[cover] oktober 2010 12 version.cdr

60
ISSN 1829-6610 Vol. 4. No. 2, Oktober 2010

Upload: ngoque

Post on 31-Dec-2016

228 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

ISSN 1829-6610 Vol. 4. No. 2, Oktober 2010

Page 2: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

ISSN 1829-6610 Vol. 4. No. 2, Oktober 2010

Page 3: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

i

Page 4: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr
Page 5: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

i

JURNAL ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN (JAP)

(JOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES)

Editorial Board:

Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP, Ph.D

Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng, Ph.D

Dr. Ir. Budi Prayitno, M.Eng

Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, M.Eng

Diananta Pramitasari, ST, M.Eng, Ph.D

Managing Editor:

Ratna Eka Suminar, ST, M.Sc

Editorial Assistant:

Andryan Wikrawardana, ST

Dhani Andrianto

This Edition Board of Reviewer:

Prof. Ir. Bambang Hari W., MUP, M.Sc, Ph.D

Prof. Ir. Bakti Setiawan, MA, Ph.D

Diananta Pramitasari, ST, M.Eng, Ph.D

M. Sani Roychansyah, ST, M.Eng, D.Eng

Dr. Ir. Arif Kusumawanto, MT

Editorial and Distribution Address:

Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan

Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Jalan Grafika No. 2 , Yogyakarta 55281, Indonesia

Telp.: +62-274-902320/902321

Fax.: +62-274-580854

Website: www.archiplan.ugm.ac.id

E-mail: [email protected]

Page 6: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

ii

Page 7: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

iii

CONTENTS

From the Editor v

Peran Urban Design dalam Pengembangan

Kecamatan Mempura sebagai Daerah Otonom Baru

Imam Djokomono, Catharina Dwi Astuti Depari 1-8

Mekanisme Pencapaian Privasi Mahasiswa Pada Pondokan

Tipe Asrama Perorangan Di Kampung Kota Iromejan Dan Samirono

(Studi Kasus)

Soeleman Saragih 9-16

Prospek dan Permasalahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau

sebagai Pengurangan Dampak dan Adaptasi Terhadap Pemanasan

Lokal

Farida Khuril Maula 17-22

Factors Influencing Energy Consumption at Household Level Related

to Urban Residential Density in a Developing City

Nurrohman Wijaya 23-27

Perilaku Spasial Anak Jalanan di Yogyakarta

Jimly Al Faraby 28-33

The Role of Public Art in Urban Environment: A Case Study of

Mural Art in Yogyakarta City

Teguh Setiawan, Bakti Setiawan 34-41

Page 8: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

iv

Page 9: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

v

FROM THE EDITOR

We would like to bestow our praise and gratitude to Allah, the God Almighty, for

accomplishing the publication of Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) or Journal of

Architecture and Planning Studies in October 2010 edition. By this publication, JAP has

proven its continuity to present regularly, once in a six month, in front of the honored

readers. JAP has passed its initial phase, which needs a great spirit and enthusiasm to

maintain the momentum and creates several adjustments on an ongoing process.

Although it is found that the writers sometimes have to face some technical difficulties

in putting up their writings, yet the ready-made and well-socialized template truly saves

much time for the process of "write-review-published". The editor also thanks to those

who keep on motivating and giving us some inputs on JAP.

Like what we have in previous editions, JAP is scheduled to publish once in a six month

(twice a year). In its practice, the Editor utilizes the principle of "rapid review process",

which enables us to process the "write-review-published" in less than 6 months. By the

simpler submission procedure (please read the complete procedure on the last page of

JAP) and easier access to obtain directly the template in the Publishing Unit facilities or

via website of Department of Architecture and Planning, Faculty of Engineering,

Gadjah Mada University (http://www.archiplan.ugm.ac.id/), it is expected that our goal

can be achieved.

This edition contains 6 essays with its topic varieties. They present such diverse topics,

including design, architecture, planning, and policy. We hope that through JAP with its

all topics on architecture and planning, it will directly lead to positive impacts on

scientific studies improvement in architecture and planning. Therefore, we invite

researchers, lecturers, and readers who are interested in architecture and planning

studies to submit your writings with terms and conditions applied in the last page of JAP

or by visiting our website above.

Your critics and suggestions for improving the quality of publication as well as the

content of JAP are highly appreciated.

Thank you and happy reading.

Page 10: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

vi

Page 11: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 1

Peran Urban Design dalam Pengembangan

Kecamatan Mempura sebagai Daerah Otonom Baru

Imam Djokomono1, Catharina Dwi Astuti Depari

2

1 Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 2 Dosen, Program Studi Arsitektur, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Indonesia

Abstract

The local autonomy policy conducted in some of Indonesian regions has an aim to deliver an independent right to the Local Governments in determining their own development plans. However, if the objective assessment of the local readiness is not performed prior to the policy, the negative results will take shape in new urban problems. Therefore, the Central Government must act as a facilitator supporting all the

development activities run by the Local Governments. Being a new autonomous area resulted from the urban extension of Siak District, Mempura begins to

construct its development plans. Facing the upcoming challenges, the necessity of an urban design concept which accommodates the local needs is urgently demanded.

The objectives of this paper are to reveal the consequences of the autonomy policy in general, the efforts of Mempura Government in arranging an Urban Design Guidelines and to emphasize the importance of

urban design approaches as an effective policy tool for creating a high quality district. The approaches must be oriented to seek the best solution over Mempura’s problems by taking the local potentials into design considerations. Based on Mempura’s characteristics, the linkage approach is the most suitable to be implemented for solving the isolated-urban issues by facilitating an access for investment opportunities. Keywords: autonomy policy, objective assessment, local readiness, urban design guidelines, urban design approaches

1. Latar Belakang

Sebagian besar isu pembangunan yang berkembang di berbagai daerah di Indonesia sering dipandang sebagai sebuah representasi kegagalan dari misi dan visi kebijakan otonomi daerah yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat. Meskipun memiliki beberapa keuntungan potensial, namun sampai sekarang sebagian besar masyarakat di daerah otonom masih belum merasakan secara langsung dampak positif dari kebijakan tersebut.

Tujuan kebijakan otonomi daerah pada hakikatnya adalah memberikan keleluasaan bagi Pemerintah Daerah dalam menentukan arah kebijakan pembangunan di daerahnya. Keleluasaan tersebut tentunya harus diiringi oleh kesadaran akan pentingnya sebuah assessment objektif terhadap kesiapan lokal yang mencakup kesiapan untuk menyusun berbagai program pembangunan dan kesiapan menolak segala bentuk intervensi dari pihak-pihak tertentu yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas.

Sebagai daerah otonom baru, Kecamatan Mempura saat ini sedang sibuk berbenah diri menyusun berbagai kebijakan pembangunan di segala bidang. Kecamatan Mempura sebelumnya merupakan bagian dari Kecamatan Siak dan berdiri sendiri sebagai sebuah daerah otonom baru berdasarkan Perda No. 04 Tahun 2005. Tujuan pemekaran wilayah Kecamatan Siak adalah memberikan kemudahan bagi Pemerintah Daerah setempat dalam menjalankan kegiatan administrasi sekaligus untuk mempermudah jangkauan pembangunan ke seluruh kawasan.

Tulisan “Peran Urban Design dalam Pengembangan Kecamatan Mempura sebagai Daerah Otonom Baru” disusun dengan tujuan untuk memaparkan seluruh konsekuensi dari kebijakan otonomi daerah secara umum, permasalahan yang dihadapi oleh kawasan objek studi dan potensi yang dimilikinya serta beberapa pendekatan urban design yang akan diterapkan dalam rangka mewujudkan daerah otonom yang lebih berkualitas.

2. Kebijakan Otonomi Daerah dan Rencana Tata

Bangunan dan Lingkungan (RTBL) 2.1. Kebijakan Otonomi Daerah dalam Paradigma

Pembangunan di Indonesia

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi yang dijalankan Pemerintah sebenarnya memiliki beberapa keuntungan potensial, yaitu meningkatnya efisiensi kerja yang tanggap akan berbagai prioritas dan

Kontak: Catharina Dwi Astuti Depari

Dosen, Program Studi Arsitektur, Universitas Atma Jaya

Yogyakarta, Indonesia

E-mail: [email protected]

(Diterima 30 Juli 2010 dan disetujui untuk diterbitkan 12

September 2010)

Page 12: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

2 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Imam Djokomono

kapasitas lokal, mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan di daerahnya, mengurangi ketergantungan manajemen dan pendanaan pada Pemerintah Pusat dan meningkatnya sense of belonging Pemerintah Daerah akan berbagai program pembangunan yang dijalankan.

Meskipun kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi akan memberikan banyak manfaat, namun keputusan mengenai kebijakan tersebut bukan hal yang sederhana mengingat adanya beberapa langkah yang harus terlebih dahulu dipersiapkan oleh Pemerintah Pusat. Langkah-langkah tersebut menurut pendapat Sugijanto Soegijoko (Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia, 1997) antara lain mengupayakan sebuah efisiensi, keberlanjutan pembangunan, pemerataan, partisipasi pembangunan dan stabilitas daerah. Proses menentukan waktu yang paling tepat untuk menerapkan kebijakan otonomi sangat tergantung kepada tingkat kesiapan lokal di daerah terkait.

Agar kesiapan daerah mengalami peningkatan, Pemerintah Daerah berkewajiban mengadakan pembinaan dan pengelolaan pembangunan dengan didukung oleh Pemerintah Pusat yang berperan sebagai fasilitator. Meningkatkan kapasitas negosiasi dan pengelolaan dengan pihak swasta untuk melindungi aset-aset daerah dari kepemilikan pihak asing merupakan salah satu usaha dalam rangka meningkatkan kesiapan lokal.

2.2. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) sebagai Pedoman Pengembangan Kawasan

Dalam rangka meningkatkan kemampuan

Pemerintah lokal untuk mengemban tugas pada daerah

otonom baru yang dipimpinnya, dibutuhkan sebuah

pedoman pengembangan kawasan yang tersusun di

dalam sebuah Rencana Tata Bangunan dan

Lingkungan (RTBL). Sebagaimana diuraikan dalam

RTBL Siak dan Sekitarnya Propinsi Riau (2006)

bahwa Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan

(RTBL) pada hakikatnya merupakan sebuah rencana

geometrik pemanfaatan ruang kawasan perkotaan

yang disusun untuk mewujudkan sebuah daerah yang

berkualitas dengan memberdayakan seluruh potensi

yang ada.

Bagi daerah otonomi baru, RTBL dibutuhkan tidak

hanya dalam rangka mengendalikan pertumbuhan

fisik tata bangunan dan lingkungan sesuai dengan tata

ruang yang berlaku, namun juga untuk melengkapi

dan menindaklanjuti rencana tata ruang setempat yang

masih bersifat umum dengan menyusun kembali suatu

pedoman tata bangunan dan lingkungan yang lebih

terarah secara spesifik, lengkap, kompak dan saling

terkait. Berdasarkan penjelasan tersebut disimpulkan

bahwa manfaat RTBL adalah untuk mewujudkan tata

bangunan dan lingkungan yang lebih tertib, produktif,

manusiawi, berjati diri dan selaras-serasi dengan

lingkungan sekitar sehingga RTBL harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut: a. RTBL harus merupakan kesepakatan bersama atas

seluruh pemilik /pemegang hak atas tanah. Dalam kasus penataan kawasan, diperlukan sebuah konsolidasi lahan untuk perencanaan dan pengembangan kawasan di masa depan.

b. RTBL harus berorientasi pada aspek kemampuan daya dukung dari lokasi setempat, bukan pada aspek tuntutan kebutuhan. Artinya seluruh perencanaan dikaitkan dengan alokasi dan distribusi sumber daya dan pelayanan lingkungan yang ada.

Gambar 1. Pembangunan di Kawasan Sangatta Utara

Hasil Pemekaran Wilayah Kecamatan Sangatta

(Sumber: www.tribunkaltim.co.id, 2008).

3. Pendekatan Teknik dan Konsep Urban Design 3.1. Teknik Urban Design

Menurut Snyder (Introduction to Urban Planning, 1979, hal.62), urban design adalah sebuah jembatan antara profesi perencanaan kawasan dengan Arsitektur yang menekankan pada bentuk fisik suatu kawasan atau kota. Dalam proses perancangan, urban design menawarkan beberapa pendekatan atau teknik perancangan yang dipilih berdasarkan jenis permasalahan yang dihadapi oleh kawasan objek studi (Proses dan Metoda Perancangan Kawasan-MDKB UGM, 2007). Pendekatan urban design terdiri atas dua kategori, yaitu: a. Pendekatan yang lebih melihat kepada tradisi dan

keberadaan hal-hal yang sudah ada untuk kemudian mengembangkannya secara inkremental berdasarkan potensi kawasan.

b. Pendekatan yang berdasarkan pada tujuan-tujuan yang akan diraih dan mengembangkannya secara visioner yang melihat kepada kriteria-kriteria dan ukuran tertentu yang akan diraih.

Sedangkan beberapa teknik urban design yang umumnya digunakan dalam proses perancangan, antara lain: a. Enam tahap proses perancangan kawasan menurut

Barton, dkk. (Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003) dalam rangka menciptakan kawasan berkelanjutan.

b. Figure ground, linkage dan place theory menurut Trancik (Finding Lost Space: Theories of Urban Spatial Design, 1986) dalam rangka memperkuat bentuk struktur ruang suatu kawasan/kota.

Page 13: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 3

Menurut Barton,dkk. (Shaping Neighbourhoods: A

Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003,

hal.213) bahwa dalam menciptakan sebuah kawasan

berkelanjutan dibutuhkan sebuah pendekatan

perancangan yang dimulai dari sistem transportasi

publik. Model pendekatan tersebut dianggap yang

paling efektif untuk diterapkan pada kawasan hasil

pemekaran sebuah kota (urban extension). Skema atau

rencana yang dihasilkan akan memberikan sebuah

gambaran besar berupa informasi mengenai potensi

kawasan objek studi dengan kawasan sekitarnya.

Selain itu, skema hubungan antarruang kawasan

sangat penting peranannya dalam rangka penyusunan

berbagai keputusan investasi, rumusan pembangunan

dan kontrol pengembangan kawasan.

Gambar 2. Enam Tahap Proses Perancangan Kawasan (Sumber: Barton, 2003).

Berdasarkan faktor-faktor yang diamati, keenam

tahap proses perancangan kawasan tersebut (Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal. 213-215) dapat diuraikan sebagai

berikut: a. Rute transportasi umum dan simpul kawasan yang

mencakup kegiatan: Mengidentifikasi rute transportasi umum

utama eksisting, ke-efektifan-nya, ketersediaan dan tingkat fleksibilitas sirkulasi dalam rute tersebut.

Mengidentifikasi simpul-simpul transportasi umum eksisting dan yang dinilai potensial.

Mengidentifikasi hubungan antarkota dan koneksi lokal ke seluruh jalan utama.

b. Sistem ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru yang mencakup kegiatan: Mengidentifikasi elemen-elemen lingkungan

kritis bagi pengembangan kawasan yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati.

Mengidentifikasi ruang terbuka hijau dan jalur rute transportasi yang dinilai baik.

c. Aksisbilitas pejalan kaki mencakup kegiatan: Memetakan aksesbilitas pejalan kaki ke halte

dan pusat-pusat kawasan serta hambatan pergerakan.

Menganalisis aksesibilitas pejalan kaki ke rute-rute transportasi baru

d. Pola tata guna lahan dan tingkat kepadatan kawasan yang mencakup kegiatan: Melengkapi dan mengevaluasi intensitas

lahan dan pola tata guna lahan. Menghubungkan pola-pola tersebut dengan

analisis ruang terbuka dan aksisbilitas. Membedakan empat tingkatan kepadatan

kawasan, berdasarkan aktivitas pusat kawasan, hirarki jalan (jalan utama lokal dan lingkungan), pencapaian lokal dan Ruang Terbuka Hijau.

e. Jaringan jalan utama yang mencakup kegiatan: Melengkapi jaringan jalan distributor

berdasarkan pola grid yang dimodifikasi menyesuaikan dengan kontur lahan dan dapat dilalui dengan memberikan pemusatan alami ke pusat kawasan.

Merencanakan jalur bagi pengendara sepeda dan pejalan kaki dengan prinsip 200 m grid.

Mengidentifikasi lingkungan permukiman, pola jalan dan pencapaian jika belum dimiliki oleh lingkungan tersebut.

f. Hubungan antar sub-kawasan yang harus dapat memperlihatkan: Kombinasi antara pola tata guna lahan dengan

jaringan jalan utamanya. Hubungan antarruang kawasan. Adanya kesesuaian antara tingkat kepadatan

lahan dan aktivitas dengan intensitas fungsi lahan, penentuan lahan-lahan yang spesifik bagi pengembangan baru, identifikasi daerah yang membutuhkan masterplan secara mendetail dan perancangan rona lingkungan yang sesuai dengan karakter kawasan.

Berdasarkan analisis terhadap evolusi kota-kota modern yang dilakukan oleh Trancik (Finding Lost Space: Theories of Urban Spatial Design, 1986, hal.97-98), maka terdapat tiga jenis teknik urban design yang dinilai penting dalam pengembangan suatu kawasan, yaitu: a. Figure ground theory yang dibangun berdasarkan

kajian terhadap ketertutupan lahan secara relatif dari massa bangunan-solid (figure) terhadap ruang terbuka-void (ground). Pendekatan figure-ground bertujuan untuk memperjelas struktur ruang suatu kawasan serta membangun sebuah hirarki ruang.

b. Linkage theory yang menghubungkan satu elemen dengan elemen lain yang dibentuk oleh jalan, jalur pejalan kaki, ruang terbuka linear atau elemen lainnya dan secara fisik menghubungkan seluruh bagian kawasan dalam bentuk sebuah jaringan.

c. Place theory yang menambahkan sebuah dimensi baru ke dalam perancangan berupa kebutuhan

Page 14: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

4 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Imam Djokomono

manusia dan budaya, konteks sejarah dan alam lingkungannya. Menggunakan place theory akan memberikan nilai tambah pada ruang fisik kawasan melalui penerapan bentuk-bentuk unik atau detail lokal pada lingkungannya.

Dalam rangka mendukung place theory yang dikemukakannya, Trancik menguraikan lima elemen pembentuk citra kota yang penting dalam merancang suatu kawasan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Lynch (the Image of the City, 1960, hal.46-48), yaitu: a. Paths, yaitu sebuah channel/koridor penghubung

yang dilalui oleh para pejalan kaki dan dapat berupa jalan, jalur pejalan kaki, kanal atau jalur kereta api.

b. Edges, yaitu elemen linear yang membatasi antara satu kawasan dengan kawasan sekitar atau berupa garis panjang yang menghubungkan dan menyatukan beberapa kawasan.

c. Districts, yaitu bagian dari kota yang secara fisik mudah dikenali disebabkan oleh adanya beberapa kesamaan yang dimiliki dan yang mampu mengidentifikasikan adanya sebuah karakter.

d. Nodes, yaitu titik-titik lokasi strategis yang terdapat pada suatu kota sekaligus sebagai titik fokus orang ketika berjalan. Elemen kota yang termasuk ke dalam kategori nodes adalah area perpotongan jalan.

e. Landmarks, yaitu titik referensi orang ketika berjalan mengalami suatu ruang kota sekaligus sebagai objek sederhana yang mudah dikenali dapat berupa bangunan, penanda, toko atau gunung.

Gambar 3. Kelima Elemen Fisik Pembentuk Citra Kawasan

(sumber: Lynch, 1960).

Menurut Barton,dkk. (Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal. 213) bahwa sistem transportasi publik merupakan bagian yang pertama kali harus diperhatikan dalam proses perancangan kawasan. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Snyder (Introduction to Urban Planning, 1979, hal.75) yang mengemukakan bahwa jaringan transportasi merupakan faktor utama yang akan menentukan bentuk struktur kawasan sehingga merupakan hal pertama yang seharusnya dipikirkan dalam proses perancangan.

3.2. Konsep Kota Berfungsi Banyak

Sebagai daerah otonom baru, Mempura sebenarnya merupakan kawasan yang sangat potensial untuk

mengadopsi Konsep Kota Berfungsi Banyak (Multi Function Polis) pada proses perancangannya mengingat potensi fisik yang dimiliki, antara lain jalan Siak Dayun sebagai koridor penghubung ke kota-kota penting di Kabupaten Siak. Konsep Kota Berfungsi Banyak berbasis pada konsep punggung dengan kegiatan berpola linear dimana penduduk dapat mencapai pusat kota dalam radius jarak kenyamanan pejalan kaki.

Konsep Kota Berfungsi Banyak pada hakikatnya merupakan penggabungan dari pola perkembangan pita dengan pola sistem blok kawasan. Sasaran yang hendak dicapai adalah rencana kawasan yang bersifat linear dengan satu tulang punggung sebagai pusat kegiatan vital kota dengan didukung oleh ketersediaan pelayanan transportasi umum yang baik. Seluruh fasilitas lapangan pekerjaan terkonsentrasi pada tulang punggung kota untuk mencapai sebuah setting kota yang menarik dan vital.

Gambar 4. Sebaran Konsep MFP dan Konsep Dasar Kegiatan

(Sumber: MDKB, 2009)

Sedangkan tujuan penerapan Konsep Kota Berfungsi Banyak adalah untuk menarik berbagai peluang investasi serta minat para pendatang dari luar daerah dengan menyediakan berbagai jenis lapangan pekerjaan serta memberi jaminan bagi hidup yang lebih berkualitas. Perkembangan kawasan ditandai oleh pembangunan fisik yang dimulai dari daerah terdekat dengan tulang punggung dan kemudian menyebar ke seluruh bagian kawasan.

4. Metode Kajian/Pembahasan Daerah otonom baru yang akan menjadi objek studi

dalam kajian urban design adalah Kecamatan Mempura yang merupakan wilayah pemekaran dari Kecamatan Siak dengan batas-batas wilayah administratif sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Siak dan

Kec. Siak b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sungai

Apit c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Dayun d. Sebelah Barat berbatasan dengan Ring Road dan

Kec. Kota Gasib

Secara garis besar, materi kajian mencakup kegiatan:

a. Mengkaji seluruh potensi, hambatan, peluang dan

Page 15: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 5

ancaman sebagai usaha untuk meningkatkan

kapasitas Mempura sebagai daerah otonom baru

b. Mengkaji potensi dan hambatan fisik kawasan

serta memberikan rekomendasi berupa konsep

perancangan kawasan yang paling ideal melalui

enam tahap proses perancangan sebagaimana

yang telah dikemukakan dalam kajian teori.

Gambar 5. Lokasi Kawasan Objek Studi Mempura

(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009).

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif,

berdasarkan teori-teori dan teknik urban design akan

dicari sebuah konsep rancangan kawasan yang paling

tepat untuk diterapkan di kawasan Mempura. Proses

perancangan yang dilalui tentu harus senantiasa

mempertimbangkan karakteristik kawasan

menggunakan SWOT analysis.

5. Analisis Perancangan Kawasan 5.1. SWOT Analysis

Kondisi suatu kawasan objek studi yang akan diamati harus mencakup aspek-aspek natural-ekologis, fisik terbangun, sosio-ekonomi dan budaya, teknis-rekayasa serta estetika-desainnya dalam rangka inventarisasi seluruh potensi dan permasalahan kawasan sebagai faktor pengaruh internal serta peluang dan kendala sebagai faktor pengaruh eksternal.

Kawasan Mempura memiliki beberapa potensi fisik sebagai dasar pertimbangan perancangan, antara lain: a. Kawasan pertanian yang dapat dikembangkan

sebagai daerah agrowisata sehingga perlu dilakukan konservasi lahan pertanian.

b. Sungai Siak dan Mempura Besar yang dapat dikembangkan sebagai daerah wisata air sekaligus sebagai jalur transportasi air.

c. Jalan Siak Dayun sebagai koridor utama penghubung antara dua kota utama di Kab. Siak

dapat berfungsi sebagai generator kawasan. d. Dalam aspek estetika desain, Arsitektur Melayu

dapat terus diadopsi dalam perancangan untuk meningkatkan identitas dan karakter kawasan.

Gambar 6. Bangunan Ber-arsitektur Melayu di Kab.Siak

(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009).

Meskipun berpotensi sebagai embrio bagi pengembangan sistem jaringan jalan kawasan yang baru, keberadaan kavling penduduk dapat menimbulkan permasalahan tersendiri. Keberadaan kavling harus dipertimbangkan dalam perancangan untuk mencegah konflik antara rencana Pemerintah dengan para pemilik lahan.

Gambar 7. Identifikasi Kelemahan Kawasan Mempura

(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009).

Rencana pengembangan kawasan waterfront di

Kabupaten Siak dan berbagai rencana pembangunan di Kota Siak Indrapura akan memberikan pengaruh positif bagi pengembangan kawasan Kecamatan Mempura sekaligus membuka peluang bagi masuknya investasi baru. Kota Siak Indrapura merupakan Ibukota Kabupaten Siak yang berlokasi di bagian utara kawasan Mempura dan dihubungkan oleh Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah.

Kabupaten Siak dikenal sebagai wilayah dengan potensi cadangan minyak bumi terbesar di Indonesia sehingga menarik minat para investor asing untuk menanamkan modalnya, antara lain PT. Caltex dan PT. Chevron.

Page 16: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

6 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Imam Djokomono

Sebagai perusahaan minyak asing terbesar ke-2 di dunia, PT. Chevron telah sejak lama melihat potensi Kabupaten Siak. PT. Chevron mulai melakukan eksplorasi sebagai kelanjutan dari kegiatan PT. Caltex yang telah habis masa kontraknya dengan Pemerintah setempat. Berbagai infrastruktur privat yang dapat mendukung kegiatan operasional perusahaan dibangun, salah satunya adalah jalur penyeberangan atau penghubung antara kawasan Kabupaten Siak dengan Ibukota Riau, Kota Pekan Baru. Infrastruktur tersebut hanya ditujukan untuk mendukung kepentingan PT. Chevron dan secara otomatis tertutup bagi aktivitas publik sehingga mengakibatkan sebagian besar kawasan Siak dan sekitarnya semakin terisolir dari berbagai pengaruh langsung pembangunan dan pengembangan Kota Pekan Baru.

Gambar 8. Akses Utama Penghubung Kota Pekan Baru

dengan Kabupaten Siak, Infrastruktur Khusus Milik

PT. Chevron

(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

5.2. Perancangan Kawasan Berdasarkan pandangan Barton, dkk. (Shaping

Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003) dan Snyder (Introduction to Urban Planning, 1979) bahwa sistem transportasi merupakan faktor utama yang harus dipikirkan dalam merancang kawasan yang berkelanjutan.

Jaringan jalan kawasan waterfront dihubungkan secara langsung dan menerus dengan batas kavling lahan yang merupakan embrio jalan, sehingga menghasilkan sebuah sistem jaringan kawasan. Sedangkan akses langsung dari jalan utama ke kawasan agrowisata dibatasi untuk mempertahankan kualitas lingkungan sekitar.

Gambar 9. Analisis Jaringan Jalan Baru

(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Berdasarkan karakteristik fisik kawasan Mempura,

maka direncanakan tiga simpul penting untuk dirancang sebagai gerbang transisi antara kawasan waterfront dengan kawasan Mempura, gerbang kawasan agrowisata dan gerbang kawasan transisi antara kawasan Dayun dengan kawasan Mempura. Setiap simpul yang direncanakan harus memiliki desain sesuai dengan karakteristik distrik di sekitar simpul. Hal tersebut penting dalam rangka meningkatkan citra kawasan sebagaimana dikemukakan oleh Lynch (the Image of the City, 1960).

Gambar 10. Analisis Menentukan nodes Kawasan

(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Page 17: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 7

Dalam tahap rancangan ruang terbuka hijau kawasan Mempura, identifikasi potensi lokal juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan.

Gambar 11. Analisis Ruang Terbuka Hijau dan Biru Kawasan

(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Areal pertanian dipertahankan sebagai daerah konservasi mengingat potensi wisata yang dimilikinya sedangkan pada area simpul yang merupakan titik perpotongan antar jalan eksisting direncanakan taman kota dalam rangka membangun kawasan Mempura sebagai kawasan berwawasan ekologi. Dalam rangka mempertahankan karakter kawasan Siak-Mempura sebagai kota berbasis air, maka jalur-jalur sungai sebagai sistem jaringan air sebaiknya dibangun secara berimbang dengan sistem jaringan darat.

Gambar 12. Analisis Aksesibilitas Pejalan Kaki (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Sebagai daerah otonom baru, kawasan Mempura harus dapat menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan untuk dapat melayani seluruh kegiatan lokal. Menurut pendapat Barton, dkk. (Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal.24) bahwa aksesibilitas pejalan kaki dalam mengakses infrastruktur kota yang ada secara normal memiliki waktu tempuh rata-rata 5-10 menit atau jarak tempuh 400-800 m. Berdasarkan standar tersebut, halte sebagai salah satu infrastruktur kota yang mendukung pergerakan lokal diletakkan di titik-titik strategis di dalam kawasan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Barton, dkk. (Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal.16) bahwa menggunakan batas-batas geografis/batas fisik lainnya sebagai deliniasi antar zona kawasan merupakan langkah yang pragmatis dan sederhana guna membatasi sebuah tempat. Deliniasi zona-zona kawasan Mempura ditentukan oleh batas fisik eksisting baik berupa jalan eksisting, embrio jalan dari batas kavling lahan penduduk dan jalur sungai.

Kriteria utama yang menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan lokasi pusat kawasan mengacu pada pendapat Barton, dkk. (Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal.24), yaitu aksisbilitas pejalan kaki dalam mencapai pusat-pusat kegiatan di pusat kota. Setelah deliniasi pusat dan sub kawasan sekitar ditentukan, lalu dilakukan pengelompokkan fungsi-fungsi ke dalam rencana zonasi/tata guna lahan.

Gambar 13. Analisis zonasi lahan kawasan

(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Berdasarkan pendapat Barton, dkk. (Shaping

Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal.215) bahwa sistem jaringan jalan yang dibangun sebaiknya berdasarkan pola grid yang disesuaikan dengan kontur lahan serta dapat dilalui dengan memberikan pemusatan alami ke pusat kawasan.

Page 18: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

8 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Imam Djokomono

Rencana atau skema kawasan Mempura yang dihasilkan harus dapat memperlihatkan adanya kombinasi antara pola tata guna lahan dengan jaringan jalan utamanya, hubungan antar ruang kawasan termasuk sistem jaringan jalan yang menghubungkan seluruh zona kawasan dengan pusat-pusat kegiatan secara jelas di dalam kawasan Mempura.

6. Kesimpulan dan Rekomendasi Kondisi real masyarakat di kawasan terisolir sering

diasosiasikan dengan kemiskinan yang sebagian besar diakibatkan oleh hambatan terhadap pengaruh pembangunan dari pusat kota ke kawasan terkait. Dalam rangka memecahkan isu keterisoliran dan kemiskinan suatu daerah otonomi baru, pendekatan urban design dinilai dapat menjadi alat pendukung kebijakan otonomi daerah yang paling efektif.

Strategi perancangan yang sebaiknya segera diterapkan pada kawasan objek studi adalah terlebih dahulu mengidentifikasi jalur-jalur darat yang potensial dibangun sebagai akses penghubung alternatif antara Kota Pekanbaru dengan Kabupaten Siak. Tujuan dari penerapan strategi tersebut adalah untuk melepaskan diri dari isu keterisoliran dengan berupaya membuka akses bagi berbagai peluang bisnis/investasi. Melalui upaya tersebut, pengaruh pembangunan dari Kota Pekanbaru ke kawasan Mempura akan lebih mudah tercapai. Selain memanfaatkan potensi jalur darat, sungai Siak dan beberapa sungai utama di kawasan Propinsi Riau sangat potensial untuk dikembangkan sebagai jalur penghubung alternatif antara Kota Pekanbaru dengan Kabupaten Siak sekaligus dapat dikembangkan sebagai jalur perdagangan/transportasi komoditas barang.

Gambar 14. Potensi Jalur Darat dan Sungai di Kabupaten Siak

(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Selain pendekatan urban design dengan pendekatan linkage, Konsep Kota Berfungsi Banyak (Multi Function Polis) merupakan konsep yang paling potensial diterapkan pada kawasan Mempura mengingat potensi fisik yang dimiliki, yaitu koridor Siak Dayun. Jalan Siak Dayun dinilai sebagai koridor

utama perdagangan yang paling potensial untuk dikembangkan sebagai tulang punggung kawasan karena perannya sebagai penghubung utama antara kawasan Mempura dengan Kota Siak Indrapura. Tujuan dari penerapan Konsep Kota Berfungsi Banyak pada kawasan Mempura adalah untuk menarik berbagai peluang investasi serta minat para pendatang dari luar daerah dengan menyediakan berbagai jenis lapangan pekerjaan serta memberi jaminan bagi hidup yang lebih berkualitas. Perkembangan kawasan ditandai oleh pembangunan fisik yang dimulai dari daerah terdekat dengan tulang punggung dan kemudian menyebar ke seluruh bagian kawasan.

Gambar 15. Simulasi Penerapan Konsep MFP pada

Kawasan Mempura (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Referensi

1) Barton, H., Grant, M., Guise, R. (2003) ”Shaping Neighbourhoods:

A Guide for Health, Sustainability, Vitality”, New York: Routledge

2) Cullen, G. (1971) ” Townscape ”, London: Architectural Press

3) Diktat Kuliah (2009)”Multi Function Polis”, Yogyakarta: Magister

Desain Kawasan Binaan UGM

4) English Partnership and The Housing Corporation (2000), ”Urban

Design Compendium, ” London: Llewelyn and Davies

5) Gramedia Widiasarana Indonesia, PT. (1997) ”Bunga Rampai

Perencanaan Pembangunan di Indonesia”, Jakarta

6) Lynch, K. (1960) ”The Image of the City,” Cambridge: M.I.T.

Press

7) Pemerintah Kabupaten Siak (2009) ”Rencana Tata Bangunan dan

Lingkungan Kecamatan Mempura”, Propinsi Riau

8) Pemerintah Kabupaten Siak (2006) ”Rencana Tata Ruang dan

Wilayah Kabupaten Siak”, Propinsi Riau

9) Pemerintah Kabupaten Siak (2006) ”Rencana Tata Bangunan dan

Lingkungan Kabupaten Siak dan Sekitarnya”, Propinsi Riau

10) Shirvani, H. (1985) ”The Urban Design Process”, New York: Van

Nostrand Reinhold

11) Trancik, R. (1986) ”Finding Lost Space: Theories of Urban Spatial

Design”, New York: Van Nostrand Reinhold

12) http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/47265 (2008)

Page 19: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 9

Mekanisme Pencapaian Privasi Mahasiswa Pada Pondokan

Tipe Asrama Perorangan di Kampung Kota Iromejan dan Samirono (Studi Kasus)1

Soeleman Saragih

Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 1Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 1994

Abstract Yogyakarta has been cited as the city of education. This citation urged students to continue their study in

Yogyakarta. As the result, the amount of lodgings surround campus increased. Urban quarters near educational institutions become the first choice of student residencies. Since the residents in urban quarter realize and feel lucky to deal with lodging services, they make several types of lodgings. One of them is individual boarding house type (IBH-type). Students who live in lodgings need privacy to be able to study well. Therefore, the problem of this research is: How the boarders try to obtain privacy in their lodgings at Iromejan and Samirono quarters. This research aims at studying variations of student’s effort to control interaction in their lodgings. Six sample of lodgings had been examined (Individual Boarding House Type 1-6) with 30 under graduated students as respondents. The variations of student’s efforts in controlling interaction were examined by interviewing and making observation. Components of lodging setting which exposed by the solution of visual and audio disturbance have been examined, and data collections were gathered by observation and interviews. Inductive data analysis was done using categorization, description and explanation techniques. Working hypothesis had been obtained from inductive data analysis. The major finding in this research is that: Privacy can be obtained in three ways, i.e.: a) avoidance (behavioral), b) hindrance of visual and audio, and c) separation on spatial distance (distancing). In spatial way, privacy is obtained outside the quarters, such as in campus where the students study. Physically, boarders fortified themselves by making hindrance and visual evader (visually), such as painting window-glasses, install awning or curtain, lowering equipments elevation and placing vases close to porch and windows. The connecting structure of those efforts in obtaining privacy has been visualized in a model. This model is not the same as proposed by the previous researcher (Altman, 1975). For the moment, this model only prevailed for lodgings case of individual boarding house type 1-6 at Iromejan and Samirono, Yogyakarta. Keywords: privacy, students, individual boarding house type, Iromejan and Samirono quarters

1. Pendahuluan Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota

Pendidikan Tinggi (PT) terbesar di Pulau Jawa. Predikat ini mendorong siswa melanjutkan studi di Yogyakarta. Akibatnya, jumlah pondokan di sekitar kampus meningkat dalam berbagai tipe. Salah satu di antaranya adalah pondokan Tipe Asrama Perorangan (TAP). Pondokan Tipe Asrama Perorangan di kampung Iromrjan dan Samirono dihuni oleh mahasiswa dengan tingkat interaksi dan mobilitas yang tinggi. Mahasiswa yang tinggal di pondokan ini membutuhkan privasi yang diinginkan untuk dapat belajar dan istirahat dengan baik. Dijelaskan oleh Altman (1975), bahwa privasi yang dicapai (Pc) dan privasi yang diinginkan (Pi) sebaiknya sama atau optimal. Seseorang akan

mengalami terisolasi jika Pc > Pi, sebaliknya seseorang akan merasa sesak apabila Pc < Pi. Mencari privasi yang optimal di tempat pondokan yang dihuni oleh mahasiswa dengan interaksi serta mobilitas tinggi membutuhkan berbagai cara atau upaya. Karena itu, masalah penelitian adalah bagaimana pemondok (mahasiswa) berupaya mencapai privasi yang diinginkannya. Tujuan penelitian mencari keragaman kemampuan mahasiswa di pondokan untuk mencapai privasi yang diinginkannya.

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi perumusan kebijakan perencanaan dan perancangan kampung kota sebagai lingkungan pondokan mahasiswa.

Kontak: Soeleman Saragih

Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur & Perencanaan, FT UGM

Tel: (0274) 485613 Fax: (0274) 485613

E-mail: [email protected]

(Diterima 9 Agustus 2010 dan disetujui untuk diterbitkan

28 September 2010)

Page 20: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

10 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Soeleman Saragih

Gambar 1. Lokasi Penelitian Kampung Iromejan dan Samirono

(Sumber: Saragih, 1994).

Lokasi penelitian dipilih di kampung kota yaitu kelompok rumah yang merupakan bagian dari kota (biasanya kondisi fisik kampung kurang baik). Iromejan dan Samirono merupakan kampung kota. 2. Studi Pustaka

Kampung Iromenjan dan Samirono ditetapkan sebagai area penelitian dengan alasan berpotensi tinggi sebagai kampung pondokan mahasiswa dan area ini strategis terhadap 8 PT yaitu: UGM, UNY, USD, AA, ATA, UKDW, UAJ, dan IST/AKPRIND (Gambar 1).

Tinjauan pustaka berikut ini bertujuan untuk menuntun pengumpulan data dan analisis data.

Dengan demikian macam variabel penelitian, bahan serta materi yang diperlukan dapat disusun. Variabel penelitian adalah privasi, dijabarkan atas kajian terhadap apa yang disebut privasi oleh empat pakar menurut bidangnya masing-masing. Mereka adalah: (a) Altman (1975), (b) Rapoport (1977), (c) Weisman (1981) dan (d) Holahan (1982).

Pengertian privasi, meskipun menurut konsep barat (Altman, 1975 dan Rapoport, 1977) menyatakan telah jelas artinya, tentu saja mempunyai tingkat yang berbeda untuk manusia yang berbeda dan kasus yang berbeda. Istilah privasi, meskipun didefinisikan secara berbeda oleh pakar, sebenarnya mempunyai prinsip

Page 21: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 11

yang sama. Dikemukakan oleh Rapoport (1977) bahwa privasi adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan proses interaksi di lingkungan mereka berada. Dengan demikian, privasi yang dimiliki seseorang dapat membantunya untuk mengatur jarak personal, jarak sosial serta menata waktu untuk menyendiri dan menjauh. Dijelaskan oleh Altman (1975) bahwa privasi mempunyai hubungan erat dengan atribut lain yaitu: personal space (jarak personal), territory (batas daerah), isolasi dan crowding (kesesakan). Dengan demikian, pencapaian privasi yang diinginkan seseorang tergantung pada kemampuan orang itu untuk mengontrol atribut tersebut di atas. Salah satu atribut yang sangat berkaitan erat dengan pencapaian privasi adalah kontrol teritori (Altman, 1975).

Weisman (1981) mengemukakan bahwa privasi adalah sama dengan apa yang dikemukakan Rapoport (1977) dan merupakan atribut yang muncul dari kerangka interaksi manusia dengan seting. Kerangka interaksi tersebut disebut model sistem perilaku lingkungan. Model tersebut meskipun tampak sederhana, bisa memberikan berbagai isu penelitian yang berkaitan dengan tiga komponen yaitu: (1) tempat (seting), (2) fenomena perilaku, dan (3) kelompok pemakai (organisasi dan individu). Organisasi dapat dipandang sebagai institusi atau pemilik yang mempunyai hubungan dengan seting. kualitas hubungan antara seting dengan organisasi disebut atribut atau fenomena perilaku. Adapun atribut yang muncul dari interaksi tersebut antara lain; privasi, kontrol, ruang personal, sosialisasi, kesesakan dan isolasi. Individu juga dapat dipandang sebagai manusia yang menggunakan seting. Manusia, baik individu maupun kelompok-kelompok, berinteraksi di dalam seting. Proses interaksi yang terjadi tidak hanya antara manusia dengan manusia, tetapi juga interaksi antara manusia dengan seting. Kualitas hubungan antara seting dengan manusia disebut konsep atribut. Ada banyak konsep atribut, misal: privasi, sosialisasi dan lain-lain.

Seting fisik disebut sebagai lingkungan fisik, tempat tinggal manusia. Hubungan antara seting dengan manusia tersebut dinyatakan dengan konsep atribut. Pengamatan atribut tertentu (misal: privasi) sama dengan pengamatan hubungan antara manusia dengan manusia dalam seting tertentu. Dengan demikian jika konsep atribut privasi ingin diteliti, maka pengamatan atau observasi harus ditujukan pada konsep seting, manusia dan organisasi. Seting dapat dilihat dari dua hal yaitu; komponen dan properti. Properti adalah karakter atau kualitas dari komponen, sedangkan komponen ada tiga kategori yaitu: (a). komponen fix, (b). komponen semi-fix, (c). komponen non-fix. Komponen fix dalam arsitektur dapat berupa dinding, lantai dan atap bangunan. Weisman (1981), mengatakan bahwa komponen seting, baik fix, semi-fix maupun non-fix, selalu mengakomodasi konsep atribut tertentu.

Holahan (1982), mendukung pengertian privasi yang dikemukakan oleh Weisman (1981). Holahan (1982) pernah membuat alat pengukur jenis privasi dan ia mendapatkan enam jenis privasi yang terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah: (1) keinginan untuk menyendiri (solitude), (2) keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga atau kebisingan lalu lintas (seclusion), (3) keinginan untuk intim (intimacy) dengan orang tertentu saja tetapi jauh dari semua orang lain. Selanjutnya golongan kedua adalah; (4) keinginan untuk merahasiakan jati diri (anonymity), (5) keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve), (6) keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring).

Berdasarkan kajian pustaka tentang privasi di atas, nampak bahwa privasi adalah hasrat, kehendak dan kemampuan untuk mengontrol akses fisik maupun informasi terhadap diri sendiri dari pihak orang lain. Privasi juga merupakan inti dari personal space. Pengertian personal space yang dikemukakan oleh Altman (1975), didukung oleh Holahan (1982).

3. Metodologi Penelitian

Gambar 2. Prosedur Cara Penelitian

(Sumber: Saragih, 1994).

Fenomena privasi mahasiswa di pondokannya dapat

diteliti dengan berbagai cara. Cara penelitian yang dipilih adalah naturalistic inquiry, kualitatif

Page 22: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

12 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Soeleman Saragih

rasionalistik (Yvonna, Lincoln, and Guba, G., 1985), dan bukan kuantitatif. Alasannya ada tiga, yaitu: (a) karakteristik pondokan dan pemondok (mahasiswa) di lokasi penelitian adalah heterogen, (b) populasi pondokan dan pemondok tidak diketahui, (c) penelitian ini tidak bertujuan untuk membuktikan hipotesis. Cara penelitian dimulai dengan penentuan lokasi penelitian, penentuan kasus pondokan dan responden, cara pengumpulan dan pencatatan data, cara analisis, dan langkah terakhir adalah pembahasan hasil penelitian dan kesimpulan.

Penelitian diawali dengan menetapkan tiga area pengamatan: A, B, dan C dengan pertimbangan kesamaan karakteristik fisiknya, kemudian menentukan sampel (purposive sampling) pada ketiga area penelitian dan menggambarkan denah tata ruang pondokan. Selanjutnya mengidentifikasi elemen non-fisik pondokan (ruang dan kegiatan) dan elemen fisik (dinding, pintu, jendela, akses atau sirkulasi pencapaian).

Wawancara dan observasi dilakukan pada setiap sampel pada ketiga area penelitian (A, B, C). Sampel pondokan (TAP) dtetapkan sebanyak enam dari 10 TAP yang ada di area penelitian. Responden ditetapkan sebanyak 30 orang mahasiswa dari ± 100 mahasiswa di area penelitian. Dalam penelitian fenomenologi, peneliti sebagai alat (human instrument) mencatat fenomena perilaku dibantu

dengan alat (kamera dan handycam). Hasil wawancara dicatat dalam buku kompilasi atau rekaman data. Data disajikan secara deskriptif menurut jenis data. Data diolah dan disusun dalam bentuk catatan pada kartu informasi atau unit informasi. Hasil observasi fenomena perilaku dan tempat kegiatan, termasuk foto observasi berkas kegiatan disajikan dengan jelas. Data dan informasi dianalisis dengan cara: kategorisasi, deskripsi dan ekplanasi secara siklikal. Hasil analisis sementara menghasilkan sejumlah temuan yang disebut hipotesis kerja. Berdasarkan hipotesis kerja yang terkumpul selama penelitian (4 bulan), maka kecenderungan fenomena keragaman privasi mahasiswa dapat diformulasikan sebagai hasil atau temuan penelitian. (Perhatikan Gambar 2)

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1. Hasil Penelitian

a. Gambaran Kehidupan di Lokasi Penelitian

Kampung kota yang bernama Iromejan dan Samirono ini adalah kampung yang memiliki potensi pondokan mahasiswa, terletak pada jarak kurang dari ±500 m dari delapan perguruan tinggi. Kedua kampung ini, selain dikelilingi oleh perguruan tinggi, juga berada di daerah pengaruh sub-pusat perdagangan skala kota. Sub-pusat perdagangan kota berada tepat di bagian selatan Kampung Iromejan. Kedua kampung yang mempunyai luas wilayah tidak

Gambar 3. Sebaran Lokasi Pondokan Tipe Asrama Perorangan (TAP 1 s.d. TAP 6)

(Sumber: Saragih, 1994).

Page 23: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 13

lebih dari 25 hektar ini, cenderung berkembang menjadi sebuah kampung yang disebut “kampung mahasiswa”. Hal ini dibuktikan oleh data kependudukan yang menunjukkan kurang lebih 2.500 mahasiswa tinggal sementara di kampung ini. Hampir setiap rumah memiliki pondokan.

Berdasarkan rekaman data, ada dua elemen yang berpengaruh pada kehidupan umum lokasi penelitian. Pertama, perguruan tinggi yang ada di sekitar kampung menjadi stimulator pertama. Sementara, kawasan sub-pusat perdagangan di Jalan Urip Sumoharjo sebagai stimulator kedua. Kedua stimulator di atas merupakan penyebab jumlah pemondok (mahasiswa) meningkat dan interaksi kegiatan kehidupan dalam kedua kampung tersebut menjadi tinggi. Situasi dan kondisi lingkungan pondokan TAP 1 s.d. TAP 6, pada umumnya bermasalah: padat penghuni, padat bangunan, padat lalu-lintas, dekat jalan raya, ruang terbuka sempit, tiada ruang tamu. Sebaran lokasi TAP 1 s.d. TAP 6 ditunjukkan pada gambar 3.

Di area penelitian ini, arus lalu-lintas dari utara ke selatan dan sebaliknya relatif padat. Gambaran ini mengindikasikan ada gejala kesesakan (crowding) yang tentu saja terkait dengan privasi mahasiswa yang tinggal di lokasi penelitian.

b. Gambaran Privasi Mahasiswa di Pondokan

TAP 1 s.d. TAP 6

1. Gambaran Pondokan TAP 1 Pondokan TAP1 yang mempunyai 16 kamar ini

terletak di tepi gang yang sering dilewati orang. Kamar pondokan yang berukuran tidak lebih dari 3 x 3 m² tersusun dengan pola saling berhadapan (face to face). Jendela dari kayu dengan panil kaca transparan. Ruang tamu tidak tersedia. Kamar disewakan untuk satu atau dua orang tanpa perabot. Pondokan yang mempunyai jalan pencapaian di tengah, terbuka (tanpa atap), meskipun agak kotor tetapi selalu penuh, dihuni oleh 16 orang mahasiswa. Mereka berasal dari luar Jawa (5 orang), sedangkan lainnya dari Jawa (perhatikan gambar 4).

Hipotesis Kerja Pondokan TAP1

Hipotesis kerja awal yang ditransfer atas dasar rekaman data, unit informasi adalah sebagai berikut: 1) Untuk mendapatkan privasi belajar di dalam

pondokan ada tiga cara, yaitu: a) penghalang visual dan suara (fisikal), b) penghindaran dari pandangan atau visual (behavioral), c) penjauhan jarak (spasial).

2) Kertas yang dipasang di jendela merupakan upaya penghalang visual (kategori fisikal).

3) Belajar di tempat teman atau di luar pondokan merupakan upaya penarikan jarak (kategori spasial).

Hipotesis kerja ini akan diperiksa atau dikonfirmasikan kembali melalui rekaman data kasus

pondokan lainnya (TAP2 s.d. TAP6).

Gambar 4. Denah Pondokan TAP1

(Sumber: Saragih, 1994).

Gambar 5. Ruang dalam Pondokan TAP1

(Sumber: Saragih, 1994).

2. Gambaran Privasi Mahasiswa di Pondokan TAP2

Pondokan TAP2 yang mempunyai 34 kamar ini terletak di tepi jalan lingkungan yang menghubungkan Jalan Urip Sumoharjo dengan Kampung Iromejan bagian barat (lihat gambar 3). Kamar-kamar yang berukuran tidak lebih dari 3 x 3 m², tersusun dalam dua pola, yaitu: a) saling berhadapan (face to face), b) saling bertolak belakang (back to back). Pintu setiap kamar langsung berhadapan dengan gang (jaraknya tidak lebih dari 1 m), jendela dibuat dari kaca yang sifatnya transparan atau tembus pandang. Pondokan TAP2 yang dimiliki oleh Ketua RW ini selalu penuh dengan penghuni (mahasiswa S-1), meskipun terletak di tepi jalan/gang yang cukup ramai. Seluruh penghuni adalah mahasiswa, dengan jumlah

Page 24: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

14 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Soeleman Saragih

tidak kurang dari 34 orang. Mereka berasal dari luar Jawa (5 orang) dan yang lainnya dari Jawa.

Hipotesis Kerja Pondokan TAP 1 dan TAP2

Hipotesis kerja awal (kasus pondokan TAP1) pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan pondokan TAP2. Perbedaannya terletak pada komponen seting yang digunakan dalam upaya mendapatkan privasi belajar. Komponen tersebut adalah: pot-pot bunga ditempatkan di depan pintu dan digantungkan di dekat jendela. Dengan demikian hipotesis awal diperbaharui dengan rumusan hipotesis kedua, yaitu: 1) Untuk mendapatkan privasi belajar di dalam

pondokan ada tiga cara atau upaya, yaitu: a) penghalang visual dan suara (fisikal), b) penghindaran dari pandangan atau visual (behavioral), c) penjauhan jarak (spasial).

2) Krei yang dipasang di jendela dan pintu, merupakan upaya penghalang visual (kategori fisikal).

3) Belajar di tempat teman atau di luar pondokan, merupakan upaya penarikan jarak (kategori spasial).

4) Penempatan pot bunga dan tanaman di samping jendela dan teras dekat pintu masuk (fisikal), merupakan upaya penghindar, agar orang lalu-lalang tidak mendekati jendela dan pintu kamar.

Hipotesis kerja di atas akan diperiksa kembali melalui rekaman data kasus pondokan TAP3 s.d. TAP6.

3. Gambaran Privasi Mahasiswa di Pondokan TAP3

Pondokan TAP3 yang mempunyai 8 kamar ini terletak di tepi jalan lingkungan yang menghubungkan Jalan Urip Sumoharjo dengan Jalan Kolombo. Kamar-kamar yang berukuran tidak lebih dari 3 x 3 m², tersusun dengan pola linier. Lima kamar masing-masing mempunyai letak pintu yang langsung berhadapan dengan jalan (jaraknya tidak lebih dari 1½ meter). Jendela kamar dibuat dari kayu atau kaca yang sifatnya transparan atau tembus pandang. Pondokan TAP3 ini dimiliki oleh seorang purnawirawan ABRI, selalu penuh dengan penghuni (mahasiswa S-1) meskipun suasana cukup ramai, baik malam maupun siang hari. Seluruh penghuni adalah mahasiswa, dengan jumlah tidak kurang dari 10 orang mahasiswa. Mereka berasal dari luar Jawa (7 orang), sedangkan yang lainnya berasal dari Jawa. Kamar ini dilengkapi listrik dengan daya 25 watt (maksimum) dan tanpa perabot (tempat tidur, lemari dan meja belajar).

Hipotesis Kerja Pondokan TAP 1, TAP2, TAP3

Hipotesis kerja awal (kasus pondokan TAP1 dan TAP2) pada prinsipnya dapat diterima setelah dikonfirmasikan dengan rekaman data, unit informasi yang diperoleh dari kasus pondokan TAP3. setelah diperiksa maka rumusan hipotesis kerja selanjutnya adalah:

1) Untuk mendapatkan privasi belajar di dalam pondokan ada tiga cara atau upaya, yaitu: a) penghalang visual dan suara (fisikal), b) penghindaran dari pandangan atau visual (behavioral), c) penjauhan jarak (spasial).

2) Krei, vinil, kertas yang dipasang di jendela dan pintu, merupakan upaya penghalang visual (kategori fisikal).

3) Belajar di tempat teman atau di luar pondokan, merupakan upaya penarikan jarak dari gangguan visual dan suara (kategori spasial).

4) Penempatan pot bunga dan tanaman di samping jendela dan teras dekat pintu masuk merupakan upaya agar orang lalu-lalang tidak mendekati jendela dan pintu kamar (kategori fisikal).

5) Penurunan elevasi tempat tidur (ranjang) merupakan upaya mengatasi gangguan pandangan (visual) melalui jendela kaca.

Hipotesis kerja di atas telah diperiksa kembali melalui rekaman data kasus pondokan lainnya (TAP4 s.d. TAP6). 4. Gambaran Privasi Mahasiswa di Pondokan TAP4

Pondokan TAP4 yang mempunyai 14 kamar ini terletak di tepi jalan lingkungan yang menghubungkan Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Kolombo (lihat gambar 3). Kamar-kamar yang berukuran tidak leih dari 3 x 3 m² tersusun dengan pola linier. Pintu dari lima kamar langsung berhadapan dengan jalan lingkungan (jaraknya tidak lebih dari 2 m). Jendela dibuat dari kayu dan kaca yang sifatnya tembus pandang atau transparan. Pondokan TAP4 yang dimiliki oleh pegawai negeri ini selalu penuh dengan penghuni (mahasiswa S-1), meskipun terletak di daerah yang ramai dan di tepi jalan. Seluruh penghuni pondokan adalah putra, jumlahnya tidak kurang dari 14 orang mahasiswa. Mereka berasal dari luar Jawa (7 orang) dan selebihnya berasal dari Jawa. Kamar yang disewakan dengan harga sebesar Rp. 100.000,- s.d. Rp. 200.000,- per kamar/bulan ini dilengkapi listrik dengan daya (maksimum) 40 watt, perabot (1 meja belajar dan 1 tempat tidur).

Hipotesis Kerja Pondokan TAP 1 s.d. TAP4

Hipotesis kerja sebelumnya (kasus pondokan TAP1, TAP2, TAP3) pada prinsipnya dapat diterima setelah dikonfirmasikan dengan rekaman data, unit informasi yang diperoleh dari kasus pondokan TAP4. Karenanya, maka rumusan hipotesis kerja selanjutnya adalah: 1) Untuk mendapatkan privasi belajar di dalam

pondokan ada tiga cara atau upaya, yaitu: a) penghalang visual dan suara (fisikal), b) penghindaran dari pandangan atau visual (behavioral), c) penjauhan jarak (spasial).

2) Krei, viniyl, kertas yang dipasang di jendela dan pintu, merupakan upaya penghalang visual (kategori fisikal).

3) Belajar di tempat teman atau di luar pondokan, merupakan upaya penarikan jarak dari gangguan

Page 25: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 15

visual dan suara (kategori spasial). 4) Penempatan pot bunga dan tanaman di samping

jendela dan teras dekat pintu masuk (fisikal), merupakan upaya penghindar, agar orang lalu-lalang tidak mendekati jendela dan pintu kamar.

5) Penurunan elevasi tempat tidur (ranjang) merupakan upaya mengatasi gangguan pandangan (visual) melalui jendela kaca.

Hipotesis kerja di atas telah diperiksa kembali melalui rekaman data kasus pondokan lainnya (TAP5 s.d. TAP6). Berdasarkan hasil pemeriksaan hipotesis kerja di TAP1 s.d. TAP6, variasi upaya pencapaian privasi mahasiswa dapat disederhanakan dalam bentuk model berikut (perhatikan Gambar 8)

Gambar 6. Denah Pondokan TAP4

(Sumber: Saragih, 1994).

Gambar 7. Tampak Depan TAP 4

(Sumber: Saragih, 1994).

4.2. Pembahasan Hasil Penelitian

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana dan mengapa privasi mahasiswa di pondokan TAP 1 s.d. TAP 6 di Iromejan dan Samirono. Meskipun secara keseluruhan kampung Iromejan dan Samirono mempunyai situasi dan kondisi (padat huni, padat bangunan, padat lalu lintas, berada di pusat kota), mahasiswa yang tinggal di pondokan TAP1 s.d. TAP6 relatif mampu mengontrol interaksinya dan mampu menggunakan pilihan-pilihan untuk mencapai privasinya. Bagi mahasiswa baru yang tinggal di pondokan ini, memang pada awalnya mengalami stres, tetapi kemudian mereka mampu menyesuaikan diri. Mereka tidak pindah ke pondokan lain di luar Kampung Iromejan dan Samirono, meskipun kondisi TAP1 s.d. TAP6 memiliki kondisi bermasalah menyangkut: kepadatan lalu-lintas yang tinggi, kondisi ruang publik relatif padat dan kumuh. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa masih mampu secara personal menyesuaikan diri dengan kondisi kampung sebagaimana adanya. Indikasi lain bahwa privasi bukanlah satu-satunya pertimbangan mengapa mereka bertempat tinggal di TAP di Iromejan. Pemilihan TAP di Iromejan, kemungkinan, karena dekat kampus dan fasilitas umum (belanja). Meskipun demikian, tempat atau pondokan ikut mempengaruhi perilaku mahasiswa. Karenanya privasi (kenyamanan visual dan audio) harus mendapat perhatian dalam perbaikan kampung oleh Pemerintah dan warga kampung setempat khususnya pemilik TAP atau pondokan sejenis.

Walaupun konfigurasi kamar-kamar pada beberapa pondokan berpola saling berhadapan (face to face), kamar berukuran hanya 3 x 3 m

2 untuk dua orang,

jendela dari panel kaca transparan, dekat dengan jalan kampung, mahasiswa masih mampu mengendalikan interaksi dengan menggunakan pilihan-pilihan untuk mencapai privasi yang diinginkan tanpa melakukan perubahan fisik komponen kamar (perhatikan hipotesis kerja TAP 1 s.d. TAP6). Mereka menyadari statusnya sebagai penyewa, namun mereka dimungkinkan menata kamarnya dengan komponen bersifat non-fix (misal; memasang krei, karpet, vinyl, tanaman pot) yang dapat membantu pencapaian tingkat keterbukaan atau ketertutupan kamar yang diinginkannya.

Dalam situasi tertentu (mahasiswa mengalami kesulitan penyesuaian diri terhadap kondisi TAP 1 s.d. TAP 6), mahasiswa masih mampu melakukan pilihan- lain untuk mencapai privasinya. Contoh, jika mereka tidak dapat belajar di pondokannya, mereka dapat memilih kampus terdekat sebagai tempat belajar. Upaya semacam ini dapat dilakukan dengan mudah sebab Iromejan berada dalam radius hanya ± 500 m dari kampus perguruan tinggi /fasilitas belajar.

Page 26: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

16 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Soeleman Saragih

Model upaya pencapaian privasi mahasiswa di TAP1 s.d. TAP6 (perhatikan Gambar 8) pada dasarnya mempunyai persamaan dengan model mekanisme pencapaian privasi (Altman, 1975). Perbedaanya terletak pada: konsep personal space, territory, dan verbal behavior. Konsep barat, perilaku dilakukan dengan cara mengatakan (verbal), sedangkan orang timur, perilaku dilakukan dengan menunjukkan ekspresi, wajah atau gerakan tubuh, termasuk menghindar atau menarik jarak dari sumber gangguan. Gejala ini disebabkan oleh perbedaan budaya, contoh orang timur masih memilki sifat “pakewoh”.

Berdasarkan kajian manfaat hasil penelitian, pengembangan pondokan TAP1 s.d. Pondokan TAP6, tidak hanya menguntungkan para mahasiswa, namun juga dapat menambah pendapatan warga kampung khususnya pemilik pondokan. Tambahan lagi, manfaat yang lebih baik akan dirasakan oleh semua pihak jika perencanaan dan perancangan pondokan melibatkan pemerintah setempat yang berkompoten.

5. Kesimpulan

Upaya mahasiswa mencapai privasi yang diinginkan di TAP1 s.d. TAP6 di kampung kota (Iromejan dan Samirono) cukup bervariasi. Tiga kategori upaya yang fenomenal yaitu: penghindaran (behavioral), penghalang (physical) dan penjauhan

jarak terhadap faktor gangguan (spasial). Ketiga upaya yang fenomenal ini perlu diketahui dan dipahami. Tidak hanya diketahui, tetapi disarankan agar privasi diperhatikan dalam perencanaan dan perancangan atau perbaikan pondokan Tipe Asrama Perorangan (TAP), sebagai bagian dari kehidupan kampus, termasuk perencanaan dan perbaikan kampung kota sebagai bagian dari kota Yogyakarta.

Referensi 1) Altman, Irwin, 1975, The Environment and Social Behavior, hal.:

5-7, Monterey, California.

2) BAPPEDA Dati I DIY, 1987, Penelitian Pemondokan di

Yogyakarta, Yogyakarta.

3) Holahan, C.J., 1982, Environmental Psychology, Random House,

New York.

4) Rapoport, Amos, 1987, (Dalam : Lang, J., Creating Architecture

Theory), VNR, New York.

5) Sarwono, W.S., 1992, Psikologi Lingkungan, PT. Gramedia

Widiasarana Indonesia, Jakarta.

6) Soeleman, 1994, Privasi Mahasiswa di Pondokan Tipe Asrama

Perorangan di Yogyakarta. Thesis S-2 UGM

7) Susilo, 1988, Perilaku Manusia Pada Penghunian Asrama dengan

Kasus Asrama Kampus LIPPI, Thesis S-2 ITB, Bandung.

8) Weisman, 1981, Modeling Environment Behavioral System,

Pennsylvania, USA.

9) Yvonna, Lincoln, and Guba, G., 1985, Naturalistic Inquiry,

Beverley Hills, California.

Pi = Privasi yang diinginkan.

Pc = Privasi yang dicapai.

Gambar 8. Model Upaya Pencapaian Privasi Mahasiswa (Studi Kasus TAP1 sd. TAP6) di Kampung Iromejan dan Samirono.

(Sumber: Saragih, 1994).

Page 27: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 17

Prospek dan Permasalahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau sebagai Pengurangan

Dampak dan Adaptasi Terhadap Pemanasan Lokal

Farida Khuril Maula

Asisten Peneliti Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota (KK-PPK)

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung

Abstract

The physical development activities tend to affect the existence of urban green spaces in cities. Urban green spaces are essential to address micro-climate issues. Although Bandung City was famous as a garden city in the past, maintaining an adequate extent of green space as mitigation and adaptation measure for

lokal warming has become difficult due to the rapid rate of land use changes for various urban purposes. A survey conducted with a stratified random sample of residents revealed that majority of them considered improving micro-climatic conditions as the main function of green space at the city level but not at the individual premises level. The local authority’s recognition of green space only as a public amenity is a barrier in ensuring a hierarchy of green spaces. It was also revealed that the city authority is not effective in implementing command and control measures to ensure adequate green spaces at sub-city level. The

problems of green space in the city is related with the poor distribution and maintaining of green space, ineffective implementation of the regulation, budget and land limitation for the development. In order to maximize the potentials and minimize the problems of green space improvement, some solution to create better environmental management measures of urban green space has been proposed. These involve three main points which are public private partnership, improving the citizens participation and law enforcement.

Keyword: Green spaces, environmental management measures, lokal warming, mitigation, adaptation

1. Latar Belakang Pada tahap awal perkembangan suatu kota,

sebagian besar dari lahan perkotaan masih berupa ruang terbuka. Namun, karena tingginya kebutuhan akan lahan untuk mengakomodasi penduduk dengan berbagai kegiatannya akhirnya ruang terbuka tersebut berubah menjadi ruang terbangun. Banyak Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan perkotaan yang telah berubah menjadi guna lahan lainnya yang lebih banyak memberikan keuntungan bagi penduduk. Tekanan terhadap penambahan ruang untuk permukiman dan aktivitas bisnis di kawasan perkotaan telah menyebabkan RTH yang ada menjadi lahan yang berpotensi untuk dijadikan lahan terbangun. Oleh karena itu, banyak RTH di kawasan perkotaan berubah fungsi menjadi kawasan permukiman, industri, atau perdagangan. Hal ini menyebabkan semakin berkurangnya RTH di kawasan perkotaan.

Kurangnya RTH di kawasan perkotaan menyebabkan munculnya berbagai masalah, terutama

yang berkaitan dengan masalah lingkungan. Semakin sedikitinya RTH berarti semakin sedikit pula kawasan yang berfungsi untuk menyerap panas yang dikeluarkan oleh struktur perkotaan dan Karbondioksida (CO2) yang menyebabkan bertambahnya suhu perkotaan. Selain itu, RTH juga berfungsi untuk menyaring polusi suara dan menyerap polusi udara yang dihasilkan oleh aktivitas industri dan kendaraan bermotor. RTH juga dapat mencegah banjir di kawasan perkotaan, karena lapisan serapan airnya secara perlahan akan mengurangi limpasan air (Heidt, 2008). RTH juga dapat berguna bagi penduduk sebagai bentuk adaptasi terhadap pemanasan di kawasan perkotaan. Pengembangan RTH berpotensi untuk mengurangi dampak nyata dari urbanisasi kawasan perkotaan secara berkelanjutan dengan mengkombinasikan manfaat sosial, ekonomi, lingkungan dan lainnya, dan juga membuat kota sebagai tempat yang menarik untuk ditinggali.

Tulisan ini mendiskusikan prospek dan permasalahan yang dihadapi Kota Bandung dalam mengembangkan RTH sebagai salah satu cara untuk mitigasi dan adaptasi terhadap pemanasan lokal. Prospek dan permasalahan tersebut dilihat dari dua sisi yaitu masyarakat dan kesiapan institusi beserta aturannya.

Kontak: Farida Khuril Maula

Asisten Peneliti Kelompok Keahlian Perencanaan dan

Perancangan Kota (KK-PPK), Sekolah Arsitektur,

Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB

E-mail: [email protected]

(Diterima 23 Agustus 2010 dan disetujui untuk diterbitkan

23 Oktober 2010)

Page 28: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

18 JAP Vol.4 No.2 Okt.2010 Farida Khuril Maula

2. Pemanasan Lokal Dampak dari pemasan lokal di kawasan perkotaan

semakin terlihat nyata dari waktu ke waktu. Salah satu persoalan penting dalam menghadapinya adalah bagaimana cara menyikapi pemanasan lokal dan dampaknya baik untuk saat ini maupun di masa yang akan datang. Pada tingkat kota, fenomena pemanasan lokal terjadi karena efek Urban Heat Island (UHI). UHI efek adalah suatu fenomena dimana suhu di kawasan perkotaan yang padat terbangun lebih tinggi daripada di kawasan sub-urban atau perdesaan (Yu, 2005). UHI efek terjadi karena banyaknya panas yang dipancarkan dari struktur perkotaan karena struktur tersebut mengkonsumsi dan memancarkan radiasi solar. Suhu yang lebih panas di kawasan perkotaan menyebabkan kondisi yang kurang nyaman bagi penduduk. Hal ini secara tidak langsung akan meningkatkan penggunaan pendingin ruangan, sehingga meningkatkan konsumsi energi yang pada akhirnya akan memancarkan gas rumah kaca ke atmosfer (Solecki, dkk., 2004).

Jusuf (2007) dalam penelitiannya mengenai pengaruh dari guna lahan terhadap UHI di Singapura, menyatakan bahwa penggunaan lahan di kawasan perkotaan akan mempengaruhi suhu permukaan. Dari hasil penelitiannya terbukti bahwa di siang hari, kawasan industri memiliki suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan kawasan bisnis dan perdagangan. Untuk kawasan hijau terbukti memiliki suhu permukaan yang paling rendah. Sedangkan pada malam hari, kawasan bisnis dan perdagangan menghasilkan suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan industri. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya panas yang tersimpan dalam struktur perkotaan yang sedikit demi sedikit dikeluarkan ke lingkungan sekitarnya.

Efek UHI di kawasan perkotaan tidak hanya berasal dari panas yang dipancarkan dari sekumpulan orang, namun juga berasal dari bangunan-bangunan yang telah memecah angin dan menghalangi pola pencahayaan dan bayangan dalam suatu kawasan. Sinar matahari diserap dan dipancarkan dari permukaan gedung. Lapisan gedung yang berwarna putih mempunyai nilai lapisan albedo yang tinggi, sedangkan permukaan yang berwarna hitam memiliki lapisan albedo yang rendah. Pada dasarnya, warna dari material bangunan yang lebih terang secara tidak langsung dapat menurunkan suhu perkotaan (Moore, 2006). Selain dari bentuk struktur bangunan, kendaraan juga memancarkan panas. Hasil dari pembakaran bahan bakar dalam mesin kendaraan menghasilkan panas yang dikeluarkan ke atmosfer. Akibatnya, suhu udara di jalan raya semakin tinggi. Berdasarkan penjelasan di atas, efek UHI mempengaruhi kondisi suhu di kawasan perkotaan dengan meningkatkan suhu udara dan menyebabkan pemanasan lokal di kawasan perkotaan.

3. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan komponen

penting dari suatu kawasan perkotaan. (Levent, 2004) mendefinisikan RTH sebagai ruang terbuka baik publik maupun privat yang permukaannya ditutupi oleh vegetasi, baik secara langsung atau tidak langsung tersedia bagi pengguna. Definisi yang sama juga tertulis dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007, RTH Kawasan Perkotaan merupakan bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Berdasarkan jumlah dan distribusinya di suatu kawasan perkotaan, RTH dapat menjadi penentu struktur dan identitas kota melalui fungsi sosial dan estetikanya, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup dari penduduknya. Kombinasi dari RTH dan rencana tata ruang yang tertata dan terawat dengan baik akan meningkatkan fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari suatu kota (Chiesura, 2004).

Dari masa ke masa, RTH di kawasan perkotaan mengalami pergeseran fungsi. Pada sekitar abad 15, RTH dibangun sebagai simbol kekuasaan dan kemewahan keluarga kerajaan. Pada masa ini, RTH biasanya berbentuk persegi dan berfungsi sebagai tempat pertemuan untuk mengadakan pesta yang mampu menampung ribuan orang. Pada era modern (sekitar tahun 1700-1837), di negara Inggris RTH diadaptasi menjadi ruang terbuka informal yang memiliki lansekap alami. Di kawasan perkotaan, ruang terbuka tersebut ditutupi oleh lapisan batu bata dan patung, serta ditanami pepohonan untuk membuatnya terlihat alami.

Selama 100 tahun terakhir, RTH mengalami perubahan konsep yang cukup drastis. Tingginya tingkat urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan munculnya masalah lingkungan di kawasan perkotaan. Oleh karenanya, Ebenezer Howard (1902) berangan-angan untuk menciptakan suatu kawasan perkotaan yang menawarkan berbagai kesempatan sosial dan ekonomi namun memiliki suasana alami dan sejuk seperti kawasan perdesaan. Sedangkan, dalam konteks pembangunan kota berkelanjutan, peran dari RTH seperti yang diidentifikasikan oleh Chiesura (2004). Dari hasil studinya, diperoleh bahwa RTH memiliki fungsi sosial dan psikologi yang dibutuhkan untuk penduduk, sehingga RTH merupakan sumber daya penting dari suatu kawasan perkotaan dan merupakan kunci utama untuk mencapai kota berkelanjutan.

Paradigma terbaru dari RTH adalah dalam kaitannya dengan peran RTH terhadap fenomena perubahan cuaca. Dalam konteks perubahan cuaca, RTH merupakan salah satu cara mitigasi yang dapat mengurangi dampak dari perubahan cuaca dengan mengurangi suhu di kawasan perkotaan. Keberadaan pepohonan dan ruang terbuka telah berkontribusi terhadap penghematan energi di gedung dan juga

Page 29: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 19

meningkatkan kondisi iklim mikro di kawasan perkotaan. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk pemanasan dan pendinginan di dalam gedung dapat dikurangi dengan penempatan yang tepat dari pepohonan di sekitar bangunan.

4. Kondisi RTH di Kota Bandung

Dalam kurun waktu 20 tahun, jumlah RTH di Kota Bandung dalam bentuk taman telah berkurang secara perlahan. Tingginya permintaan terhadap perumahan beserta infrastruktur dan fasilitas pendukungnya dianggap sebagai salah satu penyebabnya. Banyak RTH dalam bentuk ladang dan perkebunan telah berubah menjadi kawasan terbangun seperti kawasan perkantoran, pusat perbelanjaan dan perumahan.

RTH di Kota Bandung tersebar secara tidak merata di enam Wilayah Pengembangan (WP). Sebagian besar dari RTH terletak di bagian utara Kota Bandung yaitu WP Cibeunying. Sementara itu, untuk bagian selatan, hanya terdapat sedikit RTH. Perbedaan distribusi RTH di setiap wilayah Kota Bandung terjadi karena perbedaan peruntukkan guna lahan di kedua wilayah tersebut. Di bagian utara, sebagian besar guna lahan diperuntukkan sebagai kawasan wisata dan jasa, sehingga banyak RTH yang tetap dilestarikan sebagai daya tarik. Sementara itu, di bagian selatan, sebagian besar guna lahannya didominasi oleh industri dan permukiman. Buruknya distribusi RTH ini akan mempengaruhi kualitas lingkungan dan kualitas hidup dari penduduk Kota Bandung itu sendiri.

Permasalahan lain yang terkait dengan RTH di Kota Bandung adalah anggapan bahwa RTH hanyalah fasilitas publik yang tidak terlalu penting dibandingkan dengan fasilitas lainnya yang mungkin akan dibangun di atasnya. Padahal, RTH seperti taman kota, hutan kota, jalur hijau dan kebun memiliki fungsi yang sangat penting dibandingkan dengan fungsi ekonomi. Fungsi penting tersebut diantaranya sebagai penyaring udara dan kawasan serapan air. Minimnya RTH di Kota Bandung mungkin juga disebabkan oleh pembangunan yang tidak terkendali dalam beberapa tahun terakhir. Tingginya pertumbuhan penduduk memberikan desakan terhadap permintaan lahan permukiman dan fasilitas pendukungnya.

5. Tindakan Pengelolaan Lingkungan untuk

Peningkatan Fungsi RTH Tindakan pengelolaan lingkungan dalam

peningkatan fungsi RTH merupakan sekumpulan perangkat kebijakan, peraturan, perencanaan, ekonomi dan ajakan. Perangkat tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan RTH yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan. Selain itu, perangkat tersebut juga berguna untuk memperkirakan dampak yang terjadi dari keberadaan dan ketidakberadaan RTH.

Perangkat kebijakan yang terkait dengan pengembangan RTH adalah kebijakan yang tertuang

dalam Go Green Program yang berada di bawah tanggung jawab Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Bandung. Program Go Green bertujuan untuk mengurangi polusi udara di Kota Bandung melalui program penghijauan. Program penghijauan ini terdiri dari banyak program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH kota.

Perangkat peraturan mencakup semua aturan baik di tingkat nasional maupun daerah yang mengatur mengenai penyediaan dan pengelolaan RTH. Peraturan yang terkait dengan RTH mencakup Undang-undang No. 26 Tahun 2007, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008, dan aturan mengenai izin mendirikan bangunan. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 mengatur mengenai jumlah minimal dari RTH publik dan privat yang harus ada di kawasan perkotaan. Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa suatu kawasan perkotaan harus memilki 30% RTH yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain itu, dalam Undang-undang Ini juga diatur mengenai distribusi RTH yang harus disesuaikan dengan distribusi penduduk dan tingkat pelayanannya, tanpa mengubah rencana pola dan struktur ruang.

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008, RTH didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Peraturan ini merupakan penjabaran dari Undang-undang No. 26 Tahun 2007. Dalam peraturan ini diatur mengenai penyediaan dan penggunaan RTH secara lebih mendetail. Hal-hal yang terkait dengan RTH yang diatur dalam aturan ini adalah jenis-jenis RTH, penyediaan RTH berdasarkan luas total kota, jumlah penduduk, dan RTH khusus, penentuan jenis tanaman dalam RTH, penggunaan RTH pada berbagai tingkat, dan prosedur perencanaan dan peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH.

Setiap pembangunan baru di kawasan perkotaan memerlukan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sebelum melakukan pembangunan. IMB ini hanya akan dikeluarkan untuk pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota. Dalam IMB ini diatur mengenai Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang ditentukan berdasarkan lokasi dan kondisi lahan. KDB tersebut akan menentukan persentase lahan yang dapat dibangun dan tidak dapat dibangun. Jika rencana pembangunan baru yang ada tidak mengikuti aturan KDB maka IMB tidak akan dikeluarkan oleh Dinas Tata Kota Bandung.

Penentuan RTH yang lebih detail lagi dibahas melalui perangkat rencana. Setiap kota di Indonesia harus memiliki dua dokumen dasar perencanaan yaitu rencana pembangunan dan rencana tata ruang. Rencana pembangunan terdiri dari rencana jangka pendek, menengah dan panjang. Dalam dokumen

Page 30: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

20 JAP Vol.4 No.2 Okt.2010 Farida Khuril Maula

rencana pembangunan, aturan RTH hanya membahas mengenai jenis-jenis beserta luas minimal RTH yang harus disediakan oleh pemerintah kota dalam kurun waktu tertentu. Sementara itu, untuk sebaran RTH diatur secara lebih detail dalam rencana tata ruang. Menurut RTRW Kota Bandung Tahun 2010-2030, pola pembangunan RTH yang harus dilakukan adalah dengan: - Meningkatkan jalur hijau di sepanjang jalan sampai

minimal 2% dari total luas kota - Intensifikasi dan ekstensifikasi dari kawasan hijau

sepanjang pinggiran sungai, pinggir jalan dan tepian jalan tol, serta taman kota, dan pemakaman.

- Pada tingkat mikro, pengembangan RTH difokuskan pada pengembangan taman RT/RW, lingkungan dan kota yang berlokasi di kawasan permukiman sesuai dengan standar yang diberikan oleh Kementrian PU. Dari hasil survey wawancara terhadap pemerintah

Kota Badung, tidak ada perangkat ekonomi formal yang mengatur mengenai penyediaan RTH di lahan privat. Namun, pada prakteknya, terdapat perangkat insentif yang dapat dikategorikan sebagai perangkat ekonomi. Perangkat ekonomi ini adalah kerjasama pemerintah dan swasta terutama sektor bisnis. Hal ini dilakukan melalui penyediaan RTH yang diatur oleh pemerintah, namun pengelolaannya diberikan sepenuhnya kepada pihak swasta. Sebagai timbal baliknya, pihak swasta berhak untuk menjadikan RTH tersebut sebagai media publikasi produknya. Pengelolaan RTH semacam ini sedang dikembangkan di beberapa taman publik di Kota Bandung dan telah mampu meningkatkan kualitas RTH yang ada.

6. Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan

RTH di Kota Bandung

Dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH kota, masyarakat memiliki dua peran penting. Peran pertama, masyarakat merupakan penentu yang menentukan keberadaan RTH di lahan pribadinya, dan merawat RTH baik RTH publik maupun privat. Peran kedua, masyarakat juga merupakan pihak yang merasakan dampak positif dan negatif dari keberadaan RTH. Oleh karenanya, persepsi dan sikap masyarakat Kota Bandung akan menentukan bagaimana RTH tersebut dirawat dan dilestarikan.

Dari hasil survey ditemukan bahwa semua responden setuju akan pentingnya RTH bagi suatu kota. Namun, mereka memiliki persepsi yang berbeda terhadap fungsi dari RTH tersebut. Dari enam fungsi penting RTH yang diberikan dalam kuesioner, mereka menilai bahwa fungsi utama dari RTH yang paling penting bagi suatu kota adalah untuk meningkatkan kondisi iklim mikro. Mereka memahami bahwa RTH dapat mengurangi suhu permukaan di kawasan sekitarnya. Fungsi kedua yang paling penting yaitu meningkatkan kualitas lingkungan dengan mengurangi polusi udara dan suara.

Sementara itu, fungsi yang dianggap tidak begitu penting adalah meningkatkan keindahan di lingkungan

sekitarnya. Namun, hal ini sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan alasan responden menyediakan RTH di rumahnya yang sebagian besar mengatakan bahwa mereka menyediakan RTH dengan tujuan untuk meningkatkan keindahan rumah. Sementara itu, untuk responden yang tidak menyediakan RTH di areal rumahnya mengatakan bahwa keterbatasan lahan areal rumah menjadi kendala dalam penyediaannya.

Berdasarkan tingkat pendapatan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang berpenghasilan menengah dan tinggi hampir semuanya mengetahui tentang aturan mengenai RTH di kawasan permukiman. Sedangkan, untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah, sebagian besar dari mereka tidak mengetahui adanya aturan mengenai penyediaan RTH tersebut.

Namun, jenis peraturan yang diketahui oleh masyarakat dapat dikatakan masih dangkal karena mereka hanya tahu bahwa setiap rumah harus menyediakan sebagian lahannya untuk RTH tapi tidak tahu nilai persentase lahan yang harus disediakannya tersebut. Akan tetapi, beberapa diantaranya sudah tahu bahwa 20% dari lahan rumahnya harus dijadikan RTH. Sementara itu, masyarakat lainnya ada yang mengetahui peraturan sebatas penanaman satu pohon setiap orangnya baik itu di areal privat ataupun publik.

Tabel 1. Pengetahuan Responden mengenai Aturan RTH di

Kawasan Perumahan Berdasarkan Tingkat Pendapatan

Pendapatan Per

Bulan

Pengetahuan Responden

Mengenai Aturan RTH di

Kawasan Perumahan Total

Tahu Tidak Tahu

< Rp 1.000.000 12

31.6%

26

68.4%

38

100%

Rp 1.000.000 - Rp

5.000.000

58

66.7%

29

33.3%

87

100%

Rp 5.000.000 - Rp

10.000.000

32

80.0%

8

20.0%

40

100%

Rp 10.000.000 -

Rp 15.000.000

9

69.2%

4

30.8%

13

100%

> Rp 15.000.000 9

90.0%

1

10.0%

10

100%

Total 120

63.8%

68

36.2%

188

100%

Sumber: Maula, 2010

Sekitar 76.1% dari responden setuju bahwa RTH

memberikan lebih banyak dampak positif dibandingkan negatif. Sementara itu, 8% lainnya cenderung tidak setuju. Hal ini dikarenakan mereka menganggap bahwa keberadaan RTH menimbulkan adanya masalah keamanan. RTH taman yang ada di sekitar rumah mereka biasanya dijadikan tempat nongkrong bagi anak muda dan terkadang dijadikan tempat orang bermabuk-mabukan di malam hari. Alasan lain karena adanya RTH yang tidak terawat dianggap merusak keindahan lingkungan.

Mengenai masalah pengelolaan RTH di Kota Bandung, responden menilai bahwa perubahan guna lahan RTH ke fungsi lainnya merupakan masalah utama pengembangan RTH di Kota Bandung. Selain

Page 31: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 21

itu, mereka menilai juga bahwa kurangnya peraturan atau standar yang mengatur mengenai penyediaan RTH dan buruknya implementasi dari aturan tersebut juga merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya.

Selain permasalahan RTH, responden pun ditanyai mengenai solusi yang terbaik untuk penyelesaian masalah tersebut. Mereka menilai bahwa kerjasama antara pihak pemerintah dengan swasta merupakan solusi utama untuk mengatasi buruknya pengelolaan RTH di Kota Bandung. Mereka percaya bahwa ini merupakan solusi efektif untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH di Kota Bandung. Keterbatasan dana yang selalu menjadi kendala bagi pemerintah dalam mengembangkan RTH dapat diselesaikan dengan adanya bentuk kerjasama tersebut. Selain itu, meningkatkan jumlah RTH kota juga dianggap penting untuk diprioritaskan karena banyak RTH yang ada telah berubah menjadi lahan terbangun. Selain itu, solusi lain yang juga dianggap penting oleh responden adalah keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan RTH juga perlu dipertimbangkan. Adanya keterlibatan masyarakat ini dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap RTH yang ada sehingga masyarakat akan mampu merawatnya dengan baik.

Berdasarkan persepsi responden, distribusi RTH di Kota Bandung dapat dikatakan buruk. Lebih dari 50% responden cenderung tidak setuju bahwa RTH di Kota Bandung telah terdistribusi secara merata. Hanya sekitar 2,6% responden yang setuju bahwa RTH sudah terdistribusi secara merata. Sama halnya dengan perawatan RTH, sekitar 50.6% responden cenderung tidak setuju bahwa RTH di Kota Bandung telah terawat dengan baik, dan hanya sekitar 7.5% saja yang menyatakan setuju.

Sementara itu, penilaian responden terhadap efektivitas dari pelaksanaan peraturan yang ada, terbukti bahwa 68,4% responden menyatakan tidak setuju bahwa peraturan yang ada sudah dilaksanakan secara efektif. Sementara hanya sekitar 31,4% yang menyatakan setuju.

Sekitar 30% responden menilai bahwa pemerintah Kota Bandung tidak peduli terhadap pengelolaan RTH. Dan hanya sekitar 10% responden saja yang menilai bahwa pemerintah peduli terhadap pengelolaan RTH. Sisanya sekitar 50% cenderung netral terhadap pernyataan tersebut. Hal ini sejalan dengan persepsi lainnya mengenai sikap pemerintah yang cenderung melestarikan keberadaan RTH daripada mengubahnya menjadi guna lahan lainnya. Sekitar 40% responden menilai tidak setuju dan menganggap bahwa pemerintah lebih memilih untuk mengubah RTH menjadi guna lahan lain yang lebih menguntungkan dibanding melestarikannya. Sementara itu, hanya 26% responden saja yang setuju.

Dalam penyediaan RTH, sebagian besar responden memiliki kemauan yang kuat untuk menyediakan RTH tanpa memperhatikan keterbatasan yang mereka miliki. Baik untuk masyarakat berpenghasilan rendah

maupun tinggi, mereka semua memiliki kemauan yang kuat untuk menyediakan RTH di areal rumahnya. Mereka juga memiliki kemauan yang kuat untuk ikut berpartisipasi terhadap pengelolaan RTH baik di lingkungan rumahnya maupun di tingkat kota. Namun, ketika ditanyakan kemauan mereka untuk membayar pajak lebih untuk pengelolaan RTH, sebagian besar dari responden tidak setuju. Mereka menganggap pemerintah sudah memiliki dana yang cukup untuk mengelola RTH yang ada.

Dari hasil diskusi di atas mengenai pemahaman responden terhadap variabel yang terkait dengan RTH, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di Kota Bandung memiliki pengetahuan yang cukup tentang pentingnya RTH dalam konteks pemanasan lokal. Selain itu, sebagian dari responden juga tahu mengenai adanya standar atau peraturan yang terkait dengan penyediaan RTH.

Sementara itu, responden memiliki persepsi yang buruk terhadap distribusi dan pengelolaan RTH di Kota Bandung. Sebagian besar responden juga cenderung setuju bahwa pelaksanaan dari peraturan yang terkait dengan RTH dapat dikatakan buruk. Hal ini dapat terlihat dari ketidak konsistenan pemerintah dalam melaksanakan aturan tersebut. Bukti mengatakan bahwa pemerintah kota sendirilah yang melanggar aturan tersebut.

Dalam penyediaan dan pengelolaan RTH, sebagian besar responden memiliki sikap yang positif. Mereka memiliki kemauan yang kuat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan perawatan RTH yang berarti mereka bertanggung jawab untuk menjaga RTH tetap bersih dan terawat. Tanpa mempedulikan tingkat pendapatan, hampir semua responden setuju bersedia untuk menyediakan RTH di areal rumahnya. Hal ini dapat menjadi suatu potensi yang perlu diperhatikan oleh pemerintah kota dalam mengembangkan RTH di Kota Bandung.

7. Permasalahan dan Prospek Pengembangan

RTH di Kota Bandung

Dari hasil analisis dan diskusi di atas dapat disimpulkan mengenai permasalahan dan prospek pengembangan RTH di Kota Bandung. Permasalahan yang terkait dengan pengembangan RTH di Kota Bandung secara garis besar yaitu:

- Perubahan guna lahan RTH menjadi kawasan terbangun

- Distribusi RTH yang tidak merata - Perawatan RTH yang buruk - Pelaksanaan peraturan mengenai RTH yang

tidak efektif - Keterbatasan dana yang dimiliki oleh

pemerintah kota Selain permasalahan, Kota Bandung juga memiliki

potensi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan RTH, prospek tersebut adalah:

- Kondisi fisik dari Kota Bandung yang sejuk - Memaksimalkan penggunaan lahan di kawasan

Page 32: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

22 JAP Vol.4 No.2 Okt.2010 Farida Khuril Maula

perkotaan - Kawasan pinggiran kota dilestarikan sebagai

areal sabuk hijau - Aturan yang ada mengenai RTH - Kemauan yang kuat dari masyarakat Kota

Bandung untuk ikut berpartisipasi dalam menyediakan dan merawat RTH

- Lahan privat merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk RTH

Solusi yang dapat diajukan untuk peningkatan pengelolaan lingkungan yang terkait dengan RTH adalah sebagai berikut:

- Mempromosikan secara lebih efektif kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta

- Meningkatkan partisipasi masyarakat - Penyelenggaraan hukum dan aturan yang tegas

8. Kesimpulan Pembangunan fisik di suatu kota cenderung

menyebabkan minimnya keberadaan RTH, karena biasanya pembangunan yang ada telah mengubah RTH menjadi kawasan terbangun. RTH merupakan elemen perkotaan yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di perkotaan, terutama dalam kaitannya dengan kondisi iklim mikro. Dalam konteks ini, RTH yang ada harus mampu mengurangi CO2 dan polusi udara. Di Kota Bandung, pengembangan RTH dalam konteks mitigasi dan adaptasi terhadap pemanasan lokal mengalami banyak kendala.

Pemerintah Kota Bandung memiliki seperangkat Tindakan Pengelolaan Lingkungan dalam bentuk aturan, rencana, kebijakan, dan lain-lain namun pelaksanaan dari tindakan tersebut masih dikatakan buruk. Banyak pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan rencana tata ruang yang mengancam keberadaan RTH.

Berdasarkan analisis dari hasil survey kuesioner terhadap 188 penduduk di Kota Bandung, dapat disimpulkan bahwa responden memiliki sikap yang positif terhadap penyediaan RTH. Mereka memahami pentingnya RTH dalam konteks pemanasan lokal meskipun hal ini bukan menjadi alasan utama dalam penyediaan RTH di areal rumahnya. Selain itu, responden juga memiliki kemauan yang kuat untuk berpartisipasi baik dalam penyediaan maupun perawatan RTH.

Referensi 1) Suparman, A., Haryana, Ronald, A. (2005) Arahan Rancangan tata

Massa pada Pemanfaatan Ruang Pemunduran akibat Laju

Perkembangan Bangunan. Jurnal Arsitektur dan Perencanaan, Vol.

2, No. 1, 1-15

2) Yu, Chen., Wong Nyuk Hien. (2005) Study Of Green Areas And

Urban Heat Island In A Tropical City. Habitat International 29,

547–558

3) Solecki, William D., Cynthia Rosenzweig, Lily Parshall, Greg

Pope, Maria Clark, Jennifer Cox, Mary Wiencke. (2005)

Mitigation of the heat island effect in urban New Jersey.

Environmental Hazards 6, 39–49

4) Jusuf, Steve Kardinal., N.H. Wong, Emlyn Hagen, Roni Anggoro,

Yan Hong. (2007) The Influence Of Land Use On The Urban Heat

Island In Singapore. Habitat International 31, 232–242

5) Moore, Peter D. (2006) Agricultural and Urban Areas. Chelsea

House Publications

6) Levent, Tüzin Baycan. (2004) Multidimensional Evaluation of

Urban Green Spaces: A Comparative Study on European Cities

7) Chiesura, Anna. (2004) The role of urban parks for the sustainable

city. Landscape and Urban Planning, 68, 129–138

Page 33: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 23

Factors Influencing Energy Consumption at Household Level Related to Urban Residential

Density in a Developing City

Nurrohman Wijaya

Research Assistant of Urban Planning and Design Research Group (KK-PPK)

School of Architecture, Planning, and Policy Development (SAPPK) Bandung Institute of Technology

Abstract

Rapid urbanization growth with intensive energy consumption is the main driving force in developing

cities that leads to greenhouse gas emission (GHG) into the atmosphere. Indirectly, life style and consumption pattern of urban people can also influence the impact. This study attempts to appraise the factors influencing energy consumption at household level related to urban form by looking residential density in Bandung City, Indonesia. A household survey was conducted at high and low residential density areas. The study is limited on human activities in the household context, such as transport, cooking and electricity usage purposes. Energy conversion factors are applied to get the amount of energy consumption

and statistical analysis is used to find the significant influencing factors to amount of energy use. It can be found that in low residential density areas, energy for electricity purpose has given high contribution to total of energy use. On the other hand, in high density residential area, energy for cooking purpose has given higher contribution than energy for electricity purpose. In general, the key influencing factors are individual, public transport, housing, and energy use behavior factors.

Keywords: developing city, energy consumption, influencing factors, residential density, statistical analysis

1. Introduction Urban area has a considerable input on regional

climate change since their intensive material and energy use accompanied by population growth, anthropogenic greenhouse gas (GHG) emissions, and the physical development by altering native plants with structural materials (Golden, 2003). It is estimated that about more than half of population will live in urban areas in 2030 (United Nations, 2002). Urbanization linked with the rapid expansion in urban center area is one of the most significant demographic trends in developing countries. Although urban area can be seen as one of the most serious problems causing in climate change, but it can also be an input for solution by providing the basic need of services and giving high standards quality of live for citizens (Satterthwaite, 2009). The tremendous growth with limited attention to climate change impact has potentially been able to create severe adverse impacts on environment, social and economic development in the foreseeable future. It is mainly resulted from human activities and closely related to energy consumption. Development of the economy and

human society increase the need for energy consumption. Dodman (2009) mentioned that it is necessary to understand on climate change mitigation and adaptation at the urban scale due to local authorities has potential to apply the measures effectively. Therefore, it is relevant to study on assessing energy use at the local level in urban area. This study attempts to appraise the factors influencing energy consumption at household level related to urban form by looking residential density in Bandung City, Indonesia.

2. Urbanization and Energy Consumption

The land use of urban areas in Indonesia has dominated by residential areas, including public and private housing estate and settlements. The growing of residential accompanied by behavior pattern of citizens in metropolitan region has been increasing and vast contribution to increase energy use. The effect of energy consumption in developing countries that can generate carbon emissions becomes serious issues not only in environmental and socio-economic, but also human well-being, including in major cities in Indonesia. The main major sector contributing energy use in Indonesia is from residential sector. Based on WRI (2005) in Indonesia, residential sectors would lead into largest energy consumers in terms of the quantity of energy consumed which is about 56.1%, and followed by industry and transportation sector (19.8% and 19.7%).

Kontak: Nurrohman Wijaya

Research Assistant of Urban Planning and Design Research

Group (KK-PPK) School of Architecture, Planning, and

Policy Development (SAPPK) ITB

E-mail: [email protected]

(Diterima 12 Agustus 2010 dan disetujui untuk diterbitkan

21 Oktober 2010)

Page 34: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

24 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Nurrohman Wijaya

Urban area can be noticed in two notions. Firstly, urban area can persuade sustainable development since it is as center of economic growth that gives space for employment, technology, knowledge, innovation, basic services and infrastructures (Satterthwaite, 2009). The compactness concept has conveyed to employ natural resources effectively and apply urban infrastructural development efficiently. Secondly, urban area can bring problems to socio-economic and environment conditions since it is as central place of high living standards of concentrated people with large amounts of material goods consumption, limited natural resources exploitation, including energy resources, and large volumes of GHG emissions. Kessler, et al. (2009) stated that the most unfavorable impacts of climate change are likely to be in urban areas where people, infrastructure, and resources are concentrated. For that reason, urban sustainable development needs to be concerned for major cities in developing countries to face the challenge of climate change issues, especially related to energy use.

In term of climate change, cities are debatably one of the most important places with their higher of economic activities, population concentration, energy use and material consumption, and also giving the prospect to replicable resolution and activate novel. In general, cities represent three matters regarding to climate change issues. Firstly, cities can contribute to global climate change with a high level of energy use. Secondly, cities are also vulnerable to diverse local symptoms of climate change impacts with human-made infrastructure concentration and a high population density. Thirdly, rapid urbanization in urban areas is a particular apprehension because of assets and people concentrates and generally growth of regional and global vulnerability to climate change impacts (IPCC, 2007).

Prasad, et al. (2009) stated that the most unfavorable impacts of climate change are likely to be in urban areas where people, infrastructure, and resources are concentrated. In contrast, cities can also be an input for solution by providing the basic need of services and giving high standards quality of live for urban people, and also it can be seen as having huge potential to climate change impacts in building resilience (Satterthwaite, 2009). Hardoy, et al. (2001) mentioned that low-income groups usually generate much lower levels of fossil fuels use per person than middle and high income groups. They may need space for heating parts and use coal or biomass fuels in efficient fires or stoves. The migrant movement to suburban of metropolitan area is due to the high price of land and the lack of public policies in the center of the city. Real estate investments are growing most significantly in suburban area. On the other hand, Satterthwaite (2009) emphasized that driver of growing GHG emissions in a city is not caused by the growth in populations and urbanization but because of

increasing the number of consumers in their level of consumption. In addition, he mentioned that possible driver in residential buildings is the growth of fossil fuels use and/or electricity use for space cooling and/or heating, lighting and home appliances.

3. Factors Contributing Energy Consumption

There are some factors contributing energy use in urban residential sector from literatures (see Table 1), such as home energy usage, vehicle use, household and housing characteristics, transport behaviors, and individual factors. These factors can be divided into direct and indirect factors. Fong, et al. (2007a) stated that there are direct lifestyle aspects, which are particularly the usage of energy consuming equipment, and indirect lifestyle aspects such as family patterns, employment, gender, age and city size influencing energy consumption in Japan. In addition, these factors are indeed crucial as they are the main constituents of society and this study (Fong, 2007a) is to investigate the impacts of the indirect lifestyle factors (in terms of family patterns, occupation, age and city size) and climatic factors under different climate zones of Japan.

Table 1. Factors Influencing Energy Use in Urban

Residential Sector

Factors Source

Direct factors Dodman, 2009; Ewing &

Rong, 2008; Fong, et al.,

2007a; Fong, et al., 2007b;

Haas, 1997; Saidur, 2007;

Seo, 2001; Takuma et al.,

2006; Wei et al., 2006

- Home energy usage

- Vehicle use

Indirect factors

- Household characteristics

- Housing characteristics

- Transport behaviors

- Technological

- Individual factors

- Policy

- Climate factors Source: Developed from various literatures

Furthermore, Ewing & Rong (2008) explained that

residential energy use has linked with housing consumption that depends on such household characteristics (income, number of members, and ethnic background), house type, house size, and urban temperature.

4. Methodology

Preliminary data collections including primary and secondary data, as well as literature review have been employed. The next step is to refine and adjust tentative selected study areas when starting field work to finalize them as designated area of study in research methodology. After that, the step is to determine the factors contributing to energy use in urban residential sector by doing primary research. Then, literature reviews are conducted to find a set of tentative influencing factors to contribute energy use. The factors of urban residential sector used in this study are from home electricity use, cooking and private

Page 35: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 25

vehicle use at household level. Quantification of energy use from urban residential sector is by using conversion factor calculation according to IPCC (2007). This study quantified amount of energy use connected with urban residential density. Energy use portrayed corresponds to the total amount of fuel and electrical energy required for cooking, transport and home appliances used purposes, measured in mega joules (MJ). To determine which factors hypothesized from literatures review and previous studies, statistical analysis is utilized for this study.

Bandung City in Indonesia is appropriate for the case study area as a developing city that experiencing in urban sprawling and rapid urbanization for past two decades. Urban housing development in Bandung City has been undergoing with inconceivable speed during the 1970-1980 period. Urban expansion of Bandung City can be distinguished from the residential area development that is growing up from the inner city to periphery or suburban area by following concentric pattern and leads to the unplanned urban sprawl development. Housing estate and new development of residential areas are coming up in the suburban area due to the available land. The residential development in inner city is not much bigger than in suburban areas. It makes the quality of urban environment is getting deteriorated.

High residential density areas

Low residential density areas

Figure 1. Location of Study Areas in Low and

High Residential Density Areas

(Source: Wijaya, 2010)

The commonly features of urban residential area in developing cities, especially in Indonesia, can be divided to be three types of urban residential area, which are low density area, medium density area and high density area. This study only compares energy consumption between low density area and high density area. The meaning of high residential area is limited by mostly that happened in developing cities, which area slums or squatter housing area, excluding high rise building. In addition, low density urban

residential area is usually developed by developer or private property sector. In this area, they build adequate facilities, such as green space, sport, education and commercial area. In this study, the definition of low density residential area is based on gross residential density area that is less than 500 dwelling units per square kilometers area. The residential plot form is generally regular or orderly arranged and cluster planning. The type of this area is real estate or housing estate.

5. Conversion Factor of Energy Use in

Residential Sector Energy consumption in this study is including

transport, cooking and electricity energy that are generated from human activities in the household context. It is assumed that the transport energy is from private passenger vehicle, such as car and motorbike. The energy of cooking is based on fuel of cooking, such as LPG or kerosene fuel. In addition, the electricity energy is from hydropower plant source used for home appliances. In Java Island, especially in urban areas including Bandung City, they get the electricity from hydropower plant. Conversion factor for calculating the amount of energy use based on information acquired from the questionnaire uses assumptions as followings: Transport energy that energy spent for residents

activities, such as working, shopping, studying in household a month. For example, there is 100 liter of gasoline in a month. It is equal to 34.87 MJ/liter of gasoline multiplied by 100 liter = 3,487 MJ/Month/HH.

Energy for cooking is calculated from cooking fuel of residents. In this study, the cooking fuel used is LPG. For example, there is 10 kg LPG in a month. So, it is equal to 10 kg/month multiplied by 53.42 MJ/kg = 532,2 MJ/Month/HH.

Energy from home electrical appliances use is gained from total monthly electrical bill with assumption that the energy source of electricity is from hydropower plant. For example, there is the bill with IDR 100,000 per month. This bill is converted to MJ based on current state’s electrical company. Monthly electrical energy consumption is in kWh/month.

6. Result and Discussion

It can be found that in each different residential density areas, energy for transport purpose has given high contribution of total energy consumption than electricity and cooking energy purposes. Moreover, comparison between energy for cooking and electricity purposes, it can be seen that in low residential density areas, energy for electricity purpose has given high contribution to total of energy use. On the other hand, in high density residential area, energy for cooking purpose has given higher contribution than energy for electricity purpose. The average total

Page 36: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

26 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Nurrohman Wijaya

of energy consumption in study area is dominated by transport energy (2,338.48 MJ/HH/month). The average total of electricity is 914.69 MJ/HH/month and the average of cooking is 853.65 MJ/HH/month. Regarding to energy consumption in different type of urban residential density areas, it can be concluded that energy consumption in low density area is higher than high density areas. It can be explained because the residents who stay in low density areas are using more electric appliances and using private vehicle for transportation rather than residents in high density area. In addition, the result indicates that the measure for reduction energy consumption in urban residential development context should be focused on transport energy purpose.

To determine significant factor, the significant level of statistical analysis result is at least 0.05 or better. There are some factors influencing the amount of energy consumption in different urban residential areas as shown in Table 1. It is presented the findings that there are six variables that are significantly influencing energy consumption in low density residential area and eight variables in high density residential areas.

6.1. Low Density Area

The six factors significantly influencing energy consumption in low density residential area are gasoline usage for transport activity, LPG usage for cooking activity, number of total older household members, monthly expenditure level between IDR 500,000-1,000,000, house type, and number of total male household members. The effect of using gasoline fuel for transportation activity, LPG for cooking activity, and number of male household members has positive correlation to the amount of energy consumption. This could be distinguished that more increasing energy use in the residential area is more the amount of energy consumption generated. It explains also that more number of men in the home is

more energy consumption. Men have more activities at home than women because in this area, women also do productive activity and not much time stay at home. On the other hand, the low of expenditure level, number of older household members, and house type has negative association with amount of energy consumption. It could be implied that the residents who have a low of expenditure level attempt to save the energy consumption, for example by reducing the using of home electricity. In addition, more number of older people in the house is less energy consumption because of level of activity. Young people are commonly more active than older people as well as the increasing of energy consumption. Furthermore, the type of house is influencing energy consumption.

6.2. High Density Area

There are eight factors significantly influencing the amount of energy consumption in high density residential area located in city center, which are gasoline usage for transport activity, LPG usage for cooking activity, number of motorbikes, area of building, stay duration, private ownership house status, number of total female household members, and monthly income level more than IDR 2,000,000. Positive correlation factors are the using of gasoline for transport activity and LPG for cooking activity, number of motorbikes, building area, and private ownership house status. In contrast, there are factors that have negative association to amount of energy use in this area which are the duration of stay, number of female members, and high income level of resident. It may be explained that longer of stay duration is less amount of energy use because the residents have more experience and knowledge to adapt and decrease energy use, such as using LPG for cooking activity than using kerosene or coal fuels, and using save energy’s home appliance. In addition, generally in this area, the women has reproductive role by taking care the children and doing domestic home works, so they

Tabel 2. Statistical Analysis Factor Influencing Energy Use in Urban Residential Areas

Variables Low Denisty Areas High Density Areas

Coefficients t-value Sig. level Coefficients t-value Sig. level

Gasoline usage 35.18 27.13 0.00** 25.41 10.96 0.00**

LPG usage 51.40 16.28 0.00** 52.10 6.72 0.00**

Monthly expenditure level (IDR

500,000-1,000,000)

-1,360.74 -5.45 0.00** - - -

Total older household members -692.75 -4.48 0.00** - - -

House type -755.80 -3.38 0.00** - - -

Total male household members 220.04 2.29 0.03* - - -

Number of motorbike - - - 350.48 5.26 0.00**

Area of building - - - 2.56 3.03 0.00**

Stay duration - - - -15.52 -4.41 0.00**

Private ownership - - - 578.93 4.09 0.00**

Total female household members - - - -131.59 -3.10 0.00**

Monthly income level (>IDR 3,000,000) - - - -506.09 -2.07 0.04*

Adjusted R2 0.97 0.93

F-Test 208.74 0.00 79.10 0.00 *Significant at the 0.05 level or better (p<0.05); **Significant at the 0.01 level or better (p<0.01) Source: Wijaya, 2010

Page 37: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 27

more responsible and understand on energy use condition at home compared with the men. Moreover, it is implied that the monthly income level of the residents has influenced to the amount of energy use in this area since increasing income is making them to concern on energy consumption in the house by using home appliances that are more saving energy, for instance removing the old appliances with the new appliances that is more energy efficiency.

7. Conclusions

The result is found that the average total of energy consumption in study area is dominated by transport energy (2,338.48 MJ/HH/month). The average total of electricity is 914.69 MJ/HH/month and the average of cooking is 853.65 MJ/HH/month. The result of statistical analysis shows that the key influencing factors to amount of energy consumptions in low density residential areas are gasoline usage for transport activity, LPG usage for cooking activity, number of total older household members, monthly expenditure level between IDR 500,000-1,000,000, house type, and number of total male household members. In addition, there are eight factors significantly influencing the amount of energy consumption in high density residential area located in city center, which are gasoline usage for transport activity, LPG usage for cooking activity, number of motorbikes, area of building, stay duration, private ownership house status, number of total female household members, and monthly income level more than IDR 3,000,000.

The study provides a quantitative analysis by comparing between energy consumption associated with urban residential density areas in low and high density areas at household level in a developing city context. It is important to understand that these conclusions are based only a partial assessment of contributing factors to energy consumption in urban residential sector. It means that this study of measuring energy consumption is only a preliminary step in addressing climate change rather than an ending of it. Nevertheless, the findings of this study provide a reasonably complete understanding of urban form in term of urban residential density areas on overall energy use in the city.

References 1) Dodman, D. (2009) Blaming Cities for Climate Change? An

Analysis of Urban Greenhouse Gas Emissions Inventories.

Environment and Urbanization, Vol. 21, 185-201.

2) Ewing, R., Rong, F. (2008) The Impact of Urban Form on U. S.

Residential Energy Use. Housing Policy Debate, Vol. 19, 1-30.

3) Fong, W. K., Matsumoto, H., Lun, Y. F., Kimura, R. (2007a)

Energy Savings Potential of The Summer Time Concept in

Different Regions of Japan from The Perspective of Household

Lighting. Journal of Asian Architecture and Building Engineering,

Vol. 6, 371-378.

4) Fong, W. K., Matsumoto, H., Lun, Y. F., Kimura, R. (2007b)

Influences of Indirect Lifestyle Aspects and Climate on Household

Energy Consumption. Journal of Asian Architecture and Building

Engineering, Vol. 6, 395-402.

5) Golden, J. S. (2003) The Built Environment Induced Urban Heat

Island Effect in Rapidly Urbanizing Arid Regions - A Sustainable

Urban Engineering Complexity. Environmental Sciences, Vol. 1,

321–349.

6) Haas, R. (1997) Energy Efficiency Indicators in The Residential

Sector: What Do We Know And What Has To Be Ensured?. Energy

Policy, Vol. 25, 789-802.

7) Hardoy, J. E., Mitlin, D., Satterthwaite, D. (2001) Environmental

Problems in an Urbanizing World: Finding Solutions in Africa,

Asia and Latin America, London: Earthscan.

8) International Panel on Climate Change (IPCC). (2007) Climate

Change 2007: Synthesis Report, Contribution of Working Group I,

II and III to The Fourth Assessment Report of The

Intergovernmental Panel on Climate Change, Switzerland.

9) Kessler, E., N. Prasad, F. Ranghieri, F. Shah, R. Sinha and Z.

Trohanis. (2009) Climate Resilient Cites: A Primer on Reducing

Vulnerabilities to Disasters. Washington: The World Bank.

10) Prasad, N., Ranghieri, F., Shah, F., Trohanis, Z., Kessler, E., Sinha,

R. (2009) Climate Resilient Cities: A Primer on Reducing

Vulnerabilities to Disasters, Washington DC: The World Bank.

11) Saidur, R., Masjuki, H. H., Jamaluddin, M. Y., Ahmed, S. (2007)

Energy and Associated Greenhouse Gas Emissions from

Household Appliances in Malaysia. Energy Policy, Vol. 35

1648-1657.

12) Satterthwaite, D. (2009) The Implications of Population Growth

and Urbanization for Climate Change. Environment and

Urbanization, Vol. 21, 545-567.

13) Seo, S., Hwang, Y. (2001) Estimation of CO2 Emissions in Life

Cycle of Residential Buildings. Journal of Construction

Engineering and Management, American Society of Civil

Engineers (ASCE), Vol. 127, 414-418.

14) Takuma, Y., Inoue, H., Nagano, F., Ozaki, A., Takaguchi, H.,

Watanabe, T. (2006) Detailed Research for Energy Consumption of

Residences in Northern Kyushu, Japan. Energy and Buildings, Vol.

38, 1349-1355.

15) United Nations. (2002) World Urbanization Prospects – The 2001

Revision Data, Table and Highlights, Department of Economic and

Social Affairs. Available online:

http://www.un.org/esa/population/publications/wup2001/wup2001

dh.pdf (accessed on 30th May 2010).

16) Wei, X., Xuan, J., Yin, J., Gao, W., Batty, B., Matsumoto, T. (2006)

Prediction of Residential Building Energy Consumption in Jilin

Province, China. Journal of Asian Architecture and Building

Engineering, Vol. 5, 407-412.

17) World Resource Institute. (2005) Energy Consumption and Carbon

Dioxide Emissions by Sector 2005. Available online:

http://earthtrends.wri.org/ (accessed on 30th May 2010).

Page 38: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

28 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Jimly Al Faraby

Perilaku Spasial Anak Jalanan di Yogyakarta

Jimly Al Faraby

Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Abstract

This research aimed to describe the spatial behavior of street children in Yogyakarta urban area. It attempted to understand the form and pattern of street children’s behavior in using space for their activities places. This research was conducted by observing daily activities of two different groups of street children.

Different behavior and activity are found in two different groups. This expresses the motivation forcing them to exist on the street, which are economic or survival motivations. However, they have the same tendency in using space; they tend to use the rest space, defined as space that unused. This space can be

formed because of its design or using intensity. The space chosen also relates to characteristic of that space itself. Street children will choose the rest space which has characteristics supporting their activities during on the street. Some characteristics can be considered as one of support factors contributing to street children’s existence on the street. Those factors are the shade place, accessibility to the street, and the size of the rest space which is large enough.

.

Keywords: spatial behavior, street children, characteristics of space.

1. Pendahuluan

Fenomena anak jalanan seolah-olah sudah menjadi suatu konsekuensi logis dari perkembangan suatu kota. Hampir di setiap kota besar fenomena ini dapat ditemukan.

Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia tidak luput dari kenyataan ini. Namun sangat disayangkan, anak jalanan masih sering luput dari perhatian masyarakat, pemerintah, dan perencana. Perencanaan kota sering memandang anak jalanan sebagai sesuatu yang harus disingkirkan dari sebuah kota. Selama ini anak jalanan hanya dipandang sebagai masalah kota, tanpa adanya upaya sungguh-sungguh untuk memahami perihal anak jalanan.

Anak jalanan membutuhkan ruang untuk melakukan berbagai aktivitas hidupnya. Kenyataannya, kebutuhan mereka terhadap ruang sering diterlantarkan. Berbeda dengan pelaku ruang kebanyakan, anak jalanan merupakan golongan minoritas yang tidak diperhitungkan dalam perencanaan kota. Kondisi ini memaksa anak jalanan untuk memenuhi kebutuhan ruangnya dengan caranya sendiri. Oleh karena itu, anak jalanan melakukan penyesuaian agar kebutuhannya terhadap ruang untuk aktivitas hidupnya tetap dapat terpenuhi. Penyesuaian

ini muncul dalam berbagai bentuk perilaku dalam memanfaatkan ruang kota, baik secara individu maupun kelompok.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan pola perilaku pemanfaatan ruang kota oleh anak jalanan dan faktor-faktor yang ada di balik perilaku tersebut.

Secara konseptual, penelitian ini akan memberikan sumbangan teoritis melalui deskripsi pemahaman pola spasial dari anak jalanan berupa gambaran tentang perilaku pemanfaatan ruang kota oleh anak jalanan beserta faktor-faktor yang terkait dengan perilaku tersebut.

Adapun pada tingkat praksis, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan bagi penanganan persoalan anak jalanan bagi ruang kota melalui rekayasa ruang aktivitas anak jalanan.

2. Landasan Teori

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku didefinisikan sebagai tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan. Walgito (2004) menyebutkan bahwa perilaku muncul sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme. Sedangkan Laurens (2004) menambahkan adanya aspek interaksi manusia dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya yang membentuk perilaku.

Di dalam kehidupannya, manusia selalu melakukan interaksi dengan lingkungannya. Pada lingkungan yang sudah dikenali, ada kecenderungan manusia memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mencapai keadaan seimbang (Sarwono, 1992). Lingkungan jenis ini akan cenderung dipertahankan

Kontak: Jimly Al Faraby

Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan FT UGM

Tel: (0274) 485613 Fax: (0274) 485613

E-mail : [email protected]

(Diterima 16 September 2010 dan disetujui untuk diterbitkan

27 Oktober 2010)

Page 39: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 29

oleh manusia, ataupun jika tidak manusia akan berusaha untuk mencari lingkungan jenis ini.

Seringkali manusia harus berada pada situasi dimana manusia berhadapan dengan lingkungan yang asing baginya. Pada lingkungan jenis ini, ada kemungkinan manusia akan menerima rangsangan yang melebihi batas-batas optimal ataupun yang berada di bawahnya karena rangsangan yang diterima tidak terduga oleh persepsinya selama ini. Agar tetap dapat eksis, manusia membutuhkan penyesuaian diri terhadap stimulus dari lingkungannya. Sarwono (1992) menyebutkan, ada dua cara penyesuaian diri manusia terhadap lingkungannya, yaitu: a. Menyesuaikan perilaku dengan lingkungan. b. Menyesuaikan lingkungan dengan perilaku.

Persepsi, perilaku dan lingkungan merupakan tiga hal yang memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lain. Perilaku spasial muncul sebagai tanggapan atas rangsang yang datang dari lingkungannya. Kondisi lingkungan fisik yang ada di sekitar manusia ditangkap oleh berbagai indra reseptor manusia sebagai suatu bentuk stimulus. Di dalam pikiran manusia informasi ini dikoordinasikan dan ditafsirkan sehingga manusia dapat memahami lingkungannya tersebut. Dengan berbekal persepsi terhadap lingkungan fisiknya itu, manusia dapat mengorganisasikan, menyimpan dan memanggil kembali informasi yang terkait dengan tatanan pada lingkungan fisiknya, seperti lokasi, jarak, dsb. Modal kognisi spasial inilah yang akan memandu manusia untuk berperilaku dalam merespon lingkungannya.

3. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi, dimana anak jalanan dipandang sebagai suatu hal yang kompleks yang tidak tidak dapat dilihat secara parsial. Sebagaimana dikatakan oleh Muhadjir (1990), fenomenologi menghendaki pendekatan yang sifatnya menyeluruh, objek penelitian didudukkan dalam konstruksi ganda, dan objek tidak dipandang secara parsial.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode induksi kualitatif. Dengan metode ini, perilaku anak jalanan dalam memanfaatkan ruang kota dapat dieksplorasi secara lebih jauh untuk mengkonstruksi konsep lokal tentang perilaku pemanfaatan ruang kota oleh kelompok anak jalanan.

Untuk keperluan penelitian ini, peneliti mengadopsi model penelitian etnografi dengan melakukan beberapa penyesuaian. Etnografi sendiri digunakan untuk meneliti perilaku manusia dalam lingkungan spesifik alamiah, sebagaimana yang disebutkan oleh Frey, dkk (Mulyana, 2002).

Penelitian ini mengandalkan data-data primer yang diperoleh melalui observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh anak jalanan

selama berada di jalan. Hasil observasi ini dipetakan sehingga dapat diamati polanya. Observasi dilakukan secara intensif terhadap dua kelompok anak jalanan, yaitu: a. Kelompok anak jalanan yang beroperasi di

perempatan Mirota Kampus-KFC Terban. b. Kelompok anak jalanan yang beroperasi di

Pertigaan UIN Sunan Kalijaga Jl. Laksda Adisucipto.

Kedua kelompok anak jalanan ini dipilih sebagai objek pengamatan karena keduanya merupakan kelompok anak jalanan yang cukup eksis keberadaannya sehingga lebih mudah untuk diamati. Selain itu, kedua kelompok ini mewakili perbedaan karakter anak jalanan yang paling umum, yaitu children of the street dan childreen on the street.

Adapun data wawancara merupakan sumber data pendukung dalam penelitian ini. Wawancara sifatnya lebih kepada mengeksplorasi hal-hal yang tidak dapat ditangkap melalui observasi. Wawancara juga menjadi alat untuk menafsirkan perilaku yang muncul dari anak jalanan kepada nilai yang dianutnya.

Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menyatukan data-data hasil pemetaan aktivitas

anak jalan di tempat operasinya ke dalam satu media peta agar dapat dilihat pola dan kecenderungannya.

b. Mengklasifikasikan tema. Pengklasifikasian tema dilakukan dengan melihat adanya kesamaan antara fenomena yang satu dengan fenomena yang lain. Fenomena-fenomena yang sejenis dikelompokkan menjadi satu tema. Di dalam merumuskan tema-tema, dilakukan tahapan-tahapan di antaranya:

Mengidentifikasi kata-kata kunci pada laporan deskripsi hasil temuan observasi dan wawancara.

Melakukan coding pada hasil identifikasi. Menyusun ke dalam kategori-kategori. Meneliti hubungan antar kata kunci dan

antar kategori. Menemukan tema-tema.

c. Menarik konsep. Dari tema-tema yang telah diklasifikasikan, ditarik konsep-konsep penting tentang perilaku anak jalanan.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Perbedaan Bentuk Aktivitas

Anak-anak jalanan yang biasa beroperasi di perempatan Mirota Kampus/KFC dan sekitarnya pada dasarnya memiliki karakter yang berbeda dengan anak-anak jalanan yang biasa beroperasi di pertigaan UIN Sunan Kalijaga. Untuk lebih jelasnya, perbandingan karakter antara kedua kelompok dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 40: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

30 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Jimly Al Faraby

Tabel 1. Perbedaan Karakter Antar Kelompok Anak Jalanan

Anjal Mirota

Kampus/KFC Anjal UIN

Jenis kelamin Mayoritas laki-laki Laki-laki dan

perempuan dengan

jumlah merata.

Usia Mayoritas usia

SD-SMP

Usia SD-SMP

Pendidikan Tidak bersekolah Mayoritas masih

bersekolah

Frekuensi

pulang

Mayoritas tidak

teratur

Teratur, tiap hari

Hubungan

dengan orang

tua

Banyak yang telah

berpisah dengan orang

tua.

Masih bersama orang

tua.

Lama di

jalanan

>12 jam sehari,

bahkan bisa seharian

penuh hingga tidur di

jalanan

6-8 jam sehari

Kegiatan

utama

Mengamen dan

meminta-minta

Mengamen dan

meminta-minta

Rekan

aktvitas

Sesama anak jalanan

dari kelompok yang

berbeda.

Sesama anak jalanan

dan beberapa anggota

keluarga dewasa.

(Sumber: Data primer, 2009)

Dari tabel di atas, terlihat dengan jelas beberapa perbedaan mencolok dari karakter kedua anak jalanan. Dari kedua kelompok anak jalanan yang berbeda karakter ini ternyata juga memunculkan perbedaan bentuk perilaku yang tergambar dengan adanya perbedaan aktivitas, seperti pada tabel berikut.

Tabel 2. Perbedaan Aktivitas Antar Kelompok Anak Jalanan

No. Aktivitas Anjal

Mirota/KFC Anjal UIN

1 Menunggu kendaraan √ √

2 Beristirahat √ √

3 Tidur √ -

4 Berkumpul dan

ngobrol

√ √

5 Makan dan membeli

makan

√ √

6 Menyimpan barang √ √

7 Bermain √ √

8 MCK √ -

9 Ngelem √ -

10 Sembunyi dari Pol PP √ -

11 Belajar bersama √ -

(Sumber: Data Primer, 2009)

Bila diperhatikan, aktivitas-aktivitas yang muncul secara sama di kedua kelompok anak jalanan merupakan aktivitas yang terkait langsung dengan kegiatan utama mereka di jalanan, yaitu mencari uang.

Lebih jauh lagi, ada hal yang lebih mendasar yang dapat dilihat pada perbedaan bentuk aktivitas pada kedua kelompok anak jalanan. Perbedaan bentuk aktivitas ini menggambarkan perbedaan semangat yang mendasari munculnya aktivitas-aktivitas tersebut. Apabila diperhatikan dengan lebih seksama, dapat

dilihat bahwa aktivitas kelompok anak jalanan UIN hampir seluruhnya terkait dengan kegiatan-kegiatan yang menunjang untuk mencari uang. Ini menunjukkan bahwa kegiatan kelompok anak jalanan ini berorientasi pada motif ekonomi.

Adapun yang dilakukan oleh anak jalanan kelompok Mirota lebih dari sekedar kegiatan ekonomi. Aktivitas yang mereka lakukan di jalanan tidak hanya untuk mencari uang, tapi juga aktivitas lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, menurut anggapan mereka, sekalipun hal tersebut dilakukan dengan bentuk yang tidak biasa. Ini menunjukkan bahwa aktivitas-aktivitas itu mereka lakukan sebagi upaya untuk terus dapat survive di kehidupan jalanan.

4.2 Pemanfaatan Ruang

Bentuk pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh kedua kelompok anak jalanan yang berhasil dipetakan dari penelitian ini yaitu:

a. Menunggu Kendaraan

Lokasi anak-anak jalanan menunggu kendaraan selalu berada di sisi jalan. Sisi jalan yang dimaksud di sini dapat berupa trotoar maupun median jalan. Dalam melakukan kegiatan menunggu kendaraan, anak jalanan ternyata mencari ruang-ruang yang memiliki aksesibiltas yang baik, yang mencakup dua hal yaitu: 1) Kedekatan, yaitu dekat dengan deretan

kendaraan. 2) Kemudahan, yaitu tidak adanya hambatan berarti

untuk mencapai deretan kendaraan tersebut. Selain itu, kriteria umum ruang yang dimanfaatkan

oleh anak jalanan sebagi tempat menunggu kendaraan, yaitu: 1) Ukuran yang cukup, yaitu cukup dalam

pandangan anak jalanan itu sendiri, meskipun mengandung bahaya.

2) Tidak terdapat aktivitas yang sibuk atau ramai pada titik tersebut.

Selain kedua kriteria umum ruang tersebut, dari sisi anak jalanan itu sendiri ada beberapa perilaku yang dapat diamati dalam kaitannya dengan aktivitas mereka menunggu kendaraan, yaitu: 1) Cenderung mencari tempat yang teduh jika

memang ada. 2) Menyenangi desain ruang yang membentuk

sandaran atau dudukan.

b. Istirahat

Aktivitas istirahat yang dimaksud di sini adalah sengaja menghentkan kegiatan utama mereka sejenak untuk menghilangkan penat, agar setelah pulih dapat kembali melanjutkan aktivitasnya.

Dalam memilih ruang untuk beristirahat, ternyata dijumpai kesamaan kriteria pilihan ruang oleh kedua kelompok anak jalanan tersebut. Pilihan tersebut terkait dengan 2 aspek utama, yaitu: 1) Aksesibilitas, yaitu kedekatan dan kemudahan

Page 41: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 31

untuk kembali ke titik aktivitas (menunggu kendaraan). Ruang istirahat anak jalanan selalu berada tidak jauh dari tempat mereka menunggu kendaraan.

2) Kenyamanan, dengan kriteria: a) Adanya perlindungan dari sengatan sinar

matahari. Perlindungan dari sinar matahari pada ruang-ruang tersebut dapat terbentuk akibat: Keberadaan pepohonan di titik tersebut. Desain ruang buatan tersebut. Arah bayangan yang terbentuk akibat

posisi relatif terhadap matahari. b) Ukuran ruang yang cukup. c) Tidak ada gangguan aktivitas lain di titik

tersebut, yang dapat disebabkan oleh: Desain ruang yang memang tidak

memungkinkan atau tidak mendukung terjadinya aktivitas lain.

Distribusi pemanfaatan ruang tersebut. Desain ruang memungkinkan untuk terjadinya aktivitas lain, namun aktivitas tersebut tidak berlangsung di titik tempat anak jalanan beristirahat, melainkan pada bagian ruang yang lain.

c. Berkumpul dan Ngobrol

Titik-titik yang dipergunakan oleh anak jalanan sebagai tempat berkumpul dan ngobrol pada umumnya merupakan titik-titik untuk beristirahat dan menunggu kendaraan, karena aktivitas berkumpul dan ngobrol pada dasarnya terjadi ketika anak-anak jalanan sedang beristirahat, ataupun ketika mereka mengisi kekosongan sambil menunggu kendaraan-kendaraan berhenti saat lampu merah.

Oleh karena itu, karakter ruang pilihan yang digunakan oleh anak-anak jalanan sebagai tempat untuk berkumpul dan ngobrol mengikuti pilihan mereka terhadap ruang untuk beristirahat, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu menekankan pada aspek kenyamanan dan aksesibilitas.

d. Menyimpan barang

Ketika beroperasi di jalanan, tidak jarang anak-anak jalanan membawa serta sejumlah barang-barangnya ke jalanan. Barang-barang yang biasa mereka simpan selama beroperasi di perempatan ini biasanya berupa makanan ataupun barang-barang lain yang mereka bawa. Faktor yang dipertimbangkan oleh anak jalanan untuk menentukan tempat menyimpan barang-barang selama berada di jalanan yaitu: 1) Keamanan.

Kemananan ini tercermin dalam lokasi penyimpanan/peletakan barang-barang yang berada dalam jangkauan pengawasan mereka ketika mereka beraktivitas di jalanan.

2) Aksesibilitas. Dekatnya lokasi penyimpanan/peletakan barang-barang dari tempat aktivitasnya memudahkan mereka dalam mengakses barang tersebut jika sewaktu-waktu mereka butuhkan ketika sedang beraktivitas.

e. Bermain

Pada beberapa kesempatan ditemukan kejadian dimana anak-anak jalanan, baik kelompok Mirota maupun UIN, melakukan aktivitas bermain. Aktivitas ini biasanya terjadi secara insidental, dan biasanya dilakukan secara spontan di sela-sela aktivitas mereka mencari uang.

Dilihat dari lokasinya, maka aktivitas ini pada dasarnya dapat terjadi di mana saja. Tidak dilihat adanya pola-pola tertentu dari lokasi ruang tempat mereka bermain. Meskipun demikian, dapat diamati bahwa ada kesesuaian antara jenis permainan dan ruang yang dimanfaatkan sebagai tempat bermain. Permainan yang dimainkan anak-anak jalanan ini disesuaikan dengan ukuran ruang yang tersedia saat itu. Apabila ruang yang tersedia cukup luas, maka mereka dapat memainkan permainan dengan gerakan yang sangat aktif, seperti berlari-larian. Sebaliknya, jika ruang yang tersedia tidak terlalu lebar, maka mereka menyesuaikan dengan ukuran ruang tersebut.

4.3 Pilihan Ruang Aktivitas

Bila memperhatikan pilihan ruang anak jalanan terhadap ruang bagi aktivitasnya, maka dapat dilihat adanya kecenderungan anak jalanan untuk memanfaatkan ruang-ruang sisa sebagai wadah aktivitasnya di jalanan. Ruang sisa yang dimaksud di sini adalah ruang-ruang yang pada hakikatnya ada, akan tetapi tidak termanfaatkan dan cenderung menjadi ruang yang menganggur. Ruang-ruang sisa ini ada beberapa macam, yaitu: a. Ruang yang secara desain ataupun lokasi

memang tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan, dan menjadi ruang sisa. Misalnya kolong-kolong kecil.

b. Ruang yang memang sengaja dibuat untuk suatu fungsi, namun tidak untuk dimanfaatkan bagi aktivitas. Contohnya adalah ruang-ruang pada median jalan.

c. Ruang yang diperuntukkan bagi suatu fungsi, ruang tersebut dimanfaatkan bagi fungsi tersebut, akan tetapi ada bagian ruang yang tidak termanfaatkan. Misalnya ruang trotoar diperuntukkan sebagai jalur pedestrian, Namun demikian, ada sebagian dari ruang tersebut yang tidak termanfaatkan. Ruang inilah yang cenderung akan digunakan oleh anak jalanan.

d. Ruang yang diperuntukkan bagi suatu fungsi, namun tidak termanfaatkan bagi fungsi tersebut. Contohnya adalah trotoar yang sama sekali tidak termanfaatkan bagi pejalan kaki.

Page 42: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

32 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Jimly Al Faraby

Pilihan ruang-ruang sisa yang dimanfaatkan oleh

anak jalanan tidak harus berupa ruang publik dan fasilitas umum, namun mereka juga dapat memanfaatkan ruang-ruang milik privat. Ini menunjukkan bahwa cakupan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh anak jalanan sangat fleksibel. Selama tidak ada penghalang ataupun hambatan untuk memanfaatkan ruang tersebut, maka mereka bisa saja memanfaatkannya bagi kepentingan mereka, tanpa memperdulikan kepemilikan ruang tersebut.

Perilaku anak-anak jalanan untuk memanfaatkan ruang-ruang sisa ini juga dapat dipandang sebagai suatu wujud upaya penyesuaian diri untuk mengakomodasi kebutuhan mereka terhadap ruang yang tidak terakomodasi dalam bentuk penyediaan ruang bagi mereka.

Dalam tataran yang lebih mendasar lagi, perilaku ini dapat dipahami sebagai bentuk aplikasi dari salah satu nilai yang dianut oleh anak jalanan. Nilai ini ialah keinginan untuk tidak dianggap sebagai pengganggu bagi masyarakat luas. Nilai ini terwujud dalam bentuk perilaku mereka untuk memanfaatkan ruang-ruang sisa, yaitu ruang-ruang yang selama ini tidak dimanfaatkan oleh orang lain. Dalam anggapan mereka, perilaku seperti ini merupakan bentuk upaya mereka untuk tidak mengganggu orang lain.

4.4 Skema Perilaku Spasial

Perilaku spasial yang muncul pada anak-anak jalanan tidak terlepas dari keberagaman aktivitas dan faktor-faktor yang ada di baliknya, pemanfaatan ruang bagi aktivitas dan karakter ruang yang dipilih oleh anak-anak jalanan. Pada dasarnya, hal-hal tersebut saling terkait di dalam membentuk skema perilaku spasial yang muncul dari anak jalanan. kema ini melibatkan dua dimensi, yaitu: a. Dimensi abstrak.

Dimensi ini mencakup hal-hal yang tidak dapat ditangkap oleh mata, seperti motivasi dan nilai yang dianut. Hal-hal ini berada di dalam diri anak jalanan yang dapat ditangkap melalui pemaknaan dari perilaku yang dapat ditangkap oleh mata.

b. Dimensi empiris. Dimensi empiris mencakup hal-hal yang sifatnya nyata dan dapat diamati oleh mata, seperti aktivitas yang dilakukan, karakter ruang yang digunakan, dan perilaku pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh anak jalanan.

Gambar 1. Skema Perilaku Spasial Anak Jalanan

(Sumber: Al Faraby, 2009)

5. Kesimpulan

Penelitian ini menghasilkan beberapa poin kesimpulan sebagai berikut: a. Perbedaan karakter antar kelompok anak jalanan

dapat melahirkan aktivitas dan perilaku yang berbeda selama di jalanan.

b. Di dalam memenuhi kebutuhan ruangnya di jalanan, anak-anak jalanan akan melakukan penyesuaian dalam bentuk perilaku dalam memanfaatkan ruang dan fasilitas yang ada di jalanan.

c. Penyesuaian ini muncul dalam bentuk perilaku anak jalanan yang cenderung untuk menggunakan ruang-ruang sisa di sekitarnya.

d. Pemilihan ruang ini terkait dengan karakter ruang yang dimiliki oleh ruang tersebut. Karakter-karakter ruang tersebut merefleksikan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan anak jalanan dalam memilih ruang bagi aktivitasnya yang dipahami dari sisi pandang anak jalanan itu sendiri.

6. Saran

Rekomendasi yang dapat diajukan berdasarkan hasil penelitian ini adalah: a. Mengembangkan solusi penanganan anak jalanan

yang berbasis kelompok anak jalanan itu sendiri, karena karakter yang berbeda dari kelompok anak jalanan seharusnya membutuhkan penanganan yang berbeda pula.

b. Merekayasa ruang di sekitar perempatan untuk menangani permasalahan ruang kota yang terkait dengan anak jalanan, dengan menghilangkan faktor-faktor spasial pendukung keberadaan mereka di jalanan.

Page 43: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 33

Namun demikian perlu dicatat bahwa ini tidak akan menuntaskan akar permasalahan anak jalanan, melainkan hanya menjadi penyelesaian permasalahan di tingkat hilir saja.

Referensi

1) Alwasilah, Chaedar, 2002, ”Pokoknya Kualitatif:

Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian

Kualitatif”, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.

2) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, ”Kamus

Besar Bahasa Indonesia”, Balai Pustaka, Jakarta.

3) Halim, Deddy, 2005, ”Psikologi Arsitektur Pengantar Kajian

Lintas Disiplin”, Grasindo, Jakarta.

4) Laurens, Joyce Marcella, 2004, ”Arsitektur dan Perilaku

Manusia”, Grasindo, Jakarta.

5) Muhadjir, Noeng, 1990, ”Metodologi Penelitian Kualitatif”,

Rake Sarasin, Yogyakarta.

6) Mulyana, Deddy, 2002, ”Metodologi Penelitan Kualitatif:

Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya”,

Remaja Rosdakarya, Bandung.

7) Sarwono, Sarlito Wirawan, 1995, ”Psikologi Lingkungan”,

Grasindo, Jakarta.

8) Spradley, James P., 1979, ”The Ethnographic Interview”

(”Metode Etnografi” diterjemahkan oleh Elizabeth, M. Z.,

2007), edisi 2, Tiara Wacana, Yogyakarta.

9) Walgito, B., 2004, ”Pengantar Psikologi Umum”, edisi 4,

ANDI, Yogyakata.

Page 44: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

34 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Teguh Setiawan

The Role of Public Art in Urban Environment

A Case Study of Mural Art in Yogyakarta City

Teguh Setiawan1, Bakti Setiawan

2

1 Staf Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Yogyakarta 2 Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Abstract

The mural art project in Yogyakarta City provides a unique example of the role that public art can play in urban setting. The artist-initiated project involved a range of community groups to participate. However, the policy on public art in urban environment remains absent. At the same time the literatures are not conclusive on how the public art can benefit urban environment as well as the citizens. This research aims to explore the

impact of public art on urban environment within the context of Yogyakarta City. It translates into the question of how public art affects the urban environment in Yogyakarta City.

This research is exploratory in nature and using single case study and survey strategies. A mix of quantitative data analysis using statistical tools and qualitative data analysis is used in this research. The grounded theory approach is also used to develop the research design. The research finds from the questionnaires that there are multidimensional impacts of public art in urban environment. The perceived

benefits of public art either in physical, social or cultural domains suggest that public art is very prominent in creating livability and sustainability of the city. However, further critical studies on public art are still needed to really understand the functional and artistic aspects of public art in the context of urban environment. Keywords: public art, mural, urban environment, citizen perception, participation.

1. Introduction

1.1 Background & Problem Statement

The Mural Art in Yogyakarta City has shown a case of creating public art as a collaborative action between the artists and other stakeholders to respond to the degradation of the urban environment caused by graffiti. Setiawan (1997) stresses that there are not many research conducted on the local issues or cases of urban development in Indonesia, therefore a study on the effects of public art on the urban environment is very important.

Comprehension about the people's participation in public art and perception about the public art project and how it affects the urban environment will make a great contribution to urban studies, especially in the local context of Yogyakarta City.

There are two-fold underlying reasons of the research. Academically, the research aims to contributing to the body of knowledge in the interlinked fields of study, namely visual art and urban management studies. Pragmatically, the research is also expected to contribute an insight to improve the quality of urban environment through

integrating public art into urban environmental management policies. Three problems are stated in this research: a. The mural art project in Yogyakarta City

provides a unique example of the role that public art can play in urban setting. However, the policy on public art in urban environment remains absent.

b. At the same time the literatures are not conclusive on how the public art in this case, mural art can benefit urban environment as well as the citizens.

c. In-depth information does not exist on how the public art can improve the quality of urban environment, especially in the local context of Yogyakarta City, since little research has been conducted on the subject in the field of urban management.

1.2 Research Objective and Research Questions

The objective of the research is to explore the impact of public art on urban environment within the context of Yogyakarta City. The objective of the research translates into the main research question: "How does public art affect the urban environment in Yogyakarta City?" The following sub-questions are then developed to address the main research question:

Kontak: Teguh Setiawan

Staf Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Yogyakarta

Telp: +628127288603

(Diterima 30 Juli 2010 dan disetujui untuk diterbitkan 12

September 2010)

Page 45: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 35

a. What is the citizen perception upon public art? b. How does public art affect urban environment? c. How does the citizen perception on public art

influence their participation in public art projects? What is the prospect of public art in Yogyakarta City?

This research is conducted in the city of Yogyakarta by observing the existing condition of the murals either at the city or the Kampung scale. Technical and artistic aspects of the art will be discussed only in a very limited portion as far as necessary since the intrinsic aspects of the art is not the focus of this research. Discussion on technical and artistic aspects of the art will be discussed only in the context of the above scopes.

2. Review of the Literature

2.1 Public Art Definition

The term ‗public art‘ is widely open to various interpretations and has been referred to everything from government-commissioned monumental sculpture to subway graffiti. It is often used as an umbrella term covering any art that is not displayed in art galleries or formal museums (Hunting, 2005).

Selwood (1995 p. 8) refers the term 'public art' to "...art intended for the public, created by the public or sited in spaces, which although not publicly owned are nevertheless intended for public use". Another definition of public art is "art [which is] made public" (Norman & Norman, 2000). Norman & Norman (2000) also share the same definition with Selwood (1995), public art is sited in a public space and often permanently fixed.

Traditionally, the purpose of such public art is either to commemorate a certain famous figure (or event), or simply to beautify the physical environment (ornamentation). Nowadays, its purpose has been linked with a lot of urban issues with regards to politics and policies, economy, the use of public money, urban regeneration and improvement of the city image (Norman & Norman, 2000).

Özsoy & Bayram (2007) notices that the public space does not necessarily refer only to physical space but may also refer to non-physical space such as the internet or other virtual media. Therefore, it is not the spatial boundaries that define whether an art is for public or private audience, but its accessibility to public (Özsoy & Bayram, 2007). Public art can be installed either outdoor or indoor as long as it is accessible to all (Edmonton Arts Council, 2009).

Nikitin (2000) as quoted by Stephens (2006) emphasizes that to be effective public art (projects) must be part of an integrated multi-disciplinary approach "to enlivening the city, neighbourhood or downtown, and produced in collaboration with the people for whom they are meant". The conventional roles of artists and audience are now re-defined

where artists now play as facilitators who supervise the artwork, while the community gets involved actively as creative contributor (Stephens, 2006). Such an active engagement of public or community in the process of art making has characterized the concept of public art today which is sometimes distinctively referred as participatory public art or community art, as opposed to the conventional definition of public art.,Hence, the term 'public art' being used throughout this research refers to the definition of participatory public art or community art which emphasize the process in which community members are involved in the creative stages of the art itself; and its accessibility to all.

2.2 Different Forms of Public Art

Public art can manifest in any different forms as long as it is possible to be displayed in public spaces and accessible for public. Based on its media, public art can be encountered in different forms (Halim, 2008; Wisetrotomo, 2010; Edmonton Arts Council, 2009), such as performing arts, three-dimensional visual arts or two dimensional visual arts. Recent literature also includes contemporary non-visual arts as forms of public art, such as sound art or aromatic art. Based on its purposes, Charmichael (as quoted in Özsoy & Bayram, 2007) there are three forms of public art: historical, aesthetic and functional. (Özsoy & Bayram, 2007).

2.3 Benefits of Public Art

From the urban manager/local government's viewpoint, the role of public art in urban development or urban regeneration is perceived to bring benefits not only to the artists and the community who are involved the public art project, but also to the city. Public art has been credited with some roles in urban context which seem to be associated with other factor than the art itself such as the participatory process in which the public engagement in the project is crucial and often seen as necessary element of how community accept the art (Selwood, 1995; Sharp et al., 2005, Halim, 2008).

Marschall's (1999) review regarding the community mural art in Durban, South Africa, collected several claims on the benefits of mural art and further finds that murals sometimes are presented as a catalyst for social or political change by creating public awareness, providing social critique, and sometimes encouraging action. Yet, Marschall critically stresses that assuming murals affecting a lasting change is an overstatement. He also warns that not all murals involve community participation in the production process and therefore cannot claim the same benefits as those participatory-based murals (Marschall, 1999).

Page 46: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

36 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Teguh Setiawan

From the arrays of the benefits of any forms of public art found in the literatures, it can be said that the role of public art in urban environment does not only give benefits to the built environment (physical/visual benefits), but the social and cultural benefits as well (see Table 2).

2.4 The Role of Public Art in Urban Environment

As already discussed in the previous paragraphs, public art seems to bring a vast range of benefits either physically, socially, culturally, or economically. The following paragraphs try to see more specifically the role of public art in urban environment, namely how the public art might affects the urban environment seen from the three environmental dimensions (physical/built, social and cultural environment).

Built Environment

The main reason for many cities in Australia, Canada and the US such as Melbourne, Edmonton and Philadelphia among others to promote mural art projects is to combat graffiti and vandalism (City of Melbourne, 2007; City of Philadelphia, 2010; Edmonton Arts Council, 2009). Mural art as a form of public art mainly affects the aesthetic quality of

built environment (Craw et al., 2006). This impact is indicated by the change of perception of built environment from the perception of visual degradation to perception of visual amenity. According to Craik & Zube, cited in Defares (1979), the perception of amenity and the perception of degradation are indicators of visual quality of urban built environment (Defares, 1979).

Social Environment

The public art can increase the citizens' belongingness to their locality (reclaiming their own environment) and their feeling of safety (Wardani, 2002). Public art is also claimed to contribute to the development of a more pleasant, safe and viable community (City of Hamilton, 2008).

Cultural Environment

Derived from the discussion on the benefits of public art in the previous paragraphs, the impact of public art to cultural environment in a way that it cultural vitality of the community through strengthening local values by recognition of local culture, opening more exposure to art for the people (developing new artistic skills and creativity) and highlighting the identity of a community.

Table 2. Benefits of Public Art

Visual /Physical benefits Social/Political Benefits

Making a place more interesting and attractrive

Making bukt environment more humane

Optimizing the use of open space

Creating richer visual environment

Reducing vandalism

Beautify neighbourhood through creative process

Creating a sense of place

Bringing greater pride to the citizens for their locality

Creating job opportunities

Creating confidence among the communities (giving a sense

of purpose

Reducing violence

Creating public awareness

Providing social critique

Allowing communities to express and address problems

Cultural Benefits Economic Benefits

Being a cultural investment

Fostering the genius loci and culture

Making contemporary arts and crafts more accessible to

public

Increasing city‘s/country‘s/company‘s investment in the arts

Opening more exposure to art for the people (developing

new artistic skills and creativity)

Highlighting the identity og a community

Promoting community values

Creating employment for artists and other art-supporting

businesses

Improving the conditions for economic regeneration

Encouraging closer links between artists and the

environment-related profesions: architecture, landscaping,

engineering and design

Enhancing land values

Enhancing tourism and economic development

(Source: Researcher's Construct, 2010)

The Role of Public Art in Place Making

Physically, a place is a space which is attached with values. A space is a threedimensional structure; a place is how it is used. One same space can be different places in different times. A place is generally a space with something added—social meaning, convention, cultural understandings about role, function and nature and so on. A sense of place is the collection of meanings, beliefs, symbols, values, and feelings that individuals or groups associate with a particular space (Williams & Stewart, 1998). Özsoy &

Bayram (2007) suggest that the integration of

public art in urban transformation projects can create a feeling of place and a place identity; that helps to define urban pattern. A definable urban pattern creates a permanent impression related to the city (image of the city). From the abovementioned examples, it can be seen that public art plays a vital role in the place making in the city by creating a distinctive identity of the city or neighbourhoods.

Public Art as Cultural Capital

The concept of cultural capital was first developed by French sociologist PierrecBourdieu in early 1960s.

Page 47: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 37

According to Bourdieu (1986; in Weininger & Larau, 2007) cultural capital exists in three distinct forms, namely embodied form, objectified form and institutionalized form. Firstly, in its ―embodied‖ form, cultural capital is a competence or skill acquired through the investment of time for learning or training. Secondly, the mural itself may function as a form of cultural capital because its use (production) or consumption presupposes a certain amount of embodied cultural capital. The public art here is an ―objectified‖ form of cultural capital since it requires skills in painting to create, and certain degree of knowledge in art to understand/appreciate. Thirdly, in societies with a system of formal education, cultural capital exists in an ―institutionalized‖ form which manifests in certification and standardization (Weininger & Lareau, 2007). DiMaggio & Mukhtar (2004) interpret Bourdieu's cultural capital as "comprising types of tastes, knowledge, and modes of appreciation that are institutionally supported and very broadly acknowledged to be high-status and worthy of respect", and based on their observation on the arts participation as cultural capital in the US, 1982–2002, they conclude that art remain central in cultural capital (DiMaggio & Mukhtar, 2004). The citizen participation in public art is thus important for developing the citizens' tastes, knowledge and modes of appreciation to arts; while the citizens' level of participation in public art itself can indicate how much of cultural capital that the citizens have. Craik (2005) mentions that policy support for culture (a broader term than the Arts) is believed to increase the cultural capital of citizens; and hence contributes to the democratizing process by empowering people through creative knowledge and skills. This argument justifies why local government should allocate public funding to support public art (Craik, 2005).

The Prospect of Public Art in the Context of Urban

Environment.

Public art is perceived to bring benefits to the city, especially for urban development and regeneration. Many Western cities have adopted public art policy of some sort as part of their economic development strategies. Public art master plan seems to become an important element of the contemporary urban planning as a tool to implement the public art policy. The fact that many cities in western countries have adopted public art policy indicates the importance of public art for the city development. Not only can it generate economic return through tourism, it also can increase the cultural capital of citizens in form of creative knowledge and artistic skills. Therefore, public art seems to have a great prospect in the future to be more accepted and adopted in the field of urban management.

Conceptual Model

The conceptual model provides the logical framework for the research in the following diagram:

Figure 1. Conceptual Model

(Source: Researcher's Construct, 2010)

3. Research Methodology

The research is an exploratory study and uses case study and survey strategies. The research uses the combination of qualitative and quantitative deductive methods. Secondary data are collected through desk study (literature and documentary review). Primary data are acquired through interviews, questionnaires and field observation. This research uses purposive technique to select the source persons. A group of people representing all stakeholders involved in the subject of the study are interviewed, namely key people from the artists group, key people of the local authorities, key people of the communities, and some experts of the related disciplines. The unit of analysis is individuals representing the stakeholders involved or related to the Mural Art. Complimentary to the interviews, the purposive random sampling technique is used to acquire general opinion of the communities, by distributing questionnaires to users of Yogyakarta City, namely random individuals whose activities are in the city regardless of their home locations with the assumption that these people are the users of the urban spaces in which the murals are located.

From 150 questionnaires distributed in two sub districts, namely Timoho (public offices area), Kotabaru (educational and commercial area) and 124 were filled and returned (82.67% response rate). All missing data where people had indicated a "no opinion" response to a question or had failed to answer were given a dummy code and entered into the compilation so that all of the 124 useable questionnaires could be use in the analysis. The composition of respondents by sexes comprises of 54% female and 46% male. The fieldwork observation is conducted within the administrative boundary of Yogyakarta City. Street murals (murals along urban streets) are observed at the areas around Lempuyangan Flyover, Kelurahan Kotabaru, and Jalan Mataram. Kampung murals (murals in the neighbourhood areas) are observed in Kampung Gemblakan Bawah, Kampung Jetisharjo, Kampung Balapan and Kampung Jogokariyan.

Page 48: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

38 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Teguh Setiawan

Table 3. Source persons and Respondents Sampling Stakeholder Organizations Sample Data

Artist Group

Local Authorities Urban Expert

Local Communities

City Users

Jogja Mural

Forum (JMF) Yogyakarta City

(Managerial

Level) Duta Wacana

University

Local Artists (Kampung Level)

General Public

2

4 1

2

124

In-depth

Interviews In-depth

Interviews

In-depth Interviews

In-depth

Interviews Questionnaire

(Source: Researcher's Construct, 2010)

4. Research Area and The Case of Study

4.1 Description of the Research Area

Yogyakarta City is the capital of the Yogyakarta Special Province, Indonesia. It is the only sub-provincial region with the ‗City

1‘ status whereas

the other four sub-provincial regions are given the ‗Regency

2‘ status. Yogyakarta City is situated in the

center of the Yogyakarta Special Province which borders with Sleman Regency in the north, Bantul Regency and Sleman Regency in the east, Bantul Regency in the south, and Bantul Regency and Sleman Regency in the west. It comprises 14 districts called Kecamatan and 45 sub-districts called Kelurahan. The administrative area of Yogyakarta City covers the area of 32.50 sq km., which is 1.02% of Yogyakarta Special Province area, with the altitude of 75 to 132 meters above the sea level. Based on the census in 2000, the projected population in 2008 was 456,915 lives (48.86% male and 51.14% female). The population density was 14,059 lives per km (BPS-Statistics of Yogyakarta City, 2009). Yogyakarta City has envisioned herself as "a city of quality education, cultural tourism, prime services and growth, sustainable environment and civil society with the spirit of nurturing the harmonious world" (Municipal Regulation No. 17 of Yogyakarta Municipality, 2007). One of the missions of Yogyakarta City is to make tourism, arts and culture predominant to develop an image of Yogyakarta as a city of cultural tourism space.

4.2 The Case of Study: Mural Art in Yogyakarta

Left over and abandoned spaces are common phenomena in Indonesian cities. In many major cities in Indonesia, like Jakarta, such neglected spaces would be illegally occupied by informal sectors or the homeless. In Yogyakarta, such spaces seem to be left empty and unoccupied, making them ideal spaces for vandalism and graffiti to establish their existence (Scheepers, 2004)—another visual terror for community. Besides, such neglected marginal spaces create dirty and gloomy image to the city (Groth & Corijn, 2005). Apotik Komik, a group of comic and visual artists, initiated a public art project taking the

form of murals in several spots of the Yogyakarta City in 2002 in the City Mural Project "Sama-sama/Together" in collaboration with a group of mural artists from California. A year later, in 2003, Apotik Komik collaborated again now in California with their Mural Project "Sama-sama/You're Welcome". Apotik Komik dismissed in 2004. After the earthquake in 2006, the Jogja Mural Forum, a new community of mural artists and enthusiasts did the Midnight Live City Mural. This project then later was socialized to several kampungs (neighbourhood units) and received enthusiastic response from the communities. Many kampungs then painted the walls in the neighbourhoods and regarded the art as part of their communal identity (IVAA, 2006). The previously dull and ignored spaces then transformed into more cheerfulcolourful spaces which give more value to urban spaces—both at the city and neighbourhood levels. During the process, Apotik Komik, the artists group, started to involve local communities in 2004 to participate in the project at the kampung scale. The project continued in 2006 and then in 2008 by renewing the murals beneath the flyover at Jalan Lempuyangan organized by Jogja Mural Forum (JMF)

3 and involving some traditional artists like

Ledjar Subroto, Subandi, Sutjipto Setiyono, Sutjipto Wibagsa, Sulasno and Nursaman; and the youth of several kampungs, namely kampung Gemblakan Bawah, Kumendaman, Mancasan, Balapan, Kepuh, Prawirotaman, Brontokusuman, Pakelmulyo, Jetisharjo, Jogokaryan, Mranggen Tegal, Pasekan, Onggobayan, Kembaran, Badran and Karanganyar.

5. Case Study Analysis

5.1 Citizen Perception on Public Art

To ask the respondent their perception on each aspect of public art (represented by mural), a photo questionnaire is used. Three different pictures of artworks resembling different kinds of art are presented, namely tag graffiti, piece graffiti and mural art, each with the same corresponding questions of the seven aspects, namely artistic value of the work, aesthetic contribution to environment, nuisance, acceptability, message, appreciation for artists, and legal aspect. The respondents were only given the pictures without name of the three forms of artwork.

The five-point Likert scale is used to quantify respondents' responses to the questions. With the median as normal line, the horizontal axis is on scale 3, which means scale 1 and 2 are interpreted as negative values while 4 and 5 are positive. Using the bar charts it can be seen whether the respondents perceive each aspect of public art positively or negatively (Figure 2). Each of the seven aspects of the three forms of artwork is reviewed in the following paragraphs.

1The ‗City‘ (‗Kota‘ in Indonesian Language) administrative status is given to sub-provincial regions with urban characteristic; led by an elected Mayor. 2The ;Regency; (‗Kabupaten‘ in Indonesian language) administrative status is given to sub-provincial regions which are characterized by their rural

villages, led by an elected ‗Bupati‘. Even though the status is of the same level as ‗city‘ , regencies usually have larger geographic areas than cities. 3Jogja Mural Forum, founded 2006, is a community of artists, observers and young people interested in mural art. This community identifies itself as

a medium of art education for urban communities. JMF‘s basic principle is to position public art as a means for citizens to express their ideas.

Page 49: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 39

Figure 2. Citizens' Response to 'Mural

(Source: Data Analysis, 2010)

Figure 2 shows that from the three forms of artwork exposed to the respondents the "tag" graffiti got the most negative response whereas the mural art got the most positive response. The "piece" graffiti got fairly positive response, but slightly negative on acceptability and message aspects. It is now clear that the stronger points of mural art compared to "piece" graffiti (which requires the similar artistic skills as mural art) are on the aspects of acceptability and, especially, the message. The valuable message perceived in mural art is lacking in graffiti. Therefore, compared to graffiti, either simple "tagging" or sophisticated "piece", mural art has more positive qualities that justify the mural as the chosen form of public art in Yogyakarta City.

5.2. Impacts of Public Art on Urban Environment

5.2.1. Physical Environment

From the questionnaire, most respondents agree that mural can improve the visual quality of urban environment (Figure 3).

Figure 3. Citizens' Response to 'Mural Improves the Beauty of

Their Environment' (Source: Data Analysis, 2010)

This aesthetic impact seems obvious, and confirmed by all local government officials being interviewed, as the main reason why the local government supports the mural art at the first place, namely to replace graffiti vandalism with artistic mural art.

Another impact perceived by respondents is that mural can make their neighbourhood feel friendlier to visitors. Samuel Indratma, the coordinator of Jogja Mural Forum (JMF), describes this impact as people feel fewer burdens to greet strangers, because the mural paintings on the walls along the alley can make effective bridge of communication, the people in the Kampung now can talk about the mural on their walls to start a conversation. Also the strangers/visitors will feel more welcome when they enter a narrow alley in

the Kampung and see murals on the walls alongside the alley rather than see gang tags everywhere (Interview, 08 September 2009). In the urban context, Eko Prawoto agrees that mural makes better urban spaces, positive and livable spaces (Email, 12 September 2009).

5.2.2. Social Environment

Two impacts of mural on social environment are confirmed from the questionnaire, namely the people's belongingness to their environment and youths' creative energy outlet. The citizens' sense of ownership or belongingness to their environment is believed to improve the perception of safety. When the people in one neighbourhood or Kampung do murals on their walls, they will intuitively take care of their work. Agus Sularto asserts that murals in the Kampungs are better preserved and maintained than murals in urban streets/spaces, because nobody feels like the owner of urban spaces more than like the owner of their own surrounding (Interview, 30 September 2009).Another social impact of public art on urban environment is that mural art can make an energy outlet for the youths. This impact is confirmed by Bernard, youth mural activist in Kampung Jogokariyan. Bernard claims that because of doing mural and other art projects, the teenagers in the Kampung who used to spend their idle time drinking and causing nuisance to the neighbourhood now prefer to participate in mural painting or other art projects. Bernard further describes how proud they were when their project a two dimensional figure depicting the local hero of their Kampung, the Jogokariyan Warrior was displayed in Jogja National Museum and attended by the Sultan himself. Such achievement has brought confidence to the youth in his Kampung who used to be labelled negatively by the community (Interview, 11 September 2009).

5.2.3. Cultural Environment

Figure 4. Citizens' Response to 'Mural Can Pull Out Hidden

Talents in the Neighbourhood' (Source: Data Analysis, 2010)

From the statistical analysis, it can be seen from

Figure 4 that most respondents agree that mural can pull out hidden talents in the neighbourhood. In other words, mural can increase artistic capacity and creative skills of the citizens (improving the cultural capital of the citizen). Apart from that, mural can be developed as the cultural promotion for the city

Page 50: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

40 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Teguh Setiawan

(Prawoto, Email 12 September 2009). This is a kind of cultural benefits that can improve economic viability of the city, as confirmed by Agus Sularto (Interview, 30 September 2009) who said that if this mural phenomenon can make Yogyakarta become an international mural destination, he will support that because it means more tourists will come to Yogyakarta to make murals. Another impact of mural on cultural environment is highlighting local values. Mural can affect people's thoughts and perceptions of a place because of certain value attached to that place.

5.3. From Perception to Participation

The following paragraphs discuss the relations among three variables, namely General Perception on Mural Art, Decision to Participate, and Acceptance to Public Art. The statistical descriptive analysis using crosstabulation and Chi-square tests shows that the general perception of the public art is not directly related to the citizens' decision to participate in mural project, but significantly related to their acceptance to the public art and the acceptance is significantly related to the decision to participate. Therefore, the relations among the three aspects seem linear as illustrated in the following diagram (Figure 5).

Figure 5. Linear Relations of Perception, Acceptance and

Participation

(Source: Data Analysis, 2010)

5.4. The Prospect of Public Art in Yogyakarta City

The prospect of public art in Yogyakarta City can be observed through three indicators, namely the continuity of the public art activities/projects, the long term benefits and the public art policy.

5.4.1. Long Term Persistence: Continuity

It is important to know the Citizen Perception on the future existence of the mural art in the city. The majority of respondents want mural art to be continued for the next 20-50 years.

Figure 6. Continuity of the Mural Project

(Source: Data Analysis, 2010)

5.4.2. Long Term Benefits

To see if the public art needs to be sustained or not, it is necessary to identify the long term benefits that public art contributes to the people and to the city.

Figure 7. Citizens' Response to 'Mural Can Trigger Other

Public Art Activities' (Source: Data Analysis, 2010)

In the long run, the Mural Art in Yogyakarta City can trigger other public art activities. Respondents confirm this statement (see Figure 7). This can initiate the cultural vitality of the city as the fourth pillar of sustainability beside economic viability, social justice and ecological responsibility.

Figure 8. Citizens' Response to 'Mural Can Make the City

Image of Yogyakarta' (Source: Data Analysis, 2010)

As the following outcome of lively cultural activities in the urban context, the identity of the city or the city image can be strengthened; as confirmed by the statistic results (Figure 8). This can foster the characteristics of Yogyakarta as a cultural city, which is emphasized by Eko Prawoto, "Strengthening the image of cultural city, living tradition, openness, and high sense of livability" (Email, 12 September 2009). The long term benefits that can be expected from the public art is the urban sustainability. Assuming cultural vitality as the fourth pillar of sustainability, public art can be central to improving the livability and sustainability of Yogyakarta City.

5.4.3. Public Art Policy

Mural as a form of public art occupy public spaces and involving the citizens in its participatory process. Since it is supported by local government, it makes sense to assume that there needs to be a public policy concerning the public art. The local urban expert being interviewed, Eko Prawoto, supported the idea of the city having a specific policy on public art (Email, 12 September 2009).

Figure 9. Citizen Perception on the Need of Mural Regulation

(Source: Data Analysis, 2010)

Page 51: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 41

It is clear from the diagram (Figure 9) that the need for regulating mural art is statistically significant. Most of respondents (75.8%) indicated either agree or strongly agree on regulating the mural art in the city; that leads to the question of what aspects were to be regulated if they were given authority to do so. The next question is what are there to regulate.

Figure 10. Citizen Perception on Aspects of Mural Regulation

(Source: Data Analysis, 2010)

It appears (Figure 10) that three aspects got more than 50% responses, namely style/color theme (54%), content/message (73.4%) and location (59.7%), while the content or message of the mural appears to be the main concern for the most respondents. Eko Prawoto further explains that there needs to be a kind of grand design or master plan (Email, 12 September 2009).

6. Conclusion

Based on citizen perception on public art and its impact on urban environment in Yogyakarta City, it can be concluded that public art has positive impact on urban environment either physically, socially or culturally. The perceived benefits of public art in physical, social and cultural domains of urban environment determine the livability and thus sustainability of the city. However, public art needs to be further studied critically and to be integrated in a public art policy that includes the grand design or master plan of public art in Yogyakarta City. The issue of public art in Yogyakarta City should be taken seriously by the local government as it holds a lot of potential benefits for the city's livability and sustainability. A public art policy and public art master plan should be prominent priority for the cultural development of Yogyakarta City to achieve its vision as a cultural city. The conceptual framework to study the impact of public art in urban context is still open for possible development. More valid variables and indicators need to be developed to study different aspects of public art in urban context. The topic of public art in urban management is still growing. Production of further literature regarding the topic is still a vast opportunity. More studies of the similar topic in different cases and urban settings will be significant contributions to the body of knowledge, especially in the field of urban environmental management.

Reference 1) BPS-Statistics of Yogyakarta City (2009) Yogyakarta City in

Figures 2009, Yogyakarta, BPS-Statistics of Yogyakarta City. 2) City of Hamilton (2008) City of Hamilton Public Art Master Plan.

3) City of Melbourne (2007) Do Art Not Tags. (11 July, 2010)

4) City of Philadelphia (2010) The City of Philadelphia Mural Arts Program Retrieved 11 July, 2010

5) Craik, J. (2005) Dilemmas in Policy Support for the Arts and

Cultural Sector. Australian Journal of Public Administration 6) Craw, P. J., Leland, L. S., Bussell, M. G., Munday, S. J. & Walsh,

K. (2006) The Mural as Graffiti Deterrence. Environment and

Behavior, 38:3, 422-434. 7) Defares, P. B. (1979) Social Perception and Environmental Quality.

Urban Ecology, 4, 119-137.

8) DiMaggio, P. & Mukhtar, T. (2004) Arts participation as cultural capital in the United States, 1982–2002: Signs of decline

9) Edmonton Arts Council (2009) Edmonton Public Art Master Plan,

Edmonton, Edmonton Arts Council.

10) Groth, J. & Corijn, E. (2005) Reclaiming Urbanity: Indeterminate

Spaces, Informal Actors and Urban Agenda Setting. Urban Studies,

42:No.3, 503-526. 11) Halim, D. K. (2008) Psikologi Lingkungan Pekotaan (Psychology

of Urban Environment), Jakarta, PT Bumi Aksara.

12) Hunting, D. (2005) Public Art Policy: Examining an Emerging Discipline. Perspectives in Public Affairs, 2.

13) IVAA (2006) Jogja Berhati Mural. Video. Yogyakarta,

C-Cinema/IVAA. 14) Marschall, S. (1999) A Critical Investigation into the Impact of

Community Mural Art. Transformation, 40, 54-86.

15) Norman, E. H. & Norman, J. M. (2000) Community Operational Research Issues and Public Art Practice: The Art Director System.

The Journal of the Operational Research Society, 51:5, 510-517.

16) Özsoy, A. & Bayram, B. (2007) The Role of Public Art for Improving the Quality of Public Places in the Residential

Environment. Paper presented at ENHR International Conference:

Sustainable Urban Areas, Rotterdam, The Netherlands. 17) Scheepers, I. (2004) Graffiti and Urban Space. (July 29th, 2009)

18) Selwood, S. (1995) The Benefits of Public Arts: The polemics of

permanent art in public places, London, Policy Studies Institute. 19) Setiawan, B. (1997) Indonesian Cities in Transformation: Research

Agenda on the Local, Socio-Political Dynamics of Urban

Development. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 8:2, 16-23. 20) Sharp, J., Pollock, V. & Paddison, R. (2005) Just Art for a Just

City: Public Art and Social Inclusion in Urban Regeneration.

Urban Studies, 42:5/6, 1001-1023. 21) Stephens, P. G. (2006) A Real Community Bridge: Informing

Community-Based Learning through a Model of Participatory

Public Art. Art Education, 59:2. 22) Wardani, F. (2002) Mural project reclaims public space in Yogya.

The Jakarta Post, Tuesday, 19 November 2002, Jakarta,

23) Weininger, E. B. & Lareau, A. (2007) Cultural Capital, in Ritzer, G. (Ed.) Encyclopedia of Sociology. Oxford, UK, Blackwell.

24) Williams, D. R. & Stewart, S. I. (1998) Sense of Place: An Elusive

Concept That Is Finding a Home in Ecosystem Management.

Journal of Forestry, May 1998, 18-23.

25) Wisetrotomo, S. (2010) Seni Rupa (di Ruang) Publik. Kompas, Minggu, 10 Januari 2010, Jakarta, Kompas Gramedia.

26) Yogyakarta Municipality (2007) Municipal Regulation No. 17 of

2007 on Medium Term Regional Development Plan of Yogyakarta Municipality 2007-2011

Page 52: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

PEDOMAN BAGI PENULIS

Deskripsi Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP)

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) diterbitkan pertama kali tahun 2004 oleh Jurusan

Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Sesuai dengan

namanya, jurnal ini mempunyai misi sebagai media pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, khususnya dalam bidang arsitektur dan perencanaan. Area tulisan dalam jurnal ini

sangat luas, mulai dari teknologi bangunan, arsitektur, disain kota, sampai perencanaan

lingkungan kota, dan beberapa derivasinya. Cakupan penulisan mulai dari teori maupun

praktik yang ditulis dengan kaidah-kaidah penulisan ilmiah yang baik dan benar. JAP

direncanakan terbit 2 kali dalam setahun.

Kriteria Tulisan

JAP menerima dan menerbitkan tulisan ilmiah yang memenuhi persyaratan atau kriteria

dengan tipe atau kualitas sebagai berikut:

1. Tulisan mengandung materi asli yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu di bidang

arsitektur dan perencanaan.

2. Tulisan memberi kerangka penelitian atau proyek yang ringkas, jelas dan pembahasan

yang sesuai dengan tujuan penulisannya.

3. Tulisan mengandung informasi dan referensi detail yang bisa diketahui pembaca, sehingga

bila dikehendaki pembaca akan mudah memverifikasi keakuratannya.

4. Tulisan bebas dari usaha komersial, kepentingan pribadi, atau pun politik, di samping

tidak mengandung unsur SARA.

5. Kontribusi lain berupa diskusi yang terkait dengan tulisan yang pernah dipublikasikan

juga dimungkinkan untuk diterbitkan, dengan memenuhi persyaratan yang berlaku.

Persiapan Tulisan

Tulisan seharusnya ditulis dan diatur dalam sebuah format atau gaya yang singkat, padat, jelas,

serta mudah untuk diikuti. Sebuah tulisan informatif dengan judul yang singkat, diawali oleh

abstrak dan kata kunci yang representatif. Sebuah latar belakang atau pengantar yang ditulis

secara baik akan membantu mewujudkan tujuan ini. Jika ditulis dalam Bahasa Indonesia,

seharusnya menerapkan kaidah penulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Ditulis dengan bahasa yang sederhana, berstruktur kalimat singkat, dengan pemilihan istilah

yang tepat akan membantu mengkomunikasikan informasi yang ada dalam tulisan lebih

efektif. Penyimpangan pembahasan dari pokok yang seharusnya dituju sebaiknya dihindari.

Tabel dan gambar seharusnya digunakan untuk lebih membuat jelas tulisan. Pembaca

seharusnya dipandu secara hati-hati, tetapi jelas, dalam memahami keseluruhan tulisan.

Penulis dituntut untuk selalu berpikir bagi kepentingan pembaca.

Tulisan diskusi atau tanggapan (discussion manuscript) juga harus mengikuti persyaratan

aturan tulisan baku. Tulisan jenis ini harus dikirimkan paling lambat 6 bulan setelah tulisan

yang ditanggapi terbit.

Prosedur Review

Redaksi akan menyerahkan tulisan yang telah diterima kepada sidang redaksi untuk

menentukan review bagi tulisan yang telah diterima. Pada dasarnya setiap tulisan akan

direview oleh seorang ahli (mitra bestari) yang berkompeten di bidang yang menjadi fokus

tulisan. Sistem yang dipakai adalah ”double blind” proses, di mana mitra bestari tidak akan

Page 53: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

mengetahui penulis, dan sebaliknya penulis juga tidak akan mengetahui nama mitra bestari.

Berdasar hasil review pertama, Sidang Redaksi akan menentukan prosedur lanjutan dari

sebuah tulisan, diterima dengan perbaikan minor; diterima dengan perbaikan mayor, atau

ditolak. Tulisan yang telah direview dan memerlukan perbaikan, akan segera dikirim kepada

penulis kontak yang tertera dalam tulisan. Selain substansi tulisan yang diatur dalam proses

review, Redaksi juga berhak meminta perbaikan teknis, sebelum tulisan benar-benar

diterbitkan. Waktu perbaikan harus memenuhi ketentuan seperti yang diberikan. Setelah

proses perbaikan selesai, dan tulisan dinyatakan siap terbit, maka penulis juga harus

menyerahkan pernyataan pengalihan hak cipta bagi distribusi tulisan kepada Redaksi JAP atau

Penerbit. Semua tulisan yang masih dalam proses review, menjadi tanggung jawab redaksi

dan redaksi akan bertanggung jawab terhadap kerahasiaan isi tulisan. Semua tulisan dan

dokumen lain yang telah diserahkan kepada redaksi tidak akan dikembalikan.

Redaksi menghimbau bagi tulisan yang ditulis dengan bahasa Inggris dan penulis tidak

sebagai penutur asli, sebaiknya mencantumkan hasil review bahasa, sebelum diserahkan ke

redaksi.

Biaya Penerbitan

Tidak dikenakan biaya pada tulisan maupun pembahasan yang diterbitkan. Namun demikian,

perubahan format dari standar penerbitan yang diminta oleh penulis, akan dibebankan pada

penulis. Untuk semua kontak penggandaan tulisan, silakan kontak alamat redaksi.

Hak Cipta

Penyerahan tulisan pada JAP ini mengimplikasikan bahwa tulisan yang diterbitkan harus

orisinal, karya sendiri, belum pernah atau tidak sedang dalam proses penerbitan di publikasi

yang lain. Penulis akan diminta menyerahkan surat keterangan bermaterai yang berisi

penyerahan hak cipta (copyright) tulisan kepada penerbit, dalam hal ini redaksi JAP. Hak

cipta ini secara ekslusif akan meliputi hak untuk memproduksi, menterjemahkan, atau

mengambil sebagian/utuh tulisan (termasuk tabel, gambar, lampiran) untuk kepentingan

pengembangan ilmu pengetahuan. Jika ada pihak ketiga yang mengajukan izin untuk

memproduksi atau menggandakan tulisan, maka seharusnya Redaksi JAP yang dihubungi,

kemudian Redaksi akan menghubungi penulis untuk meminta persetujuannya. Penulis yang

menginginkan mempublikasikan ilustrasi atau gambar dan akan digunakan dalam tulisan,

seharusnya memperoleh izin tertulis dari penerbit yang bersangkutan, termasuk memuatnya

dalam keterangan ucapan terima kasih (acknowledgement) dalam gambar yang digunakan.

Izin tertulis hendaknya disertakan dalam versi final tulisan sebelum diterbitkan.

Pedoman Format Tulisan

Tulisan ditulis dengan software pengolah kata (saat ini yang paling disarankan adalah MS

World, sementara Page Maker dan software lainnya belum diterima) dalam kertas ukuran A4

(210x297cm). Tepi atas dan bawah adalah 25mm dan tepi samping (kanan maupun kiri)

adalah 20mm. Tulisan diatur dalam 2 kolom, dengan lebar kolom adalah 82mm dan jarak

antarkolom selebar 6mm. Gambar, tulisan, dan keterangannya diletakkan dan diatur (lay-out)

masuk dalam tulisan.

Tulisan ditulis dalam bahasa Indonesia (dengan abstrak berbahasa Inggris) atau keseluruhan

dalam bahasa Inggris, menggunakan jenis huruf Times New Roman ukuran 10.5point. Sebisa

mungkin atur spasi dalam area tulisan untuk bisa mengakomodasi 59 baris tulisan dari atas

Page 54: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

sampai bawah. Tulisan tangan akan langsung ditolak. Jumlah halaman dihitung mulai

halaman judul.

Panjang tulisan yang diserahkan harus memenuhi ketentuan batas halaman yang diizinkan.

Tulisan –dalam hal ini termasuk gambar, tabel, referensi, maupun ruang sisa- tidak

diperkenankan melebihi 8 halaman.

Halaman judul adalah halaman pertama tulisan. Halaman judul ini harus mengandung judul

tulisan, penulis (bisa perseorangan atau pun grup penulis), posisi, afiliasi, dan kontak penulis

yang berisi nama, posisi, afiliasi, alamat lengkap yang disertai nomer telepon, faksimili, dan

e-mail. Judul tulisan tidak diizinkan melebihi 75 karakter, termasuk spasi di antara judul.

Abstrak dan kata/frase kunci dimuat pada halaman pertama (halaman judul). Abstrak tidak

lebih dari 200 kata dan ditulis dalam bahasa Inggris. Abstrak harus secara jelas menjelaskan

isi tulisan, mulai permasalahan, metode, termasuk kesimpulannya. Kata kunci (keywords)

juga perlu dipilih secara hati-hati, sehingga pembaca terbantu secara mudah dalam

pencariannya.

Tulisan utama dibagi-bagi ke dalam beberapa bagian (heading) yang mencerminkan urutan

sekaligus mengantarkan cerita dalam tulisan. Misalnya: Pengantar akan mendeskripsikan latar

belakang, motivasi, atau maksud riset; metode akan memberikan informasi yang diperlukan

sehingga pembaca bisa memahami dan mengikuti pekerjaan atau riset yang sama;

Keseimpulan akan menyatakan kesimpulan dari fokus yang dikerjakan secara jelas, sehingga

bebas dari interpretasi.

Referensi menggunakan Harvard System. Referensi dalam teks seharusnya dikutip sesuai

aturan yang ada, misalnya Katz (1994) atau (Jenks dan Burgess, 2000) atau jika lebih dari 2

orang, Williams, dkk. (1998). Referensi atau daftar pustaka ini harus disusun berdasar abjad

di akhir tulisan dengan menampilkan nama keluarga penulis (surname). Jika ada daftar

pustaka yang ditulis orang yang sama dalam tahun yang sama, maka harus dibedakan dengan

tambahan abjad, seperti 2000a dan 2000b. Aturan penulisan referensi atau daftar pustaka ini

seharusnya mengikuti contoh berikut:

Referensi dalam bentuk buku

Nama keluarga penulis, Inisial (tahun publikasi), Judul, Edisi (jika bukan edisi

pertama), Penerbit, Tempat diterbitkan

Misalnya:

Ronald, A (2005), Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta

Referensi dalam bentuk jurnal

Nama keluarga penulis, Inisial (tahun publikasi), Judul Tulisan, Judul Jurnal, Volume

dan nomer jurnal, Penerbit, Halaman

Misalnya:

Sarwadi, A; Tohiguchi, M; Hashimoto, S. (2001) A typological analysis of houses and

people-gathering places in an urban riverside settlement. A Case Study in the Musi Urban

Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra, Indonesia, Journal of Architecture, Planning,

and Environmental Engineering (Transactions of AIJ) No 546, 207-214

Page 55: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

Referensi dari internet, sesedikit mungkin digunakan. Jika digunakan, maka penulisannya pun

tetap harus mengikuti kaidah penulisan referensi yang ada, ditambah tanggal terakhir diakses.

Catatan kaki masih dimungkinkan bila tulisan memang memerlukan keterangan tambahan,

tetapi hendaknya dibatasi. Cara penulisannya harus disesuaikan, dengan memberi keterangan

angka yang lebih kecil (superscript) pada akhir kalimat yang akan diberi keterangan. Daftar

keterangannya diletakkan sesuai nomer urut pada bagian akhir tulisan, sebelum daftar pustaka,

dengan ukuran tulisan yang lebih kecil (9point).

Rumus matematika dan simbolnya juga dimungkinkan untuk ditambahkan, dengan

memperhatikan penulisan rumus yang benar dan meletakkan angka atau tanda yang lebih

kecil secara benar (subscript atau superscript). Standar internasioanl (SI) untuk ukuran

seharusnya digunakan bila mencantunkannya. Bila ukuran tidak dalam SI maka persamaan

dalam standar SI seharusnya ditulis dibelakangnya menggunakan tanda kurung.

Tabel dan gambar bisa ditata hanya menggunakan satu kolom (82mm) atau dua kolom

sekaligus (170mm), sesuai kebutuhan dan mengingat estetika perletakan. Cara penulisan tabel

atau gambar adalah diurutkan dan menggunakan angka arab, misalnya Tabel 1, Tabel 2, atau

Gambar 1, Gambar 2, dan seterusnya. Isi tabel atau pun detil gambar sebisa mungkin harus

tetap terbaca dengan jelas. Untuk diharap memperhatikan kekontrasan maupun resolusi

gambar, sehingga memungkinkan perbesaran/perkecilan dengan baik. Untuk negatif gambar,

tidak akan diterima dan saat penerbitan izin dari penggunaan gambar (orang lain atau sumber

asli) harus disertakan.

Pada dasarnya JAP diterbitkan dalam format hitam-putih. Cetak warna dimungkinkan dengan

biaya tambahan dibebankan pada penulis. Sebaiknya hindari teknik gambar transparansi.

Penulis dalam mempersiapkan tulisan, disarankan dengan sangat untuk menggunakan model

format (template) yang telah disediakan dan dapat diunduh (download) di

http://www.archiplan.ugm.ac.id/

Page 56: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

GUIDELINES FOR WRITERS

The Description on Journal of Architecture and Planning Studies (JAP)

Journal of Architecture and Planning Studies (JAP) was first published in 2004 by

Department of Architecture and Planning, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University.

As the name implies, this journal has a mission as a medium for the development of science

and technology, especially in architecture and planning studies. JAP has broad topics of

writing, ranging from technology of building, architecture, city design, to urban

environmental planning and its derivations. The coverage of writing in JAP starts from

theories to practices, and they are well-written according to the correct scientific writing rules.

JAP is planned to publish twice a year.

Writing Criteria

JAP accepts and publishes scientific papers that meet the requirements or criteria as follows:

1. It contains beneficial authentic material for science development in architecture and

planning studies.

2. It gives brief and clear research or project framework, as well as an appropriate

explanation due to the purpose of writing.

3. It contains detail information and references generally known so that readers are able to

verify its accuracy if it is needed.

4. It is free from any commercial, personal or political interests, and does not contain the

four elements of SARA (ethnicity, religions, races, and inter-classes).

5. Another contribution in the form of discussion related to published paper is also possible

to publish, with terms and conditions applied.

Writing Preparation

Papers should be written and arranged in a concise, clear, and understandable format. It is

also should be informative with brief title, preceded by abstract and representative keywords,

plus a well-written background or introductory paragraph. If it is written in Indonesian, the

rules on good and correct writing in Indonesian should be applied. Furthermore, papers

should be written in simple language, short-sentence structured with appropriate terms and

dictions. Deviation from the main discussion should be avoided. Tables and figures should be

used to clarify the papers. Readers should be guided carefully but clearly, in understanding

the whole text. The author is required to think for the benefit of the readers.

Discussion manuscript or written responses also must follow the requirements of standard

written rules. This type of writing should be submitted no later than 6 months after the paper

responded is published.

Procedure Review

The Editor will submit all papers received to editorial staff to determine the paper review.

Basically, every article submitted to editorial staff will be reviewed by a competent expert

(mitra bestari). The system used is "double blind" process, where the mitra bestari will not

recognize the author, and the author will not recognize also the name of the mitra bestari.

Based on the result of the first review, Editor Meeting will determine the continuation

procedures of a paper, which are: accepted with minor revision, accepted with major revision,

or rejected. Papers reviewed and in need of revision will be sent to the authors according to

the listed contacts. The Editor has a right to regulate the writing substance in review process

Page 57: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

and to request technical improvements, before the writing is actually published. The revision

period has to meet the requirement. After revision process is completed and papers are

declared to be ready to publish, the authors must submit a statement of copyright transfer

toward the writing distribution to the JAP Editor or Publisher. All writing in the review

process becomes the responsibility of the Editor and the confidentiality of the writing

contents is guaranteed. All papers and other documents submitted to the Editor will not be

returned.

The Editor suggests to Indonesian authors who submit their English written papers to include

the language review before it is submitted to the Editor.

Publishing Costs

The papers and discussions published are not charged. However, if the author requests for

any format changes, the cost will be charged upon the author. For all copies made, please

contact the Editor address.

Copyright

The Editor accepts only authentic and original writings that have not published yet or not in

the process of publishing in other publications. The author will be asked to submit a stamped

letter containing the writing copyright transfer to the Editor of JAP. This copyright will

exclusively include the right to reproduce, translate, or take part/whole text (including tables,

images, and attachments) to the interest of science development. If there is a third party who

asks for a permission to produce or reproduce the writing, the Editor of JAP should be

contacted, then the Editor will ask the authors for approval. The author, who would like to

publish illustrations or images will be used in his/her writing, should obtain the written

permission from the related publisher, including put down the acknowledgement for images

used. Written permission should be included in the final version writing before publication.

Guidelines for Writing Format

The paper is written with word processing software (most recommended is MS Word, while

Page Maker and other software are not yet suggested). It is written in A4 size paper

(210x297cm), with top and bottom edge is 25mm and the margin (right or left) is 20mm. The

writing is formatted in 2 columns with its column width is 82mm and its inter-column width

is 6mm. Images, writings, and notes are placed and formatted into the text.

The paper written in Indonesian (with English abstract) or a whole paper is in English should

use Times New Roman font with 10.5 point. Wherever possible, please arrange the space in

the writing area to accommodate 59 lines of sentences from top to bottom. Handwriting will

automatically be rejected. The number of pages is calculated from the title page.

The length of submitted paper must comply with the provisions of the page limit allowed. A

paper – including images, tables, references, and remained space – are not allowed to exceed

8 pages.

The title page is the first page of the paper. The title page should contain title, author (could

be individual or group of authors), position, affiliation, and author’s contact contained of

name, position, affiliation, complete address with telephone number, fax, and e-mail. The

paper title is not permitted beyond 75 characters, including spaces between titles.

The abstract and keywords/key phrases are stated in the first page (the title page). The

Page 58: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

abstract is no more than 200 words and written in English. It must clearly describe the

contents of writings, problem formulation, methods, and the conclusion. Keywords should be

selected carefully, so that readers can be easily understood.

The main writings are divided into several headings which reflect the order and its discussion,

for example: Introduction will describe the background, motivation, or the research aims;

Methods will provide the necessary information so that readers can understand and follow the

discussion; Conclusion will wrap up the focus in clear explanation and interpretation free.

The writing on references should use the Harvard System. References in text should be cited

according to the rules, for example Katz (1994) or (Jenks and Burgess, 2000) or if it is more

than two people: Williams, et al. (1998). References or bibliography should be arranged

alphabetically in the end of text by displaying the author's family name/surname first. If there

is a reference written by the same person in the same year, it must be distinguished by

additional letters, such as 2000a or 2000b. Rules on writing references or bibliography should

go after the example follows:

References from Books

Author's surname, Initial (year of publication), Title, Edition (if it is not the first

edition), Publisher, Place of publication

For example:

Ronald, A (2005), Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta

References from Journals

Author's surname, Initials (year of publication), Paper Title, Journal Title, Volume and

number of journal, Publisher, Page

For example:

Sarwadi, A; Tohiguchi, M; Hashimoto, S. (2001) A typological analysis of houses and

people-gathering places in an urban riverside settlement. A Case Study in the Musi Urban

Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra, Indonesia, Journal of Architecture, Planning,

and Environmental Engineering (Transactions of AIJ) No. 546, 207-214

References from the Internet are used as little as possible. If it is used, the writing still

follows the rules of referencing, plus the last date accessed.

Footnote is still possible if the paper requires additional information, but it should be limited

instead. Its format should be adjusted too, by using superscript format at the end of the

sentence which needs additional notes. The description list is placed according to serial

number at the end of the writing, before the bibliography, with a smaller size text (9 point).

Any mathematical formulas and symbols are also possible to add by putting more attention to

the correct formula writing and putting the numbers or smaller signs correctly (either

subscript or superscript). The International Standard (SI) for measure should be used if it is

required. If the measurement is not in the SI equation, thus it should be written using

parentheses behind.

Tables and images can be arranged using only one column (82mm) or two columns at once

(170mm), according to the needs and layout aesthetic. The format on putting tables or

Page 59: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr

drawings are sorted by using Arabic numbers, such as Table 1, Table 2, or Figure 1, Figure 2,

and so on. The content of tables or detail images should be clearly readable as good as

possible. Please notice to the contrast or image resolution, so the magnification/reduction can

be well applied if it is needed. The negative image will not be accepted. The permission letter

of pictures using from others or original sources should be included when it is published.

Basically, JAP is published in black and white format. Color printing is possible with

additional fees charged to the author. Avoid transparency image technique.

In preparing the paper, it is suggested to the authors to use the template format provided and

can be downloaded at http://www.archiplan.ugm.ac.id/

Page 60: [COVER] OKTOBER 2010 12 VERSION.cdr