case report nph

Upload: oni-juniar-windrasmara

Post on 18-Jan-2016

248 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

CASE REPORTNEURALGIA POST HERPETIK

Pembimbing :dr. Sunaryo, Sp. KK

Disusun oleh:

Oni Juniar Windrasmara, S.Ked J500090003Nova Rachmaniah, S.Ked J500100001Adni Miftah, S.Ked J500100032

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU KULIT DAN KELAMINRSUD KARANGANYARFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA2015

CASE REPORTNEURALGIA POST HERPETIK

Diajukan oleh:Oni Juniar Windrasmara, S.Ked J500090003Nova Rachmaniah, S.Ked J500100001Adni Miftah, S.Ked J500100032

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Stase Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pada hari , Februari 2015

Pembimbing :dr. Sunaryo, Sp.KK(.)

Dipresentasikan dihadapan :dr. Sunaryo, Sp.KK(.)

Disahkan Ka Profesi FK UMSdr. D. Dewi Nirlawati(.)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU KULIT DAN KELAMINRSUD KARANGANYARFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA2015

BAB ISTATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIENNama: Tn. HDUmur: 57 tahunAlamat: Dologan RT 3/RW 6 Pereng MojogedangPekerjaan: Pedagang KambingAgama: IslamSuku: JawaMasuk RSUD: 30 Januari 2015No. RM: 3278xx

B. KELUHAN UTAMANyeri hebat di dada kiri dan menjalar sampai punggung disertai panas C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANGPasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Karanganyar dengan keluhan nyeri hebat di dada sebelah kiri dan nyeri tersebut juga dirasakan menjalar ke punggung belakang. Pasien juga merasa keluhan nyeri tersebut disertai dengan rasa panas seperti terbakar. Keluhan ini dirasakan pasien sudah sejak setengah bulan sebelum memeriksakan diri ke RSUD Karanganyar. Awalnya pada setengah bulan yang lalu pasien merasakan bagian dadanya yang sebelah kiri sampai belakang tiba-tiba muncul bercak berwarna kemerahan dan gatal. Keluhan itu menyebar semakin luas di sekitarnya dan menjadi panas serta muncul rasa nyeri. Kemudian bercak tersebut berubah menjadi benjolan-benjolan kecil yang bernanah. Pasien kemudian berobat di puskesmas dan apotek, lalu pasien diberikan obat oles dan tablet yang tidak diketahui namanya oleh dokter di puskesmas. Dalam waktu 1 minggu bercak kemerahan yang bernanah tersebut menjadi kering dan sembuh, namun nyeri dan panas yang dirasakan pasien ini tidak berkurang sehingga pasien merasa terganggu aktifitasnya dan kemudian memeriksakan dirinya ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Karanganyar. D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULUa. Riwayat penyakit yang serupa : disangkalb. Riwayat alergi obat dan makanan: disangkalc. Riwayat asma : disangkald. Riwayat rhinitis : disangkale. Riwayat diabetes mellitus : disangkalf. Riwayat hipertensi : disangkalg. Riwayat penyakit jantung : disangkal

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGAa. Riwayat penyakit kulit pada keluarga: disangkalb. Riwayat alergi obat dan makanan : disangkalc. Riwayat diabetes mellitus : disangkald. Riwayat hipertesi : disangkal

F. RIWAYAT HYGIENEa. Pasien mandi dua kali sehari dengan air sumur dan memakai sabunb. Pasien mengganti pakaian dua sampai tiga kali seharic. Pasien mempunyai hewan ternak dirumah, yaitu kambing

G. RIWAYAT SOSIAL EKONOMIPasien merupakan seorang wiraswasta yang bekerja sebagai pedagang kambing yang tinggal di sebuah rumah dengan istri, anak, cucu, dan menantunya. Dinding rumah terbuat dari tembok, lantai dari keramik. Sumber mata air dari sumur.

H. ANAMNESIS SISTEMIKNeuro : Nyeri di dada sebelah kiri yang penjalarannya sesuai dermatoum Vertebrae Thorakal 1-Thorakal 5 (+), gemetaran (-), sulit tidur (-)Kardio : nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)Pulmo : sesak nafas (-), batuk lama (-)Abdomen : diare (-), kembung (-), sulit buang air besar (-)Urologi : BAK lancar, panas (-)Muskulo : nyeri otot (-), nyeri sendi (-)

I. PEMERIKSAAN FISIKa. Status generalisKeadaan umum : Compos mentisVital sign Nadi : 80x/menit Respirasi : 22x/menit Suhu : 37Cb. KepalaMata : konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)Bibir : sianosis (-)Pembesaran kelenjar getah bening (-)c. ThoraxParu Inspeksi : gerak simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-) Palapsi : fremitus taktik kanan kiri sama Perkusi : sonorJantung Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat Palpasi : ictus cordis tidak teraba Perkusi : redupd. AbdomenInspeksi : simetris, distensi (-), bekas operasi (-), massa (-)Perkusi : tynmpaniPalpasi : nyeri tekan (-)e. EkstremitasEdema (-), hematoma (-), luka bekas operasi (-)

J. STATUS LOKALISa. Lokasi : nyeri di dada sebelah kiri yang menjalar sampai di punggungb. Efloresensi : Sisa-sisa krusta yang sudah mengalami penyembuhan

K. DIAGNOSIS BANDINGAMI

L. DIAGNOSIS KERJANeuralgia Post Herpetik

M. TERAPIa. Edukasi : 1) Minum obat teratur2) Jaga kebersihan badan3) Tidak ada makanan pantanganb. Medikamentosa:R/ Gabapentin mg 300 No. XVS 3 dd caps II R/ Amitriptilin tab No. VIIS 1 dd tab R/ Sohobion tab No XIIS 3 dd tab 1R/ Dolones 10grLamodex tube No. VMf.la creamS 2 dd UE

N. PROGNOSISAd bonam

O. FOLLOW UP

S O A

Pasien dengan keluhan nyeri masih dirasakan namun sudah sedikit berkurang, badan terasa lemas dan merasa tidak kuat menahan sakitnya. Pasien dirawat inap di RS Jafar Medika sejak Selasa sore. Status lokalis:Sisa-sisa krusta proses penyembuhan. Neuralgia Post Herpetik

BAB IIISI

A. DefinisiNyeri post herpetikum (Neuralgia Post Herpetik = NPH / Post Herpetic Neuralgia = PHN) merupakan nyeri persisten yang muncul setelah ruam Herpes Zoster telah sembuh (biasanya dalam 1 bulan). Nyeri ini terjadi disepanjang serabut saraf yang mengikuti pola ruam segmental dari Herpes Zoster.3Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon, 1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang menetap setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes zoster lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah definisi menurut Dworkin. Sesuai dengan definisi sebelumnya maka The International Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post herpetika sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas.4NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 3 bulan setelah onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan sebagai sensasi terbakar (burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching). Nyeri ini juga dihubungkan dengan gejala yang lebih berat lagi seperti disestesia, parestesia, hiperstesia, allodinia dan hiperalgesia. Pada pasien dengan NPH, biasanya terjadi perubahan fungsi sensorik pada area yang terkena. Pada satu penelitian, hampir seluruh penderita memiliki area erupsi yang sangat sensitif terhadap nyeri, dengan sensasi abnormal terhadap sentuhan ringan, nyeri atau temperature pada area kulit yang terkena. Nyeri umumnya dipresipitasi oleh gerakan (allodinia mekanik) atau perubahan suhu (allodinia termal). Sementara pada penelitian lainnya dinyatakan bahwa derajat defisit sensorik berhubungan dengan beratnya nyeri. Selain itu, pasien dengan NPH lebih cenderung mengalami perubahan sensorik dibanding penderita dengan zoster yang sembuh tanpa neuralgia.5

B. PrevalensiDi Amerika Serikat, frekuensi PHN yang terjadi 1 bulan setelah onset dilaporkan sebanyak 9-14,3 % dan 3 bulan setelah onset sebanyak 5 %, sedangkan dalam waktu 1 tahun, 3 % akan mengalami nyeri yang lebih berat.6Insiden bervariasi berdasarkan umur dan status imunologis, dari range 0,4 hingga 1,6 kasus per 1.000 populasi normal pada usia dibawah 20 tahun, dan 4,5 hingga 11 kasus per 1.000 populasi normal pada usia 80 tahun atau lebih.7 Sebuah penelitian di Islandia menunjukkan bahwa variasi resiko PNH ini dihubungkan dengan kelompok umur tertentu. Dari sampel penelitian didapatkan bahwa tidak ada sampel yang berusia dibawah 50 tahun dilaporkan menderita nyeri hebat, dan pasien yang berumur lebih dari 60 tahun dilaporkan mengalami nyeri yang lebih hebat : 6% 1 bulan setelah onset dan sebanyak 4% 3 bulan setelah onset.6Resiko serangan kedua sama tingginya dengan resiko yang terjadi pada serangan yang pertama. Angka kejadiannya beberapa kali lebih tinggi pada orang dewasa penderita infeksi HIV atau pada pasien penderita keganasan dan 50 hingga 100 kali lebih tinggi pada anak-anak dengan Leukemia dibandingkan dengan orang-orang sehat dengan usia yang sama. Resiko nyeri post herpetik meningkat sesuai pertambahan umur. Insidens nyeri post herpetik meningkat pada pasien-pasien dengan Ophtalmic Zoster dan kemungkinan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria.7

C. Etiologi Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zoster. Virus varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Ditengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster memiliki diameter sekitar 150-200 nm. Infeksi primernya secara klinis dikenal dengan Varicella (chicken pox), umumnya terjadi pada anak-anak. Tipe Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV).8 Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion genikulatum.6

Tabel 1 : Tipe-tipe Virus Herpes pada Manusia(dikutip dari kepustakaan 8)

D. PatofisiologiInfeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varicella atau cacar air. Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun.2,3,8 Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body.2,3,8

Gambar 1 : Patologi Herpes Zoster(dikutip dari kepustakaan 8)

Neuralgia Post Herpetik memilikipatofisiologiyangberbedadengannyeri herpeszosterakut.NPH, komplikasi dari herpes zoster, adalah sindrom nyeri neuropatik yang dihasilkan dari kombinasi inflamasi dan kerusakan akibat virus pada serat aferen primer saraf sensorik. Setelah resolusi infeksi primer varicella, virus tetap aktif di ganglia sensorik. Virus ini diaktifkan kembali atau mengalami reaktivasi, bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan berhubungan dengan kerusakan pada ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi histopatologi telah menunjukkan fibrosis dan hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal), jaringan parut, serta kehilangan akson dan mielin (pada saraf perifer yang terlibat), atrofi (dari tanduk dorsal sumsum tulang belakang), dan peradangan (sekitar saraf tulang belakang) dengan infiltrasi dan akumulasi limfosit. Selain itu, ada pengurangan saraf inhibitor berdiameter besar dan peningkatan neuron eksitasi kecil, pada saraf perifer.9,10Mekanisme terjadinya neuralgia pasca herpetika dapat berlainan pada setiap individu sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan dengan neuralgia pascaherpetika juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis menyebabkan respon inflamasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan kematian sel neuron. Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis.7,8Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal sepanjang saraf menuju ke kulit, menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang virus menyebar secara sentripetal ke arah medula spinalis (mengenai area sensorik dan motorik) serta batang otak. Hal ini menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan sentral.11

Gambar 2 : Desensitasi dan DeaferenisasiSensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C yang halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris terhadap suhu menurun, menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti terbakar. Selain itu juga terjadi letupan ektopik dari nosiseptor C yang rusak sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat stimulus yang pada keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon atas menghilangnya sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan tersebut, terbentuk tunas-tunas serabut saraf A yang menerima rangsang non-noksius mekanoseptor di lapisan superfisial kornu dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini menyebabkan hubungan antara serabut saraf A yang tidak menghantarkan nyeri dengan serabut saraf C, sehingga stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus) dipersepsikan sebagai nyeri.11Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang menyebabkan terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa alodinia dan hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari serabut saraf aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah glutamat yang berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat diproduksi oleh serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada keadaan istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik -amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor metabotropik glutamat (mGluRs), sedangkan reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan terjadi saat glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi pascasinap yang berulang akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan depolarisasi membran yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari blok ion magnesium yang selanjutnya menyebabkan influks kation-kation ke dalam sel dan depolarisasi membran makin progresif.5,9 Neuralgia pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi pada serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang masih terhubung dengan badan sel akan membentuk tunas-tunas baru. Tunas-tunas baru ini ada yang mencapai organ target, sedangkan yang tidak mencapai organ target akan membentuk neuroma, di neuroma ini akan terakumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal ion natrium, molekul-molekul transduser dan reseptor-reseptor baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya letupan ektopik, mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya nyeri konstan pada area tersebut.3,4,9,11

Gambar 3 : Mekanisme Sensitisasi Sentral dan Perifer(dikutip dari kepustakaan 12)

Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes zoster tetapi tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.3,10

E. Manifestasi KlinisTanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke dalam tiga fase:1,9,121. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu 2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung-gelembung herpesnya. Keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.1,9,12Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.1,9,12Pada masa gelembung gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena. Nyeri hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat nyeri neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama dalam hal serangannya yaitu tiap serangan muncul secara tiba tiba dan tiap serangan terdiri dari sekelompok serangan serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan sakit kepala di belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila penderita datang sebelum gelembung gelembung herpes timbul, untuk meramalkan bahwa nanti akan muncul herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya serangan neuralgia, justru tempat tempat bekas herpes yang anestetik itu yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum dan yang di daun telinga neuralgia postherpatikum otikum.1,9,12Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir. Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.1,9,12

F. Diagnosisa. AnamnesisNyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan gejala tipikal herpes zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada erupsi kulit, nyeri yang timbul berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau yang dikenal sebagai nyeri post herpetik. Nyeri ini sering digambarkan sebagai rasa terbakar, tertusuk-tusuk, gatal atau tersengat listrik.8,13,14,15b. Pemeriksaan Fisik8,13,14,151. Nyeri kepala, yang timbul sebagai respon dari viremia2. Munculnya area kemerahan pada kulit 2-3 hari setelahnya3. Daerah terinfeksi herpes zoster sebelumnya mungkin terdapat skar kutaneus4. Sensasi yang ditimbulkan dapat berupa hipersensitivitas terhadap sentuhan maupun suhu, yang sering misdiagnosis sebagai miositis, pleuritik, maupun iskemia jantung, serta rasa gatal dan baal yang misdiagnosis sebagai urtikaria5. Muncul blister yang berisi pus, yang akan menjadi krusta (2-3 minggu kemudian)6. Krusta yang sembuh dan menghilangnya rasa gatal, namun nyeri yang muncul tidak hilang dan menetap sesuai distribusi saraf (3-4 minggu setelahnya).7. Alodinia, yang ditimbulkan oleh stimulus non-noxius, seperti sentuhan ringan 8. Perubahan pada fungsi anatomi, seperti meningkatnya keringat pada area yang terkena nyeri ini.c. Pemeriksaan PenujangPemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu: 8,13,14,151. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya.2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22% kasus.5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan herpes simpleks dengan herpes zoster7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung diagnosis herpes zoster subklinis.

G. PenatalaksanaanSecara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.1,16,17a. Terapi farmakologis:1,16,171. AntivirusIntensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster yang timbul akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian asiklovir, Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 10 hari diberikan pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.Efek samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia, edema, dan radang tenggorokan. Valasiklovir diberikan dengan dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari secara oral. Efek samping yang dapat ditemukan da;lam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500 mg/hari selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan opbat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, pusing, nyeri.2. AnalgesikTerapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik. Jika diserta infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan.3. Anti epilepsiMekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang dianjurkan sebesar 1800-3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.4. Anti depressanAnti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. dengan pemberian tricyclic antidepressant seperti amiitriptyline dengan dosis, 25-150 mg/d secara oral. Obat ini akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan phenitiazine. TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.5. Terapi topikalAnestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA.

Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan lidocaine patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua. Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada uji klinik ini).

b. Terapi non farmakologis1,16,171. AkupunkturAkupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.2. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.3. VaksinPenggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neuralgia Postherpertika pada orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang yang menderita neuralgia post herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata dapat mereduksi nyeri yang ditimbulkan hingga 66,5 %.

H. PencegahanCara mencegah Nyeri Post Herpetikum ini adalah dengan mencegah terinfeksinya virus Zoster itu sendiri.7 Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat diusahakan dengan kombinasi agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster. Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan saraf dan nyeri akut. Terapi antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan, dan lebih baik jika dimulai pada tiga atau empat hari pertama. Terapi antiviral diharapkan dapat menghentikan replikasi virus, sehingga durasi penyakit akan lebih singkat, dan menurunkan kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral yang dapat digunakan adalah asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi analgetika akan mengurangi nyeri yang merupakan faktor risiko utama neuralgia pascaherpetika.10,11Telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang direkomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bagi mereka yang berusia 60 tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang melibatkan ribuan lansia berusia 60 tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes zoster sebesar 51% dan risiko neuralgia pascaherpetika sebesar 67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6 tahun atau bahkan lebih.9,11 Selain itu, The United States Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) juga telah merekomendasikan lansia diatasumur 60 tahun untuk memperoleh vaksin herpes zoster ini sebagai bagian dari perawatan kesehatan rutin.18 Vaksin Oka-strain hidup baru-baru ini telah disetujui oleh Food and Drug Administration untuk mencegah Varicella.7,19

I. PrognosisSindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi denagn lambat. Pada pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik terhadap obat-obatan analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun pada sebagian kasus, nyeri yang dirasakan semakin memburuk dan tidak berespon terhadap terapi yang diberikan.20Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan pencarian lanjutan untuk mencari terapi yang sesuai.20Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.20Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.20

BAB IIIPENUTUP

Nyeri Post Herpetikum adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster. Herpes zoster sendiri merupakan suatu reaktivasi virus Varicella yang berdiam di dalam jaringan saraf. NPHdapatdiklasifikasikanmenjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelahtimbulnyaruampadakulit)danNPH(rasasakityangterjadisetidaknya120harisetelahtimbulnyaruampada kulit). NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. Ketika telah berumur tua, terutama pada usia 60 tahun ke atas, atau dalam keadaan imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami reaktivasi.NPH terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer mengadakan discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi untuk menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan nyeri. Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Penatalaksanaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini tidak terlalu berarti, cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosa penyakit ini sudah dapat ditegakkan. Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat sembuh dengan terapi yang teratur.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rabey M, M. Manip. Post-herpetic Neuralgia: Possible Mechanisms for Pain Relief with Manual Therapy. 2003. London: Science Direct. p180-184.2. Turk D, Ronald M. Handbook of Pain Assessment. Edisi 2. 2001. London: The Guilford Press.3. Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada: Elsevier. p654-674.4. Dubinsky R, et al. Practice Parameter: Treatment of Postherpetic Neuralgia. 2004. American Academy of Neurology. p959-965.5. Alvin W. Postherpetic Neuralgia; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A. 2012.6. Kost R, Stephen E. Postherpetic Neuralgia: Pathogenesis, Treatment, and Prevention. 1996. The New England Journal of Medicine. p32-40.7. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and Therapeutic Considerations. Volume 11. 2006. Alternative Medicine Review. p102-111.8. Jericho B. Postherpetic Neuralgia: A Review. Volume 16. 2010. Chicago: The Internet Journal of Orthopedic Surgery. 9. Panlilio L, Paul J, Srinivasa N. Current Management of Postherpetic Neuralgia; dalam The Neurologist. Volume 8. 2002. Baltimore. p339-350.10. Regina, Lorettha W. Neuralgia Pascaherpetika. Volume 39. 2012. Jakarta. p416-419.11. Gharibo C, Carolyn K. Neuropathic Pain of Postherpetic Neuralgia. 2011. New York: Pain Medicine News. p84-91.12. Bowsher D. The Management of Postherpetic Neuralgia. 1997. Liverpool: The Fellowship of Postgraduate Medicine. p623-629.13. Scadding J. Neuropathic Pain. Volume 3. 2003. ACNR. p8-14. 14. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Clinical Presentation; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A. 2012.15. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Workup; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A. 2012.16. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Medication; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A. 2012.17. Dworkin R, Kanneth E. Treatment and Prevention of Postherpetic Neuralgia. 2003. New York: Clinical Infectious Disease. p877-882.18. Vorvick L. Shingles; dalam Medline Plus. 2012. 19. Department of Neurological Surgery. Postherpetic Neuralgia. 2013. New York: Columbia Neurosurgery.20. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Follow-up; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A. 2012.