case report gangguan tumbuh kembang-2
DESCRIPTION
Case reportTRANSCRIPT
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FKUP/ RSHS BANDUNG
Divisi : Tumbuh - Kembang dan Pediatrik Sosial
Oleh : dr. Erika
Pembimbing : Prof. Dr. H. Kusnandi Rusmil dr., SpA(K), MM.
Dr. dr. H. Eddy Fadlyana SpA(K), M.Kes.
Dr. dr. Meita Dhamayanti SpA(K), M.Kes
dr. Rodman Tarigan SpA., M.Kes
Hari/ Tanggal : Jumat, 11 September 2015
LAPORAN KASUS
Gangguan Tumbuh Kembang Pada Pasien Sindroma Rubella Kongenital
dengan Penyakit Jantung Bawaan (DSA dan PS)
Seorang anak perempuan berusia 5 bulan (tanggal lahir 19 April 2015).
Penderita datang dengan keluhan bintik putih pada kedua bola mata. Kasus ini
dibahas untuk mencari hubungan antara Penyakit Jantung Bawaaan (PJB) dan
Sindroma Rubella Kongenital dengan gangguan terhadap proses tumbuh kembang
penderita.
I. DATA PENDERITA
Nama : An. C
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 19 April 2015
Tanggal pemeriksaan : 11 September 2015
Umur kronologis : 4 bulan 22 hari
Umur koreksi : 2 bulan 22 hari
Pendidikan Ayah/Ibu : tidak diketahui/ SMP
Pekerjaan Ayah/Ibu : tidak diketahui/ Karyawan di sebuah cafe di Jakarta
Alamat : Jl. Arjasari, Patrol, Indramayu
1
II. RIWAYAT PENYAKIT
Anamnesa : Alloanamnesa nenek penderita
Keluhan utama: Tindak lanjut bintik putih di kedua bola mata
Penderita dibawa oleh nenek penderita karena terdapat bintik putih yang
terlihat di kedua bola mata disadari sejak lahir oleh ibu penderita. Penderita
tampak dikatakan tidak berespon/tidak melihat jika diberikan benda yang
diayunkan di atas kepalanya. Penderita juga dikatakan tidak pernah tampak
menatap wajah ibu maupun pengasuh. Penderita juga dikatakan tidak berespon
jika diberikan bunyi-bunyian ataupun suara. Penderita saat ini baru dapat
terseyum spontan, tertawa, berteriak dan mengeluarkan bunyi oo-aah. Penderita
belum dapat mengangkat kepala, belum dapat miring kanan maupun kiri,.
Keluhan tidak disertai dengan kejang, kemerahan pada kulit dan dikatakan
penderita tidak rewel. Keluhan tidak disertai dengan kebiruan dibibir ataupun
ujung-ujung jari tangan kaki saat menangis.
Penderita karena keluhannya dibawa oleh nenek penderita untuk berobat
ke RS Cicendo, dan telah dilakukan pemeriksaan USG mata dengan hasil katarak
kongenital ODS. Penderita direncanakan untuk operasi penggantian lensa, namun
saat diperiksa dokter mengatakan penderita memiliki kelainan jantung sehingga
kemudian penderita dirujuk ke RSHS untuk pemeriksaan lebih lanjut. Penderita
datang ke poli anak umum RSHS kemudian dirujuk ke poli kardiologi, poli
tumbuh kembang dan poli THT. Penderita kemudian dilakukan pemeriksaan
rekam jantung, rontgen dada dan USG jantung dan dianjurkan untuk rutin kontrol
ke poli jantung satu kali dalam satu bulan.
Penderita dikatakan lahir dari ibu P1A0 yang merasa hamil kurang bulan
(32 minggu), lahir normal, ditolong bidan. Penderita dikatakan lahir langsung
menangis dengan BB lahir 1600 gram dengan PB lahir tidak diketahui. Ibu
penderita memiliki riwayat ketuban pecah dini saat lahir. Saat proses persalinan
ketuban dikatakan tampak jernih tidak berwarna hijau, dan tidak ada perdarahan.
Ibu penderita dikatakan rutin kontrol teratur ke bidan satu bulan sekali sejak usia
kehamilan 2 bulan hingga melahirkan. Ibu penderita dikatakan tidak pernah
2
kontrol ke dokter spesialis kandungan ataupun dilakukan USG saat kehamilan.
Ibu penderita dikatakan memiliki riwayat merokok sejak 1 tahun terakhir sebelum
kehamilan, jumlahnya tidak diketahui, namun telah berhenti saat hamil. Ibu
penderita juga memiliki riwayat minum-minuman beralkohol sejak 1 tahun
terakhi dengan jumlah tidak diketahui, saat hamil sudah tidak minum minuman
beralkohol. Ibu penderita dikatakan saat usia kehamilan 4 bulan kehamilan
mimiliki riwayat keputihan yang berbau, gatal dan dilakukan pengobatan oleh
bidan dan dikatakan telah sembuh. Riwayat ibu penderita minum obat-obatan
ataupun vitamin selain yang diberika oleh bidan tidak diketahui. Selama
kehamilan ibu penderita dikatakan tidak pernah sakit. Riwayat menggugurkan
kandungan pada ibu penderita dikatakan tidak ada. Penderita memiliki riwayat
dirawat di RS Indramayu selama 40 hari di ruang perawatan biasa bukan intensif
karena permasalahan berat badan lahir kecil. Saat pulang dari perawatan, berat
badan lahir penderita 1700 gr. Penderita kemudian dianjurkan oleh dokter di RS
Indramayu ke RS Cicendo Bandung untuk dilakukan pemeriksaan mata lebih
lanjut . Sejak lahir penderita tidak diberikan ASI, penderita diberikan susu
formula sebanyak 40 cc sebanyak 8 kali sehari menggunakan dot yang dicuci dan
dibilas dengan air matang. Penderita sehari-hari dirawat dan diasuh oleh nenek
penderita. Ibu penderita sejak 1 bulan SMRS pindah ke Jakarta untuk bekerja.
Penderita lahir dengan orang tua tunggal (Ibu).
Penderita dikatakan sejak lahir belum pernah mendapatkan imunisasi.
Penderita rutin kontrol ke poli kardiologi anak sejak 1 bulan SMRS, dan
telah dilakukan ekokardiografi serta untuk disarankan untuk rutin kontrol ke poli
kardiologi setiap 1 bulan sekali. Penderita sudah pernah kontrol ke poliklinik
IKFR dan direncanakan untuk dilakukan fisioterapi 1 kali tiap minggu namun
belum dilakukan karena nenek penderita belum sempat mengantar dikarenakan
jauh dari tempat tinggal sehingga belum memungkinkan untuk ke RS Hasan
Sadikin 1 kali/minggu.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Kesan sakit ringan
3
Kesadaran : Kompos mentis
Tanda Vital : Tekanan Darah : tidak diukur Nadi = HR: 130 x/menit
Respirasi : 22 x/ menit Suhu: 36,8 0C
Saturasi : 97,9 % tanpa oksigen
Berat Badan: 4 kg Panjang Badan : 53 cm Lingkar Kepala : 32 cm
Umur Koreksi : 2 bulan 22 hari
Kepala : Mikrosefal, Mongolian face (-), hypertelorisme (-) , low set ear (-)
: Konjungtiva tak anemis, Sklera tak ikterik
: Pernafasan cuping hidung (-), sianosis perioral (-), makroglosia (-)
Leher : Kelenjar getah bening tak teraba, Retraksi suprasternal (-)
: JVP tidak meningkat
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris, Retraksi intercostal -/-
Cor : Ictus cordis tidak tampak, teraba di ICS IV LMCS, tidak kuat angkat,
thrill(-), Bunyi Jantung S1, S2 normal regular,splitting S2 sulit
dinilai, S3 gallop(-), murmur ejeksi sistolik grade III/6 di ICS III
LSB
Pulmo : Perkusi sonor, Vesicular breath sound kiri=kanan, Ronkhi -/-,
Wheezing -/-
Abdomen : Datar,lembut. Hepar teraba 2 cm bac, 2 cm bpx, tepi tajam,
permukaan rata, konsistensi kenyal, Lien tidak teraba. Bising usus
(+) normal, hernia umbilicalis (-)
Ekstremitas : Akral hangat, cappilary refill <2 detik, sianosis -/-clubbing finger
simian line -/-
Pemeriksaan Neurologis
Rangsang meningen : kaku kuduk (-), Brudzinsky I,II,III: -/-/-
Saraf Otak : N I sulit dinilai,
N II, III pupil bulat isokor, diameter 3mm ODS, RC +/+
N III, IV, VI follow the light
N VII kesan simetris
N IX, X, XI, XII sulit dinilai
4
Motorik : parese +/+, tonus otot meningkat / meningkat
Meningkat/meningkat
Sensorik : sulit dinilai
Refleks fisiologis : APR +/ + meningkat , KPR +/ + meningkat
Refleks perkembangan : palmar graps +/+, plantar graps +/+, klonus -/-, head lag
(+)
IV. STATUS ANTROPOMETRI
Mennggunakan WHO Child Growth Standard
Panjang badan/ Umur : < - 1 SD
Berat badan/ Umur : < -1 SD
Berat badan/ Panjang badan : 0 (Median)
Lingkar Kepala/ Umur : < -3SD ( Mikrosefal )
V. Skrining Perkembangan
PEDS : Langkah B langkah dilanjutkan dengan DENVER II
DENVER : Suspek ( > 1 keterlambatan )
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. ECG : Sinus ritme, normal axis, RVH
2. Rontgen Thorax : 4 September 2015
Cor tidak membesar (CTR 53%), Sinuses dan diafragma normal, Pulmo :
hilus kanan normal, kiri tertutup banyangan jantung, coracan
bronkovaskuler bertambah, tampak perbecakan di suprahiler bilateral
Kesan : Tidak tampak kardiomegali, adanya Congenital Heart Disease
dapat disingkirkan, Bronkopneumonia bilateral
3. Lab :
Ig G Toxoplasma (-) 0.1 (nilai rujukan (+) bila > 32 IU/ml)
IgM Toxoplasma (-) 0.1 (nilai rujukan (=) bila > 1.0)
IgG Rubella (-) 0.8, (nilai rujukan (+) bila > 15 IU/ml)
IgM Rubella (-) 0,2 (nilai rujukan (+) bila > 1.0)
5
IgG Cytomegalovirus (-) 0.4 (nilai rujukan (+) bila >1,2 IU/ml)
IgM Cytomegalovirus (-)0.4 (nilai rujukan (+) bila > 1.0)
IgG Herpes Simplex Virus I (+) 2.9 (nilai rujukan (+) bila index
>1,1)
IgM Herpes Simplex Virus I (-) 0.3 (nilai rujukan (+) bila index >
1,1)
IgG Herpes Simplex Virus II (+) 2,1 (nilai rujukan (+) bila index
> 1,1)
IgM Herpes Simplex Virus II (-) 0.1 nilai rujukan (+) bila index >
1,1)
4. Echocardiography :
Situs solitus, AV VA Concordance, Pulmonal stenosis valvular mild
pressure gradient 20 mmHg, ASD sekundum kecil fenestrated 5 mm ,
Tidak terdapat VSD-PDA, Fungsi LV baik. EF 61.4%. FS 30,8 %.
LA/AO :1.32
Kesan : Pulmonal stenosis valvular mild pressure gradient 20 mmHg
ASD sekundum kecil fenestrated 5 mm
VII. DIAGNOSIS KERJA
Gangguan pendengaran, gangguan penglihatan ec dd/ sindrom rubella
kongenital, Infeksi Herpes simplex + Cerebral palsy tipe spastis
quadriplegi + imunisasi tidak lengkap
VIII. PENATALAKSANAAN
Edukasi
Imunisasi catch up
Konsul neurologi
Konsul bagian infeksi dan penyakit tropis
Konsul bagian THT untuk evaluasi fungsi pendengaran
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
6
Quo ad functionam : dubia ad malam
X. FOLLOW UP
Jawaban konsul dari bagian TS Pediatrik Neurologi :
DK/ Cerebral palsy tipe spastik quadriplegia + sindrom rubella
kongenital (katarak kongenital, mikrosefal, pulmonal stenosis,
suspek profound hearing loss bilateral) + infeksi herpes simplex +
imunisasi tidak lengkap
Saran : periksa ulang Ig M rubella, fisioterapi dan edukasi
Jawaban konsul dari bagian TS Infeksi dan Penyakit Tropis :
DK/ Infeksi Herpes simplex +infeksi herpes simplex + imunisasi
tidak lengkap
Saran : observasi
Jawaban konsul dari bagian THT :
DK/ Profound Hearing Loss Bilateral
Saran : Pemakaian alat bantu dengar, rehabilitasi mendengar,
konsultasi dengan bagian neuropediatrik
Jawaban konsul dari bagian TS IKFR :
DK/ Global delay development + hearing impairment + visual
disorder.
Program : Stimulasi reflex brainstem, stimulasi head neck kontrol,
terapi 1x/minggu, kontrol (evaluasi)
PEMBAHASAN
7
I. Pengaruh penyakit jantung bawaan terhadap proses tumbuh kembang
penderita
Penyakit jantung bawaan (PJB) didefinisikan sebagai malformasi
struktural dari satu atau lebih ruang jantung dan pembuluh darah yang terjadi
selama perkembangan embrio. Kelainan struktur dapat meliputi arteri, katup,
arteri koroner, dan pembuluh darah besar di jantung, dan bisa berupa kelainan
yang sederhana atau kompleks.1 Penyakit jantung bawaan adalah bentuk cacat
bawaan yang paling sering terjadi dan penyebab kematian nomor 1 dari kematian
karena cacat bawaan pada 1 tahun pertama kehidupan. Insidensi PJB sebanyak 8
dari 1000 kelahiran hidup dan diperkirakan 1 juta orang di Amerika Serikat
menderita PJB. Beberapa PJB membutuhkan intervensi medis sedini mungkin.
Penyakit jantung bawaan yang memiliki defek ringan tidak menimbulkan gejala
dan biasanya baru terdiagnosis pada saat penderita memasuki usia dewasa.1,2
Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok, yaitu
penyakit jantung bawaan sianotik dan penyakit jantung bawaan nonsianotik.
Termasuk dalam kelompok penyakit jantung bawaan nonsianotik adalah penyakit
jantung bawaan dengan kebocoran sekat jantung yang disertai pirau kiri ke kanan
di antaranya adalah defek septum ventrikel, defek septum atrium, atau tetap
terbukanya pembuluh darah seperti pada duktus arteriosus persisten. Selain itu
penyakit jantung bawaan nonsianotik juga ditemukan pada obtruksi jalan keluar
ventrikel seperti stenosis aorta, stenosis pulmonal dan koartasio aorta.3
Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui. Berbagai jenis obat,
penyakit ibu, pajanan terhadap sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab
eksogen penyakit jantung bawaan. Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal
kehamilan dapat menyebabkan PJB pada bayi. Di samping faktor eksogen
terdapat pula faktor endogen yang berhubungan dengan kejadian PJB. Berbagai
jenis penyakit genetik dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJB
seperti sindrom Down, Turner, dan lain-lain.3,4
8
Kegagalan pertumbuhan adalah salah satu gejala yang dapat diamati pada
bayi dengan PJB. Lebih dari 50% bayi dengan PJB mengalami kegagalan
pertumbuhan pada awal kehidupannya, dimana 30% dari populasi memiliki berat
badan terhadap umur dibawah persentil ketiga pada grafik pertumbuhan untuk
usia dan jenis kelamin.5 Penyebab gangguan pertumbuhan pada PJB merupakan
multifaktorial. Kurangnya asupan kalori, malabsorpsi, dan peningkatan kebutuhan
energi akibat peningkatan metabolisme turut berperan sebagai penyebab gangguan
pertumbuhan. Akan tetapi, hal yang paling berperan sebagai penyebab gangguan
pertumbuhan pada penderita dengan PJB adalah asupan kalori yang kurang. Di
samping malnutrisi, anoreksia juga berperan dan memperburuk kondisi pasien.
Dispnea dan takipnea pada penderita dengan gagal jantung kongestif akan
menyebabkan kelemahan dan menurunnya asupan makanan.6
Gangguan pertumbuhan dan malnutrisi dikenal sebagai komplikasi yang sering
dari PJB, 4 dari 5 anak yang dirawat di RS dengan PJB mengalami malnutrisi akut
ataupun kronis. Gangguan pertumbuhan dilaporkan pada 50% anak dengan PJB.
Derajat retardasi pertumbuhan bergantung pada efek hemodinamik yang
diakibatkan oleh PJB.5,6 Penyebab retardasi pertumbuhan pada PJB bersifat
multifaktorial diantaranya yaitu : asupan kalori yang tidak adekuat, malabsorbsi,
dan peningkatan kebutuhan energi akibat peningkatan metabolisme.4,5 Asupan
nutrisi yang tidak adekuat akibat kecenderungan kelelahan dan takipnea
merupakan penyebab utama (49% kasus) kegagalan pertumbuhan pada anak
dengan PJB.4 Makan pada anak dengan PJB merupakan suatu olahraga yang
membutuhkan energi. Anak dapat menjadi mudah kenyang karena pengurangan
kapasitas lambung yang terdesak oleh hepatosplenomegaly. Proses menelan dapat
terganggu akibat takipnea. Malabsorbsi dapat disebabkan oleh hipoksia saluran
cerna dan edema sel usus pada gagal jantung kanan.7,8 Pendekatan terapi restriksi
cairan juga dapat menjadi hambatan intake kalori. Gagal jantung kongestif
menyebabkan kondisi hipermetabolik akibat peningkatan kerja jantung dan
pernafasan.7,8,9 Kombinasi antara pengurangan asupan akibat anorexia dan
peningkatan kerja pernafasan menyebabkan defisiensi nutrisi. Anak dengan PJB
9
membutuhkan kalori 50% lebih banyak dibandingkan anak normal untuk
mencapai pertumbuhan yang normal.9,10,11
Pada pasien ini pertumbuhan masih dikatakan normal, namun ditemukan adanya
mikrosefal sebab pengukuran antropometri pasien ini didapatkan : panjang badan/
Umur < - 1 SD , berat badan/ umur < -1 SD, berat badan/ panjang badan 0
(Median), lingkar kepala/ umur < -3SD ( Mikrosefal ).
a. Kelainan Jantung Bawaan Pada Sindroma Rubella Kongenital
Kelainan jantung bawaan pada sindroma rubella kongenital pertama kali
dilaporkan oleh Greeg, dimana ditemukan adanya 44 kelainan jantung bawaan
dari 78 kasus pasieen dengan katarak kongenital pada tahun 1941. Pada tahun
1961 atau dua puluh tahun kemudian, Campbell melaporkan bahwa patent ductus
arteriosus (PDA) merupakan kelainan jantung bawaan tersering yang dilaporkan
pada sindroma ini tercatat sebanyak 58%. Kelainan jantung lainnya yang sering
ditemukan berturut adalah defek septum ventrikel sebanyak 17,6%, defek septum
atrial sebanyak 6,6%, pulmonary stenosis sebanyak 5.9%, tetralogy Fallot
sebanyak 7.2% dan 4,5% adalah untuk kelainan jantung lainnya termasuk
diantaraya koartasio aorta, stenosis katup pulmonal, transposition great arteries
(TGA) dan trikuspid atresia (tabel 1).12
Tabel 1. Frekuensi kelainan jantung bawaan pada sindroma rubella kongenital (Dikutip dari Campbell dkk)12
10
Pada kasus ini kelainan jantung yang terjadi ditegakkan dari hasil pemeriksaan
ekokardiografi adalah defek septum atrium dan pulmonal stenosis. Pada kasus ini
kelainan jantung yang terjadi belum memberikan gejala klinis atau masih bersifat
asimptomatik.
1.2 Defek Septum Atrium (DSA)
Defek septum atrium (DSA) adalah anomali jantung kongenital yang ditandai
dengan defek pada septum atrium akibat gagal fusi antara ostium sekundum,
ostium primum, dan bantalan endokardial. Defek Septum Atrium dapat terjadi di
bagian manapun dari septum atrium, tergantung dari struktur septum atrium yang
gagal berkembang secara normal. 13
Insidensi DSA adalah 1 per 1000 kelahiran hidup dan terhitung 7% dari
seluruh kejadian PJB. Prevalensi DSA pada wanita lebih tinggi daripada pria
dengan perbandingan 2:1. Klasifikasi DSA dibagi menurut letak defek pada
septum atrium, yaitu: ostium primum, merupakan hasil dari kegagalan fusi ostium
primum dengan bantalan endokardial dan meninggalkan defek di dasar septum.
Kejadian DSA ostium primum pada wanita sama dengan pria dan terhitung sekitar
20% dari seluruh kasus PJB. Tipe kedua adalah ostium sekundum, merupakan tipe
lesi DSA terbanyak (70%) dan jumlah kasus pada wanita 2 kali lebih banyak
daripada pria. Sekitar 8 dari 10 bayi lahir dengan ostium sekundum dan 50%
kasus DSA yang terjadi akan menutup dengan sendirinya. Tipe ketiga adalah
sinus venosus, merupakan salah satu jenis DSA yang ditandai dengan malposisi
masuknya vena kava superior atau inferior ke atrium kanan. Insidensi defek ini
diperkirakan 10% dari seluruh kasus DSA.13
Defek yang terjadi dapat berbagai jenis, mulai dari yang berukuran kecil sampai
sangat besar dan menyebabkan pirau dari atrium kiri ke atrium kanan dengan
beban volume lebih banyak di atrium dan ventrikel kanan. Defek DSA dikatakan
kecil bila diameter yang ditemukan antara 3-6 mm, sedang bila 6-12 mm, dan
besar jika lebih dari 12 mm. Gejala pada anak dan neonatus umumnya
asimtomatis, namun bila pirau cukup besar maka pasien dapat mengalami sesak
11
nafas dan sering mengalami infeksi paru. Gagal jantung sangat jarang ditemukan.
Pada anak dengan pirau kiri-ke-kanan berukuran besar biasanya mengeluhkan
cepat lelah dan dispnea. Gagal tumbuh jarang didapati.13,14
Defek ostium sekundum berukuran kecil dengan pirau kiri ke kanan minimal
secara konsensus tidak memerlukan terapi penutupan. Defek tersebut diharapkan
dapat menutup sendiri. Pada defek yang berukuran kurang dari 3 mm yang
ditemukan sebelum usia 3 bulan, pada usai 1,5 tahun defek tersebut telah menutup
sempurna pada hampir 100% pasien. Sedangkan pada defek septum ukuran
sedang sampai besar, meskipun tidak bergejala, perlu dilakukan tindakan
penutupan untuk mencegah terbentuknya penyakit penyumbatan vaskular paru di
kemudian hari, mengurangi kemungkinan terjadinya aritmia supra-ventrikular dan
mencegah perburukan gejala di kemudian hari. 13,14
Indikasi penutupan ASD adalah bila defek telah menimbulkan gejala, atau jika
belum timbul gejala namun rasio aliran darah ke paru dan sistemik (Qp:Qs) lebih
dari 1,5. Operasi dilakukan secara elektif pada usia pra sekolah (3–4 tahun)
kecuali bila sebelum usia tersebut sudah timbul gejala gagal jantung kongestif
yang tidak teratasi secara medikamentosa. Tindakan penutupan ASD tidak
dianjurkan lagi bila sudah terjadi hipertensi pulmonal dengan penyakit obstruktif
vaskuler paru. Terapi bedah yang dilakukan pada usia dini memilliki outcome
yang lebih baik daripada terapi bedah yang dilakukan pada usia lebih dewasa.
Terapi koreksi bedah merupakan terapi konvensional tatalaksana defek septum
atrium, namun pada beberapa dekade terakhir tindakan penutupan defek secara
transkateter telah diciptakan. Diantaranya adalah okluder Amplatzer. Alat ini
berupa anyaman kawat yang terbuat dari nikel-titanium, berupa cakram ganda,
yang dapat diinsersikan melalui kateter. Alat ini memiliki berbagai macam ukuran
yang disesuaikan dengan besarnya defek. Penutupan defek trans-kateter ini
terutama digunakan pada defek ostium sekundum, sedangkan untuk defek septum
lainnya terapi utamanya masih berupa pembedahan.13,14,15
12
Pada kasus ini berdasarkan anamnesis defek septum atrium yang terjadi belum
menujukkan gejala klinis seperti cepat lelah, sesak nafas saat menyusu ditandai
dengan sering terlepas jika saat sedang menyusu. Pada pemeriksaan fisik tidak
didapatkan adanya tanda-tanda pembesaran jantung kanan ataupun kegagalan
jantung kanan, sedangkan bunyi jantung khas yang ditemukan pada defek septum
atrium yakni wide fixed splitting pada bunyi jantung kedua sulit dinilai karena
heart rate pada pasien ini termasuk cepat yakni 130x/menit. Data yang didapatkan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didukung hasil ekokardiografi yang
menunjukkan defek septum atrium yang terjadi termasuk tipe ostium sekundum
dan berdasarkan ukuran diameter defek digolongkan enjadi defek kecil yaitu 5
mm (3-6 mm) sehingga seringkali tidak memberikan gejala ataupun asimtomatik
dan tidak dilakukan intervensi penutupan dikarenakan masih diharapkan untuk
menutup dengan sendirinya. DSA pada kasus ini tidak mempengaruhi proses
tumbuh kembang.
1.3 Pulmonal Stenosis (PS)
Pulmonal stenosis adalah penyempitan pada lubang masuk arteri pulmonalis.
Tahanan yang merintangi aliran darah menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan
dan penurunan aliran darah paru. Stenosis arteri pulmonal bisa terjadi pada bagian
valvular, supravalvular maupun infundibular. Sangat jarang kelainan ini
disebabkan oleh aktivasi rema, tapi umumnya merupakan kelainan jantung
kongenital yang dibawa sejak lahir. Stenosis tipe valvular lebih banyak ditemukan
pada anak dibandingkan dengan dengan tipe infundibular. Sementara itu,
pulmonal stenosis tipe infudibuler jarang sekali ditemukan sebagai kelainan yang
berdiri sendiri, tetapi biasanya menyertai kelainan jantung yang lain, seperti pada
tetralogy Fallot. Demikian pula pulmonal stenosis tipe supra valvular sangat
jarang ditemukan sendiri, tetapi justru merupakan salah satu baguan dari suatu
kelaian kongenital yang lebih kompleks, seperti pada Sindroma Noonan,
Sindroma William ataupun Rubella Kongenital.16
13
Pada pulmonal stenosis terjadi stenosis pada katup pulmonal (tipe valvular),
pada pangkal arteri pulmonal (tipe supravalvular), pada infundibulum ventrikel
kanan (tipe subvalvular), maka ventrikel kanan akan menghadapi tekanan
berlebihan yang kronis. Dilatasi pasca stenosis pada arteri pulmonal merupakan
tanda yang khas pada pulmonal stenosis tipe valvular dan tidak ditemukan pada
tipe pulmonal stenosis yang lain. Adanya pembesaran ventrikel kanan hingga
menyebabkan kegagalan jantung kanan menunjukkan bahwa pulmonal stenosis
yang terjadi cukup signifikan. 16
Derajat beratnya pulmonal stenosis yang terjadi dibagi menjadi 3 yakni ringan,
sedang dan berat. Pada pulmonal stenosis yang ringan tekanan sistolik di ventrikel
kanan biasanya kurang dari 50 mmHg atau kurang dari 50% dari tekanan
sistemik. Pada pumonal stenosis derajat sedang, tekanan sistolik ventrikel kanan
berkisar antara 50-75 mmHg atau 50-75% dari tekanan sistemik. Pulmonal
stenosis dianggap berat apabila tekanan sistolik ventrikel kanan lebih dari 75
mmHg atau 75% dari tekanan sistemik. Apabila tekanan sistolik ventrikel kanan
melebihi tekanan sistemik maka pulmonal stenosis yang terjadi dikatakan kritikal
dan harus segera mendapatkan intervensi.Pilihan intervensi pada kritikal pulmonal
stenosis adalah pembedahan, namun dalam 15 tahun terakhir dapat pula dilakukan
dengan upaya non bedah yakni dengan balonisasi katup untuk melebarkan katup
yang sempit tersebut. 17
Tanda dan gejala pasien dengan pulmonal stenosis biasanya asimtomatik,
kecuali keluhan cepat lelah oleh karena curah jantung berkurang. Apabila
pulmonal stenosis cukup berat serta disertai dengan defek septum atrium ataupun
defek septum ventrikel, maka dapat memberikan gejala sianosis yang signifikan
yang disebabkan oleh terjadinya pirau aliran darah dari kanan ke kiri. 16,17
Pada pemeriksaan fisik, komponen pulmonal bunyi jantung ke 2 terdengar
lemah atau bahkan tidak terdengar sama sekali, sehinga bunyi jantung ke 2
terdengar seperti bunyi tunggal. Murmur ejeksi sistolik dapat dideteksi didaerah
pulmonal, pada sela iga 2-3 kiri parasternal didahului sebelumnya oleh ejeksi
14
sistolik dan dapat diraba sebagai thrill. Ekokardiografi dapat menunjukkan adanya
hipertrofi ventrikel kanan karena beban tekanan berlebih. Gelompang P dapat
tampak tinggi, karena hipertrofi atrium kanan. Foto thorak pada pulmonal stenosis
tanpa kelainan kongenital yang lain, biasanya memberikan gambaran jantung
yang relatif normal dengan normal vaskularisasi paru. Pada stenosis pulmonal
yang ringan, elektrokardiografi dan foto dada mungkin tidak berubah dan masih
berada dalam batas-batas normal.17,18
Pada stenosis pulmonal yang ringan, umumnya pasien asimtomatik dan tidak
memburuk oleh bertambahnya usia sehingga tumbuh kembang pun tidak
terganggu. Akan tetapi, sebagaimana halnya denegan kelainan jantung kongenital
yang lain, profilaksis antibiotika terhadap endocarditis bacterial tetap perlu
diperhatikan. 18
II. Pengaruh Congenital Rubella Syndrome proses tumbuh kembang
penderita
Definisi Congenital Rubella Syndrome atau campak Jerman adalah penyakit
yang disebabkan oleh infeksi virus rubella. Di anak-anak, infeksi biasanya
hanya menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa gejala. Infeksi pada orang
dewasa dapat menimbulkan keluhan demam, sakit kepala, lemas dan
konjungtivitis. Tujuh puluh persen kasus infeksi rubella di orang dewasa
menyebabkan terjadinya atralgi atau artritis. Jika infeksi virus rubella terjadi
pada kehamilan, khususnya trimester pertama sering menyebabkan Congenital
Rubella Syndrome (CRS). CRS mengakibatkan terjadinya abortus, bayi lahir
mati, prematur dan cacat apabila bayi tetap hidup. CRS merupakan gabungan
beberapa keabnormalan fisik yang berkembang di bayi sebagai akibat infeksi
virus rubella maternal yang berlanjut dalam fetus. 19,20
Bayi dengan CRS mungkin hadir dengan manifestasi yang berbeda dari
sindrom tergantung pada waktu infeksi pada kehamilan. Apabila infeksi terjadi
pada 0–12 minggu usia kehamilan, maka terjadi 80–90% risiko infeksi janin.
Infeksi pada Ibu yang terjadi sebelum terjadi kehamilan tidak mempengaruhi
15
janin. Infeksi yang terjadi pada usia kehamilan 15–30 minggu akan
menurunkan risiko infeksi janin yaitu 30% atau 10–20%. Setelah 20 minggu
kehamilan , satu-satunya cacat dapat menjadi tuli . Juga , beberapa anak hanya
terinfeksi dan tidak memiliki bawaan cacat .Anak yang diagnosis mengalami
CRS apabila mengalami 2 gejala pada kriteria A atau 1 kriteria A dan 1 kriteria
B. Kriteria A terdiri dari ; katarak, glaukoma bawaan, penyakit jantung bawaan
(paling sering adalah patient ductus arteriosus atau peripheral pulmonary
stenosis), kehilangan pendengaran, pigmentasi retina. Kriteria B terdiri dari ;
purpura, splenomegali, jaundice, mikroemsefali, retardasi mental,
meningoensefalitis dan radiolucent bone disease (tulang tampak gelap pada
hasil foto roentgen). Beberapa kasus hanya mempunyai satu gejala dan
kehilangan pendengaran merupakan cacat paling umum yang ditemukan di
bayi dengan CRS. Definisi kehilangan pendengaran menurut WHO adalah
batas pendengaran ≥ 26 dB yang tidak dapat disembuhkan dan bersifat
permanen.19,20
Pada kasus ini penderita memiliki gambaran klinis yang khas pada CRS
yaitu katarak kongenital, tuli, dan penjakit jantung bawaan yakni pulmonal
stenosis dan atrial septal defek. Diagnosis katarak kongenital pada kasus ini
awalnya dicurigai saat Ibu penderita melihat adanya bintik putih di kedua mata,
dan anak tampak tidak berespon ketika diajak bertatap wajah.
Meskipun infeksi bawaan dapat dipastikan (konfirmasi) dengan
mengasingkan (isolasi) virus dari swab tenggorokan, air kemih dan cairan
tubuh lainnya, tetapi pengasingan tersebut mungkin memerlukan pemeriksaan
berulang. Sehingga pemeriksaan serologis merupakan pemeriksaan yang sangat
dianjurkan. Pemeriksaan antibodi IgM spesifik ditunjukkan untuk setiap
neonatus dengan berat badan lahir rendah yang juga memiliki gejala klinis
rubella bawaan. Adanya IgM di bayi tersebut menandakan bahwa ia telah
terinfeksi secara bawaan, karena antibodi ini tidak dapat melalui perbatasan
(barier) plasenta. Pemeriksaan IgM spesifik rubella digunakan untuk
mendiagnosis infeksi rubella kongenital pada infant. IgM spesifik rubella akan
ditemukan hampir 10%5 pada bayi usia 0-5 bulan dengan CRS, 60% saat usia
16
6-12 bulan dan 40% pada usia 12-18 bulan. IgM spesifik rubella jarang
ditemukan setelah usia 18 bulan.20,21
Antibodi IgG spesifik rubella mungkin dapat dihasilkan oleh bayi secara
in vitro. Masuknya IgG maternal melalui perintangan (barier) plasenta,
menyebabkan sulitnya membedakan antara antibodi yang dialihkan (transfer)
secara pasif dan antibodi spesifik yang dihasilkan sendiri oleh bayi. IgG
spesifik rubella yang menetap (persisten) hingga berumur 6–12 bulan. Hal itu
menandakan bahwa antibodi tersebut dihasilkan oleh bayi dan menandakan
adanya infeksi bawaan.19,21
Berdasarkan kriteria diagnosis klinis dan hasil pemeriksaan laboratoris,
kasus CRS dapat digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu: 1) kasus kecurigaan
(Suspected case) kasus kecurigaan (Suspected case) adalah kasus dengan
beberapa gejala klinis tetapi tidak memenuhi kriteria klinis untuk diagnosis
CRS. 2) kasus berpeluang (Probable case). Pada kasus ini, hasil pemeriksaan
laboratorik tidak sesuai dengan kriteria laboratoris untuk diagnosis CRS, tetapi
mempunyai 2 penyulit (komplikasi) yang tersebut pada kriteria A atau satu
penyulit pada kriteria A dan satu penyulit pada kriteria B dan tidak ada bukti
etiologi. Pada kasus berpeluang (probable case), baik satu atau kedua kelainan
yang berhubungan dengan mata (katarak dan glaukoma kongenital), dihitung
sebagai penyulit tunggal. Jika dikemudian hari ditemukan/terkenali
(identifikasi) keluhan atau tanda yang berhubungan seperti kehilangan
pendengaran, kasus ini akan digolongkan ulang. 3) kasus hanya infeksi
(Infection only-case) kasus hanya infeksi (Infection only-case) adalah kasus
yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorik terbukti ada infeksi tetapi
tidak disertai tanda dan gejala klinis CRS. 4) kasus terpastikan (Confirmed
case). 21
Berdasarkan Guidelines for Surveillance of Congenital Rubella Syndrome
and Rubella yang dikeluarkan oleh WHO tahun 1999, pada kasus ini termasuk
kategori Probable CRS, karena pada kasus ini dijumpai gejala klinis namun
tidak didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorik yang positif, sehingga
17
direncanakan untuk pemeriksaan IgM Rubella ulang untuk mengkonfirmasi
ulang hasil pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya. 21
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Irving, Sharon. Patterns of weight change in infants with congenital heart
disease following neonatal surgery: potential predictors of growth
failure.http://repository.upenn.edu/edissertations/443
2. Winlaw D. Congenital heart disease in the 21st century. Crit Care Resusc.
2007;9(3):270 - 274.
3. Allen HD, Franklin WH, Fontana ME. Congenital heart disease: untreated
and operated. Heart disease in infants, children, and adolescents.
Baltimore:
Williams & Wilkins; 1995. h. 657-64.
4. Sastroasmoro S, Nurhamzah W, Madiyono B, Oesman IN, Putra ST.
Association between maternal hormone exposure and the development of
congenital heart disease of the truncal type A. A case-control study.
Paediatri Indonesia 1993; 33:291-300.
5. RE P. Growth Failure in Congenital Heart Disease : Where Are We Now?
Current Opinion in Cardiology. 2004 March; 19(2).
6. Robert M.Kliegman BSJSGNSREB. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th
ed. Philadelphia: WB Saunders; 2011.
7. Bauchner H. Failure to Thrive. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: WB
Saunders; 2007:184 – 187
8. Hirose Y, Ichida F, Oshima Y. Developmental status of young infants with
congenital heart disease. Pediatr Int. 2007;49:468 – 471
9. Kohr, LM., Braudis, NJ. Growth and Nutrition. Dalam: Paediatric
Cardiology. 3rd ed. Churchill Livingstone. Philadelphia. 2010.
10. Varan,B., Tokel,K., Yilmaz G. Malnutrition and Growth Failure in
Cyanotic and Acyanotic Congenital Heart Disease with and without
Pulmonary Hypertension. Arch Du Child 81: 49-52.1999.
11. Mitchell, IM. Nutritional Status of Children with Congenital Heart
Disease. Br Heart J 73 : 277-283. 1995.
19
12. Way RC: Cardiovascular defects and the rubella syndrome. Canad Med
Ass J 97: 1329, 1967.
13. Friedman WF. Congenital heart disease in infancy and childhood.
Braunwald ed. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine.
5th ed. 1997. 896-910
14. Jonas RA. Atrial septal defect. Comprehensive Surgical Management of
Congenital Heart Disease. 2004. 225-41.
15. Fukazawa M, Fukushige J, Ueda K. Atrial septal defects in neonates with
reference to spontaneous closure.Am Heart J. 1988 Jul. 116(1 Pt 1):123-7
16. Rao PS. Pulmonary Valve Disease. Alpert JS, Dalen JE, Rahimtoola S,
eds. Valvular Heart Disease. 3rd ed. Philadelphia, PA: Lippencott Raven;
2000. 339-76.
17. Keith JD, Rowe RD, Vlad P. Heart Disease in Infancy and Childhood. 3rd
ed. New York, NY: Macmillan Co; 1978. 4-6, 761-88.
18. Nishimura RA, Otto CM, Bonow RO, Carabello BA, Erwin JP 3rd,
Guyton RA, et al. 2014 AHA/ACC Guideline for the Management of
Patients With Valvular Heart Disease: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. Circulation. 2014 Jun 10. 129(23):e521-643.
19. Department of Health and Human Services. Center for Disease Control
and prevention. Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable
Disease. 2005. http://www.cdc.gov. (diakses 13 September 2015).
20. Reef S, Coronado V. Congenital Rubella Syndrome.
http://www.deafblind.com/crs.htlm. (diakses 13 September 2015).
21. Cutts F, Best J, Siqueira MM, Engstrom K, Robertson, Susan E.
Guidelines for Surveilance of Congenital Rubella Syndrome and Rubella.
Field test version. Department of Vaccines and Biologicals. Geneva,
WHO, 1999
20
21