chapter ii 2

13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanasan Global Pemanasan bumi disebabkan karena gas-gas tertentu dalam atmosfer bumi seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), nitro oksida (N 2 O) dan uap air Peristiwa perubahan iklim akan berakibat fatal bagi kehidupan di permukaan bumi, seperti pada bidang pertanian, perubahan ekosistem alam, meluasnya padang rumput dan gurun, areal hutan menyusut dan bergeraknya suhu panas ke arah kutub. Sedangkan daerah kutub sendiri karena naiknya suhu air laut mengakibatkan mencairnya sebagian besar bongkahan es dan lambat laun mengakibatkan banyak daerah pantai yang terendam (Arief 2001). Pemanasan global dapat menimbulkan berbagai kerusakan melalui dampak terhadap atmosfer, hidrosfer, geosfer dan terakhir terhadap manusia. Semua dampak akan menimbulkan bencana bagi umat manusia, baik yang melakukan pencemaran maupun yang tidak melakukannya (Wardhana 2010). membiarkan radiasi surya menembus dan memanasi bumi, menghambat pemantulan sinar infra merah dan menyebabkan efek rumah kaca. Dengan naiknya konsentrasi gas-gas tersebut maka akan lebih banyak panas tertekan di dalam atmosfer dan menyebabkan suhu bumi naik (Mulyanto 2007). Pemanasan global akan menimpa bumi dan segenap isinya yang diuraikan oleh Wardhana (2010) sebagai berikut : 1. Panas matahari sebagian diserap bumi sebesar 160 watt/m 2 2. Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh atmosfer. dan memanasi bumi. Universitas Sumatera Utara

Upload: bayusaputra

Post on 19-Feb-2016

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

KYU

TRANSCRIPT

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanasan Global

Pemanasan bumi disebabkan karena gas-gas tertentu dalam atmosfer bumi

seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitro oksida (N2O) dan uap air

Peristiwa perubahan iklim akan berakibat fatal bagi kehidupan di

permukaan bumi, seperti pada bidang pertanian, perubahan ekosistem alam,

meluasnya padang rumput dan gurun, areal hutan menyusut dan bergeraknya suhu

panas ke arah kutub. Sedangkan daerah kutub sendiri karena naiknya suhu air laut

mengakibatkan mencairnya sebagian besar bongkahan es dan lambat laun

mengakibatkan banyak daerah pantai yang terendam (Arief 2001). Pemanasan

global dapat menimbulkan berbagai kerusakan melalui dampak terhadap atmosfer,

hidrosfer, geosfer dan terakhir terhadap manusia. Semua dampak akan

menimbulkan bencana bagi umat manusia, baik yang melakukan pencemaran

maupun yang tidak melakukannya (Wardhana 2010).

membiarkan radiasi surya menembus dan memanasi bumi, menghambat

pemantulan sinar infra merah dan menyebabkan efek rumah kaca. Dengan

naiknya konsentrasi gas-gas tersebut maka akan lebih banyak panas tertekan di

dalam atmosfer dan menyebabkan suhu bumi naik (Mulyanto 2007).

Pemanasan global akan menimpa bumi dan segenap isinya yang diuraikan

oleh Wardhana (2010) sebagai berikut :

1. Panas matahari sebagian diserap bumi sebesar 160 watt/m2

2. Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh atmosfer.

dan memanasi

bumi.

Universitas Sumatera Utara

3. Panas matahari sebagian dipantulkan oleh bumi dan diteruskan oleh atmosfer.

4. Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh Gas Rumah Kaca sebesar

30 watt/m2

ke bumi dan menjadikan bumi, atmosfer dan lingkungan menjadi

panas.

2.2. Gas Rumah Kaca

Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang bertanggung

jawab sebagai penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Gas-gas rumah

kaca yang utama adalah karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan Nitrogen oksida

(N2O). Gas-gas rumah kaca yang kurang umum, tetapi sangat kuat, adalah

hydrofluorocarbons (HFCs), perfluorocarbons (PFCts) dan sulphur hexafluoride

(SF6

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena

terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Keseimbangan

tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau

karbondioksida (CO

) (TPIBLK 2010b).

2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O) yang lebih

dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai

tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem.

Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer sebagai akibat adanya pengelolaan

lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam

skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut.

Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan

menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007).

Universitas Sumatera Utara

Emisi rumah kaca sebagai penyebab terjadinya pemanasan global.

Industrialisasi dan pembangunan memberikan andil terciptanya pemanasan global.

Sudah banyak upaya untuk menekan atau mencegah peningkatan pemanasan

global, tidak hanya dalam konteks lokal, tetapi juga di level internasional dan

nasional (Rudy 2008).

Akumulasi gas rumah kaca akibat perubahan tutupan lahan dan kehutanan

diperkirakan sebesar 20% dari total emisi global yang berkontribusi terhadap

pemanasan global dan perubahan iklim. Hal ini menegaskan bahwa upaya mitigasi

perubahan iklim perlu melibatkan sektor perubahan tutupan lahan dan kehutanan.

Mengingat hutan berperan sangat penting tidak hanya sebagai penyimpan karbon,

tetapi secara alami juga berfungsi sebagai penyerap karbon yang paling efisien di

bumi sekaligus menjadi sumber emisi gas rumah kaca pada saat tidak dikelola

dengan baik (Manuri et al. 2011).

2.3. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.30/Menhut-

II/2009 Pasal 1 dinyatakan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi

hutan yang selanjutnya disebut REDD adalah semua upaya pengelolaan hutan

dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan

hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk

mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dalam Pasal 2 dijelaskan

bahwa maksud dari kegiatan REDD adalah untuk mencegah dan mengurangi

emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka memantapkan tata kelola

kehutanan. Tujuan dari kegiatan REDD adalah untuk menekan terjadinya

Universitas Sumatera Utara

deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka mencapai pengelolaan hutan

berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)

merupakan sebuah mekanisme yang dirancang untuk memberikan kompensasi

bagi negara miskin yang mampu memberikan perlindungan bagi hutan mereka

dan mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama CO2

Strategi REDD dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK)

menurut Nugroho et al. (2012) meliputi :

. Negara-negara kaya dapat

membeli kredit karbon, atau melakukan “offsets,” (memberikan kompensasi) bagi

negara-negara berkembang yang dapat menjaga hutannya dengan baik, sehingga

emisi bersih pada skala global dapat dikurangi. Sebagai alternatif, REDD dapat

dipisahkan dari pasar kredit karbon, sehingga negara kaya atau negara maju harus

dapat memenuhi komitmen REDD serta mengurangi emisi mereka sendiri

(RECOFTC 2010).

1. Mengurangi laju deforestasi dari hutan ke non hutan secara permanen.

2. Mengurangi degradasi hutan.

3. Menjaga stok karbon melalui konservasi hutan.

4. Meningkatkan stok karbon melalui penanaman/reboisasi dan rehabilitasi lahan

dan hutan.

Menurut CIFOR (2009), ada empat tantangan dalam implementasi skema

REDD di Indonesia, yaitu :

1. Teknologi penghitungan karbon, apakah pemerintah lokal dan masyarakat

mempunyai kapabilitas untuk melakukan hal tersebut.

Universitas Sumatera Utara

2. Pembayaran, bagaimana cara suatu negara dapat memperoleh pembayaran dan

dalam bentuk apa pembayaran itu diberikan? Siapa yang nantinya akan

menerima pembayaran untuk upaya melindungi kawasan hutan tertentu:

pemerintah nasional, masyarakat lokal sekitar hutan atau perusahaan kayu?

3. Akuntabilitas, jika pembayaran REDD dilakukan, namun hutan tetap saja

dirusak, apa yang akan terjadi? Akuntabilitas terkait dengan jaminan bahwa

pembayaran karbon dapat mewujudkan perlindungan hutan berkelanjutan.

4. Pendanaan, apakah sebaiknya negara maju menyediakan dana untuk

memberikan penghargaan bagi negara-negara yang dapat mengurangi

emisinya dari deforestasi? Atau apakah sebaiknya pengurangan emisi ini

dikaitkan dengan sistem perdagangan karbon yang berbasis pasar? Kita perlu

mencari sistem pasar yang paling sesuai.

Transaksi pembayaran REDD merupakan aliran pembayaran dari pembeli

manfaat REDD kepada penghasil manfaat REDD yaitu pihak yang terlibat dalam

rangkaian pengurangan emisi dari deforestasi. Dalam hal ini penghasil manfaat

dapat merupakan pengusul kegiatan REDD. Pengusul REDD dapat berasal dari

pemerintah daerah. Hal ini akan mempengaruhi usulan mekanisme distribusi

pembayaran REDD dan proporsi insentif untuk masing-masing pihak (Indartik et

al. 2010).

2.4. Karbon Tersimpan

Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di

kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan

C (rosot C = C sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh

Universitas Sumatera Utara

karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan

serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi (baik di atas

maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan

dekomposisi (pelapukan) serasah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap,

tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah

yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau

perkebunan atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot.

Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di

udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh

tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara

serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam

pepohonan pada lahan-lahan pertanian dan melindungi lahan gambut sangat

penting untuk mengurangi jumlah CO2

Penghitungan emisi dapat dilakukan dengan menghitung perbedaan

cadangan karbon (carbon stock) pada waktu tertentu (stock difference method).

Perbedaan cadangan karbon tersebut menunjukkan terjadinya pengurangan atau

penambahan stok (emisi atau sink). Untuk pengukuran karbon di tingkat sub-

nasional atau skala proyek REDD, dilakukan melalui kombinasi pengukuran

karbon di lapangan (ground survey) dan remote sensing (TPIBLK 2010b).

yang berlebihan di udara (Hairiah dan

Rahayu 2007).

Karbon hutan tersimpan dalam bentuk biomassa sehingga untuk

mengetahui kandungan karbon yang tersimpan dalam hutan dapat diperoleh

dengan memperkirakan kandungan biomassa hutan. Biomassa hutan didefinisikan

sebagai jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk

Universitas Sumatera Utara

seluruh atau sebagian tubuh organisme, populasi atau komunitas dan dinyatakan

dalam berat kering oven per satuan area (ton/unit area) (Krisnawati 2010).

Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan: (a)

meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan

kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan

kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh.

Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu,

sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah

dengan menanam dan memelihara pohon (Hairiah dan Rahayu 2007).

Sutaryo (2009) mengemukakan dalam inventarisasi karbon hutan, carbon

pool yang diperhitungkan setidaknya ada 4 kantong karbon. Keempat kantong

karbon tersebut adalah :

1. Biomassa atas permukaan

Semua material hidup di atas permukaan. Termasuk bagian dari kantong

karbon ini adalah batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji dan daun dari

vegetasi baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai

hutan.

2. Biomassa bawah permukaan

Semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku

hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab akar

tumbuhan dengan diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit

untuk dibedakan dengan bahan organik tanah dan serasah.

Universitas Sumatera Utara

3. Bahan organik mati

Meliputi kayu mati dan serasah. Serasah dinyatakan sebagai semua bahan

organik mati dengan diameter yang lebih kecil dari diameter yang telah

ditetapkan dengan berbagai tingkat dekomposisi yang terletak di permukaan

tanah. Kayu mati adalah semua bahan organik mati yang tidak tercakup dalam

serasah baik yang masih tegak maupun yang roboh di tanah, akar mati, dan

tunggul dengan diameter lebih besar dari diameter yang telah ditetapkan.

4. Karbon organik tanah

Mencakup carbon pada tanah mineral dan tanah organik termasuk gambut.

2.5. Peran Hutan dalam Penyimpanan Karbon

Peranan hutan dalam mencegah dan mengurangi emisi karbon atau

mitigasi perubahan iklim dapat dilihat dari berbagai kemungkinan menurut

Thomson (2008) sebagai berikut:

1. Mengurangi kebakaran hutan dan emisi gas rumah kaca.

2. Mempertahankan penutupan hutan dan potensinya untuk mencegah perubahan

iklim.

3. Pengaturan kegiatan manajemen hutan untuk menangkap atau menyerap

tambahan CO di atmosfer.

4. Penangkapan dan penyimpanan karbon dalam pool karbon hutan dan

penggunaan kayu dalam jangka panjang.

5. Mengembangkan pasar perdagangan karbon dan menciptakan insentif untuk

kegiatan kehutanan yang mengurangi emisi industri dan penghasil polutan

lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar.

Menurut FAO, dengan jumlah total vegetasi hutan di Indonesia yang terus

meningkat, dapat menghasilkan lebih dari 14 milliar ton biomassa, jauh lebih

tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di

seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3,5

milliar ton karbon (FWI 2003).

Tekanan manusia terhadap sumber daya hutan, menyebabkan deforestasi

dan degradasi terhadap hutan yang ada. Penurunan jumlah dan kualitas hutan

tidak hanya menyebabkan berkurangnya jumlah karbon yang tersimpan, tetapi

juga menyebabkan pelepasan emisi karbon ke atmosfer serta mengurangi

kemampuan hutan dalam menyerap karbon. Karenanya hutan berperan penting di

dalam upaya mitigasi perubahan iklim, melalui penyerapan CO2

Cadangan karbon pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam

berkisar antara 7,5 – 264,70 ton C/ha. Secara umum pada hutan lahan kering

primer mampu menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan

hutan lahan kering sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan

terhadap tegakannya. Kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk

bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan yang

menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap

kemampuannya menyimpan karbon. Pola tersebut juga terjadi pada hutan rawa

primer dan hutan rawa sekunder. Selanjutnya pada hutan lahan kering relatif

memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar daripada

hutan rawa dan mangrove karena kemampuannya dalam membangun tegakan

menjadi

pertumbuhan riap pohon (Manuri et al. 2011).

Universitas Sumatera Utara

yang tinggi dan berdiameter besar sebagai tempat menyimpan karbon (TPIBLK

2010a).

Karbon pohon merupakan salah satu sumber karbon yang sangat penting

pada ekosistem hutan, karena sebagian besar karbon hutan berasal dari biomasa

pohon. Pohon merupakan proporsi terbesar penyimpanan C di daratan.

Pengukuran biomasa pohon dapat dilakukan dengan cara pengukuran langsung

hasil penebangan (destruktif sampling) dan cara tidak langsung dengan

menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter

batang. Beberapa persamaan alometrik yang dapat digunakan untuk hutan tropis

telah disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan secara global maupun lokal

(TPIBLK 2010b).

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) digalakkan oleh pemerintah

untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan penerapan sistem

silvikultur yang intensif. Rehabilitasi kawasan hutan produksi yang telah rusak

dan tidak produktif merupakan sasaran utama pembangunan HTI disamping

menghasilkan devisa dari hasil proses produksi pabrik pengolahan kayu HTI

(Ulya 2006). Penyerapan CO2

Karbondioksida dianggap sebagai gas rumah kaca utama karena memiliki

laju pertambahan emisi yang tinggi, waktu tinggal di atmosfer yang lama dan

tingginya emisi yang berasal dari sektor industri. Berdasarkan hasil-hasil

penelitian yang telah dilakukan pada beberapa jenis hutan tanaman, hutan

berperan menyerap CO

dapat dijadikan penambah pendapatan selain kayu

dan hasil hutan bukan kayu bagi kehutanan Indonesia dan mendorong terciptanya

pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan (Heriansyah 2005a).

2 dalam jumlah yang besar. Potensi CO2 yang mampu

Universitas Sumatera Utara

diserap oleh hutan tanaman dari jenis Eucalyptus grandis, Acacia mangium,

meranti dan jati berturut-turut adalah 31,948 ton/CO2/ha; 30,100 ton/ CO2/ha;

18,640 ton/CO2/ha; dan 5,800 ton/CO2/ha. Dengan peran tersebut, adanya kondisi

hutan yang terjaga akan mampu menjaga konsentrasi CO2

Residu biomassa dari hutan tanaman berpotensi besar sebagai sumber

energi, dimana program pemanfaatannya bisa diintegrasikan dengan kegiatan lain

berbasis sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Dalam implementasinya,

program pengembangan bioenergi di daerah sekitar hutan ini selain berkontribusi

dalam peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat yang umumnya

berpenghasilan rendah, juga dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif untuk

tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan. Dengan limpahan residu dari biomassa

hutan yang sangat besar, maka implementasi energi biomassa memiliki prospek

yang besar. Di samping itu pemanfaatan biomassa menjadi energi pun dapat

mengurangi emisi CO

di atmosfer tetap stabil.

Hal ini berarti pula beberapa bencana alam yang sering dihubungkan dengan

fenomena gas rumah kaca dan perubahan iklim global akan dapat dicegah

(Junaedi 2008).

2

baik dari respirasi akibat dekomposisi maupun dari

kemungkinan kebakaran, serta berkontribusi besar pada penurunan penggunaan

bahan bakar fosil yang semakin langka dan mahal (Heriansyah 2005b).

2.6. Eucalyptus

Eucalyptus spp. termasuk famili Myrtaceae, terdiri dari kurang lebih 700

jenis. Jenis Eucalyptus dapat berupa semak atau perdu. Umumnya berbatang

bulat, lurus, tidak berbanir dan sedikit bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk

Universitas Sumatera Utara

sedikit ramping, ringan dan banyak meloloskan sinar matahari. Percabangannya

lebih banyak membuat sudut ke atas, jarang-jarang dan daunnya tidak begitu

lebat. Daunnya berbentuk lanset hingga bulat telur memanjang dan bagian

ujungnya runcing membentuk kait. Pada pohon yang masih muda letak daunnya

berhadapan bentuk dan ukurannya sering berbeda dan lebih besar daripada pohon

tua. Pada umur tua, letak daun berselang seling (Irwanto 2007).

Jenis-jenis Eucalyptus terutama hidup pada iklim bermusim dan daerah

yang beriklim basah dari tipe hujan tropis. Jenis Eucalyptus tidak menuntut

persyaratan yang tinggi terhadap tempat tumbuhnya. Eucalyptus dapat tumbuh

pada tanah yang dangkal, berbatu-batu, lembab, berawa-rawa, secara periodik

digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari tanah-tanah kurus

gersang sampai pada tanah yang baik dan subur. Jenis Eucalyptus dapat tumbuh di

daerah beriklim A sampai C dan dapat dikembangkan mulai dari dataran rendah

sampai daerah pegunungan yang tingginya per tahun yang sesuai bagi

pertumbuhannya antara 0 - 1 bulan dan suhu rata-rata per tahun 20°-32o

PT. Toba Pulp Lestari, Tbk sejak pesatnya perkembangan pembangunan

hutan tanaman telah memproduksi bibit secara generatif dan vegetatif. Namun

sejak awal Tahun 2002 penggunaan bibit secara generatif tidak dikembangkan

lagi karena dengan sistem vegetatif yang dihasilkan dalam bentuk klon-klon yang

telah diuji coba oleh pihak Research and Development dirasakan bahwa sistem ini

C (Irwanto

2007). Eucalyptus umumnya mempunyai arsitektur tajuk ringan mengakibatkan

intensitas penutupan tajuk relatif ringan. Kondisi tersebut memberikan peluang

besar bagi air hujan untuk lolos dari cegatan tajuk (intersepsi tajuk), sehingga air

hujan yang lolos dan mencapai lantai hutan relatif besar (Pudjiharta 2001).

Universitas Sumatera Utara

mempunyai potensi yang lebih seragam dalam hal pemenuhan volume pohon

untuk memenuhi kebutuhan perusahaan (jumlah dan kualitas) dan perawatannya

juga lebih mudah. Jenis-jenis bibit Eucalyptus yang diproduksi oleh PT. Toba

Pulp Lestari, Tbk adalah Eucalyptus grandis, Eucalyptus urophylla, dan

Eucalyptus hybrid. Sedangkan benih Eucalyptus yang diproduksi di Nursery PT

Toba Pulp lestari, Tbk berasal dari beberapa daerah di Indonesia (PT. TPL 2005).

Kemampuan Eukaliptus dalam menyerap karbon terbesar berdasarkan

perbandingan umur pada setiap jenis yaitu pada umur 1 tahun terbesar terdapat

pada E.Ind 33, pada umur 2 tahun terdapat pada E.Ind 32, pada umur 3 tahun

terdapat pada E.Ind 47 dan pada umur 4 tahun didapat besar penyimpanan karbon

tertinggi pada E.Ind 33. Dibandingkan dengan Eucalyptus grandis bahwa E.Ind

33 memiliki kemampuan lebih besar dalam menyerap karbon di udara (Hutabarat

2011).

Universitas Sumatera Utara