culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal malaysia di medan.doc
DESCRIPTION
Penelitian oleh EMMA VIOLITA PINEMUNIVERSITAS SUMATERA UTARATRANSCRIPT
CULTURE SHOCK DALAM INTERAKSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA MAHASISWA ASAL MALAYSIA DI MEDAN
(Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Diajukan Oleh:
EMMA VIOLITA PINEM
070904064
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
ABSTRAKSI
Penelitian ini berjudul Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia di Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Malaysia di Universitas Sumatera Utara, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang masih aktif kuliah dan sudah menetap di Medan selama kurang lebih dua tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa asal Malaysia di Universitas Sumatera Utara memiliki kecenderungan culture shock tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa menyesuaikan diri, namun untuk beberapa informan masih mengalami beberapa masalah adaptasi seperti merasa diperlakukan berbeda dalam berinteraksi dengan penduduk lokal, tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan masih kurang nyaman dengan perbedaan budaya yang ada. Dalam hal terpaan dan upaya mengatasinya dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, asal fakultas dan lama menetap. Perempuan lebih tinggi culture shocknya dan cenderung lebih lambat dalam beradaptasi, sedangkan laki-laki lebih ringan terpaan culture shock dan lebih cepat dalam beradaptasi. Mahasiswa di Fakultas Kedokteran cenderung lebih berkelompok dan tidak akrab dengan mahasiswa Indonesia, sedangkan di Fakultas Kedokteran Gigi, mahasiswa Malaysia lebih berbaur dengan mahasiswa Indonesia, meskipun ada yang juga masih sering berkumpul dengan sesamanya, tetapi kedekatan dan intensitas interaksi dengan mahasiswa Indonesia baik untuk urusan kampus atau di luar kampus lebih sering terjadi pada mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran Gigi. Ini mempengaruhi proses adaptasi mereka. Selain itu, faktor lama menetap juga turut mempengaruhi. Mahasiswa yang lebih lama menetap di Medan memiliki penyesuaian yang lebih menyeluruh.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUANLEMBAR PENGESAHANABSTRAKSI .......................................................................................... iKATA PENGANTAR ........................................................................... iiDAFTAR ISI .......................................................................................... viDAFTAR TABEL ................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah ................................................... 1I.2 Perumusan Masalah .......................................................... 5I.3 Pembatasan Masalah ......................................................... 6I.4 Tujuan Penelitian .............................................................. 7I.5 Manfaat Penelitian ............................................................ 7I.6 Kerangka Teori ................................................................. 8I.7 Kerangka Konsep ............................................................. 16I.8 Operasionalisasi Konsep ................................................... 16I.9 Definisi Operasional ......................................................... 18
BAB II URAIAN TEORITIS
II.1 Komunikasi Antarbudaya ................................................. 20II.1.1) Sejarah Komunikasi Antarbudaya ........................ 20II.1.2) Definisi Komunikasi Antarbudaya ....................... 22II.1.3) Efektivitas Komunikasi Antarbudaya ................... 24
II.2 Bahasa Verbal dan Bahasa Non Verbal ............................ 28II.2.1) Bahasa Verbal ....................................................... 28II.2.2) Bahasa Non Verbal................................................ 29II.2.3) Bahasa Verbal dan Non Verbal dalam Proses Komunikasi Antarbudaya ................................................. 31
II.3 Akulturasi .......................................................................... 33II.3.1) Definisi Akulturasi ................................................ 33II.3.2) Komunikasi dan Akulturasi ................................... 33II.3.3) Variabel-variabel Komunikasi ............................... 36II.3.4) Culture Shock ......................................................... 38
II.4 Teori Interaksionisme Simbolik ........................................ 42II.4.1) Definisi Teori Interaksionisme Simbolik ............... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ............................................... 46III.1.1) Universitas Sumatera Utara ................................... 46III.1.2) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.. 49III.1.3) Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara ...................................................... 53
III.2 Metodologi Penelitian ...................................................... 58III.2.1) Metode Kualitatif ................................................. 58III.2.2) Studi Kasus .......................................................... 59III.2.3) Lokasi Penelitian .................................................. 62III.2.4) Subjek Penelitian .................................................. 63III.2.5) Teknik Pengumpulan Data ................................... 65III.2.6) Teknik Analisis Data ............................................ 66
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Pengamatan dan Wawancara ................................. 68IV.2 Pembahasan ...................................................................... 136
BAB V PENUTUP
V.1 Kesimpulan ...................................................................... 149V.2 Saran ................................................................................ 151
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 153
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Konsep Operasional dan Operasionalisasi Konsep ............. 17
2 Jumlah Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas
Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU ............... 64
3 Data Mahasiswa Asal Malaysia yang Menjadi Informan ... 71
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Komunikasi layaknya nafas kehidupan manusia. Kodratnya sebagai
makhluk sosial membuatnya senantiasa berinteraksi demi pemenuhan kebutuhan
dan keberlangsungan hidup. Komunikasi juga menjadi aspek yang paling penting
dan sangat mendasar dalam proses belajar manusia. Manusia dibesarkan, diasuh
dan berkembang di suatu lingkungan dengan pola-pola budaya setempat, sehingga
akhirnya manusia itu menjadi produk dari budaya tersebut. Pada dasarnya
seseorang itu adalah gambaran dari budayanya, dimana budaya dirumuskan
sebagai seperangkat aturan yang terorganisasikan mengenai cara-cara bagaimana
individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan bagaimana
cara mereka berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka. Pola-pola
budaya ini pada gilirannya juga akan merefleksikan elemen-elemen yang sama
dalam perilaku komunikasi individual yang dilakukan mereka yang lahir dan
diasuh dalam budaya tersebut.
Manusia selama hidupnya mengalami proses sosialisasi dan pendidikan,
dalam proses itu individu senantiasa memperoleh aturan-aturan (budaya)
komunikasi, hingga akhirnya pola-pola budaya tersebut ditanamkan ke dalam
sistem saraf dan menjadi kepribadian dan perilaku individu tersebut. Proses
memperoleh pola-pola demikian oleh individu disebut dengan enkulturasi.
Melalui proses enkulturasi, pola budaya diinternalisasikan dan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari individu tersebut. Hasil internalisasi ini
membuat individu mudah berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya
yang juga memiliki pola-pola budaya yang serupa. Lalu apa yang akan terjadi bila
seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu memasuki
suatu budaya lain? Segala bentuk lambang-lambang verbal dan non verbal dan
aturan-aturan yang telah dipelajari individu dalam lingkungan budayanya
mungkin akan lenyap dan tidak berfungsi lagi dalam lingkungan budaya baru
yang ia masuki.
Individu/kelompok yang memasuki budaya baru akan mengalami proses
enkulturasi yang kedua, yang disebut dengan proses akulturasi. Akulturasi
merupakan suatu proses menyesuaikan diri dengan budaya baru, dimana sesuatu
nilai masuk ke dalam diri individu tanpa meninggalkan identitas budaya yang
lama (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139).
Mayoritas individu tinggal dalam lingkungan yang familiar, tempat
dimana individu tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui di
lingkungan individu pada saat bekerja, sekolah ataupun bermain cenderung
memiliki kesamaan dalam hal latar belakang etnik, kepercayaan atau agama, nilai,
bahasa atau setidaknya memiliki dialek yang sama. Ketika manusia memasuki
suatu dunia baru dengan segala sesuatu yang terasa asing, maka berbagai
kecemasan dan ketidaknyamanan pun akan terjadi. Salah satu kecemasan yang
terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi. Sangat wajar apabila
seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan
bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada di
sekelilingnya. Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain serta
merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, maka
keadaan ini disebut gegar budaya atau culture shock. Culture shock didefinisikan
sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda
dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau
petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam
mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-sehari (Mulyana
dan Rakhmat, 2005: 174).
Manusia dalam hidupnya pasti akan menghadapi peristiwa kebudayaan
dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda yang turut dibawa serta dalam
melangsungkan komunikasi. Individu yang memasuki lingkungan baru berarti
melakukan kontak antarbudaya. Individu tersebut juga akan berhadapan dengan
orang-orang dalam lingkungan baru yang ia kunjungi, maka komunikasi
antarbudaya menjadi tidak terelakkan. Usaha untuk menjalin komunikasi
antarbudaya dalam praktiknya bukanlah persoalan yang sederhana. Kita harus
menyandi pesan dan menyandi balik pesan dengan cara tertentu sehingga pesan-
pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspon oleh individu-individu yang
berinteraksi dengan kita.
Mahasiswa asal Malaysia adalah contoh dari kasus memasuki suatu
lingkungan budaya baru. Mereka meninggalkan negara asalnya untuk suatu
tujuan, yakni menuntut pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Dengan latar
belakang budaya yang sudah melekat pada diri mereka, termasuk tata cara
komunikasi yang telah terekam secara baik di saraf individu dan tak terpisahkan
dari pribadi individu tersebut, kemudian diharuskan memasuki suatu lingkungan
baru dengan variasi latar belakang budaya yang tentunya jauh berbeda membuat
mereka menjadi orang asing di lingkungan itu. Dalam kondisi seperti ini, maka
akan terjadi culture shock. Meskipun Indonesia dan Malaysia berada dalam satu
rumpun, tetapi perlu dipahami bahwa perbedaan-perbedaan budaya itu pasti ada.
Hal ini dapat dilihat dari seringnya konflik yang terjadi di antara kedua negara.
Kondisi ini membuktikan bahwa kesatuan itu seutuhnya belum ada. Peneliti juga
mengamati kondisi mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran USU, khususnya
yang masih tampak berkelompok. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, mengapa
hal ini terjadi? Apakah untuk menanggulangi keterkejutan budaya yang mereka
alami? Hal itu pula yang akan peneliti cari tahu melalui penelitian ini.
Peneliti memilih USU karena USU merupakan universitas di Kota Medan
dengan jumlah mahasiswa asal Malaysia terbanyak. Mahasiswa Malaysia ini
secara mayoritas tersebar di dua fakultas, yakni Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Kedokteran Gigi. Hal ini dikarenakan Kementerian Pendidikan Tinggi di
Malaysia baru hanya mengakui dua program studi ini dari 50 program studi yang
dimiliki USU, menyusul untuk program studi lainnya, seperti Psikologi dan
Farmasi yang tinggal meminta persetujuan Kementerian Pendidikan Tinggi di
Malaysia. ( http://www.antarasumut.com/pendidikan/usu-terima-40-mahasiswa-
baru-asal-malaysia/ ) . Peneliti ingin melihat bagaimana culture shock yang mereka
alami ketika memasuki lingkungan baru dan upaya dalam mengatasinya.
Perbedaan antara budaya yang dikenal individu dengan budaya asing dapat
menyebabkan individu sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru,
demikian halnya dengan mahasiswa asal Malaysia ini. Bagaimana fenomena yang
akan mereka alami ketika keluar dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi
ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang berbeda dengan mereka
serta bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk mengatasi culture shock yang
dirasakan menuju suatu adaptasi yang baik dan komunikasi antarbudaya yang
efektif. Banyak hal yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri, seperti
variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi, yakni faktor personal
(intrapersona), seperti karakteristik personal, motivasi individu, pengetahuan
individu dan pengalaman sebelumnya, selain itu juga dipengaruhi oleh
keterampilan (kecakapan) komunikasi individu dalam komunikasi sosial
(antarpersonal) serta suasana lingkungan komunikasi budaya baru tersebut
(Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).
Manusia yang memasuki suatu lingkungan baru mungkin akan
menghadapi banyak hal yang berbeda seperti cara berpakaian, cuaca, makanan,
bahasa, orang-orang, sekolah dan nilai-nilai yang berbeda. Tetapi ternyata budaya
tidak hanya meliputi cara berpakaian maupun bahasa yang digunakan, namun
budaya juga meliputi etika, nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria
wanita, konsep kebersihan, gaya belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban
lalulintas, kebiasaan dan sebagainya (Mulyana, 2005: 97). Namun dalam
penelitian ini, peneliti membatasi culture shock dalam interaksi komunikasi
antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di Medan, dalam hal ini mahasiswa
asal Malaysia yang belajar di USU.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti
tertarik untuk meneliti mengenai “Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi
Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia di Medan”.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
a. “Bagaimana bentuk culture shock yang dialami dalam interaksi
komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di USU?”
b. “Bagaimana upaya yang dilakukan mahasiswa asal Malaysia dalam
mengatasi culture shock yang dialami?”
I.3 Pembatasan Masalah
Agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih jelas, terarah dan tidak terlalu
luas maka dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Penelitian bersifat studi kasus, yakni peneliti akan mengkaji secara
mendalam culture shock yang dialami mahasiswa asal Malaysia di
USU dan upaya mengatasinya.
2. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia di Fakultas
Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU, karena mayoritas
mahasiswa asal Malaysia di USU menempuh pendidikan di dua
fakultas ini. Subjek penelitian juga dibatasi pada mahasiswa asal
Malaysia yang telah tinggal di Medan selama kurang lebih dua tahun.
Pembatasan ini dibuat agar bukan hanya gambaran culture shock saja
yang dapat dilihat tetapi juga upaya dalam mengatasinya.
3. Analisis culture shock yang diteliti hanya dalam sorotan interaksi
komunikasi antarbudaya.
I.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock yang
dialami mahasiswa asal Malaysia di USU.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reaksi culture shock
pada mahasiswa asal Malaysia di USU.
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan
dalam mengatasi culture shock pada mahasiswa asal Malaysia di
USU demi penyesuaian dengan lingkungan baru.
I.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan
memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antarbudaya,
khususnya culture shock.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan
memperkaya khasanah mengenai culture shock dan penelitian
kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi, mengingat sangat sedikit
penelitian yang meneliti mengenai culture shock di departemen Ilmu
Komunikasi USU.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
referensi bersama dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya
yang terjadi di sekitar kita dan masukan dan pembelajaran bagi
mahasiswa yang mengalami culture shock sebagai reaksi memasuki
budaya baru.
I.6 Kerangka Teori
Menurut Nawawi (1995: 41) sebelum melakukan sebuah penelitian lebih
lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan
berpikir untuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang
telah dipilih.
Adapun kerangka teori yang relevan dengan penelitian ini adalah Teori
Komunikasi Antarbudaya, Bahasa Verbal dan Nonverbal, Akulturasi dan Teori
Interaksionisme Simbolik.
I.6.1) Komunikasi Antarbudaya
Menurut Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2004: 10), komunikasi
antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar
belakang kebudayaannya berbeda. Sedangkan menurut Charley H. Dood,
komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta
komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan
pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku
komunikasi para peserta.
Komunikasi antarbudaya lebih menekankan aspek utama yakni
antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda.
Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud adalah
dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau non verbal secara
langsung. Apabila kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke
dalamnya, maka kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya. Maka seringkali
dikatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi
dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya.
Dalam keadaan demikian, kita dihadapkan dengan masalah-masalah yang ada
dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus
disandi balik dalam budaya lain.
Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung
jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki
setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua
orang yang berbeda budaya akan pula berbeda yang dapat menimbulkan berbagai
macam kesulitan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19).
Menurut Kim (dalam Rahardjo, 2005: 53), asumsi yang mendasari batasan
tentang komunikasi antarbudaya di atas adalah bahwa individu-individu yang
memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau
homogenitas dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada
orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Perbedaan-perbedaan kultural
bersama-sama dengan perbedaan lain dalam diri orang (seperti kepribadian
individu, umur dan penampilan fisik) memberi kontribusi kepada sifat
problematik yang melekat dalam proses komunikasi antarmanusia. Studi ini juga
memberi penekanan kepada perbedaan-perbedaan kultural yang sesungguhnya
maupun perbedaan-perbedaan kultural yang dipersepsikan antara pihak-pihak
yang berkomunikasi, maka komunikasi antarbudaya menjadi sebuah perluasan
bagi studi komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi dan kawasan-kawasan
studi komunikasi antarmanusia lainnya.
Berdasarkan pemikiran itu, maka komunikasi antarbudaya merujuk pada
fenomena komunikasi dimana para partisipan yang berbeda dalam latar belakang
kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung.
Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang
terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural dari partisipan bukan merupakan
fokus studi. Titik perhatian dari komunikasi antarbudaya adalah proses
komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok
(Rahardjo, 2005: 54).
Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi
dan fungsi sosial. Fungsi pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas
sosial, fungsi integrasi sosial, menambah pengetahuan (kognitif) dan fungsi
melepaskan diri/jalan keluar. Sedangkan fungsi sosial meliputi fungsi
pengawasan, fungsi menjembatani/menghubungkan, fungsi sosialisasi dan fungsi
menghibur (Liliweri, 2004: 35).
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat beberapa masalah potensial, yaitu
pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian,
stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock
(Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316). Masalah-masalah tersebut yang
sering sekali membuat aktivitas komunikasi antarbudaya tidak berjalan efektif.
Schramm mengemukakan komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus
memperhatikan empat syarat, yaitu:
1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia2. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan
sebagaimana yang kita kehendaki3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari
cara kita bertindak4. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi
hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)
Sedangkan menurut De Vito, efektivitas komunikasi antarbudaya ditentukan oleh
sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) merasa
positif; (4) memberi dukungan, dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan
yang sama dalam komunikasi antarbudaya atau antaretnik (Liliweri, 2001: 172).
I.6.2) Bahasa Verbal dan Nonverbal
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan
satu kata atau lebih. Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk
mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan dipahami suatu
komunitas. Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara
dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan
pengembangan makna bagi kata-kata yang kita gunakan.
Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap muka adalah
nonverbal. Ini menunjukkan bahasa nonverbal sangat penting dalam suatu
aktivitas komunikasi. Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk
pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh
proses-proses nonverbal. Fungsi-fungsi bahasa nonverbal antara lain: Repetisi,
Komplemen, Substitusi, Regulasi dan Kontradiksi (Mulyana, 2005: 316).
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori
besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan
dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan
parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam.
Bahasa verbal dan nonverbal tidak dapat terpisahkan dengan konteks
budaya. Penggunaan dan gaya bahasa mencerminkan kepribadian budaya
seseorang, demikian juga dengan komunikasi nonverbal sering kali menunjukkan
ciri-ciri budaya dasar (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 168 dan 201).
I.6.3) Akulturasi
Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses
pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan
percampuran unsur-unsur tersebut, namun perbedaan di antara unsur-unsur asing
dengan yang asli masih tampak. Akulturasi merupakan suatu proses dimana
imigran menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi. Proses
komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi
melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang
signifikan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139).
Proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan
berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang
imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Komunikasi berperan
penting dalam proses akulturasi. Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi,
antara lain: komunikasi persona; yang meliputi karakteristik personal, motivasi
individu, pengetahuan individu tentang budaya baru, pengalaman sebelumnya;
komunikasi sosial yang meliputi komunikasi antarpersonal (verbal dan
nonverbal); serta lingkungan komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 140).
Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-individu
yang berinteraksi dalam pertemuan-pertemuan kultur tersebut. Fenomena ini
diistilahkan dengan kejutan budaya (culture shock). Culture shock didefinisikan
sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua
lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial (Samovar, Porter dan
Mc. Daniel, 2007: 335).
Pembahasan tentang masalah culture shock juga perlu memahami tentang
perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang
memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada perbedaan antara
pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal
tetap, misalnya di suatu negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh Bochner
(dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap
pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun
berbeda.
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan
individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang
mungkin terjadi, antara lain:
1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. 2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama
6. rindu pada teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh
8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan
perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan
bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Keempat
tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve
(dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 336).
1. Fase Optimistik (Optimistic Phase), fase ini berisi kegembiraan, rasa
penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum
memasuki budaya baru.
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah
dengan lingkungan baru mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai
dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam
culture shock.
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai
mengerti mengenai budaya barunya.
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana orang telah
mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, khusus, keyakinan
dan pola komunikasi).
I.6.4) Teori Interaksionisme Simbolik
Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung
perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif
interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang
pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman
tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami.
Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif
seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek,
peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).
Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan
sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang
bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan
atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif,
reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.
Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan
interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas
yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang
diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia
dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia
harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan
mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang
menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain,
situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia.
(Mulyana, 2001: 68).
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya
adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas,
interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama,
individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk
objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang terdapat dalam komponen-
komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk
interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan
dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan
individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan situasi
yang ditemukan dalam interaksi sosial.
I.7 Kerangka Konsep
Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang
dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin,
2005: 73). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
- Culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya
I.8 Operasionalisasi Konsep
Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka agar
konsep operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam
penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:
Tabel 1Konsep Operasional dan Operasionalisasi Konsep
Konsep Operasional Operasionalisasi KonsepCulture shock A. Faktor-faktor yang mempengaruhi
culture shock sesuai dengan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi :1. Komunikasi Persona/faktor
intrapersonal, meliputi:a. Karakteristik personalb. Motivasi individuc. Pengetahuan individud. Pengalaman sebelumnya
2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona baik verbal maupun non verbal.
3. Lingkungan komunikasiB. Tingkatan culture shock:
1. Fase Optimistik (Optimistic Phase)2. Fase Masalah Kultural (Cultural
Problems)3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase)4. Fase Penyesuaian (Adjustment
Phase)
Karakteristik Informan 1. Usia2. Jenis Kelamin3. Asal Fakultas4. Lama menetap
I.9 Definisi Operasional
A. Faktor-faktor yang mempengaruhi culture shock:
1. Komunikasi Persona/Faktor intrapersonal:
a. Karakteristik personal, watak dan kepribadian mahasiswa asal
Malaysia.
b. Motivasi individu, kehendak, kemauan, kebutuhan dan dorongan
mahasiswa asal Malaysia untuk belajar tentang dan berpartisipasi
serta terlibat komunikasi antarbudaya dengan orang-orang Medan.
c. Pengetahuan individu, pengetahuan (kemampuan kognitif) tentang
budaya dan pola-pola dan aturan sistem komunikasi budaya baru,
yaitu Medan.
d. Pengalaman sebelumnya, ada tidaknya pengalaman terdahulu dari
mahasiswa asal Malaysia tentang Medan.
2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona mahasiswa asal
Malaysia dengan orang-orang Medan.
3. Lingkungan, suasana lingkungan kota Medan, khususnya USU.
B. Tingkatan culture shock:
1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase berisi kegembiraan, rasa
penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum
memasuki budaya baru. Dalam penelitian ini, fase optimistik adalah
fase dimana mahasiswa asal Malaysia di USU merasa sangat antusias
akan memasuki budaya baru.
2. Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah
dengan lingkungan baru mulai berkembang. Mahasiswa asal Malaysia
mengalami gegar budaya ketika memasuki lingkungan baru.
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai
mengerti mengenai budaya barunya. Mahasiswa asal Malaysia mulai
mengenal budaya baru yang dimasukinya.
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana
mahasiswa asal Malaysia telah mengerti elemen kunci dari budaya
barunya.
Karakteristik Informan:
1. Usia: umur dari informan
1. Jenis kelamin: laki laki atau perempuan
2. Asal fakultas: Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi
3. Lama menetap: lama informan menetap di Medan.
BAB II
URAIAN TEORITIS
II.1 Komunikasi Antarbudaya
II.1.1) Sejarah Komunikasi Antarbudaya
Tema tentang komunikasi bukanlah suatu hal baru, namun akan menjadi
lebih menarik setelah dihubungkan dengan konsep “antarbudaya”. Istilah
“antarbudaya” pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T.
Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Hakikat perbedaan
antarbudaya dalam proses komunikasi dijelaskan satu tahun setelahnya, oleh
David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction
to theory and practice). Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses
komunikasi. Menurutnya, komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan
faktor-faktor SMCR, yaitu: source, messages, channel, receiver (Liliweri, 2001:
1).
Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo
berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk
melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat
penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami makna-
makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari
kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001: 2).
Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada
tahun 1970-1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk
membahas komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication
Association, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi
Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat. “Annual”
tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit pertama
kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural
Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi
antarbudaya dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun
1977.
Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark
menerbitkan sebuah buku yang khusus membicarakan komunikasi antarbudaya,
yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak saat itu banyak ahli
mulai melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya. Selanjutnya, 1983 lahir
International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap
volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang
komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang “Teori Komunikasi
Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst. Edisi lain tentang
komunikasi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis pula oleh
Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh
Kim tahun 1986, adaptasi lintasbudaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988,
dan terakhir komunikasi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny
tahun 1988 (Liliweri, 2001: 3).
II.1.2) Definisi Komunikasi Antarbudaya
Ada dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antarbudaya
(interculture communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi.
Hubungan antara keduanya sangat kompleks. Budaya mempengaruhi komunikasi
dan pada gilirannya komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara
realitas budaya dari sebuah komunitas/kelompok budaya (Martin dan Thomas,
2007: 92). Dengan kata lain, komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang
yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Budaya tidak
hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana
komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang
menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk
mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh
perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia
tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi.
Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik
komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 20).
Dengan memahami kedua konsep utama itu, maka studi komunikasi
antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek
kebudayaan terhadap komunikasi. Adapun beberapa definisi komunikasi
antarbudaya, sebagai berikut:
1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antarsuku bangsa, antaretnik dan ras, antarkelas sosial.
2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.
3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.
4. Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok (Liliweri, 2004: 10-11).
Young Yun Kim mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, hal
yang terpenting dari komunikasi antarbudaya yang membedakannya dari kajian
keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang
pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi (the communications) karena
adanya perbedaan-perbedaan kultural. Dalam perkembangannya, komunikasi
antarbudaya dipahami sebagai proses transaksional, proses simbolik yang
melibatkan atribusi makna antara individu-individu dari budaya yang berbeda.
Sedangkan Tim-Toomey menjelaskan komunikasi antarbudaya sebagai proses
pertukaran simbolik dimana individu-individu dari dua (atau lebih) komunitas
kultural yang berbeda menegosiasikan makna yang dipertukarkan dalam sebuah
interaksi yang interaktif.
Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi
antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama
pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan
latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang
berbeda (Rahardjo, 2005: 53).
Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya, maka ada
beberapa asumsi, yaitu:
1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan
2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat
ketidakpastian5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya
(Liliweri, 2004: 15)
II.1.3) Efektivitas Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana para
partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama
lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya
mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-
perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka karakteristik-
karakteristik kultural dari para partisipan bukan merupakan fokus studi dari
komunikasi antarbudaya, melainkan proses komunikasi antara individu dengan
individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54).
Sebagaimana sebuah aktivitas komunikasi yang efektif apabila terdapat
persamaan makna pesan antara komunikator dan komunikan, demikian halnya
dengan komunikasi antarbudaya. Tetapi hal ini menjadi lebih sulit mengingat
adanya unsur perbedaan kebudayaan antara pelaku-pelaku komunikasinya. Itulah
sebabnya, usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam praktiknya
bukanlah merupakan suatu persoalan yang sederhana. Terdapat banyak masalah-
masalah potensial yang sering terjadi di dalamnya, seperti pencarian kesamaan,
penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka,
rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc.
Daniel, 2007: 316). Sedangkan Lewis dan Slade menguraikan tiga kawasan yang
paling problematik dalam lingkup pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa,
perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural. Kendala bahasa merupakan
sesuatu yang tampak, namun hambatan tersebut lebih mudah untuk ditanggulangi,
karena bahasa dapat dipelajari, sedangkan dua hambatan lainnya, yaitu perbedaan
nilai dan perbedaan pola-pola perilaku kultural terasa lebih sulit untuk
ditanggulangi. Menurut Lewis dan Slade, perbedaan nilai merupakan hambatan
yang serius terhadap munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua orang
yang berasal dari kultur yang berbeda melakukan interaksi, maka perbedaan-
perbedaan tersebut akan menghalangi pencapaian kesepakatan yang rasional
tentang isu-isu penting. Mengenai kesalahpahaman antarkultural dikarenakan
perbedaan pola-pola perilaku kultural lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan
masing-masing kelompok budaya untuk memberi apresiasi terhadap kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya tersebut.
Usaha untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif, di samping
dihadapkan pada ketiga hal tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor
penghambat, yaitu etnosentrisme, stereotip dan prasangka. Etnosentrisme
merupakan tingkatan dimana individu-individu menilai budaya orang lain sebagai
inferior terhadap budaya mereka. Prasangka merupakan sikap yang kaku terhadap
suatu kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru,
juga dapat dipahami sebagai penilaian yang tidak didasari oleh pengetahuan dan
pengujian terhadap informasi yang tersedia. Sedangkan stereotip merupakan
generalisasi tentang beberapa kelompok orang yang sangat menyederhanakan
realitas (Rahardjo, 2005: 54-56).
Sarbaugh mengemukakan tiga prinsip penting dalam komunikasi
antarbudaya. Pertama, suatu sistem sandi bersama yang tentu saja terdiri dari dua
aspek (verbal dan non verbal). Tanpa suatu sistem bersama, komunikasi akan
menjadi tidak mungkin. Terdapat berbagai tingkat perbedaan, namun semakin
sedikit persamaan sandi itu, semakin sedikit komunikasi yang mungkin terjadi.
Kedua, kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara pihak-pihak yang
berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk
memberikan respons. Sebenarnya kepercayaan-kepercayaan dan perilaku-perilaku
kita mempengaruhi persepsi kita tentang apa yang dilakukan orang lain. Maka dua
orang yang berbeda budaya dapat dengan mudah memberi makna yang berbeda
kepada perilaku yang sama. Bila ini terjadi, kedua orang itu berperilaku secara
berbeda tanpa dapat meramalkan respon pihak lainnya, padahal kemampuan
meramalkan ini merupakan bagian integral dari kemampuan berkomunikasi secara
efektif. Ketiga, tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang
lain. Cara kita menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan
menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan
keefektifan komunikasi yang akan terjadi (Tubbs dan Moss, 2005: 240).
Komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif menurut Schramm
harus memperhatikan empat syarat, yaitu:
5. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia6. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan
sebagaimana yang kita kehendaki7. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari
cara kita bertindak8. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi
hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)
Sedangkan De Vito mengemukakan konsepnya tentang efektivitas komunikasi
sangat ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan;
(2) empati; (3) merasa positif; (4) memberi dukungan; dan (5) merasa seimbang;
terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya.
Sikap keterbukaan yang dimaksud De Vito, meliputi: (1) sikap seseorang
komunikator yang membuka semua informasi tentang pribadinya kepada
komunikan, sebaliknya menerima semua informasi yang relevan tentang dan dari
komunikan dalam rangka interaksi antarpribadi; (2) kemauan seseorang sebagai
komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap pesan yang datang dari
komunikan; dan (3) memikirkan dan merasakan bahwa apa yang dinyatakan
seorang komunikator merupakan tanggung jawabnya terhadap komunikan dalam
suasana situasi tertentu. Selanjutnya, perasaan empati ialah kemampuan seorang
komunikator untuk menerima dan memahami orang lain seperti ia menerima
dirinya sendiri; jadi ia berpikir, merasa, berbuat terhadap orang lain sebagaimana
ia berpikir, merasa dan berbuat terhadap dirinya sendiri. Perasaan positif ialah
perasaan seorang komunikator bahwa pribadinya, komunikannya, serta situasi
yang melibatkan keduanya sangat mendukung. Memberi dukungan ialah suatu
situasi kondisi yang dialami komunikator dan komunikan terbebas atmosfir
ancaman, tidak dikritik dan ditantang. Memelihara keseimbangan ialah suatu
suasana yang adil antara komunikator dan komunikan dalam hal kesempatan yang
sama untuk berpikir, merasa dan bertindak (Liliweri, 2001: 171-174).
Pihak-pihak yang melakukan komunikasi antarbudaya harus mempunyai
keinginan yang jujur dan tulus untuk berkomunikasi dan mengharapkan
pengertian timbal balik. Asumsi ini memerlukan sikap-sikap yang positif dari para
pelaku komunikasi antarbudaya dan penghilangan hubungan-hubungan superior-
inferior yang berdasarkan keanggotaan dalam budaya-budaya, ras-ras atau
kelompok-kelompok etnik tertentu (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 37).
Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan sikap
orang lain bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia. Berbagai pengalaman
atas kekeliruan dalam komunikasi antarbudaya sering membuat manusia makin
berusaha mengubah kebiasaan berkomunikasi, paling tidak melalui pemahaman
terhadap latar belakang budaya orang lain. Banyak masalah komunikasi
antarbudaya seringkali timbul hanya karena orang kurang menyadari dan tidak
mampu mengusahakan cara efektif dalam berkomunikasi antarbudaya (Liliweri,
2004: 254). Selain itu, seperti yang telah disebutkan Sarbaugh, bahwa dengan
penggunaan sistem sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam
kepercayaan dan perilaku, dan pemupukan sikap toleran terhadap kepercayaan
dan perilaku orang lain, semuanya itu membantu terciptanya komunikasi yang
efektif (Tubbs dan Moss, 2005: 242).
II.2 Bahasa Verbal dan Non Verbal
II.2.1) Bahasa Verbal
Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk berkomunikasi
dalam kehidupan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol
yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang
kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha
yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan.
Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa verbal
adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud yang ingin
disampaikan. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan
berbagai aspek realitas individual kita.
Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan,
niat dan keinginan kepada orang lain. Kita belajar tentang orang-orang melalui
apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka mengatakannya, kita belajar
tentang diri kita melalui cara-cara orang lain bereaksi terhadap apa yang kita
katakan dan kita belajar tentang hubungan kita dengan orang lain melalui take and
give dalam interaksi yang komunikatif (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007:
164).
Menurut Ray L. Birdwhistell, porsi komunikasi verbal dalam komunikasi
tatap muka manusia hanyalah 35%. Keadaan ini banyak tidak disadari oleh
manusia itu sendiri, bahwa bahasa itu terbatas. Keterbatasan bahasa tersebut,
menurut Deddy Mulyana, antara lain keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk
mewakili objek, kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual, kata-kata mengandung
bias budaya dan pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian (Mulyana,
2005: 245-254).
II.2.2) Bahasa Nonverbal
Manusia dipersepsikan tidak hanya melalui bahasa verbalnya, bagaimana
bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya),
namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Lewat perilaku nonverbalnya, kita
dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia,
bingung atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan pada
perilaku nonverbalnya yang mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh.
Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata.
Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa
komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus
menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui
simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu
tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal.
Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin menjalin dalam
suatu aktivitas komunikasi tatap muka. Keduanya dapat berlangsung spontan dan
serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal
mempunyai fungsi-fungsi berikut:
1. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal2. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteguh atau melengkapi
perilaku verbal.3. Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal.4. Fungsi Regulasi; perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.5. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal dapat membantah atau
bertentangan dengan perilaku verbal (Mulyana, 2005: 314).
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori
besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan
dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan
parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam (Samovar, Porter dan Mc. Daniel
2007: 168)
II.2.3) Bahasa Verbal dan Nonverbal dalam Proses Komunikasi
Antarbudaya
Pada dasarnya, bahasa verbal dan nonverbal tidak terlepas dari konteks
budaya. Tidak mungkin bahasa terpisah dari budaya. Dalam arti yang paling
dasar, Rubin mengatakan, bahasa adalah satu set karakter atau elemen dan aturan
yang digunakan dalam hubungan satu sama lain. Karakter atau elemen tersebut
adalah simbol bahasa yang beragam secara budaya, mereka berbeda satu dengan
yang lain. Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol-simbol yang berbeda,
namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol dan suara-suara tersebut.
Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada bahasa karena budaya tidak
hanya mengajarkan simbol dan aturan untuk menggunakannya, tetapi yang lebih
penting adalah makna yang terkait dengan simbol tersebut.
Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi
dan interpretasi orang-orang yang berbeda yang menganut latarbelakang sosial-
budaya yang berbeda pula. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan untuk
memaknai kata-kata tersebut. Kata-kata adalah abstraksi realitas yang tidak
mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang
diwakilkan dari kata-kata itu. Bila budaya disertakan sebagai variabel dalam
proses abstraksi tersebut, masalahnya menjadi semakin rumit. Ketika
berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama, proses abstraksi untuk
merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya
orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun, bila komunikasi
melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda dan
konsekuensinya proses abstraksi juga menyulitkan (Samovar, Porter dan Mc.
Daniel, 2007: 169-170).
Sebagaimana bahasa verbal yang tidak terlepas dari budaya, begitu pula
dengan bahasa nonverbal. Perilaku nonverbal seseorang adalah akar budaya
seseorang tersebut. Oleh karena itu, posisi komunikasi nonverbal memainkan
bagian yang penting dan sangat dibutuhkan dalam interaksi komunikatif di antara
orang dari budaya yang berbeda.
Hubungan antara komunikasi verbal dengan kebudayaan jelas adanya,
apabila diingat bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan pengertian-
pengertian yang harus dimiliki bersama. Dilihat dari ini, dapat dimengerti
mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kultural. Sebagaimana aspek
verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan,
yaitu: kebudayaan menentukan perilaku-perilaku nonverbal yang mewakili atau
melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator dan
kebudayaan menentukan kapan waktu yang tepat atau layak untuk
mengkomunikasikan pemikiran, perassan, keadaan internal. Jadi, walaupun
perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal,
tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh
siapa dan dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan (Samovar, Porter dan Mc.
Daniel, 2007: 201).
II.3 Akulturasi
II.3.1) Definisi Akulturasi
Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah konsep
mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing
dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1990: 248). Di dalam ilmu
sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur
kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut
namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak.
II.3.2) Komunikasi dan Akulturasi
Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya
lewat belajar. Apa yang kita pelajari pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan-
kekuatan sosial dan budaya. Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi
merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar. Kita belajar banyak hal
lewat respon-respon komunikasi terhadap rangsangan dari lingkungan. Kita harus
menyandi dan menyandi balik pesan-pesan sehingga pesan-pesan tersebut akan
dikenali, diterima dan direspons oleh individu-individu yang berinteraksi dengan
kita. Kegiatan-kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan
lingkungan fisik dan sosial kita (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137)
Budaya sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon
komunikatif terhadap rangsangan dari lingkungan. Pola-pola budaya ini pada
gilirannya merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi
individual yang lahir dan diasuh dalam budaya itu. Budaya sebagai seperangkat
aturan yang terorganisasi mengenai cara-cara dimana individu-individu dalam
masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan cara bagaimana mereka
berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka.
Proses individu-individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi
dimulai pada masa awal kehidupan manusia tersebut. Melalui proses sosialisasi
dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi
bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses belajar yang terinternalisasikan
ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya
lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh
pola-pola demikian oleh individu-individu itu disebut enkulturasi (Mulyana dan
Rakhmat, 2005: 138). Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang yang lahir dan
terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu memasuki suatu budaya lain?
Banyaknya tata cara komunikasi yang telah diperoleh individu sejak masa
kanak-kanak mungkin tidak berfungsi lagi dalam lingkungan barunya. Transaksi-
transaksi dalam kehidupan sehari-hari saja membutuhkan kemampuan
berkomunikasi yang menggunakan lambang-lambang dan aturan-aturan yang ada
dalam sistem komunikasi masyarakat pribumi yang menjadi lingkungan barunya.
Tidaklah mudah memahami perilaku-perilaku kehidupan yang sering tidak
diharapkan dan tidak diketahui. Sebagai seorang anggota baru dalam budaya
pribumi, imigran harus menghadapi banyak aspek kehidupan yang asing. Asumsi-
asumsi budaya yang tersembunyi dan respon-respon yang telah terkondisikan
menyebabkan banyak kesulitan kognitif, afektif dan perilaku dalam penyesuaian
diri dengan budaya baru. Schultz mengatakan bahwa bagi orang asing, pola
budaya kelompok yang dimasukinya bukanlah merupakan tempat berteduh tetapi
merupakan suatu arena petualangan, bukan merupakan hal yang lazim tetapi suatu
topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-
situasi problematik tetapi merupakan suatu situasi problematik tersendiri yang
sulit dikuasai. Meskipun demikian, hubungan antara budaya dan individu, seperti
yang terlihat dalam proses enkulturasi, mampu membangkitkan kemampuan
manusia yang besar untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Secara bertahap
imigran belajar menciptakan situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam
masyarakat pribumi.
Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran.
Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang
masyarakat pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi
memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi seorang imigran pun
memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang imigran akan
mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan
orang lain dan itu dilakukan lewat komunikasi. Proses selama akulturasi sering
mengecewakan dan menyakitkan. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran sangat
berbeda dengan bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi
lainnya meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan-perbedaan
dalam penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekspresi wajah,
gerak mata, gerakan tubuh lainnya dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku
nonverbal. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif
dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang
imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru (Mulyana dan Rakhmat,
2005: 137-140).
II.3.3) Variabel-Variabel Komunikasi dalam Akulturasi
Salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan bermanfaat
dalam menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi
terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975). Dalam
perspektif sistem, unsur dasar suatu sistem komunikasi manusia teramati ketika
seseorang secara aktif sedang berkomunikasi, berusaha untuk dan mengharapkan
berkomunikasi dengan lingkungan. Sebagai suatu sistem komunikasi terbuka,
seseorang berinteraksi dengan lingkungan melalui dua proses yang saling
berhubungan, yakni komunikasi persona dan komunikasi sosial.
Pertama, komunikasi persona atau intrapersona mengacu kepada proses-
proses mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan
dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat,
mendengar, memahami dan merespons lingkungan. Salah satu variabel
komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur
kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi. Faktor yang erat
berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang
pola-pola dan sistem-sistem komunikasi pribumi. Bukti empiris yang memadai
menunjang fungsi penting pengetahuan tersebut, terutama pengetahuan tentang
bahasa dalam memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya. Suatu variabel
persona lainnya dalam akulturasi adalah citra diri (self image) imigran yang
berhubungan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya. Selain itu,
motivasi akulturasi seorang imigran juga dapat memudahkan proses akulturasi.
Motivasi akulturasi mengacu kepada kemauan imigran untuk belajar tentang,
berpartisipasi dalam dan diarahkan menuju sistem sosio-budaya pribumi.
Kedua, komunikasi sosial. Komunikasi sosial ditandai ketika individu-
individu mengatur perasaan, pikiran dan perilaku antara yang satu dengan yang
lainnya. Komunikasi sosial dilakukan melalui komunikasi antarpersona.
Komunikasi antarpersona seorang imigran dapat diamati melalui derajat
partisipasinya dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan anggota
masyarakat pribumi.
Ketiga, lingkungan komunikasi. Komunikasi persona dan komunikasi
sosial seorang imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya
dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan komunikasi masyarakat pribumi.
Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan
akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Derajat
pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada derajat
kelengkapan kelembagaan komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara
budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya. Lembaga-lembaga etnik yang ada
dapat mengatasi tekanan-tekanan situasi antarbudaya dan memudahkan akulturasi
(Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).
II.3.4) Culture shock
Orang yang melintasi batas budaya yang disebut sebagai pendatang. Istilah
ini mencakup imigran, pengungsi, eksekutif bisnis, pelajar, atau turis. Orang-
orang memasuki wilayah budaya dengan beragam pengalaman, latar belakang,
pengetahuan dan tujuan, tetapi setiap orang asing harus menyesuaikan perilaku
komunikasinya dengan pengaturan budaya baru yang individu tersebut datangi.
Individu yang memasuki suatu dunia baru yang berbeda dengan lingkungan
asalnya, tidak jarang akan menimbulkan kecemasan dan ketegangan. Hal inilah
yang menjadi dampak dari proses akulturasi yaitu keadaan gegar budaya (culture
shock). Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak antarpersona secara
langsung seringkali menimbulkan frustasi.
Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh Antropologis
bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan
yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang
familiar dalam hubungan sosial, termasuk di dalamnya seribu satu cara yang
mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk memberi
perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu
merespon (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335). Mulyana mengemukakan
tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk tersebut juga termasuk kapan berjabatan
tangan dan apa yang harus kita katakan ketika bertemu dengan orang-orang,
kapan menerima dan kapan menolak undangan, kapan membuat pertanyaan
dengan sungguh-sungguh dan kapan sebaliknya. Petunjuk-petunjuk ini dapat
berupa kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan atau norma-
norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup seseorang sejak kecil (Mulyana
dan Rakhmat, 2005: 174). Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua
atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Meskipun seseorang tersebut berpikiran
luas dan beritikad baik, ia akan kehilangan pegangan, lalu akan mengalami
frustasi dan kecemasan.
Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya (culture shock) sebagai
benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-
faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan
dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami
( http://campuslife.suite101.com/article.cfm/understanding_and_coping_with_cult
ure_shock ).
Dalam membahas tentang masalah culture shock, sebelumnya perlu
memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan
seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada
perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang
mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti yang
dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334),
perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka
reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada dalam proses membuat komitmen
tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojourners berada dalam landasan
sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi, seperti turis dalam sehari atau
pelajar asing dalam beberapa tahun.
Deddy Mulyana dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya mengatakan
bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang dimasuki bukanlah
merupakan tempat berteduh, melainkan merupakan suatu arena petualangan,
bukan merupakan materi kuliah tapi suatu topik penyelidikan yang meragukan,
bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-situasi problematik, melainkan suatu
situasi problematik tersendiri yang sulit dikuasai. Pengalaman-pengalaman
komunikasi dengan kontak interpersonal secara langsung dengan orang-orang
yang berbeda latar belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu
bisa jadi merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang
dari lingkungan budaya baru yang ia masuki (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 143).
Reaksi yang dihasilkan oleh culture shock juga bervariasi antara satu
individu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda
pula. Reasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:
1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
6. rindu pada teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh
8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan
perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, Samovar menyatakan bahwa biasanya
individu akan melewati 4 (empat) tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini
dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve.
1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase pertama yang digambarkan berada
pada bagian kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh
harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya
baru
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua dimana masalah
dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan
bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru dan lain-lain. Fase ini
biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah
periode krisis dalam culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengang
dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung,
bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak
kompeten.
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai
mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, individu secara
bertahap membuat penyesuaian dan perubahan untuk menanggulangi
budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai
dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
4. Fase penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir, pada puncak kanan U,
individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola
komunikasi, keyakinan dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua
budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan
menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup
dalam dua budaya berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali
dengan budayanya terdahulu.
II.4 Teori Interaksionisme Simbolik
II.4.1) Definisi Teori Interaksionisme Simbolik
George Herbert Mead merupakan pelopor interaksionisme simbolik,
meskipun dalam perintisan teori ini banyak ilmuwan lain yang ikut serta
memberikan sumbangsihnya, seperti James Mark Baldwin, William James,
Charles H. Cooley, John Dewey dan William I. Thomas. Mead mengembangkan
teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi profesor
filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai
interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya
menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi
rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society
(Mulyana, 2001: 68).
Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis
yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme
simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term
interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial
(diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi
masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak
dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam
konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman
individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi
interaksionisme simbolik (Elvinaro, 2007: 136)
Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung
perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif
interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang
pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman
tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami.
Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif
seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek,
peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).
Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan
kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah
sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan
bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit
diramalkan. Oleh karena individu akan terus berubah maka masyarakat pun akan
berubah melalui interaksi itu. Struktur itu tercipta dan berubah karena interaksi
manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil
terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59). Jadi, pada intinya,
bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap sebagai variabel
penting dalam menentukan perilaku manusia. Melalui percakapan dengan orang
lain, kita lebih dapat memahami diri kita sendiri dan juga pengertian yang lebih
baik akan pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan terima (West, 2008: 93)
Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan
interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas
yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang
diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia
dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia
harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan
mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang
menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain,
situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia.
Sebagaimana ditegaskan Blumer, dalam pandangan interaksi simbolik, proses
sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan aturan-
aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam
proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang
memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru
merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial
(Mulyana, 2001: 68-70).
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya
adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas,
interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama,
individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk
objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen
lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial,
karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui
penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari
waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi
sosial.
Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi
dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang
dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang
menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola
interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan
dikonstruksikan melalui proses interaksi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
III.1.1) Gambaran Umum Universitas Sumatera Utara
a. Sejarah Universitas Sumatera Utara
Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan berdirinya.
Yayasan Universitet Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Pendirian yayasan
ini dipelopori oleh Gubernur Sumatera Utara untuk memenuhi keinginan
masyarakat Sumatera Utara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
Yayasan ini diurus oleh suatu Dewan Pimpinan yang diketuai langsung oleh
Gubernur Sumatera Utara, dengan susunan sebagai berikut: Abdul Hakim
(Ketua); Dr. T. Mansoer (Wakil Ketua); Dr. Soemarsono (Sekretaris/Bendahara);
Ir. R. S. Danunagoro, Drh. Sahar, Drg. Oh Tjie Lien, Anwar Abubakar, Madong
Lubis, Dr. Maas, J. Pohan, Drg. Barlan dan Soetan Pane Paruhum (Anggota).
Sebenarnya hasrat untuk mendirikan perguruan tinggi di Medan telah mulai sejak
sebelum Perang Dunia-II, tetapi tidak disetujui oleh pemerintah Belanda pada
waktu itu. Pada zaman pendudukan Jepang, beberapa orang terkemuka di Medan
termasuk Dr. Pirngadi dan Dr. T. Mansoer membuat rancangan perguruan tinggi
Kedokteran. Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah mengangkat Dr. Mohd.
Djamil di Bukit Tinggi sebagai ketua panitia. Setelah pemulihan kedaulatan akibat
clash pada tahun 1947, Gubernur Abdul Hakim mengambil inisiatif menganjurkan
kepada rakyat di seluruh Sumatera Utara mengumpulkan uang untuk pendirian
sebuah universitas di daerah ini.
Pada tanggal 31 Desember 1951 dibentuk panitia persiapan pendirian
perguruan tinggi yang diketuai oleh Dr. Soemarsono yang anggotanya terdiri dari
Dr. Ahmad Sofian, Ir. Danunagoro dan sekretaris Mr. Djaidin Purba. Selain
Dewan Pimpinan Yayasan, Organisasi USU pada awal berdirinya terdiri dari:
Dewan Kurator, Presiden Universitas, Majelis Presiden dan Asesor, Senat
Universitas dan Dewan Fakultas.
Sebagai hasil kerja sama dan bantuan moril dan material dari seluruh
masyarakat Sumatera Utara yang pada waktu itu meliputi juga Daerah Istimewa
Aceh, pada tanggal 20 Agustus 1952 berhasil didirikan Fakultas Kedokteran di
Jalan Seram dengan dua puluh tujuh orang mahasiswa di antaranya dua orang
wanita. Tanggal 20 Agustus 1952 telah ditetapkan sebagai hari jadi atau Dies
Natalis USU yang diperingati setiap tahun. Kemudian disusul dengan berdirinya
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (1954), Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (1956) dan Fakultas Pertanian (1956). Pada tanggal 20
November 1957, USU diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Ir.
Soekarno menjadi universitas negeri yang ketujuh di Indonesia.
Pada tahun 1959, dibuka Fakultas Teknik di Medan dan Fakultas Ekonomi
di Kutaradja (Banda Aceh) yang diresmikan secara meriah oleh Presiden R.I.
Kemudian disusul berdirinya Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (1960)
di Banda Aceh. Sehingga pada waktu itu, USU terdiri dari lima fakultas di Medan
dan dua fakultas di Banda Aceh. Dalam perjalanan usianya yang kini mencapai
lima puluh tahun, melalui berbagai program pengembangan yang dilaksanakan,
banyak kemajuan yang telah dicapai, yang menjadikan USU berkembang hingga
seperti keadaan sekarang.
Selanjutnya menyusul berdirinya Fakultas Kedokteran Gigi (1961),
Fakultas Sastra (1965), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (1965),
Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik (1982), Sekolah Pascasarjana (1992),
Fakultas Kesehatan Masyarakat (1993), Fakultas Farmasi (2007), Fakultas
Psikologi (2008) dan Fakultas Keperawatan (2009).
Pada tahun 2003, USU berubah status dari suatu perguruan tinggi negeri
(PTN) menjadi suatu perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Perubahan status USU dari PTN menjadi BMHN merupakan yang kelima di
Indonesia. Sebelumnya telah berubah status UI, UGM, ITB dan IPB pada tahun
2000. Setelah USU disusul perubahan status UPI (2004) dan UNAIR (2006).
Saat ini, USU mengelola lebih dari seratus program studi yang terdiri dari
berbagai jenjang pendidikan tinggi yang tercakup dalam sepuluh fakultas dan satu
program pascasarjana. Dalam perkembangannya, beberapa fakultas di lingkungan
USU telah menjadi embrio berdirinya tiga perguruan tinggi negeri baru, yaitu
Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, yang embrionya adalah Fakultas
Ekonomi dan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan USU di Banda Aceh.
Kemudian disusul berdirinya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
Negeri Medan (1964), yang sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Medan
(UNIMED) yang embrionya adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
USU. Setelah itu, berdiri Politeknik Negeri Medan (1999) yang semula adalah
Politeknik USU.
b. Visi, Misi dan Tujuan Universitas Sumatera Utara
Visi
Universitas Sumatera Utara memiliki visi menjadi University for Industry.
Misi
1. Mempersiapkan mahasiswa menjadi anggota masyarakat akademik
dan profesional dalam menerapkan, mengembangkan pengetahuan
ilmiah, teknologi dan seni serta berdaya saing tinggi.
2. Memperluas partisipasi dalam pembelajaran untuk memenuhi
kebutuhan nasional dalam pembelajaran dan modernisasi cara
pembelajaran.
3. Mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan ilmiah,
teknologi, seni dan rancangan penerapannya untuk mendukung
produktivitas dan daya saing masyarakat.
III.1.2) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
a. Sejarah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Maksud untuk mendirikan Perguruan Tinggi Kedokteran di Medan ini
telah menjadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat di Medan khususnya, di
Sumatera Utara umumnya, sebelum Proklamasi Kemerdekaan R.I, demikian Dr.
Achmad Sofian pernah menulis. Untuk itu Dr. Pirngadi, Dr. Tengku Mansoer, Dr.
M. Amir dan beberapa orang lainnya telah bekerja ke arah ini, tetapi maksud dan
hasrat itu tidak disetujui oleh Pemerintah Belanda pada saat itu, dianggap bahwa
satu Perguruan Tinggi Kedokteran yang telah didirikan oleh Pemerintah Belanda
di Jakarta telah cukup buat Indonesia.
Sewaktu Perang Dunia II berkecamuk di Eropah dan Pemerintah Belanda
telah mengungsi ke Inggeris, ada juga maksud Pemerintah Belanda untuk
mengubah NIAS (Nederlansch Indische Aartsen School) di Surabaya menjadi
Perguruan Tinggi Kedokteran yang kedua di Indonesia, namun maksud tersebut
tidak dapat diwujudkan, karena pada waktu itu Indonesia telah diduduki oleh
Jepang. Di zaman pendudukan Jepang beberapa orang terkemuka di Kota Medan,
seperti Dr. Pirngadi, Dr. Tengku Mansoer dan lain-lain telah membuat rancangan
Perguruan Tinggi Kedokteran sekali lagi, namun maksud ini juga tidak dapat
dilanjutkan.
Pada tahun 1946, masih dalam masa pergolakan sesudah kemerdekaan
diproklamirkan, maksud ini muncul lagi ke permukaan. Ketika Mr. Teuku Mohd.
Hasan menjadi Gubernur Propinsi Sumatera telah pula diangkat Dr. Mohd. Jamil
yang berkedudukan di Bukit Tinggi sebagai ketua dari sebuah panitia yang
ditugaskan untuk mempelajari kemungkinan didirikannya sebuah perguruan tinggi
di Sumatera. Panitia ini antara lain ditugaskan untuk menentukan jenis serta
tempat fakultas yang akan didirikan.
Panitia tersebut telah mengusulkan untuk mendirikan sebuah Fakultas
Kedokteran. Untuk menentukan tempat Fakultas Kedokteran yang akan didirikan,
dikirimlah Dr. Mohd. Jamil ke Pematang Siantar guna berembuk dengan beberapa
pemuka masyarakat dan dokter-dokter yang ada di daerah Sumatera Utara. Pada
waktu itu amat besar kemungkinan untuk mendirikan Perguruan Tinggi
Kedokteran di Kota Medan, tetapi malang, hal ini tidak dapat dilaksanakan
berhubung dengan terjadinya clash pertama tahun 1947.
Setelah peralihan kedaulatan, kiranya hasrat untuk mendirikan Fakultas
Kedokteran di kalangan masyarakat di Sumatera Utara tidak pernah hilang. Pada
awal 1950, Dr. T. Mansoer, wali Negara Sumatera Timur (Negara Bagian dalam
RIS) meminta kepada Inspektur Kesehatan Sumatera Timur untuk mulai
melengkapi Rumah Sakit Kota Medan dan kalau perlu menjadikan sebuah Rumah
Sakit Umum, guna mendukung rencana tersebut. Setelah itu dibentuklah panitia
pembentukan Fakultas Kedokteran.
Yayasan itu didirikan pada tanggal 4 Juni 1952 di hadapan Notaris Soetan
Pane Paroehoem di Medan diberi nama YAYASAN UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA, yang berkedudukan di Medan. Yayasan tersebut diurus
oleh suatu Dewan Pimpinan yang diketuai oleh Gubernur Propinsi Sumatera
Utara. Telah diambil keputusan untuk mendirikan Fakultas Kedokteran dan
yayasan telah mengutus Dr. Ahmad Sofian ke Kementerian PP dan K untuk
membicarakan segala sesuatunya dengan Menteri pada waktu itu yaitu Prof.
Bahder Djohan. Kementerian PP dan K menaruh simpati yang sangat besar akan
maksud yayasan dan minat Gubernur Propinsi Sumatera Utara itu dan
menjanjikan bantuan yang dapat dan mungkin diberikan oleh Pemerintah.
Pemerintah menganggap maksud yayasan itu sebagai suatu eksperimen yang besar
namun terlalu banyak kesulitan dan resikonya. Sungguhpun demikian Pemerintah
berjanji akan menyokong usaha tersebut.
Pada tanggal 30 Juni 1952 Dewan Pimpinan Yayasan USU telah
mengangkat Dr. Ahmad Sofian sebagai Presiden Kurator yang diberi tugas
mempersiapkan pendirian Fakultas Kedokteran. Juga telah diputuskan untuk
membuka Fakultas Kedokteran tersebut pada Hari Proklamasi 17 Agustus 1952.
Pada tanggal 1 September 1952, Fakultas Kedokteran USU dipimpin oleh
Dr. A. Sofian sebagai Dekan, Dr. Maas sebagai Wakil Dekan dan Dr. M. Ildrem.
sebagai sekretaris. Beberapa tahun berikutnya (1956) WHO memberikan bantuan
alat-alat Fisiologi dan berapa tenaga pengajar dari WHO untuk Fakultas
Kedokteran USU.
b. Visi dan Misi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Visi
Mewujudkan Fakultas Kedokteran USU pada tahun 2010 sebagai lembaga
pendidi kan kedokteran terdepan di Indonesia dalam bidang pendidikan dan
pelayanan ilmu serta informasi kesehatan primer dengan pendekatan keluarga
terutama untuk penyakit-penyakit tropis.
Misi:
1. Meningkatkan kualitas dosen dalam bidang pendidikan kesehatan keluarga
dan penyakit-penyakit tropis
2. Mengembangkan kurikulum pendidikan yang berbasis pada pendekatan
sistem kedokteran keluarga
3. Memusatkan pendalaman pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dalam
bidang penyakit tropis
4. Meningkatkan kemampuan semua sumber daya sehingga mudah
digunakan sebagai pusat informasi kesehatan keluarga
5. Membangun kerjasama dengan institusi lain dalam bidang penyakit tropis.
Kompetensi Lulusan:
Dalam KIPDI III (Kurikulim Inti Pendidikan Dokter Indonesia) dituntut
terpenuhinya kompetensi tertentu bagi lulusan. Proses pembelajaran diharapkan
mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan standar kompetensi dokter
Indonesia yang telah disusun oleh Konsil Kedokteran Indonesia (P3DI).
Pimpinan
Dekan: Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD.KGEH
Pembantu Dekan I: Prof. dr. Guslihan Dasa Tjipta, Sp.A (K)
Pembantu Dekan II: dr. Zaimah Z. Tala, M.S. Sp.GK
Pembantu Dekan III: dr. Muhammad Rusda, Sp.OG (K)
III.1.3) Fakultas Kedokteran Gigi
a. Sejarah Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
Fakultas Kedokteran Gigi USU merupakan Fakultas Kedokteran Gigi
pertama yang berada di luar pulau Jawa, didirikan pada tanggal 19 Oktober 1961
berdasarkan SK Menteri PTIP No. 0048/Sek/PU dan diresmikan pada tanggal 3
Nopember 1961.
Pada awalnya Fakultas Kedoktearn Gigi USU hanya memiliki satu gedung
berupa Dental Clinic yang dibangun atas bantuan Pemerintah Jerman Barat yang
berdiri di atas tanah seluas 27.448 m2 dan diserahkan kepada Universitas
Sumatera Utara. Seiring dengan berjalannya waktu, Fakultas Kedokteran Gigi
USU terus berkembang hingga pada saat ini Fakultas Kedokteran Gigi USU telah
memiliki sejumlah gedung meliputi gedung perkuliahan berlantai tiga,
laboratorium, Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan (RSGM-P), ruang baca,
ruang internet, ruang Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis (PPDGS), ruang
rapat/pertemuan, ruang Administrasi dan Laboratorium Unit Usaha Jasa dan
Industri.
Untuk penyelenggaraan kegiatan akademik, Fakultas Kedokteran Gigi
USU menyediakan 8 ruang kuliah dengan kapasitas tempat duduk berkisar antara
60 – 150 orang. Setiap ruangan kuliah dilengkapi dengan fasilitas media
pembelajaran berupa white board, OHP, LCD dan alat pengeras suara. Untuk
kenyamanan dalam kegiatan belajar mengajar, maka pada setiap ruangan
dilengkapi pula dengan alat pendingin ruangan (AC) dan alat penerangan yang
cukup. Di samping ruang kuliah, Fakultas Kedokteran Gigi USU memiliki 3
laboratorium, yaitu: laboratorium Multipurpose, laboratorium Biologi Oral, dan
unit Radiologi Dental. Ketiga laboratorium ini digunakan untuk mendukung
kegiatan praktikum, khususnya praktikum yang berkaitan dengan bidang ilmu
kedokteran gigi, sedangkan untuk penyelenggaraan praktikum bidang ilmu dasar
kedokteran dan ilmu kedokteran dasar, Fakultas Kedokteran Gigi USU
bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran USU menggunakan laboratorium Ilmu
Dasar Kedokteran dan Ilmu Kedokteran Dasar yang ada di Fakultas Kedokteran
USU. Untuk pelaksanaan praktikum ilmu kedokteran klinik, khususnya Ilmu
Penyakit Dalam dan Ilmu Bedah, mahasiswa Program Akademik Fakultas
Kedokteran Gigi USU menjalani kegiatan Junior Clerk Ship (JCS) di RSUP H.
Adam Malik Medan.
Jumlah Dosen Tetap yang dimiliki Fakultas Kedokteran Gigi USU saat ini
adalah 82 orang, terdiri dari 11 orang Guru Besar (Profesor/S3), 35 orang
(S2/Sp1), dan 36 orang (S1) sedangkan jumlah Dosen Tidak Tetap adalah 168
orang yang berasal dari USU dan luar USU. Empat orang di antara dosen tetap
saat ini sedang mengikuti pendidikan program Doktor, 13 orang program
Spesialis, dan 1 orang program Magister.
Daya tampung Fakultas Kedokteran Gigi USU setiap tahunnya adalah 120
orang dengan jumlah peminat berkisar antara 1100-1300 orang. Berdasarkan izin
Dikti tanggal 15 Juli 2002 (SK No. 1412/D/T/2002) maka sejak tahun ajaran 2002
Fakultas Kedokteran Gigi USU membuka Kelas Reguler Mandiri untuk
menampung minat masyarakat yang tidak tertampung pada Kelas Reguler.
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi USU tidak saja berasal dari daerah
Sumatera Utara, akan tetapi juga berasal dari propinsi lain di Indonesia seperti
NAD, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan dan lain-lain. Disamping itu
mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi USU juga ada yang berasal dari negara
tetangga seperti Malaysia. Sampai dengan Tahun Akademik 2008/2009 jumlah
mahasiswa asing Fakultas Kedokteran Gigi USU mencapai 154 orang.
Pelaksanaan pendidikan dokter gigi di Fakultas Kedokteran Gigi USU
terdiri dari 2 (dua) tahap, yaitu: Tahap Program Pendidikan Akademik dan Tahap
Program Pendidikan Profesi yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Tahap
Program Pendidikan Akademik dijadwalkan selama 8 semester dengan beban
studi 145 SKS, sedangkan Tahap Program Pendidikan Profesi dijadwalkan 2
semester dengan beban studi 30 SKS. Mahasiswa yang menamatkan program
pendidikan akademik berhak menyandang gelar Sarjana Kedokteran Gigi (SKG),
sedangkan mahasiswa yang berhasil menamatkan program pendidikan profesi
akan mendapat gelar Dokter Gigi (drg). Sampai dengan wisuda sarjana USU
Periode III T.A. 2008/2009, Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan telah
meluluskan sebanyak 888 orang Sarjana Kedokteran Gigi (SKG) dan 2531 orang
Dokter Gigi.
Berdasarkan Surat Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi (BAN-PT) No. 006/BAN-PT/Ak-X/S1/VI/2006 tanggal 15 Juni 2006,
Fakultas Kedokteran Gigi USU ditetapkan sebagai salah satu Fakultas Kedokteran
Gigi Negeri yang memiliki akreditasi “A".
b. Visi dan Misi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
Visi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara sebagai Fakultas
Kedokteran Gigi unggulan dalam menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing
global untuk mendukung pencapaian visi Universitas Sumatera Utara, yaitu
“University for Industry”.
Misi :
1. Menyelenggarakan pendidikan bidang kedokteran gigi yang bertumpu
pada aktivitas belajar mahasiswa yang berorientasi pada perkembangan
IPTEK dan kebutuhan masyarakat dalam bidang kesehatan gigi dan
mulut untuk menghasilkan Sarjana Kedokteran Gigi dan Dokter Gigi
yang berpengetahuan dan berketerampilan, bersikap demokratis, penuh
tanggung jawab dan berbudi pekerti yang luhur sesuai dengan etika
profesi kedokteran gigi.
2. Melaksanakan penelitian yang berorientasi pada pengembangan IPTEK
untuk dapat menyelesaikan masalah kesehatan gigi dan mulut secara
ilmiah yang merupakan landasan utama untuk menumbuhkan dan
membina kemampuan menguasai metode penyelesaian masalah,
melalui kemampuan berpikir kritis, penalaran ilmiah, berpikir alternatif
dan kemampuan pengambilan keputusan secara benar.
3. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada
masyarakat melalui Pengalaman Belajar Klinik (PBK) dan Pengalaman
Belajar Lapangan (PBL) dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK
secara tepat guna untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut
masyarakat.
Pimpinan:
Dekan : Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D
Pembantu Dekan I : M. Zulkarnain, drg, M.Kes
Pembantu Dekan II : Dwi Tjahyaning Putranti, drg. M.S.
Pembantu Dekan III : Zulkarnain, Dr, M.Kes
III.2 Metodologi Penelitian
III.2.1) Metode Penelitian Kualitatif
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan
untuk mendekati suatu masalah dan mencari jawabannya. Dengan kata lain,
metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian.
Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoritis yang kita gunakan
untuk melakukan penelitian, sementara perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu
kerangka penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami
data dan menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain.
Sebagaimana perspektif yang merupakan suatu rentang dari yang sangat objektif
hingga sangat subjektif, maka metodologi pun sebenarnya merupakan suatu
rentang juga, dari yang sangat kuantitatif (objektif) hingga yang sangat kualitatif
(subjektif) (Mulyana, 2001: 145-146).
Metodologi diukur berdasarkan kemanfaatannya dan tidak dapat dinilai
apakah suatu metode benar atau salah. Untuk menelaah hasil penelitian secara
benar, kita tidak cukup sekedar melihat apa yang ditemukan peneliti, tetapi juga
bagaimana peneliti sampai pada temuannya berdasarkan kelebihan dan
keterbatasan metode yang digunakannya (Mulyana, 2001: 146).
Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-
dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Riset ini tidak
mengutamakan besarnya populasi atau sampling, bahkan populasi atau
samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan dapat
menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya.
Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data bukan
banyaknya (kuantitas) data. Dalam riset kualitatif, periset adalah bagian integral
dari data, artinya periset ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan.
Dengan demikian, periset menjadi instrumen riset yang harus terjun langsung di
lapangan. Karena itu riset ini bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik bukan
untuk digeneralisasikan (Kriyantono, 2006: 56-57).
III.2.2) Studi Kasus
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus.
Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek
seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program,
atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak
mungkin data mengenai subjek yang diteliti (Mulyana, 2001: 201). Pengertian lain
studi kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data
(sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan dan
menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu
program, organisasi atau peristiwa secara sistematis (Kriyantono, 2006: 66).
Seorang peneliti harus mengumpulkan data setepat-tepatnya dan selengkap-
lengkapnya dari kasus tersebut unuk mengetahui sebab-sebab yang sesungguhnya
bilamana terdapat aspek-aspek yang perlu diperbaiki (Nawawi, 1995: 72).
Penelitian dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap objek
penelitian di lokasi penelitian. Semua hasil pengamatan dituangkan dalam
pembahasan. Hasil wawancara nantinya akan dianalisis dan dipilih jawaban yang
paling mendekati dan berkaitan dengan tujuan penelitian. Adapun tujuan studi
kasus adalah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai peristiwa-peristiwa
komunikasi yang nyata dalam berbagai konteks. Selain itu, pernyataan tentang
bagaimana dan mengapa hal-hal tertentu terjadi dalam sebuah situasi tertentu, atau
apa yang terjadi di sini. Pada hakikatnya, peneliti sedang mencoba menghidupkan
nuansa komunikasi dengan menguraikan kenyataan. Peneliti akan melakukannya
dengan cara:
1. Melakukan analisis mendetail mengenai kasus dan situasi tertentu.2. Berusaha memahaminya dari sudut pandang orang-orang yang bekerja di
sana3. Mencatat bermacam-macam pengaruh dan aspek-aspek hubungan
komunikasi dan pengalaman4. Membangkitkan perhatian pada faktor-faktor tersebut berhubungan satu
sama lain (Daymon, 2007: 162).
Sebagai suatu metode kualitatif, studi kasus memiliki beberapa
keuntungan. Keistimewaan studi kasus meliputi hal-hal berikut:
1. Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni menyajikan pandangan subjek yang diteliti.
2. Studi kasus menyajikan uraian yang menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami orang dalam kehidupan.
3. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara peneliti dan responden
4. Studi kasus memberikan uraian tebal yang diperlukan bagi penilaian atas transferabilitas.
5. Studi kasus terbuka bagi penelitian atas konteks yang turut berperan bagi pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut.
Menurut Mulyana, studi kasus periset berupaya secara saksama dan
berbagai cara mengkaji sejumlah besar variabel mengenai suatu kasus khusus.
Dengan mempelajari seorang individu, suatu kelompok atau suatu kejadian
semaksimal mungkin, periset bertujuan memberikan uraian yang lengkap dan
mendalam mengenai subjek yang diteliti. Karena itu, studi kasus mempunyai ciri-
ciri:
1. Partikularistik. Artinya studi kasus terfokus pada situasi, peristiwa, program atau fenomena tertentu.
2. Deskriptif. Hasil akhir metode ini adalah deskripsi detail dari topik yang diteliti.
3. Heuristik. Metode studi kasus membantu khalayak memahami apa yang sedang diteliti.
4. Induktif. Studi kasus berangkat dari fakta-fakta di lapangan, kemudian menyimpulkan ke dalam tataran konsep atau teori (Kriyantono, 2006: 66).
Setiap analisis kasus mengandung data berdasarkan wawancara, data
berdasarkan pengamatan, data dokumenter, kesan dan pernyataan orang lain
mengenai kasus tersebut. Pendekatan studi kasus menyediakan peluang untuk
menerapkan prinsip umum terhadap situasi-situasi spesifik atau contoh-contoh,
yang disebut kasus-kasus. Contoh-contoh dikemukakan berdasarkan isu-isu
penting, sering diwujudkan dalam pertanyaan-pertanyaan. Dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan, analisis studi kasus menunjukkan kombinasi pandangan,
pengetahuan dan kreativitas dalam mengidentifikasikan dan membahas isu-isu
relevan dalam kasus yang dianalisisnya, menganalisis isu-isu ini dari sudut
pandang teori dan riset yang relevan serta dalam merancang strategi yang realistik
dan layak untuk mengatasi situasi problematik yang teridentifikasi dalam kasus
(Mulyana, 2001: 202).
Menurut Ragin dalam Mulyana (2001), metode berorientasi kasus bersifat
holistik-metode ini menganggap kasus sebagai entitas menyeluruh dan bukan
sebagai kumpulan bagian-bagian (atau kumpulan skor mengenai variabel). Jadi,
hubungan antara bagian-bagian dalam keseluruhan itu dipahami dalam konteks
keseluruhan, bukan dalam konteks pola-pola umum kovariasi antara variabel-
variabel yang menandai anggota-anggota suatu populasi unit-unit yang sebanding.
Selain itu, hubungan sebab-akibat dipahami sebagai perkiraan. Akibat dianalisis
berdasarkan persimpangan berbagai kondisi dan biasanya diasumsikan bahwa
hubungan manapun mungkin menimbulkan suatu akibat. Sifat ini dan sifat lain
metode berorientasi kasus memungkinkan peneliti menafsirkan kasus-kasus secara
historis dan merumuskan pernyataan mengenai asal-mula perubahan kualitatif
yang penting dalam situasi-situasi yang spesifik (Mulyana, 2001: 203).
III.2.3) Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Universitas Sumatera Utara, tepatnya di
Fakultas Kedokteran yang berada di Jalan dr. T. Mansur No.5, Kampus USU dan
Fakultas Kedokteran Gigi, di Jalan Alumni No. 2, Kampus USU. Meskipun
demikian, waktu dan tempat penelitian dikondisikan dengan jadwal dan keinginan
subjek penelitian.
III.2.4) Subjek penelitian
Riset kualitatif tidak bertujuan untuk membuat generalisasi hasil riset.
Hasil riset lebih bersifat kontekstual dan kasuistik yang berlaku pada waktu dan
tempat tertentu sewaktu riset dilakukan, karena itu pada riset kualitatif tidak
dikenal istilah sampel. Sampel pada riset kualitatif disebut informan atau subjek
riset, yaitu orang-orang dipilih untuk diwawancarai atau diobservasi sesuai tujuan
riset. Disebut subjek riset bukan objek karena informan dianggap aktif
mengkonstruksi realitas, bukan sekedar objek yang hanya mengisi kuesioner
(Kriyantono, 2006: 163).
Untuk studi kasus, jumlah informan dan individu yang menjadi informan
dipilih sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. Orang-orang yang dapat
dijadikan informan adalah orang yang memiliki pengalaman sesuai dengan
penelitian, orang-orang dengan peran tertentu dan tentu saja yang mudah diakses.
Melalui metode kualitatif kita dapat mengenal orang (subjek) secara pribadi dan
melihat mereka mengembangkan definisi mereka sendiri tentang dunia dan
komunikasi yang mereka lakukan. Kita dapat merasakan apa yang mereka alami
dalam pergaulan masyarakat mereka sehari-hari. Melalui metode ini
memungkinkan kita menyelidiki konsep yang dalam pendekatan lainnya akan
hilang (Bodgan, 1992: 5)
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa asal Malaysia di USU yang
dibatasi pada mahasiswa di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi.
Sesuai dengan pembatasan masalah dalam penelitian ini bahwa yang menjadi
subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia di FK dan FKG USU yang
minimal sudah menetap selama kurang lebih dua tahun, maka diambil mahasiswa
mulai dari angkatan 2009, 2008, 2007 dan 2006. Berdasarkan data yang diperoleh
dari masing-masing fakultas, jumlah mahasiswa asal Malaysia di FK dan FKG,
baik yang sedang kuliah maupun yang sedang co-ass, maka daftar jumlahnya
adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Jumlah Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU
NO FAKULTAS TAHUN ANGKATAN JUMLAH
2006 2007 2008 2009
1. Kedokteran 54 176 132 117 479
2. Kedokteran
Gigi
37 48 35 24 144
Sumber : Bagian Pendidikan FK USU dan FKG USU
Pengambilan subjek penelitian atau informan ini dilakukan dengan
menggunakan teknik penarikan sampel bola salju (snowball sampling). Teknik
snowball sampling banyak ditemui dalam riset kualitatif. Sesuai namanya, teknik
ini bagaikan bola salju yang turun menggelinding dari puncak gunung ke lembah,
semakin lama semakin membesar ukurannya. Jadi, teknik ini merupakan teknik
penentuan subjek penelitian yang awalnya berjumlah kecil kemudian berkembang
semakin banyak. Orang yang dijadikan informan pertama diminta memilih atau
menunjuk orang lain untuk dijadikan informan lagi, begitu seterusnya sampai
jumlahnya lebih banyak. Sehingga orang pertama tersebut menjadi titik awal
pemilihan informan. Proses ini baru berakhir bila periset merasa data telah jenuh,
artinya periset merasa tidak lagi menemukan sesuatu yang baru dari wawancara
(Kriyantono, 2006: 158). Jadi, dengan demikian, peneliti akan menemukan
seseorang atau beberapa orang mahasiswa asal Malaysia untuk dijadikan
informan, kemudian meminta mereka untuk merekomendasikan orang lain untuk
dijadikan informan berikutnya.
III.2.5) Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat
digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Ada beberapa teknik atau metode
pengumpulan data yang biasanya dilakukan oleh peneliti. Peneliti dapat
menggunakan salah satu atau gabungan dari metode yang ada tergantung masalah
yang dihadapi (Kriyantono, 2006: 93).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Yaitu dengan cara mengumpulkan data mengenai permasalahan yang
sesuai dengan penelitian dengan membaca literatur yang relevan serta
bacaan pendukung, seperti buku, majalah, jurnal dan internet mengenai
komunikasi antarbudaya dan culture shock.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
1. Wawancara mendalam (depth interview)
Wawancara mendalam (depth interview) merupakan teknik
pengumpulan data dimana peneliti melakukan kegiatan wawancara
tatap muka secara mendalam dan terus-menerus untuk menggali
informasi dari responden (Kriyantono, 2006: 63). Wawancara
mendalam adalah wawancara secara intensif untuk mendapatkan
data kualitatif yang mendalam.
2. Observasi, diartikan sebagai kegiatan mengamati secara langsung.
Observasi merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan
pada riset kualitatif. Yang diobservasi adalah interaksi (perilaku)
dan percakapan yang terjadi antara subjek yang diteliti (Kriyantono,
2006: 108). Sedangkan observasi yang digunakan adalah observasi
non-partisipan, yang merupakan metode observasi tanpa ikut terjun
melakukan aktivitas seperti yang dilakukan kelompok yang diteliti,
baik kehadirannya diketahui atau tidak (Kriyantono, 2006: 110).
III.2.6) Teknik Analisis Data
Bodgan & Biklen (dalam Moleong, 2005: 248) mengemukakan analisis
data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Tahap analisis data memegang peranan penting dalam riset kualitatif, yaitu
sebagai faktor utama penilaian kualitas riset. Penelitian ini menggunakan teknik
analisis data kualitatif dimana analisis data yang digunakan bila data yang
terkumpul dalam riset adalah data kualitatif berupa kata-kata, kalimat-kalimat,
atau narasi-narasi, baik yang diperoleh dari wawancara mendalam maupun
observasi (Kriyantono, 2006: 194). Melalui data kualitatif, data yang diperoleh
dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat
umum kemudian disajikan dalam bentuk narasi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil dan Pengamatan Wawancara
Peneliti melakukan penelitian terhadap mahasiswa asal Malaysia di USU
dengan menggunakan teknik snowball sampling. Peneliti berhenti pada informan
yang kesebelas karena data yang diperoleh sudah jenuh. Hal ini disebabkan karena
peneliti tidak memperoleh data baru karena jawaban yang diberikan informan
rata-rata sama. Dengan demikian informan dalam penelitian ini sebanyak 11 orang
mahasiswa asal Malaysia. Adapun pelaksanaan dan pengumpulan data dilakukan
dengan cara observasi dan wawancara yang berlangsung dari bulan November
hingga Desember 2010.
Setelah mendapatkan persetujuan tentang judul skripsi ini, peneliti
kemudian mengurus surat permohonan izin penelitian untuk diserahkan ke
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU. Beberapa hari
kemudian, peneliti mendapatkan surat balasan yang menyatakan persetujuan
melakukan penelitian di dua fakultas itu, kemudian peneliti meminta data tentang
jumlah mahasiswa asing di masing-masing fakultas.
Setelah itu, peneliti memulai serangkaian pelaksanaan penyusunan skripsi.
Sebelum melakukan proses wawancara, peneliti melakukan pengamatan langsung
ke dua fakultas. Peneliti memasuki lorong kampus FK, terlihat banyak sekali
mahasiswa asal Malaysia yang berkelompok, tetapi ada juga yang berbaur dengan
mahasiswa lain. Sedangkan di FKG, peneliti duduk dan mengamati di sekitar
kantin, kelompok mahasiswa asal Malaysia lebih sedikit dan lebih berbaur dengan
mahasiswa Indonesia.
Setelah meminta bantuan dari beberapa teman di FK dan FKG, kemudian
peneliti dikenalkan dengan seorang mahasiswa asal Malaysia di FK dan seorang
mahasiswa asal Malaysia di FKG, selanjutnya dari masing-masing informan inilah
peneliti dikenalkan dengan beberapa mahasiswa asal Malaysia lainnya. Pencarian
informan memang agak sulit dilakukan karena jadwal mereka yang sangat padat.
Apalagi pada bulan November dan Desember, mereka disibukan pada persiapan
UAS (Ujian Akhir Semester) dan harus mengurus kepulangan mereka di akhir
Desember ke pihak imigrasi.
Proses wawancara dilakukan di berbagai tempat sesuai dengan keinginan
dan jadwal dari informan sendiri. Lokasi wawancara dilakukan di kampus, di
kantin, di tempat makan dan juga di rumah kost. Di setiap lokasi, peneliti juga
selalu melakukan observasi, khususnya di rumah kost. Melalui wawancara,
peneliti mendapatkan pengakuan tentang culture shock yang mereka alami ketika
pertama kali sampai di Medan. Kemudian peneliti mendapatkan penguatan dan
informasi tambahan melalui observasi langsung. Proses wawancara berlangsung
sesuai dengan pedoman wawancara, yaitu dengan membiarkan informan bercerita
untuk memperoleh informasi yang lebih banyak. Ketika melakukan wawancara,
peneliti tidak hanya mendapatkan informasi tentang culture shock dalam hal
interaksi komunikasi antarbudaya, tetapi juga dalam hal makanan, cuaca, lalu
lintas dan sebagainya. Hal ini peneliti jadikan sebagai pelengkap informasi.
Tujuan pembuatan karakteristik informan (usia, jenis kelamin, asal
fakultas dan lama menetap) adalah untuk membantu peneliti menemukan
sejumlah kemungkinan terkait hubungan karakteristik informan dengan culture
shock yang dialami dan upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. Untuk itu,
peneliti harus menemukan temuan yang dapat dijadikan kesimpulan nantinya apa
sebenarnya yang berpengaruh pada culture shock yang mereka alami.
Tabel 3
Data Mahasiswa Asal Malaysia yang Menjadi Informan
No. Nama Jenis Kelamin (L/P)
Fakultas Angkatan Lama Menetap
Alamat
1. Hasslinda Binti Hassan
P Kedokteran 2008 2,5 tahun Jalan Tridarma No.26
2. Harvinderpal Singh
L Kedokteran Gigi
2007 4 tahun Kompleks Tasbi I
3. Govin Raj Perumal
L Kedokteran Gigi
2008 3 tahun Kompleks Tasbi II
4. Amirah Fahirmah Binti Ahmad Tarmizi
P Kedokteran Gigi
2007 3.5 tahun Jalan Dr. Mansur
5. Lavanyah Rajagopal
P Kedokteran Gigi
2007 3,5 tahun Jalan Jamin Ginting No.46
6. Amir Hakimi
L Kedokteran 2006 4.5 tahun Jalan Dr. Mansur
7. Jonathan Lin Chee
L Kedokteran Gigi
2006 4,5 tahun Jalan Dr. Mansur
Hang 8. Asfahana
Asyiqin P Kedokteran 2008 2,5 tahun Jalan
Tridarma No.26
9. Girtheekadevy
P Kedokteran 2008 2,5 tahun Jalan Tridarma No.26
10. Kaartini Arjunam
P Kedokteran 2008 2,5 tahun Jalan Tridarma No.26
11. Lim Rui Liang
L Kedokteran Gigi
2006 4,5 tahun Jalan Dr. Mansur
Sumber : Hasil Penelitian
Dan berikut hasil wawancara dan pengamatan terhadap 11 informan:
Informan 1
Nama : Hasslinda Binti HassanUsia : 21 TahunJenis Kelamin : PerempuanFakultas : KedokteranAngkatan : 2008Lama Menetap : 2,5 tahunAlamat Tempat Tinggal : Jalan Tridarma No. 26, Pintu 4 USUTanggal Wawancara : Sabtu, 27 November 2010
Hasslinda adalah informan yang pertama kali peneliti temui dan
wawancarai. Melalui salah satu adik teman peneliti yang juga kuliah di Fakultas
Kedokteran USU, akhirnya peneliti berkenalan dengan Hasslinda, seorang
mahasiswi suku Melayu asal Malaysia. Kesan pertama yang peneliti lihat, secara
penampilan, seperti kebanyakan mahasiswi Melayu asal Malaysia, Linda
memakai baju kurung panjang dan jilbabnya. Linda adalah orang yang sangat
ramah, suka tersenyum, cukup terbuka dan suka berbaur. Keramahannya terlihat
ketika menyambut peneliti. Linda menawarkan untuk dipanggil dengan sebutan
Linda.
”saya panggil akak lah ya, stambuk 2007 kan? panggil Linda saja
lah kak.”
Setelah berkenalan lebih dalam, peneliti pun mulai mewawancara Linda
tentang pengalamannya selama di Medan, lengkap dengan suka dukanya.
Sebelumnya, Linda beranggapan bahwa Indonesia dan Malaysia adalah negara
dengan budaya yang hampir sama, kemudian peneliti mulai menanyakan tentang
bagaimana pendapatnya tentang orang-orang Medan dan bagaimana interaksinya
dengan teman-teman orang Medan di fakultasnya.
“orang-orang sini ramahlah kak, tidak pendiam, meriah, gak rasa sepi lah..cukup baik lah.”
Linda juga merasakan perbedaan yang sangat signifikan mengenai masalah
berpakaian. Perbedaan jelas dirasakannya dalam hal penampilan berpakaian.
“Dari pakaian jelas beda lah. orang-orang sini kebanyakan pakaian bebas, pakai jeans, tak ada la macam saya ini pakai baju kurung. Jadi pasti orang yang tengok pun langsung tau lah saya ini orang Malaysia. Tapi macam tuh pun saya tak mau la perSoalan, sebab saya pun bukan fashionable punya orang.”
Di tahun pertamanya kuliah di FK USU, kesulitan dan kesalahpahaman
bahasa sering dialami, tapi tidak sampai menimbulkan konflik. Begitu juga
dengan kebiasaan-kebiasaan orang Medan yang dipandang berbeda oleh
mahasiswa Malaysia, seperti kebiasaan berjabat tangan.
“ada beberapa kata disini yang saya tak paham, lepas tu kan, orang sini tuh semua nak salam, tak masalah la tu laki atau perempuan, mula-
mula saya shock, heran la saya. Kenapa bebas kali macem ni? Kenapa macam ni? Saya pun bingung, takut juga la kalau tolak, tapi cemana mau buat, saya pun tolak jabat tangannya, tapi sedapat mungkin secara elok la.”
Itu pendapat dan pengalaman Linda tentang interaksinya dengan orang-orang
Medan. Di tahun pertama, di awal-awal kedatangannya sebagai mahasiswi di FK
USU, ia sangat tidak terbiasa dan terkejut dengan kebiasaan orang Medan yang
tidak terlalu mempermasalahkan jabatan tangan antara berbeda jenis kelamin.
“mungkin awal-awal orang sini pun merasa apa la ni orang, salam aja tak mau. Tapi lama-lama mereka pun paham la kak, tak pernah la marah atau macam mana kan, sebab Indonesia pun ada juga orang macam tu, tapi tak banyak la.”
Linda juga merasa sedih ketika merasa dipandang sebagai orang asing. Ia
mengatakan mungkin penampilannya yang membuat orang-orang melihat dia,
Linda terkadang merasa risih dan kecewa. Penampilannya yang menggunakan
baju kurung membuat orang mudah mengenali bahwa ia adalah orang Malaysia
dan bukan orang Medan.
Perasaan sangat merindukan keluarga, teman-teman terdekat, lingkungan
familiar yang Linda miliki di negara asalnya pasti selalu muncul, bahkan sampai
saat ini, di tahun ketiganya tinggal di Medan.
“kalo homesick sampai sekarang saya masi rasalah, rindu sama famili. Terkadang kan kak, saya tu nangis seorang di kamar, namanya di negara orang, kan, sedih la kak. Saya butuh motivasi, sebab di sini tuh kurang. Kurang perhatian la. Orang-orang sini tu, student apa-apa sendiri-sendiri, saya jenis orang yang suka ramai-ramai lah, jadi mereka kurang la memotivasi kawan, mau belajar pun seorang-seorang, jadi saya butuh support dari famili la kak, mereka saja yang boleh beri dukungan, tapi namanya saya yang datang ke negara orang, saya pulak la yang harus adaptasi kan? Tak maulah saya betingkah.”
Linda merasa orang-orang Medan, tepatnya teman-temannya di kampus
yang bukan orang Malaysia, terlalu individualis, sangat jarang mau memotivasi
dan memberi dukungan dengan orang lain, termasuk dalam hal belajar. Jadi,
dukungan dan semangat dari keluarga sangat dibutuhkannya, sehingga rasa rindu
dan ingin pulang ke kampung halaman selalu Linda rasakan. Tapi semuanya itu
secara bertahap mampu diatasi, meskipun belum secara utuh. Kesadaran Linda
sebagai pendatang di negeri orang membantu dia untuk mulai beradaptasi.
Misalnya dari segi bahasa ketika berkomunikasi dengan teman-temannya orang
Indonesia di kampus, Linda mengaku, ketika ada kata-kata yang tidak ia mengerti,
ia langsung menanyakan artinya saat itu juga, tidak mau menyimpannya di dalam
hati, akhirnya pemahaman pun bisa mereka capai.
“tahun-tahun pertama, tak paham sama yang kawan cakap tu pasti la. Cuman saya selalu biasakan kalau tak tau saat tu juga saya rujuk teman, yang dicakap tadi apa artinya? Tak mau pendam-pendam, jadi tak pernah la konflik. Sebab kalau konflik tu kita yang rugi kan.”
Pertemuan pertama, peneliti lakukan di FK USU. Hal ini sangat
membatasi Linda untuk menceritakan semua pengalamannya, karena Linda juga
terburu-buru untuk masuk kelas mata kuliah selanjutnya. Beberapa hari kemudian,
peneliti membuat janji untuk melakukan wawancara berikutnya di kost, dan di
kost itu pula Linda mengenalkan Asfahana kepada peneliti, teman kost Linda
yang juga mahasiswa asal Malaysia di FK USU. Akhirnya, di pertemuan kedua itu
banyak hal lain yang terungkap ketika mereka berdua bercerita.
Hal baru yang terungkap adalah interaksi Linda dengan sesama penghuni
kostnya yang tidak baik. Awalnya, ketika pertama kali tinggal di kost itu, seluruh
penghuninya adalah mahasiswa asal Malaysia, dan mereka tidak pernah
mengalami masalah. Tetapi sejak dua orang pindah dan digantikan dengan dua
orang mahasiswa Indonesia, ia merasa tidak nyaman dan selalu berkeluh kesah.
Interaksi mereka dengan dua mahasiswa Indonesia itu tidak baik, mereka bahkan
sangat jarang bertegur sapa, bisa dihitung dengan jari. Peneliti bisa melihatnya,
tepat ketika peneliti mewawancarai Asfahana dan Linda, salah seorang mahasiswa
Indonesia yang dimaksud keluar dari kamar, dan memang mereka tidak saling
menyapa.
“sebelum ni pembantu rumah yang duduk. Pertama kali isinya malaysia semua la, lepas tu pembantu pindah dua orang ni masuk la. jadi disini tinggal 4 lagi la orang malaysia, 3 orang indonesia. cemana la kak, hmm..tak taulah macam mana mau cakap. Kakak tengok tadi la, cara pakaian itu orang cemana kan, trus cakapnya pun kasar, macam tadi pergi pun tak ada cakap kan, jadi kami agak macam tercabar, kadang-kadang kami pun macam apa ya, tak respect gitu la dengan kami. Tetap saya juga yang buka mulut, nak tanya mau kemana? Sebab best la kalau ber-greetings kepada sesama kan? Tapi dua orang tu gak macam tu la.”
Linda dan Asfahana merasakan kekesalan yang besar. Dan itu terlihat oleh
peneliti dari bahasa verbal dan non verbal mereka ketika bercerita kepada peneliti.
Mereka merasa tidak ada kerja sama dan rasa saling menghormati dari pihak
mahasiswa Indonesia itu. Hobi Linda memasak tidak pernah lagi dilakukannya
karena sudah kehilangan mood melihat dapur yang selalu kotor dan berantakan.
Kebiasaan seperti pulang larut malam, ribut sampai tengah malam, apalagi
membawa teman pria ke kost membuat mereka sangat terkejut dan merasa
terganggu, terutama Linda, sebab sifatnya yang lebih sensitif.
“macam ini habis makan tak pernah basuh, jorok macam tu. Dulu saya suka masak kak, tiap minggu tu saya belanja lepas tu masak, tapi ini gak la, gak ada mood buat masak kak, sebab kotor macam tu kan, sebab kami gak suka semak-semak macam tu kak. Mereka pun buat bising-bising, mungkin satu la, cara percakapan tu orang macam kuat sikit. Mungkin tu orang tak niat la, tapi kami macam terganggu, terkadang kami tengah tidurpun jadi terjaga, sebab hentakan kaki aja. Kadang sabar aja la, buat bodoh aja, endah tak endah aja.”
Waktu yang paling lama itu adalah ketika Linda dan Asfahana
menceritakan hubungan yang tidak baik antara mereka dan dua mahasiswa
Indonesia di kostnya. Mereka merasa seperti tidak ada keinginan untuk
bersahabat, berbeda dengan satu mahasiswa Indonesia lainnya yang juga tinggal
di lantai 2 itu. Mereka lebih sering bertegur sapa. Menurut Linda, mahasiswa
Indonesia yang satu ini lebih ramah dan rendah hati.
“Bukan saya cakap semua, tapi sebahagian. Macam ada seorang, dia tu memang humble la, memang rendah diri, kalo yang dua orang ini macam lain sikit la, jadi kami kadang tegur kadang-kadang gak tegur. Gak tau la pandangan dia orang kan, tapi kami OK aja, tapi ada la yang kami tak suka macam cara tu orang, lepas tu gak ada kerja sama.”
Linda terkesan seperti benar-benar mencurahkan isi hatinya saat itu kepada
peneliti. Linda telah berusaha untuk mendatangi mereka dahulu, memberikan
nasihat secara baik, tetapi Linda merasa tidak mendapatkan respon positif,
sehingga ia memilih diam. Tetapi, ketika ia merasa sudah keterlaluan, seperti
membawa teman pria ke dalam kost, ia memilih melaporkannya kepada ibu kost.
Di tengah kekesalannya, Linda berusaha untuk tetap baik, ia menjaga hubungan
yang sudah tidak baik agar tidak menjadi parah dan menimbulkan konflik karena
ia sadar posisinya sebagai pendatang.
“kami uda bagi tau kak, bagi tau secara elok la, kalo udah masak basuh la, macam lembut la kami cakap, tak ada la macam marah gitu kan, kalo kami dua orang bole la, tapi mereka gak la, sebab orang lain kan? Tapi gak paham-paham juga, jadi kami makan dalam juga la, gak elok macam tu kan. Mungkin gak tau la apa salah, sebab selama ini Ok aja. tapi kita coba profesional la, buat tak endah aja, buat apa yang jadi kerja kita aja, asalkan mereka betol-betol tak menggangu kita la, kalo menggangu gitu berol-betol, ah memang susah la ah, kami gak mau berantam la, sebab nanti kami lagi yang susah. Sabar aja la, nanti buat masalah kami la yang kena, sebab ni bukan la negara kami kan.”
Selain itu, mereka juga menyadari mereka masih harus tinggal di kota
Medan selama kurang lebih 2 tahun lagi untuk melanjutkan coass, sehingga
mereka tidak ingin mencari masalah yang dapat merugikan diri mereka sendiri.
Mereka memilih untuk acuh tak acuh dengan masalah ini selama tidak benar-
benar mengganggu mereka.
“tapi asal gak totally ganggu tak apa la kak, sebab saya pun masi lama di sini, belum coass lagi kan? Banyak benda yang perlu saya pikir daripada pikir dua orang ini kan. Bukan mau musuh, cuman memang udah macam itu adanya kan, mau buat cemana lagi kan.”
Kejadian itu memang membuat keduanya sangat terkejut, terutama Linda.
Ia terlihat sangat kesal. Ia memang sangat sensitif seperti yang diakuinya,
sehingga sedikit saja ada sesuatu yang tidak sesuai dan bertentangan dengan
prinsip hidup yang dipegangnya, ia sulit untuk menerima. Linda sangat
menjunjung tinggi prinsip hidup saling kerja sama dan hormat-menghormati,
sebab menurutnya dengan adanya kedua hal itu kebahagiaan hidup antar sesama
dapat dicapai.
“ambil ini nya aja la, sebab belajar di negara orang, mana ada yang perfect kan? cumannya respect la sikit kan, sebab saya pun mana ada kutuk-kutuk kan. respect, hormat-menghormati, saya berpegang tegas kepada benda tu, sebab cuman benda tu aja yang menyebabkan kita gembira. Jadi memang satu aja la, respect, kalau respect each other, best la, happiness bole dapat la. if buat suka hati, buat macam rumah sendiri kan, tak elok la.”
Menurut mereka orang Indonesia terkenal dengan ramah tamahnya,
sehingga ketika berhadapan dengan kedua mahasiswa Indonesia itu membuat
mereka sangat terkejut. Mereka memberikan pengecualian untuk kedua
mahasiswa ini.
“sebab orang indonesia ramah kan? Yang ini agak lain sikit la, udah nasib la dapat kostmate macam ni.”
Linda juga menceritakan di kota asalnya, Kuala lumpur, ia menemui
banyak sekali orang Indonesia dan ia sudah dapat menerima mereka. Tetapi ketika
tiba di Medan, ia merasa bahwa ada pembedaan yang dibuat antara Indonesia dan
Malaysia, ia merasa tidak adil. Menurut mereka, konflik antara Indonesia dengan
Malaysia tidak perlu mempengaruhi interaksi antarmasyarakatnya. Tetapi mereka
merasakan hal yang berbeda. Linda dan Asfahana merasa rakyat terlalu
menggembar-gemborkan masalah dua negara ini.
“kami ini biasa aja dengan orang indonesia, sebab di malaysia banyak kak, lagi-lagi di kampung saya, di kuala lumpur banyak. Jadi saya uda macam ok, uda dapat terima, tapi kenapa macam saya yang datang sini mereka macam unfair la rasa. apalagi macam ada gosip, isu indonesia malaysia tu kan, aduh saya benci la, tak suka, sebab tak ada faedah.”
Linda juga sempat menceritakan bahwa ia berusaha memposisikan dirinya
sebagai orang Indonesia, tetapi tetap saja itu membuatnya heran dan masih
bertanya-tanya, mengapa harus ada pembedaan antara dua negara, bukan kah
semuanya sama-sama manusia ciptaan Tuhan.
“Saya coba duduk kak posisi orang indonesia cemana rasanya, tapi tetap tak bisa pikir la, pelik juga la.”
Secara keseluruhan, meskipun Linda mengatakan ia sudah bisa menerima
keadaan di Kota Medan, sesungguhnya banyak pertanyaan yang masih
dipendamnya terkait dengan perbedaan-perbedaan yang ia temukan antara Medan
(Indonesia) dan Malaysia. Hal ini sangat terlihat ketika proses wawancara, banyak
keheranan yang ia rasakan, bahkan ia beberapa kali mengucapkan kalimat yang
menunjukkan keheranannya akan siapa yang harus disalahkan atas masalah
pembedaan dan interaksi yang tidak baik.
“jadi siapa nak salahkan ini kak, orangnya kah? Emak bapak kah? Tetangga kah? Atau siapa?”
Selain itu, banyak perbedaan yang membuat keduanya terkejut. Merokok
dan mencontek adalah dua hal yang membuat mereka heran. Terutama Linda, Ia
sangat terganggu dengan asap rokok. Mereka membandingkan dengan negaranya,
di Malaysia, merokok dan mencontek sangat dilarang di lingkungan kampus.
Apabila dilanggar akan dikenakan sanksi tegas.
“ahh, rokok!! Itu culture shock sangat bagi saya kak, sebab di FK, FAKULTAS KEDOKTERAN, saya lihat student merokok tu kan, aduh rasa pelik betol la. harusnya gak bisa kan, di kuliah mana-mana pun harusnya tak bisa la ada rokok kan, tak elok la. di malaysia tak bisa macam itu kak, di dalam U tak bisa merokok, kalau merokok perlu didenda. Rasa sesak kak, kadang-kadang saya sampai mau beli yang macam penutup mulut tu kak, sebab tak tahan la. Lepas tu kalau contek memang denda berat kali, berpanjangan dendanya, ada yang kena buang dari U kak. Tapi itu pun saya buat bodoh aja la, sebab saya takut saya jadi terjebak la, takut jadi ikut macam tu kan.”
Selain dalam hal interaksi dan kebiasaan yang berbeda, Linda juga terkejut
dan tidak bisa menerima program acara yang ditayangkan di media TV Indonesia.
Menurutnya, tayangan yang didominasi dengan acara infotainment sangat tidak
baik. Kembali ia membandingkan dengan negaranya, Malaysia juga memiliki
program acara seperti itu, tetapi tidak mendominasi, sedangkan di Indonesia
menurutnya terlalu berlebihan. Itu lah yang menyebabkan TV yang ada di ruang
kumpul di depan kamar kostnya jarang sekali ia hidupkan, sesekali ia menonoton
TV, itu pun ia memilih program acara memasak dan adat budaya.
“ah, itu tv memang media yang cemana mau bilang ya. Tv ini letak disini aja kak, sebab kalo tengok tak elok kak, cerita gosip semua kan. Saya tak minat la, cuma tengok acara masak, berita, cerita tentang adat-adat macam tu aja la, lainnya macam gosip tu tak dapat terima la. di malaysia bukan gak ada, cuman di sini lebih mengaibkan la, So annoying, macam menjengkelkan la. tapi tak apa la, kita nak salahkan orang media
pun tak bisa la kan, cuman ya itu la perbedaannnya, di malaysia pun ada cuman tak macam ini la. rasa dosa aja saya nonton ini.”
Banyak perbedaan yang dirasakan Linda selama menjalani kehidupan
sebagai perantau di Kota Medan, meskipun demikian banyak hal pula yang
membantunya menerima dan belajar untuk menyesuaikan diri. Keberadaan
Asfahana yang selalu ada bersamanya sangat membantu meredam amarah dan
kekesalannya. Asfahana lah yang selalu menyuruhnya untuk tetap bersabar dan
bertahan hidup di negeri orang. Dukungan dan rasa senasib sepenanggungan di
antara mereka berdua sedikit banyaknya membantu mereka menjalani hidup di
lingkungan yang berbeda dengan negara asalnya.
“dia la yang selalu bagi saya semangat, lebih sabar dia kak, cemana ya, macam gembira-gembira aja la. kalau saya lebih sensitif, sebab saya pikir kalau saya gak buat orang kenapa orang buat macam itu sama saya kan, jadi saya sensitif bila orang buat saya.”
Sebagai pelengkap, tidak hanya culture shock dalam hal interaksi, Linda
juga berbagi tentang pengalamannya tentang hal lain seputar Medan, seperti lalu
lintas dan cita rasa makanannya. Ia masuk ke FK USU melalui jalur mandiri
dengan biaya sendiri. Tahun 2008, ia datang ke Medan dan itu adalah pengalaman
pertamanya. Ketika ditanya, apa yang dirasakan sesampainya di Medan, Linda
pun menyampaikan keterkejutannya melihat jalanan Kota Medan.
“Setibanya di Medan, saya terkejut lah kak, traffic tuh padat sangat, busy betol” Kalo Soal cuaca gak lah pala cemana, Soalnya tak pala jauh beda iklim Indonesia sama Malaysia kan, cuman jalan raya aja yang berisik.”
Linda juga memberikan komentar dan pengalamannya seputar masakan
Medan. Untuk yang satu ini ia cukup mudah beradaptasi.
“wah, di sini kan akak, nasi tuh dibungkus besar-besar, kalo di Malay tuh kan tak ada yang macem tuh, sikit aja. Jadi kalo disini makan
sekali aja saya kenyang betol. Udah tiga tahun di sini udah dapat lah, perut saya bisa adaptasi.”
Kesimpulan Kasus
Linda mengalami culture shock terhadap karakteristik orang Medan.
Meskipun tidak menggeneralisasikan seluruhnya, tetapi menurutnya orang Medan
identik dengan suara yang kuat dan kasar. Selain itu, Linda juga tidak terbiasa
dengan perbedaan dalam hal nilai-nilai mengenai hubungan laki-laki dan
perempuan. Linda juga mengalami kendala dalam bahasa di awal kedatangannya
ke Medan. Linda memiliki masalah interaksi dengan mahasiswa Indonesia yang
adalah teman satu kostnya. Ia tidak bisa menerima kebiasaan seperti suara yang
terlalu kuat, pulang sampai tengah malam, membawa teman pria ke kost dan juga
sikap yang membeda-bedakan seperti terkesan memusuhi yang dialaminya dengan
dua mahasiswa Indonesia di kostnya. Pribadinya yang sangat sensitif membuatnya
peka dan cepat tersinggung dengan kondisi yang berbeda dan bertentangan
dengan apa yang ia yakini. Ini juga mempengaruhi proses adaptasinya, sebab
baginya tidak mudah menerima suatu perbedaan. Reaksi culture shock yang
dirasakannya antara lain homesick, merasa diasingkan dan ditolak dan
menganggap tuan rumah tidak peka. Di luar itu, adanya mahasiswa dan dosen
yang merokok di lingkungan kampus, makanan dalam porsi besar dan “gaya”
khas tukang becak juga sempat membuatnya terkejut. Saat ini, Linda mengaku
sudah mampu beradaptasi, tetapi perasaan dibeda-bedakan masih ia rasakan.
Informan 2
Nama : Harvinderpal SinghUsia : 23 TahunJenis Kelamin : Laki-lakiFakultas : Kedokteran GigiAngkatan : 2007Lama Menetap : 4 tahunAlamat Tempat Tinggal : Kompleks Tasbi ITanggal Wawancara : Rabu, 1 Desember 2010
Harvin merupakan informan yang pertama kali peneliti wawancara di
FKG. Harry, seperti itu biasa ia dipanggil. Peneliti mengenalnya dari teman
peneliti yang juga berkuliah di tempat yang sama. Peneliti menghampiri Harry,
kemudian saling berkenalan. Saat itu ia sedang menikmati segelas teh manis
dingin. Kesan pertama yang peneliti dapatkan tentang Harry adalah friendly dan
humoris. Selama wawancara berlangsung, ia sering sekali mengeluarkan lelucon-
lelucon lucu. Itu pertemuan pertama peneliti dengan Harry, tetapi keakraban dapat
dengan cepat terjalin. Dari segi penampilan ia sangat modis. Saat wawancara
pertama, ia menggunakan kaos bola berwarna merah dan jeans serta sepatu kets.
Kulit putih, rambutnya pirang bergelombang dan agak gondrong. Ia pria
berkacamata dan menggunakan pesawat gigi. Ia berdarah campuran, ayahnya
orang Amerika dan ibunya India Punjabi. Ini tahun kelima Harry berada di
Indonesia, tepatnya Medan. Dalam pengamatan peneliti, Harry berbeda dengan
informan-informan sebelumnya. Jiwa ingin belajar, sangat suka bergaul dan
humoris menggambarkan kepribadiannya. Bahkan, ketika peneliti meminta
bantuan untuk dikenalkan dengan mahasiswa asal Malaysia di FKG, beberapa
orang langsung merekomendasikan Harry. Ia mempunyai banyak teman, baik itu
sesama Malaysia maupun Indonesia dan uniknya, seluruh teman akrabnya di
kampus adalah mahasiswa Indonesia. Ini yang menarik peneliti untuk terus
mewawancarai dan mengamati Harry.
Harry memilih FKG USU karena jarak yang dekat dengan Malaysia dan
kualitas pendidikan yang baik. Ia mengaku akreditasi FKG USU sama dengan
Malaysia, tetapi ia bisa mendapatkannya dengan biaya yang cukup murah di USU.
Sebelum memasuki kampus sebagai mahasiswa Kedokteran Gigi USU, ia pernah
mengecap pengalaman di Medan selama 6 bulan dalam rangka pertukaran pelajar
di SMA Raksana. Setibanya Harry di Medan yang paling menjadi kendala
baginya dalam berinteraksi adalah masalah bahasa. Dalam pengakuannya,
beberapa kata, dialek dan intonasi dalam bahasa Indonesia terasa aneh baginya,
demikian sebaliknya dengan orang-orang Indonesia sendiri, merasa bahasa yang
digunakan mahasiswa asal Malaysia itu aneh. Harry merasa ia menjadi bahan
bercanda karena keanehan bahasanya dan itu menjadi persoalan bagi Harry di
awal kedatangannya ke Medan.
“dari bahasanya lah. Kan ada banyak bahasa di Indonesia. Kalo ngomong dengan mereka, mereka rasa bahasa saya yang aneh, tapi padahal bahasa yang saya guna itu bahasa malaysia. Tapi untuk saya gak aneh. Bila kalian yang cakap bahasa kalian, untuk saya aneh “eh kok, apa yang kamu ngomong itu ya?” gak ngerti saya. Gitu lah, pertama kali datang itu lah yang jadi persoalan, becanda, orang mengejek-ejek.”
Berkaitan dengan bahasa, pertama kali setibanya ia di Medan, Harry
tinggal di rumah kost bersama 14 orang Malaysia lainnya di Simpang Pos Padang
Bulan. Karena itu adalah daerah yang mayoritas penduduknya adalah suku Batak,
awalnya Harry terkejut dan kewalahan. Mereka sering sekali menggunakan
bahasa daerah, belum lagi Harry mempunyai persepsi orang Batak makan orang.
Selama di Malaysia, ia sering mendengar dari orang-orang cerita bahwa orang
Batak itu mengerikan, ini sempat membuatnya takut keluar rumah untuk beberapa
waktu. Tapi itu hanya sebentar saja, sebab setibanya di sini teman-temannya
menjelaskan bahwa itu hanyalah dongeng lama.
“pertama, waktu di malaysia kan, persepsi saya tentang orang-orang Indonesia mengerikan. Kayak orang Batak, pernah saya dengar dari orang-orang. Dulu kan saya tinggalnya di Padang Bulan, simpang pos... pertama kali ya liat orang batak lah, dengar mereka cakap tu kan, bahasa apa ya mereka? Mereka semua banyak orang Batak, kami anak Malaysia itu 14 orang aja. Jadi waktu di situ kan, saya takut keluar sendiri. Sebab dengar dongeng dari orang, kalo kita gak senyum sama mereka, mereka simpan di hati, satu hari nanti mereka potong kamu. Jadi saya bila jumpa orang Batak, yah (menunjukkan senyuman)..lepas itu, lewat tahun-tahun, dari teman-teman bilang, itu cerita lama, sekarang gak ada kek gitu lagi, sekarang udah modern... Cuman, bila kita lihat orang mukanya ngeri-ngeri, itu memang Batak asli lah ya.”
Harry adalah tipe orang yang sangat suka belajar sesuatu yang baru dan
tidak takut untuk bergaul. Pengalamannya selama 6 bulan di SMA Raksana
mengajarinya banyak hal. Permasalahan interaksi karena pertama kali tiba ia
rasakan di sana, tetapi di sana pula Harry belajar bahasa dan pergaulan. Semasa
dalam pertukaran pelajar itu, ia kursus bahasa dengan guru bahasa Indonesia,
tidak hanya sekadar kursus, ia juga senantiasa rajin mempraktikkan dengan
teman-temannya orang Indonesia, dengan berbagai cara, salah satunya melalui
salah seorang wanita Indonesia sesama pelajar di Raksana yang menyukainya,
bersama perempuan itu Harry terus mempelajari bahasa Indonesia.
“saya punya masalah interaksi itu waktu di sekolah, waktu di Raksana. Gak ngerti sama bahasa, gak ngerti dengan apa yang diajar oleh dosen, kan di sini beda dengan sistem pembelajaran di Malaysia. Saya ambil waktu untuk kursus bahasa dengan guru bahasa indonesia, habis belajar, les lah bahasa indonesia. Kan saya cepat gaul, jadi saya cakap-cakap indonesia, lepas itu waktu tu ada cewek indonesia yang suka saya, saya belajar dengan dia, dia bantu saya belajar cakap lah.”
Prinsipnya untuk selalu memulai membantunya beradaptasi. Ia yang
memulai untuk mengajak berkenalan, ia yang memulai membuka diri, ia yang
memulai untuk berbaur. Ketika pemahaman tidak ia dapatkan dalam
berkomunikasi, Harry tak sungkan menanyakan maknanya saat itu juga. Tidak
butuh waktu yang lama baginya untuk menyesuaikan diri. Perbedaan, keheranan
dan keterkejutan pasti dirasakan dalam rangka memasuki Indonesia, Medan
tepatnya yang merupakan lingkungan baru baginya, meskipun serumpun, tetapi
perbedaan tidak terelakkan. Kesalahpahaman, masalah interaksi dengan orang luar
sseperti tukang becak dan supir angkot juga mewarnai pengalamannya, tetapi
kemudian ia mampu mengatasinya.
“orang Indonesia kayaknya semua baik lah. Semua ramah, mereka approach dengan kita, ada Sopannya. Mereka mesra lah pokoknya. Cuman orang becak aja yang gak mesra. Mau kasi harga lain pun gak bisalah, mereka yang benar lah, inilah, itulah. Angkot pun gitulah, sama aja.”
“waktu di sekolah itu saya belajar dengan orang di situ kan, saya tanya “eh, apa maksud itu, gitu”. Jadi dalam sebulan itu saya udah tangkap bahasanya. Cuman sebulan aja, saya cepat tangkap bahasa, Soalnya saya emang suka belajar. Saya bisa bahasa cina, bahasa India, bisa bahasa perancis, jadi saya tangkap bahasa cepat.”
Harry memandang bahwa sebagai pendatang ia harus sadar diri, ia juga
harus segera belajar semua hal tentang lingkungan barunya, meskipun bertahap.
Karena menurutnya, jika sesuatu hal ditunda-tunda karena tidak siap untuk suatu
hal yang baru, maka tidak akan pernah bisa beradaptasi. Ia juga beda dengan
mahasiswa asal Malaysia kebanyakan, seperti yang sudah peneliti sebutkan, teman
baik Harry adalah mahasiswa asal Indonesia. Selama pengamatan, peneliti
melihat, begitu selesai kuliah, keluar dari ruang belajar menuju kantin, Harry tidak
bergabung dengan sesama mahasiswa Malaysia seperti yang kebanyakan
mahasiswa lainnya lakukan, ia memilih mendatangi kumpulan 5 orang mahasiswa
Indonesia yang ternyata adalah teman baiknya. Selain itu, selama beberapa kali
melakukan wawancara, di sela-sela Harry bertegur sapa dan berbicara dengan
kebanyakan mahasiswa Indonesia. Ia benar-benar sudah menyesuaikan diri
dengan dunia barunya ini.
“mula saya sampai sini, saya langsung cari teman. Kalo gak ngerti tanya temannya, apa ini maksudnya. Saya langsung cepat belajar. Soalnya kita mau belajar di sini, kalo dari awal aja kita udah rasa sifat seperti gak maulah, nanti aja, saya mau nanti aja belajarnya, ditunda-tunda, nanti sampai kapan ada mau belajar? Jadi saya gak mau buang waktu, saya langsung tangkap.”
“kan ada orang yang sifatnya, kalo saya cina, saya mau sama cina aja, saya India sama orang India aja, tapi saya ini beda, saya mix dengan semua. Saya bisa gaul sama semua, di sini saya ada banyak teman orang Indonesia, yang paling akrab itu teman saya orang Indonesia.”
Reaksi seperti merindukan Malaysia juga ia rasakan. Sama halnya dengan
orang-orang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk memasuki dan menetap
di lingkungan baru dalam kurun waktu beberapa tahun, Harry juga merindukan
keluarga dan teman-temannya di Malaysia. Itupun tidak sampai mempengaruhi
kehidupannya. Ia tidak menarik diri atau gejala depresi lainnya. Tetapi akhir tahun
ini ia tidak bisa pulang karena harus menyelesaikan sidang komprehensifnya.
Setelah itu, Harry akan mencari waktu yang bisa digunakan untuk pulang dan
melepas rindu dengan keluarga.
Konflik Indonesia-Malaysia yang coba peneliti tanyakan, langsung
dijawab dengan tegas oleh Harry. Baginya itu tidak menjadi alasan untuk takut
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang Indonesia. Menurutnya, ini ulah
media yang terlalu memperbesar masalah. Ini hanya masalah pemerintah yang
tidak perlu melibatkan masyarakat. Harry juga menyampaikan kekecewaannya
terhadap beberapa dosen yang membahas masalah konflik dua negara ini di kelas.
Biarlah pemerintah yang selesaikan.
“itu kan, masalah konflik itu kan sebab media, media yang memprogandakan lagi. Mereka tambahkan api gitu kan, semua gara-gara media. Misalnya, ada dosen juga yang mengungkitkan hal itu. Saya pikir sih, dosen itu tak sepatutnya mengungkitkan hal macam ini, itu hal negara, bukan urusan kita. Itu antara government Indonesia dengan government Malaysia, bukan masyarakat. Media yang mencetuskan itu lebih banyak, biar masyarakat yang naik, panas. Jadi saya kalo ada orang yang bilang saya perSoalan ini, saya akan bilang itu urusan negara saya, bukan saya.”
Selama wawancara Harry juga berbagi pengalamannya yang kerapkali
sakit selama sebulan pertama ia tinggal di Medan. Itu karena tidak cocok dengan
makanan dan air di Medan. Tetapi untuk hal ini pun ia mudah beradaptasi.
“makanannya gak cocoklah, makan nasi padang enak. Pertama waktu saya datang itu kan kita gak cocok dengan makanannya, Soalnya disini kan pake santan banyak, di malaysia gak, santannya kurang. Di sana kari banyak, jadi makan santan itu, seminggu dapat sakit perut. Kita jujur aja kan, mencret. Bulan pertama saya di sini, kerap kali saya sakit.”
Kesimpulan Kasus
Culture shock yang Harry alami tidak tergolong berat ketika memasuki
kampus USU. Gegar budaya yang paling terasa ketika ia mengikuti pertukaran
pelajar dalam rangka persiapan studi di Indonesia, yakni di SMA Raksana.
Kendala yang paling terasa ketika itu adalah bahasa. Meskipun bahasa Indonesia
dengan bahasa Melayu kurang lebih hampir sama, tetapi tetap saja untuk pertama
kali hal ini aneh baginya. Pribadinya yang mau belajar dan suka bergaul
membantu proses adaptasi. Selama di SMA Raksana itu, ia kursus bahasa
Indonesia dengan salah satu guru. Selain itu, ia juga sangat suka bergaul dengan
siapa saja tanpa perbedaan. Ia sering mempraktikkan bahasa yang sudah
dipelajarinya sehingga semakin mudah dipahami. Sebelum ke Medan, ia sering
mendengar cerita tentang orang Batak yang suka makan orang. Pernyataan ini
sempat membuatnya takut, apalagi tempat tinggalnya pertama kali adalah daerah
Simpang Pos Padang Bulan yang mayoritas penduduknya adalah orang Batak.
Tetapi, seiring waktu dan juga cerita dari teman-temannya, ia pun mengerti dan
tidak merasa takut lagi. Ketika memasuki Kota Medan untuk kuliah di FKG USU,
bukan sesuatu yang terlalu sulit baginya, namun meskipun begitu jenis-jenis orang
baru ia hadapi di kampusnya. Ia selalu membuka diri untuk perkenalan dan
persahabatan. Ia cukup sepat dalam beradaptasi dengan lingkungan kota Medan
dan orang-orang di dalamnya. Ia bahkan sudah menggunakan bahasa Medan,
seperti “kali, kau, dong, jorok”. Ia sudah mampu beradaptasi, bahkan
intensitasnya berkomunikasi dengan orang Indonesia di kampusnya lebih sering
dibanding teman sesama Malaysia.
Informan 3
Nama : Govin Raj PerumalUsia : 21 TahunJenis Kelamin : Laki-lakiFakultas : Kedokteran GigiAngkatan : 2008Lama Menetap : 3 tahunAlamat Tempat Tinggal : Kompleks Tasbi IITanggal Wawancara : Rabu, 1 Desember 2010
Govin adalah salah satu mahasiswa FKG yang bersedia menjadi informan
dalam penelitian ini. Peneliti mengenalnya dari Harry yang merupakan senior
Govin. Ia adalah President atau Ketua DSC (Dental Student Community) tahun
2010/2011, sebuah organisasi perkumpulan mahasiswa/i asal Malaysia di FKG
USU. Organisasi ini berada di bawah organisasi induk PKPMI (Persatuan
Kebangsaan Pelajar-Pelajar Malaysia di Indonesia). Pertemuan pertama peneliti
dengan Govin di kantin FKG sangat menyenangkan. Awalnya peneliti tidak
bermaksud untuk mewawancarai Govin, karena ia sedang sibuk berdiskusi dengan
beberapa mahasiswa Malaysia lainnya. Kemudian Harry mencoba membantu
memanggilnya dan mengenalkan Govin kepada peneliti. Ia pun bersedia
meluangkan waktu untuk wawancara. Secara penampilan, tidak terlalu mencolok,
Govin berpakaian sama seperti mahasiswa Indonesia kebanyakan, kemeja lengan
panjang dan celana bahan warna hitam. Saat itu ia membawa kotak warna biru
berukuran agak besar, tempat alat-alat praktiknya sebagai mahasiswa Kedokteran
Gigi. Selama wawancara berlangsung kotak itu dipangku di pahanya dengan
memandang lurus ke depan dan sesekali melihat peneliti ketika peneliti bertanya.
Tidak ada penampilan khusus yang menunjukkan ia mahasiswa asal Malaysia,
hanya saja wajahnya sebagai orang India Tamil memungkinkan ia berasal dari
Malaysia. Ia orang yang sangat ramah, mudah tersenyum, enak diajak berbicara
dan sangat terbuka. Hal itu sangat terlihat dari semua informasi dan cerita yang
Govin berikan kepada peneliti lengkap dengan keterkejutan, keheranan dan
kekecewaannya dengan orang-orang Medan di sekitarnya dalam rangka memasuki
dunia baru untuk melanjutkan pendidikan di FKG USU.
Sebelum datang ke Medan, sebagaimana seseorang yang akan memasuki
lingkungan baru, Govin juga memiliki perasaan tertentu. Ketika peneliti
menanyakan itu, Govin mengungkapkan bahwa benar ia mempunyai banyak
pertanyaan di benaknya tentang seperti apa sebenarnya Kota Medan, bagaimana
kondisi kota yang akan ditinggalinya selama bertahun-tahun. Ia sempat
memikirkan tentang bagaimana kehidupannya kelak dengan lingkungan baru,
budaya baru dan orang-orang yang baru.
“sebelum saya berangkat ke sini, ehm..Medan pasti beda lah kayak Malaysia ya. Saya pikirkan tentang gimana ya makanannya, gimana tempat penginapannya, gimana orang-orangnya”.
Setibanya di Medan, Govin menemukan perbedaan-perbedaan. Govin
bersedia menceritakan semua yang ia alami selama berada di Medan, bahkan
Govin juga bersedia berbagi cerita tentang pengalaman pertamanya menginjakkan
kaki ke Indonesia, tetapi bukan di Medan, melainkan di Bandung. Kemudian ia
menceritakan pengalaman yang berbeda yang ia rasakan antara dua tempat yang
berbeda di wilayah Indonesia itu. Ia membandingkan apa yang dia alami selama di
Bandung dan kemudian beralih ke Medan, tempat yang saat ini ia tempati dan
masih akan ia tempati selama beberapa tahun ke depan.
“sebelumnya saya pernah kuliah di Bandung setahun, buat kayak pertukaran pelajar SMA di situ, jadi kalo bandingkan Bandung dengan sini, saya rasa orang Bandung lebih lembut, lebih sopan gitu. Di sini bukan mau kata tidak Sopan, tapi bahasanya kasar kali, suaranya besar, jadi gimana ya. Orang-orangnya kayak tidak mementingkan Sosialisasi gitu. Kalo mereka liat kita, mereka tidak mau menegur gitu, walaupun teman sekuliah, ada yang tidak mau ngomong-ngomong sama kita. Mereka buat kayak gak tahu, Sosialisasinya gak adalah di sini. Jadi saya rasa mereka perlu lebih berSosial, lebih ramah. Lebih baik lah berbicaranya gitu.”
Govin menemukan perbedaan pada kerasnya suara orang-orang Medan. Ia
mengatakan orang Medan itu kasar dan cenderung tidak mementingkan sopan
santun. Menurut Govin, orang-orang Medan tidak mau bersosialisasi dengan
mereka. Itu ia simpulkan dari pengalaman yang ia alami. Meskipun sudah satu
kelas, mereka tidak dekat, Govin mengatakan bahwa teman-temannya mahasiswa
Indonesia tidak ramah, tidak mau melemparkan senyum, tidak mau menyapa. Ia
merasa seperti tidak ada iktikad baik untuk membuka diri berkenalan dengan
mereka. Ketika ingin menyampaikan hal ini Govin sempat berhenti sebentar, ia
mencari kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan pendapatnya. Peneliti juga
melihat ia seperti takut menyinggung perasaan peneliti sebagai orang Medan.
Karena ia terlihat bingung menyampaikannya, Harry ingin membantu. Dengan
menggunakan bahasa Inggris, bahasa yang mereka gunakan jika berbicara dengan
sesama mahasiswa Malaysia, Harry menanyakan apa yang ingin Govin
sampaikan. Govin tersenyum, tampak segan, tetapi peneliti mencoba
meyakinkannya kalau ia boleh menyampaikan apa saja yang jadi pendapatnya,
apa yang ia rasakan. Akhirnya Govin menceritakannya tanpa bantuan Harry,
karena sebenarnya ia bukan tidak tahu menyampaikannya, tetapi segan. Govin
juga menceritakan bahwa kebanyakan teman-temannya itu orang Indonesia yang
berasal dari kota lain yang juga merantau untuk kuliah di FKG USU, bukan
mahasiswa asli Medan. Ini membuatnya terkejut, mengapa keadaannya seperti
ini? Itu pertanyaan yang muncul di benaknya.
“tapi waktu di Bandung sana saya shock liat orangnya karena terlalu lembut, terlalu Sopan gitu. Kayak seumpamanya kita duduk di sini, ada orang lalu, kita gak tau sapa itu, tapi mereka bilang permisi ya pak, punten ya pak, gitu. Mereka ngomong, kita rasa, kenapa ya mereka harus bilang kek gitu? Terlalu Sopan, jadi terasa pelik. Tapi di sini, ada orang lewat aja, gak ada bilang permisi, kita berdiri pun langgar aja, gitu. Jadi culture shock itu saya merasakan apabila orang-orang itu kek gini. Cara bicara mereka, baru saya tau, mereka ini kasar kali ya. Mereka itu gak friendly gitu ya. Jadi saya rasa bedanya di situ.”
Sejauh pengalamannya, Govin melihat bahwa mahasiswa Indonesia di
FKG yang berasal dari luar kota Medan lebih ramah dan lebih mau berbaur
dibandingkan dengan orang asli Medan.
“kalo saya rasa ya, kalo orang dari luar kayak Palembang, Surabaya datang ke sini mereka lebih ramah, mereka lebih rapat, tapi orang asli Medan gak gitu, gak ramah, gak rapat. Gak tau kenapa. Memang dari 2008 sampai sekarang, teman-teman yang ada itu bukan asli dari Medan, dari Palembang, Surabaya, ada yang dari Bandung juga kuliah di sini. Mereka yang lebih mau berbicara, lebih dekat.”
Setelah mendengarkan cerita Govin, berkaitan dengan itu peneliti
langsung menanyakan apakah dengan keadaan yang seperti itu ia cenderung
mendekatkan diri dan berkumpul dengan sesama mahasiswa asal Malaysia
lainnya. Mendengar pertanyaan itu, dengan cepat Govin langsung membela diri.
Ia seperti ingin memberikan penjelasan bahwa itu bukan keinginannya. Ia adalah
tipe orang yang friendly, sangat ingin berbaur dan bergaul dengan siapa saja.
Govin ingin bisa bergaul dan berteman baik dengan semua mahasiswa Indonesia
tanpa terkecuali, tidak memandang apakah ia dari luar kota atau asli Medan.
Govin menyadari keberadaannya sebagai pendatang, ia yang harus mendekatkan
diri dengan lingkungan baru yang ia datangi, tetapi kondisi yang “menolak”
menurutnya, membuat ia pasrah dan menerima keadaan ini sebagai sebuah tradisi.
Govin memilih untuk mengikuti keadaan dengan tetap membuka diri untuk
berkenalan dengan mahasiswa Indonesia, siapapun itu. Sifatnya yang ingin
bergaul itu terlihat ketika peneliti datang ke FKG pada kesempatan berikutnya.
Dari kejauhan, peneliti mengamati gerak-gerik Govin. Ia suka berinteraksi dengan
mahasiswa Indonesia. Meskipun ia menyampaikan kekecewaannya mengenai
Sosialisasi yang menurutnya kurang, sesungguhnya Govin tetap membuka hati
untuk suatu persahabatan dengan mahasiswa Indonesia.
“saya bukan orang yang mau kan kayak gitu, saya mau lebih rapat dengan orang Medan di sini, cuman kerna Sosialisasinya kurang, saya pun gak tau gimana mau diperbaiki lagi. Jadi saya biasa ajalah, siapa yang mau ngobrol dengan saya, saya ngobrol. Kadang-kadang ada juga teman orang Indonesia yang mau ngobrol, mau senyum, yang kayak gitu seronok
lah. Itupun yang spesifik aja yang mau ngobrol sama kita. Tapi ini gak saya anggap sebagai masalah, ini saya anggap sebagai, apa ya, ini lah hakikat nya, udah jadi tradisi di sini lah gitu.”
Govin juga mencurahkan isi hatinya bahwa teman-teman satu angkatannya
di kelas mandiri kurang mau bergaul dengannya, kebanyakan ia memperoleh
teman mahasiswa Indonesia dari kelas reguler. Govin juga tidak tahu mengapa hal
itu terjadi, ia hanya merasakan bahwa mahasiswa Indonesia di kelasnya tidak mau
menegurnya, terkesan sombong. Sedangkan dari kelas reguler Govin sudah
mempunyai beberapa teman baik, ia bahkan dengan cepat menyebutkan nama
mereka satu persatu kepada peneliti. Govin bersemangat menceritakan
pertemanannya dengan mereka. Mereka tidak hanya akrab di kampus saja, selepas
semua aktivitas di kampus diselesaikan, sore hari mereka melepas penat bersama,
berolahraga Sore dengan bermain futsal bersama. Ketika ditanya mengapa dan
bagaimana ia bisa mendapatkan teman dari kelas reguler, Govin menjawab bahwa
ia menangkap iktikad baik dari mereka untuk berkenalan dengannya. Menurutnya,
mahasiswa di kelas reguler lebih ramah, mau menyapanya, memberikan
senyuman dan diajak berkenalan. Sesungguhnya, Govin ingin sekali bisa diterima
di tengah-tengah teman-teman mahasiswa Indonesia, terutama mahasiswa asli
Medan baik di kelasnya, di kelas reguler, atau dimana saja. Govin tidak
menginginkan adanya perbedaan.
“tapi itu semua bukan dari kelas saya, kami kan ada 2 kelas, ada mandiri dengan reguler, mereka itu yang reguler. Kalo yang mandiri kuranglah, kurang mau bergaul. apa ya, senang lah gitu kak, sewaktu aku lalu kelas mereka, mereka mau liat aku, mau senyum gitu. Lalu sapa lah, hai, kenalan gitu. Itu waktu semester pertama, kami belajar bersama, praktikum bersama, jadi bisalah, udah rapat gitu. Lepas tu di luar maen futsal bareng-bareng. Itu semua anak reguler, tak ada yang mandiri.”
Pengalamannya selama satu tahun di Bandung tahun 2006-2007,
memberikan pengetahuan bahasa Indonesia yang baik. Sehingga ketika tiba di
Medan dan harus berkomunikasi dengan mahasiswa Indonesia, ia tidak terlalu
kesulitan. Itu jelas peneliti rasakan, selama proses wawancara, semua pertanyaan
peneliti dapat ditangkap dan dijawab dengan baik oleh Govin. Menurutnya,
karena bahasa Indonesia dan Malaysia tidak terlalu banyak perbedaan. Selain itu
baginya, bahasa Medan itu tidak terlalu rumit, tidak terlalu asli. Masih banyak
kata-kata yang juga sering digunakan di Malaysia, sehingga mudah dimengerti.
Govin juga membandingkan pengalamannya tentang masalah bahasa ini selama di
Bandung. Menurutnya, bahasa Sunda yang digunakan di kota itu terlalu asli
daerah, terlalu rumit untuk dipelajari, bahkan dialek, intonasi dan pergerakan bibir
orang-orang Bandung sangat asli daerah. Ketika ia tiba di Medan dan mendapati
bahasa yang kurang lebih sama dengan bahasa yang digunakannya di Malaysia, ia
tidak mengalami kesulitan.
“jadi mula di sini kan saya bisa bahasa Indonesia karena pengalaman di Bandung tahun 2006 2007, jadi datang di sini, saya rasa gampang untuk berbicara, lagipun di sini bahasanya gak asli betol. Jadi campur-campur gitu.... saya rasa orang Medan, mereka gak gunakan bahasa yang terlalu asli. Mereka masih gunakan kata macam boleh, tak ada. Lebih kurang sama dengan di Malaysia, jadi saya gak rasa payah untuk ngomong. Kalo dulu disana, di Bandung mereka terlalu asli bahasanya. Contohnya kayak perkataan gimana ya, banget, sih, dong. Terlalu apa ya, terlalu asli gitu. Terlalu pekat, kayak intonasi suara, pergerakan bibir semua terlalu pekat gitu. Memang sebulan di sana tu kayak shock, kayak di planet lain gitu. Lagian mereka pake bahasa Sunda, jadi saya rasa kayak di planet gitu.”
Selain interaksi dengan mahasiswa Indonesia di kampus, Govin juga
berinteraksi dengan orang-orang luar seperti tukang becak dan supir angkot. Ia
tidak memiliki kendaraan pribadi, sehingga setiap kali ia harus berinteraksi
dengan orang-orang itu, meskipun sesekali Govin menumpang dengan teman
yang membawa kendaraan pribadi. Govin menyampaikan kekesalannya dengan
tukang becak dan supir angkot. Ia punya beberapa pengalaman tidak baik dengan
mereka, terutama masalah harga yang terlalu tinggi.
“kadang-kadang orang becak ni lah masalahnya. Satu hari satu harga gitu. Kalo hari ini mereka bilang sepuluh, eSok mereka bilang 20. Ada yang mengeluarkan kata-kata yang gak perlu dikeluarkan, kayak “ahh kamu orang Malaysia bayar ajalah lebih?” kadang saya pikir, kenapa ya mereka bilang kek gitu? “konflik yang besar itu selalu dengan tukang becak, kami pun malas melayani mereka. Kadang naek angkot, sama teman yang ada kereta. Kadang becak kalo terpaksa naek becak.”
Merindukan lingkungan asalnya akibat tinggal di negeri orang, jauh dari
keluarga dan orang-orang terdekat juga dirasakan Govin, terutama ketika
menjelang libur akhir semester, tetapi ia mampu mengatasinya dengan melakukan
banyak kegiatan dengan teman-teman Malaysia maupun Indonesia, seperti
mengerjakan tugas kuliah bahkan olahraga seperti futsal.
Selama wawancara, Govin juga berbagi pendapatnya tentang makanan
Medan. Ini juga termasuk masalah yang agak sulit baginya. Seminggu pertama, Ia
sering sekali mengalami sakit perut, tetapi lambat laun Govin bisa beradaptasi.
Bahkan, ia punya menu favorit, yaitu ayam penyet.
“makanannya saya rasa susah dikit, karena terlalu pedas. Pertama minggu kadang mencret lah gitu. Jadi, sekarang uda adaptasi, makanannya udah OK.”
Mengenai konflik Indonesia dan Malaysia, Govin berpendapat bahwa hal
itu adalah urusan pemerintah Indonesia dan Kerajaan Malaysia, jadi masyarakat
tidak perlu ikut campur dan terpengaruh. Menurutnya, masing-masing negara
memiliki kepentingan, keduanya saling membutuhkan, jadi tidak perlu membesar-
besarkan masalah yang ada, karena keduanya akan rugi. Bagi Govin, konflik dua
negara itu tidak mempengaruhi interaksinya dengan orang-orang Indonesia,
terutama mahasiswa Medan di kampusnya.
“sebenarnya kalo pandangan saya, konflik itu sebenarnya antara pemerintah dengan pemerintah. Biar mereka yang lunasi semua masalahnya. Kita sebagai masyarakat di sini gak perlu menunjuk perasaan gitu, karena kita saling membutuh satu sama lain. Maksud saya, kami kuliah di sini, haa..kebanyakan pekerja di sini bekerjanya di sana, jadi semua ada kepentingan faktor sendiri yang harus dijaga gitu, jadi kalo mereka besarkan masalah ini, dua ini harus balik ke negara masing-masing. Jadi biar kerajaan, biar pemerintah yang selesaikan. Jadi masyarakat tenang-tenang ajalah.”
Pertemuan selanjutnya peneliti dengan Govin tetap berlokasi di FKG, ia
baru selesai melalukan kegiatan praktikum, masih dengan menggunakan baju
praktik, ia duduk di kantin. Peneliti kemudian mendatanginya, kembali bertegur
sapa, menanyakan kegiatannya sehari ini, kemudian kembali membuka topik
tentang culture shock yang ia rasakan dan pengalaman-pengalaman lain selama di
Medan. Dari keseluruhan interaksi yang Govin lakukan dengan orang-orang
Medan, ia sangat mengalami kesulitan dan kekecewaan ketika harus berurusan
dengan pihak imigrasi. Seluruh mahasiswa asal Malaysia harus mengurus
kedatangan dan kepulangan mereka dengan pihak imigrasi. Biasanya menjelang
akhir semester seperti ini, mereka berbondong-bondong pergi untuk mengurus
kepulangan mereka selama liburan. Setiap kali datang, menurut pendapat Govin,
mereka tidak disambut dengan baik. Pihak imigrasi seperti tidak menghendaki
kedatangan mereka. Mereka merasa dipersulit untuk urusan yang satu ini. Untuk
mendapatkan izin surat balik, mereka harus benar-benar bersikap baik, menjaga
hati para pegawai imigrasi, tidak boleh sedikitpun membuat mereka tersinggung.
Govin juga menceritakan bahwa ia sungguh tidak mengerti apa yang mereka
inginkan. Hal ini membuat Govin sangat heran dan sekaligus kecewa, Ia
menanyakan mengapa mereka seperti itu. Dengan terang-terangan Govin
menceritakan kepada peneliti bahwa ia sangat kesulitan berkomunikasi dengan
pihak imigrasi. Selain itu, terkadang Govin juga mengalami masalah ketika
berinteraksi dengan dosen. Ada beberapa dosen yang tidak terlalu
mempermasalahkan hubungan antara dosen dan mahasiswa, tetapi ada juga
sebagian dosen yang ingin para mahasiswanya hormat, penggunaan bahasa ketika
presentasi dan menulis juga harus baik, tidak boleh ada kesalahan.
“kita kan harus berhubungan dengan imigrasi kan. Jadi kalo kita kesana kan mereka itu terlalu..kayak mana ya..terlalu..terlalu...gak menghendakkan gitu,.mereka itu gak..”ahh,kamu apa”, gitu..jadi kalo mau berurusan dengan imigrasi itu, harus betol-betol menjaga hati mereka, gitu. Kalo menjadi normal kek gitu gak bisa, harus menjadi lebih kayak berbaik, gitu. Kalo kita bilang,”ibu, saya mau..” mereka gak mau, harus yang baik bilang “ibu...” gak tau apa yang mereka harapkan dari kita. Berbicara dengan mereka itu sulit kali lah. Terpaksa jaga semua. Lagipun mood nya kadang-kadang gak baik.”
“trus kayak dosen-dosen di sini, kadang ada dosen yang gak terlalu pentingkan antara mahasiswa dan dosen, tapi ada juga yang pentingkan itu, mahasiswa dengan dosen itu harus hormat, bahasanya harus benar, tak boleh ada sedikit kesalahan gitu.”
Sejauh ini Govin sudah mampu berinteraksi dengan baik, terutama dengan
mahasiswa Indonesia di kampusnya. Ia juga sempat mengomentari beberapa
mahasiswa asal Malaysia yang memilih untuk lebih sering berkelompok dengan
sesamanya. Mereka tidak menemui bentrok interaksi dengan orang-orang
Indonesia karena mereka memilih untuk tidak berbaur. Menurutnya itu tidak
terlalu baik. Prinsip Govin adalah bahwa setiap melakukan sesuatu yang baru,
pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Tapi jika kita takut dengan kekurangan,
sehingga memilih tidak melakukan apa-apa, maka tidak akan pernah maju.
Sebagai orang yang sangat suka bergaul, Govin kerap kali menemukan kesalahan
dan kesulitan komunikasi, tetapi seiring waktu, komunikasi yang terus dilakukan
dan keinginan untuk terus belajar, Govin mampu beradaptasi.
“itulah tadi, kekmana kubilang..di sini ada dua kelompok, ada yang sama anak malaysia aja. jadi mereka tak mungkin bermasalah kan, mereka dengan sesama mereka aja. Sebab mereka kan gak pernah berinteraksi. Kalo saya, saya suka bergaul, suka berinteraksi jadi di situ lah munculnya masalah. Gini kak, perkara yang logikal ya, ketika kita membuat sesuatu yang baru pasti ada kebaikan dan keburukannya. Kalo kita gak mau membuat sesuatu yang baru, kita tetap aja dengan apa yang kita ada, kita kan gak kemana-mana.”
“gini lah kak, aku sampe usu, memang teman aku teman aku, teman malaysia teman malaysia, tapi kalo aku mau tanya, aku tanya dua pihak. Gak ada pilih kasih lebih ke malaysia atau kekmana.”
Kesimpulan Kasus
Govin terkejut memperoleh suatu keadaan bahwa seperti inilah kota
Medan dan orang-orang di dalamnya. Di tahun pertamanya, Govin mengalami
kekecewaan dan kesedihan ketika memperoleh perlakuan seperti ditolak oleh
teman-teman mahasiswa Indonesia sekelasnya. Menurutnya, sosialisasi orang
Medan, terkhusus di kampusnya sangat rendah dan itulah yang menjadi
pertanyaan baginya. Pengalamannya selama enam bulan di Bandung sedikit
banyaknya membantu adaptasinya, namun hal itu pula yang menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan gegar budaya yang Govin alami. Keadaan kota
Bandung, khususnya dalam hal karakteristik orang-orangnya yang berbeda
dengan apa yang ia alami di Medan memberikan keterkejutan tersendiri.
Contohnya, orang Bandung yang sangat sopan dalam bertutur dan bertingkah
laku, sedangkan orang Medan berbicara dengan suara yang kuat dan terkesan
kasar. Selain itu dalam hal bahasa. Bahasa Sunda yang bagi Govin terlalu asli
sehingga rumit untuk dipelajari, sedangkan bahasa Medan cenderung hampir sama
dengan bahasa Melayu yang biasa digunakannya, sehingga tidak terlalu sulit
untuk dipelajari. Meskipun merasa ditolak, itu tidak membuatnya menyerah dan
putus asa. Keadaan itu tidak membuatnya menyerah hidup sebagai perantau di
negara orang. Govin pribadi yang berani mencoba hal baru dan membuka diri
untuk suatu perubahan. Saat ini Ia mempunyai banyak teman mahasiswa
Indonesia dan mereka bergaul akrab, tidak hanya untuk urusan perkuliahan. Govin
juga mempunyai keluhan terhadap fasilitas dan birokrasi kampus yang
menurutnya perlu ditingkatkan. Selain itu, kendala juga dihadapinya ketika
berurusan dengan pihak imigrasi. Sedangkan di luar interaksi komunikasi
antarbudaya, makanan Medan juga menjadikesulitan baginya. Gangguan fisik
seperti sakit perut selama seminggu pertama kerapkali ia alami.
Informan 4
Nama : Amirah Fahimah Binti Ahmad TarmiziUsia : 22 TahunJenis Kelamin : PerempuanFakultas : Kedokteran GigiAngkatan : 2007Lama Menetap : 3,5 tahunAlamat Tempat Tinggal : Jalan Dr. MansurTanggal Wawancara : Kamis, 2 Desember 2010
Peneliti mengenal Amirah dari informan sebelumnya. Waktu itu peneliti
dibawa menghampiri sekelompok mahasiswa asal Malaysia yang sedang
berbincang-bincang dan menunggu pesanan makan siang mereka. Amirah adalah
salah satu dari mereka. Kulitnya putih, rambutnya panjang, berpenampilan
modern dengan kemeja dari bahan jeans dan juga celana jeans. Peneliti berkenalan
selama beberapa saat, kemudian menanyakan pengalamannya selama di Medan.
Amirah melanjutkan kuliah di FKG USU karena diberikan beasiswa oleh
pemerintah Malaysia.
Selama kurang lebih 3 tahun Amirah tinggal di Medan, bahasa adalah
masalah yang paling besar baginya. Ketika berbicara dengan peneliti saja, ia
banyak sekali diam dan memikirkan pilihan kata yang tepat. Tata bahasa
Indonesianya juga belum baik, masih berantakan. PerSoalan yang Amirah alami
ini membuatnya lebih banyak berdiam diri dan memilih mendengar. Untuk itulah
Amirah cenderung bergabung dengan sesama mahasiswa asal Malaysia,
setidaknya itu yang peneliti dapatkan selama observasi.
Kesulitan komunikasi dikarenakan perbedaan bahasa membuat intensitas
interaksi dalam hal komunikasi antarbudaya dengan mahasiswa Indonesia kecil.
Amirah hanya berkomunikasi dengan mahasiswa Indonesia selama berada di
lingkungan kampus untuk hal yang berhubungan dengan perkuliahan saja, untuk
ranah pribadi dan berbincang panjang lebar sangat jarang Amirah lakukan. Teman
sesama Malaysia yang sering bersamanya juga mayoritas yang satu suku
dengannya, yaitu Melayu. Hal itu juga semakin diperkuat ketika Amirah sendiri
yang mengakuinya kepada peneliti ketika wawancara. Amirah merasa lebih
nyaman dengan teman sesama Malaysia karena tidak perlu mengalami masalah
dalam bahasa, sehingga sampai sekarang pun ia hanya sekedar kenal saja dengan
mahasiswa-mahasiswa Indonesia lainnya, tetapi tidak ada yang dikenal baik dan
dijadikan sahabat.
Bahasa Indonesia yang tidak fasih juga mempersulit Amirah selama proses
belajar-mengajar, seperti ketika harus presentasi, banyak kata yang tidak dipahami
sehingga sulit untuk menjelaskannya. Selain itu, Amirah tidak hanya mengalami
kesulitan dalam bahasa lisan, bahasa tulisan juga menjadi hambatannya, bahkan
lebih besar dibandingkan dengan bahasa lisan. Ia mengeluh karena sangat sering
mendapat teguran dan dimarahi oleh dosen karena ketidakmampuan menulis. Itu
menjadi lebih terasa di saat Amirah menyusun tugas akhir-nya, yaitu skripsi.
Sebagaimana sebuah tulisan karya ilmiah yang harus memenuhi aturan penulisan
dan tata bahasa baku, menjadi persoalan besar bagi Amirah, sehingga perbaikan
berulang-ulang harus ia alami. Untuk mengatasinya, ia meminta bantuan kepada
mahasiswa Indonesia untuk memeriksa skripsinya terlebih dahulu sebelum
diserahkan kepada dosen pembimbingnya.
Culture shock dalam komunikasi antarbudaya tidak terlalu terasa bagi
Amirah, hal ini karena ia memilih bergabung dengan sesamanya mahasiswa asal
Malaysia. Kenyamanan karena persamaan budaya diperolehnya ketika bergabung
dengan kelompoknya, sehingga bentrok komunikasi antarbudaya jarang ia alami.
Sesungguhnya, berdasarkan pengakuannya tersebut dan juga pengamatan yang
peneliti lakukan, Amirah tidak mampu menerima perbedaan-perbedaan yang ada
sehingga ia menghindar dari interaksi yang terlalu sering dengan mahasiswa
Indonesia.
Amirah juga merasakan perbedaan dengan makanan Medan, terlalu pedas
dan porsinya banyak, tetapi itu tidak terlalu bermasalah baginya. Pengalamannya
selama kurang lebih 3 tahun tentu dipenuhi keterkejutan diakibatkan perbedaan.
Tetapi masalah bahasa inilah yang paling mencolok dan menghambatnya.
Keterkejutan juga ia rasakan ketika melihat dan mendengar perempuan Medan
yang berbicara dengan suara keras dan suka menjerit, itu pengalamannya terhadap
mahasiswi Indonesia di FKG. Selebihnya, ia merasa biasa saja, tidak ada
perbedaan dan kesulitan lain yang terlalu besar.
“suara orang perempuan tu kan keras kan, jerit-jerit. Kalo komunikasi itu mula-mula ada masalah lah kan, kayak kami cakap lain, orang Indonesia pahamnya lain. Jadi mula-mula datang sini tak banyak cakap lah, jadi lebih banyak mendiamkan diri, lebih banyak mendengar.”
“bahasa lagi lah memang masalah yang besar. Kalau ngomong udah sikit bisa lah, kalau penulisan lah, susah. Jadi kami selalu kena marah dosen. Macam waktu skripsi ini kan, jadi perbaikan, perbaikan, perbaikan aja. Minta teman dari indonesia baca dulu baru kasi dosen.”
Kesimpulan Kasus
Amirah mengalami culture shock dengan karakteristik orang Medan yang
berbicara dengan suara kuat, khusunya perempuan. Baginya, perempuan yang
berbicara dengan suara yang kuat adalah sesuatu yang aneh dan tidak wajar.
Kendala yang paling utama baginya adalah bahasa. Ia mengalami kesulitan besar
dalam hal bahasa, baik lisan maupun tulisan. Hal ini terasa ketika perkuliahan dan
menyusun skripsi sebagai tugas akhir-nya. Ia bahkan sempat takut karena sering
dimarahi oleh dosen. Kendala ini ia atasi dengan meminta bantuan mahasiswa
Indonesia untuk memeriksa skripsinya terlebih dahulu sebelum menyerahkan
kepada dosen pembimbing. Ketidakmampuannya akan bahasa ini yang membuat
Amirah cenderung berkumpul dengan sesama mahasiswa Malaysia. Ia merasa
lebih nyaman dan tidak perlu takut mengalami kesulitan dalam interaksi. Hal ini
juga yang menutupi culture shock yang ia rasakan.
Informan 5
Nama : Lavanyah RajagopalUsia : 24 TahunJenis Kelamin : PerempuanFakultas : Kedokteran GigiAngkatan : 2007Lama Menetap : 3,5 tahunAlamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin Ginting No. 46Tanggal Wawancara : Jumat, 3 Desember 2010
Lavanyah adalah wanita yang sangat ramah, heboh, ceria dan ekspresif.
Ketika sedang mewawancarai Hery, Lavanyah menghampiri Hery, mereka
berbincang masalah perkuliahan dan persiapan UAS. Sebelumnya peneliti juga
sudah pernah bertegur sapa dengan Lavanyah, tetapi pada pertemuan pertama itu
Lavanyah menolak untuk diwawancarai karena ia sangat sibuk. Selesai
berbincang, Lavanyah memilih salah satu tempat duduk di kantin FKG.
Dikarenakan peneliti juga sudah selesai melakukan wawancara dengan Hery,
peneliti menghampiri Lavanyah. Ia menyambut baik peneliti dengan senyuman
ceria di balik wajahnya yang terlihat sangat lelah. Ia baru saja mengurus penelitian
untuk penyelesaian skripsinya. Ketika sedang menunggu pesanan makan
siangnya, peneliti menyapanya dan menanyakan apakah kali ini ia bersedia untuk
diwawancara, akhirnya Lavanyah pun menyetujuinya, bahkan ia menyambut
peneliti dengan sangat ramah, mengambil tasnya yang semula diletakkan di kursi
sebelah kanannya agar peneliti bisa duduk.
Selama wawancara, peneliti berusaha untuk mengenal pribadi Lavanyah
dari cara ia berbicara dan menerangkan pengalamannya. Sejauh pengamatan
peneliti, secara fisik Lavanyah adalah wanita India dengan kulit gelap, wajahnya
manis, ada bindi di dahinya, tidak terlalu tinggi dan agak gemuk. Ia merupakan
mahasiswi yang supel, sederhana secara penampilan, saat wawancara ia
mengenakan kemeja hitam garis-garis vertikal putih dan celana bahan berwarna
hitam dengan rambut dikuncir. Lavanyah tipe orang yang cerewet, suka berbicara,
setiap kali menjelaskan sesuatu lengkap dengan ekspresinya.
Peneliti menanyakan perasaannya ketika pertama kali tiba di Medan,
Lavanyah menjelaskannya secara kronologis mulai dari proses pertimbangan
pemilihan universitas sampai kehidupannya selama tiga tahun di Medan.
Lavanyah memulainya dengan cerita bahwa ia memilih USU karena telah
mendapat informasi bahwa Medan dekat dengan Malaysia dan secara garis besar
hampir sama dengan Penang. Hal itu membuat Lavanyah juga setuju untuk
melanjutkan kuliah ke FKG USU, ditambah dengan dukungan sang ayah yang
semakin memperkuat tekadnya.
“Actually mula-mula kan, kita ke education fair, nanti mereka bilang “ok kamu mau yang mana?”, tapi mereka bilang yang usu, di medan seperti di penang juga. Mereka bilang yang kalau pilih usu lebih gampang karena seperti penang juga. So, mereka bilang lebih baik lah ke usu yang di medan aja. Ayah saya pun kata ok lah ke usu aja, sebab kan dekat aja. So, saya langsung ke medan.”
Setibanya di Medan, tepatnya di bandara Polonia, Lavanyah masih belum
merasakan kesepian atau kehilangan lingkungan familiarnya, karena Lavanyah
berangkat dengan 40 mahasiswa asal Malaysia lainnya. Begitu juga ketika tiba di
penginapan sementara mereka, Lavanyah dan yang lainnya justru disibukkan
dengan kegiatan berbelanja peralatan hidup sehari-hari, karena mereka tidak
membawa perlengkapan apapun ketika berangkat dari Malaysia. Lavanyah
menceritakannya dengan sangat antusias dan berulang kali tertawa.
“ooh, sebenarnya gak tau. Semua bahan, semuanya like..hmm, all things that i never bring. Gak bawa semuanya, semua barangnya gak bawa, kayaknya pergi mau vacation, holiday. Lepas itu waktu tiba di bandara, oke tooth brush, apa-apa, semua tak ada bawa.”
Setelah mengurus semua berkas dan persyaratan, hari pertama Lavanyah
ketemu dan berinteraksi dengan orang Indonesia adalah ketika OSPEK di FKG
USU. Kejadian OSPEK adalah hal pertama yang membuat Lavanyah terkejut dan
merasakan perbedaan antara negaranya dan Indonesia. Menurut Lavanyah, masa
orientasi seperti yang FKG lakukan sangat keterlaluan. Sedangkan di Malaysia,
kegiatan semacam itu ada, tetapi hanya sebatas perkenalan kuliah saja, tidak ada
pelonco seperti yang FKG USU lakukan. Seperti yang sudah peneliti sebutkan
sebelumnya bahwa Lavanyah adalah pribadi yang sangat ekspresif, menceritakan
bagian ini pun ia sangat antusias, Lavanyah berulang kali membuat peneliti
tertawa karena tingkah lakunya, karena selama bercerita ia mengucapkan
beberapa kata yang salah, misalnya ketika Lavanyah bermaksud menyebutkan
“jengkol”, ia mengucapkan kata “jempol”. Dari ekspresi dan mimik wajahnya
serta bahasa nonverbal lainnya, Lavanyah benar-benar menunjukkan
keterkejutannya melihat OSPEK ala kampus FKG USU, bahkan ia hanya
mengikuti kegiatan itu satu hari saja, dua hari berikutnya ia memilih diam di kost.
“pas itu masih belum jumpa indonesians, lepas tu baru hari pertama kita ke FKG, pas itu masuk ospek. Masuk ospek, like aduh, seram kali. Udah masuk aja mereka jerit-jerit, semua disuru pake-pake apa. Di malaysia, actually ada, tapi macam perkenal-perkenal aja, tak bisa macam ini, yang kasar kali, So, terrible lah yang ospeknya. Itu 3 hari, tapi satu hari aja kita pergi, lepas tu gak pergi lagi. Berapa jam aja, sebab seram kali. Senior-senior tu jerit-jerit. Disuruh makan jempol lagi, eh, jengkol, semua muntah-muntah, sebab i never eat before. Esoknya disuru bawa barang-barang itu kan, tapi kami tak ngerti apa yang mereka suruh.”
Tetapi itu hanya dialami selama OSPEK saja, setelah itu semuanya
kembali normal. Lavanyah mencoba menjalin hubungan yang baik dengan para
senior. Mereka saling berbagi cerita, pengalaman dan buku selama perkuliahan.
“sekarang dengan senior udah ok. Lepas ospek aja, semua ok lah, mereka bagi note, everything lah.”
Hubungan Lavanyah dengan mahasiswa Indonesia di kampusnya juga
terjalin dengan cukup baik. Selama wawancara beberapa kali temannya yang
orang Indonesia menghampirinya untuk menanyakan seputar perkuliahan.
Lavanyah juga memiliki dua teman Indonesia yang menjadi partner-nya dalam
melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi. Bersama dua temannya itu,
Ayu dan Ulipeh, Lavanyah semakin belajar tentang Indonesia, terutama Medan.
Bersama mereka juga ia belajar menghargai dan menerima segala perbedaan yang
ada. Mereka melewati suka duka penelitian bersama, bahkan sudah merencanakan
liburan untuk melepas penat selama pengerjaan Tugas Akhir. Lavanyah dan kedua
temannya saling membantu ketika ia mengalami kesulitan, khususnya dalam hal
bahasa ketika berkomunikasi dengan orang Indonesia lainnya.
Bahasa adalah hal yang sampai sekarang masih sulit bagi Lavanyah.
Peneliti juga merasakannya, karena dari sekian informan yang peneliti
wawancara, Lavanyah adalah satu-satunya informan yang paling sering
menggunakan campuran bahasa inggris, bahkan hampir seluruhnya. Bersama
Ulipeh dan Ayu, ia saling bertoleransi, ketika keduanya saling tidak memahami,
mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai penengah. Meskipun demikian,
dalam keseharian, Lavanyah mengaku ia selalu berusaha belajar mengucapkan
bahasa Indonesia, terutama karena penelitian yang dilakukannya menuntut
Lavanyah untuk menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
“saya buat skripsi juga dengan yang Indonesian, ulipeh sama ayu. Okelah kita buat penelitian, kita bagi sama-sama sebab topiknya sama cuman expect nya beda, So, kita buat sama-sama.”
“ooh, masalah bahasa ada banyak, yang komunikasinya memang Sometimes ulipeh kan understand what i’m try to say, nanti pun dia bilang yang saya tak erti, lepas tu like kita paham kan sendiri. Kalau tak erti saya tanya, nanti dia coba translate dalam bahasa inggrisnya lah. Saya kan belum tau betol bahasa indonesia tu kan, So,nanti saya bilang sama ulipeh “ulipeh ini apa? Ininya apa?”, nanti ulipeh bilang, “oh ini kek gini”, macam tu lah.”
Gejala culture shock seperti homesick yang berlebihan di awal
kedatangannya juga dialami oleh Lavanyah. Ia juga merasakan kehilangan
suasana yang biasa ia temukan di negaranya, apalagi ini pertama kalinya ia tinggal
sendiri dalam waktu yang lama tanpa orang tua. Lavanyah merindukan keluarga,
setiap malam tiba, di kamar kost nya ia menangis. Tetapi itu lambat laun mampu
ia atasi kerena Lavanyah mengaku banyak hal yang harus ia lakukan sebagai
seorang perantau yang menuntut ilmu di negeri orang. Selain itu, teman-teman
yang selalu bersamanya dan mendukungnya membuat Lavanyah semakin kuat.
Ditambah lagi ia mempunyai banyak teman sesama mahasiswa asal Malaysia di
kampus dan di kost, sebagai teman senasib sepenanggungan.
“ini kali pertamanya lepas dari emak bapak. lepas tingkatan enam juga sama emak dan ayah, tak pernah tinggal dimana-mana, rumah nenek juga tak pernah tinggal. Slalunya di rumah sendiri, So, macam like, mereka bilang harus pergi. Sebab ini pertama kali keluar negara, tak pernah berpisah dari emak dan ayah, pertama kali itu. So, rasanya macam...”
“homesick pasti lahh, apalagi pertama kali. 2 minggu awal-awal tu kan asik menangis aja. Sebab itu belom bisa call, sebab sim card-nya pun belom tau kodenya, belum tau apa-apanya lah.”
Secara keseluruhan, itulah yang membuatnya terkejut ketika menjalani
kehidupan di kota Medan. Selain itu, Lavanyah tidak terlalu mengalami kesulitan
dalam hal makanan, sebab ia seorang vegetarian, jika di kampus Lavanyah lebih
sering memesan mie instan yang digoreng atau direbus dengan sayur dan
potongan tahu. Lavanyah sangat menyukai tempe, ini pertama kalinya ia makan
tempe dan langsung menyukainya.
Bagi Lavanyah budaya Indonesia dan Malaysia kurang lebih hampir sama,
banyak hal yang sama antara kedua negara. Lavanyah memberikan contoh
penggunaan tangan kiri yang kurang baik dalam budaya Indonesia yang juga sama
di Malaysia. Menurutnya, orang-orang Indonesia juga cukup baik dan ramah. Itu
ia rasakan selama di kampus dan ketika menjalani praktik JCS di Rumah Sakit
Adam Malik.
“culture shock not really lah, similar, the culture is similar lah, kurang lebih sama. Kan yang macam tangan kirinya di indonesian is bad, right? Even malaysian, especially Indian yang left hand is alSo bad. Sama, kayaknya up and down lah, ada yang sedikit beda lah.”
“kami ada JCS di hospital adam malik kan, So, di situ juga banyak indonesian, pokoknya they are very friendly lah, kalau kita tanya apa pun, they try to share. And then they don’t like, kalau ada isu-isu politik macam tu kan between indonesia and malaysia. They say “ah, itu kan masalah politik, don’t involve mahasiswa.”
Interaksi dengan penghuni kost lainnya juga terjalin baik. Pribadinya yang
ceria dan ceplas-ceplos membuat orang senang berbicara dengannya. Selain itu, Ia
juga tidak malu jika salah mengucapkan kata dan selalu ingin belajar. Lavanyah
tinggal di Jalan Jamin Ginting dengan empat orang mahasiswa Malaysia dari FK
dan FKG dan dua orang mahasiswa Indonesia. Tidak ada konflik yang terjadi di
rumah kost, Lavanyah menyadari dirinya sebagai pendatang dan berusaha
membangun hubungan yang baik.
“saya kost sama malaysian, indonesian dulu ada, tapi sekarang udah pindah, sekarang udah 2 orang aja. Hubungan sama mereka baiklah, sebab mereka junior kan, So mereka macam kalau ada apa-apa yang mereka mau, they come to my room lah.”
Lavanyah sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan Medan. Ia bahkan
tergabung sebagai anggota di salah satu pusat olahraga, seperti tempat fitness dan
sauna. Ia berinteraksi dengan anggota lain yang kebanyakan ibu-ibu rumah
tangga. Kelihatan sekali ia sangat menikmati harinya di tempat ini, karena ia
menceritakannya dengan antusias, tangan Lavanyah tidak berhenti bergerak
kesana kemari memperagakan setiap halnya.
“kalo di luar saya di cleopatra fitness lah. Nanti ibu-ibu itu semua very lucu lah. Mereka bicara trus, i’m not really understand what they say but i try to understand. Saya juga cerita lah, ibu-ibu tu tanya-tanya.
Kesimpulan Kasus
Lavanyah adalah pribadi yang suka bergaul dan mudah beradaptasi.
Culture shock yang ia alami pertama kali tiba di Medan adalah OSPEK ala FKG
USU. Menurutnya kegiatan itu terlalu berlebihan. Di Malaysia kegiatan seperti ini
juga ada di kalangan mahasiswa baru, tetapi hanya sebatas pengenalan singkat
tentang garis-garis besar kampus saja. Hal ini benar-benar membuatnya terkejut.
Ini merupakan pengalaman pertamanya meninggalkan negara dan hidup sendiri
tanpa orang tua. Di awal kedatangannya, homesick selalu dirasakan. Selain itu,
bahasa juga menjadi kendala besar baginya. Kesulitan dalam berkomunikasi
sering ia rasakan. Meskipun demikian, Lavanyah merupakan pribadi yang suka
bergaul. Kesulitan bahasa yang dialaminya tidak membuat Lavanyah berhenti
mencoba untuk berkomunikasi. Penelitian yang sedang ia lakukan bersama dua
mahasiswa Indonesia membuat mereka semakin akrab. Ia belajar tentang bahasa
dan lainnya bersama kedua temannya tersebut. Saat ini, Lavanyah sudah mampu
beradaptasi, bahkan di luar kampus ia sudah memasuki komunitas lain, yakni
kelompok fitness bersama anggota lainnya yang mayoritas ibu-ibu rumah tangga.
Informan 6
Nama : Amir HakimiUsia : 23 TahunJenis Kelamin : laki-lakiFakultas : KedokteranAngkatan : 2006Lama Menetap : 4,5 tahunAlamat Tempat Tinggal : Jalan Dr. MansurTanggal Wawancara : Kamis, 16 Desember 2010
Pertemuan peneliti dengan Amir berlokasi di RSUP Haji Adam Malik
Medan. Peneliti mengenalnya dari salah seorang kenalan peneliti. Saat itu Amir
sedang istirahat, peneliti menghampirinya dan mulai mewawancarainya. Pertama
kali peneliti dikenalkan dengan Amir, peneliti sempat tidak percaya ia mahasiswa
asal Malaysia, sebab secara fisik ia sama dengan orang Indonesia. Kulitnya putih,
menggunakan kacamata dan saat itu ia menggunakan kemeja yang dibalut dengan
jas putih yang merupakan seragam praktik co-assnya.
Bagi Amir kedatangannya ke Kota Medan juga hal baru, sebab ini pertama
kalinya ia menginjakkan kaki di kota ini. Perbedaan pertama yang ia temukan
setibanya di Medan adalah keadaan jalanan yang lebih ramai, padat dan tidak
teratur dibandingkan dengan Malaysia. Tetapi untuk yang satu ini, keheranan
hanya terjadi awal saja, sekarang Amir justru ikut dalam ketidakteraturan itu.
Sambil tertawa Amir mengakui kebiasaan menekan klakson ketika berhadapan
dengan kemacetan lalu lintas juga dilakukannya.
“pertama kali sampai medan, memang ada rasa agak beda la dengan malaysia. Kotanya agak padat, jalan gak teratur kali, bising sebab sering tekan horn. Tapi sekarang biasa aja la, malah saya pun ikut tekan horn juga la.”
Pengetahuannya tentang Medan sebelumnya juga sama dengan yang
lainnya. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara dalam satu rumpun, sehingga
budayanya juga kurang lebih hampir sama, termasuk bahasa. Ketika memasuki
Kota Medan, Amir mulai berinteraksi dengan orang-orang Medan. Interaksi
dimulai dengan teman-teman kampusnya. Perbedaan yang paling menyolok
dirasakan Amir adalah cara bicara orang Medan yang agak kasar dengan intonasi
dan volume suara yang kuat.
“kalau orang Medan ngomongnya memang agak kasar, bahasanya gak begitu jauh, Medan dengan Malaysia itu hampir sama la.”
FK USU memang lingkungan baru baginya, tetapi ia memilih untuk
langsung berbaur dan bergabung dengan mahasiswa Indonesia. Berbeda dengan
FKG USU yang program co-ass-nya di akukan di klinik yang juga berlokasi di
kampus, Amir menjalani coassnya di rumah sakit. Kondisi lingkungan yang
dihadapi tentu berbeda. Lingkungan yang lebih ramai, dengan orang yang berlalu
lalang, banyak tambahan orang-orang baru yang ditemuinya, seperti dokter, suster
perawat dan tentunya pasien di rumah sakit tersebut. Masalah komunikasi juga
sempat Amir alami dengan beberapa pasien yang berbicara dengannya dengan
menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Batak.
“saya langsung berbaur la, di FK dulu pun gitu juga. Waktu kuliah dengan co-ass hampir sama aja, cuman tambah pengaruh lingkungan dari suster perawat gitu la. kalau sama pasien kadang ada masalah bahasa sikit, sebab mereka kadang pakai bahasa batak, jadi tak paham.”
Amir mengaku ketika ia berhadapan dengan pasien yang menggunakan
bahasa Batak, ia meminta bantuan teman Indonesia yang juga sedang co-ass
bersamanya. Tetapi itu tidak berlangsung lama, karena temannya membantu
mengatakan kepada pasien untuk menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa
sekiranya tidak menjadi kendala bagi Amir, mulai dari kehidupan kampus di FK
USU sampai ketika co-ass di rumah sakit. Kondisi rumah sakit yang menuntut
serba cepat dan harus saling kerja sama membuat Amir selalu berkomunikasi
dengan teman Indonesia. Hal ini membantu melatih kemampuan berbahasanya
dan hubungan yang semakin baik. Dari pengamatan peneliti dan pengakuan Amir
sendiri, ia adalah orang yang tidak suka membeda-bedakan antara orang Indonesia
dan Malaysia. Amir bergaul dengan siapa saja. Peneliti juga mengamati
kegiatannya selama di rumah sakit, bersama teman-teman sesama co-ass yang
mayoritas orang Indonesia, Amir sudah bergaul akrab bahkan di sela waktu
istirahat, mereka berkumpul di sebuah ruangan yang memang disediakan untuk
para mahasiswa co-ass. Mereka ngobrol santai dan bersenda gurau.
Kemampuannya menyesuaikan diri juga disebabkan prinsip hidup orang
Malaysia kebanyakan. Menurut pengakuan Amir, mereka sudah terbiasa dengan
kehidupan mandiri yang jauh dari keluarga. Perasaan homesick memang
dirasakannya, tetapi itu hanya sebentar saja. Secara keseluruhan beradaptasi
dengan lingkungan kota Medan dan orang-orangnya tidak terlalu sulit bagi Amir.
Ia mengaku hanya membutuhkan waktu kurang lebih 4 bulan.
“homesick ada la, sebab pasti lebih enak di tempat sendiri kan. Tapi itupun biasa-biasa aja la, sebab kami orang malaysia udah dibiasa hidup mandiri, dari umur 12 tahun. Jadi ya bisa la adaptasi. saya dari masuk tahun 2006, tiga atau empat bulan aja udah bisa adaptasi la.”
Kesimpulan Kasus
Amir adalah pribadi yang cepat dalam beradaptasi. Ia juga mengalami
culture shock, tetapi tidak terlalu sulit baginya untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru, yakni Kota Medan. Setibanya di Medan, ia merasa orang-orang
Medan itu kasar karena kebiasaan berbicara dengan suara yang kuat. Ia juga
merasakan perbedaan akan jalanan Medan yang tidak teratur dan sesuka hati
membunyikan klakson. Tetapi, sekarang hal ini sudah menjadi sesuatu hal yang
biasa baginya. Ia bahkan ikut menjadi pengguna jalan raya yang seringkali
membunyikan klakson. Ia sedang menjalani co-ass di rumah sakit. Lingkungan
rumah sakit semakin menuntutnya untuk berbaur dan harus mampu
berkomunikasi. Ia saling bekerja sama dengan mahasiswa co-ass lainnya,
khususnya mahasiswa Indonesia, karena orang-orang yang ada dalam rumah sakit
itu hampir semua adalah orang Indonesia. Ia sudah hampir 5 tahun menetap di
Kota Medan. Ia sudah mampu beradaptasi saat ini.
Informan 7
Nama : Jonathan Lin Chee HangUsia : 24 TahunJenis Kelamin : Laki-lakiFakultas : Kedokteran GigiAngkatan : 2006Lama Menetap : 4.5 tahunAlamat Tempat Tinggal : Jalan Dr. MansyurTanggal Wawancara : Senin, 20 Desember 2010
Peneliti menemui Jonathan ketika sedang beristirahat dari kegiatannya
sebagai mahasiswa co-ass di FKG USU. Ia berdarah campuran, ibunya orang
Filipina dan ayahnya Chinese. Secara fisik, campuran Filipina dan Cinanya jelas
terlihat, kulit putih, mata sipit dan juga dialek bahasanya. Ia sering berpindah-
pindah kota bahkan negara untuk beberapa kepentingan, seperti untuk
merencanakan bersekolah dalam bidang kesehatan Filipina, tetapi melihat
populasi penduduk Filipina yang terlalu padat, Jonathan membatalkan niatnya.
Seperti kebanyakan, ia pun memilih FKG USU karena dekat dengan Malaysia,
kualitas yang baik dengan biaya yang cukup murah bila dibandingkan dengan
universitas di negara asalnya. Baginya ini memang pengalaman pertama datang ke
Medan, sehingga tidak ada bayangan yang terlalu besar tentang Kota Medan,
tetapi sebelumnya ia sudah pernah mengunjungi beberapa kota lain di Indonesia,
seperti Kalimantan dan Palembang.
“ini pertama kali ke medan, jadi gak ada bayangan la. tapi saya memang pernah ke tempat-tempat lain seperti filipina, jadi bagi saya sama aja. selain itu gak terlalu bermasalah la, sebab saya sering pindah-pindah, filipina, jerman, di indonesia itu di medan, palembang, kalimantan juga. sebab sebelumnya saya pernah ke filipina untuk studi, tapi gak jadi sebab di sana populasi lebih negeri.”
Komunikasi antarbudaya yang tidak efektif karena kendala bahasa juga
turut Jonathan alami. Ia mengaku di tahun pertamanya tinggal di Medan, masalah
bahasa sempat menjadi persoalan. Apalagi ia baru mengetahui bahwa orang
Tionghoa di Medan tidak menggunakan bahasa Mandarin ketika berkomunikasi
dengan sesamanya, tetapi dengan bahasa Hokkien, sedangkan di Malaysia orang
Tionghoa berkomunikasi dengan bahasa Mandarin. Ini sempat membuatnya
bingung karena Jonathan sama sekali tidak bisa berbahasa Hokkien. Tetapi itu
tidak terlalu mempengaruhi keinginannya untuk berinteraksi, dengan sesama etnis
Tionghoa ia menggunakan campuran bahasa Indonesia atau kadang-kadang
bahasa Inggris. Jonathan juga bergaul dengan mahasiswa Indonesia lainnya di
kampus FKG USU, bahkan di luar kampus.
“kalau pertama kali, tahun pertama memang ribet la bahasanya. Apalagi kan saya mix Chinesse, orang Tionghoa di sini kan beda bahasanya. Kalau orang Tionghoa di sana pakai bahasa Mandarin, kalau disini pakai bahasa Hokkien, jadi saya gak bisa Hokkien, jadi terpaksa guna bahasa Inggris aja.”
Menurut Jonathan, Indonesia dan Malaysia secara budaya tidak jauh
berbeda. Bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu yang biasa ia gunakan di
negaranya hampir sama, sehingga tidak terlalu sulit untuk berkomunikasi. Kondisi
yang berlawanan dirasakannya ketika berada di Filipina. Keterkejutan budaya dan
kesulitan komunikasi jelas dialaminya. Karena wajahnya yang mirip dengan orang
Filipina, ketika berada di sana, orang-orang langsung berbicara dengannya dengan
Bahasa Tagalog dan itu benar-benar membuatnya shock. Jadi, ketika masuk ke
lingkungan Medan dengan budaya yang hampir sama, termasuk bahasa, tidak
terlalu sulit bagi Jonathan untuk berkomunikasi dan menyesuaikan diri.
“maksudnya kalau saya kan, mamak orang Filipina, jadi saya pernah ke Filipina, jadi gak begitu shock dibanding Filipina, kalau di sini, culture shock, berat kali gak, sedang aja. Kalau yang berat di Filipina, di situ berat la. bahasa juga, karena mereka pikir saya kayak orang Filipin, mereka langsung cakap bahasa mereka, jadi saya sempat diam, sebab terkejut. Jadi di sana dulu saya takut untuk berkomunikasi la, sebab tak paham bahasa mereka. Kalau di Indonesia, sebenarnya bahasa melayu hampir mirip dengan bahasa Indonesia kan, jadi saya agak ngerti.”
Selain perbedaan keadaan dalam hal komunikasi, di Filipina juga Jonathan
mengalami keterkejutan terhadap kemacetan lalu lintas dan kepadatan populasi
penduduk Filipina, karena ia tidak bisa berada dalam keramaian kota. Jika seluruh
kondisi ini dibandingkan dengan apa yang ia temukan di Medan, tingkatan culture
shock di Filipina lebih besar.
“sebab saya kan di pusat kota, di Manila. Di situ lebih ribet la, lebih banyak, gak bisa saya terima, kayak traffic jam, sebab saya gak bisa ke tempat yang terlalu banyak orang.”
Interaksi dengan orang-orang di kampus, baik dengan sesama mahasiswa
asal Malaysia, mahasiswa Indonesia dan pasien-pasien yang sekarang menjadi
bagian hari-hari sejak menjalani co-ass berjalan dengan baik, meskipun dengan
beberapa pasien Jonathan mengaku terkadang mengalami kesulitan. Dari
pengamatan peneliti, selama di kampus, Jonathan memang terlihat sangat berbaur.
Kondisi lingkungan co-ass yang akan selalu berganti siklusnya, mempertemukan
Jonathan banyak mahasiswa Indonesia yang berbeda, dengan suku yang berbeda
dan dari angkatan yang berbeda pula. Dengan demikian, kondisi lingkungan yang
seperti ini semakin membuatnya harus mampu berkomunikasi dengan baik dan
berupaya untuk terus menyesuaikan diri.
Jonathan tinggal di sebuah rumah kost bersama mahasiswa asal Malaysia
lainnya, tetapi teman-temannya mahasiswa Indonesia juga sering datang ke
kostnya untuk urusan kuliah atau sekedar bermain-main. Jonathan juga memiliki
sebuah komunitas pecinta hewan reptil dan amphibi, yakni MERCY (Medan
Reptilies And Amphibian Community). Ia bersama 25 member lainnya, yang
seluruhnya adalah orang Indonesia sering melakukan program kegiatan dan
menghabiskan waktu bersama.
“saya ada komunitas di sini, jadi maksudnya kalau mereka ajak ya saya mau ikut la dengan orang Medan. Kalau teman kost memang Malaysia semua, tapi banyak juga teman orang Indonesia, sering datang ke kost saya juga, main-main. saya sering kumpul-kumpul sama teman orang Indonesia juga. Kami ada komunitas peliharaan gitu, namanya MERCY Medan Reptilies and Amphibians Community, yang aktif itu sekitar 25 orang, yang dari malaysia saya aja, lainnya Indonesia.”
Mengenai makanan Medan, ketika baru datang, ia juga mengalami
masalah sakit perut karena tidak terbiasa dengan menunya. Tetapi seperti pepatah
“ala bisa karena biasa”, makanan tidak lagi menjadi masalah baginya.
Kesimpulan Kasus
Jonathan sudah beberapa kali datang ke Indonesia, tetapi di Kota yang
berbeda-beda. Culture shock tidak terlalu ia rasakan. Pengalamannya tinggal di
Filipina lebih mengejutkan bila dibandingkan dengan Kota Medan. Kota Manila
lebih padat, sehingga kepadatan kota Medan tidak terlalu mengejutkan baginya.
Di awal kedatangan kesulitan bahasa memang sempat dirasakan, apalagi karena
orang Tionghoa di Medan tidak menguasai bahasa Mandarin. Mereka
menggunakan bahasa Hokkien dalam berkomunikasi, sedangkan ia tidak
menguasai bahasa Hokkien. Tetapi, pergaulannya dengan banyak orang Indonesia
membantu adaptasinya. Ia bahkan tergabung dalam sebuah komunitas yang
seluruh anggotanya adalah orang Indonesia. Hal ini menjadi bukti yang kuat
bahwa ia sudah menyesuaikan diri dengan Kota Medan.
Informan 8
Nama : AsfahanaUsia : 23 TahunJenis Kelamin : PerempuanFakultas : KedokteranAngkatan : 2008Lama Menetap : 2,5 tahunAlamat Tempat Tinggal : Jalan Tridarma No. 26, Pintu 4 USUTanggal Wawancara : Selasa, 21 Desember 2010
Peneliti mengenal Asfahana dari Linda. Ketika membuat janji pertemuan
berikutnya dengan Linda di kostnya, peneliti menanyakan apakah Linda tinggal
bersama mahasiswa asal Malaysia lainnya, kemudian Linda mengenalkan dua
orang temannya, Asfahana dan Tini, yang sama-sama mahasiswa FK USU
angkatan 2008. Peneliti pun mewawancarai Asfahana di kost ditemani Linda
karena Ia tidak ingin diwawancara seorang diri.
Asfahana orang yang cukup sederhana secara penampilan. Dijumpai di
kost, ia mengenakan kaos lengan ¾ dan celana panjang yang longgar. Ia wanita
suku Melayu yang juga mengenakan baju kurung ketika kuliah ataupun pergi.
Asfahana tinggal di lantai 2 sebuah rumah yang terletak di Jalan Tridarma No.26.
Di lantai 2 ini ia tinggal bersama tiga mahasiswa asal Malaysia dan tiga
mahasiswa Indonesia. Kamarnya bersebelahan dengan kamar Linda dan memang
mereka berdua adalah teman akrab, sangat dekat. Mereka menjalani hari-hari
sebagai pendatang di Kota Medan berdua, kemana pun berdua, mulai dari tiba di
Medan, tinggal di kost yang sama, pergi dan pulang kampus bersama, jalan-jalan
bersama, sampai pulang ke Malaysia setiap liburan juga bersama. Asfahana dan
Linda sangat akrab.
Ia ditemani Linda selama wawancara, jadi itu membuatnya tidak canggung
bahkan berani mengeluarkan setiap hal yang ia rasakan tentang pengalamannya
tinggal di negeri asing. Awalnya memang ia sedikit sungkan, seperti malu dan
takut menjawab setiap pertanyaan yang peneliti ajukan, tetapi ketika Linda
memberikan sedikit pendapat terhadap pertanyaan yang diberikan, Asfahana
langsung menyatakan semuanya.
Ini bukan pertama kalinya Asfahana menginjakkan kaki ke Indonesia.
Sebelumnya Asfahana pernah berlibur ke Danau Toba bersama keluarga. Tetapi
itu sudah sangat lama, ketika ia masih kecil. Untuk hidup mandiri tanpa orang tua
dalam waktu bertahun-tahun, ini adalah pengalaman pertamanya. Ia memilih FK
USU karena FK USU sudah memiliki nama di Malaysia. Selain itu biaya
pendidikan di USU juga murah dan dekat secara jarak dari Malaysia.
Awalnya, ketika peneliti menanyakan persepsi Asfahana sebelumnya
tentang Medan, ia hanya mengatakan orang Indonesia sama dengan orang
Malaysia, hanya berbeda secara bahasa saja. Ia juga sempat takut dengan
lingkungan baru yang akan ia hadapi. Bahkan, ketika sudah tiba di Medan, Ia
menemukan berbagai macam perbedaan. Pertama kali tiba di Medan, Ia terkejut
melihat jalan raya dan lalu lintas kota Medan yang sangat padat dan jalan yang
sempit.
“begitu sampai saya tekejut dengan laluan jalan rayanya yang bising, jalannya agak sempit.”
Asfahana mengalami kesulitan ketika pertama kali ingin berkomunikasi
dengan orang-orang Medan, khususnya mahasiswa-mahasiswa Indonesia di
kampusnya. Ia mengaku sulit untuk berkenalan dan beradaptasi karena masalah
bahasa. Ia juga mencontohkan beberapa kata yang berbeda makna antara
Indonesia dan Malaysia. Awalnya Ia memilih untuk lebih banyak mendengar dan
meminta bantuan teman.
“orang-orangnya juga, macam mana mau cakap ya, agak susah mau beradaptasi, macam mau kenal dia dengan teman-teman satu USU pun macam susah la mau berkenalan sebab dari bahasanya kan tak bisa lancar. Macam kalo disana, kita maknanya kita semua, macam sini kita artinya saya kan? Di sana kita macam kelompok yang ramai.”
Kebiasaan bersalaman dengan lawan jenis juga membuat Asfahana
terkejut. Baginya itu terlalu bebas, berbeda dengan budaya di negara asalnya,
tetapi lambat laun ia sudah tidak merasa heran lagi. Teman-temannya juga sudah
memahaminya, untuk yang laki-laki sudah tahu dan tidak bersalaman dengan
Asfahana.
Keterbatasan kemampuan berbahasa Indonesia yang ia punya membuat
Asfahana lebih sering bergabung dengan teman sesama Malaysia, terutama
dengan teman akrabnya, Linda. Itulah alasannya ketika peneliti menanyakan
mengapa ia lebih sering bersama teman sesama asal Malaysia. Ia juga memiliki
kenalan teman mahasiswa Indonesia, tetapi tidak akrab, hanya sebatas tahu saja.
Asfahana juga hanya mengenal teman satu grupnya saja, yaitu grup B di kampus.
Apabila mahasiswa dari grup lain apalagi junior, ia mengaku tidak mengenal
mereka. Asfahana juga menceritakan bahwa lingkungan kampusnya, yaitu FK
USU cenderung berkelompok.
“lebih sering sama malaysia, tapi ada juga la teman daripada indonesia, tapi gak rapat la. mungkin mereka pun gak mau berkawan dengan kita, sebab mereka pun tak paham dengan apa yang kami cakap dan kami pun gak paham yang dia cakap. ia la, nampak macam berkelompok-kelompok. Kalau yang pandai satu kelompok, yang biasa-biasa satu kelompok.”
Asfahana tidak terlalu sering berinteraksi terlalu lama dengan orang lain.
Setelah selesai semua urusan perkuliahan di kampus ia bersama Linda langsug
pulang ke kost. Baginya, kamar kost lebih nyaman dan aman, ia bisa melakukan
apa saja di kamar itu. Ketika peneliti menanyakan hubungannya dengan sesama
penghuni kost itu, ia dan Linda serentak menyampaikan semua unek-unek nya.
Rumah kost tersebut terdiri dari dua lantai, lantai bawah dihuni oleh empat
mahasiswa asal Malaysia yang suku India, sedangkan lantai atas dihuni oleh
empat orang mahasiswa asal Malaysia yang suku Melayu, tiga orang kuliah di FK
USU, termasuk Asfahana dan satu orang kuliah di FKG USU, selain itu di lantai
dua juga tinggal dua orang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Politeknik USU.
Hubungan Asfahana dengan sesama Malaysia cukup baik, mereka sering bertegur
sapa dan sesekali bercerita, tetapi dengan dua mahasiswa Indonesia, hubungan
mereka memang tidak baik, seperti yang sudah peneliti jabarkan pada hasil
wawancara Linda.
Menurut Asfahana, tidak perlu ada pembedaan antara Indonesia dan
Malaysia, sebab tidak ada manfaat yang dapat diambil dari hal itu. Ia
mengharapkan adanya rasa saling menghormati sebagai sesama manusia ciptaan
Tuhan.
“sebab kita kan manusia dilahirkan Tuhan sama aja kan? Cuman bahasa, budayanya aja yang berbeda. Apa la faedahnya buat begadoh dua negarakan? Tak ada la.”
Selain interaksi di kampus dan di kost, Asfahana juga berinteraksi dengan
supir angkot dan tukang becak, karena mau tidak mau ia harus berurusan dengan
mereka, sebab Asfahana tidak memiliki kendaraan pribadi. Cerita dari teman-
teman tentang maraknya kasus penculikan dan hipnotis di angkutan umum
membuat Asfahana dan Linda sangat takut, belum lagi kebiasaan teriak dan
makian dari tukang becak yang pernah mereka alami. Untuk hal ini pun membuat
mereka terkejut. Karena berusaha menawar tarif ongkos yang terlalu mahal,
mereka sering dimarahi. Mereka tidak terbiasa dengan suara yang kuat dan
terdengar kasar. Itu lah sebabnya mereka takut ketika harus berhadapan dengan
tukang becak dan supir angkot.
“naik angkot la masalah. Dengar daripada teman-teman ada kena culik handphone, baik duit, hipnotis, jadi macam gak berani, cuma lama-lama bisa la. Kalo macam sama-sama, tapi kalo seorang-seorang gak berani la, naik becak aja. Tapi becak pun takut, sebab suka teriak-teriak kan.”
Selain interaksi, Asfahana juga terkejut dan tidak cocok dengan makanan
di Medan, terlalu berat dan pedas. Ia tidak terbiasa sarapan dengan makanan berat,
seperti nasi. Di Malaysia, ia biasa hanya makan beberapa kue sebagai sarapan.
Tetapi, akhirnya ia pun bisa beradaptasi, tetapi tetap tidak mengkonsumsi
makanan dengan cita rasa yang pedas.
“makanan pun satu, sebab makanan di sini pedas. Lepas tu di sini makanannya macam sarapan pagi udah nasi terus, kalo di malaysia ada kue-kue.”
Semua perbedaan dan hal yang baru yang ia temui di Medan membuatnya
merindukan lingkungannya, Malaysia. Selama kurang lebih dua bulan Asfahana
sering sekali menangis karena sangat merindukan keluarga dan semua familiaritas
di negara Malaysia. Tetapi akhirnya setelah menjalani proses selama 1 tahun lebih
Asfahana sudah mampu menerima keadaan.
“masa mula datang homesick lah, sebulan dua bulan tu nangis la, pikirkan keluarga, kalo sakit macam mana mau pulang, macam tu la, tapi lama-lama uda biasa la. tapi sekarang udah bisa, dalam 1 tahun la.”
Impiannya menjadi perantau yang sukses dan pulang ke negara asal,
Malaysia dengan gelar dokter memotivasi Asfahana untuk tetap bertahan hidup,
diperkuat dengan dukungan teman-teman senasib dan sepenanggungan, terutama
teman akrabnya, Linda.
“sebab bayar mahalkan, jadi kami harus ada kesanggupan la, tapi kami bangga la kak, sebab kami berdikari di sini, tak ada family kan, nanti nak pulang ke Malaysia pun bangga la.”
Kesimpulan Kasus
Asfahana memiliki pengalaman yang hampir sama dengan Linda. Ia
mengalami culture shock terhadap perbedaan nilai-nilai dan juga bahasa. Selain
dalam hal interaksi komunikasi antarbudaya, lingkungan Kota Medan yang terlalu
padat, jalan raya yang macet dan tidak teratur, makanan yang terlalu pedas dan
juga mengejutkan baginya. Pertama kali tiba di Medan, ia mengalami kecemasan
dalam berkomunikasi. Ia merasa sulit untuk berkomunikasi karena masalah
bahasa yang belum dipahami. Ia juga mempunyai masalah interaksi dengan dua
mahasiswa Indonesia di kostnya. Ia merasa diperlakukan berbeda dengan tuan
rumah, yakni orang-orang Medan. Asfahana juga mengalami homesick berat
selama dua bulan pertama kedatangannya. Semua perbedaan dan kecemasan yang
dirasakannya membuat Asfahana cenderung berkumpul dengan sesamanya
mahasiswa Malaysia, terkhusus dengan sahabat karibnya, Linda. Ia mengaku
bersama sesamanya ia merasa lebih nyaman dan tidak perlu mengalami
kesalahpahaman komunikasi. Asfahana sudah tinggal selama kurang lebih 2,5
tahun di Medan. Ia mengaku sekiranya tidak ada yang menjadi masalah lagi,
tetapi perasaan diperlakukan berbeda masih menjadi pertanyaan baginya.
Informan 9
Nama : GirtheekaadevyUsia : 22 TahunJenis Kelamin : PerempuanFakultas : KedokteranAngkatan : 2008Lama Menetap : 2,5 tahunAlamat Tempat Tinggal : Jalan Tridarma No. 26, Pintu 4 USUTanggal Wawancara : Selasa, 21 Desember 2010
Girtheekaadevy, ia akrab dipanggil Girthee. Ia juga tinggal di rumah kost
yang sama dengan Asfahana dan Linda. Ia tinggal bersama tiga mahasiswa suku
Tamil asal Malaysia lainnya di lantai satu. Sejauh pengamatan peneliti, Girthee
adalah tipe orang yang ramah dan humoris. Setelah memperkenalkan diri secara
singkat, peneliti kemudian menanyakan pengalamannya ketika pertama kali tiba
di Medan. Ini juga adalah pertama kalinya Girthee ke Indonesia, tepatnya Medan.
Sesampainya di Medan, Girthee terkejut dan terganggu dengan udara di Medan
yang penuh polusi, belum lagi cita rasa makanan yang tidak biasa baginya. Dalam
hal makanan, sampai sekarang pun Girthee tidak bisa beradaptasi. Di semester
pertama, sebelum ada dapur ia hanya makan mie instan saja, kemudian di
semester kedua setelah ada dapur di kostnya, setiap harinya Girthee memilih
memasak sendiri.
“mungkin udaranya yang banyak abu. Minggu pertama tu memang saya sakit, sebab tak biasa dengan udara dan makanannya, sampai sekarang pun makanannya gak bisa la. makan di warung-warung gitu gak bisa, semester 2 baru bisa masak sendiri, sebab dulu belum ada dapur, sekarang udah bisa masak la.”
Berkomunikasi dengan orang-orang Indonesia adalah kesulitan
terbesarnya, sebab ia tidak menguasai bahasa Indonesia. Girthee harus mengulang
mata pelajaran bahasa Indonesia karena tidak lulus, bahkan ada mata kuliah yang
ia harus mengulang sebanyak lima kali karena kelemahan bahasa. Hal ini juga
sangat terasa ketika harus melakukan presentasi di kelas. Girthee sangat sering
menggunakan campuran bahasa Melayu dan Inggris. Ia mengaku hal ini
menyebabkannya kerapkali ditegur oleh dosen. Teman-teman mahasiswa
Indonesia yang sekelasnya juga memberikan pendapat bahwa bahasa
Indonesianya masih belum baik dan sulit dipahami.
“kalau bahasanya sampai sekarang gak fasih lagi, sebab masih banyak teman yang bilang bahasa saya sukar dipaham gitu. saya ada gagal pelajaran sebab gak bisa bahasanya, sampai gagal 4 sampai 5 sesion.
kadang kalau presentasi di tutorial itu kan kadang gak sadar campur bahasa dengan bahasa malaysia kan, kena marah dosen la macam tu, mereka bilang kenapa kamu campur-campur, kadang campur lagi dengan bahasa Inggris, macam-macam la.”
Ia tetap berusaha menjalin hubungan yang baik dengan mahasiswa
Indonesia di kampusnya. Ia juga memiliki beberapa teman baik yang dari
mahasiswa Indonesia karena sering bertemu di kelas lab praktikum. Terkadang
untuk memahami perkataan orang lain Girthee menggunakan bahasa signal, sebab
menurutnya itu lebih mudah dipahami.
“interaksinya bole la, komunikasi juga perlahan-lahan bole, saya pun ada teman akrab indonesia, sebab satu lab kan, So ada la yang akrab. interaksi bole la, bagus juga, cuman bahasa tu la, kadang gak bisa dipahami. Jadi kadang saya guna bahasa signal, sebab bahasa signal lebih mudah kak, lebih mudah pahami.”
Hubungan dengan sesama penghuni rumah kost juga baik. Ia bergaul
sangat akrab dengan sesama mahasiswa asal Malaysia di kost itu, apalagi dengan
penghuni lantai satu yang sama-sama suku India. Masalah hubungan dengan
sesama penghuni kost seperti yang dialami Asfahana, Linda dan Tini tidak terlalu
dirasakannya, sebab ia berada di lantai bawah, sehingga tidak terlalu berpengaruh
baginya.
Interaksi dengan orang lain di luar kampus dan kost sama seperti yang
diungkapkan informan-informan sebelumnya, ia shock dengan gaya tukang becak,
dengan harga yang tinggi dan suara teriakan mereka jika harganya tidak sesuai.
“suara yang kuat. kadang kala mereka tanya mau pergi mana kan, bila kami kata mau pergi mana-mana kan, bayarnya mahal, nanti mereka jerit sama kami, mereka bilang kan “oh kamu orang malaysia, kamu udah kaya, gak mau bayar lagi. Macam tu la. tapi kami langsung jalan aja, sebab udah biasa la.”
Gejala culture shock seperti homesick yang berlebihan juga ia rasakan di
awal kedatangannya. Tetapi kehadiran teman sesama Malaysia di kost dan
kampus membuatnya mampu menghadapi perbedaan lingkungan. Secara
keseluruhan, menurutnya Medan tidak jauh berbeda dengan Kuala Lumpur, kota
asalnya. Tetapi, dari semua perbedaan yang Girthee hadapi, bahasa adalah kendala
terberatnya. Dalam wawancara, peneliti menangkap Girthee berulang kali
menyebutkan kelemahannya itu, bahkan ia mengaku takut berkomunikasi apalagi
ketika memasuki dunia coass tahun depan, ia harus bertemu dengan lingkungan
baru dan orang-orang baru lagi, seperti suster perawat dan pasien. Tetapi karena
Girthee belum berada pada situasi yang sebenarnya, ia masih biasa dan belum
banyak yang dapat ia ceritakan
“pokoknya komunikasi la yang kami paling takut kak, apalagi nanti mau coass kan, sama suster, pasien lagi kan. Itulah yang rasa paling sukar, takut la.”
Kesimpulan Kasus
Girthee merupakan informan yang juga sudah mampu beradaptasi.
Kecemasan yang paling besar ia rasakan adalah bahasa. Hal ini membuatnya takut
dalam berkomunikasi. Ia bahkan sering mendapat teguran oleh dosen karena
kemampuan bahasa yang sangat lemah. Ia juga mengulang mata kuliah sampai
lima kali juga karena masalah bahasa. Interaksinya dengan sesama penghuni kost
sejauh ini baik-baik saja, tetapi masalah seperti yang Linda dan Asfahana alami
tidak terlalu ia rasakan karena ia tinggal di lantai yang berbeda. Di luar masalah
interaksi, udara dan makanan di Medan sampai sekarang tidak cocok baginya. Ia
memilih masak sendiri di kost. Reaksi culture shock seperti homesick juga ia
rasakan.
Informan 10
Nama : Kaarthini ArjunamUsia : 21 TahunJenis Kelamin : PerempuanFakultas : KedokteranAngkatan : 2008Lama Menetap : 2,5 tahunAlamat Tempat Tinggal : Jalan Tridarma No. 26, Pintu 4 USUTanggal Wawancara : Selasa, 21 Desember 2010
Tini adalah mahasiswi Melayu asal Malaysia yang mengecap pendidikan
di FK USU. Peneliti mengenalnya dari Linda. Secara penampilan, Tini juga
mengenakan jilbab dan baju kurung. Berbeda dengan Linda dan Asfahana yang
peneliti wawancarai di ruang TV, proses wawancara dilakukan di kamar Tini,
sehingga peneliti dapat mengamati kehidupan dan kepribadiannya melalui isi
kamarnya. Peneliti mengamati setiap sudut kamar Tini, terlihat Ia adalah
muslimah yang taat. Tini menempel kertas-kertas yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an
dan penggalan doa. Masih dari pengamatan peneliti, Tini tergolong mahasiswi
yang rajin belajar. Ia juga sangat senang memotivasi diri, tulisan semangat
tertempel di dinding kamarnya.
Ia melepas lelah sebentar, kemudian peneliti mulai menanyakan
pengalamannya. Sama seperti kebanyakan informan, ini adalah pengalaman
pertama Tini datang ke Medan. Persepsi dan pendapat tentang Indonesia, tepatnya
Medan juga ada. Di Malaysia, Ia sering mendengar negatif tentang Indonesia,
akibat konflik yang sering terjadi antara kedua negara ini. Apalagi cerita tentang
“orang Batak, makan orang” juga sampai ke telinganya. Tini juga mendapat
nasihat untuk selalu berhati-hati selama tinggal di negeri orang.
“persepsi mungkin orang ramai pun bilang macam hati-hati la, takut nanti banyak orang jahat kan. Karena di Indonesia ini kan banyak konflik antar indonesia dengan malaysia kan, jadi harus hati-hati. Lepas tu ke medan lagi, di sana kan banyak orang batak, mereka bilang gitu jadi hati-hati nanti ada yang makan orang, macam tu la orang ramai bilang.”
Persepsi awalnya tentang Indonesia adalah budaya yang sama dengan
Malaysia, jadi Tini tidak terlalu mengkhawatirkan kehidupannya nanti di Kota
Medan. Tetapi setelah tiba di Medan, di kampusnya dan melihat orang-orang
Medan dengan segala kebiasaan dalam berinteraksi, Tini juga terkejut. Ia
memberikan contoh tentang perbedaan dalam hal hubungan antara perempuan dan
laki-laki di Indonesia dan di negaranya. Berjabat tangan antara laki-laki dan
perempuan yang tidak terlalu dipermasalahkan di Indonesia, baginya tidak biasa
dan terlalu bebas. Tini pernah mengalaminya sendiri, ketika salah seorang teman
prianya ingin menjabat tangannya untuk mengucapkan selamat ulang tahun
dengan cara yang tetap sopan Tini menolak.
“awalnya tini kira budaya tu semua sama aja kan, malaysia indonesia pun budayanya sama la, tapi bila datang sini beda la. dia
bedanya kalau di sini kan sosialnya lebih tinggi la, maksudnya lebih tinggi tu, contohnya macam pergaulan antar perempuan dan laki kan, lebih bebas dibandingkan malaysia. Kita pun bebas juga, tapi terkadang kalau di depan umum tertutup gitu, ada batas la, itu kalau di umum, agak malu macam tu la, kalau di belakang kita pun gak tau kan. kalau di medan, yang berjilbab aja pun kadang pegang-pegang gitu, rangkul, macam udah biasa gitu kan, disana, di malaysia gak biasa macam tu.”
Beberapa bulan pertama Tini juga mengalami kesulitan bahasa. Ia bahkan
selalu meminta salah satu mahasiswa Indonesia untuk duduk di sebelahnya selama
perkuliahan berlangsung untuk membantunya memahami materi kuliah dan juga
interaksi dengan mahasiswa Indonesia lainnya.
“interaksi gak terlalu macam mana, cuman bahasanya aja yang sukar dipahami. Dulu mulanya tu selalu di sebelah saya tu harus ada orang indonesia, sebab mau tanya apa maksud ini itu kan, karena memang jauh kali la beda bahasa, hampir sama memang kak, tapi tetap aja sukar. Kadang ada satu kata yang sama ucap tapi maknanya beda, lepas tu ada kata yang asing, memang tak paham sama sekali la.”
Tini juga mengaku lingkungan FK USU masih cenderung berkelompok,
tidak hanya mahasiswa Indonesia tetapi juga mahasiswa Malaysia. Meskipun
demikian, Tini lebih memilih untuk berbaur dengan keduanya.
“FK masi ada kelompok-kelompok la, kurang berbaur, bukan indonesia aja, malaysia pun berkelompok-kelompok juga. Tapi tini ada teman akrab indonesia juga la, kiranya macam pernah tidur sama di rumahnya gitu kan.”
Bahasa yang tidak terlalu fasih tidak membatasi Tini berinteraksi dengan
orang-orang Indonesia. Ia selalu ingin belajar. Bersama teman-teman mahasiswa
Indonesia, Tini terus berupaya mempelajari bahasa Indonesia. Ia suka membuka
diri dan pandai bergaul. Tini memiliki banyak teman yang merupakan mahasiswa
Indonesia, bahkan ia mengaku ia lebih sering melewati waktu dengan mereka.
Tini memiliki sepuluh orang teman mahasiswa Indonesia yang sering bersamanya.
Mereka memiliki program belajar bahasa Arab bersama, bahkan sesekali ia
menginap di rumah temannya yang mahasiswa Indonesia tersebut. Keseringannya
berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia, lambat laun bahasa tidak lagi menjadi
masalah.
“sebenarnya kalau ikutkan, tini lebih sering sama yang orang indonesia. Sebab kami ada kayak belajar bahasa arab bersama gitu kan, jadi terkadang tidur rumah mereka, macam ada program gitu la. teman-teman tini yang indonesia itu memang baik-baik la, saya suka kali teman dengan mereka. Banyak juga la, ada 10 orang la kami.”
Hubungan dengan teman sesama penghuni kost cukup baik. Pribadinya
yang berusaha untuk menerima, sabar dan tidak terlalu ambil pusing membuatnya
tetap mampu menerima keadaan, berbeda dengan Linda yang lebih sensitif.
Sesungguhnya ia juga merasa terganggu tetapi Tini memilih untuk tidak
memperdulikan karena banyak hal lain yang lebih penting untuk ia pikirkan dan
kerjakan. Tini berupaya menjaga hubungan tetap baik sehingga tidak sampai
menimbulkan konflik.
“kalau di kost biasa-biasa aja la, sama yang di atas dekat juga. Kalau di bawah malaysia juga, cuman india, tegur-tegur gitu aja la, biasa aja. ada rasa macam tu juga kadang-kadang, sebab mereka kan udah biasa macam tu, jadi kami pun lain, tapi memang lain la, kami memang lain sama mereka. Jadi ya sabar aja la, diam-diam aja, cuman tegur gitu aja.”
Perbedaan seperti keadaan jalanan kota Medan juga dirasakan Tini. Ia
bahkan terkejut dengan keadaan lalu lintas yang tidak teratur, pengendara yang
sering menekan klakson dan melanggar lalu lintas. Di Malaysia, macet juga ada,
tetapi lebih teratur dan seluruh kendaraan tersusun. Selain itu, pengendara yang
menekan klakson menandakan bahwa ia sudah sangat marah. Jadi, keadaan ini
sempat membuat Tini shock.
“kalau lingkungannya itu memang beda dengan malaysia, kalau di sini kan gak teratur, disana pun macet juga, tapi tersusun, disini kan tekan horn yang berkali-kali kan, kalau disini horn tu biasa kan, kalau di sana
tekan horn itu udah macam marah gitu la. lepas tu main jalan aja kalau lampu merah.”
Masalah ketika berhadapan dengan supir angkot dan tukang becak seperti
yang kebanyakan informan sampaikan tidak terlalu dirasakan Tini, sebab Ia
memiliki kendaraan pribadi, setiap harinya Tini menggunakan sepeda motor
kemana pun ia pergi. Homesick juga dialami Tini sebagai perantau di negeri
orang, bahkan sampai sekarang. Tetapi untuk yang berlebihan sampai menangis
hanya di awal kedatangannya saja.
“homesick memang selalu la, banyak kali nangis, sering la, tapi mula-mula aja, sekarang ada rindu juga tapi tak pala la.”
Secara keseluruhan, sudah tiga tahun ia menjalani kehidupan di Kota
Medan dan Tini sudah mampu menyesuaikan diri. Motivasi dari diri sendiri untuk
tetap berjuang hidup di negara orang untuk membawa cerita kesuksesan kepada
keluarga di Malaysia memberikan semangat bagi Tini. Selain itu, seperti yang
sudah peneliti jelaskan sebelumnya, Tini adalah pribadi yang sangat suka
memotivasi diri sendiri, dari hal-hal kecil, seperti menempelkan kata-kata
semangat di setiap sudut dinding kamar kostnya, salah satu contoh kalimat yang
ditempel adalah “Kau harus semangat belajar, survive! Nanti kau menyesal!”
Kesimpulan kasus
Tini mengalami culture shock karena perbedaan nilai-nilai dalam hal
hubungan laki-laki dan perempuan. Hal ini yang paling mencolok baginya.
Awalnya ia sangat terkejut, karena baginya itu sangat tidak wajar. Kesulitan
bahasa juga sempat ia alami di awal kedatangannya. Meskipun bahasa Indonesia
dan Melayu yang biasa digunakannya hampir sama, tetapi tetap saja terasa sukar.
Pribadinya sangat ramah dan suka bergaul. Ia mempunyai banyak teman
mahasiswa Indonesia, bahkan ia mengaku ia lebih sering berkumpul dengan
mahasiswa Indonesia dibandingkan dengan sesama mahasiswa Malaysia. Ia
belajar tentang Medan lebih banyak lagi bersama teman-temannya itu.
Informan 11
Nama : Lim Rui LiangUsia : 24 TahunJenis Kelamin : Laki-lakiFakultas : Kedokteran GigiAngkatan : 2006Lama Menetap : 4,5 tahunAlamat Tempat Tinggal : Jalan Dr. MansyurTanggal Wawancara : Rabu, 22 Desember 2010
Lim merupakan mahasiswa co-ass di FKG USU. Sejak tahun 2006 tiba di
Medan, berarti sudah kurang lebih 4,5 tahun ia melalui hidup di Kota Medan. Ia
suku Tionghoa. Dari pengamalatan peneliti, ia tergolong pribadi yang ramah dan
suka bergaul. Merantau ke Medan juga hal perdana baginya. Lim datang ke
Medan untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi USU. Lim ingin
menjadi seorang dokter gigi, itu yang menjadi alasannya memilih USU. Seperti
informan kebanyakan, Lim memilih USU karena biaya yang murah, jarak yang
dekat dan besar kesempatan untuk diterima. Dan yang terpenting, sesuai dengan
impiannya, Lim memilih USU karena ada program studi Kedokteran Gigi, sebab
FKG USU memiliki nama baik di negaranya.
“Sebab awalnya mau sekolah di university di malaysia, cuman karena sukar masuk, lepas itu mahal juga, jadi pilih usu aja, sebab ada dentistry, murah juga gitu, dan terkenal juga di Malaysia”.
Perbedaan yang dirasakan Lim secara keseluruhan hampir sama dengan
informan lainnya, seperti makanan Medan yang terlalu pedas dan masalah
perbedaan bahasa. Lim juga mengalami kesulitan ketika berkomunikasi karena
kemampuan bahasa Indonesia yang kurang baik, itu sangat terasa di awal
kedatangannya. Lim bingung dan tidak paham dengan beberapa kata yang sering
digunakan di Kota Medan.
“pertama kali memang sukar la, apalagi bahasa, nanti ada bahasa yang sama tapi artinya berbeda. Misalnya bisa gitu kan, disini bisa berarti boleh, tapi di sana bisa cuman berarti racun aja. Tapi udah beberapa bulan perlahan-lahan la udah bisa mengerti.”
Pada masa awal kepindahannya, sebagai pendatang yang baru memasuki
lingkungan yang berbeda dan orang-orang yang juga berbeda, Lim kurang berbaur
dengan mahasiswa Indonesia yang ada di kampusnya. Tetapi karena ditempatkan
pada kelas yang sama, laboratorium praktikum yang sama dan juga harus terlibat
dalam pengerjaan kelompok dengan beberapa mahasiswa Indonesia, menuntutnya
untuk berbaur dan berinteraksi dengan mereka.
“pertama kali memang belum berbaur la, tapi udah setengah tahun gitu ada la, berbaur, karena ada tugas bersama juga, atau lab praktikum gitu kan, jadi mulai bergaul-gaul.”
Merindukan lingkungan asal yang familiar baginya juga dirasakan pada
awal kepindahannya, tetapi perasaan itu tidak mendominasi. Lim pribadi yang
supel dan mudah beradaptasi. Ia tidak terlalu membatasi diri untuk bergaul dengan
orang lain, baik itu mahasiswa Malaysia maupun Indonesia. Untuk saat ini, Lim
sedang menjalani co-ass di FKG USU. Orang-orang dengan karakter berbeda juga
Ia jumpai, seperti pasien-pasien yang harus ia tangani. Masalah komunikasi juga
ia rasakan, tetapi Lim mengaku itu tidak terlalu menjadi perSoalan besar untuk
saat ini, sebab pengalaman 4,5 tahun dengan orang-orang Indonesia membuatnya
sudah terbiasa. Lim juga memiliki banyak teman mahasiswa Indonesia, dan ikut
juga banyak membantu proses adaptasinya.
“saya orangnya ok ok aja, bergaul aja sama semau, kalau diajak ikut la. homesick mula-mula ada la. kalau waktu coass sekarang masih ada sedikit komunikasi yang sulit la, tapi masih ok juga, banyak teman bantu juga kan.”
Kesimpulan Kasus
Lim mengalami culture shock terhadap perbedaan bahasa. Di luar maslah
komunikasi, ia tidak terbiasa dengan makanan Medan yang pedas, tetapi itu
dirasakan di awal kedatangannya. Ia merasa aneh untuk istilah-istilah tertentu
yang digunakan di Medan. Kondisinya yang sedang menjalani co-ass di FKG
USU menuntutnya untuk mampu berkomunikasi dan bergaul dengan orang-orang
Indonesia, sebab ia mendapatkan orang-orang tambahan, yakni pasien-pasien
yang ditanganinya adalah orang Indonesia. Seiring berjalannya waktu sembari
belajar dari pengalaman praktik komunikasi bersama orang-orang Indonesia, Lim
sudah mampu beradaptasi dan menikmati setiap kegiatannya di Kota Medan,
khususnya kampus.
IV.2 PEMBAHASAN
Dari pengamatan peneliti, maka dapat dibuat pembahasan sebagai berikut:
Peneliti hanya mengambil 11 informan dengan metode penarikan sampel bola
salju (snowball sampling). Peneliti mendapatkan jawaban yang rata-rata sama
mengenai culture shock yang dialami dan tidak mendapatkan data baru, sehingga
peneliti menghentikan pencarian informan. Dari 11 informan tersebut maka
peneliti membuat pembahasan yang dikaitkan dengan tujuan dari penelitian ini
sendiri, yakni untuk mengetahui proses culture shock, reaksi culture shock dan
upaya mengatasi culture shock pada Mahasiswa Malaysia di USU, sebagai
berikut:
1. Proses culture shock
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam uraian teoritis bahwa
culture shock adalah kecemasan yang timbul dan disebabkan oleh
kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan Sosial
dalam rangka perpindahan dari lingkungan familiar ke lingkungan baru
(Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174), demikian pula yang dialami oleh
informan, yakni mahasiswa Malaysia yang menempuh pendidikan di USU.
Sebagai individu yang berasal dari negara yang berbeda dengan membawa
segala bentuk budaya yang sudah tertanam dan melekat dalam diri
individu tersebut, maka ketika memasuki kota Medan pada umumnya dan
USU pada khususnya merupakan suatu pengalaman baru dan mereka pun
turut mengalami gegar budaya (culture shock).
Dikaitkan dengan tingkat-tingkat culture shock yang dikemukakan
dalam Intercultural Communication Between Cultures (Samovar, Porter
dan Mc. Daniel, 2007: 335-336), maka dalam penelitian ini dibuat
pembahasan sebagai berikut:
a. Fase Optimistik (Optimistic Phase)
Dari hasil wawancara dan pengamatan, kebanyakan informan
melalui fase ini dimana mereka merasakan euforia dan semangat
dalam menyambut suatu kehidupan yang baru. Kebanyakan
informan memilih FK dan FKG USU selain karena biaya yang lebih
murah, salah satu alasan utama mereka adalah kerena kedua fakultas
ini memiliki mutu dan akreditasi yang sama dengan universitas
terkenal di Malaysia. Dengan melewati proses seleksi melalui ujian
akhirnya mereka lulus dan tercatat sebagai mahasiswa di FK dan
FKG USU. Ini merupakan suatu kebanggaan yang memotivasi
semangat mereka menempuh pendidikan di negara orang. Harapan
untuk menjadi seorang perantau yang sukses dengan membawa gelar
sebagai dokter tertanam dalam diri informan, seperti yang
dikemukakan secara terang-terangan oleh Linda, Asfahana dan
Kartini. Gambaran dan informasi yang diperoleh bahwa USU (kota
Medan) adalah tempat yang secara umum tidak jauh berbeda dengan
Malaysia juga mengiringi keberangkatan mereka, setidaknya
menjadi harapan akan sesuatu yang akan baik. Penjabaran ini sesuai
dengan definisinya bahwa fase optimistik ini berisi kegembiraan,
rasa penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum
memasuki budaya baru.
b. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems Phase)
Fase ini adalah fase kritis dalam culture shock. Informan merasakan
berbagai perbedaan yang menimbulkan keterkejutan dan kecemasan
dalam berinteraksi dan kontak langsung dengan lingkungan barunya.
Rata-rata informan merasakan perbedaan akan hal yang sama, seperti
ketika berkomunikasi, kendala bahasa, perbedaan nilai-nilai dan pola
perilaku kultural (Rahardjo, 2005). Seperti yang dialami Linda dan
Asfahana, mereka melalui masa dimana mereka dianggap asing,
tertolak dan dimusuhi. Mereka juga merasa bingung dan sangat tidak
terbiasa dengan perbedaan-perbedaan yang ada, seperti bahasa, yakni
pengalaman Amirah yang mengalami kesulitan dalam bahasa, baik
lisan maupun tulisan. Ia bahkan takut karena harus dimarahi dosen
setiap kali melakukan kesalahan bahasa, misalnya ketika presentasi
materi di kelas apalagi ketika saat ini Amirah sedang menyusun
skripsi sebagai suatu karya ilmiah. Kemudian perbedaan lain akan
cara pengucapan yang kuat dan terdengar kasar, perbedaan nilai
seperti kapan dan dengan siapa boleh berjabat tangan, misalnya jabat
tangan antara laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang tidak
biasa bagi orang Melayu Malaysia khususnya. Mereka juga
menemukan perbedaan yang mencengangkan seperti merokok dan
mencontek di lingkungan kampus. Govin dan Harry terus terang
dengan fasilitas dan birokrasi kampus yang kurang memuaskan dan
terkesan menyulitkan mahasiswa. Pengalaman culture shock
informan bukan hanya dengan orang-orang dan lingkungan kampus,
tetapi juga di luar itu, misalnya ketika berurusan dengan tukang
becak dan supir angkot. Rata-rata bahkan hampir semua informan
mengeluh dan mengaku shock dengan kasarnya mereka bicara dan
tarif yang dibuat sesuka hati. Peneliti mendapatkan data gegar
budaya (culture shock) tidak hanya ketika berkomunikasi, tetapi
terhadap lingkungan kota Medan yang terlalu padat, sempit dan
traffic jam di lalu lintas Medan, juga cita rasa makanan Medan.
c. Fase Kesembuhan (Recovery Phase)
Setelah melewati beberapa tahun di Kota Medan, akhirnya informan
mulai mengenali lingkungan barunya. Rata-rata informan mengaku
tidak lagi mengalami sesuatu yang terlalu dicemaskan, hanya saja
mereka masih terus belajar tentang budaya baru tersebut, terutama
mengenai bahasa. Perlahan-lahan informan menemukan kenyamanan
dan menghargai segala perbedaan sebagai bentuk budaya yang lain
yang patut dihormati. Merasa dibeda-bedakan dalam berinteraksi
sedikit banyak juga masih dirasakan, seperti Linda dan Asfahana.
Tetapi, kebanyakan informan mengaku sudah mulai menganggap itu
biasa dan mampu beradaptasi.
d. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase)
Dalam fase ini pendatang sudah mengetahui elemen kunci budaya
barunya, termasuk pola komunikasi dan sebagainya. Pada fase ini
pula ada rasa puas dan menikmati kondisi yang dihadapi. Para
informan rata-rata mengaku sudah mampu beradaptasi. Meskipun
demikian masih terus berada dalam proses belajar akan budaya itu,
khususnya bahasa. Informan juga melakukan hal-hal baru yang
membuat mereka menikmati hidup di lingkungan yang berbeda
dengan mereka.
2. Reaksi terhadap culture shock
Perbedaan dan gegar budaya yang dirasakan menimbulkan
kecemasan dan gangguan secara fisik dan psikis seperti dikemukakan
(dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335) mengenai beberapa
reaksi terhadap culture shock. Dari penelitian ini ditemukan bahwa
berbagai reaksi yang dirasakan informan adalah merasa ditolak,
merindukan lingkungan lama dan keluarga (homesick) yang
mengakibatkan kesedihan yang mendalam selama beberapa waktu,
menganggap tuan rumah tidak peka, gangguan fisik karena makanan dan
udara yang tidak cocok. Tetapi secara keseluruhan, kebanyakan informan
mengalami reaksi homesick.
3. Upaya mengatasi culture shock
Dari penelitian ini, peneliti mendapatkan hasil bahwa informan
mengatasi culture shock yang timbul karena perbedaan-perbedaan yang
dirasakan dengan belajar dari si pemilik budaya, yakni tuan rumah, orang
Medan itu sendiri. Informan membuka diri untuk berbaur dan bergabung
dengan mahasiswa Medan (Indonesia) di kampus atau bahkan di luar
kampus. Ini juga dimotivasi dengan kesadaran sebagai pendatang yang
harus berinteraksi dan juga kebutuhan akan hal itu demi kelangsungan
hidup. Seperti yang dilakukan Harry, Govin, Lavanyah, Tini dan Jonatan.
Mereka bergaul dengan orang Medan (Indonesia) tidak hanya untuk
urusan kampus saja, tetapi juga hang-out seperti belajar kelompok
bersama, futsal, main billyard, bahkan menghilangkan stress skripsi
dengan rencana berlibur ke luar kota seperti yang akan dilakukan
Lavanyah dengan teman-temannya, serta Jonathan yang memiliki
komunitas pencinta reptil dan amphibi. Di tengah-tengah itu semua,
ternyata Linda, Asfahana dan Amirah memilih mengatasi culture shock
mereka dengan cara bergabung dengan sesamanya mahasiswa Malaysia.
Linda dan Asfahana mengaku untuk semua hal, pergi kemana saja dan
melakukan apapun mereka selalu bersama. Begitu pula dengan Amirah
yang selalu berkelompok dengan teman-teman sesama mahasiswa
Malaysia untuk sebuah kenyamanan dan menghindari masalah interaksi
dalam hal apapun.
Mengenai karakteristik informan, dari penelitian ini juga ditemukan
bahwa culture shock pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa perempuan lebih sensitif dan lebih lambat
beradaptasi dengan lingkungan baru. Perbedaan yang ada sedikit banyaknya
mempengaruhi perasaan dan kondisi mereka. Reaksi culture shock juga lebih
terasa oleh perempuan, seperti homesick yang berbulan-bulan, menangis karena
merindukan lingkungan asalnya, merasa ditolak, cepat tersinggung dan
menganggap tuan rumah tidak peka. Proses penyesuaian diri juga lebih lambat.
Sedangkan laki-laki, perbedaan yang ada tidak terlalu ditanggapi serius, dan
hanya membutuhkan waktu yang cukup singkat untuk menerimanya dan
beradaptasi. Selain itu, laki-laki juga lebih cepat berbaur dan menguasai
lingkungan.
Asal fakultas informan juga berpengaruh dalam proses penyesuaian diri.
Mahasiswa FK USU cenderung berkelompok dibanding mahasiswa FKG USU,
sehingga ini mempengaruhi intensitas interaksi mereka dengan mahasiswa
Indonesia. Kedekatan dan keakraban dengan mahasiswa Indonesia lebih terasa
dan terbangun di FKG USU. Lingkungan FKG USU yang lebih sempit dibanding
FK juga membantu kedekatan mereka. Adanya kerja sama antara mahasiswa
Indonesia dan mahasiswa Malaysia juga lebih terjalin di FKG USU. Jadi,
dikarenakan intensitas kontak dengan mahasiswa Indonesia lebih tinggi di FKG,
maka proses penyesuaian diri juga lebih cepat. Dalam penelitian ini, mahasiswa
FKG lah yang lebih dekat dengan mahasiswa Indonesia, memiliki komunitas
dengan orang Indonesia, sering bergabung baik di kampus maupun di luar
kampus. Kegiatan santai dan hang-out dengan orang Indonesia juga lebih sering
dilakukan oleh mahasiswa asal Malaysia di FKG USU. Sedangkan mahasiswa
asal Malaysia di FK USU hanya berinteraksi untuk urusan kuliah saja, sangat
jarang yang bergaul dengan orang Indonesia di luar kampus.
Lama menetap juga menjadi faktor yang mempengaruhi pemulihan
keterkejutan budaya dan mencapai tahap penyesuaian. Terbukti dalam penelitian
ini, informan yang sudah tinggal lebih lama di Medan, sudah lebih menerima dan
beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Perbedaan yang ada di Medan diterima
sebagai sesuatu budaya baru dan berupaya untuk menyesuaikan diri. Lavanyah,
Harry, Lim, Jonathan dan Amir yang sudah menetap selama lebih dari tiga tahun
mengaku seiring berjalannya waktu mereka sudah mampu beradaptasi dengan
orang-orang Medan. Adaptasi mereka juga sudah lebih menyeluruh dibandingkan
dengan Linda, Asfahana, Tini, Girthee dan Govin yang tinggal selama kurang dari
tiga tahun. Perbedaan yang dirasakan dalam hal interaksi komunikasi antarbudaya
juga lambat laun diterima dan dihargai sebagai suatu budaya lain.
Sedangkan faktor usia tidak berpengaruh, seseorang yang lebih tua tidak
menjamin proses penyesuaian yang lebih cepat, demikian sebaliknya, mahasiswa
yang berusia lebih muda juga tidak menjamin ia lebih cepat beradaptasi. Asfahana
yang berusia 23 tahun lebih lambat beradaptasi dibanding Tini yang berusia 21
tahun. Begitu pula sebaiknya, Harry yang berusia 23 tahun merasakan culture
shock yang lebih ringan dan juga lebih cepat beradaptasi dibanding dengan Govin
yang berusia 21 tahun.
Selain faktor-faktor yang tertera dalam karakteristik informan, sesuai
dengan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi (dalam Mulyana dan
Rakhmat, 1993: 142), faktor komunikasi perSonal, komunikasi sosial dan
lingkungan juga turut mempengaruhi. Komunikasi personal seperti struktur
kognitif, meliputi pengetahuan tentang budaya yang dimasuki, self image si
informan sebagai individu dan juga motivasi yang mengacu kepada kemauan
imigran untuk belajar tentang dan berpartisipasi dalam lingkungan budaya baru.
Kemudian, komunikasi sosial yang meliputi komunikasi interpersonal dengan
orang-orang Medan (Indonesia) dan juga lingkungan kota Medan, dalam hal ini
kampus FK dan FKG.
Dalam penelitian ini, ketiga faktor itu turut mempengaruhi dalam
mengatasi culture shock dan penyesuaian diri. Pengetahuan Harry, Govin dan
Jonathan yang lebih luas tentang Indonesia melalui pengalaman mereka yang
pernah berkunjung ke Indonesia sebelumnya sedikit banyaknya membantu
penguasaan budaya dan interaksi dengan orang-orang Medan (Indonesia). Selain
itu, watak/kepribadian sebagai seorang individu juga berpengaruh. Linda yang
sangat sensitif merasakan terpaan culture shock yang lebih berat dibandingkan
dengan Tini yang lebih cuek, padahal mereka tinggal dalam fakultas yang sama
dan juga rumah kost yang sama. Motivasi diri untuk bergabung dengan orang-
orang Medan (Indonesia) juga mempengaruhi. Informan yang sadar bahwa dirinya
adalah pendatang sehingga sewajibnya mereka harus beradaptasi dan termotivasi
untuk belajar tentang bahasa Indonesia dan segala sesuatu tentang Medan, juga
termotivasi untuk lebih membuka diri, bergaul dan bergabung dengan tuan rumah
akan lebih cepat beradaptasi dan keterkejutan budaya yang dirasakan pun sembuh.
Harry dan Govin mengungkap hal ini secara terang-terangan. Motivasinya untuk
bergabung dan bergaul dengan orang-orang Medan (Indonesia), khususnya
mahasiswa Indonesia di kampus mereka membantu penyesuaian diri mereka.
Mereka berpegang pada kesadaran akan adanya perbedaan dan kebutuhan akan
interaksi.
Sekiranya, dari penelitian ini benar apa yang dikemukakan oleh Schramm
(dalam Liliweri, 2001: 171) bahwa dalam membantu suatu komunikasi
antarbudaya yang efektif, partisipan komunikasi harus memperhatikan empat
syarat, yakni (1) menghormati anggota budaya lain sebagai manusia; (2)
menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang
kita kehendaki; (3) menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak
berbeda dari cara kita bertindak; dan (4) komunikator antarbudaya yang kompeten
harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain. Apa yang
dikemukakan Schramm jelas terbukti dalam penelitian ini. Informan yang
menyadari kondisinya sebagai pendatang berupaya untuk menerima perbedaan
yang ada dan menghargai itu sebagai suatu budaya lain yang juga harus dihormati
akan lebih cepat beradaptasi dan berinteraksi dengan lebih baik. Demikian pula
sebaliknya, pihak tuan rumah, yakni mahasiswa Indonesia di FK dan FKG pada
khususnya berupaya untuk menerima mereka dengan perbedaan yang ada, seperti
kebiasaan untuk tidak berjabat tangan antara perempuan dan laki-laki yang
diterima dan dipahami oleh orang Indonesia.
Dikaitkan dengan teori interaksionisme simbolik, maka dapat disimpulkan
bahwa memang benar individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, serta
menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan (Mulyana, 2001: 59).
Meskipun secara umum, hampir seluruhnya informan yang merupakan mahasiswa
asal Malaysia di FKG USU lebih cepat berdaptasi dan memiliki intensitas
komunikasi antarbudaya yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa asal Malaysia
di FK USU, tetapi ada informan yang tetap berkelompok dengan sesamanya,
bahkan dengan yang satu etnis dengannya, seperti Amirah yang dalam
kesehariannya sering berkelompok dengan sesama mahasiswa Melayu Malaysia.
Peneliti menyakini perspektif interaksi simbolik berusaha memahami
perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif yang menyarankan bahwa
perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia
membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi
orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan
kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan
perilaku manusia (Mulyana, 2001: 68-69). Artinya, bisa jadi informan yang lebih
cepat beradaptasi seperti Harry, Govin, Amir, Kartini, Lavanyah, Lim dan
Jonathan memaknai lingkungan Kota Medan dan orang-orang di dalamnya
sebagai sesuatu yang positif, sehingga akhirnya mendorong mereka untuk mau
berinteraksi, melakukan komunikasi antarbudaya, meskipun dengan berbagai
kendala dan perbedaan yang dirasakan tetapi memperoleh pembelajaran tentang
budaya Medan (Indonesia). Mereka memberikan definisi yang lebih baik tentang
orang Medan (Indonesia) dan menghargai perbedaan yang ada dibandingkan
informan yang memilih berkelompok dan hanya berinteraksi untuk urusan kuliah
saja. Sedangkan informan yang memberikan definisi yang cenderung negatif
tentang lingkungan Medan dan orang-orang di dalamnya seperti Linda dan
Asfahana yang memaknai situasi dan perilaku orang Indonesia yang tidak ingin
berteman dengan orang Malaysia, maka Linda dan Asfahana cenderung
berkelompok dengan sesama mahasiswa Malaysia dengan segala bentuk
kenyamanannya.
Tidak hanya memberikan definisi terhadap orang lain, definisi yang
mereka berikan terhadap diri mereka sendiri juga mempengaruhi perilaku mereka.
Informan yang lebih cepat dalam beradaptasi dan mengatasi culture shock yang
dialami, mendefinisikan dirinya sebagai pendatang yang seharusnya belajar
budaya tempat yang Ia datangi dan berkomunikasi dengan orang-orang yang ada
didalamnya, sedangkan informan yang mendefinisikan dirinya sebagai pendatang
yang diasingkan, ditolak dan berbeda, maka perilaku mereka cenderung lebih
sering berkelompok dan hanya berkomunikasi seadanya untuk urusan
perkuliahan. Hal ini dijadikan sebagai perlindungan bagi culture shock yang
mereka alami. Lingkungan yang berisi sesama pendatang dengan asal yang sama
memang dapat membantu proses penyesuaian dan penerimaan terhadap budaya
lingkungan baru, tetapi alangkah baiknya upaya menanggulangi culture shock
dengan belajar dan berkomunikasi dengan tuan rumah langsung demi penyesuaian
diri. Jadi, dalam perspektif interaksionisme simbolik, perilaku individu
berdasarkan pada makna/definisi/penafsiran itu. Makna-makna yang ada bukan
melekat pada objek, melainkan diperoleh dan dikonstruksikan melalui interaksi.
Dengan berinteraksi, mahasiswa Malaysia memperoleh makna dan kenyataan
sosial yang ada didasarkan pada definisi dan penilaian subjektif individu, dalam
hal ini mahasiswa asal Malaysia. Bagaimana penilaian/definisi yang diberikan
mahasiswa Malaysia tentang lingkungan Kota Medan, orang-orang Medan, situasi
yang ada di Kota Medan, bahkan tentang dirinya sendiri, maka berdasarkan itulah
ia berperilaku.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang culture shock pada mahasiswa asal Malaysia
di Universitas Sumatera Utara, maka dapat ditarik kesimpulan:
1. Para mahasiswa asal Malaysia memiliki kecenderungan culture shock
tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa menyesuaikan diri,
namun untuk beberapa informan masih mengalami beberapa masalah
adaptasi seperti merasa diperlakukan berbeda dalam berinteraksi dengan
penduduk lokal, tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan masih
kurang nyaman dengan perbedaan budaya yang ada.
2. Culture shock yang dirasakan dalam hal interaksi komunikasi antarbudaya
ialah terhadap bahasa, kuat dan kasarnya cara orang Medan berbicara,
karakteristik orang Medan dan juga beberapa perbedaan nilai-nilai. Dari
seluruh perbedaan, bahasa yang dianggap menjadi persoalan dalam
berkomunikasi.
3. Dari penelitian ini, peneliti memperoleh temuan mengenai culture shock
yang dialami informan di luar interaksi komunikasi antarbudaya, yakni
makanan, keadaan lalu lintas, kegiatan merokok dan mencontek di
lingkungan kampus dan fasilitas dan birokrasi kampus yang masih belum
memadai, tetapi kebanyakan informan mengaku mengalami culture shock
terhadap makanan dan lalu lintas kota Medan yang padat dan tidak teratur.
4. Rata-rata reaksi terhadap culture shock yang dialami adalah rindu pada
rumah/lingkungan lama (homesick) dan gangguan fisik, seperti sakit perut
karena tidak cocok dengan makanan yang ada.
5. Jenis kelamin, lama menetap dan asal fakultas cukup berpengaruh
terhadap culture shock yang dirasakan dan upaya dalam
menanggulanginya menuju suatu penyesuaian diri.
6. Faktor personal seperti watak/kepribadian, pengalaman sebelumnya,
pengetahuan dan juga motivasi, serta komunikasi sosial yaitu intensitas
interaksi dengan tuan rumah dan lingkungan juga mempengaruhi proses
adaptasi.
7. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa upaya dalam menanggulangi
culture shock menuju suatu penyesuaian diri, yakni memegang prinsip
sebagai pendatang harus bersedia untuk beradaptasi dengan lingkungan
yang didatangi, memperbanyak teman orang-orang Medan (Indonesia) dan
meningkatkan intensitas keterlibatan dengan orang-orang Medan
(Indonesia), baik di kampus maupun di luar kampus. Upaya lainnya adalah
dengan tetap memilih berkelompok dengan sesama mahasiswa asal
Malaysia dan berlindung di balik kenyamanan yang dirasakan selama
berada denngan sesama. Tetapi, mayoritas informan melakukan upaya
yang pertama, yakni beradaptasi dan memperbanyak teman orang-orang
Medan (Indonesia).
V.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti perlu mengajukan beberapa
saran:
1. Hendaknya mahasiswa asal Malaysia mau belajar memahami budaya
Indonesia pada umumnya dan Medan pada khususnya.
2. Hendaknya perbedaan dan keterkejutan budaya/culture shock yang
dirasakan memotivasi mahasiswa asal Malaysia untuk terus belajar
mengenal dan memahami budaya Medan yang merupakan lingkungan
baru yang mereka datangi.
3. Hendaknya mahasiswa asal Malaysia yang masih memilih untuk hidup
berkelompok dengan sesamanya karena kenyamanan yang dirasakan mulai
berupaya membuka diri untuk melakukan interaksi dan komunikasi
antarbudaya dengan orang-orang Medan (Indonesia), karena hal ini juga
akan membantu menanggulangi culture shock yang dialami menuju suatu
penyesuaian diri.
4. Hendaknya mahasiswa asal Malaysia, khususnya asal Fakultas Kedokteran
USU meningkatkan sosialisasi dan toleransi dengan orang-orang Medan
(Indonesia)
5. Hendaknya mahasiswa Medan (Indonesia) juga menerima mahasiswa
Malaysia dengan baik, membantu dan menghargai perbedaan budaya yang
ada untuk membantu proses adaptasi mereka juga.
6. Penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam melihat culture shock
yang dialami etnis pendatang dan minoritas, serta membantu memberikan
masukan mengenai upaya lain dalam menanggulanginya dan dalam
mempercepat proses adaptasi mereka. Penelitian ini juga dapat dijadikan
referensi untuk penelitian lain yang sejenis pada kondisi atau subjek yang
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Bodgan, Robert dan Steven J. Taylor. 1992. Pengantar Metode Penelitian
Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional
Bungin, Burhan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana
Daymond, Christine dan Immy Holloway. 2007. Metode-metode Riset Kualitatif dalam Public Relations & Marketing Communications. Yogyakarta: Bentang
Elvinaro, Ardianto dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
Liliweri, Alo. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
___________ 2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Marthin, Judith dan Thomas K. Nakayama. 2007. Intercultural Communication in Context. New York: Mc. Graw Hill International
Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
___________ 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rakhmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi Dengan Orang – Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: UGM Press
Rahardjo, Turnomo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultural. Jakarta: PT. RiptekaSamovar, Larry, Richard E. Porter dan Edwin R. Mc. Daniel. 2007.
Communication Between Cultures. USA: Thomson Higher Education
Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3S
Tubbs, Stewart dan Sylvia Moss, 2005. Human Communication Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis
dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika
Sumber lain:
http://www.usu.ac.id/
http://dossuwanda.wordpress.com/2008/04/04/gegar-budaya-sebagai-proses-
komunikasi-antar-budaya/#more-156 (diakses pada tanggal 7 November 2010)
http://campuslife.suite101.com/article.cfm/
understanding_and_coping_with_culture_shock (diakses pada tanggal 8
November 2010)
http://www.antarasumut.com/pendidikan/usu-terima-40-mahasiswa-baru-asal-
malaysia/)
LAMPIRAN HASIL WAWANCARA
P : Peneliti
I : Informan
1. Hasslinda Binti Hassan
P : Apakah ini pengalaman pertama datang ke Kota Medan?
I : Ya kak, ini pertama kali datang ke Medan
P : Mengapa memilih USU untuk melanjutkan kuliah?
I : sebab USU cukup famous di Malaysia, mutunya pun baik. Lepas tu sebab Medan pun budayanya tak jauh beda dengan Malaysia. Kita pun macam bangga sekolah kak sini.
P : Apa yang dirasakan ketika akan pindah ke Medan?
I : Senang lah karena mau kuliah, tapi ada rasa cemas juga la mau hidup di negara orang.
P : Apa yang Linda tahu tentang Medan sebelumnya?
I : Sering dapat cerita di sini banyak orang Batak, lepas tu budaya pun tak pala beda.
P : Ada rasa takut ketika ingin pindah ke Medan?
I : Cemas sikit ada la, tapi tak besar, sebab di sana pun, apalagi tempat saya Kuala Lumpur banyak kali orang Indonesia,jadi udah OK la.
P : Ketika pertama kali tiba di Medan apa yang Linda rasakan?
I : Pertama pasti langsung rasa ada beda la.
P : Perbedaan apa aja yang dirasakan?
I : Terkejut la kak, traffic tuh padat sangat, busy betol” Kalo soal cuaca gak la pala cemana, soalnya tak pala jauh beda iklim Indonesia sama Malaysia kan, cuman jalan raya aja yang bising.
P : Kemudian perbedaan apa lagi?
I : Makanannya la, nasi tuh dibungkus besar-besar, kalo di Malay tuh kan tak ada yang macem tuh, sikit aja. Jadi kalo disini makan sekali aja saya kenyang betol.
P : Kalau dengan orang-orangnya?
I : orang-orang sini ramahlah kak, tidak pendiam, meriah, gak rasa sunyi lah..cukup baik lah
P : Pernah mengalami kesulitan dalam berkomunikasi?
I : Pernah la, sebab bahasa pun beda kan.
P : Apakah pernah mengalami kendala bahasa dan salah paham dalam komunikasi?
I : Awal-awal itu jelas la, tahun-tahun pertama, tak paham sama yang kawan cakap tu pasti la. Cuman saya selalu biasakan kalau tak tau langsung saya rujuk kawan, yang dicakap tadi apa artinya. Kadang juga kan bahasa di sini beda-beda.
P : Pernah mengalami konflik karena kesalahpahaman itu?
I : Oh, tak pernah la. Kalau sama kawan kampus tak pernah konflik la. Kalau ada salah paham pun tak ada saya anggap secara serius sampai sebabkan konflik macam tu. Sebab saya yang datang sini, negara orang jadi jangan la buat masalah kan.
P : Ada merasa perbedaan dari segi penampilan dengan orang-orang di sini?
I : Pakaian jelas beda la. orang pun bisa kenal pasti orang ini Indonesia atau orang Malaysia kan. Tapi tak permasalahkan, sebab saya pun bukan fashionable punya orang. Tapi pakaian memang totally different la, macam bebas gitu la. kalau di Malaysia ada pakaian formak khusus kalau mau ke Universitas.
P : Apa pendapat Anda dengan konflik Indonesia-Malaysia?
I : Dulu konflik Indonesia-Malaysia kurang, tapi tahun sekarang ramai kan. Terkadang saya pun takut kan, sebab pakai baju kurung orang dapat tau saya ini orang Malaysia, agak aware la, macam agak hati-hati. Pertama kali saya nak bertolak ke sini saya tak pikirkan itu, sebab saya pilih USU sebab dekat dengan Malaysia, tak terlalu banyak perbedaan, jadi saya tak pikir la konflik tu.
P : Apakah konflik itu mempengaruhi interaksi Anda atau kehidupan Anda di Medan?
I : Ya macam tadi la, pergi seorang-seorang berani la, tapi kadang hati-hati la, sebab saya rasa orang kadang pandang saya kalau lagi jalan. Padahal di Malaysia pun ramai orang Indonesia, jadi saya pun heran, kenapa mereka pandang saya macam tu kan. Misalnya pagi-pagi kan, saya mau pergi kuliah kan, jalan seorang-seorang, mereka kan berkumpul kan, lepas tu macam dari sana mereka pandang. Saya pun pelik juga, kenapa mereka pandang? Kita buat apa rupanya kan? Macam tu la.
P : Linda tinggal dimana?
I : Kost di jalan Tri darma.
P : Kost sama teman-teman Malaysia juga?
I : Campur ada orang Indonesia juga la.
P : Bagaimana interaksi dengan sesama penghuni kost?
I : Ah, itu la. cemana mau bilang ya, macam lain. Macam kakak tengok tadi, cara pakaian tu orang macam mana kan? Cara mereka bercakap pun agak kasar, jadi kami macam agak tercabar, kadang-kadang macam ganggu, tak respect la. bukan saya cakap semua, tapi sebahagian. Ada yang seorang,dia memang humble la, memang rendah diri, tapi kalau yang dua orang ini macam lain sikit. Jadi kami kadan tegur kadang-kadang gak tegur, macam tu aja. Gak tau la pandangan mereka orang cemana kan, tapi kami OK aja. Tapi ada la kami yang tak suka, macam cara tu orang, gak ada kerja sama la.
P : Jadi hubungan Linda dengan mereka memang tidak baik ya?
I : Kita pun bukan mau macam tu kan, cuman mereka pun tak respect la. Mereka baru masuk, sebenarnya kami yang pindah sini duluan, mereka baru aja, tapi udah tunjuk belang, jadi kami pun, ah..jangan la gitu kan. Gak ada kerja sama la, macam lepas makan tak basuh, buat bising-bising, cara percakapan tu orang macam kuat kali la. jadi kami pun rasa terganggu, terkadang tengah tidur pun macam terjaga sebab bising tadi tu kan. Mereka bawa kawan laki-laki lagi ke rumah, jadi kan saya rasa aduh, kenapa macam tu kan?
P : Jadi itu benar-benar buat Linda terganggu ya?
I : Iya kak, saya terganggu, tak bisa tidur nyenyak, terkejut juga la liat tingkah itu orang.
P : Pernah sampai bertengkar atau ada konflik?
I : Gak la, saya gak mau begadoh macam tu. Asal gak totally ganggu tak apa la kak, sebab saya pun masi lama disini, belum coass lagi kan? Banyak benda yang perlu saya pikir daripada pikir dua orang ini kan. Tapi coass nanti kak adam malik aja, tak ada di sini. Adam Malik pun tak tau macam mana lagi, orang-orangnya, dokternya, semuanya, kan jadi tercabar. Bukan mau musuh, cuman memang udah macam itu adanya kan, mau buat cemana lagi kan. Sabar aja la, sebab kalau bertengkar kami juga yang rugi kan? sebab ini bukan negara saya.
P : Apakah ada usaha untuk memperbaikinya?
I : Kita uda bagi secara elok kak, tapi ini orang macam keras sikit la. Saya coba duduk kak posisi orang indonesia cemana rasanya, tapi tetap tak bisa pikir la. Pelik juga kalau orang macam tu kan? Pertama saya juga yang buka mulut kak, mereka tak pernah la cakap duluan. Jadi ya gini-gini aja. Saya rasa sedih juga la, saya udah rasa OK la sebab di kampung saya banyak orang Indonesia, tapi kenapa tiba saya yang datang sini mereka macam ada beda gitu kan?macam rasa unfair la. Sebab orang indonesia ramah kan? Yang ini agak lain sikit la, udah nasib la dapat kostmate macam ni.
P : Jadi bagaimana cara Linda mengatasi masalah ini?
I : Ya kita pun harus profesional kan? Endah tak endah aja, buat apa yang kita buat aja, asal tak betol-betol mengganggu tak apa la. Maybe ambil sebagai dugaan la, belajar di negara orang gini, mana ada yang perfect kan? Saya rasa satu aja la, respect, hormat, kalau respect each other memang best la, happiness boleh dapat la.
P : Linda lebih sering dengan sesama Malaysia atau bergabung dengan Indonesia?
I : Lebih malaysia, ada juga teman Indonesia, mereka friendly, mereka sendiri yang datang kak kita, tapi memang tak gitu rapat la.
P : Linda merasa dibeda-bedakan/ditolak?
I : Ada la, bedakan orang Malaysia dengan Indonesia. Sebab kami pun disini apa salahnya kan? Agak respect la sikit kan.Sebab saya pun mana ada nak kutuk-kutuk kan? Saya konflik-konflik macam tu benci la. kenapa harus beda-beda kan? Sebab perdana menteri atau pemerintah sekalipun tak ada cemana kali kan? Rakyat aja yang terlalu menggembar-gemborkan, media apalagi kan?
P : Linda sering nonton berita tentang konflik itu di TV ya?
I : Ah, TV ini letak di situ aja kak. Jarang kali dibuka, sebab saya tak mau nonton la. sebab saya gak minat la, kadang macam tengok aja acara adat-adat kah, masak-masak kue kah, kalau yang gosip macam itu saya tak minat la, tak dapat terima saya.
P : Bagaimana dengan media di Malaysia?
I : Di Malaysia pun ada, cuman tak banyak kali macam sini. Mau nonton apa-apa semua gosip.
P : Selain itu, perbedaan-perbedaan apa lagi yang Linda alami dan membuat terkejut?
I : Satu ini la kak, rokok. Itu culture shock sangat bagi saya, sebab di lingkungan kampus kak, apalagi FK, kampus kedokteran harusnya tau kesehatan kan, tapi ini tak. Aduh, rasa pelik betol la. dosennya pun merokok pula, cemana la, merokok kan tak elok kan. Kalau di Malaysia memang tak bisa la kak. Kalau di dalam U tak boleh ada merokok. Kalau ada merokok ada sanksi,macam denda gitu. Saya shock betol la, sebab saya pun tak tahan la, kadang mau beli yang tutup mulut tu la biar gak ikut kena kan. Sama satu lagi nyontek kak. Kenapa di kampus pun boleh macam tu? Kalau di Malaysia tak boleh kak, bisa kena buang dari U.
P : Itu kan pengalaman interaksi dengan orang-orang di dalam kampus, bagaimana dengan interaksi dengan orang-orang di luar kampus?
I : Tukang becak la kak sama supir angkot. Kadang suara mereka agak kuat sikit, tapi udah OK la, kemana-mana pun naek angkot sama becak juga sekarang.
P : Kalau di kampus, Linda lebih sering bergabung dengan teman sesama Malaysia atau berbaur dengan yang Indonesia juga?
I : Dengan yang benar-benar friendly la, tapi lebih sering sama Malaysia, tapi ada juga kawan daripada orang Indonesia, tapi tak rapat la.
P : Ada perkumpulan mahasiswa Malaysia di kampus?
I :Ada kak. PKPMI (Persatuan Kebangsaan Pelajar-Pelajar Malaysia di Indonesia)
P : Pernah merasakan homesick?
I : kalo homesick sampai sekarang saya masi rasalah, rindu sama famili. Terkadang kan kak, saya tu nangis seorang di kamar, namanya di negara orang kan, sedih la kak. Saya butuh motivasi, sebab di sini tu kurang. Kurang perhatian la. Orang-orang sini tu, student apa-apa sendiri-sendiri, saya jenis orang yang suka ramai-ramai la, jadi mereka kurang la memotivasi kawan, mau belajar pun seorang-seorang, jadi saya butuh support dari famili la kak, mereka saja yang boleh beri dukungan, tapi namanya saya yang datang ke negara orang, saya pulak la yang harus adaptasi kan? Tak mau la saya betingkah.
P : Dengan semua pengalaman perbedaan itu, bagaimana Linda mengatasinya?
I : Saya kemana-mana berdua sama Asfahana kak, mau ke kampus, pulangnya, jalan ke luar, pulang ke malaysia nanti pun sama. Jadi, karena ada dia saya pun bisa terbantu la.
P : Sampai saat ini apakah masih ada masalah yang belum bisa diatasi?
I : Sekiranya tak ada masalah betol, hanya saja yang tadi itu la. respect each other, pasti baikla, sebab saya pun masi lama juga di sini kan, mau coass lagi., masih banyak benda yang perlu dipikir, jadi buat baik aja la.
2. Govin Raj Perumal
P : Apakah ini pengalaman pertama ke Medan?
I : Kalau Medan iya, tapi kalau Indonesia gak. Sebelumnya saya pernah kuliah di Bandung selama setahun buat kayak pertukaran pelajar SMA gitu.
P : Sebelum pindah ke Medan, bagaimana persepsi Govin tentang Medan, lingkungannya, orang-orangnya?
I : Sebelum saya datang ke sini, pun ada pikir juga la, Medan pasti beda la dengan Malaysia. Saya pikirkan gimana tentang
makanannya, gimana tempat penginapannya, gimana orang-orangnya.
P : Setibanya di Medan, mengalami kontak langsung dengan semua yang ada di sini, apa yang Govin rasakan?
I : Jadi, kalau bandingkan Medan sama Bandung, orang-orang sana lebih lembut, lebih sopan gitu la. di sini bukan mau kata gak sopan, tapi bahasanya kayak kasar kali. Tapi di sini lebih dekat dengan Malaysia la gitu.
P : Apakah peralihan dari Bandung ke Medan membuat Govin shock?
I : Iya, sebab beda la, orang di sana lembut-lembut, tapi disini gak. Tapi saya lebih shock di sana, sebab orang-orangnya terlalu lembut. Contohnya kita sedang duduk di sini, ada orang yang lalu gitu, kita gak kenal siapa dia, tapi mereka bilang “permisi ya pak, punten ya pak” gitu, padahal kita gak tau dia siapa, terlalu sopan. Saya kadang pikir, kenapa ya dia harus buat gitu? Terasa pelik, tapi di sini gak ada kayak gitu, jalan aja. Kita berdiri, gak ada bilang permisi, langgar aja. Jadi culture shock itu saya rasakan apabila tau orang-orang itu kayak gini. Cara bicara mereka, baru saya tahu, oh, ternyata mereka kasar kali ya, kok mereka gak friendly ya, jadi saya rasa bedanya di situ.
P : Jadi cara bicara yang terdengar kuat dan kasar, tidak friendly itu sesuatu yang membuat Govin terkejut?
I : Iya, sebab saya pikir kenapa kasar gitu ya.
P : Bagaimana interaksi dengan teman-teman mahasiswa Indonesia di kampus? Menurut Anda bagaimana orang-orang Medan?
I : Orang-orang sini kan kayak gak mementingkan sosialisasi gitu. Kalau mereka lihat kita, mereka gak mau menegur gitu. Walaupun teman satu kuliah, ada yang gak mau ngomong-ngomong sama kita. Mereka buat kayak pura-pura gak tau, sosialisasinya macam gak ada gitu la di sini. Kalau orang yang datang dari luar, macam Palembang, Jambi, Surabaya mereka lebih ramah, lebih rapat. Tapi orang asli Medan gitu gak ramah, gak rapat, gak tau kenapa. Memang dari tahun 2008, tetap saya yang rapat tu banyakan dari luuar, Palembang, Surabaya, ada dari Bandung juga.
P : Apakah Govin berbaur dengan teman-teman Indonesia atau berkelompok dengan sesama Malaysia saja?
I : Saya bukan orang yang mau macam itu. Saya mau lebih rapat dengan orang-orang Medan sini, sama semuanya la gitu, tapi karena mereka pun sosialisasinya kurang, saya pun gak tau gimana mau diperbaiki lagi. Jadi saya biasa aja la, siapa yang mau ngobrol
dengan saya, ayo, kalau gak ya gimana mau buat lagi kan. Kadang ada juga mereka yang mau tegur saya macam gitu kan, mau ngomong sama kita, kalau yang gitu seronok la.
P : Selama berkomunikasi dengan orang Medan di sini, apakah Govin pernah mengalami masalah, mungkin dalam hal bahasa atau yang lainnya?
I : Kalau bahasa, saya rasa orang Medan, mereka gak gunakan bahasa yang terlalu asli. Mereka masih pergunakan kata seperti boleh, tak ada, jadi lebih kurang sama kayak dengan Malaysia. Tapi kalau di Bandung dulu mereka terlalu asli bahasanya. Contohnya kayak perkataan gimana ya, banget, sih, dong, terlalu pekat. Intonasi suara, pergerakan bibir, semuanya pekat gitu. Jadi, memang sebulan pertama di sana itu saya rasa kayak di planet lain.
P : Kalau dengan bahasa Medan sendiri, Govin tidak ada masalah? Apakah sudah mampu berkomunikasi dengan baik?
I : Karena pengalaman di Bandung itu, saya udah bisa la bahasa, jadi gak pala masalah lagi.
P : Apakah Govin sering rindu dengan Malaysia?
I : Rindu pasti ada la, apalagi kalau uda dekat libur akhir semester.
P : Disini tinggal dimana?
I : Di Komplek Tasbi 2
P : Bersama teman-teman sesama Malaysia atau campur dengan non Malaysia?
I : Kita kontrak rumah sama anak Malaysia.
P : Selama ini pernah mengalami konflik dengan orang-orang Medan (Indonesia)
I : oh, gak pernah. Kami sering main sama, macam main futsal gitu. Jadi gak ada konflik la. konfliknya itu selalu sama tukang becak la. mereka itu lah masalahnya. Satu hari satu harga gitu, hari ini kalo mereka bilang sepuluh, besok mereka bilang dua puluh. Ada lagi yang mengeluarkan kata-kata yang gak perlu dikeluarkan gitu “ah kamu Malaysia bayar aja la lebih” gitu, kita pun rasa kenapa ya mereka bilang kek gini? Jadi kami pun malas melayani mereka gitu.
P : Jadi kalau mau kemana-mana Govin menggunakan apa?
I : Naik angkot, atau sama teman naik kereta. Kalau becak, kadang kalau terpaksa naik, ya naik la.
P : Apakah ada perbedaan lainnya yang Govin rasakan selama tinggal di Medan?
I : Itu tadi la, becak, lepas itu makanannya saya rasa susah dikit. Seminggu pertama itu dapat mencret, sakit perut terus. Tapi udah lama-lama makanan pun udah bisa adaptasi la.
P : Govin pernah merasa diasingkan, dibeda-bedakan atau ditolak orang-orang Medan (Indonesia)?
I : Awalnya macam saya bilang tadi, ada yang gak mau tegur, tapi ada juga yang mau tegur, main futsal sama. Tapi itu tak saya anggap sebagai masalah la, macam udah ini la hakikatnya, sudah tradisinya disini.
P : Kemudian ada perbedaan lainnya?
I : Fasilitasnya la, saya rasa harus ditambahi lagi, kayak misalnya kelas praktikum di kuliah gitu. Kalau bisa sistemnya yang lebih gampang la, maksud saya gak usah susahkan mahasiswa gitu. Kalau di sana, di Malaysia, mereka udah tetapkan sistemnya, jadi gak berubah-ubah gitu. Kalau di sini ganti, waktu saya masuk sistem semester, sekarang udah robah jadi sistem blok atau KBK. Kemudian lagi itu dengan orang imigrasi la kak. Saya rasa susah kali, sebab mereka itu terlalu tidak mengendahkan gitu. Kalau mau ke imigrasi itu, kita harus benar-benar menjaga hatimereka gitu. Kalau kita mau jadi normal gak bisa gitu, harus jadi lebih berbaik la. kita udah ngomong baik pun kadang gak mau, harus lembut kali. Saya pun gak tau apa yang mereka harapkan dari kita. Berbicara dengan mereka itu sulit kali la.
P : Jadi Govin selalu mengalami kesulitan kalau berurusan dengan imigrasi?
I : Iya kak, karena mereka pun kadang mood nya gak baik.
P : Apakah pernah ada masalah interaksi lainnya dengan orang-orang Medan (Indonesia)?
I : gak pala juga la, mungkin macam dosen. Ada yang gak terlalu pentingkan hubungan antara dosen dengan mahasiswa. Tapi ada juga yang harus hormat gitu, banyak la, macam bahasa pun harus benar, gak bisa dikit pun ada kesalahan bahasa gitu. Lainnya itu OK la kak.
P : Selama ini, apakah Govin sering bergabung dengan teman-teman Indonesia?
I : Iya kak, macam tadi itu la. kalau disini ada dua kelompok, ada yang sama anak Malaysia aja, ada yang mau gabung. Kalau saya, saya suka bergaul, suka kali berinteraksi. Biasa ya kak, perkara
logika, kalau kita buat suatu yang baru, pasti ada kebaikan dan keburukannya. Kalau kita gak mau buat suatu yang baru, kita mau tetap aja dengan apa yang kita ada, kita kan gak kemana-mana, gak maju.
P : Di antara keduanya, Govin lebih sering berkumpul dengan sesama mahasiswa Malaysia atau berbaur dengan mahasiswa Indonesia?
I : Saya gini la kak, kalau di kampus itu kan, memang teman aku teman aku, teman Malaysia itu teman aku, tapi kalau ada apa-apa mau tanya gitu kan, saya tanya dua pihak, gak ada la pilih kasih sebab sama Malaysia gitu.
P : Apakah Govin punya teman baik (best friend) orang Indonesia?
I : Banyak kak, bukan waktu di kampus aja, di luar pun main sama. Kayak Putra,Viktor, Fengsini. Senang aja kak, pas aku lalu kelas mereka, mereka liat aku, lepas itu mereka tanya, kami kenalan gitu. Pertama semester 1 itu, praktikum sama, lab sama, main futsal sampe sekarang pun sama.
P : Jadi, secara keseluruhan Govin sudah mampu beradaptasi?
I : udah la kak, udah 3 tahun di sini, tambah pengalaman di Bandung pun kan, jadi udah bisa la.
P : Apakah masih ada masalah yang sampai sekarang belum bisa diatasi?
I : gak la kak, kayak yang saya bilang itu la, kalau semua mau elok bergabung, berkenalan gitu, pasti bisa semua la, jadi gak akan ada masalah.
3. Harvinderpal Singh
P : Apakah sebelumnya Harry pernah ke Medan, atau ini yang pertama kali?
I : Pernah, waktu di SMA Raksana. Ada pertukaran pelajar malaysia. Jadi sebelum kita mau studi di Indonesia, kita dtang untukmenyesuaikan diri dulu 6 bulan pertama.
P : Mengapa Harry memilih USU?
I : Karena dekat dengan Malaysia, murah, akreditasinya sama dengan Malayia.
P : Sebelum ke Medan, apa persepsi Harry tentang kota Medan atau orang-orangnya?
I : pertama waktu di Malaysia kan, persepsi saya tentang orang Medan itu mengerikan, apalagi orang Batak kan? Saya kan pertama kali sebelum tinggal di Komplek Tasbi tinggal di Padang Bulan, daerah simpang pos. Jadi disitu kan banyak orang Batak, jadi waktu di situ saya takut keluar sendiri. Saya dengar cerita kalau mereka senyum sama kita, kita gak senyum sama mereka,mereka simpan di hati, suatu hari nanti mereka akan potong kamu. Habis beberapa tahun, dai teman-teman bilang itu cerita lama, udah gak ada kayak gitu lagi, ini udah modern. Cuman memang kalau kita liat orang yang mukanya ngeri-ngeri itu memang Batak asli lah kan.
P : Pertama kali tiba di Medan, apa yang Harry rasakan?
I : Walaupun agak sama dan dekat tapi juga ada beda lah.
P : Perbedaan apa saja yang dirasakan?
I : Makanannya susah la. Pertama kita sampai itu, kita kan gak cocok sama makanannya, karena di sini banyak pake santan, di Malaysia gak, di sana kari yang banyak. Jadi kalau makan santan itu dapat sakit perut, mencret. Bulan pertama saya sampai sini, saya kerapkali sakit, gara-gara gak cocok juga dengan airnya di sini, macam kotor gitu la. kan kalau disana sumber airnya satu, sebelum airnya sampai ke rumah-rumah, mereka melalui proses penyaringan dulu, jadi bersih, minum pun bisa, gak usah khawatir. Tapi sekarang makanan udah bisa lah.
P : Bagaimana dengan orang-orangnya, apakah Harry mengalami masalah dalam berinteraksi?
I : orang Indonesia semuanya baik la, ramah tamah kan. Mereka approach, ada sopannya, mesra la pokoknya. cuman orang becak aja la yang gak mesra. Kita mau bilang harga lain gak bisa,mereka yang benar la, ini la, itu la, angkot pun gitu la, sama aja.
P : Jadi kalau ke kampus atau pergi kemana-mana menggunakan apa?
I : Saya udah beli kereta, smenjak saya udah punya kereta, saya gak pernah naik lagi. Tapi dulu, sebelum saya beli kereta, kadang-kadang saya rasa putus asa lah berurusan sama orang becak itu.
P : Setibanya di Medan, perbedaan apa yang paling terasa?
I : Bahasanya la, kan ada banyak bahasa di Indonesia. Pertama kalau ngomong sama mereka, mereka merasa bahasa saya yang aneh, tapi bahasa yang saya gunakan itu bahasa Malaysia, untuk saya gak anaeh, untuk kalian aneh. Bila kalian, orang Indonesia yang cakap bahasa kalian saya yang rasa aneh, kok gitu, apa yang kamu ngomong itu ya, gak ngerti saya, ya kayak gitu la. pertama kali datang itu yang menjadi persoalan, becanda, orang mengejek-ejek gitu la.
P : Berapa lama akhirnya Harry bisa menguasai bahasa Indonesia dan berkomunikasi dengan baik?
I : Saya sebentar aja, sebulan dua bulan udah tangkap bahasanya. Waktu di sekolah itu saya belajar bahasa dengan orang disitu kan, jadi udah bisa tangkap la. Saya suka belajar bahasa, saya cepat tangkap, saya bisa banyak bahasa, Cina, India, Inggris, Perancis.
P : Setibanya di lingkungan USU, apa ada masalah baru atau sesuatu yang membuat Harry shock?
I : Sebenarnya, pertama kali saya ada masalah interaksi itu waktu SMA di Raksana itu. Gak ngerti dengan bahasa, lepas itu gak ngerti dengan apa yang diajar oleh dosen pengajarnya.
P : Jadi bagaimana cara Harry mengatasinya?
I : Jadi saya ambil waktu belajar les dengan guru bahasa Indonesia. Seminggu dua kali, sehabis pulang sekolah, lanjut les bahasa, gitu lah. Saya langsung praktekkan, saya kan cepat gaul, jadi saya ngomong-ngomong dengan orang sekitar. Waktu itu ada cewek yang suka dengan saya, jadi saya belajar, diajarkan bahasa dengan cewek itu.
P : Kalau di kampus Harry lebih sering berkumpul dengan teman sesama Malaysia atau berbaur dengan yang Indonesia?
I : Kan ada orang yang sifatnya kalau saya Cina saya mau teman sama orang Cina aja, saya India sama orang India aja, tapi kalau saya gak, saya mix dengan semua. Saya gak mau pandang orang hina. Saya gaul dengan semua, di sini saya punya banyak teman Indonesia. Yang paling akrab dengan saya orang Indonesia yang ada.
P : Jadi, selama ini Harry mengatasi semua perbedaan dengan cara bergaul dengan orang Indonesia?
I : Pertama kali sampai USU, saya usaha langsung cari teman, karena kita pun mau belajar kan, butuh bantuan la, kalau gak ngerti tanya teman, gitu la. Soalnya kita mau belajar di sini, kalau dari awal aja kita udah rasa sifat seperti gak mau lah, nanti aja lah, ditunda-tunda, nanti sampai kapan mau ada kan, jadi saya gak buang waktu, langsung belajar, tangkap semua lah.
P : Harry tinggal dimana?
I : saya tinggal 4 orang, di Kompleks Tasbi 2. Malaysia semua, 3 cewek, saya seorang aja yang cowok.
P : Bagaimana pendapat harry tentang konflik antara Indonesia dan Malaysia? Apakah mempengaruhi interaksi Harry dengan orang Medan (Indonesia) di sini?
I : kalau itu sebab media la, media yang memprogandakan lagi. Mereka lah yang tambahkan api-apinya, jadi sepatutnya jangan diungkit, sebab itu urusan negara. Itu antara government Malaysia dan Indonesia. Media yang angkat itu lebih banyak biar rakyat yang naik, panas gitu kan. Gak lah, gak ada rasa takut, sebab kita kan ke sini maksud mau belajar. Bilang serumpun tapi masih juga mau ada masalah kan? Jadi saya rasa gak perlu ada masalah-masalah lah.
P : Apakah pernah merasakan homesick?
I : Adalah, tapi sebentar aja. Lepas tu udah biasa, kalau ada waktu saya pulang. Tapi semester ini gak pulang, sebab skripsi.
P : Sejauh ini apakah masih ada masalah yang belum diatasi?
I : Gak lah, semua udah lancar. Udah hampir 5 tahun, jadi ok lah.
4. Amirah Fahimah Binti Ahmad Tarmizi
P : Apakah ini pengalaman pertama datang ke Medan?
I : Ya, pertama kali ke Medan
P : Mengapa memilih USU untuk kuliah?
I : Sebab pemerintah yang hantar ke sini.
P : Pertama kali tiba di Medan, apakah mengalami culture shock? Perbedaan apa yang dialami?
I : Lebih ke bahasa ya, kalau perkataan itu kan, satu-satu huruf, ayat itu kan ada lah juga salah interpretasi, tapi kira gitu masih dapat lah yang nak disampaikan.
P : Selain bahasa, ada perbedaan apa lagi?
I : First time datang dekat Medan, culture shock nya itu, lagi sampai Polonia terkejut tengok macetnya itu lain, lepas tu, mobil-mobil banyak tekan horn. Makanan juga lah, disini lauknya sikit, nasinya banyak.
P : Bagaimana dengan orang-orangnya? Karakteristiknya mungkin, budayanya?
I : Di sini itu suara perempuan itu keras-keras, jerit-jerit gitu kan. Jadi saya rasa terkejut la liat perempuan gitu.
P : Selama ini, dari pertama tiba, apakah pernah mengalami masalah dalam berkomunikasi?
I : Komunikasi itu mula-mula ada maslah juga la, kami cakap lain, mereka pun cakap lain, pahamnyapun lain,macam gitu lah.
P : Jadi, dengan kondisi yang seperti itu, bagaimana Amirah mengatasinya?
I : Mula-mula datang sini tak banyak cakap lah, jadi lebih banyak mendiamkan diri, banyak mendengar gitu la.
P : Apakah Amirah juga berbaur denngan orang-orang Indonesia atau teman-teman mahasiswa Indonesia?
I : Awal mula semester 1 itu sering campur lah, tapi sekarang sebab skripsi udah jarang, semua pisah, karena jadwalnya lain. Teman kenal gitu aja, kalau kuliah, tapi gak rapat macam ini. Lebih sama Malaysia lah, sebab gak biasa kan, bahasa pun beda.
P : Amirah punya teman baik orang Indonesia?
I : Kalau teman yang best friend gitu gak la, kenal gitu aja, gak rapat macam yang sama Malaysia?
P : Jadi, sampai sekarang Amirah lebih sering berkumpul dengan teman-teman sesama Malaysia saja?
I : Iya, sebab lebih biasa, lebih paham kan.
P : Dengan segala keadaan di sini, apakah Amirah sering merasakan homesick atau rindu keluarga di Malaysia?
I : Homesick pasti la, sebab jauh kan, tapi udah bisa lah. Kalau ada holiday pun pulang ke sana.
P : Sampai saat ini, apakah ada masalah yang belum bisa Amirah atasi?
I : Bahasa lagi lah masalah juga, kalau ngomong kan kita bisa rujuk, bisa kasi mengerti gitu kan. Kalau penulisan lah yang susah, agak payah. Kami selalu kena marah dosen, dimarahi lah karena penulisannya salah, gak betol gitu.
P : Jadi bagaimana dengan skripsi Amirah?
I : Ya itu lah yang agak sukar, jadi perbaikan-perbaikan, kemudian minta teman dari Indonesia baca dulu, baru kasi dosen pembimbing. Jadi untuk tulisan itu memang sukar kali la.
5. Lavanyah Rajagopal
P : Apakah sebelumnya pernah ke Medan?
I : oh iya la, ini pertama kali datang dekat sini.
P : Mengapa memilih USU untuk kuliah?
I : Ok, actually, mula-mula kan kita ke education fair. Nanti mereka bilang kamu mau yang mana? Mereka bilang USU, Medan itu seperti Penang. Mereka explain, makanannya, culturenya kayak Penang. Mereka bilang kalau pilih USU lebih gampang sebab seperti Penang juga. So, karena mereka kata macam Penang, ayah saya kata pun ok la ke Medan aja.
P : Setibanya di Medan, apa yang Lavanyah rasakan? Apakah merasakan perbedaan-perbedaan yang membuat Lavanyah terkejut?
I : Hari pertama kita ke FKG, waktu itu masuk OSPEK. Aduh, pas OSPEK itu, like seram kali. Udah pertama kali masuk aja mereka jerit-jerit. Di Malaysia, actually ada like this, but macam perkenal-perkenal aja, tak bisa macam ini. So, terrible la yang OSPEKnya. Itu sebenarnya 3 hari, tapi 1 hari aja kita pergi, lepas tu gak pergi lagi. Berapa jam aja, itu udah rasa seram kali. Senior itu semua jerit-jerit. Lepas itu kita disuruh makan “jempol”, apa?
P : Jempol? Jengkol ya maksudnya?
I : Hah, jengkol, ok sorry. Lepas itu semua orang muntah-muntah, because like i never eat la. Lepas itu hari yang keesoknya kami disuruh bawa barang-barang itu kan, kami pun gak tau apanya yang dibilang, sebab waktu itu kan gak erti kan? Tapi sekarang dengan senior udah ok la, sekarang kan mereka bagi note, everything la.
P : Selama di Medan, apakah ada masalah dalam berinteraksi dengan orang-orang Medan (Indonesia)?
I : Kalau masalah kali gak ada la.
P : Kalau di kampus atau di luar pun, apakah Lavanyah lebih sering berkumpul dengan sesama Malaysia atau bergabung sama orang Indonesia juga?
I : Saya gabung sama semuanya juga la.
P : Lavanyah punya teman baik orang Indonesia?
I : Saya buat skripsi juga dengan yang Indonesian, Ulipeh sama Ayu. So, kiat ok la, kita bagi penelitian sama-sama, sebab kita topiknya sama, tapi expectnya beda, so, kita buat sama-sama la.
P : Lavanyah berkomunikasi/berinteraksi dengan orang Indonesia hanya untuk urusan kampus saja atau juga untuk urusan luar kampus?
I : Ya la, kita buat penelitian sama-sama kan. She wants comes to KL, and kita bertiga lepas skripsi ini, mau ke Jogja, mau shopping di sana, sebab really stres skripsi. Jadi kita rapat lah, best friend, rencana buat holiday and shopping.
P : Apakah ada masalah dalam bahasa?
I : Bahasa Indonesia sebenarnya sama kayak bahasa Melayu juga. So, we can adapt lah, we can understand. Tapi gitu pun Oh, masalah bahasa ada banyak, yang komunikasinya memang sometimes ulipeh kan understand what i’m try to say, nanti pun dia bilang yang saya tak erti, lepas tu like kita paham kan sendiri. Kalau tak erti saya tanya, nanti dia coba translate dalam bahasa inggrisnya lah. Saya kan bahasanya belum fasih lagi, so, nanti saya bilang sama ulipeh, ulipeh ini apa? Ininya apa? nanti ulipeh bilang, oh ini kek gini, macam tu lah.
P : Jadi, selama ini dari pertama tiba, apakah Lavanyah mengalami terpaan culture shock yang berarti?
I : Culture shock is not really la, similar, the culture is similar. Macam tangan kirinya di Indonesia is bad, right? Even Malaysian, especially Indian, left hand is also bad. A bit la, up and down la, ada sedikit yang beda pasti kan.
P : Dengan kondisi yang seperti itu, apakah Lavanyah sering mengalami homesick?
I : Homesick pasti ada la. Saya pertama kali ke luar negara. Tak pernah berpisah dari emak dan ayah. Itu pertama kali, so, rasanya cemana ya. Dari dulu sama orang tua, tak pernah tinggal dimana-mana, rumah nenek pun tak pernah tinggal, biasa di rumah sendiri.Mula-mula itu 2 minggu asik menangis aja, sebab dari kecil baru ini pergi pertama keluar negara, gak pernah jauh dari family. Pertama kan sim cardnya pun gak tau, lepas dua hari udah bisa call.
P : Apakah Lavanyah punya pengalaman lain ketika berkomunikasi dengan orang Indonesia baik di kampus atau di luar kampus?
I : Kami ada JCS di hospital adam malik kan, so, di situ juga banyak indonesian, pokoknya they are very friendly lah, kalau kita tanya apa pun, they try to share. And then they don’t like, kalau ada isu-isu politik macam tu kan between indonesia and malaysia. They say “ah, itu kan masalah politik, don’t involve mahasiswa.
P : Lavanyah tinggal dimana?
I : Saya tinggal di Jalan Jamin Ginting.
P : Bagaimana hubungan/interaksi Lavanyah dengan sesama penghuni kost?
I : Saya tinggal dengan Malaysian, Indonesian dulu ada, tapi sekarang udah pindah, sekarang udah 2 orang aja. Hubungan sama mereka baiklah, sebab mereka junior kan, so mereka macam kalau ada apa-apa yang mereka mau, they come to my room lah.
P : Apakah Lavanyah juga ada pengalaman dengan orang Indonesia di luar kost dan kampus?
I : kalo di luar saya di cleopatra fitness lah. Nanti ibu-ibu itu semua very lucu lah. Mereka bicara trus, i’m not really what they say but i try to understand. Saya juga cerita lah, ibu-ibu tu tanya-tanya.
P : Sejauh ini apakah Lavanyah sudah mampu beradaptasi?
I : Udah bisa la, banyak teman yang bantu bahasanya juga kan.
P : Selain semua itu, apakah ada perbedaan lain?
I : Mungkin makanannya, teman-teman bilang gitu, But, actually i’m vegetarian. So, saya makan sayur gak makan daging. Kalau di sini saya sering makan indomie pake sayur, i like tahu and tempe.
6. Asfahana
P : Sebelum kuliah di USU, apakah Asfahana pernah ke Medan sebelulmnya?
I : Pernah holiday ke Indonesia, ke Danau Toba dengan family. Tapi udah lama, tak ingat lagi kapan, waktu masih kecil.
P : Mengapa Asfahana memilih USU?
I : Sebab dengar-dengar daripada kawan FK USU itu famous kak sini.
P : Sebelum datang ke Medan, apa yang Asfahana tahu tentang Medan (Indonesia)?
I : Kayak macam Malaysia juga la, cuman cara percakapannya yang agak berbeda.
P : Sampai akhirnya tiba di Medan, apa yang Asfahana rasakan?
I : Terkejut! Terkejut dengan laluan jalan rayanya, agak bising, lepas tu jalannya agak sempit juga, lepas tu dengan orang-orangnya. Susah macam mau beradaptasi dulu, macam mau kenal, dengan
teman-teman satu USU pun sukar juga mau berkenalan sebab dari bahasanya kan gak bisa fasih lagi.
P : Apakah Asfahana merasakan/menemukan perbedaan-perbedaan antara Malaysia dan Medan?
I : Iya la, beda.
P : Perbedaan apa saja yang Asfahana temukan?
I : tadi tu la, padat jalanannya, lepas tu makanan pun satu, sebab di sini makanan pedas. Lepas tu disini makanannya itu, sarapan pagi macam udah nasi terus, kalau di Malaysia dia ada kue-kue, jadi macam makanan pun ada masalah lah di sini. Lepas tu ada masalah juga la, terutama tu masalah imigrasi la, selalunya yang buat masalah dengan fakultasnya. Surat-surat keterangan yang mau dibuat kadang gak siap waktunya, jadi kami pun risau. Kalau surat itu lambat kami susah pulang.
P : Bagaimana dengan orang-orangnya?
I : Orang-orangnya, baek la, ramah juga tapi itu la, apa ya? Ada juga orangnya nampak yang berkelompok-kelompok. Macam di kampus kan, kalau yang pandai satu kelompok, yang biasa-biasa satu kelompok. Lepas tu, cara bersalaman la, sebab kami kalau laki gak bisa salam dengan perempuan kan? tapi kalau sini bisa. pertama terkejut juga, bilang minta maaf la dengan laki yang mau salam. Tapi sekarang mereka udah paham juga la dengan kami yang gak bisa salam.
P : Dengan semua perbedaan itu dan juga baru memasuki lingkungan yang baru, apakah Asfahana merasa takut untuk berkomunikasi atau berinteraksi?
I : Memang first time datang sini memang agak takut, sebab tak biasa dengan bahasanya. Awal-awal takut la memang mau komunikasi, sebab saya bilang tadi, bahasanya pun beda kan, lepas tu orang-orangnya, terutama kali tu becak. Becak itu memang amat takut la. tapi sekarang udah bisa la. Paling takut lagi naik angkot la, kalau seorang-seorang gak bisa.
P : Mengapa Asfahana takut naik angkot? Apa pernah ada masalah atau pengalaman dengan supir angkot atau becak?
I : Saya dengar daripada teman-teman ada kena culik handphone, baik duit, hipnotis gitu, jadi macam gak berani. Kalau ramai-ramai bisa la, tapi kalau seorang-seorang gak bisa, jadi baik naik becak aja, itupun berdua juga, tak berani seorang.
P : Kalau dengan teman-teman kampus, apakah Asfahana pernah takut untuk berkomunikasi?
I : Iya, takut. Setahun dua tahun pertama dulu sukar mau cakap la, tapi Sekarang udah bisa la.
P : Ketika berkomunikasi dengan orang-orang Medan (Indonesia), apakah pernah mengalami kesulitan atau salah paham dalam bahasa?
I : oh, salah paham, masalah komunikasi adalah. Misalnya kata “kita”, kalau kami “kita” di sana maknanya kita semua, macam kelompok yang ramai, banyak gitu. Kalau di sini “kita” saya kan? Banyak lagi la, pasti ada la salah makna, apalagi mula-mula sampai dekat sini.
P : Apakah Asfahana pernah merasa sangat rindu dengan keluarga atau Malaysia?
I : Masa mula datang homesick la, sebulan dua bulan itu nangis di kamar macam gitu kan, pikirkan rumah aja, keluarga jauh, sebab susah mau beradaptasi, tapi lama-lama udah biasa la.
P : Butuh waktu berapa lama Asfahana bisa beradaptasi?
I : Dalam satu lewat gitu la.
P : Bagaimana cara Asfahana mengatasi masalah komunikasi ini?
I : Belajar sikit-sikit lah dengan teman.
P : Kalau di kampus, Asfahana lebih sering berkumpul dengan teman sesama Malaysia atau berbaur juga dengan yang Indonesia?
I : Lebih dengan sama Malaysia. Cuman ada juga la teman yang daripada Indonesia, cuman gak rapat macam dengan Malaysia.
P : Mengapa Asfahana lebih cenderung dengan sama-sama Malaysia?
I : Mungkin merekapun gak mau berkawan dengan kami, sebab mereka pun gak paham dengan yang kami cakap, kami pun gak paham yang dia cakap, jadi ya lebih ke Malaysia aja la.
P : Asfahana pernah merasa ditolak, diasingkan atau dibeda-bedakan?
I : Iya, ada juga la. Apalagi sebab isu-isu politik macam tu kan. Sebab kita kan manusia, manusia diciptakan Tuhan sama aja, cuman bahasanya dengan budayanya aja yang berbeda. Sebab bukannya salah kami belajar kak sini kan. Apa faedahnya begadoh antar dua negara kan?
7. Girtheekadevy
P : Apakah ini pertama kali Girthee ke Medan?
I : Iya, baru ini.
P : Pertama kali tiba di Medan, apa yang Girthee rasakan?
I : Situasi di sini sama kayak di Kualalumpur.
P : Tapi, apakah Girthee merasakan/menemukan perbedaan-perbedaan?
I : perbedaan pasti ada la. mungkin udaranya yang banyak abu. Minggu pertama tu memang saya jatuh sakit, sebab tak bisa dengan udara.
P : Selain itu?
I : makanannya memang gak bisa saya makan, sampai sekarang pun makanannya gak bisa la. makan di warung-warung gitu gak bisa, biasa makan indomie aja, tak beli, karena kalau masak-masak di warung itu gak bisa. semester 2 baru bisa masak sendiri, sebab dulu belum ada dapur, sekarang udah bisa masak la.
P : Kalau dengan orang-orangnya?
I : baik kak, banyak yang baik. Kebanyakan teman kampus, hampir semuanya lebih muda dari saya.
P : Bagaimana interaksi Girthee dengan orang-orang di sini?
I : interaksinya bole la, komunikasi juga perlahan-lahan bole, saya pun ada teman akrab indonesia, sebab satu lab kan, so ada la yang akrab. interaksi bole la, bagus juga, cuman bahasa tu la, kadang gak bisa dipahami.
P : Apakah Girthee mengalami masalah bahasa dalam berkomunikasi?
I : kalau bahasanya sampai sekarang gak fasih lagi, sebab masih banyak teman yang bilang bahasa saya sukar dipaham gitu. saya ada gagal pelajaran sebab gak bisa bahasanya, sampai gagal 4 sampai 5 sesion, sebab ngomongnya gak betol. kadang kalau presentasi di tutorial itu kan kadang gak sadar campur bahasa dengan bahasa malaysia kan, kena marah dosen la macam tu, mereka bilang kenapa kamu campur-campur, kadang campur lagi dengan bahasa inggris, macam-macam la.
P : Bagaimana Girthee mengatasi kesulitan itu?
I : teman banyak bantu juga la, kadang mereka translate dalam bahasa Inggris supaya saya ngerti. Jadi kadang saya guna bahasa signal, sebab bahasa signal lebih mudah kak, lebih mudah pahami.
P : Kalau dengan orang-orang Medan (Indonesia) yang di luar kampus, bagaimana interaksi Girthee? Apakah pernah menemukan masalah atau sesuatu yang berbeda dengan membuat shock?
I : tukang becak la, suara yang kuat. kadang kala mereka tanya mau pergi mana kan, bila kami kata mau pergi mana-mana kan, bayarnya mahal, nanti mereka jerit sama kami, mereka bilang kan “oh kamu orang malaysia, kamu udah kaya, gak mau bayar lagi. Macam tu la. tapi kami langsung jalan aja, sebab udah biasa la. Kadang mereka jerit-jerit bilang apa pun kami tak ngerti, jadi lalu aja la.
P : Girthee pernah merasakan homesick?
I : pernah la, pasti pas waktu mula-mula tiba.
P : Sampai saat ini, masih ada masalah yang belum bisa Girthee atasi? Masih ada yang belum bisa diadaptasi/
I : udah bisa la, cuman bahasa masih belajar lagi. pokoknya komunikasi la yang kami paling takut kak,apalagi nanti mau coass kan, sama suster, pasien lagi kan. Itulah yang rasa paling sukar, takut la.
8. Kaartini
P : Tini sebelumnya pernah ke Medan untuk sekedar holiday atau urusan apapun gitu?
I : Tak pernah, ini kali pertama datang.
P : Sebelum Tini ke Medan, persepsi Tini tentang Medan itu seperti apa?
I : persepsi mungkin orang ramai pun bilang gitulah kan, hati-hati la, takut nanti banyak orang jahat kan. Karena di Indonesia ini kan banyak konflik antar indonesia dengan malaysia kan, jadi harus hati-hati. Lepas tu ke medan lagi, disana kan banyak orang batak, mereka bilang gitu jadi hati-hati nanti ada yang makan orang, macam tu la orang ramai bilang.
P : Ketika tiba di Medan, apa yang Tini rasakan? Merasakan perbedaan kah? Mungkin dari segi budayanya, apakah Tini merasakan perbedaan budaya yang membuat Tini terkejut?
I : awalnya Tini kira budaya tu semua sama aja kan, malaysia indonesia pun budayanya sama la, tapi bila datang sini beda la. dia bedanya kalau disini kan sosialnya lebih tinggi la, maksudnya lebih tinggi tu, contohnya macam pergaulan antar perempuan dan laki kan, lebih bebas dibandingkan malaysia. Kita pun bebas juga, tapi terkadang kalau di depan umum tertutup gitu, ada batas la, itu kalau di umum, agak malu macam tu la, kalau di belakang kita pun gak tau kan.
P : Itu sesuatu yang tidak wajar dan pernah membuat Tini tidak nyaman?
I : Ada la, sebab tak biasa. Kalau di medan, yang berjilbab aja pun kadang pegang-pegang gitu, rangkul, macam udah biasa gitu kan, disana, di malaysia gak biasa macam tu.
P : Bagaimana interaksi Tini dengan orang-orang Medan (Indonesia), baik di kampus atau di luar?
I : interaksi gak terlalu macam mana, cuman bahasanya aja yang sukar dipahami.
P : Tini pernah mengalami kesulitan bahasa dalam berkomunikasi?
I : Kadang ada satu kata yang sama ucap tapi maknanya beda, lepas tu ada kata yang asing, memang tak paham sama sekali la.
P : Kalau gitu, bagaimana cara Tini mengatasinya?
I : Dulu mulanya tu selalu kalau kuliah tu kan, selalu di sebelah saya tu harus ada orang indonesia, sebab mau tanya apa maksud ini itu kan, karena memang jauh kali la beda bahasa, hampir sama memang kak, tapi ada bahasa yang beda juga, saya tak ngerti, kayak “encer”. Saya tak tau, encer itu apa? Oh, cair maknanya, ya macam-macam tu lah, sukar juga.
P : Menurut Tini bagaimana orang-orang Medan, teman-teman di kampus atau di luar?
I : FK masi ada kelompok-kelompok la, kurang berbaur, bukan indonesia aja, malaysia pun berkelompok-kelompok juga. Tapi tini ada teman akrab indonesia juga la, kiranya macam pernah tidur sama di rumahnya gitu kan.
P : Kalau di kampus, Tini lebih sering berkumpul dengan teman yang sesama Malaysia atau bergabung juga dengan Indonesia?
I : sebenarnya kalau ikutkan, tini lebih sering sama yang orang indonesia. Sebab kami ada kayak belajar bahasa arab bersama gitu kan, jadi terkadang tidur rumah mereka, macam ada program gitu la.
P : Berarti Tini punya banyak best friend orang Indonesia?
I : teman-teman Tini yang indonesia itu memang baik-baik la, saya suka kali teman dengan mereka. Banyak juga la, ada 10 orang la kami.
P : Kalau dengan sesama penghuni kost di rumah ini, Bagaimana hubungan atau interaksi Tini?
I : kalau di kost biasa-biasa aja la, sama yang di atas dekat juga. Kalau di bawah malaysia juga, cuman india, tegur-tegur gitu aja la, biasa aja. ada rasa macam tu juga kadang-kadang, agak lain sikit. sebab mereka kan udah biasa macam tu, jadi kami pun lain, tapi memang lain la, kami memang lain sama mereka. Jadi ya sabar aja la, diam-diam aja, cuman tegur gitu aja.
P : Selain semua perbedaan ya Tini sebutkan tadi, apakah ada perbedaan lain yang Tini rasakan?
I : kalau lingkungannya itu memang beda dengan malaysia, kalau disini kan gak teratur, disana pun macet juga, tapi tersusun, disini kan tekan horn yang berkali-kali kan, kalau disini horn tu biasa kan, kalau disana tekan horn itu udah macam marah gitu la. lepas tu main jalan aja kalau lampu merah.
P : Tini pernah merasa sangat rindu Malaysia?
I : homesick memang selalu la, banyak kali nangis, sering la, tapi mula-mula aja, sekarang ada rindu juga tapi tak pala la.
P : Jadi, apakah sekarang Tini udah merasa nyaman di MedanI : Udah la, udah biasa, udah bisa adaptasi.
9. Lim Rui Liang
P : Ini pengalaman pertama Lim ke Medan atau sudah pernah sebelumnya?
I : Gak, ini kali pertama.
P : Apa yang Lim rasakan sebelum datang ke Medan? Ada perasaan takut atau ada persepsi apa sebelumnya tentang orang Medan?
I : Belum ada rasa apa la, sebab awalnya mau sekolah di university di malaysia, cuman karena sukar masuk, lepas itu mahal juga, jadi pilih usu aja, sebab ada dentistry, murah juga gitu, dan terkenal juga di Malaysia, bagus juga.
P : Ketika sampai di Medan, apa yang Lim rasakan?
I : Ada beda la. Pertama-tama makanannya lho, makanannya yang pedas kali, gak tahan la itu makanannya.
P : Kalau dengan orang-orangnnya?
I : Orang-orangnya agak ramah la gitu, friendly.
P : Gimana komunikasi Lim, apakah ada kendala bahasa?
I : pertama kali memang sukar la, apalagi bahasa, nanti ada bahasa yang sama tapi artinya beda. Misalnya bisa gitu kan, disini bisa berarti boleh, tapi disana bisa cuman berarti racun aja. Tapi udah beberapa bulan perlahan-lahan la udah bisa mengerti.
P : Kalau Lim sering bergabung dengan orang Indonesia di kampus atau di luar?
I : pertama kali memang belum berbaur la, tapi udah setengah tahun gitu ada la, berbaur, karena ada tugas bersama juga, atau lab praktikum gitu kan, jadi mulai bergaul-gaul.
P : Lim lebih sering gabung dengan sesama Malaysia atau Indonesia?
I : saya orangnya ok ok aja, bergaul aja sama semau, kalau diajak ikut la.
P : Pernah merasa homesick?
I : homesick mula-mula ada la. tapi gak pernah besar lagi, udah biasa aja, enjoy dengan kawan semua.
P : Sampai sekarang masih ada masalah yang belum bisa Lim atasi?
I : kalau waktu coass sekarang masih ada sedikit komunikasi yang sulit la, tapi masih ok juga, banyak teman bantu juga kan.
10. Jonathan Lin Chee Hang
P : Apakah pernah ke Medan sebelumnya?
I : Gak, baru pertama.
P : Apa yang Jonathan rasakan ketika tiba di Medan?
I : ini pertama kali ke medan, jadi gak ada bayangan la. tapi saya memang pernah ke tempat-tempat lain seperti filipina, jadi bagi saya sama aja. selain itu gak terlalu bermasalah la, sebab saya sering pindah-pindah, filipina, jerman, di indonesia itu di medan, palembang, kalimantan juga. sebab sebelumnya saya pernah ke filipina untuk studi, tapi gak jadi sebab disana populasi lebih ngeri.
P : Jonathan pernah mengalami masalah dalam komunikasi?
I : kalau pertama kali, tahun pertama memang ribet la bahasanya. Apalagi kan saya mix chinesse, orang tionghoa disini kan beda bahasanya. Kalau orang tionghoa disana pakai bahasa mandarin, kalau disini pakai bahasa Hokkein, jadi saya gak bisa hokkein, jadi terpaksa guna bahasa inggris aja.
P : Apakah ada perasaan takut atau cemas dalam berinteraksi dengan orang-orang Medan?
I : maksudnya kalau saya kan, mamak orang filipina, jadi saya pernah ke filipina, jadi gak begitu shock dibanding filipina, kalau di sini, culture shock, berat kali gak, sedang aja. Kalau yang berat di filipina, disitu berat la. bahasa juga, karena mereka pikir saya kayak orang filipin, mereka langsung cakap bahasa mereka, jadi saya sempat diam, sebab terkejut. Jadi disana dulu saya takut untuk berkomunikasi la, sebab tak paham bahasa mereka. Kalau di indonesia, sebenarnya bahasa melayu hampir mirip dengan bahasa indonesia kan, jadi saya agak ngerti. Kemudian, sebab saya kan di pusat kota, di Manila. Disitu lebih ribet la, lebih banyak, gak bisa saya terima, kayak traffic jam, sebab saya gak bisa ke tempat yang terlalu banyak orang.
P : Jonathan ada merasa perbedaan ketika tiba di Medan?
I : Ada juga la, makanan gitu ka, bahasa juga ada. Tapi paling besar itu fasilitasnya, kalau mau kemana-mana susah gitu, gak tau lokasinya.
P : Jonathan lebih sering kumpul dengan sesama Malaysia atau Indonesia?
I : Kalau teman kost memang malaysia semua, tapi banyak juga teman orang indonesia, sering datang ke kost saya juga, main-main.
P : Lebih sering dengan yang mana?
I : saya ada komunitas disini, jadi maksudnya kalau mereka ajak ya saya mau ikut la dengan orang Medan. saya sering kumpul-kumpul sama teman orang indonesia juga. Kami ada komunitas peliharaan gitu, namanya MERCY Medan Reptilies and Amphibians Community, yang aktif itu sekitar 25 orang, ada dari Aceh, batak, yang dari malaysia saya aja, lainnya indonesia.
P : Berarti Jonathan punya banyak teman Indonesia?
I : Iya, banyak, sebab komunitas tadi itu, kita sering kumpul> dari situ juga la belajar kan.
P : Sampai sekarang masih ada masalah dalam interaksi?
I : Gak ada la, paling coass aja, masalah komunikasinya, tapi sekiranya gak masalah, mesra juga la, yang penting mereka ngerti saya dan dan saya ngerti mereka ya udah.
P : Jonathan udah merasa nyaman?
I : Udah bisa la, adaptasi bisa, sebab saya udah sering-sering pindah tadi, jadi udah biasa.
11. Amir P : Pertama kali ke Medan atau sudah pernah sebelumnya?I : Pertama kali untuk kuliah.P : Ketika sampai di Medan, apa yang Amir rasakan?I : pertama kali sampai medan, memang ada rasa agak beda la
dengan malaysia. Kotanya agak padat, jalan gak teratur kali, bising sebab sering tekan horn. Tapi sekarang biasa aja la, malah saya pun ikut tekan horn juga la.
P : Dengan perbedaan itu, bagaimana kondisi Amir? I : Ya, untuk itu ada tenang kan diri juga la selama sebulan. Tapi
cepat aja, udah bisa sekarang.P : Kalau interaksi dengan orang-orang Medan di kampus?I : Kalau di USU pun beda la dengan di Malaysia.P : Bagaimana dengan orang-orangnya?I : kalau orang Medan ngomongnya memang agak kasar, bahasanya
gak begitu jauh, medan dengan malaysia itu hampir sama la.P : Bagaimana hubungan Amir dengan orang-orang Medan
(Indonesia) di kampus atau di luar?I : Iya tadi itu, memang kasar orangnya, tapi hubungan dengan
teman kampus baik-baik aja.P : Gimana dengan bahasanya? Amir pernah mengalami masalah
bahasa dalam komunikasi?
I : Bahasanya gak begitu jauh beda dengan Malaysia agak sama.P : Kalau Amir lebih sering kumpul dengan teman sesama Malaysia
atau Indonesia?I : Baur sama semua. Saya langsung berbaur la, di FK dulu pun gitu
juga. P : Apa perbedaan waktu di kampus FK dengan rumah sakit
sekarang?I : Waktu kuliah dengan coass hampir sama aja, cuman tambah
pengaruh lingkungan dari suster perawat gitu la. kalau sama pasien kadang ada masalah bahasa sikit, sebab mereka kadang pakai bahasa batak, jadi tak paham. Kalau dengan teman-teman coass baik la.
P : Pernah mengalami masalah komunikasi juga di coass ya?I : Iya, sebab lingkungannya baru lagi kan, lebih ramai lagi.P : Gimana Amir mengatasinya?
I : Belajar dari kawan-kawan la, semua bantu.P : Amir pernah merasa homesick?I : homesick ada la, sebab pasti lebih enak di tempat sendiri kan.
Tapi itupun biasa-biasa aja la, sebab kami orang malaysia udah dibiasa hidup mandiri, dari umur 12 tahun. Jadi ya bisa la adaptasi. saya dari masuk tahun 2006, tiga atau empat bulan aja udah bisa adaptasi la.