cerpen satu tahun

9
Satu Tahun Ini adalah kisah nyata. Kisah ini kualami saat aku baru duduk di bangku kelas satu Sekolah Menengah Pertama. Setiap aku mengingat kisah ini, selalu kurasakan pedihnya luka yang masih menempel dalam diriku. Membuka secercah kenangan masa lalu yang sangat indah. Membuat aku ingin kembali ke masa lalu andai aku bisa. Aku tahu, dengan terus mengingat kisah ini, aku akan terus sedih, bahkan semakin sedih. Tapi aku tetap senang. Aku bahagia bisa mengingat kisah ini. Kisah satu tahun yang penuh kebagiaan dan terpancar dari diriku. Satu tahun yang begitu penuh makna dan berarti. Tapi bagaimanapun juga, kenangan tetap lah kenangan. Dan cerita itu tak akan pernah terulang. Kini kenangan itu hanya akan menjadi memorie dan angan-angan yang terus terpancar dari dalam diri. Dan aku tak akan membiarkan kenangan itu menguap begitu saja dengan berjalannya waktu. Aku ingin terus mengingat meski aku sadar sepenuh hati bahwa itu hanya akan menambah luka perih dalam jiwa. Tapi hanya dengan itu, aku bisa mengenang masa satu tahun tersebut. Membuat aku terus merasa bahwa semua sama. Tak akan ada yang berubah. Semua tetap ada disini. Didalam hati ini. Semuanya berawal dari tanggal 3 Juli, dimana saatnya semua calon murid sekolah baruku sedang melaksanakan daftar ulang. Disanalah aku bertemu dengan seorang anak laki-laki yang kebetulan nantinya akan sekelas denganku. Namanya Ridwan. Ridwan dan aku tak sengaja berkenalan saat teman Sekolah Dasarku mengenalkannya. Kami mulai bercerita-cerita. Hanya dalam berberapa belas menit, aku sudah mulai akrab dengannya. Aku menilainya lucu, pintar bergaul, dan juga sangat berbeda. Caranya berbicara dengan orang lain begitu mengesankan dan lugu. Ia bahkan tak malu-malu menyebutkan nama perempuan yang sudah disukainya sejak sekolah dasar, waktu tak sengaja kami bercerita tentang Sekolah Dasar kami masing-masing. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mendengar

Upload: muhammad-wim-adhitama

Post on 20-Feb-2016

5 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

shfjhfs

TRANSCRIPT

Page 1: Cerpen Satu Tahun

Satu Tahun

Ini adalah kisah nyata. Kisah ini kualami saat aku baru duduk di bangku kelas satu Sekolah Menengah

Pertama.

Setiap aku mengingat kisah ini, selalu kurasakan pedihnya luka yang masih menempel dalam diriku.

Membuka secercah kenangan masa lalu yang sangat indah. Membuat aku ingin kembali ke masa lalu andai

aku bisa. Aku tahu, dengan terus mengingat kisah ini, aku akan terus sedih, bahkan semakin sedih. Tapi aku

tetap senang. Aku bahagia bisa mengingat kisah ini. Kisah satu tahun yang penuh kebagiaan dan terpancar

dari diriku. Satu tahun yang begitu penuh makna dan berarti. Tapi bagaimanapun juga, kenangan tetap lah

kenangan. Dan cerita itu tak akan pernah terulang. Kini kenangan itu hanya akan menjadi memorie dan

angan-angan yang terus terpancar dari dalam diri. Dan aku tak akan membiarkan kenangan itu menguap

begitu saja dengan berjalannya waktu. Aku ingin terus mengingat meski aku sadar sepenuh hati bahwa itu

hanya akan menambah luka perih dalam jiwa. Tapi hanya dengan itu, aku bisa mengenang masa satu tahun

tersebut. Membuat aku terus merasa bahwa semua sama. Tak akan ada yang berubah. Semua tetap ada

disini. Didalam hati ini.

Semuanya berawal dari tanggal 3 Juli, dimana saatnya semua calon murid sekolah baruku sedang

melaksanakan daftar ulang. Disanalah aku bertemu dengan seorang anak laki-laki yang kebetulan nantinya

akan sekelas denganku. Namanya Ridwan. Ridwan dan aku tak sengaja berkenalan saat teman Sekolah

Dasarku mengenalkannya. Kami mulai bercerita-cerita. Hanya dalam berberapa belas menit, aku sudah

mulai akrab dengannya. Aku menilainya lucu, pintar bergaul, dan juga sangat berbeda. Caranya berbicara

dengan orang lain begitu mengesankan dan lugu. Ia bahkan tak malu-malu menyebutkan nama perempuan

yang sudah disukainya sejak sekolah dasar, waktu tak sengaja kami bercerita tentang Sekolah Dasar kami

masing-masing. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mendengar tentang keluguan Ridwan. Teman

sekomplekku yang ternyata adalah teman sebangku Ridwan saat Sekolah Dasar dulu suka sekali bercerita

tentang Ridwan. Sejak saat itu sudah tertarik pada anak laki-laki yang bernama Ridwan itu, dan sekarang,

tak disangka-sangka aku bertemu dan berkenalan dengannya dengan cara yang begitu kebetulan.

Seminggu kemudian, kegiatan belajar-mengajar mulai berjalan. Aku semakin suka melihat tingkah Ridwan

yang begitu konyol dalam kelas. Tak pernah kurasakan ketenangan dalam kelas jika ada Ridwan. Selalu ada-

ada saja kelakuannya. Tapi akhirnya aku sudah mulai terbiasa.

Dengan seiringnya waktu yang terus berjalan, hubungan kami semakin dekat. Kami mulai SMS-an. Dan

hingga tak ada hari yang kami lewatkan tanpa SMS-an. Hingga suatu saat, aku tersadar, bahwa aku sangat

menyayanginya. Aku menyayanginya layaknya saudara. Ia selalu ada untukku, dikala suka maupun duka.

Bahkan saat ia sedang marah padaku, ia tetap ada untukku. Ia selalu membuatku senang dan tertawa.

Meskipun kadang caranya memperlihatkan kasih sayangnya padaku begitu berbeda dengan orang lain, tapi

dengan itu aku semakin yakin dan menganggapnya istimewa.

Page 2: Cerpen Satu Tahun

Selama dekat dengan Ridwan, aku semakin mengerti arti persahabatan dan kehidupan luar yang tak pernah

kuketahui. Ia seakan membuka pintu yang tak pernah kubuka, dan menunjukkan padaku bahwa ada sebuah

kehidupan diluar sana yang lebih menyenangkan dan bermakna selain kehidupanku. Ia membuatku tahu

semua hal yang tak pernah kuketahui. Mengajarkan hal-hal baru. Membuat aku bisa merasakan sesuatu yang

tak pernah kurasakan. Membuat aku merasa nyaman didekatnya. Membuat aku menjadi diri sendiri.

Membuat aku ingin terus maju, dan tak terpaku pada semua yang telah kumiliki. Membuat aku ingin terus

berkarya, agar aku bisa memperlihatkannya bahwa aku bukan hanya seorang gadis yang puas dengan segala

yang telah ada. Dan bagian yang terbaik adalah ia membuat aku bahagia.

Seperti yang sudah bisa ditebak. Hubungan kami berjalan layak manisnya madu, hingga suatu saat, ia

menyatakan cinta padaku. Aku ragu dan bimbang. Aku juga bingung. Akhirnya, aku mendiamkannya saja,

tapi bukan Ridwan namanya jika ia berhenti sampai detik itu. Ia terus mendesakku secara halus agar aku

bisa menjawabnya. Saat itu aku sangat bingung, akhirnya aku hanya bisa menolaknya secara halus. Aku

beralasan bahwa aku belum mau pacaran sebelum kelas dua SMP, seperti yang memang pernah kujanjikan

pada diriku sendiri. Padahal, jauh dalam dilubuk hatiku, aku sadar sepenuh hati, dan aku yakin aku juga

menyanginya. Bukan hanya sekedar sebagai sahabat. Tapi sebagai seseorang yang kucintai dengan tulus dan

penuh keyakinan.

Sungguh, aku merasa sangat tidak enak padanya setelah itu. Aku meminta maaf padanya, dan ia bilang tidak

apa-apa. Meskipun aku bisa melihat kekecewaannya yang dalam dari bola matanya. Sebelum itu, aku

sempat memohon pada Ridwan, agar perasaanya dan persahabatan kami tak berakhir sampai saat itu saja,

karena aku tak ingin kehilangan salah satu orang terpenting dalam hidupku saat ini. Ridwan

menyanggupinya. Aku senang sekali karena persahabatan kami tetap berjalan seperti biasanya. Tapi aku

tetap bimbang. Akhirnya karena takut Ridwan terus menaruh harapannya padaku, aku mengatakan

kepadanya bahwa aku mencintai orang lain. Ia menerima itu, tapi aku tak tahu itu memang karena ia tulus

atau tidak. Setelah dua bulan, hubungan kami semakin berjarak. Dan dengar-dengar dari teman-temanku,

bahwa ia sedang dekat dengan seorang perempuan lain. Yaitu Ratieh, teman sekelasku juga. Sebenarnya

dulu, ia sering bercerita tentang kekagumannya pada Ratieh, tapi aku hanya menanggapinya biasa saja,

karena kupikir hubungan mereka hanya sekedar teman biasa. Seperti ia dengan temannya yang lain. Tanpa

ada sebuah hubungan yang perlu kuketahui.

Hari dan hari mulai berganti, hubunganku dan Ridwan seolah telah hancur lebur. Aku tak menyangka

hubungan kami yang sangat dekat itu hanya bisa bertahan selama satu semester, enam bulan yang kami lalui,

begitu bermakna. Begitu istimewa. Enam bulan yang kami lalui dengan suka dan duka, dan berakhir hanya

dalam dua bulan saja.

Memang hubungan kami tak lebur sepenuhnya, ia masih suka menelpon atau bertanya padaku. Tapi tak

sesering dulu, saat kami masih dekat. Paling-paling hanya berberapa kali dalam sebulan. Dan itupun hanya

untuk bertanya tentang masalah sekolah.

Setelah semua itu, hubungan kami berjalan seperti dulu sebelum aku kenal dekat dengannya. Ridwan

sekarang sudah berbeda. Jauh berbeda. Aku bahkan tak bisa mengenalinya lagi. Kini ia selalu cuek padaku,

Page 3: Cerpen Satu Tahun

dan juga tak banyak komentar. Dan aku juga merasakan bagaimana ia menjauhiku. Tapi mungkin ini

memang semua salahku. Salahku karena menolak cintanya, meskipun aku tahu aku juga mencintainya

dilubuk hatiku yang terdalam. Ya... semua salahku. Semuanya berawal karena kesalahanku, dan sekarang ia

menjauhiku karena ia yakin akan terus tenggelam dalam kekecewaan. Jadi, menurutku, aku pantas saja

mendapatkan semua ini. Aku pantas merasakan sakit, seperti ia dulu juga tersakiti. Dan seharusnya aku

harus sadar, bahwa aku tak pantas lagi mengharapkan Ridwan kembali setelah semua yang telah kulakukan.

Setelah menyakiti Ridwan.

Bulan silih berganti, tak terasa satu tahun telah berlalu. Dan suatu ketika, tepat pada tanggal 10 Juli, Ridwan

tumben-tumbenan menelpon. Waktu itu aku sedang nonton televisi, jadi tak mendengar ada sebuah

panggilan masuk. Setelah tahu, kupikir Ridwan akan bertanya soal daftar ulang kelas delapan yang

dilaksanakan besok, jadi ku cuekkan saja.

Esoknya, hari Sabtu, tanggal 11 Juli, semua anak disekolahku sedang mendaftar ulang kembali. Dan

disanalah aku bertemu dengannya. Ia tampak cekikikan melihatku. Wajahnya seolah menampakkan

kegembiraan saat melihatku. Memang sebenarnya tak urung aku mengakui, bahwa aku sangat

merindukannya. Aku merindukan senyumnya, tawanya, matanya. Dan sekarang ia berdiri disebelahku,

mengantri untuk daftar ulang. Kami sempat bercanda sebentar, hanya sekedar candaan biasa saja. Tapi

meskipun begitu, aku tetap senang. Aku senang karena bisa kembali merasakan hangatnya persahabatan

meski hanya untuk sesaat.

Minggu, tanggal 12 Juli, saat itu sudah malam, dan aku berjalan melewati Ibuku yang sedang bercakap-

cakap ditelpon. Karena Ibuku melihatku lewat, Ibuku berhenti memberi kode agar aku mendengarkan. Aku

berhenti dengan wajah bingung ingin lekas tahu.

“Ridwan kecelakaan.” Ucap Ibuku setengah berbisik

Jujur, aku kaget bukan main. Tapi masalahnya aku didepan Ibuku, sehingga aku memaksakan senyum sinis

dibibir mungilku. Lalu pergi begitu saja. Kupikir hanya kecelakaan biasa yang paling-paling cuman

mengakibatkan keseleo, jadi kubiarkan saja. Meskipun perkataan Ibuku tadi terus mengiang-ngiangi

pikiranku.

Keesokan harinya, sekolah sudah dimulai. Dan sekarang aku resmi menjadi murid kelas delapan. Disekolah,

aku banyak bertanya pada sahabat Ridwan tentang proses kecelakaan Ridwan. Dan betapa menggelegar

hatiku bahwa kecelakaan yang dialami Ridwan ternyata bukan hanya kecelakaan biasa. Ridwan mengalami

kecelakaan yang benar-benar fatal. Dari informasi yang kudapat, kini aku tahu bahwa karena kecelakaan itu,

tulang rusuknya patah, hatinya bolong, paru-parunya hancur, hampir seluruh bagian tubuhnya patah. Dan

yang terlebih menyakitkan lagi saat mengetahui semua itu terjadi karena Ridwan dilindas mobil. Katanya ia

sedang melaju dengan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi, dan tiba-tiba ada sebuah mobil yang juga

melaju dari arah berlawanan. Sebenarnya Ridwan mencoba mengerem, tapi sudah terlambat. Ia terjatuh dari

sepeda motornya dan terpental ke aspal, dan saat itulah sebagian tubuhnya terlindas. Aku tak paham semua

ini. Ini sungguh begitu mengejutkan. Terjadi begitu cepat, begitu saja. Dan begitu menyakitkan untukku.

Dan yang paling aku sadari, tak semua orang yang sudah dilindas mobil bisa selamat.

Page 4: Cerpen Satu Tahun

Setelah kejadian itu, sebenarnya aku ingin sekali menjenguk Ridwan dirumah sakit, tapi pasti ada-ada saja

alasan yang membuat aku terus menundanya.

Kamis, 16 Juli, ini hari keempat sejak Ridwan dirawat dirumah sakit, siang harinya aku sempat bermain

gitar. Entah mengapa, aku ada perasaan tak nyaman pada diriku, sehingga aku bermain gitar. Aku selalu

bermain gitar jika ada sesuatu. Setelah itu aku beristirahat untuk berberapa saat. Aku terlelap begitu

nyenyak, sehingga tak mendengar ponselku yang berdering berkali-kali setelah setengah jam sejak aku

tertidur.

Aku terbangun saat mendengar pintu kamarku dibanting keras, kulihat kakakku berdiri disana dengan wajah

serius. Lalu bergumam dengan sedikit lantang.

“Ridwan meninggal.”

Lalu pintu kembali ditutup. Aku syok berat. Dua kata yang diucapkan kakakku tadi membuat hatiku terasa

tertusuk dan pilu. Kepedihan kurasakan menusuk-nusuk jiwa yang bimbang. Aku terdiam ditempat tidur

selama berberapa saat, hingga akhirnya air mata mulai berjatuhan dari pelupuk mataku.

Ini tak mungkin terjadi, batinku. Ini terlalu cepat. Aku mengambil ponselku, dan menemukan lebih dari lima

missed call. Semuanya dari teman-temanku. Aku masih tak percaya. Lalu kubuka kotak pesan hingga aku

menyadari semuanya berisi kenyataan bahwa Ridwan sudah meninggal. Ridwan sahabatku, dan cinta

pertamaku sekarang sudah meninggal.

Mataku terpejam, aku tak mempunyai kekuatan lagi untuk sekedar menyeka air mata yang membasahi

pipiku. Rasanya seperti diriku telah hancur berkeping-keping ditelan ganasnya kenyataan. Tak lama

kemudian, ponselku berdering lagi. Kali ini kuangkat. Terdengar suara serak basah dengan kata-kata yang

tak jelas disela-sela isak tangis. Tak ada kata yang bisa kudengar kecuali saat suara itu berkata “Ridwan

sudah meninggal..”

Telpon langsung kututup. Tak kuasa aku menerima kenyataan pahit seperti ini. Aku sudah pernah

kehilangan satu orang yang sangat kusayang, dan sekarang seorang sahabat yang sangat kusayangi dan

kucintai yang harus pergi selamanya dari kehidupanku.

Sorenya, aku pergi melayat. Aku sudah mencoba segenap jiwaku untuk tidak menangis, tapi apa daya diri

ini. Manusia hanyan bisa berkehendak. Air mataku langsung bejatuhan begitu melihat Ridwan yang sedang

terlelap didepanku, yang sudah dibalut dengan kain kafan, dan ditutupi dengan kain, bukanlah Ridwan

sahabatku yang sangat kukenal. Wajahnya kini pucat pasi, membuat kulitnya yang memang putih menjadi

semakin putih dan pucat. Bibirnya yang biasanya terkesan merah, menjadi biru keunguan, menandakan

bahwa bibirnya juga dingin. Tak ada sedikitpun senyum, bahkan mendekati senyum yang mencoba

tertampang diwajah dinginnya. Meskipun kini ia terlihat sangat amat dingin, tapi aku yakin jiwa dan hatinya

tak akan pernah berubah dari dulu hingga saat ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Tak terasa, air mata mulai kembali bercucuran. Temanku yang sedang duduk disampingku memelukku, dan

membisikkan kata-kata yang sedikit bisa membantuku dalam kenyataan ini. Sungguh sebuah kenyataan

pahit harus kehilangan orang yang sangat kusayangi. Diseberangku ada berberapa anak laki-laki yang sudah

kukenal. Mereka teman-temanku disekolah, satu orang yang kelihatan sangat berduka, Julian. Julian adalah

Page 5: Cerpen Satu Tahun

sahabat terbaik Ridwan, dan sekarang ia harus menghadapi kenyataan bahwa sahabatnya itu meninggal

dihari dimana ia sedang berulang tahun. Dimana biasanya Ridwanlah yang selalu membuat ulangtahunnya

terasa begitu bermakna, kini semua itu hanya tinggal kenangan. Tak akan ada lagi Ridwan yang selalu

mengerjai orang-orang yang sedang berulang tahun. Tak akan ada lagi Ridwan yang membuat kelas tak

pernah sepi. Dan tak akan ada lagi tawa Ridwan disela-sela kegembiraan kami bersama. Semua kini hanya

tinggal kenangan.

Keesokan harinya, 17 Juli. Hari ini ulangtahun Alya. Salah seorang sahabat yang juga dekat dengan Ridwan.

Tapi kali ini, ulangtahunnya bertepatan dengan hari pemakaman Ridwan. Begitu sulit bagiku

membayangkan bagaimana perasaan kedua sahabatnya yang harus menerima apa yang terjadi pada hari

ulangtahun mereka.

Tak iba aku melihat orang-orang yang menangisi Ridwan saat jenazah Ridwan dimasukkan ketempat

peristirahatannya yang terakhir. Aku sendiri pun tak bisa menghalangi air mataku yang berjatuhan dengan

sendirinya. Aku tak sanggup.

Setelah itu aku sadar, kini hanya tertinggal aku harus mulai belajar untuk mencoba merelakannya, dan

mengikhlaskannya. Karena aku juga yakin, ia pun tak akan pernah bahagia jika melihatku yang terus

bersedih jika mengenangnya. Dan jelas aku tak mau itu terjadi. Aku tak ingin ia tak bahagia disana, di alam

yang lain.

Hari dan hari terus berjalan, semua tak berjalan seperti apa yang kuinginkan. Tak pernah sedetik pun aku

melupakannya. Tak pernah sekalipun bayangan dirinya hilang dari mimpiku. Dan tak ada sedikitpun

kenangan yang kucoba untuk dilupakan. Semua masih tersimpan dalam memorie hati. Semua masih

tersimpan dan akan kubuka jika aku merindukannya. Aku sadar bahwa masa depanku masih panjang. Aku

masih mempunyai impian. Dan aku masih memiliki harapan. Aku tidak ingin lagi melihat orangtuaku terus

bersedih saat melihatku menitikkan air mata. Sekarang aku masih mempunyai beribu-ribu orang yang

menyayangiku. Dan aku yakin beribu-ribu orang itu tak mau aku tenggelam dalam kelamnya kehidupan.

Kehilangan seseorang yang sangat kusayangi tak boleh membuatku jatuh. Meski aku sempat terjatuh, tapi

kini aku kembali untuk berdiri tegak dan tegar dalam melewati rintangan terjal ini. Aku harus bisa

melangkah maju kedepan, melewati jembatan tanpa sekalipun menoleh ke belakang, ke masa lalu yang

berakhir gelap. Kini semua yang ada dibelakangku, hanyalah kenangan, dan kenangan tak selamanya

berakhir bahagia. Dan kali ini, aku akan berusaha sekuat tenaga agar aku mampu melewati semua yang telah

terjadi, dan membuat akhiran yang bahagia pada cerita ini.

Cerita satu tahun yang kulewati dengan Ridwan, membuat hidupku terasa lebih berarti. Ternyata kehidupan

tak hanyalah sebuah kehidupan tanpa makna. Kehidupan itu sungguh berarti bagi orang-orang yang

membuatnya berarti. Dan aku ingin menjadi salah satu dari orang-orang itu. Aku tak ingin menyia-nyiakan

hidupku. Pengalamanku tentang Ridwan membuatku berpikir banyaknya orang-orang diluar sana yang juga

menginginkan kehidupan sepertiku. Kini tinggal aku yang merubahnya. Aku ingin terus berkobar dan

meraih cita-cita. Membuat orang-orang mengakui akan adanya diriku. Bukan hanya diriku yang biasa

mereka temui dalam kehidupan sehari-hari, tapi juga diriku yang sesungguhnya berdiam didalam diriku.

Page 6: Cerpen Satu Tahun

Aku ingin orang-orang memandangku tak hanya sebagai diriku, tapi juga cara diriku membuat orang lain

bisa merasakan senang layaknya diriku sendiri. Untuk itu, aku ingin terus maju, aku ingin terus melangkah,

aku ingin terus berkarya.

Semua itu membuatku sadar, meskipun satu tahun yang kulewati ini tak selalu berjalan semanisnya madu,

tapi semua itu penuh makna. Membuatku sadar artinya kehidupan. Sadar artinya persahabatan sejati. Sadar

artinya perjuangan. Sadar akan apa yang masih ada didepanku. Dan membuatku sadar semua adalah

kepunyaan-Nya dan pasti akan kembali kepada diri-Nya

Dan suatu hari nanti, jika sudah saatnya aku bertemu dengan Ridwan. Aku akan menunjukkan diriku dimasa

yang kelak, membuatnya tersenyum, dan membuatku bisa kembali merasakan saat-saat satu tahun

bersamanya.