cerita ciung wanara dalam perbandingan
DESCRIPTION
Cerita Ciung Wanara dalam PerbandinganTRANSCRIPT
-
Cerita Ciung Wanara dalam Perbandingan
Oleh: Titik Pudjiastuti
I Pendahuluan
Ciung Wanara (selanjutnya disingkat CW) merupakan salah satu cerita rakyat yang
populer di kalangan masyarakat Sunda. Ceritanya tidak saja dikisahkan dalam versi
lisan, berbentuk cerita pantun1, dan dongeng, tetapi juga berupa sastra tulis. Pada
kesempatan ini, perhatian lebih diarahkan kepada teks-teks tertulis CW. Masalah
kelisanan, meskipun sangat menarik tetapi karena keterbatasan waktu dan kemampuan
tidak akan disentuh.
Edisi teks yang pertama dari cerita pantun CW diterbitkan oleh Pleyte (1910)
dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
wetensahappen, jilid LVIII di bawah judul De Lotgevallen van Tjioeng Wanara
naderhand Vorst van Pakoean Padjadjaran. Dalam terbitan itu, teks aslinya yang
berbahasa Sunda dan berjudul Tjarita Tjioeng Wanara mimitina ditjaritakeun ti
Nagara Galih Pakoean diberi pengantar dan ringkasan dalam bahasa Belanda.
Pada tahun 1973, Ayip Rosidi yang juga tertarik pada cerita pantun CW telah
membuat transkripsi rekaman cerita pantun CW yang bersumber dari seorang juru
pantun bernama Ki Subarma. Menurut Ayip Rosidi, cerita CW versi Pleyte dan versi
Ki Subarma memiliki banyak persamaan, tetapi karena Pleyte tidak menyebutkan
sumber ceritanya, maka Ayip Rosidi tidak dapat menafsirkan persamaan itu sebagai
hasil dari usaha melestarikan budaya leluhur.
Dari pengamatan atas resepsi teksnya dapat diketahui bahwa CW telah
mengalami transformasi, baik lintas budaya maupun lintas bentuk, sehingga cerita CW
1 Cerita pantun adalah bentuk sastra Sunda asli yang tertua (Pudentia, 1992: 7). Menurut
Hermansoemantri (1977: 124) Cerita Pantun Sunda merupakan karangan yang terdiri dari bentuk
-
tidak hanya di kenal di bumi parahyangan tetapi juga di Jawa Tengah dan Banten,
sedangkan bentuknya juga mengalami perubahan, dari versi lisan (cerita pantun atau
dongeng) ke versi tulisan, seperti yang terdapat dalam teks Sajarah Banten dan Kiai
Jaka Mangu. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan apa sebenarnya kelebihan cerita
CW, sehingga mampu bertahan dari masa ke masa menarik perhatian orang. Padahal
menurut Rosidi (1958: iii iv) keindahan cerita CW kurang bernilai dibandingkan
dengan Lutung Kasarung,2 sebuah cerita lisan Indonesia yang sangat populer di
kalangan masyarakat Sunda
Tulisan sederhana ini bukan untuk mengkaji proses transformasinya melainkan
hanya untuk meninjau teks tertulis CW yang terkandung dalam ketiga versi CW yang
telah disebut di atas, yaitu CW versi Pleyte (selanjutnya disingkat CWP)3, CW versi
Sajarah Banten (berikutnya disingkat CWSB), dan CW versi Kiai Djaka Mangoe
(seterusnya disingkat CWKDM) Khususnya untuk melihat persamaan dan perbedaan
cerita ketiga versi teks CW tersebut.
puisi dan prosa yang dijalin dengan gaya bahasa yang berirama. Umumnya bentuk puisinya terdiri
dari delapan suku kata , setiap barisnya penuh dengan persajakan yang paralelistik. 2 Lutung Kasarung adalah salah satu cerita rakyat Indonesia yang banyak mendapat perhatian
peneliti asing dan Indonesia. Cerita yang bermula dari versi lisan ini mempunyai kedudukan khusus
dalam kesusastraan Sunda, dianggap sebagai cerita yang sakral (Pudentia, 1992: 2). Berdasarkan
informasi Pleyte (1911: xx), Eringa (1949: 3 6), dan Kartini et al (1984: I) cerita Lutung Kasarung
selalu dipentaskan dalam acara-acara ruwatan, selamatan rumah, dan peresmian pemugaran gedung
kabupaten
3 Teks versi Ki Subarama yang telah ditransliterasi oleh Ayip Rosidi karena memiliki banyak persamaan dengan teks CW versi Pleyte, tidak akan disertakan dalam tinjauan ini. Teks versi Pleyte
dipilih karena selain tidak diketahui sumbernya juga merupakan CW versi lisan yang pertamakali
diterbitkan.
-
II Teks-Teks Versi Cerita Ciung Wanara
Seperti telah disebutkan di atas, cerita CW selain dikenal dalam versi lisan juga
terdapat dalam bentuk sastra tulis. Tiga di antara versi teks tertulis CW adalah CWP,
CWSB, dan CWKDM. Berdasarkan pengamatan atas isi teksnya, dapat diketahui
bahwa ketiga versi teks CW tersebut di samping mempunyai kesamaan dalam
mengisahkan riwayat hidup Ciung Wanara -- sejak dalam kandungan, masa kecil dan
remaja, hingga menjadi pendiri kerajaan Pajajaran -- juga memiliki perbedaan yang
cukup mencolok. Bagaimanakah persamaan dan perbedaannya, untuk jelasnya berikut
ini adalah ringkasan cerita ketiga versi teks CW tersebut.
2.1 Ciung Wanara versi Pleyte (CWP)
Judul asli teks CWP adalah Tjarita Tjioeng Wanara Mimitina Dittjaritakeun ti
Nagara Galih Pakoean. Teks ditulis dalam bahasa Sunda dengan tebal keseluruhan
131 halaman.
Dalam teks ini diceritakan bahwa CW adalah putra raja Galih Pakuan bernama
Sang Permana di Kusuma, dari istrinya yang bernama Dewi Pangrenyep. Ketika baru
dilahirkan, ia dibuang oleh raja Pakuan (palsu) yang bernama Raden Galuh Barma
Wijayakusuma. Raja Pakuan ini, sesungguhnya adalah mantri anom Sang Permana di
Kusuma yang bernama Aria Kebonan Kideng Agung. Ia menjadi raja Pakuan karena
menggantikan baginda Sang Permana di Kusuma yang sedang bertapa. Si jabang bayi
yang baru dilahirkan dibuang ke kali Tjitandui karena baginda takut kutukan pendeta
yang dibunuhnya menjadi kenyataan, bahwa kelak negaranya akan hancur dan ia
sendiri akan dihukum oleh anak yang dikandung oleh Dewi Pangrenyep tersebut.
Ciung Wanara dipungut oleh aki dan nini Balagantrang, CW menamakan
dirinya sendiri sebagai Ciung Wanara setelah ia melihat seekor burung ciung dan kera
Setelah dewasa ia bertanya kepada ayahnya siapa ayah ibunya dan diberi tahu oleh aki
Balagantrang bahwa ibunya adalah dewi Pangrenyep dan ayahnya Raja Pakuan. Sejak
mengetahui hal itu, ia ingin kembali ke kerajaan Galuh Pakuan. Pada akhirnya ia
berangkat ke kerajaan Galuh Pakuan dengan membawa seekor ayam aduan.
Ketika mendengan kehebatan ayam aduan CW, Raja Pakuan Galuh (palsu)
Barma Wijayakusuma mengajak CW menyabung ayam, dengan taruhan jika ayam
baginda kalah, CW akan diberi separuh kerajaan. Dalam sabung ayam itu, ayam
-
baginda kalah, karena itu CW lalu diangkat sebagai putranya dan diberi separuh
kerajaan serta pandai besi 800 orang.
Setelah berada di istana dan tahu keadaan ibunya (Dewi Pangrenyep) yang
berada dalam penjara dan Raja Pakuan sebenarnya bukan ayah kandungnya, CW ingin
membalas dendam. Untuk itu, ia lalu membuat penjara yang indah. Setelah selesai, ia
minta kepada raja untuk memeriksanya. Ketika baginda sedang memeriksa bagian
dalam penjara itu, CW menguncinya dari luar, sehingga raja terpenjara.
Mengetahui hal itu, Aria Banga (sebenarnya putra Dewi Naganingrum dengan
Sang Permana di Kusuma) marah, sehingga terjadi pertempuran dengan CW. Setelah
bertempur selama 18 tahun tanpa ada yang kalah dan menang, keduanya tiba di tepi
sungai, Aria Banga terlempar ke sebelah timur sungai, ketika akan kembali menyerang
ia terhalang oleh sungai tersebut. Oleh karena itu, akhirnya ia berkata kepada CW agar
menyudahi pertempuran mereka, ia menamakan sungai itu Cipamali dan menjadikan
sungai itu sebagai batas wilayah; daerah sebelah timur sungai menjadi daerah
kekuasaanya, dinamakannya tanah Jawa, Kejawan keprabon. CW setuju, dan ia
mengatakan daerah sebelah barat sungai, dinamakannya tanah Sunda, Pasundan
dengan luas wilyah sampai ke Melayu dan Palembang.
Ketika kembali ke istana, CW menendang penjara besi dan jatuh di daerah
Kandang Wesi. Sejak itu, CW mengikuti bala tentaranya yang pergi ke Pajajaran dan
Aria Banga ke Majapahit.
2.2 Ciung Wanara versi Sajarah Banten (CWSB)
Dalam Sajarah Banten Besar 4 khususnya teks naskah LOR 7389, cerita CW terdapat
dalam pupuh 5 III: 18 35 dan pupuh IV: 1 -- 54. Teksnya ditulis dengan aksara
Pegon (tulisan Arab untuk teks Jawa) dalam bahasa Jawa Banten.
Dalam teks ini disebutkan bahwa CW adalah putra Raja Medang Kamulan
(ratu Galuh) dari seorang selir. Ia dibuang ke sungai oleh baginda, karena baginda
4 Mengacu pada pembagian korpusnya, teks Sajarah Banten terpilah dalam dua kelompok yaitu
Sajarah Banten Besar dan sajarah Banten Kecil. Teks-teks yang termasuk dalam kelompok Sajarah
Banten Besar (SBB) adalah teks-teks Sajarah Banten yang isinya mengkaitkan Banten dengan sejarah
Jawa secara luas, sedangkan yang tergolong Sajarah Banten Kecil (SBK) adalah teks-teks SB yang
fokus ceritanya menceritakan sejarah Banten secara ringkas (Titik Pudjiastuti, 2000: 80) 5 pupuh dapat dipahami sebagai babagan cerita atau bab (Ind) dalam suatu teks tembang Jawa
-
takut kutukan pendeta Seda Sakti, akan menjadi kenyataan, bahwa kelak ia akan
dihukum oleh putranya sendiri yang saat itu masih dalam kandungan selirnya. Pendeta
Seda Sakti adalah seorang pendeta yang memusnahkan dirinya karena sakit hati
kepada baginda karena telah dituduh berzinah dengan adiknya sendiri.
Ketika selirnya melahirkan, putranya dibuang. Dalam pembuangan, si jabang
bayi ditemukan oleh Ki dan Nyi Bobodo dan diberi nama Ki Jaka. Setelah agak besar
Ki Jaka ingin ke ibukota, dalam perjalanan ia melihat burung ciung dan kera, ia tertarik
dengan kedua binatang itu, lalu menamakan dirinya Ciung Wanara.
Setibanya di ibukota, Ki Bobodo tinggal di rumah saudaranya, seorang pande
besi istana bernama Empu Uma. Di tempat itu, CW belajar membuat senjata, ia
sangat disayangi oleh Ki Uma dan akhirnya diangkat menjadi putranya.
Suatu hari, CW melakukan tindakan yang menggemparkan istana, seperti
menabuh gamelan istana, menaiki kuda baginda, dan mematahkan gading gajah
kerajaan. Melihat siapa yang melakukan kegemparan itu, baginda mengerti bahwa CW
adalah putranya, karena itu CW lalu diminta dan diaku sebagai putra baginda.
CW lalu membuat penjara besi yang indah, ia minta kepada raja untuk
memeriksanya. Ketika baginda berada di dalam penajara, CW menguncinya dari luar,
sehingga baginda terpenjara.
Putra raja dari permaisuri yang bernama Raden Tanduran marah melihat
ayahnya diperdayai oleh CW, ia lalu menyerang CW sehingga terjadi pertempuran.
Dalam pertempuran itu raden Tanduran kalah, sehingga ia lalu melarikan diri ke arah
timur. Kelak ia mendirikan kerajaan Majapahit, sedangkan CW mendirikan kerajaan
Pajajaran.
2.3 Ciung Wanara versi KDM (CWKDM)
Cerita CW ini dikarang oleh Djajengwiarga di Yogyakarta. Menurut pengarang,
sumber ceritanya adalah Babad Tanah Jawi yang teksnya ditulis dengan akasara Jawa
di atas dluwang dalam bahasa Jawa.
Dikisahkan, bahwa CW adalah putra Raja Tapakuna dari negeri Pajajaran
dengan seorang selir. Pada suatu waktu, kerajaan Pajajaran terkena wabah penyakit
yang sangat menakutkan, sehingga banyak rakyatnya yang mati. Suatu malam baginda
mendapat wangsit, yang mengabarkan kepadanya bahwa ia harus minta tolong kepada
-
pendeta yang berada di gunung Banita. Baginda salah mengartikan mimpi itu, ia bukan
minta tolong tetapi malah membunuh sang pendeta. Sang pendeta lalu mengutuknya,
bahwa sakit hatinya kelak akan dibalas oleh putra baginda yang saat itu masih ada
dalam kandungan. Ketika selir baginda melahirkan, putranya dibuang ke sungai, karena
baginda takut kutukan sang pendeta menjadi kenyataan.
Dalam pembuangan, si jabang bayi ditemukan oleh Ki Satang. Setelah besar si
jabang bayi ingin ke kota. Diperjalanan, di dalam hutan ia melihat burung ciyung dan
kera, ia tertarik pada kedua binatang itu, lalu memtuskan untuk menamakan dirinya
Siyungwanara. Setibanya di ibukota, mereka tinggal dirumah saudara Ki Satang
yang bernama Ki Malik, seorang pande besi istana. Di tempat Ki Malik, Siyungwanara
belajar membuat senjata, Ki Satang di suruh kembali ke desa dan ia menjadi anak
angkat Ki Malik.
Suatu hari CW membuat keonaran di istana, ia mematahkan gading gajah raja
dan memukul gong sekeras-kerasnya. Tingkah lakunya itu membuat baginda marah,
tetapi ketika baginda melihat siapa yang melakukan itu, ia tidak jadi marah bahkan
meminta kepada Ki Malik agar CW diserahkan kepadanya untuk dijadikan putranya.
Setelah CW diangkat sebagai putra raja, ia membuat penjara besi lalu meminta
kepada raja untuk memeriksanya. Ketika baginda di dalam penjara , pintunya ditutup
dari luar oleh CW dan malam harinya, penjara besi itu dihanyutkan ke sungai
Kerawang.
Setelah itu, CW naik tahta menjadi raja Pajajaran bergelar Prabu
Siyungwanara. Raden Jaka Susuruh, putra baginda dari permaisuri sepulangnya dari
bertapa sudah mendapatkan adiknya sebagai raja Pajajaran. Ia merasa senang, lalu
pamit untuk pergi ke arah timur, akhirnya ia mendirikan kerajaan di Majapahit dan
menjadi raja dengan gelar Prabu Brawijaya.
Kebesaran kerajaan Majapahit termashur ke luar kerajaan, Prabu Siyungwanara
mendengar hal itu merasa jengkel, ia lalu bermaksud menyerbu Majapahit. Namun,
sebelum itu ia bertapa lebih dahulu akan memohon pertolongan dewa, tetapi di dalam
tapanya, seorang dewa memperingatkannya agar jangan bertempur dengan Raja
Majapahit, karena ia akan kalah, sebab Prabu Brawijaya, adalah kakaknya. Mendengar
kata-kata itu, Prabu Siyungwanara marah, dewa dimaki-maki olehnya.
-
Prabu Siyungwanara tetap pada pendiriannya untuk menyerang Majapahit.
Namun, seperti yang dikatakan dewa, Pajajaran tidak mampu mengalahkan Majapahit,
bala tentaranya kalah. Hal ini menyebabkan Prabu Siyungwanara sangat sedih.
Akhirnya, ia mengajak istrinya, Dewi Kitiran untuk pergi meninggalkan kerajaan dan
mencari tempat untuk bertapa. Setelah beberapa waktu bertapa, mereka berdua
berubah menjadi burung perkutut, bernama Martengsari dan Kitiran.
Dalam penerbangannya, perkutut Martengsari dan Kitiran sampai di istana
kerajaan Majapahit. Semenjak kedua perkuitut itu di sana, tidak ada seekor burungpun
yang bisa berbunyi kecuali kedua perkutut itu. Akhirnya baginda mencari juru pikat,
perkutut Martengsari berhasil ditangkap tetapi Kitiran terbang sampaike Banjarnegara,
menjadi cikal bakal burung perkutut di hutan Banjarnegara yang terkenal dengan nama
Nyai Blawong.
Adapun perkutut Martengsari setelah tertangkap diberikan kepada Putri
baginda yang bernama Sekar Kemuning. Perkutut Martengsari jatuh cinta kepada
putri, ia lalu bersemedi dan jika malam berubah ujud menjadi manusia dan menggauli
putri baginda. Sampai pada suatu saat, keberadaannya ketahuan, karena putrinya
hamil. Oleh karena itu, baginda lalu memerintahkan untuk membunuh perkutut.
Setalah perkutut mati, terdengar suara yang mengatakan bahwa ia sesungguhnya adik
baginda sendiri, yaitu Prabu Siyungwanara yang menajdi burung karena dikutuk dewa.
Beberap bulan kemudian, putri baginda melahirkan sebutir telur yang lalu
menetas menjadi seekor burung perkutut yang kemudian dinamakannya Jaka Mangu.
Jaka Mangu bisa berbicara seperti manusia, ia menjadi burung kesayangan baginda.
Pada suatu hari Jaka Mangu bertanya kepada ibunya, tentang ayahnya, setelah tahu, ia
menjadi sangat sedih, sejak itu ia tidak banyak berkicau, ia selalu ingin terbang. Sampai
pada suatu kesempatan ia berhasil melepaskan diri dari kurungan dan terbang
meninggalkan istana. Baginda yang sedih karena kehilangan perkutut, lalu
memerintahkan untuk melepas semua burung yang ada di Majapahit.
III. Perbandingan Cerita Ciung Wanara
Dari ringkasan cerita di atas, tampak bahwa ketiga versi teks CW tersebut memang
memiliki kesamaan tetapi juga mempunyai perbedaan yang cukup mencolok Untuk
-
memudahkan pengamatan, berikut ini adalah tabel yang memuat persamaan dan
perbedaan isi cerita ketiga teks versi CW di atas.
Persamaan dan Perbedaan ketiga versi cerita CW
Uraian CWP CWSB CWKDM
A.Tokoh
I. Utama
a. nama Tokoh
b. nama kecil Tokoh
II. Pendukung
1.orang tua kandung
2. Orang tua angkat I
(di desa)
3. Orang tua angkat II
(di kota)
3.Saudara seayah
Ciung Wanara
Asep
Sang Permana di
Kusuma (Raja Galuh
Pakuan) dan D.
Pangrenyep
Aki & Nini
Balagantrang
Ki Dipa
Aria Bangah
Ciung Wanara
Ki Jaka
Raja Medang Kamulan
(Ratu Galuh)
Ki Bobodo
Mpu Uma
Raden Tanduran
Siyungwanara
Sang putra
Prabu Tapakuna (Raja
Pajajaran)
Ki Satang
Ki Malik
Jaka Susuruh
B. Peristiwa
1. penyebab CW
dibuang
2. masa kecil
3. CW masuk istana
4. balas dendam
Raja takut kutukan
pendeta yang
dibunuhnya menjadi
kenyataan, bahwa ia
akan dihukum oleh
anak yang masih
dalam kandungan
Dewi Pangrenyep.
CW hidup di desa
dengan ditemani
seekor ayam hutan.
CW diberitahu rahasia
dirinya, bahwa ia
sesungguhnya putra
Ratu Galuh dan dewi
Pangernyep.
Melalui sabung ayam
CW diberi separuh
kerajaan dan diakui
sebagai putra raja
CW membuat penjara
Raja takut kutukan
sang pendeta yang
dituduhnya berzinah
akan menjadi
kenyataan, bahwa raja
akan dihukum oleh
putranya sendiri yang
masih ada dalam
kandungan selirnya
CW hidup di desa dan
tidak mengetahui
rahasia dirinya
Melalui Mpu Uma,
pande besi istana. CW
membuat keonaran di
istana dan ia diakui
sebagai putra raja
CW membuat penjara
Raja takut kutukan
pendeta yang dituduh
menyebabkan wabah
penyakit menjadi
kenyataan, bahwa ia
akan dihukum oleh
putranya sendiri yang
masih dalam
kandungan istrinya.
CW hidup di desa dan
tidak mengetahui
rahasia dirinya.
Melalui Ki Malik,
pande besi istana. CW
membuat keonaran di
istana. Baginda
mengakui sebagai
putranya
CW membuat penjara
-
besi dan raja dipenjarakan. Kelak
penjara itu ditendang
sampai ke daerah
Kandang wesi.
besi, raja
dipenjarakan.
besi, raja dipenjarakan
CW naik tahta sebagai
Raja Pajajaran. Raja
tewas karena
penjaranya
ditenggelamkan di
Sungai Kerawang C. Pertempuran
Aria Bangah marah
terjadi pertempuran
selama 15 tahun.
Pertempuran baru
berhenti karena
terhalang sungai yang
disebut sungai
Cipamali.
Raden Tanduran
marah dan terjadi
pertempuran dengan
CW selama 18 tahun.
Raden Tanduran kalah
dan pergi melarikan
diri kearah Timur.
Tidak ada perang,
antar saudara, karena
ketika raja dipenjara
dan dibunuh, Jaka
Susuruh tidak tahu,
karena ia sedang
bertapa di luar
kerajaan Setelah
melihat adiknya
menjadi Raja
Pajajaran, Raden
Tanduran pergi ke
arah timur dan
mendirikan kerajaan
Majapahit.
D. Akhir Cerita
Terjadi kesepakatan,
negara dipecah dua.
Wilayah di sebelah
timur sungai Cipamali
menjadi kekuasaan
Aria Banga, disebut
tanah Jawa, Keprabon
dan wilayah di sebelah
barat disebut
Pasundan.
CW naik tahta dan
mendirikan kerajaan
Pajajaran, sedangkan
Raden Tanduran
dalam pelariannya
kelak tiba di desa Maja
dan mendirikan
kerajaan Majapahit
Siyungwanara iri pada
kebesaran Majapahit,
ia menyerang tetapi
kalah. Kemudian
bersama istrinya Dewi
Kitiran ia bertapa dan
akhirnya menjadi
burung perkutut
bernama Martengsari
dan Kitiran.
Kedua burung itu
kemudian tiba di
Majapahit. Perkutut
Martengsari berhasil
ditangkap, sedangkan
Kitiran terbang
sampai di Bojonegoro,
ia menajdi cikal bakal
burung perkutut
Bajanegara yang
terkenal dengan
sebutan Nyai Blawong.
Adapun perkutut
Martengsari kemudian
dibunuh karena
ketahuan menghamili
putri raja bernama
Putri Sekar kemuning.
Putri melahirkan
seekor burung perkutut
yang dinamakan Jaka
Mangu.
-
IV Kesimpulan
Dari ringkasan dan tabel di atas terlihat bahwa inti cerita ketiga versi teks CW memang
tampak sama yaitu menceritakan kisah CW dari masa masih di dalam kandungan
sampai menjadi Raja Pajajaran, tetapi juga terlihat jelas perbedaan-perbedaannya.
Perbedaan ketiga versi cerita CW tersebut bukan saja terletak pada nama-nama tokoh
pendukungnya, melainkan juga cara yang ditempuh CW dalam mewujudkan balas
dendamnya dan akhir cerita dari masing-masing versinya.
Kepustakaan
Djajengwiardja,
t.t Kiai Djaka Mangoe. Yogyakarta
Eringa, F.S
1949 Loetoeng Kasaroeng: Een Mythologisch Verhaal uit West Java.
SGravenhage: Martinus Nijhoff
Hermansoemantri, Emuch
1977 Struktur Literer Cerita Pantun Ciung Wanara (edisi Ayip Rosidi),
dalam Bunga Rampai Ilmu Sastra, 2 Bandung: Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran.
Kartini, Tini et al
1984 Struktur Cerita Pantun Sunda: Alur.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Pleyte, CM
1910 De Lotgevallen van Tjioeng Wanara Naderhand Vorst van Pakoean
Padjadjaran dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen, deel LVIII, 2de stuk
Batavia/sHage: Albrecht & co/ Martinus Nijhoff
Pudentia, MPSS
1992 Transformasi Sastra Analisis atas Cerita Rakyat Lutung Kasarung.
Jakarta: Balai Pustaka
-
Pudjiastuti, Titik
2000 Sajarah Banten: Suntingan Teks dan Terjemahan disertasi Tinjauan
Aksara dan Amanat. Disertasi (belum diterbitkan)
Depok: Fakultas Sastra UI
Rosidi, Ayip
1958 Lutung Kasarung: Sebuah Cerita Pantun Sunda
Jakarta: Pembangunan