadisusanto. 2006. Model Simulasi Hujan-AliranSungai Fungsi
Simpanan Air Tanah Daerah Aliran Sungai Kali Sayang, Disertasi.
Universitas Brawijaya. Malang.
306
PERUBAHAN PERMUKAAN AIR AKIBAT ADANYA HAMBATAN
PILAR PADA BELOKAN SALURAN
M. Galib Ishak1, M. Saleh Pallu2, M. Arsyad Thaha3 dan Rita Tahir Lopa4
1Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar
2Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar
3Associate Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin Makassar
4 Associate Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar
email: [email protected]
ABSTRAK
Membangun jembatan dengan pilar ditengah sungai yang berbelok-belok mengakibatkan
berubahnya morfologi sungai. Penelitian ini mengkaji pengaruh adanya pilar jembatan yang
berakibat berubahnya penampang melintang permukaan air, perubahan kecepatan, meningkatnya
turbelunsi air, berubahnya topograpi dasar sungai, dan kedalaman gerusan pada pilar.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan metode kualitatif dengan membuat
model saluran di laboratorium. Saluran terbuka dibuat dengan ukuran lebar 0,5 meter dan tinggi
saluran 0,5 meter yang terbuat dari fiberglass, model saluran dibagi menjadi tiga bagian dari hulu
kehilir yaitu; bagian pertama dengan saluran lurus sepanjang 3 m, bagian kedua saluran dengan
belokan 1800 dan jari-jari 0,75 meter, bagian ketiga saluran lurus panjang 2 meter, pada bagian
hilir dibuat alat ukur V-Notch dan pintu yang bisa dirubah ketinggiannya sesuai kebutuhan
penelitian, pilar yang terbuat dari kayu lebar 2 cm dan 3 cm panjang 10 cm, sedimen 2 mm.
Penelitian ini dibatasi pada aliran turbulen subkritis, penelitian dilakukan dengan
menempatkan pilar pada awal belokan, kemudian dipindah-pindahkan setiap interval 600 hingga
akhir belokan, sedang pengukuran permukaan air, distribusi kecepatan, permukaan sedimen, dan
kedalam gerusan pada setiap koordinat penempatan pilar dilaksanakan dengan interval 300 mulai
dari awal belokan hingga akhir belokan.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah; menentukan besaran koefisien
superelevasi sepanjang belokan saluran, mendapatkan perubahan distribusi kecepatan, permukaan
sedimen, dan kedalaman gerusan akibat adanya hambatan pilar, dengan gambar topografi dan
beberapa bilangan tak berdimensi yang akan dianalisis hubungan satu dengan yang lainnya.
Kata kunci: belokan, saluran, pilar, superelevasi
PENDAHULUAN
Bumi yang kita huni terdiri atas lautan dan daratan, hampir semua daratan
terdiri atas daerah aliran sungai, secara umum pengertian daerah aliran sungai
adalah daerah yang dibatasi oleh punggung bukit atau gunung yang mengalirkan
air permukaan, yang kemudian mengalirkan air sampai ke laut.
Definisi sungai secara umum adalah perpaduan antara alur sungai dan aliran
air. Sungai merupakan suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi tempat
mengalirnya air yang berasal dari hujan atau salju. Badan sungai adalah daerah
yang secara terus menerus bersentuhan oleh air, dilain pihak sungai-sungai yang
airnya tidak konstan bahkan sampai kering sungai ini biasanya disebut dengan
sungai tadah hujan.
Suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air
yang berasal dari air hujan atau bagian yang senantiasa tersentuh oleh aliran air ini
disebut alur sungai. Perpaduan antara alur sungai dan aliran air di dalamnya
disebut sungai. Sosrodarsono S, dkk, 1994 [13].
Dihulu pada umumnya sungai mengalir deras oleh karena kemiringan
medannya yang sangat terjal dan aliranya menjeram atau sangat turbulen, sedang
sungai dibagian hilir sudah memasuki dataran rendah yang kemiringan medannya
cukup landai, sehingga kecepatan air menjadi lambat dan sering terjadi
pengendapan sedimen, yang menyebabkan sungai menjadi mudah berpidah-
pindah arus dan berbelok-belok.
Karakteristik yang spesifik pada sebuah belokan sungai, yaitu aliran air di
belokan yang dapat menyebabkan gerusan pada bagian luar belokan, sedang
bagian dalam belokan dalam terjadi endapan. Sungai mempunyai banyak masalah
pada gerusan yang terjadi di bagian luar tikungan sungai, sedang bagian dalam
tikungan terjadi endapan secara terus menerus. Masjedi A., 2007 [2], Mozaffari J,
2011 [11]
Idealnya membangun jembatan pada bagian sungai yang lurus untuk
meminimalkan gerusan pada abutmen dan pilar, namun sering kali ini sulit
dilaksanakan khususnya pada daerah perkotaan, oleh karena adanya gaya
sentrifugal yang terjadi pada aliran sepanjang belokan yang berpengaruh terhadap
naiknya permukaan air pada bagian luar dan penurunan permukaan air pada
bagian dalam belokan kejadian tersebut didefinisikan sebagai superelevasi. Chow
V. T. 1989 [4], Yen C. L., 1971[14] , Duan G. D., 2004 [8], dengan adanya pilar
pada belokan saluran atau sungai akan merubah tinggi permukaan air sebelum
adanya hambatan, oleh karena itu dalam penelitian ini akan mengkaji permukaan
air sebelum dan sesudah adanya hambatan pilar pada belokan saluran.
Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi yang erat hubungannya dengan hambatan pilar
jembatan di belokan sungai, dimana dalam penelitian ini pilar ditempatkan pada
308
posisi secara berpindah-pindah mulai dari awal belokan saluran model 00, 600,
900, 1200, dan 1800, olehnya itu rumusan-rumusan masalah dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Bagaimana perubahan permukaan air sebelum dan sesudah adanya pilar pada
beberapa koordinat penempatan pilar pada belokan.
b. Bagaiman besarnya gerusan yang terjadi pada setiap koordinat penempatan
pilar pada belokan saluran model.
Tujuan Penelitian
Terkait dengan latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, maka
dalam penelitian ini perlu dilakukan suatu studi dan analisa yang bertujuan untuk :
a. Mendapatkan perubahan besaran seperelevasi permukaan air berdasarkan
koordinat pilar.
b. Menentukan besaran gerusan lokal pada setiap koordinat pilar.
Manfaat Penelitian
Seiring dengan tujuan yang ingin dicapai, maka manfaat yang diharapkan
dari penelitian ini mencakup dalam dua aspek yaitu : Aspek akademis dan aspek
praktis.
Aspek akademis, hasil penelitian yang diharapkan adalah sebagai suatu
kajian akademik yang mengacu pada standar dan kaidah ilmiah, oleh karena itu
penelitian ini akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, harapan
kedepan dapat dijadikan rujukan atau sumber refrensi sebagai suatu landasan
teoritis khususnya yang terkait dengan hambatan pilar pada belokan sungai, juga
dapat merupakan suatu model dibidang teknik sungai dalam upaya pendekatan
terhadap fenomena kejadian yang sebenarnya akibat adanya hambatan pada
belokan sungai yang menyebabkan terjadinya superelevasi, gerusan lokal, dan
perubahan topografi dasar sungai.
Aspek praktis, melalui pemodelan hambatan pada belokan sungai akan
dapat dijadikan sebagai landasan dalam membangun pilar jembatan pada belokan
sungai, dan dapat digunakan oleh para praktisi dibidang teknik sungai untuk
memprediksi besarnya superelevasi, kedalaman gerusan lokal, dan kemiringan
melintang dasar sungai akibat adanya pilar jembatan dengan menggunakan
bilangan tak berdimensi yang akan dibuat dalam bentuk grafik. Untuk disertasi ini
penulis akan membuat model fisik dengan satu belokan saluran di laboratorium
yang dimaksudkan untuk menguraikan tentang pengaruh adanya pilar jembatan
pada belokan sungai, dalam kondisi aliran subkritis turbulen.
LANDASAN TEORI
Membicarakan tentang aliran air di sungai, banyak peneliti yang telah
mengungkapkan tentang teori-teori yang terkait dengan hal tersebut; rumus
tentang tahanan aliran Philippe-Gaspard Gauckler (1826-1905) dan Robert
Manning (1816-1897). Giovanni Venturi (1746-1822) mempelajari pengaruh
perubahan penampang pipa dan saluran terhadap tekanan dan profil aliran. Osborn
Reynolds (1842-1912) mengembangkan teknik model fisik gerak sedimen dasar
dan meneliti masalah kavitasi. Selain itu dia juga mengusulkan bilangan tak
berdimensi yang dikenal dengan bilangan Reynolds, dan meneliti kondisi aliran
laminer, turbulen, dan kritis. Daryl B. Simons, 1977 [4].
Pengelompokan Aliran
Pengelompokan aliran berdasarkan gaya kekentalan (viscous forces)
dijabarkan oleh Reynolds (Re),
Re = ………………………………………………………………..……..(1)
NIlai Re untuk saluran terbuka, Re < 500 disebut aliran berlapis (laminer
flow), Re > 2000 disebut aliran bergolak (turbulent flow), 500 < Re < 2000 disebut
aliran transisi. Chow. V. T., 1989 [4]:
Pengelompokan aliran berdasarkan gaya gravitasi dijabarkan Froude (Fr)
dengan suatu bilangan tak berdimensi
………………………………………………………………..……..(2)
Dengan: U = Kecepatan rata-rata aliran, g = Gaya gravitasi, D = Kedalaman
maksimum aliran. bila Fr < 1 aliran sub kritis, bila Fr > 1 aliran super kritis, bila Fr
= 1 aliran kritis.
Gerak Mula Sedimen
310
Gerak mula partikel sedimen dan kecepatan kritis; air yang mengalir pada
permukaan sedimen menimbulkan gaya pada butiran yang cenderung
menggerakkannya, sedang besarnya gaya tahanan yang ditimbulkan oleh air
mengalir berbeda-beda tergantung dengan ukuran butiran sedimen.
Untuk menentukan gerak mula sedimen, terlebih dahulu dilakukan
pengukuran distribusi ukuran butiran, metode yang paling umum digunakan untuk
menentukan distribusi ukuran butiran secara mekanis dilakukan dengan analisis
saringan. Hasilnya disajikan sebagai berat komulatif yang lolos saringan yang
biasanya disajikan dalam grafik ukuran butiran. Persentase berat dari sedimen
yang lebih kecil atau lebih besar dari ukuran tertentu diplot kegrafik partikel,
ukuran yang biasa digunakan oleh peneliti berbeda-beda: D35, D40, D50, D90,
D85, Dg (diameter rata secara geometrik), Dm (diameter rata-rata). Darly B.
Simons,1977 [12].
Untuk sedimen kasar misalnya pasir, kerikil, gaya tahanan adalah berat
partikel sedimen. Sedimen halus yang mengandung sedikit lumpur atau tanah liat
cenderung bersifat kohesif, tahanannya berdasarkan gaya berat butir secara
individu, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sedimen dengan butiran
halus akan bergerak sebagai satu kesatuan, sedang sedimen kasar yang bersifat
non kohesip bergerak sebagai butiran yang bebas.
Bila gaya hidrodinamik bekerja pada suatu butiran dari sedimen atau agregat
dari partikel sedimen non kehesip telah mencapai suatu nilai yang bila ditambah
sedikit saja akan menyebabkan butiran bergerak, yang biasa disebut kondisi kritis,
nilai kondisi kritis tersebut mencapai suatu besaran gaya geser dasar aliran, maka
kecepatan rata-ratanya telah mencapai kritis, pada kondisi aliran seperti ini
berpotensi menggerakkan sedimen.
Beberapa peneliti yang banyak digunakan penelitiaanya dalam hal gerak
mula antara lain Shields (1936), Yalin (1972), Paintal (1971), dalam Leo C. van
Rijn. 1989 [9] bahwa dalam grafik Shields telah dibuat bilangan tak berdimensi
yaitu sumbu tegak adalah parameter gerak sedang pada sumbu horizontal adalah
parameter partikel, dengan menggunakan parameter ini, grafik Shields seperti
pada gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1. Grafik Shields
Aliran pada Belokan Saluran
Penelitian dengan menitik beratkan pada adanya arus sekunder yang
berhubungan dengan dasar saluran pada belokan sungai yang sangat berpengaruh
terhadap distribusi kecepatan dalam arah vertikal dan arah melintang, yang
menyebabkan tegangan geser dalam melintang dan memanjang pada belokan
Mozaffari J., 2011 [11].
Penelitian ini menggunakan satu set saluran buatan untuk menelusuri
distribusi kecepatan dalam arah melintang dan melintang saluran pada belokan
saluran, dan dilakukan di laboratory of hydraulics departement of EPFL
University in Switzerland, dengan menggunakan sudut belokan 1930, pengambilan
data dilakukan mulai pada Januari 2009 sampai dengan bulan September 2009,
pengukuran kecepatan dengan menggunakan alat ADVP (Acoustic Doppler
Velocimeter Profiler).
Gambar 2 Topograpi aliran untuk debit 63 lt/dt
312
Tabel 1 Besaran aliran dan dimensi saluran
Q H U u* Sf Re Fr R/B R/H B/H
Lt/dt m m/dt m/dt [-] [-] [-] [-] [-] [-]
63
89
104
0,098
0,12
0,13
0,49
0,54
0,63
0,056
0,063
0,065
0,004
0,0037
0,0043
43000
58000
73000
0,5
0,5
0,56
1,31
1,31
1,31
17
14,1
13
13
10,8
10
Pada gambar 2 menunjukkan perubahan topograpi untuk debit 63 ltr/dt
dengan gerusan maksimum pada bagian luar belokan saluran, dan pada bagian
dalam belokan saluran terjadi pendangkalan, diperlihatkan juga adanya gerusan
pada 6 titik, yang terdalam pada bagian luar belokan di sudut 700, kemiringan
dasar saluran mulai pada sudut 310, dan gerusan mulai menurun setelah sudut
belokan 900.
Dalam usaha untuk melukiskan pengaruh dan besarnya aliran spiral, pada
belokan yang berbeda-beda, dan kondisi aliran yang bermacam-macam, maka
Ahmad Shukry (1950) dalam [5] telah menggunakan istilah yang dinamakan
kekuatan aliran spiral. Kekuatan aliran spiral didefinisikan sebagai rasio
peresentase energi kinetik rata-rata gerakan lateral, terhadap energi kinetik total
aliran, pada penampang yang ditinjau.
Permukaan air pada aliran belokan saluran dirumuskan dengan persamaan
gerak aliran, dengan merumuskan persamaan matematik terhadap permukaan air
dalam arah melintang dan memanjang pada belokan saluran dengan menggunakan
koordinat selinder, secara sederhana superelevasi dinyatakan Yen C. L., 1971 [14]
……………………………………………………………..……(3)
Dengan : Sr=Kemiringan melintang saluran pada belokan, g= gaya gravitasi,
Um = Kecepatan rerata segmen saluran, r = Jari-jari belokan saluran, Cr =
Koefisien superelevasi lokal. Dengan menggunakan data dari dua model belokan
saluran yang telah dilaksanakan penelitiannya di Iowa Institute Hydraulic
Research, dan model tersebut dianggap sebagai mewakili sungai Mississippi dan
Missouri, dimana terdapat dua belokan 900, dengan dimensi hidrolis sebagai
berikut:
Tabel 2 Ukuran Model
Bentuk Penampang Rc B Re Fr Rc/B
Saluran segi empat 28 ft 14 ft 0,7 X105 s.d. 1,6 X10
5 0,3 s.d. 0,7 2
Saluran trapesium 28 ft 6 ft 2,5 X105 s.d. 5,5 X10
5 0,37 s.d. 0,82 4,67
Superlevasi pada potongan melintang saluran dengan mengintegrasikan
persamaan di atas sehingga koefisien superlevasi dapat didefinisikan
……..……………………………………..….(4)
Dengan: = = lebar permukaan air melintang, koefisien superelevasi
berdasar atas pengukuran pada model dan perhitungan dengan analisa numerik
oleh Yen C. L., 1971 [16]. dengan data mulai dari sudut belok 00 sampai dengan
Π/2, hasilnya bahwa koefisien superlevasi (Cs) pada saluran dengan dasar sedimen
lebih besar dibandingkan dengan saluran tanpa sedimen, nilai Cs terbesar pada
belokan 450 nilai Cs>4 sedang yang terkecil pada sudut 90
0 dengan nilai Cs<2
untuk dasar sedimen, sedang nilai Cs untuk dasar tanpa sedimen nilai rata-rata
kurang lebih Cs = 2, sedang Chow V. T [4] dinyatakan secara praktis bahwa
koefisien superelevasi =2,0 untuk saluran dengan dasar tetap sedang untuk
dasar bergerak = 2,2.
Penelitian dilaksanakan pada saluran alamiah di belokan sungai Baldwin
Creek dekat Lander, Wyoming, dimulai pada sungai sepanjang 100 m, kemudian
masuk kesaluran yang berbelok dengan sudut belokan sungai sebesar 1800, Jari-
jari belokan R = 10,7 m, debit 1,96 m3/dt, hasil penelitian menunjukkan bahwa
zona terdalam saluran belum tentu menghasilkan tegangan geser terbesar, karena
berdasar atas pengukuran dimana terdapat air dangkal dengan sedimen pasir
tergerus. Leopold L. B., 1982 [10].
Distribusi kecepatan pada belokan saluran oleh Mozaffari J., 2011 [11] pada
gambar 3 memperlihatkan perbandingan antara hasil perhitungan dengan rumus-
rumus oleh peneliti sebelumnya yaitu Rozovskii (1961), Kikkawa et. al (1976),
Johannesson and Parker (1989) dan Bridge (1992) dengan hasil pengukuran
dengan menggunakan alat ADVP sebagai berikut:
Gambar 3 Pengukuran profil kecepatan pada potongan melintang 180
0, dan Profil
kecepatan beberapa model penelitian untuk debit 63 lt/dt
314
Penelitian dilakukan model belokan saluran di Laboratorium Mekanika
Fluida Delft University of Technology (DUT), saluran ini sebagai model dari
sungai alamiah, tinggi air h = 0,05 m, lebar W = 0,5 m dan jari-jari R = 4,10 m,
debit 5,2 lt/dt, kecepatan aliran = 0,2 m/dt, belokan saluran 1800. Model ini
merupakan aliran yang dangkal (w/h=10) dan belokan sungai (R/h=80), kecepatan
aliran 5,21 l/dt. BOOIJ Robert. 2003 [3]
Setelah dilakukan perhitungan terhadap dimensi aliran sehingga diperoleh
hasil bahwa bilangan Reynolds sebesar Re= 10.000, dan bilangan Froude sebesar
Fr = 0,02. Penelitian ini difokuskan pada distribusi kecepatan dalam arah 3 D,
dengan menggunakan alat Laser Doppler Velocity (LDP) 3 dimensi hasilnya
menunjukkan bahwa adanya aliran sekunder arah melintang belokan saluran
sebagaimana pada gambar 4.
Gambar 4 Profil vertikal terhadap pengukuran komponen kecepatan
Penelitian yang dilakukan oleh Jennifer G. Duan, 2004 [8]. Simulasi model
terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan antara oleh dua peneliti de Vriend
(1979) dan Rozovskii (1961), membandingkan dengan hasil simulasi model
matematis dengan data pada tabel 3.
Tabel 3 Data geometrik saluran dan parameter aliran yang disimulasi
Peneliti Debit Q( Lebar B (m) Kedalaman H (m) Kecepatan (m/dt) R/B
De Vriend (1979) 0,0671 1,7 0,1953 0,202 3,5
Rozovskii (1961) 0,0123 1,7 0,0530 0,265 1,0
Gambar 5 Model Fisik Penelitian de Vriend,1979 dan Rozovskii (1961)
Hasilnya menunjukkan bahwa penurunan kecepatan pada belokan sebelah
dalam sedang pada sebelah luar belokan terjadi kenaikan kecepatan. Akselerasi
terhadap perubahan aliran pada belokan sebelah dalam disebabkan adanya
pergeseran dalam arah melintang aliran terhadap perubahan momentum aliran
sekunder, belokan aliran yang mempunyai jari-jari yang besar dibandingkan
dengan lebar aliran sangat sedikit pengaruhnya terhadap aliran sekunder dalam
arah potongan melintang saluran.
Aliran pada Belokan Saluran dengan Hambatan
Gerusan Lokal disekitar Pilar, Menurut Breusers dan Raudkivi,1991 dalam
Jaji Abdurrosyid, 2011 [7], kedalaman gerusan tergantung dari beberapa variabel,
yaitu karakterisitik fluida, material dasar, aliran dalam saluran dan bentuk pilar
atau abutmen jembatan yang dapat ditulis:
ds = f (ρ, ν, g, d, ρs, , U,) ……………………………………………….…...(5)
Sedang [1] yang mempengaruhi kedalaman gerusan (ds) pada belokan
saluran dengan hambatan pilar merupakan fungsi dari beberapa variabel antara
lain;
……………..………………………..….(6)
Dengan: = kedalaman gerusan, = kerapatan air, = viskositas
kinematik, = kedalaman aliran, = diameter butiran sedimen, = kerapatan
sedimen, = kedalaman rata-rata aliran, = kecepatan aliran, = lebar pilar
yang menghadap arah aliran, = sudut arah aliran, = jarak antara pilar.
Mempelajari kedalaman gerusan di sekitar pilar jembatan di belokan sungai
sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Alireza Masjedi, 2011 [2],
dengan membuat model flume di laboratorium dengan belokan 1800, R/B = 4,7 (R
= jari-jari beloakan, B = Lebar flume), diameter pilar 6 cm, dengan memindah-
mindahkan pilar dari posisi 00,
300, 60
0, 90
0, 120
0, 150
0, dan 180
0, kedalaman air
konstan 12 cm, pasir alam yang seragam D50 = 2 mm dengan faktor keseragaman
1,7 yang digunakan sebagai dasar saluran, debit aliran sebesar 18, 20 ltr/dt,
hasinya menunjukkan bahwa tumbukan air pada pilar yang berbentuk selinder
menimbulkan pusaran air.
316
Mencermati gambar 6 menunjukkan bahwa gerusan terdalam terjadi pada
posisi pilar 600, kedua terdalam pada posisi pilar 90
0, sedang gerusan pada pilar
yang paling dangkal di posisi pilar 300
Gambar 6 Profil gerusan pada pilar dengan debit 32 ltr/dt
Penelitian lainnya tentang aliran disekitar pilar sebagaimana yang telah
dilakukan Agung Wiyono [1], dengan membuat model fisik di alboratorium, hasil
penelitian ini dibandingkan dengan tiga formula yaitu: yaitu Laursen (1962),
Neill, dan Shen et al. (1969), Colorado State University CSU (1975),
dibandingkan dengan pengukuran dilakukan dengan tiga debit yaitu 7 liter/detik, 9
liter/detik, dan 11 liter/detik dengan hasil bahwa perhitungan dengan
menggunakan lima metode yang berbeda, akan memberikan hasil yang berbeda
antara lain ketidak tepatan metode Laursen 72%, Shen et al. 33,9%, Jain dan
Fischer 23,5%, Neill 15,2%, dan Metode Colorado State University (CSU) 14,4%.
Jadi yang paling mendekati adalah metode CSU.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Peralatan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka untuk memperoleh gambaran dan
data-data yang mendekati yang sebenarnya terjadi pada saluran alam, pemodelan
fisik yang akan dilakukan di Laboratorium Hidraulika Jurusan Tenik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Tadulako.
Saluran terbuka dibuat dengan ukuran lebar 0,5 meter dan tinggi saluran 0,5
meter yang terbuat dari fiberglass, model saluran dibagi menjadi tiga bagian
yaitu; bagian pertama saluran lurus 3 m, bagian kedua saluran belokan 1800 dan
jari-jari 0,75 meter, bagian ketiga saluran lurus 2 meter dimana pada bagian hilir
dibuat alat ukur debit V-Notch, dan pintu yang bisa dirubah ketinggiannya sesuai
kebutuhan tinggi air, pilar yang digunakan adalah dari pilar dari kayu lebar 2 cm
dan 3 cm panjang 10 cm, material dasar pasir alam maksimum 2 mm (d50), untuk
mengukur permukaan air, permukaan sedimen, kedalaman gerusan lokal dekat
pilar digunakan alat ukur point gauge, sedang untuk mengukur kecepatan air
digunakan current meter, pompa air yang digunakan kapasitas 1300 lt/menit.
Gambar 7 Ukuran model saluran dan gambar tiga dimensi model
Pengukuran debit dilakukan dengan membuat pintu ukur pada saluran
khusus, pada hilir saluran dibuat pintu ukur debit V-Notch, dengan rumus:
……..………………………………………………….(7)
Sampel Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk pengambilan data mulai dari awal belokan
hingga akhir belokan dengan interval 300 sampai dengan akhir belokan, sedang
pilar ditempatkan pada awal belokan kemudian dipindahkan setiap interval 600,
adapun ketinggian air di saluran disesuaikan dengan besarnya bilangan Froude
dan bilangan Reynolds yang diinginkan sesuai rencana penelitian, adapun
langkah-langkah kegiatan yang dilakukan sesuai bagan alir.
HASIL Pengukuran tinggi muka air, dan kecepatan dilakukan pada kondisi aliran dengan
bilangan Frouds 0,18-0,26, bilangan Reynolds 10.336-10.798 atau aliran subkritis
turnbulen, hasilnya menujukkan bahwa nilai superelevasi terbesar
318
pada kondisi tanpa pilar lebih besar dibandingkan dengan aliran dengan
hambatan pilar.
Gambar 8 Bagan Alir Penelitian
Secara umum aliran tanpa pilar nilai Cs terbesar pada belokan 1200 sedang nilai
Cs terkecil pada awal belokan atau 00, sedang aliran dengan pilar nilai Cs terbesar
pada belokan 1500. Nilai Cs tanpa pilar dibandingkan dengan nilai Cs dengan
hambatan pilar menujukkan bahwa lebih besar dibanding pengaliran dengan pilar.
Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4 dan gambar nomor 8.
Nilai terbesar Cs tanpa pilar = 3,296 pada belokan 1200, sedang nilai terbesar Cs
dengan pilar = 2,429 pada belokan 1500. Sedang terkecil untuk aliran tanpa pilar
Cs = 0,196 pada belokan 00, untuk aliran dengan pilar Cs terkecil pada belokan 0
0
sebesar = -0,375.
Nilai terbesar kedua Cs tanpa pilar = 3,296 pada belokan 1200, sedang nilai
terbesar Cs dengan pilar = 2,429 pada belokan 1500. Sedang terkecil untuk aliran
tanpa pilar Cs = 0,196 pada belokan 00, untuk aliran dengan pilar Cs terkecil pada
belokan 00 sebesar = -0,375
Tabel 4. Koefisien Superelevasi pada Belokan Tanpa Pilar dan Dengan Pilar
Dipasang pada Setiap Interval 300
Gambar 8. Grafik Koefisien Superelevasi pada Belokan Tanpa Pilar dan
Dengan Pilar Dipasang pada Setiap Interval 300
Hasil perhitungan nilai kemiringan permukaan air sesuai hasil
perhitungan yaitu untuk saluran tanpa pilar terbesar pada belokan 1200, sedang
dengan pilar terbesar pada belokan 1500, ini menunjukkan kondisi aliran dengan
pilar merubah nilai Cr, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 9.
Mencermati nilai Cr pada gambar di atas, kemiringan permukaan air dalam arah
melintang saluran untuk kondisi tanpa pilar terjadi penurunan pada sisi dalam
sebesar Cr = 4,341 sedang sisi luar terjadi kenaikan muka air sebesar Cr = 6,428
sehingga total Cr = 10,769 pada belokan 1200, sedang kondisi dengan pilar nilai
juga terjadi penurunan pada sisi dalam sebesar Cr = 6,145 sedang pada sisi luar
terjadi kenaikan nilai Cr = 4,548 sehingga total Cr = 10,693 terjadi pada belokan
1500. Dari kedua kondisi tersebut menujukkan kemiringan terbesar masih pada
kondisi aliran tanpa pilar.
320
Gambar 9. Permukaan Air Tanpa Pilar dan dengan Pilar
KESIMPULAN
Secara umum penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti
menunjukkan, semua peneliti menyatakan bahwa terjadinya peningkatan
permukaan air pada sebelah luar dan penurunan pada bagian dalam aliran.
Koefisien superlevasi menunjukkan bahwa untuk saluran dengan dasar sedimen
menunjukkan nilainya lebih besar dibandingkan dengan saluran tanpa sedimen,
yang nilainya bervariasi mulai dari 2 hingga 4 untuk dasar sedimen, sedang
distribusi kecepatan pada belokan saluran dalam arah vertikal menunjukkan
bahwa nilanya tidak mengikuti rumus logarithmic low.
Bertitik tolak dari data pada hasil dan pembahasan dapat disimpulkan
sebagai berikut: Nilai koefisien superelevasi Cs masih lebih besar pada kondisi
tanpa pilar dibandingkan dengan kondisi pilar ditempatkan pada koordinat
belokan 0, 300, 60
0, 90
0, 120
0, 150
0 dan 180
0 , sedang nilai Cs = 3,296 terbesar
tanpa pilar berada pada belokan 1200, sedang nilai Cs = 2,429 dengan pilar
terbesar pada belokan 1500. Demikian juga dengan kemiringan air menujukkan
hal yang sama. Olehnya itu penelitian yang dapat dikembangkan kedepan adalah
bagaimana perubahan besaran superelevasi pada kondisi pilar secara bergantian
ditempatkan pada titik-titik tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Agung Wiyono, Indratmo Soekarno, Andi Egon. Perbandingan Beberapa
Formula Perhitungan Gerusan di Sekitar Pilar (Kajian Laboratorium).
Jurnal Teknik Sipil ISSN 0853-2982 Vol 13 No. 1 Januari 2006.
Alireza Masjedi, Hosein kazemi, Elaheh Peymani Foroushani. 2009. Experimental
Study on the Effect of Cylindricad Bridge Pier Position on the Scoring
Depth in the Rivers Bend. 33rd IAHR Congress: Water Engineering for a
Sustainable Environment Copyright 2009 by International Association of
Hydraulic Engineering & Research (IAHR) ISBN: 978-94-90365-01-1.
BOOIJ Robert. 2003. Modeling the Flow in Curved Tidal Channels and Rivers.
International International Conference on Estuaries and Coasts. November
9-11, 2003, Hangzhou, China.
Chow. Ven The., 1989. Hidrolika Saluran Terbuka (Open Channel Hydraulics).
Penerbit Erlangga, Bandung.
Daryl B. Simons, Fuat Senturk., 1977. Sediment Transport Technology, Water
Resources Publications Fort Collins Colorado 80522, USA.
Duan J. G., 2004. Simulation of Flow and Mass Dispersion in Meandering
Channels. Journal of Hidrolic Engineering @ ASCE.
Jaji Abdurrosyid, Achmad Karim Fatchan. Januari 2007. Gerusan di Sekitar
Abutmen dan Pengendaliannya Pada Kondisi Ada Angkutan Sedimen untuk
Saluran Berbentuk Majemuk. Dinamika Teknik Sipil, Volume 7, Nomor 1:
20 – 29
Jennifer G. Duan, 2004. Simulation of Flow and Mass Dispersion in Mendering
Channels. Journal of Hydraulic Engineering © ASCE
Leo C. van Rijn. 1989. Handbook Sediment Transport by Currents and Waves.
Delft Hydraulics.
Leopold L. B. 1982. Water Surface Topography in River Channels and
Inplications for Mender Development. Gravel-bed River, Edited by R. D.
Hey, J. C. Bathurst and C. R. Thorne, John Wley & Sons Ltd.
Mozaffari J., Amiri-Tokaldany E., Blanckaert, 2011. Exprimental Investigations
to Determine the Distribution of Longitudinal Velocity in Rivers Bends.
Research Journal of Environmental Sciences 5 (6): 544. 2011 ISSN 1819-
3412 / DOI:10.3923/rjes.2011.544.556 © 2011 Academic Journals Inc.
Simons. Darly B., Sentruk Fuat. 1977. Sediment Transport Technology. Water
Resources Publications, Colorado USA.
Sosrodarsono Suyono, Tominaga Masateru. 1994. Perbaikan dan Pengaturan
Sungai, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Yen C. L., dkk, 1971. Water Surface Configuration in Channel Bends. Journal of
the Hydraulics Division. Procedings of the American Sociaty of Civil
Engineers.
322
PENGARUH PENAMBAHAN MATERIAL PERKERASAN DAUR
ULANG TERHADAP KARAKTERISTIK CAMPURAN BETON ASPAL
LAPIS AUS
Novita Pradani1, Ratnasari Ramlan
2
1 2
Jurusan Teknik Sipil Universitas Tadulako
Jalan Soekarno Hatta Km. 8 Palu 94118
Email: [email protected]
ABSTRAK
Karakteristik campuran beton aspal lapis aus merupakan nilai-nilai yang menunjukkan
kinerja campuran beton aspal. Penambahan material perkerasan daur ulang (RAP), tentunya akan
mempengaruhi kinerja campuran beton aspal lapis aus. Makin tinggi persentase kandungan RAP,
maka kinerja campuran akan semakin menurun. Disisi lain, penggunakan material daur ulang
dapat menekan penggunakan sumber daya, energi dan preservasi kondisi lingkungan. Untuk itulah
diperlukan penelitian guna menemukan komposisi yang tepat antara material daur ulang (RAP)
dan material baru. Dalam penelitian ini persentase material daur ulang (RAP) yang digunakan
adalah sebesar 20% dan 30% terhadap berat total campuran. Dalam menentukan karakteristik
campuran beton aspal lapis aus, diperoleh dari hasil pengujian Marshall. Berdasarkan hasil yang
diperoleh, stabilitas tertinggi diberikan oleh campuran dengan kandungan material daur ulang
30% yaitu rata-rata sebesar 1510,30 kg sedangkan pada campuran dengan 20% kandungan
material daur ulang, rata-rata sebesar 1323,81 kg. Sedangkan nilai Marshall Quetiont (MQ)
tertinggi diperoleh pada campuran dengan 30% material daur ulang yaitu sebesar 413,24 kg/mm.
Dari hasil analisa terlihat bahwa penambahan material daur ulang dapat meningkatkan nilai
stabilitas dan Marshall Quetiont (MQ) dari campuran beton aspal lapis aus. Kata Kunci : material daur ulang, beton aspal, stabilitas, MQ, kelelehan, kepadatan
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan kinerja pelayanan prasarana jalan diperhadapkan pada
beberapa kendala. Salah satunya adalah keterbatasan material di beberapa daerah
di Indonesia dalam hal ini material agregat maupun aspal yang berdampak pada
makin tingginya biaya pembangunan dan rehabilitasi jalan. Berbagai upaya
dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut, salah satu cara yang saat ini sedang
dikembangkan adalah pemanfaatan kembali material perkerasan jalan lama
(recycling) sebagai material perkerasan jalan baru.
Namun berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan aplikasi penuh di
lapangan, penggunaan material daur ulang seringkali menemui beberapa kendala
antara lain menurunnya sifat fisik dari material daur ulang, mengingat selama
masa layannya telah menerima beban lalu lintas yang cukup berat. Selain itu
24
material daur ulang juga memiliki tingkat variabilitas yang cukup tinggi sehingga
dapat berdampak pada perubahan gradasi dan durabilitas dari campuran.
Disamping itu, teknologi daur ulang juga memberikan beberapa manfaat antara
lain untuk mengatasi keterbatasan bahan perkerasan jalan [Sugeng, B.S., 2009]
sehingga teknologi ini bersifat efisien dan efektif serta dapat mengurangi
penggunaan agregat (45-100%) dan aspal baru (60%) sehingga nilai ekonomis
bahan kupasan meningkat, hemat energi, dan geometrik jalan dapat dipertahankan
serta melestarikan sumber daya alam.
Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik dari campuran Laston
Lapis Aus (AC-WC) menggunakan material RAP (recycling).
Campuran yang digunakan pada studi ini adalah campuran Beton Aspal
Lapis Aus (AC-WC) yang menggunakan 20% dan 30% material RAP terhadap
berat total campuran.
TINJAUAN PUSTAKA
Perkerasan Daur Ulang (Recyling)
Secara umum perkerasan daur ulang (recycling) memanfaatkan kembali
material (agregat dan aspal) perkerasan lama untuk dijadikan sebagai perkerasan
baru yang ditambahkan material baru atau dan bahan peremaja. Material yang
digunakan untuk metoda daur ulang adalah bahan kupasan aspal dan bila
diperlukan ditambahkan aspal dan agregat baru. Bahan kupasan aspal ini
mengandung aspal dan agregat lama. Untuk mencapai hasil yang memadai pada
umumnya aspal dan agregat lama perlu diperbaharui baik sifat-sifatnya maupun
gradasinya. Penurunan sifat material ini hanya diperbolehkan sampai dengan batas
tertentu, apabila terjadi penurunan yang terlalu besar dan signifikan maka material
tersebut tidak dapat digunakan kembali karena akan berpengaruh cukup besar
terhadap hasil campuran yang baru.
Beberapa sifat material RAP yang bisa digunakan sebagai batasan antara
lain agregat masih mempunyai daya tahan cukup baik untuk mempertahankan
gradasi (jumlah, ukuran, bentuk dan komposisi butiran) dan sifat rheologi aspal
(penetrasi atau viskositas) mengalami penurunan, namun hal ini dapat
dikembalikan dengan penambahan bahan peremaja (rejuvenating agent).
324
Lapis Beton Aspal Lapis Aus (AC-WC)
Lapis Beton Aspal adalah lapisan penutup konstruksi perkerasan jalan yang
mempunyai nilai struktural yang pertama kali dikembangkan di Amerika oleh The
Asphalt Institute dengan nama Asphalt Concrete (AC). Menurut Bina Marga
Dept.PU, campuran ini terdiri atas agregat bergradasi menerus dengan aspal keras,
dicampur, dihamparkan dan dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu tertentu.
Lapis aus (AC-WC) merupakan lapisan teratas yang langsung bersentuhan dengan
roda kendaraan. Kekuatan dari perkerasan beton aspal lapis aus (AC-WC)
diperoleh melalui struktur agregat yang saling mengunci (interlocking). Struktur
agregat yang saling mengunci ini menghasilkan geseran internal yang tinggi dan
saling melekat bersama oleh lapis tipis aspal perekat diantara butiran agregat.
Perkerasan beton aspal ini cukup peka terhadap variasi kadar aspal dan perubahan
gradasi agregat, hal ini disebabkan karena beton aspal memiliki sifat stabilitas
tinggi dan relatif kaku, yaitu tahan terhadap pelelehan plastis namun cukup peka
terhadap retak. Berdasarkan spesifikasi baru campuran beraspal Kementerian
Pekerjaan Umum 2010, Perkerasan Beton Aspal Lapis Aus (AC-WC) mempunyai
ukuran maksimum agregat dalam campuran adalah 19 mm.
Karakteristik Beton Aspal
Karakteristik campuran yang harus dimiliki oleh campuran Beton Aspal
(Silvia Sukirman, 2003) adalah :
a. Stabilitas
Stabilitas perkerasan jalan adalah kemampuan lapisan perkerasan menerima
beban lalu lintas tanpa terjadi perubahan bentuk tetap seperti gelombang, alur
maupun bleeding.
Kebutuhan akan stabilitas sebanding dengan volume dan beban lalu lintas
yang menggunakan lapisan perkerasan tersebut. Jadi jalan yang memiliki volume
lalu lintas yang tinggi serta dilalui oleh kendaraan berat menuntut kestabilan yang
lebih besar dibandingkan dengan jalan dengan volume lalu lintas yang rendah.
b. Durabilitas (keawetan/daya tahan)
Durabilitas atau keawetan dari suatu perkerasan lentur merupakan
kemampuan untuk menahan keausan akibat pengaruh suhu, cuaca, air ataupun
keausan akibat gesekan roda kendaraan.
c. Fleksibilitas (Kelenturan)
Fleksibilitas adalah kemampuan dari suatu perkerasan lentur untuk
mengikuti deformasi yang berulang akibat beban lalu lintas tanpa terjadi
keretakan.
d. Tahanan Geser/kekesatan (Skid Resistance)
Tahanan geser adalah kemampuan permukaan beton aspal memberikan gaya
gesek pada roda kendaraan untuk menghindari terjadinya slip atau tergelincir, baik
di waktu hujan atau basah maupun di waktu kering.
e. Ketahanan terhadap Kelelahan (fatique resistance)
Ketahanan terhadap kelelahan adalah kemampuan lapis aspal beton
menerima beban berulang tanpa terjadi kelelahan berupa retak dan alur (ruting).
f. Kedap Air (impermeabilitas)
Kedap air atau impermeabilitas adalah kemampuan beton aspal untuk tidak
dapat dimasuki air ataupun udara ke dalam lapisan beton aspal.
Air dan udara dapat mengakibatkan percepatan proses penuaan aspal dan
pengelupasan film/selimut aspal dari permukaan agregat. Jumlah pori yang tersisa
setelah beton aspal dipadatkan dapat menjadi indikator kekedapan air campuran.
Tingkat impermeabilitas beton aspal berbanding terbalik dengan tingkat
durabilitasnya.
g. Kemudahan Pelaksanaan (workability)
Kemudahan dalam pelaksanaan adalah kemampuan campuran beton aspal
untuk mudah dihamparkan dan dipadatkan sehingga diperoleh hasil yang
memenuhi kepadatan yang diharapkan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dititikberatkan pada pengujian laboratorium terhadap kinerja
kelelahan, dimana material yang digunakan dalam penelitian ini adalah material
lama (RAP) dan material baru. Dari kedua material tersebut dilakukan pengujian
mengikuti standar SNI (Standar Nasional Indonesia).
326
Dalam pengujian campuran terdapat 2 variasi kadar material RAP terhadap
berat total campuran yaitu 20% material RAP dan 30% material RAP. Pengujian
campuran ini dilakukan sesuai dengan standar pengujian campuran beraspal
panas. Untuk mendapatkan nilai Kadar Aspal Optimum (KAO) digunakan
perencanaan dengan Metoda Marshall dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak.
Kadar Aspal Optimum (KAO) diperoleh untuk keenam variasi campuran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Material
Aspal yang digunakan dalam campuran ini adalah aspal dengan penetrasi
60/70 dan aspal RAP. Penentuan kandungan aspal pada material RAP perlu
dilakukan terlebih dahulu, kemudian dilakukan pengujian yang dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 1 Kadar Aspal Hasil Ekstraksi dari Reclaimed Asphalt Pavement (RAP)
Sampel Berat (gr) Kadar Aspal (%)
Sampel Agregat Aspal
(1) (2) (3) (4) = (2)-(3) (5)=[(4)/(2)] x100
1 500 475,6 24,4 4,88
2 500 474,6 25,4 5,08
Kadar Aspal Rata-rata 4,98
Sumber : Hasil pengujian
Tabel 2 Pengujian Sifat –Sifat Aspal Hasil Ekstraksi dari RAP
No Jenis Pemeriksaan Hasil Uji Metoda Uji
1 Penetrasi,25°C,100 gr, 5 detik; 0,1 mm 21,6 SNI 06-2456-1991
2 Titik Lembek; °C 57 SNI 06-2434-1991
3 Berat Jenis 1,043 SNI 06-2441-1991
Sumber : Hasil pengujian
Gambar 1 Gradasi Rencana dan Gradasi RAP Campuran AC-WC
Untuk Pengujian selanjutnya dilakukan penambahan aspal lama kedalam
aspal baru (Pen 60/70) diuji untuk (2) dua campuran dengan perbandingan RAP
20% dan material baru 80%; RAP 30% dan material 70%. Hasil pengujian dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Pengujian Pencampuran Aspal Lama dengan Aspal Baru
No Jenis Pemeriksaan Hasil Uji Metode Pengujian
20% RAP 30% RAP
0%SBS (A1) 0%SBS (B1)
1 Penetrasi,25°C (dmm) 57,2 56,6 SNI06-2456-1991
2 Titik Lembek, °C 51 52 SNI06-2434-1991
3 Berat Jenis 1,0383 1,0396 SNI06-2441-1991
Sumber : Hasil pengujian
Agregat yang digunakan meliputi agregat baru dan agregat dari material
lama (RAP), dilakukan pengujian untuk menentukan apakah agregat tersebut
masih layak untuk digunakan dalam pengujian campuran. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa agregat RAP masih layak digunakan. Namun gradasi
material RAP tidak memenuhi spesifikasi sehingga perlu dilakukan perbaikan
gradasi dengan menambahkan agregat baru seperti pada Gambar 2.
Pengujian Kadar Aspal Optimum
Berdasarkan spesifikasi baru campuran beraspal dengan Kepadatan Mutlak,
dilakukan perencanaan sesuai dengan gradasi agregat yang dipilih, kemudian
untuk masing-masing campuran tersebut dilakukan pengujian Marshall dengan
variasi kadar aspal yang digunakan.
Hasil referensi data Marshall, selanjutnya dilakukan pengujian Kepadatan
Mutlak. Dimana penentuan Kadar Aspal Optimum dilakukan dengan metode
barchart. KAO merupakan rentang kadar aspal yang memenuhi semua syarat
kriteria campuran beraspal, yaitu: VIM Marshall, VIM Refusal, VMA, VFB, stabilitas,
kelelehan dan MQ. Nilai Kadar Aspal Optimum (KAO) yang didapatkan dari
masing-masing campuran digunakan sebagai kadar aspal dalam perencanaan
Pengujian Kelelahan.
Berdasarkan analisis Marshall dengan metode kepadatan mutlak dihasilkan
Kadar Aspal Optimum (KAO), untuk kandungan 20% RAP yaitu sebesar 5,28%,
sedangkan untuk campuran dengan kandungan 30% RAP sebesar 5,34%.
328
Pengujian Marshall
Berdasarkan hasil pengujian Marshall, diperoleh paramter-parameter
Marshall berikut:
Tabel 3 Parameter Marshall
Sifat-Sifat Campuran Campuran AC-WC
20% RAP 30% RAP Spesifikasi
KAO Refusal; % 5,28 5,34 -
Berat Isi; t/m3 2,344 2,347 -
V I M Marshall; % 4,91 4,99 -
V I M Refusal; % 2,60 2,55 >2,5 %
V M A; % 15,57 15,83 >15 %
V F A; % 69,38 68,78 >65 %
Stabilitas; Kg 1323,81 1510,30 >800 Kg
Kelelehan; mm 3,57 3,60 >3 mm
Marshall Quotient; Kg/mm 374,18 413,24 >250 Kg/mm
Karakteristik Campuran Beton Aspal Lapis Aus
1) Kepadatan (Berat Isi)
Kepadatan (density) adalah berat campuran yang diukur tiap satuan volume
(The Asphalt Institute, 1983). Kepadatan merupakan tingkat kerapatan campuran
setelah campuran dipadatkan. Kepadatan campuran beraspal meningkat seiring
dengan meningkatnya kadar aspal, hingga mencapai nilai maksimum dan setelah
itu nilainya akan turun, tetapi masing-masing jenis variasi aspal memberikan
perilaku yang berbeda.
Gambar 2 Kepadatan Campuran terhadap Presentase RAP
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa nilai kepadatan semakin besar seiring
pertambahan presentase RAP dalam campuran. Hal ini dipengaruhi oleh sifat dari
material RAP sendiri yang sebagian rongga pada agregatnya telah terisi atau
tertutup oleh aspal lama sehingga dengan makin banyaknya material RAP maka
rongga campuran yang dihasilkan juga kecil. Akibatnya setelah penambahan aspal
baru, maka rongga pada campuran dapat langsung terisi oleh aspal baru dan
kepadatan maksimum dapat tercapai lebih awal.
2) Stabilitas
Stabilitas merupakan parameter empiris untuk mengetahui kemampuan
perkerasan jalan menerima beban lalu lintas tanpa terjadi perubahan bentuk tetap
seperti gelombang, alur, dan bleeding [Silvia Sukirman, 2003]. Faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai stabilitas diantaranya adalah gradasi agregat dan kadar aspal.
Selain itu stabilitas juga dipengaruhi oleh gesekan internal partikel agregat,
interlocking, adhesi dan kohesi, dimana gesekan internal dan interlocking
dipengaruhi oleh bentuk dan tekstur permukaan agregat yang digunakan.
Sedangkan kohesi dan adhesi berkaitan dengan kemampuan daya lekat aspal.
Secara umum, partikel agregat yang lebih berbentuk angular dengan permukaan
lebih kasar akan meningkatkan stabilitas campuran. Sementara sifat kohesi akan
meningkat bila viskositas aspal lebih tinggi atau ketika temperatur campuran
menurun. Oleh karena itu nilai stabilitas menurut Spesifikasi Kementerian PU,
2010 untuk jenis campuran Laston Lapis Aus (AC-WC) dibatasi minimal 800 kg
dan minimal 1000 kg untuk Laston Modifikasi. Perbandingan nilai stabilitas setiap
campuran disajikan pada Gambar 3
Gambar 3 Stabilitas Campuran terhadap Presentase RAP
330
Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai stabilitas berbanding lurus dengan
penambahan material RAP. Kenaikan nilai stabilitas ini disebabkan karena
penambahan material RAP akan memberikan nilai penetrasi yang semakin rendah
atau lebih keras. Akibatnya campuran menjadi lebih kaku sehingga berkontribusi
terhadap kenaikan nilai stabilitas.
3) Kelelehan (Flow)
Kelelehan (Flow) merupakan parameter empiris yang menjadi indikator
terhadap kelenturan atau perubahan bentuk plastis campuran beraspal yang
diakibatkan oleh beban. Tingkat kelelehan campuran dipengaruhi oleh kadar aspal
dalam campuran, suhu, viskositas aspal dan bentuk partikel agregat. Campuran
yang mempunyai nilai kelelehan relatif rendah pada Kadar Aspal Optimum
biasanya memiliki daya tahan deformasi yang lebih baik. Namun nilai kelelehan
ini harus dibatasi agar tidak terlalu rendah, sebab kelelehan yang rendah membuat
campuran menjadi kaku dan rentan terhadap retak. Untuk itu dalam spesifikasi
Kementerian Pekerjaan Umum, 2010 disyaratkan bahwa kelelehan minimum
untuk campuran AC-WC sebesar 3 mm. Secara umum, kecenderungan nilai
kelelehan akan menurun seiring dengan penambahan prosentase kadar aspal
sampai mencapai suatu nilai minimum. Hal ini dikarenakan penambahan kadar
aspal akan menyelimuti agregat dan menciptakan kekuatan mengunci antar
agregat dan menyebabkan kelelehan menurun. Dengan menambahkan aspal, maka
jumlah aspal yang berlebih tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya yaitu
sebagai perekat dan menyelimuti agregat namun aspal disini lebih berfungsi
sebagai pelumas yang menyebabkan kondisi bleeding pada campuran. Dengan
jumlah aspal yang lebih banyak ini maka campuran menjadi lebih lunak dan
terdeformasi lebih besar.
Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa kelelehan akan cenderung meningkat
seiiring penambahan material RAP. Hal ini disebabkan karena kandungan aspal
optimum pada kandungan RAP 30% lebih tinggi dibandingkan pada campuran
dengan presentase 20% RAP.
Gambar 4 Kelelehan Campuran terhadap Presentase RAP
4) Marshall Quetiont (MQ)
Hasil Bagi Marshall atau Marshall Quotient (MQ) adalah perbandingan
antara stabilitas dan kelelehan yang juga merupakan indikator terhadap kekakuan
campuran secara empiris. Semakin tinggi nilai MQ, maka kemungkinan akan
semakin tinggi kekakuan suatu campuran dan semakin rentan campuran tersebut
terhadap keretakan. Namun nilai MQ ini juga tidak boleh terlalu rendah karena hal
tersebut akan menyebabkan campuran rentan terhadap deformasi plastis. Karena
itu maka spesifikasi membatasi nilai MQ untuk campuran AC-WC minimum 250
kg/mm dan 300 kg/mm untuk AC-WC modifikasi. Secara umum kecenderungan
dari hubungan MQ dan kadar aspal adalah bahwa MQ meningkat dengan
peningkatan kadar aspal sampai mencapai nilai MQ maksimum. Hal ini
disebabkan karena kadar aspal berfungsi menjadi perekat antar butiran agregat
yang menciptakan kekuatan dari interlocking agregat. Selanjutnya dengan
meningkatnya kadar aspal maka akan terbentuk ikatan aspal yang membuat
campuran menjadi lebih lunak. Sehingga nilai MQ akan mengalami penurunan
kembali.
Secara umum pada Gambar 5 menunjukkan bahwa dengan penambahan
RAP, maka campuran yang dihasilkan akan menunjukkan kecenderungan lebih
kaku. Hal ini menjadi mungkin bila melihat nilai stabilitas dan kepadatan
campuran yang juga semakin besar seiring dengan penambahan material RAP.
332
Gambar 5. MQ Campuran terhadap Presentase RAP
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa stabilitas
tertinggi diberikan oleh campuran dengan kandungan material daur ulang 30%
yaitu rata-rata sebesar 1510,30 kg sedangkan pada campuran dengan 20%
kandungan material daur ulang, rata-rata sebesar 1323,81 kg. Sedangkan nilai
Marshall Quetiont (MQ) tertinggi diperoleh pada campuran dengan 30% material
daur ulang yaitu sebesar 413,24 kg/mm. Dari hasil analisa terlihat bahwa
penambahan material daur ulang dapat meningkatkan nilai stabilitas dan Marshall
Quetiont (MQ) dari campuran beton aspal lapis aus.
DAFTAR PUSTAKA
AASHTO, (1998) : Standard Spesifications for Transportation Materials and
Methods of Sampling and Testing, Washington D.C.
Asphalt Institute, (1983) : Principles of Construction of Hot Mix Asphalt
Pavement, Manual Series No.22, The Asphalt Institute.
Departemen Pekerjaan Umum, (1999) : Pedoman Perencanaan Campuran
Beraspal Panas dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak,
No.025/T/BM/1999, Direktorat Jenderal Bina Marga.
Departemen Pekerjaan Umum, (2008) : Kajian dan Pengawasan Uji Coba Skala
Penuh Recyling lapisan Beraspal dengan Campuran Beraspal Panas, Pusat
Penelitian dan Pengembangan.
Kementerian Pekerjaan Umum, (2010) : Seksi 6.3 Spesifikasi Campuran Beraspal
Panas.
Shell Bitumen (2003) : The Shell Bitumen Handbook, Shell Bitumen, U.K.
Standar Nasional Indonesia, SNI (2003) : Metoda Pengujian Campuran Beraspal
Panas dengan Alat Marshall, RSNI M-01-2003, Badan Standar Nasional
Indonesia.
Sugeng, B.S. dan Rahman, H. (2010) : Kinerja Fatigue dari Campuran Lapis
Pengikat (AC-BC) yang Memakai Material Hasil Daur Ulang (Recycling)
dan Polimer Neoprene , Jurnal FSTPT, Simposium XIII Forum Studi
Transportasi antar Perguruan Tinggi, Semarang
Sukirman, S., (2003) : Beton Aspal Campuran Panas, Granit, Jakarta.
Sukirman, S., (2006) : Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur, Institut Teknologi
Nasional, Bandung
Yoder, E.J. And Witczak, M.W. (1975) : Principles of Pavement Design, Second
Edition, John Wiley & Sons, Inc, New York
334
STUDI POTENSI SUNGAI SALENA DUSUN SALENA KOTA PALU
SEBAGAI SUMBER ENERGI PLTMH
Kennedy.M1, Ridho Hantoro
2, Khairil Anwar
1, Prabowo
3
1Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu
2 Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, ITS Surabaya
3 Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS, Surabaya
ABSTRAK
Studi potensi aliran sungai ini dimaksudkan untuk mengamati dan mengukur besar energi
aliran sungai Salena yang terletak di Dusun Salena Kecamatan Palu Barat Kotamadya Palu
Propinsi Sulawesi Tengah, sebagai sumber energi pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH)
untuk dusun tersebut. Studi dilaksanakan selama 6 bulan melalui pengamatan langsung melalui
pengumpulan data primer dan sekunder. Pengukuran di lakukan pada dua posisi yang berbeda di
sepanjang aliran sungai Salena yang dimaksudkan untuk melihat perbedaan potensi di sepanjang
aliran sungai.
Hasil pengukuran menunjukkan adanya perbedaan yang cukup besar di kedua lokasi,
dimana pada lokasi pertama kecepatan aliran rata-rata sebesar 0,99 m/s, debit rata-rata 0,825 m3/s,
sedangkan pada lokasi ke dua yang terletak lebih rendah, kecepatan aliran rata-rata sebesar 0,813
m/s namun debit ukur rata-rata sebesar 0,17 m3/s, hal ini di sebabkan oleh kerusakan aliran sungai
akibat adanya penambangan galian disekitar sungai pada lokasi kedua sehingga aliran sungai
banyak merembes ke sisi sungai. Posisi sungai yang memiliki kountur dengan lereng yang cukup,
terdapat posisi perletakan turbin dengan head efektif 19 m, sehingga potensi PLTMH berkisar
antara 15 KW hingga 80 KW cukup untuk memenuhi kebutuhan daya listrik Dusun Salena sebesar
10 KW. Dalam pemanfaatannya diperlukan kebijakan dari pemerintah serta kesadaran dari
masyarakat untuk menjaga daerah tangkapan air dengan jalan melestarikan hutan disekitar aliran
sungai demi menjaga debit aliran sungai Salena.
Kata Kunci : Aliran Sungai, PLTMH, Debit, Head, Daya.
PENDAHULUAN
Daerah-daerah terpencil dan perdesaan umumnya tidak terjangkau jaringan
listrik. Dalam kondisi demikian, solusi yang memadai adalah dengan
menyediakan pembangkit listrik setempat seperti generator set (genset) yang
menggunakan bahan bakar minyak (BBM).
Kondisi geografis Kota Palu Sulawesi Tengah terletak di lembah Palu,
terdiri dari pegunungan dan teluk yang masyarakatnya tersebar hingga ke
punggung. Kota palu dengan posisi yang terletak pada posisi 0°54′S, dan
119°50′E, sesungguhnya memiliki sumber energy terbarukan yang cukup, namun
belum dimanfaatkan secara maksimal, topografi kota Palu yang di kelilingi oleh
pegunungan dan sungai memberikan sumber Tenaga Air yang cukup untuk di
manfaatkan.
Meskipun saat ini pemerintah daerah telah merencanakan pasokan energi
listrik dari PLTA Poso, namun peningkatan kebutuhan akan daya listrik tetap
meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan kota Palu, selain itu masih ada
dusun yang terletak di kaki pegunungan Kota Palu yang masih belum terjangkau
transmisi listrik dari PLN. Dengan adanya energy dari PLTMH maka diharapkan
akan dapat meningkatkan produktifitas dan pendapatan masyarakat pada daerah
yang belum terjangkau jaringan listrik PLN bagi kegiatan-kegiatan yang
mendorong ke arah hidup yang lebih baik, seperti memanfaatkan penerangan
untuk belajar serta kegiatan yang meningkatkan pendapat masyarakat untuk usaha
produktif.
Perumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan maka permasalahan
yang muncul adalah sebagai berikut :
- Belum adanya informasi/data potensi awal untuk pengembangan
penyediaan listrik dengan teknologi PLTMH.
- Belumada penelitian skema pengembangan PLTMH secara terpadu yang
berbasis komunitas di Palu Sulawesi Tengah ini dapat dijadikan sebagai
langkah awal yang penting, khususnya untuk merumuskan sistem
penyediaan jasa energi yang efektif, handal dan berkelanjutan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat serta menunjang pertumbuhan ekonomi.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang akan dicapai dengan penelitianini adalah untuk melakukan
identifikasi pontensi atas berbagai sumber energi terbarukan air(PLTMH) yang
tersedia. Hasil dari studi diharapkan akan dapat memberikan gambaran yang
obyektif dan proporsional, bagi para pengambil keputusan, mengenai:
- Mengetahui potensi awal sumberdaya energi terbarukan air (PLTMH)
- Mengetahui status teknis penerapan sistem teknologi PLTMH
- Mendapatkan analisis potensi dampak pemanfaatan PLTMH bagi perekonomian
masyarakat daerah.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
- Sebagai langkah awal penyediaan energi terbarukan
336
- Pemanfaatan potensi lokal daerah untuk penyediaan energi listrik
- Mengurangi ketergantungan pada skema pembangkit listrik yang terpusat
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO
Mikrohidro adalah istilah yang digunakan untuk instalasi pembangkit listrik
yang mengunakan energi air. Kondisi air yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber
daya (resources) penghasil listrik adalah memiliki kapasitas aliran dan ketiggian
tertentu dad instalasi. Semakin besar kapasitas aliran maupun ketinggiannya dari
istalasi maka semakin besar energi yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan
energi listrik.
Biasanya Mikrohidro dibangun berdasarkan kenyataan bahwa adanya air
yang mengalir di suatu daerah dengan kapasitas dan ketinggian yang memadai.
Istilah kapasitas mengacu kepada jumlah volume aliran air persatuan waktu (flow
capacity) sedangan beda ketingglan daerah aliran sampai ke instalasi dikenal
dengan istilah head. Mikrohidro juga dikenal sebagai white resources dengan
teluemahan bebas bisa dikatakan "energi putih". Dikatakan demikian karena
instalasi pembangkit listrik seperti ini mengunakan sumber daya yang telah
disediakan oleh alam dan ramah lingkungan. Suatu kenyataan bahwa alam
memiliki air terjun atau jenis lainnya yang menjadi tempat air mengalir. Dengan
teknologi sekarang maka energi aliran air beserta energi perbedaan ketinggiannya
dengan daerah tertentu (tempat instalasi akan dibangun) dapat diubah menjadi
energi listrik,
Mikrohidro hanyalah sebuah istilah. Mikro artinya kecil sedangkan hidro
artinya air. Dalam, prakteknya istilah ini tidak merupakan sesuatu yang baku
namun bisa dibayangkan bahwa Mikrohidro, pasti mengunakan air sebagai
sumber energinya. Yang membedakan antara istilah Mikrohidro dengan
Miniihidro adalah output daya yang dihasilkan. Mikrohidro menghasilkan daya
lebih rendah dari 5 kW hingga 100 kW, sedangkan untuk minihidro daya
keluarannya berkisar antara 100 kW hingga namun dibawah dari 1 MW. Secara
teknis, Mikrohidro memiliki tiga komponen utama yaitu air (sumber energi),
turbin dan generator. Pada prinsipnya dalam pemanfaatan energi Air adalah
mengubah energi potensial air karena posisi atau Head nya menjadi energi kinetik
dan energi mekanik oleh turbin yang pada akhirnya di konversikan menjadi energi
listrik melalui generator.
Air yang mengalir dengan kapasitas debit dan ketinggian tertentu disalurkan
melalui pipa penstok menuju rumah instalasi (rumah turbin) dan menmutar turbin,
dipastikan akan menerima energi air tersebut dan mengubahnya menjadi energi
mekanik berupa berputamya poros turbin. Poros yang berputar tersebut kemudian
ditransmisikan ke generator dengan menggunakan kopling. Dari generator akan
dihasilkan energi listrik yang akan masuk ke sistem kontrol arus listrik sebelum
dialirkan ke rumah-rumah atau keperluan lainnya (beban). Begitulah secara
ringkas proses Mikrohidro
merubah energi aliran dan ketinggian air menjadi energi listrik. Prinsip dasar :
P= ρ.g.H.η.Q................................. (1)
Dimana :
P= Daya (kW)
ρ= massa jenis air (kg/m3)
g= gravitasi (9.8 m/dt2)
H= ketinggian jatuh, head (m)
η= efisiensi turbin & generator (60%-80%)
Q= debit (m3/dt)
Variable yang paling berpengaruh adalah H dan atau Q, artinya jika salah satu
sudah memiliki potensi yang bagus, maka satu yang lainnya tidak perlu besar
(tetapi harus ada). Sedangkan variable yang lain bersifat konstanta. Efesiensi
turbin, generator dan sistim mekanikal dapat di uraikan dengan menggunakan
perhitungan potensi daya hidrolik :
Ph = Qd x Hnet x g x ηTb x ηGnr xηM......(2)
Dengan :
Ph = Potensi daya hidrolik, kW
Qd = Debit desain, (m3/dt)
Hnet = Head efektif, m
ηTb = Efisiensi turbin PAT 0,70-0,8ηGnr = Efisiensi generator 0,7-0,8
338
ηM = Efisiensi transmisi mekanik, flat belt, 0.87-0,95
g = konstanta percepatan gravitasi, (9.8 m/dt2)
Net head (Hnet) ditentukan dari pengurangan rugi-rugi gesekan dan
turbulensi dalam head tank, dan penstok (Hloss) terhadap gross head (Hg).
Estimasi efisiensi turbin, efisiensi generator dan efisiensi transmisi mekanik
masing-masing merupakan efisiensi sistem untuk turbin, generator sinkron dan
penggunaan V belt yang diperoleh berdasarkan spesifikasi manufaktur.
Gambar 1 Layout sebuah PLTMH
Pada gambar 1 memanfaatkan sebuah sungai dengan membuat saluran
pembawa ke sebuah titik yang memiliki kontur ketinggian untuk jatuhan air ke
turbin yang ada dalam rumah pembangkit. Turbin yang berputar akan dipasangkan
pada sebuah generator yang akan ikut berputar dan menghasilkan listrik.
Terdapat sebuah peningkatan kebutuhan suplai daya ke daerah-daerah
pedesaan di sejumlah negara, sebagian untuk mendukung industri-industri, dan
sebagian untuk menyediakan penerangan di malam hari. Kemampuan pemerintah
yang terhalang oleh biaya yang tinggi dari perluasan jaringan listrik, sering
membuat Mikro Hidro memberikan sebuah alternatif ekonomi ke dalam jaringan.
Ini karena Skema Mikro Hidro yang mandiri menghemat biaya dari jaringan
transmisi, dan karena skema perluasan jaringan sering memerlukan biaya
peralatan dan pegawai yang mahal. Skema Mikro Hidro dapat didisain dan
dibangun oleh pegawai lokal dan organisasi yang lebih kecil dengan mengikuti
peraturan yang lebih longgar dan menggunakan teknologi lokal seperti untuk
pekerjaan irigasi tradisional atau mesin-mesin buatan lokal. Pendekatan ini
dikenal sebagai Pendekatan Lokal. Gambar dibawah menunjukkan betapa ada
perbedaan yang berarti antara biaya pembuatan dengan listrik yang dihasilkan.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian dilakukan melalui tahapan sesuai flowchart berikut :
PHASE I
1. Survey & pengumpulan data : - Identifikasi debit potensial DAS,- Geografi, iklim- Potensi PLTMH
2. Survey data kebutuhan energi listrik masyarakat lokal
- Studi kasus sungai di dusun Salena dan Lekatu Kecamatan Palu Barat Kota Palu.
PHASE II
1. Pemetaan dan identifikasi skema
pengembangan PLTMH secara terpadu
yang berbasis komunitas
- Segmentasi masyarakat
- Identifikasi pengembangan
potensi industri kecil
Mulai
- Site survey, pengukuran debit,
kontur ketinggian
- Data sekunder Dinas PU
Pengairan/ Pengelola DAS
-Data sekunder Dinas ESDM
SKEMA MANDIRI ENERGI
- Kebutuhan energi
- Akses energi
- Kemampuan finansial
- Tingkat teknologi
- Transfer pengetahuan
ANALISA
HASIL, KESIMPULAN,
DAN REKOMENDASI
Selesai
Gambar 2 Flowchart penelitian
Phase I : Identifikasi lokasi potensial PLTMH
- Survey literature & pengumpulan data, meliputi Identifikasi debit potensial
DAS, geografi, iklim, dan potensi PLTMH
- Survey data kebutuhan energi listrik untuk masyarakat pada daerah-daerah
pemukiman di sepanjang alur sungai, di fokuskan pada wilayah daerah Kota
Palu dan Sekitarnya Studi kasus sungai di dusun Salena Kecamatan Palu
Barat Kota Palu.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan pemilihan dusun tersebut antara lain :
340
- Dusun Salena dan Lekatu terletak kurang lebih 10 Km dari pusat
pemerintahan Kota Palu yang hingga saat ini belum tersentuh jaringan listrik
PLN, di sebabkan lokasi yang terletak dipunggung pegunungan dan tingkat
per ekonomian masyarakat yang masih rendah.
- Tingkat pendidikan masyarakat saat ini sekitar 50% masih berpendidikan
sekolah dasar, sehingga membutuhkan stimulasi untuk merubah kemampuan
ekonomi masyarakatnya menjadi sejahtera.
- Dusun salena dan Lekatu memiliki potensi air sungai dengan debit aliran
yang cukup yang mengalir sepanjang tahun, sehingga memungkinkan untuk
dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), untuk
membantu masyarakat dalam hal penerangan dan memberdayakan
masyarakat dalam peningkatan pendapatannya.
- Dusun Salena dan Lekatu memiliki potensi lahan dan hasil perkebunan yang
memungkinkan untuk dikelola misalnya ketersediaan potensi talas, pisang
dan berbagai komoditi yang memungkinkan untuk dikembangkan.
- Selain hal tersebut, dusun Salena memiliki potensi alam yang memungkinkan
untuk dikembangkan menjadi objek wisata pegunungan, karena letaknya
berada pada celah bukit dan berada pada ketinggian 350m diatas permukaan
laut.
Phase II : Pemetaan dan identifikasi skema pengembangan PLTMH secara
terpadu yang berbasis komunitas
- Segmentasi masyarakat yang dapat memanfaatkan PLTMH sebagai alternatif
penyedia energi listrik.
- Identifikasi pengembangan potensi industri kecil dengan ketersediaan listrik
dari PLTMH.
Kegiatan penelitian pada artikel ini merupakan tahap mula atau pada phase I,
sementara phase II akan dilanjutkan pada kegiatan berikutnya.
GAMBARAN UMUM WILAYAH
A. Lokasi
DusunSalena yang merupakan bagian dari Kecamatan Palu Barat, Kota
Palu Propinsi Sulawesi Tengah 000
51‘24,45‖ LU dan 119047‘58,4‖ BT dengan
elevasi 320-495 meter di atas permukaan laut.
Gambar 3. Peta Adminstratif Kota Palu
Gambar 4. Lokasi Dusun Salena Dari Kota Palu
PENGUMPULAN DATA NON TEKNIS
a. Data Kependudukan dan Profil SosialEkonomi
Dusun Salena, Kecamatan Palu Barat, Kotamadya Palu, berjarak ± 10 km
dari pusat kota Palu dan dapat ditempuh dengan kendaraan baik roda dua, maupun
roda empat. Desa tersebut dihuni oleh 102 kepala keluarga yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Masyarakat pada dusun tersebut awalnya adalah
masyarakat yang tidak menetap di suatu lokasi, namun masayarakat berpindah-
342
pindah tempat di wilayah pegunungan Palu, melihat bahwa mereka melakukan
pembukaan lahan dengan jalan melakukan penebangan hutan, maka pemerintah
Kota Palu mengajak masyrakat tersebut untuk menetap di sebuah lokasi yang
kemudian disepakati terletak di Dusun Salena, oleh karena itu maka
hampirseluruhpenduduknyabekerjasebagaipetanipalawija secara tradisional
dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah.
Jumlah rumah di dusun Salena saat ini terdiri dari 89 rumah, dengan
pemukiman yang terpusat pada satu wilayah. Sarana umum yang terdapat di
dusun Salena adalah 1 buah Mesjid, 1 Buah Balai Adat, 1 Sekolah Dasar dan 1
Puskesmas Pembantu.
Tabel 1 Data informasisosialmasyarakat
Kriteria Lokasi
Jumlah KK 102 kk
Tingkat keseimbangan sosial Islam = 100%
Tingkat homogenitas situasi desa Tidak ada konflik,desa dikelola
baik
Sumberpendapatan dan profilpekerjaan Lain-lain =1,8 %
Berkebun = 98,2 %
Kesadaran dan partisipasigender Belum aktif
Kesadaranuntukberkontribusi berpotensi,
Tidak tertarik swadaya
Kesadaranuntukmembayarlistrik Berpotensi
Kebutuhanpenggunaanperalatanlistrik Penerangan, Radio, TV
Potensiusahaproduktif Ada,dalam pengolahan hasil
pertanian
Pengembangankapasitaslokal Cukup baik
Kapasitaskemampuanpengelolaan PLTMH Kurang
Kemudahanakses pasar Kurang
Gambar 5. Kondisi Pemukiman warga dusun Salena
b. Kondisi Elektrifikasi.
Suplai energy listrik dusuniniberasaldarienergi Surya yang di peroleh dari
proyek pemerintah, namun belum merata dan tidak seluruh rumah mendapatkan
panel surya. Saat ini banyak yang telah mengalami kerusakan akibat dari ketidak
pahaman masyarakat untuk merawat komponen sistem
tersebut.Jumlahpenggunaanlistriktiaprumahberkisar24- 50 watt yang
sebagianbesarlistriknyadigunakanuntukmenyalakan 3 buahlampupijar.
Sebuahtelevisi umum yang di letakkan di balai pertemuan masyarakat,
penggunaan listrik terbatas hanya pada malam hari berkisar 8 jam. Melihat hal
tersebut maka daya listrik yang tersedia belummemadai untuk digunakan bagi
upaya peningkatankesejahteraan masyarakat.
Tabel 2. Penggunaan Listrik Pedesaan
Keterangan Jumlah Daya Jumlah
Daya
Penggunaan lampu 3 titik 8 watt 24 watt
Penggunaan Televisi Berwarna 1 unit 45 watt 45 watt
Kebutuhan catu daya tiap rumah 70 watt
344
Tabel 3 Estimasi Kebutuhan Daya Listrik Dusun Salena
No. Uraian Jumlah Daya Listrik/
Unit
Jumlah Daya
listrik
1 Rumah 89 70 Watt 6,2 KWatt
2 Penerangan Fasilitas
Umum
4 70 watt 2,8 KWatt
3 Penerangan Jalan 20 50 Watt 1 KWatt
Total 10 KWatt
HASIL
a. Potensi Sumber Daya Alam Pendukung
Potensi bahan bangunan lokal di wilayah Dusun Salena, khususnya di
sekitar lokasi identifikasi rencana PLTMH cukup memadai. Bahan bangunan
seperti batu dan pasir banyak terdapat di sekitar Sungai. Kebutuhan kayu
bangunan secara selektif dapat diperoleh dari hutan disekitar wilayah dusun.
Bahan bangunan lainnya seperti semen, besi, bata dapat dibeli di Kecamatan Silae
Kota Palu.
b. Kondisi Topografi
Aliran sungai yang akan digunakan untuk rencana PLTMH berasal dari
Sungai Salena yang bersumber dari sumber mata air yang terdapat di pegunungan
Palu, yang mengalir di antara celah pegunungan dari arah Barat menuju ke arah
Timur dan bermuara di Teluk Palu. Berdasarkan pengamatan lapangan,
kemiringan tanah di sepanjang sungai Salena memiliki relatif cukup terjal
dengan kondisi dasar sungai didominasi oleh batuan keras dan berumput di
sisi sungai.
Lokasi pengamatan dilaksanakan di aliran Sungai Salena
mempertimbangkan kemiringan sungai dan Daerah Aliran Sungai. Pemilihan
lokasi potensial ini dengan mempertimbangkan profil tinggi head dan saluran air
serta debit air aliran sungai yang ada. Pengambilan data potensi daya air
dilakukan dengan menggunakan peralatan bantu :
1. Digital Current meter/ flow meter dan GPS
Alat ini digunakan untuk mengukur kecepatan aliran sungai
2. Altimeter, untuk mengetahui ketiggian posisi. Hal ini penting untung
mengetahui seberapa besar nilai head.
3. Meteran, digunakan untuk mengukur lebar atau luas basah aliran sungai
Gambar 6 Lokasi Pengamatan Aliran Sungai
c. Data Pengamatan Sungai Salena
Pengambilan data dilakukan sebanyak 5 kali pada bulan yang berbeda, guna
mengetahui kondisi aliran sungai dan diambil pada dua titik di aliran sungai untuk
melihat perbedaan debit aliran di sepanjang alur sungai dengan pertimbangan
lokasi pengalihan aliran menuju bak penampung dan turbin. Untuk mendapatkan
luas penampang aliran sungai, maka tiap lokasi lebar sungai dibagi menjadi 10
titik pengukuran kecepatan dan kedalaman air yang kemudian akan di pergunakan
dalam perhitungan debit aliran.
A. Lokasi I
NO LEBAR SUNGAI (m) Kedalaman sungai (m) Kecepatan (m/s)
1
3
0,25 0,98
2 0,3 0,96
3 0,345 0,99
4 0,42 1
5 0,4 1
6 0,38 0,99
7 0,43 1
8 0,4 1
9 0,37 1
10 0,3 0,98
Rata-rata 0,99
Denganbantuansoftware Autocad, maka di peroleh luas penampang basah (A)
aliran sungai pada lokasi I : 0,98 m2. Berdasarkan kondisi aliran sungai Salena
yang berbatu dan berumput, maka faktor koreksi (Cs) yang dipilih sebesar 0,85
(range 0,6-0,9) maka debit aliran pada lokasi I adalah :
346
Q = A .Cs. v
= 0,98 m2 x 0,85 x0.99 m/det
= 0,825 m3/det
Gambar7.Luasan basah areasungai Lokasi I
Gambar 8. Foto Lokasi I
B. Lokasi II
Lokasi II berjarak sekitar 600 meter dari lokasi I dan lebih dekat dari
permukiman, data pengamatan rata-rata kecepatan dapat dilihat pada tabel
berikut:
NO Lebar Sungai (m) Kedalaman sungai (m) Kecepatan sungai (m/s)
1
18
0,08 0,66
2 0,095 0,79
3 0,2 0,8
4 0,205 0,85
5 0,21 0,76
6 0,225 0,94
7 0,17 0,89
8 0,16 0,68
9 0,15 0,89
10 0,07 0,76
Rata-rata 0,802
Dengan menggunakan software Autocad di dapatkan luas penampang basah
sungai pada lokasi sungai (A) = 0,254 m2
Gambar9.LuasPenampang Basahsungai Lokasi II
Sehingga debit aliran pada lokasi II:
Q = A .Cs. v
= 0,254 m2x 0,85 x0.802 m/det
= 0,17 m3/det
Gambar 10. Foto Lokasi II
TINGGI JATUH (HEAD)
Kondisi daerah dusun Salena yang terletak di punggung pegunungan Palu
memiliki kontur yang cukup terjal, aliran Sungai Salena yang mengalir di celah
pegunungan memiliki potensi yang cukup baik untuk mendapatkan tinggi jatuh
air yang memadai dalam pemanfaatannya pada PLTMH.
Pemilihan lokasi penempatan bak penenang dan penempatan turbin air,
dengan pertimbangan tinggi jatuh air (head) yang cukup dan tidak jauh dari
pemukiman penduduk Dari pengamatan di lokasi di dapatkan lokasi dengan tinggi
jatuh air 20 meter. Head tersebut merupakan beda ketinggian antara rencana
elevasi muka air di Head bak penenang dengan sumbu turbin yang terletak di
dalam rumah pembangkit. Estimasi tinggi jatuh efektif (Net Head) dengan
mempertimbangkan rugi-rugi aliran pada saluran pembawa dan pipa penstock
direncanakan tinggi jatuh efektif sebesar19 m. Jenis pembangkit yang sesuai dengan
kondisi topografi PLTMH Salena merupakan pembangkit ―Run off River‖ .
Perhitungan daya hidrolik (daya rencana) menggunakan persamaan :
348
Ph = Q x Hnet x g x ηT x ηG xηtr
Dimana :
Ph : Daya Hidraulik (daya bangkitan) (KW)
Q : Debit (m3/s)
Hnet : Tinggi jatuh netto (m)
g : Gaya graftasi (9,81 m/s2)
ηT : Efesiensi Turbin ( di pilih 70%)
ηG : Efesiensi Generator (di pilih 80%)
ηTr : Efesiensi Transmisi (dipilih 95%)
Tinggi jatuh efektih (Hnet) ditentukan dari pengurangan rugi-rugi gesekan
dan turbulensi dalam head tank, dan penstok (Hloss) terhadap tinggi jatuh air
(Hg). Headloss yang direncanakan berkisar 5%. Estimasi efisiensi turbin,
efisiensi generator dan efisiensi transmisi mekanik masing-masing merupakan
efisiensi sistem untuk turbin, generator sinkron dan penggunaan V belt yang
diperoleh berdasarkan spesifikasi manufaktur. Sehingga estimasi daya yang ada dari
pengukuran untuk kedua lokasi adalah :
Tabel 6. Data perhitungan Daya Hidrolik S. Salena
No. Uraian Simbol satuan Lokasi I Lokasi II
1. Debit Q m3/s 0,825 0,17
2 Tinggi Jatuh H m 20 20
3. Head Efektif He m 19 19
4. Efesiensi Turbin T - 0,7 0,7
5. Efesiensi Generator G - 0,8 0,8
6. Efesiensi Transmisi Tr - 0,95 0,95
Estimasi Daya Bangkitan P KW 81,7232 16,8399
Dari tabel 6, hasil perhitungan daya hidrolik sungai Salena, terlihat
perbedaan yang cukup besar antara lokasi I dan Lokasi II, hal ini di akibatkan oleh
adanya aktifitas galian C, berupa penambangan batu pecah (batu kerikil) di
punggung pegunungan, tidak jauh dari alur sungai pada lokasi II, mengakibatkan
terganggunya alur sungai dan menurunkan kapasitas aliran. Selain hal itu, aktifitas
penebangan hutan menyebabkan kerusakan daerah tangkapan air hujan
(catchment area) yang berdampak pada debit aliran sungai.
Pengamatan alur sungai Salena, pernah dilaksanakan pada tahun 2007,
dimanajika dibandingkan dengan kondisi sungai pada pengambilan data pada
bulan Agustus-September 2013, perubahan alur sungai Salena terjadi cukup
siginifikan seperti yang di tunjukkan pada gambar berikut ini.
Merujuk dari tingkat kebutuhan daya listrik dusun Salena sebesar 10 KW,
maka potensi Sungai Salena yang tersedia cukup memadai digunakan bagi
PLTMH untuk dusun Salena.
d. MenentukanJenisTurbin
Berdasarkan hasil pengamatan untuk kedua lokasi berkisar 0,17 m3/s hingga
0,85 m3/s dan tinggi jatuh air efektif 19 m, maka menentukanjenisturbin yang
akandigunakandenganmelihatgrafik Turbine Application chart. Pada gambar
11.Maka, jenisturbin yang akandigunakanyaituturbinjenisTurbin aliran silang
(Crossflow) atau dapat juga menngunakan jenis Propeller. Posisi penempatan
pembangkit berjarak 200 m dari pemukiman, sehingga memberikan beberapa
keuntungan antara lain :
Instalasi energy listrik akan relatif lebih pendek.
Perawatan instalasi pembangkit lebih mudah, karena posisi
pembangkit lebih mudah dijangkau.
Mobilitas bahan pembangunan lebih mudah dan efisien, dibandingkan
jika pembangkit di letakkan jauh ke sumber aliran sungai
Gambar 11. Turbine Application Chart
350
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Sungai Salena layak untuk dimanfaatkan bagi Pembangkit listrik Tenaga
Mikro Hidro (PLTMH) dengan menggunakan jenis pembangkit Diversion
atau run of rifer.
2. Potensi daya hidrolis sunga Salena berkisar antara 15 KW hingga 80 KW.
3. Di butuhkan sosialisasi yang intensif kepada masayarakat guna meningkatkan
kesadaran dalam menjaga dan memelihara kondisi alam sekitar dusun Salena,
khususnya aliran Sungai Salena.
4. Dalam pembangunan PLTMH, harus melibatkan masyarakat sekitar untuk
menumbuhkan kesadaran dan rasa memiliki tinggi, sehingga manfaat
5. PLTMH dapat dirasakan dalam waktu yang lama dan berkelanjutan.
6. Di butuhkan pelatihan baik dari sisi Teknis maupun ekonomis dalam
pengoperasian PLTMH, serta metoda pemanfaatan energi secara efisien untuk
usaha produktif masyarakat Salena.
7. Diperlukan pembinaan dari budaya dan kultur agar dapat mencegah
timbulnya pergesaran nilai akibat dari cepatnya arus informasi.
DAFTAR PUSTAKA
IMIDAP (Integrated Microhydro Development and Application Program),
―BUKU UTAMA PEDOMAN STUDI KELAYAKAN PLTMH‖, Direktorat
Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral, 2008.
BENT SORENSN, ― Renewable Energy Its Physics, Engineering, Use,
Environmental Impacts, Economy and Planning aspects‖, 3rd
ed. , Elsevier
Science , 2004.
Abdul Kadir, ENERGI Sumber Daya,Inovasi, Tenaga Listrik Dan Potensi
Ekonomi, Edisi Ke-2, UI-Press. Jakarta. 1995
FRITZ DIETZEL dan DAKSO SRIYONO, ―Turbin Pompa dan Kompresor‖
Erlangga, Jakarta, 1990.
C.C. WARNICK, HOWARD A. MAYO, JAMES L. CARSON DAN LEE H.
SHELDON, ―Hydropower Engineering‖, Prentice-Hall,Inc, Englewood Cliffs,
New Jersey, 1984.
ARISMUNANDAR, ―Penggerak Mula Turbin‖, Universitas ITB, Bandung, 1977.
ARISMUNANDAR dan SUSUMUMU KUWAHARA, ―Pembangkitan Dengan
Tenaga Air‖, Buku Pegangan Teknik Tenaga Listrik, Jilid I, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1974.
352
PERAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TADULAKO DALAM
PENINGKATAN SDM TRANSPORTASI
Jurair Patunrangi
Fakultas Teknik, Jurusan Sipil Universitas Tadulako
Email: [email protected]
ABSTRAK
Negara yang maju adalah negara yang memiliki sistim transportasi yang baik,
hal itu dapat dilihat dari sistim pelayanan transportasinya, pelayanan yang baik dapat
diukur dari tersedianya sarana dan prasarana yang memadai sehingga arus pergerakan
barang, orang dan kendaraan (BOK) dapat berjalan aman, lancar, tertib, ekonomis
dan sesuai lingkungan. Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan terhadap sistim
pelayanan transportasi (BOK), terlihat bahwa permasalahan transportasi di Provinsi
Sulawesi Tengah belum begitu akut, namun gejala ke arah sistem pelayanan
transportasi yang buruk sudah mulai terlihat. Untuk mengantisipasi permasalahan
tersebut, dibutuhkan berbagai kajian mendalam untuk mengatasi permasalahan di
masa datang. Peran perguruan tinggi diharapkan dapat memberikan kontribusi positif
dalam menjawab tantangan permasalahan transportasi di Sulawesi Tengah, melalui
tridarma perguruan tinggi dengan senantiasa mempersiapkan dan meningkatkan
sumberdaya manusianya.
Kata Kunci: Peran Fakultas Teknik, Sumberdaya Manusia, dan Transportasi.
Latar Belakang
Transportasi adalah pergerakan orang dan barang dari satu tempat ke tempat
lain dengan berbagai tujuan perjalanan dan menggunakan berbagai moda/alat
angkut yang memungkinkan. Perjalanan dilakukan dengan maksud tertentu, dan
sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan perjalanan sehingga
mendatangkan manfaat. Diharapkan manfaat tersebut lebih besar dari sumber
daya (terutama biaya) yang dikeluarkan untuk melakukan perjalanan.
Transportasi merupakan salah satu komponen yang mutlak penting bagi
pencapaian tujuan pembangunan masa kini dan masa mendatang. Berbagai studi
telah menunjukkan bahwa negara-negara yang berhasil dalam pencapaian tujuan
pembangunan adalah negara-negara yang memiliki sistem transportasi yang
memadai dalam memenuhi kebutuhan dinamis penduduknya. Namun demikian,
agar pembangunan transportasi nasional lebih efisien, efektif dan memberikan
nilai tambah bagi sektor lain serta tidak menimbulkan berbagai dampak negatif
bagi masyarakat dan lingkungan, maka perlu disusun dan dirumuskan rencana
pembangunannya. Salah satu bentuk rencana yang penting untuk disusun dan
dirumuskan yakni rencana dalam penelitian dan pengembangan teknologi dan
manajemen transportasi.
Pengembangan teknologi dan manajemen transportasi merupakan salah satu
tugas penting yang harus dilakukan pemerintah dalam mencapai tujuan
pembangunan nasional. Hal ini karena dengan adanya pengembangan teknologi
dan manajemen transportasi, maka perpindahan dan pergerakan barang, orang dan
kendaraan (BOK) dari satu tempat ke tempat lain dapat berjalan lebih cepat,
efisien, efektif, murah dan sesuai lingkungannya.
Walaupun kemajuan transportasi memiliki korelasi erat dengan
pembangunan peradaban, namun keberhasilannya sangat berkaitan erat dengan
berbagai kompleksitas dari faktor-faktor lainnya, seperti kualitas, biaya dan
tingkat pelayanan sistem transportasi itu sendiri. Tanpa perhatian terhadap faktor-
faktor ini, maka hampir dipastikan kemajuan di bidang transportasi dapat
menimbulkan berbagai biaya sosial (social costs) baik berupa kecelakaan,
kemacetan, kebisingan, dan polusi.
Penelitian dan pengembangan teknologi/ manajemen transportasi tentu
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mencapai tujuan
pembangunan. Melalui penelitian, maka tidak saja dapat diidentifikasi dan
dianalisis faktor-faktor atau komponen (input factors) yang ada dalam
pembangunan sistem transportasi, melainkan juga dapat diungkapkan masalah dan
isu-isu yang terjadi di sektor transportasi.
Hasil identifikasi dan analisis itu selanjutnya berguna untuk merumuskan
kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan teknologi yang diperlukan dan
langkah-langkah yang harus diambil dalam menjawab dinamika kebutuhan
masyarakat di bidang transportasi.
Besarnya tantangan di bidang transportasi tersebut sehingga peran
perguruan tinggi tidak terkecuali Universitas Tadulako (Fakultas Teknik Jurusan
Sipil), dituntut untuk lebih mengembangkan perannya terutama dalam
mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam rangka menjawab
tantangan pembangunan dimasa datang.
354
Konsep Perencanaan Transportasi Perkotaan
Perencanaan transportasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perencanaan kota. Rencana kota tanpa mempertimbangkan pola transportasi yang
terjadi akan banyak menimbulkan permasalahan lalu lintas di masa mendatang.
Keterkaitan perencanaan transportasi dan perencanaan kota, maka penetapan suatu
bagian kota menjadi tempat kegiatan tertentu, misalnya kawasan perbelanjaan,
bukanlah sekedar memilih lokasi. Pemilihan lokasi strategis merupakan hal
penting, namun kesesuaian dengan rencana tata guna lahan harus menjadi
landasan pengembangan kawasan selain perkiraan bangkitan/tarikan perjalanan
yang ditimbulkan.
Perencanaan transportasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang
tujuannya mengembangkan sistem angkutan yang memungkinkan manusia dan
barang bergerak atau berpindah tempat dengan cepat, aman, nyaman, dan murah.
Perencanaan transportasi merupakan suatu proses yang dinamis dan tanggap
terhadap perubahan tata guna lahan, kondisi ekonomi, dan pola perjalanan. Modal
yang dikeluarkan untuk menerapkan sistem transportasi sangat besar sehingga
perencanaan sistem transportasi yang tidak komprehensif mencakup aspek-aspek
yang akan terlibat di dalamnya seperti: pola tata guna lahan, pola jaringan jalan,
pola penyebaran penduduk, dan pola kebutuhan pergerakan penduduk, akan
menimbulkan permasalahan yang serius terhadap pengembangan kota. Salah satu
cara untuk mencapai sasaran umum dalam perencanaan transportasi adalah
membuat kebijakan atas: (lihat Gambar 1)
1. Sistem Kegiatan; perencanaan tata guna lahan yang baik dapat mengurangi
keperluan perjalanan yang panjang sehingga membuat interaksi semakin
mudah.
2 Sistem Jaringan; dapat dilakukan dengan meningkatkan kapasitas pelayanan
prasarana yang ada seperti pelebaran jalan dan memperluas jaringan jalan
termasuk pembangunan jalan baru.
3. Sistem Pergerakan; dapat dilakukan melalui teknik dan manajemen lalu
lintas serta fasilitas angkutan umum yang baik.
Gambar 1. Sistim Transportasi Makro (Sumber: Ofyar Z Tamin)
Urutan pertama konsep yang dapat menyatukan hubungan dasar antara
ketiga sistem tersebut di atas adalah aksesibilitas atau daya hubung. Aksesibilitas
merupakan suatu ukuran potensial atau kemudahan orang untuk mencapai tujuan
dalam suatu perjalanan. Karekteristik sistem transportasi ditentukan oleh
aksesibilitas. Aksesibilitas memberikan pengaruh pada beberapa lokasi kegiatan
atau tata guna lahan. Lokasi kegiatan juga memberikan pengaruh pada pola
perjalanan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Pola perjalanan ini kemudian
mempengaruhi jaringan transportasi yang pada akhirnya akan memberikan
pengaruh pada sistem transportasi secara keseluruhan.
Gambar 2 berikut ini akan memberikan ilustrasi dari hubungan tersebut.
Pada dasarnya tata guna lahan dan sistem transportasi merupakan dua sistem yang
saling mempengaruhi. Pola tata guna lahan harus dibedakan dengan pertumbuhan.
Dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi sering kali terjadi perubahan tata
guna lahan, namun hal ini perlu diimbangi dengan peningkatan transportasi.
356
Gambar 2. Keterkaitan Antara Faktor-Faktor yang Terkait Dengan
Transportasi Menyebabkan Tingginya Kompleksitas
Permasalahan Perencanaan yang Dihadapi.
(Sumber:Wright, Paul H, 1989)
Sistem transportasi merupakan elemen dasar infrastruktur yang berpengaruh
tehadap pola pengembangan perkotaan. Pengembangan transportasi dan tata guna
lahan dapat memainkan peranan yang penting dalam kebijakan dan program
pemerintah. Pengembangan infrastruktur dalam sektor transportasi akan
menimbulkan biaya tinggi apabila tidak diatur pengelolaannya dengan baik. Namun
dengan manajemen yang baik pun, perbaikan tingkat pelayanan (level of service)
dari arteri yang ada hanya terjadi sementara. Peningkatan pelayanan akan
berkolerasi dengan peningkatan aktivitas, yang akan pula membangkitkan lalu
lintas lebih banyak. Dan akhirnya akan menurunkan kinerja pelayanan lalu lintas.
Gambar 3 mengilustrasikan permintaan terhadap peningkatan jalan baru dan
dampak yang timbul dalam satu lingkaran yang berkelanjutan.
Rencana tindakan yang perlu dilakukan sebagai solusi permasalahan yang
ditimbulkan akibat pengembangan tata guna lahan dan sistem transportasi di atas,
adalah:
1. Kebijakan pemerintah dengan pengembangan wilayah mikro maupun
makro.
2. Pengembangan sistem transportasi dan penyediaan tingkat pelayanan yang
baik.
3. Peningkatan investasi infrastruktur dalam sektor transportasi dan
peningkatan pendapatan penduduk.
Pola Kegiatan Aksesibilitas
Transportasi
Penataan Lahan
Gambar 3. Lingkaran Setan Problema Transportasi (Stover V.G, 1988).
Proses perencanaan transportasi dikembangkan dari evaluasi terhadap
alternatif rencana tata guna lahan. Proses ini akan memberikan informasi terhadap
kesesuaian tata guna lahan di masa mendatang dan asumsi sistem transportasi
yang akan dikembangkan. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kinerja
aksesibilitas sistem transportasi dan pola tata guna lahan. Syarat aksesibilitas yang
baik adalah kemudahan melakukan perjalanan yang aman, nyaman, cepat dan
tidak mengalami hambatan. Persoalannya aksesibilitas yang baik sering
merugikan aspek lingkungan, bahkan setelah lingkungan dikorbankan pun,
persoalan aksesibilitas tetap ada. Sementara lingkungan yang baik adalah
lingkungan yang tidak banyak terganggu oleh lalu lintas.
Masalah Transportasi di Sulawesi Tengah
Permasalahan sistem transportasi nasional merupakan suatu permasalahan
yang sangat kompleks dan dapat ditinjau dari berbagai perspektif. Dari perspektif
pengembangan teknologi dan manajemen transportasi, permasalahan yang
dihadapi adalah: (1) regulasi, (2) pemanfaatan dan pengembangan teknologi, serta
(3) manajemen transportasi, untuk memenuhi kebutuhan transportasi nasional
yang aman, nyaman, terjangkau dan ramah lingkungan. Ketiga permasalahan
Peningkatan Jalan
Peningkatan
Aksesibilitas
Peningkatan Lahan Meningkatkan Konflik
Lalu Lintas
Perubahan Tata Guna
Lahan
Meningkatkan
Pembangkit Lalulintas
Tingkat Pelayanan
Buruk
358
tersebut saling terkait dan dirasakan oleh pelaku transportasi baik pada
transportasi jalan, sungai, danau dan penyeberangan (SDP), laut, dan udara, meski
dalam tingkat yang berbeda.
Masalah transportasi di Sulawesi Tengah serupa dengan kota-kota lainnya
yang sudah lebih maju, meskipun belum akut. Permasalahan itu antara lain;
a. Rute angkutan kota yang telah ditetapkan belum berjalan sesuai harapan,
sehingga evaluasi terhadap jaringan rute angkutan umum tidak dapat
dilakukan seperti; (load factor, waktu tunggu, lama perjalanan, dll),
b. Belum tersedianya rute angkutan barang, sehingga kendaraan dengan
muatan yang melebihi kapasitas daya dukung jalan dapat bergerak secara
bebas di dalam kota yang pada akhirnya akan merusak konstruksi jalan,
c. Penutupan jalan pada saat acara suka maupun duka dengan seenaknya dapat
dilakukan masyarakat tanpa memperdulikan kepentingan pengguna jalan,
hal ini dapat merugikan pengguna jalan seperti: waktu tempuh bertambah
karena harus berputar mencari jalan alternatif, terjadi pemborosan bahan
bakar, tundaan dll,
d. Perlu penetapan fungsi hirarki jalan dalam kota/ibukota kabupaten agar pola
pergerakan dapat berjalan sesuai fungsinya (arteri, kolektor dan lokal),
e. Pembangunan fasilitas penarik pergerakan yang tidak dilengkapi dengan
fasilitas parkir, menyebabkan kendaraan menggunakan sebahagian badan
jalan, hal ini dapat mengurangi kapasitas jalan dan menurunkan kecepatan
pengguna jalan,
f. Sistim perparkiran belum tertata baik, sehingga potensi pendapatan dari
sektor perparkiran belum optimal sebagai sektor pendapatan yang cukup
menjanjikan,
g. Perlu penertiban angkutan feeder (ojek, dokar dan becak), sehingga fungsi
angkutan pra dan pasca perjalanan tidak mengambil alih peran angkutan
umum.
Peran Fakultas Teknik Universitas Tadulako dalam Peningkatan
Kompetensi Sumberdaya Manusia Transportasi
Perguruan tinggi merupakan lembaga yang sangat strategis dalam
mendorong percepatan pembangunan di daerah Sulawesi Tengah, dimana
perguruan tinggi memiliki keunggulan seperti sumber daya manusia yang
melimpah, kemampuan membuat riset dan kajian, sehingga keberadaan perguruan
tinggi seyogyanya berperan sebagai agen pembangunan (agent of development).
Universitas Tadulako diharapkan dapat mengambil peran tersebut mengingat
Jurusan Sipil memiliki sumber daya manusia yang memadai.
Dengan potensi sumber daya manusia tersebut, sudah sewajarnya bila
Universitas Tadulako mampu mengambil peran dalam pembangunan bukan hanya
dalam skala regional melainkan juga dalam skala nasional. Dalam konteks
pembangunan transportasi di Sulawesi Tengah, beberapa hal yang dapat
diperankan oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil, melalui tridharma perguruan
tinggi antara lain:
1. Pendidikan dan Pengajaran; Membangun sumber daya manusia yang
berkualitas dengan senantiasa meningkatkan peran sebagai lembaga
pendidikan tinggi. Hal ini bermakna sangat strategis karena pembangunan
dewasa ini membutuhkan sumber daya manusia sebagai salah satu variabel
utama yang menentukan keberhasilannya.
2. Penelitian; Membantu mahasiswa dalam melakukan penelitian dalam
rangka mengevaluasi sistim transportasi yang sedang berjalan baik di kota
Palu maupun kabupaten-kabupaten yang ada di Sulawesi Tengah; Dapat
membantu pemerintah melakukan studi tentang kebijakan transportasi untuk
memudahkan penentuan skala prioritas pembangunan sarana dan prasarana
transportasi berdasarkan kebutuhan daerah; melakukan studi evaluatif untuk
peningkatan efisiensi dan efektivitas.
3. Pengabdian Pada Masyarakat; Membangun kerjasama dengan pemerintah
daerah melalui Kuliah Kerja Profesi dalam mempersiapkan database sarana
dan prasarana transportasi; Dapat membantu pemerintah dalam melakukan
sosialisasi dan pelatihan tentang pentingnya peranan sistim transportasi
yang berjalan dengan baik kepada para pelaku transportasi (pengguna,
operator dan petugas lapangan); Dapat berpartisipasi dalam
mengembangkan pemikiran kepada kelompok swadaya, organisasi dan
lembaga yang peduli terhadap persoalan transportasi.
360
Penutup
Demikianlah beberapa buah pemikiran yang dapat saya kemukakan, sebagai
insan akademisi saya menaruh harapan besar kepada Universitas Tadulako
(Fakultas Teknik Jurusan Sipil, KDK Transportasi) untuk senantiasa berada di
depan dalam memberikan kontribusi pemikiran dan ikut berperan lebih besar
dalam pembangunan daerah di Sulawesi Tengah khusunya dan skala nasional
pada umumnya. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, Universitas Tadulako
dituntut untuk melahirkan sumber daya manusia yang bermutu dan tenaga-tenaga
pembangunan yang trampil dan profesional.
Hanya dengan menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu dan tenaga-
tenaga profesional yang berkualitas kita akan mampu menghadapi tantangan masa
depan yang lebih berat, dengan tingkat kompleksitas masalah yang lebih rumit.
Tidak terlalu berlebihan bila tumpuan harapan itu dibebankan masyarakat
Sulawesi Tengah kepada Universitas Tadulako yang sekarang sedang tumbuh
menjadi salah satu universitas terbaik di Sulawesi.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, I., Yani, A., dan Sutiono, E., 1995, Menuju Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang Tertib, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Jakarta.
Bambang dkk, 2004, Referensi Ringkas Bagi Proses Advokasi Pembangunan
Transportasi, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Jakarta
Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum RI, 1999,
Pedoman Perencanaan Fasilitas Jalur Pejalan Kaki pada Jalan Utama,
PT. Media Saptakarya, Jakarta.
Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas Angkutan Kota, Dirjen Perhubungan Darat,
Departemen Perhubungan RI, 1998, Pedoman Perencanaan dan
Pengoperasian Fasilitas Parkir, Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum RI, 1997, Manual
Kapasitas Jalan Indonesia, Jakarta.
Patunrangi, J., (2000), Pengaruh Perubahan Sistem Zona Terhadap Tingkat
Akurasi Matriks Asal-Tujuan (MAT) Berdasarkan Informasi Arus Lalu
lintas Jurnal Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB).
Patunrangi, J., (2001), Pengaruh Rute Bebas Angkutan Kota Terhadap
Kehilangan Waktu Perjalanan (Studi Kasus Trayek Terminal Masomba –
Manonda, Jurnal MEKTEK Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu.
Patunrangi, J., (2002) Studi Model Bangkitan Pergerakan Dengan Metode Regresi
(Studi Kasus BTN Palupi Kota Palu). Jurnal MEKTEK Fakultas Teknik
Universitas Tadulako, Palu. Jurnal MEKTEK Fakultas Teknik Universitas
Tadulako, Palu.
Patunrangi, J., 2003, Strategi Penanganan Angkutan Umum Di Kota Palu, Makalah
Presentasi Mencari Solusi Permasalahan Angkutan Umum Perkotaan di
Kota Palu, Dinas Perhubungan Kota Palu.
Patunrangi, J., (2003) Studi Karakteristik dan Model tarikan Pergerakan Fasilitas
Pelayanan Rumah sakit di Kota Palu, Jurnal SMARTEK Fakultas Teknik
Universitas Tadulako, Palu.
Patunrangi, J., (2004) Studi Karakteristik Dan Model Tarikan Pergerakan
Fasilitas Layanan Swalayan Di Kota Palu, Jurnal MEKTEK Fakultas
Teknik Universitas Tadulako, Palu.
Patunrangi, J., (2009), Studi Persepsi Pengguna Angkutan Kota Di Kota Palu,
Jurnal SMARTEK Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu.
Patunrangi, J., (2010), Model Bangkitan Pergerakan Zona Kecamatan Palu Utara,
Kota Palu, Jurnal MEKTEK Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu.
Menteri Perhubungan RI, 1993, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 65
tahun 1993 Tentang; Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Jakarta.
Menteri/Sekretaris Negara RI, 1992, Undang-undang Republik Indonesia No. 14
Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Jakarta.
Munawar, Ahmad, 2004. Manajemen Lalu Lintas Perkotaan, Beta Offset,
Jogjakarta.
Morlok, Edward K. 1991. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. Edisi
III. Erlangga. Jakarta.
Nasution, HMN, 1996, Manajemen Transportasi, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Oglesby, C.H., Hicks, R.G., 1982, highway Engineering, Fourth Edition, John
Wiley and Sons, Inc, New York.
Pignataro, L,. J,. 1973, Traffic Engineering Theory and Practice, Prentice Hall,
Englewood.
362
Tamin, O. Z. 2000. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Edisi II. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
Transportation Research Board, National Research Council, 2000, Highway
Capacity Manual, Washington D.C.
Vuchic, V. R., 1981, Urban Transportation System and Technology, Prentice
Hall, New Jersey.
PENEMPATAN LOKASI TIANG JARINGAN DISTRIBUSI PRIMER
MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFOMARTION SYSTEM (GIS)
Deny Wiria Nugraha1, Yuli Asmi Rahman
1
1 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Tadulako
Email : [email protected],
ABSTRACT
In electrical distribution network, problem of demanding achievement of optimum
condition of system operational performance is essential. One of the factors necessary to
consider in the designing of the primary electrical distribution network is cost. Cost is closely
related to length of cable used. It highlights the importance of calculating the minimum
length of cable required in a network. The cable should be not only with as minimal as
possible in length, but also regulated for better arrangement.
Actually, in regulating the cable installation, longer path is more frequently selected. One of
the ways of achieving optimization condition is to use algorithm to determine a minimum
spanning tree of the primary electrical distribution network system. The research was
conducted by designing a graph model of primary electrical distribution network in
appropriate with the data obtained. Based on the graph, each was weighted for distance or
length of network cable by using the ArcView GIS 3.3. The data were then calculated and
simulated by using computer to gain a minimum spanning tree of the primary electrical
distribution network using the Prim’s algorithm.
Key Words : Graph, Minimum Spanning Tree, Prim’s Algorithm, Primary Electrical
Distribution Network
PENDAHULUAN
Banyak permasalahan yang dapat dimodelkan dengan menggunakan graf,
khususnya di bidang teknologi informasi. Salah satunya adalah masalah dalam
pencarian pohon merentang minimum. Termasuk didalamnya adalah mencari
panjang minimum kabel dari suatu penataan jaringan distribusi listrik primer.
Masyarakat konsumen tenaga listrik saat ini selain menuntut kontinuitas
pelayanan daya juga telah makin sadar akan kualitas layanan pasokan tenaga
listrik yaitu kestabilan tegangan dan frekuensi. Di lain pihak produsen tenaga
listrik dipacu untuk mengoperasikan sistem kelistrikan dengan ekonomis untuk
mencapai efisiensi usaha. Salah satu cara dengan mengatur sistem distribusi listrik
dengan baik untuk menyalurkan tenaga listrik dari sumber sampai ke konsumen.
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam desain jaringan distribusi listrik
primer adalah biaya. Biaya berkaitan erat dengan panjang kabel yang digunakan.
Hal ini menyebabkan pentingnya menghitung panjang minimum kabel yang
dibutuhkan dari suatu jaringan. Selain panjang kabel yang dipergunakan
364
seminimal mungkin, juga perlu dipertimbangkan pengaturan penataan kabel
tersebut. Kenyataannya, dalam mengatur pemasangan kabel, seringkali memilih
jalur yang lebih panjang. Dampak lain yang ditimbulkan jika kabel terlalu panjang
melewati batas maksimum adalah nilai drop tegangan yang melebihi batas
toleransi.
Dalam jaringan distribusi listrik primer, masalah tuntutan pencapaian kondisi
optimum unjuk-kerja sistem adalah sangat penting. Kondisi tersebut dapat dicapai
dengan menentukan pohon merentang minimum (minimum spanning tree) dari
sistem jaringan distribusi listrik primer.Dalam penelitian ini dirancang model
jaringan distribusi listrik primer dalam suatu graf dengan bobot masing-masing
berupa panjang kabel jaringannya. Selanjutnya dihitung dan disimulasikan oleh
program komputer untuk mendapatkan pohon merentang minimum jaringan
distribusi listrik primer dengan menggunakan algoritma Prim. Studi kasus yang
diambil adalah pada jaringan distribusi listrik primer yang ada di wilayah kota
Palu, Sulawesi Tengah.
Graf G didefinisikan sebagai pasangan himpunan (V, E), ditulis dengan notasi
G = (V, E). Dalam hal ini, V merupakan himpunan tidak kosong dari simpul-simpul
(vertices atau node) digambarkan dalam titik-titik, dan E adalah himpunan sisi-sisi
(edges atau arcs) digambarkan dalam garis-garis yang menghubungkan sepasang
simpul (Munir, 2009). Dapat dikatakan graf adalah kumpulan dari simpul-simpul
yang dihubungkan oleh sisi-sisi. Graf dapat digambarkan pada gambar 1.
A C
B
e4
e2
e1 e3
Gambar 1. Graf G
Pada gambar graf G diatas, graf terdiri dari himpunan V dan E yaitu:
V = (A, B, C)
E = (e1, e2, e3, e4); bisa ditulis {(A,B),(B,C),(B,C),(A,C)}
Graf berbobot adalah graf yang setiap sisinya diberi sebuah harga. Bobot pada
tiap sisi dapat berbeda-beda bergantung pada masalah yang dimodelkan dengan
graf. Bobot dapat menyatakan jarak antara dua buah tiang listrik, kapasitas, biaya
perjalanan antara dua buah kota, waktu tempuh pesan (message) dari sebuah simpul
komunikasi ke simpul komunikasi lain, ongkos produksi, dan sebagainya. Untuk
lebih jelasnya, graf berbobot dapat digambarkan pada gambar 2.
a
b
cd
e
10
8
12
911
14
15
Gambar 2. Graf berbobot
Apabila G adalah graf berbobot, maka bobot pohon merentang T dari G
didefinisikan sebagai jumlah bobot semua sisi di T. Pohon merentang yang berbeda
mempunyai bobot yang berbeda pula. Diantara semua pohon merentang dalam graf
G, pohon merentang yang berbobot minimum dinamakan pohon merentang
minimum. Pohon merentang minimum ini mempunyai terapan yang luas dalam
masalah riil (Munir, 2009).
Jika dimisalkan akan dibangun jaringan distribusi listrik primer yang
menghubungkan sejumlah titik tiang di suatu daerah, dalam rancangannya
digambarkan pada gambar 3.
Gambar 3. Contoh graf rancangan jaringan distribusi listrik primer
dan pohon merentang minimum yang terbentuk
Langkah-langkah menghitung total jarak minimum dari suatu graf sebagai
berikut:
a. Dari suatu graf yang terbentuk, perhatikan apakah memenuhi kriteria suatu
pohon merentang.
b. Lakukan pelacakan secara berurutan mulai dari simpul pertama sampai dengan
simpul terakhir.
A
B
E
F
G
HD
C
40
45
15 35
25
30
20
50
14
10
48
A
B
E
F
G
HD
C
15 35
25
30
20
14
10
366
c. Pada setiap simpulnya perhatikan nilai (bobot) tiap-tiap sisinya.
d. Ambil nilai yang paling kecil artinya jarak terpendek dari setiap sisi simpul.
e. Lanjutkan sampai seluruh simpul tergambar pada pohon merentang.
f. Jumlahkan nilai yang telah dipilih atau jarak minimum yang menghubungkan
simpul-simpul tersebut.
Oleh karena tidak perlu mengurutkan terlebih dahulu, algoritma Prim cocok
untuk pohon dengan jumlah simpul banyak. Algoritma Prim akan selalu berhasil
menemukan pohon merentang minimum tetapi pohon merentang yang dihasilkan
tidak selalu unik. Strategi yang digunakan adalah strategi Greedy dengan
menganggap bahwa pada setiap langkah dari pohon merentangnya adalah
augmented dan dipilih simpul yang nilainya paling kecil dari semua simpul yang
ada (Purwanto, 2008).
Langkah-langkah dalam algoritma Prim adalah sebagai berikut:
a. Buat sebuah pohon yang terdiri dari satu simpul (node), dipilih secara acak dari graf.
b. Buat sebuah himpunan yang berisi semua cabang di graf.
c. Loop sampai semua cabang di dalam himpunan menghubungkan dua simpul di pohon
1). Hapus dari himpunan satu cabang dengan bobot terkecil yang
menghubungkan satu simpul di pohon dengan satu simpul di luar pohon.
2). Hubungkan cabang tersebut ke pohon.
METODE PENELITIAN
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: perangkat keras
(hardware) berupa komputer dengan prosesor Intel Core 2 CPU T5500 1,66 GHz,
memori 2,49 GB RAM, hard disk 320 GB dan monitor 15,4 inchi. Perangkat
lunak (software) berupa sistem operasi Microsoft Windows XP dan program
ArcView GIS versi 3.3.
Penelitian ini dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Melakukan pengamatan dan pengumpulan data jaringan distribusi listrik primer
pada PT. PLN (Persero) cabang Palu rayon kota.
b. Instalasi program yang dibutuhkan serta pengaturannya.
c. Melakukan persiapan data yang telah ada sehingga dapat digunakan oleh
program aplikasi.
Merancang model graf jaringan distribusi listrik primer sesuai dengan data yang
diperoleh, kemudian dari graf tersebut diberi bobot masing-masing berupa jarak
atau panjang kabel dengan menggunakan program ArcView GIS 3.3 .
Gambar 4. Flowchart Penelitian
d. Dengan menggunakan algoritma Prim, ditentukan pohon merentang
minimum dari model graf berbobot pada jaringan distribusi listrik primer,
kemudian dihitung dan disimulasikan oleh program ArcView GIS 3.3 untuk
mendapatkan jumlah total panjang minimum kabel yang digunakan.
e. Melakukan pengujian dan menarik kesimpulan dari hasil pengujian tersebut.
Data yang diperoleh dari lokasi penelitian mengenai jarak atau panjang kabel
jaringan distribusi listrik primer yang menghubungkan titik-titik tiang, gardu
distribusi dan LBS/ABS dimasukkan ke dalam sistem dengan dukungan peta kota
Mulai
Pilih titik Start (Mulai)
Inisialisasi himpunan
F, T, Jarak, Status
Waktu mulai
I =1 sampai banyak titik -1
Seleksi titik terpilih
Masukan titik, garis, jarak
J =1 sampai banyak titik
Titik
terhubung
garis?
Terhubung
dengan titik
terpilih?
Tampung proses
J
Seleksi jarak terkecil
Jarak
terkecil?
Ubah himpunan F, T,
Jarak, Status
Ya
Tidak
Ya
Tidak
I
Ya
A
Tidak
Waktu selesai
Waktu komputasi =
waktu selesai - waktu mulai
Urutan = awal, akhirUrutan pohon
merentang
minimum
Waktu
komputasi
Hasil pohon
merentang
minimum
Selesai
A
Minimum = total(jarak)Jumlah total
panjang
minimum
368
Palu yang telah dibuat sebelumnya pada program GIS untuk mendapatkan model
graf berbobot yang sesuai dengan kondisi yang ada di lokasi penelitian.
Titik tiang, titik gardu dan titik LBS/ABS distribusi listrik tersebut
dihubungkan dengan garis/kabel sesuai dengan jarak masing-masing yang
kemudian membentuk suatu graf berbobot dengan menggunakan program
ArcView GIS 3.3. Kemudian diproses dengan metode algoritma Prim untuk
mendapatkan hasil berupa pohon merentang minimum dari jaringan distribusi
listrik primer, urutan pohon merentang minimum dan waktu komputasi dalam
pencarian pohon merentang minimum tersebut. Keseluruhan tahapan proses
algoritma Prim dalam mencari pohon merentang minimum pada jaringan
distribusi listrik primer dapat dijelaskan dengan gambar 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Implementasi algoritma Prim dengan menggunakan program GIS melalui
beberapa tahapan proses sampai didapatkan pohon merentang minimum jaringan
distribusi listrik primer, informasi jaringan distribusinya, informasi urutan pohon
merentang minimum, informasi jumlah total panjang minimum kabel yang
menghubungkan semua titik tiang, dan informasi waktu komputasi dalam
mendapatkan pohon merentang minimum jaringan distribusi listrik primer serta
grafik hasil pengujian implementasi algoritma Prim.
Gambar 5. Tampilan halaman awal sistem dan tampilan pemilihan titik tiang mulai implementasi
algoritma Prim pada jaringan distribusi listrik primer dengan program GIS
Contoh pengujian sistem menggunakan model graf berbobot dengan jumlah
titik/simpul sebanyak 76 buah dan jumlah sisi sebanyak 83 buah. Model graf
berbobot jaringan distribusi listrik primer yang diuji pada pengujian ini diambil
dari titik-titik tiang yang ada pada penyulang Elang. Titik-titik tiang tersebut
dihubungkan dengan garis (kabel) yang datanya sesuai dengan jarak/panjang
kabelnya.
Gambar 6. Tampilan hasil proses implementasi algoritma Prim pada jaringan distribusi listrik primer
dengan menggunakan program ArcView GIS 3.3
Penamaan kode titik tiang disesuaikan dengan kode tiang yang telah
terpasang pada penyulang Elang. Model graf berbobot yang dibentuk pada
pengujian ini dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Model graf berbobot dan pohon merentang minimum jaringan distribusi listrik primer
pada penyulang (feeder) Elang
Penggunaan program ArcView GIS 3.3 pada penelitian ini adalah untuk
menampilkan jaringan distribusi listrik primer sesuai dengan data yang
diperoleh pada PT. PLN (Persero) cabang Palu rayon kota untuk dua
penyulang (feeder) yaitu penyulang Dechu dan penyulang Elang. Program ini
digunakan untuk memodelkan data jaringan distribusi listrik primer ke dalam
graf atau gambar desain jaringan distribusi dengan latar belakang peta kota Palu
yang sesuai dengan kondisi geografis. Graf atau gambar desain jaringan tersebut
berupa titik-titik tiang, gardu dan LBS/ABS yang dihubungkan dengan kabel
370
jaringan yang masing-masing memiliki jarak/panjang. Data jaringan distribusi
listrik primer ini dapat diolah sehingga memiliki kelengkapan informasi.
Kemudian dengan bantuan pemrograman bahasa script avenue yang ada pada
ArcView GIS 3.3 dan dengan menggunakan metode algoritma Prim, graf jaringan
distribusi listrik primer dapat disimulasikan untuk mendapatkan pohon merentang
minimum dari kabel yang menghubungkan antara titik-titik tiang distribusi listrik
primer, menampilkan jumlah total panjang dan urutan pohon merentang
minimumnya serta waktu komputasi untuk mencari pohon merentang minimum
tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Setelah dilakukan serangkaian pengujian dan analisa dalam penelitian ini,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Waktu komputasi algoritma Prim dalam mencari pohon merentang minimum
suatu graf berbobot akan bertambah naik seiring dengan bertambahnya jumlah
titik/simpul dan jumlah sisi graf berbobot tersebut. Sehingga hasil pengujian
implementasi algoritma Prim bersifat kuadratik. Dengan kompleksitas waktu
algoritma Prim tersebut yang bersifat kuadratik dan berbentuk polinomial dalam n,
dengan n adalah ukuran jumlah simpul dan jumlah sisi, maka dapat dibuktikan
juga bahwa algoritma Prim termasuk dalam kategori algoritma yang baik atau
algoritma yang efisien untuk memecahkan masalah pencarian pohon merentang
minimum suatu graf berbobot jaringan distribusi listrik primer.
Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
a. Implementasi algoritma Prim dalam mencari pohon merentang minimum pada
jaringan distribusi listrik primer masih perlu dikaji lebih mendalam lagi selain
menggunakan parameter panjang kabel jaringan distribusi listrik sebagai bobot
dari grafnya. Pengembangan selanjutnya dapat menggunakan parameter
lainnya, yaitu nilai arus dan tegangan yang mengalir pada jaringan, kapasitas
daya dan beban listriknya, pengaruh frekuensi, dan rugi-rugi tegangan dan daya
yang ada pada jaringan distribusi listrik primer.
b. Peta yang digunakan sebagai dasar desain model graf berbobot dalam
pencarian pohon merentang minimum sebaiknya menggunakan peta yang
sesuai dengan topografi suatu wilayah.
Daftar Pustaka
Gloor, P. A., Johnson, D. B., Makedon, F., Metaxas, P., (1993), A Visualization
System for Correctness Proofs of Graph Algorithms,
http://www.wellesley.edu/CS/ pmetaxas/visual_proofs.pdf, Computer
Science Education, [diakses: 19 Maret 2010].
Greenberg, H. J., (1998), Greedy Algorithm for Minimum Spanning
Tree,http://glossary.computing.society.informs.org/notes/spanningtree.pdf,
University of Colorado, Denver, [diakses: 19 Maret 2010].
Kadir, A., (2006), Distribusi dan Utilisasi Tenaga Listrik, Universitas Indonesia
Press, Jakarta.
Kristanto, A., (2008), Perancangan Sistem Informasi dan Aplikasinya, Gava
Media, Yogyakarta.
Marsudi, D., (2006), Operasi Sistem Tenaga Listrik, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Mehta, D. P., Sahni, S., (2005), Handbook of Data Structures and Applications,
Chapman & Hall/CRC Computer and Information Science Series, United
States of America
Munir, R., (2009), Matematika Diskrit, Edisi 3, Informatika, Bandung.
Oetomo, B. S., (2002), Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi, Andi,
Yogyakarta.
Pop, P. C., Zelina, I., (2004), Heuristic Algorithms for the Generalized Minimum
Spanning Tree Problem, http://emis.library.cornell.edu/
journals/AUA/acta8/Pop_Zelina.pdf, Proceedings of the International
Conference on Theory and Applications of Mathematics and Informatics
(ICTAMI), Thessaloniki, Greece, [diakses: 19 Maret 2010].
Prahasta, E., (2004), Sistem Informasi Geografis: ArcView Lanjut Pemrograman
Bahasa Script Avenue, Informatika, Bandung.
Prahasta, E., (2009), Sistem Informasi Geografis: Tutorial ArcView, Informatika,
Bandung.
Purbasari, I. Y., (2007), Desain Dan Analisis Algoritma, Edisi 1, Graha Ilmu,
Yogyakarta.
372
Purwanto, E. B., (2008), Perancangan Dan Analisis Algoritma, Edisi 1, Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Zakaria, T. M., Prijono, A., (2006), Konsep Dan Implementasi Struktur Data,
Informatika, Bandung.