d5 blok 13

26
Inkontinensia Urin pada Geriatri dalam Kasus D5 Pendahuluan Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada orang berusia lanjut, khususnya perempuan. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang memalukan atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urin, dan menganggap bahwa masalah tersebut merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis yang lain juga tidak jarang tidak memahami tatalaksana inkontinensia urin dengan baik atau bahkan tidak mengetahui bahwa inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang dapat diselesaikan. Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, masalah psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi. Secara tidak langsung masalah-masalah tersebut juga dapat menyebabkan dehidrasi karena umumnya pasien akan mengurangi minum karena khawatir mengompol. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi masalah inkontinensia urin, baik bersifat nonfarmakologis maupun terapi obat dan pembedahan jika diketahui dengan tepat jenis atau tipe inkontinensianya. 1

Upload: michellelie

Post on 17-Jan-2016

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

inkontinensia urin pada kasus geriatri

TRANSCRIPT

Page 1: d5 blok 13

Inkontinensia Urin pada Geriatri dalam Kasus

D5

Pendahuluan

Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada

orang berusia lanjut, khususnya perempuan. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan

oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut

merupakan masalah yang memalukan atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan mengenai

masalah inkontinensia urin, dan menganggap bahwa masalah tersebut merupakan sesuatu

yang wajar terjadi pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Pihak kesehatan, baik

dokter maupun tenaga medis yang lain juga tidak jarang tidak memahami tatalaksana

inkontinensia urin dengan baik atau bahkan tidak mengetahui bahwa inkontinensia urin

merupakan masalah kesehatan yang dapat diselesaikan.

Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih,

kelainan kulit, gangguan tidur, masalah psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa

terisolasi. Secara tidak langsung masalah-masalah tersebut juga dapat menyebabkan dehidrasi

karena umumnya pasien akan mengurangi minum karena khawatir mengompol. Berbagai

upaya dapat dilakukan untuk mengatasi masalah inkontinensia urin, baik bersifat

nonfarmakologis maupun terapi obat dan pembedahan jika diketahui dengan tepat jenis atau

tipe inkontinensianya.

1. Geriatri : berkenaan dengan orang tua atau penuaan 1

Rumusan masalah

Ny. A , 70 tahun dengan riwayat memiliki banyak anak mengalami kesulitan menahan

kencing dan nyeri lutut.

Analisis masalah

1

Ny. A , 70 tahun dengan riwayat banyak anak mengalami kesulitan menahan kencing dan nyeri lutut.

Pemeriksaan fisik

Prognosis

anamnesis

Promotf dan preventif

Page 2: d5 blok 13

Hipotesis

Ny A mengalami kesulitan menahan kencing karena inkontinensia urin tipe campuran.

Anamnesis

Anamnesis merupakan wawancara riwayat kesehatan pasien baik secara langsung atau

tidak langsung yang memiliki tiga tujuan utama yaitu mengumpulkan informasi, membagi

informasi, dan membina hubungan saling percaya untuk mendukung kesejahteraan pasien.

Informasi atau data yang dokter dapatkan dari wawancara merupakan data subjektif berisi hal

yang diutarakan pasien kepada dokter mulai dari keluhan utama hingga riwayat pribadi dan

riwayat sosial.2

Untuk individu dewasa, riwayat komprehensif mencakup Mengidentifikasi Data dan

Sumber Riwayat, Keluhan Utama, Penyakit Saat Ini, Riwayat Kesehatan Masa Lalu, Riwayat

Keluarga, dan Riwayat Pribadi dan Sosial. Pasien yang baru dirawat di rumah sakit atau

klinik patut dilakukan pengkajian riwayat kesehatan komprehensif, akan tetapi dalam banyak

fasilitas akan lebih tepat bila dilakukan wawancara yang lebih terfokuskan atau berorientasi

masalah yang pelaksanaannya fleksibel. Riwayat kesehatan yang perlu dikumpulkan dalam

anamnesis, meliputi2:

1. Identifikasi data meliputi nama, usia, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa,

pekerjaan, dan status perkawinan.

2. Keluhan utama yang berasal dari kata-kata pasien sendiri yang menyebabkan

pasien mencari perawatan.

3. Penyakit saat ini meliputi perincian tentang tujuh karakteristik gejala dari keluhan

utama yaitu lokasi, kualitas, kuantitas, waktu terjadinya gejala, kondisi saat gejala

terjadi, faktor yang meredakan atau memperburuk penyakit, dan manifestasi

terkait hal-hal lain yang menyertai gejala.

2

WDDD

diagnosis

Inkontinensia urin tipe kombinasi

Inkontinensia urin tipe stres, overflow , fungsional, urgensi

Pemeriksaan penunjang

terapi

komplkasi

Page 3: d5 blok 13

4. Riwayat kesehatan masa lalu seperti pemeliharaan kesehatan, mencakup

imunisasi, uji skrining dan penyakit yang diderita pada masa kanak-kanak,

penyakit yang dialami saat dewasa lengkap dengan waktunya mencakut empat

kategori yaitu medis, pembedahan, obstetrik, dan psikiatrik.

5. Riwayat keluarga yaitu diagram usia dan kesehatan, atau usia dan penyebab

kematian dari setiap hubungan keluarga yang paling dekat mencakup kakek-

nenek, orang tua, saudara kandung, anak dan cucu.

6. Riwayat Pribadi dan Sosial seperti aktivitas dan gaya hidup sehari-hari, situasi

rumah dan orang terdekat, sumber stress jangka pendek dan panjang, pekerjaan

dan pendidikan.

Pemeriksaan Fisik

Pada kasus didapati seorang wanita 75 tahun datang dengan keluhan sering tidak

dapat menahan keinginan berkemih sehingga sering miksi di celana terutama saat tertawa

hingga kemudian miksi tanpa sadar. Pada pemeriksaan fisik didapat keadaan umum tampak

sakit ringan compos mentis dengan berat badan 60 kg dan tinggi badan 170 cm. Denyut nadi

85 kali per menit dengan tekanan darah 130/80 mmHg serta suhu 37oC dan respiratory rate

20 kali per menit.

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan demikian adalah

cotton swab test, pad test, paper towel test dan stress testing. Cotton Swab Test biasanya

digunakan untuk menilai mobilitas uretral pada wanita. Pemeriksaan ini dilakukan dengan

memasukan cotton swab lubrikasi steril kedalam uretra hingga masuk ke kandung kemih.

Kemudian cotton swab ditarik hingga sekitar leher kandung kemih. Wanita dengan keadaan

lantai pelvis normal akan menunjukkan cotton swab yang membentuk sudut nol derajat

dengan lantai rata. Kemudian pasien diminta untuk mengkontraksikan ototnya seperti saat

menahan pada saat ingin berkemih dan perubahan sudut yang diharapkan adalah kurang dari

30 derajat. Apabila lebih dari 30 derajat maka pemeriksan ini menunjukkan adanya

hipermobilitas uretra yang merupakan salah satu penyebab inkontinensia urin.3

Pad Test biasanya dilakukan sebagai tes objektif untuk melihat apakah cairan yang

keluar adalah benar urin biasanya menggunakan agen pewarna seperti phenyl salicylate,

benzoic acid, atropine sulfate, methylene blue dan agen lainnya dan pasiennya menggunakan

bantalan seperti pampers kemudian melakukan aktivitas biasa dan kenaikan satu gram pada

bantalan tersebut mengindikasikan adanya satu mililiter urin. Test ini disebut negatif apabila

3

Page 4: d5 blok 13

perubahan beratnya kurang dari satu gram. Pad Test tidak dilakukan pada wanita yang

sedang dalam fase menstruasi. 3

Paper Towel Test merupakan uji dengan hasil yang cepat dan sesuai dengan berapa

banyak stress yang didapat hingga adanya urin yang keluar mengindikasikan inkontinensia

urin. Pasien diminta untuk batuk beberapa kali dengan menadahkan uretra ke arah tissue

toilet dan terdapat tetesan pada tissue toilet tersebut. Luas permukaan yang basah dapat

dihitung dan dapat mengindikasikan volume urin yang keluar akibat stress yang didapat. 3

Stress Testing merupakan uji paling sensitif yang merupakan uji pelvis dengan

observasi langsung terhadap hilangnya urin dengan uji pemberian stress yakni batuk. Uji ini

dapat mengarah pada kesalahan apabila keadaan kandung kemih pasien sedang dalam

keadaan kosong. Prinsipnya, kandung kemih pasien dimasukkan air steril kira-kira 250

hingga 500 mL dan setelah pasien diinstruksikan untuk batuk pada posisi litotomi. Apabila

adanya urin yang keluar berarti pasien tersebut terkena kondisi inkontinensia urin. Apabila

tidak maka dapat dilakukan pada posisi lain. Apabila hasil uji negatif pada pemeriksaan

penunjang cystometrogram maka pasien tersebut dapat didiagnosa menderita inkontinensia

urin. 3

Pemeriksaan Penunjang

Inkontinensia urin bukanlah merupakan suatu kasus gawat darurat. Inkontinensia urin

merupakan suatu keadaan abnormal. Tergantung dari wujud urin yang keluar, ada beberapa

pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yakni urinalysis, urinary cytological studies,

serta cek serum elektrolit, kalsium, blood urea nitrogen dan kadar glukosa urin. 3

Urinalysis dapat berguna

untuk menghapuskan diagnosis

banding seperti urinary tract

infection yang merupakan suatu

reaksi inflamasi lokal yang dapat

menyebabkan tidak terhambatnya

kontraksi kandung kemih akibat

endotoksin yang diproduksi oleh

bakteri yang memiliki alpha-

blocking effect pada sphincter uretra

sehingga menurunkan tekanan intrauretra yang kemudian berujung pada inkontinensia urin. 3

4

Sumber: Macfarlane MT. Urology. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.h.137.

Gambar 1. Cystometrogram normal

Page 5: d5 blok 13

Urinary cytological studies merupakan pemeriksaan untuk memeriksa eksistensi dari

karsinoma in situ pada kandung kemih yang dapat meningkatkan frekuensi dan urgensi dari

rasa ingin berkemih dan pada hasilnya dapat ditemukan mikroskopik hematuria. Sedangkan

uji cek serum blood urea nitrogen dan kadar glukosa dapat dilakukan terutama pada pasien

dengan diabetes atau poliurea dan polidipsia. Serta penurunan BUN dapat mengindikasikan

adanya penurunan masa otot yang dapat mengganggu fungsi renal. 3

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan cystometry yang biasanya

dilakukan untuk mengevaluasi pengisian dan penyimpanan urin pada kandung kemih.

Cystometogram merupakan suatu hasil dari cystometry yang merupakan kurva dari

tekanan/volume intravesikal dengan cara pengisian kandung kemih dengan air steril atau

karbon dioksida pada laju infusi konstan sambil memonitor perubahan tekanan intravesikal.

Pasien harus menahan setiap rasa ingin berkemihnya selama pemeriksaan berlangsung.

Kontraksi muskulus detrusor yang melebihi 15 cmH2O dianggap kondisi abnormal. Data

yang didapat pada grafik terdiri dari lima fase yakni sensasi propriosepsi, sensasi merasa

kandung kemih penuh, sensasi ingin berkemih, munculnya kontraksi muskulus detrusor

volunter dan kemampuan untuk menghentikan kontraksi muskulus detrusor. Kondisi negatif

dapat merupakan salah satu indikasi adanya inkontinensia urine.4

Pada pasien penderita inkontinensia urin terdapat 4 faktor yang dipercaya dapat

membantu diagnosis dari inkontinensia urin yakni diketahuinya pernah mengalami gangguan

miksi saat mendapatkan stress pada masa lalu, postvoid residual volume tidak melebihi 50

mL, hasil positif pada cough stress test dan kapasitas fungsional kandung kemih mencapai

400 mL. 15% pasien dengan inkontinensia urin hidup dengan muskulus detrusor yang tidak

stabil. Anamnesis merupakan suatu hal yang wajib dilakukan walaupun anamnesis bukanlah

suatu hal utama yang adekuat untuk menentukan basis terapi inkontinensia urin, seperti 0.91

untuk nilai sensitifitas dari inkontinensia urin tipe stress, tetapi hanya memiliki 0.51 poin

pada spesifitas dari inkontinensia urin tipe stress.3

Diagnosis

Diagnosis inkontinensia urine bertujuan untuk : 5

1. Menentukan kemungkinan inkontinensia urin tersebut reversibel

2. Menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus

3. Menentukan jenis penanganan operatif, obat dan perilaku

Working diagnosis

5

Page 6: d5 blok 13

Inkontinensia urin campuran merupakan gabungan gejala inkontinensi urgensi dan

inkontinensia stres. Pada inkontinensia jenis ini terjadi disfungsi detrusor (motorik atau

sensorik) dan berhubungan dengan aktivitas sfingter uretra. Hal ini berarti terjadi pengeluaran

urin yang tidak disengaja yang berkaitan dengan urgensi dan juga dengan batuk dan bersin. 5

Diferential diagnosis

a) Inkontinensia Urgensi

Pengeluaran urin involunter yang disebabkan oleh dorongan dan keinginan

mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan dengan kontraksi detrusor secara

involunter. Penyebabnya adalah gangguan neurologik (misalnya stroke,

sklerosis multipel) seta infeksi saluran kemih. Gejalanya adalah berkemih sering

disertai oleh tingginya frekuensi berkemih (lebih sering dari 2 jam sekali).

Spasme kandung kemih atau kontraktur berkemih dalam jumlah kecil (kurang

dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari 500 ml). 6

b) Inkontinensia Stres

Pengeluaran urin involunter selama batuk, bersin, tertawa, atau peningkatan

tekanan intraabdomen lainnya. Paling lazim terjadi pada wanita setelah usia

setengah baya (dengan kehamilan dan kelahiran per vaginam berulang).

Inkontinensia stres sering disebabkan oleh kelemahan dasar panggul dan

kurangnya dukungan sfingter vesikouretra. Penyebab lainnya adalah kelemahan

sfingter uretra intrinsik seperti akibat epispadia, trauma, radiasi atau lesi medula

spinalis bagian sakral. Gejalanya adalah keluarnya urin pada saat tekanan intra

abdomen meningkat dan seringnya berkemih. 6

c) Inkontinensia Overflow

Pengeluaran urin involunter akibat distensi kandung kemih yang berlebihan.

Pada inkontinensia ini, bisa terdapat penetesan urin yang sering atau berupa

inkontinensia dorongan atau tekanan. Selain itu, dapat disertai dengan kandung

kemih yang kurang aktif, obstruksi jalan keluar kandung kemih (seperti tumor,

hipertrofi prostat), obat-obatan (seperti diuretik), impaksi feses, atau defisiensi

vitamin B12. 6

d) Inkontinensia Fungsional

6

Page 7: d5 blok 13

Imobilitas, defisit kognitif, atau daya kembang kandung kemih yang buruk.

Gejalanya adalah mendesaknya keinginan untuk berkemih menyebabkan urin

keluar sebelum mencapai tempat yang sesuai. 6

e) Osteoartritis

Osteoartritis adalah kondisi di mana sendi terasa nyeri akibat inflamasi

ringan yang timbul karena gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi.

Berbagai perubahan khas yang mencakup baik kerusakan kartilago maupun

remodeling tulang terjadi pada sejumlah sendi diartroid namun masing-masing

mempunyai etiologi yang berbeda. Beberapa faktor turut terlibat dalam keadaan

ini. Penambahan usia semata tidak menyebabkan osteoartritis, sekalipun

perubahan selular atau matriks pada kartilago yang terjadi bersamaan dengan

penuaan kemungkinan menjadi penyebab bagi lanjut usia untuk mengalami

osteoartritis. Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab adalah obesitas, trauma,

kelainan endokrin (misalnya diabetes melitus) dan kelainan primer persendian

(misanya artritis inflamatorik).

Osteoartritis diklasifikasikan menurut kriteria klinik sebagai bentuk primer

dan sekunder. Gejala klinis osteoartritis primer adalah rasa nyeri, kaku, dan

gangguan fungsional. Serangan nyeri tersebut menetap dan dapat disertai

dengan keterbatasan gerakan serta deformitas sendi. Nyeri terasa mereda dengan

istirahat dan kambuh kembali ketika sendi yang sakit digerakkan. Rasa nyeri

tidak disertai dengan gejala inflamasi. Osteoartritis sekunder terjadi akibat

keadaan yang jelas merupakan penyebabnya (misalnya trauma, penyakit

metabolik atau artritis inflamasi). 7

Etiologi Inkontinesia Urin Tipe Mixed et causa Stress dan Urgensi

Penyebab dari Inkontinensia Urin seperti pada kasus dapat terjadi akibat beberapa hal.

Pada wanita, penyebab umum terjadinya Inkontinensia urin adalah lemahnya sokongan dari

pelvis. Wanita dapat kehilangan support dari pelvis setelah melahirkan, operasi, ataupun

penyakit yang dapat melemahkan kekuatan jaringan atau juga setelah kehilangan esterogen

postmenopausal. Atau sebab yang kurang ditemui seperti defisiensi kekuatan sphincter

intrinsic utethra yang dapat terjadi karena proses penuaan, trauma pelvis, atau operasi seperti

histerektomi, urethropexy atau pubovaginal sling.3

7

Page 8: d5 blok 13

Penuaan dapat menyebabkan inkontinensia akibat adanya pelemahan kekuatan

jaringan ikat, hipoesterogisme, peningkatan gangguan medis, peningkatan diuresis malam

hari. Obesitas, melahirkan, COPD dan merokok dapat menyebabkan inkontinensia, bersama

dengan aktivitas musculus detrusor yang berlebihan yang masih belum diketahui sebabnya.3

Epidemiologi

Prevalensi inkontinensia urin sulit ditemukan dengan pasti. Hal ini disebabkan karena

hasil penelitian epidemiologi yang beragam dalam subjek pemelitian, metode kuesioner, dan

definisi inkontinensia urin yang digunakan. Sekitar 50 % usia lanjut di instalasi perawatan

kronis dan 11- 30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin. Prevalensinya meningkat

seiring dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin

daripada laki-laki dengan perbandingan 1.5 : 1. 5

Patofisiologi

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian

koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu fase

penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan kebutuhan struktur dan fungsi komponen

saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan. 5

Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali.

Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter dan

disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra

internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang dimodulasi oleh korteks otak. 5

Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor,

lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung

kemih terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi maka terjadi pengosongan kandung

kemih atau proses kandung kemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh

aktivitas saraf parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sfingter

uretra internal menyebabkan uretra tertutup sebagai akibat kerja aktivitas saraf simpatis yang

dipicu oleh noradrenalin. 5

Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih.

Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis, dan pusat saraf

yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang

saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusat saraf kortikal dan

subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung

8

Page 9: d5 blok 13

kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan

untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggembungan kandung

kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran

urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat

mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. 5

Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari korteks disalurkan melalui

medula spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian

menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih.

Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot. 5

Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik oleh saraf

pelvis. Otot detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin. Prostaglandin inhibiting drugs

dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi kandung kemih juga calcium channel

dependent. Oleh karena itu, calcium channel blockers dapat juga mengganggu kontaksi

kandung kemih. 5

Inervasi sfingter uretra internal dan eksternal bersifat kompleks. Untuk memberikan

pengobatan dan penatalaksanaan inkontinensia yang efektif, petugas kesehatan harus

mengerti dasar inervasi adrenergik dari sfingter dan hubungan anatomi ureter dan kandung

kemih. 5

Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Untuk itu,

pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi

sfingter, sedangkan zat alpha-blocking (terazosin) dapat mengganggu penutupan sfingter.

Inervasi adrenergik-beta menyebabkan relaksasi sfingter uretra. Karena itu, zat beta-

adrenergic blocking (propranolol) dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra

dan melepaskan aktivitas kontaktil adrenergik-alfa. 5

Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan

kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang

tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada

posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara

efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar

pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. 5

Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medula

spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian

(penyimpanan) kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang

mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta

9

Page 10: d5 blok 13

penghambatan aktivitas saraf parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot

dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas saraf simpatis dan somatik menurun,

sedangkan saraf parasimpatis meningkat sehingga terjadi konraksi otot detrusor dan

pembukaan leher kandung kemih. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih

tinggi yaitu batang otak, korteks serebri, dan serebelum. Peranan korteks serebri adalah

menghambat sedangkan batang otak dan supra spinal memfasilitasi. 5

Gejala klinis 8

a. Inkontinensia urgensi : kontraksi otot detrusor yang tidak terkontrol menyebabkan

kebocoran urine, kandung kemih yang hiperaktif atau ketidakstabilan detrusor.

1. Disfungsi neurologis

2. Sistititis

3. Obstruksi pintu keluar kandung kemih

b. Inkontinensia stres : urine keluar tanpa kontraksi detrusor

1. Tonus otot panggul yang buruk

2. Defisiensi sfingter uretra; kongenital atau didapat

3. Kelebihan berat badan

c. Inkontinensia kombinasi : kombinas gejala poin A dan B diatas

Penatalaksaan

1. Kaji gejala gejala pasien

a. Urgensi

1. Tidak tertahankan

2. Frekuens > 7 kali/ hari

3. Pengeluaran urin dalam jumlah banyak

4. Bangun pada malam hari untuk berkemih

b. Inkontinensia stres

1. Kebocoran urine selama aktivitas fisik

2. Jumlah urine yang keluar sedikit disertai inkontinensia

3. Kesulitan mencapai toilet tepat pada waktunya, mengikuti desakan

untuk berkemih

c. Inkontinensia kombinasi, Beberapa gejala, baik inkontinensia urgensi dan

stres yang telah dijelaskan sebelumnya.

10

Page 11: d5 blok 13

Tatalaksana 5

Telah dikenal beberapa modalitas terapi dalam penatalaksanaan pasien dengan

inkontinensia urin. Umumnya berupa tatalaksana non farmakologis, farmakologis , maupun

perbedahan.

Tidak ada satu modalitas terapi yang dapat mengatasi semua jenis inkontinensia urin,

sebaliknya satu tipe inkontinensia urin diatasi oleh beberapa modalitas terapi bersama –sama.

Spektrum modalitas terapi meliputi : terapi non farmakologis meliputi terapi suportif non

spesifik ( edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu); intervensi tingkah laku

( latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan

kebiasaan) ; terapi medikamentosa; operasi dan pemakaian kateter. Keberhasilan penanganan

pasien tergantung pada keberhasilan proses diagnosis menentukan tipe inkontinensia, faktor-

faktor kontribusi reversibel dan problem medik akut.

Intervensi perlaku yang merupakan tatalaksana non farmakologis memiliki resiko

yang rendah dengan sedikit efek samping, namun memerlukan motivasi dan kerja sama yang

baik dari pasien. Secara umum strategi meliputi edukasi pada pasien atau pengasuh pasien.

Intervensi perilaku meliputi bladder training, habit training, prompted voiding, dan latihan

otot dasar panggul. Teknik teknik canggih yang dapat melengkapi teknik behavioral ini

antara lain stimulasi elektrik, biofeedback, dan neuromodulasi.

Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif diantara terap non

farmakologis lainnya. Terapi ini bertujuan untuk memperpanjang interval berkemih yang

normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7

kali per hari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih.

Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada interval tertentu, mula mula setiap jam,

selanjutnya nterval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai pasien ingin berkemih

setiap 2-3 jam. Teknik ini terbukti bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stres , namun

itu dperlukan motvasi yang kuat dari pasien untuk berlatih menahan keluarnya urin dan hanya

berkemih pada interval waktu tertentu saja.

Latihan otot dasar panggul merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin

tipe stres atau campuran dan tipe urgensi. Latihan ini dilakukan tiga sampai lma kali sehari

dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Penelitian uji klinik menunjukkan bahwa

55-77 % pasien mengalami perbaikan dalam jangka pendek dengan latihan tersebut. Terdapat

pula penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan perbaikan akan timbul selama paling

tidak 10 tahun. Latihan dilakukan dengan membuat kontraksi berulang ulang pada otot dasar

panggul. Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan

11

Page 12: d5 blok 13

kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien menjalani latihan, harus

dilakukan lebih dahulu pemeriksaan vagina atau rektum untuk menetapkan apakah mereka

dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya.

Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih, diupayakan agar jadwa;

berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada

inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau

pengasuh pasien. Prompted voiding dilakukan dengan cara mangajari pasien mengenali

kondisi atai status kontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhny

bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.

Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mampu mengntrol/menahan kontraksi

involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara biofeedback mempunyai kendala karena

penderita perlu mengetahui intelegensia yang cukup untuk dapay mengikuti petunjuk

pelatihnya, sementara pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran dan motivasi yang

tinggi karena waktu yang diperlukan untuk dapat mendidik satu orang pasien dengan cara ini

cukup lama.

Stimulasi elektrik merupakan terapi yang mengunakan dasar kejutan otot pelvis

dengan menggunakan alat alat bantu pada vagina atau rektum. Terapi ini tidak begitu disukai

oleh pasien karena pasien harus menggunakan alat dan kemajuan dari terapi in terlihat

lamban.

Neuromodulasi merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sakral.

Mekanisme yang pasti dari teknik ini masih belum diketahui, tetapi diduga karena adanya

kegiatan interneuron tulang belakang atau neuron adregenik beta dengan menghambat

kegiatan kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa neuromodulasi

merupakan salah satu penatalaksanaan kandung kemih hiperaktif yang berhasil.

Penggunaan kateter yang menetap sebaiknya tidak digunakan secara rutin dalam

pengelolaan inkontinensia uri karena dapat terjadi infeksi saluran kemih bahkan sampai

sepsis, pembentukkan batu, abses, dan bocor. Kateter menetap ini dapat digunakan bila

terjadi retensi urin yang lama sehingga menyebabkan infeksi saluran kemih atau gangguan

ginjal. Kateter intermiten merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan

kandung kemih. Teknik ini diajarkan kepada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung

kemih. Namun demikian teknik ini berisiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih.

Terapi farmakologia atau medikamentosa mempunyai efek baik terhadap

inkontinensia urin tipe urgen dan tipe stres. obat obat yang dipergunakan dapat digolongkan

menjadi antikoligernik, antispasmodik, agonis adregenik alfa, estrogen topikal, dan antagonis

12

Page 13: d5 blok 13

adregenik alfa. Pada semua obat yang digunakan untuk terapi inkontinensia urin, efek

sampng harus diperhatkan bila dipergunakan pada pasien geriatri seperti mulut kering, mata

kabur, peningkatan tekanan bola mata, konstpasi, delirium. Sementara obat lain yang dapat

menimbulkan hipotensi postural, bardikardia, sakit kepala dan lain-lain.

Obat fenilpropanolamin saat ini dihentikan pengunaanya untuk inkontinensia urin tipe

stres karena uji klinik menunjukkan adanya peningkatan rsiko strok. Pseudofedrin dapat

diguankan untuk tatalaksana inkontinensia tipe stres karena meningkatkan tekanan sfingter

uretra sehingga menghambat pengeluaran urin. Obat ini memiliki efek sampng seperti

insomnia, sakit kepala, dan gugup/gelsah. Penggunaanya harus amat hati hati pada pasienb

dengan hipertensi, aritmia Jntung dan agina. Dengan demikian penggunaannya jarang pada

usia lanjut.

Antikoligernik dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinensia urgensi. Oksibutinin

memiliki efek antikoligernik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin merupakan kompetitif

bloker reseptor M3. Uji klinik menunjukkan bahwa oksibutinin dan tolterodin menyebabkan

penurunan frekuensi inkontinensia urgensi dibandingkan dengan plasebo. Pemberian dosis

sehari sekali berhubungan dengan efek samping yang lebih rendah khususnya efek mulut

kering. Beberapa efek samping antikoligernik adalah xerostomia, xerosflatmia, konstipasi,

takikardia, ortostasis, kebingugan dan delirium. Tolterodin lebih selektif untuk reseptor

muskarinik di kandung kemih daripada kelenjar parotis, sehingga diharapkan dapat

memberkan efek samping koligernik yang lebih sedikit, seperti xerostomis. Penggunaan agen

trisiklik seperti imipramin dibatasi pada usia lanjut karena efek samping yang ditimbuljannya.

Uji klinik juga tidak menunjukkan adanya efektivitas penggunaan imipramin.

Tindakan operasi dilakukan atas pertimbangan yang matang dan didahului dengan

evaluasi urodinamik. Pada perempuan dengan prolaps pelvik yang signifikan dan

inkontinensia tipe stres yang tidak membaik dengan penanganan konservatif haru dilakukan

upya operatif. Pada laki-laki dengan tanda obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat

dapat dilakukan operasi sebagai upaya pencegahan inkontinensia tipe overflow dikemudian

hari. Beberapa cara untuk melemahkan detrusor dilakukan dengan menggunakan pendekatan

postsakral atau paravaginal. Teknik pembedahan yang bertujuan untuk merusak struktur

detrusor seperti transeksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol

periureter dan sistolis telah banyak digunakan. Teknik pembedahan yang paling sering

digunakan adalah ileosistopkasti dan miektomi detrusor. Teknik pembedahan untuk

inkontinensia urin tipe stres adalah injectable intrauretral bulking agents, suspensi leher

13

Page 14: d5 blok 13

kandung kemih, urethral slings, dan artificial urinary sphincters. Teknik pembedahan untuk

inkontinensia urin tipe urgensi adalah augmentation cystopkasty dan stimulasi elektrik.

Salah satu modalitas terapi yang perlu mendapat perhatian bagi tenaga kesehatan

adalah pemakaian kateter dan perawatannya. Dalam praktek klinik, kateterisasi sering

merupakan tindakan pertama yang dilakukan untuk penderita inkontinensia urin akut.

Terdapat 3 cara pemakaiaan kateter yaitu : kateter eksternal ( kateter kondom). Kateterisasi

intermiten, dan kateterisasi kronik dan menetap. Kateter eksternal hanya dipakai pada

inkontinensia intractable tanpa retensi urin yang secara fisik dependen/ bedridden. Bahaya

pemakaian kateter tersebut adalah resiko infeksi dan iritasi kulit.

Kateterisasi intermiten dipakai untuk mengatasi retensi urin dan inkontinensia urin

tipe overflow akibat kandung kemih yang akontaktil atau detrusor hyperactivity with

impaired contractility (DHIC). Prosedur ini dapat dilakukan 2-4 kali pr hari oleh pasien atau

tenanga kesehatan. Biasanya teknik ini dilakukan pada pasien dengan inkontinensia urin akut.

Risiko infeksi sering terjadi pada prosedur ini oleh karenanya harus dicegah dengan

mengguankan teknik aseptik, sedangkan kateterisasi menetap harus dilakukan secara selektif

oleh karena resiko bakteriuria periuretral, dan bahkan kanker kandung kemih. Induksi

pemakaian kateter kronik adalah retensi urin akibat inkontinensia tipe overflow persisten , tak

layak operasi, tidak efektif dilakukan kateterisasi intermiten, ada dalam perawatan dekubitus,

dan perawatan terminal dengan demensia berat.

Komplikasi Inkontinesia Urin Tipe Mixed et causa Stress dan Urgensi

Komplikasi yang dapat menyertai Inkontinensia Urin adalah infeksi saluran kemih,

kelainan kulit, gangguan tidur, depresi, mudah marah dan rasa terisolasi dan juga dehidrasi

akibat kurang asupan air dan decubitus.5

Prognosis

Inkontinensia urin mempunyai kemungkinan yang besar untuk disembuhkan,

terutama pada penderita dengan mobilitas dan status mental yang cukup baik. Bahkan bila

tidak dapat diobati sempurna, inkontinensia selalu dapat diupayakan lebih baik, sehingga

kualitas hidup penderita dapat ditingkatkan dan meringankan beban yang ditanggung oleh

mereka yang merawat penderita. 9

14

Page 15: d5 blok 13

Promotif dan Preventif 9

1. Menjaga diri agar terhindar dari penyakit yang dapat menyebabkannya.

2. Berhenti merokok dan jauhi asap rokok orang lain.

3. Makan tinggi serat agar terhindari dari sembelit.

4. Berhenti mengkonsumsi alkohol.

5. Mengurangi konsumsi caffeine dan minuman bersoda.

6. Menjadi pribadi yang aktif secara fisik dan rutin berolahraga.

7. Mengontrol berat badan agar tidak menjadi kegemukan.

8. Jangan menahan-nahan keinginan untuk BAK.

9. Untuk wanita: jangan terlalu sering hamil dan melahirkan.

Kesimpulan

Hipotesis diterima bahwa Ny. A mengalami kesulitan menahan kencing karena mengalami

inkontinensia campuran. Hal ini disebabkan karena usia lanjut, menopause dan persalinan

pervaginam yang sering. Inkontinensia dapat diobati secara non medikamentosa,

medikamentosa, kateter maupun operasi. Prognosis untuk gangguan ini baik apabila

dilakukan pengobatan sesuai dengan jenis inkontinensianya.

Daftar pustaka

1. Dorland W A N. Kamus kedokteran dorland. Ed. 31. Jakarta: EGC; 2010. h. 903.

2. Bickley LS, Szilagyi PG. Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates: buku

saku. Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2008.h.1-9.

3. Vasavada SP, Kim ED [editor]. Urinary Incontinence. Diunduh dari Medscape for

iPad. 12 Januari 2013.

15

Page 16: d5 blok 13

4. Macfarlane MT. Urology. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;

2006.h.137.

5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.

Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.865-75.

6. Graber MA, Toth PP, Herting RL. Buku saku dokter keluarga. Edisi ke-3. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.549-50.

7. Abrams WB, Berkow R. The merck manual of geriatrics. Jakarta: Penerbit

Binarupa Aksara; 2003.h.75-6.

8. Morgan G, Hamilton C. Osbtetri dan ginekologi : panduan praktis. Jakarta: EGC;

2009. h.292-3.

9. Abrams WB, Berkow R. The merck manual of geriatrics. Jakarta: Penerbit

Binarupa Aksara; 2003.h.75-6.

16