corporate entrepreneurial intention dan self- efficacy

25
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016 209 CORPORATE ENTREPRENEURIAL INTENTION DAN SELF- EFFICACY TERHADAP ENTREPRENEURIAL INTENTION PADA CITRALAND SURABAYA Okto Aditya Suryawirawan [email protected] Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya ABSTRAK: Kewirausahaan menjadi salah satu solusi utama di dalam menciptakan lapangan kerja dan mengurangi tingginya angka pengangguran di Indonesia. Serangkaian penelitian mengenai kewirausahaan telah banyak dilakukan dilingkungan sekolah atau Akademisi, namun sangat jarang dilakukan di kalangan pekerja. Sedangkan usia pekerja memiliki potensi yang lebih besar untuk lebih dulu menciptakan lapangan kerja di kemudian hari. Terkait kewirausahaan di lingkungan kerja, terdapat konsep yang dinamakan corporate entrepreneurial intention di mana kewirausahaan terjadi di dalam perusahaan yang sudah berdiri. Dengan adanya penelitian ini diharapkan perusahaan menemukan pentingnya pembinaan minat berwirausaha di dalam perusahaan, dan bagaimana itu dapat menjadi bekal mereka setelah pensiun. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh corporate entrepreneurial intention yang terdiri dari innovativeness, risk taking, dan proactive terhadap entrepreneurial intention yang dimoderasi oleh self- efficacy di Citraland Surabaya. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dan sample yang digunakan adalah karyawan dari berbagai Departemen di Citraland Surabaya. Instrumen yang digunakan di dalam penelitian ini adalah kuesioner, kemudian diuji hubungan antar variabelnya dengan partial least square, dengan menggunakan software SmartPLS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif tidak signifikan innovativeness terhadap entrepreneurial intention, pengaruh negatif tidak signifikan risk taking terhadap entrepreneurial intention, dan pengaruh negatif tidak signifikan proactiveness terhadap entrepreneurial intention. Self-efficacy ditemukan tidak mampu memoderasi pengaruh corporate entrepreneurial intention terhadap entrepreneurial intention. Kata kunci: kewirausahaan, corporate entrepreneurial intention, innovativeness, risk taking, proactiveness, self-efficacy

Upload: others

Post on 13-Feb-2022

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

209

CORPORATE ENTREPRENEURIAL INTENTION DAN SELF-

EFFICACY TERHADAP ENTREPRENEURIAL INTENTION

PADA CITRALAND SURABAYA

Okto Aditya Suryawirawan

[email protected]

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya

ABSTRAK:

Kewirausahaan menjadi salah satu solusi utama di dalam menciptakan lapangan

kerja dan mengurangi tingginya angka pengangguran di Indonesia. Serangkaian

penelitian mengenai kewirausahaan telah banyak dilakukan dilingkungan sekolah

atau Akademisi, namun sangat jarang dilakukan di kalangan pekerja. Sedangkan

usia pekerja memiliki potensi yang lebih besar untuk lebih dulu menciptakan

lapangan kerja di kemudian hari. Terkait kewirausahaan di lingkungan kerja,

terdapat konsep yang dinamakan corporate entrepreneurial intention di mana

kewirausahaan terjadi di dalam perusahaan yang sudah berdiri. Dengan adanya

penelitian ini diharapkan perusahaan menemukan pentingnya pembinaan minat

berwirausaha di dalam perusahaan, dan bagaimana itu dapat menjadi bekal

mereka setelah pensiun. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh

corporate entrepreneurial intention yang terdiri dari innovativeness, risk taking,

dan proactive terhadap entrepreneurial intention yang dimoderasi oleh self-

efficacy di Citraland Surabaya. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dan sample

yang digunakan adalah karyawan dari berbagai Departemen di Citraland

Surabaya. Instrumen yang digunakan di dalam penelitian ini adalah kuesioner,

kemudian diuji hubungan antar variabelnya dengan partial least square, dengan

menggunakan software SmartPLS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

terdapat pengaruh negatif tidak signifikan innovativeness terhadap

entrepreneurial intention, pengaruh negatif tidak signifikan risk taking terhadap

entrepreneurial intention, dan pengaruh negatif tidak signifikan proactiveness

terhadap entrepreneurial intention. Self-efficacy ditemukan tidak mampu

memoderasi pengaruh corporate entrepreneurial intention terhadap

entrepreneurial intention.

Kata kunci: kewirausahaan, corporate entrepreneurial intention, innovativeness,

risk taking, proactiveness, self-efficacy

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

210

ABSTRACT:

Enterprise became one of the main solutions to create jobs and reduce high

unemployment in Indonesia. A series of studies on entrepreneurship have been

carried out in the environment of the school or academics, but very rarely do

among workers. While working age have a greater potential to be used to create

jobs in the future. Related entrepreneurial work environment, there is a concept

called corporate entrepreneurial intention in which entrepreneurship occurs

within existing firms. Given this research expected the company discovered the

importance of fostering entrepreneurship interest in the company, and how it can

be equipped them after retirement. This study aims to examine the influence of

corporate entrepreneurial intention which consists of innovativeness, risk taking,

and proactive towards entrepreneurial intention moderated by self-efficacy in

Citraland Surabaya. This research is a quantitative and samples used are

employees of various Departments in Citraland Surabaya. The instrument used in

this study was a questionnaire, then tested the relationship between the variables

with partial least squares, using software SmartPLS. The results of this study

indicate that there are no significant negative effect on the innovativeness of

entrepreneurial intention, no significant negative effect on the risk-taking

entrepreneurial intention, and no significant negative influence proactiveness

towards entrepreneurial intention. Self-efficacy was found to be able to moderate

the influence of corporate entrepreneurial intention to entrepreneurial intention.

Key words: entrepreneurship, corporate entrepreneurial intention,

innovativeness, risk taking, proactiveness, self-efficacy

PENDAHULUAN

Indonesia pada Februari tahun 2013, memiliki 121,2 juta angkatan kerja,

dengan jumlah angkatan kerja sebesar itu, tingkat pengangguran terbuka pada

Februari tahun 2015 adalah sebesar 5,81%, yang berarti terdapat 7 juta angkatan

kerja yang masih menganggur di Indonesia (BPS, 2015). Dari pernyataan tersebut

terlihat bahwa lapangan kerja di Indonesia masih jauh dari cukup untuk

menampung tenaga kerja yang ada. Walaupun dengan jumlah penduduk Indonesia

yang besar kesempatan untuk mendirikan bisnis sebenarnya sangat terbuka lebar,

karena itu sangat penting untuk menumbuhkan minat kewirausahaan pada

penduduk di Indonesia. Sehingga, mereka khususnya angkatan kerja yang ada,

tidak hanya berorientasi untuk bekerja sebagai pegawai, tetapi juga menjadi

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

211

penyedia lapangan kerja, semakin banyak usaha baru yang berdiri. Semakin luas

pula lapangan kerja bagi angkatan kerja yang sangat tinggi tingkat penawarannya,

dibandingkan tingkat permintaannya.

Ciputra (2011) menyatakan bahwa ketertinggalan Indonesia dibandingkan

dengan Singapura dan Malaysia adalah karena jumlah Entrepreneur yang terlalu

sedikit, apabila Indonesia dipenuhi oleh Entrepreneur maka Indonesia akan

semakin sejahtera. Entreprenur ini akan membuka lapangan kerja yang lebih

banyak, mengolah kekayaan alam Indonesia sehingga memiliki nilai tambah yang

lebih besar dan dipasarkan ke seluruh dunia, dan keindahan alam dan budaya

Indonesia dari Sabang sampai Merauke akan menjadi sumber devisa bagi negara.

Phelps dalam Ciputra (2011) juga menyatakan bahwa entrepreneurship dan

insititusi ekonomi yang memfasilitasinya, akan memiliki dampak pada kehidupan

masyarakat dan juga aspek sosial seperti produktifitas nasional, tingkat gaji dan

pengangguran. Ciputra (2011) menyatakan bahwa kewirausahaan memiliki makna

kecakapan mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas, dan untuk mengubah

kotoran menjadi emas tersebut, diperlukan adanya perubahan yang kreatif dan

dramatis, selain itu kotoran dan rongsokan tersebut harus diubah menjadi sesuatu

yang bernilai dalam persepsi pasar, bukan hanya kreatif menurut penciptanya.

Kewirausahaan menurut Ciputra (2011) dapat menjadi sebuah strategi

utama bagi organisasi. Strategi kewirausahaan dapat mensejahterakan bangsa

dengan memberdayakan sebanyak mungkin rakyat untuk mampu menciptakan

pekerjaan bagi diri sendiri, mewujudkan pembangunan manusia Entrepreneur

melalui pendidikan, membuat kekuatan utama ekonomi nasional bertumpu pada

perusahaan kecil dan menengah yang inovatif, mengurangi kesenjangan sosial,

dan membuat rakyat Indonesia menjadi aktor dalam proses pembangunan

nasional. Pernyataan tersebut sejalan dengan pernyataan dari Timmons dan

Spinelli (2011), bahwa tidak ada proses institusional yang menawarkan

kesempatan untuk mencukupkan diri sendiri, meyakinkan diri sendiri, dan

meningkatkan ekonomi selain proses entrepreneurial. Kunci utama untuk

mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan sekaligus membangun

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

212

kesejahteraan bangsa adalah dengan memberdayakan sebanyak mungkin anak

bangsa untuk tidak menganggur, tidak jadi orang miskin, dan mampu mengelola

diri untuk menjadi sejahtera yang batasnya adalah cita-citanya sendiri.

Dengan melihat transisi individu dari karyawan menuju Entrepreneur

sebagai akibat dari adanya entrepreneurial orientation, terdapat konsep yang

dinamakan corporate entrepreneurial intention, di mana organisasi dapat

memfasilitasi entrepreneurial intention dari karyawan dengan mendirikan cabang

perusahaan yang baru, atau anak perusahaan yang baru (Mangematin et al. dalam

Fini, Grimaldi, Marzocchi, Sobrero, 2010). Keputusan apapun yang akan diambil

oleh karyawan melalui entrepreneurial intention atau perusahaan melalui

corporate entrepreneurial intention, tetap memiliki andil dalam usaha

peningkatan lapangan kerja demi menurunkan tingkat pengangguran, dengan

asumsi bahwa corporate entrepreneurial intention yang dapat didukung oleh

perusahaan mampu meningkatkan entrepreneurial intention. Finn et al. (2010)

menyatakan bahwa konsep corporate entreprenurial intention didasari oleh aspek

innovativeness, proactiveness, dan riskiness, sehingga dapat disimpulkan bahwa

konsep corporate entrepreneurial intention serupa dengan konsep entrepreneurial

orientation yang telah dipaparkan di atas.

Fishbein dan Ajzen dalam Boyd & Vozikis (1994) menyatakan bahwa

konsep intention adalah fungsi dari kepercayaan yang menciptakan hubungan

antara kepercayaan dengan perilaku yang berkaitan, di mana seseorang akan

membentuk sikap terhadap perilaku berdasarkan kepercayaan bahwa dengan

menunjukkan perilaku tersebut, akan dapat menghasilkan konsekuensi tertentu.

Hal inilah yang menjadi dasar dari konsep Birds dalam Boyd & Vozikis (1994),

yang menyatakan bahwa konsep self-efficacy terintegrasi dengan pengembangan

entreprenurial intentions dan entrepreneurial behavior. Self-efficacy adalah

tingkatan di mana seseorang merasa mampu untuk melakukan sesuatu (Krueger

dalam Boyd dan Vozikis, 1994). Bandura dalam Boyd & Vozikis (1994) juga

menyatakan bahwa konsep self-efficacy, yang diambil dari teori pembelajaran

sosial, memiliki peran penting dalam pengembangan entrepreneurial intention

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

213

dan entrepreneurial action. Tanpa adanya tingkatan tertentu dari self-efficacy

maka sangat tidak mungkin seorang calon entrepreneur akan termotivasi untuk

menjalankan proses pendirian perusahaan baru (Boyd dan Vozikis, 1994; Krueger

dan Brazeal, 1994; Markman et al., 2002; Zhao et al. dalam Hmieleski dan Baron,

2008).

Dari paparan di atas penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak

corporate entrepreneurial intention yang terdiri dari risk taking, innovativeness,

dan proactive personality terhadap entrepreneurial intention. Penelitian ini juga

melihat apakah self-efficacy mampu meningkatkan pengaruh corporate

entrepreneurial intention terhadap entrepreneurial intention.

KAJIAN PUSTAKA

Lumpkin dan Dess berdasarkan konsep dari Miller (1983) membagi dimensi

entrepreneurial orientation menjadi tiga, yaitu: innovativeness, risk taking, dan

proactive. Namun, innovativeness, risk taking, dan proactive dalam penelitian

Fini et al. (2010) digunakan untuk mendefinisikan konsep corporate

entrepreneurial intention. Serangkaian penelitian menyatakan bahwa istilah-

istilah lain seperti intrapreneuring (Pinchot dalam Antoncic dan Hisrich, 2001),

corporate entrepreneurship (Burgelman, 1983; Vesper, 1984; Guth and Ginsberg

1990; Hornsby et al. 1993, Stopford and BadenFuller 1994), corporate venturing

(MacMillan, 1986; Vesper dalam Antoncic dan Hisrich, 2001), dan internal

corporate entrepreneurship (Schollhammer, 1981, 1982; Jones dan Butler dalam

Antoncic dan Hisrich, 2001) telah digunakan untuk menjelaskan konsep

entrepreneurship didalan organisasi sebagai proses pengembangan sebuah

kesempatan untuk menciptakan nilai melalui inovasi dan mempertahankan

kesempatan tersebut terlepas keberadaan sumber daya atau lokasi dari

entrepreneur di sebuah perusahaan baik itu baru ataupun telah berdiri (Churchill

dalam Antoncic dan Hisrich, 2001).

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

214

Fini (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa corporate

entrepreneurial intention adalah sebuah niatan untuk menciptakan nilai melalui

tindakan yang innovative, risky, dan proactive, sehingga dengan melihat tujuan

dari penelitian ini, konsep tersebut yang akan digunakan. Burgelman (1983)

menyatakan bahwa corporate entrepreneurship adalah proses pada organisasi

yang besar dan kompleks, yang dimodifikasi melalui pengembangan internal.

Burgelman (1983) menyatakan bahwa organisasi membutuhkan keteraturan dan

keragaman dalam mempertahankan strategi entrepreneurial. Guth dan Ginsberg

(1990) menyatakan bahwa corporate entrepreneurship adalah entrepreneurship

yang terjadi di dalam sebuah organisasi. Corporate entrepreneurship menurut

Zahra (1991) mengacu pada aktifitas formal dan informal yang bertujuan

menciptakan bisnis baru pada perusahaan yang sudah berdiri melalui inovasi

produk dan proses serta pengembangan pasar. Aktifitas tersebut dapat terjadi di

dalam perusahaan, divisi, fungsional, atau proyek, dengan satu tujuan yaitu

meningkatkan posisi kompetitif perusahaan di dalam pasar dan juga performa

keuangan. Corporate entrepreneurship juga meliputi pembaharuan strategi dari

bisnis yang sudah ada. Sharma dan Chrisman (1999) mengartikan corporate

entrepreneurship sebagai proses di mana individu atau sekumpulan individu,

terkait dengan organisasi yang sudah ada, menciptakan organisasi atau

memunculkan inovasi baru di dalam organisasi tersebut. Saly (2001) menyatakan

bahwa corporate entrepreneurship adalah proses identifikasi dan penggunaan

kesempatan dengan menangani kombinasi sumber daya yang baru secara kreatif,

di dalam perusahaan yang telah berdiri.

Innovativeness menurut Robinson et al. dalam Ferreira et al. (2012) adalah

mempersepsikan dan melakukan aktifitas bisnis dengan cara yang baru dan unik.

Innovativeness adalah salah satu karakteristik psikologis yang dapat

mempengaruhi pengambilan keputusan untuk mendirikan bisnis pada seorang

individu (McClelland, 1961; Brockhaus, 1980; Krueger dalam Ferreira et al.

(2012), namun innovativeness yang dipakai di dalam penelitian ini merefleksikan

tendensi perusahaan untuk mendukung ide baru, hal baru, eksperimen, dan proses

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

215

kreatif yang dapat menghasilkan produk, jasa, atau proses teknologi baru (Miller

dan Friesen dalam Lumpkin dan Dess, 1994). Serangkaian penelitian juga

menyatakan bahwa atribut psikologis seperti innovativeness dapat diperoleh dari

budaya yang ada di lingkungan individual, dalam hal ini perusahaan (Gibb dan

Ritchie, 1982; Vesper, 1990; Radu dan Redien-Collot, 2008; Wincent dan

Ortqvist, 2009). Schumpeter dalam Lumpkin dan Dess (1994) adalah salah satu

dari peneliti yang menekankan peran inovasi pada proses entrepreneurial.

Schumpeter dalam Lumpkin dan Dess (1994) menggambarkan proses ekonomi

yang dinamakan creative destruction, di mana kesejahteraan diciptakan ketika

struktur pasar yang ada terganggu oleh pengenalan barang dan jasa baru, yang

memindahkan sumber daya dari satu perusahaan yang telah berdiri ke perusahaan

baru yang akan menjadi tumbuh berkembang. Kunci dari siklus tersebut adalah

entrepreneurship, penciptaan kombinasi baru yang inovatif sebagai bentuk

kompetitifitas baru yang mendorong evolusi perekonomian yang dinamis.

Innovativeness merepresentasikan kemauan dasar untuk meninggalkan

teknologi dan praktek yang sudah ada dan bergerak ke arah keadaan yang lebih

maju (Kimberly dalam Lumpkin dan Dess, 1994). Inovasi adalah inti dari

entrepreneurship dan memiliki banyak bentuk, seperti pengenalan produk, proses,

teknologi, sistem, dan teknik yang baru (Covin dan Miles dalam Chow, 2006).

Kapasitas untuk melakukan inovasi memiliki dampak yang besar pada performa

bisnis dan dapat memberikan sumber keunggulan kompetitif. Karena itu

innovativeness kemudian menjadi faktor penting sebagai karakter dari

entrepreneurship. Innovativeness juga merefleksikan bagaimana perusahaan

mencari kesempatan-kesempatan baru (Lumpkin dan Dess, 1994).

Risk taking adalah tingkatan di mana seseorang bersedia untuk mengambil

keputusan yang besar dan beresiko berkenaan dengan sumber daya perusahaan,

yang dapat mengakibatkan adanya beban biaya tambahan apabila terjadi

kesalahan (Miller dan Friesen dalam Lumpkin dan Dess, 1994). Kuip dan Verheul

dalam Ferreira et al. (2012) menyatakan bahwa propensity to risk berhubungan

dengan sebuah aktifitas yang memiliki kemungkinan untuk sukses di bawah

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

216

100%. Cantillon dalam Lumpkin dan Dess (1994) menyatakan bahwa faktor

mendasar yang memisahkan antara Entrepreneur dengan karyawan adalah

ketidakpastian dan resiko dari self-employment. Serangkaian penelitian

menyatakan bahwa atribut psikologis seperti risk taking juga dapat diperoleh dari

budaya yang ada dilingkungan kerja individu (Gibb dan Ritchie, 1982; Vesper,

1990; Radu dan Redien-Collot, 2008; Wincent dan Ortqvist dalam Ferreira et al.,

2012).

Individu lebih berani mengambil resiko apabila hasil dari tindakan yang

dilakukannya bergantung pada keterampilan yang mereka miliki daripada

bergantung pada kesempatan (Heath dan Tversky, 1991; Camerer dan Lovallo,

1999; Vlek dan Stallen, 1981; Weinstein, 1984). Serangkaian Penelitian yang

dilakukan menunjukkan bahwa Entrepreneur memiliki sikap yang positif terhadap

resiko dibandingkan dengan mereka yang bukan Entrepreneur (Begley dan Boyd,

1987; Carland et al., 1995; Stewart et al. dalam Macko dan Tyszka, 2009).

Konsep risk taking sendiri telah dikaitkan dengan entrepreneurship sejak lama.

Definisi awal dari entrepreneurship berpusat pada kemauan Entrepreneur untuk

menjalankan bisnis dengan resiko yang telah diperkirakan (Brockhaus dalam

Kreiser et al., 2001). McClelland dalam Kreiser et al. (2001) menyatakan bahwa

semua ahli teori setuju bahwa entrepreneurship melibatkan pengambilan resiko

akan sesuatu. Begley dan Boyd dalam Kreiser et al. (2001) menemukan bahwa

risk taking memiliki hubungan dengan performa pada perusahaan entrepreneurial.

Organisasi dengan budaya yang mempertahankan ekspektasi yang positif bagi

hasil yang akan dicapai di masa depan, yang mau menghadapi stress dan

kegelisahan yang ditimbulkan oleh ketidakpastian, yang memberikan nilai

terhadap ambisi dan kesuksesan pribadi, akan cenderung menunjukkan tingkat

risk taking yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang lebih menghargai

kepastian dan perilaku yang lebih konservatif.

Proactiveness didefinisikan sebagai tindakan antisipasi masalah, kebutuhan,

atau perubahan yang mungkin muncul di masa depan (Webster’s Ninth New

Collegiate Dictionary dalam Lumpkin dan Dess (1994). Bateman dan Crant

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

217

dalam Crant (1996) mendefinisikan proactive personality sebagai seseorang yang

tidak merasa dibatasi oleh kekuatan situasional dan mempengaruhi proses

perubahan yang terjadi di dalam sebuah lingkungan. Proactive personality

melakukan identifikasi pada kesempatan dan menanggapi kesempatan tersebut,

orang yang memiliki kepribadian ini menunjukan inisiatif, mengambil tindakan,

dan mempertahankannya sampai mereka mencapai perubahan yang berarti. Sifat

yang proactive mengandung sebuah tendensi untuk melakukan dan

mempertahankan tindakan yang secara langsung mengubah lingkungan di sekitar

seseorang (Bateman dan Crant dalam Crant (1996). Proactivity adalah sebuah

sifat yang instrumental karena termasuk salah satu dari serangkaian perilaku yang

dapat berdampak kepada lingkungan yang ada di sekitar individu (Crant, 1996).

Konsep dari proactiveness mengacu pada bagaimana organisasi berusaha

memimpin daripada sekedar mengikuti kompetitor pada area bisnis yang utama

sebagai pengenalan produk dan jasa, teknologi, serta teknik administratif yang

baru (Covin dan Slevin dalam Antoncic dan Hisrich, 2001). Covin dan Slevin

dalam Antoncic dan Hisrich (2001) merasa bahwa hal tersebut terlihat dalam

kecenderungan perusahaan untuk bertindak secara agresif dan proaktif saat

berkompetisi dengan pesaing di dalam industri.

Perusahaan yang proactive cenderung mengambil resiko dengan melakukan

eksperimen (Stopford dan Baden-Fuller dalam Antoncic dan Hisrich, 2001),

perusahaan mengambil inisiatif (Lumpkin dan Dess dalam Antoncic dan Hisrich,

2001) dan teguh serta agresif dalam mengejar kesempatan (Covin dan Slevin

dalam Antoncic dan Hisrich, 2001). Orientasi yang proactive telah danggap

sebagai bagian dari proses entrepreneurship. Kecenderungan mengambil tindakan

dan inisiatif telah dinyatakan oleh Shapero dan Sokol dalam Crant (1996) sebagai

sikap yang proactive. Krueger dan Brazeal dalam Crant (1996) juga telah

menggambarkan konsep proactive sebagai propensity to act pada penelitian yang

mereka lakukan mengenai entrepreneurial intention dan entrepreneurial

potential. Bateman dan Crant dalam Crant (1996) menyatakan bahwa kepribadian

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

218

yang proactive memiliki implikasi terhadap pemilihan pekerjan, yang dalam hal

ini termasuk mendirikan sebuah usaha atau entrepreneurship.

Beberapa konsep menyatakan bahwa dimensi dari entrepreneurial

orientation atau dalam penelitian ini corporate entrepreneurial intention harus

dilihat bukan sebagai satu karakteristik, namun sebagai kerangka terpisah yang

saling berhubungan (Lumpkin dan Dess, 1996; Lyon et al. dalam Naldi et al.,

2007). Perusahaan dapat memiliki tingkatan innovativeness, proactiveness, dan

risk taking yang berbeda, sehingga mereka tidak dapat disejajarkan secara sama

antar tiap dimensi. Namun, dimensi tersebut memiliki hubungan yang positif

antara satu sama lain (Lumpkin dan Dess dalam Naldi et al., 2007), dan telah

dibuktikan secara empiris (Rauch et al. dalam Naldi et al., 2007).

Definisi entrepreneurship adalah penciptaan perusahaan baru (Low dan

MacMillan dalam Boyd dan Vozikis, 1994), sedangkan intention telah

dikonseptualisasi sebagai fungsi dari kepercayaan yang memberikan hubungan

antara rasa percaya dengan perilaku yang mengikutinya (Fishbein dan Ajzen

dalam Boyd dan Vozikis, 1994). Entreprenurial intention berarti sebuah

pemikiran yang mengarahkan dan membimbing tindakan dari Entrepreneur

menuju pengembangan dan implementasi dari konsep bisnis (Boyd dan Vozikis,

1994). Pernyataan ini berasal dari model yang dicetuskan oleh Bird (1988) tentang

entrepreneurial intentionality, yang diambil dari teori dasar psikologi kognitif

mengenai bagaimana menjelaskan atau memprediksi perilaku manusia. Bird

(1988) mendefinisikan entrepreneurial intention sebagai representasi kognitif dari

tindakan individu untuk mendirikan perusahaan sendiri atau menciptakan nilai

baru di dalam perusahaan yang sudah berdiri. Dalam proses pendirian sebuah

organisasi entrepreneurial intention adalah faktor yang sangat penting, karena

merupakan hal yang pertama kali terbentuk pada serangkaian tindakan pendirian

sebuah organisasi (Bird, 1988). Fishbein dan Ajzen dalam Lee, et al. (2011) juga

menyatakan bahwa niatan terhadap sebuah perilaku dapat menjadi indikator yang

kuat terhadap perwujudan perilaku tersebut.

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

219

Konsep self-efficacy di atas ditarik dari konsep theory of planned behavior

dari Ajzen dalam Boyd dan Vozikis (1994), yang mengacu pada suatu persepsi,

yang secara spesifik mengarah pada pencapaian sebuah perilaku atau tujuan dari

perilaku tersebut. Krueger (1993) menyatakan bahwa perceived feasibility, atau

tingkatan di mana seseorang merasa mampu untuk mencapai suatu tujuan, yang

dalam hal ini adalah memulai sebuah bisnis, adalah antecedent yang penting bagi

terbentuknya entrepreneurial intention, sehingga self-efficacy yang merupakan

perluasan dari konsep tersebut, adalah variabel yang dianggap mampu

menjelaskan besarnya entrepreneurial intention pada diri seseorang (Boyd dan

Vozikis, 1994).

Self-efficacy mengacu pada kepercayaan seseorang untuk menyelesaikan

pekerjaan tertentu (Bandura dalam Boyd dan Vozikis, 1994). Self-efficay

mempengaruhi kepercayaan seseorang mengenai apakah tujuan mereka dapat

terpenuhi. Bandura dalam Boyd dan Vozikis (1994) menyatakan bahwa pilihan,

aspirasi, usaha, dan ketahanan di mata seseorang adalah merupakan pengaruh dari

persepsi diri orang tersebut terhadap kemampuan mereka. Apabila sebuah

perilaku dipandang berada di luar kemampuan dari seseorang, maka ia tidak akan

mewujudkan perilaku tersebut.

Self-efficacy adalah sebuah perceived feasibility, atau tingkatan di mana

seseorang merasa mampu untuk mencapai tingkat performa tertentu (Bandura

dalam Poon dan Junit (2009), yang pada konteks entrepreneurial intention adalah

perasaan mampu untuk mendirikan sebuah bisnis. Hal tersebut merupakan faktor

penting dalam mendirikan sebuah bisnis baru (Krueger dalam Boyd dan Vozikis,

1994). Wood dan Bandura dalam Poon dan Junit (2009) menggunakan konsep

self-effficacy tersebut dan menyatakan self-efficacy sebagai kemampuan seseorang

untuk menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang

diperlukan untuk memenuhi permintaan tertentu.

Self-efficacy adalah penentu utama dari motivasi dan perilaku (Bandura

dalam Poon dan Junit (2009) dan telah diterapkan untuk meningkatkan performa

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

220

pada berbagai situasi yang beragam (Barling dan Beattie, 1983; Gist et al., 1989,

1991; Locke et al., 1984; Silver et al. dalam Poon dan Junit, 2009). Self-efficacy

juga variabel penting yang dapat menjelaskan kekuatan dari sebuah

entrepreneurial intention dan kemungkinan bahwa intention tersebut dapat

berwujud sebagai entrepreneurial action (Boyd dan Vozikis, 1994).

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, di mana penelitian

dengan menggunakan pendekatan kuantitatif menitikberatkan pada pengujian

hipotesis, data yang digunakan harus terukur, dan akan menghasilkan kesimpulan

yang yang dapat digeneralisasikan. Pendekatan kuantitatif ini menggunakan

statistik. Reliabititas dan validitas merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi

dalam menggunakan pendekatan ini karena kedua elemen tersebut akan

menentukan kualitas hasil penelitian dan kemampuan replikasi serta

generalisasi penggunaan model penelitian yang sejenis (Subiyanto, 2000).

Penilaian terhadap pernyataan responden diukur dengan menggunakan skala

yang telah dimodifikasi menjadi 4 tingkat untuk mengeliminasi kelemahan yang

dikandung oleh skala 5 tingkat, karena seringkali poin tengah atau poin netral

digunakan responden ketika mereka tidak yakin dengan pilihannya, serta untuk

menghindari central tendency sehingga dapat diketahui dengan jelas arah dari

jawaban responden (Kulas dalam Tsang, 2012). Adapun skala likert yang telah

dimodifikasi adalah sebagai berikut: 1 = Sangat tidak setuju, 2 = Tidak Setuju, 3

= Setuju, 4 = Sangat Setuju.

Batasan populasi dan sampel yang digunakan dalam penelitian ini antara

lain adalah karyawan dari berbagai Departemen, yang bekerja di Citraland

Surabaya. Melalui wawancara dengan salah satu Manajer dari Citraland Surabaya,

dapat disimpulkan bahwa seluruh karyawan memahami dengan baik budaya

entrepreneurship yang ditanamkan di dalam perusahaan dan mereka dapat dengan

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

221

mudah mendapatkan informasi mengenai aspek non-finansial terkait dengan

performa perusahaan.

Dalam penelitian ini, metode pengambilan sampel yang digunakan adalah

metode non-probability purposive sampling, yaitu kuisioner diberikan kepada

karyawan perusahaan Citraland Surabaya yang dianggap mengerti seluk beluk

perusahaan dan informasi mengenai performa perusahaan dari segi non-finansial.

Dalam sebuah penelitian, ukuran sampel yang dibutuhkan agar data terdistribusi

secara normal adalah 30 responden (Gosset dalam Zabel, 2008). Maka dari itu

peneliti memerlukan setidaknya 30 responden untuk melakukan pengujian.

Setelah memperoleh keseluruhan data, maka langkah selanjutnya adalah

melakukan analisis dari hasil yang diperoleh di lapangan. Penelitian ini

menggunakan alat analisis PLS dengan software SmartPLS.

Data dari penelitian ini diperoleh dari penyebaran kuesioner kepada

sampel/responden penelitian. Kuesioner yang disebarkan sebanyak 100 kuesioner

namun yang kembali berjumlah 54 kuisioner dan yang dapat digunakan pada

penelitian ini berjumlah 49 kuesioner. Kuesioner disebarkan pada seluruh

karyawan yang bekerja di Citraland Surabaya. Citraland Surabaya sendiri adalah

bagian dari perusahaan holding Ciputra group, yang merupakan cikal bakal core

bisnis dari perusahaan yang bergerak spesifik di bidang perumahan. Selain

perumahan kini Ciputra Group memiliki berbagai lini produk lainnya yang

diantaranya bergerak dibidang golf, pusat perbelanjaan, pendidikan dan taman

hiburan. Kuisioner dibagian ke seluruh karyawan terlepas dari posisi atau

departemen manapun karyawan tersebut bekerja.

Pada analisis outer model, terdapat analisis mengenai validitas dan

reliabilitas indikator dari PLS. Validitas indikator terdiri dari convergent validity

dan discriminant validity, sedangkan reliabilitas dapat dilihat dari composite

reliability atau cronbach alpha.

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

222

Pada Tabel 1 tampak bahwa dari indikator-indikator reflektif tiap-tiap

variable yang digunakan dalam penelitian ini I3, R2, dan S6 memiliki nilai T

statistik <1,96 sehingga ketiga indikator tersebut dieliminasi.

Semua akar AVE pada penelitian memiliki nilai yang lebih besar dari

korelasi antar konstruknya. Dengan demikian dapat disimpulkan model dalam

penelitian ini telah memiliki discriminant validity yang baik.

Nilai composite reliability untuk keseluruhan variabel pada penelitian ini

bernilai > 0.50. Dengan demikian, model penelitian ini dapat dikatakan reliabel

atau memenuhi kriteria composite reliability.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terdapat hubungan negatif antara innovativeness (I) dengan entrepreneurial

intention (EI). Hal tersebut tampak pada nilai original sample I>EI sebesar -0,264.

Hubungan positif tersebut tidak signifikan dikarenakan nilai T Statistic I>EI

sebesar 1,253 atau < 1,96. Terdapat hubungan negatif antara risk taking (R)

dengan entrepreneurial intention (EI). Hal tersebut, tampak pada nilai original

sample R>EI sebesar -0.035. Hubungan positif tersebut tidak signifikan

dikarenakan nilai T Statistic R>EI sebesar 0.165 atau < 1,96. Terdapat hubungan

negatif antara proactiveness (I) dengan entrepreneurial intention (EI). Hal

tersebut tampak pada nilai original sample P>EI sebesar -0,230. Hubungan

negatif tersebut tidak signifikan dikarenakan nilai T Statistic P>EI sebesar 1,188

atau < 1,96. Secara statistik self-efficacy tidak mampu memperkuat pengaruh

innovativeness (I) terhadap entrepreneurial intention (EI). Hal tersebut tampak

dari nilai T Statistic Interaction Effect SE: I>EI sebesar 1,088 atau < 1,96 yang

menandakan tidak signifikan. Secara statistik Self-efficacy tidak mampu

memperkuat pengaruh risk taking (R) terhadap entrepreneurial intention (EI). Hal

tersebut tampak dari nilai T Statistic Interaction Effect SE: P>EI sebesar 0,602

atau < 1,96 yang menandakan tidak signifikan. Secara statistik Self-efficacy tidak

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

223

mampu memperkuat pengaruh proactiveness (P) terhadap entrepreneurial

intention (EI). Hal tersebut tampak dari nilai T Statistic Interaction Effect SE:

P>EI sebesar 0,682 atau < 1,96 yang menandakan tidak signifikan.

Hasil pengujian hubungan antara innovativeness dengan entrepreneurial

intention adalah negatif tidak signifikan. Hasil yang negatif tidak signifikan secara

statistik dapat dikarenakan karakteristik jawaban dari responden. Meskipun

melalui wawancara diketahui bahwa perusahaan sangat mendukung inovasi dari

karyawan, masih ada beberapa karyawan yang merasa bahwa perusahaan tidak

mendukung inovasi mereka di dalam perusahaan, pada pertanyaan seputar

dukungan terhadap cara baru dalam pemasaran atau merespon cara pesaing,

beberapa karyawan menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan tersebut,

demikian juga pada pertanyaan terkait solusi pemasaran dan membuahkan

pemikiran dan perilaku yang orisinil demi kemajuan perusahaan. Hal ini, dapat

disebabkan karena mayoritas lahan di Citraland sudah terpakai sehingga semakin

sedikit ruang untuk berkembang di dalam perusahaan.Hasil tersebut sejalan

dengan penelitian Ferreira et al. (2012) yang tidak menemukan pengaruh

signifikan innovativeness terhadap entrepreneurial intention, namun meskipun

begitu, pengaruh positif yang ada pada penelitian ini sejalan dengan serangkaian

penelitian yang menemukan pengaruh positif innovativeness terhadap

entrepreneurial intention (Koh, 1996; Bygrave, 1989; Robinson et al., 1991).

Hasil pengujian hubungan antara risk taking dengan entrepreneurial

intention adalah negatif tidak signifikan. Dari karakteristik jawaban responden,

dapat terlihat bahwa responden cenderung menjawab dengan tidak setuju dan

sangat tidak setuju pada pertanyaan seputar pengambilan keputusan yang sifatnya

tidak pasti, dan lebih dari setengah responden menjawab tidak setuju dan sangat

tidak setuju pada pertanyaan seputar pengambilan keputusan yang mampu

membahayakan karier mereka di dalam perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa

posisi mereka di dalam perusahaan sebagai karyawan masih memegang peranan

penting bagi mereka meskipun mereka memiliki kemauan yang besar untuk

berwirausaha. Hasil wawancara juga mengatakan bahwa semua pengambilan

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

224

keputusan yang beresiko akan ditampung dan didiskusikan resikonya secara

bersama-sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa sangat jarang terjadi situasi di

mana karyawan harus mengambil keputusan sendiri yang dapat berpotensi

membahayakan karier mereka di dalam perusahaan. Hudgens dan Fatkin (1985

dalam Powel dan Ansic, 1997) juga menyatakan bahwa wanita memiliki

preferensi yang lebih rendah mengenai risiko dibandingkan pria. Hal ini juga

dapat menjadi penyebab hasil yang bertentangan dengan landasan teori pada

penelitian ini, karena dari karakteristik jenis kelamin responden pada penelitian

ini, 67%-nya adalah wanita.

Hasil di atas sejalan dengan penelitian Ferreira et al. (2012) yang tidak

menemukan pengaruh signifikan risk taking terhadap entrepreneurial intention.

Hasil dari penelitian ini bertentangan dengan serangkaian penelitian yang

menemukan pengaruh positif risk taking terhadap entrepreneurial intention (Koh,

1996; Bygrave, 1989; Robinson et al., 1991), hal ini dapat disebabkan oleh

karakteristik jawaban responden pada pertanyaan seputar kemauan mereka dalam

mengambil resiko.

Hasil pengujian hubungan antara proactiveness dengan entrepreneurial

intention adalah negatif tidak signifikan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa

karyawan merasa bahwa perusahaan kurang memberi ruang bagi penelitian dan

pengembangan, pemanfaatan teknologi baru,dan penciptaan teknologi baru di

dalam perusahaan. Ragam produk atau jasa juga menurut sebagian karyawan tidak

banyak, dan tidak banyak perubahan terhadap proses penciptaan produk baru. Hal

tersebut dapat dikarenakan Citraland Surabaya sendiri sudah berdiri cukup lama

dan tidak banyak memiliki ragam produk baru. Hasil tersebut mungkin akan

sangat berbeda apabila diuji di proyek-proyek Citraland lain yang tergolong masih

baru, dimana masih banyak produk baru yang dapat ditawarkan dan masih banyak

ruang untuk penelitian, penerapan teknologi baru dan penciptaan inovasi baru.

Hasil dari penelitian ini tidak sejalan dengan serangkaian penelitian sebelumnya

mengenai pengaruh proactiveness terhadap entrepreneurial intention (Crant,

1996; Prabhu, 2013).

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

225

Berdasarkan hasil perhitungan di atas didapatkan hasil bahwa variabel self-

efficacy secara statistik bukanlah variabel yang dapat memoderasi hubungan

corporate entrepreneurial intention yaitu innovativeness, risk taking, dan

proactiveness dengan entrepreneurial intention. Secara statistik penelitian ini

membuktikan bahwa self-efficacy lebih sebagai variabel independen biasa

daripada sebagai variabel moderator. Hal ini dapat disebabkan karena

inkonsistensi pada karakteristik jawaban responden atas kuesioner yang dibagikan

pada penelitian ini. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, seseorang yang

memiliki self-efficacy yang tinggi akan menciptakan lingkungan kerja yang

menunjukkan perilaku innovative, proactive, dan risk taking (Bandura dalam

Poon dan Junit, 2009), namun sebagaimana yang sudah dipaparkan, sebagian

responden memiliki tingkat proactiveness dan risk taking yang rendah, namun

memiliki self-efficacy yang tinggi. Hal ini bertentangan dengan berbagai

pernyataan yang ada pada penelitian sebelumnya, yang menyatakan bahwa self-

efficacy mampu meningkatkan pengaruh innovativeness, proactiveness, dan risk

taking pada entrepreneurial intention (Boyd dan Vozikis, 1994).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian di atas, Citraland Surabaya harus

mempertahankan ruang yang diberikan untuk inovasi dari karyawan perusahaan.

Kemauan untuk mengambil resiko dari karyawan yang rendah dikarenakan

memang budaya di Citraland Surabaya adalah menampung segala usulan dari

karyawan dan kemudian didiskusikan bersama, namun Citraland Surabaya tetap

harus meningkatkan risk taking dari karyawan dengan memberikan dukungan

agar karyawan lebih berani mengambil keputusan yang sifatnya tidak pasti untuk

mendukung budaya kewirausahaan yang ditanamkan dalam perusahaan. Bagi

sebagian karyawan, perusahaan kurang memberikan dukungan terhadap karyawan

untuk bersikap lebih proaktif, karena self-efficacy dari karyawan sebenarnya

sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Bandura dalam Poon dan

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

226

Junit (2009) yang mengatakan bahwa individu yang memiliki self-efficay yang

tinggi seharusnya memperlihatkan proactiveness yang tinggi juga.

Inti dari penelitian ini adalah memecahkan solusi tingginya tingkat

pengangguran di Indonesia. Hal tersebut dapat dicapai salah satunya adalah

dengan mencetak wirausaha-wirausaha baru yang dapat menyediakan lapangan

kerja yang lebih banyak bagi pengangguran tersebut. Ciputra (2011) juga

menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat Indonesia akan semakin meningkat

seiring dengan bertambahnya jumlah wirausaha di Indonesia. Melalui hasil

wawancara yang telah dipaparkan sebelumnya dalam penelitian ini, perusahaan

tidak harus takut karyawan akan keluar dari organisasi apabila mereka telah dibina

minat kewirausahaannya, Ciputra menangani masalah tersebut dan menciptakan

solusi berupa penugasan kepada mereka yang berprestasi kinerjanya dan sudah

terlihat potensi kewirausahaannya, sebagai pimpinan di cabang-cabang baru dari

perusahaan. Hal ini dapat dicontoh oleh perusahaan lain, karena metode tersebut

secara langsung dapat mengembangkan perusahaan dan secara tidak langsung

menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat di Indonesia. Pengembangan

kewirausahaan di dalam perusahaan seperti inilah yang menjadi inti dari konsep

corporate entrepreneurial intention seperti yang telah dipaparkan dalam

serangkaian penelitian sebelumnya (Fini, 2010; Burgelman, 1983; Guth dan

Ginsberg, 1990; Zahra, 1991; Sharma dan Chrisman, 1999; Saly, 2001).

Saran bagi Citraland adalah walaupun Citraland sangat mendukung inovasi

dari karyawan, karyawan melalui jawaban kuisioner yang telah dibagikan

menunjukkan bahwa keinginan mereka untuk berinovasi masih kurang difasilitasi

oleh perusahaan, karyawan juga merasa tidak diberi ruang untuk melakukan

tindakan yang proaktif, karena saat penelitian ini dilakukan memang terlihat tidak

banyak lagi ruang yang tersedia bagi karyawan untuk menunjukkan tindakan-

tindakan proaktif tersebut. Sehingga, sebagai tindakan yang lebih lanjut

perusahaan sebaiknya memberikan ruang yang lebih pada karyawan untuk

berinovasi, seperti dengan menugaskan karyawan tersebut ke cabang-cabang

perusahaan yang baru, yang masih menuntut banyak ruang dan membutuhkan

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

227

banyak masukan untuk lebih berkembang. Mengenai pengambilan resiko,

perusahaan diharapkan tetap mempertahankan metode yang hingga kini mereka

terapkan, karena dengan metode tersebut, karyawan tidak takut untuk

menunjukkan tindakan yang berpotensi memiliki resiko karena mereka percaya

bahwa perusahaan telah menerapkan manajemen resiko yang selain memfasilitasi

pengambilan resiko di perusahaan, juga tidak begitu saja membahayakan karir

mereka didalam organisasi. Jika perusahaan menerapkan hal ini, mereka akan

dapat meningkatkan performa organisasi dan ikut mendukung usaha peningkatan

lapangan kerja demi mengurangi tingginya tingkat pengangguran di Indonesia.

Bagi perusahaan lain, budaya entrepreneurship yang diterapkan oleh Citraland

dapat dijadikan pertimbangan untuk dicoba diterapkan di perusahaan sendiri,

karena telah terbukti mampu meningkatkan performa individu secara khusus dan

perusahaan secara umum. Perusahaan juga dapat ikut berpartisipasi dalam usaha

meningkatkan lapangan kerja demi mengurangi tingkat pengangguran di negara

ini.

Saran bagi Akademisi ini adalah saran untuk penelitian selanjutnya.

Penelitian ini hanya dilakukan pada salah satu lini dari Ciputra Group secara

keseluruhan yaitu Citraland, sehingga pada penelitian selanjutnya diharapkan

mampu dilakukan pada lebih banyak lini Ciputra Group seperti Ciputra Golf,

Dufan, Ciputra World dan lini yang lainnya karena dari sekian banyak perusahaan

di Indonesia, Ciputra adalah yang dengan sangat terang-terangan menerapkan

kewirausahaan di dalam perusahaannya. Sebagian besar variabel di dalam

penelitian ini meneliti tentang karyawan sebagai individu, namun memasukkan

performa pada tingkat organisasi, sehingga pada penelitian selanjutnya diharapkan

dapat memasukkan variabel performa pada tingkat individu. Penelitian ini juga

secara statistik tidak berhasil membuktikan moderasi dari self-efficacy pada

hubungan antara corporate entrepreneurial intention dengan entrepreneurial

intention seperti yang telah dikemukakan pada penelitian-penelitian sebelumnya,

sehingga pada penelitian yang akan datang diharapkan mampu untuk

membuktikan pengaruh moderasi tersebut.

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

228

DAFTAR PUSTAKA

Antoncic, B., Robert D. Hisrich. (2001). Intrapreneurship: Construct Refinement

and Cross-Cultural Validation. Journal of Business Venturing. Vol. 16:

495-527.

Badan Pusat Statistik. (2013). Berita Resmi Statistik. No. 35/05/Th. XVI

Bird, B. (1988). Implementing Entrepreneurial Ideas: The Case for Intention. The

Academy of Management Review. Vol. 13 (3): 442-453.

Boyd, N. G., G. S. Vozikis. (1994). The Influence of Self-Efficacy on the

Development of Entrepreneurial Intentions and Actions. Entrepreneurship

Theory and Practice.

Brockhaus, R.H. (1980). Risk Taking Propensity of Entrepreneurs. Academy of

Management Journal. Vol. 23 (3): 509-520.

Burgelman, R.A. (1983). Corporate Entrepreneurship and The Pursuit of

Competitive Advantage. Entrepreneurship Theory and Practice. Vol. 23 (3):

85-102.

Chow, I. H. (2006). The Relationship Between Entrepreneurial Orientation and

Firm Performance in China. S. A. M. Advanced Management Journal. Vol.

7 1(3): 11-21 .

Ciputra, A. Tanan, A. Waluyo. (2011). Ciputra Quantum Leap 2: Kenapa dan

Bagaimana Entrepreneurship mengubah masa depan Bangsa dan masa

depan Anda. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Crant, J.M. (1996). The Proactive Personality Scale as a Predictor of

Entrepreneurial Intentions. Journal of Small Business Management. Vol. 34

(3): 42-49.

Ferreira, J. J., et al. (2012). A model of Entrepreneurial Intention: an Application

of The Psychological and Behavioral Approaches. Journal of Small

Business and Enterprise Development. Vol. 19 (3): 424-440.

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

229

Fini, R., et al. (2010). The Determinant of Corporate Entreprenurial Intention

Within Small and Newly Established Firms. Entrepreneurship Theory and

Practices.

Ghozali, I. (2006). Statistik Nonparametrik. Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro.

Guth, W. D., A. Ginsberg. (1990). Guest Editors’ Introduction: Corporate

Entrepreneurship. Stratregic Management Journal. Vol. 11 (4): 5-15.

Hmieleski, K. M., R. A. Baron. (2008). When does Entrepreneurial Self-Efficacy

Enhance versus Reduce Firm Performance. Strategic Entrepreneurship

Journal. Vol. 2: 57-72.

Kaya, N. (2006). The Impact of Human Resource Management Practices and

Corporate Entrepreneurship on Firm Performance: Evidence From Turkish

Firms. International Journal of Human Resource Management. Vol. 17(12):

2074-2090.

Koh, H.C. (1996). Testing Hypoteses of Entrepreneurial Characteristic: A Study

of Hong Kong MBA Students. Journal of Managerial Psychology. Vol. 11

(3): 12-23.

Krueger Jr., N.F. D. V. Brazeal. (1994). Entrepreneurial Potential and Potential

Entrepreneurs. Entrepreneurship Theory and Practice. Vol. 18 (3): 91-104.

Lee, L. P, K. Wong, M. D. Foo, A. Leung. (2011). Entrepreneurial Intentions:

The Influence of Organizational and Individual Factors. Journal of Business

Venturing. Vol. 26: 124-136.

Lumpkin, G. T., G. G. Dess. (1996). Clarifying The Entrepreneurial Orientation

Construct and Linking it to Performance. Academy of Management

Review. Vol. 21 (1): 135-172.

Macko A., T. Tyszka. (2009). Entrepreneurship and Risk Taking. Applied

Psychology: An International Review. Vol. 58 (3): 469-487.

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

230

Naldi, L., et al. (2007). Entrepreneurial Orientation, Risk Taking, and

Performance in Family Firms. Family Business Review. Vol. 20 (1): 33-47.

Poon, J. M. L., Raja Azimah Ainuddin, Sa’Odah Haji Junit. (2006). Effects of

Self-Concept Traits and Entrepreneurial Orientation on Firm Performance.

International Small Business Journal. Vol. 24 (1): 61-82.

Rauch, A., et al. (2009). Entrepreneurial Orientation and Business Performance:

An Assessment of Past Research and Suggestions for the Future.

Entrepreneurship Theory and Practice. Vol. 33 (3): 761-787.

Saly, A.W. (2001). Corporate Entrepreneurship. Tinbergen Institute Research

Series. Erasmus University of Rotterdam.

Schumpeter, J.A. (1934). The Theory of Economic Development: an Inquiry Into

Profits, Capital, Credit, Interest, and the Business Cycle. Amerika Serikat:

Transaction Pulishers.

Schumpeter, J.A. (1942). Capitalism, Socialism and Democracy. New York:

Routledge.

Sharma, P. J. J. Chrisman. (1999). Towards a Reconciliation of the Definitional

Issues in The Field of Corporate Entrepreneurship. Entrepreneurship:

Theory and Practice. Vol. 23 (3): 11-270.

Timmons, J.A., Stepthen Spinelli. (2011). New Venture Creation:

Entrepreneurship for the 21st Century. Amerika Serikat: McGraw-

Hill/Irwin

Tsang, K. K. (2012). The Use of Midpoint on Likert Scale: The Implication for

Educational Research. Hong Kong Teachers’ Centre Journal. Vol. 11: 121-

130

Zahra, S. A. (1991). Predictors and Financial Outcomes of Corporate

Entrepreneurship: An Exploratory Study. Journal of Business Venturing.

Vol. 6(4): 259-285.

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

231

AVE Akar AVE

EI 0.766 0.875

I 0.801 0.895

P 0.710 0.843

R 0.719 0.848

SE 0.539 0.734

LAMPIRAN

Tabel 1. Indikator Reflektif

Original

Sample

Sample

Mean

Standard

Error T Statistic

I1 0.981 0.788 0.328 2.989

I2 0.800 0.656 0.328 2.440

I3 0.489 0.438 0.396 1.235

P1 0.707 0.637 0.263 2.689

P2 0.865 0.777 0.246 3.512

P3 0.94 0.862 0.269 3.488

R1 0.831 0.670 0.331 2.513

R2 0.412 0.628 0.335 1.227

R3 0.722 0.647 0.325 2.226

R4 0.889 0.702 0.328 2.708

EI1 0.892 0.897 0.049 18.215

EI2 0.859 0.874 0.078 11.064

EI3 0.874 0.857 0.069 12.719

S1 0.742 0.635 0.257 2.888

S2 0.807 0.687 0.267 3.022

S3 0.751 0.636 0.272 2.763

S4 0.598 0.561 0.240 2.496

S5 0.782 0.670 0.258 3.031

S6 0.224 0.273 0.347 0.646

S7 0.728 0.655 0.219 3.326

S8 0.598 0.536 0.244 2.450

S9 0.759 0.632 0.267 2.839

S10 0.785 0.674 0.255 3.076

S11 0.649 0.591 0.231 2.809

S12 0.712 0.650 0.218 3.260

Tabel 2. Discriminant Validity

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

232

Original Sample Sample Mean Standard Error T Statistic

I>EI -0.264 -0.179 0.211 1.253

P>EI -0.230 -0.254 0.194 1.188

R>EI -0.035 0.065 0.212 0.165

SE>IE 0.381 0.435 0.280 0.173

Interaction Effect SE: I>EI 0.289 0.204 0.265 1.088

Interaction Effect SE: P>EI -0.195 -0.053 0.285 0.682

Interaction Effect SE: R>EI 0.143 0.021 0.237 0.602

EI I P R SE

EI

I 0.219

P 0.388 0.822

R 0.147 0.277 0.167

SE 0.257 0.181 0.273 0.217

EI 0.908

I 0.889

P 0.879

R 0.884

SE 0.927

Composite Reliability

Tabel 3. Composite Reliability

Tabel 4. Reliability

Tabel 5. Uji Signifikansi

Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016

233

Gambar 1. Hasil dan Model Kerangka Berpikir