documentd3

5
Cahaya Cinta Sang Pencipta Allahu Akbar, Allah Maha Besar. Kalimat takbir selalu berkumandang, menggetarkan, menguatkan, menyejukkan, dan menyadarkan kita, umat muslim, bahwa sumber dari segala sumber di dunia bahkan di akhirat nanti adalah Allah SWT. Mulai dari nyawa, napas, detak jantung, denyut nadi, aliran darah, seluruh aktivitas yang dilakukan tubuh kita merupakan kehendak-Nya. Semua itu adalah nikmat yang tiada bandingannya, nikmat yang diberikan Sang Khaliq pada makhluk-Nya, nikmat iman dan Islam. Tidak pernah Allah menuntut makhluk-Nya untuk membayar semua nikmat yang telah dianugerahkan, kecuali dengan bertaqwa kepada-Nya. Aku terlahir dalam Islam. Bapak dan ibukku seorang muslim. Sejak kecil aku selalu diajarkan sebagaimana yang diwajibkan dan disunahkan dalam Islam. Apapun yang kita lakukan harus didasari dengan niat, niat yang semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Orang tuaku bukan pemuka agama. Mereka hanya buruh tani biasa, yang kebetulan dulu pernah mengenyam pendidikan yang secara khusus mempelajari agama Islam. Tidak heran jika aku juga dituntut untuk mengikuti jejak mereka atau bahkan bisa dibilang melanjutkan perjuangan mereka yang hanya sebatas mempelajari. Orangtuaku sangat berharap, ketika aku dilahirkan ke dunia, suatu saat nanti menjadi Hafidz Qur’an maupun Qori’ah. Aku masih ingat ketika mereka menceritakan keinginannya itu sewaktu aku masih TK. Tapi waktu itu aku hanya sebatas

Upload: durotunmaqfiraah

Post on 05-Jan-2016

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

TULISAN DI HARI KETIGA

TRANSCRIPT

Page 1: DocumentD3

Cahaya Cinta Sang Pencipta

Allahu Akbar, Allah Maha Besar.

Kalimat takbir selalu berkumandang, menggetarkan, menguatkan, menyejukkan, dan

menyadarkan kita, umat muslim, bahwa sumber dari segala sumber di dunia bahkan di

akhirat nanti adalah Allah SWT. Mulai dari nyawa, napas, detak jantung, denyut nadi, aliran

darah, seluruh aktivitas yang dilakukan tubuh kita merupakan kehendak-Nya. Semua itu

adalah nikmat yang tiada bandingannya, nikmat yang diberikan Sang Khaliq pada makhluk-

Nya, nikmat iman dan Islam. Tidak pernah Allah menuntut makhluk-Nya untuk membayar

semua nikmat yang telah dianugerahkan, kecuali dengan bertaqwa kepada-Nya.

Aku terlahir dalam Islam. Bapak dan ibukku seorang muslim. Sejak kecil aku selalu

diajarkan sebagaimana yang diwajibkan dan disunahkan dalam Islam. Apapun yang kita

lakukan harus didasari dengan niat, niat yang semata-mata hanya untuk beribadah kepada

Allah SWT. Orang tuaku bukan pemuka agama. Mereka hanya buruh tani biasa, yang

kebetulan dulu pernah mengenyam pendidikan yang secara khusus mempelajari agama Islam.

Tidak heran jika aku juga dituntut untuk mengikuti jejak mereka atau bahkan bisa dibilang

melanjutkan perjuangan mereka yang hanya sebatas mempelajari. Orangtuaku sangat

berharap, ketika aku dilahirkan ke dunia, suatu saat nanti menjadi Hafidz Qur’an maupun

Qori’ah. Aku masih ingat ketika mereka menceritakan keinginannya itu sewaktu aku masih

TK. Tapi waktu itu aku hanya sebatas mendengar, tidak mengerti maksudnya apa. Aku juga

masih ingat betapa menjengkelkannya aku dimata mereka, hingga aku selalu dipukuli dengan

pegangan sapu lidi karena tidak pernah nurut dengan perintah mereka.

Malu sekali kalau mengingat-ingat masa kecilku. Dari TK, SD, SMP, aku masih

menjadi anak badung yang hidupnya selalu berantakan, jauh dari aturan, selalu seenaknya

sendiri. Hingga akhirnya hidayah itu datang, tepat ketika aku memasuki jenjang menengah

atas (SMA). Aku yang semula tidak pernah bergaya seperti wanita, sangat tomboy waktu itu,

tidak pernah memakai rok, rambut selalu dicepol seperti orang mau mandi di kali, gelang

karet hitam menjadi aksesoris wajib, seperti preman lah pokonya, pada akhirnya aku mulai

berhijab.

“Nduk, kamu mau melanjutkan sekolah ke mana?” tanya ibu

Page 2: DocumentD3

“STM Pak, Multimedia.”jawabku mantap

“Mau jadi apa kamu sekolah di STM? Masih mending SMEA to ?”tanya bapak

STM di daerahku adalah sebutan untuk memudahkan orang menyebut SMKN 1 Blora,

sedangkan SMEA sebutan untuk SMKN 2 Blora. Sama-sama sekolah kejuruan, hanya

konsentrasi ilmu dan peminatnnya yang berbeda.

“Pokoknya aku mau melanjutkan ke STM Multimedia.”bantahku

“Ya sudah lah, terserah kamu. Tapi dari bapak dan ibu tidak mau ikut campur. Silahkan urusi

persyaratannya sendiri, daftar sendiri, jangan minta uang ke bapak atau ibuk.”ancamnya

Awalnya aku protes dengan pernyataan seperti itu. Tapi karena aku ngotot dan sudah

terlanjur pengennya di situ, ya sudah, aku menyanggupinya. Dengan modal nekat, aku

berangkat bersama temanku, naik sepeda motor yang jaraknya sekitar 15 km dari tempat

tinggalku. Untungnya biaya pendaftaran dibantu oleh salah satu guru SMP ku, sekarang

beliau sudah menjadi kepala sekolah di SMP lain. Baru pertama kalinya ke kota sama teman

naik sepeda motor untuk mendaftar, sudah terkena razia polisi. Jelaslah kena tilang, kita

masih di bawah umur. Itu sudah pertanda buruk, tapi aku tetap melanjutkan perjalanan.

Serangkainan tes mulai dari tes administrasi, tes psikologi, tes kesehatan, lolos, sedangkan

temanku tidak lolos. Tinggal menunggu pengumuman. Orangtuaku masih tetap tidak peduli.

Pada saat hari H pengumuman, aku tidak bisa berangkat karena tidak ada yang mengantar.

Hingga akhirnya ada yang mengirim pesan bahwa aku diterima. Senang, terharu, sedih,

campur aduk. Aku mengadu ke bapak.

“Pak, Fira lolos seleksi. Sekarang ada daftar ulang. Bapak mau nganterin Fira ?”pintaku

“Lepaskan. Daftar di SMA N 1 Jepon saja.”perintahnya

Hatiku hancur, luluh lantah seketika. Bagaimana tidak, sekolah yang aku impikan harus aku

lepaskan begitu saja setelah menempuh perjuangan panjang. Dan aku disuruh melanjutkan ke

sekolah yang pertama aku blacklist dari daftar keinginan. Aku sangat marah, kecewa,

mengurung diri di kamar. Ibuku selalu membujuk untuk menerima kenyataan bahwa tujuan

mereka menyuruhku ke SMA itu baik. Mereka ingin mengembalikan sisi keperempuanku

yang sempat menghilang. Sebenarnya alasan kenapa aku memilih STM ya salah satunya biar

tidak memakai rok. Selain itu juga menantang, mengingat mayoritas yang sekolah di situ

adalah laki-laki. Lambat laun, aku pasrah, aku menyerah. Aku memutuskan untuk menuruti

Page 3: DocumentD3

apa yang diminta ibu dan bapak. Kudaftarkan diri saat hari terakhir pendaftaran. Tidak buruk

sebenarnya, masih masuk 10 besar di awal. Tapi ada satu hal yang membuatku kembali

marah. Ternyata ibu memilihkan seragam berhijab.

“Fir, tadi waktu rapat pleno, ibu milih seragam panjang buat kamu, tidak apa-apa kan?”tanya

ibu

“Apa???? Kok ibu tidak tanya dulu sebelumnya ? Fira sudah mau ya pakai rok, kenapa

sekarang disuruh panjang juga ? Fira tidak mau Bu, tidak mau.”berontakku

“Kamu nurut saja sama Ibu, tidak ada yang menjerumuskanmu, semua ini demi kebaikan

kamu juga.”jelas ibu

“Baiklah”jawabku terpaksa

Semenjak itu aku jadi pendiam, bukan karena aku sudah sadar akan kesalahan-

kesalahanku tapi aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Sangat tidak pantas jika aku yang

sudah berhijab, bersikap urakan seperti biasanya. Lebih baik aku diam. Awal-awal aku

berhijab, sulit sekali menahan emosi dan nafsu untuk semaunya sendiri. Temanku juga selalu

mengingatkan bagaimana kondisi sekarang, tidak bisa seperti dulu lagi, harus menyesuaikan.

Berat memang, sangat berat. Tapi seiring berjalannya waktu aku mulai paham maksud dan

tujuan orangtuaku memilih sekolah di sini dan mengenakan seragam berhijab. Ketika rasa

nyaman itu sudah datang, serasa menemukan jiwaku yang baru. Aku punya banyak teman,

aktif organisasi, juara kelas, dan yang paling mendasar adalah perubahan sikap setelah

memakai hijab.

Alhamdulillah, Allah masih sayang kepadaku. Begitu banyak jalan yang harus aku

tempuh, dan itu tidak mulus. Tapi Allah memberikan ganti yang jauh lebih baik dari

sebelumnya. Selama ada niat dan usaha nyata untuk mau berubah, mau berhijrah, ke jalan

yang sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Aku merasakan hidayah itu ada, hidayah itu

nyata, hidayah akan diberikan kepada mereka yang mau sedikit lebih membuka hati untuk

mengikhlaskan, merelakan, menerima kenyataan, dan berpikir bahwa tidak ada rencana

seindah rencana Allah. Semua yang ditetapkan-Nya adalah yang terbaik. Kini aku paham

bagaimana seharusnya menjadi muslim itu. Aku masih perlu banyak belajar memperbaiki

diri. Tidak ada yang sulit, selagi masih menyandarkan diri pada-Nya. Jalan Allah selalu lurus,

istiqomahlah dalam berdoa dan berusaha. Hingga kamu yakin, betapa menyesalnya dirimu

jika sekali saja melanggar aturan yang sudah ditetapkan

Page 4: DocumentD3

Bismillah Lillah #YukHijrah