chironomus review by journal
DESCRIPTION
berisi tentang kecacatan morfologi pada chironomus yang di ambil dari beberapa literatur jurnalTRANSCRIPT
Jurnal Review
Peranan Chironomidae sebagai bioindikator pencemaran perairan
Dini Yuliansari
081224153002
S2 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga, Surabaya
Pendahuluan
Daerah perairan merupakan salah satu sumber kehidupan bagi banyak mahluk hidup.
Saat ini kondisi perairan yang salah satu contohnya adalah sungai, sudah banyak mengalami
pencemaran. Pencemaran merupakan proses masuk atau dimasukannya zat polutan ke dalam
suatu lingkungan yang dapat mengakibatkan menurunnya mutu kualitas dari lingkungan
tersebut. Pencemaran yang terjadi pada daerah perairan di akibatkan oleh kandungan logam
dalam sungai yang berasal dari berbagai sumber, seperti batuan dan tanah, serta akibat dari
aktivitas manusia termasuk pembuangan limbah cair baik dari buangan industri ataupun
buangan limbah rumah tangga. Buangan limbah yang mengandung logam berat ini dapat
membahayakan keadaan perairan, dan akan mempengaruhi keberadaan organisme di sekitar
perairan tersebut.
Untuk mengetahui kualitas serta tingkat pencemaran yang terjadi pada suatu perairan
tersebut maka perlu digunakannya bioindikator. Bioindikator didefinisikan sebagai kelompok
spesies yang dapat menggambarkan kondisi lingkungan baik biotik maupun abiotik serta
dapat memperlihatkan dampak perubahan lingkungan yang terjadi. Salah satu organisme
perairan yang sangat peka terhadap terjadinya perubahan lingkungan adalah Chironomidae,
dimana Chironomidae merupakan salah satu kelompok serangga perairan yang sering
dijumpai di perairan tergenang. Larva Chironomidae merupakan organisme yang memiliki
peran penting bagi rantai makanan dan tingkat trofik level di suatu ekosistem perairan.
Kepekaan Chironomidae terhadap polutan inilah yang sering dijadikan sebagai bioindikator
untuk kualitas perairan.
Chironomidae
Chironomidae yang sering disebut sebagai nyamuk yang tidak menghisap, adalah
spesies yang berdistribusi secara luas dan serangga yang paling melimpah jumlahnya di
perairan air tawar. Spesies dari Chironomidae dapat berkembang dan mampu mentoleransi
polutan dan menjadi makroinvertebrata yang dominan pada daerah yang tercemar (Broza et
all., 2000 dalam Malka et all., 2002). Chironomidae merupakan suatu famili dengan uraian
sekitar 5.000 jenis spesies di seluruh belahan dunia. Mereka dibagi lagi menjadi 11 subfamili
dan 22 jenis suku (Malka et all., 2002).
Larva Chironomidae adalah kelompok serangga yang mempunyai fase larva yang
hidup diperairan. Stadium larva adalah periode siklus hidup yang lama dari serangga anggota
famili Chironomidae, sehingga memungkinkan larva Chironomidae dapat hidup pada semua
badan air. Karena larva mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap suhu, pH,
salinitas, kedalaman, kecepatan arus dan produktifitas yang ekstrim, dan mereka dapat
ditemukan pada berbagai macam lingkungan yang berbeda. Mereka dapat hidup di
pengunungan yang tinggi yang tertutup es (seperti di Himalaya dengan ketinggian sampai
5.600 m dan suhu di bawah 16 °C) dan pada badan air yang paling dalam (seperti di Danau
yang kedalamannya lebih dari 1000 m) (Armitage et al., 1995 dalam Widyastuti., 2009).
Larva Chironomidae membutuhkan lingkungan perairan yang tepat agar dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal. Beberapa jenis di antaranya mempunyai
kemampuan toleransi terhadap penurunan kandungan oksigen, peningkatan kandungan bahan
organik, bahkan peningkatan kandungan logam berat. Perubahan-perubahan pada parameter
kualitas air dan substrat sebagai habitat larva Chironomidae sangat mempengaruhi komposisi
dan kepadatan organisme ini. Perubahan kondisi lingkungan yang terjadi juga dapat
berpengaruh terhadap pola penyebaran komunitas larva Chironomidae, dimana pengaruh
yang terjadi berupa perubahan kondisi morfologi tubuh yaitu bagian kepala, gigi, atau
antenna.
Cara makan larva Chironomidae ada yang bersifat detrivor (memakan organisme atau
algae yang sudah mati), grazer (memakan algae dan fitoplankton), dan beberapa ada yang
bersifat predator (memangsa avertebrata lain yang lebih kecil) (Pinder., 1989 dalam
Widyastuti., 2009).
Siklus hidup dari Chironomidae adalah di mulai dari telur, larva, pupa dan nyamuk
dewasa. Tahap – tahapnya sebagai berikut :
(1) Tahap satu:
Betina menyimpan telurnya pada permukaan air, dimana banyaknya telur yang
dihasilkan kurang lebih 600 buah telur dan menetaskan tiap telurnya setelah beberapa
hari kemudian.
(2) Tahap dua:
Tahap larva dibagi lagi menjadi 4 tahap instar yaitu : tahap satu (L1) adalah
plantonik predominan, kemudian tahap dua (L2), tiga (L3) dan empat(L4) instars
hidup pada sedimen, dimana mereka membuat lubang dari detritus, algae dan partikel
sedimen.
Gambar 1. Tahapan Siklus Hidup Pada Chironomidae (Lopes et all., 2005)
(3) Tahap tiga:
Pupa bergerak dan berenang secara aktif menuju ke arah permukaan. Tahap
pada pupa menjadi bentuk karateristik dari Diptera.
(4) Tahap empat:
Pupa yang telah berubah menjadi nyamuk dewasa akan muncul beberapa jam
kemudian dan dapat melakukan kopulasi (Lopes et all., 2005).
Penggunaan Chironomidae sebagai biondikator di dalam penelitian pada lingkungan
perairan
Sensitivitas yang dimiliki oleh larva Chironomidae serta toleransinya yang tinggi
akan hadirnya polutan, maka pada beberapa penelitian spesies ini digunakan sebagai
bioindikator. Penelitian yang pernah di lakukan oleh Ebauu et all., 2012 adalah untuk
mengetahui toksiksitas dari Cd dan Pb pada larva Chironomus kiiensis dan Chironomus
javanus. Perlakuan dan pengamatan yang dilakukan berupa pemberian paparan terhadap pada
larva Chirinomus sp dengan durasi pemaparan toksisitas yang berbeda yaitu 24, 48, 72, dan
96 jam pada tahap larva (instar) yang berbeda pula. Data mengenai kematian spesies di catat
setelah pemberian perlakuan dengan lama pemaparan logam berat yang berbeda dan
parameter kualitas air seperti DO, temperatur, pH, dan salinitas yang di hitung setiap harinya.
Hasil yang di dapatkan dari pengamatan pada toksiksitas timah adalah bahwa
tingkat survival semua spesies mencapai 96% setelah di lakukannya uji selama 96 jam. Pada
umumnya larva memperlihatkan toleransi yang bertahap pada paparan timah (Pb) seiring
dengan semakin tua dan meningkatnya usia larva. Larva instar yang terakhir yaitu tahap
keempat memiliki sifat toleransi yang paling baik pada 2 jenis larva Chironomus di antara
tahap larva lainnya. Sedangkan pada pengamatan terhadap toksiksitas cadmium (Cd)
memperlihatkan bahwa terjadi perbedaan penyerapan logam berdasarkan tahap instar dan
jenis spesiesnya. Perbedaan yang signifikan ini terjadi pada pemberian lethal concentration
(LC) sebesar 50% dari kadmium untuk dua jenis spesies pada lama waktu pemaparan yang
sama. Diketahui bahwa Chironomus javanus lebih sensitif terhadap Cd daripada Chironomus
kiiensis. Perbedaan ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan tahapan hidup atau tahap larva
instar yang berbeda saat melakukan respon terhadap paparan dari kadmium (Cd). Tahapan
hidup dan bentuk serta ukuran tubuh spesies biasanya memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap respon bahan pencemar. Umumnya, tahap larva akhir dari ukuran tubuh yang lebih
besar memperlihatkan sensitivitas yang rendah terhadap polutan.
Tabel 1. Kandungan racun dari timah (Pb) dan kadmium (Cd) pada larva Chironomus kiiensis
dan Chironomus javanus pada waktu pemaparan yang berbeda (mg/L)
Hasil yang dapat disimpulkan pada penilitian ini yaitu pada kedua spesies larva
dari Chironomus kiiensis dan Chironomus Javanus, memiliki sifat toleran yang sama
terhadap timah (Pb), dimana hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang telah di
publikasikan. Tahap larva instar akhir pada kedua spesies ini juga menunjukan sifat resisten
terhadap kadmium (Cd) dibandingkan dengan tahap hidup awal lainnya. Selain itu pada studi
sebelumnya juga diketahui bahwa larva tahap awal dengan ukuran tubuh lebih kecil lebih
sensitif dan memiliki konsentrasi logam berat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
organisme yang ukurannya lebih besar. Hal ini terjadi karena organisme yang lebih kecil
ukurannya memiliki area permukaan yang peluangnya lebih besar dan lebih cepat untuk
mengambil logam berat per unit berat tubuhnya. Pada studi ini juga diketahui bahwa
Chironomus kiiensis dan Chironomus javanus memperlihatkan sifat toleransi seiring dengan
bertambahnya tahap larva semakin dewasa dan larva instar yang masih muda lebih rentan dan
mudah diserang oleh paparan timah (Pb) dan kadmium (Cd). Dari hasil studi perbandingan
dengan mengunakan 2 spesies ini, keduanya dapat bertahan pada paparan logam berat timah
(Pb) dan kadmium (Cd). Hasil dari uji keakutan dan pengamatan terhadap logam berat
bergantung pula pada jenis logam berat tersebut serta konsentrasinya.
Penelitian selanjutnya adalah mengenai larva Chironomidae yang pengambilan
sampelnya dilakukan di sungai Damodar yang berlokasi di India. Penelitian ini membahas
tentang penaksiran dari pengaruh logam berat pada komunitas dan perubahan bentuk
morfologi dari larva Chironomidae. Penelitian ini mengacu dari penelitian sebelumnya yang
mengungkapkan bahwa perubahan bentuk tubuh dipertimbangkan sebagai respon nyata
terhadap kontaminan dan menyediakan informasi sinyal peringatan awal dari degradasi
lingkungan akibat dari kontaminasi bahan kimia. Pada penelitian ini, persentase dari
kecacatan bentuk dihitung untuk semua komunitas maupun subfamili individual dan spesies
yang frekuensinya paling banyak, kemudian di korelasikan dengan variabel lingkungan.
Pada pengamatan struktur komunitas, ditemukan sebanyak 32.171 larva
Chironomidae yang berada pada daerah studi. Jumlah taksa , keragaman, dan pemerataan
spesies yang menurun terjadi seiring dengan bertambahnya muatan logam berat.
Semua parameter yang dihitung seperti pH, DO, BOD, dan temperatur, berkorelasi positif
dengan jumlah taksa, keragaman, pemerataan, dan berkorelasi negatif dengan persentase
kecacatan pada larva Chironomidae. Pada studi ini, sampling pada komunitas Chironomidae
disusun dengan menggunakan DCA. Gambar di atas menunjukkan hasil dari analisa
menggunakan DCA, dimana terdapat individual spesies yang ditemukan pada lokasi yang
tercemar. Pada faktor lingkungan yang mempengaruhi komunitas dari Chironomidae pada
lokasi sampling, konsentrasi Pb dan Cu memperlihatkan korelasi tertinggi dengan ordinasi
sumbu pertama di air dan di sedimen. Kadar dari tanah liat sebagai sedimen yang berupa
konsentrasi dari logam berat mempengaruhi komunitas Chironomidae dan sumbu kedua
berhubungan dengan perubahan temperatur, kadar oksigen terlarut (DO), dan arus air.
Kecacatan morfologi terlihat lebih tinggi dan signifikan pada daerah yang berpolutan.
Kecacatan morfologi berhubungan dengan kadar dari logam berat baik itu yang
berada pada air dan sedimen untuk semua Chironomidae yang di temukan pada masa
penelitian ini. Korelasi tertinggi ditemukan antara kecacatan morfologi dengan kadar Pb di
air dan di sedimen. Dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini Pb memainkan peranan
sebagai faktor utama yang mempengaruhi struktur komunitas dan kecacatan morfologi.
Penelitian lain yang masih berhubungan dengan studi kecacatan morfologi
Chironomidae adalah penelitian yang dilakukan di 3 sungai yang berada di Penang, Malaysia.
Pada penelitian ini, Chironomidae dijadikan sebagai alat untuk melihat penaksiran dampak
dari antropogenik dan stress lingkungan yang dapat diketahui dari perubahan bentuk
kecacatan tubuhnya. Aplikasi penggunaan kecacatan Chironomidae sebagai bioindikator dari
polusi telah diulas dan menjadi tujuan untuk bioassessment (Hamalaien., 1999 dalam Al-
Shami et all., 2010). Pengambilan sampel dilakukan pada 3 sungai yaitu sungai Permatang
Rawa (PRR) yang berdekatan dan mendapatkan beberapa masukan dari daerah persawahan,
sungai Kilang Ubi (KUR) yang berdekatan dengan daerah industri dan mendapatkan buangan
limbah, dan sungai Pasir (PR) yang lokasinya berdekatan dengan permukiman penduduk
yang mendapat buangan antropogenik. Pengukuran parameter pada faktor fisika kimia juga
dilakukan, pengambilannya berupa kadar okseigen terlarut (DO), pH air, temperatur air, serta
luas dan kedalaman sungai tersebut. Dari sampling yang dilakukan, total spesies sebanyak
616 dikumpulkan pada 3 sungai yang telah diproses dan diperiksa kecatatan morfologi yang
terjadi.
Pada uji analisis statistik, terjadi perbedaan yang signifikan antara kecacatan
fisik dengan 3 sungai yang diambil. Secara keseluruhan, tingkat kecacatan morfologi yang
terjadi pada larva Chironomidae yang paling tinggi posisi kecatatanya terlihat pada daerah
sungai Kilang Ubi (KUR), disusul kemudian dengan daerah sungai Permatang Rawa (PRR)
dan daerah sungai Pasir (PR).
Tabel 2. Pengaruh kecacatan morfologi pada sampel larva Chironomus sp. Bulanan dari
sungai Permatang Rawa (PRR), sungai Pasir (PR), dan sungai Kilang Ubi (KUR) di sungai
Juru Basin, Penang, Malaysia.
Bagian yang diamati pada kecacatan morfologi larva chironomidae adalah
perubahan bentuk pada bagian mentum, mandibula, epipharing, dan antenna. Perubahan
bentuk dan kecacatan morfologi yan terjadi pada bagian mentum meliputi, hilangnya bagian
gigi, bergabungnya 2 gigi menjadi satu, terdapat celah pada gigi, serta kerusakan bentuk gigi
yang paling mendominasi bentuk kecacatan morfologi pada larva Chironomidae. Pada jurnal
ilmiah disebutkan bahwa beberapa zat baik itu sendiri ataupun secara bersamaan, dapat
menyebabkan kecacatan bentuk morfologi pada larva Chironomidae, khususnya logam berat
dan pestisida, tetapi tidak ada zat yang spesifik telah diidentifikasi sebagai zat yang paling
menyebabkan kerusakan morfologi di bandingkan dengan zat lainnya (Wiederholm., 1984
dalam Al-Shami et all., 2010).
Hasil yang didapatkan pada studi ini yaitu terjadi kecacatan morfologi secara
meluas pada larva Chironomus spp. yang di temukan pada 3 sungai pengambilan yang
dijadikan sebagai sampel. Abnormalitas morfologi terlihat seperti hasil dari perubahan dalam
perkembangan sel, dimana akan menunjukkan fungsi yang tidak baik dan terjadi gangguan
pada morfologi (Karmin., 1988 dalam Al-Shami et all., 2010). Oleh karena itu, kecacatan
morfologi yang terjadi pada organisme disuatu tempat tertentu dapat mengindikasian bawa
tempat tersebut memiliki kontaminan pencemar yang berlebih.
Gambar 2.Kerusakan mentum pada larva Chironomus spp. Yang dikumpulkan dari 3 sungai :
(A) bentuk gigi yang normal, (B) sedikit kerusakan pada bagian gigi, (C) kerusakan parah
pada bagian tengah gigi, (D) adanya celah pada gigi, (E) bagian tengah gigi bergabung, dan
(F) hilangnya bagian tengah pada gigi (Al-Shami et all., 2010).
Gambar 3. Kecacatan morfologi pada bagian mandibula dari larva Chironomus spp. yang
dikumpulkan dari 3 sungai yang di uji : (A) bentuk normal dan (B) dan (C) adalah bentuk
mandibula yang mengalami kecacatan morfologi (Al-Shami et all., 2010).
Gambar 4. Kecacatan morfologi pada bagian epipharing dari larva Chironomus spp.
yang dikumpulkan pada 3 sungai yang di uji : (A) bentuk normal dan (B) adalah bentuk
epipharing yang mengalami kecacatan morfologi (Al-Shami et all., 2010).
Gambar 5. Kecacatan morfologi pada bagian antena dari larva Chironomus spp. Yang
dikumpulkan pada 3 sungai yang di uji : (A) bentuk normal dan (B) adalah bentuk antenna
yang mengalami kecacatan morfologi (Al-Shami et all., 2010).
Dari kesuluruhan pemeriksaan, larva Chironomus spp. merupakan organisme
yang sangat rentan terhadap perubahan kecacatan morfologi, oleh karena itu, mereka adalah
indikator potensial yang penting pada efek pencemaran di air dan kontaminan sedimen
(Hudson and Ciborowski., 1996 dalam Al-Shami et all., 2010). Penelitian ini memperlihatkan
kemungkinan pengaruh dari limbah industri dan kontaminan antropogenik pada kecacatan
morfologi bagian kepala larva Chironomus spp yang menghuni sungai tempat pengambilan
sampel. Identifikasi kecacatan morfologi menunjukkan suatu stress lingkungan pada studi
habitat dan mampu menyajikannya sebagai pedoman dan alat untuk melakukan penaksiran
pada suatu lingkungan yang tercemar polutan.
Kesimpulan
Dari keseluruhan penelitian yang pernah dilakukan untuk mengetahui kualitas suatu
perairan dengan menggunakan larva Chironomidae, diketahui bahwa larva Chironomidae
dapat digunakan sebagai bioindikator yang baik. Beberapa kelebihan yang menjadikan
Chironomidae sebagai agen bioindikator yaitu, jumlahnya yang melimpah di lingkungan
perairan tawar baik dalam jumlah spesies maupun jumlah individu, mampu bertoleransi
terhadap polutan yang ada di habitatnya, rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan
akibat pencemaran dengan melihat perubahan morfologi pada bagian kepala, serta mudah di
kembangbiakan pada skala laboratorium sehingga berguna pada uji toksisitas di air maupun
sedimen.
Daftar Pustaka
Al-Shami, SA., Md, Rawi CS., Siti, Azizah MN., Abu, HA., and Arshad, Ali,. 2010.
Morphological Deformities in Chironomus spp. (Diptera : Chironomidae) Larvae as a
Tool for Impact Assessment of Anthropogenic and Environmental Stresses on Three
Rivers in the Juru River System, Penang, Malaysia.
Bhattacharya, G., A, K, Sadhu., A. Mazumdar., U. Majumdar., P. K. Chaudhuri., 2006.
Assessment of Impact of Heavy Metals on the Communities and Morphological
Deformities of Chironomidae Larvae in the River Damodar (India, West Bengal).
Ebau, W., Md Rawi CS., Din, Z., Al-Shami SA., 2012. Toxicity of Cadmium and Lead on
Tropical Midge Larvae, Chironomus kiiensis and Chironomus javanus Kieffer
(Diptera : Chironomidae). School of Biological Science, Universiti Sains Malaysia,
Penang, Malaysia.
Halpern, M., Gasith, A., and Meir Broza., 2002. Does the Tube of a Benthic Chironomid
Larva Play a Role inProtecting its Dweller Against Chemical Toxicants. Department
of Biology, University of Haifa at Oranim, Israel.
Lopes, C., Pery, A.R.R., Chaumot, A., and S. Charles., 2005. Exotoxicology and Population
Dynamics : Using DEBtox Models in a Leslie Modeling Approach.
Widyastuti, R., 2009. The Abundance of Chironomidae Larvae Based on Enviromental
Gradient in River Winongo, Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.