css resusitasi cairan anestesi

34
BAGIAN/SMF ILMU ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN R.S. DR. HASAN SADIKIN BANDUNG 2007 Clinical Science Session RESUSITASI CAIRAN

Upload: radistrya

Post on 21-Jul-2016

42 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

resusitasi cairan

TRANSCRIPT

Page 1: Css Resusitasi Cairan anestesi

BAGIAN/SMF ILMU ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

R.S. DR. HASAN SADIKIN BANDUNG 2007

Clinical Science Session

RESUSITASI CAIRAN

Page 2: Css Resusitasi Cairan anestesi

RESUSITASI CAIRAN PADA SYOK

I. Definisi

Syok adalah keadaan terjadi gangguan sistem sirkulasi dimana terdapat

perfusi jaringan yang tidak adekuat disebabkan oleh cardiac output inadekuat

relatif maupun absolut. (Ganong)

Pada keadaan syok terjadi ketidakseimbangan antara suplai darah yang

teroksigenasi ke seluruh tubuh sehingga terjadi perfusi yang inadekuat. Akibatnya

terjadi hipoksia seluler dan disfungsi organ vital yang bersifat sistemik, sehingga

terjadi gangguan sistem organ multipel.

Diagnosis dini syok sangat penting dalam menentukan penanganan lebih

lanjut, yang sangat mempengaruhi prognosis. Penanganan syok pada dasarnya

adalah mengembalikan perfusi jaringan ke keadaan normal. Sehingga selain

menentukan dengan tepat dan mengatasi penyebab syok, penting sekali untuk

menstabilkan alian darah dan memperbaiki perfusi jaringan. Pada penatalaksanaan

penderita syok, resusitasi cairan merupakan terapi inisial yang paling penting,

dengan tujuan memperbaiki aliran dan volume darah sehingga diharapkan dapat

mengkoreksi sistem sirkulasi tubuh.

Secara garis besar dibagi atas 4 klasifikasi; syok hipovolemik, syok

kardiogenik, syok distributif, dan syok obstruktif.

II. Klasifikasi Syok

1. Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik merupakan akibat dari berkurangnya volume darah

dalam sistem sirkulasi. Penyebab yang paling sering diakibatkan perdarahan

masif. Penyebab syok hipovolemik lainnya misalnya karena trauma,

pembedahan, luka bakar, kehilangan cairan akibat diare atau muntah-muntah.

Page 3: Css Resusitasi Cairan anestesi

Patofisiologi

Pada syok hipovolemik terjadi berbagai respon kompensasi pada berbagai

organ. Respon sistem kardiovaskuler ditujukan untuk mempertahankan cardiac

output dan tekanan darah. Respon yang utama adalah peningkatan denyut jantung

dan vasokonstriksi perifer, yang keduanya dipengaruhi oleh sistem saraf simpatis.

Efek neuroendokrin dengan melepaskan vasopressin dan angiotensin

meningkatkan efek simpatis.

Efek metabolik pada syok hipovolemik adalah peningkatan metabolisme

anaerob karena kurangnya oksigen untuk terjadinya metabolisme aerob. Sehingga

terjadi peningkatan asam laktat dan menyebabkan asidosis metabolik.

Efek lain diantaranya menurunnya produksi urine akibatnya menurunnya

laju filtrasi glomerulus. Seringkali, pada syok yang tidak teratasi menyebabkan

gagal ginjal akut akibat nekrosis tubuler, yang disebabkan oleh menurunnya

aliran darah ke ginjal dan menyebabkan ginjal iskemia.

Pada syok hipovolemik juga terjadi perubahan aliran darah serebral,

dimana untuk mempertahankan perfusi yang baik ke otak maka terjadi

autoregulasi aliran darah serebral dimana tidak terjadi vasokonstriksi akibat

aktivasi simpatis. Namun bila tekanan arterial menurun hingga kurang dari 70

mmHg, maka autoregulasi ini terganggu. Penderita dapat mengalami penurunan

kesadaran.

Diagnosis

Tanda dan gejala khas syok hipovolemik diantaranya :

- Takikardia dan hipotensi

- Ekstremitas dingin dan pucat

- Kolaps vena leher

- Oliguria atau anuria

- Perubahan signifikan dengan terapi cairan/perbaikan volume

Page 4: Css Resusitasi Cairan anestesi

Klasifikasi Syok Hemoragik Akut Berdasarkan ATLS

Class I II III IV

Blood loss

(ml)

< 750 750-1000 1500-2000 >2000

Blood loss

(% EBV)

< 15% 15-30% 30-40% > 40%

Pulse (x/mnt) < 100 > 100 >120 wk

Blood

Pressure

N/↓ N/↓ ↓↓ ↓↓↓

Capillary

Refill

N + + +

Respiratory

Rate

14-20 20-30 30-40 > 40

Diuresis

(ml/hr)

> 30 20-30 10-20 0-10

Mental Status N/restless Restless/

anxiety

somnolence somnolen

ce/ coma

Fluid

Therapy

Crystalloid/RL 2.5

mL or Colloid 1 L

Crystalloid/RL

+ colloid 1 L

Crystalloid

+blood/ RL 1L

+ Colloid

0,5L+ blood 1-

1,5L, or PRC

0,5-0,75 L

Crystalloi

d+ blood/

or RL 1L

+ Colloid

1L +

Blood 2L

or PRC

1L+

Colloid

1L

Page 5: Css Resusitasi Cairan anestesi

Gejala dan Tingkat Dehidrasi

Clinical Signs Degree Fluid Deficit

I - Skin turgor ↓

- Tachycardia

- Thirsty, Dry tongue

Mild 3 – 5% BW

II - Skin turgor ↓

- Tachycardia, Weak pulse

- Thirsty, wrinkled tongue

Moderate 5 – 10% BW

III - Skin turgor ↓↓↓

- Weak pulse, almost not palpable

- Severe hypotension

- Sunken eyes, Wrinkled tongue

- Cyanotic acral

- Stupor, coma, shock

- Marked depressed anterior fontanel

Severe > 10% BW

2. Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik terjadi bila jantung gagal memompa volume darah

secara adekuat, dikarenakan kehilangan kemampuannya sebagai pompa. Terjadi

sebagai kelanjutan penyakit jantung yang mendasari, contohnya seperti infark

miokard, ruptur katup atau septum, dan sebagainya.

Patofisiologi

Jantung tidak mampu lagi melakukan tugas memompa darah sehingga

tidak terjadi keseimbangan perfusi dengan kebutuhan oksigen jaringan. Bisa

disebabkan karena bradikardia maupun aritmia. Pada bradikardia, jantung tidak

mampu memompa sesuai kebutuhan tubuh. Sementara pada aritmia, terjadi

pengisian dan pemompaan jantung yang tidak efektif.

Diagnosis

Page 6: Css Resusitasi Cairan anestesi

- Penurunan produksi urin

- Gangguan mental

- Ekstremitas dingin

- Distensi vena leher

- Hipotensi dengan tenda kongesti perifer dan vena pulmonal

Klasifikasi Syok Kardiogenik

Classification Signs

Stage I Compensated

hypotension

CO↓ hypotension compensatory to restore

BP & blood flow mediated by arterial

baroreseptor

Stage II Decompensated

hypotension

CO↓ below ability peripheral vasculature to

maintain BP BP & perfusion fall

Stage III Irreversible

Shock

Reduction of flow activ. ischemic mediators

(complement) membrane injury

irreversible damage

3. Syok Distributif

Syok distributif diakibatkan oleh redistribusi cairan ke visera atau rongga

ketiga. Pada syok distributif terjadi peningkatan permeabilitas sistem vaskuler

akibat vasodilatasi walaupun volume darah normal. Tiga tipe syok distributif

diantaranya syok septik, syok anafilaktik dan syok neurogenik.

Patofisiologi

Syok Septik

Endotoksin yang dilepaskan bakteri menyebabkan reaksi imunologis

kompleks, diantaranya aktivasi kaskade komplemen, pelepasan mediator dan

sitokin, sistem koagulasi, prostaglandin, dan sebagainya. Efek dari reaksi

imunologis ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, pelepasan

metabolit oksegen toksik, dan aktivasi fagositosis. Permeabilitas vaskuler yang

Page 7: Css Resusitasi Cairan anestesi

berubah menyebabkan kebocoran cairan intravaskuler ke ekstravaskuler sehingga

volume darah menurun. Terjadi perubahan hemodinamik berupa penurunan

tekanan darah, takikardia sebagai akibat rangsangan kompensasi simpatis, serta

metabolisme anaerob menyebabkan asidosis metabolik. Dapat dijumpai

kegagalan organ multipel, selain karena hipoksia jaringan tetapi juga karena

reaksi imunologis sistemik.

Syok Anafilaktik

Disebabkan karena pelepasan mediator inflamasi dari sel mast dan basofil

yaitu salah satunya Histamin. Reaksi radang terjadi karena stimulasi pelepasan

mediator diperantarai IgE. Akibatnya terjadi vasodilatasi, bronkokonstriksi,

pruritus, agregasi platelet, dan peningkatan permeabilitas vaskuler.

Syok Neurogenik

Disebabkan oleh gangguan tonus vasomotor perifer sebagai akibat dari

trauma medulla spinalis, anestesia regional, atau pemakaian obat blokade sistem

otonom. Darah tertahan di perifer, venous return menurun, terjadi penurunan

cardiac output.

Diagnosis

Syok Septik

- Peningkatan CO dengan peningkatan tekanan darah

- Penurunan konsumsi oksigen perifer

- Penurunan resistensi vaskuler sistemik

- Penurunan fraksi ejeksi ventrikuler

- Kegagalan organ multipel

Syok Anafilaktik

- Kulit kemerahan, pruritus

- Distensi abdomen, mual,muntah, diare

- Obstruksi jalan napas karena edema laring

- Bronkospasme, bronkorea, edema pulmonum

Page 8: Css Resusitasi Cairan anestesi

- Takikardia, sinkop, hipotensi

- Kolaps kardiovaskuler

Syok Neurogenik

- Didahului trauma atau anestesi spinal

- Hipotensi dengan takikardia

- Hangat dan kemerahan di daerah kulit yang tidak dipersarafi

4. Syok Obstruktif

Dapat terjadi ketika jantung atau vena-vena besar mengalami kompresi.

Sehingga dapat menyebabkan hambatan darah kembali ke jantung atau

mengganggu kemampuan jantung memompa. Dapat terjadi pada tamponade

jantung, atau tension pneumothoraks, dan sebagainya.

Patofisiologi

Pada tamponade jantung, akumulasi cairan pada rongga perikardium

menyebabkan penyempitan ruang jantung dan mengganggu pengisian. Pada

tension pneumothoraks, tekanan tinggi pada daerah thoraks menyebabkan kolaps

vena kava dan menurunkan venous return.

Diagnosis

- Hipotensi dengan takikardia

- Oliguria

- Perubahan status mental

- Distensi vena-vena leher

III. Resusitasi Cairan dan Penatalaksanaan Syok

Prinsip Dasar Penanganan Syok

Prinsip dasar penanganan semua jenis syok pada dasarnya adalah sama,

yaitu :

- menstabilkan kondisi pasien

- memperbaiki volume cairan sirkulasi darah

Page 9: Css Resusitasi Cairan anestesi

- mengefisiensikan sistem sirkulasi darah

Penanggulangan awal selalu dimulai dengan tindakan umum untuk

memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi tubuh, dan

mempertahankan suhu tubuh. Pada prinsipnya adalah prinsip resusitasi ABC.

Jalan napas (A=Airway) harus bebas dan terbuka, bahkan kalau perlu dengan

manipulasi alat seperti mayo, pipa endotrakeal dan sebagainya. Langkah

berikutnya adalah menjamin kemampuan pernapasan pasien, dengan

mengupayakan pemberian oksigen 100%, atau dengan ventilator. Langkah

berikutnya adalah menangani permasalahan sirkulasi, yang sekaligus akan

dibahas dalam bahasan selanjutnya. Simultan dengan tindakan resusitasi, maka

penanganan penyebab syok harus segera dilakukan untuk menghindari syok yang

ireversibel.

Resusitasi Cairan

Sebelum memulai resusitasi cairan, maka sangat penting untuk

mendapatkan akses pembuluh darah yang adekuat dan memungkinkan untuk

dilakukan resusitasi cairan. Sebaiknya perlu dibuat 2 akses pembuluh darah yang

efektif. Dapat dibuat 2 akses, dengan menggunakan kateter vena berukuran besar

(minimal 16-gauge). Semakin besar dan pendek kaliber dan ukuran kateter, maka

dapat memasukkan cairan dalam jumlah lebih besar dan cepat. Biasanya

dilakukan pada vena-vena lengan bawah. Pemasangan kateter vena sentral (CVP)

juga bermanfaat untuk menilai respon pasien terhadap resusitasi, monitoring

perubahan status cairan. Untuk mengevaluasi keberhasilan resusitasi sekaligus

menilai perfusi ginjal, maka perlu dilakukan pemasangan kateter.

Resusitasi cairan secara cepat merupakan dasar dari terapi awal cairan

pada syok. Tujuannya adalah segera menstabilkan volume vaskuler dengan

mengisi intravaskuler dengan kehilangan cairan, dan meningkatkan perfusi ke

jaringan.

Beberapa literatur tidak menyebutkan seberapa banyak resusitasi cairan

yang harus kita mulai pada awal resusitasi, kecuali berdasarkan monitoring

keberhasilan terapi melalui evaluasi klinis penderita. Namun terdapat sebuah

Page 10: Css Resusitasi Cairan anestesi

rumusan sederhana untuk memberikan resusitasi cairan, terutama bila defisit

terjadi pada ekstraseluler (Kaswiyan) :

- Cairan : RL atau NaCl 0.9% 20-40 ml/kgBB dalam 1 – 2 jam, diulang bila

syok masih terjadi

- Kemudian dievaluasi hemodinamik (Tekanan darah dan nadi)

- Perfusi jaringan perifer yang membaik (hangat dan kemerahan)

- CVP normal

- Produksi urine 0,5 – 1 ml/kgBB/jam

Secara umum, cairan yang dipakai dalam resusitasi terbagi menjadi

kristaloid dan cairan koloid.

A. Kristaloid

Kristaloid merupakan golongan cairan yang terdiri atas air dan beberapa

zat terlarut. Terdiri dari kristaloid isotonik (NaCl 0,9% atau normal saline) dan

balanced salt solution (ringer laktat, isolyte, plasma lyte). Yang dapat dipakai

dalam resusitasi cairan adalah cairan yang isotonik dengan plasma yang memiliki

natrium sebagai partikel aktif prinsip osmotiknya. Karena kristaloid memiliki

osmolalitas yang sama dengan cairan tubuh, maka tidak akan terjadi perpindahan

cairan dari atau ke dalam kompartemen intraseluler, sehingga kristaloid memiliki

sifat sama dengan cairan ekstraseluler ; 75% cairan di ekstravaskuler dan 25%

cairan berada di intravaskuler.

Bila digunakan dalam resusitasi cairan, maka diperlukan penggunaan

sebanyak 3 – 4 kali dari estimasi defisit cairan yang terjadi untuk mengatasi

distribusi cairan diantara ruang intravaskuler dan ekstravaskuler. Masa paruhnya

dalam intravaskuler sekitar 20 – 30 menit, dan hanya sekitar 20% yang tersisa

dalam intravaskuler setelah 2 jam.

Pemilihan kristaloid yang tepat juga menentukan prognosis selanjutnya.

Penggunaan NaCl 0,9% sebagai larutan resusitasi dapat diterima secara umum

baik karena dapat bercampur dengan baik dengan darah. Namun pada penderita

dapat terjadi asidosis metabolik hiperkloremia akibat kadar klorida yang lebih

tinggi daripada plasma. Larutan Ringer Laktat memiliki keuntungan lebih banyak

karena memiliki komposisi elektrolit yang lebih fisiologis. Laktat yang

Page 11: Css Resusitasi Cairan anestesi

ditambahkan dapat berubah menjadi bikarbonat di hepar. Cairan hipertonis kurang

baik dipakai sebagai cairan pengganti. Larutan ini mengekspansi ruang

ekstraseluler dengan memindahkan cairan kompartemen intraseluler. Selain itu

juga memiliki efek inotropik positif ringan dan efek vasodilatasi sistemik dan

pulmonal.

B. Koloid

Koloid merupakan cairan pengganti pilihan kedua dalam resusitasi cairan

pada syok. Walaupun masih diperdebatkan mengenai kegunaan koloid dalam

resusitasi cairan, tetapi koloid dapat dipilih sebagai pengganti dalam resusitasi

cairan pada syok.

Koloid merupakan cairan yang mengandung partikel onkotik, yang dikenal

juga sebagai plasma expander atau plasma substitute. Karena sifatnya yang

permeabel parsial terhadap sawar antara intra- dan ekstravaskuler, maka koloid

cenderung bertahan dalam ruang intravaskuler lebih lama daripada kristaloid.

Sejumlah kecil saja koloid yang diperlukan untuk memperbaiki volume darah

sirkulasi. Karena sifat onkotiknya, koloid cenderung untuk menarik cairan dalam

ruang ekstravaskuler ke intravaskuler. Masa paruhnya dalam ruang intravaskuler

jauh lebih lama daripada kristaloid. Larutan koloid terbagi atas koloid alami

(fraksi protein plasma dan human albumin) dan koloid sintetik (Dekstran,

Hetastarch, fluid gelatin).

- Koloid Alami

Contohnya adalah larutan albumin 5 sampai 25%. Memiliki berat molekul

66.000 – 69.000, dan merupakan yang paling sering dipakai dalam resusitasi

cairan. Setiap gram albumin dapat menahan sekitar 18mL cairan dalam ruang

intravaskuler. Masa paruh albumin sekitar kurang dari 8 jam, dan kurang dari

10% yang meninggalkan rongga intravaskuler setelah 2 jam. Seperti halnya

kristaloid, sulit menilai kapan mengakhiri resusitasi cairan dengan albumin.

Namun karena efeknya yang dapat mengurangi fungsi paru maka perlu hati-hati

dalam penggunaannya.

Page 12: Css Resusitasi Cairan anestesi

- Koloid Sintetik

a/. Hetastarch

Hetastarch (hidroksietil starch) merupakan produk sintetis yang tersedia

dalam sediaan 6% dalam larutan saline. Sekitar 46% dari dosis pemberian

diekskresi oleh ginjal dalam 2 hari dan sisa 64% sekitar 8 hari. Merupakan

plasma ekspander yang efektif yang dapat bertahan 3-24 jam dalam intravaskuler.

Sebagian besar pasien berespon terhadap 500 – 1000 ml pemberian.

b/. Dekstran

Terdapat dekstrasn 40 (BM 40.000) dan 70 (BM 70.000), dimana

keduanya dapat dipakai sebagai plasma expander. Merupakan polimer glukosa

larut air yang terbuat dari sukrosa dengan sintesis dari bakteri dan akan

didegradasi menjadi glukosa. Makin berat molekulnya, maka makin lama masa

paruhnya dalam ruang intravaskuler. Dekstran 70 merupakan plasma expander

yang baik, tetapi Dekstran 40 dapat memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi

mikro karena dapat menurunkan viskositas darah. Kerugiannya adalah

kemungkinan gagal ginjal, reaksi anafilaksi dan perdarahan.

c/. lainnya

Golongan lainnya misalnya modified urea gelatin (MFG) dan urea-bridged

gelatin dengan kadar 3,5% dan 4% dalam larutan saline. Keduanya merupakan

plasma expander yang baik.

Sampai saat ini masih menjadi perdebatan mengenai keuntungan dan

kerugian antara penggunaan kristaloid dan koloid dalam resusitasi cairan. Berikut

ini diberikan gambaran keuntungan dan kerugian diantara keduanya.

Kristaloid Koloid

Keuntungan - Murah

- meningkatkan vol.

intravaskuler

- terpilih untuk penanganan

awal resusitasi cairan

- bertahan lebih lama

intravaskuler

- mempertahankan tekanan

onkotik plasma

- memerlukan volume yang

Page 13: Css Resusitasi Cairan anestesi

pada trauma atau

pembedahan

- mengisi volume

intravaskuler cepat

- mengisi kekosongan

rongga ketiga

lebih sedikit

- edema perifer minimal

- menurunkan tekanan

intrakranial

Kerugian - menurunkan tekanan

osmotik

- menimbulkan edema

perifer

- kejadian edema paru

meningkat

- memerlukan volume yang

lebih banyak

- efeknya sementara

- mahal

- dapat menimbulkan

koaguopati

- pada kebocoran kapiler

cairan pindah ke

interstitium

- mengencerkan faktor

pembekuan dan trombosit

- menurunkan adhesi

trombosit

- dapat menimbulkan reaksi

anafilaktik

- dapat menyumbat tubulus

renal dan RES di hepar

Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ

I. Umum

Selama dan setelah resusitasi cairan kita perlu mengevaluasi keadaan

umum penderita untuk melihat respons terapi yang telah diberikan. Keadaan

umum syok yang telah teratasi biasanya pasien telah sadar atau tingkat

kesadarannya mengalami peningkatan. Tekanan darah normal, dengan nadi yang

kuat dan tidak terlalu cepat sebagai tanda perfusi yang kembali berangsur-angsur

menjadi normal. Parameter ini dapat dipakai untuk menilai kapan perlu

dihentikannya resusitasi cairan. Perfusi jaringan yang baik dapat pula terlihat dari

Page 14: Css Resusitasi Cairan anestesi

perubahan warna mukosa menjadi lebih kemerahan dan ekstremitas yang lebih

hangat dan merah. Tekanan vena sentral juga dapat dipertimbangkan

penggunaannya terutama pada pasien dengan status cairan yang belum diketahui

sebelumnya atau pada orangtua dan gangguan ginjal, sehingga dapat dihindari

beban cairan berlebih (overload) dan mencegah terjadinya edema pulmonum.

II. Produksi Urine

Jumlah produksi urine merupakan indikator yang baik dalam menilai

perfudi jaringan. Produksi urine yang cukup menggambarkan membaiknya perfusi

ke ginjal sehingga dapat mempertahankan aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi

glomerulus. Produksi urine yang diharapkan adalah 0,5 – 1 ml/kgBB/jam pada

orang dewasa, 1 mlc/kgBB/jam pada anak, dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi dibawah

1 tahun. Bila produksi urine masih kurang, maka kemungkinan proses resusitasi

belum berhasil dan ginjal mengalami gagal ginjal akut.

III. Keseimbangan Asam-Basa

Penderita syok dapat mengalami ketidakseimbangan asam basa alkalosis

respiratorik ringan yang diikuti asidosis metabolik ringan. Terutama pada keadaan

syok yang lama atau sangat berat. Disebabkan karena meningkatnya kadar laktat

darah karena meningkatnya metabolisme anaerob. Penting untuk menilai defisit

basa melalui analisa gas darah arteri. Resusitasi cairan dan pemberian terapo

oksigen yang baik dapat memperbaiki perfusi jaringan sehingga keadaan asidosis

dapat teratasi.

KELAINAN ELEKTROLIT DAN METABOLISME

Page 15: Css Resusitasi Cairan anestesi

A. Natrium

1. Hiponatremia

Batasannya adalah kadar Natrium dibawah 135 mEq/L. Dapat

disebabkan pada keadaan hipervolemik oleh gangguan ekskresi air.

Keadaan retensi air bias disebabkan oleh gagal jantung kongestif (CHF),

sirosis dan asites, SIADH serta gagal ginjal dan sindroma nefrotik. Dapat

juga ditemukan keadaan hiponatremia semu akibat hiperglikemia atau

hiperlipidemia. Setipa kenaikan kadar glukosa 100 mg/dl akan

menurunkan natrium serum 1,7 mEq/L..

Keadaaan hiponatremia hipovolemik (hiponatremia disertai

kehilangan air) dapat terjadi pada kedaan muntah kronik, suction NGT,

diare kronis, third space loss (seperti pada luka bakar) serta kelainan di

ginjal (hipoaldosteron, addison disease).

Keadaan hiponatremia juga bias terjadi pada kadar air normal,

hipoinatremia euvolemik, umumnya akibat SIADH..

Manajemen pada hiponatremia yang pertama adalah mencari dan

mengkoreksi penyebab. Lakukan koreksi secara bertahap, jangan

berlebihan karena dapat menyebabkan central pontine myelosis. Jangan

koreksi lebih dari 12 mEq/L dalam 24 jam. Untuk menhitung jumlah

Natrium yang dibutuhkan gunakan rumus

( 125 – kadar Na serum actual ) x (0,6 x BB) = Jumlah Na

(mEq)2. Hipernatremia

Didefinisikan sebagai kadar Natrium serum diatas 145 mEq/L. Disebabkan

oleh

a. Kehilangan cairan hipotonik

b. Invinsible water loss (cairan tidak keluar melalui ginjal)

c. Hiperalimentasi

Page 16: Css Resusitasi Cairan anestesi

Pasien biasanya mengeluh kejang, otot terasa kaku. Serta gejala otak

lainnya. Penatalaksanaan pada hipernatremia dibagi 2 tergantung pada

keadaan jumlah air tubuh.

a. Hipernatremia hipovolemik harus dikoreksi dengan pemberian normal

saline sampai hemodinamik stabil.

b. Hipernatremia hipovolemik dikoreksi dengan diuresis dilanjutkan

dengan dekstrosa 5%.

3. Hipokalemia

Ditandai dengan kadar K serum dibawah 3,5 mEq/L. Etiologi,

a. Kehilangan melalui GI Track

Misal pada muntah, diare kronis, sindrom malabsorbsi, sedot NGT.

b. Terapi diuretic klasik (tiazid, furosemid, etakrinat acid)

c. Hiperaldosteronisme

d. Pengaturan diet yang tidak seimbang

Gambaran klinis yang paling pentinmg adalah kaku otot, hipotensi

ortostatik,ileus paralysis. Pada pemeriksaan EKG didapat gambaran

depresi segmen ST, pendatarn gelombang T.

Penatalaksanaan pada hipokalemia harus selalu memperhatikan

kadar magnesium. Hal iniu dikarenakan keadaan hipomagnesemia akan

menghambat penyerapan kalium. Keadaan ini sering terjadi pada

pemberian diuretic boros kalium. Penatalaksanaan hipokalem,ia adalah

sebvagai berikut

a. Terapi oral diberikan pada pasien yang mendapatkan diuretic boros

kalium. Suplementasi Kalium 20 mEq diberikan dengan kadar K dicek

tiap 2-4 minggu.

b. Terapi Intravena diberikan pada keadaan hipokalemia berat atau pasien

dengan malabsorbsi. Kecepatan pemberian haerus terukur. Jika kadar

K serum >2,4 mEq/L tanpa perubahan pola EKG, infuse diberikan

dengan kecepatan 10-20 mEq/jam dengan makskimum 200 mEq/24

Page 17: Css Resusitasi Cairan anestesi

jam. Jika ada kelainan EKG, terapi haruis agresif dengan kecepatan

>40 mEq/jam, periksa K serum tiap 4 jam dan gunakan larutan bebas

glukosa. Jangan berikan KCL melalui vena perifer karena dapat

menyebabkanb sclerosis vena.

2. Hiperkalemia

Didefinisikan sebagai kadare K serum diatas 5,5 mEq/L. Etiologinya

antara lain

a. Renal clearance yang inadekuat

b. Penumpoukan kalium akibat nekrosis sel yang luas, missal pada luka

baker, pelvic trauma.

c. Perpindahan antar rongga tubuh yang cepat, seperti pada perubahan

osmolaritas mendadak, asidosis

d. Addison disease

e. Hipoaldosteron sekunder

Hiperkalemia menunjukkan bermacam gambaran klinis. Yang paling

penting adalah perubahan eksitabilitas jantung, ditandai dengan perunbahan

pola EKG. Pada permulaan terlihat gelombang T meruncing (K.>6,5 mEq)

disusul dengan pemanjangan interval PR, QRS segmen melebar. Akhirnya

terjadi pemanjangan interval QT dan gambaran gelombang sinusoid. Fibrilasi

ventrikel terjadi pada kadar K>10 mEq/L.

Penatalaksanaan pada Hiperkalemia meliputi

a. Calsium Glukonas 10 % diberikan IV diencerkan. Ca-glukonas

dapat menstabilkan otot jantung dan system konduksi jantung.

b. Natrium Bikarbonat, membuat darah jadi alkali dan

meminfdahkan kalium ke iuntraseluler. Diberikan IV sebanyak

40-150 mEq selama 30 menit atau boleh dibolus pada

hiperkalsemia berat. Jangan diberikan pada pasien CHF karena

menambah loading jantung.

Page 18: Css Resusitasi Cairan anestesi

c. Insulin, memindahkan Kalium dari ekstrasel ke intrasel.

Diberikan IV 10 U dalam dekstrosa 10% selama 5 menit.

Respon baru akan terlihat setelah 1 jam.

d. Obat pertukaran kation seperti natrium polistiren sulfonat

(Kayexalate), menukar Kalium bebas di saluran cerna dengan

natrium yang dikandungnya. Jangan diberikan pada pasien

CHF karena mneningkatkan beban natrium.

3. Magnesium.

Merupakan kation terbanyak keempat dalam tubuh. Penting dalam

sejumlah reaksi metabolisme, termasuk sintesis DNA dan protein, neurotransmisi

dan pengikatan hormon-reseptor. Total 2000 mEq. Kadar serum 1,5-2 mEq/L dan

kadar intra sel 40 mEq/L.

III.1 Hipermagnesia

Hipermagnesia adalah suatu keadaan di mana magnesium serum > 2,5

mg/dl. Lima puluh persen cadangan magnesium tubuh terdapat dalam tulang;

sisanya terdapat dalam otot. Kurang dari 1% terdapat dalam ECF dan 20%-30%

dari jumlah tersebut berikatan dengan protein. Sisanya berbentuk kation bebas.

Magnesium diserap terutama di usus halus dan diekskresikan oleh ginjal.

Sebab-sebab hipermagnesia :

1. Gagal ginjal pada pasien yang mendapat produk berisi magnesium

(pencahar dan antasida).

2. Pemberian IV (misal pada eklampsi).

Gambaran klinik hipermagnesia berupa gangguan transmisi neuromuskular.

Bermanifestasi sebagai kelemahan otot, depresi pernafasan dan hilangnya refleks

tendon dalam, QRS melebar dan interval PR memanjang, hipotensi, blok jantung,

asistole.

Page 19: Css Resusitasi Cairan anestesi

Tata laksana hipermagnesia :

1. Pemberian IV 10-20 ml kalsium glukonat 10% IV selama 10 menit atau

10% CaCl2 5-10 mg/kg IV untuk memperbaiki aritmia. Tanpa disfungsi ginjal

berat 20 ml kalsium glukonat 10% dalam 1 liter NaCl 0,9% bisa diberikan

dengan kecepatan 100-200 ml/jam

2. Pemberian furosemid atau asam etakrinat (ethacrynic acid) dapat memacu

ekskresi.

3. Hemodialisis efektif.

3.2 Hipomagnesemia

Hipomagnesemia adalah suatu keadaan di mana magnesium serum < 1,9

mg/dl. Tetapi, kadar serum tidak mencerminkan cadangan total tubuh, dan

pasien (khususnya gagal jantung bendungan yang menggunakan diuretika)

bisa mengalami deplesi magnesium tubuh sementara kadar magnesium serum

normal.

Etiologi hipomagnesemia :

Pada saat stres, misal pada infark miokard, syok

Alkoholisme dan defisinsi nutrien (Nutrisi Parenteral Total) lama

Kehilangan dari diare, diuretik (diuretik merupakan penyebab utama

hipomagnesemia pada pasien gagal jantung bendungan CHF).

Renal. Hiperaldosteron dan hipoparatiroid. Hiperkalsemia menyebabkan

ekskresi Mg++ meningkat.

Amfoterisin B dan siklosporin A.

Gambaran klinik berupa anoreksia, letargi, muntah-muntah, tetani, aritmia,

kejang, interval PR dan interval QT memanjang

Tata laksana pada hipomagnesemia :

a. Pada kedaruratan, bisa diberikan 2-4 gram magnesium sulfat dalam 50 ml

Dekstrosa 5% (D5W) dalam 5-15 menit. Bisa diulangi sampai total 10 gr

Page 20: Css Resusitasi Cairan anestesi

dalam 6 jam berikutnya. Teruskan penggantian selama 3-7 hari dengan 48

mEq/L/24 jam.

b. Jika tidak terlalu berat, ganti 0,03 sampai 0,06 gr/kg/hari dalam interval 4-

6 dosis sampai magnesium serum normal.

c. Teruskan terapi pengganti oral selama ada faktor pencetus

4. Kalsium

4.1 Hiperkalsemia

Peninggian kalsium serum > 10,5 mg/dL setelah nilai dikoreksi sesuai

albumin serum. Kalsium koreksi = kalsium serum + (0,8 x [albumin serum

normal-albumin aktual]).

Anamnesis

Keluhan tulang, batu dan abdomen

Jika ringan, mungkin asimptomatik. Sering dijumpai pada uji saring lab.

Peninggian moderat : konstipasi, anoreksia, nausea, muntah, nyeri

abdomen

Peninggian lebih hebat (>12 mg/dl) : emosi labil, bingung, delirium,

delirium, psikosis, stupor, koma. Nefrolitiasis atau urolitiasis lazim dijumpai.

Bisa disertai gagal ginjal, pemendekan QT

Tidak ada kumpulan gejala yang cukup sensitif untuk menegakkan

diagnosis.

Etiologi dan Patofisiologi

a. Kelebihan penyerapan kalsium seperti pada milk-alkali syndrome

b. Terlalu sedikit ekskresi kalsium pada penggunaan tiazid

Page 21: Css Resusitasi Cairan anestesi

c. Mobilisasi tulang berlebihan misal pada hiperparatiroid dan kanker

metastatik

Diagnosis Banding

Hiperparatiroid

Keganasan

Hipertiroid

Penyakit Addison

Penyakit Cushing

Tata laksana hiperkalsemia

Pada penatalaksanaan akut, diuresis dipacu dan volume intravaskuler

diganti dengan normal saline. Jika ada gangguan pada fungsi ginjal, coba

dihemodialisis.

Obat-obatan yang bisa digunakan antara lain kalsitonin dan bisfonofosfat.

Kalsitonin digunakan 4-8 unit SC setiap 6-12 jam. Tidak begitu kuat namun

bekerja cepat, akan menurunkan kalsium serum sebesar 1-3 mg/dL. Efek samping

antara lain meliputi kram abdomen, mual, wajah hiperemis dan reaksi alergi.

Bisfosfonat berfungsi menghambat aktivitas osteoklast, membantu pada

hiperparatiroid dan keganasan.

Pada penatalaksanaan kronik, dapat digunakan obat-obatan:

Pengikat kalsium oral, termasuk fosfat (1-3 gr fosfor elemental/hari).

Jangan digunakan pada pasien gagal ginjal.

Etidronat oral 1200-1600 mg/hari. Dapat menyebabkan osteomalasia.

Pamidronat. Dapat diulang seperti dosis awal per minggu jika perlu. Tidak

menyebabkan osteomalasia

4.2 Hipokalsemia

Page 22: Css Resusitasi Cairan anestesi

Didefinisikan sebagai Ca serum < 8,8 mg/dL (biasanya < 7 mg/dl bila ada

gejala). Kalsium terkoreksi = Kalsium serum yang diukur + (0,8 x [albumin

serum normal-albumin pasien])

Sebab-sebab

Hipoparatiroid

Defisiensi vitamin D

Deplesi magnesium

Pankreatitis akut

Obat-obatan : cisplatin, pentamidin, foskarnet, ketokonazol

Gambaran Klinik

1. Terutama gejala neurologik

2. Jika berkembang, pasien mengalami bingung, ensefalopati, depresi,

psikosis

3. Cari tanda Chvostek. Kontraksi otot wajah dirangsang dengan

mengetuk ringan nervus fasialis.

4. Tanda Trosseau. Spasme karpopedal dicetuskan dengan

memasang turniket selama 3 menit. Hindari tes ini pada pasien dengan

penyakit pembuluh darah atau koagulopati.

Tata Laksana pada Hipokalsemi

a. Jika ada tetani, berikan 10 ml kalsium glukonas 10%

selama 15-30 menit. Dapat menyebabkan aritmia pada pasien yang sedang

mendapat digitalis.

b. Hipomagnesia harus dikoreksi jika ada.

c. Beri kalsium oral 1-7 gr/hari dibagi menurut waktu makan

d. Jika sekunder terhadap gagal ginjal :

Page 23: Css Resusitasi Cairan anestesi

Perlu penambahan pengikat fosfat (gel aluminium

hidroksida)

Pembatasan fosfat dalam diet

Vitamin D bisa berbahaya pada gagal ginjal.

e. Jika akibat defisiensi vitamin D, beri pengganti semisal Rocaltrol (kalsitrol)