cendekiawan ekonomi islam

44
M. Umer Chapra (1 Februari 1933, Bombay India) adalah salah satu ekonom kontemporer Muslim yang paling terkenal pada zaman modern ini di timur dan barat. Ayahnya bernama Abdul Karim Chapra. Umer Chapra dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, sehingga ia tumbuh menjadi sosok yang mempunyai karakter yang baik. Keluarganya termasuk orang yang berkecukupan sehingga memungkinkan ia mendapatkan pendidikan yang baik. Masa kecilnya ia habiskan di tanah kelahirannya hingga berumur 15 tahun. Kemudian ia pindah ke Karachi untuk meneruskan pendidikannya disana sampai meraih gelar Ph.D dari Universitas Minnesota. Dalam umurnya yang ke 29 ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Khairunnisa Jamal Mundia tahun 1962, dan mempunyai empat anak, Maryam, Anas, Sumayyah dan Ayman. Dalam karir akademiknya DR. M. Umer Chapra mengawalinya ketika mendapatkan medali emas dari Universitas Sindh pada tahun 1950 dengan prestasi yang diraihnya sebagai urutan pertama dalm ujian masuk dari 25.000 mahasiswa. Setelah meraih gelar S2 dari Universitas Karachi pada tahun 1954 dan 1956, dengan gelar B.Com / B.BA ( Bachelor of Business Administration ) dan M.Com / M.BA ( Master of Business Administration ), karir akademisnya berada pada tingkat tertinggi ketika meraih gelar doktoralnya di Minnesota, Minneapolis. Pembimbingnya, Prof. Harlan Smith, memuji bahwa Umer Chapra adalah seorang yang baik hati, mempunyai karakter yang baik dan kecemerlangan akademis. Menurut Profesor ini, Umer Chapra adalah orang yang terbaik yang pernah dikenalnya, bukan hanya dikalangan mahsiswa namun juga seluruh fakultas. DR. Umer Chapra terlibat dalam berbagai organisasi dan pusat penelitian yang berkonsentrasi pada ekonomi Islam . Saat ini dia menjadi penasehat pada Islamic Research and Training Institute (IRTI) dari IDB Jeddah. Sebelumnya ia menduduki posisi di Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) Riyadh selama hampir 35 tahun sebagai penasihat peneliti senior. Aktivitasnya di lembaga- lembaga ekonomi Arab Saudi ini membuatnya di beri kewarganegaraan Arab Saudi oleh Raja Khalid atas permintaan Menteri Keuangan Arab Saudi, Shaikh Muhammad Aba al-Khail. Lebih kurang selama 45 tahun beliau menduduki profesi diberbagai lembaga yang berkaitan dengan

Upload: mohamad-bastomii

Post on 25-Nov-2015

90 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

M. Umer Chapra (1 Februari 1933, Bombay India) adalah salah satu ekonom kontemporer Muslim yang paling terkenal pada zaman modern ini di timur dan barat. Ayahnya bernama Abdul Karim Chapra. Umer Chapra dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, sehingga ia tumbuh menjadi sosok yang mempunyai karakter yang baik. Keluarganya termasuk orang yang berkecukupan sehingga memungkinkan ia mendapatkan pendidikan yang baik.Masa kecilnya ia habiskan di tanah kelahirannya hingga berumur 15 tahun. Kemudian ia pindah ke Karachi untuk meneruskan pendidikannya disana sampai meraih gelar Ph.D dari Universitas Minnesota. Dalam umurnya yang ke 29 ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Khairunnisa Jamal Mundia tahun 1962, dan mempunyai empat anak, Maryam, Anas, Sumayyah dan Ayman.Dalam karir akademiknya DR. M. Umer Chapra mengawalinya ketika mendapatkan medali emas dari Universitas Sindh pada tahun 1950 dengan prestasi yang diraihnya sebagai urutan pertama dalm ujian masuk dari 25.000 mahasiswa. Setelah meraih gelar S2 dari Universitas Karachi pada tahun 1954 dan 1956, dengan gelar B.Com / B.BA ( Bachelor of Business Administration ) dan M.Com / M.BA ( Master of Business Administration ), karir akademisnya berada pada tingkat tertinggi ketika meraih gelar doktoralnya di Minnesota, Minneapolis. Pembimbingnya, Prof. Harlan Smith, memuji bahwa Umer Chapra adalah seorang yang baik hati, mempunyai karakter yang baik dan kecemerlangan akademis. Menurut Profesor ini, Umer Chapra adalah orang yang terbaik yang pernah dikenalnya, bukan hanya dikalangan mahsiswa namun juga seluruh fakultas.DR. Umer Chapra terlibat dalam berbagai organisasi dan pusat penelitian yang berkonsentrasi pada ekonomi Islam. Saat ini dia menjadi penasehat pada Islamic Research and Training Institute (IRTI) dari IDB Jeddah. Sebelumnya ia menduduki posisi di Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) Riyadh selama hampir 35 tahun sebagai penasihat peneliti senior. Aktivitasnya di lembaga-lembaga ekonomi Arab Saudi ini membuatnya di beri kewarganegaraan Arab Saudi oleh Raja Khalid atas permintaan Menteri Keuangan Arab Saudi, Shaikh Muhammad Aba al-Khail. Lebih kurang selama 45 tahun beliau menduduki profesi diberbagai lembaga yang berkaitan dengan persoalan ekonomi diantaranya 2 tahun di Pakistan, 6 tahun di Amerika Serikat, dan 37 tahun di Arab Saudi. Selain profesinya itu banyak kegiatan ekonomi yang dikutinya, termasuk kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga ekonomi dan keuangan dunia seperti IMF, IBRD, OPEC, IDB, OIC dan lain-lain.Beliau sangat berperan dalam perkembangan ekonomi Islam. Ide-ide cemerlangnya banyak tertuang dalam karangan-karangannya. Kemudian karena pengabdiannya ini beliau mendapatkan penghargaan dari Islamic Development Bank dan meraih penghargaan King Faisal International Award yang diperoleh pada tahun 1989.Beliau adalah sosok yang memiliki ide-ide cemerlang tentang ekonomi islam. Telah banyak buku dan artikel tentang ekonomi islam yang sudah diterbitkan samapai saat ini telah terhitung sebanyak 11 buku, 60 karya ilmiah dan 9 resensi buku. Buku dan karya ilmiahnya banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk juga bahasa Indonesia.Buku pertamanya, Towards a Just Monetary System, Dikatakan oleh Profesor Rodney Wilson dari Universitas Durham, Inggris, sebagai Presentasi terbaik terhadap teori moneter Islam sampai saat ini dalam Bulletin of the British Society for Middle Eastern Studies (2/1985, pp.224-5). Buku ini adalah salah satu fondasi intelektual dalam subjek ekonomi Islam dan pemikiran ekonomi Muslim modern sehingga buku ini menjadi buku teks di sejumlah universitas dalam subjek tersebut.Buku keduanya, Islam and the Economic Challenge, di deklarasikan oleh ekonom besar Amerika, Profesor Kenneth Boulding, dalam resensi pre-publikasinya, sebagai analisis brilian dalam kebaikan serta kecacatan kapitalisme, sosialisme, dan negara maju serta merupakan kontribusi penting dalam pemahaman Islam bagi kaum Muslim maupun non-Muslim. Buku ini telah diresensikan dalam berbagai jurnal ekonomi barat. Profesor Louis Baeck, meresensikan buku ini di dalam Economic Journal dari Royal Economic Society dan berkata: Buku ini telah ditulis dengan sangat baik dan menawarkan keseimbangan literatur sintesis dalam ekonomi Islam kontemporer. Membaca buku ini akan menjadi tantangan intelektual sehat bagi ekonom barat. ( September 1993, hal. 1350 ). Profesor Timur Kuran dari Universitas South Carolina, mereview buku ini dalam Journal of Economic Literature untuk American Economic Assosiation dan mengatakan bahwa buku ini menonjol sebagai eksposisi yang jelas dari keterbukaan pasar Ekonomi Islam. Kritiknya terhadap sistim ekonomi yang ada secara tidak biasa diungkap dengan pintar dan mempunyai dokumentasi yang baik. Umer Chapra, menurutnya telah membaca banyak tentang kapitalisme dan sosialisme sehingga kritiknya berbobot. Dan, Profesor Kuran merekomendasikan buku ini sebagai panduan sempurna dalam pemahaman ekonomi Islam.Pendapat M. Umer Chapra terhadap ekonomi Islam pernah dikatakannya dan didefinisikannya sebagai berikut: Ekonomi Islam didefinisikan sebagai sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan.

IBNU KHOLDUN-Di antara sekian banyak pemikir masa lampau yang mengkaji ekonomi Islam, Ibnu Khaldun merupakan salah satu ilmuwan yang paling menonjol. Ibnu Khaldun sering disebut sebagai raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut. Muhammad Hilmi Murad secara khusus telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul Iqtishad : Ibnu Khaldun. Artinya Bapak Ekonomi : Ibnu Khaldun.(1962) Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai penggagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Karya tersebut disampaikannya pada Simposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.Ibnu Khaldun, nama lengkap: Abu Zayd Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami ( ) lahir 27 Mei 1332/732H, wafat 19 Maret 1406/808H) adalah seorang sejarawan muslim dari Tunisia dan sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah (Pendahuluan).Bapak EkonomiSebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan adapula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para imuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum.Sedangkan Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibnu Khaldun tentang ekonomi.(Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur,).Sejalan dengan Shiddiqy Boulokia dalam tulisannya Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist, menuturkan :(Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran resminya (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang)Lafter, penasehat economi president Ronald Reagan, yang menemukan teori Laffter Curve, berterus terang bahwa ia mengambil konsep Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengajukan obat resesi ekonomi, yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran (ekspor) pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar dan ibu dari semua pasar dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, maka adalah wajar jika pasar yang lainpun akan ikut turun, bahkan dalam agregate yang cukup besar.S.Colosia berkata dalam bukunya, Constribution A LEtude DIbnu Khaldaun Revue Do Monde Musulman, sebagaimana dikutip Ibrahim Ath-Thahawi, mengatakan, Apabila pendapat-pendapat Ibnu Khaldun tentang kehidupan sosial menjadikannya sebagai pionir ilmu filsafat sejarah, maka pemahamannya terhadap peranan kerja, kepemilikan dan upah, menjadikannya sebagai pionir ilmuwan ekonomi modern .(1974, hlm.477)Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi, maka Boulakia mengatakan, Sangat bisa dipertanggung jawabkan jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu ekonomi.[1] Shiddiqi juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun secara tepat dapat disebut sebagai ahli ekonomi Islam terbesar (Ibnu Khaldun has rightly been hailed as the greatest economist of Islam)(Shiddiqy, hlm. 260)Sehubungan dengan itu, maka tidak mengherankan jika banyak ilmuwan terkemuka kontemporer yang meneliti dan membahas pemikiran Ibnu Khaldun, khususnya dalam bidang ekonomi. Doktor Ezzat menulis disertasi tentang Ibnu Khaldun berjudul Production, Distribution and Exchange in Khalduns Writing dan Nashat menulis al-Fikr al-iqtisadi fi muqaddimat Ibn Khaldun (Economic Though in the Prolegomena of Ibn Khaldun).. Selain itu kita masih memiliki kontribusi kajian yang berlimpah tentang Ibnu Khaldun. Ini menunjukkan kebesaran dan kepeloporan Ibnu Khaldun sebagai intelektual terkemuka yang telah merumuskan pemikiran-pemikiran briliyan tentang ekonomi. Rosenthal misalnya telah menulis karya Ibn Khaldun the Muqaddimah : An Introduction to History, Spengler menulis buku Economic Thought of Islam: Ibn Khaldun, Boulakia menulis Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist, Ahmad Ali menulis Economics of Ibn Khaldun-A Selection, Ibn al Sabil menulis Islami ishtirakiyat fil Islam, Abdul Qadir Ibn Khaldun ke maashi khayalat, (Economic Views of Ibn Khaldun), Rifaat menulis Maashiyat par Ibn Khaldun ke Khalayat (Ibn Khalduns Views on Economics) Somogyi menulis buku Economic Theory in the Classical Arabic Literature, Tahawi al-iqtisad al-islami madhhaban wa nizaman wa dirasah muqaranh.(Islamic Economics-a School of Thought and a System, a Comparative Study), T.B. Irving menulis Ibn Khaldun on Agriculture, Abdul Sattar menulis buku Ibn Khalduns Contribution to Economic Thought in: Contemporary Aspects of Economic and Social Thingking in Islam.PenutupPaparan di atas menunjukkan bahwa tak disangsikan lagi Ibnu Khaldun adalah Bapak ekonomi yang sesungguhnya. Dia bukan hanya Bapak ekonomi Islam, tapi Bapak ekonomi dunia. Dengan demikian, sesungguhnya beliaulah yang lebih layak disebut Bapak ekonomi dibanding Adam Smith yang diklaim Barat sebagai Bapak ekonomi melalui buku The Wealth of Nation.. Karena itu sejarah ekonomi perlu diluruskan kembali agar ummat Islam tidak sesat dalam memahami sejarah intelektual ummat Islam. Tulisan ini tidak bisa menguraikan pemikiran Ibnu Khaldun secarfa detail, karena ruang yang terbatas dan lagi pula pemikirannya terlalu ilmiah dan teknis jika dipaparkan di sini. Teori ekonomi Ibnu Khaldun secara detail lebih cocok jika dimuat dalam journal atau buku.

Pemikiran Ekonomi Islam Abu YusufAbu Yusuf adalah orang pertama kali memperkenalkan konsep perpajakan di dalam karyanya al-kharaj. Kitab ini, ditulis atas permintaan Khalifah Harun al-Rasyid, ketika dia ingin mengatur sistem Bait al-mal, sumber pendapatan negara seperti al-kharaj, al-'usyur, dan al-jizyah dan cara pendistribusiannya, dan untuk menghindari manipulasi, kedzaliman, serta untuk mewujudkan kepentingan penguasa (Al Junaidal, tt: 139). Muatan konseptual al-Kharaj dan visi strategisnya terhadap kebijakan sumber pendapatan negara mencerminkan keunggulan akademik Abu Yusuf dalam bidang ekonomi, dan pengalamannya menjabat sebagai hakim agung. Interaksinya dengan penguasa dari satu sisi, dan kepakarannya dalam ilmu fiqh dari sisi lain, telah menempatkan kitab al-kharaj sebagai karya monumental dan komprehensif. Keberadaan kitab al-kharaj juga mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari diambil oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation (Karim, 2001; Asmuni, 2005: 118). Al-Kharaj buah karya Abu Yusuf yang menjadi panduan manual perpajakan pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, sebenarnya memiliki berbagai versi percetakan. Yang tertua di antaranya adalah edisi Bulaq yang dicetak pada tahun 1302 H / 1885 M, dan tidak memiliki kelengkapan editorial. Setelah itu Salafiah Press menerbitkan kembali satu edisi, dan sempat mengalami beberapa kali cetakan ulang yang memuat isi dan hadis yang sama. Pada edisi ini hanya memberi kesan tampilan perbedaan halamannya saja. Sehingga tidak salah bila diduga edisi ini bersumber pada bahan dan manuskrip yang sama. Pada edisi Salafiyah Press sebagian memiliki editorial namun hanya sebagian kecil saja. Sementara edisi yang lengkap tentang kitab al-Kharaj ini terdapat dalam satu komentar yang diberi judul Fiqhu al-Mulk wa miftah al-Ritaj yang ditulis oleh Abul Aziz bin Muhammad al-Rahbi (W. 1194 H) (Majid, 2003: 33-34). Tulisan tersebut kemudian di edit oleh A.U.Kabishi yang telah meletakkan kitab al-Kharaj dalam beberapa komentar serta membuat perbedaannya secara sistematis dengan edisi Rahbi, edisi ini terdapat dalam dua manuskrip yang kemudian dicetak dengan hasil yang sangat memuaskan. Selain itu juga ada teks yang dicetak dan diedit oleh Ikhsan Abbas, namun tidak membuahkan hasil yang lebih baik dari edisi Kabishi tersebut (Majid, 2003: 33-34). Tetapi yang digunakan sebagai referensi tulisan ini adalah edisi yang dicetak pada tahun 1302 H, diterbitkan oleh Daru al-Maarifah li al-Thabiah di Bairut Libanon, yang memuat materi dan hadis yang sama dengan edisi Bulaq. Kitab al-Kharaj ini memuat beberapa tulisan yang dimulai dari nasehat dan wejangan yang dialamatkan Abu Yusuf kepada Amiru al-Muminin dan putera mahkota, yang isinya tentang nasehat umum yang diikuti dengan sejumlah hadis yang mayoritas dikategorikan sebagai hadis-hadis marfu. Setelah memberi nasehat panjang lebar kepada Khalifah dan putera mahkota, kemudian Abu Yusuf memaparkan pemikirannya tentang hukum yang berhubungan dengan distribusi, rampasan perang, kepemilikan tanah, pajak tanah, pajak-pajak hasil pertanian, kemudian diperluas dengan diskusi tentang pajak-pajak dengan istilah Kharaj yang kemudian menghasilkan beberapa istilah seperti Ushr, Zakat, atau shadaqah (Yusuf, 1302: 4). Kitab al-Kharaj tersebut didominasi pemikiran Abu Yusuf tentang ekonomi. Hal ini terlihat dari pembahasan selanjutnya tentang jizyah yang hanya diberlakukan untuk orang-orang non muslim serta pembahasan mengenai status sosial, hak dan kewajiban penduduk non muslim di negara Islam, selain itu pada bagian akhir membahas hudud, gaji pegawai pemerintah, fiskal, devisa negara, kesejahteraan non muslim dan lain sebagainya (Al-Kaaf, 2002: 149; Yusuf,1302: 28, 42, 94, 69, 117, 128). Kitab karya Abu Yusuf diberi nama al-Kharaj, didasarkan kepada pemilihan persoalan mayoritas yang dibahas dalam kitab tersebut yaitu pajak, jizyah, serta terinspirasi dari penjelasan tentang beberapa persoalan yang menjelaskan tentang administrasi pemerintahan. Selain itu kharaj diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada negara. ada bagian lain kharaj diartikan dengan apa yang dibayarkan untuk pajak tanah pertanian atau pajak hasil bumi (Al-Kaaf, 2002: 149). Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada sikapnya yang menentang pengendalian dan penetapan harga (tasir) oleh pemerintah. Pada zaman Abu Yusuf asumsi yang berkembang adalah, apabila tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan jika tersedia banyak maka harga akan murah. Tetapi beliau menolak asumsi masyarakat tersebut. Menurutnya tidak selamanya persediaan barang sedikit (supply) menyebabkan harga (price) mahal, demikian pula persediaan barang banyak mengakibatkan harga akan murah. Karena pada kenyataannya harga tidak tergantung pada permintaan (supply) saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran (demand) (Habib, 2004: 10). Oleh karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau penurunan permintaan akan barang. Menurut Abu Yusuf ada variabel lain yang ikut mempengaruhi harga, tetapi tidak dijelaskan secara rinci. Bisa saja variabel tersebut adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu negara atau terjadinya penimbunan dan penahanan barang. Bagi Abu Yusuf tinggi rendahnya harga adalah bagian dari ketentuan Allah, manusia tidak dapat intervensi atas urusan dan ketetapanNya (Habib, 2004: 10; Al-Duri, 1394 H). Dapat dipastikan, bahwa konsep "ekonomi makro" tidak ditemukan dalam al-kharaj karya Abu Yusuf, dan juga belum dikenal di dunia Barat sampai beberapa abad pasca Abu Yusuf. Kegiatan perekonomian, menurut Abu Yusuf merupakan fenomena yang selalu berubah-ubah (zawahir tsanawiyah) dan bersumber dari aktivitas kolektif masyarakat muslim. Faktor-faktor yang mempercepat kegiatan perekonomian tidak sama dari segi tingkat kepentingan dan kekuatannya. Pertama, mewujudkan undang-undang tertinggi yang dengannya dapat memerintah dengan pertolongan Tuhan. Kedua, usaha untuk memenuhi kebutuhan material dan keinginan-keinginan lainnya. Ketiga, inisiatif atau keinginan penguasa (Dahlan, 1996: 18).Oleh karena itu, menurut Abu Yusuf, fenomena prekonomian tidak selalu berhubungan secara langsung dengan sebab akibat (undang-undang tentang perekonomian). Hubungan biasanya bersifat tidak langsung karena melalui kehendak tertinggi, atau kehendak wakil Tuhan di permukaan bumi dalam bentuk masyarakat muslim, penguasa atau lainnya. Para khalifah Tuhan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan berkaitan dengan sejumlah fenomena-fenomena perekonomian seperti perbaikan tanah dan lain-lain. Tentang keuangan Abu Yusuf menyatakan bahwa uang negara bukan milik Khalifah dan Sultan, tetapi amanat Allah SWT dan rakyatnya, yang harus dijaga dengan penuh tanggungjawab. Hubungan penguasa dengan kas negara sama seperti hubungan seorang wali dengan harta anak yatim yang diasuhnya (Dahlan, 1996: 18).Menurut Abu Yusuf, sumber ekonomi berada pada dua tingkatan: tingkat pertama meliputi unsur-unsur alam (antara lain air dan tanah). Unsur-unsur ini paling kuat dan melakukan produksi secara mandiri. Tingkatan kedua tenaga kerja. Tingkatan yang kedua ini berperan kurang maksimal dan tidak rutin seperti perbaikan dan pemanfaatan tanah, membuat sistem irigasi dan lain-lain. Sebetulnya produksi dalam pengertian membuat barang baku (setengah jadi) menjadi produk final melalui kerja, tidak banyak menarik perhatian Abu Yusuf termasuk pada proses permulaan seperti menghidupkan tanah mati (Ihya al-Mawaat) dan tidak bertuan harus diberikan kepada seseorang yang dapat mengembangkan dan menanaminya serta membayar pajak yang diterapkan pada tanah tersebut (Habib, 2004: 10).Menurut Abu Yusuf elemen dalam perekonomian adalah Al-musytarakat al-diniyah (komunitas yang menganut agama samawi dan agama ardhi), dan musytarakat al-mudun atau komunitas masyarakat perkotaan dan pedesaan atau komunitas masyarakat dagang. Komunitas jenis pertama terbentuk dari unsur agama, dan komunitas jenis kedua membentuk pusat kekuasaan pemimpin. Kedua jenis komunitas tersebut mempersatukan, atau minimalnya mempererat hubungan antara semua unsur atau elemen prekonomian tersebut (Asmuni, 2005: 5). Pada masa Abu Yusuf misalnya penduduk satu desa atau kota memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri dari sektor produk pertanian dan kerajinan dan tidak mengantungkan diri pada barang-barang impor kecuali untuk pelengkap. Demikian pula kesatuan sektor pajak karena penduduknya konsisten untuk bersolidaritas dan untuk saling menjamin dalam mengeluarkan nominal pajak dalam setahun baik dalam bentuk barang atau uang. Terakhir kesatuan administrasi, artinya administrasi pemerintahan pusat tidak melakukan interaksi dengan masing-masing individu melainkan secara kolektif sebagai satu kesatuan melalui tokoh desa (syaikh al-qoryah) atau pemimpin desa (Saad, 1979). Adapun mengenai persoalan fakir miskin (fuqara') dan konsep kelas sosial tidak dibahas oleh Abu Yusuf. Diskripsi masyarakat yang dibuat Abu Yusuf, mencerminkan bahwa hubungan produksi dari satu sisi merupakan hubungan antara umat Islam dengan kaum zimmi dalam Dar al-Islam atau hubungan umat Islam dengan komunitas non muslim dalam Dar al-harb. Dalam hubungan model pertama pendapatan bersumber dari al-kharaj dan al-jizyah. Sedangkan hubungan model kedua, pendapatan bersumber dari al-ganimah yang sebagiannya didistribusikan untuk Bait al-mal. Selain itu, pemerintah juga menarik bea cukai dari pedagang kafir harbi atas barang dagangan mereka yang masuk ke negara Islam. Adapun umat Islam diwajibkan untuk mengeluarkan zakat sebagai bentuk solidaritas sosial mereka sesama muslim yang membutuhkan (Yusuf, 1302 H: 122).Abu Yusuf juga mengenalkan konsep perdagangan luar negeri, yang secara implisit diberi istilah tabadul. Pemahaman fleksibilitas dibangun Abu Yusuf dengan melahirkan sikap toleran dengan kesepakatan damai dalam hubungan perdagangan internasional. Kesepakatan tersebut adalah jaminan keamanan berkala per empat bulan dengan pembaharuan apabila perdagangan mereka belum selesai dalam waktu yang telah ditentukan. Serta diperbolehkan tinggal di Dar al-Islam dengan status sebagai ahli zimmi (Al Mawardi, tt: 291-292).Dalam melakukan restrukturisasi sistem perekonomian negara Bagdad, ada beberapa mekanisme yang dikembangkan oleh Abu Yusuf yaitu, a) Menggantikan sistem Wazifah dengan sistem Muqasamah Istilah wazifah dan istilah muqasamah adalah istilah untuk menyebut sistem pemungutan pajak. Sistem wazifah adalah sistem pemungutan yang ditentukan berdasarkan nilai tetap, tanpa membedakan ukuran tingkat kemampuan wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan. Sedang sistem muqasamah adalah sistem pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional (Yusuf,1302: 48).b) Membangun pemahaman fleksibilitas sosial Meskipun hukum Islam hanya mengakui muslimin sebagai individu dengan kapasitas hukum penuh, secara bersamaan kaum non muslim sebenarnya juga dapat menuntut adanya kepastian hukum untuk mendapatkan perlindungan dari penguasa Islam apabila mereka diijinkan untuk memasuki wilayah Dar al-Islam. Seorang muslim adalah seorang yang secara alamiah berada di bawah hukum Islam,dan menikmati hak-hak kewargaannegaranya secara penuh. Namun di balik itu setiap warga negara akan menikmati haknya secara berbeda-beda, tergantung hubungan dan kepentingan mereka masing-masin. Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok Harbi, kelompok Mustamin, dan kelompok Zimmi. Abu Yusuf berusaha memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di tengah masyarakatnya dengan mengatur beberapa ketetapan khusus berkenaan dengan status kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan serta ketentuan hukum lainnya. (Al Mawardi, tt: 252).

c) Membangun sistem dan politik ekonomi yang transparan Transparansi yang dibangun Abu Yusuf terlihat ketika beliau mendiskripsikan income negara yang meliputi ghanimah dan fay sebagai pemasukan yang sifatnya insidental revenue, sedangkan kharaj, jizyah, Ushr, dan shadaqah/zakat sebagai pemasukan yang sifatnya permanen revenue. Abu Yusuf memberi interpretasi yang jelas tentang aturan al-Quran dalam surat al-Anfal ayat 41 yang artinya:....Ketika engkau mengambil setiap barang rampasan, seperlima darinya adalah milik Allah dan Rasul, saudara-saudara dekatnya, anak yatim, orang-orang miskin dan musafir...

Interpretasi dari istilah seperlima dalam ayat ini di kalangan para ahli fiqh terjadi perbedaan pandangan. Dalam kitab al-Kharaj Abu Yusuf seperlima tersebut menurut:Riwayat Qais Bin mUslim yang diriwayatkan dari Hasan Bin Muhammad Bin Hanafiyah, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu untuk Nabi (Para Khalifah penggantinya setelah beliau wafat), untuk keluarga terdekat, dan untuk kelompok anak yatim, fakir miskin dan musafir (Yusuf, 1302: 21).

Dari sistem pembagian harta yang dilaksanakan oleh Abu Yusuf, akan terlihat dari empat bagiannya didistribusikan untuk prajurit, sedangkan seperlimanya disimpan pada bendahara umat atau Baitu al-Mal untuk kepentingan umat. Hal ini sesuai dengan ajaran al-Quran surat al-Anfal ayat 41 yang mengatur tentang distribusi harta rampasan perang tersebut. Melihat beberapa pertimbangan yang lebih mengacu kepada kebijakan umar yang berlandaskan ayat di atas, Abu Yusuf dalam kitab al-Kharaj memaparkan tentang distribusi harta ini dengan menjelaskan perwujudan dari alokasi anggaran, maka interpretasi dari tindakan tersebut, merupakan implementasi dari asas transparansi sistem dan politik ekonomi yang melingkupi beberapa aspek, seperti transparansi terhadap tentara sebagai keamanan negara, gaji pegawai, perbaikan masjid, lampu penerang, serta beberapa kepentingan lain yang sifatnya maslahah ammah (Yusuf, 1302: 19-20).

d) Menciptakan sistem ekonomi yang otonom Upaya menciptakan sistem ekonomi yang otonom terlihat pada pandangan Abu Yusuf dalam penolakannya atas intervensi pemerintah dalam pengendalian dan penetapan harga. Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya harga, tetapi ada variabel lain yang lebih menentukan. Pendapat Abu Yusuf ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW: Diriwayatkan gari Abdu al-Rahman bin Abi Laila, dari Hikam Bin Utaibah yang menceritakan bahwa pada masa Rasulullah harga pernah melambung tinggi, maka sebagian masyarakat pernah mengadu kepada Rasulullah dan meminta agar Rasulullah membuat ketentuan tentang penetapan harga ini. Maka Rasulullah berkata: tinggi dan rendahnya harga barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah, dan kita tidak bisa mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut. (Yusuf,1302: 87).

Teori harga Abu Yusuf tersebut memposisikan terbalik dari teori ekonomi konvensional yang menyatakan bahwa, naik dan turunnya harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran komoditi (teori Supply and Demand). Meskipun Abu Yusuf tidak secara tegas menolak keterkaitan supply dan demand, namun secara eksplisit memuat pemahaman bahwa tingkat naik dan turunnya produksi tidak akan berpengaruh terhadap harga. Dari pemikiran Abu Yusuf yang termuat dalam kitab al-Kharaj dapat disimpulkan meliputi beberapa bidang sebagai berikut:1) Tentang pemerintahan, Ia mengemukakan bahwa seorang penguasa bukanlah seorang raja yang dapat berbuat secara diktator. Ia adalah seorang khalifah yang mewakili Tuhan di bumi ini untuk melaksanakan perintah-Nya. Oleh karena itu penguasa harus bertindak atas nama Allah SWT. Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, ia menyusun sebuah kaidah fikih yang sangat populer yaitu tasharruf al-imam ala ar-raiyyah manutun bi al-maslahah (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan )2) Keuangan, Ia menyatakan bahwa uang negara bukan milik khalifah dan sultan, tetapi amanat Allah SWT dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Hubungan penguasa dengan kas negara sama seperti hubungan seorang wali dengan harta anak yatim yang diasuhnya.3) Pertanahan, Ia meminta kepada pemerintah agar hak milik tanah rakyat dihormati, tidak boleh diambil dari seseorang lalu diberikan kepada orang lain. Tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.4) Perpajakan, Ia berpendapat bahwa pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat yang ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka. 5) Peradilan, Ia mengatakan bahwa jiwa dari suatu peradilan adalah keadilan yang murni. Penghukuman terhadap orang yang tidak bersalah dan pemberian maaf terhadap orang yang bersalah adalah suatu penghinaan, terhadap lembaga peradilan. Menetapkan hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang subhat. Kesalahan dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum. Orang yang ingin menggunakan kekuasaan untuk mencampuri persoalan keadilan harus ditolak dan kedudukan seseorang atau jabatannya tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam persoalan keadilan (Dahlan, 1996: 18).

V. Studi Kritis Terhadap Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf Abu Yusuf menjadi salah satu dari dua referensi utama fiqh dalam mazhab Hanafi, selain Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani. Pengetahuannya tentang hadis juga tidak dapat diremehkan. Ini terlihat dalam kitab al-Asar karya putranya Yusuf. Kitab ini sarat dengan wacana fiqh Abu Hanifah dan Abu Yusuf (Al Junaidal, 1406 H: II/131). Keunggulan karya Abu Yusuf dalam bidang fiqh karena ditulis dengan metode: Pertama, menggabungkan metode fuqaha' (aliran ra'y) di Kufah dengan metode fuqaha' (aliran al-hadis) di Madinah. Kedua, rumusan hukumnya sejalan dengan fenomena aktual di tengah masyarakat sehingga sangat aplikatif dan realistis. Pengalamannya dalam menyelesaikan kasus-kasus riel, membuatnya banyak menghindar dari rumusan fiqh yang asumtif. Ketiga, bebas dalam berpendapat. Kemampuan Abu Yusuf menggabungkan metode fuqaha' aliran ra'yi dan aliran hadis membentuknya menjadi faqih independen, tidak berpihak kepada pendapat tertentu secara subyektif. Beliau melakukan ijtihad secara mandiri dan tidak terpengaruh oleh pendapat guru-gurunya. Keempat, komitmen pada sumber-sumber tekstual dan rasional. Metode ini menjadi tradisi para ulama ahl al-ra'y yang menggunakan nalar qiyas dan nalar istihsan serta mempertimbangkan al-'urf (tradisi masyarakat yang baik) (Al Junaidal, 1406 H: II/131). Dalam bidang ekonomi, terutama dalam kitab al-kharaj, Abu Yusuf pun menggunakan motode-metode tersebut. Kitab al-Kharaj merupakan jawaban atas proses dialogis yang dilakukan dengan Khalifah Harun al-Rasyid dan persoalan-persoalan masyarakat yang dijumpai Abu Yusuf pada masa itu. Jawaban atas semua persoalan tersebut diperkuat oleh dalil-dalil aqli dan naqli sehingga lebih unggul secara akademik dari pada kitab al-Kharaj karya Ibn Adam dan Qudama Bin Jafar yang hanya diperkuat oleh dalil-dalil naqli tanpa memberi kesempatan kepada nalar (M. Sadeq dan Aidit Ghazali, tt: 203). Abu Yusuf menggunakan pendekatan rasional dalam menyimpulkan teks hadis. Sehingga kualitas hadis dalam al-kharaj karya Abu Yusuf lebih sahih ketimbang dalam kitab al-kharaj karya Ibn Adam dan Qudama Bin Jafar. Dalam hal ini Abu Yusuf tidak mengabaikan praktek faktual para sahabat (a'mal al-sahabah) asalkan relevan dengan situasi yang ada mengingat kemaslahatan umum selalu menjadi pertimbangan utama (M. Sadeq dan Aidit Ghazali, tt: 203).

PEMIKIRAN EKONOMI AL GHAZALISebagaimana halnya para cendekiawan muslim terdahulu, perhatian Al- Ghazali terhadap kehidupan masyarakat tidak terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.Pemikiran ekonomi Al- Ghazali didasarkan pada pendekatan Tasawuf. Corak pemikiran ekonominya tersebut dituangkan dalam kitab Ihya Ulum al-Din, al- Mustashfa, Mizan Al- Amal, dan At- Tibr al Masbu fi Nasihat Al- Muluk. Dengan memperhatikan para perilaku individu yang dibahasnya menurut perspektif Al-Quran , sunnah dan fatwa sahabat tabiin serta petuah- petuah para sufi terkemuka. Menurut Mustafa Anas Zarqa, Al-Ghazali merupakan cendikiawan muslim pertama yang merumuskan konsep fungsi kesejahteraan (maslahah) sosial yang pertama.Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai Fungsi Kesejahteraan Sosial Islami. Menurut Al- Ghazali kesejahteraan dari semua masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharan lima tujuan dasar atau maqashid assyariah.Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, tujuan utama kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat ( maslahat al-dinwa al-dunya).[footnoteRef:2][4] [2: ]

Al-Ghazali mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam sebuah kerangka hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartie yakni Daruriat, Hajiyat dan Tahsiniyat. Hierarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan oridinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang- barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang- barang psikis.[footnoteRef:3][5] [3: ]

Mayoritas pembahsan Al-Ghazali mengenai berbagai permasalahan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya Ulum al-Din. Beberapa tema ekonomi yang dapat diangkat dari pemikiran Al-Ghazali diantaranya mencakup pertukaran sukarela dan evolusi pasar, aktivitas produksi, barter dan evolusi uang,serta peran negara dan keuangan publik.[footnoteRef:4][6] [4: ]

1. Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar

Pasar merupakan suatu tempat bertemunya antara penjual dengan pembeli. Proses timbulnya pasar yang beradasarkan kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan laba. Tidak disangsikan lagi, Al-Ghazali tampaknya membangun dasar- dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai Semangat Kapitalisme.[footnoteRef:5][7] [5: ]

Bagi Al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari hukum alam segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Al- Ghazali jelas-jelas menyatakan mutualitas dalam pertukaran ekonomi yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah dan sumber daya.

a. Permintaan, Penawaran, Harga, dan LabaSepanjang tulisannya, Al- Ghazali berbicara mengenai harga yang berlaku seperti yang ditentukan oleh praktek- praktek pasar, sebuah konsep yang dikemudian hari dikenal sebagai al-tsaman al- adil ( harga yang adil) dikalangan ilmuan muslin atau equilibrium price ( harga keseimbangan ) dari kalangan Eropa kontemporer.[footnoteRef:6][8] [6: ]

Beberapa paragraf dari tulisannya juga jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang naik dari kiri bawah ke kanan atas dinyatakan oleh dia sebagai jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah. Sementara untuk kurva permintaan yang turun dari kiri atas ke kanan bawah dijelaskan oleh dia sebagai harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan.[footnoteRef:7][9] [7: ]

b. Etika Perilaku PasarDalam pandangan Al- Ghazali , pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral pelakunya.secara khusus memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara menimbun makanan dan barang- barang lainnya, memberikan informasi yang salah mengenai berat, jumlah dan harga barangnya.

2. Aktivitas ProduksiImam Al- Ghazali mengklasifikasikan aktivitas produksi menurut kepentingan sosialnya serta menitikberatkan perlunya kerjasama dan koordinasi. Fokus utamanya adalah tentang jenis aktivitas yang sesuai dengan dasar- dasar etos Islam.[footnoteRef:8][10] [8: ]

a. Produksi Barang- barang Kebutuhan Dasar Sebagai Kewajiban SosialDalam hal ini, pada prinsipnya , negara harus bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap barang- barang kebutuhan pokok. Disamping itu Al- Ghazali beralasan bahwa ketidakseimbangan antara jumlah barang kebutuhan pokok yang tersedia dengan yang dibutuhkan masyarakat cenderung akan merusak kehidupan masyarakat.

b. Hierarki ProduksiKlasifikasi aktivitas produksi yang diberikan Al-Ghazali hampir mirip dengan klasifikasi yang terdapat dalam pembahasan kontemporer, yakni primer( agrikultur), sekunder ( manufaktur), dan tersier( jasa). Secara garis besar, ia membagi aktivitas produksi kedalam tiga kelompok berikut:[footnoteRef:9][11] [9: ]

1. Industri dasar , yakni industri- industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia.2. Aktivitas penyokong, yakni aktivitas yang bersifat tanbahan bagi industri dasar.3. Aktivitas komplementer, yakni yang berkaitan dengan industri dasar.

c. Tahapan Produksi , Spesialisasi, dan KeterkaitannyaAl-Ghazali mengakui adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk dikonsumsi. Selanjutnya , ia menyadari kaitan yang sering kali terdapat dalam mata rantai produksi sebuah gagasan yang sangat dikenal dalam pembahasan kontemporer.Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja , koordinasi dan kerja sama. Ia juga menawarkan gagasan mengenai spesialisasi dan saling ketergantungan dalam keluarga.

3. Barter dan Evolusi Uang

Tampaknya Al- Ghazali menyadari bahwa salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian adalah uang. Ia menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul dari pertukaran barter.a) Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap UangAl-Ghazali mempunyai wawasan yang sangat kompherhensif mengenai berbagai problema barter yang dalam istilah modren disebut sebagai:1) Kurang memiliki angka penyebut yang sama( lack of common denominator)2) Barang tidak dapat dibagi- bagi(indivisibility of goods) dan3) Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants)Walaupun dapat dilakukan, pertukaran barter menjadi sangat tidak efisien karena adanya perbedaan karakteristik barang- barang ( seperti unta dengan kunyit).Fungsi uang menurut Ghazali adalah: Sebagai satuan hitung (unit of account) Media penukaran (medim of exchange) Sebagai penyimpan kekayaan (store of value)Adapun fungsi uang yang ketiga ini menurutnya adalah bukan fungsi uang yang sesungguhnya. Sebab, ia menganggap fungsi tersebut adalah sama saja dengan penimbunan harta yang nantinya akan berakibat pada pertambahan jumlah pengangguran dalam kegiatan ekonomi dan hal tersebut merupakan perbuatan zalim

b) Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan Dengan IlahiDalam hal ini , Al- Ghazali menekankan bahwa uang tidak di inginkan karena uang itu sendiri. Uang baru akan memiliki nilai jika digunakan dalam suatu pertukaran. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tujuan satu- satunya dari emas dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang ( dinar dan dirham). Ia mengutuk mereka yang menimbun kepingan- kepingan uang atau mengubahnya menjadi bentuk lain.Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang melakukan penimbunan uang merupaka orang yang berbuat zalim dan menghilangkan hikmah yang terkandung dalam penciptaannya. Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 24: dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih

c) Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang Dalam hai ini ia membolehkan kemungkinan uang representatif ( token money), seperti yang kita kenal dengan istilah modern- sebuah pemikiran yang mengantarkan kita pada apa yang disebut sebagai teori uang feodalistik yang menyatakan bahwa hak bendahara publik untuk mengubah muatan logam dalam mata uang merupakan monopoli penguasa feoda.

d) Larangan RibaAl- Ghazali menyatakan bahwa menetapkan bunga atas utang piutang berarti membelokkan uang darifungsi utamanya, yakni untuk mengukur kegunaan objek pertukaran. Oleh karena itu, bila jumlah uang yang diterima lebih banyak dari pada jumlah uang yang diberikan , akan terjadi perubahan standar nilai. Perubahan ini terlarang.4. Peranan Negara dan Keuangan Publik

Dalam hal ini, ia tidak ragu- ragu menghukum penguasa. Ia menganggab negara sebagai lembaga yang penting, tidak hanya bagi berjalannya aktifitas ekonomi dari suatu masyarakat dengan baik, tetapi juga untuk memenuhi kewajiban sosial sebagaimana yang diatur oleh wahyu. Ia menyatakan: Negara dan agama adalah tiang- tiang yang tidak dapat dipisahkan darisebuah masyarakat yang teratur. Agama adalah fondasinya , dan penguasa yang mewakili negara adalah penyebar dan pelindungnya; bila salah satu dari tiang ini lemah, masyarakat akan ambruk.[footnoteRef:10][12] [10: ]

a. Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian dan StabilitasAl- Ghazali menitikberatkan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi, negara harus menegakkan keadilan, kedamaian dan keamanan , serta stabilitas. Ia menekankan perlunya keadilan serta aturan yang adil dan seimbang.Al- Ghazali berpendapat negara bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi yang layak untuk meningkatkan kemakmuran dan pembangunan ekonomi. Disamping itu , ia juga menulis panjang lebar mengenai lembaga al- Hisbah, sebuah badan pengawasan yang dipakai di banyak negara Islam pada waktu ini. Fungsi utama badan ini adalah untuk mengawasi praktik- raktik pasar yang merugikan.[footnoteRef:11][13] [11: ]

Gambaran Al- Ghazali mengenai peranan khusus yang dimainkan oleh negara dan penguasa dituliskan dalam sebuah buku tersendiri yang berjudul Kitab Nasihat Al- Muluk.

b. Keuangan PublikAl- Ghazali memberikan penjelasan yang rinci mengenai peran dan fungsi keuangan publik. Ia memperhatikan kedua sisi anggaran , baik sisi pendapatan maupun sisi pengeluaran.1) Sumber- sumber Pendapatan NegaraBerkaitan dengan berbagai sumber pendapatan negara, Al-Ghazali memulai dengan pembahasan mengenai pendapatan yang seharusnya dikumpulkan dari seluruh penduduk, baik muslim maupun non muslim, berdasarkan hukum Islam.Al- Ghazali menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan yang halal adalah harta tanpa ahli waris pemiliknya, tidak dapat dilacak, ditambah sumbangan sedekahah atau wakaf yang tidak ada pengelolanya.Pajak- pajak yang dikumpulkan dari non muslim berupa Ghanimah, Fai,jaziyah dan upeti atau amwal al masalih. Ghanimah adalah pajak atas harta yang disita setelah atau selama perang.Fai adalah kepemilikan yang diperoleh tanpa melalui peperangan.jaziyah dikumpulkan dari kaum non muslim sebagai imbalan dari dua keuntungan : pembebasan wajib militer dan perlindungan hak- hak sebagai penduduk.Disamping itu, Al- Ghazali juga memberikan pemikiran tentang hal- hal lain yang berkaitan dengan permasalahan pajak seperti administrasi pajak dan pembagian beban diantara para pembayar pajak.2) Utang PublikDengan melihat kondisi ekonomi, Al-Ghazali mengzinkan utang publik jika memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali dari pendapatan dimasa yang akan datang. contoh utang seperti ini adalah revenue bonds yang digunakan secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat.

3) Pengeluaran PublikPenggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang direkomendasikan Al- Ghazali bersifat agak luas dan longgar , yakni penegakan keadlan dan stabilitas negara, serta pengembangan suatu masyarakat yang makmur.Mengenai pembangunan masyarakat secara umum Al- Ghazali menunjukkan perlunya membangun infrastruktur sosioekonomi.Al- Ghazali mengakui Konsumsi bersama dan aspek spill- over dari barang- barang publik. Di lain tempat ia menyatakan bahwa pengeluaran publik dapat diadakan untuk fungsi- fungsi seperti pendidikan, hukum dan administrasi publik, pertahanan dan pelayanan kesehatan. [footnoteRef:12][1] [12: ]

PEMIKIRAN EKONOMI ASY SYAIBANIA. Al-Kasb (Kerja)Dalam kitab Al-Kasb (Kerja) ini, asy-Syaibani mendefinisikan al-Kasb (kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi Islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan halal-haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Dengan kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi.Produksi suatu barang atau jasa, seperti yang dinyatakan dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai utilitas (nilai-guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai utilitas jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal dan harta. Dengan demikian seorang muslim termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqasid) syariah, yakni memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Pandangan Islam tersebut tentu jauh berbeda dengan konsep ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna selama masih ada orang yang menginginkannya. Dengan kata lain, dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subjektif. Dalam pandangan Islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban imaratul kaum, yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Berkenaan dengan hal tersebut , Al-Syaibani menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sanga penting kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT dan karenanya, hukum bekerja adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil berikut:1. Firman Allah SWT. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumuah 62:10)2. Hadits Rasulullah SAW. Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim.Al-Syaibani menyatakan bahwa sesuatu yang dapat menunjang terlaksananya yang wajib, sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya. Lebih jauh ia menguraikan untuk melaksanakan berbagai kewajiban, seseorang memerlukan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan yang di dapat dari hasil kerja keras. Dengan demikian, kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunaikan kewajiban, maka hukum bekerja adalah wajib.Asy-Syaibani juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul terdahulu dan kaum muslimin diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka. Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa orientasi bekerja dalam pandangan Al-Syaibani adalah hidup untuk meraih keridhaan Allah SWT. Di sisi lain, kerja merupakan usaha untuk mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi dan distribusi yang berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.B. Kekayaan dan KefakiranMenurut Asy-Syaibani walaupun telah banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegaas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikan sebagai kondisi yang cukup (kifayah) bukan kondisi meminta-minta (kafafah). Dengan demikian Asy-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan baik untuk diri sendiri bukan keluarganya. Di sisi lain ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan untuk kebaikan. C. Klasifikasi Usaha-usaha PerekonomianAsy-Syaibani membagi usaha perekonomian menjadi empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian dan perindustrian. Dari keempat usaha perekonomian tersebut, Asy-Syabani lebih mengutamakan usaha pertanian. Menurutnya pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya. Dari segi hukum Asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ain.

D. Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara, yaitu makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom lain mengatakan bahwa keempat hal ini adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.E. Distribusi PekerjaanImam Asy-Syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Asy-Syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan orang kaya dan orang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong menolong itu, manusia jadi lebih mudah dalam menjalankan aktivitas kepada-Nya. Dalam konteks dmikian, Allah berfirman (Al-Maidah/5:2) : dan saling menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan ketakwaanLebih jauh Asy-Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau membantu saudaranya untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya, pekerjaan tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti yang di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.

Pemikiran ekonomi Abu UbaidDari beberapa literatur yang ada mengatakan bahwa Abu Ubaid hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abu Ubaid (w.224/834 H), Imam Ahmad bin Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist bi Asad al Muhasibi (165-243 11/781-857 M). Gottschalk (Adiwarman, 2004) menyebutkan bahwa dari segi latar belakang kehidupannya, Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadits (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha) terkemuka di masa kehidupannya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik.Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Parsi ke bahasa Arab juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit-banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut Gottschalk, pemikiran Abu Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu Amr Abdurrahman Ibn Amr al Azwa'i, karena seringnya pengutipan kata-kataAmrdalamal-Amwal, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syariah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus. Adiwarman (2004) menyebutkan bahwa Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim terkemuka pada awal abad ketiga Hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan revitalisasi system perekonomian berdasarkan Al-Quran dan Hadits melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan institusinya. Dengan kata lain, umpan-balik dari teori sosio-ekonomi Islami, yang berakar dari ajaran Al-Quran dan Hadits, mendapatkan tempat yang eksklusif serta diekspresikan dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid. Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudamah Assarkhasy mengatakan bahwa Abu Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu). Sedangkan menurut Ibnu Rohubah, "Kita memerlukan orang seperti Abu Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita". Dalam pandangan Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu Bakar bin Al-Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut lshaq, Abu Ubaid itu yang terpandai diantara aku. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abu Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abu Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu.Awal pemikirannya dalamKitab al-Amwaldapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap militer, politik dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun,Kitab al-Amwaldapat dikatakan lebih kaya dariKitab al-kharajdari sisi kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi 'in dan tabi' at-tabiin. Abu Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan syarat-syarat etisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosof Abu Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abu Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abu Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Quran dan Hadist. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Quran dan Hadist mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abu Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi'i dan Hambali mengklaim bahwa Abu Ubaid adalah berasal dari kelompok madzhab mereka.Tetapi dalam Kitab al-Amwal tidak ada disebut nama Abu Abdullah Muhammad ibn Idris asy-Syafi'i maupun nama Ahmad Ibn Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi'i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani. Sementara itu, tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahman ar-Ramharmudzibahwa Abu Ubaid melakukan plagiat terhadap Kitab fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syafi'i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abu Ubaid dan asy-Syafii belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadang kala Abu Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syafi'i tanpa menyebut nama.

Kitab Al-amwal.Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. Buku ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab al-Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafii lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al Hasan asy-Syaibani.Beberorang meyakini bahwa Adam Smith dalam bukunya yang legendaris, The Wealth of Nations, banyak dipengaruhi kitab Al-Amwal. Arti kata Al-amwal sama dengan arti kata The Wealth, yaitu kekayaan. Dalam Pembahasan Ekonomi Neoliberal dihadapan 1.000 kiai di Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya, Jakarta Barat, Sabtu (13/6), yang disampaikan Dr Adiwarman Karim dan sejumlah ekonom lain serta Ketua MUI Pusat KH Maruf Amin, dinyatakan bahwa The Wealth of Nation karya Adam smith banyak menyinggung tentang ekonomi Islam, antara lain pada jilid dua dan jilid lima.Imam Abu Ubaid dalam kitab berjudul Al Amwal memberikan definisi tentang Sistem Keuangan Publik Islam, yaitu sebagai sunuf al-amwal al-lati yaliha al-aimmah li al-raiyyah (sejumlah kekayaan yang dikelola pemerintah untuk kepentingan subjek). Yang dimaksud subjek di sini adalah rakyat. Dalam definisi ini terdapat empat konsep penting, yaitu :1. istilahamwal, yang menjadi judul buku mengacu kepada kekayaan publik,yang merupakan sumber keuangan utama negara, dikelompokkan menjadi fay, khums, dan zakat.Fay yang dimaksud adalah yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan lainnya seperti, penemuan barang-barang yang hilang (rikaz) kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris, dan lain-lain.Khums adalah seperlima dari hasil rampasan perang dan harta karun atau harta peninggalan tanpa pemilik.2. Aimmahmengacu kepada otoritas publik yang diberi kepercayaan untuk mengelola wilayah kekayaan publik.3. Wilayahmengisyaratkan bahwa kekayaan itu tidak dimiliki otoritas, tetapi merupakan kepercayaan demi kepentingan publik.4. Istilahraiyyahmengacu pada publik umum yang terdiri atas subjek muslim dan non muslim dalam administrasi Islam, yang mana kepada mereka manfaat harta itu didistribusikan.

Dalam permasalahan zakat, Abu Ubaid berpendapat bahwa ada tiga tingkatan pengelompokan sosio ekonomi yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Ia juga tidak menyetujui penentuan batas tertinggi penerimaan zakat bagi para mustahik. Ia menjelaskan bahwa dalam segi politik, kekayaan seseorang di bagi menjadi dua, yaitu kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah) dan kekayaan yang tidak tampak (amwal batiniyah). Menurutnya, pemerintah memiliki kekuatan politik hanya pada kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah). Sebaliknya, harta yang tesembunyi (amwal batiniyah), pemerintah tidak memiliki hak politik untuk memaksa orang membayar zakat dari jenis kekayaan ini. berkebalikan dengan harta yang tampak, yang masuk dalam wilayah zakat berkarakter politis, harta tersembunyi masuk dalam wilayah zakat berkarakter religius.Menurut Abu Ubaid, penarikan dan penyaluran zakat dilakukan oleh wilayah di mana masyarakat berada. Jadi, Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada komunitas masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya Muaz yang mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang mampu), kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman (yang berhak). Dengan pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah komunitis masyarakat. Mengenai Hal ini menuturkan dengan kisah yang dialami imam terdahulu, yaitu:Al-Amwal hal. 596:Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Muadz menjawab, Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu.Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.(Al-Qaradhawi, 1995).Al-Amwal hal.256:Khalifah Umar Abdul mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka tetapi di Baitul Mal masih terdapat banyak uang. Umar memerintahkan, Carilah orang yang dililit utang tapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya. Abdul Hamid kembali menyurati Umar, Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang. Umar memerintahkan lagi, Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya. Abdul Hamid sekali lagi menyurati Umar,Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah tetapi di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang. Akhirnya, Umar memberi pengarahan,Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah pinjaman kepada mereka agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih. (Al-Qaradhawi, 1995).

MOHAMMAD HATTA DAN PEMIKIRAN EKONOMINYAMohammad Hatta dilahirkan pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia dikenal sebagai Bung Hatta. Nama kecil beliau ialah Muhammad Athar. Bung Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, kemudian pada tahun 1913-1916, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Europeesche Lagere (ELS) di kota Padang. Saat berusia 13 tahun, Bung Hatta telah lulus ujian masuk ke HBS (setaraf SMU) di Batavia, sekarang Jakarta. Namun ibunya menolak dan ingin Hatta tetap di Padang dengan alasan usianya masih muda. Akhirnya ia melanjutkan pendidikannya di MULO, Padang, dan pada tahun 1919, beliau ke Batavia untuk belajar di HBS. Hatta menyelesaikan studinya pada tahun 1921 dan kemudian melanjutkan di Rotterdam, Belanda. Ia belajar ilmu perdagangan di Nederland Handelshogeschool (Pusat Pengajian Perdagangan Rotterdam, sekarang Erasmus Universiteit).Pada hari Senin tanggal 12 Agustus 2002 media mengekspos besar-besaran sebagai Hari ulang tahun Bung Hatta yang ke-100. Beliau Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, bersama Bung Karno, berani membubuhkan tanda tangannya pada naskah proklamasi yang mengantarkan kita menjadi bangsa merdeka dan berdaulat, sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. Beliau adalah bapak bangsa sejati. Keberanian membubuhkan tanda tangan itu bukan tanpa risiko. Oleh penjajah, mereka dituduh sebagai pemimpin pemberontakan, makar, penggulingan kekuasaan, bahkan kemungkinan akan dinyatakan sebagai penjahat perang. Sehingga tak heran bila ketika itu ada tokoh pergerakan kemerdekaan yang secara terang-terangan menolak untuk membubuhkan tanda tangan.Meskipun Jepang telah takluk dalam Perang Pasifik dan PD II, tetapi Jepang masih belum memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Di lain pihak, Belanda yang telah lama menjajah kepulauan nusantara dan hanya 3,5 tahun diselingi Jepang, masih bernafsu untuk kembali menduduki bekas koloninya. Maka, bila rakyat Indonesia tidak bisa bertahan dan mempertahankan kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta lah yang paling dianggap bertanggung jawab atas segala kekacauan dan peralihan kekuasaan pemerintahan secara illegal. Tetapi Bung Karno dan Bung Hatta telah yakin pada diri mereka, bangsa Indonesia telah sadar akan arti pentingnya kemerdekaan. Bangsa Indonesia akan mempertahankan kemerdekaan, bukan hanya untuk menyelamatkan mereka berdua, tetapi menyelamatkan kebebasan dan kesempatan hidup berbangsa dan bernegara secara berdaulat. Menyelamatkan harga diri bangsa. Proklamasi kemerdekaan adalah ungkapan paling lantang akan semangat besar untuk hidup sebagai bangsa yang berdiri sendiri dan tidak dikangkangi penjajah. Proklamasi kemerdekaan, itulah hadiah terbesar yang diterima bangsa Indonesia dari dua tokoh besar yang lahir satu abad silam.Pada saat memperingati 100 tahun Bung Hatta delapan tahun silam, yang dilahirkan di Bukittinggi, 12 Agustus 1902 diwarnai dengan berbagai seruan untuk meneladani moralitas Bung Hatta. Berbagai media massa mengkampanyekan paling tidak tiga nilai baik Bung Hatta, santun, jujur, dan hemat. Nilai-nilai yang menjadi kepribadian Bung Hatta itu sampai sekarang tentu masih sangat relevan untuk dilaksanakan. Sepanjang hidupnya, Bung Hatta berperilaku senantiasa menampilkan sikap yang santun terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Terhadap Bung Karno yang pada masa sebelum kemerdekaan melakukan kerja sama cukup erat namun kemudian mereka tidak dapat bekerja sama secara politik, tetapi sebagai sesama manusia, Bung Hatta masih menghormatinya. Ketika Bung Karno sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula sebaliknya. Kesantunan menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling menghargai. Bahkan ada ungkapan, bila ada pejabat negara yang paling jujur, hampir seluruh bangsa Indonesia akan menyebut nama Bung Hatta. Bukan hanya jujur, tetapi ia juga uncorruptable. Kejujuran hatinya membuat dia tidak rela untuk menodainya melakukan tindak korupsi.Seorang mantan wakil presiden, orang yang menandatangani proklamasi kemerdekaan, orang yang memimpin delegasi perundingan dengan Belanda, negara yang pernah menjajahnya, hingga Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar membeli sepasang sepatu bermerek terkenal. Bahkan, dalam berbagai versi disebutkan, untuk membayar rekening air dan listrik, Bung Hatta yang mengandalkan hidupnya dari uang pensiunan seorang wakil presiden ternyata tidak cukup. Apalagi untuk membeli keperluan lain, seperti sepatu, yang dianggap oleh dirinya sebagai pemenuhan kebutuhan pribadi. Ia masih memikirkan kehidupan keluarga, istri dan tiga orang anaknya. Sampai akhir hayatnya Bung Hatta dikenal sebagai orang yang tetap sederhana. Dengan pengalaman dan pergaulannya yang sangat luas, serta memiliki pemahaman yang mendalam di bidang ekonomi, hukum, pemerintahan, rasanya tidak akan sulit bagi Bung Hatta untuk berlaku tidak sederhana. Ia bisa menjadi orang yang kaya secara materi, dan tidak perlu merasakan kesulitan dalam hidupnya. Tetapi, visi keneragarawannya mengatakan dia harus menjaga simbol kenegaraan. Bukan untuk dirinya sindiri. Maka, ia menikmati hidup dari uang pensiun. Dengan jumlah yang tidak seberapa, namun mampu melaksanakan gaya hidup yang hemat, uang pensiun itu cukup menghidupinya sekeluarga. Bagi Bung Hatta, tentu saja sangat mudah menerima tawaran bekerja dari berbagai perusahaan, baik lokal maupun internasional. Tetapi, bagaimana dengan citra wakil presiden. Bagaimana mungkin seorang mantan wakil presiden menjadi konsultan perusahaan A. Apakah hal itu tidak memunculkan bias dalam persaingan usaha, mengingat hebatnya pengalaman Bung Hatta? Inilah yang Bung Hatta hindari. Ia ingin menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi nama baik bangsa dan negara.Sebagai orang yang memiliki kesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi dibanding saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air, Hatta merasa memiliki kewajiban untuk ikut menyebarkan pemikiran dan pemahaman, terutama dalam hal kehidupan dalam sebuah negara merdeka. Ia banyak menulis tentang bagaimana sengsaranya rakyat yang hidup dalam jajahan bangsa lain. Sebaliknya, bangsa yang menjajah hanya tinggal menikmati hasil dari keringat rakyat yang dijajah. Dalam sistem ini, secara tegas Hatta tidak melihat adanya keadilan. Untuk menyadarkan rakyat akan pentingnya arti kemerdekaan, bukan hal yang mudah. Jauh lebih sulit lagi ketika harus menjelaskan apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh dilakukan ketika sudah merdeka. Rakyat Indonesia harus memiliki kesamaan pandang dalam menatap masa depan. Untuk itu rakyat perlu dididik. Yang paling mendasar adalah mereka bebas dari buta huruf, baca dan tulis . Sehingga pengetahuan mereka akan terus terbuka dengan membaca berbagai informasi yang beragam. Diharapkan nantinya akan muncul pemahaman yang baik mengenai perjalanan mengisi kemerdekaan. Tentu, membaca tidak akan berguna banyak bila tidak ada bahan bacaan. Maka, Bung Hatta secara konsisten membuat tulisan yang menggugah semangat kemerdekaan, mewujudkan cita-cita negara setelah kemerdekaan, mengelola negara dengan baik agar tidak menyusahkan rakyat di era yang sudah merdeka, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan berbagai tulisan lainnya.Antara tulisan dan perbuatan Bung Hatta dengan sikap dan tindakannya tidak terjadi pertentangan. Ia adalah orang yang konsisten menjalankan sikap yang telah diambilnya. Tak perlu heran ketika tiba-tiba Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956, karena merasa tidak cocok lagi terhadap Bung Karno, presiden Indonesia saat itu. Ia menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak bisa menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi dengan benar. Jelas, bagi Bung Hatta ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Bung Karno, sahabatnya sejak masa perjuangan kemerdekaan, telah dilakukan. Tetapi, Bung Karno tidak berubah sikap. Hatta pun tidak menyesuaikan sikap dengan Bung Karno. Karena merasa tidak mungkin lagi menjalin kerja sama, akhirnya Bung Hatta memilih mengundurkan diri dan memberi kesempatan kepada Bung Karno untuk membuktikan konsepsinya.Bung Hatta memang tidak pernah menjadi presiden republik ini meski bila ditinjau dari jasa, pengetahuan, peran, dan risiko yang diambilnya, ia layak untuk menduduki jabatan itu. Kesempatan memang tidak datang padanya. Tetapi, ia telah menjadi bapak bangsa dengan moralitas tinggi. Ia adalah cermin dan pedoman dari tokoh yang lurus dan bersih serta memiliki nama baik yang senantiasa dijaganya. Sampai kini, nama Bung Hatta tetap terjaga baik dan harum.Hatta menginginkan agar koperasi menjadi wadah ekonomi yang dapat menolong masyarakat dari kemelaratan dan keterbelakangan. Banyak jasa bung hatta dalam perkembangan koperasi di Indonesia. Hal ini jelas dari gagasan Bung Hatta agar kekuatan-kekuatan ekonomi ada ditangan rakyat. Agar kekuatan ekonomi dikuasai oleh rakyat banyak dan bukan dikuasai oleh perusahaan, koperasi adalah satu-satunya wadah. Untuk tujuan itu, Bung Hatta bersama dengan tokoh lainnya ikut aktif merintis Dewan Koperasi Indonesia (DKI), Gerakan Koperasi Indonesia (GKI), dan Kesatuan Koperasi Seluruh Indonesia (KOKSI).Konsep pemikiran Bung Hatta banyak diterima pada kongres koperasi I di Tasikmalaya dan Kongres Koperasi II. Beliau juga member gagasan pendirian Sekolah Menengah Ekonomi Jurusan Koperasi dan bahkan pendidikan tinggi koperasi.Disisi lain kondisi kapitalisme saat ini telah menggerogoti seluruh aspek kehidupan kita. Dari tukang becak sampai para pejabat tinggi. Tidak pandang bulu sadar atau tidak pemikiran kita telah terkontaminasi tradisi kapitalisme. Maka tidak heran banyak suap menyuap di peradilan. Gayus bisa leluasa berkeliaran kemana saja saat dipenjara. Ini semua karena Gayus memegang capital. Hal ini tidak mungkin terjadi ketika yang dipenjara tidak punya apa-apa. Harta telah mempengaruhi segalanya. Keputusan hakim bahkan bias dibeli dengan harta. Penjara bias dibeli dengan harta. Penjara yang tadinya untuk menjerakan sekarang menjadi menyenangkan bagi yang beruang. Kerakusan pemilik modal telah menjarah kehidupan masyarakat. Nah untuk melawan para pemilik modal yang rakus ini kita memerlukan komunitas-komunitas ekonomi yang mandiri. Komunitas-komunitas ekonomi yang memiliki komitmen untuk mensejahterakan seluruh anggota komunitasnya dan mencoba terus berjuang melawan kerakusan dan keserakahan para pemilik modal yang menjadi tuan-tuan dalam ranah kapitalisme. Dan satu-satunya sistem ekonomi yang memiliki kekuatan komunitas ini mennurut Mohammad Hatta adalah koperasi. Mohammad Hatta salah satu proklamator kemerdekaan bangsa dan negara ini telah mengajari kita bagaimana caranya. Kita sebaiknya menggali kembali pemikiran Bapak Guru bangsa ini sambil melakukan penyempurnaan yang masih dirasa kurang. Satu-satunya sistem ekonomi dari, oleh dan untuk komunitas adalah koperasi. Produk-produk koperasi bisa terus dikembangkan. Bahkan segala kelebihan sistem perbankan pun bisa kita adopsi pada koperasi ini yang tentu saja koperasi akan memihak kesejaheraan anggoata-anggotanya bukan para pemilik modal yang rakus dan korup.Sekuat apapun peruasahaan besar (saya menganalogikan vendor dalam dunia software) tidak akan berpengaruh banyak terhadap komunitas-komunitas (anggota koperasi) jika masing-masing diri tetap berkomitmen terhadap komunitasnya, seperti kehebatan .NET tidak mempu memalingkan komunitas Java yang semakin hari semakin terasa kekuatannya. Sampai-sampai Bill Gates pun kelimpungan bagaimana cara membendung kekuatan komunitas ini. Satu-satunya kekuatan yang mampu menggulingkan tahta kekuasaan kapitalisme dari kerajaan sistem ekonomiadalah komunitas koperasi. Akhirnya saya ingin menutup tulisan ini dengan kalimat Kekuatan itu adalah komunitas. Islam tegak dengan kekuatan, dan kekuatan ada dalam jamaah. Bagi teman-teman pergerakan yel-yel rakyat bersatu tak bisa dikalahkan, memang benar adanya. Hanya saja untuk menyatukannya butuh strategi dan -dalam dunia kapitalis- kekuatan ekonomi.