chitin & chitosan_elsa olivia_13.70.0088_a5_unika soegijapranata

Upload: praktikumhasillaut

Post on 09-Jan-2016

21 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Praktikum teknologi hasil laut kloter A dengan tema Chitin dan Chitosan dilaksanakan pada hari Senin, 14 September 2015 hingga Kamis, 17 September 2015 di Laboratorium Rekayasa Pangan. Praktikum dimulai setiap pukul 15.00 WIB. Asisten dosen yang bertanggung jawab pada praktikum ini yaitu Tjan, Ivana Chandra.

TRANSCRIPT

  • 0

    CHITIN & CHITOSAN

    LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

    TEKNOLOGI HASIL LAUT

    Disusun oleh:

    Nama : Elsa Olivia

    NIM : 13.70.0088

    Kelompok A5

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

    SEMARANG

    2015

  • 1

    1. MATERI METODE

    1.1. Alat & Bahan

    Alat-alat yang digunakan dalam praktikum Chitin dan Chitosan adalah oven,

    blender, ayakan, peralatan gelas, sedangkan bahan-bahan yang digunakan yaitu

    limbah udang, larutan HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N, larutan NaOH 40%, 50%

    dan 60%.

    1.2. Metode

    Dalam pembuatan chitin dan kitosan dari limbah udang dilakukan beberapa

    langkah kerja, yaitu :

    1.2.1. Demineralisasi

    Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air

    panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

    Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan

    ayakan 40-60 mesh.

    HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan

    HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N

    Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

    Lalu dicuci sampai pH netral.

  • 2

    1.2.2. Deproteinasi

    Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

    Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

    Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

    Kemudian disaring dan didinginkan

    Lalu dicuci sampai pH netral.

    Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

  • 3

    Hasil deproteinasi setelah dioven (kitin)

    1.2.3. Deasetilasi

    Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,

    NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5

    Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

    Lalu dicuci sampai pH netral.

    Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam-> Kitosan

  • 4

    2. HASIL PENGAMATAN

    Hasil pengamatan praktikum kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan

    Kelompok Perlakuan Rendemen

    Kitin I (%)

    Rendemen

    Kitin II (%)

    Rendemen

    Kitosan (%)

    A1 HCl 0,75N + NaOH 40% +

    NaOH 3,5% 30,00 20,00 10,40

    A2 HCl 0,75N + NaOH 40% +

    NaOH 3,5% 45,00 26,67 13,07

    A3 HCl 1N + NaOH 50% +

    NaOH 3,5% 35,00 22,22 12,32

    A4 HCl 1N + NaOH 50% +

    NaOH 3,5% 20,00 28,57 14,95

    A5 HCl 1,25N + NaOH 60% +

    NaOH 3,5% 30,00 25,00 12,40

    Berdasarkan tabel hasil pengamatan kitin dan kitosan (Tabel 1.), dapat dilihat bahwa

    rendemen kitin I terbesar diperoleh dari kelompok A2 dengan penambahan HCl 0,75 N,

    NaOH 3,5%, dan NaOH 40% yaitu sebesar 45%. Kelompok A4 memiliki rendemen

    kitin I terendah yaitu 20% dengan penambahan HCl 1 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50%.

    Rendemen kitin II terbesar diperoleh dari kelompok A4 yaitu 28,57% dengan

    penambahan HCl 1 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50%, dan yang terkecil diperoleh dari

    kelompok A1 yaitu 20% dengan penambahan HCl 0,75 N, NaOH 3,5%, dan NaOH

    40%. Rendemen kitosan paling tinggi diperoleh oleh kelompok A4 dengan penambahan

    HCl 1 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50% yaitu sebesar 14,95%. Sedangkan Rendemen

    kitosan paling rendah diperoleh oleh kelompok A1 dengan penambahan HCl 0,75 N,

    NaOH 3,5%, dan NaOH 40% yaitu sebesar 10,40%.

  • 5

    3. PEMBAHASAN

    Pada praktikum ini, bahan yang digunakan yaitu kulit udang. Menurut Berger et al.

    (2004) kulit udang adalah bahan yang biasanya dipakai sebagai sumber kitin dan

    kitosan. Apabila diukur kadar kitin di dalam udang berkisar antara 60-70% dan ketika

    diproses menjadi kitosan dapat mencapai 15-20%. Moeljanto (1992), mengatakan

    bahwa kulit udang mengandung protein dan lemak dalam jumlah besar namun jarang

    digunakan. Dalam pengolahan hasil laut, crustaceans biasanya dikupas untuk

    mendapatkan dagingnya untuk diekspor, dan sisa kulit dan kepala, sekitar 35-45% dari

    total berat badan, dianggap limbah (Trang S. T. & Huynh N. D. B., 2015). Manjang

    (1993) menambahkan kulit udang tergolong limbah yang perlu dicari cara pengolahan

    yang tepat. Oleh karena itu, daripada kulit udang dibuang sia-sia dan justru menjadi

    pencemar bagi lingkungan (menimbulkan bau amis dan merusak estetika), lebih baik

    kulit udang diolah menjadi kitin dan kitosan. Kitin dan kitosan yang diperoleh dari

    limbah kulit udang dapat berfungsi sebagai absorben untuk penyerapan ion kadmium,

    tembaga, dan timbal (Marganov, 2003). Tujuan praktikum ini yaitu untuk mengetahui

    proses pembuatan kitin dan kitosan dari limbah crustaceans sehingga dihasilkan produk

    dengan nilai ekonomis tinggi (value-added by product) dengan menggunakan berbagai

    perlakuan konsentrasi larutan asam basa.

    Kitin adalah polisakarida alami yang melimpah kedua setelah selulosa (Mohamed

    Abou, 2010). Kitin merupakan homopolimer dari Beta-(1,4)-N-asetil-D-glukosamin

    yang memiliki struktur yang hampir mirip dengan selulosa. Berat molekul kitin yaitu

    1,03 hingga 2,5 x 106 Dalton. Polimer kitin ini memiliki bentuk miofibril dan diameter

    sekitar 3 nm. Polimer ini dapat distabilkan oleh ikatan hidrogen antara gugus karboksil

    dan amina (Gooday, 1994). Kitin terdiri dari 3 bentuk, yaitu Alfa (), Beta () dan

    Gamma (). Orientasi -kitin antiparalel, -kitin paralel, dan -kitin campuran. Struktur

    kitin beta dan gamma lebih reaktif dan fleksibel karena tingkat hidrasi lebih tinggi

    (Kurita, 1997). Alfa () kitin banyak terdapat dialam, seperti pada arthropoda,

    hydrozoa, moluska, rotifera, dan nematoda. Beta () kitin dapat ditemukan pada cumi

    tinta, moluskam dan dinding sel luar serangga (insecta), sedangkan kitin gamma ()

    dapat ditemukan pada lambung cumi-cumi (Stivil et al. 1997)

  • 6

    Sumber utama kitin adalah limbah crustacean, yang juga merupakan bahan dinding sel

    utama pada sebagian besar jamur. Menurut jurnal Ben A. C. (2011), kitin mempunyai

    ciri-ciri yaitu berwarna putih, keras, tidak elastis. dan merupakan nitrogenous

    polysaccharide yang ditemukan pada cangkang invertebrata. Derajat polimerisasinya

    berkisar antara 2000 dan 4000. Derajat deasetilasi kitin yaitu 5 hingga 15%, sedangkan

    kitosan 70 hingga 95%. Semakin tinggi derajat deasetilasi kitin, maka kelarutannya

    terhadap pelarut semakin rendah. Kristalinitas adalah ikatan hidrogen yang terbentuk

    diantara susunan rantai kitin, semakin tinggi kristalinitas maka molekul kitin semakin

    stabil. Sifat kitin yaitu hidrofobik atau tidak larut air. Sehingga penggunaan kitin

    terbatas (Krissetiana, 2004). Kitin memiliki jumlah unit D yang sedikit, sehingga

    menyebabkan polimer tidak dapat larut dalam media asam dan juga dalam aqueous

    media (Aranaz et al. 2009). Kitin yang diperoleh dapat diubah menjadi kitosan agar

    dapat memiliki nilai guna yang lebih tinggi, karena kitosan memiliki aktivitas biologis

    sebagai antimikroba dan antijamur (Zouhour Limam et al., 2011). Di alam, kitin telah

    terdeasetilasi sekitar 16%. Umumnya, kitin yang telah terdeasetilasi dinamai kitosan

    (Goosen, 1997).

    Kitosan adalah kitin yang sudah dihilangkan gugus asetilnya sehingga menyisakan

    gugus amina bebas, yaitu -(1,4)-Dglukosamin dan merupakan polisakarida. Kitosan

    memiliki berat molekul sekitar 0,1 hingga 0,5 x 106 Dalton (Goosen, 1997). Kitosan

    dapat larut dalam media asam karena adanya pembebasan proton dari gugus amino yang

    terdapat dalam unit D-glukosamin (Aranaz et al. 2009). Kitosan secara alami hanya

    terdapat pada beberapa spesies jamur, namun yang paling banyak kitosan diekstrak dari

    kuit luar dan eksoskeleton invertebrate seperti crustaceans, moluska, kepiting dan

    udang (Mohamed Abou, 2010). Kitosan memiliki 3 gugus fungsional yang reaktif.

    Gugus ini berupa gugus amino pada ikatan karbon (C) ke-2 dan gugus hidroksil pada

    ikatan karbon (C) ke-3 dan ke-6, oleh karena itu kitosan bersifat polikationik. Sifat dari

    kitosan ini menyebabkan kitosan, yang merupakan produk turunan polimer kitin,

    banyak dimanfaatkan secara komersial baik di bidang kesehatan, pangan, permurnian

    air, aplikasi biomedis, bioteknologi, pertanian, lingkungan, nutrisi, kosmetik, dan pada

    akhir proses serat tekstil (Mohamed Abou, 2010). Menurut Morteza S.V. et al. (2010),

    dalam jurnal yang berjudul Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and

  • 7

    Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation. Chitosan ialah

    polisakarida amino, yang larut dalam konsentrasi rendah dari asam asetat, yang dapat

    dibuat dari cangkang udang dengan beberapa aplikasi dalam industri. Kitosan bagi sel-

    sel hidup tidak beracun, biocompatible serta biodegradable. Selain itu, kitosan juga

    homeostatis dan memiliki aktivitas antibakteri. Sifatnya yang antibakteri ini

    menyebabkan kitosan dapat dibuat dalam bentuk film ataupun hydro-gel yang dapat

    digunakan dalam pengobatan luka. Beberapa turunan kitosan memiliki sifat anti-

    koagulan, dan digunakan untuk obat anti kanker.

    Kitosan memiliki nilai ekonomis tinggi karena dapat dimanfaatkan sebagai pengawet

    alami. Kitosan mempunyai polikation bermuatan positif yang dapat menghambat

    pertumbuhan dari bakteri dan kapang. Fungsi kitosan sebagai bahan antimikroba

    disebabkan karena kandungan enzim lysozim dan gugus aminopolisakarida. (Ratna &

    Sugiyani, 2006). Umumnya, kitosan memiliki aktivitas antijamur yang lebih tinggi

    daripada kitin. Chitosan dapat berperan sebagai aktivitas antibakteri terhadap

    Enterobacter aerogenes, Salmonella typhimurium, Staphylococcus aureus, Escherichia

    coli (Zouhour Limam et al., 2011). Selain sebagai pengawet alami, kitin dan kitosan

    juga dimanfaatkan dalam industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan,

    gizi, kertas, tekstil, pertanian, kosmetik, membran dan kesehatan, sedangkan turunannya

    digunakan sebagai emulsifier (Marganov, 2003).

    Aranaz et al (2009) mengatakan bahwa kitin dan kitosan merupakan kelompok

    polisakarida linear yang terdiri dari (14) yang berikatan dengan N-asetil-2 amino-2-

    deoksi-D-glukosa dan 2-amino-2-deoksi-D glucose. Kitin hanya memliki 2-amino-2-

    deoksi-D glucose dalam jumlah sedikit, oleh karena itu, polimer kitin tidak dapat larut

    dalam media air asam, sedangkan 2-amino-2-deoksi-D glucose pada kitosan cukup

    tinggi sehingga polimer kitosan larut dalam asam. Gugus amina yang terdapat dalam

    kitosan, menyebabkan polimer ini dapat larut dalam asetat karena adanya penyerapan

    proton pada saat pH larutan dibawah 6 (suasana asam). Kitosan dapat dibuat dengan

    pemecahan N-asetil yang merupakan kelompok N-asetil-2 amino-2-deoksi-D-glukosa.

    Namun reaksi ini jarang dilakukan hingga selesai, maka biasanya kitosan digambarkan

  • 8

    sebagai struktur kopolimer yang terdiri dari D-glukosamin dengan residu N-asetil.

    Struktur kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1 (Morteza Shahabi et al., 2010).

    Gambar 1. Struktur kitin dan kitosan

    Kitin Kitosan

    Aplikasi kitin dan kitosan telah banyak digunakan. Dalam industri pangan, kitin dan

    kitosan dimanfaatkan sebagai penjernih jus, produksi senyawa perisa, pembentukan

    film, serta pengawet anti mikroba (Shahidi et al., 1999). Pada bidang pertanian, kitosan

    banyak digunakan sebagai flokulan yang berfungsi untuk menghilangkan logam berat

    dan kontaminan lain dari limbah cair. Pada bidang kosmetik, kitosan dimanfaatkan

    sebagai campuran untuk produk perawatan kulit dan rambut. Dapat digunakan pula

    sebagai lensa kontak karena mempunyai permeabilitas terhadap oksigen yang tinggi.

    Selain itu, kitin dan kitosan saat ini juga diaplikasikan untuk pengolahan sampah, baik

    sampah kertas, radioaktif, maupun sampah sisa buangan logam berat (Guibal et al.

    1997). Pemanfaatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Pemanfaatan Kitin dan Kitosan (Suhartono, 2006)

    Bidang Pemanfaatan

    Nutrisi Suplemen nutrisi

    Suplemen serat laut

    Pangan Nutraseutikal, senyawa penyerap lemak

    Penjernih minuman

    Perisa

    Pembentuk tekstur

    Emulsifier

    Biomedis Mengobati luka

    Lensa kontak

    Antitumor

    Membran dialisis darah

    Lingkungan dan pertanian Penjernih air

    Pupuk dan fungisida

    Menyimpan benih

    Kosmetik Krim pelembab

    Produk perawatan rambut

  • 9

    Lain-lain Proses akhir pembuatan kertas

    Penyerap warna pada produk cat

    Bahan tambahan pakan

    Kromatografi

    Kestabilan kitin dan kitosan sangat tinggi, karena keduanya sangat stabil dalam larutan

    alkalin yang terkonsentrasi meskipun pada suhu yang tinggi. Kitin dan kitosan memiliki

    gugus amino dan gugus hidroksil sehingga mudah sekali digantikan dengan gugus lain.

    kitin dapat diproses dan dibentuk menjadi gel, bubuk, serat, film, membrane, koloid,

    sponges, beads, flakes dan cotton. Kitin dan kitosan juga dapat didegradasi

    (biodegradable) karena ramag lingkungan dan tidak bersifat toksik dan allergic.

    Keduanya memiliki bioaktivitas seperti bakterostatis, antibacterial, antifungal, anti

    tumor, dan lain lain (Ben A. C., 2011).

    Praktikum kitin dan kitosan yang praktikan lakukan melalui tiga tahapan, yaitu:

    1. Demineralisasi

    Kulit dari spesies crustaceans mengandung sekitar 30-40% protein, 30-50% kalsium

    karbonat, dan 20-30% kitin serta mengandung pigmen seperti karotenoid (astaxanthin,

    astathin, canthaxanthin, lutein and beta-karoten), dimana proporsi ini tergantung dari

    jenis dan lingkungan (Aranaz et al. 2009). Dimana mineral yang paling utama, yang

    terdapat dalam cangkang adalah kalsium karbonat, karena mineral ini dapat berikatan

    secara fisik dengan kitin. Oleh karena itu, proses demineralisasi menjadi sangat penting

    untuk dilakukan karena proses ini bertujuan untuk menghilangkan mineral pada limbah

    kulit udang dengan asam. Metode ini dapat dilakukan dengan pencucian limbah udang

    dengan air mengalir dan dikeringkan, kemudian dicuci dua kali dengan air panas dan

    kembali dikeringkan. Setelah itu dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan

    ayakan 40-60 mesh (masing-masing kelompok 10 gram). Penggilingan atau

    penghancuran bahan menyebabkan permukaan bahan menjadi semakin luas sehingga

    rasio luas permukaan terhadap volume bahan semakin tinggi, sehingga sel menjadi

    rusak dan kemampuan untuk melepas komponen semakin besar (Saleh et al., 1996).

    Kemudian dicampur HCl dengan perbandingan 10 : 1.

    Untuk kelompok A1dan A2 ditambahkan HCl 0,75 N, untuk kelompok A3 dan A4

    ditambahkan HCl 1 N dan untuk kelompok A5 ditambahkan HCl 1,25 N. Larutan HCl

  • 10

    (asam encer) yang ditambahkan pada praktikum ini berfungsi untuk melarutkan

    senyawa-senyawa mineral yang ada pada serbuk kulit udang, terutama kalsium karbonat

    (Burrows et al, 2007). Chitin dapat diekstraksi dengan menggunakan perlakuan asam

    untuk melarutkan kalsium karbonat yang kemudian dapat diikuti dengan ekstraksi

    menggunakan alkalin untuk melarutkan protein (Aranaz et al. 2009). Krik dan Othmer

    (1953), menambahkan bahwa keuntungan dari penggunaan HCl yaitu konsentrasi HCl

    yang dibutuhkan cenderung rendah dan apabila tersisa dalam bahan pangan dapat

    dihilangkan dan dinetralkan dengan NaOH yang sifatnya basa sehingga akan

    menghasilkan garam yang merupakan flavouring agent. Menurut Austin (1981) reaksi

    garam anorganik dengan HCl adalah sebagai berikut.

    CaCO3 (s) + 2 HCl (l) CaCl2 (s) + H2O (l) + CO2 (g)

    Ca3(PO4)2 (s) + 4 HCl (l) 2 CaCl2 (s) + Ca(H2PO4)2 (l)

    Selanjutnya campuran serbuk dengan HCl diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada

    suhu 90oC selama 1 jam dan dicuci hingga pH netral. Pengadukan tersebut dilakukan

    supaya kitin yang terkandung dalam kulit udang bereaksi sempurna dengan pelarut

    (HCl) sehingga gugus amino dapat terbentuk dan pengadukan membuat larutan menjadi

    homogen sehingga pemanasan terjadi secara merata dan efisiensi pemanasan meningkat

    (proses ekstraksi semakin cepat). Pemanasan dengan suhu 90oC bertujuan untuk

    mengoptimalkan fungsi HCl dalam melarutkan mineral agar ikatan antara kitin dengan

    kalsium karbonat serta bahan organik lainnya dapat terlepas. Terjadinya pemisahan

    mineral ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas CO2 ketika larutan HCl

    praktikan tambahkan pada sampel (Alamsyah et al., 2007). Sebelum dilakukan

    pencucian, kitin harus didinginkan terlebih dahulu untuk mengendapkan kitin sehingga

    tidak terbuang ketika dicuci berulang kali (Rogers, 1986). Pencucian hingga pH netral

    juga dapat membantu penghilangan mineral pada kulit udang dan untuk mencegah

    terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat kandungan beberapa gugus

    amino bebas (Suptijah, 2004). Pengukuran pH dilakukan menggunakan kertas lakmus

    dengan ditempelkan pada kitin. Setelah pHnya netral, campuran tersebut lalu

    dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.

  • 11

    Berdasarkan hasil pengamatan yang praktikan peroleh, didapatkan bahwa rendemen

    kitin I yang terbesar pada kelompok A2 yang menggunakan HCl 0,75 N yaitu 45% dan

    rendemen kitin I terkecil didapatkan dari kelompok A4 yaitu 20% yang menggunakan

    HCl dengan konsentrasi 1 N. Menurut Suptijah (2004), konsentrasi penambahan asam

    yang sesuai dapat melarutkan mineral secara sempurna. Sehingga semakin tinggi

    konsentrasi HCl yang ditambahkan seharusnya menghasilkan rendemen kitin I yang

    semakin besar. Namun, praktikum yang praktikan lakukan kurang sesuai dengan teori

    Suptijah (2004), seharusnya rendemen kitin I terbesar diperoleh dari kelompok A5 yang

    menggunakan HCl 1,25 N. Ketidaksesuaian antara praktikum dengan teori yang ada

    kemungkinan disebabkan karena kesalahan praktikan karena tidak melakukan

    pengadukan yang konstan ketika pemanasan berlangsung padahal pengadukan yang

    konstan dapat membuat larutan HCl bereaksi sempurna dengan kulit udang (Kaunas,

    1984). Ketidaksesuaian hasil dengan teori dapat juga disebabkan karena terdapat

    rendemen kitin yang jatuh ketika dilakukan pencucian dan penyaringan. Selain itu,

    menurut Angka & Suhartono (2000), demineralisasi sebaiknya dilakukan setelah

    deproteinasi karena jika demineralisasi dilakukan sebelum deproteinasi dapat terjadi

    kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral.

    2. Deproteinasi

    Deproteinasi merupakan tahap untuk menghilangkan protein, dimana sumber bahan

    yang berbeda maka proses deproteinasi yang dilakukan juga berbeda (Sormin, 2001).

    Tujuan dari proses deproteinasi yaitu untuk memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan

    antara protein dan kitin, dengan prinsip yaitu memberikan kondisi basa dan diikuti

    dengan pemanasan. Protein ialah salah satu penyusun cangkang udang yang berikatan

    secara kovalen dengan kitin dan akan terlepas serta membentuk Natrium proteinat yang

    dapat larut. Deproteinasi dilakukan dengan pencampuran tepung sebagai hasil dari

    proses demineralisasi dengan NaOH 3,5% (6 : 1) lalu diaduk selama 1 jam dengan

    pemanasan pada suhu 90oC. Penambahan NaOH pada tahap deproteinasi bertujuan

    untuk melarutkan protein yang terdapat pada kitin hasil demineralisasi (Reece et al,

    2003). NaOH banyak dipilih karena efektif, relatif murah dan mudah untuk didapatkan,

    dimana basa (NaOH) ini dapat mendenaturasi protein menjadi bentuk primernya yang

    akan mengendap sehingga selanjutnya diperlukan tahap penyaringan. Penyaringan

  • 12

    dilakukan untuk memisahkan endapan dengan supernatannya. Pengadukan yang

    praktikan lakukan ketika pemanasan berlangsung berguna untuk meratakan pemanasan

    supaya derajat deproteinasi meningkat namun tidak terjadi kegosongan (Rogers,1986).

    Penambahan NaOH dengan perbandingan 6:1 dan pengadukan yang bertujuan

    mempercepat proses deproteinasi sudah sesuai dengan teori Abun et al (2006).

    Setelah ditambahkan NaOH, campuran tersebut kemudian didinginkan dan dicuci

    dengan air mengalir sambil disaring hingga pHnya netral. Tujuan dari pendinginan

    tersebut yaitu agar bubuk kitin yang dihasilkan pada larutan mengendap di bawah

    sehingga tidak terbuang ketika dicuci berulang kali. Pencucian berulang kali disertai

    penyaringan bertujuan untuk membuat pH menjadi netral. Pencucian hingga pH netral

    berfungsi untuk menetralkan kitin yang bersifat basa, juga berperan dalam dapat

    mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat kandungan beberapa

    gugus amino bebas. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan endapan dengan

    supernatannya. Setelah pH netral, praktikan mengeringkan kitin yang diperoleh pada

    suhu 80oC selama 24 jam dengan tujuan untuk menguapkan air yang masih tersisa

    setelah penyaringan sehingga produk kitin akhir berbentuk kering (Rogers, 1986;

    Suptijah, 2004).

    Dari proses deproteinasi, diperoleh hasil yaitu rendemen kitin II, dimana hasil rendemen

    kitin II terbesar diperoleh dari kelompok A4 yaitu 28,57% dan yang terkecil diperoleh

    dari kelompok A1 yaitu 20%. Data yang praktikan peroleh ini kurang sesuai dengan

    teori. Seharusnya dengan deproteinasi (penghilangan protein dengan larutan basa) dan

    pencucian rendemen kitin II yang diperoleh seharusnya semakin rendah. Namun pada

    kelompok A4, hasil rendemen kitin II yang diperoleh lebih besar dari rendemen I.

    Ketidaksesuaian ini dapat dipengaruhi akibat tahapan yang praktikan lakukan berbeda

    dengan teori Angka & Suhartono (2000) yaitu demineralisasi sebaiknya dilakukan

    setelah deproteinasi karena jika demineralisasi dilakukan sebelum deproteinasi dapat

    terjadi kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral. Selain itu dapat juga

    disebabkan karena pengadukan yang tidak konstan akibat dilakukan secara manual

    sehingga larutan NaOH tidak bereaksi sempurna dengan kitin (Kaunas, 1984).

  • 13

    3. Deasetilasi

    Untuk mengubah kitin menjadi kitosan, gugus asetil harus dipisahkan dari gugus amina

    oleh proses hidrolisis. Proses hidrolisis ini dapat berlangsung dengan baik apabila

    menggunakan lautan seperti sodium hydroxide (NaOH). Sodium atau potassium

    hidroksida yang ditambahkan biasanya berkisar pada konsentrasi 30% hingga 50% pada

    suhu yang tinggi, yaitu 100oC (Aranaz et al. 2009). Deasetilasi kitin adalah proses untuk

    menghilangkan gugus asetil dari kitin dengan permberian larutan natrium hidroksida

    dengan konsentrasi dan suhu yang tinggi sehingga menghasilkan produk yang

    seluruhnya terdeasetilasi (Reece et al, 2003). Deasetilasi bertujuan untuk memperoleh

    kitosan dari kitin dengan pelepasan gugus asetil dari atom nitrogen sehingga berubah

    menjadi gugus amina. Namun, proses deasetilasi kitin dan kitosan dengan cara kimiawi

    kurang mengguntungkan, karena tidak ramah lingkungan, proses tidak mudah

    dikendalikan, dan kitosan yang dihasilkan memiliki berat molekul dan derajat

    deasetilasi yang tidak seragam (Kaunas, 1984).

    Kitin hasil deproteinasi ditambahkan NaOH (20:1) dengan konsentrasi 40% untuk

    kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH dengan

    konsentrasi 60% untuk kelompok A5. Kemudian diaduk selama 1 jam dengan

    pemanasan pada suhu 90oC. Penambahan NaOH dan pemanasan dengan suhu 90

    oC

    akan menyebabkan gugus asetil (CH3CHO-) terlepas dari molekul kitin (Reece et al,

    2003). Setelah itu, campuran tersebut didinginkan agar bubuk kitosan mengendap di

    bawah sehingga tidak terbuang ketika dicuci berulang kali. Kemudian kitosan dicuci

    berulang kali dengan air mengalir sambil disaring hingga pH menjadi netral. Pencucian

    hingga pH netral berfungsi untuk menetralkan kitosan yang bersifat basa, juga berperan

    untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat pembentukan

    asetilasi yang tidak sempurna. Tahap selanjutnya yaitu dioven pada suhu 70oC selama

    24 jam untuk menguapkan air yang masih tersisa setelah penyaringan (Rogers, 1986;

    Suptijah, 2004). Hasil dari proses deasetilasi akan dihasilkan kitosan. Sesuai dengan

    teori Czechowska-Biskup et al (2012), kitosan merupakan biopolimer yang dapat

    diperoleh dengan cara deasetilasi dari kitin menggunakan larutan alkali (dalam

    praktikum ini yaitu NaOH). Aranaz et al. (2009) mengatakan bahwa faktor yang

  • 14

    mempengaruhi lamanya proses deasetilasi antara lain yaitu konsentrasi alkali yang

    digunakan, perlakuan sebelumnya, ukuran partikel dan juga densitas dari kitin.

    Berdasarkan hasil praktikum yang praktikan lakukan, setelah dilakukan deasetilasi,

    Rendemen kitosan paling tinggi diperoleh oleh kelompok A4 dengan penambahan HCl

    1 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50% yaitu sebesar 14,95%. Sedangkan Rendemen kitosan

    paling rendah diperoleh oleh kelompok A1 dengan penambahan HCl 0,75 N, NaOH

    3,5%, dan NaOH 40% yaitu sebesar 10,40%. Hasil yang praktikan dapatkan tidak

    sesuai dengan teori Suptijah (2004) dan Prasetyo (2006), yang mengatakan bahwa

    semakin besar konsentrasi NaOH yang ditambahkan akan menghasilkan rendemen

    kitosan yang semakin besar karena proses ekstraksi kitosan semakin sempurna.

    Seharusnya rendemen kitosan terbesar didapatkan dari kelompok A5 yang

    menggunakan NaOH dengan konsentrasi 60%. Ketidaksesuaian antara hasil praktikum

    dengan teori kemungkinan disebabkan karena praktikan tidak melakukan pengadukan

    yang konstan ketika pemanasan berlangsung atau akibat suhu pemanasan yang

    digunakan belum sesuai metode (90oC) (Kaunas, 1984). Beberapa parameter yang

    mempengaruhi karakteristik kitosan yang terbentuk yaitu berat molekulnya dan derajat

    deasetilasi yang mempengaruhi proses deasetilasi. Derajat deasetilasi dari kitosan dapat

    diturunkan dengan reacetylation, sedangkan berat molekul dapat diturunkan dengan

    depolymerisation (Berger et al, 2004).

    Pada hasil akhir, warna kitin dan kitosan yang diperoleh bervariasi orange agak putih.

    Warna orange disebabkan karena eksoskeleton atau kulit udang mengandung pigmen

    seperti karatenoid, seperti astaxanthin, astathin, canthaxanthin, lutein and beta-karoten

    (Aranaz et al. 2009). Berdasarkan teori Amaya (1997) karoten mempunyai ciri warna

    kuning, orange, dan merah pada buah, akar, bunga, ikan, dan burung. Astaxantin adalah

    salah satu pigmen alami yang biasa ditemukan pada berbagai jenis eksoskeleton

    crustaceans (memiliki cangkang), seperti udang, lobster, dan kepiting, dimana pigmen

    ini memiliki sifat thermostabil (McCoy, 1999). Pada saat proses ekstraksi kitin dan

    kitosan, terdapat proses yang menggunakan suhu tinggi untuk menguapkan air yang

    masih tersisa. Pada saat proses inilah, pigmen astaxantin muncul dan memberikan

    warna orange pada hasil akhir kitin dan kitosan karena pigmen ini relatif stabil terhadap

  • 15

    suhu tinggi. Sehingga terdapat pula tahap depigmentasi atau tahap dekolorisasi. Tahap

    ini merupakan tahap untuk menghilangan lemak dan zat-zat warna. Aseton dapat

    digunakan untuk menghilangkan warna orange dari kitin. Proses pemutihan atau

    bleaching dapat juga dilakukan menggunakan agen pemutih seperti natrium hipoklorit

    atau peroksida. Tahap ini dapat dilewati karena sangat dipengaruhi oleh jenis udang,

    apabila produk yang dihasilkan pada tahap demineralisasi telah mengalami

    penghilangan warna akibat dari proses pemisahan mineral oleh larutan HCl.

    Penghilangan warna ditunjukkan dengan adanya perubahan warna dari merah oranye

    menjadi warna yang mendekati putih. Kitin dan kitosan yang memiliki warna agak

    putih, disebabkan karena warna telah mulai hilang saat proses pencucian yang dilakukan

    setelah proses demineralisasi dan deproteinasi (Gooday, 1994).

    Konsentrasi larutan yang ditambahkan berbeda antar kelompok disebabkan karena

    untuk mengetahui serta membedakan pengaruh penambahan konsentrasi yang diberikan

    terhadap hasil rendemen kitin dan kitosan yang diperoleh serta derajat deasetilasi.

    Menurut A. Patria (2013), kualitas kitosan ditentukan oleh derajat deasetilasi, dimana

    derajat deasetilasi (DD) adalah parameter mutu kitosan yang menunjukkan presentase

    gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitosan. Laju reaksi deasetilasi ini

    dipengaruhi oleh konsentrasi basa, suhu, waktu reaksi, perbandingan kitin dan larutan

    alkali, serta ukuran partikel. Menurut Angka dan Suhartono (2000), pada konsentrasi

    NaOH yang tinggi maka semakin banyak gugus asetil yang terlepas dari kitin sehingga

    derajat deasetilasi kitin meningkat. Semakin kuat basa serta suhu yang digunakan maka

    akan semakin efektif proses pemisahannya. Semakin tinggi konsentrasi larutan natrium

    hidroksida (diatas 40%) maka ikatan antar gugus karboksil dan atom nitrogen dari kitin

    akan putus. Sehingga akan semakin banyak gugus asetil yang dapat dihilangkan dari

    rendemen kitosan. Dengan hilangnya gugus asetil dari kitosan maka kitosan menjadi

    bermuatan positif dan mampu mengikat senyawa bermuatan negatif, seperti protein.

    Selain itu, dengan pemanasan menggunakan suhu lebih dari 150oC menyebabkan

    penurunan berat molekul kitosan, namun apabila suhu terlalu rendah maka pemutusan

    tersebut akan lebih lama. Oleh karena itu, semakin tinggi konsentrasi yang ditambahkan

    pada proses, baik demineralisasi maupun deasetilasi, maka mineral, protein, dan gugus

    asetil yang hilang akan semakin banyak.

  • 16

    4. KESIMPULAN

    Kitin dan kitosan berasal dari cangkang crustacean.

    Kitin tidak larut air dan asam, sedangkan kitosan larut dalam air dan asam.

    Dalam industri pangan, kitin dan kitosan dimanfaatkan sebagai penjernih jus,

    produksi senyawa perisa, pembentukan film, serta pengawet anti mikroba.

    Selain itu kitin dan kitosan juga diaplikasikan di bidang kesehatan, permurnian air,

    aplikasi biomedis, bioteknologi, pertanian, lingkungan, nutrisi, dan kosmetik.

    Proses pembuatan kitin dan kitosan adalah demineralisasi, deproteinasi, dan

    deasetilasi.

    Tujuan demineralisasi yaitu untuk menghilangkan mineral pada limbah kulit udang.

    Larutan HCl berfungsi untuk melarutkan mineral pada kulit udang, terutama

    kalsium karbonat.

    Deproteinasi bertujuan untuk melepaskan ikatan-ikatan antara protein dan kitin.

    Penambahan NaOH pada tahap deproteinasi bertujuan untuk melarutkan protein

    kitin.

    Deasetilasi bertujuan untuk memperoleh kitosan dari kitin dengan pelepasan gugus

    asetil.

    Penambahan NaOH dan pemanasan pada deasetilasi menyebabkan gugus asetil

    terlepas dari kitin.

    Pemanasan bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi HCl dalam melarutkan mineral.

    Pengadukan bertujuan untuk membuat larutan homogen supaya kitin bereaksi

    sempurna dengan HCl sehingga gugus amino terbentuk dan efisiensi pemanasan

    meningkat.

    Pencucian berfungsi untuk menghilangkan mineral pada kulit udang dan mencegah

    terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat kandungan beberapa gugus

    amino bebas.

    Tujuan pengeringan yaitu untuk menguapkan air yang tersisa setelah penyaringan.

    Semakin besar konsentrasi HCl atau NaOH yang ditambahkan akan menghasilkan

    rendemen kitin dan kitosan yang semakin besar.

    Warna kitin dan kitosan yang memudar disebabkan karena proses, seperti

    pencucian, demineralisasi, dan deproteinasi.

  • 17

    Warna kitin dan kitosan yang oranye disebabkan karena cangkang udang

    mengandung pigmen astaxanthin yang berwarna orange dan relatif stabil terhadap

    suhu.

    Perbedaan penambahan konsentrasi larutan supaya mengetahui perbedaan hasil

    rendemen kitin dan kitosan yang diperoleh serta derajat deasetilasi.

    Semakin tingginya konsentrasi yang ditambahkan, maka mineral, protein, dan gugus

    asetil yang hilang akan semakin banyak karena pemisahan semakin efektif.

    Semarang, 21 September 2015 Asisten Dosen,

    - Tjan, Ivana Chandra

    Elsa Olivia

    13.70.0088

  • 18

    5. DAFTAR PUSTAKA

    Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2006). Pemanfaatan Limbah Cair

    Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai

    Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler.

    http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_

    ekstraksi_kitin1.pdf. Diakses 20 September 2015.

    Alamsyah, Rizal, et al. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang

    sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses 20

    September 2015.

    Amaya, R. (1997). Carotenoids and Food Preparation : The Retention of Provitamin A

    Carotenoids in Prepared, Processed, and Stored Foods. Universidade Estadual de

    Campinas.

    Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian

    Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.

    Aranaz, Inmaculada; Marian Megibar; Ruth Harris; Ines Panos; Beatriz Miralles; Niuris

    Acosta. (2009). Functional Characterization of Kitin and Kitosan. Current

    Chemical Biology, 2009. Bentham Science Publishers Ltd.

    A. Patria (2013). Production and characterization of Chitosan from shrimp shells waste.

    Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation International Journal of the

    Bioflux Society

    Austin, P.R., Brine, C.J., Castle, J.E. & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New facets of

    research. Science, 212(4496), 749753.

    Ben Amar Cheba. (2011). Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with Unique

    Properties and Versatile Applications. Journal of Biotechnology & Biochemistry 6

    (3): 149-153, 2011.

    Berger, J; M. Reista; J. M. Mayer; O. Felt; N. A. Peppas; R. Gurny. (2004). Structure

    and Interactions in Covalently and Ionically Crosslinked Kitosan Hydrogels for

    Biomedical Applications. European Journal Of Pharmaceutics And

    Biopharmaceutics 57 (2004) 1934.

    Burrows, Felicity; Clifford Louime; Michael Abazinge; dan Oghenekome Onokpise.

    (2007). Extraction and Evaluation of Kitosan from Crab Exoskeleton as a Seed

  • 19

    Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric. & Environ.

    Sci., 2 (2): 103-111, 2007.

    Czechowska-Biskup, Renata; Diana Jarosinska; Bozena Rokita; Piotr Ulanski; Janusz

    M. Rosiak. (2012). Determination of Degree of Deacetylation of Kitosan -

    Comparision of Methods. Progress On Chemistry And Application Of Kitin And

    Its ..., Volume XVII, 2012.

    Goosen MFA 1997. Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub, p.7.

    Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation,

    USA.

    Krissetiana, Henny, Mei. (2004). Khitin dan Khitosan dari Limbah Udang.

    Kurita K. 1997. -Chitin and reactivity characteristics. Di dalam M.F.A. Goosen (ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pulb Co Inc., Basel.

    Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu

    Kitosan, Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 143.

    Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,

    Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains

    (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.

    McCoy, M. (1999). Astaxanthin market a hard one to crack. Chem & Eng. News, 77 :15

    17.

    Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya.

    Jakarta.

    Mohamed Abou-Shoer. (2010). A Simple Colorimetric Method for the Evaluation of

    Chitosan. American Journal of Analytical Chemistry, 2010, 2, 91-94.

    Morteza Shahabi Viarsagh, Mohsen Janmaleki, Hamid Reza Falahatpisheh, Jafar

    Masoumi. (2010). Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and

    Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation. Journal of

    Paramedical Sciences (JPS). Spring2010 Vol.1, No.2 ISSN 2008-496X.

    Prasetyo. (2006). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

  • 20

    Ratna, A.W. & Sugiyani S. (2006).Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan

    Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso.

    http://eprints.undip.ac.id/1718/1/makalah_penelitian_fix.pdf. Diakses 20 September

    2015.

    Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga,

    Jakarta.

    Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.

    California.Science Published Ltd., England.

    Shahidi F, Arachchi JKV, and Jeon YJ. 1999. Food applications of chitin and chitosans.

    Trends Food Sci Technol. 10:37-51.

    Suhartono, M.T. 2006. Pemanfaatan Kitin, Kitosan, Kitooligosakarida. Foodreview 1

    (6): 30-33.

    Trang Si Trung and Huynh Nguyen Duy Bao. (2015). Physicochemical Properties and

    Antioxidant Activity of Chitin and Chitosan Prepared from Pacific White Shrimp

    Waste. International Journal of Carbohydrate Chemistry. Volume 2015, Article ID

    706259, 6 pages.

    Zouhour Limam et al., (2011). Extraction and characterization of chitin and chitosan

    from crustacean by-products: Biological and physicochemical properties. African

    Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647, 24 January, 2011.

  • 21

    6. LAMPIRAN

    6.1. Perhitungan

    Rumus:

    Kelompok A1

    Rendemen Chitin I =

    = 30,00 %

    Rendemen Chitin II =

    = 20,00 %

    Rendemen Chitosan =

    = 10,40 %

    Kelompok A2

    Rendemen Chitin I =

    = 45,00 %

    Rendemen Chitin II =

    = 26,67 %

    Rendemen Chitosan =

    = 13,07 %

  • 22

    Kelompok A3

    Rendemen Chitin I =

    = 35,00 %

    Rendemen Chitin II =

    = 22,22 %

    Rendemen Chitosan =

    = 12,32 %

    Kelompok A4

    Rendemen Chitin I =

    =20,00 %

    Rendemen Chitin II =

    = 28,57 %

    Rendemen Chitosan =

    = 14,95 %

    Kelompok A5

    Rendemen Chitin I =

    = 30,00 %

    Rendemen Chitin II =

    = 25,00 %

    Rendemen Chitosan =

    = 12,40 %

    6.2. Viper

    6.3. Diagram Alir

    5.4. Laporan Sementara