chapter ii
TRANSCRIPT
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Aspek Sampah
Sampah dapat didefinisikan sebagai semua buangan yang dihasilkan dari
berbagai aktivitas manusia dan hewan yang berupa padatan, yang dibuang karena
sudah tidak berguna atau tidak diperlukan lagi, (Tchobanoglous et.al.,1993).
Pengelolaan sampah merupakan kegiatan dalam pengaturan terhadap timbulan
sampah, penyimpanan sementara, pengumpulan, pemindahan atau pengangkutan
dan pengolahan serta pembuangan sampah dengan menggunakan suatu cara sesuai
dengan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat, ekonomi,
teknik, perlindungan alam, keindahan dan pertimbangan lainnya, serta
mempertimbangkan masyarakat luas (Tchobanoglous et.al.,1993).
Total produsen sampah Kota Medan 2.567.288 jiwa, ratio timbulan
sampah jiwa/hari : 0,60 Kg dengan berat sampah rata - rata/m3
Menurut Tchobanoglous (1993), komposisi sampah dapat dibagi dalam
dua golongan, yaitu:
: 250 kg,
Timbulan sampah Kota Medan perhari 887,75 ton/hari. Jumlah volume
sampah yang terangkut oleh truk pengangkut sampah ke tempat TPA per hari
adalah 700 ton, berarti hanya 80% sampah yang terangkut dari total
produksi sampah kota Medan.
1. Komposisi fisik sampah
Secara fisik terdiri dari sampah basah (garbage), sampah halaman,
taman, kertas, kardus, kain, karet, plastik, kulit, kayu, kaca, logam, debu, dan
lain-lain. Informasi mengenai komposisi fisik sampah diperlukan untuk
Universitas Sumatera Utara
memilih dan menentukan cara pengoperasian setiap peralatan serta fasilitas-
fasilitas lainnya, memperkirakan kelayakan pemanfaatan kembali sumber daya
dan energi dari sampah, serta sebagai perencanaan fasilitas pembuangan akhir.
2. Komposisi kimia sampah
Umumnya komposisi kimia sampah terdiri dari unsur Karbon, Hidrogen,
Oksigen, Nitrogen, Sulfur, Fosfor, serta unsur lainnya yang terdapat dalam
protein, karbohidrat, dan lemak. Untuk mengetahui komposisi kimia sampah,
perlu dilakukan analisa kandungan kimia sampah di laboratorium. Unsur-unsur
kimia yang diselidiki tergantung dari alternatif cara pengolahan sampah yang
akan dievaluasi.
Dari komposisi sampah yang telah diperoleh dapat diketahui karakteristik
sampah yang mencakup:
1. Persentasi masing-masing komponen sampah
Persentasi komponen sampah perkotaan bervariasi terhadap lokasi, musim,
ekonomi, kondisi daerah dan banyak faktor lainnya. Oleh karena itu, distribusi
persentasi komponen sampah merupakan faktor yang menentukan dalam
proses kebijaksanaan pengelolaannya.
2. Kepadatan sampah
Kepadatan sampah menyatakan berat sampah per satuan volume
(Tchobanoglous, 1993). Data kepadatan sampah penting untuk menentukan
jenis peralatan pengumpul dan peralatan pemindahan. Selain itu, digunakan
juga untuk merencanakan sistem pembuangan akhir sebab rendahnya
kepadatan (densitas) sampah mengakibatkan meningkatnya luas areal yang
diperlukan untuk pembuangan akhir dan penurunan permukaan tanah setelah
Universitas Sumatera Utara
penimbunan. Kepadatan sampah berbeda-beda nilainya tergantung dari lokasi,
musim, dan lamanya di pewadahan/ penyimpanan.
3. Kadar Air Sampah
Kadar air sampah biasanya dinyatakan sebagai berat air per satuan berat
basah atau berat kering sampah. Kadar air sampah merupakan faktor yang
penting untuk merencanakan dan pengoperasian incinerator yang akan
berpengaruh terhadap nilai kalor dan karakteristik pembakaran sampah.
Besarnya kadar air sampah pada setiap tempat tergantung dari musim,
kelembaban, keadaan iklim, dan komposisi sampah itu sendiri.
4. Distribusi Ukuran Partikel Sampah
Distribusi ukuran partikel sampah mempengaruhi dua hal dalam
perencanaan pengolahan sampah, yaitu:
a. Kebutuhan untuk pemadatan dan tanah penutup pada sanitary landfill.
Semakin besar ukuran partikel sampah, semakin lama pemadatan
dilakukan dan semakin banyak diperlukan tanah penutup.
b. Kebutuhan untuk mengurangi/ mereduksi ukuran dengan shredding
pendahuluan untuk pengomposan/ produksi biogas atau insinerasi. Pada
pengomposan dan produksi biogas ukuran partikel yang kecil akan
mempercepat proses pembusukan. Pada insinerasi, tujuan dari pengecilan
ukuran partikel adalah untuk memperluas permukaan sampah sehingga
mempercepat penguapan dan menurunkan kadar air dari sampah yang
akan dibakar.
3.2. Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Universitas Sumatera Utara
Pembuangan akhir sampah merupakan proses terakhir dalam siklus
pengelolaan persampahan formal. Fase ini dapat menggunakan berbagai
metode dari yang sederhana hingga tingkat teknologi tinggi. Metode
pembuangan akhir yang banyak dikenal adalah :
1. Open dumping, Metode ini merupakan cara pembuangan akhir yang
sederhana karena sampah hanya ditumpuk di lokasi tertentu tanpa
perlakuan khusus.
2. Control landfill, Metode ini merupakan peralihan antara teknik open
dumping dan sanitary landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan
diratakan. Pipa-pipa ditanam pada dasar lahan untuk mengalirkan air
lindi (leacheate) dan ditanam secara vertikal untuk mengeluarkan
metan ke udara. Setelah timbunan sampah penuh lalu dilakukan
penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan
dipadatkan.
3. Sanitary landfill ,Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan
sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan
keamanan lingkungan karena telah ada perlakuan terhadap sampah.
Pada teknik ini, sampah dihamparkan hingga mencapai ketebalan
tertentu lalu dipadatkan, kemudian dilapisi tanah dan dipadatkan
kembali, di atas lapisan tanah penutup tadi dapat dihamparkan lagi
sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian
seterusnya berselang-seling antara lapisan tanah dan sampah. Metode
ini lebih baik dari metode lainnya. Konsekuensi dari pembuangan
Universitas Sumatera Utara
sampah di tempat pembuangan akhir sampah ini adalah dibutuhkannya
lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar.
Pembuangan Akhir (TPA) sampah membutuhkan ruang/tempat
yang luas dan disyaratkan jauh dari permukiman penduduk. Dengan
adanya keterbatasan lahan di berbagai kota besar, maka tempat
penampungan sampah akhir lambat laun menjadi masalah. Oleh karena
itu, adanya upaya mengurangi beban penumpukan sampah di TPA dengan
berbagai metode pengelolaan sampah yang lebih baik merupakan langkah
yang perlu terus dikembangkan agar tidak menimbulkan banyak masalah.
Lahan untuk TPA harus memiliki kesesuaian dengan sifat lahan tersebut,
sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkannya.
Menurut USDA (1983) dalam Hifdziyah (2011), ada beberapa sifat lahan
yang sesuai sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) secara
terbuka. Kesesuaian lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 2.1. Kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan sampah secara terbuka
No Sifat Tanah Kesesuaian Lahan
Baik Sedang Buruk 1 Ancaman banjir Tanpa Jarang Sering 2 Kedalaman sampai
hamparan batuan (cm) >150 100 – 150 <100
3 Kedalaman sampai padas keras (cm)
>150 100 – 150 <100
4 Permeabilitas (cm/jam) (50-100 cm)
- - >5
5 Muka air tanah (cm) Apparent Perched
>150 >90
100 – 150 100 – 150
<100 <45
6 Lereng % < 8 45 - 90 >15 7 Longsor - - Ada
Sumber : USDA (1983) dalam Hifdziyah (2011)
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan SNI 03-3241-1997 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemilihan
Lokasi tempat Pembuangan Akhir sampah yang diterbitkan Badan Standarisasi
Nasional, ketentuan pemilihan lokasi TPA sampah diuraikan sebagai berikut :
1. TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut
2. Disusun berdasarkan 3 tahapan yaitu :
a. Tahap regional yang merupakan tahapann untuk menghasilkan peta berisi
daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa
zona kelayakan.
b. Tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua
lokasi terbaik di antara beberapa lokasi yang dipilih dari zona – zona
kelayakan pada tahap regional.
c. Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh
instansi yang berwenang.
3. Dalam hal suatu wilayah belum bias memnuhi tahapan regional, pemilihan
lokasi TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA
sampah ini dapat dilihat pada lampiran criteria yang berlaku pada tahap
penyisih.
3.3. Sistem pengelolaan sampah dan permasalahannya
Tujuan pengelolaan sampah adalah untuk mengubah sampah menjadi
bentuk yang tidak mengganggu dan menekan volume sampah sekecil mungkin
sehingga mempermudah dalam pengelolaannya. Timbulan sampah yang berada
di bak-bak penampungan sampah di kota Medan akan diangkut ke tempat
Universitas Sumatera Utara
pembuangan sementara (TPS) atau diangkut langsung ke TPA. Sistem
pengangkutan sampah ini dimulai dari rumah tangga diangkut ke TPS
menggunakan becak sampah (disebut Bestari) atau gerobak sampah.
Sistem pengelolaan sampah yang diterapkan oleh Dinas Kebersihan Kota
Medan di lokasi TPA adalah dengan metode open dumping dengan pengaturan
zona sehingga open dumping yang dilakukan terpola dengan baik. Sistem
pengelolaan sampah di TPA Terjun secara open dumping (pembuangan terbuka)
yaitu cara pembuangan sampah yang sederhana. Sampah dihamparkan di suatu
lokasi, dibiarkan terbuka tanpa penutupan dan pengolahan, meskipun sampah –
sampah tersebut kemudian dibakar tetapi sering menimbulkan berbagai masalah
lingkungan, estetika maupun kesehatan.
Gambar 2.1. Sistem pengelolaan sampah di TPA Terjun
Akumulasi sampah yang cukup besar dibiarkan secara terbuka didukung
oleh curah hujan yang cukup tinggi sehingga akan menghasilkan air lindi,
Universitas Sumatera Utara
ditambah dengan penumpukan sampah yang baru yang pada waktu dilakukan
pembongkaran dari truk atau kendaraan pengangkut sampah dapat menimbulkan
dan menambah volume lindi terutama sampah yang berasal dari industry berkadar
air tinggi dengan campuran bahan organik bersifat cair. Apabila air lindi tidak
dikelola dengan baik akan berpengaruh terhadap kualitas air baik permukaan
ataupun air tanahdi wilayah TPA dan sekitarnya.
Pengaruh lindi yang dirasakan masyarakat adalah perubahan warna atau
kekeruhan pada badan air ataupun keberadaan leachate yang mengandung zat
organic dan bahan terlarut lainnya. Selanjutnya badan air akan masuk ke badan air
tanah yang akhirnya akan menjadi keruh. Adanya bahan pencemar atau mineral di
Badan air akan memacu pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme
yang merugikan kesehatan dan estetika. Hal ini akan berpengaruh pada siklus air
yang menyebabkanb terjadinya pencemaran air. Pencemaran terjadi jika air hujan
jatuh diatas permukaan sampah sehingga menambah volume air lindi, meresap
dan turun melalui lapisan kedap air (impermeable) ke dalam badan air yang lebih
rendah. Setelah lindi melalui tanah dan batuan pada kedalaman beberapa meter
kontaminasi bakteriologis tidak lagi ditemui. Suspense yang terdapat dalam lindi
dapat terbawa sampai kedalaman yang lebih jauh sehingga menyebabkan polusi
air tanah.
3.4. Air Lindi
Masalah utama yang dijumpai dalam aplikasi penimbunan/pengurugan
sampah atau limbah padat lainnya ke dalam tanah adalah kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
pencemaran air tanah oleh lindi, terutama di daerah yang curah hujan dan muka
air tanahnya tinggi. Timbulan (debit) lindi serta kualitasnya yang keluar dari
timbunan sampah sangat berfluktuasi karena bergantung pada curah hujan serta
karakter sampah yang ditimbun. Kaitan antara banyaknya hujan dan timbulan
lindi perlu ditentukan bila hendak merancang kapasitas penanganan lindi,
demikian juga beban cemaran lindi yang akan digunakan dalam perancangan.
Gambar 2.2. Kondisi air lindi di TPA Terjun
Lindi adalah limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke
dalam timbunan sampah, melarutkan dan membilas materi-materi terlarut,
termasuk juga materi organik hasil proses dekomposisi biologis (Tchobanoglous,
1993). Lindi tersebut merupakan cairan yang terbentuk oleh adanya air hujan yang
merembes ke dalam timbunan sampah dan adanya kandungan air tanah yang
tinggi. Aliran yang merembes akan menimbulkan aliran yang membawa
bermacam – macam zat yang ada dalam sampah seperti Nitrat, Nitrit, Metan
Karbondioksida (CO2), Sulfat, Sulfide, NH3, air dan mikroorganisme
(Damanhuri, 2008). Proses dekomposisi secara alamiah pada awalnya akan
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan nitrit, CO2 dan air sedangkan pasokan (supply) oksigen yang
dilepaskan oleh mikroorganisme anaerobic akan membentuk senyawa lain seperti
sulfat, amoniak dan nitrogen.
Kualitas dan kuantitas lindi bervariasi dan fluktuasinya tergantung pada
curah hujan, komposisi / karekteristik sampah, umur timbunan dan pola
operasional TPA. Lindi sampah kota yang berumur di atas 10 tahunpun ternyata
mempunyai BOD dan COD yang tetap relatif tinggi (Damanhuri, 2008).
kandungan karbon organik (dinyatakan dalam COD) yang terkandung melebihi
baku mutu efluen limbah cair yang berlaku, yang menyiratkan bahwa penanganan
lindi merupakan suatu keharusan bila akan dilepas ke lingkungan.
3.5. Neraca Air
Timbulan lindi dapat dihitung dengan menggunakan neraca air. Hal ini
karena menganggap aliran air ke bawah sebagai sistem berdimensi-satu, maka
model yang digunakan adalah model neraca air. Hardyanti (2009) menyebutkan
bahwa Pola umum dari pembentukan lindi adalah sebagai berikut :
1. Presipitasi (P) jatuh di TPA dan beberapa diantaranya akan mengalami Run Off
(RO)
2. Beberapa dari presipitasi itu menginfiltrasi (I) permukaan
3. Sebagian yang terinfiltrasi akan menguap/evaporasi (E) dari permukaan dan
atau transpires (T) melalui tumbuhan
4. Sebagian proses infiltrasi akan menyebabkan penurunan kandungan
kelembaban dalam tanah
Universitas Sumatera Utara
5. Sisa infiltrasi setalah proses E,T dan S sudah mencukupi, bergerak kebawah
membentuk suatu percolate ( PERC ) dan pada akhirna akan membentuk lindi
yang akan ditemui di dasar TPA.
Adapun system input – output dari penimbunan lindi menurut Damanhuri
(2008) dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.3. Input-output lindi dengan neraca air
3.6. Neraca Air Thronthwaite
Lindi yang timbul dapat diperkirakan dengan menggunakan suatu metoda
yang disebut Metoda Neraca Air (Water Balance Method). Metoda ini didasari
oleh asumsi bahwa lindi hanya dihasilkan dari curah hujan yang berhasil meresap
masuk ke dalam timbunan sampah (perkolasi). Beberapa sumber lain seperti air
hasil dekomposisi sampah, infiltrasi muka air tanah, dan aliran air permukaan
lainnya dapat diabaikan.
Metode yang sering digunakan pakar geofisika dan meteorology,
geohidrologi, geografi dan geologi adalah metode thornthwaite, terdapat metode
penman dan rumus Truck. Terbatasnya data yang dikumpulkan dari stasiun
Universitas Sumatera Utara
meteorology yang terkadang tidak selalu lengkap dalam penulisannya menjadi
kendala dalam menggunakan metode penman dan rumus Truck. Keunggulan
rumus Thronthwaite adalah kesederhanaan data yang diperlukan dan
kesederhanaan cara perhitungannya (Nugroho, 1989). Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kuantitas perkolasi dalam Metoda Neraca Air ini adalah
Presipitasi, Evapotranspirasi, Surface run-off, dan Soil moisture storage. Rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut :
PERC = P - (RO) - (AET) - (∆ST)…………………………………….2.1.
I = P - (R/O).……………………………………............……………….2.2.
APWL = ∑ NEG (I - PET))…………………………………………….2.3.
AET = (PET) + [(I - PET) - (∆ST)])……………………………...….2.4.
Keterangan : • Perc : Perkolasi, air yang keluar dari sistem menuju lapisan di bawahnya akhirnya menjadi lindi (leacheate) • P : Presipitasi rata-rata bulanan dari data Tahunan • RO : Limpasan permukaan (runoff) rata-rata bulanan dihitung dari presipitasi serta koefisien limpasan • AET : Aktual evapotranspirasi, menyatakan banyaknya air yang hilang secara nyata dari bulan ke bulan • ∆ST : Perubahan simpanan air dalam tanah dari bulan ke bulan, yang
terkait dengan soil moisture storage • ST : Soil moisture storage, merupakan banyaknya air yang tersimpan dalam tanah pada saat keseimbangan • I : Infiltrasi, jumlah air terinfiltrasi ke dalam tanah • APWL : Accumulated Potential Water Loss , merupakan nilai negatif dari
(PET) yang merupakan kehilangan air secara kumulasi • I – PET : Nilai infiltrasi dikurang potensi evapotranspirasi; nilai negarif menyatakan banyaknya infiltrasi air yang gagal untuk dipasok pada
tanah, sedang nilai positip adalah kelebihan air selama periode tertentu untuk mengisi tanah.
• PET : Potensial evapotranspirasi, dihitung berdasarkan atas nilai rata-rata bulanan dari data tahunan
Universitas Sumatera Utara
Dengan menganggap aliran air ke bawah sebagai sistem berdimensi-satu,
maka model neraca air yang dikembangkan oleh Thorntwaite, dapat digunakan
untuk menghitung perkolasi air dalam tanah penutup menuju lapisan sampah di
bawahnya. Salah satu keuntungan penggunaan tanah penutup akhir dalam
mengurangi timbulnya lindi adalah dari kemampuan penyerapan airnya. Air akan
tertahan dalam tanah sampai menyamai angka field capacity-nya. Air yang
terkandung oleh tanah bergantung pada jenis tanah dan berkurang dengan adanya
evapotranspirasi dan bertambah kembali akibat infiltrasi. Tanpa adanya tanaman,
setelah periode yang lama, tanah akan mempunyai kandungan air setinggi field
capacity. Bila terdapat tanaman, maka akar mengambil air dan menguapkannya
sehingga air akan berada di bawah field capacity tersebut. Pada saat air mencapai
wilting points, maka akar tidak dapat lagi mengambil air dalam tanah tersebut.
Gambar 2.4. Konsep kandungan air dalam tanah
Gambar 2.4 menggambarkan bahwa air akan tertahan dalam tanah sampai
menyamai angka field capacity-nya. Air yang terkandung oleh tanah bergantung
pada jenis tanah dan berkurang dengan adanya evapotranspirasi dan bertambah
Universitas Sumatera Utara
kembali akibat infiltrasi. Tanpa adanya tanaman, setelah periode yang lama,
tanah akan mempunyai kandungan air setinggi field capacity-nya. Bila terdapat
tanaman, maka akar mengambil air dan menguapkan sehingga air. akan berada di
bawah field capacity tersebut. Pada saat air mencapai wilting points, maka akar
tidak dapat lagi mengambil air dalam tanah tersebut. Di bawah titik ini
kandungan air dikenal sebagai air higroskopis (Hygroscopic water) yaitu air yang
terikat pada partikel-partikel tanah dan tidak dapat dikurangi oleh transpirasi.
Dengan demikian, air tersedia (Available water) berkisar antara wilting points
dan field capacity. Air inilah yang akan mengalami pergerakan kapiler dan
jumlah ini berubah karena evapotranspirasi dan infiltrasi. Tabel 2.2 berikut
adalah jumlah air yang tersedia pada berbagai jenis tanah.
Tabel 2.2. Jumlah air yang tersedia oleh jenis tanah (mm/m)
Jenis Tanah Field Capacity Wilting Point Jumlah air yang tersedia
(available water)
Fine Sand 120 20 100
Sandy Loam 200 50 150
Silty Loam 300 100 150
Clay Loam 375 125 250
Clay 450 125 300
Sampah 200 – 350 - -
Sumber : Water Balanced Method, EPA (1975) dalam Damanhuri (2008)
3.7. Minimasi Lindi (lechate)
2.7.1. Pelapis Dasar (Liner)
Pada sebuah lahan urug yang baik biasanya dibutuhkan sistem pelapis
dasar, yang bersasaran mengurangi mobilitas lindi ke dalam air tanah. Sebuah
liner yang efektif akan mencegah migrasi cemaran ke lingkungan, khususnya ke
Universitas Sumatera Utara
dalam air tanah. Namun pada kenyataannya belum didapat sistem liner yang
efektif 100%. Karena timbulan lindi tidak terelakkan, maka di samping sistem
liner dibutuhkan sistem pengumpulan lindi.
2.7.2. Saluran Pengumpul Lindi
Sistem pengumpul lindi yang umum digunakan adalah :
a. Menggunakan pipa berlubang yang ditempatkan dalam saluran, kemudian
diselubungi batuan. Cara ini paling banyak digunakan pada landfill
b. Membuat saluran kemudian saluran tersebut diberi pelapis dan di dalamnya
disusun batu kali kosong.
Fasilitas-fasilitas pengumpulan lindi (lechate) dengan menggunakan pipa
secara umum adalah sebagai berikut :
a. Slope teras
Untuk mencegah akumulasi lindi di dasar suatu lahan urug, dasar lahan
urug ditata menjadi susunan teras-teras dengan kemiringan tertentu (1-5%)
sehingga lindi akan mengalir ke saluran pengumpul (0,5-1%). Untuk
mengalirkan lindi ke unit pengolahan atau resirkulasi setiap saluran pengumpul
dilengkapi dengan pipa berlubang. Kemiringan dan panjang maksimum saluran
pengumpul dirancang berdasarkan kapasitas fasilitas saluran pengumpul. Untuk
memperkirakan kapasitas fasilitas saluran pengumpul dipergunakan persamaan
Manning.
b. Piped Bottom
Dasar lahan urug dibagi menjadi beberapa persegi panjang yang
dipisahkan oleh pemisah tanah liat. Lebar pemisah tersebut tergantung dari
Universitas Sumatera Utara
lebar sel. Pipa-pipa pengumpul lindi ditempatkan sejajar dengan panjang sel dan
diletakkan langsung pada geomembrane.
2.7.3. Penutup Akhir
Beberapa fungsi dari sistem penutup akhir tersebut adalah :
a. Meminimasi infiltrasi air hujan ke dalam tumpukan sampah setelah lahan
urug selesai dipakai
b. Mengontrol emisi gas dari lahan urug ke lingkungan
c. Mengontrol binatang dan vektor-vektor penyakit yang dapat menyebabkan
penyakit pada ekosistem
d. Mengurangi resiko kebakaran
e. Menyediakan permukaan yang cocok untuk berbagai kegunaan setelah
lahan urug selesai digunakan, seperti untuk taman rekreasi dan lain-lain
f. Elemen utama dalam reklamasi lahan
g. Mencegah kemungkinan erosi
h. Memperbaiki tampilan lahan urug dari segi estetika.
33..88.. PPeennggoollaahhaann LLiinnddii
Dari segi komponen, kandungan pada lindi tidak berbeda dengan air
buangan domestik. Namun zat organik yang terkandung pada lindi dari timbunan
sampah domestik sangat tinggi konsentrasinya. Hal ini ditunjukkan dari sangat
tingginya kadar BOD5 pada lindi yaitu sekitar 2000-30.000. Sistem pengolahan
lindi dibagi menjadi dua tingkat, yaitu pengolahan sekunder dan pengolahan
tersier.
Universitas Sumatera Utara
2.8.1. Kolam Stabilisasi
Kolam stabilisasi atau kolam oksidasi merupakan suatu kolam yang terdiri
atas tanggul dengan aliran air buangan (influen) yang laminer sehingga
menyebabkan terjadinya aktivitas mikroorganisme. Pengaplikasian kolam ini jika
luas area terpenuhi dan tempat di lokasi memungkinkan adanya sinar matahari
masuk ke dalam kolam untuk proses fotosintesis akan sangat menguntungkan. Hal
ini disebabkan konstruksi yang dibutuhkan kolam ini relatif sederhana dan biaya
operasi relatif lebih murah. Berdasarkan penggunaan oksigen, jenis-jenis kolam
stabilisasi adalah Aerob, Anaerob dan Fakultatif (aerob-anaerob).
Kolam stabilisasi ini selain dapat menurunkan kadar BOD dan COD juga
dapat menurunkan jumlah fecal coli yang ada dalam leachate. Namun untuk
pengolahan lindi sebaiknya menggunakan kolam anaerobik/fakultatif karena
sangat tingginya kadar BOD. Kolam fakultatif merupakan kolam stabilisasi yang
memiliki zona aerobik, fakultatif (transisi antara aerobik dan anaerobik), dan zona
anaerobik sebagai zona paling dalam. Zona aerob merupakan zona permukaan
yang mana akan terjadi dekomposisi buangan organik yang diangkut bakteri
fakultatif. Zona anaerobik merupakan zona yang paling dalam yang menjadi
tempat akumulasi endapan yang didekomposisi bakteri anaerob. Untuk mendesain
agar terjadinya ketiga zona tersebut, maka setidaknya kolam fakultatif
dikonstruksi dengan kedalaman antara 1-2 m.
Kolam anaerobik digunakan untuk mengolah air buangan dengan kadar
organik tinggi yang juga mengandung konsentrasi solid yang tinggi. Secara
tipikal, kolam anaerobik merupakan kolam oksidasi yang paling dalam. Untuk
Universitas Sumatera Utara
mencegah masuknya energi panas terutama dari sinar matahari dan
mempertahankan kondisi anaerobik, kolam anaerobik dikonstruksi dengan
kedalaman antara 1,5 – 5 m.
2.8.2. Kolam Aerasi
Kolam aerasi merupakan kolam yang berfungsi mengoksidasi air buangan
yang mana kebutuhan oksigennya dipenuhi dengan proses aerasi. Pada prinsipnya,
fungsi pengolahan ini adalah mengkonvensi air buangan menjadi komponen-
komponen yang lebih sederhana dengan cara oksidasi. Untuk memenuhi
kebutuhan oksigen, kolam aerasi dilengkapi dengan aerator yang mempunyai
fungsi mensuplai oksigen yang diperlukan untuk menurunkan kadar BOD/COD.
Tipe aerator yang biasanya dipilih dalam aplikasi kolam ini adalah surface
aerator/diffused air aerator. Selain untuk mensuplai oksigen, aerator berfungsi
pula untuk menjaga kondisi cairan selalu dalam keadaan tersuspensi. Pada
prinsipnya, proses pengolahan kolam aerasi sama dengan kolam stabilisasi, yang
membedakannya adalah kolam aerasi dilengkapi dengan aerator. Dengan
dilengkapi aerator, maka biaya operasi dan pemeliharaan aerasi lebih mahal
karena membutuhkan energi listrik untuk pengoperasian aerator. Namun dari segi
kebutuhan lahan, unit ini membutuhkan lahan yang relatif kecil.
2.8.3. Land Treatment (Rapid-Infiltrated Plant)
Universitas Sumatera Utara
Metoda Rapid Infiltrated Plant adalah metoda pengolahan lindi dengan cara
meresapkan cairan lindi pada suatu lahan yang ditanami tumbuhan tertentu.
Tumbuhan yang dipilih adalah tumbuhan yang memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Tumbuhan berbuluh, tumbuhan ini lebih efektif meresap air dan kemudian
mengevapotranspirasikannya lebih besar.
b. Memiliki nilai ekonomis atau murah dalam pengadaannya karena
tumbuhan tersebut akan menjadi media yang “dikorbankan”.
Dalam sistem infiltrasi cepat, air buangan yang telah menerima beberapa
perlakuan pengolahan dialirkan secara intermitten oleh saluran infiltrasi atau
kolam distribusi. Namun biasanya tanaman tidak ditanam di kolam infiltrasi.
Kecepatan loading dalam metoda ini relatif tinggi, sehingga kehilangan akibat
evaporasi kecil. Dengan kecepatan loading yang tinggi ini, maka air yang
mengalami perkolasi langsung melalui profil tanah, merupakan fraksi terbesar
ketika pengolahan terjadi. Media tanah yang digunakan dalam metode ini agar
infiltrasi berlangsung cepat adalah tanah yang setidaknya mempunyai
permeabilitas 25 mm/hari atau lebih. Metoda ini memberikan biaya investasi ,
operasi, pemeliharaan, dan pengawasan yang lebih murah.
2.8.4. Intermitten Sand Filter
Metoda ini merupakan metoda pengolahan yang menggunakan kolam
bermedia pasir atau media berbutir lainnya, yang mana influen dialirkan secara
intermitten, dan effluen dialirkan melalui saluran di bawah kolam. Pada
prinsipnya, metoda pengolahan ini sama dengan metode saringan pasir lainnya,
yang membedakan adalah cara pengaliran influen menuju permukaan kolam
Universitas Sumatera Utara
dilakukan secara intermitten dengan maksud agar air buangan terdistribusi baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara fisik metoda ini menggunakan kolam
dangkal dengan media pasir setebal 24-30 inchi (0,6-0,76 m) yang dilengkapi
sistem distribusi influen dan sistem saluran bawah kolam. Influen dialirkan secara
periodik ke permukaan kolam lalu filtrat dikumpulkan di sistem saluran bawah
kolam. Setelah itu efluen dari unit ini dialirkan menuju fasilitas penanganan akhir,
seperti desinfeksi, atau langsung dibuang ke badan air.
Universitas Sumatera Utara