cerai talak dan cerai gugat di pegadilan agama...
TRANSCRIPT
i
CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT
DI PEGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016
(Analisis Alasan dan Implikasi Perceraian)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
RIYADUS SOLICHIN
211-12-005
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
iii
CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT
DI PEGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016
(Analisis Alasan dan Implikasi Perceraian)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
RIYADUS SOLICHIN
NIM : 21112005
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
iv
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan Hormat, Setelah dilaksanakan bimbingan, arahan
dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Riyadus Solichin
NIM : 21112005
Judul : CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT DI
PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-
2016 (ANALISIS ALASAN DAN IMPLIKASI
PERCERAIAN)
dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Salatiaga, 16 Marer 2017
Pembimbing
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
NIP. 19671015 199803 2002
vi
PERYATAAN KEASLIAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Riyadus Solichin
NIM : 21112005
Jurusan : Hukum Keluarga Islam
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi : CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT DI PENGADILAN
AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016 (ANALISIS
ALASAN DAN IMPLIKASI PERCERAIAN)
menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang
lain yang terdapat dalam skripsi saya ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 16 Maret 2017
Yang menyatakan,
Riyadus Solichin
NIM : 21112006
viii
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta
karunian-Nya, shalawat salam semoga tetap tercurah kepada rasulullah
SAW, skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Bapak dan Ibuku tercinta, almarhum Bapak Sahudi dan Ibu Himawati
karya ini terangkai dari keringat, kasih sayang dan do‟amu. Setiap keringat
dan kasih sayangmu yang keluar karenaku menjelma dalam setiap huruf,
setiap do‟a yang terpanjat menyatu menyampuli karya hidupku.
Adikku yang aku banggakan dik Mar‟atus Solikhah, semangat belajarmu
menjadi cambuk dan semangatku pula tuk belajar selalu. Semoga karya ini
mampu membuatmu bangga dan mampu menggantikan peranku sebagai
kakak yang selama ini belum bisa menjadi kakak yang baik bagimu karena
masih terabai oleh ego dan inginku.
Saudara, sahabat, dan orang yang saya cintai yang belum bisa saya
sebutkan disini, lebih tepatnya ya calon istri yang senantia memberikan
spirit dan memotivasi diri ini untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
ix
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirahim
Alhamdulillahhirobbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah dan taufiq-Nya kepada
penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “CERAI
TALAK DAN CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA
TAHUN 2015-2016 (ANALISIS ALASAN DAN IMPLIKASI PERCERAIAN)”
tanpa halangan yang berarti.
Shalawat serta salam penulis ucapkan kepada nabi Akhiruzaman, Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta pengikutnya yang senantiasa
setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah visioner yang telah memberikan
spirit perjuangan kepada penulis dan semoga kita semua sebagai umatnya
mendapatkan Syafaatnya min hadza ila yaumil qiyamah, Aamiin Yaa
Robbal‟alamin.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan bayak terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., Selaku Dekan Fakultas Syariah yang juga
selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas membimbing,
mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan tenaganya kepada penulis
sehingga skripsi ini terselesaikan.
3. Sukron Ma‟mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam.
x
4. Moh. Khusen M.Ag., M.A., selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan
dan Kerjasama IAIN Salatiga yang telah membimbing dan membina
penulis baik selama penulis menerima beasiswa bidikmisi maupun
sewaktu penulis sebagai wakil ketua DEMA IAIN Salatiga.
5. Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M. Si,. Selaku Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Syari‟ah yang telah membimbing
penulis sewaktu menjadi ketua DEMA Fakultas Syari‟ah periode 2015.
6. Seluruh dosen IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yang sangat
bermanfaat.
7. Kepada Ibu dan adik penulis yang telah memberikan dan mencurahkan
segala kemampuannya untuk mendukung memenuhi keinginan penulis
untuk tetap bersekolah. Tanpa mereka mungkin karya ini tidak akan
pernah ada.
8. Sahabat-sahabati PMII Salatiga dari Rayon, Komisariat hingga Cabang
yang senantiasa memberi ilmu, masukan dan hiburan di saat aku lalai
dalam pergerakan dan perjuanganku.
9. Segenap sahabat-sahabatku pengurus HMJ Syari‟ah periode 2013, HMJ
Syari‟ah dan Ekonomi Islam periode 2014, Dewan Mahasiswa (DEMA)
Fakultas Syari‟ah periode 2015 dan Dewan Mahasiswa (DEMA) IAIN
Salatiga periode 2016.
10. Seluruh teman-teman seperjuanganku di Ahwal Al Syakhshiyyah angkatan
2012 atas segala semangat dan hiburannya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.
xi
11. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta pembaca
pada umumnya. Aamiin.
Salatiga, 16 Maret 2017
Riyadus Solichin
NIM : 211 12 005
xii
ABSTRAK
Solichin, Riyadus. “Cerai Talak Dan Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Tahun
2015-2016 (Analisis Alasan dan Imlikasi Perceraian)”. Skripsi. Fakultas
Syari‟ah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga. Pembimbing Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
Kata Kunci: Pernikahan, Cerai, Cerai Talak, Cerai Gugat.
Penelitian ini berusaha mengungkap problematika yang dahulu tabu
dimasyarakat namun sekarang malah menjadi hal yang biasa terjadi yaitu
perceraian. Penelitian ini penelitian berusaha membandingkan perceraian yaitu
antara cerai talak dan cerai gugat yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga.
Pertayaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah Apakah faktor-
faktor yang melatarbelakangi terjadinya perceraian baik cerai talak maupun cerai
gugat di Pengadilan Agama Kota Salatiga? Bagaimanakah implikasi cerai talak
dan cerai gugat yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016?
Melalui penelitian kualitatif, peneliti berusaha untuk mengungkap fokus
permasalahan diatas. Dengan metode tersebut kami melakukan wawancara kepada
beberapa narasumber sesuai dengan data yang peneliti butuhkan. Dan untuk
mendukung penelitian ini, peneliti juga mencari sumber-sumber/ literature yang
berkaitan dengan permasalahan tersebut. Peneliti juga akan menggunakan data
serta dokumentasi yang ada. Dan untuk menguji hasil temuan data tersebut maka
peneliti menganalisis data dengan menggunakan kerangka teoritik yang peneliti
susun.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa cerai gugat lebih mendominasi
jika dibandingkan denga cerai talak. Pengadilan Agama Salatiga Pada tahun 2015
telah menangani cerai talak sebanyak 379 perkara, sedangkan cerai gugat
sebanyak 945 perkara, kemudian tahun 2016 cerai talak sebanyak 368 perkara,
sedangkan cerai gugat sebanyak 948 perkara. Adapun faktor perceraian yang
menjadi alasan diputuskannya suatu perkara pada tahun 2015-2016, dilatar
belakangi oleh krisis akhlak/ moral, faktor ekonomi, tidak adanya tanggungjawab
dalam rumah tangga, penganiayaan atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
gangguan/ hadirnya pihak ketiga, tidak ada keharmonisan. Perbedaan dalam
hukum islam maupun hukum positif adalah pada gugatan yang disampaikan dan
akhirnya diputuskan oleh majelis hakim dalam persidangan. Implikasi yang harus
ditanggung oleh mantan suami dan mantan istri, baik selama masa iddah maupun
setelahnya.
xiii
DAFTAR ISI
Sampul
Lembar Berlogo
Judul .................................................................................................................... i
Nota Pembimbing ............................................................................................... ii
Pengesahan Kelulusan ......................................................................................... iii
Pernyataan Keaslian ............................................................................................ iv
Motto ................................................................................................................... v
Persembahan ....................................................................................................... vi
Kata Pengantar .................................................................................................... vii
Abstrak ................................................................................................................ x
Daftar Isi.............................................................................................................. xi
Daftar Tabel ........................................................................................................ xiv
Daftar Lampiran .................................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 9
E. Penegasan Istilah ..................................................................................... 10
F. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 11
G. Metodologi Penelitian ............................................................................. 13
xiv
H. Sistematika Penulisan .............................................................................. 24
BAB II CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT
A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
1. Pengertian Perceraian ....................................................................... 26
2. Macam-macam dan Cara Pemutusan Hubungan Perkawinan .......... 35
3. Alasan-alasan Perceraian.................................................................. 43
B. PROSES MENGAJUAN PERCERAIAN
1. Proses mengajuan Cerai Talak ......................................................... 44
2. Proses mengajukan Cerai Gugat ...................................................... 46
3. Tatacara Perceraian .......................................................................... 48
C. SEBAB-SEBAB PUTUSNYA PERCERAIAN
1. Khulu‟............................................................................................... 54
2. Ila‟ .................................................................................................... 56
3. Li‟an ................................................................................................. 58
4. Fasakh............................................................................................... 59
5. Syiqaq ............................................................................................... 60
6. Taklik Talak ..................................................................................... 60
7. Zhihar ............................................................................................... 62
D. AKIBAT PERCERAIAN ........................................................................ 63
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN CERAI
TALAK DAN CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA
A. PROFIL PENGADILAN AGAMA SALATIGA
1. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga ................................................. 65
2. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga................ 71
3. Visi Misi Pengadilan Agama Salatiga ............................................. 71
4. Struktur Pengadilan Agama Salatiga................................................ 72
5. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga ........................................ 73
B. PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA ................... 74
C. TEMUAN PENELITIAN ....................................................................... 78
xv
D. ANGKA PERCERAIAN CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT
DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA
1. Cerai Talak di Pengadilaan Agama Salatiga .................................... 78
2. Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga ..................................... 78
E. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
1. Faktor Cerai Talak ............................................................................ 79
2. Faktor Cerai Gugat ........................................................................... 81
BAB IV ANALISIS ALASAN DAN IMPLIKASI PERCERAIAN
A. GAMBARAN PERKARA CERAI TALAK DAN CERAI
GUGAT DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA .............................. 87
B. ANALISIS ALASAN CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT DI
PENGASILAN AGAMA SALATIGA................................................... 91
C. ANALISIS IMPLIKASI CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT
DI PENGADILAN
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 110
B. Saran .................................................................................................... 112
DATAR PUSTAKA ........................................................................................... 113
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xvi
DAFTAR TABEL
1. Table 1.1 Daftar cerai talak dan cerai gugat ................................................ 7
2. Table 3.4 data cerai talak ............................................................................. 78
3. Table 3.5 data cerai gugat ............................................................................ 78
4. Gambar 4.1 data perceraian di Pengadilan Agama Salatiga ........................ 91
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Daftar Riwayat Hidup
Lampiran II Penunjukan Pembimbing Skripsi
Lampiran III Permohonan Izin Penelitian
Lampiran IV Daftar Nilai SKK
Lampiran V Lembar Konsultasi Skripsi
xviii
DAFTAR TABEL
1. Table 2.1 Daftar Informan Penelitian ...................................................... 16
2. Table 3.1 Fasilitas Pendidikan di Desa Sidoharjo ................................... 66
3. Table 3. 2 Proful Pelaku Perkawinan Poliandri ...................................... 74
4. Table 3. 3 Bentuk Keluarga Berdasarkan Pemukiman ........................... 83
5. Table 3. 4 Bentuk Keluarga Berdasarkan Jenis Anggota Keluarga ........ 85
6. Table 3. 5 Bentuk Keluarga Berdasarkan Bentuk Perkawinan ............... 86
7. Table 3. 6 Bentuk Keluarga Berdasarkan Jenis Perkawinan ................... 88
8. Table 4. 3 Dampak Hukum Perkawinan Poliandri .................................. 98
9. Table 4. 2 Dampak Sosiologis Perkawinan Poliandri ............................. 106
10. Tabel 4.3 Dampak Psikologis Perkawinan Poliandri ............................. 113
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Daftar Riwayat Hidup
Lampiran II Penunjukan Pembimbing Skripsi
Lampiran III Permohonan Izin Penelitian
Lampiran IV Daftar Nilai SKK
Lampiran V Lembar Konsultasi Skripsi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal penciptaan alam semesta dan seisinya, Allah SWT
menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini berpasang-pasangan
termasuk di dalamnya laki-laki dan perempuan. Dalam upaya
menghalalkannya, manusia memiliki aturan yang berbeda dari makhluk
yang lain, yaitu adanya pernikahan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 menyebutkan
tentang pengertian pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakaan ibadah (Departemen Agama RI, 2000: 14).
Pernikahan adalah sebuah karunia dari Allah SWT kepada hamba-
Nya karena pernikahan dapat memberikan rasa ketentraman, kedamaian
dan rasa cinta kasih antara pasangan suami istri, seperti firman Allah SWT
dalam surat Ar Rum ayat 21 yang berbunyi:
فسكن اصواجب لتسكىااليهب وجعل بيكن ي ا وهي ايته اى خلك لكن ه
سحوت ةو ىد هللىشوى) (12اى في رلك ل يت لمىم يتفك
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir(QS.Ar-Rum:
21)
2
Para ulama memerinci makna lafal nikah menjadi empat macam.
Pertama, nikah diartikan akad yang sebenarnya dan diartikan percampuran
suami istri dalam arti kiasan. Kedua, sebaliknya nikah diartikan
percampuran suami istri dalam arti sebenarnya dan akad berarti kiasan.
Ketiga, nikah lafal musytarak (mempunyai dua makna yang sama).
Keempat, nikah diartikan adh-damm (bergabung secara mutlak) dan al-
ikhtilath (percampuran). Dari keterangan tersebut, jelas bahwa nikah
diucapkan pada dua makna yaitu akad pernikahan dan hubungan intim
antara suami dan istri. Nikah menurut syara‟ maknanya tidak keluar dari
dua makna tersebut (Azzam, 2009: 38)
Perkawinan mempunyai tujuan seperti dalam Undang-undang No.
1 Tahun 1974 pada pasal 1 yang disebutkan bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan
naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-
Nya (Basyir, 2007: 13).
Tujuan pernikahan bukan saja untuk menyalurkan kebutuhah
biologis, tetapi juga menyambung keturunan yang baik dalam naungan
rumah tangga yang penuh dengan kedamaian, cinta dan kasih sayang. Ini
sesuai dengan bunyi pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yakni:
“perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
3
sakinah mawaddah warahmah” (Departemen Agama RI, 2000: 14).
Menurut ajaran agama Islam, menikah adalah menyempurnakan agama.
Oleh karenanya, barang siapa yang menuju kepada pernikahan, maka dia
telah berusaha menyempurnakan agamanya dan berarti juga turut berjuang
untuk kesejahteraan masyarakat.
Setiap pasangan yang telah melangsungkan pernikahan dan
memulai lembaran baru dalam kehidupannya menuai kebahagiaan pada
awal perjalanannya. Namun selang beberapa tahun bahkan beberapa bulan
sejak pernikahannya akan ada masalah-masalah yang bermunculan di
tengah-tengah keluarga, yang disebabkan oleh beberapa pengaruh dari
kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Pada era yang bebas akan
konsumsi informasi dari TV, smartphone yang semakin canggih akhir-
akhir ini, dimungkinkan banyak sekali menyumbangkan kontribusi yang
besar bagi ketidak keharmonisan sebuah keluarga.
Keadaan sebuah pernikahan tidak dapat dipungkiri pasti
mempunyai problem-problem yang sedikit banyak mengganggu
keharmonisannya. Konflik-konflik kecil selalu mewarnai perjalanan
kehidupan pernikahan, dari sinilah kehidupan rumah tangga mulai sedikit
terkoyak. Kedua belah pihak harus mampu untuk mengurai permasalahan
rumah tangga mereka, jika konflik terus berkepanjangan dan tidak
menemukan titik temu, maka tujuan perkawinan yang tersebut mustahil
untuk didapatkan. Dan kemungkinan besar kedua belah pihak akan
mengakhiri perjalanan rumah tangganya.
4
Perceraian merupakan solusi akhir dari semua konflik yang tidak
kunjung ditemukan solusinya. Menurut hukum positif di Indonesia
perceraian hanya dapat dilakukan melalui Pengadilan Agama untuk
masyarakat yang beragama Islam, sesuai dengan UU No.7 tahun 1989 jo.
UU No. 50 tahun 2009. Hal tersebut juga diatur dalam Kompalasi Hukum
Islam (KHI) pasal 113, perkawinan dapat putus karena: kematian,
perceraian dan atas putusan Pengadilan(Departemen Agama RI, 2000: 56).
Perceraian pada hakekatnya adalah suatu proses dimana hubungan
suami istri tidak ditemui lagi keharmonisan dalam keluarga. Mengenai
definisi perceraian dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974
tidak diatur secara eksplisit, melainkan hanya menentukan bahwa
perceraian hanyalah satu sebab dari putusnya perkawinan, disamping
sebab lain yakni kematian dan putusan pengadilan. Perceraian ialah
penghapusan perkawinan karena keputusan hakim atau tuntutan salah satu
pihak dalam perkawinan itu (Subekti, 1953: 42). Dengan diberlakukannya
UU No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana
peraturan itu juga dijadikan sebagai hukum positif di Indonesia, maka
terhadap perceraian diberikan pembatasan yang ketat dan tegas baik
mengenai syarat-syarat untuk bercerai maupun tata cara mengajukan
perceraian, hal ini dijelaskan dengan ketentuan pasal 39 UU No 1 tahun
1974 yaitu:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak;
5
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri;
3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersebut.
Selanjutnya pada pasal 115 KHI disebutkan, perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan
Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak (Departemen Agama RI, 2000: 56)
Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 prinsipnya
memperketat terjadinya perceraian, dimana perceraian hanya dapat
dilaksanakan di hadapan sidang pengadilan, dengan alasan-alasan tertentu.
Putusnya perkawinan dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian, maka dari berbagai peraturan tersebut dapat diketahui ada dua
macam perceraian yaitu cerai gugat dan cerai talak.
Cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam dan
diajukan oleh pihak suami. Cerai talak adalah istilah yang khusus
digunakan di lingkungan Peradilan Agama untuk membedakan para pihak
yang mengajukan adalah suami, sedangkan cerai gugat yang mengajukan
adalah dari pihak istri. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 114, bahwa: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena
perceraian dapat terjadi karena talak ataupun berdasarkan gugatan
perceraian” (Departemen Agama RI, 2000: 56).
Pada dasarnya di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116,
mengatur dan menentukan tentang alasan-alasan yang dapat digunakan
untuk mengajukan perceraian, yaitu :
6
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
b. Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami atau isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga;
g. Suami menlanggar taklik talak;
h. Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga (Departemen Agama
RI, 2000: 57).
Pengadilan dalam hal ini adalah Pengadilan Agama berkontribusi
besar dalam upayanya menjaga keutuhan rumah tangga yang sedang
dilanda permasalahan-permasalahan dari rumah tangga yang diajukan
gugatannya ke pengadilan melalui mediasi-mediasi yang diusahakan oleh
majelis hakim. Namun pengadilan juga tidak segan-segan memutuskan
suatu pernikahan apabila proses mediasi yang dilakukan tidak
membuahkan hasil dan salah satu dari kedua belah pihak masih tetap
kekeh pada gugatannya.
Perceraian tidak akan terjadi apabila tidak ada faktor-faktor yang
melatar belakangi timbulnya perceraian itu sendiri. Di dalam sebuah
rumah tangga pasti banyak sekali permasalahan-permasalahan yang
muncul, baik dari suami, istri, anak, bahkan dari kedua belah pihak
7
sekalipun. Dan dari rumah tangga tersebut, salah satu pihak menuntut
untuk bercerai dengan melayangkan gugatan, baik cerai talak maupun
cerai gugat ke Pengadilan Agama dalam hal ini adalah Pengadilan Agama
Kota Salatiga.
Penulis tertarik meneliti mengenai cerai talak dan cerai gugat dan
berusaha untuk menganalisis dari alasan dan implikasinya. Pemilihan
tempat penelitian di Kota Salatiga dikarenakan angka kasus perceraian
yang diajukan cukup tinggi setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat pada
laporan tahunan Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015 dan 2016 tentang
cerai talak dan cerai gugat, sebagai berikut:
Tabel 1.1 daftar cerai talak dan cerai gugat
No Bulan Tahun 2015 Tahun 2016
Cerai
Talak
Cerai
Gugat
Cerai
Talak
Cerai
Gugat
1 Januari 35 82 37 95
2 Februari 32 75 45 82
3 Maret 37 79 37 79
4 April 48 90 26 81
5 Mei 26 71 32 78
6 Juni 29 68 33 74
7 Juli 29 56 13 48
8 Agustus 23 77 30 95
9 September 33 94 39 88
10 Oktober 30 84 25 77
11 November 31 79 27 82
12 Desember 26 90 24 69
Sub Jumlah 379 945 368 948
Jumlah total 1324 1316
Sumber laporan tahunan Pengadilan Agama Salatiga
Dari latar belakang tersebut penulis tertarik meneliti mengenai
analisis alasan dan implikasi cerai talak dan cerai gugat yang terjadi di
Pengadilan Agama Salatiga. Baik cerai talak maupun cerai gugat yang
8
sangatlah menarik untuk diteliti, yang memang sebenarnya perkara
perceraian adalah perkara yang halal namun dibenci oleh Allah SWT. akan
tetapi banyak sekali masyarakat yang menjalaninya. Maka dari itu, penulis
mencoba mengangkat persoalan yang terjadi, sehingga diangkatlah judul
“CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA
TAHUN 2015-2016 (Analisis Alasan dan Implikasi Perceraian)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan latar belakang di atas, maka dapat ditarik
permasalah sebagai berikut:
1. Apakah faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya cerai talak
maupun cerai gugat di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016?
2. Bagaimanakah implikasi cerai talak dan cerai gugat yang terjadi di
Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Mengetahui faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya cerai talak
maupun cerai gugat di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016.
2. Mengetahui implikasi cerai talak dan cerai gugat yang terjadi di
Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016.
9
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian dapat menyumbangkan informasi dan wawasan
terkait praktek-praktek Hukum Islam khususnya dalam masalah
hukum Perceraian yang berkembang di masyarakat.
b. Hasil penelitian dapat dijadikan sumber bahan rujukan ilmiah bagi
para peneliti.
c. Hasil penelitian dapat memberikan kontribusi ilmu bagi para
pembaca pada umumnya dan bagi para mahasiswa IAIN Salatiga
pada khusunya.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi tentang potensi-potensi terjadinya perceraian
dalam upayanya membangun keharmonisan keluarga agar terwujudnya
keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah dapat menangani
masalah yang muncul di dalam keluarga supaya rumah tangga yang
masih utuh tidak mengalami kejadian yang sama, yaitu bercerai. Hal
ini diharapkan dapat dijadikan tendensi bagi para pembaca untuk dapat
memahami arti penting dalam berkeluarga, supaya tidak menimbulkan
permasalahan yang mengakibatkan keretakan rumah tangga untuk bisa
dipecahkan dan diselesaikan.
10
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan,
dan pengalaman bagi peneliti mengenai pentingnya menjaga
keutuhan keluaga yang harus dijaga oleh baik suami dan istri.
b. Bagi Pasangan yang telah menikah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para
pasangan yang telah menikah supaya senantiasa menjaga keutuhan
dan keharmonisan rumah tangganya agar tidak sampai bercerai.
c. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau
bahan pertimbangan oleh pemerintah dalam merumuskan kembali
aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan mengenai prosesi
perceraian, suapaya pemerintah bisa menekan angka perceraian.
E. Penegasan Istilah
Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pengertian dalam memahami
topik penelitian ini, maka peneliti perlu memberikan penegasan istilah
untuk beberapa kata yang terlihat masih abstrak, sehingga mempermudah
pemahaman selanjutnya, antara lain sebagai berikut:
1. Pernikahan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
11
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU No 1 tahun 1974) dan
didalam KHI (pasal 2) pengertian pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakaan ibadah (Departemen Agama RI, 2000:
14).
2. Perceraian
Kata cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v
(kata kerja), 1. pisah; 2. putus hubungan sebagai suami istri; talak.
Kemudian, kata perceraian mengandung arti: n (kata benda), 1.
Perpisahan; 2. Perihal bercerai (antara suami istri); perpecahan.
Adapun kata bercerai berarti: v (kata kerja), 1. Tidak bercampur
(berhubungan, bersatu, dsb) lagi: 2. Berhenti berlaki bini (suami istri)
(KBBI, 1997: 185).
Perceraian dalam bahasa Arab disebut dengan talak. Menurut
bahasa talak berasal dari kata “ithlaq” yang berarti melepaskan atau
meninggalkan. Menurut istilahnya yaitu atinya “melepaskan ikatan
perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”(Sabiq, 1980: 7).
Dalam buku Hukum Perceraian (Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan.
2013: 19-20), perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan
dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah
dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, mencakup:
12
3. Cerai Talak
Cerai talak yaitu perceraian yang diajukan permohonan
cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan Agama, yang
dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat
perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan sidang Pengadilan
Agama (vide. Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975)
4. Cerai gugat
Cerai gugat yaitu Perceraian yang diajukan gugtana cerainya
oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama, yang dianggap
terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya
putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap (vide Pasal 20 sampai dengan Pasal 36).
F. Tinjauan Pustaka
Dari hasil penelusuran penulis, ditemukan beberapa karya ilmiah
yang membahas tentang cerai talak dan cerai gugat, di antaranya:
1. Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap Frekuensi Cerai
Talak dan Cerai Gugat di Pengadilan Agama Bangkalan dan
Pengadilan Agama Surabaya (Studi Komparasi Terhadap Cerai Talak
dan Cerai Gugat)” oleh Yuyun Nailufar pada tahun 2006. Skripsi ini
mencoba membandingkan angka cerai talak dan cerai gugat yang
terjadi di wilayah Kabupaten Bangkalan dan Kota Surabaya. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa cerai talak yang terjadi di
13
Kabupaten Bangkalan lebih besar dibandingkan cerai gugat, hal ini
disebabkan masih rendahnya kesadaran hukum pada masyarakat
bangkalan. Sedangkan di Kota Surabaya berbanding terbalik dengan
yang terjadi di Bangkalan, cerai gugat justru lebih besar daripada cerai
talak, hal ini disebabkan kesadaran hukum yang tinggi pada
masyarakat Surabaya.
2. Skripsi dengan judul “Faktor Penyebab Cerai Gugat di Pengadilan
Agama Sidoarjo (Studi Kasus Tahun 2004 sampai 2006)” oleh Agung
Rohmawanto pada tahun 2008. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan
bahwa faktor penyebab cerai gugat yang tertinggi di Kabupaten
Sidoarjo kurun waktu 3 tahun, yakni 2004 sampai 2006 adalah tidak
adanya tanggung jawab suami dan perselisihan yang terus menerus
terjadi.
3. Skripsi dengan judul “Fenomena Cerai Gugat (Studi Data Cerai
Gugat di Pengadilan Agama Surabaya Tahun 2002-2005)” oleh
Mochammad Azis Qoharudin, pada tahun 2006. Skripsi ini
menggunakan metode kualitatif dengan menganalisis hukum Islam
terhadap fenomena cerai gugat yang terjadi di Surabaya. Dari data
yang dihasilkan, krisis akhlaq, tidak adanya tanggung jawab dan
perselisihan yang terus menerus merupakan penyebab utama cerai
gugat dalam kurun waktu 4 tahun, yakni dari tahun 2002 sampai tahun
2005.
14
Dari beberapa karya tulis ilmiah di atas, penulis melakukan
penelitian yang berbeda, yakni lokasi dan tahun yang berbeda, penulis
melakukan penelitian di Pengadilan Agama Salatiga tentang perkara
cerai talak dan cerai gugat yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga
pada tahun 2015 dan 2016, sehingga tidak mengulangi penelitian yang
sudah ada.
G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian dan pendekatan
Untuk membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian,
penulis menggunakan metode kualitatif dan beberapa pendekatan
untuk menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Secara jelasnya
penulis akan paparkan sebagai berikut:
a. Penelitian kualitatif
Dalam buku Prof. Dr. Lex J. Moleong, M.A dari kutipan
Bogdan dan Taylor (2011: 4) bahwa, “metode kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati”. Dari pengertian tersebut, sudah barang tentu sesuai
dengan judul penelitian yang telah ada ini, peneliti akan berada
latar yang ilmiah sehingga metode yang akan digunakan adalah
dengan melakukan wawancara, observasi, catatan lapangan dan
pemanfaatan dokumen.
15
Penelitian ini termasuk field research, berarti penelitian lapangan
yaitu penelitian obyek di lapangan untuk mendapatkan data,
gambaran yang jelas dan konkrit tentang perkara perceraian yang
telah diputus oleh Pengadilah Agama Salatiga.
b. Pendekatan
Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan karya
ilmiah ini adalah dengan pendekatan deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan
pemecahan masalah yang ada berdasarkan data-data. Penelitian
deskriptif kualitatif menafsirkan dan menuturkan data yang
bersangkutan dengan situasi yang sedang terjadi di dalam
masyarakat, pertentangan dua keadaan atau lebih, hubungan antar
variable, perbedaan antar fakta, pengaruh terhadap suatu kondisi
dan lain-lain. Selain itu pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan normative, yakni sebuah pendekatan yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka, produk-produk hukum,
perbandingan konsep hukum, sejarah ataupun idiologi yang sedang
berkembang di tengah-tengah masyarakat ukum (Soekanto &
Mamudji, 1995: 13-14).
Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan dalam
penelitian ini dimaksudkan menelisik penyebab perkara cerai talak
dan cerai gugat yang ada di PA Salatiga dengan mengumpulkan
data-data perceraian pada periode 2015-2016, guna memperoleh
16
informasi mengenai alasan-alasan pengajuan cerai talak dan cerai
gugat serta implikasi yang timbulkan dari perceraian tersebut.
Diharapkan melaui penelitiaan ini mampu menguak apa yang
menjadi rumusan masalah yang penulis rumuskan sebelumnya
c. Kehadiran Peneliti
Melalui penelitian ini peneliti bertindak sebagai pengumpul
data. Peneliti datang dan secara langsung berinteraksi dengan
subyek penelitian dan melakukan wawancara mendalam dan
aktivitas-aktivitas lainnya demi memperoleh data yang diperlukan
dalam penelitian ini. Peneliti terjun langsung kepada subyek
penelitian, tanpa mewakilkan kepada orang lain, supaya kegiatan
yang berkaitan dengan menggali, mengidentifikasi data informasi
dapat diperoleh secara akurat.
d. Lokasi Penelitian
Adapun untuk lokasi penelitian yaitu berada di Pengadilan
Agama Kota Salatiga, Jl Lingkar Selatan Dukuh Jagalan Rt 14 Rw
05 Cebongan Salatiga, Telp (0298) 322853, Fax (0298) 325243
2. Kebutuhan dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
17
a. Data primer
Data primer: data yang diperoleh dari berbagai sumber, data
yang diperoleh langsung dari penelitian, termasuk apa yang
didengar dan disaksikan oleh penulis.
1) Informan
Adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasinya tentang situasi dan kondisi latar belakang
penelitian. Jadi seorang informan harus memiliki banyak
pengalaman tentang latar belakang penelitian. Seorang
informan berkewajiban secara suka rela menjadi tim anggota
penelitian walaupun hanya bersifat informal, sebagai anggota
tim dengan kebaikanya dan kesukarelaanya ia dapat
memberikan pandangan dari segi orang dalam, tentang nilai-
nilai, sikap, bangunan, proses dan kebudayaan yang menjadi
latar penelitian setempat (Moleong, 2002: 90). Dalam
penelitian ini adalah hakim, panitera dan pegawai di
Pengadilaan Agam Kota Salatiga.
2) Dokumen
Adalah setiap bahan tertulis ataupun film (Nastangin,
2012:13). Sumber tertulis dapat terbagi atas sumber buku dan
majalah ilmiah, sumber arsip, dokumen pribadi, dan dokumen
resmi (Nastangin, 2012:13). Dalam penelitian ini dokumen
yang dimaksud adalah setiap bahan tertulis berupa data-data
18
maupun surat-surat keterangan, baik itu berupa putusan-
putusan pengadilan dan dokumen lain yang berkaitan dengan
penelitian.
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber lain,
hasil kajian buku-buku karya lmiah serta peraturan perundang-
undangan yang erat kaitannya dengan penelitia ini adalah sebagai
berikut :
1) Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974
2) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
3) PP No. 9 Tahun 1975
4) Al-Qur‟an dan Hadits
5) Buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini
6) Arsip-arsip yang mendukung
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data penulis menggunakan
beberapa teknik yakni:
a. Observasi
Dalam buku Dr. Suwartono, M. Hum. (2014: 41) Cara ini
sangat sesuai untuk mengkaji proses dan perilaku. Menggunakan
metode ini berarti menggunakan mata dan telinga sebagai jendela
untuk merekam data. Dilihat dari sejauh mana keterlibatan peneliti/
19
pengumpul data dalam event yang diamati, observasi dibagi
menjadi dua, yaitu:
1) Observasi partisipan/partisipatoris
Dalam obsetvasi jenis ini peneliti adalan bagian dari apa
yang diamati.
2) Observasi nonpartisipan/nonpartisipatoris
Dalam pengamatan ini peneliti tidak berada di dalam
atau melakukan keterlibatan dalam kegiatan yang diamati.
Namun peneliti di sini hanya akan menggunakan observasi
partisipan/ partisipatoris, supaya data yang diperoleh saat
observasi merupakan data yang real di lapangan yakni di
Pengadilan Agama Kota Salatiga.
b. Wawancara
Dalam teknik wawancara penulis melakukan tanya jawab
langsung kepada pihak yang bersangkutan dalam hal ini hakim
pengadilan dan panitera di lingkungan Pengadilan Agama Kota
Salatiga yang mengetahui kondisi sosial dari gejala tersebut untuk
mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya sesuai dengan rumusan
masalah.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, lengger, agenda da sebagainya (Nastangin, 2012:15).
20
Dalam penelitian ini, dokumentasi yang dimaksud adalah
pengambilan beberapa fenomena keluarga yang diteliti, prosesi
penelitian baik itu wawancara maupun observasi.
d. Catatan Lapangan
Catatan lapangan merupakan catatan yang peneliti buat di
lapangan pada saat melaksanakan penelitian yang berisikan informasi
penting apa saja yang didapatkan peneliti berdasarkan apa yang dilihat,
didengar, dirasakan saat melaksanakan observasi lapangan.
e. Analisis Data
Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis,
Dalam penganalisisan data tersebut penulis menggunakan analisis
kualitatif yaitu analisis untuk meneliti kasus setelah terkumpul
kemudian disajikan dalam bentuk urian sebagai berikut:
1) Reduksi Data
Yaitu dengan melakukan proses identifikasi satuan unit.
2) Kategorisasi
Kategorisasi adalah upaya memilah-milah setiap satuan ke
dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan.
3) Sintesisasi
Mensintesisasi berarti mencari kaitan antara satu kategori
dengan kategori yang lainnya agar bertemu titik permasalahannya.
21
4) Menyusun Hipotesis Kerja
Hal ini dilakukan dengan jalan merumuskan suatu
pernyataan yang proporsional (Moleong, 2011: 288-289).
f. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam rangka mendapatkan informasi yang factual dan
terperinci, maka penulis menggunakan beberapa teknik pengecekan
data yang diurai sebagai berikut:
1) Triangulasi
Triangulasi diartikan sebagai sebuah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Artinya
melalui teknik ini data pokok yang ada akan dibandingkan dengan
data pendukung lainnya, baik berdasarkan sumber, metode,
penyidik dan teori.
2) Uraian Rinci
Dalam teknik ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil
penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan
secermat mungkin.
3) Auditing
Auditing adalah proses pemeriksaan kebergantungan dan
kepastian data dalam penelitian. Jadi nantinya segala bentuk
informasi yang didapatkan baik berbentuk catatan ataupun data
lainnya akan sangat bermanfaat dalam proses auditing (Syafi‟i dkk,
2013: 12-13) dikutip dari (Moloeng, 2011:330-338).
22
g. Tahap-tahap Penelitian
Penelitian kualitatif terbagi menjadi tiga tahap, yaitu: tahap pra-
lapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data (Moleong,
2009: 127).
1) Tahap Pra-Lapangan
Tahap pra-lapangan adalah tahapan penelitian sebelum
berada di lapangan. Ada lima kegiatan yang harus dilakukan
peneliti pada tahapan ini. Tahapan ini perlu ditambahkan satu
pertimbangan tahapan lagi yaitu etika penelitian.
Dalam tahap pertama ini, ada lima hal yang harus
dilengkapi oleh penulis:
a) Menyusun rancangan penelitian;
b) Mengurus perizinan;
c) Menjajaki dan menilai lapangan;
d) Memilih dan memanfaatkan informan;
e) Menyiapkan perlengkapan penelitian.
Tahap ini digunakan sebelum peneliti melakukan penelitian
yang sebenarnya. kemudian peneliti membuat rancangan kegiatan
dan memilih salah satu lokasi untuk dijadikan obyek penelitian.
2) Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahapan ini merupakan tahapan penelitian yang
sebenarnya, di mana peneliti terlibat secara langsung dalam proses
penelitian dan datang langsung di lokasi penelitian. Peneliti
23
mencari informasi tentang penelitian yang dilakukan dengan
responden yang dituju. Melakukan kegiatan ini peneliti akan
mengumpulkan data-data yang sesuai fokus penelitian.
Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga
bagian, yaitu:
a) Memahami latar penelitian
b) Adaptasi penelitian
c) Berperan serta sambil mengumpulkan data
3) Tahap Analisis Data
Setelah semua data telah terkumpul, maka peneliti menganalisis
data yang sudah ada dengan teori-teori yang sudah ada, sehingga
dapat disimpulkan beberapa hasil penelitian, analisis data terdapat
beberapa alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu:
a) Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah kegiatan yang mengantisipasi
kegiatan sebelum melakukan penelitian ke lapangan. Penelitian
dirancang sehingga nanti mudah dalam menganalisis dan
sebagai bukti pada penelitian.
b) Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan
perhatian data kasar yang muncul dari catatan tertulis di
lapangan.
24
c) Penyajian Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Melalui data kita akan memahami apa
yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan dalam
mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang
didapatkan dari penyajian tersebut.
d) Kesimpulan
Setelah melalui proses pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, kemudian menarik kesimpulan dari apa yang telah
dianalisis.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan, pemahaman yang jelas dalam
membaca penelitian ini, maka disusunlah sistematika penulisan, yaitu yang
mencakup:
Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menguraikan: latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
penegasan istilah, metode penelitian, sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan Teoritik. Pembahasan ini menguraikan tentang:
Tinjauan umum perceraian dalam Islam, proses mengajukan perceraian,
sebab-sebab perceraian dan akibat perceraian.
25
Bab III Paparan data dan temuan penelitian. Yang dibahas dalam
bab ini yaitu gambaran umum tentang Pengadilan Agama Salatiga,
paparan data perceraian (cerai talak dan cerai gugat) di Pengadilan Agama
Kota Salatiga tahun 2015-2016, faktor-faktor penyebab dan implikasi
perceraian.
Bab IV Pembahasan. Dalam bab ini menguraikan dan menganalisis
hasil penelitian.
Bab V Penutup. Dalam bab ini membahas tentang kesimpulan
penelitian dan saran-saran yang diberikan penulis kepada pihak-pihak
yang terkait dengan penelitian ini.
26
BAB II
Cerai Talak dan Cerai Gugat
A. Tinjauan Umum tentang Perceraian
1. Pengertian Perceraian
a. Pengertian Perceraian dalam Undang-undang Perkawinan No.
1 Tahun 1974
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatur tentang
putusnya perkawinan, sebagai berikut:
1) Pasal 38, menyatakan Perkawinan dapat putus karena:
a) Kematian;
b) Perceraian; dan
c) atas keputusan Pengadilan.
2) Pasal 39, menyatakan:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa
antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami
isteri;
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur
dalam peraturan perundangan tersebut;
27
3) Pasal 40, menyatakan:
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal
ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
b. Pengertian Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur putusnya
hubungan perkawinan sebagai berikut:
1) Putusnya Hubungan Perkawinan
a) Pasal 113 KHI, menyatakan Perkawinan dapat putus
karena:
1) Kematian;
2) Perceraian; dan
3) Atas putusan Pengadilan.
b) Pasal 115 KHI menyatakan:
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
c) Pasal 114 KHI menyatakan:
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian
dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian.
28
c. Pengertian Perceraian dalam Fiqh Islam
1) Pengertian talak
Talak terambil dari kata “ithlak” yang menurut bahasa
artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut syara‟, talak
yaitu: “melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan
suami istri”. Jadi talak adalah menghilangkan ikatan
perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu
istri tidak lagi halal bagi suaminya, sedangkan arti mengurangi
pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi
suami yang mengkibatkan berkurangnya jumlah talak yang
menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi
satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi
dalam talak raj‟i (Ghazaly, 2006: 191). Dalam talak raj‟i
seorang suami masih diperbolehkan ruju‟ kepada istri sebanyak
dua kali, selama masih dalam iddah.
Lafal talak telah ada sejak zaman Jahiliyah. Syara‟
datang untuk menguatkannya bukan secara spesifik atas umat
ini. Penduduk Jahiliyah menggunakannya ketika melepas
tanggungan, tetapi dibatasi tiga kali. Hadis diriwayatkan dari
Urwah bin Zubair berkata: “Dulunya manusia menalak istrinya
tanpa batas dan bilangan.” Seseorang yang menalak istri, ketika
mendekati habis masa menunggu, ia kembali kemudian
menalak lagi begitu seterusnya kemudian kembali lagi dengan
29
maksud menyakiti wanita, Diriwayatkan bahwa seorang laki
laki pada zaaman Jahiliyah menalak istrinya kemudian kembali
sebelum habis masa menunggu. Andaikata wanita di talak
seribu kali kekuasaan suami untuk kembali masih tetap ada.
Maka datanglah seorang wanita kepada aisyah ra. Mengadu
bahwa suaminya menalaknya dan kembali tetapi kemudian
menyakitinya (Azzam, 2009: 255).
Kata “talak” berasal dari bahasa arab berasal dari kata
“thalaqha- yuthaliku- thalaqaqan” yang bermakna melepas
atau mengurai tali pengikat. Baik tali pengikat itu bersifat
kongkrit seperti pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti
tali perkawinan. Kata talak merupakan isim masdar dari kata
thallaqa- yuthaliku- tathliiqan. Jadi kata ini semakna dengan
kata taqliq yang bermakna “irsal” dan “tarku” yaitu melepaskan
dan meninggalkan. Menurut Sabiq (2009: 206) kata talak
berasal dari kata thalaq adalah al-ithlaq artinya melepaskan
atau meninggalkan. Dalam syariat islam, talak artinya
melepaskan ikatan pernikahan atau mengakhirinya.
2) Dalil disyariatkan talak
Dalil disyariatkan talak adalah alqur‟an, snnah dan
ijma‟. Dalam alqur‟an Allah berfirman:
ق ب إ حساان تاسر يح أاوب ماعر وف فاإ مسااك مارتاان الطلا
30
Talak (yang dapat rujuk) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqoroh :229 )
Ulama sepakat bolehnya talak, ungkapanya
menunjukkan bolehnya talak sekalipun makruh. Akad nikah
sebagaimana yang kami sebutkan dilaksanakan untuk
selamanya sampai akhir hayat. Agar suami istri dapat
membangun rumah tangga sebagai pijakan berlindung dan
bersenang-senang dibawah naungannya dan agar dapat
mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang baik (Azzam,
2009: 257).
Oleh karena itu, hubungan antara suami istri adalah
hubungan yang tersuci dan terkuat. Tidak ada dalil yang
menunjukkan kesuciannya dari pada Allah menyebutkan antara
suami istri sebagai janji yang berat (mitsaq ghalizh)
sebagaimana firman Allah yang artinya: “dan mereka (isteri-
isterimu telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”(QS
An-Nisa‟ (4): 21). Jika hubungan antara suami istri begitu kuat,
maka tidak boleh diremehkan dan direndahkan. Segala sesuatu
yang melemahkan hubungan ini dibenci Islam karena
mengakibatkan luputnya manfaat dan hilangnya maslahat
antara pasangan suami istri tersebut.
31
Siapa saja manusia yang menghendaki rusaknya
hubungan antara suami istri, dalam pandangan islam ia keluar
dari padanya dan tidak memiliki sifat kehormatan. Rasulullah
bersabda: Tidak tergolong kami orang yang merusak hubungan
suami istri terhadap suaminya (Azzam, 2009: 257).
Sedangkan ijma‟ menyepakati bahwa hubungan suami
istri adalah hubungan tersuci dan terkuat, maka hubungan ini
tidak boleh diremehkan dan direndahkan. Keduanya harus
berusaha menggapai mawaddah warrahmah dalam menjalani
biduk rumah tangga.
3) Hukum talak dalam Islam
Pada prinsipnya asalnya, talak itu hukumnya makruh
berdasarkan sabda rasulullah Saw
إ لاىالله ت اعاالاىالطلاق الحالال أاب غاض Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah Azza
wjalla adalah talak ( Ibnu Hajar Al’ Asqolany, 733:233
hadist ke 1098)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum talak,
pendapat yang lebih benar adalah makruh jika tidak ada hajat
yang menyebabkannya, karena talak berarti kufur terhadap
nikmat Allah, mengkufuri nikmat Allah haram hukumnya.
Talak tidak halal karena darurat misalnya suami ragu terhadap
perilaku istri atau hati sang suami tidak ada rasa tertarik pada
istri karena Allah Maha Membalikkan segala hati. Jika tidak
ada hajat yang mendorong talak kufur terhadap nikmat Allah
32
secara murni dan buruk adab terhadap suami, hukumnya
makruh.
Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat tentang
hukum talak secara rinci. Menurut mereka hukum talak
terkadang wajib dan terkadang haram dan sunnah. Al-
Baijarami berkata: Hukum talak ada lima yaitu adakalanya
wajib seperti talaknya orang yang bersumpah ila‟ (bersumpah
tidak mencampuri istri) atau dua utusan dari keluarga suami
dan istri, adakalanya haram seperti talak bid‟ah dan adakalanya
sunnah seperti talaknya orang yang lemah, tidak mampu
melaksanakan hak-hak pernikahan.
Demikian juga sunnah, talaknya suami yang tidak ada
orang tua yang bukan memberatkan, karena buruk akhlaknya
dan ia tidak tahan hidup bersamanya, tetapi ini tidak mutlak
karena umumnya wanita seperti itu. Rasulullah telah
mengisyaratkan dengan sabdanya : Wanita yang baik seperti
burung gagak yang putih kedua sayap dan kedua kakinya.
Hadis ini sindiran kelangkaan wujudnya Al-A‟shaamm artinya
putih kedua sayapnya atau kedua kakinya dan atau salah
satunya.
Ulamanya Hanabilah (penganut mazhab Hambali)
memperinci hukum talak sebagai brikut haram, mubah dan
kadang-kadang dihukumi sunnah. Talak wajib misalnya talak
33
dari hakam perkara syiqaq, yakni perselisihan suami istri yang
sudah tidak bisa didamaikan lagi, dan kedua pihak memandang
perceraian sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan
persengketaan mereka. Termasuk talak wajib ialah talak dari
orang yang melakukan ila, terhadap istrinya setelah lewat
empat bulan.
Adapun talak yang diharamkan, yaitu talak yang tidak
diperlukan. Talak ini dihukumi haram karena akan merugikan
suami istri serta tidak ada manfaatnya. Talak mubah terjadi
hanya apabila diperlukan, misalnya karena istri sangat jelek,
pergaulanya jelek atau tidak dapat diharapkan adanya kebaikan
dari pihak istri. Apabila pernikahan dilanjutkan pun tidak akan
mendapat tujuan apa-apa.talak mandub atau talak sunnah, yaitu
talak yang dijatuhkan kepada istri yang sudah keterlaluan yang
tlah melanggar perintah-perintah Allah misalnya meninggalkan
sholat atau kelakuanyasudah tidak dapat diperbaiki lagi atau
istri sudah tidak menjaga kesopanan dirinya.
4) Rukun dan Syarat Talak
Rukun talak ada empat yaitu:
a) Suami (orang yang menjatuhkan talak), syaratnya adalah:
(1) Berakal
(2) Baligh
(3) Atas kemauan sendiri (tidak karena paksaan)
34
b) Istri (yang ditalak),
(1) Mempunyai ikatan pernikahan dengan suami yang
menjatuhkan talak
(2) Masih dalam talak raj‟i yang dijatuhkan sebelumnya
c) Ucapan talak
(1) Talak dengan ucapan. Ucapan talak ada dua macam
yaitu:
(a) Sharih (tegas), yaitu kata-kata yang tidak dapat
diartikan lain jecuali talak. Talak dengan ucapan
kata-kata yang tegas tidak memerlukan niat
(b) Kinayah (sindiran), yaitu kata-kata kalimat yang
dapat berarti talak dapat pula berarti lain. Contoh:
“pulanglah engkau kerumah orang tuamu” maka
jatuhlah talak, tetapi jika suami tidak berniat
menceraikan istrinya, tidaklah jatuh talak bagi
istrinya
(2) Talak dengan tulisan, dapat dijatuhkan juga dengan
tulisan walaupun suami dapat berbicara. Disinipun ada
dua macam yaitu tulisan yang tegas dan tertentu
maknanya serta jelas alamat yang dituju, dan tulisan
yang tidak tertentu maknanya atau tidak jelas alamat
yang dituju.
35
(3) Talak dengan isyarat, hanya berlaku bagi orang yang
tidak dapat berbicara (bisu) dan tidak dapat membaca
dan menulis.
2. Macam-macam dan Cara Pemutusan Hubungan Perkawinan
a. Macam-macam Talak Menurut KHI
Dalam Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) menyebutkan macam-macam talak dan cara
pemutusan sebagaimana berikut:
1) Pasal 117 KHI
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan
cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
2) Pasal 118 KHI
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami
berhak rujujk selamaisteri dalam masa iddah.
3) Pasal 119 KHI
a) talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk
tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya
meskipun dalam iddah.
b) Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1)
adalah :
(1) talak yang terjadi qabla al dukhul;
(2) talak dengan tebusan atahu khuluk;
36
(3) talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
4) Pasal 120 KHI
Talak Ba`in Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga
kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat
dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan
setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan kemudian
terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.
5) Pasal 121 KHI
Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang
dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri
dalam waktu suci tersebut.
6) Pasal 122 KHI
Talak bid`i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang
dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri
dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci
tersebut.
7) Pasal 123 KHI
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan di depan sidang pengadilan.
8) Pasal 124 KHI
Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai
ketentuan pasal 116 KHI.
37
b. Macam-macam Talak menurut Hukum Islam
Secara garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk
kembali, talak di bagi menjadi dua yaitu :
1) Talak Raj‟i
Talak raj‟i yaitu thalaq dimana suami masih mempunyai hak
untuk rujuk kepada istrinya, dimana istri dalam keadaan sudah
digauli. Hal ini sesuai dengan QS Al-Baqarah : 229 yang
berbunyi :
ق ب إ حساان تاسر يح أاوب ماعر وف فاإ مسااك مارتاان الطلا“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
2) Talak Ba‟in
Talak Ba‟in adalah talak yang memisahkan sama sekali
hubungan suami istri. Talak Ba‟in terbagi menjadi dua bagian :
a) Talak ba‟in sughra yaitu talak yang menghilangkan hak-hak
rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan
nikah baru kepada bekas istrinya. Artinya bekas suami
boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri, baik
dalam masa iddahnya maupun sesudah berakhir masa
iddahnya.
Yang termasuk dalam talak ba‟in sughra ialah :
(1) Talak yang dijatuhkan kepada istrinya sebelum
berkumpul
38
(2) Talak dengan penggantian harta atau yang disebut
khulu‟
(3) Talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang di
penjara, talak karena penganiayaan, atau yang
semacamnya
Hukum talak bai‟in sughra :
a. Hilangnya ikatan nikah antara suami dan istri.
b. Hilangnya hak bergaul bagi suami istri termasuk
berkhalwat (menyendiri berdua-duaan)
c. Masing-masing tidak saling mewarisi manakal
meninggal
d. Bekas istri, dalam masa iddah, berhak tinggal di
rumah bekas suaminya dengan berpisah tempat tidur
dan mendapat nafkah
e. Rujuk dengan akad dan mahar yang baru
b) Talak ba‟in kubra, ialah talak yang mengakibatkan
hilangnya hak rujuk kepada mantan istri. Walaupun
keduanya baik suami istri itu masih ingin melakukanya,
baik diwaktu iddah maupun sesudahya. Yang termasuk
dalam thalaq bain kubra adalah : perceraian yang
mengandung unsur sumpah seperti ila, zihar dan li‟an.
Sebagian ulama berpendapat yang termasuk talak ba‟in
39
kubra adalah segala macam perceraian yang mengandung
unsur-unsur seperti : ila, zihar, dan li‟an.
Hukum talak ba‟in kubra :
(1) Hilangnya ikatan nikah antara suami dan istri
(2) Hilangnya hak bergaul bagi suami istri termasuk
berkhalwat (menyendiri berdua-duaan)
(3) Bekas istri dalam masa iddah, berhak tinggal di rumah
bekas suaminya dengan berpisah tempat tidur dan
mendapat nafkah
(4) Suami haram kawin lagi dengan istrinya, kecuali
bekas istri telah kawin dengan laki-laki lain.
Maksudnya apabila seorang suami menceraikan istrinya
dengan talak tiga, maka perempuan itu tidak boleh dikawini lagi
sebelum perempuan tersebut menikah dengan laki-laki lain.
Apabila suami yang telah terlanjur menjatuhkan talak sampai tiga
kali terhadap istri, tiba-tiba menyesal, tidak boleh minta kepada
seseorang untuk mengawini bekas istrinya itu, dengan
permintaan setelah berlalu beberapa waktu dan setelah terjadi
persetubuhan supaya menceraikan istrinya, guna memungkinkan
kawin lagi dengan suami pertama itu. Dalam hubungan ini hadits
Nabi riwayat Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi, Nasai dan Ibnu
Majahdari Ali memperingatkan, “Allah mengutuk laki-laki
muhallil (mengawini perempuan untuk menghalalkan
40
perkawinan kembali dengan bekas suaminya yang lama) dan
laki-laki yang menyuruh orang lain kawin sebagai
muhallilnya(Basyir, 1999: 81)
Ditunjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, talak
dibagi menjadi tiga macam sebagai berikut:
1) Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan
tuntunan as-sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi
empat syarat:
a) Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila dijatuhkan
terhadap istri yang belum pernah digauli tidak termasuk
talak sunni.
b) Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak,
yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut ulama
Syafi‟iyah, perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah
tiga kali suci, bukan tiga kali haid. Talak terhadap istri
yang telah lepas haid (menopause), atau belum pernah
haid, atau sedang hamil, atau karena suami meminta
tebusan (khulu‟), atau ketika istri dalam haid, semuanya
tidak termasuk talak sunni.
c) Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik
dipermulaan, dipertengahan maupun diakhir suci, kendati
beberapa saat lalu datang haid.
41
d) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci
dimana itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami
ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah
diaguli, termasuk talak sunni.
2) Talak Bid‟i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau
bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi
syarat-syarat talak sunni.
Termasuk talak bid‟i:
a) Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid
(menstruasi) baik dipermulaan haid maupun
dipertengahannya.
b) Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci
tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci
dimaksud.
3) Talak la sunni wala bid‟i, yaitu talak yang tidak termasuk
kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid‟i yaitu:
a) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah
digauli.
b) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah
haid, atau istri yang telah lepas haid.
c) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
42
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang
digunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua
macam, sebagai berikut:
1) Talak syarih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata
yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak
atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi.
Beberapa contoh talak syarih ialah seperti suami berkata
kepada istrinya:
a) Engkau saya talak sekarang juga, engkau saya cerai
sekarang juga.
b) Engkau saya firaq sekarang juga,engkau saya pisahkan
sekarang juga.
Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istri dengan talak
syarih, maka menjadi jatuhlah talak dengan sendirinya,
sepanjang diucapkannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar
dan atas kemauannya sendiri.
2) Talak kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata
sindiran, atau samar-samar suami berkata kepada istrinya:
a) Engkau sekarang telah jauh dari diriku
b) Selesaikan sendiri segala urusanmu
c) Janganlah engkau mendekati aku lagi
d) Keluarlah engkau dari rumah ini sekarang juga
e) Pergilah engkau dari tempat ini sekarang juga
43
f) Susullah keluargamu sekarang juga
g) Pulanglang kerumah orang tuamu sekarang
h) Beriddahlah engkau dan bersihkanlah kandunganmu itu
i) Saya sekarang telah sendirian dan hidup membujang
j) Engkau sekarang telah bebas merdeka, hidup sendirian
Ucapan-ucapan tersebut mengandung kemungkinan
cerai dan mengandung kemuungkinan lain, tentang
kedudukan talak dengan kata-kata kinayah atau sidiran ini
sebagaimana dikemukakan oleh Taqiyuddin Al-
Husaini,bergantung kepada niat suami. Artinya, jika suami
dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak
maka menjadi jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan kata-
kata tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak maka talak
tidak jatuh. (Ghazaly, 2006:195)
3. Alasan-alasan Perceraian
Dalam Pasal 116 KHI disebutkan bahwa, perceraian dapat
terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain;
e. sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau isteri.
44
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak;
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
B. Proses Mengajukan Perceraian
1) Proses mengajukan Cerai Talak
Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI menyebutkan
tentang proses mengajukan cerai talak sebagaimana berikut:
a. Pasal 129 KHI
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya
mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai
dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan
itu.
b. Pasal 130 KHI
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan
tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya
hukum banding dan kasasi
c. Pasal 131 KHI
1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan
dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga
puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta
45
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
maksud menjatuhkan talak.
2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua
belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak
serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam
rumah tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya
tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3) Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami
mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan Agama,
dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6
(enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama
tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum
yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur
dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama
membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat
yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada
Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami
untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga
masingmasing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat
disimpan oleh Pengadilan Agama.
46
2) Proses mengajukan Cerai Gugat
a. Pasal 132 KHI
1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi
tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
2) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri,
Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut
kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia
setempat.
b. Pasal 133 KHI
1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116
huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun
terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan
meninggalkan rumah.
2) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau
menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah
kediaman besama.
c. Pasal 134 KHI
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116
huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi
Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan
47
pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta
orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.
d. Pasal 135 KHI
Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai
dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup
menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan
perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan
itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
e. Pasal 136 KHI
(1) Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan
penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya
yang mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat
mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam
satu rumah.
(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama
dapat :
(a) menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
(b) menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
48
bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi
hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
3) Tatacara Perceraian
Berdasarkan pasal 39-41 Undang-Undang Perkawinan
dan dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1975 pasal 14-36,
perceraian ada 2 macam yaitu:
a) Cerai talak
Tatacara tentang seorang suami yang hendak
mentalak isterinya diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 14-
18 yang pada dasarnya dalah sebagai berikut:
(1) Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam yang akan menceraikan isterinya,
mengajukan surat kepada Pengadilan Agama di tempat
tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan
alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar
diadakan sidang untuk keperluan itu. Di sini ditegaskan
bahwa pemberitahuan itu harus dilakukan secara tertulis
dan yang diajukan oleh suami tersebut bukanlah surat
permohonan tetapi surat pemberitahuan. Setelah terjadi
perceraian di muka Pengadilan, maka Ketua Pengadilan
membuat surat keterangan tentang terjadinya
perceraian.
49
(2) Setelah pengadilan menerima surat pembritahuan
tersebut, kemudian setelah mempelajarinya, selambat-
lambatnya 30 hari setelah menerima surat itu,
Pengadilan memanggil suami dan isteri yang akan
bercerai itu, untuk dimintai penjelasan.
(3) Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari suami-
isteri, ternayat memang terdapat alasan-alasan untuk
bercerai dan Pengadilan berpendapat pula bahwa antara
suami-isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi
didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumahtangga,
maka Pengadilan memutuskan untuk mengadakan
sidang untuk menyaksikan perceraian itu.
(4) Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan
berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan
setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak
dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian
yang dilakukan oleh suami itu di dalam sidang tersebut.
(5) Kemudian Ketua Pengadilan memberi surat keterangn
tentang terjadinya perceraian tersebut, dan surat
keterangan tersebut dikirimkan kepada Pegawai
Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan
pencatatan perceraian.
50
(6) Perceraian itu terjadi terhitung pada saat terjadi
perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.
b) Cerai gugat
Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh
adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak
kepada Pengadilan dan perceraian itu terjadi dengan suatu
putusan Pengadilan.
Tatacara perceraian ini diatur dalam P.P. No. 9/1975
pasal 20-36 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:
(1) Pengajuan gugatan
(a) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri
atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat tergugat.
(b) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau
tidak diketahui atau tidak mempunyai kediaman
yang tetap, begitu juga tergugat bertempat kediaman
di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan
di tempat kediaman penggugat.
(c) Demikian juga gugatan perceraian dengan alasan
salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2
tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya,
51
gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat
penggugat.
(2) Pemanggilan
(a) Pemanggilan harus disampaikan kepda pribadi yang
bersangkutan apabila tidak dapat dijumpai,
panggilan disampaikan melalui surat atau yang
dipersamakan dengannya. Pemanggilan ini
dilakukan setiap akan dilakukan persidangan.
(b) Yang melakukan pemanggilan tersebut adalah
jurusita (Pengadilan Negeri) dan petugas yang
ditunjuk (Pengadilan Agama).
(c) Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara
yang patut dan sudah diterima oleh para pihak atau
kuasanya selambat-lambatanya 3 hari sebelum
sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat harus
dilampiri dengan salinan surat gugat.
(d) Pemanggilan bagi tergugat yang tempat
kediamannya tidak jelas atau tidak mempunyai
tempat kediaman tetap, panggilan dilakukan dengan
cara menempelkan gugatan pada papan
pengumuman di Pengadilan dan mengumumkan
melalui satu atau beberapa suratkabar atau mass
media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan yang
52
dilakukan dua kali dengan tenggang waktu satu
bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
(e) Apabila tergugat berdiam di luar negeri
pemanggilannya melalui Perwakilan Republik
Indonesia setempat.
(3) Persidangan
(a) Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian
harus dilakukan oleh Pengadilan selambat-
lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan
di Kepaniteraan. Khusus bagi gugatan yang
tergugatnya bertempat kediaman di luar negeri,
persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 bulan
terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian
itu.
(b) Para pihak yang berpekara dapat menghadiri sidang
atau didampingi kuasanya atau sama sekali
menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa
surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan
lainnya yang diperlukan.
(c) Apabila tergugat tidak hadir dan sudah dipanggil
sepatutnya, maka gugatan itu dapat diterima tanpa
hadirnya tergugat, kecuali kalau gugatan itu tanpa
hak atau tidak beralasan.
53
(d) Pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan
dalam sidang tertutup.
(4) Perdamaian
(a) Pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan
kedua belah pihak baik sebelum maupun selama
persidangan sebelum gugatan diputuskan.
(b) Apabila terjadi perdamaian maka tidak boleh
diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan
alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan
telah diketahui oleh penggugat pada waktu
dicapainya perdamaian.
(c) Dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak
Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang
lain atau badan lain yang dianggap perlu.
(5) Putusan
(a) Pengucapan putusan Pengadilan harus dilakukan
dalam sidang terbuka.
(b) Putusan dapat dijatuhkan walaupun tergugat tidak
hadir, asal gugatan itu didasarkan pada alasan yang
telah ditentukan.
(c) Perceraian dianggap terjadi dengan segala akibat-
akibatnya terdapat perbedaan antara orang yang
beragama Islam dan yang lainnya. Bagi yang
54
beragama Islam perceraian dianggap terjadi sejak
jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedang
bagi agama lain terhitung sejak saat pendaftarannya
pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh
pegawai pencatat(Wasman dkk, 2011:158-163).
C. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Suatu perkawinan menjadi putus adalah karena talak baik talak
mati atau hidup. Sedangkan talak itu sendiri hanya berhak dilakukan oleh
suami. Talak bukan merupakan kesewenang-wenangan seorang suami
sebagai sejata untuk memutus ikatan perkawinan dengan istrinya, namun
jatuhnya talak bisa disebabkan beberapa alasan. Alasann-alasan itu bisa
datang dari suami maupun istri sehingga mengakibatkan talak. Ada
beberapa sebab perceraian yang dirumuskan oleh para ulama klasik.
Diantaranya adalah imam syafi‟I yang menuliskan sebab-sebab putusnya
perkawinan selain talak yaitu khulu’, fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’, dzihar,
li’an yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Khulu’
Menurut bahasa kata khulu’ berarti tebusan. Karena istri
menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang
pernah dia terima. Sedangkan menurut istilah khulu’ berati talak yang
diucapkan istri dengan mengembalikan mahar yang pernah dibayar
55
oleh suaminya. Artinya tebusan itu dibayar kembali kepada suaminya
agar suaminya dapat menceraikannya. Menurut fiqih pun demikian,
khulu’ berarti perceraian yang dilakukan lelaki terhadap istrinya
dengan mendapatkan harta tebusan (iwadh) (Ghazali,2006:220). Dasar
hukum disyari‟atkan khulu’ ialah dalam surat Al-Baqarah ayat 22
sebagai berikut:
ب ءاتيتوىهي شيئب إل أى يخبفب أل يميوب حذود ول يحل لكن أى تؤخزوا هو
فل جبح عليهوب فيوب افتذث به )البمشة: فئى خفتن أل يميوب حذود للا للا
11
Artinya: "Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu
dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak
ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah:22)
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah
untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini
si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan
perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang
diberikan isteri pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.
Syarat sahnya khuluk ialah:
a. Perceraian dengan khuluk itu harus dilaksanakan dengan kerelaan
dan persetujuan suami-isteri.
b. Besar kecilnya uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan
bersama antara suami-isteri.
56
Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai
jumlah uang penebus, Hakim Pengadilan Agama dapat menentukan
jumlah uang tebusan itu.
Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu, tidak usah menanti
isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri, hal ini disebabkan
karena khuluk itu terjadi atas kehendak istri sendiri.
2. Ila’
Kata ila’ menurut bahasa artinya sumpah. Sedangkan menrut
istilah, ila’ adalah sumpah suami dengan menyeut nama Allah atau
sifat-Nya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya
itu, baik secara mutlak atau dibatasi dengan ucapan selamanya, atau
dibatasi empat bulan atau lebih. Dasar hukum pengetahuan ila’ suarat
Al-Baqarah ayat 226-227 sebagai berikut :
حين للزيي يؤلىى هي سآئهن تشبص أسبعت أشهش فئى فآءو فئى للا غفىسس
)112( وإى عضهىا الطلق فئى للا سويع علين )112(
“Kepada orang-orang yang meng-illa’ istrinya, diberi tangguh
empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali
(kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber’azam
(bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”(QS. Al-Baqarah: 226-
227).
Meng-ila’ istri maksudnya : bersumpah tidak akan mencampuri
istri. Dengan sumpah ini seorang wanita menderita, karena tidak
disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Berdasarkan Al-Quran, surat Al-
Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
57
a. Suami yang mengila‟ isterinya batasnya paling lama hanya empat
bulan.
b. Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup
sebagai suami-isteri atau mentalaknya.
Bila sampai batas waktu empat bulan itu habis dan suami
belum mentalak isterinya atau meneruskan hubungan suami-isteri,
maka menurut Imam Abu Hanifah suami yang diam saja itu dianggap
telah jatuh talaknya satu kepada isterinya.
Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan
isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau
kafarah. Kafarah sumpah ila‟ sama dengan kafarah umum yang
terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam
Al-Quran surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat
kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:
a. Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar
yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
b. Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
c. Memerdekakan seorang budak, atau jika tidak sanggup juga, maka
d. Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.
Pembayaran kafarah ini pun juga harus dilaksanakan apabila
suami mentalak isterinya dan merujuknya kembali pada masa „iddah
atau dalam perkawinan baru setelah masa „iddah habis.
58
3. Li’an
Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat
pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang
mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya
perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.
Proses pelaksanaan perceraian karena li‟an diatur dalam Al-Quran
surat An-Nur ayat 6-9, sebagai berikut:
a. Suami yang menuduh isterinya berzina harus mengajukan saksi
yang cukup yang turut menyaksikan perbuatan penyelewengan
tersebut.
b. Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena
hukuman menuduh zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali.
Empat kali dari sumpah itu ia menyatakan bahwa tuduhannya
benar, dan sumpah kelima menyatakan bahwa ia sanggup
menerima laknat Tuhan apabial tuduhannya tidak benar (dusta).
c. Untuk membebaskan diri dari tuduhan si isteri juga harus
bersumpah lima kali. Empat kali ia menyatakan tidak bersalah dan
yang kelima ia menyatakan sanggup menerima laknat Tuhan
apabila ia bersalah dan tuduhan suaminya benar.
d. Akibat dari sumpah ini isteri telah terbebas dari tuduhan dn
ancaman hukuman, namun hubungan perkawinan menjadi putus
untuk selama-lamanya.
59
4. Fasakh
a. Pengertian fasakh
Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti
bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah
satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama. Biasanya yang menuntut
fasakh di pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan yang
diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di pengadilan.
1) Suami sakit gila;
2) Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan
dapat sembuh;
3) Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk
melakukan hubungan kelamin;
4) Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada
isterinya;
5) Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau
kedudukan suami;
6) Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa
berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya
sudah cukup lama.
b. Akibat fasakh
Istri yang diceraikan Pengadilan dengan jalan fasakh tidak
dapat dirujuki oleh suaminya. Apabila mereka akan kembali hidup
bersuami istri harus melakukan akad nikah baru. Fasakh tidak
60
mengurangi bilangan talak yang menjadi hak suami, dengan
demikian suami istri yang dicerailan pengadilan dengan fasakh,
apabila nantinya mereka kembali hidup bersuami istri, suami tetap
mempunyai hak talak tiga kali (Basyir, 1999:87)
5. Syiqaq
Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti
perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu
orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
Menurut Syekh Abdul „Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat
orang yang boleh diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut:
a. Berlaku adil di antara pihak yang berpekara.
b. Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu.
c. Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri.
d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak
yang lain tidak mau berdamai.
6. Taklik Talak
Arti daripada ta‟lik ialah menggantungkan, jadi pengertian
ta‟lik talak ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang
mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang
telah diperjanjikan lebih dahulu.
Di Indonesia pembacaan ta‟lik talak dilakukan oleh suami
setelah akad nikah. Adapun sighat ta‟lik talak yang tercantum dalam
buku nikah dari Departemen Agama adalah sebagai berikut:
61
Sewaktu-waktu saya:
a. Meninggalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut;
b. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan
lamanya;
c. Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;
d. Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan isteri saya itu enam
bulan lamanya.
Kemudian isteri saya tidak rela dan mengadukan halnya kepada
Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan
itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau
petugas tersebut dan isteri saya itu membayar uang sebesar Rp ……..
sebagai „iwald (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu
kepadanya. Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya
kuasakan untuk menerima uang „iwald (pengganti) itu dan kemudian
memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.
Talak satu yang dijatuhkan suami berdasarkan ta‟lik,
mengakibatkan hak talak suami tinggal dua kali, apabila keduanya
kembali melakukan perkawinan lagi. Kalau kita perhatikan jatuhnya
talak dengan ta‟lik ini hampir sama dengan khuluk, sebab sama-sama
disertai uang „iwald dari pihak isteri. Sehingga talak yang dijatuhkan
atas dasar ta‟lik dianggap sebagai talak ba‟in, suami boleh mengambil
isterinya kembali dengan jalan melaksanakan akad-nikah baru.
62
7. Zhihar
Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila‟.
Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu
baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian
itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta
akibat zhihar sama dengan ila‟. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur
dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:
a. Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang
artinya suatu keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa
bagi isterinya itu sama denagn punggung ibunya, sumpah ini
berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.
b. Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak
disenangi oleh Allah dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan
paksa.
c. Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara
suami-isteri. Kalau hendak menyambung kembali hubungan
keduanya, maka wajiblah suami membayar kafarahnya lebih dulu.
d. Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di
bawah ini dengan berurut menurut urutannya menurut kesanggupan
suami yang bersangkutan, yakni:
1) Memerdekakan seorang budak, atau
2) Puasa dua bulan berturut-turut, atau
3) Memberi makan 60 orang miskin.
63
8. Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian
suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain
berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal. Walaupun
dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka
disambung lagi, namun bagi isteri yang kematian suami tidak boleh
segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si isteri
harus menunggu masa iddahnya habis yang lamanya empat bulan
sepuluh hari (Wasman dkk, 2011:152).
D. Akibat Perceraian
Hal-hal apa yang perlu dilakukan oleh pihak isteri maupun suami
setelah terjadi perceraian diatur dalam pasal 41 Undang-Undang
Perkawinan yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya.
2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab
pihak bapak, kecuali dalam kenyataannya bapak dalam keadaan tidak
mampu sehingga tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
64
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas
isteri (Wasman dkk, 2011: 163).
65
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA
SALATIGA
A. Profil Pengadilan Agama Salatiga
1. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga
a. Masa Sebelum Penjajah
Pengadilan Agama Salatiga dalam bentuk yang kita kenal
sekarang ini embrionya sudah ada sejak Agama Islam masuk ke
Indonesia. Pengadilan Agama Salatiga timbul bersama dengan
perkembangan kelompok masyarakat yang beragama Islam di
Salatiga dan Kabupaten Semarang.
Masyarakat Islam di Salatiga dan di daerah Kabupaten
Semarang pada saat itu apabila terjadi suatu sengketa, mereka
menyelesaikan perkaranya melalui Qodli (Hakim) yang diangkat
oleh Sultan atau Raja, yang kekuasaannya merupakan tauliyah dari
Waliyul Amri yakni Penguasa tertinggi. Qodli (Hakim) yang
diangkat oleh Sultan adalah alim ulama' yang ahli di bidang Agama
Islam.
b. Masa Penjajahan Belanda Sampai dengan Jepang
Ketika penjajah Belanda masuk Pulau Jawa khususnya di
Salatiga, dijumpainya masyarakat Salatiga telah berkehidupan dan
66
menjalankan syari'at Islam, demikian pula dalam bidang Peradilan
umat Islam Salatiga dalam menyelesaikan perkaranya
menyerahkan keputusannya kepada para Hakim sehingga sulit bagi
Belanda menghilangkan atau menghapuskan kenyataan ini.
Oleh karena kesulitan pemerintah Kolonial Belanda
menghapus pegangan hidup masyarakat Islam yang sudah
mendarah daging di Indonesia pada umumnya dan khususnya di
Salatiga, maka kemudian pemerintah Kolonial belanda menerbitan
pasal 134 ayat 2 IS (Indische Staatsregaling) sebagai landasan
formil untuk mengawasi kehidupan masyarakat Islam di bidang
Peradian yaitu berdirinya Raad Agama, disampingi itu pemerintah
kolonial Belanda menginstruksikan kepada para Bupati yang
termuat dalam Staatblad tahun 1820 No. 22 yang menyatakan
bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan
rakyat hendaknya diserahkan kepada Alim Ulama.
Sejarah Pengadilan Agama Salatiga terus berjalan sampai
tahun 1940, kantor yang ditempatinya masih menggunakan
serambi Masjid Kauman Salatiga dengan Ketua dan Hakim
Anggotanya diambil dari Alumnus Pondok Pesantren. Pegawai
yang ada pada waktu itu 4 orang yaitu K. Salim sebagai Ketua, K.
Abdul Mukti sebagai Hakim Anggota dan Sidiq sebagai Sekretaris
merangkap Bendahara serta seorang pesuruh.
67
Wilayah Hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Kota
Salatiga dan Kabupaten Semarang terdiri dari 14 Kecamatan.
Adapun Perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara
waris, perkara gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Pada waktu
penjajahan Jepang keadaan Pengadilan Agama Salatiga atau Raad
Agama Salatiga masih belum ada perubahan yang berarti yaitu
pada tahun 1942 sampai dengan 1945 karena pemerintahan Jepang
hanya sebentar dan Jepang dihadapkan dengan berbagai
pertempuran dan Ketua beserta stafnya juga masih sama.
c. Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945,
Pengadilan Agama Salatiga berjalan sebagaimana biasa. Kemudian
pada tahun 1949 Ketua dijabat oleh K. Irsyam yang dibantu 7
pegawai. Kantor yang ditempati masih menggunakan serambi
Masjid Al-Atiq Kauman Salatiga dan bersebelahan dengan Kantor
Urusan Agama Kecamatan Salatiga yang sama-sama mengunakan
serambi Masjid sebagai kantor. Kemudian kantor Pengadilan
Agama Salatiga pindah dari serambi Masjid Al-Atiq ke kantor baru
di Jl. Diponegoro No. 72 Salatiga sampai tanggal 30 April 2009
dan setelah sekian lama kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah
ke gedung baru pada tanggal 1 Mei 2009 di Jl. Lingkar Selatan,
Jagalan, Cebongan, Argomulyo, Salatiga. Kemudian kantor lama
digunakan sebagai arsip-arsip dan rumah dinas. Kemudian pada
68
tahun 1953 Ketua dijabat oleh K. Moh Muslih, pada tahun 1963
Ketua dijabat oleh KH. Musyafa'. Pada tahun 1967 Ketua dijabat
oleh K. Sa'dullah, semua adalah alumnus Pondok Pesantren.
d. Masa Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Sejak kehadiran dan berlakunya Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 pada tanggal 17 Desmber 1970 kedudukan dan posisi
Peradilan Agama semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan
Agama Salatiga, namun umat Islam Indonesia masih harus
berjuang karena belum mempunyai Undang-undang yang mengatur
tentang keluarga muslim. Melalu proses kehadirannya pada akhir
tahun 1973 membawa suhu politik naik. Para ulama dan umat
Islam di Salatiga juga berjuang ikut berpartisipasi, akan
terwujudnya Undang-undang perkawinan, maka akhirnya terbitlah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diundangkan pada
tanggal 2 Januari 1974.
Setelah secara efektif Undang-undang Perkawinan berlaku
yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Pengadilan Agama Salatiga dilihat dari fisiknya masih tetap seperti
dalam keadaan sebelumnya, namun fungsi dan peranannya
semakin mantap karena banyak perkara yang harus ditangani oleh
Pengadilan Agama.
Di Pengadilan Agama Salatiga banyak perkara masuk yang
menjadi kewenangannya. Volume perkara yang naik yaitu perkara
69
Cerai Talak disamping Cerai Gugat dan juga banyak masuk
perkara Isbat Nikah (Pengesahan Nikah), karena di Pengadilan
Agama Salatiga yang wilayahnya sangat luas yaitu meliputi Daerah
Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang.
Maka melalui SK Menteri Agama Nomor 95 tahun 1982
tanggal 2 Oktober 1982 Jo. KMA Nomor 76 Tahun 1983 tanggal
10 Nopember 1982 berdirilah Pengadilan Agama Ambarawa di
Ungaran. Adapun penyerahan wilayah yaitu dilaksanakan pada
tanggal 27 April 1984 dari Ketua Pengadilan Agama Salatiga Drs.
A.M. Samsudin Anwar kepada Ketua Pengadilan Agama
Ambarawa yaitu sebagian wilayah Kabupaten Semarang dan
wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga yang ada sekarang
tinggal 13 Kecamatan yaitu : Yang masuk wilayah Kota Salatiga
ada 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Sidorejo, Kecamatan
Sidomukti, Kecamatan Argomulyo, Kecamatan Tingkir. Yang
masuk wilayah Kabupaten Semarang ada 9 Kecamatan adalah
Kecamatan Bringin, Kecamatan Bancak, Kecamatan Tuntang,
Kecamatan Getasan, Kecamatan tengaran, Kecamatan Susukan,
Kecamatan Suruh, Kecamatan Pabelan, Kecamatan kaliwungu
e. Masa Berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 posisi Pengadilan Agama Salatiga semakin kuat, Pengadilan
Agama berwenang menjalankan keputusannya sendiri tidak perlu
70
lagi melalui Pengadilan Negeri, selain itu hukum acara yang
berlaku di Pengadilan Agama sama dengan hukum acara yang
berlaku di Pengadilan Negeri. Untuk melaksanakan tugas
pemanggilan dan pemberitahuan, sudah ada petugas Jurusita.
Untuk menyesuaikan dengan Undang-undang Pengadilan
Agama ini, Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan bimbingan
dan pembinaan dari Departemen Agama RI dan secara teknis
Yustisial mendapatkan pembinaan dari Mahkamah Agung RI dan
Pengadilan Tinggi Agama.
Struktur organisasi Pengadilan Agama juga disesuaikan
dengan Peradilan Umum dan Peradilan lainnya, sehingga status
kedudukannya menjadi sederajat dengan Peradilan lain yang ada di
Indonesia, dari segi fisik dan jumlah personil Pengadilan Agama
Salatiga masih ketinggalan dari Peradilan Umum, hal ini
disebabkan karena dana yang tersedia untuk sarana fisik kurang
memadai, namun kwalitas sumber daya manusia Pegawai
Pengadilan Agama Salatiga sama dan sejajar dengan Peradilan
Umum bahkan melebihi, karena tenaga yang direkrut harus malalui
seleksi yang ketat dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
Sejak Pengadilan Agama mendapatkan pembinaan dari
Mahkamah Agung RI mulai diadakan pemisahan jabatan antara
Kepaniteraan dan Kesekretariatan begitu juga rangkap jabatan
antara Jurusita dan Panitera Pengganti, bagi para Hakim juga diberi
71
tugas Pengawasan bidang-bidang. Upaya pembenahan di
Pengadilan Agama Salatiga selalu ditingkatkan.
Pengadilan Agama Salatiga sampai tahun 2004 belum
memenuhi standar gedung Pengadilan, yang ada sekarang adalah
bangunan rumah kuno peninggalan zaman Belanda, selain itu balai
sidang dan ruang-ruang lainnya sangat sempit.
Demikianlah keadaan sejarah Pengadilan Agama Salatiga
sampai saat ini sehingga untuk menyesuaikan dengan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai Court of Law perlu
pembenahan lebih lanjut.
2. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga
a. Staatsblaad tahun 1882 Nomor 152 tentang pembentukan
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura.
b. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI KMA Nomor 76 tahun
1983 Tanggal 10 Nopember 1983 tentang penetapan perubahan
wilayah Hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Propinsi
dan Pengadilan Agama serta Pengadilan Agama/Mahkamah
Syariah.
3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Salatiga
a. Visi
Terwujudnya Pengadilan Agama Salatiga yang Agung
72
b. Misi
1. Meningkatkan kualitas pelayanan dibidang Hukum yang prima
berbasis Teknologi Informasi
2. Meningkatkan kualitas aparatur Peradilan Agama yang
Profesional
3. Meningkatkan martabat dan wibawa Pengadilan Agama
Salatiga.
4. Struktur Pengadilan Agama Salatiga
73
5. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga
a. Kompetensi Relatif
Kompetensi Relatif adalah kekuasaan atau dasar wilayah
hukum dan dapat diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang
satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaanya dengan kekuasaan
Pengadilan yang mana dan jenis sama tingkatannya. Kekusaan
relatif ini diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989. Sehingga, Pengadilan Agama mempunyai wilayah
hukum tertentu atau mempunyai “yuridiksi relatif” tertentu dalam
hal ini meliputi Kotamadya, atau satu Kabupaten, atau dalam
keadaan tertentu sebagai pengecualian.
Adapun kewenangan relatif Pengadilan Agama Salatiga
adalah meliputi Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang yang
terdiri dari tiga belas Kecamatan yang terdiri dari dua ratus tujuh
puluh sembilan Desa serta meliputi wilayah Kota Salatiga dengan
empat Kecamatan.
Adapun empat kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah
Kota Salatiga adalah Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Sidomukti,
Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Tingkir. Sedangkan
sembilan kecamatan wilayah Kabupaten Semarang yang masuk
dalam kewenangan relatif Pengadilan Agama Salatiga adalah
Kecamatan Bringin, Kecamatan Bancak, Kecamatan Tuntang,
74
Kecamatan Getasan, Kecamatan Tengaran, Kecamatan Susukan,
Kecamatan Suruh, Kecamatan Pabelan dan Kecamatan Kaliwungu.
b. Kompetensi Absolut
Kompetensi (kewenangan) absolut adalah weewenang suatu
peradilan yang sifatnya mutlak dan dapat diartikan kekuasan
Pengadilan yang sehubungan dengan jenis perkara atau jenis
Pengadilan atau tingkat Pengadilan dalam perbedaannya dengan
jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan lainnya.
Tugas pokok dari Pengadilan Agama sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 49 dan 50 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang
yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari‟ah.
B. Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga
Perceraian merupakan dinamika rumah tangga bagi siapa saja yang
menjalaninya. Perceraian ada karena adanya perkawinan. Meskipun
perceraian bukanlah tujuan dari perkawinan sesuai yang diamanatkan
undang-undang, tapi perceraian merupakan sunnatullah dengan beragam
penyebab yang melatar belakanginya. Pada prinsipnya, suatu perkawinan
dapat putus dan berakhir karena berbagai hal. Dalam Undang-undang
pasal 38 UU No. 1 tahun 1974, putusnya perkawinan disebabkan karena
75
tiga hal yaitu: kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
Sebenarnya perceraian bisa dihindari jika suatu pasangan suami istri sama-
sama menjalankan tanggungjawab masing-masing, maka akan terwujud
ketentraman dan ketenangan hati dalam upayanya menyempurnakan
kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian tujuan hidup
berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntunan agama dan amanat
Negara, yaitu sakinah, mawaddah warahmah.
Perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama Salatiga
untuk diproses secara hukum terbilang cukup signifikan dengan jumlah
yang semakin meningkat pada tiap tahunnya. Padahal kita ketahui bahwa
Pengadilan Agama, khususnya Pengadilan Agama Salatiga sendiri dalam
azasnya selalu mempersulit perceraian dan lebih memprioritaskan pada
perdamaian baik melalui mediasi maupun lainya mediasi. Selain itu proses
perceraian trlebih berkenaan masalah cerai gugat, di Indonesia harus
dilakukan di depan lembaga taklik talak yang dalam hal ini adalah
Pengadilan Agama. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang pasal
39 UU No. 1 tahun 1974 yang isinya memuat ketentuan imperative bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha mendamaikan.
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, secara nyata diketahui
bahwa angka perceraian di Indonesia menduduki peringkat tertinggi
dibanding Negara Islam lainnya (Bahari, 2012:12) dikutip dari Skripsi
Imam Syafi‟I (2015: 85). Gejolak yang mengancam kehidupan struktur
76
keluarga ini semakin bertambah jumlahnya. Hal yang paling memilukan
adalah perceraian menigkat dua kali lipat, setiap 100 orang yang menikah,
10 pasangan diantaranya bercerai. Hal ini menunjukkan bahwa telah ada
pergeseran nilai-nilai dalam kehudupan masyarakat.
Pada zaman dahulu perceraian adalah hak mutlak seorang suami
yang hendak menceraikan istrinya dengan sebab yang beragam
diantaranya karena permasalahan keluarga yang sudah dirasa tidak ada
keharmonisan didalamnya. Selain itu, dahulu istri takut dan khawatir jika
diceraikan oleh suaminya, namun kenyataannya sekarang yang terjadi
menunjukkan bahwa sebagian besar istrilah yang lebih banyak
mengajukan cerai ke Pengadilan Agama. Dalam Kompilasi hukum Islam
membedakan cerai gugat dengan khulu‟. Namun demikian ia mempunyai
kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah
keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak isteri. Lain halnya
perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwadl
(uang tebusan) menjadi dasar akan terjadinya khulu‟ uang iwad (uang
tebusan) menjadi dasar akan terjadinya khulu‟ atau perceraian.
Adapun dalam praktiknya yang terjadi di Pengadilan Agama
Salatiga, perkara yang diputus/ diselesaikan pada Tahun 2015 dan 2016,
menunjukkan bahwa cerai gugat lebih mendominasi jika dibandingkan
denga cerai talak. Pengadilan Agama Salatiga Pada tahun 2015 telah
menangani cerai talak sebanyak 379 perkara, sedangkan cerai gugat
77
sebanyak 945 perkara, kemudian tahun 2016 cerai talak sebanyak 368
perkara, sedangkan cerai gugat sebanyak 948 perkara.
Dari gambaran data di atas bisa diketahui bahwa perkara cerai pada
tahun 2015 maupun 2016, cerai talak lebih sedikit daripada perkara cerai
gugat, sehingga perempuan lah yang banyak mengajukan gugatan
perceraian ke Pengadilan Agama Salatiga
Dari perkara perceraian yang masuk di Pengadilan Agama Salatiga,
pengajuan perceraian yang ada lebih didominasi dari wilayah Kabupaten
Semarang. Mengingat kewenangan relatif Pengadilan Agama Salatiga
terdiri dari 13 kecamatan yang terbagi atas Kota Salatiga yang hanya ada 4
kecamatan yaitu Sodorejo, Sidomukti, Argomulyo dan Tingkir. Sedangkan
sisanya adalah wilayah Kabupaten Semarang sebanyak 9 Kecamatan yaitu
Kecamatan Bringin, Bancak, Tuntang, Getasan, Tengaran, Susukan,
Kaliwungu, Suruh dan Pabelan. Kewenangan relatif Pengadilan Agama
Salatiga ini berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung RI Np.
KMA/010/SK/III/1996 tanggal 6 Maret 1996.
Dari hasil wawancara tanggal 27 Februari 2017 dengan bapak Drs.
Salim, S.H., M.H. yang merupakan salah satu Hakim Pengadilan Agama
Kota Salatiga, menyampaikan bahwa dalam perkara perceraian harus
dibedakan antara faktor penyebab perceraian dengan alasan perceraian.
Setiap orang yang mau bercerai harus mempunyai alasan-alasan, hal
tersebut didasarkan pada, Pasal 39 ayat (2) menyatakan:
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
78
Adapun alasan perceraian dijelaskan pada pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau
isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Dari alasan-alasan perceraian tersebut diatas yang paling banyak
digunakan dalam gugatan perceraian yang dilayangkan ke Pengadilan
Agama termasuk di Pengadilan Agama Salatiga adalah huruf (f),
ringkasnya yaitu terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
C. Temuan Penelitian
Dari penelitian yang telah dilakukan di Pengadilan Agama
Salatiga, ada beberapa hal yang ditemukan berdasarkan hasil observasi,
wawancara dan pengkajian data-data perceraian tahun 2015-2016.
Diantara temuan penelitian tersebut, diantaranya:
79
Pertama, perihal data perkara yang masuk. Jumlah perkara pada
Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015 sebanyak 1870 perkara terdiri dari
sisa perkara tahun 2014 sebanyak 370 perkara dan perkara yang diterima
pada tahun 2015 sebanyak 1500 perkara. Perkara yang diputus tahun 2015
sebanyak 1478 perkara, maka sisa perkara yang belum diputus tahun 2015
sebanyak 333 perkara. Pada tahun 2016 ini prosentase tingkat
penyelesaian perkara mencapai 83%.
Adapun jumlah perkara pada Pengadilan Agama Salatiga tahun
2016 sebanyak 1790 perkara terdiri dari sisa perkara tahun 2015 sebanyak
333 perkara dan perkara yang diterima pada tahun 2016 sebanyak 1457
perkara. Perkara yang diputus tahun 2016 sebanyak 1503 perkara, maka
sisa perkara yang belum diputus tahun 2016 sebanyak 287 perkara. Pada
tahun 2016 ini prosentase tingkat penyelesaian perkara mencapai 84 %.
Kedua, berkenaan data perkara yang diputus, adapun perkara
perceraian yang diputus/diselesaikan pada tahun 2015 dan 2016 dapat
dirinci menurut jenis perkaranya sebagai berikut :
Tabel 3.1 Jenis Perkara yang diputus
No Jenis Perkara 2015 2016
1 Cerai Talak 379 368
2 Cerai Gugat 945 948
Jumlah 1.326 1.319
Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama Salatiga (2016:39)
Adapun rincian cerai talak dan cerai gugat di Pengadilan Agama
Salatiga adalah sebagai berikut:
80
1. Cerai Talak di Pengadilan Agama Salatiga
Rincian data cerai talak di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun
2015-2016 adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2 data cerai talak
No Bulan 2015 2016
Cerai Talak Cerai Talak
1 Januari 35 37
2 Februari 32 45
3 Maret 37 37
4 April 48 26
5 Mei 26 32
6 Juni 29 33
7 Juli 29 13
8 Agustus 23 30
9 September 33 39
10 Oktober 30 25
11 November 31 27
12 Desember 26 24
Jumlah 379 368
2. Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga
Adapun rincian data cerai gugat di Pengadilan Agama Salatiga
pada tahun 2015-2016 adalah sebagai berikut:
Tabel 3.5 data cerai gugat
No Bulan Tahun 2015 Tahun 2016
Cerai Gugat Cerai Gugat
1 Januari 82 95
2 Februari 75 82
3 Maret 79 79
4 April 90 81
5 Mei 71 78
6 Juni 68 74
7 Juli 56 48
8 Agustus 77 95
9 September 94 88
10 Oktober 84 77
11 November 79 82
12 Desember 90 69
Jumlah 945 948
81
Dari tabel di atas bisa diketahui perkara cerai talak lebih sedikit
daripada perkara cerai gugat, sehingga dapat diketahui bahwa banyak
perempuan yang mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama
Salatiga.
Ketiga, penyebab perceraian dari alasan-alasan permohonan baik
cerai talak maupun cerai gugat. Berdasarkan surat gugatan yang ada,
hampir semua dalam surat gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan
Agama Salatiga pastinya mempunyai alasan, adapun rata-rata petitum
dalam surat gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Agama Salatiga
beralasankan:
1) Krisis akhlak/ moral
Salah satu faktor yang berkontribusi dalam memutuskan ikatan
perkawinan adalah krisis akhlak. Ini tercermin pada adanya 14 putusan
tahun 2015 yang alasanya karena krisis akhlak. Adapun salah satu
putusan dalam isi petitumnya menyebutkan bahwa si istri sering pergi
dari rumah tanpa pamit kepada suami, melontarkan kata yang tidak
pantas diucapkan kepada suami yaitu bajingan dan asu, hal itu terjadi
pada perkara nomor: 0197/Pdt.G/2015/PA.Sal. Pada tahun 2016 dalam
laporan Pengadilan Agama Salatiga tidak ada petitum yang
beralasankan krisis akhlak.
2) Faktor ekonomi
Permasalahan ekonomi merupakan perkara yang rumit apabila
diantara salah satu pasangan tidak mau memahaminya. Dalam kasus
82
cerai talak, bisa penulis ambil contoh umumnya istri telah diberikan
nafkah oleh suami, akan tetapi tidak merasa cukup, yang membuat
suami tidak kuat dan akhirnya menceraikan talak istrinya ke
Pengadilan Agama. Adapun contoh perkaranya yaitu, nomor:
0611/Pdt.G/2015/PA.Sal. Faktor yang menjadi andalan istri untuk
mengajukan gugatannya dalam hal ini cerai gugat ke Pengadilan
Agama adalah tidak tercukupinya nafkah, dan suami malas bekerja.
Adapun contoh putusan pada perkata ini adalah pada nomor:
0194/Pdt.G/2016/PA.Sal.
3) Tidak ada tanggung jawab
Tanggung jawab adalah suatu hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi dalam sebuah rumah tangga, baik itu suami maupun istri.
Namun dalam kasus ini kelalaian seorang istri yang tidak mau
menunaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam rumah
tangga. Contoh dari kasus ini terdapat dalam putusan nomor:
0017/Pdt.G/2016/PA.Sal. Adapun dalam kasus cerai gugat, suami
seharusnya menjadi imam yang baik bagi keluarganya malah tidak
menjadi sebaliknya, sehingga melalaikan tanggung jawabnya di dalam
rumah tangga. Seorang istri dengan kesadaran hukum dan
keberaniannya berani menggugat cerai suaminya jikalau tidak
keterlaluan. Dalam petitum yang diajukan istri ke Pengadilan Agama
biasanya yaitu suami tidak memperdulikan/ mengurusi istrinya dan
suami juga tidak pernah memberikan nafkah wajib kepada istri.
83
Adapun contoh dari perkara ini adalah pada nomor:
0289/Pdt.G/2016/PA.Sal.
4) Gangguan pihak ketiga
Dalam perkara ini alasan yang sering diajukan dalam surat
gugatan cerai talak adalah istri menjalin hubungan dengan laki-laki
lain. Alasan tersebut ada pada perkara nomor:
1227/Pdt.G/2015/PA.Sal. Adanya pihak ketiga dalam sebuah rumah
tangga, sering menjadi sebab putusnya sebuah ikatan perkawinan.
Dalam perkara cerai gugat disini petitum yang disampaikan dalam
gugatan adalah suami menjalin hubungan cinta dengan wanita lain dan
telah diketahui sendiri oleh istri dan membuat istri sakit hati. nomor
perkaranya adalah 006/Pdt.G.2016/PA.Sal.
5) Tidak adanya keharmonisan
Keharmonisan rumah tangga adalah sesuatu yang sangat
didambakan oleh setiap pasangan yang akan dan telah menikah.
Namun apa jadinya jika dalam rumah tangga tersebut tidak ditemui
keharmonisan dalam menjalinnya. Pasti akan ada salah satu yang tidak
sanggup menjalaninya. Dalam kasus cerai talak ini ada alasan di dalam
isi petitumnya yang menyebutkan dalam rumah tangga tersebut selalu
ada pertengkaran yang penyebabnya karena istri tidak mau
berkomunikasi dengan baik dengan Pemohon, setiap ada masalah kecil
selalu menjadi pertengkaran yang berkepanjangan antara Pemohon dan
Termohon dan tidak pernah ada penyelesaian yang baik. Adapun salah
84
satu perkaranya adalah pada nomor: 1168/Pdt.G/2015/PA.Sal. Ketidak
harmonisan di sini disebabkan kurang atau bahkan tidak adanya
komunikasi yang sejalan seolah berjalan masing-masing. Adapun
kasus dari perkaranya adalah nomor: 1104/Pdt.G/2015/PA.Sal.
Faktor di atas adalah sebagai alasan yang menyebabkan perceraian
yang didaftarkan dan telah diputuskan oleh Pengadilan Agama Salatiga.
Baik suami atau istri berani mengambil tindakan untuk memutuskan
dengan tegas agar hak-haknya dapat terlindungi melalui pengajuan baik
cerai talak maupun cerai gugat kepada Pengadilan Agama Salatiga. Karena
masyarakat sekarang sadar bahwa hukum di Indonesia menjamin dan
memberikan perlindungan atas tindakan yang tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan peri keadilan sebagaimana termaktub dalam Undang-
undang Dasar 1945 dan tuntunan ajaran agama Islam yang ada.
Keempat, Implikasi Cerai Talak dan Cerai Gugat di Pengadilan
Agama Salatiga. Dari penelitian yang telah dilakukan di Pengadilan
Agama Salatiga, ada beberapa hal yang ditemukan berdasarkan hasil
observasi dan pengkajian data-data perceraian tahun 2015-2016. Diantara
temuan penelitian menunjukkan bahwa implikasi perceraian sejatinya
memang harus ditanggung oleh mantan suami dan mantan istri. Adapun
implikasi perceraian di Pengadilan Agama Salatiga adalah sebagai berikut:
1. Jatuhnya talak atau putusnya suatu perkawinan
Dalam kaitan diputuskannya perkawinan oleh majelis Hakim di
Pengadilan Agama Salatiga, maka ada beberapa macam pertimbangan
85
yang diputuskan oleh Majelis Hakim, diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Talak satu raj‟i
Talak satu raj‟i ini pada umumnya adalah diputuskan oleh
Majelis Hakim pada perkara cerai talak atau perceraian yang
diajukan oleh pihak suami. Adapun salah satu perkaranya dapat
dicontohkan pada perkara nomor: 0017/Pdt.G/2016/PA.Sal.
b. Talak satu ba‟in sugro
Talak satu ba‟in sugro adalah implikasi putusan dari
perkara cerai gugat yang diajukan pihak istri ke Pengadilan Agama
Salatiga. Dan salah satu contoh putusan pengadilan yang
memutuskan talak satu ba‟in sugro adalah pada perkara nomor:
006/Pdt.G.2016/PA.Sal.
c. Talak satu khul‟i
Konsekuensi hukum yang harus ditunaikan ketika majelis
Hakim menjatuhkan putusan dengan talak satu khul‟i adalah
dengan membayar iwadl sebesar Rp. 10.000,-. Talak satu khul‟i ini
diputuskan oleh majelis Hakim dari istri yng mengajukan gugatan
perceraian. Adapun salah satu perkaranya dicontohkan pada
perkara nomor: 0194/Pdt.G/2016/PA.Sal.
2. Dialaminya masa iddah pada perempun (istri/ mantan istri) yang
ditalak.
86
3. Pemberian nafkah mut‟ah oleh mantan suami kepada mantan istri.
Pasca diputuskannya perkara perkara perceraian oleh Majelis Hakim
maka dalam suatu perkara, Majelis Hakim memutuskan sekalian
tentang pemberian nafkah mut‟ah.
4. Konsekuensi perceraian selanjutnya adalah tentang hak pengasuhan
anak, karena hak pengasuhan anak bisa terjadi kerumitan apabila tidak
diatur kemudian.
87
BAB IV
ANALISIS ALASAN DAN IMPLIKASI PERCERAIAN
A. Gambaran Perkara Cerai Talak dan Cerai Gugat di Pengadilan Agama
Salatiga
Perceraian merupakan bagian dari dinamika rumah tangga. Perceraian
ada karena adanya perkawinan. Walaupun tujuan perkawinan bukan
perceraian sebagaimana amanat Undang-undang, tapi perceraian merupakan
sunnatullah dengan beragam penyebab yang melatar belakanginya. Pada
prinsipnya, suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal.
Dalam Undang-undang Pasal UU No. 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan
disebabkan karena tiga hal yaitu : kematian, perceraian, dan atas putusan
pengadilan. Sebenarnya perceraian bisa dihindari jika suatu pasangan suami
istri sama-sama menjalankan tanggung jawab masing-masing, maka akan
terwujud ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan
hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan
terwujud sesuai dengan tuntunan agama dan amanat Negara yaitu sakinah
mawaddah, warahmah.
Wujud dari tanggung jawab sebagai suami istri itu sandiri adalah
keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri, sebagaimana dijelaskan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam BAB IV Pasal 30-34. Pasal 30
disebutkan, “suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Hal ini
88
menunjukkan bahwa harus ada semacam sinergisitas tanggung jawab yang
harus dipikul bersama oleh suami dan istri dalam membina ruumah tangga
yang baik. Sehingga konsep rub „al-jinayat dalam fikih munakahat, yaitu
menata pengamanannya dalalm suatu tertib pergaulan yang menjamin
ketentraman pasangan suami-istri dapat terealisasi secara sempurna.
Meskipun konflik keluarga tidak selamanya terselesaikan secara damai
tanpa harus bercerai, namun jalan perceraian itu adalah sebuah perbuatan yang
legal dan sah-sah saja untuk dilakukan, akan tetapi perceraian di dalam Islam
amatlah tidak dianjurkan, karena Islam tetap memandang bahwa peerceraian
adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum Islam,
sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW:
Artinya: “Dari Ibnu umar ia berkata : Rasulullah SAW telah bersabda
“Sesuatu yang halal yang amat dibenci oleh Allah ialah Talak”
(Rasjid, 2011: 401)
Perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama Salatiga untuk
diproses secara hukum terbilang cukup signifikan dengan jumlah yang
semakin bertambah tiap tahunnya. Padahal kita tahu bahwa Pengadilan
Agama, khususnya Pengadilan Agama Salatiga sendiri dalam azasnya selalu
mempersulit perceraian dan lebih memprioritaskan perdamaian baik melalui
cara mediasi maupun lainnya mediasi. Selain itu, dalam proses perceraian
terlebih berkenaan masalah cerai gugat, di Indonesia harus dilakukan di depan
lembaga taklik talak yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama,
sebagaimana telah diatur Undang-undang Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974
89
yang isinya memuat ketentuan imperative bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha mendamaikan.
Dalam 5 tahun terakhir, angka perceraian di Indonesia meningkat lebih
dari 40%. Sekitar 2 juta pasangan menikah tiap tahunnya dan sekitar 200.000
pasangan bercerai tiap tahun. Angka ini 10% dari angka pernikahan itu
sendiri. Umumnya terjadi pada pernikahan yang masih berusia muda (di
bawah 5 tahun). Alasan perceraian yang paling tinggi ialah ketidak
harmonisan (Damayanti: online). Angka perceraian di Indonesia menduduki
peringkat tertinggi dibanding Negara Islam lainnya (Bahari, 2012: 12).
Gejolak yang mengancam kehidupan struktur keluarga ini semakin bertambah
jumlahnya. Ironisnya dari berbagai kasus perceraian di Pengadilan Agama
Salatiga hampir 70% adalah gugatan perceraian oleh istri kepada suaminya,
sedang sisanya adalah cerai talak dari permohonan suami. Hal ini
menunjukkan bahwa telah ada semacam pergeseran nilai-nilai dalam
kehidupan masyarakat.
Dahulu perceraian adalah hak mutlak dari seorang suami yang
dijatuhhkan kepada istrinya dengan sebab yang beragam di antaranya karena
permasalahan sudah tidak adanya rasa ketenangan dan keharmonisan dalam
rumah tangga dan lain sebagainya. Selain itu, dahulu istri paling khawatir atau
takut jika diceraikan oleh suaminya, namun kenyataan sekarang yang terjadi
menunjukkan bahwa sebagian besar istrilah yang lebih banyak mengajukan
cerai ke Pengadilan Agama. Pergeseran nilai ini merupakan fenomena sosial
90
yang menyangkut kultur budaya di masyarakat yang menganggap lebih
modern dan mapan. Keberanian istri dalam mengajukan gugatan cerai
mengindikasikan perkembangan positif kesadaran perempuuan akan hak-
haknya yang mulai meningkat. Dari yang dulunya masih takut-takut ketika
hak-hak dirinya apabila dalam rumah tangganya merasa dizhalimi oleh suami,
maka perempuan tersebut tidak merasa enggan lagi untuk melaporkan ketidak
adilan dan kekerasan yang terjadi pada rumah tangganya, bahkan gugat cerai
istri kepada suami sudah menjadi hal yang dipandang biasa pada masa
sekarang.
Dalam praktiknya yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga,
percerain yang dilakukan oleh istri atau yang lebih dikenal dengan cerai gugat
mengalami kenaikan atau bahkan lebih tinggi volumenya dibandingkan
dengan perkara cerai talak. Melonjaknya angka perceraian terlihat jelas sekali
mulai tahun 2015 hingga 2016. Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2015
telah menangani perkara cerai talak sebanyak 379 perkara, sedangkan cerai
gugat sebanyak 945 perkara, kemudian tahun 2016 cerai talak sebanyak 368
perkara, sedangkan cerai gugat sebanyak 948 perkara. Dari data perkara
perceraian tahunan di Penadilan Agama Salatiga tersebut dapat kita lihat,
bahwa dalam kurun waktu dua tahun telah terjadi kenaikan perceraian yang
terjadi pada cerai gugat namun cerai talak mengalami penurunan. Terjadinya
penurunan perkara cerai talak di tahun 2016 dari tahun sebelumnya namun
berbanding terbalik dengan perkara cerai gugat yang mengalami penambahan
perkara yang melebihi separuh dari perkara cerai talak. Fenomena ini sungguh
91
sangat disayangkan sekali ketika kasus perkara cerai yang diajukan suami
kepada istri tergolong rendah kenaikan tiap tahunnya, namun melihat perkara
cerai yang diajukan istri kepada suami justru mengalami kenaikan berkali
setiap tahunnya sebagaimana pada keterangan di atas. Untuk lebih mudahnya,
berikut adalah grafik perkara perceraian di Pengadilan Agama Salatiga;
Gambar 4.1. Data perceraian di Pengadilan Agama Salatiga
B. Analisis Alasan Cerai Talak dan Cerai Gugat di Pengadilan Agama
Salatiga
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, sebagaimana keterangan
yang diberikan dari hasil wawancara tanggal 27 Februari 2016 dengan bapak
Drs. Salim, S.H., M.H. yang merupakan salah satu hakim Pengadilan Agama
Kota Salatiga, menyampaikan bahwa dalam perkara perceraian harus
92
dibedakan antara faktor penyebab perceraian dengan alasan perceraian. Setiap
orang yang mau bercerai harus mempunyai alasan-alasan, hal tersebut
didasarkan pada, Pasal 39 ayat 2 menyatakan “untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun
sebagai suami isteri”.
Dari pemaparan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, faktor
perceraian yang menjadi alasan diputuskannya suatu perkara pada tahun 2015-
2016, dilatarbelakangi karena masalah:
1. Krisis Akhlak/ moral
2. Faktor Ekonomi
3. Tidak adanya tanggungjawab dalam rumah tangga
4. Penganiayaan atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
5. Gangguan/ hadirnya pihak ketiga
6. Tidak ada keharmonisan
Berdasarkan pemaparan data yang telah disampaikan di atas
bahwasanya perkara perceraian yang masuk di PA Salatiga, alasan tersebut
merupakan masalah-masalah yang dominan yang dicantumkan dalam setiap
gugatan yang dilayangkan ke PA Salatiga dan telah diputuskan di Pengadilan
Agama Salatiga baik pada tahun 2015 maupun 2016.
Berkaitan dengan alasan perceraian tersebut di atas, dalam pasal 39
ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 yang telah dijabarkan pada pasal 19 huruf a PP
No. 9 tahun 1975 menegaskan bahwa perceraian harus disertai dengan alasan-
alasan hukum, yaitu:
93
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain diluar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
6. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
Sehingga sudah jelas bahwasanya perkara-perkara perceraian yang
terdaftar di Pengadilan Agama Salatiga dengan faktor yang melatar
belakanginya sebagaimana yang tercantum dalam petitum surat gugatan yang
ada, telah melanggar pasal 39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 yang telah
dijabarkan dalam pasal 19 huruf a PP No. 9 tahun 1975.
Dalam fiqh Islam sendiri dijelaskan bahwasanya perceraian telah
disyariatkan. Selain talak, ada sebab lain yang bisa memutuskan ikatan
perkawinan yaitu khulu‟, fasakh, syiqaq, nusyus, ila‟ dzihar, dzihar. Hal ini
bisa dijadikan sebab yang menjadikan perkawinan bisa putus.
94
Dari pemaparan faktor di atas adalah sebagai alasan yang
menyebabkan perceraian yang didaftarkan dan telah diputuskan oleh
Pengadilan Agama Salatiga. Baik suami atau istri berani mengambil tindakan
untuk memutuskan dengan tegas agar hak-haknya dapat terlindungi melalui
pengajuan baik cerai talak maupun cerai gugat kepada Pengadilan Agama
Salatiga. Karena masyarakat sekarang sadar bahwa hukum di Indonesia
menjamin dan memberikan perlindungan atas tindakan-tindakan yang tidak
sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan sebagaimana termaktub
dalam Undang-undang Dasar 1945 dan tuntunan ajaran agama Islam yang ada.
Dari pemaparan pada bab sebelumnya bahwa factor yang melatar
belakangi terjadinya perceraian adalah:
a. Krisis Akhlak/moral
Dalam krisis akhlak terdapat beberapa alasan yang mendasari
pemohon atau penggugat, memohon atau menggugat termohon atau
termohon di Pengadilan Agama Salatiga. Jika dikaitkan dengan alasan
perceraian yang termaktub dalam pasal 116 KHI, maka krisis akhlak
tercermin pada ayat a, yaitu “…berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan”. Krisis akhlak yang
terjadi dalam rumah tangga terjadi karena kurang adanya bimbingan
agama atau bisa dikatakan lemah imannya. Karena orang yang kuat
imannya tidak akan mengalami yang namanya krisis akhlak, hal tersebut
seperti yang dicontohkan oleh rasulullah saw, bagaimana baiknya dengan
istri-istri beliau.
95
b. Faktor Ekonomi
Permasalahan ekonomi menjadi alasan yang sering juga banyak
digunakan dalam petitum gugatan ke Pengadilan Agama. Hal ini
disebabkan permasalahan suami yang tidak sanggup dengan tuntutan istri
yang menuntut lebih dari apa yang menjadi kemampuan suami sehingga
suami menceraikan talak istrinya, sedangkan masalah istri umumnya tidak
sanggup jika hanya diberikan nafkah yang sedikit yang kurang dari kata
cukup, hingga istri menggugat cerai suaminya. Nafkah adalah kewajiban
bagi suami untuk memberikan kepada istrinya, itu juga sesuai dengan yang
tertera pada sighat taklik talak yang memang diucapkan suami setelah
akad nikah.
c. Tidak ada tanggungjawab
Faktor penyebab tidak ada tanggungjawab dalam rumah tangga ini
sebagai akibat tidak adanya singkronisasi yang seimbang atas pelaksanaan
hak dan kewajiban sebagai suami istri. Hal ini diatur pada pasal 116 KHI
pada huruf b yang menyatakan bahwa salah satu pihak meninggalkan
pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
d. Penganiayaan/kekejaman mental
Dalam perkara penganiayaan/ kekejaman mental ini sering yang
menjadi korban adalah istri. Namun dalam pasal 39 ayat (2) UU No. 1
tahun1974 yangtelah dijabarkan dalam pasal 19 huruf a PP No. 9 tahun
1975, yang selaras dengan KHI pasal 116 pada huruf d menjelaskan bahwa
96
“salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain”. Itu yang menjadikan alasan atau mencari
perlindungan hukum dengan jalan cerai.
e. Gangguan/ hadirnya pihak ketiga
Dalam faktor yang disebabkan oleh gangguan pihak ketiga ini
terdapat beberapa alasan yang mendasari pemohon atau penggugat,
memohon atau menggugat termohon atau termohon di Pengadilan Agama
Salatiga. mengajukan alasan-alasan bahwa, rumah tangga Penggugat dan
Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran karena Tergugat
menjalin hubungan cinta dengan wanita lain dan telah diketahui sendiri
oleh Penggugat dan membuat Penggugat sakit hati.
f. Tidak ada keharmonisan
Kurang adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri
menyebabkan kurang atau bahkan tidak ada keharmonisan dalam rumah
tangga. Hal ini tercermin pada pasal 116 KHI huruf f yaitu antara suami
istri teru-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
C. Analisis Implikasi Cerai Talak dan Cerai Gugat Di Pengadilan
Implikasi dari suatu perkawinan dapat dilihat sejak diputuskannya
perkara oleh Majlis Hakim di Pengadolan Agama. Adapun perinciannya
adalah sebagai berikut:
97
1. Akibat Talak Raj‟i
Di Pengadilan Agama Salatiga, Majelis Hakim dalam memutuskan
suatu perceraian dalam hal ini talak raj‟i bisa penulis ketahui pada perkara
cerai talak. Adapun konsekuensi hukum yang harus ditanggung dari
jatuhnya talak raj‟i ini yaitu tidak melarang mantan suami berkumpul
dengan mantan istrinya, sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak
menghilangkan hak (pemilikan), serta tidak mempengaruhi hubungannya
yang halal (kecuali persetubuhan).
Sekalipun tidak mengakibatkan perpisahan, talak raj‟i ini tidak
menimbulkan akibat-akibat hukum selanjutnya selama masih dalam masa
iddah istrinya. Segala akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis
masa iddah dan jika tidak ada ruju‟. Apabila masa iddah telah habis maka
tidak boleh ruju‟ dan berarti perempuan itu telah bertalak ba‟in. Jika masih
ada dalam massa iddah maka talak raj‟i yang berarti tidak melarang suami
berkumpul dengan istrinya kecuali bersenggama. Jika ia menggauli
istrinya berarti ia telah ruju‟.
Dari analisa peneliti, berpendapat bahwa dalam talak satu raj‟i
suami masih berleluasa untuk kembali kepada istrinya selama masa iddah
istri belum habis. Masa iddah adalah masa pertimbangan yang seharusnya
tidak boleh disia-siakan apabila ada niat untuk kembali.
Istri yang menjalani iddah raj‟iyah, jika ia taat atau baik terhadap
suaminya, maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian dan uang
belanja dari mantan suaminya. Tetapi jika ia durhaka maka tidak berhak
98
mendapat apa-apa. Ini sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullahh
SAW:
“Perempuan yang berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal (rumah)
dari mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu berhak merujuk
kepadanya (HR. Ahmad dan An-Nasa‟i)”. Sabdanya pula : “Nafkah dan
tempat tinggal bagi wanita yang memiliki (kesempatan untuk) di ruju‟”.
Ruju‟ adalah salah satu hak bagi laki-laki dalam masa iddah. Oleh
karena itu ia tidak berhak membatalkannya sekalipun suaminya misal
berkata: “tidak ada rujuk bagiku”. Namun sebenarnya ia tetap mempunyai
hak rujuk. Sebab dalam firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 228
disebutkan :
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu…”
Karena ruju‟ merupakan hak suami maka untuk merujuknya suami
tidak perlu saksi, dan kerelaan mantan istri serta wali. Namun
menghadirkan saksi dalam ruju‟ hukumnya sunnah, karena dikhawatirkan
apabila kelak istri akan menyangkal rujuknya suami. Begitulah pentingnya
pencatatan baik perkawinan maupun perceraian, dalam upayanya
memperoleh kepastian hukum dan persaksian dari saudara, tetangga
hingga majelis hakim yang memutuskannya. Adapun mana iddah Pasal
154 Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, di
tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan
sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
99
2. Akibat Talak Ba‟in Sughra
Dalam perkara yang diputuskan oleh majelis hakim mengenai
jatuhnya talak ba‟in sughra ialah terjadi pada perkara cerai gugat yang
dijukan di Pengadilan Agama Salatiga. Adapun konsekuensi dari talak
ba‟in sugro adalah memutuskan hubungan perkawinan antara suami dan
istri setelah kata talak diucapkan. Karena ikatan perkawinan telah putus,
maka istrinya kembali menjadi orang lain bagi suaminya. Oleh karena itu,
ia tidak boleh bersenang-senang dengan perempuan tersebut, apalagi
sampai menyetubuhinya.
Apabila ia menalaknya satu kali, berarti ia masih memiliki sisa
dua kali talak setelah ruju‟ dan jika sudah dua kali talak, maka ia hanya
berhak atas satu kali lagi talak setelah ruju‟. Adapun akibat jatuhnya talak
ba‟in sugro adalah:
a. Hilangnya ikatan nikah antara suami dan istri.
b. Hilangnya hak bergaul bagi suami istri termasuk berkhalwat
(menyendiri berdua-duaan)
c. Masing-masing tidak saling mewarisi manakal meninggal
d. Bekas istri, dalam masa iddah, berhak tinggal di rumah bekas
suaminya dengan berpisah tempat tidur dan mendapat nafkah
e. Rujuk dengan akad dan mahar yang baru
3. Akibat Talak Ba‟in Kubra
Hukum talak ba‟in kubra sama dengan talak ba‟in sughra yaitu
memutuskan hubungan tali perkawinan antara suami dan istri.tetapi talak
100
ba‟In kubra tidak menghalalkan bekas suami merujuk kembali bekas istri,
kecuali sesudah ia menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai
sesudah dikumpulinya (telah bersenggama), tanpa ada niat nikah tahlil.
Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 230:
“Kemudian jika si suaminya menalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin denga
suami yang lain.”
Perempuan yang menjalani iddah talak ba‟in, jika tidak hamil, ia
hanya berhak memperoleh tempat tinggal (rumah), lain tidak. Tetapi jika
ia hamil maka ia juga berhak mendapat nafkah. Dalam al qur‟an
ditegaskan :
“Tempatkanlah mereka ( para istri ) dimana kamu bertempat tinggal
menurut kemmpuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan ( hati ) mereka dan jika mereka ( istri-istri yang sudah
ditalak ) itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka bersalin.. (At-
Thalaq: 6)
Perempuan yang menjalani iddah wafat (karena ditinggal mati oleh
suaminya), ia tidak berhak sama sekali nafkah (dan tempat tinggal) dari
mantan suaminya, karena ia dan anak (yang dikandungnya) adalah pewaris
yang berhak mendapat harta pusaka dari almarhum suaminya itu.
4. Akibat Hukum Fasakh
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang
diakibatkan oleh talak. Ada beberapa perkara yang diputuskan oleh majelis
101
hakim di Pengadilan Agama Salatiga yang diputuskan dengan fasakh, ini
terjadi sebab salah seorang dari suami atau istri murtad. Pisahnya suami
istri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri.
Jika suami menalak istrinya denga talak raj‟i kemudian kembali pada masa
iddahnya, atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru,
maka perbuatan terhitung satu talak yang berarti ia masih ada kesempatan
dua kali talak lagi.
Sedangkan pisah suami istri karena fasakh, hal ini tidak berarti
mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar
baligh kemudian kedua suami istri tersebut menikah dengan akad baru
lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.
Selanjutnya analisa penulis akibat perceraian yang dilakukan oleh
suami maupun istri, mempunyai dampak bagi keduanya dalam hal ini mantan
suami maupun mantan istri, baik kehidupan mereka setelah menikah maupun
kelangsungan hidup bauh hati atau anak-anak mereka. Tanpa dipungkiri dari
perceraian tersebut, keduanya harus segera membuka lembaran baru
kehidupan mereka.
Akibat yang harus ditanggung oleh mantan suami maupun mantan istri
seiring dengan putusan pengadilan dalam hal ini Pengadilan Agama Salatiga
memang harus mereka tanggung. Setelah putusan pengadilan dibacakan di
depan sidang, maka itu yang harus dilakukan oleh keduanya. Ada berberapa
kewajiban yang melekat bagi keduanya, yaitu nafkah iddah yang harus
diberikan suami kepada istri, dan pengasuhan anak. Akibat yang lain adalah
102
adanya hak rujuk, hal itu dapat terjadi apabila dalam putusan hakim
menyebutkan talak satu raj‟i atau cerai yang diajuakan oleh suami. Talak raj‟i
adalah perceraian di mana suami mengucapkan (melafazkan) talak satu atau
talak dua kepada isterinya. Suami boleh rujuk kembali ke isterinya ketika
masih dalam iddah. Jika waktu iddah telah habis, maka suami tidak
dibenarkan merujuk melainkan dengan akad nikah baru. Adapun apabila
dalam putusanya adalah talak ba‟in yang mana suami mengucapkan talak tiga
atau melafazkan talak yang ketiga kepada isterinya. Isterinya tidak boleh
dirujuk kembali. Si mantan suami hanya boleh merujuk setelah isterinya
menikah dengan lelaki lain, dan suami barunya menyetubuhinya, setelah
diceraikan suami barunya dan telah habis iddah dengan suami barunya
Namun apabila cerai gugat atau yang mengajukan istri maka talak
yang digunakan adalah talak ba‟in sugro. Adapun konsekuensi hukum dari
talak ba‟in sughro ini adalah tidak bisa rujuk kembali, akan tetapi harus ada
akad nikah baru. Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai
oleh istri, yaitu fasakh dan khulu‟. Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri
tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di
mana suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan
berturut-turut, suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut
tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas
waktunya), suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan
dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya
hubungan suamii istri); atau adanya perlakuan buruk oleh suami seperti
103
penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan
keselamatan dan keamanan istri. Umumnya gugan yang dikabulkan oleh
hakim berdsarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak
memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.
Adapun implikasi dari gugat cerai oleh istri baik Fasakh maupun
Khulu‟ adalah talak ba'in shughra (talak ba'in kecil). Efek hukum yang
ditimbulkan oleh fasakh dan khulu‟ adalah talak ba'in sughra, yaitu hilangnya
hak rujuk pada suami selama masa „iddah. Artinya, apabila lelaki tersebut
ingin kembali kepada mantan istrinya maka ia diharuskan melamar dan
menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib
menunggu sampai masa „iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan
laki-laki yang lain.
Akibat dari perceraian lain yaitu adanya masa iddah pada mantan istri.
Iddah adalah masa tunggu bagi istri yang dicerai talak oleh suami atau karena
gugat cerai oleh istri. Dalam masa iddah, seorang perempuan yang dicerai
tidak boleh menikah dengan dengan siapapun sampai masa iddahnya habis
atau selesai. Bagi istri yang ditalak raj‟i (talak satu atau talak dua) maka suami
boleh kembali ke istri (rujuk) selama masa iddah tanpa harus ada akad nikah
baru. Sedangkan apabila suami ingin rujuk setelah masa iddah habis, maka
harus ada akad nikah yang baru.
Masa iddah bagi mantan istri adalah apabila ditinggal mati suaminya,
maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah
dicampuri (hubungan intim) atau belum (QS Al-Baqarah 2: 234). Apabila
104
dicerai tidak dalam keadaan hamil dan masih haid secara normal, maka masa
iddahnya tiga kali haid yang sempurna(QS Al-Baqarah 2: 228). Sedangkan
saat sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan (QS At-Talaq 65:
4). Kemudian yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah
haid atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haid), maka
iddahnya adalah tiga bulan (At-Thalaq 65: 4). Dan apabila wanita yang
pernikahannya fasakh/dibatalkan dengan cara khulu‟ atau selainnya, maka
cukup baginya menahan diri selama satu kali haid. Dan yang terakhir adalah
wanita yang dicerai-talak sebelum ada hubungan intim, maka tidak ada masa
iddahnya.
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatur
tentang putusnya perkawinan, pada pasal 38 menyatakan perkawinan dapat
putus karena: kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Dan
selanjutnya dijelaskan pada Pasal 39, menyatakan, perceraian hanya dapat
dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu
tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. Dan tata cara perceraian di depan
sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.
Dari paparan sebelumnya telah disebutkan bahwa dari tahun ke tahun
angka perceraian semakin meningkat, peningkatan lebih terfokus pada cerai
gugat atau permohonan cerai yang dilakukan oleh istri. Dari penjelasan diatas
dapat ketahui bahwasanya masyarakat sekarang sudah sadar hukum, tidak
105
semata-mata tunduk pada kejahilan dan takut pada ketidak adilan yang
dialaminya.
Negara telah mengatur secara komprehensif tentang hubungan dua
insan yang dipersatukan dalam ikatan perkawinan dan kemungkinan-
kemngkinan yang ada didalamnya atau mengikutinya, dalam hal ini adalah
perceraian. Sebenarnya dalam hal perceraian ini, Negara melalui Pengadilan
Agama azasnya adalah mempersulit tejadinya perceraian. Namun ada saja
yang tidak bisa disatukan lagi dalam suatu maghligai rumah tangga.
Di Pengadilan Agama Salatiga sendiri telah menerapakan itu, sehingga
setiap perkara perceraian yang diajukan tidak semata-mata langsung
diputuskan begitu saja. Mediasi adalah upaya yang dilakukan oleh Pengadilan
untuk mengupayakan jalan damai dari pasangan yang bersengketa. Hal ini
dijelaskan pada pasal 115 KHI menyatakan Perceraian hanya dapat dilakukan
di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selanjutnya dijelskan
pada Pasal 114 KHI menyatakan, Putusnya perkawinan yang disebabkan
karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian.
Akhirnya dalam akibat perceraian, hal-hal yang perlu dilakukan oleh
pihak isteri maupun suami setelah putusnya perkawinan sesuai dengan pasal
41 Undang-Undang Perkawinan yang mengharuskan baik bapak (mantan
suami) atau ibu (mantan istri) tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
106
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya.
Dalam hal untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
menjadi tanggungjawab pihak bapak, kecuali dalam kenyataannya bapak
dalam keadaan tidak mampu sehingga tidak dapat melakukan kewajiban
tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut. Selanjutnya pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi
bekas isteri
Adapun akibat perceraian secara terperinci dan hal itu dijadikan dalil
bagi hakim dalam menjamin kehidupan diantara keduanya, hal tersebut diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XVII dijelaskan tentang akibat putusnya
perkawinan sebagai berikut:
Akibat Talak yang dijelaskan pada Pasal 149 KHI Bilamana perkawinan
putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut`ah yang
layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri
tersebut qobla al dukhul; b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada
bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba‟in
atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih
terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d. memeberikan
biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Begitulah konsekuensi yang harus ditanggung oleh suami istri yang telah
memutuskan tali perkawinannya.
107
Selanjurnya diatur pada Pasal 150-152 KHI, paska diputuskanya
perceraian maka, bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya
yang masih dalam iddah. Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga
dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Bekas
isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia
nusyuz.
Adapun waktu tunggu yang diatur dalam Pasal 153 KHI adalah bagi
seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah,
kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian
suami. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: a.
Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu
tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari: b. Apabila perkawinan putus
karena perceraian,waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali
suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang
tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c. Apabila perkawinan putus
karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan; d. Apabila perkawinan putus karena kematian,
sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda gtersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul. Bagi
perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum
108
yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang
waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. Waktu tunggu bagi isteri yang
oernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui,
maka iddahnya tiga kali waktu haid. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan
karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam
waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali
waktu suci.
. Pasal 155 Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena
khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah talak.
Adapun akibat perceraian yang dijelaskan Pasal 156 KHI bahwa akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh:
1) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2) ayah;
3) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5) wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayahatau ibunya;
c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohanianak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
109
dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula;
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasrkan huruf (a), (b), dan
(d);
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak turut padanya.
Implikasi perceraian selanjutnya adalah terkait dengan masalah
Mut`ah, yang dijelaskan pada Pasal 158 yaitu, Mut`ah wajib diberikan oleh
bekas suami dengan syarat : a. belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al
dukhul;b.perceraian itu atas kehendak suami. Dan pada Pasal 159 dijelaskan
Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal
158. Pasal 160 menjelaskan bahwa Besarnya mut`ah disesuaikan dengan
kepatutan dan kemampuan suami.
110
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pengadilan Agama Salatiga telah memutuskan perkara perceraian
sebanyak 1324 perkara pada tahun 2015 dan 1316 pada tahun 2016,
yang dibagi atas cerai talak 379 perkara, sedangkan cerai gugat
sebanyak 945 perkara pada 2015, kemudian tahun 2016 cerai talak
sebanyak 368 perkara, sedangkan cerai gugat sebanyak 948 perkara.
Adapun faktor yang melatar belakangi terjadinya perceraian pada
tahun 2015-2016, baik cerai talak maupun cerai gugat berdasarkan
petitum dalam gugatan baik suami atau istri adalah sebagian besar
karena permasalahan krisis akhlak/ moral yang disebabkan karena
lemahnya iman dan pendidikan seseoarang, faktor ekonomi yang
disebabkan oleh kurangnya pemenuhan nafkah dalam rumah tangga,
tidak adanya tanggungjawab dalam rumah tangga, seperti suami atau
istri lari dari tanggung jawab untuk memberi nafkah maupun mengurus
rumah tangga, Penganiayaan atau kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) yang disebabkan kurang nya kontrol pada diri sehingga
tangannya ringan sekali untuk memukul, Gangguan/ hadirnya pihak
ketiga dikarenakan baik suami atau istri menjalin hubungan dengan
111
adanya orang ketiga dalam rumah tangganya, tidak ada keharmonisan
dalam rumah tangga disebabkan karena perselisihan yang
berkepanjangan.
2. Dalam praktiknya yang terjadi di PA Salatiga, perkara yang diputus/
diselesaikan pada Tahun 2015 dan 2016, menunjukkan bahwa cerai
gugat lebih mendominasi jika dibandingkan denga cerai talak. Adapun
implikasinya dari perceraian adalah adanya hak rujuk bagi suami yang
diputuskan talaknya yaitu talak raj‟i oleh Majelis Hakim. Selanjurnya
adalah dialaminya masa iddah pada mantan istri yang ditalak dengan
beberapa kriteria hukum yang menjadi pertimbangannya. Dalam hal
jatuhnya talak ba‟in adalah membayar iwadl sebesar Rp. 10.000,-.
Adapun salah satu perkaranya dicontohkan pada perkara nomor:
0194/Pdt.G/2016/PA.Sal. Pemberian nafkah mut‟ah oleh mantan suami
kepada mantan istri. Pasca diputuskannya perkara perkara perceraian
oleh Majelis Hakim maka dalam suatu perkara, Majelis Hakim
memutuskan sekalian tentang pemberian nafkah mut‟ah. Konsekuensi
perceraian selanjutnya adalah tentang hak pengasuhan anak, karena
hak pengasuhan anak bisa terjadi kerumitan apabila tidak diatur
kemudian.
112
B. Saran
Dalam rangka membangun keluaga yang utuh, harmonis dan
bahagia, serta meminimalisir terjadinya perceraian, ada hal-hal yang harus
lebih ditekankan, yaitu:
1. Pemerintah harus lebih memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, baik
berkaitan dengan masalah kesejahteraan ekonomi melalui penyediaan
lapangan pekerjaan yang memadahi, maupun kesejahteraan dalam
berumah tangga dengan memaksimalkan peran pemerintah dalam
mencegah, menaggulangi, dan menekan angka perceraian.
2. Perlunya kegiatan preventif yang bisa dilakukan oleh Badan Penasehat
Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4), dalam hal ini KUA
harus pro aktif.
3. Pasangan suami istri tidak boleh gegabah dan buru-buru mengajukan
gugatanya ke Pengadilan, apabila dalam rumah tangganya sedang
ditimpa masalah. Mungkin itulah ujian dalam mendewasakan salah
satu dari keduanya atau malah kedua-duanya supaya tujuan
pernikahanya tetap langgeng dan terjaga dari kata cerai.
113
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟anul Karim dan Terjemahannya
Al Fathi, Sulaiman. 2010. Mukhtasar Fiqh Sayyid Sabiq. Solo: Aqwam
Departemen Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta.
Imam Syafi‟i, dkk. 2013. Bahtsul Masail sebagai Metode Ijtihad Kelektif
dalam Menjawab Problematika Kontemporer. Salatiga
Lexy Moleong. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya Offset.
Najmudin, dkk. 2014. Upacara Pernikahan dengan Tradisi Jawa Dengan
Perspektif Hukum Islam. Salatiga
Nastangin. 2012. Percerian karena salah satu pihak murtad (Putusan
Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0356/pdt.G/2011/PA.SAL).
Salatiga.
Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri. 1995. Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja. Press.
Suwartono, 2014. Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Yogyakarta :
ANDI
Syaifuddin, Muhammad. Sri, Turatmiyah & Annalisa Yahanan. 2013.
Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
Wasman dan Nuroniyah, Wardah. 2011. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia. Yogyakarta : Teras.
Nailufar, Yuyun, “Analisis Hukum Islam terhadap Frekuensi Cerai Talak
dan Cerai Gugat di Pengadilan Agama Bangkalan dan Pengadilan
Agama Surabaya (Studi Komparasi Cerai Gugat dan Cerai
Talak)” (Skripsi—IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006), 69
Ni‟mah, Siti Nurun, “Korelasi suami yang merantau terhadap frekuensi
cerai gugat di Pengadilan Agama Gresik tahun 2001” (Skripsi—
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003), 11
Agung Rohmawanto, “Faktor Penyebab Cerai Gugat di Pengadilan
Agama Sidoarjo (Studi Kasus tahun 2004 sampai 2006)”
(Skripsi—IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008), 72.
114
Mocahmmad Azis Qoharudin, “Fenomena Cerai Gugat di Pengadilan
Agama Surabaya tahun 2002-2005” (Skripsi—IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2006), 68.
Al-Asqolani, Ibnu Hajar, 773. Kitab Bulughul Marom. Semarang. Pustaka
Alawiyah
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta: Sinar
Grafika
Basyir, Ahmad Azhar. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Cet ke-9.
Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia.
Ghazaly, Abdur Rahmaan. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Subekti, S.H. 1985. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet ke-20. Jakarta: PT
Intermasa
http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/news/profil.html#sejarah. (Online).
diakses pada hari minggu 14 september 2014, 11.34 WIB.
http://www.psikologikita.com/?q=perceraian-penyebab-akibat. (Online).
diakses pada pad min-20/05/2012
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Riyadus Solichin
Nim : 211-12-005
Jurusan : Ahwal Al Syakhshiyyah
Tempat Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 25 Januari 1993
Alamat : Dsn Reksosari Rt 02 Rw 01 Desa Reksosari,
Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang
50776
Nama Ayah : (Alm) Sahudi
Nama Ibu : Himawati
Agama : Islam
Pendidikan : TK Muslimat Lulus Tahun 1999
SD N Reksosari 1 Lulus Tahun 2005
SMP N 1 Suruh Lulus Tahun 2008
MAN Suruh Lulus Tahun 2011
Demikian daftar riwayat hidup ini, penulis buat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, Maret 2017
Penulis
Riyadus Solichin