chapter i_5

12
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) masih merupakan masalah kesehatan diberbagai negara didunia. Dalam kurun sejarah manusia, perang melawan penyakit tuberkulosis seperti tiada putus-putusnya. Ribuan tahun silam seperti ditunjukan oleh tulang-belulang peninggalan masa prasejarah di Jerman (8000 SM), TBC diketahui sudah menyerang penduduk pada zamannya. Dari fosil yang digali dari sisa-sisa peradaban Mesir Kuno, juga terdapat bukti-bukti bahwa 2.500-1.000 tahun SM, penyakit ini sudah menjadi masalah kesehatan (Achmadi, 2008). TBC menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini. Setiap detik ada 1 orang yang terinfeksi TBC didunia. Setiap tahun terdapat 8 juta penderita TBC baru, dan akan ada 3 juta meninggal setiap tahunnya. 1 % dari penduduk dunia akan terinfeksi TBC setiap tahun. Satu orang memiliki potensi menular 10 sampai 15 orang dalam 1 tahun.Ada beberapa hal yang menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit TBC didunia antara lain karena kemiskinan, meningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi, kurangnya biaya untuk berobat, serta adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia (Notoatmodjo 2007). Dewasa ini di berbagai negara maju, TBC hampir dikatakan sudah dapat dikendalikan, meski peningkatan angka-angka HIV merupakan ancaman potensial terhadap merebaknya kembali TBC di negara maju. Di negara maju diperkirakan hanya 10 hingga 20 kasus di antara 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian Universitas Sumatera Utara

Upload: vivivivi

Post on 10-Apr-2016

221 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

chapter 1

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) masih merupakan masalah kesehatan diberbagai negara

didunia. Dalam kurun sejarah manusia, perang melawan penyakit tuberkulosis seperti

tiada putus-putusnya. Ribuan tahun silam seperti ditunjukan oleh tulang-belulang

peninggalan masa prasejarah di Jerman (8000 SM), TBC diketahui sudah menyerang

penduduk pada zamannya. Dari fosil yang digali dari sisa-sisa peradaban Mesir Kuno,

juga terdapat bukti-bukti bahwa 2.500-1.000 tahun SM, penyakit ini sudah menjadi

masalah kesehatan (Achmadi, 2008).

TBC menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini. Setiap

detik ada 1 orang yang terinfeksi TBC didunia. Setiap tahun terdapat 8 juta penderita

TBC baru, dan akan ada 3 juta meninggal setiap tahunnya. 1 % dari penduduk dunia

akan terinfeksi TBC setiap tahun. Satu orang memiliki potensi menular 10 sampai 15

orang dalam 1 tahun.Ada beberapa hal yang menjadi penyebab semakin

meningkatnya penyakit TBC didunia antara lain karena kemiskinan, meningkatnya

penduduk dunia, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi, kurangnya biaya

untuk berobat, serta adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia (Notoatmodjo

2007).

Dewasa ini di berbagai negara maju, TBC hampir dikatakan sudah dapat

dikendalikan, meski peningkatan angka-angka HIV merupakan ancaman potensial

terhadap merebaknya kembali TBC di negara maju. Di negara maju diperkirakan

hanya 10 hingga 20 kasus di antara 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian

Universitas Sumatera Utara

hanya berkisar antara 1 sampai 5 kematian per 100.000 penduduk. Sementara di

Afrika diperkirakan mencapai 165 kasus baru diantara 100.000 penduduk, dan di Asia

110 diantara 100.000 penduduk. Namun mengingat penduduk Asia lebih besar

dibandingkan Afrika, jumlah absolut yang terkena TBC di Benua Asia 3,7 kali lebih

banyak daripada Afrika ( Achmadi, 2008).

WHO memperkirakan bahwa jumlah seluruh kasus didunia akan meningkat

dari 7,5 juta pada tahun 1990 menjadi 10,2 juta pada tahun 2000. Di negara industri,

uang, sumberdaya, standar hidup yang tinggi, dan kemoterapi yang dipakai luas

selama 40 tahun belakangan ini, telah membantu mengurangi tuberkulosis menjadi

suatu masalah yang relatif lebih kecil. Namun, dinegara-negara miskin, tuberkulosis

tetap merupakan masalah besar hampir sama seperti sediakala (Crofton, 2002).

Laporan TBC dunia oleh WHO tahun 2006, pernah menempatkan Indonesia

sebagai penyumbang terbesar nomor tiga didunia setelah India dan China dengan

jumlah kasus baru sekitar 539.000 jiwa dengan jumlah kematian 101.000 jiwa

pertahun. Bahkan diperkirakan, dari setiap 100.000 penduduk terdapat 130 penderita

dengan kuman positif pada dahaknya, artinya di negara kita setiap tahunnya akan

muncul 130 orang penderita baru yang dapat menularkan penyakit pada sekitarnya.

Sedangkan pada tahun 2009 Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia setelah

India, China South Afrika dan Nigeria dengan jumlah prevalensi 285/100.000

penduduk. Sepertiga dari jumlah tersebut terdapat disekitar Puskesmas, pelayanan

Rumah sakit/klinik pemerintah dan swasta, praktik swasta dan sisanya belum

terjangkau unit pelayanan kesehatan (Depkes, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, TB paru

merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan

penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok

penyakit infeksi. Bakteri Mycobakterium tuberculosis menyerang sebagian besar

perempuan usia produktif (15-50). Penyebab kematian perempuan akibat TBC lebih

banyak daripada akibat kehamilan, persalinan dan nifas.Penyakit TBC menyerang

sebagian besar kelompok usia kerja. Penyakit TBC dapat menular lewat percikan

dahak yang keluar pada saat batuk, bersin atau berbicara karena penularannya melalui

udara yang terhirup saat bernafas. Diperkirakan, satu orang menderita TBC BTA

positif yang tidak diobati akan menulari 10-15 orang setiap tahunnya (Depkes RI,

2008).

Penyakit paru erat kaitannya dengan sanitasi lingkungan rumah, perilaku,

tingkat pendidikan dan jumlah penghasilan keluarga. Sanitasi rumah sangat

mempengaruhi keberadaan bakteri Mycobakterium tuberculosis, dimana bakteri dapat

hidup selama 1-2 jam bahkan sampai beberapa hari hingga berminggu-minggu

tergantung ada tidaknya sinar matahari, ventilasi, kelembaban, suhu, lantai dan

kepadatan penghuni rumah (Achmadi, 2008).

Selain faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit TBC diatas, faktor

perilaku juga berpengaruh pada kesembuhan dan bagaimana mencegah untuk tidak

terinfeksi dan tidak menyebarkan bakteri Mycobakterium tuberculosis. Dimulai

dengan perilaku hidup sehat dengan tidak meludah sembarangan, menutup mulut

dengan sapu tangan atau tissue apabila batuk atau bersin sebagai upaya pencegahan

dini penyakit TBC (Ramadhani, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Di propinsi Sumatera Utara, TBC merupakan penyakit lama yang masih tetap

ada. Secara Umum, angka penemuan kasus TBC di Sumatera Utara mengalami

peningkatan. Pada tahun 2005 kasus TBC berkisar 15.517 penderita dan terdapat

sebanyak 15.614 penderita tahun 2010 (Antara, 2011).

Berdasarkan data Depkes (2010) ada lima Kabupaten/kota di Sumatera Utara

pada tahun 2010 dengan jumlah penderita terbanyak berdasarkan jumlah penduduk

yaitu Kota Medan sebanyak 2.397 penderita, Pematang Siantar 288, Binjai 260,

Tanjung Balai 150, Tebing tinggi 145 dan Kabupaten Deli Serdang 1.554 penderita.

Salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TBC adalah Case

Detection Rate (CDR), yaitu proporsi jumlah pasien baru BTA positif yang

ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan

dalam wilayah tersebut. Kementrian kesehatan menetapkan target CDR minimal pada

tahun 2009 sebesar 70 %. Pencapaian CDR Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2011

sebesar 62,46 %. Angka ini belum memenuhi target minimal yang telah ditetapkan

yaitu sebesar 70 %. Pada tingkat kecamatan, diperoleh informasi 12 kecamatan

memiliki angka penemuan kasus (CDR) TB Paru BTA positif diatas 70 %

diantaranya adalah Gunung Meriah, Lubuk Pakam, Namorambe, Deli Tua,

Sibolangit, Patumbak, Bangun Purba, Pancur Batu, Sunggal, Kutalimbaru, STM Hilir

dan Labuhan Deli. Sedangkan 10 kecamatan lagi masih di bawah target minimal,

diantaranya adalah kecamatan STM Hulu, Pagar Merbau, Beringin, Pantai Labu,

Tanjung Morawa, Galang, Percut Sei Tuan, Biru-biru, Hamparan Perak dan Batang

Kuis. Kecamatan Hamparan perak yang termasuk masih dibawah target

Universitas Sumatera Utara

minimalmemiliki 2 Puskesmas yaitu Puskesmas Hamparan Perak dan Puskesmas

Kota datar (Profil Dinas Kesehatan Deli Serdang, 2011).

Wilayah kerja Puskesmas Kota Datar Kabupaten Deli Serdang merupakan

daerah endemi TBC. Data penemuan BTA positif pada tahun 2010 yaitu 33

penderita, pada tahun 2011 sebanyak 42 penderita dan pada tahun 2012 sebanyak 44

penderita . Dari hasil survei dilapangan yang dilakukan pada bulan Desember 2012

terhadap 12 orang penderita TBC diketahui 8 orang menjalani pengobatan secara

teratur dan dinyatakan sembuh sedangkan 4 orang berobat tidak teratur tetapi masih

menjalani pengobatan, hal ini disebabkan oleh karena tidak tahan mengkonsumsi

obat dalam jangka waktu yang panjang. Data terakhir yang ditemukan pada bulan

April 2013 bahwa ada 2 orang penderita yang dinyatakan kambuh (Profil Dinas

Kesehatan Deli Serdang, 2011).

Sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa yang berpengaruh terhadap

kesembuhan penyakit TBC hanya kemauan penderita TBC untuk sembuh. Sedangkan

motivasi keluarga, kondisi rumah yang sehat, upaya pengendalian penyakit terhadap

diri sendiri dan penghasilan keluarga tidak cukup penting mendukung kesembuhan

mereka.Dan ada penilaian sebagian masyarakat yang hidup di desa tentang penyakit

TB Paru adalah penyakit keturunan yang sulit disembuhkan. Hal ini wajar karena

biasanya pada suatu keluarga ditemukan adanya kasus tuberkulosis pada generasi

yang berbeda. Akibat yang sangat buruk dari persepsi ini adalah mereka merasa malu

dan menutupi diri atau anggota keluarganya ketika terserang penyakit ini, oleh karena

penyakit ini memberikan aib pada keluarga. Hal ini sangat berpengaruh kepadaproses

Universitas Sumatera Utara

pengobatan penderita danmerupakan faktor utama yang menyebabkan tingginya

angka kesakitan akibat penyakit TBC di desa ini (Rahmawati, 2005).

Kepercayaan masyarakat mengenai tuberkulosis dan penyebabnya sangat

bervariasi dibeberapa negara dan daerah. Bahkan dibeberapa kelompok masyarakat

didaerah yang sama. Tingkat Pendidikan, agama dan suku sangat berpengaruh

terhadap pemahaman masyarakat. Dibeberapa daerah masyarakat percaya bahwa

tuberkulosis disebabkan oleh kutukan setan. Walaupun masyarakat mengetahui

bahwa tuberkulosis ini penyakit infeksi, tetapi mereka masih berfikir bahwa pada

orang tertentu dapat terserang penyakit ini akibat guna-guna. Ada satu daerah dimana

masyarakat memahami bahwa tuberkulosis ditularkan dari tusuk gigi bekas (Crofton,

2002).

Karena persepsi tersebut masih berkembang dimasyarakat, berbagai upaya

dilakukan pemerintah untuk menghilangkan persepsi tersebut antara lain dengan

memberikan penyuluhan kepada masyarakat, terutama keluarga penderita, tokoh

masyarakat, tokoh agama dan kader-kader, karena mereka dapat mempengaruhi

lingkungan sekitarnya dengan memberikan informasi dan motivasi tentang penyakit

TBC ini ( Misnadiarly, 2008).

Informasi dan motivasi yang diberikan oleh orang-orang yang berpengaruh

dilingkungan akan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat khususnya bagi

penderita TBC. Dengan pengetahuan yang dimiliki, masyarakat akan lebih kritis dan

lebih peduli. Hal ini akan mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatankhususnya

Puskesmas sebagai wadah dalam menanggulangi penyakit TBC (Syakira, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Keluarga atau rumah tangga adalah unit masyarakat terkecil. Oleh sebab itu

untuk mencapai perilaku kesehatan masyarakat yang sehat maka harus dimulai

dimasing-masing keluarga. Di dalam keluargalah mulai terbentuk perilaku-perilaku

masyarakat (Ali, 2010).

Anggota keluarga sangat efektif dan efisien dalam mendukung penyembuhan

penderita TBC karena tidak mengedepankan reward berupa materi sebagai imbalan

jasa tetapi dimotivasi oleh kedekatan keluarga yang disadari oleh pengabdian yang

tulus, iklas, sabar, cinta, kasih sayang dan tanggung jawab sebagai implementasi nilai

keyakinan (Marni, 2007).

Penderita TBC bisanya berasal dari keluarga dengan status sosial-ekonomi

yang rendah. Makin buruk keadaan sosial-ekonomi masyarakat, maka makin jelek

nilai gizi dan higiene lingkungannya yang akan menyebabkan rendahnya daya tahan

tubun mereka, sehingga memudahkan menjadi sakit seandainya mendapatkan

penularan. Keadaan gizi yang jelek, selain mempersulit penyembuhan juga

memudahkan kambuhnya kembali TBC yang sudah reda. Dalam hal ini keluarga

sangat memiliki peran karena anggota keluarga yang menderita penyakit TBC akan

mengalami penurunan produktivitasnya dalam berusaha (Irianto, 2004).

Menurut Noviadi, 1999 ( dalam Rusmani Asih, 2002), peran keluarga dapat

dilakukan adalah pengawasan menelan obat, pengawasan penampungan dahak,

membantu membersihkan alat-alat makan dan minum penderita, menepati jadwal

kontrol. Sementara jika hubungan emosional dengan dokter atau perawat kurang

bagus, misalnya; kurang ramah, kaku, kelihatan marah, kurang dekat, maka peran

Universitas Sumatera Utara

keluarga dapat memberikan motivasi agar penderita dapat terjalin hubungan

emosional yang baik dengan petugas kesehatan (Perawat dan Dokter).

Keluarga yang merupakan salah satu sasaran primer dalam promosi kesehatan

seharusnya dapat diberdayakan karena meningkatkan keterampilan setiap anggota

keluarga agar mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri adalah

sangat penting. Pemberdayaan tersebut dapat dilakukan dengan memberikan

pengetahuan sehingga memiliki kemampuan yang baik terhadap cara-cara

memelihara kesehatannya, mengenal penyakit-penyakit dan penyebabnya, mampu

mencegah penyakit dan mampu mencari pengobatan yang layak bilamana anggota

keluarganya sakit (Irianto, 2004).

Sudah banyak penelitian yang berkaitan dengan Tuberkulosis. Hasil penelitian

yang dilakukan oleh Rizkiyani, 2008 menyimpulkan bahwa kepatuhan penderita TBC

untuk minum obat secara patuh adalah merupakan tindakan yang nyata dalam bentuk

kegiatan yang dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri sipenderita ( faktor

internal) maupun dari luar diri penderita (faktor eksternal) dan dukungan keluarga

merupakan faktor eksternal yang menjadi faktor penguat dan memotivasi penderita

TBC untuk persisten dalam menjalani pengobatannya (Rizkiyani, 2008).

Penelitian yang dilakukan Jojor (2004) tentang ketidakpatuhan pasien TBC

dalam hal pengobatan menemukan bahwa pengobatan pasien TBC yang tidak

lengkap disebabkan oleh peranan anggota keluarga yang tidak sepenuhnya

mendampingi keluarga. Akibatnya penyakit yang diderita kambuh kembali dan dapat

menular kepada anggota keluarga yang lain. Amelda Lisu Pare (2012) juga

Universitas Sumatera Utara

menunjukan bahwa dukungan keluarga terhadap pasien untuk teratur berobat cukup

baik. Pada umumnya dukungan keluarga yang diberikan dalam bentuk memberikan

motivasi untuk teratur berobat, bantuan dana untuk kebutuhan sehari-hari, serta

bantuan transportasi untuk pasien TBC. Tetapi masih ada anggota yang menghindari

pasien yang menyebabkan pasien merasa malu untuk menjalani pengobatan. Hasil

penelitian Ni Made Junitha Karisma Devi menunjukan bahwa peran keluarga ada

hubungan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan pendetita TBC dalam pencegahan

penularan TBC.

Melihat berbagai persoalan tersebut maka perlu dilakukannya upaya

pemberdayaan masyarakat khususnya keluarga. Begitu pula dengan penelitian ini

dengan fokus penelitian di wilayah kerja Puskesmas Kota Datar. Dari data yang

diperoleh dari petugas TB Puskesmas Kota Datar di tahun 2010 diketahui bahwa

jumlah penderita TBC Paru BTA positif dengan tipe penderita baru adalah 33 orang

dengan suspek 375 orang. Diantara penderita TBC ditahun ini dijumpai ada 1 orang

penderita dengan tipe penderita setelah lalai (pengobatan setelah default/drop-out)

dan 1 orang anak-anak yang menurut hasil observasi tertular oleh anggota keluarga

yang sebelumnya menderita penyakit TBC. Salah satu penyebab terjadinya kasus lalai

(Drop-out) adalah adalah kurangnya peran keluarga dalam proses pengobatan,

dimana penderita merasa kurang percaya diri terhadap penyakit yang dideritanya

serta lupa dan jenuh untuk mengkonsumsi obat selama 6 sampai 8 bulan.

Di tahun 2011 jumlah penderita TBC Paru BTA positif dengan tipe penderita

baru adalah 42 orang dengan suspek 485 orang. Di tahun ini diketahui bahwa 1 orang

penderita dengan kasus kronik yaitu penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA

Universitas Sumatera Utara

positif setelah pengobatan ulang kategori 2 dan 1orang meninggal dunia setelah

menjalani pengobatan selama 3 bulan serta dari 42 orang penderita TBC tersebut 8

orang mengalami penurunan berat badan.

Pada tahun 2012 diketahui bahwa jumlah penderita TBC Paru BTA positif

dengan tipe penderita baru 44 orang dengan suspek 475 orang. Di tahun ini juga

ditemukan 1 orang penderita lalai (Drop-out) dan sepasang suami istri yang

menderita penyakit TBC ini. Kejadian ini dapat disebabkan oleh kurangnya peran

keluarga dalam upaya pencegahan penyakit TBC. Hal ini sangat membahayakan

anggota keluarga yang lainnya karena menurut Aditama,1994 seseorang penderita

TBC berpotensi untuk menularkan 10 sampai 15 orang disekitarnya dalam 1 tahun.

Dari 44 orang penderita 13 orang diantaranya mengalami penurunan berat badan.

Data terakhir yang diperoleh sampai dengan Mei 2013, ditemukan bahwa

jumlah penderita TBC Paru BTA positif kasus baru adalah 6 orang, diantaranya 2

penderita dengan kasus kambuh, 1 orang meninggal dunia dan 1 orang mengalami

penurunan berat badan. Penurunan berat badan penderita disebabkan oleh karena efek

samping dari obat TBC yang dikonsumsi dapat menimbulkan rasa mual, sakit kepala,

sakit perut yang menyebabkan penderita tidak nafsu makan dan akhirnya mengalami

penurunan berat badan. Disamping itu kurangnya peran keluarga dalam memenuhi

kebutuhan nutrisi penderita menyebabkan status gizi penderita menurun. Penderita

TBC sangat membutuhkan nutrisi yang lebih dari orang yang sehat karena dapat

membantu mempercepat proses penyembuhan.

Universitas Sumatera Utara

Dari uraian diatas peran keluarga sangatlah diperlukan karena keluarga

merupakan unit yang paling dekat dengan penderita dan merupakan perawat utama

bagi penderita. Keluarga sangat berperan penting terhadap tanggung jawabnya

masing-masing. Peran keluarga merupakan pendorong terjadinya perilaku positif dari

seseorang, sehingga peneliti merasa perlu mengetahui sejauh mana peran keluarga

terhadap penderita TBC di wilayah kerja Puskesmas Kota Datar tahun 2013.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang maka permasalahan dalam penelitian ini adalah

bagaimana gambaranperan keluarga terhadappenderita TBC di wilayah kerja

Puskesmas Kota Datar Kecamatan Hamparan Perak tahun 2013.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peran keluarga terhadap

penderita TBC di Puskesmas Kota Datar Kabupaten Deli Serdang tahun 2013.

1.3.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui peranan keluarga secara fisik dalam hal:

1. Upaya pencegahan penyakit TBC di wilayah kerja Puskesmas Kota Datar

Kecamatan Hamparan Perak.

2. Proses pengobatan penderita TBC di wilayah kerja Puskesmas Kota Datar

Kecamatan Hamparan Perak.

3. Upaya pemenuhan kebutuhan nutrisi penderita TBC di wilayah kerja

Puskesmas Kota Datar Kecamatan Hamparan Perak.31

Universitas Sumatera Utara

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut :

1. Sebagai masukan kepada Puskesmas Kota Datar agar dapat meningkatkan

pelayanan kesehatan dengan memberdayakan keluarga penderita TBC melalui

upaya promosi kesehatan bagi keluarga penderita TBC.

2. Sebagai masukan informasi bagi masyarakat khususnya keluarga penderita TBC

dalam rangka pencegahan, motivasi dan meningkatkan kesadaran penderita TBC

untuk berperilaku hidup sehat.

3. Sebagai informasi kepada penderita TBC agar menyadari sekaligus menerapkan

perilaku hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari.

4. Sebagai pengembangan keilmuan dalam bidang kesehatan masyarakat yang

berkaitan dengan TBC.

Universitas Sumatera Utara